Pembaruan Birokrasi: Ikhtiar Mewujudkan PNS yang Bersih dan Profesional Tatang Muttaqin *)
Pendahuluan Wacana tentang Pegawai Negeri Sipil (PNS) senantiasa menarik untuk didiskusikan dari mulai permasalahan pelayanan yang dilakukannya, kompetensi yang seharusnya melekat pada pekerjaannya, masalah perilaku dan tindak korupsi, sampai masalah kesejahteraan yang menyangkut faktor gaji dan tunjangan bagi PNS. Faktor penariknya ini berkaitan dengan birokrasi sebagai ruang bergerak PNS (aparatur pemerintah) yang menjelmakan tindakan dari sejumlah kebijakan yang direncanakan dan ditetapkan oleh pemerintah. Melalui birokrasi, kekuasaan yang diamanatkan pada pemerintah menjelma dan nampak secara konkret. Secara konkret pula fungsi kerja birokrasi harus cepat, bekerja secara profesional dengan prinsip efisien dan efektif dan tentu saja bertanggung jawab berdasarkan sejumlah peraturan yang ada alias tidak melakukan praktik korupsi. Ini semua akan menjadi kunci berjalannya suatu pemerintahan dengan baik (good governance) yaitu suatu tata pemerintahan yang bersih, taat kepada hukum, dan berorientasi pada pelayanan untuk mewujudkan kesejahteraan umum atas dasar keadilan sosial. Dari berbagai diskursus yang berkembang, nampaknya belum sepenuhnya mengarah pada upaya menuntaskan persoalan mendasar mengenai berbagai permasalahan internal dan eksternal PNS. Wacana PNS ini tidak dapat dilepaskan dari kenyatan demikian besarnya jumlah PNS (lihat Tabel 1) dan demikian pentingnya layanan yang disediakannya sebagai ‘abdi negara dan abdi masyarakat’. Namun yang berkembang sepertinya lebih banyak bersifat ‘gugatan’ dan keluhan, baik dari PNS sendiri maupun dari publik. Fakta yang ada sebagai faktor internal yang menjadi sorotan negatif aparatur telah melekat menjadi kultur 1 . Sebagai misal, kebiasaan hanya akan bekerja dengan baik jika diberikan sejumlah materi, atau orientasi pencapaian jabatan ketimbang prestasi. Pada sisi lainnya semua ini bisa beralasan sebagai upaya mencari tambahan gaji dalam rangka memenuhi kebutuhan pokok yang tidak terjangkau dengan gaji pokok dan tunjangan. Berdasarkan kenyataan tersebut, diperlukan suatu upaya untuk membersihkan citra negatif PNS, dan memulai melangkah secara pasti untuk membentuk sosok PNS yang bersih dan profesional melalui upaya sistematis dan komprehensif. Untuk mewujudkan sosok aparatur yang terbilang ideal tersebut tidaklah mudah. Setidaknya tulisan ini mencoba mencari jalan keluar terhadap permasalahan birokrasi melalui sosok aparaturnya yang sudah terbilang “mendarahdaging”. Gagasan ini mencoba memulai dari hal yang sangat berdekatan dengan klaim “tidak berdayanya” aparatur di bidang kesejahteraan yakni tuntutan gaji yang layak. *)
Tatang Muttaqin, S.Sos, M.Ed adalah Staf Perencana pada Direktorat Kebudayaan, Ilmu Pengetahuan, dan Teknologi, Kementerian Negara PPN/Bappenas-red 1 Dr. Moh. Hatta di penghujung tahun 1950-an mengatakan korupsi sudah menjadi budaya di Indonesia
1
Restrukturisasi PNS Dalam kondisi yang semakin menuntut pelayanan publik yang handal untuk mengejar ketertinggalan dari negara-negara tetangga, PNS harus bisa menunjukkan sosok idealnya. Sebagai pelaksana kebijakan pemerintah, PNS terlebih dahulu dituntut membereskan permasalahan dirinya sehingga mampu menjadi “mesin cerdas” yang tidak membebani tetapi memberi jalan keluar. Di sinilah aparatur mampu membantu menyelesaikan permasalahan internal bangsa untuk selanjutnya mampu meningkatkan daya saing bangsa 2 . Alasan inilah yang menjadi kebutuhan utama perlunya pemikiran restrukturisasi PNS. Restrukturisasi PNS adalah menata kembali keberadaan PNS dalam menjalankan tugas dan fungsinya secara baik. Upaya ini terhitung sulit dan membutuhkan terobosan yang berani dalam mengambil pilihan-pilihan langkah perubahan. Dalam definisi Kantor Kementrian Pendayagunaan Aparatur Negara, restrukturisasi dimaksud adalah satu paket dalam upaya yang dinamakan pembaharuan birokrasi. Menurut Kementerian PAN (April 2003), pembaharuan birokrasi menekankan kepada tindakan penataan aparatur negara, meliputi rangkaian tindakan, kegiatan pembaharuan secara konsepsional, sistematis, dan berkelanjutan dengan melakukan upaya peninjauan, perbaikan, penataan dan penyempurnaan serta penertiban dan pembaharuan terhadap sistem, kebijakan peraturan perundang-undangan terkait bidang aparatur negara, termasuk perbaikan sikap perilaku, akhlak dan moral aparatur. Untuk melakukan pembaharuan, sejumlah fakta dalam birokrasi harus dicermati sebagai bahan penilaian seperti: bentuk dan susunan birokrasi yang terbilang besar, tugas pokok dan fungsi yang tumpang tindih, bekerja tidak efisien dan efektif, tidak kompeten, berintegritas rendah, mudah terintervensi dengan unsur-unsur politis, tidak adanya sistem yang efektif untuk pengarahan dan pengendalian birokrasi, dan lain sebagainya 3 . Selain deretan tuduhan di atas, yang lebih dahsyat dan sering mencoreng nama baik korps birokrasi adalah persoalan korupsi, kolusi, dan nepotisme atau sering disebut KKN. Inilah yang banyak pihak menyebutnya sebagai sumber permasalahan karena berdiam sebagai penyakit di semua bidang. Masalah ini sebenarnya melekat bukan saja di tubuh PNS sebagai penyelenggara pemerintahan tapi setiap individu dapat terkena perbuatan KKN. Dari aspek individunya, KKN disebabkan adanya sifat keserakahan materil, hidup bergaya konsumtif dan lemahnya moral yang cenderung bertindak korup, hal ini berkembang merasuk dalam jiwa, mental, perasaan dan pikiran. Tindakan preventif terhadap hal seperti ini perlu ditekankan pada perbaikan kualitas mental individu yang jika tidak dilakukan akan berdampak kegagalan pada aspek sistem organisasi secara keseluruhan. Sebab lainnya yang tidak kalah hebat adalah tingkat pemenuhan kebutuhan 2
Menurut International Management Development (2002) yang berpusat di Swiss, kinerja daya saing Indonesia berada di urutan 47 dari 49 negara. Penilaian tersebut didasarkan pada empat faktor utama, yaitu: kinerja ekonomi, efisiensi pemerintah, efisiensi usaha dan infrastruktur. 3 Mantan Presiden Megawati menyebut kinerja PNS sebagai ‘keranjang sampah’. Ketika membuka Rakernas Pendayagunaan Aparatur Negara 11 Februari 2002 di Jakarta, Presiden Megawati mengemukakan istilah pemerintahan keranjang sampah itu digunakannya karena banyak pejabat tidak mau turun ke lapangan. Para pejabat hanya mau melaporkan hal-hal yang baik-baik saja dan sebaliknya menutup-nutupi hal buruk.
2
dari gaji yang kurang mencukupi pada batas yang dianggap “layak”. Masalah ini harus dipenuhi dengan upaya memperbaiki sistem penggajian pada batas yang memungkinkan terminimalkannya potensi korupsi.
Masalah Gaji Dalam Restrukturisasi PNS Pada dasarnya manusia bakal resisten terhadap renumerasi yang sangat tidak memenuhi kebutuhan minimum atau kehidupan yang layak. Menjadi pegawai negeri merupakan suatu pilihan profesi karir, sehingga suatu hal yang wajar untuk menuntut standar gaji yang layak untuk memenuhi kompensasi beban tugas, tanggung jawab, kualifikasi, prestasi kerja, periode waktu jabatan serta tingkat biaya hidup yang cukup tinggi. Pendapat lain juga mengemukakan bahwa gaji yang rendah seringkali bukan penghematan, tetapi merupakan tambahan beban karena produktivitas kerja rendah. Fakta menunjukkan bahwa dalam pemerintahan banyak pekerjaan dilakukan oleh banyak orang yang memiliki produktivitas rendah. Padahal pekerjaan tersebut sebenarnya dapat dilakukan oleh jumlah tenaga yang jauh lebih sedikit namun memiliki kemampuan dan kualifikasi yang memadai dan mendapat gaji yang cukup. Kenyataan lain juga menunjukkan bahwa sistem gaji pegawai negeri saat ini tidak mempertimbangkan prestasi kerja. Sistem penggajian tidak mempertimbangkan pegawai yang berprestasi, memiliki produktivitas tinggi, serta disiplin yang tinggi. Saat ini PNS level struktural yang sama, pegawai yang memiliki produktivitas tinggi dan yang tidak, memiliki nilai gaji yang sama. Hal seperti ini dalam jangka waktu yang panjang dapat menurunkan semangat, etos, dan disiplin kerja. Bahkan bagi pegawai tertentu dapat menjadi sumber pengungkit untuk melakukan tindakan penyelewengan dan korupsi. Sudah menjadi suatu pola berpikir yang umum agar dapat mengambil setiap kesempatan melakukan tindakan yang tidak terlalu ‘jujur’, asal dilakukan dengan hati-hati, tidak terlalu besar dan mencolok, serta asal dapat ‘dipertanggungjawabkan’ secara semu kepada badan pengawas. Alasan yang digunakan adalah tidak mungkin bagi pegawai negeri untuk dapat memenuhi standar kehidupan yang layak dengan gaji kecil dan tidak adil.
Perlunya Perbaikan Kebijakan tentang Gaji PNS Secara yuridis masalah penggajian diatur dalam UU No.43 Tahun 1999 Pasal 7, yaitu: (1) Setiap Pegawai Negeri berhak memperoleh gaji yang adil dan layak sesuai dengan beban pekerjaan dan tanggung jawabnya; (2) Gaji yang diterima oleh Pegawai Negeri harus mampu memacu produktivitas dan menjamin kesejahteraannya; (3) Gaji Pegawai Negeri yang adil dan layak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Penjelasan terhadap pasal dalam UU tersebut menyatakan: (1) Yang dimaksud sebagai adil dan layak adalah bahwa gaji PNS harus memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, sehingga PNS dapat memusatkan perhatian, pikiran, dan tenaganya hanya untuk melaksanakan tugas yang dipercayakan kepadanya. (2) Pengaturan gaji PNS yang adil
3
dimaksudkan untuk mencegah kesenjangan baik antarPNS maupun antarPNS dengan swasta. Rumusan dalam UU tersebut terbilang ideal seandainya secara empirik bisa terlaksana dan tertuang langsung dalam isi undang-undangnya. Untuk menjabarkan pengaturan gaji yang layak dan ideal tersebut, UU mendelegasikannya kedalam peraturan pemerintah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dalam PP No.11/2003. Sebelum kita mencoba memberikan penilaian terhadap PP paling akhir tersebut, ada sejumlah pertanyaan yang terkandung dalam UU yang perlu kita jadikan wacana terhadap permasalahan gaji PNS, yaitu: (1) Dalam ayat 1 Ps.7 UU 43/1999, disebutkan Pegawai Negeri mendapatkan gaji yang adil dan layak disesuaikan dengan beban kerja dan tanggung jawabnya. Dalam hal ini perlu kita simak pertanyaan (i) bahwa gaji yang layak dan ideal dimaksud tersebut belum terealisasi dan belum mempunyai kemampuan prediktif pada tahun keberapa amanat dalam UU tersebut bisa terealisasi? (ii) karena gaji dimaksud harus disesuaikan dengan beban kerja dan tanggung jawabnya, lantas rumusan seperti apa yang menjelaskan indikator beban kerja dan tanggung jawab pekerjaannya? (2) Dalam ayat 2 Ps.7 UU 43/1999, disebutkan gaji yang diberikan kepada PNS diharapkan menjadi pemacu produktivitas, kreativitas & menjamin kesejahteraan. Dalam hal ini, (i) seperti apa rumusan produktivitas dimaksud? (ii) apa yang dimaksud dengan menjamin kesejahteraan, dan standar ukuran apa yang digunakan dalam jaminan kesejahteraan? (3) Dalam penjelasan Ps.7 UU 43/1999, disebutkan gaji yang adil dan layak mampu memenuhi kebutuhan hidup keluarga sehingga memusatkan perhatian, pikiran dan tenaga hanya untuk tugas yang dipercayakan kepada PNS. Dalam hal ini, bagaimana rumusan terpenuhinya kebutuhan hidup keluarga sehingga konsentrasi pekerjaan tetap terjaga? (4) Penjelasan Ps.7 UU 43/1999 juga menyebutkan pengaturan gaji PNS yang adil harus mencegah kesenjangan kesejahteraan, baik antarPNS maupun PNS dengan Pegawai Swasta. Atas hal ini perlu kita simak pertanyaan (i) bagaimana dapat mengatasi kesenjangan jika rumusan gaji tidak membuat skala perbandingan gaji yang adil antara gaji yang terendah dengan gaji yang tertinggi dalam hubungannya terhadap faktor beban kerja, tanggung jawab, serta masa pengabdian. (ii) dalam mencegah kesenjangan kesejahteraan dengan pegawai swasta, mungkinkah membuat standar yang persis sama karena antara instansi pemerintah dengan swasta memiliki perbedaan dalam (i) misi dan tujuan. (ii) output yang dicapai, (iii) outcomes yang dihasilkan, (iv) karakteristik/jenis pekerjaan yang didasarkan atas berbagai tipe/jenis badan usaha/lembaga swasta. Hal lainnya yang masih terkait dengan perbaikan kebijakan tentang gaji PNS adalah: Pertama, banyak pihak yang menyorot diperlukannya kenaikan gaji PNS dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga secara layak hingga dapat menjaga konsentrasi pelaksanaan tugas dengan baik adalah hal sangat penting. Bukan itu saja, sisi yang sangat pentingnya justru untuk mengatasi penyimpangan dalam perbuatan korupsi. Sementara itu pula, beberapa instansi dalam naungan pemerintah pusat berinisiatif untuk menangani problem penggajian di lingkungan kerjanya masing-masing, seperti tunjangan kerja ganda (TKG) di Departemen Keuangan, Kementerian Perekonomian, BPKP, dan
4
Bappenas. Masalah ini haruslah bisa ditangani secara unified dengan kesatuan pandangan instansi yang terlibat dalam perbaikan kebijakan tentang gaji, sehingga tidak menjadi suatu kesenjangan dan penanganannya bisa berjalan secara komprehensif. Kedua, pandangan dari beberapa kalangan tentang tidak efisien dan efektif realisasi pos APBN yang menyangkut Belanja Pegawai, Belanja Barang, Pembangunan dan Pos APBD yang berkaitan dengan Belanja Pegawai, Barang, perlu dipantau dan dievaluasi sehingga dampak ketidakefisien dan ketidakefektifan bisa dialihkan untuk perbaikan gaji secara merata. Terkait hal ini juga, pelaksanaan tupoksi di masing-masing instansi harus selaras dengan kapasitas kelembagaannya yang memperhitungkan prinsip efisien dan efektif. Sehingga dana-dana proyek yang tidak efisen-efektif dan tidak berdampak pada pengembangan kapasitas kelembagaan dapat dialihkan untuk membantu program perbaikan penggajian PNS yang secara menyeluruh melalui penyesuaian APBN. Ketiga, rekomendasi studi Badan Kepegawaian Negara (BKN) yang menyatakan perlunya peraturan gaji PNS yang integrated dengan membuat: (1) perbandingan gaji terendahtertinggi minimal 1:10 agar terjadi keadilan antara PNS yang telah mengabdi 32 tahun dengan yang pemula, dan untuk menumbuhkan motivasi pegawai untuk berprestasi dan meningkatkan pangkat, serta untuk memacu produktivitas PNS. (2) Gaji pokok PNS harus lebih besar jumlahnya dari tunjangan agar PNS yang telah mencapai pangkat puncak tidak cemas menghadapi pensiun.
Pandangan Kritis: Kenaikan Gaji PNS Tidak Berbanding Lurus dengan Penguatan Kinerja PNS Dalam mengusulkan perbaikan gaji yang ideal dan layak sebagaimana yang dikuatkan UU No.43/1999 perlu diimbangi dengan sikap bijak yakni perlu melakukan evaluasi internal di tubuh birokrasi. Dalam urusan menyusun formula penggajian yang kini menggunakan ruang gaji, kita harus waspada sebagaimana pendapat sementara pihak bahwa peningkatan gaji itu tidak berbanding lurus dengan penguatan kinerja atau bersihnya perilaku birokrasi, terutama dalam sebuah sistem birokrasi yang sejak awal sudah disfungsional. Studi Bank Dunia juga membantah mitos kesejahteraan. Deon Filmer (Bank Dunia) dan David L. Lindauer (Wellesley College) dalam kertas kerjanya berjudul ‘Does Indonesia Have a Low Pay Civil Service’ menunjukkan bahwa rata-rata pendapatan pegawai negeri 42% lebih tinggi dibanding swasta meski saat itu tingkat produktivitasnya kalah ketimbang kaum buruh. Hingga pada tingkat SMA, pendapatan pegawai negeri masih lebih baik dibandingkan dengan pegawai swasta. 4 Pandangan ini juga bisa memperlihatkan bahwa unsur peningkatan penghasilan masih kalah oleh faktor raihan kepuasan pribadi dan promosi jabatan yang membuat birokrasi mengoptimalkan kinerjanya. Ini bisa berarti bahwa budaya kerja yang bersifat feodalistik masih kentara dan melampaui unsur rasional ekonomis yang bisa memotivasi birokrasi agar mau meningkatan kualitas kerjanya.
4
Riset Filmer (Bank Dunia) dan David L. Lindauer masih menggunakan data Survei Angkatan Kerja (Sakernas) 1998 dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang belum memperhitungkan kenaikan gaji PNS yang mencolok tahun 2001 (Ikhsan:2001).
5
Fenomena tersebut seperti menunjukkan bahwa tahap-tahap perkembangan pemenuhan kebutuhan seperti dalam persepktif Abraham Maslow di Indonesia bersifat tidak linear sehingga perbaikan kompensasi saja tidak cukup tetapi harus juga dibuat disinsentif bagi yang melanggar, tidak produktif dan tidak efisien (carrot and stick).
Strategi “Carrot and Stick” Carrot adalah pendapatan netto untuk PNS yang mencukupi untuk hidup dengan standar yang sesuai dengan pendidikan, pengetahuan, kepemimpinan, pangkat dan martabatnya sehingga tidak terlalu jauh berbeda dibandingkan dengan tingkat pendapatan orang yang sama dengan kualifikasi pendidikan, kemampuan dan kepemimpinan yang sama di sektor swasta 5 . Pemberian carrot ini dimaksudkan untuk meningkatkan konsentrasi PNS dalam menunaikan kerjanya. Dengan demikian, pemerintah berkewajiban untuk memberikan kompensasi yang memadai sebagai suatu carrot. Jika carrot tersebut sudah diberikan dan masih terdapat PNS yang korup, tidak produktif dan tidak efisiensi dalam kerjanya maka sudah sepantasnya mendapatkan hukuman (stick). Untuk menerapkan strategi carrot and stick secara optimal, maka sistem penggajian yang dipakai harus dibenahi secara bertahap sesuai dengan prinsip meritokrasi sehingga mencerminkan proporsionalitas dan prinsip keadilan. Persoalan selanjutnya yang agak krusial adalah menentukan berapa gaji yang layak untuk PNS? Tentu saja hal ini sangat mungkin diperdebatkan, namun melihat realitas kemampuan pemerintah yang ada saat ini maka kenaikan tersebut tentunya tidak serta merta menyejajarkan gaji PNS dengan perusahaan swasta dan BUMN besar tetapi memberikan alternatif moderat-realistis sehingga dapat diimplementasikan. Gaji yang diterima PNS berdasarkan PP No. 11/2003 ternyata belum cukup memadai untuk memberikan kehidupan yang layaksehingga fokus perhatian PNS tidak terpecah. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Puslitbang BKN (2000) yang menyatakan bahwa gaji dan sejumlah kompensasi yang diterima jauh dari mencukupi jika dibanding dengan kebutuhan hidup minimum satu keluarga (suami, isteri, dan dua anak). Penelitian terhadap responden PNS guru di Propinsi Jawa Timur, Sulawesi Selatan, dan Sumatera Selatan menunjukkan bahwa rata-rata pengeluaran per bulan seorang guru dan keluarganya adalah: guru SDN Rp1.556.524,28; guru SLTPN Rp1.488.834,03; guru SMUN Rp1.529.127,07; dan guru SMKN Rp1.527.530,59. Hal tersebut diperkuat dengan penelitian Setjen Ketahanan Nasional (1999:11-12) yang menyatakan bahwa besarnya pengeluaran untuk kebutuhan hidup minimum seorang PNS dan keluarganya adalah Rp1.096.250,00. Survei BPS juga menunjukkan bahwa besarnya rata-rata konsumsi rumah tangga Jakarta untuk Januari tahun 2000 sebesar Rp1.694.493 (BPS, 2000:1). Jika kebutuhan dasar tidak terpenuhi, maka PNS sebagai manusia biasa yang memiliki kebutuhan materi untuk kelangsungan hidupnya yang jika tidak terpenuhi maka akan melakukan usaha lain untuk menutupinya. Hukum permintaan dan penawaran (supply 5
Pandangan ini sebagaimana dikemukakan Kwik Kian Gie dalam Pemberantasan Korupsi untuk Meraih Kemandirian, Kemakmuran, Kesejahteraan dan Keadilan, 2003
6
and demand) akan berlaku pada PNS, karena gajinya yang hanya cukup untuk dua pekan maka kewenangan yang dimilikinya akan dimanfaatkan untuk menutupi kebutuhan hidupnya dan sekaligus berusaha untuk memperkaya diri dengan menjadi rent-seeker. Kenyataan tersebut sejalan dengan rumusan salah satu kategori situasi paling penting dalam menciptakan rangsangan korupsi, sebagaimana dikemukakan oleh Susan RoseAckerman, yaitu: para pejabat sektor publik mungkin mendapatkan insentif yang kecil untuk melakukan pekerjaannya secara baik dan karenanya sogokan dijadikan sebagai pendapatan bonus, dan pemerintah memberikan kemudahan keuangan maupun fasilitas yang sangat besar pada pengusaha melalui proteksi, pelelangan, privatisasi, dan pemberian konsensi. Kondisi tersebut bertemu dan klop dengan kenyataan lain di sektor swasta, yaitu: perusahaan swasta dan individu berupaya mengurangi biaya yang dibebankan pada mereka oleh pemerintah (pajak, bea dan cukai) dengan melakukan sogokan, dan sogokan dapat mengganti bentuk hukum -seperti dalam pelanggaran lalulintas- dan mempengaruhi kebijakan politik dan jual beli suara untuk menperoleh jabatan. Ketemulah persekongkolan korupsi, kolusi dan nepotisme di mana aparat birokrasi meruapakan salah satu aktor penting kalau tidak dapat dikatakan sebagai aktor utama. Jika hal tersdebut terus terjadi akan menjadi bom waktu di mana gaji yang kecil akan memicu PNS ber-KKN yang menyebabkan rusaknya tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara yang pada gilirannya adalah hancurnya bangsa itu sendiri.
Alternatif Moderat-Realistis: Kenaikan Gaji Kenaikan gaji PNS merupakan keharusan namun kenaikan yang yang dilakukan menggunakan alternatif moderat yang dapat memenuhi kebutuhan hidup minimum PNS dengan seorang isteri/suami dan dua orang anak. Selanjutnya untuk menumbuhkan motivasi dan mewujudkan proporsionalitas secara bertahap, maka pilihan kenaikan dibedakan sesuai dengan lama kerja dengan perbandingan gaji terendah dan tertinggi lebih mendekati perbandingan proporsional-moderat dalam arti tidak terlalu sama seperti saat ini (1:3) tetapi tidak proporsional-ideal (versi BKN 1:10). Mengacu pada pilihan tersebut, ada 3 pendekatan yang dapat digunakan dalam kenaikan gaji bagi PNS sebagai berikut: 1. Skenario I: Kenaikan 25% untuk golongan ruang Ia, IIa, IIIa, IVa; 50% untuk golongan ruang Ib, IIb, IIIb, IVb; 75% untuk golongan ruang Ic, IIc, IIIc, IVc, 100% untuk golongan ruang Id, IId, IIId, IVd; dan 125% untuk golongan IVe. Dengan kenaikan tersebut dibutuhkan dana sebesar Rp76,344 triliun. Gaji terendah untuk skenario ini adalah Rp839.188,- dan gaji tertinggi Rp3.443.850,2. Skenario II: Kenaikan 50% untuk golongan ruang Ia, IIa, IIIa, IVa; 75% untuk golongan ruang Ib, IIb, IIIb, IVb; 100% untuk golongan ruang Ic, IIc, IIIc, IVc, 125% untuk golongan ruang Id, IId, IIId, IVd; dan 150% untuk golongan IVe.Dengan kenaikan tersebut dibutuhkan dana sebesar Rp88,467 triliun. Gaji terendah untuk skenario ini adalah Rp1.007.025,- dan gaji tertinggi Rp3.826.500,-
7
3. Skenario III: Kenaikan 75% untuk golongan ruang Ia, IIa, IIIa, IVa; 100% untuk golongan ruang Ib, IIb, IIIb, IVb; 125% untuk golongan ruang Ic, IIc, IIIc, IVc, 150% untuk golongan ruang Id, IId, IIId, IVd; dan 175% untuk golongan IVe. Dengan kenaikan tersebut dibutuhkan dana sebesar Rp100,6 triliun. Gaji terendah untuk skenario ini adalah Rp1.174.863,- dan gaji tertinggi Rp4.209.150,- (selengkapnya lihat Tabel 2).
Alternatif Ideal: Rasionalisasi & Kompensasi Untuk melakukan perbaikan yang serius dalam mengatasi produktivitas PNS sebagaimana dikeluhkan mantan Presiden Megawati 6 , maka upaya peningkatan efisiensi dan efektivitas PNS menjadi pilihan yang tidak bisa ditunda. Tidak dapat dipungkiri bahwa efisiensi dan efektivitas PNS merupakan masalah krusial dalam menata PNS sehingga banyak jenis pekerjaan yang seharusnya dapat dilakukan seorang saja, namun dalam prakteknya dikerjakan oleh banyak pegawai sehingga menyebabkan pengangguran terselubung. Kondisi tersebut sebenarnya tidak perlu terjadi apabila PNS tersebut mampu menciptakan pekerjaan bagi dirinya sendiri (kreatif). Keterbatasan kemampuan untuk menciptakan pekerjaan tidak akan dialami oleh orang-orang yang mempunyai etos kerja yang tinggi dan ditunjang oleh kompetensi yang memadai. Sedikitnya ada tiga masalah mendasar dalam penataan PNS saat ini, yaitu: (1) jumlah yang terlalu besar dibandingkan dengan beban pekerjaan yang ada sehingga terjadi pengangguran terselubung; (2) rendahnya etos kerja akibat tidak tersedianya pola insentif yang memadai; (3) rendahnya kompetensi PNS sebagai akibat pola rekruitmen yang tidak memenuhi standar meritokrasi. Berdasarkan kenyataan tersebut maka alternatif untuk memberikan peningkatan gaji saja jelas tidak cukup, bahkan berpotensi tidak memenuhi prinsip keadilan, di mana rendahnya produktivitas sebagian PNS bukannya mendapat punishment justru mendapat reward dalam bentuk kenaikan gaji. Pilihan yang tepat adalah menata ulang struktur PNS yang ada melalui restrukturisasi yang berisikan pilihan-pilihan dengan konsekuensi keuntungan ataupun kerugian yang akan diterima PNS yang didasarkan pada kerelaan dan kesadaran. Mengacu kepada laporan Kementrian Pendayagunan Aparatur Negara (PAN), maka sedikitnya (moderat) kita bisa mengambil 1,5 juta PNS (40 persen) yang akan dirasionalisasi. Pelaksanaan rasionalisasi dapat dilaksanakan dengan cara menawarkan terlebih dahulu beberapa pilihan yang harus diambil oleh para PNS. Sedikitnya ada tiga pilihan untuk PNS dalam program rasionalisasi, yaitu: (1) untuk yang masih mau melanjutkan karier sebagai PNS diharuskan uji kompetensi sehingga sesuai antara penempatan dan kemampuan; (2) untuk PNS yang memiliki keterbatasan ditawarkan untuk memilih pensiun dini dengan kompensasi yang ‘memadai’; apabila pilihan ini tidak diambil dan
6
Menurut Kementrian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (PAN), sekitar 60% dari lebih kurang 4 juta Pegawai Negeri Sipil (PNS) dinilai tidak berkualitas, tidak produktif, dan tidak profesional hingga perlu dilakukan berbagai perbaikan (24 September 2002).
8
tidak lulus dalam uji kompetensi maka PNS tersebut akan dipensiundinikan tanpa kompensasi. Dengan alternatif tersebut, tindakan selanjutnya adalah menerapkan sistem meritokrasi yang ditunjang dengan pola insentif dan disinsentif secara tegas dan terukur. Alternatif diatas akan berimplikasi pada peningkatan kebutuhan belanja pegawai yang berlipat: (1) untuk membayar kompensasi PNS yang pensiun atau dipensiunkan dini; dan (2) untuk menambah kenaikan gaji PNS pasca rasionalisasi.
Pilihan Rasionalisasi I (40%) Untuk membiayai kompensasi PNS yang dirasionalisasi sebesar 40 persen PNS (1,5 juta), ada tiga skenario yang dapat diambil, yaitu: 1. Skenario 1 (skenario minimal): Kompensasi terendah sebesar Rp25 juta dan kompensasi tertinggi adalah Rp90 juta. Untuk kompensasi skenario ini dibutuhkan dana sebesar Rp88,9 triliun. 2. Skenario 2 (skenario moderat): Kompensasi terendah sebesar Rp50 juta dan tertinggi sebesar Rp110 juta. Untuk skenario ini dibutuhkan sedikitnya dana sebesar Rp124,5 triliun. 3. Skenario 3 (skenario ideal): Kompensasi terendah sebesar Rp60 juta dan tertinggi sebesar Rp200 juta. Untuk skenario ini dibutuhkan sedikitnya dana sebesar Rp194,8 triliun. (Tabel 3). Dengan demikian, dibutuhkan dana sebesar (1) Rp165,2 triliun untuk kenaikan gaji PNS dan dana kompensasi skenario 1; (2) Rp213 triliun untuk kenaikan gaji PNS dan dana kompensasi skenario 2; (3) Rp295,4 triliun untuk kenaikan gaji PNS dan dana kompensasi skenario 3.
Pilihan Rasionalisasi II (20%) Jika rasionalisasi I sulit dilakukan karena dikhawatirkan berdampak sosial yang relatif besar,maka dapat dilakukan optimalisasi sebagian PNS melalui realokasi. Pilihan ini tetap melakukan rasionalisasi tetapi besarannya lebih rendah yaitu setengahnya atau 20 persen saja yang dipensiundinikan. Untuk membiayai kompensasi PNS yang dirasionalisasi sebesar 20 persen PNS (7,6 juta), ada tiga skenario yang dapat diambil, yaitu: 1. Skenario 1 (skenario minimal): Kompensasi terendah sebesar Rp25 juta dan kompensasi tertinggi adalah Rp90 juta. Untuk kompensasi skenario ini dibutuhkan dana sebesar Rp41,6 triliun. 2. Skenario 2 (skenario moderat): Kompensasi terendah sebesar Rp50 juta dan tertinggi sebesar Rp110 juta. Untuk skenario ini dibutuhkan sedikitnya dana sebesar Rp58,3 triliun.
9
3. Skenario 3 (skenario ideal): Kompensasi terendah sebesar Rp60 juta dan tertinggi sebesar Rp200 juta. Untuk skenario ini dibutuhkan sedikitnya dana sebesar Rp91,1 triliun. (Tabel 4). Dengan demikian, dibutuhkan dana sebesar (1) Rp117,9 triliun untuk kenaikan gaji PNS dan dana kompensasi skenario 1; (2) Rp146,8 triliun untuk kenaikan gaji PNS dan dana kompensasi skenario 2; (3) Rp191,7 triliun untuk kenaikan gaji PNS dan dana kompensasi skenario 3. Rasionalisasi tidak cukup hanya dengan merasionalkan jumlah pegawai tetapi dibutuhkan pula ‘merasionalkan’ beban kerja dan kompensasi dalam bentuk gaji. Oleh karena itu, peningkatan gaji PNS merupakan suatu keniscayaan jika ingin meningkatkan produktivitas PNS. Dengan jumlah PNS yang telah dirasionalisasikan (20% dan 40%) dan mengacu pada model ideal gaji tertinggi-terendah-nya Badan Kepegawaian Negara (BKN), yaitu 1:10 dengan gaji minimal sesuai hasil beberapa studi tentang kelayakan dan perbandingan dengan swasta/BUMN, maka kedua pilihan rasionalisasi tersebut telah dapat mengalokasikan gaji yang cukup ideal, yaitu terendah Rp1,6 juta dan tertinggi Rp16,5 juta.
Pilihan Pembiayaan Kedua pilihan di atas membutuhkan dana yang relatif besar, kebutuhan dana yang sedemikian besar tersebut dalam jangka panjang secara ekonomi, sosial dan budaya bangsa “relatif murah” dibandingkan dengan kerusakan yang dasyat dan massif akibat rendahnya gaji dan terlalu besarnya jumlah PNS sehingga memberikan ruang yang luas untuk korupsi secara bersama-sama sehingga menjadi ‘budaya’. Dalam konteks kepentingan bangsa ke depan biaya tersebut jelas lebih sedikit daripada biaya yang harus ditanggung akibat budaya korupsi. Untuk menutup kebutuhan dana di atas, sedikitnya ada beberapa alternatif, yaitu: Pertama, mengekstensifkan perpajakan (tax ratio), dengan meningkatkan jumlah wajib pajak (dari 2 juta obyek pajak baru 600 ribu yang terdaftar) dan memaksimalkan potensi pengemplangan pajak selama 10 tahun terakhir sebesar Rp131 triliun. (Tabel 5). Kedua, meningkatkan efisiensi besar-besaran anggaran pemerintah, baik rutin maupun pembangunan. Dari dana efisiensi tersebut sedikitnya diperoleh dana sebesar Rp113,7 triliun (Tabel 6). Ketiga, dengan memperhitungkan skenario tertinggi dari kedua alternatif rasionalisasi, yaitu sebesar Rp295,4 triliun (untuk pilihan 20 persen) maka masih dibutuhkan dana sebesar Rp50,7 triliun (untuk rasionalisasi 20 persen). Dana tersebut relatif kecil dibandingkan ongkos yang harus ditanggung pemerintah dan masyarakat akibat massifnya korupsi birokrasi. Bintoro (1995) mengatakan bahwa gaji yang rendah seringkali
10
bukan penghematan, tetapi merupakan tambahan beban karena produktivitas kerja rendah.
Penutup Alternatif peningkatan gaji tentu tidak ideal karena kenyataan jumlah PNS yang demikian besar sehingga membutuhkan dana yang sangat besar. Nampak sulit melakukan peningkatan gaji secara ideal dalam kondisi ekonomi dan keuangan negara saat ini sehingga pilihan moderasi antara idealitas kenaikan gaji dipertemukan dengan realitas kemampuan anggaran pemerintah saat ini. Dengan demikian, proporsi antara tertinggi dan terendah tidak dapat mencapai ideal karena dikhawatirkan akan terjadi perbedaan besar yang mendadak yang secara psikologis akan tidak menguntungkan. Untuk menghindarinya maka pilihan perbaikan proporsi dilakukan secara bertahap dan konsisten sehingga perubahannya tidak ‘mencemaskan’ sebagian pihak. Pilihan ini memang kurang ideal bahkan sangat mediocre sehingga tidak dapat secara signifikan meribah kultur PNS secara keseluruhan, namun jika dijalankan konsisten lambat laun akan terjadi perubahan juga. Idealnya, alternatif rasionalisasi dan kompensasi merupakan pilihan yang paling tepat untuk memperbaiki kinerja PNS dan sistem birokasi secara keseluruhan. Namun kendala pembiayaan yang cukup besar sehingga membutuhkan political will dari pemimpin nasional. Jika ada political will, insya-Allah akan terjadi perbaikan yang signifikan. Demikian, pilihan-pilihan yang kami tawarkan. Kami menyadari tiada gading yang tak retak, oleh karena itu masukan dan saran akan kami terima dengan lapang dada. Semoga itikad baik (good will) ini dapat menjadi kenyataan. Insya-Allah
11