arkan orang pandang enteng pada kita, biar musuh ada punya tiga kepala dan enam tangan kita toh mesti lawan padanya!" "Jikalau kau semua sudah insyaf, itu bagus," kata Tay Yong pada dua orang kepercayaannya itu. "Memang, berhasilnya kita melindungi Hiecun berarti juga kita pegang kekal pamornya Kiushe Hiekee. Sekarang, karena gentingnya keadaan dan karena kau orang telah mengangkat aku sebagai cuncu, aku minta kau orang semua dengar aku! Siapa saja, ia mesti turut perkataanku! Umpama kata ada orang yang bandel dan bantah aku, aku tidak mau hukum padanya, tetapi aku harap kedudukanku diganti oleh lain orang! Bukankah di antara kita tidak ada orang luar?" "Kau keliru, cuncu," Yap A Tiong berkata. "Kita telah angkat kau menjadi cuncu, sudah tentu kita akan dengar perkataanmu! Aturan kita, siapa bersalah, cuncu mesti jalankan aturan terhadap orang itu! Bukankah kita sekarang tidak bisa lagi angkat kaki dari Hiecun, melulu untuk hidup sendiri?" "Perkataanmu, saudara, menyatakan kecintaanmu atas diriku!" Tay Yong bilang. Kemudian Ho Jin nyatakan, apa tidak terlebih baik mereka turun tangan terlebih dulu terhadap Yan Toa Nio dan anaknya. "Tidak," Tay Yong jawab. "Kita curigai mereka tetapi buktinya kita belum ada, sebagai laki-laki, aku malu menghina orang perempuan! Sekarang kita perlu awasi saja sepak terjang mereka." "Kalau begitu, kasihlah aku yang ajak saudara-saudara pergi mengawasi mereka," Ho Jin minta tanggung jawab. "Apabila benar mereka main gila, aku ingin sekali buktikan, bagaimana sih liehaynya mereka!" Tan Tay Yong terima baik permintaan itu. "Tapi ingat kehormatan kita, aku minta jangan kau sembrono," ia pesan, la lantas tetapkan kewajibannya tauwbak itu. Kemudian ia kata pada Siong Siu, "Silakan bawa semua perahumu pergi menjaga mulut muara. Jaga supaya jangan ada perahu kita yang sembarangan keluar batas. Sebelumnya musuh unjuk bukti bahwa mereka hendak menyerang, kita pun jangan kentarakan suatu apa. Aku berikan kau duapuluh saudara, mereka mesti sembunyi di mulut muara, di pepohonan, di tanjakan, sedialah panah, apabila musuh merangsek, lantas gencet dan serang mereka. Di waktu bertempur, kita tidak boleh bersangsi lagi akan turun tangan. Sekarang sudah tiba saatnya untuk kita jual jiwa kita!" "Benar, cuncu!" sahut Lim Siong Siu, yang terima kewajiban itu. Setelah itu, Tan Tay Yong perintahkan Wan Sam Siu dan Yap A Tiong. "Kamu berdua boleh kepalai masing-masing rombongan seperti biasa. Sam Siu, kau boleh menjaga di depan Hiecun. Kau A Tiong, boleh pecah-pecah rombonganmu itu, begitu sang malam datang, lantas kau rondai seluruh daerah kita. Sekalipun tempat yang buntu, kau mesti perhatikan, maka itu, kirimlah dua perahu dengan dua saudara, menjaga di kaki Giokliong-giam, asal ada gerakan apa-apa, mereka ini mesti segera memberi tanda." "Cuncu nampaknya terlalu berhati-hati," A Tiong bilang. "Bukankah dari atas Giokliong-giam tidak ada
jalanan sama sekali? Dari pihak bukit, kita sebenarnya tidak ada hubungan sama pihak luar yang mana saja...." "Bukannya begitu, saudara Yap. Kita lebih baik berhati-hati daripada beralpa. Bukankah penjagaan itu tidak ada ruginya bagi kita? Mari, silakan kau pergi bekerja!" A Tiong tidak membantah, ia pun terima baik kewajibannya. Kemudian Tay Yong berikan lain-lain titah lagi, sesudah mana ia ajak semua nelayan berangkat pulang untuk mereka itu lantas bekerja. Giok Kouw sambut ayahnya waktu ayah itu pulang, ia lantas tanya apa yang ayah itu atur. Tay Yong tuturkan segala apa pada anaknya itu, terhadap siapa ia tidak simpan rahasia. "Hiecun ada daerah yang bagus, aku percaya, biarpun ia liehay, musuh rasanya tidak akan mampu celakai kita," Giok Kouw nyatakan. "Apa yang aku harap adalah rombongan di muka muara kita itu bukannya dari pihak Englok-kang udik, yang telah menjadi musuh kita. Tentang mereka perlu dicari tahu, supaya kita tahu pasti mereka ada dari golongan mana." "Kau benar, anak. Turut penyelidikanku, mereka pasti bukannya penduduk Englok-kang yang berdekatan dengan kita, aku percaya sebagian di antaranya ada dari Englok-kang udik, sisa dari musuh-musuh yang telah menjadi pecundang kita. Rupanya mereka datang dengan tenaga baru. Kalau aku tidak salah, mereka ada rombongan Yo Ban Hoo, hanya, apa yang aneh, di antara mereka tidak ada hui-hiecun, perahu-perahu istimewa dari rombongan itu." "Kalau begitu, kita perlu bikin penyelidikan lebih jauh," Giok Kouw nyatakan. "Aku pun berpikir begitu. Kalau sebentar tidak ada perobahan apa-apa, aku hendak ajak beberapa saudara yang pandai berenang dan selulup, akan hampirkan perahu-perahu mereka" "Ayah benar, malah lebih lekas lebih baik." Boleh dibilang hampir tidak mengaso lagi, Tan Tay Yong lantas keluar pula, sekarang guna tilik semua nelayan, akan lihat pekerjaan mereka itu sebagaimana tadi telah diatur, kesudahannya ia merasa puas. Semua orang telah bekerja betul dan malahan mereka itu nampaknya siap sungguhan, seperti juga bahaya sudah pasti bakal mengancam mereka. Hatinya Tan cuncu jadi tenteram sekali, karena ia percaya, dengan beragam dan bersungguh-sungguh, andaikata ada bahaya tentu dapat dihindarkan. Karena ini ia lalu tetapkan niatannya akan lakukan penyelidikan ke perahu asing. Tapi, sebelumnya pulang, ia pergi ke mulut muara, akan tilik rombongan perahu-perahu yang dicurigakan itu. Untuk keheranannya, selama itu pihak asing telah dapat tambahan lebih daripada duapuluh perahu lagi, semuanya perahu-perahu kecil yang lajunya pesat. Meski demikian, penumpang-penumpang perahu itu tenang semuanya, mereka bicara dan pasang omong dengan sewajarnya, pada mereka tidak tertampak gerakan apa-apa yang mendatangkan kecurigaan orang. "Benar luar biasa," pikir Tan Tay Yong. Dalam perjalanan pulang, ketua Hiecun ini coba melongok gubuknya Yan Toa Nio, ia lihat ibu dan anak dengan tenang sedang bekerja membikin bale atau
pembaringan bambu, mereka sama sekali tidak bersikap luar biasa. Pemandangan ini menambah kelegaan hatinya. Selagi lewat di tempat di mana berada rombongan perahunya Lim Siong Siu — barisan keempat — Tay Yong lihat tauwbak-nya sedang jalan mundar-mandir di gili-gili, melihat padanya, tauwbak itu menegur. Tiba-tiba ia ingat suatu hal, ia lantas gapein tauwbak itu. "Aku ingin kau lakukan suatu pekerjaan," kata ketua ini, sesudah Siong Siu samperi ia. "Apa kau bisa pilih beberapa orang di antara orang-orangmu yang terpandai untuk berenang dan selulup?" "Aku dapat sediakan orang-orang itu," Siong Siu jawab. "Duapuluh tahun berada dalam latihan bersama, saudara-saudaraku semua sudah boleh diandalkan. Apa cuncu berniat bokong musuh?" Ditanya begitu, Tay Yong tertawa. "Saudara, kau ngaco!" ia kata. "Orangmu cuma duapuluh lebih dan perahu-perahu di sana sekarang telah berjumlah empat atau limapuluh lebih, satu tanda jumlah jiwa penumpangnya ada banyak, maka itu, cara bagaimana kau bisa pikir untuk serang mereka dengan diam-diam? Aku tidak pikir demikian, saudara, aku hanya ingin bikin penyelidikan untuk dapati kepastian, mereka sebenarnya datang dari mana dan dari golongan apa. Jika kita telah mengetahui jelas tentang mereka berarti ada lebih gampang untuk kita hadapi mereka itu. Maksudku adalah kirim beberapa perenang menghampirkan perahu-perahu mereka, akan selidiki mereka dari dekat." Setelah mengetahui maksud ketuanya, Lim Siong Siu bersenyum. "Aku kira pekerjaan bagaimana, tidak tahunya hanya penyelidikan," berkata ia. "Itulah tidak berarti banyak! Cuncu serahkan pekerjaan itu padaku, cuncu harap sediakan saja buku jasa untuk catat nama rombongan kita!" "Saudara, jangan kau pandang pekerjaan ini seperti permainan anak-anak," Tay Yong mengasih ingat. "Bukankah pepatah berbunyi: kenal diri sendiri, kenal musuh, baru seratus kali berperang kita bisa seratus kali menang? Tapi aku tidak mengharap begitu, buat aku, cukup asal Kiushe Hiekee bisa lindungi pamornya. Di kalangan kita, kau memang terkenal gagah, tetapi di kalangan Sungai Telaga, kau mengerti, orang pandai bukannya sedikit. Kalau kita alpa dan memandang enteng semua orang, gampang sekali kita dibikin gagal. Kalau kita pergi bekerja, jangan lantas kita harapi pahala, sudah cukup asal kita jangan bekerja salah. Kita mesti jaga, kita pergi buat berhasil, tetapi jangan kita pergi untuk orang bikin kita kecele dan malu...." Tan Tay Yong tahu tauwbak itu beradat tinggi dan berhati keras, maka itu, ia telah bicara dengan tandes. Lim Siong Siu tidak berani adu bicara sama ketuanya, meski ia tidak setujui nasehat ketua itu. "Baiklah, cuncu, aku nanti pergi, aku tidak akan bikin gagal!" katanya Meski demikian, pada air mukanya tertampak nyata, bahwa ia kurang puas. Melihat sikap orang itu, hatinya Tay Yong tidak tenteram, akan tetapi karena ia tahu, tidak ada lain rombongan nelayan yang terlebih pandai daripada barisan keempat ini, ia terpaksa percayakan kewajiban
penting itu pada tauwbak ini. "Baiklah," ia kata. la terus kasih tahu, bagaimana penyelidikan mesti dilakukan, kemudian lagi sekali ia pesan wanti-wanti supaya tauwbak ini berlaku hati-hati. Sesudah itu, ia terus pulang. Kapan sang malam sampai, pihak Hiecun telah siap dengan penjagaannya. Rombongan keempat ini telah siap, untuk jalankan kewajiban yang dipasrahkan oleh ketua mereka. Dalam gelap gelita, Siong Siu pimpin pasukannya. Setiap satu tombak jauhnya, dua buah perahu, setiap perahu ada muat dua nelayan dengan dua tempuling dan dua panah berikut banyak anak panahnya. Dandanan mereka ada celana pendek, baju ringkas dan kepala di-bungkus. Mereka tidak bawa pelita atau obor. Tapi mereka tidak maju terus, hanya menantikan waktu. Di kiri kanan dan mulut muara yang tinggi merupakan bukit, ada masing-masing sepuluh nelayan yang membikin penjagaan. Perhatian mereka ditujukan terutama ke jurusan gubuknya Yan Toa Nio. Mereka ini termasuk pula rombongan dari pasukan ketiga dari tauwbak Ho Hong, yang membawa delapan perahu untuk pengawasan. Barisannya Yap A Tiong, enam-belas buah perahu rombongan kedua, tersebar di muka air untuk meronda. Setiap perahu membawa alat tanda, untuk memberi tahu ada bahaya atau untuk kumpulkan kawan. Tan Tay Yong sendiri, bersama empat nelayan sebagai pengikutnya, menilik semua, guna lihat orang bekerja sungguh-sungguh atau tidak. Persiapan malam dan siang memang ada bedanya Lebih kurang jam satu, Lim Siong Siu mendarat, naik ke puncak di mulut muara. Dari sini ia bisa melihat jauh ke jurusan pihak asing yang disangka musuh. Di sana keadaan tenang. Hanya cahaya terang tertampak. "Sedari mulai gelap tadi, sampai sekarang mereka itu tidak bikin gerakan apa juga," begitu keterangannya satu nelayan, yang pasang mata "Baik, kau jagalah seperti biasa," berkata Siong Siu, yang lantas kembali ke perahunya. Sekarang tauwbak ini panggil empat saudaranya, yang ia ajak pergi melakukan penyelidikan, lajelaskan pada mereka hal tugas yang cuncu serahkan padanya, ia unjuk bahwa ia telah omong besar, maka ia minta empat kawan itu suka bekerja sama-sama ia dengan sungguhsungguh. Ia kata, ia malu pulang ke Hiecun andaikata mereka gagal. "Bagus! Sekarang hayo kita mulai bekerja!" kata Siong Siu dengan girang. Empat kawan itu dengan hampir berbareng, lantas terjun ke air, untuk berenang sambil selulup, Siong Siu sendiri menyusul paling belakang, la benar liehay, dengan lekas ia telah bisa susul empat kawan itu. Cepat sekali mereka sudah sampai di luar mulut muara. Di sini mereka timbul sebentar, akan menyedot hawa, akan melihat jurusan. "Kita mesti pecah dua," Siong Siu kata. "Kau berdua maju dari kanan, aku bertiga dari kiri. Harap kau berlaku hati-hati." Dua nelayan yang jalan di kanan itu ada Cio Liong dan Cian Siu Gie. Dua, yang turut tauwbak ini, ada Thia Toa Yu dan Ie A Po.
Dengan berenang dan selulup bergantian, berlima mereka meng-hampirkan perahu-perahu asing. Mereka bisa datang dekat dengan tidak nampak rintangan. Dengan tanda, Siong Siu minta kawan-kawan itu jangan lantas dekati perahu, hanya mereka mesti memutar dulu, guna lihat apakah musuh pasang pengawas atau tidak. Sendirian saja, Siong Siu berenang ke sebuah perahu besar di mana ada cahaya api. Perahu ini berlabuh di tengah-tengah dari yang lain-lain. la angkat kepalanya tinggi-tinggi setelah ia sudah datang dekat. Sekarang ia dapat buktikan kebenarannya dugaan dari Tan Tay Yong. Perahu besar ini ada dari Kangsan-pang. Dan perahu macam itu ada tujuh, berlabuhnya bercampuran dengan lebih daripada tigapuluh perahu lainnya, hingga dari jauh sangat sukar untuk mengenali dengan segera. Siong Siu berlaku hati-hati sekali. Ketika itu ia berada di belakangnya perahu besar itu. Ia cabut golok, yang ia soren di pinggangnya. Ia kuatir musuh pasang jaring atau gaetan. Dalam gelap gelita, biar bagaimana juga, orang tidak bisa bergerak leluasa seperti di waktu siang. Jala bisa meringkus orang tetapi gaetan adalah pertandaan. Memegang perahu dengan hati-hati sekali, Siong Siu gunakan tenaganya guna angkat tubuhnya, dengan begitu ia bisa melihat ke dalam kendaraan itu di bagian belakang. Ia lihat satu perapian besar. Di dekat situ ada rebah seorang tua usia lima atau enampuluh tahun, rupanya empe-empe itu tidur kepulasan, karena kipasnya — kipas daun paim—menggeletak di pahanya. Api di perapian sudah hampir padam, tetapi tekonya telah kasih dengar suara air yang bergolak-golak. Percaya tukang perahu itu sedang tidur nyenyak, Siong Siu lalu melapay ke sebelah kiri. Di sini, dengan berani, ia lompat naik ke atas perahu, segera ia hampirkan jendela dari gubuk perahu. Ia dengar suara dua orang bicara, karena daun jendela tertutup rapat, ia tidak bisa memandang ke dalam. "Kita tidak boleh pandang terlalu enteng pada daerah berharga yang seperti mustika ini," demikian ia dengar satu suara. "Kita hendak buka jalan hidup untuk saudarasaudara kita, untuk itu kita mesti gunakan antero tenaga kita. Aku percaya mereka tidak menjaga sejaga-jaganya saja, mereka mestinya ada atur daya upaya lainnya yang sempurna." "Sebagai orang terhormat, kita tidak harus berlaku curang!" kata suara yang kedua, yang nyaring. "Kita sudah berkumpul di sini, itu tandanya kita telah berlaku terus terang. Mereka ada satu rombongan kecil, apa terhadap mereka kita perlu kirim surat tantangan perang?" Siong Siu menjadi ketarik, ia ingin sekali lihat macamnya dua orang itu. Sekarang ia dapat lagi bukti, bukti yang memastikan, bahwa Giokliong-giam Hiecun benar-benar sedang hadapi musuh — musuh untuk hidup dan mati. Baru saja ia bergerak, dengan niatan melewati jendela itu, atau mendadak di dalam gubuk perahu ada orang tertawa terbahak-bahak serta terus berkata, "Aku tidak percaya segala anak kucing dan anak anjing berani molos kemari!...." Ucapan itu sudah lantas disusul dengan suara disingkapnya kere. Siong Siu terperanjat, hingga di dalam hatinya ia
berseru, "Celaka!...." Tidak buang tempo lagi, ia pegangi pinggiran perahu dan terjun ke air. Berbareng dengan itu, di kepala perahu ada terdengar suara orang berseru kaget disusul dengan suara berisik. Dengan tidak pedulikan itu semua, Siong Siu selulup terus ke kepala perahu, sampai ia terpisah satu tombak lebih. Di muka air, segala apa ada gelap, di perahu sebaliknya ada cahaya terang. Mendadak kelihatan seekor ikan, yang panjangnya tiga kaki lebih, telah lompat meletik ke kepala perahu, hingga di sana orang jadi berseru bahna kagetnya. Karena itu, semua orang di dalam perahu lantas memburu keluar. "Han suhu, ada apa?" demikian orang menanya. Orang di kepala perahu itu segera menyahut, katanya, "Kelihatannya usaha kita bakal berhasil! Aku dengar suara, tadinya aku menyangka pada kucing dan anjing, yang berniat main gila di sini, tidak tahunya seekor ikan besar sudah meletik naik ke dalam perahu kita! Ini ada suatu alamat baik, kita bakal dapat untung!" Orang yang dipanggil Han suhu itu lantas unjuki seekor ikan. "Lauw Ho, Lauw Ho!" ia lalu memanggil-manggil. Dari dalam lantas muncul satu orang yang matanya kesap-kesip. Di kepala perahu sekarang berkumpul lima orang, si Han suhu adalah yang romannya paling bengis. "Bawa ikan ini!" ia memerintah. Lauw Ho, atau si Ho Tua sudah lantas angkat ikan itu untuk dibawa pergi. Siong Siu mengerti bahwa orang telah pergoki ia, baiknya ada sang ikan, yang rupanya kaget karena ia terjun, sudah lompat meletik ke atas, naik ke perahu, hingga perhatian orang jadi ditujukan pada ikan itu. Ia tidak takut, tetapi orang di perahu terlalu banyak, untuk ia layani, sedang tujuannya adalah bikin penyelidikan di luar tahu musuh. Tapi ia belum peroleh hasil yang memuaskan, apabila suara sudah mulai sirap, ia menghampirkan ke sebelah kanan perahu itu. Ia masih ingin lihat dua orang tadi. Kali ini ia berhasil. Dua orang itu dandanannya bukan sebagai nelayan, yang satu berusia kurang lebih enampuluh tahun, tubuhnya tinggi besar, mukanya merah, berkumis dan berewokan hitam, bajunya ada baju panjang warna biru. Orang yang satunya lagi berusia lebih tua, ditaksir umurnya tujuhpuluh tahun lebih, kumisnya jarang, mukanya kurus, tetapi sepasang matanya tajam betul, sampai bersinar. Mestinya aki-aki ini ada seorang yang liehay. Selagi Siong Siu mengawasi terus, mendadak si brewok hitam tertawa dan kata, "Cui loosu, inilah yang dibilang, rejeki tidak datang bareng, bahaya tidak jalan sendirian! Yang tadi itu adalah penipuan belaka! Lihat malam ini dua rupa kegirangan datang berbareng! Lihat, lusu, ikan yang belakangan ini ada terlebih besar daripada yang ditangkap tadi!" Sembari berkata begitu, empe ini gerakkan tangannya, menuding ke air, berbareng dengan itu sebuah senjata seperti paku perak, melesat menyambar ke jurusan tauwbak dari Hiecun. Siong Siu mengawasi orang dengan tubuh tengkurep di air, kedua tangannya dipakai menahan dirinya, supaya
bisa berdiam terus, ia tidak sangka bahwa ia bakal diserang secara demikian mendadak, meski ia gesit, sukar untuk ia tolong dirinya, justru ia mau bergerak dengan menyangka ia ada bagian mampus, tiba-tiba ia rasai kedua kakinya ada yang sambar dan betot begitu keras, hingga ketika senjata rahasia sampai, senjata itu lewat tepat di atas kepalanya. Kemudian ia telah dibetot terus, masuk ke dalam air, sampai di bawahnya perahu besar itu, sedang kupingnya masih dengar secara lapatlapat suara tiga orang terjun ke air, rupanya untuk cari ia. Malahan tiga orang itu semuanya cerdik, karena mereka telah berpencaran salah satu di antaranya, sudah menuju ke dasar perahu. Oleh karena ia telah dibetot secara mendadak, kendati ia pandai berenang dan selulup, saking kagetnya, Lim Siong Siu telah kena juga tenggak air, hingga ia gelagapan, syukur untuk ia, pikirannya masih sadar, meski ia lelah, ia toh berdaya akan singkirkan diri. Ia melesat ke samping, kedua kakinya digerakkan, atas mana, tubuhnya lantas mencelat ke atas. Satu kali kepalanya nongol di muka air, ia bisa buang dan menarik napas. Tapi ia tidak bisa sia-siakan tempo, la merasa ada orang susul ia, lekas-lekas ia hunus goloknya. Pihak pengejar rupanya ada pandai sekali, ia bisa menyusul dengan lekas, tangannya sudah lantas menjambret. Dengan egos diri ke kiri, Siong Siu menyabet dengan goloknya Untuk tolong diri, penyerang itu segera selulup. Adalah di waktu itu, muncul Thoa Toa Yu dan le Pa Po. Mereka juga sudah kena dipergoki oleh musuh, mereka telah diserang. Pihak musuh ada bertiga. Kemudian di pihak musuh datang si brewokan, yang ternyata ada liehay. Dengan bantuannya dia ini, dua nelayan dari Hiecun itu dengan gampang kena ditangkap, lantas mereka dilelepkan pergi datang sampai keadaan mereka setengah mati. Siong Siu telah dapat lihat dua kawannya digaet naik ke perahu, ia ada mendongkol berbareng kuatir dan malu. la telah buka mulut besar, sekarang ia gagal. Ia malu untuk pulang. Tapi, kalau tidak pulang, lidak bisajadi. Ia perlu pulang untuk memberi laporan. Di lain pihak, sekarang ia dikepung oleh tiga orang!.... Dalam keadaan seperti itu, tauwbak ini menjadi nekat. Ia ingin bisa bacok salah satu penyerangnya, supaya ia sedikitnya tidak hilang muka, atau ia tidak nanti binasa secara kecewa. Sayang untuk ia, kendati ia pandai berenang dan selulup, ilmu silatnya rendah, sedang tiga musuhnya ternyata mengepung ia dengan maksud separoh menilik padanya. Beberapa kali ia ditubruk, beberapa kali ia bisa egoskan dirinya. Akhirnya si brewokan hitam jadi penasaran. "Kalau kita tidak bisa bekuk dia ini, orang tentu tidak akan pandang mata pada kita!" demikian ia berseru. "Silakan kau minggir, nanti aku layani sendiri padanya! Aku mau lihat, ia sebenarnya ada orang liehay macam bagaimana!" Lantas saja orang tua ini selulup. Siong Siu mengerti yang ia lagi hadapi musuh tangguh kendati benar musuh ini bicara terlalu takabur, untuk bikin perlawanan, tidak alpa akan ambil kepastian. Ia lihat lowongan di jurusan barat utara, ia segera berenang ke sana, lantas ia selulup, baru saja mengenjot tiga kali, ia sudah pisahkan
diri jauhnya dua tombak lebih. Dengan cara begini, ia bisa jauhkan diri dari dua musuh, yang sedang awasi ia Kapan ia timbul, ia kehilangan si orang tua brewokan hitam, yang telah selulup sedari tadi. Untuk cari musuh, Siong Siu celingukan, tatkala mendadak ia rasai kedua kakinya membentur suatu apa. Ia kaget, ia segera menahas ke jurusan kakinya. Baru saja ia membacok, atau bebokongnya ada yang sambar, ia segera dibetot. Ia menahan napas, ia coba pertahankan diri, tetapi justru itu, ia merasa tubuhnya segera ditolak, sampai ia terdorong jauh, hingga ia muncul di muka air. Ketika ini ia pakai untuk membuang napas, akan sedot hawa udara baru. Di depannya, ia lihat air bergelombang, apabila ia awasi, ia lihat romannya si empe brewokan hitam. Berbareng dengan itu, di lain jurusan ia tampak air bergelombang, hanya dalam gelap gelita, ia tidak sanggup melihat tegas. Ia menjadi heran, hingga karena bersangsi, ia tidak ingat akan lekas undurkan diri. Ia sedang bengong tatkala dengan mendadak di belakangnya terdengar teguran, "Manusia tidak tahu malu! Apakah kau lagi tunggui kematianmu? Kenapa kau tidak lekas menyingkir, lari pulang?" Siong Siu kaget, ia menoleh dengan lekas, tetapi ia tidak lihat orang yang menegur ia. Tapi sekarang ia insyaf, maka ia tidak berayal untuk melarikan diri. Lantas di muka air ia dengar seruan, "Han loosu, malam ini kita bisa roboh! Kita tidak boleh sudahi saja, kita mesti cari padanya!" Siong Siu tidak peduli musuh, ia lari terus. Di tengah jalan ia ketemu dengan Cian Siu Gie, yang berada di kanannya, bersama-sama Cio Liong. Mereka lari terus sampai di mulut muara, baru mereka merasa lega. Tauwbak itu diam saja, ia berduka dan malu. Ia telah kehilangan dua kawannya. Di mulut muara mereka naik atas perahu mereka dan lantas salin pakaian yang basah, susuti tubuh mereka juga. "Aku roboh," akhirnya kata Siong Siu dengan mengelah napas panjang. "Aku malu buat tinggal lebih lama di Giokliong-giam." "Lim suhu, kenapa kau berpikiran begitu cupet?" Cian Siu Gie kata. "Terang orang telah bersiaga. Kita berdua telah samperkan beberapa perahu, saban-saban kita tidak mampu datang dekat sekali, kita juga mesti dengar ucapan-ucapan pedas, yang berupa jengekan terhadap kita. Orang pun telah sengaja siram kita dengan air kotor. Karena ini kita segera mengerti yang musuh sedang permainkan kita, tetapi karena terpaksa, kita sabar saja, sampai akhirnya kita mundur sendiri." Siong Siu jadi tambah berduka, ia tidak kata apa-apa pada dua orang itu, tapi mukanya merah dan suram, maka Siu Gie lalu ajak Cio Liong undurkan diri ke perahu mereka. Mereka tahu tauwbak itu sedang mendongkol. Siong Siu tetap dalam kemendongkolan dan kesangsian. Ia sangat malu, terutama karena ia tahu di Hiecun rata-rata orang hargakan ia, karena kepandaiannya main di air dan ilmu silatnya. Baru sekarang ia mengerti betul, siapa berada di tempat tinggi, jatuhnya parah. Karena malu, ia kertak gigi. "Biar bagaimana, aku mesti kembali pada musuh, akan cari Toa Yu dan A Po, untuk tolong mereka!" demikian
akhirnya ia pikir. "Kalau aku berhasil, syukur, kalau tidak, tidak nanti aku kembali kemari. Kiushe Hiekee melarang orang meninggalkan golongannya sendiri, tetapi aku terpaksa mesti menyingkir dari sini, aku baik pulang dulu ke Hucun-kang, akan asingkan diri di sana" Setelah ambil putusan, Lim Siong Siu lantas ambil uang, yang ia gubet di pinggangnya, sesudah itu ia pakai bajunya Adalah di waktu itu, ia dengar orang ketok jendelanya sambil berkata-kata, "Lim Siong Siu, kau tidak tahu diri! Kenapa kau bikin turun derajatnya leluhurmu? Kenapa sekarang kau niat lakukan lain kedosaan lagi? Kalau sampai kau terjatuh di tangan musuh, kau bikin aku jatuh merk juga! Kenapa kau tidak mau diam saja, bantu menjaga mulut sungai ini? Cucu yang tidak berguna awas, aku nanti terlebih dulu bereskan padamu!" Siong Siu kaget, hingga bajunya yang baru dipakai separah ia sudah tunda dengan tercengang. Ia tadinya menyangka pada Tan cuncu, yang menegur ia, tidak tahunya, suara itu bukan suaranya Tay Yong. "Siapa?" ia menegur, serta buka pula bajunya. Ia sembat goloknya, dengan tidak tunggu jawaban, ia lari keluar gubuk perahunya. Tapi di perahunya itu tidak ada orang, muka air tenang seperti biasa Salah satu dari sebuah perahu rombongannya berada di sebelah depan perahunya. "Lie Hong," ia tanya, "apa kau lihat orang di perahuku ini?" "Tidak," jawab Lie Hong, orang yang ditanya itu, ialah nelayan dari perahu itu. Mau tidak mau, Siong Siu menjadi heran bukan main, hingga lagi-lagi ia mengawasi muka air, yang tetap tenang, tidak ada tanda-tandanya bekas orang berenang di situ. Ia menjadi masgul, ia kerutkan alis. Akhirnya, dengan lesu, ia bertindak masuk pula ke dalam perahunya, goloknya ia lemparkan. Ia duduk dengan jatuhkan diri. Di kupingnya masih berdengung suara tadi. "Terang ia dari pihak Kiushe Hiekee," ia berpikir. "Ia juga katakan aku cucu yang tidak berguna. Di sini aku benar paling muda, sebaliknya dari golongan tua, hanya ada empe dan encek, maka itu ada siapakah yang panggil aku cucu? Kalau ia dari pihak luar, kenapa ia panggil aku cucu? Lagian, dengan penjagaan begini kuat, cara bagaimana musuh bisa datang kemari dengan tidak diketahui atau mendapat rintangan? Jikalau benar musuh bisa masuk dengan diam-diam, oh, benar-benar kita berada dalam bahaya besar!.... Dan tadi, di dalam air, siapa orang itu, yang telah tolong aku dari ancaman bahaya? Terang ia berkepandaian sangat tinggi, orang dengan kepandaian semacam itu, aku belum pernah lihat...." Mendadak Siong Siu ingat apa-apa. "Apakah ia bukannya salah satu dari leluhur kita, Tan Ceng Po atau Lim Siauw Chong?" demikian dugaannya. "Lim couwhu ada eng-kongku dari turunan langsung tetapi ia telah jauhkan diri dari kita, tidak ketahuan ia tinggal di mana, malahan pihak kita di Hucun-kang tidak pernah ada yang ketahui padanya, cara bagaimana sekarang ia bisa ketahui yang anak cucunya telah merantau sampai di sini? Malahan ia ketahui juga kita sedang terancam bahaya besar dan telah datang pada saat yang berbahaya ini? Tidak, inilah tidak bisa
terjadi!...." Memikir lebih jauh, Siong Siu sekarang insyaf, bahwa ia masih muda dan kurang pengalaman, kepandaiannya pun masih banyak cacatnya, hingga belum waktunya untuk ia masuk dalam kalangan Sungai Telaga. Oleh karena ini, ia jadi bersangsi dan duduk diam saja, karena ia bersangsi, apakah ia pergi atau jangan untuk tolong dua kawannya.... Meski ia rebahkan diri, tauwbak ini tidak bisa pulas, pikirannya masih terus bekerja. Adalah di waktu itu mendadak perahunya bergon-cang keras, di kepala perahunya ia dengar suara menjubiar dua kali, tanda bahwa ada orang terjun ke air atau dilemparkan ke sungai. Dengan kaget ia lompat bangun dan sembat goloknya, lupai segala bahaya, ia lari ke luar, kapan baru saja ia melongok di mulut pintu, ia jadi tercengang, matanya melotot.... Di atas perahu ada rebah dua orang, yang rupanya baru saja diangkat naik dari air, dua-duanya tidak bergerak, seperti mayat. Siong Siu kerutkan alisnya, ia beranikan hati. Ia hampirkan dua orang itu dan segera ia berseru, "Oh, kiranya kamu berdua!" Mereka itu memang Thia Toa Yu dan le A Po, yang tadi tertawan musuh, sekarang pulang entah siapa yang antarkan! Dengan lantas Siong Siu raba dada mereka, ia rasakan jantungnya masih memukul, karena tenggak terlalu banyak air, maka dua nelayan itu jadi pingsan dan rebah sebagai mayat. Siong Siu segera teriaki kawan-kawannya dari perahu tetangga, beberapa orang segera datang, apabila mereka lihat keadaannya Toa Yu dan A Po, lantas mereka turun tangan akan menolong dan sadarkan dua saudara itu. Tidak lama setelah air di perutnya dikuras dan mereka dicekoki air jahe hangat, Toa Yu dan A Po lantas sadar, mereka buka kedua matanya, segera mereka berseru bahna heran. Tapi ini justru bikin lega hatinya Siong Siu, begitupun yang lain. "Ajak mereka ke dalam," Siong Siu kata Beberapa orang lantas dukung dua saudara ini, dengan dipepayang dibawa ke dalam perahu dan terus direbahkan separoh nyender. Mereka sudah sedar, tetapi untuk ingat betul beberapa ketika mesti dikasih lewat. Itulah sebabnya mereka terlalu lemah. Mereka irup lagi air jahe, baru kemudian mereka bisa bicara. "Siunia, malam ini kita orang jatuh merk," akhirnya mereka kata pada Siong Siu. "Kami bisa lolos dari tangan musuh, ini adalah di luar dugaan kita...." "Saudara-saudara, aku menyesal sekali atas kejadian ini," berkata Siong Siu, sang pemimpin atau siunia. "Kamu telah terjatuh di tangan musuh, aku niat menolong, sayang tenagaku tidak ada. Aku malu sekali. Aku sampai di rumah dengan merasa sangat malu.. Aku terangkan padamu, bahwa aku tidak punya muka untuk hidup lebih lama pula. Katakan padaku, siapa telah tolong kamu berdua?" "Begitu kena ditangkap, kita lantas tidak ingat suatu apa," Toa Yu jawab. "Kelihatan musuh tidak mau celakai kita mereka taruh kita di kepala perahu, ditengkurupi, sampai air di perut kita sendiri keluar. Ketika kita sedar, jangan kata lari, geraki tubuh saja kita tidak mampu. Kita
diam saja, bersedia akan terima binasa. Sembari rebah, kita dengar suara orang bicara di dalam gubuk perahu, rupanya mereka sedang berebut pikiran. Karena kita ketulian, kita tidak bisa dengar perkataan mereka. Adalah waktu itu, dari perahu sebelah mendadak lompat dua orang yang tubuhnya sangat enteng dan gerakannya gesit sekali. Mereka pakai pakaian mandi dan kepala dibungkus. Kita lihat mereka ada orang-orang perempuan, malah mirip dengan Yan Toa Nio dan gadisnya. Dalam keadaan seperti itu, gelap dan mata masih seperti lamur, kami tidak mampu menegasi. Lantas dua orang itu samber kita masing-masing dan dibawa terjun ke sungai, kelihatannya kita mau dibawa pulang, tetapi kita tidak ketahui betul, karena begitu lekas masuk di air, lekas juga kita pingsan lagi, sebab percuma saja kita menahan karena kita masih sangat lemah. Sejak pingsan, kita tidak tahu apa-apa lagi!" Siong Siu goyang-goyang kepala, la bingung dan tidak mampu berpikir. "Kenapa justru mereka yang datang menolong, sedang mereka yang kita curigai?" demikian ia paksa asah olaknya. Syukur Siong Siu, ia tidak usah putar otak terlebih jauh. Sebuah perahu mendatangi, lantas ternyata, itu ada perahunya cuncu Tan Tay Yong yang diiringi oleh empat nelayan. Mereka melakukan penilikan. Terpaksa ia menahan malu dan sambut ketua itu. Begitu lekas Tay Yong telah berada di perahunya, Siong Siu tuturkan tentang perjalanan dan pengalamannya yang luar biasa itu. Ia utarakan menyesalnya untuk kegagalan itu. Ia pun tuturkan pengalaman dari Toa Yu dan A Po. "Apa yang aneh, mereka bilang bahwa yang tolong mereka adalah ibu dan anak yang kita curigai itu," ia tambahkan akhirnya. "Aku tadinya hendak beri laporan pada cuncu, tetapi sekarang cuncu telah datang lebih dulu. Sekarang aku minta cuncu angkat lain orang untuk ambil tempatku, kemudian cuncu boleh hukum aku menurut aturan kita, aku akan terima segala hukuman. Aku malu sekali, sebelumnya bertempur dengan musuh, aku telah bikin turun pamor kita...." Mendengar begitu, Tay Yong goyangi tangan berulang-ulang. "Jangan kata begitu," ia bilang. "Titah saja untuk membikin penyelidikan sudah berarti bahaya, apapula dijalankannya itu. Janganlah kau anggap bahwa kegagalanmu itu menurunkan pamor, kau mesti insyaf pentingnya perkara. Sekarang mari kau ikut aku." Siong Siu diam saja, ia ikut diajak ke perahunya ketua itu. Di sini ia disuruh duduk. Ia menurut. "Aku tahu, Siong Siu, mengenai urusan kita, kau selalu bersungguh-sungguh," kemudian kata ketua ini. "Aku juga tahu, kau memang beradat keras dan selamanya ingin menang sendiri. Kita sebenarnya bukan bangsa nelayan sembarangan, kita ada dari Kiushe Hiekee dan telah wariskan sifatnya leluhur kita. Buat kita, hidup atau mati, senang atau terhina, mesti sama-sama. Kau anggap dirimu malu, tetapi ke mana kau hendak pergi? Bukankah ada aturan kita yang melarang anggotanya berlalu dari rombongan dan tidak boleh ditinggal pergi? Kau mesti insyaf dan harus hormati aturan kita itu. Kita hidup senang di sini, semua bukan karena kemampuanku
sendiri sebagai ketua, itu hanya disebabkan ragamnya kita semua. Maka kau berhak untuk mengicipi apa yang kita semua rasakan! Kalau kau menyingkir, kau tentu pulang ke Hucun-kang, apabila itu terjadi, di sana kau mestinya merasa malu sendiri. Kita sekarang terancam bahaya paling hebat, kau bisa buktikan ini dari pengalamanmu sendiri, maka itu kita tidak boleh pandang enteng pada musuh. Terang musuh ada liehay, apabila ia telah turun tangan, pertempuran hebat mesti terjadi. Giokliong-giam akan mandi darah, maka itu, kita justru mesti keluarkan antero tenaga akan membela diri, akan lawan musuh. Untuk kita, tambah satu orang berarti tambah satu tenaga. Tentang ilmu silat, kita tidak boleh ambil kepastian, karena yang pandai ada yang terlebih pandai lagi. Tentang orang yang bantu kita secara menggelap, kecuali sudah pasti ia berilmu tinggi, aku duga pasti ia dari kaum kita. Aku pun merasa aneh pada Yan Toa Nio dan gadisnya, kita sangka mereka sebagai cecolok, penyakit di dalam, siapa nyana mereka justru ada bintang penolong kita! Apa penolong itu bukannya mereka berdua? Tetapi, di sebelah itu kita lagi hadapi musuh berbahaya!...." Lim Siong Siu tunduk saja, ia malu bukan main. "Aku bersyukur yang cuncu sudi memberi ampun padaku," ia bilang, "tetapi keampunan ini membikin aku jadi lebih-lebih bersusah hati. Untuk keselamatannya Kiushe Hiekee, aku tidak mampu berbuat jpa-apa, bagaimana aku tidak malu dan menyesal? Tapi aku berjanji, .iku akan serahkan jiwaku dan kucurkan darahku untuk Giokliong-giam. Melainkan satu hal aku minta, sukalah cuncu menjaga hati-hati. Aku baru pergi ke rombongan musuh sebelah kiri, mereka semuanya liehay bukan main. Aku tidak takut cuncu cela aku, terus terang saja di Hiecun ini sukar untuk cari tandingan musuh, kecuali orang-orang itu yang dengan menggelap telah bantu kita. Dua kali aku telah didekati, dua-dua kalinya aku tidak bisa lihat padanya Bukan aku saja, juga pihak Kangsan-pang tidak dapat lihat padanya meskipun pihak itu liehay. Karena itu, bentrokan di antara mereka belum pernah terjadi. Asal saja orang-orang yang menolong kita suka membantu, harapan kita ada besar. Ketika keluar dari penjagaan musuh, mereka telah lumpuhkan penjagaan musuh. Tapi, yang tadi berkatakata menegur aku dari luar perahu, ia terang ada dari pihak tetua Kiushe Hiekee. Coba cuncu pikir, siapa kiranya dia itu?" "Sekarang ini yang sanggup tolong kita hingga Giokliong-giam tidak usah jatuh ke dalam tangan musuh melainkan ada 2 orang," Tay Yong berkata. "Mereka ada orang-orang luar biasa dari kaum kita ialah pehhu-ku Tan Ceng Po serta engkongmu Lim Siauw Chong. Tapi mereka umpati diri di daerah Hu-cun-kang, sudah banyak tahun mereka tidak pernah muncul. Malahan masih menjadi pertanyaan apakah kedua loojinkee itu ketahui atau tidak tentang kepindahan kita kemari.... Maka adalah luar biasa, justru kita berada dalam bahaya, mereka lantas datang menolong kita! Sungguh aku tidak berani mengharap untuk kedatangan mereka! Tentang Yan toanio dan gadisnya, aku bersangsi untuk pastikan mereka orang macam apa atau dari golongan mana, maka itu, mereka tetap menjadi kecurigaan kita. Tentang mereka aku juga telah pikir hingga seharian, akhirnya
aku masih sangsi. Menampak keadaan musuh demikian rupa, sedang bala bantuan kita tidak bisa dapatkan, tidak bisa lain, terpaksa kita mesti mengandal pada diri sendiri! Kalau bisa kita bela, jikalau tidak kita juga akan bela sampai mati. Tay Yong tidak akan menyingkir dari sini, apapula untuk nyingkir sendirian! Segala apa aku pasrah pada Thian!.... Penjagaan di mulut muara masih kurang, coba kau tambah dengan seluruh pasukanmu. Siong Siu, tetapi hatimu jangan sangsi! Kau niat kucurkan darah untuk Giokliong-giam, angan-anganmu sama dengan angan-anganku! Nah, mari kita orang bekerja!" Siong Siu bersyukur pada cuncu yang baik budi itu. "Baik, cuncu!" ia berkata. "Aku nanti atur saudarasaudaraku guna bela mulut muara ini! Tentang Yan toanio dan anaknya baik cuncu jangan alpa, sebaiknya kau minta Ho siokhu dari pasukan ketiga yang lakukan penilikan. Siapa tahu hati manusia? Sungguh berbahaya kalau dalam perut kita ada tersembunyi musuh!...." "Aku mengerti," sahut Tay Yong, yang lantas saja minta Siong Siu balik ke perahunya dan ia lantas bawa perahunya, akan lanjuti penilikannya. Dari mulut muara, Tan Tay Yong memandang ke jurusan perahu-perahu musuh. Malam ada gelap, cahaya api tidak ada, sukar untuk melihat rombongan musuh itu. Keadaan pun sunyi. Maka itu, ada sukar akan mendugaduga aksi musuh. Hanya satu hal sudah pasti, ia harus berlaku hati-hati, karena musuh, yang sudah datang, tentunya sudah siap sedia akan menyerang, tinggal tunggu waktu saja. Dengan masgul ia berjalan pulang, sembari lewat, ia memandang ke jurusan gubuknya Yan Toa Nio dan anak. Gubuk ada gelap dan sunyi, rupanya orang sudah tidur dengan tenang, karena biasanya, gubuk itu selalu memasang api. Untuk mengawasi ibu dan anak ini ada kewajibannya Ho Jin dari rombongan ketiga, ia keluar menemui Tay Yong kapan ketua itu datang ke tempat jagaaannya. "Kenapa api di gubuk itu padam?" Tay Yong tanya. "Apa ada kelihatan itu ibu dan anaknya keluar dan masuk?" "Tadi, begitu lekas cuaca menjadi gelap, mereka pasang api terang sekali, tidak berhentinya mereka mundar-mandir," Ho Jin bentahukan. "Sejak jam dua, api dipadamkan dan lantas gubuk itu jadi sunyi, sampai sekarang tidak kelihatan ada gerakan apa juga di dalam situ. Aku percaya mereka tidak akan lolos dari pengawasanku." Tay Yong goleng kepala, ia tidak kata apa-apa "Ancaman bahaya ada hebat, kau harus waspada," kata ia kemudian, yang terus pulang. Ia terus tidak bertenteram hati, hingga orang-orang di rumahnya turut jadi sibuk. Giok Kouw yang tunggui ayahnya, sudah sambut ayah itu, ia bisa lihat romannya yang kucai. "Malam ini toh tidak ada bahaya, ayah?" kata puteri ini. "Ayah lelah, lebih baik sekarang kau pergi rebahkan diri." Tay Yong menghela napas, sambil batuk-batuk ia jatuhkan diri di kursi. Ia lihat pelita sudah guram, maka ia berbangkit seraya ulur lengannya, akan tarik sumbu pelita itu. Atau mendadakan ia terperanjat. "Eh, perbuatan siapakah ini?" lanyanya, dengan mata mendelong.
Di bawah pelita ada selembar kertas! Giok Kouw mendekati, ia pun iidak kurang herannya. Ia jumput kertas itu, yang ada suratnya, maka berdua ayahnya, ia membaca surat ini yang berbunyi begini: Perhatikan! Pihak Englok-kang niat mencari balas, barusan perahunya sudah siap! Jangan memandang enteng! Mereka telah berserikat dengan pihak Kangsan-pang, yang tangguh! Kau semua bukan tandingan mereka tetapi jagalah mulut muara dengan kuat, guna lindungi Hiecun! Jangan bertindak sembrono, untuk mencegah keruntuhan, yang harus disingkirkan. Di saatnya yang berbahaya, aku nanti datang, akan lindungi keselamatannya anak cucu dari Kiushe Hiekee, supaya mereka luput dari pembasmian secara kejam. Maka, berhati-hatilah kau! SIAUW CHONG. Siauw Chong berarti Chong si Kecil, bukan "Siauw" dari Siauw Chong. Yang sama adalah huruf "Chong" itu. --ooo0dw0ooo-III Ayah dan anak itu menjadi girang, setelah besarkan api, dengan hati-hati mereka letaki surat itu di atas meja dan keduanya lantas unjuk hormat sambil paykui pada surat itu. "Dasar anak cucunya Kiushe Hiekee di sini tidak akan ludas, mereka telah bikin tergerak hatinya leluhur kita, hingga mereka hendak ditolong," kata Tay Yong kemudian pada anaknya. "Siauw Chong ini adalah couwhu Lim Siauw Chong." "Dengan begini menjadi nyata, Lim couwhu dan engkong kita terang masih berada di dunia ini," kata Giok Kouw yang kegirangan. "Sudah lama aku tidak lihat mereka itu, mereka telah bertapa hingga ada yang kata mereka telah jadi malaekat dan tidak campur lagi urusan dunia, siapa nyana sekarang mereka masih ingat anak cucunya, yang mereka hendak lindungkan keselamatannya." "Sekarang telah menjadi terang, Lim Siong Siu berlima telah ditolong oleh Lim couwhu," Tay Yong berkata. "Couwhu janji mau bantu kita, kendati demikian, kelihatannya kita masih mesti lakukan satu pertempuran hebat, karena musuh ada tangguh sekali. Aku kuatir kalau mereka lakukan pembokongan terhadap kita...." Tay Yong berhenti bicara dengan mendadak, karena mereka dengar suara apa-apa di jendela, ia kaget karena melihat daun jendela terbuka sendirinya. Hampir dengan berbareng, mereka lompat ke kedua pinggiran. Tapi daun jendela tertutup pula kapan dari luar melesat masuk selembar kertas. "Siapa?" teriak Tay Yong, yang menjadi gusar serta hunus goloknya. Tapi keadaan ada sunyi seperti biasa. Ketika cuncu ini lari ke luar rumah, sampai di lataran, ia tidak melihat siapa juga. Malam ada tenang sekali. Dari empat penjuru, di mana kaum nelayan melakukan penjagaan, tidak ada gerakan apa juga. "Ayah, mari!" terdengar suaranya Giok Kouw di dalam rumah. Tay Yong masuk dan lihat muka anaknya pucat. "Apakah bunyinya surat itu?" ia tanya Giak Kouw angsurkan kertas itu pada ayahnya, siapa
segera membaca. Surat itu datangnya dari Na Thian Hong, ketua dari Englok-kang Coanpang dan Pian Siu Hoo, ketua dari Kangsan-pang Coanpang. Coanpang berarti rombongan perahu nelayan. Mereka itu tidak menulis apa-apa kecuali memberi hormat.... "Ini ada suatu hinaan besar bagi kita!" kata Tay Yong dengan gusar sekali. "Kita telah kirim orang membikin penyelidikan, kita gagal, sudah begitu, mereka sengaja antarkan surat mengirim tabe ini. Dengan jalan ini mereka hendak majukan tantangan secara hormat, inilah tanda bahwa mereka ingin tumplek antero tenaganya untuk hadapi kita, guna rampas Giokliong-giam Hiecun! Maka sekarang tidak ada lain jalan daripada kita terima tantangannya itu. Jangan kuatir, anak, kita akan hadapi segala apa!" "Kita memang tidak usah takut, ayah," Giok Kouw bilang. "Aku memang ketahui, ayah ada berani dan tidak takut mati. Tapi, dengan penjagaan yang begini kuat, musuh bisa datang dan pergi dengan merdeka, apakah artinya penjagaan kita terlebih jauh?" Belum Tay Yong sahuti anaknya kapan kuping mereka dengar suitan bambu, maka berdua mereka lari keluar, akan cari keterangan, justru satu nelayan dari mulut muara datang pada mereka untuk memberi laporan. "Ada apakah?" Tay Yong mendului tanya. "Dari jurusan mulut muara, tidak ada gerakan apaapa, tanda datang dari jurusan Giokliong-giam," sahut pembawa warta itu. Tay Yong menoleh pada gadisnya. "Pergi pulang dan tunggu rumah, aku mau pergi melihat," ia berkata. "Aku juga mau pergi melihat," kata si nona. Tay Yong sudah lantas lari menuju ke jurusan bukit, ia ambil jalan air, untuk mana telah dibuka satu jalanan air yang sempit, yang muat hanya sebuah perahu kecil. Ia lompat turun atas perahu dan anaknya pun turut. Dua nelayan sudah menunggu di perahu itu, yang segera digayuh pergi. Di sepanjang jalan ada nelayan-nelayan yang menjaga, tapi saban kali Tan cuncu menanya, selalu ia dapat jawaban bahwa tanda datangnya dari atas bukit, bahwa sudah ada orang yang memburu naik ke atas bukit itu. "Apakah ada musuh datang dari sana?" Semua orang menjawab tidak terang. Maka Tay Yong maju terus, dengan terus menanya tidak berhentinya, sebentar saja ia sudah sampai di tempat tujuannya. Di sini ia dapat kenyataan, nelayan-nelayan dari empat perahu yang menjaga di situ sudah pergi melakukan penyelidikan, dan dari atas bukit tertampak dua lentera sorot Khongbeng-teng yang bersinar kuning. "Apakah cuncu yang datang?" demikian terdengar orang menanyanya. "Benar," sahut Tay Yong, yang segera ajak puterinya mendarat dan naik terus. "Tidak apa-apa, cuncu," adalah laporannya satu pemimpin rombongan itu, Lie Coan Seng namanya. Ia telah papak ketua itu. "Kita sudah periksa semua tempat di sini, kita tidak dapatkan juga...." "Sebenarnya, apa yang sudah terjadi?" ketua itu menegaskan. "Kita diperintah menjaga di bawah curam," Coan Seng
jawab. "Kita tidak lihat suatu apa, tapi barusan satu saudara dengar suara apa-apa di atas curam, ketika ia pergi periksa, samar-samar ia tampak bayangan orang. Ia kuatir matanya kabur, ia tidak berani banyak berisik, tapi dengan diam-diam ia memberi kabar padaku, maka aku segera kirim dua saudara akan pasang mata. Belum lama, dari bawah lompat naik satu bayangan, loncat tinggi sampai tiga kaki, maka dengan tiga kali loncatan saja, ia telah bisa sampai di atas. Ia segera ditegur oleh saudara-saudara yang menjaga di atas, tetapi ia tidak menjawab, malahan ia lari terus, ketika ia dipanah, ia lolos. Kemudian muncul satu bayangan lain yang mengejar bayangan pertama, bayangan kedua ini mempunyai gerakan tubuh yang tidak kalah gesitnya. Ia juga ditegur tetapi ia diam saja. Maka itu terang mereka bukan ada orang dari pihak kita. Karena ini, tanda suitan lantas dibunyikan. Dari bawah kita semua memburu ke atas, untuk lakukan pemeriksaan, tetapi kesudahannya nihil, hanya dari kejauhan kita dengar orang bertempur serta saling menegur." Hatinya Tay Yong berdebar mendengar keterangan itu. Itulah di luar dugaan yang orang benar-benar ambil jalan dari atas bukit, dari curam yang tidak disangkasangka, sedang yang dijaga keras adalah mulut muara. Cara bagaimana orang bisa jalan di tempat yang tidak ada jalanannya itu, yang penuh dengan bahaya? Dengan ajak kawan, Tan cuncu coba bikin pemeriksaan sendiri, lentera Khongbeng-teng telah digunakan, hasilnya sama saja, yaitu kosong. Di tempat yang sukar itu tidak kedapatan tanda atau bekas apa juga yang mencurigai. Akhirnya Tay Yong pulang sesudah ia pesan untuk Lie Coan Seng menjaga pula dengan hati-hati serta menambah jumlahnya saudara-saudara yang menjaga di atas curam itu. Ia ajak Giok Kouw mampir ke mulut muara, akan menilik pula sambil menanyakan keterangan kalau-kalau di muara ada gerakan apa-apa, tetapi jawaban yang ia dapat adalah bahwa segala apa tenang seperti biasa. Hanya tadi, di pihak musuh datang lagi tiga buah perahu besar di kiri dan kanan, muatannya ada tujuh atau delapan orang yang dandanannya bukan seperti dari Englok-pang. Tan Tay Yong manggut-manggut, ia mengerti bahwa musuh telah tambah tenaga, bahwa Hiecun terancam bahaya, la utarakan apa yang ia pikir ini kepada anaknya. Tatkala itu sudah terang tanah. Dalam perjalanan pulang, Tay Yong coba melihat ke jurusan gubuk, ia lihat ibu dan anak dari keluarga Yan itu berada di dalam pekarangan rumahnya, sikapnya tenang. Lagi-lagi Tay Yong goleng kepala. Ia seorang yang berpengalaman, tetapi sekarang ia menjadi bingung. Apa yang harus dilakukan terhadap ibu dan anak itu, yang ia tidak berani — malahan tidak nanti — usir dengan paksa? Ia toh tidak berani pastikan dua orang asing itu ada sahabat atau musuh, sedang mereka ada orang-orang perempuan. "Andaikata mereka datang untuk membantu, aku toh harus malu, karena aku tidak mampu duga mereka dengan jitu...." demikian ia pikir. Kira-kira tengah hari, dari mulut muara datang satu nelayan yang melaporkan bahwa pemimpin dari Englokpang, Na Thian Hong, ada kirim utusan membawa karcis
nama dan surat untuk minta ketemu dengan Tan cuncu. Tay Yong berpikir sebentar, lantas ia perintah utusan itu diijinkan masuk ke mulut muara, ia akan menantikan di sana di dalam perahunya. Seperginya nelayan itu, Tan cuncu lantas siap dan pergi ke mulut muara, di sini ia naik sebuah perahu besar dan atur sejumlah saudara-saudara nelayan untuk berbaris menyambut utusan musuh. Mereka berbaris rapi dan unjuk roman keren tetapi tidak bersenjata. Tidak antara lama dari mulut muara kelihatan mendatangi sebuah perahu yang laju sekali. Di kepala perahu itu berdiri tegak satu orang, tubuhnya bergeming kendati juga perahu memain karena bergeraknya penggayuh. Ia berumur tigapuluh lebih, baju dan celananya hijau, kaki celananya digulung, hingga kelihatan kakinya yang telanjang, hanya dibungkus dengan cauw-eh, sedang kepalanya ditutup dengan tudung rumput. Melihat romannya, ia ada seorang yang cerdik. Sebentar saja, perahu nelayan itu telah sampai pada perahu besar. Dengan tubuh yang nampaknya enteng sekali, orang itu mencelat lompat dari perahunya pindah ke perahu besar. Dari kere, yang memisahkan mereka, Tan Tay Yong dapat melihat nyata gerakan orang yang gesit itu, hingga ia menduga pada kepandaian orang. Satu nelayan segera singkap kere serta berkata, "Silakan, tuan, cuncu undang kau masuk!" Tay Yong berbangkit menyambut sambil unjuk hormatnya "Aku girang sekali jikalau kau sudi perkenalkan dirimu, tuan," ia berkata. "Aku ada Cee Sie Kiat, orang sebawahan dari Na lootocu dari Englok Coanpang," sahut tamu itu. "Apa aku lagi berhadapan dengan cuncu dari Giokliong-giam Hiecun?" "Benar. Silakan duduk!" "Terima kasih, cuncu. Aku sedang terima perintah, aku pun ada pegawai rendah dalam Englok-pang, mana aku berani berlaku tidak tahu aturan...." Sembari kata begitu, dari jepitan surat yang ia cekal, ia keluarkan selembar karcis nama dan sepucuk amplop, yang mana ia serahkan pada tuan rumahTiraikasih Website http://kangzusi.com/ Tay Yong menyambuti sambil mengucap terima kasih, lagi sekali ia mengundang duduk. Tapi tamu ini tetap berdiri diam. Segera juga Tay Yong kenalkan karcis nama itu, yang sama dengan yang ia terima di waktu malam. Maka ia lalu buka suratnya dan baca seperti berikut: Yang terhormat, Cuncu Tan Tay Yong dari Giokliong-giam Hiecun. Dengan hormat, karena paksaannya musim paceklik, pihak kita telah coba minta pinjam tempat di daerah perikanan Giokliong-giam, apa mau, karena penolakan cuncu, satu pertempuran yang menyedihkan telah terjadi. Tatkala itu, karena sedang bepergian, aku tidak bisa lantas datang pada cuncu untuk menghaturkan maaf. Sejak itu, banyak tahun telah lewat, tetapi saudara-saudaraku yang telah terima budi kebaikan cuncu, tidak ada satu yang bisa lupai itu. Demikianlah, sekarang kita orang datang berkunjung. Dalam tempo 3 hari, saudara-saudara kita akan memasuki Gioklionggiam untuk minta pengajaran, aku minta sukalah cuncu
jangan menampik. Sekian, lain tidak. Hormatnya. NA THIAN HONG. Tay Yong tertawa setelah ia habis baca surat itu. "Aku merasa girang sekali yang pemimpinmu begini hargakan aku," ia kata, "aku pun girang yang ketua dari Kangsan-pang turut datang juga. Memang, sejak di Hucun-kang, pihak kamu memang sudah punyai perkenalan, aku tidak nyana, setelah berselang duapuluh tahun lebih orang masih tidak lupai aku! Karena omongan terlebih sempurna daripada surat, maka sahabat, kau saja tolong sampaikan jawabanku. Tempo tiga hari itu aku terima baik, waktu itu aku akan menyediakan air dan arak guna menyambut pihakmu, sebagaimana keharusannya satu tuan rumah. Kau banyak cape sahabat, sampai secangkir thee kau tidak minum, aku tidak berani tahan kau lebih lama lagi, nah, persilakan! Sampai ketemu pula lagi tiga hari!" "Terima kasih, cuncu!" sahut tamu itu. "Kau sudi terima kita, itu menyatakan kau ada satu sahabat. Nah, sampai ketemu pula!" la putar tubuhnya dan bertindak pergi, Tay Yong mengantarkan hingga ia bisa lihat bagaimana leluasa orang lompat balik ke perahunya, perahu bergeming, papan perahu tidak bersuara, mula-mula kakinya itu berdiri sebelah, dalam sikap dari Kimkee toklip atau "Ayam emas berdiri dengan sebelah kaki", kemudian ia putar tubuhnya serta terus angkat kedua tangannya menghadapi tuan rumah. "Maaf, aku tidak mengantar terlebih jauh!" kata Tay Yong yang balas hormat itu. Anak perahu dari Giokliong-giam tidak senang menampak sikap yang jumawa itu, maka waktu ia kasih bekerja penggayuhnya, akan bikin perahu mulai berangkat dan sengaja gunakan tenaganya dengan dikageti. Biasanya gerakan itu akan bikin terpelanting orang yang sedang berdiri di atas perahu. Tapi maksud ini gagal, karena cepat sekali Cee See Kiat sudah turunkan sebelah kakinya yang lain, hingga ia injak papan perahu dengan kedua kakinya— kedua kaki yang berdiri dengan tetap! "Saudara-saudara, kamu benar pandai!" ia kata sambil bersenyum. "Kamu pasti ada banyak cape!" Anak-anak perahu itu menjadi malu sendirinya, dengan tidak kata apa-apa, mereka kasih perahunya jalan terus, sampai di mulut perahu di mana tamu yang jumawa itu segera lompat ke perahunya sendiri untuk lanjuti perjalanannya pulang. Sementara itu Tan Tay Yong sudah lantas pulang, sedang tadinya orang mengharap ia menuturkan apa-apa berhubung dengan diterimanya karcis nama dan surat dari Kangsan-pang dan Englok-kang itu. Karena ini, mereka hanya bisa menduga-duga saja. Giok Kouw mengerti kesukaran ayahnya. Pian Siu Hoo dari Kangsan-pang dan Na Thian Hong dari Englok-kang memang ada musuh-musuh yang harus dimalui, sedangkan tenaganya Giokliong-giam Hiecun hanya cukup untuk dipakai melayani orang-orang biasa saja, tidak segala jagoan dari kalangan Sungai Telaga. Karena ini, ia pun diam saja, ia ikuti ayahnya pulang. Alisnya Tay Yong mengkerut. la tahu ia lagi hadapi musuh berbahaya dan ia tidak bertetap hati kendati ia
ketahui, pada pihaknya ada bantuan dari pihak tetuanya yaitu Lim Siauw Chong. "Ayah, bukalah pikiranmu," kata Giok Kouw akhirnya untuk hiburkan ayah itu. "Selagi bahaya mengancam, kita mesti lupakan segala apa kecuali persiapan untuk membela diri. Louw couwhu telah berjanji akan bantu kita, aku percaya ia tidak akan antap anak cucunya menjadi korban musuh. Umpama kata kita tidak berdaya, ini juga bukannya alasan untuk kita mandah saja! Semua saudara kita bukannya orang-orang yang takut mati! Kalau sudah sampai saatnya, mari kita melawan, apabila mesti binasa, mari kita binasa semuanya!" Tay Yong manggut-manggut, anak itu benar adanya. "Aku mengerti," ia bilang, "ini ada jalan satu-satunya bagi kita." Lantas Tay Yong ajak pengiring akan melakukan penilikan lagi, setelah mana ia himpunkan semua kepala rombongan, pada mereka ia beritahukan tentang tantangan musuh dan minta semua bersatu hati untuk bersiap dan membela diri, untuk usir musuh. Ia minta, sekalipun siang, jangan ada yang alpa. Penjagaan di atas Giokliong-giam telah ditambah. Kemudian Tay Yong melongok lagi nyonya Yan dan anaknya, untuk kesangsiannya, ia dapati ibu dan anak itu tenang seperti biasa. Ia benar-benar tidak bisa bade halnya dua orang asing ini. Sementara itu, dua hari telah lewat dengan tenteram. Di hari ketiga, Seantero hari tidak ada gerakan apaapa dari pihak musuh. Di waktu sore, Tay Yong juga tidak dapati munculnya Lim Siauw Chong, susiok-nya, tetua dari Kiushe Hiekee, ia menjadi bingung. Maka ia kumpulkan empat tauwbak: Wan Sam Siu, Yap A Tiong, Ho Jin dan Lim Siong Siu. "Kita telah terima tantangan Na Thian Hong, malam ini adalah waktu yang ditetapkan," ia berkata. "Mereka mempunyai banyak orang pandai, inilah terpaksa aku mesti bilang terus terang padamu, karena, sebagai cuncu, aku tidak boleh justakan kamu. Sebagai ketua, aku tidak boleh ucapkan kata-kata yang bisa melemahkan pihak kita, toh aku tidak bisa sembunyikan rasa hatiku. Apa faedahnya akan omong besar apabila buktinya sebaliknya? Aku tahu, apabila tidak ada orang berilmu bantu kita, kita mesti menderita kekalahan, tetapi sebagai ketua, aku akan pertaruhkan jiwaku, akan membela Hiecun sebisa-bisaku. Di atas itu, aku mesti lindungkan kehormatannya Kiushe Hiekee! Maka sekarang aku harap semua saudara pun bersatu pikiran dengan aku!" Empat tauwbak itu tidak kenal takut, sebaliknya mereka jadi bersemangat "Jangan cuncu berkuatir," mereka nyatakan. "Kita semua tidak takut mati, kita akan belakan Giokliong-giam dengan jiwa kita, kalau perlu, kita akan siram Hiecun dengan darah kita!" "Ini barulah turunan dari Kiushe Hiekee!" berkata Tay Yong sambil manggut-manggut. "Sekarang aku mau minta perhatian kamu semua. Kalau sebentar musuh datang, apabila perahu mereka tidak melebihkan sepuluh buah, kau boleh ijinkan mereka masuk, tetapi begitu mereka sudah ada di dalam, mulut muara harus ditutup, dengan tidak ada titah, penutupan itu tidak boleh dibuka, satu perahu pun tidak boleh keluar! Tentang kejadian di
dalam, semua pihak penjagaan di sini jangan ambil tahu. Untuk penjagaan di mulut muara, aku ingin disediakan duapuluh empat perahu, setiap perahu mesti pasang dua lentera merah dan empat obor. Semua perahu ini harus berbaris dari Hiecun sampai di mulut muara Mulai dari mulut muara, Lim Siong Siu mesti menjaga bersama delapan buah perahu. Pasukan ketiga dari Ho Jin tidak usah semuanya mengawasi nyonya Yan dan anaknya, kau mesti siap untuk bantu di sebelah dalam muara, untuk menjaga kalau-kalau musuh menerjang dengan mendadak. Pasukan kedua dari Yap A Tiong semasuknya perahu-perahu musuh, mesti lantas gabungkan diri dengan pasukan kesatu dari Wan Sam Siu, kau mesti berpencar di sekitar daerah kita, untuk menunggu titah terlebih jauh. Malam ini ada malam terakhir bagi hidup atau musnahnya kita aku harap semua insyaf dengan kewajiban masing-masing. Sekarang, silakan kamu bekerja!" Empat tauwbak itu berikan janji mereka, sesudah itu mereka pergi dengan berpencaran, akan bersiap menuruti perintah ketuanya. Maka selanjutnya, Hiecun malam itu ada beda daripada biasanya Maka setiap satu tombak lebih tentu ada terdapat dua perahu di kiri dan kanan, masing-masing dengan dua lentera dan empat obor. Di depan Hiecun ada enam-belas perahu besar, pada setiap tiang layarnya ada satu lentera merah yang besar, pada setiap kepala perahu ada empat nelayan, yang bersenjata tempuling, pakaiannya pakaian berenang, kepalanya dibungkus rapi. Di pantai di depan Hiecun, di mana ada lapangan yang besar, ada ditaruh enambelas perangkat kursi meja, guna sambut tamu. Di sini ada diatur barisan-barisan dari empat-puluh nelayan, sebagian pegang lentera, sebagian bersenjata tempuling, golok dan klewang, untuk di air. Tan Tay Yong pakai thungsha biru, ia tidak bekal senjata, hanya karcis nama. Ia telah siap akan sambut tamu. Giok Kouw telah dandan dengan ringkas, tetapi orangorang perempuan lainnya semua berdiam di dalam rumah dan dilarang keluar. Tapi mereka insyaf gentingnya keadaan, maka mereka tidak masuk tidur. Sekalipun adanya persiapan, seluruh Hiecun ada sunyi senyap. Maka Tan Tay Yong merasa puas di waktu ia pergi untuk melakukan penilikan, ia dapat semua titahnya telah dijalankan betul. Belum terlalu lama, dari atas Giokliong-giam ada terdengar suara suitan bambu, yang beruntun terus, satu kali. Suitan itu memang ada pertandaan dan suaranya ada rupa-rupa, dengan dengar suaranya orang lantas ketahui ada terjadi apa-apa. Tan Tay Yong terperanjat. "Kembali di puncak ada orang yang menoblos dengan diam-diam," ia berkata. "Sekarang semua mesti siap dan pasang mata! Na Thian Hong gunakan cara ini, terang ia bukannya saru sahabat dari kalangan Sungai Telaga. Kita telah bikin perjanjian, kenapa ia bersikap begini? Sekarang mari kasih dengar tanda, supaya semua pihak kita umpati diri, supaya dilepaskan anak panah terhadap siapa saja yang melintas dalam daerah kita!" Baru saja titah itu hendak dijalankan, mendadak dari tempat gelap di samping mereka, lompat keluar satu
orang ke depannya Tay Yong. Semua orang menjadi kaget, mereka menyangka musuh, lantas mereka maju. Tan Tay Yong tidak bersenjata tetapi ia tidak takut, dengan tabah ia awasi orang itu. "Siapa kau, sobat?" ia menegur. "Kenapa kau lancang masuk kemari?" Ditegur demikian, orang itu tertawa berkakakan. "Aku pulang ke rumah sendiri, kenapa aku dikatakan lancang?" ia berkata. Tay Yong lihat orang itu pakai baju biru dengan celana pendek biru juga, kakinya tidak terbungkus kaos, bersepatu rumput, kepalanya ditawungi tudung lebar, hingga orang itu mirip dengan satu nelayan atau tukang sawah. Mengawasi lebih jauh, ia taksir usianya tujuhpuluh lebih, kumis dan jenggotnya ubanan, mukanya kurus tetapi segar dan sehat. Tiba-tiba ia terperanjat, lantas ia menghampirkan, untuk berlutut. "Siokhu, Tay Yong unjuk hormatnya padamu!" ia berkata. Melihat sikapnya ketua itu, semua orang lantas batalkan sikap mereka yang mengancam. "Bangun, bangun!" berkata orang tua itu, yang bukan lain daripada tetua Kiushe Hiekee, Lim Siauw Chong. "Sekarang bukan waktunya untuk bicara lagi, segera juga kedua kunyuk tua dari Englok-pang dan Kangsan-pang bakal datang kemari! Aku datang bersama dua orang, aku nanti ajar kau kenal dengan mereka...." Sembari kata begitu, tetua itu menoleh ke tempat gelap dan meng-gape. "Mari sini! Sekarang aku telah menjadi tuan rumah di sini, aku undang kamu untuk minum thee! Mari!" Berbareng dengan undangan, itu, dari tempat gelap ada lompat keluar dua orang, lompat turun dari tempat tingginya tiga tombak dan turunnya tepat di samping Lim Siauw Chong. Dua-dua mereka mempunyai roman luar biasa. Yang pertama rambut dan kumis jenggotnya sudah ubanan, alisnya tidak terkecuali, tubuhnya tinggi dan besar, muka bundar dan montok serta segar, satu muka yang tidak seharusnya dipunyakan oleh satu akiaki. Bajunya warna abu, adalah thungsha, dengan kancing-kancing tembaga yang besar, tangan bajunya lebar dan panjang, hingga jadi gerombongan. Kakinya pakai kaos panjang dan sepatu. Air mukanya tersungging dengan senyuman. Yang kedua, beda dengan, si jangkung dari besar itu, ia bertubuh kate dan kurus luar biasa, mirip dengan kulit membungkus tulang, pakaiannya ringkas dan pendek, bersepatu rumput dengan tidak pakai kaos kaki, sedang kulit mukanya ada pucat kuning seperti seorang yang penyakitan. Berdua mereka jadi tambah luar biasa, karena mereka berdiri berendeng, hingga roman mereka jadi beda sekali satu dengan lain. "Jiewie loo-suhu, ini adalah keponakanku yang tak berguna, Tan Tay Yong namanya," berkata Lim Siauw Chong pada kedua tamunya. "Apa yang bakal terjadi malam ini, keponakanku sekalian ada mengandel betul pada kamu berdua...." Si tua tinggi besar dan ubanan tertawa haha-hihi. "Siauw Chong, kau aneh!" ia berkata. "Kita orang bekerja janganlah seperti katanya pribahasa: 'Kapan sudah terdesak, baru merangkul kaki Budha', sesudah
melewati sungai, segera merusaki jembatan, sesudah luka sembuh, lantas melupai sakit, atau sesudah urusan beres, lantas berpura tidak kenal, hingga dua atau tiga tahun, kau sukar untuk diketemukan! Inilah aku tidak mau, sahabat, dengan begitu kau bukanlah sahabatku! Kita orang bersaudara biasanya tidak ada hutang, kita menjual kontan dan tidak mainkan tempo, maka kalau nanti urusan sudah beres, dengan baik-baik kau harus undang kita berjamu!...." Tay Yong sementara itu sudah lantas berlutut di depannya tamu untuk perkenalkan diri sambil unjuk hormatnya. Si kate kurus, yang romannya mirip dengan monyet, sudah lantas berkata dengan suaranya yang agak serak, "Cucu, apakah kau kenal siapa kita berdua? Dengan kau berlutut di depan kita, apakah itu tidak menurunkan derajatmu sebagai ketua di sini?" demikian ia tanya. "Aku minta loo-cianpwee jangan tertawai aku, dengan sebenarnya aku tidak kenal pada loo-cianpwee berdua...." jawab Tay Yong dengan jengah. Kemudian ia menoleh pada Lim Siauw Chong sambil berkata. "Siokhu, tolong kau ajar aku kenal dengan jiwie loo-cianpwee ini... " Tetua Kiushe Hiekee manggut, ia segera tunjuk si tinggi besar yang ubanan. "Ini ada Hengyang Hie-in Sian le, untuk seluruh Ouwlam, dengan ilmu silatnya Bianciang Kanghu, ia telah pimpin semua ahli silat..." Kemudian ia menunjuk si kurus kering yang beroman monyet, ia tambahkan, "Ia adalah tukang usil urusan sewenang-wenang di daerah Tiangkang, hingga orang juluki ia Souwposu, atau si Pembalasan cepat. Ia ada orang she Cukat ber nama Pok." Baru saja Lim Siauw Chong tutup mulutnya atau ada lompat turun orang yang ketiga yang kumis dan jenggotnya hitam menutupi mulutnya. "Dan ini ada Hee In Hong, yang namanya tersohor di selatan dan utara Taykang, karena golok besarnya Kimpwee Kamsantoo," ia segera perkenalkan lebih jauh. Maka Tay Yong pun lekas-lekas unjuk hormatnya pada orang yang ketiga ini. Kemudian ia lekas berbangkit dan segera mengundang duduk pada ketiga tamunya itu. Sementara itu beberapa nelayan segera menyuguhkan thee panas. "Kau telah undang kita, apa begini caranya kau sambut tamu?" menegur Cukat Pok pada Lim Siauw Chong. "Kamu semua benar-benar tidak boleh dibuat permainan. Sampaipun arak kau tidak sediakan! Kenapa kau begini muris, sampai uang dipandang dan disayang seperti jiwa sendiri?" "Jangan tidak kenal aturan, sahabat!" Lim Siauw Chong sahuti. "Dengan tidak berjasa kau menerima pahala, aku kuatir, umpama kau makan, barang makanan juga tidak nanti mau hancur. Kau lihat cuaca, sekarang ini sudah jam berapa? Bukankah di mulut muara sedang menantikan sahabat-sahabat karib kita! Kita harus terlebih dulu usir mereka pergi, baru kemudian kami bisa makan dan minum dengan tenang, untuk merayakan pesta kemenangan! Waktu itu barulah barang makanan dapat digayem hingga hancur!...." "Kau harus hati-hati jika setelah melewati sungai segera merusak jembatan, atau setelah liamkeng segera
memukul hweeshio!" berkata Souwposu Cukat Pok sambil bersenyum. "Kau harus mengerti, aku bisa membayar dan membalas kontan padamu, jangan karena kau telah mencari aku, segera kau boleh perintah aku sebagai si kacung tolol, yang boleh diperintah menjual tenaga untuk si orang she Lim! Bukankah kau ada dari pihak Kiushe Hiekee? Jikalau padaku tidak dihaturkan terima kasih sebagaimana pantasnya, di antara kami mesti ada perhitungan yang belum beres!...." "Eh, Cukat Pok, kenapa sih kau tidak mengenal aturan?" menegur Hee In Hong. "Kenapa di antara sekalian tetua, kau berhitungan begini matang? Apa kau tidak kuatir kehormatan dirimu nanti juga turun harga?" Hengyang Hie-in tertawa berkakakan. "Cukat loosu, apa kau tidak dengar suara suitan di mulut muara itu?" ia tanya. "Bukankah itu ada tanda bahwa di mulut muara orang telah bergerak? Pasti, rupanya usaha kita bakal segera dimulai!...." Benar saja, suara suitan lantas terdengar berulangulang, disusul dengan lajunya sebuah perahu kecil yang sangat pesat, di atas mana ada tanda lentera dan bendera merah. Sesampainya di depan Hiecun, satu nelayan yang berdiri di kepala perahu kecil itu sambil goyang bendera merahnya segera berseru, "Tiga perahu besar dari pihak luar sudah mulai masuk!" "Aku tahu," jawab Tay Yong serta berbangkit. Atas jawaban itu, perahu kecil tersebut segera balik kembali. Sekarang semua mata ditujukan ke muka air, ke jurusan mulut muara. Tiga buah perahu nelayan besar tertampak sedang mendatangi, empat buah perahu di kiri dan kanan mengiringi. Muka air menjadi terang, di situ memain cahaya obor dan lentera, air jadi bercahaya bergemirlapan. Lajunya perahu-perahu sangat cepat, air sungai sampai jadi berombak. Tay Yong ajak sejumlah saudaranya pergi ke tepi untuk membikin penyambutan. Delapan nelayan, dengan masing-masing pegang lentera, berbaris di kedua pinggiran. Selagi tiga perahu besar mendatangi, kelihatan di perahu pertama ada empat anak buahnya berdiri di kepala perahu, pakaiannya serupa, di tangannya masingmasing me-nyekal obor, sedang di perahunya ada dua buah lentera besar. Kelihatan nyata di kertas lentera ada tiga huruf "Kang San Pang". Kedua jendela telah dipentang, di dalam perahu kelihatan tiga orang sedang berduduk. Penumpang lainnya adalah enam anak buah dan satu tukang kemudi. Perahu yang kedua ada sama keadaannya, kecuali di lenteranya ada tertulis tiga huruf lain, yaitu "Lan Kie Pang". Adalah perahu ketiga yang pakai lentera dengan tiga huruf "Eng Lok Pang" dan di situ ada berduduk lima atau enam orang. Sebentar kemudian ketiga perahu sudah berlabuh, dari perahu pertama mendarat satu anak buah, tangannya menyekal karcis nama, yang mana sambil menjura ia serahkan pada Tan Tay Yong. Ia kata itu adalah karcis nama tanda menghormat dari pihaknya, pihak tamu. Di antara terangnya lentera, Tay Yong periksa karcis
nama itu. Ia baca: Na Thian Hong, pemimpin dari Englok-pang. Pian Siu Ho, pemimpin dari Kangsan-pang. Han Kak, pemimpin dari Hangciu-pang. le Tong, pemimpin dari Lankie-pang. Auwyang Cu Him, pemimpin dari Tonglouw-pang. Sun Po Sin, pemimpin dari Liongyu-pang. Cui Cu le. Cia Kiu Jie. Dua nama yang tidak berpartai itu ada ahli-ahli silat ternama di Tiangkang. Segera Tay Yong perintah satu nelayan bawa surat itu pada Lim Siauw Chong, agar tetua itu ketahui siapa-siapa yang berada pada pihak musuh, ia sendiri lalu berkata pada pembawa karcis itu, "Silakan sekalian tamu-tamuku mendarat!" Sementara itu sekalian tamu sudah mulai mendarat, maka kapan mereka itu telah datang dekat, sambil bertindak ke samping, Tay Yong angkat kedua tangannya untuk unjuk hormatnya. "Tan Tay Yong dari Giokliong-giam Hiecun berterima kasih yang cuwie loo-suhu telah sudi datang ke desaku ini, harap dimaafkan yang aku telah terlambat menyambut...." ia berkata. "Silakan cuwie loo-suhu duduk minum thee...." Na Thian Hong adalah yang kepalai kawan-kawannya itu. Di antara mereka, empat berpakaian sebagai nelayan sejati, yaitu baju dan celana pendek, kaki telanjang, hanya pakai cauw-eh, tetapi mereka semua membawa senjata, senjata rahasia tidak terkecuali. Dengan sikap menghormat Tay Yong memimpin rombongan tamunya menuju ke kursi meja di mana Lim Siauw Chong dengan tiga sahabatnya telah berbangkit dan bertindak maju akan bikin penyambutan. Selagi kedua pihak saling mendekati, Hengyang Hie-in Sian Ie segera mendului kawan-kawannya maju ke depan, sembari tertawa, ia lantas berkata, "Malam ini pertemuan kita ada suatu pertemuan yang beruntung sekali! Aku tidak sangka bahwa Pian loo-suhu dari Kangsanpang juga telah turut datang! Ini ada pertemuan yang sukar dicari keduanya! Dan kau, Auwyang loo-suhu dari Tonglouw-pang, apakah kau masih kenal padaku, Hengyang Hie-in Sian Ie? Cu Ie, Kiu Jie, jiewie loo-suhu, kamu telah membuang tempo akan datang kemari! Kalau tidak keliru, sudah beberapa tahun telah lewat sejak kita orang bertemu paling belakang!" Ternyata, dari pihak tamu, empat orang telah dikenal oleh Sian Ie. Di antara tamu-tamu itu, Pian Siu Hoo adalah yang merasa paling heran atas beradanya Hengyang Hie-in di Giokliong-giam Hiecun, keheranan ini sampai terpeta pada air mukanya, akan tetapi ia sudah lantas maju akan menjabat tangan orang serta berkata sambil paksakan bersenyum. "Sian loosu, kau telah datang kemari untuk bantu meramaikan pertemuan kita, inilah hal yang kita sebenarnya minta pun tidak berani! Adalah pengharapanku, ke mana saja kita sampai, kita akan ketemui sahabat-sahabat kekal, karena dengan begitu, di mana ada urusan, kita orang bisa bicara dengan leluasa. Loo-suhu, aku ingat, kita orang telah berpisah empat atau lima tahun lamanya...."
"Rasanya jauh terlebih lama daripada itu, loo-suhu!" Sian le jawab. "Pada tujuh tahun yang lalu, di waktu aku pergi ke See-ouw, aku telah ketemu kau di sana! Bukankah apa yang aku ingat ini tidak keliru?" Pemimpin dari Kangsan-pang yang bergelar Tiathongliong, si Naga Besi, manggut. "Matahari dan bulan lewat laksana melesatnya anak panah, apa yang sudah lewat nampaknya ada seperti di depan mata," berkata ia. "Lihatlah, sekarang rambut dan kumis kita sudah putih, akan tetapi kita tidak engah sang waktu telah lewat entah berapa banyak tahu-tahu kita telah menjadi tua!" "Tetapi Pian loosu, aku sendiri merasa bahwa aku masih belum tua!" berkata Nelayan Tersembunyi dari Hengyang, si sobat tua bangka, kalau bukannya pada diri kita masih ada hati jagoan, mana kami berani campur tahu segala urusan orang lain?" Mukanya ketua dari Kangsan-pang menjadi bersemu merah, ia merasa terpukul sindir oleh kenalan itu, yang bicara secara manis dan halus, tetapi yang maksud ucapannya sangat menusuk hati. M