PEMAKNAAN PEMENJARAAN PADA NARAPIDANA NARKOBA DI RUMAH TAHANAN (RUTAN) SALATIGA Sri Aryanti Kristianingsih Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk memahami dan mengeksplorasi bagaimana pemaknaan narapidana narkoba terhadap pemenjaraan di RUTAN Salatiga. Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologis. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara, observasi, dan diskusi kelompok terfokus. Teknik sampling yang digunakan adalah purposive sampling. Subjek penelitian sebanyak 8 orang yang terdiri dari 6 orang narapidana narkoba dengan tingkat penggunaan narkoba sebelumnya belum sampai tingkat ketagihan/ ketergantungan (3 orang narapidana klasifikasi B.I, 3 orang narapidana klasifikasi B.IIa), dan 2 orang narapidana kasus non narkoba (1 orang narapidana klasifikasi B.I, 1 orang narapidana klasifikasi B.IIa), serta 5 orang informan. Metode analisis data mengacu pada analisis data model interaktif dari Miles & Hubberman yang terdiri dari 3 tahap, yaitu reduksi data, penyajian data, dan kesimpulan atau verifikasi. Melalui penelitian ini ditemukan bahwa tindak kriminalitas baik kasus narkoba maupun non narkoba, dengan pemenjaraan pertama maupun kedua, dipengaruhi oleh pengaruh negatif yang besar dari lingkungan dan karakteristik narapidana, yaitu kontrol diri yang lemah, sehingga narapidana sulit untuk menyeleksi suatu tindakan itu benar atau salah menurut norma. Kesadaran narapidana bahwa tindakan yang dilakukan merupakan tindak kriminalitas atau bukan, berpengaruh pada pemaknaan narapidana terhadap penangkapannya itu ditentukan oleh faktor eksternal ataupun faktor internal, dan perasaan bersalah atau tidak bersalah. Pengalaman pemenjaraan (pertama atau kedua) dan kondisi penjara berpengaruh pada pemaknaan terhadap pemenjaraan yang bersifat negatif ataupun positif. Tidak ada perbedaan yang menonjol antara pemaknaan pemenjaraan pada narapidana narkoba maupun non narkoba. Namun, pemenjaraan pertama atau kedua mempunyai dinamika psikologis yang cenderung berbeda. Penulis memprediksikan bahwa setelah keluar dari penjara, kemungkinan besar narapidana akan melakukan lagi tindak kriminalitas seperti yang dilakukan sebelumnya, khususnya pada narapidana narkoba, sehingga kemungkinan untuk masuk lagi ke penjara cukup besar. Hal tersebut disebabkan kontrol diri narapidana yang lemah, tidak adanya usaha narapidana untuk menjadi diri yang ideal, serta belum adanya program pembinaan untuk menumbuhkan kontrol diri internal selama pemenjaraan. Kata kunci : pemaknaan, pemenjaraan, narapidana narkoba 1
Abstract The purpose of this research for understanding and explore the interpretation drug prisoners toward incarceration in RUTAN’s Salatiga. The research type is qualitative research with phenomenology approach. The collecting data method is interview, observation, and focused group discussion. The sampling technique used is purposive sampling. The research subject are 8 person, contain 6 person drug prisoners with drugs usage level are not in addicted level (3 prisoners B.I classification, 3 prisoners B.IIa classification), and two prisoner non drugs case (1 prisoner B.I classification, 1 prisoner B.IIa classification), and 5 informant. The analysis data interactive model from Miles and Hubberman contain 3 steps : data reduction, data presentation, and conclusion/verification. This research found that criminality behavior of drug case and also non drug case, both the first incarceration and the second incarceration, influenced by negative effect of environment and prisoner’s characteristic, that is weak self control, so that the prisoner is difficult to decide that an action he did is right or wrong according to norm. The prisoner’s awareness of an action he represent is criminality or none, having an effect on prisoner’s interpretation to its arrest determined by external factor and internal factor, and also guilty feeling or not guilty. The Experience of incarceration (nor the first and the second) and condition of the prison have an effect on the interpretation to incarceration positively or negativity. There are no principal differences between the interpretation toward incarceration on drug prisoner or non drug prisoner. However, the first incarceration and the second incarceration have psychological dynamics tending to differ.The writer predicts that after leave prison, there are big possibility of prisoner will conduct criminality again, especially on drug prisoner, so that there is big possibility to be arrested again. It is because the prisoner’s weak of self control, there is no effort of prisoner to become ideal person, and also there is no training program inside the prison to grow internal self control during incarceration. Key words : interpretation, incarceration, drug prisoners
Pendahuluan Permasalahan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba di Indonesia menunjukkan adanya kecenderungan yang terus meningkat. Hal tersebut terlihat dari implementasi bidang penegakan hukum yang bersifat kuantitatif, yang ditunjukkan dari peningkatan jumlah kasus, tersangka, 2
HUMANITAS Vol. 6 No.1 Januari 2009
maupun barang bukti, serta meningkatnya proporsi tahanan dan narapidana narkoba di Rumah Tahanan (RUTAN) maupun Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) seluruh Indonesia yang telah melampaui angka rata-rata 21 % dari jumlah seluruh tahanan dan narapidana, sedangkan di kota besar angkaangka tersebut telah mencapai 60 % (Sadar, 2006). Meskipun salah satu tujuan pemenjaraan baik pada RUTAN maupun LAPAS adalah rehabilitasi, yaitu dengan adanya kurungan penjara, narapidana diharapkan akan jera dan tobat kembali ke jalan yang lebih baik, tetapi pada kenyataannya tidak semua narapidana yang bebas menjadi jera dan bertobat. Hal tersebut nampak dari pertambahan populasi narapidana semakin meningkat tahun-tahun belakangan ini. Departemen Kehakiman dan HAM Republik Indonesia mendata jumlah tahanan di Indonesia tahun 1994 adalah 28.595 orang, sedangkan tahun 2001 meningkat menjadi 35.925 orang, dan rata-rata tahanan tersebut adalah tahanan narkoba (www.correct.go.id/ ind/ stsubs,html, 2005). Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Golder, dkk (2005) menunjukkan bahwa rasio atau jumlah para tahanan dewasa yang kembali ke penjara atau yang dikenal dengan istilah residivis terus meningkat. Kenyataan tersebut berpengaruh pada opini masyarakat terhadap narapidana dan pemenjaraan yang cenderung negatif. Selain itu, terdapat kecenderungan opini dan reaksi masyarakat yang berbeda terhadap narapidana kasus narkoba dan narapidana tindak kejahatan yang lain, sehingga memungkinkan pemaknaan yang berbeda narapidana narkoba terhadap pemenjaraan. Seperti, kasus Roy Marten, Doyok, Polo, dan selebritis lain yang pernah masuk ke penjara karena kasus narkoba. Mereka cenderung masih bisa diterima masyarakat, terbukti dengan masih mendapat tawaran main di sinetron, manggung, maupun memeriahkan kampanye anti narkoba di berbagai tempat (http://www.kapanlagi.com/h/.html, 2007). Berbeda halnya dengan mantan narapidana dengan tindak kejahatan lain, seperti Faisal, bintang sinetron yang dipenjara dengan tuduhan pemerkosaan, sejak dibebaskan 23 Februari 2007, belum juga mendapat tawaran berakting baik di film maupun di layar kaca (http://selebriti.kapanlagi.com/faisal/index.html, 2007). Selain itu, kasus Michael Jackson yang dipenjara dengan tuduhan pelecehan seksual terhadap anak-anak, membuat popularitasnya merosot dengan tajam (http://www.pikiran-rakyat.com/.htm, 2006). Opini dan reaksi masyarakat yang cenderung berbeda, bisa saja berpengaruh pada pemaknaan narapidana narkoba terhadap pemenjaraan. Terlebih lagi, narapidana narkoba merupakan bagian dari narapidana dengan kondisi yang berbeda dan spesifik, yaitu mempunyai karakter atau perilaku yang cenderung berbeda akibat penggunaan narkoba yang dikonsumsi mereka selama ini, seperti kurangnya tingkat kesadaran akibat 3
rendahnya kemampuan penyerapan, keterpurukan kesehatan dan sifat over reaktif dan over produktif, tentunya perlu penanganan khusus pada narapidana narkoba dibandingkan dengan narapidana lainnya. Selain itu, melalui konseling individual dan kelompok selama proses pendampingan yang dilakukan peneliti bersama-sama dengan Women Christian Temperance Union of Indonesia (WCTUI) di RUTAN Salatiga sejak Januari 2007 setiap 2 minggu sekali, para narapidana narkoba menceritakan keluhan dan kondisi mereka selama di penjara kepada peneliti, antara lain : narapidana narkoba merasa ”berbeda” karena tindak kejahatannya dirasa lebih ringan dibandingkan dengan narapidana kasus kejahatan lain, di kalangan narapidana narkoba sendiri sering muncul kesenjangan antara narapidana lama dan baru, di penjara justru mereka merasa sedang “sekolah”, yaitu belajar kejahatan lain yang sebelumnya tidak pernah mereka ketahui karena dalam satu sel penjara tidak terdapat pemisahan kasus kejahatan. Mengingat bahwa narkoba merupakan ancaman bagi semua orang, dan adanya opini dan reaksi mayarakat yang cenderung berbeda terhadap narapidana kasus narkoba dan tindak kejahatan yang lain, serta berdasarkan pemaparan hasil pendampingan peneliti bersama WCTUI tersebut di atas yang menunjukkan beberapa kemungkinan permasalahan yang terjadi pada narapidana narkoba di RUTAN Salatiga, maka peneliti tertarik untuk meneliti, memahami, dan mengeskplorasi pemaknaan narapidana narkoba terhadap pemenjaraan. Landasan Teori Narapidana narkoba terdiri atas beberapa jenis, yaitu pemakai/pengguna narkoba, pengedar narkoba, dan kombinasi keduanya yaitu pemakai/ pengguna dan pengedar narkoba. Narapidana narkoba yang didakwa sebagai pengedar narkoba terdiri atas narapidana yang hanya memiliki/menyimpan, narapidana sebagai kurir atau pedagang perantara ataupun narapidana yang hanya menanam (BNN, 2003). Penjara menurut Poernomo (dalam Indiyah, 1997) adalah sebutan awal dari Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) di seluruh Indonesia, dan Sistem Pemenjaraan merupakan warisan penjajah yang berupa pencabutan kemerdekaan. Selain itu penjara adalah suatu tempat untuk mengurung orangorang hukuman, yang di dalamnya terdapat tindakan preventif tindak kejahatan dan tindakan kuratif memulihkan orang-orang hukuman tersebut. Menurut Poernomo (dalam Indiyah, 1997) terdapat 2 kategori penjara di Indonesia, yaitu : Rumah Tahanan (RUTAN), yaitu salah satu pemusatan penjara yang berkedudukan di tiap ibukota kabupaten atau kotamadia (KUHAP 4
HUMANITAS Vol. 6 No.1 Januari 2009
pp No.27.Th. 1883, LN, 1983-36, Pasal 18 ayat 1) dan Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS), yaitu salah satu pemusatan penjara yang berkedudukan di ibukota propinsi atau pengelolaannya dilakukan oleh daerah tingkat I. Baik RUTAN maupun LAPAS merupakan lembaga yang berfungsi sebagai tempat proses pembinaan narapidana dengan asas Pancasila serta memandang narapidana sebagai makhluk Tuhan, individu, dan anggota masyarakat, dengan Sistem Pemenjaraan yang menggunakan Prinsip Pemasyarakatan, yang meliputi pembinaan pribadi narapidana agar jangan sampai mengulangi kejahatan dan mentaati peraturan hukum, serta pembinaan hubungan antara narapidana dengan masyarakat luar agar dapat berdiri sendiri dan diterima sebagai anggota masyarakat (Poernomo dalam Indiyah, 1997). Beberapa penelitian mendeskripsikan kehidupan di dalam penjara yang berbeda dengan kehidupan di luar penjara (Constanzo, 2004), yaitu : a. Narapidana dibuang dari dunia luar, dipisahkan dari orang-orang di sekelilingnya. Narapidana kehilangan kontak secara bebas dengan dunia luar. b. Narapidana tidak mempunyai kekuatan pada aspek penting dalam kehidupannya, tidak mempunyai kehendak bebas dalam pengambilan keputusan penting untuk kehidupannya. c. Lingkungan fisik penjara yang cenderung dingin dan menindas. d. Narapidana cenderung kehilangan privasi karena berada dalam sel yang sempit dan diawasi oleh petugas. e. Adanya realitas ancaman dan kekerasan dari narapidana lain, kelompok atau gang narapidana lain, maupun dari penjaga penjara. Metode Penelitian Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologis. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara, observasi, dan diskusi kelompok terfokus. Teknik sampling yang digunakan adalah purposive sampling. Subjek penelitian sebanyak 8 orang yang terdiri dari 6 orang narapidana narkoba dengan tingkat penggunaan narkoba sebelumnya belum sampai tingkat ketagihan/ketergantungan (3 orang narapidana klasifikasi B.I, 3 orang narapidana klasifikasi B.IIa), dan 2 orang narapidana kasus non narkoba (1 orang narapidana klasifikasi B.I, 1 orang narapidana klasifikasi B.IIa). Metode analisis data mengacu pada analisis data model interaktif dari Miles & Hubberman (1994) yang terdiri dari 3 tahap, yaitu reduksi data, penyajian data, dan kesimpulan atau verifikasi. 5
Hasil Penelitian dan Pembahasan Berdasarkan hasil penelitian, ditemukan bahwa pemaknaan narapidana narkoba terhadap peristiwa penangkapan ditentukan oleh orang lain atau lingkungan (faktor eksternal), dimana mereka merasa ”apes”, ”katut” / pengembangan dari kasus lain, maupun ”pasrah” karena tidak dapat berbuat apa-apa. Jika dianalisis dengan teori atribusi Fritz Heider (dalam Sears, dkk, 1992), maka pemaknaan narapidana narkoba terhadap peristiwa penangkapannya yang ditentukan/ disebabkan oleh orang lain atau lingkungan, merupakan atribusi diri situasional, dimana faktor lingkungan di luar narapidana narkoba yang lebih kuat dan narapidana narkoba merasa tidak bisa mengontrol situasi / lingkungan, sehingga pemaknaan yang muncul adalah merasa ”apes”, ”katut” / pengembangan dari kasus orang lain, dan perasaan ”pasrah” tidak dapat berbuat apa-apa. Dalam penelitian ini, penulis juga menemukan bahwa pemaknaan narapidana narkoba pada pemenjaraan adalah sebagai berikut : 1. Ada dua pemaknaan yang berlawanan tentang pemenjaraannya, yaitu (a) pemenjaraan merupakan konsekuensi atau akibat dari kesalahan yang diperbuat sendiri, sehingga harus dijalani. Dalam hal ini narapidana merasa bersalah dan mengakui kesalahannya. Pemaknaan ini terjadi pada narapidana narkoba yang tertangkap pada saat akan melakukan transaksi dan menyadari dirinya juga terlibat dalam pengedaran narkoba. (b) Pemaknaan yang lain yang bertolak belakang adalah narapidana narkoba merasa berada di tempat yang salah karena bukan pelaku kriminal, hanya sebagai pengguna narkoba dan merasa bahwa kasusnya merupakan pengembangan dari kasus orang lain, sehingga narapidana narkoba tersebut cenderung merasa tidak bersalah dan selama di penjara merasa tidak mendapatkan sesuatu yang membuatnya sembuh dari narkoba. Pemaknaan tersebut terjadi pada narapidana narkoba yang tertangkap saat sedang memakai narkoba maupun saat berada di rumah. Pemaknaan yang berbeda antar narapidana narkoba ini menurut Tagiuri dan Petrullo (dalam Walgito, 2003), dipengaruhi oleh: (1) keadaan stimulus (dalam hal ini kondisi penjara yang dimaknai); (2) situasi atau keadaan sosial yang melatarbelakangi stimulus ; dan (3) keadaan orang yang memaknai. Mengingat kondisi penjara sebagai stimulus adalah penjara yang sama (dalam hal ini adalah RUTAN Salatiga), maka penulis melihat perbedaan pemaknaan narapidana narkoba ini lebih dipengaruhi oleh situasi / keadaan keadaan sosial yang melatar belakangi stimulus (RUTAN Salatiga) dan kondisi narapidana yang memaknai. 6
HUMANITAS Vol. 6 No.1 Januari 2009
Selain itu, menurut Carver dan Scheier (1998), setiap perilaku pasti ada penyebabnya, ada suatu proses yang mengontrol seseorang berperilaku baik yang berasal dari diri sendiri (self regulation/internal regulation), maupun dari luar (external regulation). Dalam hal ini, ketika narapidana narkoba merasa berada di tempat yang salah, tidak merasa bersalah karena bukan pelaku kriminal, hanya sebagai pengguna narkoba dan merasa bahwa kasusnya merupakan pengembangan dari kasus orang lain, itu menunjukkan bahwa self regulation ataupun kontrol diri narapidana tersebut lemah, dimana narapidana tersebut akan mengalami kesulitan untuk menyeleksi ataupun menyaring tindakan yang benar dan tindakan yang salah. Proses kontrol menurut Carver dan Scheier (1998), dapat dilihat pada bagan di bawah ini :
Goal, standard, reference values Input Function/ sensor
Comparator Output Function Effect on environment
+ Disturbance
Gambar 1. Proses Kontrol Perilaku Manusia (Carver & Scheier, 1998) Narapidana nampaknya lemah pada sensor, sehingga sulit dalam membandingkan antara keinginan dengan standar nilai, terlebih lagi narapidana mengalami gangguan dari lingkungan yang memberikan pengaruh negatif yang cukup besar. Selain itu, nampak belum adanya usaha narapidana untuk menjadi orang yang ”baik”, menjadi diri yang ideal, karena semua orang akan berproses menuju diri yang ideal atau ideal self (Burns, 1993). Selama sensor yang dimiliki oleh narapidana ini masih lemah dan tidak ada usaha untuk menjadi diri yang ideal, maka kecenderungannya besar untuk narapidana melakukan tindak kriminal seperti yang dilakukan sebelumnya. 2. Coping yang dilakukan oleh narapidana narkoba selama di penjara adalah para narapidana laki-laki berusaha dan merasa beruntung jika bisa menjadi 7
perisai supaya lebih bebas dalam hal gerak maupun fasilitas. Jika dianalisis menurut pendapat Lazarus dan Folkman (dalam Bowman dan Stern,1995), yang dilakukan oleh narapidana narkoba di atas adalah bentuk dari coping yang berorientasi pada pemecahan masalah (problem focused coping), yang meliputi usaha-usaha untuk mengatur atau merubah kondisi objektif yang merupakan sumber kecemasan, atau melakukan sesuatu untuk merubah sumber kecemasan tersebut. Problem focused coping merupakan strategi yang bersifat eksternal, dimana orientasi utamanya adalah mencari dan menghadapi pokok permasalahan dengan cara mempelajari strategi atau ketrampilanketrampilan baru dalam rangka mengurangi stresor yang dihadapi atau dirasakan. 3. Sisi positifnya, penjara sebagai sarana untuk bertobat, dan berusaha hidup lebih baik terutama bagi narapidana yang mengalami pemenjaraan yang kedua. Meskipun demikian, hampir semua narapidana narkoba tidak yakin bisa berhenti memakai narkoba setelah keluar dari penjara, sehingga hikmah yang diambil adalah belajar lebih berhati-hati jika memakai narkoba sehingga berusaha tidak tertangkap lagi. Pemaknaan tersebut di atas bisa dikatakan sebagai hal yang mendukung maupun menghambat narapidana narkoba untuk lepas dari narkoba, karena seorang narapidana narkoba selepas dari penjara akan berhenti menggunakan narkoba dan berperilaku yang lebih positif antara lain dipengaruhi oleh (Franken, 2002) : pengetahuan mereka akan bahaya narkoba ; kesiapan untuk berubah ; percaya bahwa suatu saat dirinya dapat terlepas dari narkoba ; berkembangnya self efficacy, yaitu persepsi tentang kemampuan diri untuk terlepas dari narkoba ; belajar bagaimana memaknai kegagalan, bahwa kegagalan bukan akhir dari segalanya, tetapi belajar dari kegagalan. Memaknai penjara sebagai pengalaman berharga untuk mewujudkan hidup yang lebih baik ; perubahan pandangan diri dari negatif menjadi positif. Belajar untuk tidak memfokuskan diri pada informasi-informasi yang negatif, tetapi pada hal-hal positif ; belajar memaknai kehidupan. Ketika kita memaknai hidup sebagai anugerah, maka kita akan dapat lebih menghargai kehidupan ini, termasuk kesehatan diri. 4. Di RUTAN Salatiga, meskipun kecil masih dimungkinkan pemakaian narkoba oleh narapidana. Namun, karena takut akan konsekuensinya, semua narapidana tidak memakai narkoba selama di penjara. Hal ini berarti hukuman fisik yang berat sebagai konsekuensi dari pelanggaran di penjara bisa dikatakan cukup efektif untuk membuat narapidana narkoba tidak memakai narkoba selama di penjara, meskipun 8
HUMANITAS Vol. 6 No.1 Januari 2009
ada kemungkinan untuk memakai. Dengan demikian, hukuman fisik yang berat dapat diterima oleh narapidana narkoba di RUTAN Salatiga sebagai aversive stimulus, yaitu stimulus yang tidak menyenangkan atau bersifat negatif yang mendatangkan rasa sakit atau takut, sehingga orang akan cenderung menghindarinya. Hal ini dapat digunakan sebagai kontrol eksternal (Domjan, 2003). Selain itu, penulis juga menemukan bahwa pemaknaan narapidana kasus non narkoba tentang pemenjaraan adalah sebagai berikut : 1. Perasaan tidak menyesal atau tidak bersalah karena penjara sebagai bagian dari petualangan dan bagian dari ”rencana Tuhan”. Pemaknaan ini terjadi pada narapidana yang sudah berulangkali melakukan tindak pencurian tetapi hanya 2 kali tertangkap dan masuk penjara. Di sisi lain narapidana lain tidak merasa bersalah karena merasa hanya ”kecipratan” dari kasus orang lain. Pemaknaan ini terjadi pada narapidana yang belum pernah sama sekali terlibat dalam tindak kejahatan dan merasa karena kesalahan temannya sehingga masuk penjara. Perasaan tidak menyesal atau tidak bersalah karena penjara sebagai bagian dari petualangan dan bagian dari ”rencana Tuhan”, meskipun sebenarnya tahu bahwa masyarakat umum menganggap bahwa tindakan pencurian yang dilakukannya adalah salah, tapi tidak mempedulikannya merupakan pemaknaan yang cukup unik. Selain itu, muncul ungkapan bahwa keberadaannya di penjara merupakan bukti dari pertanggungjawaban narapidana atas tindakan yang dilakukan. Penulis melihat bahwa pemahaman yang keliru tentang rencana Tuhan membuat narapidana tersebut memaknai pemenjaraannya secara berbeda. Selain itu, dari ungkapan-ungkapan dan keseharian narapidana tersebut selama di penjara, penulis menduga, narapidana tersebut mempunyai kepribadian yang unik, yang berbeda dengan orang pada umumnya. Narapidana tersebut mempunyai tingkah laku yang menyimpang dari norma-norma umum, dimana dianggap wajar oleh yang bersangkutan, tetapi dianggap menyimpang / sosiopatik oleh sebagian besar anggota masyarakat lainnya. Kepribadian disebut dengan kepribadian sosiopatik yang menurut Kartono (2005) merupakan hasil dari proses diferensiasi, individualisasi, dan sosialisasi individu. Jika narapidana tersebut mempunyai kepribadian sosiapatik, maka diprediksikan perilaku pencurian tersebut masih akan diulangnya ketika berada di luar penjara. Meskipun demikian, untuk menegakkan diagnosa tipe kepribadian sosiopatik pada narapidana tersebut perlu dilakukan asesmen lebih lanjut. Sementara, narapidana kasus non narkoba yang lain, merasa tidak bersalah karena beranggapan bahwa kasusnya bukan merupakan 9
kesalahannya, melainkan ia hanya ”katut” / ”kecipratan” sehingga dianggap salah. Pemaknaan ini menurut teori atribusi (Sears, 1992) merupakan atribusi eksternal atau situasional, dimana narapidana memaknai pemenjaraannya disebabkan oleh situasi atau hal-hal di luar dirinya, sehingga ia tidak merasa bersalah. Pemaknaan ini berdampak pada sikap terhadap pekerjaan dan rencana narapidana setelah keluar dari penjara yang sudah jelas, yaitu tidak takut dengan respon masyarakat dan akan tetap menjalankan pekerjaan lamanya, namun dengan lebih hati-hati dan teliti. Hal tersebut menunjukkan adanya konsistensi kognitif dalam diri narapidana. Di sisi lain, seseorang dimungkinkan bisa mengalami distorsi atau kesalahan dalam melakukan atribusi dengan menonjolkan faktor situasi atau hal-hal di luar dirinya, karena orang tersebut sangat dipengaruhi oleh kebutuhan untuk mendukung atau melindungi harga diri mereka. Pemaknaan bahwa diri sendiri tidak bersalah meskipun berada di dalam penjara, juga menunjukkan bahwa kontrol diri narapidana tersebut lemah. Hal ini memungkinkan narapidana tersebut untuk melakukan hal yang sama setelah keluar dari penjara. 2. Pada narapidana yang pertama kali mengalami pemenjaraan, bayangan awal tentang penjara sebagai tempat yang menakutkan tidak sesuai dengan kenyataan yang ada. Hal tersebut senada dengan pendapat Latifa (1994) tentang masih banyak narapidana dan masyarakat umum yang mempersepsi dan menyebut RUTAN maupun LAPAS dengan penjara dengan konsep yang lama. Selain itu, skema tentang penjara yang sebagai suatu tempat yang menakutkan diperoleh narapidana dari informasi melalui media massa maupun opini masyarakat, sangat berpengaruh pada bayangan awal narapidana terhadap penjara. Meskipun skema dapat berguna untuk memproses informasi secara lebih cepat, efisien, membantu ingatan, mengisi informasi yang tercecer, dan melengkapi harapan normatif, namun skema terkadang dapat memberikan kesalahan informasi karena kenyataan yang ada tidak konsisten dengan skema (Sears,dkk,1992). Hal ini pun yang dialami oleh narapidana di RUTAN Salatiga. 3. Pada narapidana yang mengalami 2 kali pemenjaraan, tidak ada perbedaan yang signifikan antara pemenjaraan yang pertama dan kedua, namun pemenjaraan kedua bisa membuat narapidana menjadi ”kapok”. Penulis cenderung agak meragukan “kapok”nya narapidana tersebut, karena pemaknaan sebelumnya yaitu perasaan tidak bersalah / tidak menyesal, dan tidak peduli meskipun tahu bahwa masyarakat umum mengganggap bahwa kasus pencuriannya adalah salah. ”Kapok”/jera 10
HUMANITAS Vol. 6 No.1 Januari 2009
disini bukan pada tidak mau mengulangi tindak kriminal lagi, tetapi berupaya untuk tidak masuk lagi ke dalam penjara, sehingga sangat dimungkinkan narapidana akan mencari cara supaya tidak tertangkap. Hal tersebut senada dengan artikel Kompas (2007) yang mengatakan bahwa pemenjaraan nampaknya kurang efektif dalam memberikan efek jera. 4. Keberadaan narapidana di penjara merupakan bukti dari pertanggungjawaban narapidana atas tindakan yang dilakukan, terlepas dari perasaan bersalah ataupun tidak. Menurut Kaligis dan Dirdjosisworo (2006), setiap perilaku mempunyai konsekuensi, dan manusia harus bertanggungjawab terhadap setiap perilakunya. Selaras dengan hal itu, pemaknaan narapidana tentang keberadaannya di penjara merupakan bukti dari pertanggungjawaban narapidana atas tindakan yang dilakukan, menunjukkan adanya kesadaran akan pertanggungjawaban dari setiap perilaku. Kesadaran tersebut merupakan hal yang positif yang mendukung tujuan pemenjaraan. 5. Penjara sebagai tempat yang tidak menyenangkan karena kehilangan kebebasan, sehingga narapidana merasa bosan, dirasakan baik oleh narapidana yang mengalami pemenjaraan untuk pertama kalinya ataupun kedua kali. 6. Di RUTAN Salatiga sering terjadi ketidakselarasan antara aturan dan prakteknya, misalnya dalam hal uang dan cinta. Adanya pengecualian terhadap narapidana yang mendapat kepercayaan petugas. Pemaknaan penjara sebagai tempat yang tidak menyenangkan karena kehilangan kebebasan, sehingga narapidana merasa bosan dan di RUTAN Salatiga sering terjadi ketidakselarasan antara aturan dan prakteknya karena adanya pengecualian terhadap narapidana yang mendapat kepercayaan petugas merupakan pemaknaan yang umum terjadi di RUTAN Salatiga karena dialami oleh narapidana baik yang kasus narkoba maupun kasus non narkoba. Kesimpulan Ketika individu berinteraksi dengan lingkungannya, maka individu tersebut akan cenderung memaknai interaksinya dengan lingkungan tersebut sehingga individu dapat menyadari dan mengerti keadaan lingkungannya. Pemaknaan ini akan berpengaruh pada sikap dan perilaku individu tersebut. Pemaknaan bersifat subjektif, artinya masing-masing orang bisa memaknai secara berbeda meskipun mengalami hal yang sama. Faktor-faktor yang mempengaruhi perbedaan pemaknaan individu 11
terhadap sesuatu hal adalah faktor internal, yaitu kondisi individu itu sendiri dan faktor eksternal, yaitu kondisi stimulus dan situasi atau keadaan sosial yang melatarbelakangi stimulus. Narapidana sebagai individu yang telah terbukti melakukan tindak pidana, yang oleh pengadilan dijatuhi hukuman atau pidana dan dikirim ke RUTAN atau LAPAS untuk menjalani hukuman dan pembinaan sampai habis masa pidananya. Narapidana tersebut ketika berada di RUTAN / LAPAS juga akan memaknai lingkungannya dan interaksinya dengan lingkungan. Di Rutan Salatiga, ditemukan bahwa tindak kriminalitas baik kasus narkoba maupun non narkoba, dengan pemenjaraan pertama maupun kedua, dipengaruhi oleh pengaruh negatif yang besar dari lingkungan dan karakteristik narapidana, yaitu kontrol diri yang lemah, sehingga sulit untuk menyeleksi suatu tindakan itu benar atau salah menurut norma. Kesadaran narapidana bahwa tindakan yang dilakukan merupakan tindak kriminalitas atau bukan, berpengaruh pada pemaknaan narapidana terhadap penangkapannya itu ditentukan oleh faktor eksternal ataupun faktor internal, dan perasaan bersalah atau tidak bersalah. Pengalaman pemenjaraan (pemenjaraan merupakan pengalaman pertama atau kedua) dan kondisi penjara berpengaruh pada pemaknaan terhadap pemenjaraan yang bersifat negatif ataupun positif. Penulis memprediksikan bahwa setelah keluar dari penjara, kemungkinan besar narapidana akan melakukan lagi tindak kriminalitas seperti yang dilakukan sebelumnya, khususnya pada narapidana narkoba, sehingga kemungkinan untuk masuk lagi ke penjara cukup besar. Hal tersebut disebabkan kontrol diri narapidana yang lemah, tidak adanya usaha narapidana untuk menjadi diri yang ideal, serta belum adanya program pembinaan untuk menumbuhkan kontrol diri internal selama pemenjaraan. Saran Berdasarkan hasil penelitian ini, ada beberapa saran yang diajukan oleh peneliti kepada beberapa pihak lain. 1. Narapidana Dengan bantuan konselor, narapidana perlu belajar lebih memahami karakteristik kepribadiannya, dan menumbuhkan kontrol diri yang kuat supaya bisa mencegah pengaruh negatif dari lingkungan. Narapidana perlu belajar tentang hukum, sehingga mempunyai kesadaran hukum, menyadari secara objektif bahwa suatu tindakan itu 12
HUMANITAS Vol. 6 No.1 Januari 2009
merupakan pelanggaran hukum ataupun tidak. 2. Petugas Penjara / Rutan Petugas penjara (dalam hal ini petugas RUTAN Salatiga) sebagai ujung tombak pembinaan bagi narapidana hendaknya melihat kembali filosofi pemasyarakatan, sehingga dapat mendidik para narapidana menjadi manusia yang utuh dan lebih baik. Para petugas hendaknya perlu memperhatikan kemungkinan pemanfaatan oleh narapidana dari kedekatan hubungan. Petugas hendaknya konsisten dengan penerapan aturan yang diberlakukan. Petugas juga perlu melakukan pendampingan lebih intensif pada narapidana khususnya saat awal pemenjaraan dan menjelang bebas. 3. RUTAN Salatiga RUTAN sebagai lembaga pembinaan bagi narapidana perlu memperbanyak jejaring atau kerja sama dengan banyak pihak supaya lebih variatif dalam pembinaan dan lebih berdaya guna untuk narapidana. RUTAN perlu melakukan pembinaan untuk menumbuhkan kontrol diri internal narapidana, hal ini bisa dilakukan dengan bekerja sama dengan lembaga/intansi lain yang berkompeten, seperti lembaga psikologi maupun lembaga keagamaan. Perlu pembinaan tentang hukum pada narapidana, supaya para narapidana lebih menyadari secara objektif bahwa tindakan yang dilakukannya merupakan pelanggaran hukum atau tidak. Selain itu, perlu dilakukan evaluasi secara berkala terhadap model pembinaan dan kerja sama dengan lembaga atau pihak lain. 4. Lembaga / Instansi yang bekerjasama dengan RUTAN Diharapkan dalam melakukan pembinaan memperhatikan kebutuhan narapidana. Selain itu, perlu melakukan evaluasi kegiatan secara berkala, supaya dapat diketahui tercapai atau tidaknya tujuan kegiatan. Terkhusus untuk WCTUI sebagai lembaga yang melayani pendampingan narapidana narkoba di RUTAN Salatiga, perlu melakukan pendampingan yang bersifat terapeutik sehingga bisa membuat narapidana narkoba lebih memahami kondisi kepribadiannya, menumbuhkan kemampuan kontrol diri internal, dan mempunyai keyakinan diri untuk bisa berhenti memakai narkoba setelah keluar dari penjara. 13
5. Peneliti lain Bagi peneliti lain yang berminat pada masalah narapidana, diharapkan dapat memperluas kawasan penelitian dengan Subjek yang lain, seperti narapidana kasus-kasus kriminal yang lain selain narkoba, maupun lokasi penelitian yang lain. Penelitian juga bisa diperkaya dengan penggunaan metode penelitian kuantitatif. Selain itu, peneliti lain dapat mengkaji pemaknaan narapidana dengan model lain, seperti model dekonstruksi, model social action, ataupun model buffer. Daftar Pustaka Baron, R.A, Byrne, D. 2003. Social Psychology. New York : Allyn & Bacon BNN. 2003. Seputar Narapidana Narkoba. Majalah No. 03 Tahun II/2003 Bowman, G.D,& Stern, M.1995. Adjusment to Occupational Stress : The Relationship of Perceived Control to Effectiveness of Coping Strategies. Journal of Counseling Psychology. 60.294-303 Burn, R.B. 1993. The Self Concept : Theory, Measurement, Development, and Behavior. London : Longman Group UK, Ltd. Carver, C.S & Scheier, M.F. 1998. On the Self Regulation of Behavior. New York : Cambridge University Press Constanzo, M. 2004. Psychology Applied to Law. Canada : Wadsworth. Domjan, M. 2003. The Principles of Learning and Behavior. United States : Wadsworth/Thomson Learning. Franken, R.E. 2002. Human Motivation. USA : Wadswort/Thomson Learning. Golder, S., Ivanof, A., Cloud, N.R., Besel, K.L., McKirnaen, P., Bratt, E., Bledsoe, L.K. 2005. Evidance Based Practice With Adults in Jails and Prisons : Strategies, Practices, and Future Directions. Best Practices in Mental Health, Vol. 1, No. 2. Indiyah. 1997. Hubungan antara religiusitas dan kepercayaan diri dengan kecemasan narapidana menjelang masa bebas. Tesis. Tidak Diterbitkan. Yogyakarta : Universitas Gadjah Mada Kaligis, O.C. & Dirdjosisworo, S. 2006. Narkoba dan Peradilannya di Indonesia. Reformasi Hukum Pidana Melalui Perundangan dan Peradilan. Jakarta: O.C Kaligis & Associates. 14
HUMANITAS Vol. 6 No.1 Januari 2009
Kartono, K. 2005. Patologi Sosial. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada. Kompas. 2007. Penjara Belum Memberikan Efek Jera. Surat Kabar Harian, 11 November 2007 Keluar Penjara, Faisal Pilih-Pilih Teman diambil pada 7 Juni 2007 dari http:// selebriti.kapanlagi.com/faisal/index.html Latifa, S. 1994. Perubahan Kepribadian Narapidana Sesudah Menerima Pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan. Skripsi. Tidak Diterbitkan. Yogyakarta : Universitas Gadjah Mada Lewicki,R.J. & Bunker, B.B. 1996. Developing and Maintaining Trust in Work Relationship. In Kramer, R.M. & Tyler, T.R (eds.). Trust in Organization : Frontier of Theory and Research. London : Sage Publication Miles, M.B & Huberman, A. 1994. Qualitative Data Analysis, A Sourcebook of New Method. California : Sage Publication. Rata-rata tahanan/narapidana kasus narkoba pada tahun 2001 di Indonesia. Diambil pada 23 Januari 2005, dari http://www.correct.go.id/ ind/ stsubs,htm. Roy Marten Bakal Meriahkan Kampanye Anti Narkoba di Makassar, diambil pada 7 Juni 2007 dari http://www.kapanlagi.com/h/.html Sadar. 2006. Seputar BNN. Majalah. No.03/Th IV/Maret 2006. Sears, D.O., Freedman, J.l., Pepleau, L.A.. 1992. Psikologi Sosial. Jakarta : Erlangga. Selebriti, ”Infotainment”, dan Narkoba, diambil pada 7 juni 2007 dari http:// www.pikiran-rakyat.com/.htm. Walgito, B. 2003. Psikologi Sosial. Suatu Pengantar. Yogyakarta : Penerbit Andi.
15