105
PEMBANGUNAN HUKUM EKONOMI NASIONAl DALAM MENYONGSONG PEMBENTUKAN KAWASAN PERDAGANGAN BEBAS ASEAN* C.F.G. Sunaryati Hartono Lahimya Asean Free Trade Area (AFTA) dan di taadatanganinya General Agreement on Trade aad Tariff (GAIT) di Marakesh barubaru ini bagi Indonesia, antara lain, menyebabkan perlunya pembangunan hukum ekonomi nasional. Demikian pula perlu di perhatikan pentingnya hannonisasi hukum nasional dengan perjanjian-perjanjian hukum intemasional dan regional dalam rangka GAIT, AFTA dan MEC. Sudah tiba waktunya mellYusun kerangka sistim hukum nasional serla peraturan-peraturan yang langsung lnellgatur kegiatan bisnis dan ekonomi.
Pendahuluan Pada akhir PELITA kelima, dan menjelang dimulainya REPELITA VI, Indonesia dan negara-negara ASEAN lainnya telah menyepakati perjanjian tentang program pentahapan menuju terwujudnya kawasan perdagangan bebas ASEAN (AFfA). AFf A diprogramkan agar terbentuk setelah proses pentahapan selama 15 tahun atau pada tahun 2008 yang bertepatan dengan pelaksanaan REPELITA VIII. Pembentukan AFf A dibarapkan dapat menciptakan perdagangan yang dinamis di kawasan ASEAN yang sekaligus dapat mendatangkan dampak pertumbuhan yang progresif (trade creation) di masing-masing negara anggotanya, walaupun pada saat ini sumbangan pangsa pasar ASEAN masih
• Disampaikan pada Seminar Nasional tentang Kesiapan Tata Hukum EkoDomi Indonesia DaJam Meoyongsong Era Rcgionalisasi Ekonomi ASEAN, melalui AFT A, diselenggarakan olm Senat Mabasiswa Fakultas Hukum Universitas AndaIas, Padang 18 - 20 April 1994.
Nomor 2
Tahun
XXIV
106
HukulIl dan Pembangunan
terhitung sangat keci!, yaitu hanya sekitar 15% dibanding dengan pangsa pasar di luar ASEAN.' Dengan demikian sesungguhnya masing-masing anggota ASEAN masih tergantung pada pasar global. Oleh karena itu, pendirian AFTA tidak mungkin menjadikan ASEAN bersikap "inward looking", karena tidak mungkin ASEAN menjadi sebagai pasar alternatif dari pasar global dan internasional. Sungguhpun negara-negara ASEAN dewasa ini masih tergantung pada pasar global, hal itu tidak perlu merupakan halangan bagi pembentukan AFTA, dengan tetap mempertahankan prinsip "outward looking". Dengan demikian AFTA dijadikan bagian dari pasar internasional, yang intensitasnya lebih ditingkatkan agar dapat memupuk daya saing regional dalam menghadapi mitra internasional yang lain, terutama terhadap negara-negara yang telah membentuk blok-blok perdagangan seperti pasar tunggal Eropa, NAFT A (North American Free Trade Area), EFT A (European Free Trade Area), dan sebagainya. Melalui program skema preferensi tarif bersama (CEPT) secara lambat laun, produk-produk tertentu yang memasuki masing-masing negara ASEAN dapat dikurangi pungutan bea masuknya, yang pada saat menjelang REPELIT A VIII nanti hanya dikenakan tarif 0 - 5 % saja. Dalam pada itu perlu disadari, hahwa pelaksanaan skema preferensi tarif yang telah ditentukan sementara untuk 15 mata dagangan, yang berlaku efektif mulai 1 lanuari 1993, telah diikuti oleh pemberlaban perjanjian GA IT hasil Putaran Uruguay pada bulan Desember 1993. Oleh karen a itu sesungguhnya Indonesia, dan negara-negara ASEAN lainnya menghadapi permasalahan yang cukup berat, yang harus dihadapi secara simultan. Masalah-masalah itu menyangkut persaingan: (\) produk-produk dalam negeri terhadap produk impor sesama negara anggota; (2) produk dalam negeri terhadap produk impor non-anggota; dan (3) produk-produk yang tercakup dalam skema preferensi tarif AFT A dengan produk-produk dari pasar global. Perkembangan ini jelas membutuhkan kesiapan kita untuk menghadapi persaingan yang ceilderung akan semakin ketat, sehingga diperlukan berbagai upaya untuk meningkatkan efisiensi termasuk perbaikan sistem dan pranata hukum yang mampu mendukung kegiatan ekonomi dan bisnis yang semakin mod~rn dan global sifatnya. Oleh karena itu segal a perubahan dengan berbagai implikasinya baik
lSumber dari Stalistik Ekonomi dan Keuangan. DPS 1990.
April 1994
Hukum Ekonomi
107
dalam lingkup nasional, regional, maupun global perlu terus dipantau dengan sikap terbuka, agar kita mencari jalan bagaimana kita dapat menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan tersebut, tanpa merugikan kepentingan nasional. Dalam rangka mengantisipasi perkembangan hubungan ekonomi dan perdagangan di masa depan, khususnya untuk menunjang pelaksanaan AFr A, Hukum Ekonomi nasional pun perlu di-up-to-date-kan; baik Hukum Nasional yang berbentuk peraturan perundang-undangan, yurisprudensi, keputusan arbitrase, maupun hukum kebiasaan dagang, termasuk lembaga, mekanisme pranata maupun sarana hukum, fisik maupun non fisiko Dalam rangka mengkaji masalah sejauhmana kesiapan tata hukum ekonomi nasional menghadapi era AFrA, berikut ini kita coba mengidentifikasi beberapa permasalahan yang dihadapi Indonesia untuk dapat memprediksi dan menentukan langkah-Iangkah yang diperlukan ke arah penataan sistem hukum maupun sistem ekonomi nasional yang lebih baik. Beberapa Permasalahan Hukum Ekonomi Nasional Dalam Menghadapi Era Perdagangan Bebas ASEAN AFr A telah diprogramkan akan terwujud menjelang pelaksanaan REPELITA VIII, dimana secara bertahap tetapi pasti, perekonomian nasional maupun internasional akan terus dikembangkan ke arah suasana yang semakin bebas dan terhuka. Perkembangan ini akan membawa serta persaingan yang semakin ketat, sebab komoditi-komoditi yang akan bertarung dalam pasar nasional, tidak hanya berupa barang atau produk-produk manufaktur dari negara-negara anggota ASEAN dan dari negara-negara non-ASEAN, tetapi juga akan berbentuk jasa-jasa, mengingat perjanjian GATT yang baru-baru ini telah ditandatangani telah menyepakati liberalisasi perdagangan barang maupun jasa (trade in services). Perkembangan tersebut niscaya akan menimbulkan berbagai dampak, baik yang positif maupun negatif. Oleh karena itu diperlukan pembaharuan dan penataan kembali sistem dan pranata hukum (ekonomi) nasional, agar pengusaha kita dapat menjaring segal a peluang yang ada sekaligus dapat menangkal dan mencegah berbagai dampak negatifnya. Beberapa permasalahan yang niscaya muncul dalam suasana keterbukaan dan persaingan yang semakin keras itu, antara lain meliputi keadaan-keadaan sebagai berikut: I) timbulnya berbagai praktek bisnis yang belum terjangkau oleh sistem dan pranata hukum positif, seperti masalah akuisisi dan merger Nomor 2 Tahun XXlV
108
2)
3)
4)
5)
Hukum dan Pembangunan
perusahaan, modal ventura, kejahatan komputer, dan sebagainya. semakin melebarnya perbedaan kondisi sosial dan ekonomi di antara negara-negara anggota yang dapat menjadi kendala bagi Indonesia untuk menarik manfaat dari Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN itu; beraneka ragam pengaturan hukum yang dimaksudkan untuk memberikan kesempatan berusaha yang adil bagi semua pihak, tetapi sekaligus juga melindungi pasar dalam negeri; persaingan yang semakin keras di mana setiap pelaku ekonomi cenderung untuk mencari keuntungan sebanyak-banyaknya. Hal ini akan mendorong timbulnya persaingan bisnis curang oleh pihak-pihak tertentu. Perbuatan bisnis curang tersebut dapat berupa perbuatan yang konvensional tetapi juga dapat berbentuk perbuatan-perbuatan yang walaupun sudah dilarang di luar negeri, tetapi di Indonesia sendiri belum diatur dengan baik, sehingga misalnya dengan mudahnya para pengusaha mengadakan kolusi atau pengmman sampah yang memba\1ayakan lingkungan Indonesia, sebagai barang impor. dalam suasana demikian ternyata Indonesia sangat mengabaikan pembentukan dan pembinaan hukum nasional kita, sehingga kini masih belum tanggap terhadap praktek-praktek bisnis yang semakin kompleks, Tidak hanya karena bentuk-bentuk bisnis itu merupakan perbuatan yang baru yang didukung oleh sarana dan prasarana berteknologi tinggi, tetapi juga karena jangkauan usahanya telah bersifat transnasional atau melampui batas-batas wilayah negara.
Permasalahan-permasalahan tersebut selain harus diantisipasi dengan tindakan-tindakan yang didasarkan perkiraan ekonomi, juga memerlukan upaya-upaya penataan kembali sistem dan pranata hukum Indonesia dan sekaligus menyesuaikannya dengan tuntutan untuk pembentukan Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN, maupun aturan permainan perdagangan internasional yang tertuang di dalam Perjanjian GAIT hasil Putaran Uruguay di Marakesh. 1. Praktek-praktek bisnis yang membutuhkan sistem dan pranata hukum ekonomi yang baru Liberalisasi perdagangan yang ingin diciptakan oleh mekanisme AFfA dan juga GAIT, adalah suatu mekanisme perdagangan yang menitikberatkan pada peranan swasta dan pasar, walaupun dalam beberapa hal tertentu campur tang an pemerintah tetap diholehkan sepanjang yang menyangkut halhal yang renting hagi masyarakat dan strategis bagi negara. Misalnya April 1994
Hukum Ekonomi
109
masalah pembelian barang untuk kepentingan pemerintah (government procurement) termasuk dalam rangka menjaga ketertiban masyarakat. Dalam suasana demikian, setiap produsen akan dipaksa untuk bersikaf efisien dan harns bernpaya untuk merebut pasar secara sehat melalui berbagai cara agar produknya memenuhi keburuhan pasar. Pada dasarnya pasar yang mewarnai persaingan dewasa ini bersifat "buyer 's market". Sehingga produsen atau pemasok barang harns berusaha untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian sesuai dengan selera pasar. Hal-hal yang perlu diperhatikan ialah antara lain: rancang bangun produk, sistem penyerahan yang tepat waktu, standar mutu barang yang memadai, dan harga yang bersaing, maupun faktor-faktor penunjang transaksi, seperti cara-cara pembayaran, syarat-syarat pengangkutan, dan syarat-syarat lainnya yang dibutuhkan oleh pembeli dan sebagainya. Hal-hal ini semuanya memerlukan pengaturan hukum yang rinci dan kelancaran proses perdagangan antar-negara, regional maupun internasional. Oleh sebab itu aspek-aspek inilah yang perlu kita atur dalam Hukum Ekonomi Nasional kita yang baru, maupun dalam Hukum Ekonomi Internasional. Bidang hukum yang belum diatur dengan baik ialah terutarna Hukum Kontrak dan Hukum tentang Hak Milik . Sebab hingga kini kita masih selalu berpegangan pada ketentuan-ketentuan Hukum Kontrak yang diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Padahal bentuk-bentuk kontrak yang timbul dan telah dipergunakan sejak tahun 1967 sudah begitu ban yak ragamnya, dan kebanyakan merupakan kontrak standar. Perlu diketahui, bahwa kontrak yang diatur dalam KUHPerdata adalah kontrak yang diadakan antara dua pihak atau lebih yang kekuatan dan kedudukan sosial ekonominya hampir sarna. Sedangkan dewasa ini kontrak-kontrak standar atau kontrakkontrak baku yang biasanya diadakan, terjadi antara dua pihak yang tidak sarna kuat, yaitu misalnya pihak pembeli teknologi yang rnerupakan pihak yang lemah dan biasanya berasal dari.lndonesia sebagai negara berkembang, dan pihak penjual teknologi yang biasanya merupakan pihak yang kuat dan berasal dari negara industri maju . Pihak pembuat kontrak baku yang merupakan pihak yang kuat pada umumnya mencantumkan suatu syarat yang menguntungkan dirinya sendiri (exoneration clausule), misalnya dengan mengurangi atau menghapuskan resiko bagi dirinya sendiri, tetapi mernberatkan pihak yang lemah. Contoh lain dari praktek bisnis yang dewasa ini sering digunakan dalam dunia perdagangan rnisalnya "countertrade" (imbal dagang) yang memiliki berbagai bentuk pelaksanaannya, seperti "counterpurchase, buyback, compensation, switch, offset, swap" dan sebagainya. NOllwr 2
Tahun XXIV
110
Hukum dan Pembangunan
Adanya berbagai bentuk kontrak imbal dagang (countertrade) tersebut, sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup, tujuan, syarat penyerahan barang, sistem pembayaran, dan pihak-pihak yang terlibat dalam transaksi tersebut. 2 Dalam kontrak "buyback" biasanya yang dijadikan obyek transaksi utama ialah peralatan, mesin-mesin, atau teknologi, termasuk paten. Obyek yang dimasukkan dalam transaksi ini biasanya digunakan untuk membangun fasilitas produksi (pabrik) milik pihak pembeli. Dalam perjanjian ini kedua belah pihak sepakat bahwa pihak penjual akan membeli dari pihak pembeli, produk-produk yang merupakan hasil dari fasilitas produksi yang dibangun dengan menggunakan peralatan tersebut. Sehingga jelas bahwa Kontrak "buyback" ini tidak lagi merupakan kontrak jual beli biasa, tetapi sudah dikaitkan dengan beraneka perjanjian yang lain, antara lain dengan ketentuan mengenai lisensi paten, merek, hak cipta, disain industri, dan lain-lain. Karena itu ruang lingkup perlindungan hak milik intelektual tidak hanya menyangkut aspek-aspek konvensional seperti yang diatur dalam perjanjian-perjanjian WIPO (World Intellectual Property Organization) saja, tetapi telah diatur dalam GAIT (General Agreement on Tariffs and Trade) yang secara langsung dikaitkan dengan kegiatan perdagangan (diatur dalam "Agreement on Trade Related Aspects of Intellecmal Property Rights"). Perlindungan hak milik intelektual yang diatur dalam TRIPs antara lain meliputi perlindungan terhadap indikasi geografis (geografical indicators), rahasia dagang (trade secret), disain produksi industri (industrial design product), yang semuanya belum tercakup' dalam peraturan hukum positif kita. Di samping itu masih banyak sekali aspek-aspek hukum seperti tanggungjawab produsen terhadap produk yang dihasilkan (product liability), dan lain-lain, yang belum terjangkau oleh hukum nasional kita. Demikian pula surat-surat berharga masih perlu diatur lebih baik dan modern, agar supaya pembayaran beraneka transaksi dapat dilaksanakan secara elekrronik dan lehih lancar, serta lehih tepat waktu dari sekarang. Semua itu pelu diadakan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya, kalau mungkin dalam 5 sampai 10 tahun mendatang . Itulah salah satu alasan mengapa MPR telah meningkatkan Sektor Hukum di dalam GBHN 1993 menjadi Bidang Hukum.
21. Soedradjad Djiwanlinllo. ferdaRolIgall dan Pemballgunall, LP3ES, 1992, hal. 170.
April 1994
Hukum Ekonomi
111
2. Perbedaan kondisi sosial-ekonomi dan sistem hukum di negara-negara anggota AFT A Pembentukan AFTA tidak dimaksudkan untuk menjadikan ASEAN sebagai pasar ekonomi yang tertutup (inward looking) seperti NAFTA (Nortb American Free Trade Area) atau ESM (European Single Market). Hal ini dikarenakan ASEAN dalam jangka waktu dekat belum mampu menciptakan pasar bersama, mengingat pasar ekspor negara-negara anggotanya masih sangat tergantung pada jalur internasionalnya masing-masing. Oleh karena itu tujuan pokok pembentukan AFT A adalah untuk merangsang lapangan dan pembagian kerja, efisiensi, serta penurunan biaya produksi di kawasan ASEAN. Tingkat kemakmuran negara-negara ASEAN, kecuali Singapura dan Brunei Darussalam, pada dasarnya cukup rendah. Maka peredaran barang di kawasan AFT A masih kurang didukung oleh daya beli dari negara-negara anggota. Dalam keadaan seperti ini investor non-ASEAN melihat peluang untuk berperan di negara yang dapat memberikan insentif baginya yang paling baik. Salah satu intensif yang paling baik yang dapat diberikan kepada investor asing adalah sistem hukum dan kepastian hukum serta transparansi hukum yang baik. Tentu saja, yang paling disukai ialah apabila sistem hukum yang dianut oleh host country semakin sarna dengan sistem hukum yang berlaku di negaranya sendiri. Padahal selain berbagai perbedaan yang dapat mewarnai persaingan antara negara-negara ASEAN seperti: luas wilayah, jumlah penduduk, potensi kekayaan alam , falsafah dan pandangan hidup , pengalaman historis, standar hidup dan tingkat kemajuan ekonomi serta arah kebijakan ekonomi masing-masing negara, masih pula terdapat perbedaan besar antara sistem hukum yang berlaku di Indonesia dengan sistem hukum yang berlaku bagi masyarakat negara-negara ASEAN. Pengalaman sejarah juga yang menimbulkan perbedaan sistem hukum yang dianut oleh masing-masing negara anggota ASEAN. Misalnya Thailand dan Indonesia menganut sistem hukum Eropah Kontinental. Walaupun Thailand tidak pernah dijajah, namun atas pilihan sendiri Thailand cenderung menganut sistem hukum Eropah Kontinental, khususnya hukum Perancis. Namun demikian dalam Hukum Bisnis Thailand cukup banyak dipengaruhi oleh Hukum Inggeris-Amerika juga. Sedangkan Indonesia menganut sistem Eropah Kontinental yang diwariskan oleh bekas negara penjajah yaitu Beland a dan pada akhir-akhir ini banyak dipengaruhi Nomor 2 Tahun XXIV
112
Hukum dan Pembangunan
oleh Hukum Amerika, terutama di bidang bisnis dan ekonomi. Di lain pihak Singapura, Malaysia, dan Brunei Darussalam yang merupakan negara bekas jajahan Inggeris, seakan-akan membentuk suatu kawasan dalam kawasan ASEAN. Akhirnya Filipina yang bekas jajahan Spanyol dan Amerika Serikat menganut sistem hukum "common law". Perbedaan-perbedaan tersebut itu . menimbulkan sulitnya komunikasi hukum antara Indonesia dengan lain-lain negara ASEAN, sehingga merupakan salah satu kendala terhadap upaya harmonisasi hukum untuk menunjang perdagangan yang lebih erat antara mitra ASEAN . Untuk itulab pada tanggal 5-6 April 1994 di Jakarta telab diadakan suatu Seminar Singapura-Indonesia tentang Hukum Bisnis untuk memperkenalkan beberapa aspek Hukum Bisnis Singapura yang penting kepada kalangan hukum dan bisnis Indonesia. Pada tahun 1993 di Singapura ' telah diadakan Seminar Hukum Singapura-Indonesia yang menyangkut Hukum Bisnis pula, dimana pembicara dari Indonesia memperkenalkan Hukum Indonesia kepada masyarakat Hukuf!! dan Bisnis Singapura. Cara ini merupakan salab satu metode untuk lebih memudahkan proses harmonisasi hukum yang diperlukan sebagai landasan kerjasama yang lehih erat antara negara-negara ASEAN. Diharapkan bahwa melalui kerjasama hukum antar negara-negara ASEAN aktititas serupa juga akan membantu meningkatkan saling pengertian antara kalangan hukum di negara-negara ASEAN dan memperbesar kemungkinan harmonisasi hukum di bidang Hukum Ekonomi, untuk menunjang berbagai kegiatan ekonomi dan perdagangan regional di ASEAN dan Asia Pasitik. 3. Praktek bisnis tidak sehat dan persaingan curang Pada dasarnya setiap persaingan selalu mendorong dinamika suatu kegiatan menjadi marak; tidak terkecuali di bidang bisnis. Dampak persaingan hisnis dapat bersifat positif yakni menciptakan gairab kerja dan menumbuhkan kreativitas bagi para pelakunya yang pada akhirnya akan menarik para pemilik modal untuk menanamkan modalnya. Namun tidak jarang, persaingan menimbulkan dampak negatif, apabila pihak-pihak yang lehih herpengalaman melakukan praktek curang yang merugikan pihak yang lebih lemah. Misalnya apabiJa suatu perusabaan melakukan menetapkan harga-harga lebih tinggi di dalam negeri dari pada harga di luar negeri, maka pengusaha ini melakukan "dumping". Apabila praktek ini menimhulkan dampak yang merugikan perusahaan-perusahaan negara ke mana produk-produk ini diimpor, maka oleh hukum setempat April 1994
Hukum Ekonomi
113
pihak yang merugikan akan dikenakan sanksi "anti dumping". Masalah ini telah sering dialami oleh Indonesia yang sering dituduh sebagai pelaku dumping, tetapi tidak jarang pula Indonesia menjadi korban dari praktek dumping itu. Posisi Indonesia dalam hal ini sangat lemah, karena sampai saat ini Indonesia belum mempunyai mekanisme, sistem dan pranata hukum yang mengatur dan menangani masalah ini. Oemikian pula, tindakan pemerintah yang ikut membantu produsen dan produksi dalam negerinya melalui pemberian subsidi atau keringanankeringanan lainnya. Oi satu pihak tindakan ini dapat membantu pengusaha nasional melainkan daya saingnya terhadap harga produk negara lain, tetapi di lain pihak bantu an ini akan mengakihatkan dikenakannya bea pengimbang atau "countervailing duty" oleh negara pengimpor yang ingin melindungi produk dan produsennya sendiri juga. Tentu saja hal ini sangat merugikan posisi (pengusaha) negara berkembang terhadap (pengusaha) negara maju. Apabila ketentuan-ketentuan setelah perjanjian GATT hasil · Putaran Uruguay, akan lebih lagi menyudutkan (pengusaha) negara-negara berkembang, karen a menentukan, bahwa terhadap produk yang mengandung pemalsuan hak milik intelektual, pemberian keterangan yang tidak henar tentang asal-usul barang (local content), pemalsuan merek, pencurian paten, pencurian hak cipta, dan peniruan disain produk industri dapat dikenakan sanksi dengan penolakan barang tersehut oleh negara yang akan mengimpornya. Oengan demikian praktek-praktek demikian dengan tegas dilarang oleh hukum internasional (GATT), tetapi Hukum Nasional kita sendiri beJum mengatur hal-hal serupa terhadap harang-barang yang kita impor dari negara lain yang melakukan praktek yang serupa. Oi samping terdapat praktek-praktek hisnis curang tersebut di atas, masih ban yak praktek-praktek Jain yang dapat dikategorikan sebagai persaingan bisnis curang, tetapi yang pada saat ini belum terjangkau oleh sistem dan pranata hukum kita yang herlaku. Padahal di negara lain praktek seperti monopoli, persekongkolan untuk memanipulasi harga, memberikan informasi bohong, pembajakan tenaga kerja, pencemaran lingkungan, kolusi, dan lain-Jain semuanya dilarang dengan tegas dan dihukum berat. Oi Indonesia satu-satunya pengaturan yang dapat dikaitkan atau dijadikan dasar gugatan atas kerugian yang ditimbulkannya adaJah pasal 1365 KUHPerdata. Tentu saja satu pasal ini masih jauh dari memadai untuk dapat menjaring beraneka ragam perbuatan curang yang merugikan perekonomian nasional kita. Selanjutnya produk yang akan heredar di Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN adalah produk manufaktur atau produk hasil rekayasa manusia. Namar 2 Tohlln XXiV
114
Hukum dan Pembangunan
Dalam menggunakan produk tersebut mungkin terjadi kerugian terhadap pihak ketiga akibat adanya cacat tersembunyi. Oleh karena itu diperlukan adanya pengaturan tentang perlindungan konsumen dan tanggungjawab produk (product liability). Kerugian yang terjadi itu tidak hanya mungkin terjadi terhadap harga benda, atau fisik manusia, tetapi juga mungkin timbul terhadap lingkungan. Tentu saja kekosongan hukum mengenai perbuatan melawan hukum di bidang bisnis itu sangat merugikan pengusaha dan perekonomian kita sendiri. Karena itu menurut pendapat saya, kami benar-benar perlu memberi prioritas pada pengaturan dan penyusunan suatu RUU tentang Perbuatan Melawan Hukum di Bidang Bisnis, yang juga harus mencakup praktek-praktek kolusi, anti dumping, dan lain-lain praktek curang di bidang bisnis yang disebut di atas. 4. Hukum Nasional yang masih jauh tertinggal dengan kegiatan-kegiatan di bidang bisnis dan ekonomi internasional dan regional Jelas, bahwa pencapaian dinamika ekonomi dan perdagangan (trade creation) yang ingin diciptakan melakui pembentukan Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN (AFT A), sesungguhnya bukan suatu usaha yang dapat terjadi sekali jadi dengan hanya mengucapkan "sim sala him ", atau m.:nandatangani suatu perjanjian internasional. Sebaliknya upaya ini merupakan upaya besar dan membutuhkan usaha rasional yang membutuhkan kerja keras dari semua anggotanya. Tiap-tiap negara anggota akan dan harus berlomba membangun industri dan menghasilkan produk yang bermutu, dengan harga jual yang bersaing, bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, tetapi juga untuk memenuhi permintaan ekspor. Tetapi semua itu akan sia-sia, apabila seluruh sarana dan pra sarana hukum, baik di masing-masing negara ASEAN, maupun di seluruh kawasan ASEAN tidak menunjang kegiatan ekonomi tersebut. Termasuk di dalamnya juga sarana hukum penyelesaian sengketa, baik melalui badan-badan pengadilan, maupun mehlui arbitrase dan mediasi . Dewasa ini masih dirasakan bahwa sistem dan pranata hukum positif kita, maupun dari negara ASEAN yang lain belum dapat memenuhi kebutuhan yang sesuai dengan tuntutan persaingan dan globalisasi yang semakin mendesak. Padahal arus zaman yang didesak oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, sudah jauh meninggalkan berbagai peraturan yang berlaku.
April 1994
Hukum Ekonomi
115
Pembangunan Hukuin Ekonomi Nasional Dalam Menyongsong Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN (AFTA) a. Menjalin politik deregulasi, debirokratisasi dan swastanisasi ke dalam sistem hukum nasional Dalam Pelita VI peraturan-peraturan hukum, baik yang berasal dari zaman sebelum kemerdekaan maupun sesudah Proklamasi Kemerdekaan perlu secepatnya dimodernisasi , sebab pada saat ini banyak peraturan hukum kita di bidang bisnis dan ekonomi masih terlalu bersifat reaktif dan insidental dan lebih merupakan reaksi sesaat terhadap kebutuhan bisnis yang timbul pada saat-saat tertentu. Hal ini misalnya terjadi dengan berbagai pembatasan kaedah-kaedah Hukum Dagang (regulasi, seperti peraturan harga plafon atau harga minimum suatu barang produksi), maupun yang bersifat deregulasi yang dimaksudkan untuk mengadakan debirokratisasi atau swastanisasi. Peraturan-peraturan deregulasi yang hanya melihat kepentingan ekonomi dan bisnis sesaat itu dan yang tingkatannya di bawah Undang-undang (yakni berbentuk peraturan-peraturan pemerintah, Keputusan Presiden, Instruksiinstruksi Presiden, Keputusan-keputusan Menteri atau Pejabat lainnya di sektor perekonomian dan dunia bisnis) ternyata telah mengacaubalaukan kesisteman dan ketaat-asasan dalam Sistem Hukum kita. Sebab di dalam semua sistem hukum, baik kontinental maupun common law, berlaku asas bahwa peraturan yang tingkatannya lebih rendah hanya boleh mengatur lebih lanjut pelaksanaan peraturan yang lebih tinggi , dan sekali-sekali tidak boleh menyimpang dari peraturan yang lebih tinggi itu, apalagi , mengesampingkannya. Padahal kebanyak peraturan deregulasi kita justru menyimpang dari ketentuan peraturan UU yang lebih tinggi sehingga kacaulah seluruh sistem hukum kita maupun penegakannya. Di dalam Pelita VI sampai dengan Pelita X kesisteman ini perlu ditegakkan kembali , dengan tetap mengupayakan deregulasi, debirokratisasi dan swastanisasi. Hal ini hanya mungkin dengan menetapkan atau menyusun kembali peraturan-peraturan hukum yang berlaku umum dan mendasari seluruh Sistem Hukum nasional kita, seperti misalnya hukum tentang hak milik, hukum perjanjian atau hukum kontrak, hukum tentang perbuatan curang dan perbuatan melawan hukum, hukum ten tang surat-surat berharga, dan hukum kebangkrutan (jailLissement), hukum acara perdata, dan masih banyak lagi. Bagian-bagian inilah yang membentuk Nomor 2 Tahun XXIV
116
Hukum dan Pembangunan
kerangka Sistem Hukum Nasional kita. Pendek kata, dalam PJPT II ini kita memerlukan suatu "overhaul" di bidang hukum, baik dalam kesadaran hukum aparat Pemerintah terhadap hukum, maupun dalam materi hukum, lembaga dan aparat hukum serta segala sarana dan prasarana hukum. Itulah makna dan maksud GBHN 1993 menentukan pembangunan hukum sebagai BIDANG, dan tidak sebagai Sektor belaka. Jika diambil kiasan dengan mobil, maka seluruh sistem hukum kita pada saat ini sudah harus "turun mesin", agar dapat ditentukan kembali ramburambu baru bagi "lapangan bermain" para pelaku ekonomi. Seperti halnya dengan permainan bola, atau tennis, selama para pelaku bermain di dalam batas-batas lapangan yang telah ditentukan, selama itu pun mereka mempunyai kebebasan mencari cara dan gaya bermain yang paling cocok. Tetapi begitu mereka melanggar "batas lapangan" atau aturan permainan, mereka langsung akan dikenakan sanksi atau hukuman hukum. Inilah makna deregulasi dalam hukum, yang harus terjalin (built-in) di dalam Hukum Nasional kita. Dengan cara ini pun akan tercipta suasana keterbukaan (tranparansi) dan kepastian hukum; tidak hanya bagi investor asing, tetapi juga bagi semua Warga Negara Indonesia. dengan demikian hukum bisnis kita juga akan . merupakan sistem yang lebih komprehensif, yaitu secara utuh dijiwai oleh falsafah Pancasila dan UUD 1945, tetapi juga bersifat kontemporer dan modern, mengantisipasi abad ke-21. Untuk mempersiapkan amanat GBHN 1993, kini BPHN sedang melaksanakan "crash program" Penggantian peraturan-peraturan Hukum Kolonial dengan peraturan hukum Nasional yang lebih sesuai dengan kebutuhan hukum abad ke-21 itu dan benar-benar berjiwa Pancasila dan UUD 1945. Tugas ini merupakan tantangan berat yang membutuhkan kerja keras dan ketelitian, mengingat suatu materi hukum tidak hanya menyangkut satu aspek kehidupan atau kegiatan saja, tetapi akan terpaut dengan berbagai masalah dan peraturan di bidang lain. Hal ini tentu saja harus dikerjakan secara terkoordinasi agar tidak terjadi tumpang tindih dan pertentangan kepentingan. Untuk itu telah disusun suatu Program Legislasi Nasional yang melibatkan semua departemen dan materi hukum. b. Harmonisasi Hukum Nasional dengan perjanjian-perjanjian hukum Internasional (GATT, dl1) dan Regional (AFTA dan ASPAC) Beberapa hari yang lalu, tepatnya pada tanggal IS April 1994 sejumlah April 1994
117
Hukum Ekonomi
besar negara-negara, termasuk Indonesia, telab menandatangani perjanjian GA IT yang barn, yang sekaligus mendirikan Organisasi Perdagangan seDunia (World Trade Organization). Perjanjian ini sudah akan berlaku pada tanggal 1 lanuari 1995. Diketahui, bahwa perjanjian Marrakesh ini akan semakin mengarah pada pasaran bebas. Pada saat yang sarna negara-negara ASEAN juga menuju terwujudnya AFTA yang akan memperketat persaingan pasar diantara negara-negara angg·otanya; bukan hanya dalam rangka memasarkan produk tetapi juga persaingan dalam upaya menarik investasi; baik dari dalam maupun dari luar negeri. Oleh karena itu, selain bidangbidang hukum yang umum dan mendasar seperti hukum kontrak, hukum perusahaan, dan hukum dagang yang masih merupakan warisan masa kolonial, kita masih juga harus menyusun peraturan-peraturan hukum barn yang berkaitan dengan ketentuan GAIT dan World Trade Organization yang barn disetujui pada tanggal 15 April 1994 yang lalu di Marrakesh itu, ditambah pula dengan peraturan-peraturan hukum yang harus menunjang AFTA. Tampaklah bahwa modernisasi Hukum Nasional kita akan sekaligus harns merupakan harmonisasi hukum kita dengan perjanjian-perjanjian internasional (WTO , ILO, WIPO, dsb) dan perjanjian-perjanjian regional ASEAN dan Asia Pasifik. Kesimpulan Dan Saran Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa terbentuknya AFT A yang akan bersamaan dengan pelaksanaan ketentuan Putaran Uruguay GAIT dan P1P II Repelita VI sid X diharapkan dapat menciptakan suasana perdagangan yang lebih bebas, terbuka dan dinamis di kawasan ASEAN, yang sekaligus dapat mendatangkann dampak pertumbuhan di bidang lain yang progresif. Namun bagi Indonesia untuk dapat mencapai tujuan yang diharapkan itu terlebih dahulu kita harus melakukan "overhaul" hukum atau "turun mesin" sistem hukum secara konseptual dan komprehensif (menyeluruh); baik mengenai kesadaran hukum dan budaya hukum kita, maupun mengenai materi, aparatur dan lembaga hukum serta segala sarana dan prasarana fisik dan non fisik yang mendukung Sistem Hukum Nasional kita. lika hal ini diabaikan, seperti yang dilakukan dalam P1P I niscaya kita akan lebih banyak lagi menghadapi kasus-kasus yang lebih gawat lagi daripada kasus Bank Duta, Bank Summa dan Golden Key, yang menurut penilaian Gubernur Bank Indonesia sudah sempat mempengarnhi seluruh perekonomian Indonesia secara negatif. Karena itu kita benar-benar harus Nomar 2 Tahun XXIV
lI8
Hukum dan Pembangunan
bekerja keras untuk dapat menggarap pekerjaan raksasa di bidang hukum, yang terdiri dari tiga bagian yang tidak terpisahkan sebagai berikut: 1. Menyusun kerangka Sistem Hukum Nasional, yang akan menentukan batas-batas dan rambu-rambu "lapangan permainan" ekonomi-politikhankam . Kerangka ini untuk sebagian besar masih terdiri dari peraturan- . peraturan hukum yang berasal dari zaman kolonial. Karena itulah pengaturan materi hukum ini diberikan prioritas melalui suatu crash program. Di dalam kerangka Sistem Hukum Nasional inilah di built-in politik deregulasi, debirokratisasi dan swastanisasi itu. 2.
Namun secara bersamaan juga diperlukan peraturan-peraturan hukum ekonomi yang secara langsung mengatur kegiatan bisnis dan ekonomi itu, seperti berikut: a. Hukum yang mengatur investasi Pengaturan bidang investasi akan sangat mempengaruhi laju pertumbuhan industri dalam negeri, terutama dalam rangka memproduksi barang mata dagangan dan penyediaan lapangan kerja dalam skala besar. Persaingan akan mendorong sikap efisiensi dengan tetap memperhatikan Produktivitas produk-produk unggul. Oleh karena itu, negara-negara akan cenderung berupaya memberikan berbagai fasilitas dan insentif bagi investasi. Misalnya dengan membatasi kewajiban de-investasi dan melalui kemudahan prosedur perizinan atau pengaturan hak guna usaha (HGU) tanah yang dapat menjamin kelangsungan usaha para investor. h. Peraturan mengenai standarisasi mutu dan kesehatan. Standarisasi ini akan diperlukan untuk menentukan secara pasti produk kualitas ekspor yang diinginkan oleh negara-negara anggota, terutama untuk menghindari kemungkinan perlakuan ganda dari negara importir, dengan dalih bahwa barang yang diimpor tidak memenuhi syarat mutu yang telah disetujui. c. Penghapusan hambatan non-tarif Pada saat berlakunya AFT A, akan diherlakukan tarif bea masuk sebesar 0-5 % untuk produk manufaktur dan produk pertanian olahan yang termasuk ke dalam CEPT. Negara peserta diwajibkan juga untuk menghapuskan semua hambatan non-tarif. Dalam hal ini perlu ditentukan batasan mengenai apa yang dimaksud dengan hambatan non-tarif tersebut. Batas tersebut harus dicantumkan dalam peraturan-peraturan yang lebih teknis untuk memudahkan . April 1994
Hukum Ekonomi
119
penerapannya. Oi dalarn praktek terdapat lebih dari 100 hambatan perdagangan non-tarif. Harnbatan non-tarif ini termasuk hambatan buatan (artificial barriers) yang biasa digunakan dalam praktekpraktek perdagangan internasional. Beberapa contoh dapat disebutkan sebagai berikut: (a) custom clearance; (b) custom valuation; (c) custom c1assificlltion; (d) import prohibiton; (t) state trading practices; (g) packaging and labeling regulations; (h) foreign exchange control, dan (i) consuler formalities. Semua hal tersebut tentu memerlukan pengaturan yang lebih up-to-date. d.
e.
f.
g.
Perlindungan industri dalam negeri terhadap persaingan curang Oi dalam praktek bisnis dewasa ini telah banyak dijumpai praktekpraktek bisnis yang tidak wajar yang merugikan mitra dagangnya di luar negeri. Oi negara lain, terutarna di negara-negara maju, berbagai perbuatan melawan hukum di bidang bisnis telab diatur secara rinci, termasuk juga larangan k1ausula-klausula di dalarn kontrak standar yang tidak wajar atau tidak adil terhadap pihak yang lebih lemah. Karena itu peraturan-peraturan yang mencegab dan melarang perbuatan curang itu perlu diadakan secepat mungkin, agar jangan pihak Indonesia menjadi korban dari perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pengusaba asing. Perlindungan konsumen Mengingat intensitas persaingan perdagangan intra ASEAN dan internasional yang akan semakin ketat, sehingga barang-barang akan membanjiri pasar nasional, maka pengaturan tentang perlindungan konsumen pun sangat diperlukan untuk memberikan rasa aman bagi para konsumen di Indonesia, maupun untuk memberi kepastian hukum kepada investor yang menanarnkan modalnya di Indonesia. Perlindungan hak milik intelektual Cakupan produk CEPT adalab produk manufaktur yaitu barangbarang yang mengandung rekayasa teknologi hasil karya intelektual manusia. Untuk melindungi karya intelektual karya intelektual ini GAIT mensyaratkan pengaturan hak cipta, hak paten, merek, dan . desain industri, sehingga walaupun Indonesia barn saja mengundangkan Undang-undang Hak Patennya, narnun akibat perjanjian Marrakesh Undang-undang yang baru inipun sudah diperbaharni lagi. Tanggung Jawab Produk Agar produk-produk yang dihasilkan oleh Indonesia dan lain-lain
Nomor 2 Tahun XXIV
120
Hukum dan Pembangunan
h.
3.
negara ASEAN tidale membahayakan orang lain, malea produsen harus bertanggung jawab secara hukum, apabila mutunya tidale sesuai dengan apa yang dijanjikan oleh produsen, atau membahayalean orang kain, atau lingkungan sekitarnya. Hal-hal yang menyangkut tanggungjawab produk ini pun (product liability) masih harus diatur juga oleh Hukum Indonesia. Penyelesaian Sengketa Pelaksanaan AFT A suatu saat dapat menghadapi kemungkinan terjadinya sengketa antar anggota ataupun antar AFTA dengan negara non-anggota, karena itu diperlukan mekanisme penyelesaian sengketa yang cepat, tepat dan efisien berdasarkan ketentuan yang telah digariskan bersama. Dalam hal ini perlu dimantapkan lembaga arbitrase perdagangan internasional (commercial arbitration) maupun cara-cara penyelesaian sengketa yang lain, seperti mediasi, konsultasi dan sebagainya.
Akhirnya secara serentale pula pembaharuan hukum dan pembinaan Hukum Nasional dalam PJPT II, yaitu mulai PELITA VI sampai dengan Pelita X harus merupalean proses modernisasi dan harmonisasi hukum dengan (peraturan) Hukum Internasional, khususnya harmonisasi perjanjian GAIT hasil Putaran Uruguay dan perjanjian-perjanjian ekonomi dan perdagangan ASEAN maupun Asia Pasifik.
Dengan demikian pembangunan dan perwujudan Sistem Hukum Nasional kita sekaligus akan harus mempersiapkan masyarakat kita untuk kehidupan dalam abad ke-21. Demikianlah uraian singkat saya mengenai Pembangunan Hukum Ekonomi Dalam Menyongsong Pembentukan Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN. Semoga bermanfaat.
In law man is quilty when he violatess the rights of others. In eihcis he isgriilty if he only thinks of doing ' So. Dalam hukum manusia bersalah apabila dia melanggar hale-bale orang lain. dalam .etika dia sudah bersalah ketika memikirlCan untuk berbuat demikian Immanuel Kant (1824-1804)
April 1994