1
EFEKTIVITAS PELAKSANAAN CUTI BERSYARAT DALAM RANGKA PEMBINAAN NARAPIDANA DI RUMAH TAHANAN NEGARA KLAS I MAKASSAR Conditional Leave Efeivitas Implementation Guidance in The Context of State Prison InmatesiIn Class I Of Makassar
Nasir
ABSTRAK Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan keputusan Menteri Hukum dan HAM RI No. M. 01.PK.04.01 Tahun 2007 Tanggal 16 Agustus 2007 tentang : Syarat dan tata cara pelaksanaan asimilasi pembebasan bersyarat cuti menjelang bebas dan cuti bersyarat untuk dipedomani dan dilaksanakan pada lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan negara klas I makassar. Faktor sosialisasi masa hukuman dan peran masyarakat mempengaruhi efektivitas pelaksanaan cuti bersyarat dalam rangka pembinaan narapidana, dalam pelaksanaannya yang diberikan delegasi kepada kepala kantor wilayah Kementerian Hukum dan HAM RI dalam pengambilan kebijakan bersifat subyektif karena dapat mengeluarkan keputusan yang memberikan cuti bersyarat kepada narapidana yang berhak mendapatkannya sehingga pemenuhan hak narapidana dapat tercapai kedua faktor struktur hukum, yakni peran petugas dalam pelaksanaan tugas pemasyarakatan masih kurang profesional khususnya dalam hal kinerja petugas dalam menentukan tindakan disiplin terhadap narapidana yang melakukan pelanggaran. Kata Kunci: Cuti Bersyarat
ABSTRACT The results of this study indicate that the implementation of Decree of the Minister of Justice and Human Rights RI Number: M.01.PK.04.01 Year 2007 dated August 16, 2007 about: Terms and procedures for the implementation of assimilation, Parole, Furlough towards a free and unconditional leave to guided and held at the correctional institution and the class I state prison sentence Makassar.Faktor socialization and the role of community influence the effectiveness of the implementation of conditional leave of absence in order to develop a convict, in practice given the delegation to the head office of the ministry of law and human rights in policy-making is subjective because may issue a decision that gave conditional leave to eligible prisoners so that inmates can be achieved fulfillment of the legal structure of the two factors, namely the role of correctional officers in the execution of tasks is less professional, especially in the performance of worker rights in determining disciplinary action against inmates who commit violations. Keyword: Guidance in the Context of State Prison Inmates
2
PENDAHULUAN Latar Belakang Pembinaan narapidana dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, Intelektual, sikap dan perilaku, professional serta kesehatan jasmani dan rohani narapidana. Perlakuan terhadap narapidana atau warga binaan pemasyarakatan dengan sistem pemasyarakatan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan. Dalam menjalani masa pidana di Rumah Tahanan Negara atau Lembaga Pemasyarakatan, narapidana pada dasarnya mempunyai hak sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Permasyarakatan Pasal 14 ayat (1), Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1999 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, terutama hak-hak yang dimiliki narapidana seperti hak beribadah, hak perawatan jasmani maupun rohani, pelayanan kesehatan, pendidikan dan pengajaran serta hak-hak lainnya harus dilindungi dan dijamin. Dengan kata lain tidaklah berarti orang yang menjalani masa pidana, hak-hak kewarganegaraan dan kemanusiaannya menjadi hilang. Selanjutnya dinyatakan pula didalam Bab 1 Pasal 3 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHP Perdata) Yaitu “tiada satu Hukuman pun yang mengakibatkan kematian perdata atau kehilangan segala hak kewarganegaraan”. Untuk itu dalam menerapkan perlakuan kepada narapidana atau warga binaan pemasyarakatan, dalam konteks pemidanaan apapun bentuk dan model-model alternatif pembinaannya, (pidana pengawasan dan pidana kerja sosial) harus senantiasa menjamin dan melindungi hak-hak asasi manusia sesuai dengan sistem pemasyarakatan. Prinsip ini berorientasi pada pengayoman dan binaan, dengan mempersiapkan narapidana dan anak didik pemasyarakatan untuk reintegrasi secara sehat dengan masyarakat. Wujudnya adalah memberikan bimbingan dan pembinaan dengan membaurkan narapidana ditengah masyarakat yaitu melalui program asimilasi, pembebasan bersyarat, cuti menjelang bebas, cuti Bersyarat dan cuti mengunjungi keluarga. Sesuai dengan Pasal 4 Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor : M.01.PK.04-10. Tahun 2007 Tentang Assimilasi, pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang bebas dan cuti bersyarat, bahwa tujuan diselenggarakannya proses asimilasi, pembebasan bersyarat, cuti menjelang bebas, dan cuti bersyarat bagi narapidana adalah : 1. Membangkitkan motivasi atau dorongan pada diri narapidana dan anak didik pemasyarakatan kearah pencapaian tujuan pembinaan. 2. Memberikan kesempatan bagi narapidana dan anak didik pemasyarakatan untuk kegiatan pendidikan dan keterampilan guna mempersiapkan diri hidup mandiri ditengah masyarakat setelah bebas menjalani pidana. 3. Mendorong masyarakat untuk berperan serta secara efektif dalam penyelenggaraan pemasyarakatan. Rumusan Masalah Berdasarkan dengan hal tersebut diatas, maka penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah efektivitas pelaksanaan cuti bersyarat dalam rangka pembinaan Narapidana di Rumah Tahanan Negara Klas I Makassar ? 2. Sejauhmana faktor sosialisasi, masa hukuman dan peran masyarakat mempengaruhi efektivitas pelaksanaan cuti bersyarat dalam rangka pembinaan Narapidana di Rumah Tahanan Negara Klas I Makassar ?
3
Tujuan penelitian : 1. Untuk mengkaji dan menganalisis bagaimanakah efektivitas pelaksanaan cuti bersyarat dalam rangka pembinaan Narapidana di Rumah Tahanan Negara Klas I Makassar. 2. Untuk mengkaji dan menganalisis sejauh manakah faktor sosialisasi, dan peran masyarakat mempengaruhi efektivitas pelaksanaan cuti bersyarat dalam rangka pembinaan Narapidana di Rumah Tahanan Negara Klas I Makassar. TINJAUAN PUSTAKA Dalam kaitannya dengan teori hukum, Satjipto Rahardjo (2000:253) mengemukakan bahwa teori merupakan kedudukan yang penting, ia memberikan sarana kepada kita untuk bisa merangkum serta memahami masalah yang kita bicarakan secara lebih baik. Sehingga dengan menggunakan pendekatan teori hukum akan membantu manusia dalam menyelesaikan suatu masalah. Demikian juga kita orang menguasai teori hukum paling tidak ia mampu menalar terhadap persoalan hukum. Lawrence M Friedman (Satjipto Rahardjo, 2000:254) mengemukakan bahwa teori hukum akan mempermasalahkan hal–hal seperti : mengapa hukum itu berlaku? Apa dasar kekuatan yang mengikat? Apa yang menjadi tujuan hukum? Bagaimana seharusnya hukum itu dipahami? Apa hubungan individu dengan masyarakat? Apa keadilan itu? Bagaimanakah hukum yang adil?. Pengertian efektifitas sebenarnya telah banyak diistilahkan dalam berbagai pembicaraan baik yang bersifat formal maupun informal. Namun efektifitas hukum disini merupakan esensi dalam penegakan hukum yang mempunyai kaitan erat antara komponen satu dengan komponen lainnya. Menurut Soerjono Soekanto (2002:5) faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum (efektifitas Hukum ) di bagi menjadi 5 (lima) faktor yaitu : 1. Substansi hukum; 2. Struktur hukum; 3. Sarana atau Fasilitas; 4. Dukungan masyarakat; 5. Budaya hukum; 6. Rumah Tahanan Negara Rumah Tahanan Negara dalam menjalankan tugas wewenang dan tanggung jawab berdasarkan peraturan pemerintahan No. 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan Undangundang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dalam Pasal 18 dan pereturan pemerintah No. 58 Tahun 1999 Tentang Syarat dan Tata Cara pelaksanaan Tugas, Wewenang dan tanggung jawab perawatan tahanan. Rumah Tahanan Negara adalah suatu unit pelaksana teknis yang melaksanakan tugas dibidang perawatan Negara dan pembinaan narapidana. Sebelumnya pemidanaan terhadap narapidana dikenal dengan istilah penjara sebagai tempat (Lembaga) memidana seseorang terpidana atau narapidana sudah dikenal di Indonesia sejak Tahun 1873 ( Bambang Purnomo, 1986 :338 ). Dengan demikian mereka bukan saja dihukum secara fisik dan pidana badanya melainkan juga mengalami isolasi sosial, karena pada waktu itu dasar hukum pada system pemidanaan yang digunakan adalah Reglament Penjara 1917. Sistem pemidanaan ini telah di rubah dengan sistem “ Lembaga Pemasyarakatan” berdasarkan surat instruksi kepala Direktorat Pemasyarakatan No. J.H.G.8 506 Tgl 17 Juni 1964 dalam surat keputusan itu disebutkan bahwa pemasyarakatan adalah suatu proses therapeutic
4
Narapidana pada saat masuk Lembaga Pemasyarakatan dianggap dalam keadaan tidak harmonis dengan masyarakatnya, mempunyai hubungan negatif dengan beberapa unsur masyarakat. Oleh karena itu perlu mendapatkan pembinaan agar nantinya dapat menyatu kembali dengan utuh didalam masyarakat dengan nilai keharmonisan. Menurut Adnan Buyung Nasution (1993:235) menyatakan bahwa “ pemidanaan atau hukuman tidak boleh mengandung siksaan yang kejam tidak manusiawi, serta ada jaminan bahwa serta individu harus diperlakukan sebagai manusia sesuai dengan kodratnya’’. Tidak di benarkan adanya perampasan hak-hak asasi manusia, walaupun statusnya narapidana yang hilang kemerdekaanya. Berbeda dengan pendapat ( Wirjono Prodjodikoro, 1986 :23 ) beliau mengatakan bahwa : “ terdapat pandangan negatif terhadap sistem pemidanaan apalagi terhadap keseluruhan sistem hukum yang berlaku, maka tujuan pemidanaan dalam aspek prevensinya maupun konsep Lembaga Pemasyarakatan menjadi tidak berguna”. Pengertian Narapidana Mengenai istilah narapidana dijelaskan sebagai berikut: narapidana adalah manusia yang karena perbuatannya melanggar norma hukum, maka dijatuhi hukum pidana oleh hakim (Santoso, 1987:36). Narapidana adalah manusia biasa seperti manusia lainnya hanya karena melanggar norma hukum yang ada, maka dipisahkan oleh hakim untuk menjalani hukuman (Dirjosworo, 1992:192). Narapidana adalah seorang yang merugikan pihak lain yang kurang mempunyai rasa tanggung jawab terhadap Tuhan dan masyarakat serta tidak menghormati hukum (Dirdjosworo, 1992:192). Narapidana adalah orang tahanan, orang yang ditahan di lembaga permasyarakatan atau Rumah Tahanan Negara (Simorangkir, 1987:102). Narapidana adalah seorang anggota masyarakat yang dipisahkan dari induknya dan selama masa waktu tetentu itu diproses dalam lingkungan tempat tertentu dengan tujuan, metode dan sistem permasyarakatan, pada suatu saat narapidana itu kembali menjadi anggota masyarakat yang baik dan taat kepada hukum (Purnomo, 1985:162). Pengertian narapidana tersebut adalah seseorang yang telah melanggar kaidah atau norma hukum yang ada di masyarakat karena tindakannya, sehingga dia dikenai sanksi berupa hukuman oleh keputusan pengadilan. Pengertian dan Tujuan Pemidanaan Adanya pemidanaan tidak dapat dihindarkan di dalam masyarakat, walaupun harus diakui bahwa pemidanaan memang merupakan alat pertahanan terakhir. Hal itu merupakan akhir dan puncak keseluruhan sistem upaya-upaya yang dapat menggerakkan manusia melakukan tingkah laku tertentu seperti yang diharapkan masyarakat. Anggota masyarakat diharapkan melakukan perbuatan-perbuatan sesuai yang ditentukan masyarakat. Penyimpangan atas ketentuan-ketentuan itu akan mengakibatkan celaan masyarakat dengan berbagai macam bentuknya, hal tersebut merupakan upaya penekanan anggota masyarakat agar tidak bersifat asosial. Pada tingkat akhir dalam dunia hukum digunakanlah upaya-upaya yang lebih keras sifatnya sama, yaitu sebagai upaya menekan. Suatu perbuatan yang melawan hak, misalnya dapat mengakibatkan kewajiban mengganti kerugian terhadap orang yang dirugikan, hal ini merupakan sanksi perdata. Di samping sanksi perdata ada sanksi-sanksi lain seperti sanksi administrasi dan sanksi pidana. Suatu pidana sebagai sanksi dapat menjadi keras sekali dirasakan, hal ini kadang-kadang sampai menghilangkan kemerdekaan seseorang beberapa bulan atau bahkan sampai beberapa tahun lamanya dan
5
ada kalanya kemerdekaan yang dirampas itu mempunyai arti sangat besar terhadap sisa hidup orang yang dikenainya. Pengertian Cuti Bersyarat Cuti bersyarat adalah proses pembinaan di luar Rumah Tahanan Negara/ Lembaga Pemasyarakatan bagi Narapidanan dan Anak Didik yang dipidana 1 (satu) tahun ke bawah, sekurang-kurangnya telah menjalani 2/3 (dua pertiga) masa pidana. Pelaksanaan hak narapidana mendapat Cuti Bersyarat berdasarkan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI Nomor : M.01.PK.04.01 tahun 2007 tanggal 16 Agustus 2007 tentang : Syarat dan tata cara pelaksanaan Assimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang bebas dan Cuti Bersyarat untuk dipedomani dan dilaksanakan, maka dengan ini dikeluarkan petunjuk teknis pelaksanaan cuti bersyarat sebagai berikut : a. Narapidana yang mendapat Cuti Bersyarat adalah narapidana yang menjalani pidana kurungan pengganti denda kurang dari satu tahun. b. Terhadap narapidana kasus Korupsi yang dalam amar putusan Pengadilan terdapat pidana pengganti berupa sejumlah uang, apabila dalam waktu tertentu uang pengganti tidak dibayar diganti dengan pidana penjara pengganti tersebut digabungkan dengan pidana pokok. c. Narapidana kasus korupsi yang amar dalam putusan pengadilan hanya tercantum harus membayar uang pengganti, apabila uang pengganti tersebut tidak dibayar, tetap dapat diusulkan mendapatkan Cuti Bersyarat. d. Bagi narapidana yang harus menjalani pidana kurang pengganti denda sedangkan pengusulan Cuti Bersyarat menjalani keterlambatan, maka tanggal menjalani pidana kurungan pengganti denda tersebut dimulai sejak tanggal surat keputusan Cuti Bersyarat. e. Bagi narapidana yang harus menjalani kurangan pengganti denda sedangkan pengusulan Cuti Bersyarat mengalami keterlambatan, maka tanggal menjalani pidana kurungan pengganti denda dimulai sejak tanggal surat keputusan Cuti Bersyarat. f. Jangka waktu Cuti Bersyarat sama dengan Remisi terakhir paling lama 6 (enam) bulan, Remisi terakhir dimaksud adalah jumlah Remisi Umum dan Remisi Khusus yang diterima pada tahun tersebut. METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Tahanan Negara Klas I Makassar. Dipilihnya lokasi penelitian tersebut karena pertimbangan obyektif, antara lain : padatnya rata-rata hunian perbulan bahkan terjadi over Kapasitas, penghuni yang ada melampaui daya tampung yang tersedia, dalam proses peradilan pidana terpadu beralihnya status seorang tahanan menjadi narapidana sebagai syarat dalam pemberian Cuti Bersyarat secara kuantitas terbanyak dibanding Rumah Tahanan Negara / Lembaga Pemasyarakatan yang ada di Sulawesi Selatan dan merupakan barometer dalam hal pembinaan narapidanan untuk wilayah Indonesia Timur. Analisa Data Dalam penelitian ini analisis data yang digunakan adalah: 1. Analisis kualitatif, yakni analisis data dengan menggunakan tolok ukur penilaian (volume) norma dan kaidah-kaidah tertentu, terutama ditujukan pada hasil wawancara terhadap responden; 2. Analisis kuantitatif, yakni analisis data dengan menggunakan perhitungan angka-angka terhadap variable tertentu, kemudian membuat presentase untuk menarik kesimpulan
6
dengan menggunakan metode analisisa statistik deskriptif, Kemudian dilakukan interpretasi terhadap tabel-tabel frekuensi secara kualitatif. HASIL DAN PEMBAHASAN Faktor – Faktor Yang Menghambat Pemberian Cuti Bersyarat Sosialisasi Sosialisasi merupakan suatu upaya pemberian pemahaman kepada petugas pemasyarakatan, narapidana, dan masyarakat tentang eksistensi pelaksanaan cuti bersyarat. Untuk mengetahui pengaruh faktor ini, dilakukan wawancara terhadap pejabat dan masyarakat terkait. Faktor ini menghambat pelaksanaan pemberian cuti bersyarat, karena ketidakpahaman petugas dan narapidana tentang cuti bersyarat. Berdasarkan hasil penelitian melalui wawancara kepada beberapa responden, di temukan data bahwa para pejabat Rumah Tahanan Makassar sangat jarang memberikan sosialisasi kepada narapidana, terkait keberadaan cuti bersyarat, dan apa-apa yang harus dilakukan oleh narapidana agar bisa memenuhi criteria untuk diberikan cuti bersyarat. Padahal, sosialisasi sangat penting untuk menunjang optimalisasi pelaksanaan cuti bersyarat di Rutan Makassar. Begitu pula pihak kantor wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, sangat jarang memberikan sosialisasi di Rumah Tahanan Makassar terkait pelaksanaan cuti bersyarat. Untuk memberikan pemahaman tentang kompleksnya tugas petugas pemasyarakatan, fungsi petugas pemasyarakatan sangat diperlukan, , salah satu hal yang harus dilakukan adalah melakukan sosialisasi. Agar keefektifan sosialisasi tentang cuti bersyarat bisa tercapai, harus mempunyai tujuan yang jelas, yaitu: Pertama, bagaimana membangun apresiasi dan kesadaran para pemangku kepentingan (stakeholder) dalam program pemberian cuti bersyarat kepada narapidana agar mempunyai sikap dan perilaku positif dalam mendukung dan mewujudkan efektifitas pelaksanaan cuti bersyarat. Sosialisasi juga sangat penting dalam rangka meningkatkan pengetahuan, apresiasi dan kesadaran petugas pemasyarakatan, narapidana dan masyarakat terkait, terhadap pentingnya cuti bersyarat bagi pemenuhan hak-hak narapidana. Karena bagaimanapun, partisipasi dari ketiga unsur (narapidana, petugas pemasyarakatan dan masyarakat) sangat dibutuhkan. Sosialisasi terkait cuti bersyarat bisa dilakukan dengan berbagai cara, seperti melalui pendekatan perorangan, kelompok dan masyarakat luas. Cara lainnya, dengan menyebarluaskan informasi tentang cuti bersyarat melalui penyelenggaraan seminar, penyuluhan, pemasangan poster di tempat strategis, penyebaran brosur, perlombaan, pertemuan pers secara berkala dan sebagainya, akan mendukung efektifitas pelaksanaan cuti bersyarat, setidaknya esensi cuti besrsyarat dapat diketahui bukan saja oleh narapidana dan petugas pemasyarakatan, akan tetapi juga masyarakat. Peran Masyarakat Keterlibatan atau keikut sertaan masyarakat yang memiliki pengaruh yang besar dalam mendukung pelaksanaan cuti bersyarat, khususnya pembinaan terhadap narapidana yang sedang menjalani cuti bersyarat dengan bentuk antara lain, tidak memberikan label atau stigma penjahat kepada narapidana tersebut. Peran masyarakat (keluarga para narapidana) merupakan faktor internal yang sangat penting untuk kembali membentuk jiwa dan rasa kepercayaan pada diri para narapidana setelah bebas dari Rumah Tahanan untuk kembali hidup bermasyarakat.
7
Faktor eksternal dari pemerintah, tokoh-tokoh masyarakat dan lingkungan sekitar juga sangat penting dalam membentuk jiwa dan moral para narapidana setelah bebas dari Rumah Tahanan agar dapat kembali menjadi warga masyarakat yang baik, sehingga mereka memiliki jiwa dan moral yang kokoh dalam menghadapi gejolak yang terjadi di masyarakat, seperti adanya penghinaan, pelecehan dan lain-lain. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis di Kota Makassar, melalui wawancara kepada beberapa responden, diketahui bahwa para narapidana setelah bebas dari Rumah Tahanan dalam hal mencari pekerjaan tidak mendapatkan suatu kemudahan, karena kurang adanya rasa kepercayaan masyarakat terhadap narapidana setelah bebas dari Rumah Tahanan, hal ini menunjukkan bahwa para narapidana keberadaannya kurang dapat diterima di masyarakat, sehingga mereka banyak yang kembali melakukan tindak kejahatan atau bahkan tingkat kejahatan yang dilakukannya cenderung meningkat. Hal ini menunjukkan eksistensi masyarakat dalam pelaksanaan cuti bersyarat, kurang berperan. Ketika dilakukan wawancara kepada responden (masyarakat) yang telah ditunjuk, masyarakat beralasan bahwa mereka kurang paham tentang bagaimana perlakuan yang harus diberikan kepada narapidana yang sedang melakukan cuti bersyarat atau narapidana yang telah bebas. KESIMPULAN 1. Penulis menarik suatu kesimpulan bahwa cuti bersyarat bagi narapidana di Rumah Tahanan Negara Klas I Makassar, masih belum efektif, meskipun substansi ketentuan tentang cuti bersyarat sudah sanagat representatif. Struktur hukum (Petugas Rumah Tahanan Makassar) tidak melaksanakan tugas dengan baik, dan jauh dari objektif. Begitu pula budaya hukumnya, petugas Rutan Makassar cenderung melaksanakan tugasnya (terkait pemberian cuti bersyarat) beradasrkan kebiasaan, bukan berdasarkan ketentuan yang berlaku, sehingga pelaksaanaannya subjektif; 2. Selain hal tersebut diatas, faktor sosialisasi yang sangat minim dari pihak terkait dan faktor peran masyarakat yang tidak optimal, menghambat pelaksanan cuti bersyarat yang efektif. DAFTAR PUSTAKA Adi Sujatno. 2002. Negara Tanpa Penjara (Sebuah Renungan). Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Departemen Kehakiman RI. Jakarta Adnan Buyung Nasution.SH.Peter Baer. Peter Van Dijk. Instrumen Internasional Pokok Hak – Hak Asasi Manusai.Yayasan Obor Indonesia.Jakarta. 2001. Adiwinata.S.SH. Istilah Hukum Latin – Indonesia,.Intermasa. Jakarta 1997 Andi Hamzah dan Siti Rahayu. 1983. Suatu Tinjauan Ringkas Sistem Pemidanaan di Indonesia. Direktorat Jenderal Pemasyarakatan. Jakarta Arfawie Kurde.H.Nuktoh,SH,M.Hum.Telaah Kritis Teori Negara Hukum Pustaka Pelajar Celeben Timur Yogyakarta. 2005 Baharuddin Surjobroto. 1981. Putusan Hakim dalam rangka Pelaksanaan Tugas Pemasyarakatan. Simposium Pemasyarakatan. Jakarta Bambang Purnomo. 1986. Pelaksanaan Pemasyarakatan. Liberty. Yogyakarta
Pidana
Penjara
dengan
Sistem
8
Badan Penelitian dan Pengembangan Hak – Hak Asasi Manusia Departemen Hukum dan HAM RI. Pemenuhan Hak untuk mengembangkan diri bagi Narapidana di Lembaga Pemaysarakatan.Jakarta 2004 Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Departemen Kehakiman dan HAM RI The Standard Minimum Rules ( SMR ) Jakarta 2004 Dirdjo Siswono,Soejnono SH,DR.Sosio Kriminologi.Sinar Baru Bandung 1984 Edi Suharto. 2005. Analisis Kebijakan Publik (Paduan Praktis MengkajiMasalah dan Kebijakan Sosial. Alfabeta. Bandung Hudioro, 1986, Donor Organ Tubuh Manusia Ditinjau dari Sistem Pemasyarakatan. Makalah pada Panel DiskusiDepartemen Kehakiman, LBPH Kosgoro dan PWI. Jakarta Riant Nogroho. 2006. Kebijakan Publik untuk Negara-negara Berkembang. PT Elex Media Komputindo. Jakarta Soejono Soekamto. 1988. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. PT Raja Grafindo Persada.Jakarta Subarsono. AG. 2004. Analisis Kebijakan Publik (Konsep. Teori dan Aplikasi). Pustaka Pelajar. Yogyakarta Susi Susilawati. 2002. Perkembangan Remisi di Indonesia. Warta Pemasyarakatan. 9 April 2002 (hal 6-11). Jakarta Peraturan Perundang Undangan Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana dan Penjelasannya, Sekretariat Negara Republik Indonesia.Jakarta, 1982 Undang Undang Republik Indonesia Nomor 12 tahun 1995 tentang pemsayarakatan. Sekretariat Negara Republik Indonesia. Jakarta, 1996 Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan. Departemen Kehakiman RI. Jakarta, 2000 Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Departemen Kehakiman RI. Jakarta. 2000 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 174 Tahun 1999 tentang Remisi Keputusan Menteri Hukum dan Perundang-undangan Republik Indonesia. Nomor : M.09.HM.02.01 Tahun 1999 tentang Pelaksanaan Keputusan Presiden RI Nomor 174 Tahun 1999 tentang Remisi Surat Edaran Direktur Jenderal Pemasyarakatan Nomor : E.UM.01.10-130 Tahun 2001 tentang Penjelasan Remisi Khusus Bersyarat, Remisi Khusus Tertunda dan Remisi Tambahan.