WP/3/2015
WORKING PAPER
ANALISIS DAYA SAING DAN STRATEGI INDUSTRI NASIONAL DI ERA MASYARAKAT EKONOMI ASEAN DAN PERDAGANGAN BEBAS
Masagus M. Ridhwan Gunawan Wicaksono Linda Nurliana Pakasa Bary Fenty Tri Suryani Redianto Satyanugroho
September, 2015
Kesimpulan, pendapat, dan pandangan yang disampaikan oleh penulis dalam paper ini merupakan kesimpulan, pendapat, dan pandangan penulis dan bukan merupakan kesimpulan, pendapat, dan pandangan resmi Bank Indonesia.
ANALISIS DAYA SAING DAN STRATEGI INDUSTRI NASIONAL DI ERA MASYARAKAT EKONOMI ASEAN DAN PERDAGANGAN BEBAS Masagus M. Ridhwan, Gunawan Wicaksono, Linda Nurliana, Pakasa Bary, Fenty Tri Suryani, Redianto Satyanugroho1 Abstrak Penelitian ini mengkaji kinerja perdagangan internasional Indonesia dan daya saing termasuk faktor pendukung yang berkontribusi terhadap kinerja perdagangan tersebut. Dari hasil analisis yang dilakukan, daya saing produk manufaktur domestik, khususnya yang berbasis teknologi menengah dan tinggi, relatif tertinggal jika dibandingkan dengan negara peers di ASEAN (Singapura, Malaysia dan Thailand) dan extra ASEAN khususnya Tiongkok. Sementara daya saing produk yang berbasis teknologi rendah hingga saat ini masih cukup baik meskipun ke depan akan semakin berkompetisi ketat dengan Vietnam khususnya. Struktur ekspor industri nasional juga masih sangat berorientasi resource based dengan nilai tambah rendah. Hasil studi ini juga mengidentifikasi sejumlah faktor yang menyebabkan lemahnya daya saing dimaksud terutama berkaitan erat dengan faktor kapabilitas domestik khususnya masalah skill set dan ketenagakerjaan, logistik, kebijakan, dan institusi domestik yang kurang kondusif serta kurangnya dukungan akses pasar. Untuk itu, strategi nasional perlu diarahkan untuk membangun industri yang berdaya saing tinggi. Hal itu dapat dicapai melalui peningkatan (upgrading) dan deepening industri, penciptaan nilai tambah domestik, serta pewujudan Indonesia sebagai basis produksi (hub) yang berorientasi ekspor. Dengan demikian, rekomendasi strategi kebijakan (dengan semangat reformasi) yang perlu dilakukan meliputi aspek industri, investasi, dan perdagangan yang bertumpu pada tujuh aspek, yaitu i) faktor institusi dan leadership, ii) skema insentif trade and investment, iii) faktor sumber daya manusia (SDM) dan ketenagakerjaan, iv) infrastruktur, v) efisiensi teknis dan business services, vi) akses pembiayaan, serta vii) akses pasar. Key word
: ASEAN Economic Community, International Trade, Industrial Policy
JEL Classification : O2, O57, L52
1
Adalah Peneliti Ekonomi di Grup Riset Ekonomi (GRE), Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter (DKEM), Bank Indonesia. Pandangan dalam paper ini merupakan pandangan penulis dan tidak merefleksikan pandangan DKEM atau Bank Indonesia. Penulis menyampaikan penghargaan kepada Bpk. Solikin M. Juhro, Bpk. Yoga Affandi,
1
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) secara formal akan diimplementasikan pada
akhir
tahun
2015
meskipun
prosesnya
telah
dimulai
sejak
ditandatanganinya The ASEAN Framework Agreement on Economic Cooperation oleh para pemimpin ASEAN pada tahun 1992 (Kemenko, 2015). Dengan demikian, perdagangan bebas sejatinya telah mulai diterapkan secara bertahap dan progresif oleh negara anggota ASEAN melalui regional trade agreement (RTA) berbentuk ASEAN Free Trade Area (AFTA). Berbeda dengan AFTA, MEA lebih bersifat komprehensif yang mencakup empat pilar dengan tujuan untuk mentransformasi ASEAN menjadi pasar tunggal dengan basis produksi yang terintegrasi, dalam suatu kawasan ekonomi yang berdaya saing, dengan tingkat pembangunan ekonomi yang semakin merata, dan terhubung dengan jaringan produksi global. Komitmen negara–negara ASEAN di MEA tidak hanya terdiri atas liberalisasi, tetapi juga meliputi reformasi ekonomi, fasilitasi, dan harmonisasi regulasi. Secara substansial penerapan MEA sebenarnya sebagian besar telah tercapai, misalnya, melalui penghapusan tarif, fasilitasi perdagangan, agenda integrasi pasar jasa, fasilitasi investasi, simplifikasi dan harmonisasi framework kebijakan pasar modal, fasilitas tenaga kerja terampil, dan lainnya. MEA 2015 bukanlah tujuan akhir, melainkan merupakan suatu langkah penting bagi perkembangan perekonomian ASEAN yang semakin terintegrasi. Bagi Indonesia implementasi MEA merupakan salah satu langkah strategis yang dapat diambil oleh Pemerintah Indonesia dalam rangka mengambil manfaat yang sebesar–besarnya dari globalisasi ekonomi. Aspirasi multilateral, terutama yang berkaitan dengan integrasi ekonomi kawasan, seperti MEA dan lainnya, selain memberikan kesempatan/peluang pasar yang lebih luas, juga mengandung sejumlah tantangan/permasalahan yang kompleks. Dalam hal ini, pemberlakuan MEA selain meningkatkan perdagangan intra regional ASEAN, juga akan meningkatkan persaingan untuk mendapatkan investasi, produksi, dan perdagangan di kawasan. Dengan perdagangan yang akan semakin meningkat, surplus atau defisit perdagangan yang terjadi bagi suatu negara cenderung akan semakin dinamis dan multidimensi. Dalam konteks
2
hubungan dagang internasional itu tentu akan sangat relevan dengan tugas Bank Indonesia dalam rangka stabilitas makroekonomi domestik, khususnya inflasi dan nilai tukar. Defisit transaksi berjalan Indonesia yang telah terjadi sejak akhir tahun 2011 hingga periode berjalan sangat dipengaruhi oleh dua faktor utama, yaitu faktor domestik: masalah struktural pada industri dan perdagangan, dan faktor eksternal: shock global. Struktur ekspor Indonesia saat ini didominasi oleh industri pengolahan berbasis sumber daya alam (SDA) yang kinerjanya bergantung pada harga komoditas. Berakhirnya commodity super cycle dan perlambatan ekonomi dunia menyebabkan turunnya harga komoditas yang berdampak negatif terhadap ekspor Indonesia.
Gambar 1. Alur Pikir Permasalahan dan Strategi Selain itu, pangsa industri Indonesia semakin menurun pada 1–2 dekade terakhir dan secara bersamaan rata–rata pertumbuhan ekonomi menjadi lebih rendah jika dibandingkan dengan tahun 1980-an. Saat ini industri pengolahan Indonesia sendiri umumnya didominasi oleh industri yang berorientasi domestik dengan tingkat kandungan impor yang tinggi. Salah satu penyebabnya adalah lemahnya kebijakan investasi dan kurangnya koneksi pada pasar global. Indonesia sendiri mempunyai potensi yang jauh melebihi kinerja saat ini. Indonesia mempunyai sumber daya alam yang melimpah, mengalami bonus
3
demografi, dan mempunyai letak geografis yang strategis. Selain itu, Indonesia juga
dapat
mengoptimalkan
momentum
the
rise
of
Asia
untuk
ikut
mengembangkan ekonominya. Dalam
mengatasi
berbagai
permasalahan
di
atas
dan
untuk
mengoptimalkan potensi Indonesia, transformasi ekonomi perlu dilakukan melalui peningkatan daya saing industri di pasar global. Industri menjadi sentral dalam transformasi karena industri merupakan lokomotif pertumbuhan menuju negara maju. Penyerapan banyak tenaga kerja dapat menciptakan nilai tambah dalam perekonomian
yang
pada
akhirnya
dapat
menjadi
sumber
devisa
secara
fundamental. Studi terkait MEA telah banyak dilakukan sebelumnya, baik dilakukan Bank Indonesia maupun eksternal. Penelitian sebelumnya oleh Nugroho dan Yanfitri (2011) yang menganalisis dampak liberalisasi di sektor barang, jasa, modal, dan investasi menyimpulkan bahwa daya saing Indonesia lemah sehingga terdapat kemungkinan Indonesia menjadi pihak yang dirugikan dari MEA. Salah satu studi ERIA menyebutkan bahwa MEA akan memberikan manfaat bagi semua anggota meskipun besarnya tidak sama. Indonesia tetap tumbuh, tetapi lebih rendah jika dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya. Survei yang dilakukan oleh
BCG
(2014)
menunjukkan
bahwa
perusahaan
Indonesia
cenderung
memandang pemberlakuan MEA sebagai ancaman, sedangkan perusahaan di Malaysia dan Singapura lebih optimis dan memandang MEA sebagai peluang. Laporan AT&K (2013) menyebutkan perusahaan lokal yang hanya berfokus pada pasar domestik adalah perusahaan yang paling rentan terhadap MEA. Temuan tersebut mengindikasikan bahwa perusahaan atau industri Indonesia cenderung berorientasi domestik dan berdaya saing rendah di pasar global. Dengan mempertimbangkan hal tersebut, penelitian ini bertujuan untuk melihat secara mendalam daya saing Indonesia dan kemudian merumuskan strategi kebijakan nasional untuk meningkatkan daya saing Indonesia. Secara khusus kebijakan ekonomi dan perdagangan yang telah diambil harus senantiasa ditinjau ulang dan dipertajam agar Indonesia sebagai anggota terbesar di ASEAN dapat menarik manfaat dari MEA. Pendekatan yang digunakan pada tahap awal adalah analisis daya saing (trade competitiveness diagnostics) yang mengukur kinerja perdagangan internasional Indonesia dibandingkan peer countries–nya, dalam hal ini dengan negara ASEAN lainnya. Aktivitas perdagangan merupakan lensa yang berguna untuk mengukur daya saing. Pasar ekspor umumnya memiliki
4
tingkat persaingan yang tinggi sehingga negara yang memiliki daya saing tinggi di ekspor, umumnya juga lebih unggul pada faktor domestik. Hal itu sejalan dengan hubungan timbal balik antara perdagangan dan produktivitas. Pelaku usaha yang produktif
menjadi
eksportir
dan
akan
semakin
produktif
dengan
adanya
permintaan dari pasar ekspor. Lebih lanjut, Reis dan Farole (2012) menyatakan bahwa hambatan utama negara berkembang untuk bersaing dalam perdagangan internasional umumnya bersifat behind the border, yaitu faktor internal dalam suatu negara seperti logistik, bea cukai, pembiayaan, kondisi faktor produksi, dan kurangnya kompetisi. Studi mengenai perdagangan tidak akan terlepas dari studi mengenai industri dan investasi mengingat eratnya hubungan ketiga hal ini dalam menentukan daya saing suatu negara, terlebih dalam pola perdagangan global value chain (GVC) saat ini. Studi tersebut selanjutnya akan menjadi masukan dalam merumuskan kebijakan industri, perdagangan, dan investasi sebagai strategi nasional dalam menyambut MEA 2015–2025.
1.2 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah: (a) menganalisis daya saing industri nasional pada era perdagangan bebas dunia (termasuk MEA, dll), dan (b) menyusun strategi industri nasional yang berdaya saing tinggi. Selain dapat memberikan kontribusi pada literatur terkait yang ada sebelumnya, kontribusi penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan (a) asesment pada kinerja dan daya saing ekspor Indonesia secara komprehensif dan menyeluruh (upstream ke downstream); serta (b) perumusan strategi nasional yang khususnya berkaitan dengan peningkatan daya saing industri.
1.3 Batasan Penulisan Penelitian ini mencakup analisis dan perumusan rekomendasi strategi nasional terkait daya saing pada sektor industri manufaktur. Cakupan penelitian tidak termasuk pada sektor jasa, seperti keuangan dan tenaga kerja, lalu lintas modal, dan pilar keempat MEA berkaitan dengan integrasi pada ekonomi global.
5
1.4 Organisasi Penulisan Penulisan kajian ini akan dibagi ke dalam lima bab yang dimulai dengan Bab
1
mengenai pendahuluan
dan
tujuan
dari penelitian
ini, kemudian
dilanjutkan dengan Bab 2 yang berisi studi literatur yang pernah dilakukan. Pada Bab 3 diuraikan metode dan data yang digunakan dalam riset ini. Hasil empiris, analisis, dan
rekomendasi kebijakan yang berupa strategi nasional yang dapat
ditempuh untuk meningkatkan daya saing Indonesia dalam upaya menjadikan Indonesia sebagai basis produksi dan investasi, terutama di kawasan ASEAN, akan diuraikan pada Bab 4. Kajian ini ditutup pada Bab 5 yang berupa simpulan dan rekomendasi penelitian lebih lanjut.
6
II. STUDI LITERATUR BAB II – STUDI LITERAT 2.1 Sekilas tentang Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) Declaration of ASEAN Concord II pada Oktober 2003 untuk pertama kalinya memperkenalkan
konsep
Masyarakat
Ekonomi
ASEAN
(ASEAN
Economic
Community) atau MEA yang merupakan perwujudan pasar tunggal bagi negara– negara anggota ASEAN. Selain itu, pembentukan MEA diharapkan mendorong terwujudnya kesatuan basis produksi ASEAN yang didukung oleh aliran bebas barang, jasa, tenaga kerja, dan modal (investasi). MEA diharapkan menjadi kawasan ekonomi yang berdaya saing tinggi, kawasan dengan pembangunan yang merata, dan terintegrasi dengan ekonomi global. Pasar tunggal ASEAN dapat menjadi peluang bagi perekonomian Indonesia, dan negara-negara ASEAN lainnya, untuk mendorong aktivitas dan pertumbuhan ekonomi yang dapat meningkatkan kesejahteraan hidup bangsa Indonesia.
Gambar 2. Pilar MEA
Dalam Cetak Biru MEA 2015 terdapat empat tujuan pilar utama MEA yang ingin dicapai dan memiliki keterkaitan erat satu sama lain. Pertama, pembentukan pasar tunggal dan basis produksi. Tujuan ini akan menciptakan terjadinya aliran bebas barang, jasa, investasi, tenaga kerja, serta aliran modal yang lebih bebas
7
antarnegara di kawasan. Sebagai tahap awal disepakati dua belas sektor kerja prioritas yang mewakili lebih dari 50% perdagangan intra-ASEAN, yaitu (1) pengolahan agro, (2) industri berbasis karet, (3) industri berbasis kayu, (4) penerbangan, (5) otomotif, (6) elektronik, (7) teknologi komunikasi informasi, (8) perikanan, (9) kesehatan, (10) logistik, (11) tekstil, serta (12) pariwisata. Indonesia menjadi negara koordinator untuk sektor otomotif dan industri berbasis kayu. Tercapainya tujuan tersebut akan mentransformasikan berbagai keragaman karakteristik di kawasan menjadi peluang bisnis yang dapat menjadikan ASEAN lebih dinamis dan kuat dalam global supply chain. Terbentuknya pasar tunggal akan memfasilitasi terbangunnya jejaring produksi di dalam kawasan dan meningkatkan kapasitas ASEAN sebagai pusat produksi global atau bagian dari global supply chain.Untuk mencapai tujuan tersebut, setiap negara anggota ASEAN dituntut untuk meliberalisasi atau membuka pasar domestiknya. Kedua,
kawasan
ekonomi
yang
kompetitif.
Tujuan
itu
merupakan
prakondisi yang dibutuhkan untuk mendukung pencapaian pasar tunggal dan basis produksi internasional. Pencapaian tujuan kedua itu dilakukan melalui kerja sama di berbagai bidang yang meliputi (i) pengembangan infrastruktur, seperti transformasi, informasi, energi, pertambangan, dan keuangan; (ii) kebijakan persaingan; (iii) pelindungan konsumen; (iv) hak kekayaan intelektual; (v) perpajakan; dan (vi) e–commerce. Ketiga, pembangunan ekonomi yang merata. Kawasan ASEAN memiliki tahapan pembangunan ekonomi yang berbeda sehingga berdampak pada kesiapan dan kecepatan dari negara anggota masing–masing untuk melakukan liberalisasi. ASEAN harus dapat menjamin manfaat integrasi ekonomi kawasan yang dapat dirasakan seluruh anggota dan masyarakat ASEAN. Hal tersebut dilakukan melalui pengembangan UMKM dan kerja sama serta bantuan teknis dalam rangka mengurangi
kesenjangan
pembangunan
di
antara
negara–negara
anggota,
terutama antara negara ASEAN-5 dan Brunei, Cambodia, Myanmar, Laos, dan Vietnam. Keempat, terintegrasinya
perekonomian global. Dengan tercapainya
ketiga tujuan di atas diharapkan pasar ASEAN semakin menarik bagi penanaman modal asing dan industri ASEAN dapat semakin kompetitif di global supply chain. Dalam upaya pencapaian tujuan itu, dilakukan pendekatan yang koheren dalam hubungan ekonomi eksternal ASEAN dengan mitra dagang seperti ASEAN+1 (ASEAN+Tiongkok, ASEAN+India, ASEAN+Jepang) atau ASEAN++ (ASEAN+3, EAS)
8
untuk memastikan sentralitas dari ASEAN dan memperluas partisipasi ASEAN dalam global supply chain. Implementasi cetak biru MEA 2015 secara substansial telah tercapai. Pencapaian scorecard MEA per 30 Juni 2015 mencapai 91,1% dan ditargetkan akan mencapai 95% pada akhir tahun 2015. Untuk scorecard MEA Indonesia sendiri telah mencapai 92,7%. Tingginya pencapaian scorecard MEA baik ASEAN dan Indonesia mencerminkan bahwa ASEAN dan Indonesia secara konsisten telah memenuhi komitmennya. Dalam perjalanannya pada Cebu Declaration Januari 2007
pemimpin
ASEAN menyepakati untuk mempercepat pembentukan MEA menjadi efektif per 1 Januari 2016 untuk sektor–sektor strategis tertentu. Batas waktu implementasi pasar tunggal ASEAN makin dekat sehingga perlu dilakukan asesment pencapaian komitmen-komitmen yang telah disepakati dalam pembentukan MEA. Hasil pengukuran gap analysis yang telah dilakukan oleh Bank Indonesia secara umum menunjukkan bahwa upaya untuk mewujudkan aliran bebas perdagangan barang, jasa, investasi, tenaga kerja terampil, serta aliran modal yang lebih bebas telah menunjukkan kemajuan yang cukup tinggi. Di antara pencapaian liberalisasi tersebut adalah penurunan tarif impor hingga 0%, pemenuhan komitmen liberalisasi foreign equity participation (FEP) untuk beberapa subsektor jasa, penghapusan restriksi investasi dan pengembangan sistem informasi investasi, penandatanganan mutual recognition agreement (MRA), dan liberalisasi aliran modal.
2.2 Penelitian Sebelumnya Sejumlah studi yang terkait dengan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), khususnya yang mendalami pemetaan pasar barang, jasa, tenaga kerja, modal, dan investasi di kawasan ASEAN-5 serta melakukan gap analysis terhadap pencapaian proses liberalisasi yang mengacu pada cetak biru MEA dan pencapaian key deliverables ASEAN secara keseluruhan, dapat diringkas pada Tabel 1.
9
Tabel 1. Studi Literatur Penelitian Reis dan Farole (2012) – “Trade competitiveness diagnostic toolkit”
Reis dan Wrinkler (2012) – “Export Competitiveness in Indonesia’s Manufacturing Sector”
Ringkasan Studi Framework analisis perdagangan dengan dua pendekatan:
internasional
1. Trade outcomes analysis: menganalisis kinerja perdagangan dalam dimensi intensive, extensive, quality, dan sustainability 2. Competitivenss diagnostics: menganalisis kinerja faktor yang memengaruhi daya saing perdagangan – akses pasar, macro–incentive framework, factor conditions, trade promotion infrastructure Menganalisis kinerja ekspor dan determinan industri manufaktur untuk sektor apparel, furnitur kayu, dan komponen otomotif. Indonesia memiliki peluang kedua untuk mengembangkan industri manufaktur tradisional yang menyerap banyak tenaga kerja. Hal ini didorong ketersediaan tenaga kerja dengan tingkat upah yang lebih rendah dibandingkan Tiongkok, ukuran pasar domestik, serta keterbukaan Indonesia di pasar dunia. Policy actions yang harus diambil: • •
• •
Jangka pendek: mengeksploitasi gap upah dengan Tiongkok Jangka menengah: memanfaatkan pasar domestik dan potensi masuk ke Global Value Chain Jangka panjang: persiapan saat keunggulan dari sisi biaya tidak lagi berlaku Dengan prioritas reformasi di: i) transportasi dan logistik, ii) akses pembiayaan, iii) rigiditas pasar tenaga kerja dan training, iv) inovasi, v) standar, vi) collective actions, vii) transparansi dan predictability, viii) SEZ.
10
Tabel 1. (lanjutan) Penelitian Munandar, et al (2007) – “Integrasi Ekonomi Regional, Mobilitas Faktor Produksi Serta Peran
Ringkasan Studi Aplikasi
pendekatan
equal
share
relationship
dengan menggunakan database makroekonomi negara
ASEAN
untuk
mengetahui
dampak
kebijakan moneter terhadap investasi.
Otoritas Moneter” Nugroho dan Yanfitri (2011)
Analisis kualitatif melakukan pemetaan kondisi
– “Potensi Dampak
pasar barang, jasa, tenaga kerja, investasi di
Pembentukan Pasar
ASEAN dan mengidentifikasi beberapa potensi
Tunggal ASEAN terhadap
dampak positif dan negatif pasar tunggal terhadap
Perekonomian Indonesia”
perekonomian Indonesia.
Hasil Kajian lintas Satker (2011) – “Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015: Proses Harmonisasi di Tengah Persaingan” Anas, Narjoko, dan Aswicahyono (2015) – “Mapping of Indonesia Potential on Trading Manufacture Products: A Regional Perspective”
Analisis kualitatif dan kuantitatif mengenai dampak implementasi integrasi ASEAN serta tantangan bagi daya saing dan stabilitas makro Indonesia.
Pemetaan daya saing dan potensi ekspor Indonesia secara regional (daerah), khususnya sektor manufaktur, antara lain dengan Regional Comparative Productivity Advantage (RCPA). Selain itu, dilakukan FGD untuk mengetahui penyebab performa ekspor dibawah potensinya.
11
III. METODOLOGI DAN DATA III–METODOLOGI DAN DATA 3.1 Analisis Daya Saing Analisis
daya
saing
(TCD)
sebagian
besar
merujuk
pada
Trade
Competitiveness Diagnostic (Reis dan Farole, 2012) yang merupakan pendekatan yang bertujuan untuk memberikan pemahaman mengenai posisi, performa, dan kapabilitas sebuah negara pada pasar ekspor, serta faktor yang memengaruhi daya saingnya. Aktivitas perdagangan merupakan lensa yang berguna untuk mengukur daya saing. Pasar ekspor umumnya memiliki tingkat persaingan yang tinggi sehingga negara yang berdaya saing tinggi pada ekspor umumnya juga lebih unggul pada faktor domestiknya. Hal itu sejalan dengan hubungan timbal balik antara perdagangan dan produktivitas. Pelaku usaha yang produktif menjadi eksportir dan akan semakin produktif dengan adanya permintaan dari pasar ekspor. Di era liberalisasi untuk mengukur kinerja suatu perekonomian, kinerja ekspor menjadi lebih penting daripada sebelumnya.. Ekspor tetap relevan sebagai sumber utama penghasilan devisa, sarana untuk mencapai skala ekonomi dan spesialisasi produksi, serta untuk mengakses teknologi baru. Secara tidak langsung
ekspor
juga
merupakan
indikator
efisiensi
sektor
industri
saat
menghadapi kompetisi lebih ketat (akibat liberalisasi) dan lebih intensif (akibat penurunan
biaya
pertumbuhan,
transportasi).
perubahan
Sepanjang
struktural,
serta
industri
tetap
pertumbuhan
menjadi teknologi
mesin dan
modernisasi, ekspor manufaktur yang bertumbuh menjadi tanda bahwa mesin tersebut bekerja. Analisis daya saing yang dilakukan terdiri atas dua komponen yang umumnya dilakukan secara berurutan, yaitu sebagai berikut. 1. Analisis kinerja perdagangan (trade outcomes analysis) adalah kerangka untuk memperoleh gambaran detail atas kinerja ekspor secara historis. Analisis itu dilakukan
melalui
berbagai
macam
pendekatan
serta
pengolahan
data
sekunder. 2. Diagnostik daya saing (competitiveness diagnostics) adalah diagnostik yang bertujuan untuk menganalisis daya saing, termasuk faktor–faktor yang berkontribusi terhadap kinerja ekspor seperti pada tahap 1. Diagnostik
12
dilakukan
dengan
pendekatan
kuantitatif
(analisis
data
sekunder)
dan
kualitatif melalui survei dan wawancara (FGD), seperti wawancara dengan perumus kebijakan, pelaku usaha, akademisi, ahli perdagangan, dan lainnya. Hasil dari dua analisis tersebut akan dielaborasi lebih lanjut untuk perumusan rekomendasi kebijakan dan perumusan strategi nasional. Gambar berikut mengilustrasikan kerangka kerja dari analisis daya saing (TCD).
Sumber: Reis and Farole (2012)
Gambar 3. Framework Analisis Daya Saing
3.1.1 Analisis Kinerja Perdagangan Analisis kinerja perdagangan (trade outcome analysis) memberikan penilaian kuantitatif dan kualitatif dari performa perdagangan dengan menggunakan dekomposisi pertumbuhan perdagangan internasional. Pertumbuhan ekspor dapat terjadi karena empat dimensi sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 4.
Sumber: Reis and Farole (2012)
Gambar 4. Dimensi Pertumbuhan Ekspor
13
Dalam melakukan analisis kinerja perdagangan, terdapat empat faktor utama, yaitu sebagai berikut. 1.
Intensive Margin Pertumbuhan ekspor dalam dimensi ini tercipta dengan menjual produk yang sama pada pasar yang sama. Peningkatan intensive margin dapat tercipta melalui spesialisasi, baik pada antarproduk (across) maupun dalam produk (within). Dimensi ini secara umum mengevaluasi tingkat, pertumbuhan, dan pangsa pasar ekspor yang terjadi saat ini (existing). Hasil analisis intensive margin dapat menunjukkan posisi perdagangan Indonesia dibandingkan dengan negara–negara peers–nya jika dilihat berdasarkan nilai atau volume ekspornya.
Ada
beberapa
indikator
yang
dianalisis
seperti
rasio
nilai
perdagangan terhadap PDB, revealed comparative advantage (RCA) sektoral, trade intensity index, trade complementary index. 2.
Extensive Margin Untuk negara berkembang, dimensi ini kritikal untuk mendorong ekspor dan penciptaan lapangan kerja. Extensive margin berarti menjual produk baru atau menjual produk yang ada saat ini (existing) ke pasar yang baru. Struktur ekspor yang semakin terdiversifikasi akan mengurangi kerentanan akan demand shocks dan pergerakan harga di luar negeri. Diversifikasi ekspor juga penting sebagai indikasi arah pertumbuhan pada masa mendatang. Export diversification melihat konsentrasi dan variasi produk dan pasar dari ekspor suatu negara, tingkat kesesuaian portofolio ekspor suatu negara dengan produk dan pasar dunia yang berkembang, dan evolusi pasar dari ekspor spesifik (sukses atau tidak).
3.
Quality Margin Dimensi ini mengevaluasi produk-produk ekspor berdasarkan kualitas dan kecanggihannya. Produk yang mengandung nilai tambah lebih tinggi dari sisi orisinalitas (ingenuity), skill, dan teknologi akan memiliki harga yang lebih tinggi di pasar. Dengan demikian peningkatan (upgrading) kualitas produk menjadi sumber yang pasti bagi pertumbuhan ekspor dan ekonomi. Dimensi ini diukur dengan menganalisis teknologi, pendapatan, factor contents dari ekspor untuk menentukan tingkat kecanggihan dan nilai produk, serta product space untuk mengidentifikasi sektor tempat suatu negara memiliki atau kehilangan keunggulan.
14
4.
Sustainability Margin Agar ekspor baru dapat bertahan dan memberikan pertumbuhan jangka panjang, diperlukan daya tahan sebagian besar perusahaan yang dapat memanfaatkan kesempatan dan mengatasi hambatan pada tahun-tahun awal. Sustainability margin of new exporter mengevaluasi survival rate dari barangbarang yang diekspor, baik barang baru maupun barang yang sudah lama diekspor. Selain itu, pada tahap ini dilihat juga pertumbuhan dan survival rate dari hubungan ekspor, intensitas faktor ekspor, dan perbandingan tingkat endowment nasional. Bentuk partisipasi perusahaan dan survival pada sektor ekspor membantu mengidentifikasi faktor utama (biaya entry, faktor, teknologi, dan efisiensi) yang menjadi hambatan utama terhadap daya saing. Analisis kinerja perdagangan dilakukan dengan 4 tahapan, yaitu sebagai
berikut. a.
Pemilihan peer countries bertujuan sebagai benchmark dari kinerja negara yang diukur. Umumnya peer countries meliputi kombinasi antara negara tetangga, negara dengan ukuran, pertumbuhan ekonomi, struktur yang sama, dan negara kompetitor.
b.
Pengumpulan dan kompilasi data, baik cross section maupun time series.
c.
Analisis dan interpretasi.
d.
Identifikasi tantangan utama pada daya saing.
3.1.2 Diagnostik Daya Saing Dalam melakukan diagnostik daya saing, terdapat beberapa aspek yang dianalisa, yaitu sebagai berikut. 1.
Akses Pasar Akses pasar merupakan sebuah konsep yang membahas kebijakan perdagangan yang dapat memfasilitasi atau membatasi eksportir untuk masuk dan menjaga daya saingnya di pasar. Dalam market access dilihat faktor–faktor yang menghambat penjualan barang ekspor, seperti hambatan tarif dan hambatan nontarif. Gambar 5 mengilustrasikan cakupan dari analisa market access.
15
Sumber: Reis and Farole (2012)
Gambar 5. Cakupan Akses Pasar 2.
Faktor Sisi Suplai Faktor ini mencakup banyak hal, termasuk tata kelola dan macrofiscal, kebijakan perdagangan dan domestik yang membentuk kerangka insentif bagi pelaku usaha, serta faktor masukan (input) yang menentukan daya saing dari sisi produksi.
3.
Dukungan Promosi Perdagangan Dukungan promosi perdagangan meliputi serangkaian intervensi oleh pemerintah
unuk
mengatasi
kegagalan
pasar
(market
failures,
seperti
coordination challenges, dan asymmetric information) dan kegagalan pemerintah yang membatasi partisipasi dan kinerja ekspor seperti promosi ekspor, special economic zones (SEZ), serta badan koordinasi industri dan standarisasi. Masing–masing
dimensi
tersebut
membentuk
kinerja
ekspor
melalui
pengaruhnya terhadap perusahaan melalui jalur sebagai berikut: a.
biaya tetap (fixed cost), risiko produksi, dan export entry;
b.
biaya faktor dan transaksi yang menentukan daya saing produksi dari tingkat pabrik; dan
c.
tingkat teknologi dan efisiensi dari sektor atau perusahaan.
16
3.1.3 Forum Diskusi Terpumpun (Focus Group Discussion (FGD)) Focus group discussion merupakan bagian penting dalam analisis TCD karena menjadi sarana yang menghubungkan hasil benchmark data/kuantitatif yang telah dilakukan dengan kondisi faktual yang terjadi. Secara garis besar FGD dilakukan terhadap tiga kelompok, yaitu pelaku usaha, perumus kebijakan (pemerintah), dan ahli dengan perincian sebagaimana tertera pada lampiran (Tabel 12). Selain kegiatan diskusi, juga terdapat kegiatan expert panel dalam perumusan rekomendasi strategi nasional yang melibatkan kementerian terkait (Kemendag, Kemenperin, dan Kemenko), panel ahli dan akademisi, serta kalangan pengusaha (Apindo).
3.2 Data Data yang digunakan dalam penelitian ini berfrekuensi tahunan dari periode tahun 2000 hingga 2014, tergantung ketersediaan data. Tabel di bawah ini menunjukkan data–data yang digunakan secara umum serta sumber datanya. Mengingat jenis data yang digunakan sangat beragam, detil penggunaan data akan dijelaskan lebih lanjut pada bagian analisis.
Tabel 1. Data Variabel
Sumber Data
Ekspor (per komoditas HS/SITC, per negara), Impor
World Integrated Trade
(per komoditas HS/SITC, per negara, revealed
Solution (WITS), World
comparative advantage, konten teknologi ekspor,
Bank.
product sophistication, tariff, non tariff barriers, dan lain–lain.
Populasi, PDB, Suku bunga pinjaman riil, akses
World Development
pembiayaan, bandwidth internet, konsumsi listrik,
Indicators (WDI), World
logistik, dan lain–lain
Bank.
Lisensi teknologi, pelatihan formal, sertifikasi kualitas
Enterprise Surveys,
internasional, dan lain–lain.
World Bank.
Kemudahan berusaha, doing business index, waktu
Doing Business, World
untuk ekspor/impor, dan lain–lain.
Bank.
Global competitiveness
World Economic Forum
17
IV. HASIL DAN ANALISIS BAB IV – HASIL DAN ANALIS 4.1 Pemetaan Daya Saing Indonesia Analisis daya saing yang dilakukan mengindikasikan adanya banyak tantangan atas kinerja ekspor dan daya saing Indonesia. Dari hasil analisis kinerja perdagangan, tantangan utama Indonesia adalah dari aspek intensive margin serta quality margin. Jika dilihat diagnostik daya saingnya, tantangan pada ekspor tersebut terjadi karena kurangnya market access, incentive framework, factors condition, serta trade promotion facilititation. 4.1.1. Analisis Kinerja Perdagangan Dari hasil analisis kinerja perdagangan (Tabel 3), kinerja ekspor Indonesia terlihat tertinggal jika dibandingkan dengan Malaysia dan Thailand dan masuk dalam klasifikasi negara low middle income country yang cenderung bersifat resource based dan rendah nilai tambah. Vietnam terlihat mengalami peningkatan kinerja ekspor secara tajam dalam dua dekade terakhir. Secara umum Indonesia memiliki permasalahan dan terlihat mengalami penurunan kinerja pada keempat dimensi ekspornya dengan isu utama pada intensive dan quality margin. Kelemahan
ekspor
Indonesia
mengindikasikan
bahwa
industri
Indonesia
cenderung semakin inward oriented yang didukung dengan temuan analisis keterkaitan nilai tambah.
Tabel 2. Ringkasan Hasil Analisis Kinerja Perdagangan Permasalahan Utama Ekspor Intensive Margin
↓↓
Keterangan Keterbukaan perdagangan Indonesia turun dibandingkan awal tahun 2000, dengan pertumbuhan ekspor sebagian besar produk dan pasar yang lebih rendah dari perdagangan dunia.
Extensive Margin
↓
Kinerja Indonesia secara umum hanya lebih baik dari Filipina. Jumlah kematian produk Indonesia tertinggi dengan produk yang bertahan umumnya berbasis SDA atau primary products.
18
Tabel 2. (lanjutan) Permasalahan Utama Ekspor Quality Margin
↓↓
Keterangan Indonesia tertinggal pada ekspor produk high tech dan sedikit unggul pada primary products. Selain itu,
bila
dibandingkan
selama
10–20
tahun
terakhir, terdapat indikasi pergeseran produk ekspor Indonesia dari low dan hightech menjadi medtech dan resource–based. Sustainability Margin
↓
Durasi ekspor Indonesia hanya lebih baik dari Filipina
Keterangan: ↓
: sedikit tertinggal dibandingkan peers
↓↓
: tertinggal dibandingkan peers
4.1.1.1 Intensive Margin Intensive margin diukur dengan melakukan asesmen terhadap tingkat, pertumbuhan, dan pangsa pasar yang mencerminkan struktur dan daya saing dari basket ekspor yang telah ada. Berdasarkan data neraca perdagangan pada periode tahun 2009–2013, secara rata-rata Indonesia masih mencatat surplus meskipun dengan tingkat yang lebih rendah jika dibandingkan dengan periode tahun 2004– 2008. Beberapa negara, seperti Malaysia, Thailand, dan Vietnam memiliki tingkat ekspor yang cukup tinggi hingga mencapai lebih dari 50% dari PDB-nya. Meskipun demikian, impor yang tinggi turut membebani kinerja neraca perdagangan negara– negara tersebut. Namun, Malaysia mampu mencatat surplus neraca perdagangan hingga 15% dari PDB sepanjang tahun 2009–2013. Gambar 6 menunjukkan tingkat keterbukaan perdagangan suatu negara relatif terhadap tingkat PDB per kapitanya. Indikator ini mengindikasikan seberapa penting ekspor dan impor barang dan jasa dalam sebuah perekonomian atau seberapa terintegrasi suatu perekonomian dengan dunia jika dibandingkan dengan
peers-nya. Tingkat
keterbukaan
Indonesia
pada
tahun
2009–2013
dibandingkan tahun 2004–2008 menurun dari 60% ke 50%. Angka itu lebih rendah dibandingkan peers seperti Vietnam (150%) dan Filipina (65%) yang juga mengalami tren peningkatan jika dibandingkan dengan periode sebelumnya (Vietnam dan India).
19
Sumber: WDI, WITS Worldbank, diolah
Gambar 6. Openness to Trade
Indikator lainnya adalah ekspor/kapita yang mengukur keberadaan suatu ekonomi di pasar internasional. Negara yang memiliki nilai ekspor/kapita yang tinggi mengindikasikan pendapatan ekspor dolar yang tinggi dari basis produksi domestik yang terdiversifikasi dengan baik dan tidak berbasis SDA. Ekspor per kapita Indonesia (Gambar 7) sesuai dengan karakteristik lower middle income, yang jauh lebih rendah dari upper middle-high seperti Malaysia dan Singapura. Jika dilihat dari indikator lainnya, yaitu share of merchandise trade (non oil and gas), rasio Indonesia bahkan lebih rendah dibandingkan lower middle income countries (Gambar 8).
Sumber: WITS Worldbank, diolah
Gambar 7. Ekspor per Kapita
Sumber: WITS Worldbank, diolah
Gambar 8. Share of Merchandise Trade
20
Pertumbuhan ekspor dapat disebabkan oleh perubahan pada harga (export value), volume ekspor (export volume), atau keduanya. Export value index merupakan nilai ekspor (c.i.f) yang dikonversi ke dolar AS dan dinyatakan dalam persentase dari rata-rata tahun dasar. Export volume index merupakan rasio antara export value index dan unit value index-nya. Indikator ini (Gambar 9) merefleksikan indeks perdagangan berdasarkan nilai dan volume perdagangan. Selama
periode
tahun
2009–2012,
Tiongkok
dan
Vietnam
menunjukkan
pertumbuhan ekspor yang cukup tinggi berdasarkan nilai dan volume ekspornya. Meskipun berdasarkan export volume index, Indonesia berada pada posisi terakhir, tetapi nilai barang ekspor Indonesia relatif moderat. Jika
dilihat
dari
pasar
tujuan
ekspornya,
pasar
ekspor
Indonesia
terkonsentrasi ke Tiongkok dan Jepang dengan pangsa 20% dan 18% dari total ekspor. Malaysia, Thailand, dan Filipina juga menjadikan Tiongkok sebagai negara tujuan ekspor utamanya dengan indeks intensitas perdagangan yang lebih tinggi dibandingkan Indonesia. Indikator trade intensity index (Gambar 10) menunjukkan tingkat intensitas ekspor dari suatu negara ke negara mitra dagangnya. Indeks itu digunakan untuk melihat apakah sebuah negara mengekspor lebih banyak ke mitra dagangnya dibandingkan dengan ekspor dunia ke negara tersebut. Trade intensity index menggunakan logika yang sama dengan RCA, tetapi untuk pasar bukan produk. Jika trade intensity index > 100, hal itu mengindikasikan bahwa hubungan dagang antara negara–𝑖 dan 𝑗 lebih intensif jika dibandingkan dengan rata–rata dunia (𝑤) dengan negara-𝑗. Indonesia memiliki intensitas perdagangan yang tinggi ke Jepang dibandingkan dengan negara Eropa dan Amerika. Pola itu relatif sama dengan negara berkembang lainnya, kecuali Vietnam yang memiliki trade intensity yang tinggi ke USA.
21
Sumber: WITS Worldbank, diolah
Sumber: WITS Worldbank, diolah
Gambar 9. Export Value Index vs. Export Volume Index
Gambar 10. Trade Intensity Index to Japan
Trade complementarity index digunakan untuk melihat apakah profil ekspor suatu negara sesuai dengan profil impor mitra dagangnya atau justru bersifat komplementer.
Nilai
indeks
yang
tinggi
mengindikasikan
kedua
negara
mendapatkan keuntungan dari hubungan perdagangannya. Berdasarkan trade complementarity index Indonesia sepanjang periode tahun 2009–2012, semua negara peers rata–rata memilki besaran indeks yang sama. Hal tersebut mengindikasikan bahwa kebutuhan impor Indonesia dipenuhi dari profil–profil ekspor dari negara–negara tersebut sehingga dapat disimpulkan bahwa Indonesia merupakan
pasar
ekspor
bagi
negara
peers–nya.
Sementara
itu,
trade
complementarity index Malaysia menunjukkan nilai yang rendah dengan Indonesia dan Jerman, artinya produk ekspor Malaysia tidak sesuai dengan kebutuhan impor Indonesia dan Jerman. Indikator lainnya adalah orientasi pertumbuhan yang dapat dilihat dari Orientasi Pertumbuhan Produk dan Pasar. Orientasi Pertumbuhan Produk mengevaluasi potensi pertumbuhan ekspor dengan membandingkan compounded annual growth rate (CAGR) dari produk ekspor utama suatu negara terhadap pertumbuhan
perdagangan
dunia
untuk
produk
tersebut.
Negara
dengan
pertumbuhan ekspor lebih tinggi daripada pertumbuhan dunia berarti mengalami peningkatan pangsa di pasar dunia. Negara yang ekspor utamanya di sektor yang memiliki pertumbuhan tinggi memiliki posisi yang baik untuk pertumbuhan ke depan.
Sementara
itu,
pertumbuhan
di
bawah
pertumbuhan
dunia
mengindikasikan adanya barrier yang menghambat pertumbuhan.
22
Sumber: WITS Worldbank, diolah
Sumber: WITS Worldbank, diolah
Gambar 11. Pertumbuhan Produk Ekspor Indonesia
Gambar 12. Pertumbuhan Produk Ekspor Vietnam
Sumber: WITS Worldbank, diolah
Gambar 13. Pertumbuhan Pasar Ekspor Indonesia
Sumber: WITS Worldbank, diolah
Gambar 14. Pertumbuhan Pasar Ekspor Vietnam
Gambar 11 memperlihatkan ekspor produk Indonesia yang umumnya tumbuh lebih rendah dari perdagangan dunia (di bawah garis 45 derajat). Produk Indonesia yang memiliki pangsa yang besar umumnya bersifatnya komoditas, seperti
mineral
fuels.
Untuk
beberapa
produk
manufaktur,
Indonesia
meningkatkan pangsanya dalam perdagangan dunia, tetapi porsinya masih kecil pada basket ekspor Indonesia. Hal itu berbeda dengan Vietnam (Gambar 12) yang mengalami peningkatan pasar untuk hampir semua produk unggulannya. Pertumbuhan ekspor manufakturnya lebih besar dari pertumbuhan dunia dan merupakan produk dominan pada basket ekspornya. Orientasi Pertumbuhan Pasar mengevaluasi potensi pertumbuhan pasar ekspor suatu negara dengan membandingkan CAGR dari ekspor ke suatu pasar relatif terhadap pertumbuhan impor pasar tersebut dari rest of the world (ROW). Gambar 13 memperlihatkan pertumbuhan ekspor Indonesia ke mitra dagangnya
23
lebih rendah dari pertumbuhan impor mitra dagang dari ROW. Pasar dimana Indonesia meningkatkan pangsanya adalah Tiongkok dan India. Sementara Vietnam (Gambar 14) justru meningkatkan pangsanya di hampir seluruh mitra dagangnya dengan pangsa ekspor terbesar ke USA.
4.1.1.2 Extensive Margin Extensive margin mengukur diversifikasi ekspor dari dua dimensi, yaitu menjual produk baru atau menjual produk existing ke pasar yang baru. Ukuran yang digunakan adalah konsentrasi dan variasi produk dan pasar dari ekspor suatu negara, tingkat kesesuaian portofolio ekspor suatu negara dengan produk dan pasar dunia yang berkembang, dan evolusi pasar dari ekspor spesifik (sukses atau tidak). Dari sisi extensive margin, kinerja Indonesia relatif moderat dibandingkan dengan peers meskipun dari beberapa ukuran, Indonesia tertinggal. Indikator pertama menghitung jumlah mitra dagang dan produk yang diekspor suatu negara, yang dihitung pada 6-digit HS level 2 . Dalam satu dekade (Lampiran– Gambar 50) Indonesia mengalami peningkatan moderat dalam jumlah produknya sebesar 83, sedangkan Vietnam bertambah signifikan sebesar 1024. Selain itu, hanya sebagian kecil ekspor Indonesia yang ditujukan ke high income countries jika dibandingkan dengan negara lain (Lampiran–Gambar 51). Indikator
lainnya
adalah
jangkauan
ekspor.
Pertumbuhan
ekonomi
umumnya disertai dengan adanya produk baru dan kematangan ekonomi ditandai dengan kemampuan negara tersebut untuk memelihara hubungan dagang. Indikator jangkauan ekspor menginformasikan kelahiran, survival, dan kematian produk serta nilai dan jumlah pasarnya. Tingkat kematian yang tinggi pada beragam
sektor
mengindikasikan
volatilitas
ekonomi;
sedangkan
jika
terkonsentrasi pada beberapa industri, tingkat kematian itu mengindikasikan evolusi produksi domestik. Gambar 15 memperlihatkan produk Indonesia yang mencapai lebih dari 10 tujuan ekspor, pada tahun 2010 sebanyak 1.961 produk, kemudian pada tahun 2013 meningkat menjadi 2.099 produk. Jumlah itu sekitar 50%–53% dari total 3.906 produk yang survive pada kurun waktu tahun 2010– 2013. Angka tersebut memperlihatkan perbedaan yang jauh jika dibandingkan
Mitra dagang dihitung apabila telah terjadi ekspor minimal satu barang dengan nilai minimum 10,000 USD dan jumlah produk dihitung apabila setidaknya dikirim ke satu negara dengan nilai setidaknya 10,000 USD. 2
24
dengan Tiongkok (Lampiran-Gambar 52), yaitu produk yang mencapai lebih dari 10 pasar adalah sebanyak 4.123 (2010) dan meningkat menjadi 4.133 (2013) yaitu sekitar 87–88% dari total 4.687 produk yang survive. Selain itu, tingkat kematian produk Indonesia cukup tinggi dibandingkan peers (Tabel 3) dengan surviving product bernilai tinggi adalah natural resources–based goods (Tabel 4).
Sumber: WITS Worldbank, diolah
Gambar 15. Jangkauan Ekspor Indonesia Tahun 2010–2013 Tabel 3. Perbandingan ASEAN
Indonesia Malaysia Thailand Filipina Vietnam Cina India
2010-2013 Suriviving Product New Product Death Product 3906 311 308 4168 241 247 4455 132 217 1990 403 887 3242 285 487 4687 99 59 4655 137 128
Sumber: WITS Worldbank, diolah
Tabel 4. Top Surviving Product
Top Surviving Product By Value
Palm oil, other than crude Coal other than anthracite & bituminous Natural gas, liquefied Natural gas, in gaseous state Lignite By Number Paper & paperboard of Market Carbon paper Original sculptures & statuary Seats with wooden frames Women's/girls' dresses
Sumber: WITS Worldbank, diolah
Indikator lainnya adalah Hummels-Klenov untuk produk dan pasar. Indikator ini terdiri atas intensive margin (IM) dan extensive margin (EM). IM produk
25
mengukur apakah suatu negara big player pada produk yang diekspornya (pangsa suatu negara pada produk yang diekspornya di perdagangan dunia) dan EM mengukur seberapa penting barang yang diekspornya secara global (ekspor ragam portofolio relatif terhadap semua ekspor dunia). Untuk Hummels-Klenov pasar, IM mengindikasikan apakah suatu negara big player pada pasar ekspornya dan EM mengukur seberapa penting pasar ekspornya secara global. Dalam satu dekade (Gambar 16 dan Gambar 17) Indonesia mengalami peningkatan moderat dan hanya lebih baik dari Filipina dalam meningkatkan pangsanya di produk dan pasar ekspor-nya. Vietnam terlihat signifikan meningkatkan prduk dan pasar yang bernilai secara global (EM) dan Tiongkok terlihat paling berhasil meningkatkan perannya pada produk dan pasar ekspornya (IM).
Sumber: WITS Worldbank, diolah
Gambar 16. Hummels Klenov dari Segi Produk
Sumber: WITS Worldbank, diolah
Gambar 17. Hummels Klenov dari Segi Pasar
26
4.1.1.3 Quality Margin Quality margin mengukur kinerja ekspor dari sisi kualitas, yang antara lain dilakukan melalui analisis komponen teknologi, tingkat kecanggihan (product sophistication), product space, serta relative quality. Klasifikasi produk ekspor menurut
komponen
teknologi
dimungkinkan
menggunakan
SITC
3
digit
berdasarkan Hatzichronoglou (1997) dan Lall (2000). Analisis product sophistication (EXPY)3 merujuk pada Hausmann, Hwang, and Rodrik (2007). Lebih lanjut, product space merujuk pada Hidalgo et al. (2007) yang memetakan koneksi antarproduk berkeunggulan komparatif pada suatu negara. Komponen teknologi dan kecanggihan yang rendah pada produk ekspor Indonesia membuat margin kualitas produk ekspor Indonesia sangat terbatas, khususnya jika dibandingkan dengan negara–negara peers. Indonesia tertinggal pada ekspor produk high tech dan sedikit unggul pada primary products. Selain itu, apabila dibandingkan selama 10–20 tahun terakhir, terdapat indikasi pergeseran produk ekspor Indonesia dari low dan high tech menjadi med tech dan resourcebased. Sementara itu, Tiongkok beralih dari low tech menjadi high tech. Produk ekspor Indonesia memiliki tingkat kecanggihan yang rendah jika dibandingkan dengan peer countries. Tingkat kecanggihan produk ekspor di Indonesia mengalami tren penurunan walaupun PDB per kapita secara konsisten meningkat. Padahal, menurut Felipe (2010), pada umumnya kenaikan EXPY 10% meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebesar 0.5%.
Sumber: WDI, WITS World Bank, diolah
Sumber: WDI, WITS World Bank, diolah
Gambar 18. Perkembangan dan Pangsa Ekspor berdasarkan Komponen Teknologi 3
EXPY diukur dari proporsi ekspor atas PRODY masing–masing produk dan PRODY merupakan tingkat kecanggihan suatu produk yang diukur dari pendapatan per kapita negara (pada PPP) pengekspor utama produk tersebut di dunia.
27
Sumber: WDI, WITS World Bank, diolah
Gambar 19. Tingkat Kecanggihan Produk Ekspor dan PDB Per Kapita
Melalui analisis product space 4 , terdapat indikasi bahwa product space Indonesia semakin menjauh dari core-nya. Indonesia mengalami penurunan jumlah produk berkeunggulan komparatif pada dense forest (mesin, elektronik, garmen, tekstil, dan furnitur) yang banyak “diserap” oleh Tiongkok. Keunggulan komparatif hilang pada elektronik, mesin, dan furnitur yang merupakan tendensi keunggulan komparatif pada upper-middle countries. Hal itu menunjukkan risiko (lower) middle income trap. Menurut Hidalgo et al (2007) daya saing rendah pada klaster industri dengan proximity tinggi (dense forest) akan menyulitkan transisi ke income group yang lebih tinggi. Sementara itu, Tiongkok mengalami kenaikan keunggulan
komparatif
pada
mesin
dan
elektronik
yang
kemudian
mengindikasikan bahwa Tiongkok juga “menyerap” keunggulan komparatif pada Jepang.
4Konsep
product space mengacu pada Hidalgo et. al. (2007) yang dipetakan dengan product space explorer (http://www.chidalgo.com/productspace/data.htm) dan Cytoscape (www.cytoscape.org). Data RCA dihitung menggunakan data ekspor UN Comtrade dari World Integrated Trade Solution, World Bank.
28
Sumber: Perhitungan peneliti dengan Cytoscape dan Product Space Explorer, sumber data ekspor dari WITS.
Gambar 20. Product Space Indonesia Tahun 2000 dan 2013
Tabel 5. Perubahan Product Space pada Beberapa Negara Lain Negara
Perubahan Product Space (2013 vs 2000)
Indonesia
Garmen, mesin, dan elektronik turun
Jepang
Mesin dan Elektronik turun
Thailand
Penurunan garmen dan tekstil, namun machinery naik
Malaysia
Penurunan furniture
Tiongkok
Machinery dan Electronics naik
Sumber: Perhitungan peneliti dengan Cytoscape dan Product Space Explorer, sumber data ekspor dari WITS.
Beberapa produk terindikasi masih berkualitas baik dibandingkan peers. Produk dengan kualitas yang kompetitif sekaligus bernilai tinggi adalah alat berat. Pada komoditas penyumbang nilai ekspor tertinggi, relative quality5 dari produk Indonesia yang tertinggi (dibandingkan peers) adalah copper, natural rubber, tin, gold, dan chemical wood pulp. Pada komoditas dengan unit price tertinggi, relative
Mengikuti Reis dan Farole (2012), relative quality diproksikan dari rasio unit price suatu produk terhadap unit price peers pada percentile 90. Asumsinya adalah saat suplai kompetitif, harga yang tinggi umumnya terkait dengan kualitas = diferensiasi produk yang lebih tinggi. Kategori produk menggunakan HS 6 digit. 5
29
quality dari produk Indonesia yang tertinggi (dibandingkan peers) adalah crane lorries, lifting machinery, dan tower cranes. Lebih lanjut, pada gambar dibawah, dapat diketahui produk ekspor dengan pangsa pasar tinggi, tetapi kualitas rendah, yaitu natural gas dan nickel. Copper mempunyai pangsa pasar tinggi dengan kualitas tinggi. Selain itu, produk yang mempunyai pangsa pasar rendah, tetapi kualitas tinggi adalah crane lorries dan lifting machinery. Lebih lanjut, antara tahun 2010 ke 2013 terdapat peningkatan pangsa pasar dan kualitas pada crane lorries, pesawat, dan natural gas. Sementara itu, terdapat penurunan pangsa pasar pada tower crane.
Sumber: Perhitungan peneliti; sumber data ekspor dari WITS.
Gambar 21. Posisi Pangsa Pasar dan Relative Quality Produk Ekspor
4.1.1.4 Sustainability Margin Kemampuan untuk mempertahankan hubungan perdagangan merupakan suatu ukuran perekonomian yang berkembang dengan baik (well developed economy). Ada tiga indikator yang digunakan untuk mengevaluasi durasi dan ketahanan
hubungan
produk-partner
serta
menjelaskan
faktor–faktor
yang
memengaruhi product birth dan extinction. Export Duration yang mengukur tingkat kelangsungan hidup selama periode tahun dari hubungan produk baru-pasar dengan nilai minimal USD10.000. Selama rentang waktu 10 tahun (tahun 2003–2013), pangsa kelangsungan hidup
30
hubungan produk baru-pasar yang bertahan di Indonesia adalah sebesar 61,2% dengan jumlah hubungan ekspor sebesar 326. Export duration ini hanya lebih baik dibandingkan Filipina dan Malaysia, tetapi lebih rendah dibandingkan Vietnam, Thailand, Tiongkok, dan India (Gambar 22).
Sumber: WITS World Bank, diolah
Gambar 22. Durasi Ekspor
Perubahan pada arus ekspor dapat terjadi sepanjang dua margin yang berbeda, yaitu intensif dan ekstensif. Intensive margin meliputi perubahan pada arus perdagangan saat ini (existing) yang dapat dibagi lagi menjadi peningkatan, penurunan, dan kepunahan (extinction). Extensive margin meliputi penambahan arus perdagangan baru yang mungkin terjadi karena pengenalan produk baru (introduction of a new product), masuk ke pasar baru (entry into new market), atau diversifikasi produk dengan mitra dagang saat ini. Indikator decomposition of export growth along margins of trade mendekomposisi semua pertumbuhan perdagangan menjadi salah satu dari tujuh kategori eksklusif sesuai dengan margin tersebut. Suatu negara yang sudah mengekspor ke berbagai pasar dan telah sangat terdiversifikasi portofolio ekspornya mungkin memiliki potensi terbatas untuk ekspansi pada extensive margin. Bahkan, untuk negara–negara berkembang, extensive margin umumnya menyumbang tidak lebih dari 20% pertumbuhan ekspor (Brenton dan Newfarmer, 2009). Sementara itu, bagi eksportir yang telah mature, pertumbuhan umumnya terjadi pada intensive margin. Dari Gambar 53 (Lampiran) dapat dilihat keenam negara menghadapi tantangan persaingan yang kompetitif dalam produk dan pasar tradisional dengan
31
kerugian terjadi dalam intensive margin, termasuk punahnya hubungan produk– pasar. Dalam EM kinerja ekspor negara–negara tersebut tidak menunjukkan pertumbuhan yang berarti, hanya sebagian kecil peningkatan pada penjualan produk yang ada ke pasar baru. Indonesia relatif lebih baik dari Filipina dan Malaysia dari sisi IM (IM tumbuh 108,73% dan turun 9,15%). Namun, dapat dilihat bahwa pertumbuhan Tiongkok relatif lebih baik karena IM tumbuh 105,04% dan penurunan ekspor sebesar 4,97%. Dari dimensi EM, Vietnam tumbuh 2,73%, lebih tinggi dibandingkan Indonesia sebesar 0,96%.
70
50
50
30
30
30
10
10
-10
-10
Indonesia
90
Intensive Margin
50
70
50 30
0
2.73
0
0
-0.09
-0.47
10
2.73 Extinction of exports of old products in old markets
-10 Increase of new products in new markets
Increase of old products in old markets
-9.15 Fall of old products in old markets
0.96
-0.53 Extinction of exports of old products in old markets
Introduction of old products in new markets
Creation of old products in old markets
-10
0
0.96
0
Increase of new products in new markets
0
Increase of new products in old markets
10
97.83
Increase of old products in old markets
70
70
97.27
Extensive Margin
Fall of old products in old markets
90
90
Increase of new products in old markets
110
Introduction of old products in new markets
108.73
90
Creation of old products in old markets
99.05
110
Vietnam
Sumber: WITS World Bank, diolah
Gambar 23. Dekomposisi Pertumbuhan Ekspor tahun 2003–2013
Indikator export suspension and factor endowments mengidentifikasi aliran perdagangan yang bernilai paling sedikit 10.000 dolar AS yang menghilang sejak tahun awal. Indikator itu dipilih untuk membandingkan faktor intensitas produk tersebut terhadap faktor pendukung tertentu milik negara tersebut. Harapannya adalah kematian produk lebih mungkin terjadi jika faktor intensitas suatu produk berada jauh dari faktor pendukungnya. Jika titik faktor pendukung suatu negara diwakili oleh perpotongan antara rata–rata intensitas modal manusia dan fisik, dapat dilihat seberapa jauh atau seberapa dekat faktor intensitas ekspor dari titik rata–rata faktor pendukungnya. Dari Gambar 24 terlihat bahwa ekspor Indonesia pada tahun 2013 tidak begitu selaras dengan faktor pendukungnya. Hal itu ditunjukkan jarak antara faktor intensitas ekspor dengan titik perpotongan faktor pendukungnya yang
cukup jauh. Berbeda halnya dengan Thailand, mayoritas
ekspor besarnya berada relatif lebih dekat dengan faktor pendukungnya. Hal itu dapat mengindikasikan kelangsungan ekspor produk–produk di Thailand akan lebih bertahan lama.
32
Sumber: WITS World Bank, diolah
Gambar 24. Export Relative to Endowment – Indonesia 2013
Sumber: WITS World Bank, diolah
Gambar 25. Export Relative to Endowment – Thailand 2013 4.1.2 Diagnostik Daya Saing Indonesia memiliki permasalahan pada keempat dimensi daya saing dengan isu terutama pada tenaga kerja (skill set), logistik, kebijakan, dan institusi domestik yang tidak kondusif serta kurangnya dukungan market access dari sisi free trade agreement (FTA) dan non-tariff measures (NTMs). Hal itu juga ditemukan dari hasil FGD dengan pelaku usaha, faktor utama yang disebutkan adalah ketidakpastian hukum.
33
Tabel 6. Ringkasan Diagnostik Daya Saing Tantangan Utama Ekspor Indonesia Akses Pasar
Keterangan ↓↓
Didominasi oleh non-tariff measures dari negara maju. FTA Indonesia relatif tertinggal dibandingkan negara kawasan.
Incentive Framework
↓↓
Kebijakan
FDI
dibandingkan
Indonesia
peers.
Dari
paling sisi
tertinggal
kebijakan
dan
institusi domestik, kemudahan berusaha Indonesia terendah di ASEAN dan menurun dalam 10 tahun terakhir. Factors Condition
↓↓
Tenaga kerja khususnya pada skill set, kondisi logistik merupakan hambatan utama.
Trade and Invesment Facilitation
↓
Kendala utama dalam promosi ekspor dan investasi Indonesia adalah di bidang standar dan sertifikasi yang belum memenuhi standar internasional dengan promosi investasi dan ekspor yang tergolong lemah.
Keterangan: ↓
: Sedikit tertinggal dibandingkan peers
↓↓
: Tertinggal dibandingkan peers
4.1.2.1 Akses Pasar Hambatan terbesar dari segi akses pasar didominasi oleh non-tariff measures yang banyak diterapkan oleh negara-negara maju yang merupakan tujuan ekspor. Rendahnya tarif bea masuk di negara-negara maju seharusnya menjadi peluang bagi peningkatan ekspor Indonesia. Namun, proteksi dari segi non-tariff measures, seperti sanitary and phytosanitary (SBS) dan technical barriers (TBT) yang berlaku di beberapa negara maju dapat menjadi hambatan bagi eksportir dalam melakukan penetrasi pasar.
34
Sumber: WITS World Bank, diolah
Gambar 26. Tarif Impor di Beberapa Negara
Rata–rata tarif bea masuk untuk barang impor yang diterapkan oleh Indonesia berkisar antara 5%–10%. Negara–negara maju tujuan ekspor, seperti USA dan Jepang menerapkan tarif bea masuk barang impor <5%. Amerika, Jepang, Tiongkok, Korea, India, dan Eropa memberlakukan tarif bea masuk yang tinggi untuk produk–produk pertanian, berkisar antara 5%–35%. Di Indonesia, tarif bea masuk untuk produk pertanian relatif sama dengan produk–produk nonpertanian.
Beberapa
negara
di
kawasan,
seperti
Thailand
dan
Vietnam
memberlakukan tarif bea masuk yang lebih tinggi untuk produk pertanian. Bilateral trade arrangement antara Indonesia dan beberapa negara tujuan ekspor menyebabkan produk–produk Indonesia bisa mendapatkan tarif bea masuk yang lebih rendah. Jika dibandingkan dengan negara–negara kawasan, tarif bea masuk yang berlaku di Indonesia dan Filipina tergolong paling rendah, terutama untuk produk–produk impor dari negara–negara Asia Tenggara. Eropa memberlakukan non-tariff measures yang cukup tinggi, terutama dalam bentuk TBT dan SPS. Oleh karena itu, respon yang krusial adalah membentuk trade agreement dengan Eropa untuk mengeliminasi non-tariff measures tersebut.
35
Tabel 7. Daftar Non–Tariff Measures di Beberapa Negara
Sumber: WITS World Bank, diolah
Indonesia relatif tertinggal jika dibandingkan dengan negara peers dalam menjajaki dan ikut serta dalam regional trade agreements (RTA) dengan negara– negara di luar ASEAN. Misalnya, Indonesia tidak mempunyai RTA dengan Eropa atau AS, padahal negara–negara di kawasan tersebut mempunyai produk yang bersifat
komplementer
dengan
Indonesia.
Sebagai
salah
satu
implikasi,
berdasarkan hasil FGD dengan pelaku usaha, beberapa perusahaan asing lebih memilih melakukan ekspansi ke Vietnam daripada ke Indonesia karena negara Vietnam mempunyai keunggulan dalam hal akses pasar. Indonesia juga akan berisiko terkena dampak negatif trade diversion atas RTA yang tidak diikuti.
4.1.2.2 Incentive Framework Incentive framework merupakan salah satu determinan daya saing dari sisi suplai, yaitu kerangka insentif yang dihadapi pelaku usaha. Terdapat dua hal yang dikupas, yaitu kebijakan perdagangan dan investasi serta kebijakan dan institusi domestik. Dari sisi kebijakan perdagangan dan investasi, kebijakan FDI Indonesia paling
rendah
dibandingkan
peers
(Gambar
27)
karena
hanya
sektor
pertambangan, minyak dan gas, serta listrik dan perbankan yang keterbukaan
36
terhadap investasi asing lebih tinggi daripada rata–rata. Sementara itu, dari sisi kebijakan dan institusi domestik, kemudahan berusaha Indonesia terendah di ASEAN dan jika dibandingkan dengan peers-nya menurun dalam 10 tahun terakhir (Gambar 28) meskipun terjadi peningkatan dibandingkan tahun 2014 (peringkat 120). Beberapa aspek jauh lebih rendah dari peers seperti starting a business, registering property, enforcing contracts, dan paying taxes (Gambar 29).
Sumber: Doing Business, diolah
Gambar 27. Ease of Establishment Index
Sumber: Doing Business, diolah
Gambar 28. Ease of Doing Business
Sumber: Doing Business, diolah
Gambar 29. Kemudahan Berusaha di Indonesia
37
4.1.2.3 Factor Conditions Kondisi tenaga kerja, logistik, serta beberapa faktor lain yang kurang baik menjadi hambatan keunggulan Indonesia dibandingkan dengan negara peers lainnya. Untuk kondisi tenaga kerja, terdapat biaya yang tinggi. Upah minimum terlalu tinggi (apabila mempertimbangkan produktivitas), jika dibandingkan dengan kondisi negara maju. Upah minimum yang terlalu tinggi menyebabkan PHK serta pemindahan pabrik ke provinsi dengan UMR lebih rendah. Biaya pemecatan juga sangat tinggi dibandingkan peers, yaitu sekitar 50 kali gaji mingguan. Selain itu, terdapat beberapa implicit cost seperti banyaknya labor union yang menyulitkan proses negosiasi, banyaknya demonstrasi, serta meningkatnya risiko operasional. Dari sisi skill, terdapat permasalahan yang lebih serius. World Bank (2014) menyatakan bahwa (1) terdapat skill mismatch, 50% lulusan SMA/setara dan 15% lulusan universitas bekerja di unskilled position; (2) 70% pengusaha manufaktur mengatakan ‘sangat sulit’ untuk mengisi skilled positions; (3) hanya 5% pekerja yang
memperoleh
on-the-job
training
formal.
Lebih
lanjut,
hasil
FGD
mengindikasikan bahwa Indonesia membutuhkan medium dan high skilled workers pada tahun 2020. MEA menyebabkan Indonesia akan mengalami shortage skilled labor.
Sumber: World Development Indicators, diolah Sumber: Global Competitiveness Index, WEF
Gambar 30. Upah Minimum dan Produktivitas
Gambar 31. Biaya Pemecatan
38
Kondisi logistik memprihatinkan dan sangat menghambat perkembangan daya saing. Walaupun data WDI menunjukkan bahwa Logistic Performance Index dan kondisi infrastruktur Indonesia sedikit meningkat, kondisinya masih lebih rendah dibandingkan peers. Skor international shipments turun dan menempati peringkat terbawah. Lebih lanjut, waktu yang dibutuhkan untuk ekspor-impor relatif lama dibandingkan negara peers, yang antara lain karena adanya hambatan akses di darat dan proses bongkar muat di pelabuhan. Beberapa masalah lain yang diketahui adalah (1) kecepatan, bandwidth,dan harga internet broadband tidak kompetitif; (2) kurangnya sertifikasi internasional dan
compliance
atas
produk
ekspor
dan
proses
industri;
(3)
kurangnya
penggunaan lisensi teknologi; (4) listrik yang bermasalah; serta (5) regulasi tidak tepat sasaran.
Sumber: World Bank
Sumber: Doing Business, World Bank
Gambar 32. Upah Minimum dan Produktivitas
Gambar 33. Logistic Performance Index
Sumber: Ookla Net Index
Gambar 34. Biaya Bulanan Internet
Sumber: Enterprise Surveys, World Bank
Gambar 35. Persentase Perusahaan dengan Lisensi Teknologi Asing
39
4.1.2.4 Trade Promotion Infrastructure Infrastruktur promosi perdagangan meliputi berbagai intervensi Pemerintah untuk mengatasi kegagalan pasar (tantangan koordinasi dan informasi asimetrik) dan kegagalan Pemerintah yang membatasi partisipasi dan kinerja ekspor, termasuk promosi ekspor tradisional dan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), lembaga koordinasi industri, standar dan sertifikasi, serta inovasi. Kendala utama dalam promosi ekspor dan investasi Indonesia adalah di bidang standar dan sertifikasi. Meskipun banyak hal yang dapat dilakukan untuk meningkatkan hal tersebut dari perspektif kelembagaan, masalah yang timbul lebih banyak dari rendahnya tingkat kecanggihan industri/perusahaan Indonesia, yang pada gilirannya terkait dengan salah satu tantangan daya saing fundamental, yaitu inovasi.
a. Standar dan Sertifikasi Tantangan utama untuk meningkatkan daya saing kualitas produk ekspor Indonesia adalah mampu memberikan standar internasional (bahkan mempunyai sertifikasi untuk membuktikannya). Berdasarkan data pada Gambar 36, hanya 3% perusahaan Indonesia yang memiliki sertifikasi berkualitas internasional, jauh tertinggal dengan negara kawasan lainnya. Kebanyakan standar teknis penting diberlakukan oleh pembeli internasional atau mitra dagang agar para eksportir memenuhi standar tersebut sehingga dapat berlanjut dengan pemberian kontrak. Sebagian besar perusahaan industri Indonesia sudah memenuhi standar nasional, tetapi belum dapat memenuhi standar internasional. Kendala utamanya adalah masalah besarnya biaya sertifikasi standar internasional dan implikasinya terhadap daya saing. Sertifikasi ternyata meningkatkan biaya produksi, sementara biaya tersebut sukar untuk ditransmisikan ke konsumen. Selain itu, masih lemahnya infrastruktur standardisasi Indonesia juga menjadi penyebab kurang kompetitifnya produk ekspor Indonesia. Banyak laboratorium penguji di Indonesia tidak mendapat pengakuan internasional sehingga memengaruhi proses sertifikasi dan pemenuhan standar yang dibutuhkan oleh pembeli internasional. Daya saing eksportir Indonesia juga ditentukan oleh rezim standar nasional. Rezim standar nasional yang lemah
40
ditambah
dengan
kurangnya
monitoring
dan
penegakan
peraturan
berkontribusi pada terjadinya kompetisi kualitas rendah pada pasar domestik.
Sumber: WDI, diolah
Gambar 36. Internationally–Recognized Quality Certification
b. Inovasi Industri di Indonesia perlu terus meningkatkan kualitas produk dan daya tambah agar dapat mempertahankan daya saing dalam jangka panjang. Untuk mencapai hal tersebut bergantung pada kapasitas inovasi dari sektor industri masing–masing. Gambar 37 dan Gambar 38 menunjukkan kesenjangan (gap) yang terjadi pada kapasitas inovasi Indonesia, baik pada tingkat nasional maupun perusahaan. Alokasi anggaran untuk riset dan penelitian di Indonesia lebih rendah jika dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya. Kebanyakan industri di Indonesia masih mengandalkan pembeli internasional untuk memberikan persyaratan spesifikasi desain dan teknik sehingga hanya memproduksi sesuai dengan spesifikasi. Hal itu membatasi kemampuan potensial sektor industri untuk dapat menciptakan inovasi dan bergabung pada Global Production Networks (GPN). Bahkan, proses replikasi produk pun tidak selamanya berhasil dilakukan oleh industri di Indonesia karena persyaratan presisi yang begitu ketat dan rendahnya toleransi yang diperbolehkan. Kurangnya perhatian terhadap kualitas dan desain berhubungan erat dengan rendahnya tingkat kecanggihan suatu perusahaan. Banyak perusahaan yang telah berdiri sejak tahun 1980-an merasa telah nyaman dan tidak merasa perlu mengambil risiko
untuk
mendorong
inovasi desain
industri. Walaupun
41
demikian, berdasarkan informasi dari pelaku usaha, hanya sedikit industri yang mulai melakukan inovasi dengan mendesain beberapa produk untuk pasar domestik dan juga mulai bergabung dalam Global Value Chain (GVC).
6.00 5.2 5.00
4.00
4.3 3.7
2006-2007
5.15.2 4.0
2014-2015
4.4 4.3
4.1 3.4
3.6
3.9 3.23.3
3.00 2.00 1.00
Sumber: WDI, diolah
Gambar 37. Pengeluaran R&D (% PDB)
0.00 China
India
Indonesia Malaysia Philippines Thailand
Vietnam
Sumber: World Economic Forum GCI, diolah
Gambar 38. Kualitas dari Lembaga Riset
Pada tingkat perusahaan, investasi pada riset dan pengembangan masih tergolong rendah. Institusi atau lembaga untuk mendukung pengembangan keahlian teknis ataupun desain pada sektor–sektor industri masih tetap lemah. Industri tekstil menjadi salah satu industri yang memiliki sekolah tinggi khusus teknologi tekstil di Bandung (setara D4), selain terdapat institusi swasta yang fokus pada pengembangan industri adibusana. Tahun 2015 ini Kementerian Perindustrian meresmikan pendirian Akademi Komunitas Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) di Solo Techno Park sebagai bentuk jawaban dari peningkatan kebutuhan tenaga kerja di sektor tersebut. Akademi Komunitas Industri TPT ini merupakan pendidikan vokasi industri berbasis kompetensi sehingga dilengkapi sarana dan prasarana pendidikan berupa laboratorium, workshop, dan teaching factory. Selain itu, akademi tersebut juga dilengkapi dengan Lembaga Sertifikasi Profesi dan Tempat Uji Kompetensi. Harapannya akademi industri TPT ini akan mulai beroperasi pada tahun akademik 2015. Sementara itu, di sektor ICT (information-communication technology) baru terdapat satu Pusat Pendidikan Khusus Elektronika dan Telematika di Surabaya. Balai Diklat Industri (BDI) di Surabaya yang dikelola oleh Kementerian Perindustrian juga menyediakan pendidikan dan pelatihan di bidang elektronika dan garmen. Pada masa yang akan datang Kementerian
42
Perindustrian bekerja sama dengan universitas di Banten akan mendirikan Akademi
Komunitas
Petrokimia
Banten.
Pendirian
akademi
tersebut
merupakan sebuah jawaban atas tantangan industri petrokimia terhadap kualitas sumber daya lokal yang berbasis kompetensi sehingga akhirnya dapat meningkatkan daya saing industri petrokimia nasional. Masih minimnya sarana dan prasarana pendidikan dan pelatihan bagi sektor industri disebabkan oleh masih kurangnya perhatian dari pemerintah untuk inovasi dan juga masih minimnya inisiasi dari tingkat industri itu sendiri. Namun, Pemerintah sudah terlihat mulai lebih agresif dan berinisiatif dalam
membangun
pusat-pusat pelatihan
dan
pendidikan
terlihat dari
ditandatanganinya beberapa nota kesepahaman pembangunan akademi atau pusat inovasi di berbagai daerah.
c. Promosi Ekspor dan Investasi Indonesia telah menginvestasikan sumber daya yang cukup besar untuk menarik dan mengoordinasikan investasi ke Indonesia. Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) telah ditunjuk menjadi agen promosi investasi (IPA) pada tingkat pusat sejak tahun 1970-an. BKPM merupakan institusi yang mempunyai hubungan yang cukup kuat dengan sektor swasta dan pemerintah karena dapat melapor langsung ke Presiden dan posisi ketua institusinya sejajar dengan menteri. Selain itu, juga terdapat agen promosi investasi pada tingkat regional, khususnya pada sektor dan daerah tertentu. Berdasarkan Laporan Global Investment Promotion Benchmarking (2009) yang mengukur kinerja pelayanan dan online marketing investasi, Malaysia memiliki kinerja yang terbaik disusul oleh Filipina dan Thailand, sedangkan kinerja Indonesia masih tergolong tertinggal (Tabel 8).
43
Tabel 8. IPI Performance Score
Sumber: GIPB 2009 Summary Report (World Bank)
Sama halnya dengan promosi investasi, promosi ekspor juga sudah mendapat perhatian khusus Pemerintah, yaitu melalui Direktorat Jenderal Pengembangan Ekspor Nasional (DJPEN) di bawah Kementerian Perdagangan. DJPEN
secara
rutin
menghadiri
pameran
perdagangan,
forum–forum
internasional untuk mempromosikan sektor industri unggulan Indonesia, dan juga berdialog dengan kementerian perdagangan negara lain. Dalam hal pembiayaan perdagangan atau ekspor, kehadiran Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia atau Indonesia Eximbank membantu dalam penyediaan modal kerja, jaminan, dan asuransi bagi eksportir. Terkait FDI, penelitian menunjukkan bahwa saat ini Indonesia cenderung lebih protektif dengan hambatan nontarif dan hambatan investasi yang lebih tinggi dibandingkan peers (Patunru dan Rahardja, 2015). Hambatan tersebut perlu dihilangkan, khususnya pada FDI yang berorientasi ekspor. d. Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) KEK
merupakan
kawasan
yang
dipersiapkan
dan
yang
memiliki
keunggulan geoekonomi dan geostrategis serta berfungsi untuk menampung kegiatan industri, ekspor, impor, dan kegiatan ekonomi lain yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan daya saing internasional. Di dalam KEK perlu dibangun fasilitas pendukung dan perumahan bagi pekerja. Pada setiap KEK disediakan lokasi untuk usaha mikro, kecil, menengah (UMKM), dan koperasi, baik sebagai pelaku usaha maupun sebagai pendukung kegiatan perusahaan yang berada dalam KEK.
44
Jumlah KEK Indonesia relatif setara dengan negara peers meskipun jika dibandingkan dengan luas wilayah, jumlah itu masih relatif kecil. Selain itu, pengembangan kawasan ekonomi/industri di Indonesia masih terbatas. Hal itu disebabkan, antara lain, oleh beberapa faktor berikut. (1) Dukungan infrastruktur yang masih terbatas (energi, konektivitas, dll.). Beberapa KEK yang didirikan berada jauh dari infrastruktur pendukungnya seperti pelabuhan. Seyogianya, pendirian KEK dilakukan beserta dengan pendirian infrastruktur pendukung. (2) Kurangnya fungsi pemantauan (monitoring) dan pengelolaan yang efektif akan manajemen kawasan serta relatif minimnya promosi zona ekonomi tersebut.
Sumber: Economic Zones in The ASEAN (UNIDO)
Gambar 39. Gambaran Kawasan Ekonomi Khusus di Kawasan
4.1.3. Focus Group Discussion (FGD) Kegiatan FGD merupakan sarana untuk mengonfirmasi hasil benchmark data/kuantitatif (desk analysis) dengan kondisi yang terjadi sebenarnya di lapangan. Dari hasil FGD terungkap tiga hal utama yang menjadi perhatian para pelaku usaha, yakni terkait regulasi, kemampuan sumber daya manusia, dan koordinasi.
Berikut
ini
merupakan
beberapa
hambatan
yang
disarikan
berdasarkan hasil FGD.
45
a. Kejelasan aturan main dan kepastian hukum Regulasi
yang
mendukung
pengembangan
sektor
industri
dan
perdagangan di Indonesia masih dirasakan kurang optimal dan cenderung tidak jelas implementasinya. Regulasi yang ada banyak yang tumpang tindih antara satu sektor dan sektor lainnya. Khusus terkait kebijakan mengenai tarif tenaga listrik (TTL) dan upah tenaga kerja, pelaku usaha mengharapkan bahwa ada penetapan mekanisme yang terencana terkait penetapan tarif dan upah tersebut. b. Keterbatasan jumlah free trade agreement (FTA) yang dilakukan Indonesia, baik multilateran maupun bilateral Pelaku
usaha
mengharapkan
adanya
penambahan
jumlah
trade
agreement dengan negara maju tujuan ekspor untuk mendorong perluasan akses pasar Indonesia dan upaya tergabung dalam global supply chain. Selain itu, dalam FGD juga terungkap bahwa trade agreement yang sudah terjadi mengalami
hambatan
dalam
implementasinya
(menemui
jalan
buntu).
Keterhambatan implementasi tersebut disebabkan oleh kurang detilnya pihak Indonesia menjelaskan poin-poin yang dibutuhkan dalam trade agreement tersebut. Hal itu disinyalir akibat dari kurangnya koordinasi antara pihak yang melakukan trade agreement dan perwakilan pelaku usaha dalam memetakan kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan oleh pelaku usaha sebagai subjek yang melakukan proses produksi ataupun perdagangan. Selain itu, pemanfaatan butir-butir kesepakatan dalam FTA juga masih sangat terbatas sehingga dibutuhkan
lebih
banyak
upaya
memperkenalkan
dan
mempermudah
pemanfaatan butir–butir kesepakatan FTA tersebut. c. Kemampuan sumber daya manusia (SDM) Secara teknis kemampuan SDM Indonesia masih kurang bersaing dengan negara lain. Keunggulan upah buruh yang murah di Indonesia pada masa lampau sudah tidak terlalu dapat diandalkan lagi apalagi sejalan dengan niat Indonesia untuk menyasar peningkatan ekspor pada industri med-tech dan hi-tech. Indonesia harus melakukan peningkatan keahlian (skill) pekerjanya sesuai dengan kebutuhan industri. Selain itu, ketentuan tenaga kerja asing yang akan bekerja di Indonesia juga seyogianya disusun lebih selektif dengan mempertimbangkan
kebutuhan
industri
dan
ketersediaan
tenaga
kerja
domestik.
46
d. Aturan perpajakan Aturan perpajakan Indonesia merupakan salah satu hambatan yang cukup besar perannya dalam sektor industri dan perdagangan di Indonesia. Salah satunya adalah PPN berganda dan restitusi pajak yang memerlukan waktu lama sebagai keluhan utama pelaku usaha di lapangan. e. Koordinasi Pemerintah Pusat (Pempus), Pemerintah Daerah (Pemda), maupun dengan pelaku usaha Kendala birokrasi dan koordinasi, baik antarkementerian maupun pempus dan pemda, terutama dengan pelaku usaha masih menjadi kendala yang signfikan dalam mewujudkan industri yang berdaya saing tinggi. Proses keberhasilan pengembangan sektor industri bergantung pada perencanaan dan pengembangan sektor-sektor industri yang dicanangkan oleh pemerintah, termasuk infrastruktur yang diarahkan untuk mendukung penanganan dan perkembangan sektor industri tersebut.
4.1.4. Analisis Keterkaitan Nilai Tambah Analisa keterkaitan nilai tambah6 menggunakan pengkinian data terhadap Asian I/O 2005 dengan menggunakan data tahun 2013 untuk melihat posisi industri Indonesia di rantai nilai global. Hal itu terkait perubahan pola perdagangan dunia dari semula berdasarkan trade in goods menjadi trade in task. Secara umum, hasil analisis dekomposisi perdagangan (Gambar 40) menunjukkan bahwa tiga negara yang paling kompetitif dalam ASEAN-5, terkait rantai nilai global, adalah Thailand, Malaysia, dan Singapura. Ukuran kompetitif tersebut diperoleh berdasarkan analisis daya saing internal dan eksternal. Analisis daya saing internal menunjukkan bahwa Malaysia dan Singapura memiliki kapabilitas ekspor yang tertinggi dalam memproses foreign value
added
atau
memiliki
produktivitas
impor
yang
tinggi
(kemampuan
mengekspor setelah mengimpor tinggi). Sementara itu, analisis daya saing eksternal menunjukkan bahwa Malaysia, Thailand, dan Singapura tercatat sebagai negara dengan skala ekspor terbesar. Perbandingan hasil antara tahun 2005, 2009, dan 2013 menunjukkan bahwa daya saing antarnegara tidak mengalami perubahan yang signifikan. 6
Analisis Triangular Trade dan Rantai Nilai di Asia dengan Fokus pada Indonesia sebagai Masukan dalam Penyusunan Strategi Nasional Indonesia di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN oleh Rakhman dkk. (2015).
47
Dari sisi investasi, (Tabel 10) dapat dilihat bentuk FDI yang berbeda antarnegara ASEAN. Di Thailand FDI mendorong ekspor; di Indonesia FDI mendorong penyerapan tenaga kerja dan memasok permintaan domestik; di Vietnam FDI mendorong investasi modal, ekspor, dan penyerapan tenaga kerja; dan di Malaysia FDI berdampak pada ekspor dengan penyerapan tenaga kerja yang lebih terampil (sektor skill-intensive). Hal itu menguatkan temuan analisis kinerja perdagangan bahwa Indonesia belum menjadi lokasi pilihan untuk menjadi industri yang berorientasi ekspor, tetapi cenderung menjadi pasar yang ditandai dengan daya saing internal yang lemah dan tipe investasi yang masuk yang lebih bertujuan memasok permintaan domestik.
Sumber: Rakhman et al (2015)
Gambar 40. Daya Saing Internal dan Eksternal Negara ASEAN5 Tabel 9. Perbandingan Dampak FDI Negara ASEAN ASEAN–5 FDI Value/Foreign Export Value/Foreign Employment/Foreign Productivity Ratios Affiliates Affiliates Affiliates Indonesia
USD4.85
USD69.39
809.40
Vietnam
USD10.80
USD107.81
896.36
Malaysia
USD3.48
USD122.25
388.96
Thailand
USD6.10
USD204.24
709.25
Sumber: ITC database
48
4.2 Pelajaran dari Negara Lain “The right model for industrial policy is not that of an autonomous government applying Pigovian taxes or subsidies (i.e. lump sum taxes or subsidies), but of strategic collaboration between the private sector and the government with the aim of uncovering where the most significant obstacles to restructuring lie and what type of interventions aremost likely to remove them” (Dani Rodrik, Harvard University, Industrial Policy in the Twenty First Century). Dari studi yang dilakukan terhadap transformasi perekonomian beberapa peer countries, dapat ditarik beberapa benang merah. Model pertumbuhan yang diadopsi
untuk
keluar
dari
lower
income
country
umumnya
merupakan
pertumbuhan yang didorong industri manufaktur yang berorientasi ekspor. Untuk melakukan hal itu, struktur endowment perlu ditingkatkan melalui akumulasi modal dan peningkatan tenaga kerja. Strategi yang dilakukan berfokus dengan menjadikan negaranya sebagai basis produksi industri yang efisien dan sebagai tempat berproduksi ekspor. Pertumbuhan itu dimotori oleh perusahaan swasta dengan peran pemerintah untuk memfasilitasi kegiatan usaha dan menyediakan kompetisi yang efektif tanpa menciptakan birokrasi dan mengganggu pasar. Untuk mencapai hal tersebut, reformasi yang dilakukan berpusat pada keterbukaan terhadap perdagangan dan investasi, reformasi institusi untuk menciptakan kondisi yang kondusif bagi investasi dan bisnis, serta reformasi industrial upgrading bertahap sesuai dengan struktur endowment. Sebagai gambaran, strategi industri yang telah dilakukan Tiongkok dan beberapa negara lainnya, seperti Singapura, Korea Selatan, Thailand, Malaysia, dan Vietnam dibahas dalam penelitian ini. Namun, dalam bab ini hanya dijelaskan strategi industri Tiongkok sementara negara-negara lainnya dijelaskan pada lampiran.
4.2.1 Tiongkok Dalam kurun waktu 30 tahun terakhir, Tiongkok berhasil bertransformasi dari perekonomian tertutup berbasis sumber daya alam dan agrikultur menjadi negara dengan PDB riil terbesar di dunia pada tahun 2014 (PDB PPP) yang berbasis manufaktur dan berorientasi ekspor. Reformasi di Tiongkok meliputi tiga aspek, yaitu transformasi struktural, liberalisasi ekonomi, dan transisi institusi.
49
Reformasi yang dilakukan pada dasarnya bertujuan untuk mendorong partisipasi sektor swasta (private sector-led growth). Strategi reformasi Tiongkok berlangsung secara bertahap dimulai dari isu sederhana yang bersifat mikro hingga ke isu kompleks yang bersifat makro. Strategi tersebut terdiri atas (1) reformasi gradual yang berorientasi pasar, (2) keterbukaan pada perdagangan dan investasi, dan (3) strategi industri yang bersifat comparative advantage following (CAF). CAF adalah reformasi yang mengikuti
alur
learning
and
innovation
untuk
mengeksplorasi
comparative
advantage.
Gambar 41. Reformasi Tiongkok
Proses reformasi dan keterbukaan terjadi secara bersamaan, saling terkait dan
menguatkan.
menegaskan
bahwa
Strategi suatu
pengembangan negara
tidak
industri
dapat
CAF
tumbuh
pada di
luar
dasarnya tahapan
pertumbuhannya (struktur endowment yang dimilikinya) atau melakukan ekspor yang sektornya tidak memiliki comparative advantage. 1.
Strategi Industri Tiongkok Untuk meningkatkan industrinya, strategi Tiongkok adalah meningkatkan
endowment structure. Terdapat dua endowment yaitu modal dan tenaga kerja. Modal (capital) harus terakumulasi lebih cepat dari pertumbuhan tenaga kerja dan SDA. Akumulasi modal dapat diperoleh melalui investasi asing dalam bentuk FDI.
50
FDI tidak hanya membawa akses pasar terkait produk dan pesanan, tetapi juga memungkinkan terjadi transfer teknologi yang mendorong peningkatan struktur tenaga kerja. Seiring pertumbuhan struktur endowment tersebut, struktur industri/teknologi juga akan meningkat melalui proses belajar dan akumulasi pengetahuan. Secara khusus relokasi tenaga kerja dan pertumbuhan human capital akan tercipta pada sektor ketika harga telah terliberalisasi dan terdapat comparative advantage. Secara bertahap industrial upgrading Tiongkok berlangsung seperti paparan berikut. a.
1986: Transformasi Tiongkok dari eksportir berbasis SDA menjadi eksportir manufaktur labor intensive
yang
sesuai dengan
comparative advantage
Tiongkok pada waktu itu, yaitu saat ekspor TPT melampaui ekspor minyak mentah. b. 1995: Transformasi Tiongkok dari eksportir industri labor intensive menjadi nontraditional labor intensive, yaitu saat ekspor mesin dan elektronik melampaui TPT. c. 2001: Transformasi Tiongkok menjadi eksportir produk baru yang memiliki kecanggihan tinggi (high tech) yang didorong saat Tiongkok masuk sebagai anggota WTO. 2.
Reformasi institusi yang bertujuan untuk menyediakan kondisi ketika sektor swasta dapat berproses dengan cepat dengan mengurangi dominasi dan kontrol pemerintah. Hal itu dilakukan melalui manajemen mikro seperti mengganti pertanian sifat kolektif menjadi sistem berbasis rumah tangga (household-responsibility system), melakukan privatisasi terhadap SOE, dan melonggarkan mekanisme alokasi sumber melalui non–state enterprises-TVE, serta membuat kebijakan yang bersifat makro seperti merelaksasi kontrol pemerintah dalam sistem harga komoditas dengan dual track price system, meliberalisasi harga, dan melakukan relaksasi pada sistem nilai tukar.
3.
Kebijakan investasi yang bertujuan mendorong investasi asing masuk untuk membawa Tiongkok masuk ke pasar internasional, membangun SDM, serta melakukan transfer ilmu pengetahuan. Strategi yang ditempuh adalah (1) menyediakan kondisi bagi investor sehingga menjadikan Tiongkok sebagai basis produksi ekspornya, (2) mendorong pengusaha lokal untuk melakukan joint venture
dengan
investor
asing
dan
melakukan
ekspor,
serta
(3)
menjadikan Tiongkok sebagai bagian dari global supply chain dan pusat manufaktur. Untuk mencapai strategi tersebut, program yang dilakukan
51
adalah (a) menyelaraskan regulasi untuk trade promotion dan preferential treatment untuk menarik FDI, (b) memberikan otonomi dan tax assignment system
pada
pemerintah
daerah
sehingga
mendorong
pemda
untuk
mereformasi daerahnya agar lebih terbuka pada perdagangan dan investasi, (c) menyediakan insentif untuk FDI, ekspansi ekspor, dan pertumbuhan sektor swasta, serta (d) memprioritaskan investasi pada high-tech firms, managerial know-how, dan talent. 4.
Kebijakan
peningkatan
human
capital
untuk
mendorong
pertumbuhan
endowment melalui learning and capital accumulation. Akumulasi kapital dilakukan dengan kebijakan investasi di atas, sedangkan pertumbuhan human capital dilakukan dengan berinvestasi pada sektor kesehatan dan pendidikan (training, pertukaran pelajar, work-study training program, magang/vocational training di negara lain) serta menyediakan kondisi learning process untuk sektor swasta dengan melakukan liberalisasi harga dan mendorong relokasi tenaga kerja dan human capital dari sektor publik ke swasta dan ekspor.
4.3 Strategi Kebijakan Nasional Berdasarkan hasil analisis daya saing yang dilakukan, kurang optimalnya kinerja perdagangan Indonesia berasal dari adanya berbagai permasalahan pada faktor enablers (antara lain, SDM dan ketenagakerjaan), akses pasar, logistik dan infrastruktur,
serta
kurangnya
skema
insentif.
Untuk
menjawab
berbagai
tantangan tersebut, dilakukan formulasi strategi dengan menggunakan kerangka pikir seperti pada Gambar 42. Untuk mencapai sasaran akhir yang berupa kesejahteraan sosial dan stabilitas makroekonomi, diperlukan peningkatan daya saing ekonomi melalui upgrading dan deepening industri, penciptaan nilai tambah, serta berorientasi ekspor. Industri yang dimaksud adalah seluruh industri secara umum, baik yang berbasis SDA, padat karya, teknologi menengah ataupun teknologi tinggi. Untuk itu, diperlukan strategi kebijakan industri nasional yang mencakup tujuh elemen dasar, yaitu (1) institusi dan leadership; (2) skema insentif perdagangan dan investasi; (3) SDM dan ketenagakerjaan; (4) infrastruktur; (5) efisiensi teknis dan business services; (6) akses pembiayaan; serta (7) akses pasar.
52
Gambar 42. Kerangka Strategi Kebijakan Industri Nasional
4.3.1 Institusi dan Leadership Aspek memengaruhi
institusi
dan
efektivitas
leadership implementasi
menjadi
aspek
strategi
sentral
secara
yang
umum
akan karena
kemampuannya dalam memengaruhi implementasi strategi pada kategori lain. a. Koordinasi (antarsektor, pusat-daerah) Diperlukan penguatan fungsi koordinasi antarsektor dan antardaerah yang mencakup kelembagaan, sinkronisasi KPI (key performance indicators) institusi, dan organisasi yang sejalan dengan pembangunan industri berdaya saing. Selain itu, juga diperlukan sinergi perencanaan dan pengendalian kebijakan, regulasi, anggaran, dan pengembangan wilayah (RTRW). b. Trust dan collective actions Beberapa hal yang perlu dilakukan ialah (1) penyamaan visi dan persepsi segenap elemen dalam mendukung pembangunan nasional; (2) karakter leadership yang membangun kepercayaan publik serta mendorong kinerja aparat yang akuntabel dan kredibel; serta(3) penegakan hukum yang adil dan konsisten. c. Efektivitas manajemen pemerintahan dan tata kelola Ada beberapa hal yang perlu dilakukan untuk meningkatkan efektivitas manajemen pemerintahan dan tata kelola, antara lain (1) penyederhanaan
53
birokrasi (debirokratisasi); (2) penempatan pejabat yang lebih berdasarkan pada kompetensi; (3) manajemen pemerintahan yang berorientasi pada pelayanan publik yang bersih dan tata kelola; (4) membangun mekanisme umpan balik masyarakat; (5) kemitraan
pemerintah, swasta, dan
masyarakat dalam
perumusan kebijakan publik dan kerja sama pembangunan (a.l. kerja sama antara pemerintah dan swasta dalam pembangunan infrastruktur); serta (6) pelayanan publik yang mendukung industri (call center, resource sharing, dan konsultasi publik).
4.3.2 Skema Insentif Trade and Investment a. Promosi Ekspor Untuk
memperbaiki
promosi
ekspor,
diperlukan
revitalisasi
peran
Indonesia Trade Promotion Center (ITPC) sebagai marketer yang dikelola secara profesional. Selain itu, diperlukan promosi dagang yang lebih intensif dan permanen, antara lain dengan pembukaan outlet di ruang publik. b. Fasilitasi Investasi Selain penguatan koordinasi institusi (BKPM dan BKPMD), peningkatan fasilitasi investasi juga dapat dilakukan dengan integrasi pelayanan terpadu satu pintu (PTSP) pusat dan daerah sehingga terdapat standar yang sama dalam pelayanan perizinan. c. Kawasan industri Dalam pembangunan kawasan industri, terdapat dua hal yang patut diperhatikan, yaitu (1) pembangunan kawasan industri di luar Pulau Jawa berorientasi pada bisnis dan pemerataan (KEK); (2) penyediaan lahan oleh pemerintah
untuk
Nusantara/KBN)
pengembangan
yang
terintegrasi
kawasan
industri
dengan
dukungan
(Kawasan
Berikat
konektivitas
dan
infrastruktur. d. Insentif fiskal Beberapa insentif fiskal dapat dilakukan untuk mendorong perdagangan dan investasi, antara lain berupa (1) penerapan insentif perpajakan bagi industri berorientasi ekspor; (2) penghilangan hambatan kebijakan perpajakan yg memperberat industri; dan (3) penyelesaian restitusi pajak yang lebih cepat dan efisien.
54
e. Lingkungan makroekonomi yang kondusif Diperlukan
upaya
pengendalian
inflasi
secara
lebih
intensif
dan
menyeluruh. Selain itu, kestabilan nilai tukar rupiah perlu dijaga dengan bauran kebijakan.
4.3.3 SDM dan Ketenagakerjaan Beberapa hal yang dapat direkomendasikan kepada pemerintah terkait tenaga keraja antara lain adalah sebagai berikut. a. Penyempurnaan sistem pendidikan nasional (link and match) Beberapa
upaya
dapat
dilakukan
untuk
meningkatkan
sistem
pendidikan, antara lain ialah (i) melakukan kebjakan pro dan insentif yang tinggi untuk menjadi tenaga terampil (tamatan nonuniversitas), misalnya dengan gratis biaya pendidikan D1, D2, D3 di bidang teknik; (ii) membangun paradigma positif terhadap tenaga kerja terampil; (iii)
mengarahkan talent
pooling mulai dari SMA/sederajat; (iv) mendorong hubungan universitasindustri dengan adopsi kurikulum yang aplikatif dengan kebutuhan industri, termasuk
magang;
(v)
menyediakan
beasiswa
pascasarjana
untuk
pengembangan studi terkait industri strategis (prioritas); (vi) meningkatkan kualitas pengajar dan laboratorium dan fasilitas riset sesuai dengan kebutuhan pengembangan industri daerah; serta (vii) mempermudah izin utk pendirian universitas asing yang berkualitas internasional, khususnya pada science, technology, math, and health (STEM–H). b. Ketrampilan dan produktivitas pekerja Keterampilan dan produktivitas pekerja dapat ditingkatkan, antara lain, melalui (1) revitalisasi balai pelatihan tenaga kerja (mencakup kurikulum, pengajar, dan fasilitas); (2) industri dipersyaratkan untuk mengalokasikan anggaran bagi pelatihan karyawan; (3) peningkatan peran aktif industri/swasta dalam mempersiapkan tenaga kerja yang terampil dan siap kerja melalui program apprentice; (4) standardisasi kompetensi kerja nasional Indonesia untuk industri dan jasa pendukung (transportasi, logistik, dan lain-lain); serta (5) upaya mendorong karyawan meningkatkan kemampuan bahasa Inggris aktif. c. Kebijakan ketenagakerjaan Kebijakan yang dapat dilakukan, antara lain adalah (1) pemberian insentif bagi industri yang mengalokasikan anggaran untuk peningkatan
55
keahlian tenaga kerja; (2) pendirian serikat buruh harus mendapat izin formal dari
pemerintah
pusat
dan
daerah;
dan
(3)
regulasi
khusus
yang
mempermudah pengadaan tenaga kerja asing (TKA) di bidang industri dengan jangka waktu tertentu. 4.3.4 Infrastruktur Tingginya biaya logistik yang diperkirakan mencapai 24% PDB (ALFI, 2015) dan rendahnya Logistics Performance Index Indonesia di ASEAN-5 memengaruhi lemahnya daya saing Indonesia. Dari perspektif Global Value Chain, besarnya biaya logistik di Indonesia mengakibatkan Indonesia kurang efisien untuk dipilih sebagai lokasi offshoring dan hub dalam produksi global. Oleh karena itu, Indonesia cenderung dipilih hanya sebagai pasar untuk produk akhir. Hal ini perlu ditangani melalui berbagai kebijakan mikro untuk memperbaiki kinerja logistik dan fasilitasi perdagangan.
Reformasi
infrastruktur
menjadi
salah
satu
solusi
untuk
memperbaiki kinerja logistik. a.
Konektivitas (jalan, logistik, pelabuhan, dan customs) Perbaikan
konektivitas
dapat
ditempuh,
antara
lain,
dengan
(1)
pengalihan logistik dari jalan darat ke kereta dan angkutan laut (short sea shipping) dengan menambah jumlah stasiun dan pelabuhan; (2) peningkatan akses jalan dari kawasan industri ke pelabuhan untuk mempercepat waktu tempuh dan menurunkan biaya transportasi; (3) pembangunan infrastruktur (antara lain trans Java highway, perbaikan jalan, aerocity, logistics center, fasilitas kargo udara, pengembangan kawasan pelabuhan, dan broadband); serta (4) sistem informasi antarpenyedia logistik yang terintegrasi. b.
Energi dan utilitas Untuk mendukung industri, diperlukan (1) kebijakan energi yang mendukung peningkatan daya saing industri; dan (2) dukungan utilitas yang sustainable.
c.
Kebijakan fiskal bidang logistik Kebijakan fiskal bidang logistik mencakupi (1) insentif perpajakan bagi penyedia jasa logistik domestik yang mendukung industri ekspor; dan (2) peningkatan moda transportasi logistik (kereta api dan kapal laut).
d.
Regulasi pendukung Regulasi pendukung terutama meliputi (1) penguatan status hukum transportasi dan logistik dari Perpres No. 26 Tahun 2012 tentang Sislognas
56
menjadi UU Logistik. Dengan status dan kedudukan hukum setingkat UU, regulasi yang mengatur aktivitas logistik akan mengarah pada sinkronisasi dan harmonisasi hukum. Dengan demikian, stakeholder terkait akan memiliki acuan pada saat menyusun peraturan-perundangan di bawahnya, baik di tingkat pusat maupun daerah. Pembentukan UU Logistik akan membuat aktivitas bisnis logistik melalui berbagai kelembagaan akan lebih memperoleh kepastian hukum; (2) koordinasi antarsektor dalam pemeriksaan barang impor; dan (3) Penerapan cash less payment untuk pengurusan customs clearance.
4.3.5 Efisiensi Teknis dan Business Services a.
Technological improvement Untuk mengembangkan teknologi, hal yang perlu dilakukan ialah (1) revitalisasi mesin yang digunakan oleh industri; (2) adopsi/modifikasi dan penciptaan teknologi baru yang difasilitasi oleh pemerintah.
b.
R&D dan inovasi Untuk mendorong terciptanya proses research and development (RD) dan inovasi, perlu dilakukan, antara lain (1) pendirian fasilitas RD oleh pemerintah untuk dapat digunakan publik; (2) pemerintah (kemenristek) menyediakan sistem informasi riset yang terintegrasi dari seluruh instansi (termasuk universitas dan swasta); (3) insentif bagi instansi untuk pemanfaatan dan pengembangan hasil riset oleh user (industri); (4) insentif fiskal bagi perusahaan dengan alokasi anggaran research and development tinggi; serta (5) dorongan bagi kalangan usaha dan industri untuk pengembangan networking untuk inovasi dan adopsi teknologi.
c.
Business services Di sisi lain untuk peningkatan efisiensi teknis, perlu dikeluarkan kebijakan untuk mendorong/memberikan insentif bagi peningkatan business service provider (a.l. supply chain, marketing, dan accounting, dan lain–lain).
d.
Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) Aspek terkait HAKI tidak terlepas dari pencapaian efisiensi teknis. Untuk itu, kebijakan yang ada perlu mempermudah perolehan atas hak cipta/ paten serta dalam tatanan implementasi secara umum perlu dilakukan penegakan hukum yang tegas atas pelanggaran HAKI.
57
4.3.6 Akses Pembiayaan a. Akses pembiayaan dan financial inclusion Peningkatan akses pembiayaan dapat dilakukan, antara lain, melalui (1) penguatan lembaga pembiayaan ekspor; (2) penyediaan skema pembiayaan khusus untuk industri yang berorientasi ekspor; dan (3) peningkatan akses pembiayaan bagi industri daerah yang strategis. b. Modal ventura Terkait modal ventura, perlu dibangun awareness (social responsibility) bagi industri besar yang sukses untuk mengembangkan industri pemula, antara lain, melalui pembiayaan ekuitas. Selain itu, kebijakan hendaknya mengurangi hambatan masuknya modal ventura asing untuk meningkatkan alternatif pendanaan. c. Sumber pembiayaan jangka panjang Sebagai sumber pembiayaan jangka panjang, industri perlu didorong untuk masuk ke pasar modal dan obligasi.
4.3.7 Akses Pasar a.
Keikutsertaan pada trade agreement (TA) harus dilakukan secara strategis 1)
Perlunya grand strategy dan positioning Indonesia terhadap TA Kerja
sama
perdagangan
(TA)
berguna
untuk
memfasilitasi
perusahaan agar lebih kompetitif di pasar yang lebih besar, menarik FDI, 7
dan mendorong industrial upgrading (Laksono dan Situmorang, 2014). TA juga dapat menjadi sarana untuk mengeliminasi tarif dan relaksasi nontariff measures. Hal itu akan menyebabkan harga input lebih murah (bahan mentah dan capital goods) dan pengembangan akses pasar untuk ekspor Indonesia lebih mudah. Jika dibandingkan dengan negara di kawasan ASEAN, kerja sama perdagangan Indonesia relatif tertinggal, baik dalam regional trading (Gambar 43) maupun bilateral trading (Tabel 10). FTA Indonesia sebagian besar dilakukan dalam regional trading system ASEAN dengan bilateral FTA hanya dengan Jepang dan Pakistan (berbentuk PTA). Dalam mega block Uni Eropa menerapkan tarif yang lebih besar untuk barang jadi dibandingkan dengan bahan mentah yang berimplikasi mengurangi insentif untuk melakukan industrial upgrading. 7
58
trading, Indonesia sedang melakukan negosiasi regional comprehensive economic partnership (RCEP) yang juga diikuti negara ASEAN lainnya.
Tabel 10. Trade Agreement Negara ASEAN Mitra ASEAN
Indonesia
Filipina
Thailand
Malaysia
Vietnam
AFTA, ACFTA–Tiongkok, AKFTA–Korea, AJCEP– Jepang, AIFTA– India, AANZFTA– Australia New Zeland, dan RECP (dalam proses yang terdiri dari 10 ASEAN member states, Australia, Tiongkok, India, Jepang, Korea, dan New Zealand)
Jepang
√
√
√
√
Pakistan
√
√
Australia
Konsultasi
√
√
Chile
JSG**
√
√
India
Akan
√
√
√
negosiasi New
√
√
Zealand Turki
JSG
Korea
Perundingan
√ √
berhenti Eropa
Wacana
√
Peru
√
Tiongkok
√
Tunisia,
√
√
√
√
JSG
Mesir TPP *) Tidak tersedia informasi
√ **) Joint Study Group
59
Gambar 43. Kerjasama Perdagangan Mega Block Trading 2)
Kolaborasi strategis antara pemerintah dan pengusaha dalam proses FTA Agar FTA dapat memberikan manfaat yang optimal, penyusunan FTA harus dilakukan bersama dengan pengusaha. Hasil FGD dengan pelaku usaha mengonfirmasi bahwa dukungan akses pasar Indonesia belum cukup memadai, terutama pada beberapa negara besar tujuan ekspor (contoh Eropa dan Amerika Serikat) khususnya bagi sektor yg cost sensitive seperti TPT, cocoa dan lainnya. Untuk pasar Eropa saat ini produk tekstil Indonesia masih menikmati skema generalised scheme of preferences (GSP 8 ) walaupun akan segera berakhir pada tahun 2017. Tanpa GSP harga produk Indonesia akan lebih tinggi 10%–30%. Selain dari sisi tarif, FTA juga dapat menjadi media untuk pengurangan dan streamlining non-tariff barriers (NTB) yang dihadapi produk ekspor Indonesia. Produk ekspor Indonesia, baik dalam pertanian maupun manufaktur menghadapi NTB yg “berat” di pasar. Laksono dan Situmorang (2014) menyebutkan bahwa NTB yang dihadapi bersifat ketat, inkonsisten, tidak transparan, dan cenderung tidak terstandardisasi. Contoh NTB di pasar Eropa adalah pada rotan (legalitas), palm oil
Dengan Amerika Serikat, Indonesia memiliki GSP untuk beberapa produk manufaktur, perhiasan, karpet, produk pertanian, kimia, dan produk plastik serta karet. 8
60
(standardisasi, lingkungan hidup), dan tembakau. Sektor makanan dan minuman juga menghadapi tantangan terkait metode higienis dan sanitasi dalam menembus pasar ekspor global serta standardisasi di pasar ASEAN (GAPMMI, 2015). FTA dapat menjadi salah satu media untuk mencapai kesepakatan dengan pasar terkait standar, sertifikasi, testing, dan transparansi informasi, selain peningkatan kapasitas industri Indonesia. 3)
Melakukan diseminasi manfaat FTA terhadap pengusaha Pemanfaatan fasilitas FTA oleh pengusaha juga masih rendah. Sesuai dengan kajian DInt (2015), meskipun tarif ATIGA sudah rendah (terutama utk ASEAN6), utilisasinya masih rendah. Hal itu dapat disebabkan oleh rendahnya pemahaman atas FTA dan rendahnya margin preference dan prosedur utilisasi tarif ATIGA yang kompleks (costly).
b.
Sertifikasi/Standardisasi Penetapan standar nasional yang sesuai dengan standar internasional serta penguatan infrastruktur standardisasi Indonesia, antara lain, berupa laboratorium uji berstandar internasional.
c.
Sistem informasi/repository Pembangunan dan updating sistem informasi mengenai FTA yang lengkap, transparan, dan dapat diakses dengan mudah.
d.
Perluasan pasar dan sistem Perluasan pasar ekspor nonkonvensional serta mendorong eksportir untuk mengoptimalisasi sistem pengiriman barang dari free on board (FOB) ke cost, insurance, and freight (CIF). Sementara itu, terkait strategi substitusi impor dan bagaimana paket
kebijakan industri saat ini terkait strategi di atas karena tidak terlalu terkait dengan pembahasan dalam riset ini, secara khusus dapat dilihat pada lampiran. Menurut jangka waktu (timing) penerapan, strategi nasional dapat dibagi menjadi jangka pendek, jangka menengah, serta jangka panjang. Detil atas hal ini dijelaskan lebih lanjut pada Gambar 44.
61
JANGKA PENDEK Faktor Institusi dan Leadership Debirokratisasi, Penempatan sesuai kompetensi, Manajemen pemerintahan serta mekanisme umpan balik SDM dan ketenagakerjaan Gratis pendidikan D1/D2/D3 (teknik), talent pool–ing mulai dari SMA, Insentif training untuk industri, Merger serikat buruh, Regulasi khusus TKA Skema insentif trade & investment Revitalisasi peran ITPC (Indonesia Trade Promotion Center), insentif perpajakan untuk industri ekspor, Menghilangkan hambatan perpajakan, restitusi pajak yang efisien
JANGKA MENENGAH Faktor Institusi dan Leadership Penyamaan visi/persepsi, leadership, Penegakan hukum, Sinergi (antar sektor, antar daerah, perencanaan–pengendalian, Kemitraan dengan swasta & masyarakat SDM dan ketenagakerjaan Kurikulum beasiswa, pengajar & fasilitas riset–sains aplikatif untuk industri, izin utk universitas asing, Alokasi anggaran training, Standarisasi kompetensi kerja Skema insentif trade & investment Promosi dagang intensif dan permanen, Integrasi institusi (BKPM–BKPMD, PTSP Pusat– daerah, lahan yg terintegrasi dengan infrastruktur, Integrasi daerah hulu–hilir, Bauran kebijakan untuk stabilitas makro Infrastruktur Akses jalan kawasan industri, Sistem informasi logistik, utilitas yang sustainable, Koordinasi dalam barang impor Technical efficiency Revitalisasi mesin, fasilitas R&D untuk publik, sistem informasi riset, Insentif fiskal untuk R&D, pengembangan networking, insentif pendirian business service provider, Mempermudah hak cipta /paten, Penegakan hukum Akses pembiayaan Social responsibility bagi industri besar untuk industri pemula, industri untuk masuk ke pasar modal dan obligasi Akses pasar Grand strategy FTA, Kolaborasi pemerintah–pengusaha, standar nasional=internasional, infrastruktur standarisasi
JANGKA PANJANG Infrastruktur Pengalihan logistik ke kereta dan angkutan laut, Pembangunan infrastruktur, Peningkatan moda transportasi logistik Akses pasar Perluasan pasar ekspor, Optimalisasi eksportir untuk CIF (cost, insurance & freight)
Gambar 44. Timeline Penerapan Strategi Nasional
62
V. SIMPULAN BAB V – KESIAN DAN SARAN Adapun kesimpulan dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Hasil analisis kinerja perdagangan menunjukkan bahwa ekspor Indonesia memiliki permasalahan dalam keempat dimensinya (extensive, intensive, quality dan sustanaibility). Ekspor Indonesia cenderung mengalami kemunduran dari seluruh aspek, terutama dari sisi kualitas yang saat ini berbasis pada resource based dengan nilai tambah yang rendah serta intensitasyang semakin menurun. Jika dibandingkan dengan negara kawasan, kinerja ekspor Indonesia tertinggal dari Malaysia dan Thailand. Sementara itu, Vietnam mencapai peningkatan kinerja yang signifikan dalam satu dekade terakhir. 2. Diagnostik daya saing mengidentifikasi permasalahan melemahnya daya saing Indonesia yang terutama bersumber dari tenaga kerja (skill set), tidak kondusifnya lingkungan bisnis, dan rumitnya birokrasi terkait kebijakan dan institusi domestik, biaya produksi dan logistik yang tinggi, serta lemahnya market access (nonitariff measures dan FTA). 3. Hasil FGD mengonfirmasikan temuan dari Competitiveness Diagnostics yang menjadi
perhatian
utama
dunia
usaha
adalah
regulasi
dan
kebijakan
pemerintah, kemampuan SDM, infrastruktur dan logistik, serta koordinasi dan aksi kolektif. 4. Berdasarkan permasalahan pada kinerja ekspor Indonesia, diindikasikan industri Indonesia yang cenderung bersifat domestik (inward looking). Hal itu sejalan dengan temuan analisis triangular trade (analisis keterkaitan nilai tambah/value added linkages). Tiga negara yang paling kompetitif di antara ASEAN-5 dalam rantai nilai global adalah Thailand, Malaysia, dan Singapura. Malaysia dan Singapura memiliki kapabilitas ekspor yang tertinggi dalam memproses foreign value added (FVA), atau memiliki produktivitas impor yang tinggi
(kemampuan
mengekspor
setelah
mengimpor
tinggi).
Kemampuan
Indonesia terlibat dalam salah satu aktvitas di rantai nilai global akan lebih banyak ditentukan oleh kemampuan daya saing Indonesia untuk menjadi location of choice pada berbagai tahapan produksi. Analisis FDI menunjukkan bahwa FDI di Indonesia bersifat mendorong penyerapan tenaga kerja dan memasok permintaan domestik.
63
5. Studi terhadap
strategi negara
lain
dalam
mengembangkan
industrinya
menunjukkan model pertumbuhan yang diadopsi saat bertransformasi dari lower income country ke middle income country umumnya menggunakan strategi pertumbuhan
dengan
tulang
punggungnya
adalah
industri
manufaktur
berorientasi ekspor. Kebijakan industri yang dilakukan adalah kebijakan yang meningkatkan struktur endowment melalui akumulasi modal via investasi asing, dan peningkatan human capital. Strategi yang ditempuh difokuskan pada menjadikan negaranya sebagai basis produksi industri yang efisien yang berorientasi ekspor. Pertumbuhan ekonomi dimotori oleh perusahaan swasta dengan
peran
pemerintah
sebagai
fasilitator
bagi
kegiatan
usaha
dan
penyediaan kompetisi yang efektif tanpa menciptakan birokrasi berlebih dan seminimal mungkin mengganggu mekanisme pasar. Untuk mencapai hal tersebut, strategi yang ditempuh pada umumnya adalah melalui keterbukaan terhadap perdagangan dan investasi, reformasi institusi untuk menciptakan kondisi yang kondusif bagi investasi dan bisnis serta melakukan industrial upgrading bertahap sesuai dengan endowment structure yang dimilikinya. Berdasarkan hasil studi tersebut dapat direkomendasikan untuk agenda penelitian terkait ke depan, yaitu sebagai berikut. 1. Penelitian
analisis
daya
saing
dan
ketersediaan
services
pendukung
manufaktur (antara lain: jasa logistik, ICT services, dll). 2. Dengan lingkungan geografis kepulauan dan perbedaan gap pertumbuhan antar daerah yang relatif tinggi, diperlukan penelitian terkait kebijakan industri yang juga melihat aspek spasial dan local competitive advantage yang dimiliki berbagai daerah di Indonesia. 3. Dengan mayoritas pola kehidupan masyarakatnya adalah agraris, diperlukan penelitian terkait kebijakan pengembangan industri yang dikaitkan dengan upaya mencapai ketahanan dan kedaulatan pangan bagi beberapa komoditas strategis tertentu. Membangun linkages industri bagi komoditas–komoditas srategis tersebut akan membuka peluang yang lebih besar bagi tumbuhnya agroindustri yang memanfaatkan komoditas dimaksud.
64
DAFTAR PUSTAKA Anggara, Sondang, 2014. ASEAN Economic Community 2015: Kesiapan Nasional dalam Liberalisasi Perdagangan Barang dan Jasa dalam AEC 2015. Anglingkusumo, R., Anugrah, D. F., Fridayanti, Y. dan Hendharto, H. S. (2014). Perubahan Struktural dalam Perekonomian Global dan Dampaknya pada Perekonomian Indonesia melalui Jalur Perdagangan. Working Paper No. LHP/4/DKEM/2014, Bank Indonesia. Bank Indonesia, 2014. Progress, Challenges, And Opportunities of the AEC 2015: Indonesia’s Perspective. Presented on Indonesian Scholars International Convention 2014 , Oxford, 25–26 October 2014. Bosch, Peter et al, 2012. The Future of Manufacturing Opportunities to drive economic growth A World Economic Forum Report in collaboration with Deloitte Touche Tohmatsu Limited. Cahyadi, G., Kursten, B., Weiss, M., Yang, G., “Singapore’s Economic Transformation”, Global Urban Development Singapore Metropolitan Economic Strategy Report, June 2004. Chin, Vincent, Michael Meyer, Evelyn Tan, and Bernd Waltermann, 2014. Winning in ASEAN How Companies Are Preparing for Economic Integration. Part of the Winning with Growth series #bcgGrowth. Civil Service College (CSS), “Trade Facilitation & Internationalisation”, March 2015, Singapore. Das, Sanchita Basu et al, 2013. The ASEAN Economic Community a Work in Progress: Asian Development Bank. Deloitte, 2014. The ABC of AEC to 2015 and beyond. Deloitte. Departemen Perdagangan, 2011. Menuju ASEAN Economic Community 2015. Farole, T. And Winkler, D., “Export Competitiveness in Indonesia’s Manufacturing Sector”, The World Economic Forum, 2012. Goh, A.L., “Towards an Innovation–Driven Economy through Industrial Policy– Making: An Evolutionary Analysis of Singapore”, The Innovation Journal: The Public Sector Innovation Journal, Volume 10(3), article 34, 2011. Hatzichronoglou, T. (1997), “Revision of the High Technology Sector and Product Classification”, OECD Science, Technology and Industry Working Papers, 1997/02, OECD Publishing. Hausmann, R., J. Hwang, and D. Rodrik. 2007. “What You Export Matters.” Journal of Economic Growth, Vol. 12, No. 1, pp. 1–25. Hidalgo, C. A., Klinger, B., Barabasi, A. L., dan Hausmann, R. (2007). “The Product Space Conditions the Development of Nations”, Science, Vol. 317 no. 5837 pp. 482–487.
65
Hosono, Akio (2013), “Industrial Strategy and Economic Transformation: Lessons of Five Outstanding Cases”, Working paper prepared for JICA/IPD Africa Task Force Meeting Jin, N.K., “Singapore as a Financial Center: New Developments, Challenges, and Prospect” in Financial Deregulation and Integration in East Asia, NBER–EASE, Ed. by Ito, T. And Krueger, A.O., University of Chicago Press, January 1996, http://www.nber.org/chapters/c8569 JWT, 2013. ASEAN Consumer Report. Keliat, Makmur et. Al, 2013. Pemetaan Pekerja Terampil Indonesia dan Liberalisasi Jasa ASEAN. ASEAN Study Center UI dan Kementerian Luar Negeri RI. Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, 2015. Dampak ASEAN Economic Community (AEC) terhadap Perekonomian & Perumusan Strategi Nasional dalam Persiapan Menghadapi AEC. Kohpaiboon, A. and N. Yamashita (2011), ‘FTAs and the Supply Chain in the Thai Automotive Industry’, in Findlay, C. (ed.), ASEAN+1 FTAs and Global Value Chains in East Asia. ERIA Research Project Report 2010–29, Jakarta: ERIA. pp.321–362. Lall, Sanjaya (2000), “The Technological Structure and Performance of Developing Country Manufactured Exports, 1985–1998”. QEH Working Paper Series, QEHWPS44. Laksono, Riandy dan Rosa Situmorang, 2014. In Facing the Indonesia–European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement: Perspective from Indonesia’s Business Sector. APINDO Policy Series Vol. P.001/DPN–EUKAJ– I/2014. Lin, Justin Yifu and Yan Wang, 2008. Tiongkok’s Integration with the World Development as a Process of Learning and Industrial Upgrading. The World Bank WPS4799. Lin, J.Y. and Treichel, V., “Making Industrial Policy Work for Development” in Transforming Economies: Making Industrial Policy Work for Growth, Jobs and Development, edited by Xirinachs, J.M, Nubler, I. and Wright R.K., International Labour Organization, Mei 2014. Menon, S.V., “Governance, Leadership and Economic Growth in Singapore”, MPRA, ICFAI Business School, Ahmedabad, August 2007. Milberg, W., Jiang, X. And Gereffi, G., “Industrial Policy in the Era of Vertically Specialized Industrialization” in Transforming Economies: Making Industrial Policy Work for Growth, Jobs and Development, edited by Xirinachs, J.M, Nubler, I. and Wright R.K., International Labour Organization, Mei 2014. National Economic Advisory Council, 2010. New Economic Model for Malaysia. Neng, W.W., “Pursuing Prosperity, Making a Living: Singapore’s Economic Institutions and the Pursuit of Economic Development”, Civil Service College, 2015.
66
Nubler, I., “A Theory of Capabilities for Productive Transformation: Learning to Catch Up”, in Transforming Economies: Making Industrial Policy Work for Growth, Jobs and Development, edited by Xirinachs, J.M, Nubler, I. and Wright R.K., International Labour Organization, Mei 2014. Nugroho, M. Noor dan Yanfitri, 2011. Potensi Dampak Pembentukan Pasar Tunggal ASEAN terhadap Perekonomian Indonesia: OP OECD, 2013. OECD Investment Policy Reviews: Malaysia 2013. Patunru, Arianto A. dan Sjamsu Rahardja (2015), Trade protectionism in Indonesia: Bad times and bad policy. Lowy Institute for International Policy. Rakhman, R. N., R. Khasananda, H. Werdaningtyas, G. Wicaksono, R. Anglingkusumo (2015), Analisa Triangular Trade dan Rantai Nilai di Asia dengan Fokus pada Indonesia sebagai Masukan dalam Penyusunan Strategi Nasional Indonesia di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN. Bank Indonesia. Reis, José Guilherme dan Thomas Farole (2012), Trade competitiveness diagnostic toolkit. Washington D.C.: The World Bank. Robinson, J.A., “Industrial Policy and Development”, Department of Government and IQSS, May 2009.
Harvard
University,
Rodrik, D., “Growth Strategies”, Harvard University, John F. Kennedy School of Government, August 2004. Warr, Peter (2011), Thailand’s Development Strategy and Growth Performance. Working Paper No. 2011/02, UNU–WIDER. World Economic Forum Report, “The Future of Manufacturing: Opportunities to Drive Economic Growth”, in collaboration with Deloitte Touche Thmatsu Ltd., 2012. World Investment Report, 2012. Global Value Chains: Investment and Trade for Development. Yue, C.S., “Singapore Model of Industrial Policy – Past and Present”, Second LAEBA Annual Meeting, Buenos Aires, Argentina, November 28–29, 2005. Zhu, T., “Rethinking Import–substituting Industrialization: Development Strategies and Institutions in Taiwan and Tiongkok”, Research Paper No.2006/76, UNU– WIDER, July 2006.
67
Box 1. Summary Paket Kebijakan Ekonomi Tahun 2015 Serangkaian paket kebijakan (I s.d. VIII) dikeluarkan sejak awal September 2015 dengan tujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan peningkatan daya saing industri nasional dan perbaikan iklim investasi di dalam negeri. Paket– paket kebijakan itu secara ringkas disajikan sebagai berikut. 1.
Paket Kebijakan Ekonomi Jilid I dikeluarkan untuk mendorong kemudahan investasi, efisiensi industri, kelancaran perdagangan dan logistik, serta kepastian bahan baku dalam negeri
2.
Paket Kebijakan Ekonomi Jilid II dimaksudkan untuk meningkatkan investasi berupa
deregulasi
dan
debirokratisasi
peraturan
untuk
mempermudah
investasi, baik PMDN maupun PMA. Langkah–langkah yang ditempuh lebih konkrit agar dapat langsung diimplementasikan, antara lain layanan investasi 3 jam, pengurusan yang lebih cepat terhadap tax allowance dan tax holiday, penghapusan PPN transportasi, insentif di kawasan pusat logistik berikat, pengurangan pajak deposito, dan perampingan izin kehutanan. 3.
Paket
Kebijakan
pertumbuhan
Ekonomi
ekonomi
Jilid
melalui
III
ditujukan
penurunan
harga
untuk bahan
meningkatkan bakar
untuk
peningkatan daya beli, penurunan harga bahan bakar industri untuk peningkatan
daya
saing,
perluasan
wirausaha
penerima
KUR,
serta
penyederhanaan izin pertanahan. 4.
Paket Kebijakan Ekonomi Jilid IV dimaksudkan untuk menjaga daya beli masyarakat melalui formulasi upah buruh untuk peningkatan kesejahteraan pekerja dan pemberian kredit modal kerja untuk UKM dalam rangka mendorong ekspor serta perluasan kebijakan KUR.
5.
Paket Kebijakan Ekonomi Jilid V dimaksudkan untuk lebih mendorong pertumbuhan ekonomi melalui pemberian insentif pajak untuk revaluasi aset, penghapusan pajak berganda untuk real estate, properti dan infrastruktur, dan deregulasi perbankan syariah.
6.
Paket Kebijakan Ekonomi Jilid VI dilakukan melalui pemberian insentif berupa tax allowance dan tax holiday untuk Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), kepastian izin bagi investor di bidang pengelolaan sumber daya air, serta penyederhanaan izin obat dan bahan bakunya.
7.
Paket Kebijakan Ekonomi Jilid VII yang memberikan keringanan untuk industri padat karya, termasuk di dalamnya keringanan pengenaan PPh Pasal 68
21 bagi karyawan perusahaan s.d. penghasilan 50 juta rupiah per tahun yang lebih 50% produknya dieskpor. 8.
Paket Kebijakan Ekonomi Jilid VIII yang pada saat penulisan laporan ini masih baru berupa rencana yang akan diarahkan bagi peningkatan kualitas produk menghadapi daya saing pada Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Secara umum apabila semua paket kebijakan itu dapat terlaksana dengan
baik segera dan sesuai dengan harapan, paket kebijakan tersebut akan sangat bermanfaat dalam meningkatkan daya saing Indonesia dan memicu pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dan berkelanjutan. Namun, konteks paket kebijakan lebih bersifat jangka pendek dan hulu (dalam rangkaian proses membuka usaha) sehingga masih perlu dilengkapi dengan kebijakan lainnya yang bersifat jangka panjang dan lebih bersifat hilir. Paket kebijakan memperbaiki
iklim
tersebut berpotensi untuk
investasi,
dan
mendorong
meningkatkan pengadaan
konsumsi,
infrastruktur.
Peningkatan konsumsi dapat tercapai melalui penurunan harga bahan bakar dan kebijakan peningkatan kesejahteraan pekerja (penentuan upah minimum dan harga rumah/rusunami untuk buruh). Peningkatan investasi dapat terjadi melalui prosedur
investasi
yang
semakin
cepat,
kepastian
bahan
baku
industri,
kemudahan perizinan, insentif penempatan dana di dalam negeri, penurunan bunga KUR, insentif revaluasi aset, insentif KEK, dan penyederhanaan impor bahan baku obat. Infrastruktur sendiri dapat didorong melalui penghapusan PPN alat transportasi, penghilangan pajak berganda dana investasi real estate, properti dan infrastruktur, serta jaminan hukum bagi investor pengelola sumber daya air. Selain
itu,
pembangunan
kawasan
logistik
berikat
diharapkan
dapat
mempermudah proses distribusi barang, baik dari sisi input maupun output-nya. Namun, semua kebijakan dimaksud tidak akan efektif apabila tidak dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien. Untuk itu, dibutuhkan perangkat pelaksana yang tidak saja trampil, tetapi juga punya integritas, bertanggung jawab dan berkinerja tinggi. Pengelolaan SDM untuk memenuhi hal tersebut menjadi suatu keharusan di samping prinsip-prinsip leadership yang berintegritas dan bertanggungjawab
yang
sangat
diperlukan
pada
semua
lapisan
birokrasi
pemerintah.
69
Gambar 45. Ringkasan Analisis Daya Saing Industri Indonesia
Gambar 45 menjelaskan secara ringkas Analsis Daya Saing Industri Indonesia dalam riset ini. Berdasarkan hal itu, dapat dilihat bahwa paket kebijakan telah menyentuh beberapa aspek yang memengaruhi daya saing (misalnya dari sisi infrastruktur, insentif investasi pada industri yang padat modal dan bernilai tambah, serta kebijakan pengupahan). Namun, masih banyak yang dapat
dilakukan
khususnya
untuk
perspektif
jangka
panjang,
seperti
pengembangan SDM dan yang bersifat hilir seperti masalah lahan untuk industri. Secara ringkas beberapa usulan rekomendasi kebijakan antara lain adalah sebagai berikut. 1.
Pengembangan human capital,
2.
Promosi ekspor/investasi, baik di dalam maupun di luar negeri.
3.
Integrated KEK dengan infrastruktur pendukung seperti sumber energi dan sarana dan prasarana transportasi dengan berbagai moda transportasi.
4.
Regulasi ketenagakerjaan yang juga memungkinkan free entry dan free exit yang lebih mudah.
5.
Regulasi terkait tenaga kerja asing (TKA) dalam rangka investasi dan peningkatan nilai tambah industri yang disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi TK domestik.
70
6.
Faktor leadership yang nyata dan bertanggung jawab serta memberikan contoh yang mulia, jauh dari nilai-nilai tercela seperti korupsi, penggelapan, dan ketidakefisienan.
7.
Penentuan strategi dalam rangka free trade agreement (FTA) yang akan menguntungkan secara agregat bagi Indonesia dan berdampak positif bagi daya saing Indonesia di pasar ekspor.
8.
Sistem informasi yang lengkap dan mudah diakses baik oleh pengusaha, birokrat, akademisi maupun masyarakat umum yang memuat informasi dan persyaratan yang dibutuhkan untuk ekspor produk tertentu. Kenyataan bahwa sebagian besar kesepakatan perdagangan intra-ASEAN dan FTA lainnya masih belum banyak dimanfaatkan pengusaha Indonesia memberikan sinyal bahwa informasi dan birokrasi bagi pemenuhan ketentuan ekspor itu masih rumit
dan
memakan
biaya.
Selain
sistem
informasi
harus
terdapat
kelembagaan yang dapat memberikan bantuan, terutama bagi pengusaha kecil dan
menengah
yang
berusaha
memanfaatkan
peluang
pasar
akibat
kesepakatan perdagangan yang telah dibuat. 9.
Terlepas dari semua itu, pelaksanaan semua insentif dan paket kebijakan tersebut haruslah konsisten dan bukan hanya sebatas retorika sehingga akan terdapat hasil nyata dari segala kemudahan yang semestinya diberikan melalui berbagai paket kebijakan itu.
71
Box 2. Retrospeksi Kebijakan Industri Substitusi Impor Kebijakan substitusi impor (SI) adalah kebijakan perdagangan dan ekonomi yang didasarkan pada premis bahwa negara berkembang harus berusaha untuk menggantikan produk impor dengan produksi dalam negeri. Kebijakan ini memiliki tiga prinsip utama, yaitu (1) kebijakan industri yang aktif untuk mempromosikan industri dalam negeri untuk memproduksi produk pengganti yang strategis, yang sering melibatkan investasi pemerintah pada infrastruktur dan sektor strategis, serta pembentukan bank pembangunan untuk mendukung kegiatan tersebut; (2) trade barriers yang bersifat protektif (yaitu, tarif dan kuota untuk melindungi industri baru/infant industry) dan mengubah terms of trade dari pola ekspor utama tradisional; dan (3) kebijakan moneter terkait nilai tukar dengan sistem multiple exchange rate untuk mendukung import nonkompetitif terhadap barang antara dan modal. Umumnya, tahap pertama SI bersifat "mudah" karena industri yang diproteksi adalah non-durable goods dan kemudian ke tahapan "dewasa", yaitu memperdalam SI, yaitu industri memproduksi nondurable consumer goods serta barang antara dan modal. Kebijakan SI telah dianalisis dalam sejumlah studi oleh OECD, World Bank dan NBER (Reinert and Rajan, 2010). Analisis tersebut menunjukkan bahwa ada biaya makroekonomi terkait kebijakan SI. Pertama, SI menyebabkan inefisiensi dalam alokasi sumber daya. Kebijakan nilai tukar yang overvalued menyebabkan bias terhadap ekspor dan mendukung sektor padat modal domestik sehingga mengarah
pada
underutilized capital, penurunan
produktivitas
modal, dan
kegagalan investasi yang secara signifikan berpengaruh terhadap penurunan pengangguran. Kedua, SI umumnya menyebabkan impor naik lebih cepat dari yang diharapkan karena permintaan barang modal dan barang antara untuk mendukung industri baru; sebagai akibatnya, masalah neraca pembayaran justru makin mendalam sehingga daripada mengurangi ketergantungan pada input impor (energi dan teknologi), strategi SI justru semakin meningkatkan impor secara signifikan. Ketiga, SI dinilai mendorong aktivitas mencari laba yang tidak produktif (directly unproductive profit seeking) yang mengalihkan sumber daya dari kegiatan produktif menjadi tidak produktif, tetapi menguntungkan. Yang selanjutnya akan mengurangi investasi dan pertumbuhan produktivitas serta pertumbuhan jangka panjang. Keempat, di negara–negara tempat pasar domestik relatif kecil, SI menciptakan
pasar
yang
kurang
kompetitif,
yang
dalam
beberapa
kasus
menyebabkan menurunnya efisiensi, pertumbuhan produktivitas, dan inovasi.
72
Pada era 1990-an dampak SI pada kinerja ekonomi dipertimbangkan kembali, khususnya dalam konteks perekonomian Asia Timur yang bertumbuh pesat. Pandangan ini berargumen bahwa SI akan mendahului kegiatan ekspor dan merupakan prasyarat untuk export led growth. Argumen pandangan ini adalah tidak
mungkin
suatu
negara
dapat
mengekspor
tanpa
mengakumulasi
kemampuan teknologi pada fase SI yang mendahuluinya. Perbedaannya adalah pada tahap “matang” dari kebijakan SI tersebut. Pada tahap ini negara Latin Amerika melakukan pendalaman SI yang dibarengi dengan kebijakan moneter dan fiskal. Sementara itu, negara Asia Timur, pada tahap “matang” karena tetap melakukan SI dengan penekanan pada promosi ekspor serta mengaitkan insentif dengan kinerja ekspor. Model campuran SI ini dinilai lebih berhasil jika dibandingkan dengan pendalaman SI karena pemerintah (1) dapat melakukan disiplin terhadap sektor swasta berdasarkan kinerja standar (target ekspor) sebagai
ganti
dari
subsidi
terhadap
sektor
swasta;
(2)
menghindari
ketidakseimbangan eksternal dengan promosi ekspor dan menjaga nilai tukar yang kompetitif; dan (3) berhasil melakukan desain proteksi dan promosi ekspor yang mendorong proses pembelajaran teknologi dan akumulasi pengetahuan. Sebagaimana sejumlah negara berkembang lain di Asia, Indonesia juga menempuh jalur kebijakan industrialisasi dalam bentuk substitusi impor pada tahap awal proses industrialisasinya. Namun, berbeda dengan Korea, kebijakan SI di Indonesia tidak berhasil menciptakan struktur industri yang kompetitif. Perbedaannya adalah kebijakan SI Korea--yang diterapkan secara selektif pada industri tertentu--terintegrasi dengan kebijakan lainnya seperti perdagangan, sumber daya manusia, dan teknologi. Sementara itu, kebijakan selektif di Indonesia tersebut tidak dibarengi dengan kebijakan komplementer dalam perdagangan, SDM, dan teknologi (Kim, 2004). Kebijakan SI diterapkan pemerintah pada tahun 70-an, terutama setelah oil boom. Pada masa itu pemerintah menerapkan kebijakan industri SI yang dibiayai dari
devisa
berlimpah
dari
minyak.
Tujuan
kebijakan
tersebut
adalah
memproduksi sendiri produk yang selama ini harus diimpor sehingga bisa menghemat devisa. Dalam perspektif industri kebijakan tersebut bertujuan untuk membangun kapasitas industri berat nasional berbasiskan proyek besar SDA. Kebijakan industri itu diwarnai dengan proteksi yang tinggi serta pembangunan industri berat yang justru bertentangan dengan keunggulan komparatif Indonesia, yaitu industri berbasiskan tenaga kerja murah (Basri, 2001 sebagaimana
73
Damayanthi, 2008). Beberapa industri yang didorong pada masa itu adalah baja, gas alam, kilang minyak, dan aluminium melalui kredit lunak dari bank–bank BUMN. Jatuhnya harga minyak di pasar dunia pada tahun 1982 dan 1986 serta ambruknya nilai tukar dollar AS pasca–Plaza Accord menyebabkan pemerintah harus mencari sumber pembiayaan dalam
negeri yang lain (Kim, 2004).
Pemerintah kembali ke kebijakan pintu terbuka melalui liberalisasi perdagangan dan investasi asing. Untuk memenuhi kebutuhan devisa, kebijakan industri yang ditempuh adalah industrialisasi berorientasi ekspor. Fase ini ditandai dengan diluncurkannya berbagai paket kebijakan deregulasi dalam rangka liberalisasi pasar, termasuk di dalamnya deregulasi perizinan investasi dan deregulasi sektor perbankan dan keuangan yang didukung oleh kebijakan devaluasi berkala nilai tukar rupiah untuk menjaga daya saing. Industri manufaktur padat karya Indonesia mengalami masa keemasan di era ini dengan terjadinya relokasi industri dan investasi di sektor industri padat karya, seperti pakaian jadi dan sepatu dari Korsel, Taiwan, Hongkong, dan Singapura. Ekspor manufaktur yang menyumbang hingga 53 persen dari total ekspor (1993) nasional mencatat pertumbuhan riel hampir 30 persen per tahun pada kurun 1980–1993. Pertumbuhan GNP di periode tersebut tercatat berkisar pada tingkat 7%, tidak terlalu jauh dari negara Asia timur lainnya. Menurut Basri (2001), perubahan orientasi kebijakan ke arah pasar pada masa itu terjadi karena pilihan yang pragmatis–rasional dan bukan karena alasan yang bersifat ideologis. Dalam era ‘70-an, ketika dana minyak tersedia dan peran kelompok nasionalis menguat, pilihan kebijakan yang non–pasar dan proteksionis … memiliki harga yang relatif ‘murah’ dibandingkan kebijakan pro–pasar … karena untuk memperoleh dukungan politik, pemerintah akan mengakomodasi tekanan kelompok kepentingan yang kuat pada waktu itu, sedangkan pada pertengahan 1980-an, ketika harga minyak jatuh, … pilihan kebijakan yang non-pasar menjadi relatif lebih ‘mahal’…. Liberalisasi yang terjadi waktu itu bersifat parsial dan gradual. Masih banyak proteksi industri dalam bentuk nontariff barriers dan beberapa sektor industri tetap tertutup bagi asing dan diproteksi ketat. Kebijakan industrialisasi pada fase itu berorientasi untuk melakukan lompatan teknologi. Pemerintah
74
menetapkan sepuluh industri sebagai industri strategis yang harus diproteksi yaitu industri pesawat terbang, industri maritim, industri pembuatan kapal, sektor transportasi darat, industri telekomunikasi, sektor energi, industri rekayasa, industri mesin pertanian, industri pertahanan, dan industri pendukung yang terkait. Argumen
waktu
itu
adalah
Indonesia
tidak
bisa
selamanya
menggantungkan diri pada industri padat karya untuk menopang pertumbuhan ekonomi tinggi dalam jangka panjang. Untuk mempertahankan kesinambungan pertumbuhan, diperlukan investasi pada teknologi canggih dan industri-industri bernilai tambah tinggi. Sumber penerimaan negara dalam jumlah besar diarahkan pada industri-industri yang mendapat proteksi dari pemerintah ini. Kebijakan proteksi dan subsidi terhadap kelompok industri strategis itu tetap dipertahankan pada masa 1985-1997, demikian pula kebijakan substitusi impor untuk industri– industri berat. Proteksi ini dinilai tidak berhasil karena industri–industri yang diproteksi secara ketat itu tidak menyumbang banyak pada pertumbuhan ekspor dan pertumbuhan industri nasional. Hal itu berbeda dengan di Korea, industri berat di Korea mampu menjadi sektor generatif yang ikut melahirkan berbagai industri lain yang terkait dan menjadi motor bagi pertumbuhan ekonomi. Sementara itu, industri padat karya yang banyak menyerap lapangan kerja, yang justru tidak atau relatif tidak diproteksi justru menjadi penyumbang terbesar pertumbuhan industri dan ekspor hingga awal 1990-an, seperti tekstil dan pakaian jadi, sepatu, dan elektronik. Namun, karena problem struktural, munculnya pesaing baru, dan kurangnya dukungan pemerintah, industri padat karya yang berorientasi ekspor itu tidak mampu tumbuh secara optimal. Problem struktural yang melingkupi industri padat karya nasional itu, antara lain, adalah sempitnya basis produk dan basis pasar ekspor, tingginya kandungan impor, tidak adanya pendalaman teknologi, lemahnya UKM sebagai industri pendukung, serta rendahnya produktivitas (Kim, 2004). Kim (2004) melihat problem struktural industri Indonesia sangat kompleks, lintas sektor dan kait-mengait; melibatkan pula kebijakan perdagangan, teknologi, sumber daya manusia, dan persaingan. Kesan yang ada selama ini, kebijakan pada tiap–tiap sektor berjalan sendiri-sendiri. Padahal, untuk menyukseskan suatu
proses
industrialisasi,
perlu
kebijakan
lintas
sektoral
yang
saling
mendukung, konsisten, dan koheren.
75
Kelemahan struktural industri Indonesia adalah hasil dari kegagalan kebijakan pada masa lalu yang dapat dibagi menjadi empat bagian besar, yaitu sebagai berikut. 1) Tidak adanya kebijakan industrialisasi yang konsisten dan terintegrasi dengan kebijakan
sektor
lain
(perdagangan,
SDM,
dan
teknologi).
Contohnya
pembangungan berbasis teknologi yang ambisius tidak didukung oleh kebijakan teknologi pada tingkat industri yang harus dimotori oleh sektor swasta. Di Korea setiap
kebijakan
pengembangan
industri
teknologi
selalu
disertai
dengan
jangka
panjang
yang
kebijakan
SDM
dikoordinasikan
dan
dalam
framework pembangunan berjangka 5 tahun. 2) Kegagalan strategi industri yang dimotori perusahaan pemerintah. Kelemahan perusahaan pemerintah adalah adanya inefisien, korupsi, perilaku rent–seeking yang selanjutnya menyebabkan proteksi industri dalam jangka panjang dan merusak perkembangan sektor swasta. 3) Kegagalan dalam mendorong pengembangan sumber daya manusia (SDM), kegiatan riset dan pengembangan (R&D) swasta. Mengingat kebijakan industri pemerintah ditujukan pada 10 industri strategis, dukungan dana untuk perusahaan pemerintah dan swasta di sektor lain lebih terbatas sehingga menyebabkan menurunnya pembiayaan bagi pusat riset dan laboratorium pengujian pendukung sektor swasta. Selain itu, tidak ada insentif fiskal untuk mendorong kegiatan inovatif pada perusahaan swasta. 4) Kegagalan dalam mendorong pembangunan usaha kecil dan menengah (UKM).
Ekonomi pasar hanya dapat berkembang jika disertai dengan pertumbuhan UMKM yang sehat. UMKM tidak hanya merupakan sumber penyedia lapangan pekerjaan, tetapi juga sumber penting untuk inovasi dan kompetisi. UMKM di Korea terhubung dengan industri manufaktur dalam sistem subkontrak yang menandakan hubungan antar industri yang erat. Sementara itu, di Indonesia sistem subkontrak antara UMKM dan industri besar belum berkembang. UMKM umumnya hanya menyediakan permintaan konsumen akhir dan bukan menyediakan input untuk perusahaan besar. Sebagai hasilnya, hubungan antarindustri sangat lemah sehingga menghambat pertumbuhan industri supply yang cost effective. Sumber: Kim, Chuk Kyo (2004). Industrial Development Strategy for Indonesia: Lessons from Korean Experience. Policy Recommendation Paper for Korea
76
Development Institute (KDI) and Korea International Cooperation Agency (KOICA). Reinert, Kenneth A. and Ramkishen S. Rajan, eds., 2010. The in Princeton Encyclopedia of the World Economy. Princeton and Oxford: Princeton University Press. Damayanthi, Vivin Retno, 2008. Proses Industrialisasi Di Indonesia Dalam Prespektif Ekonomi Politik. Journal of Indonesian Applied Economics Vol. 2 No.1 pp. 68–89.
77
Box 3. Studi Kasus Strategi Kebijakan Sektoral 1. Industri TPT Pakaian merupakan salah satu industri ekspor tertua dan terbesar serta yang
paling
lazim.
Industri
tersebut
merupakan
batu
loncatan
untuk
pembangunan nasional dan sering kali berperan sebagai industri pemula bagi negara yang terlibat dalam industrialiasi yang berorientasi ekspor karena biaya tetap yang rendah dan penekanan pada manufaktur padat karya. Secara historis, ekspansi global industri pakaian didorong oleh kebijakan perdagangan. Industri pakaian merupakan salah satu industri yang paling dilindungi dari semua industri, mulai dari subsidi pertanian pada bahan input (kapas, wol, dan rayon) serta sejarah panjang kuota berdasarkan general agreement on tariff and trade dalam MFA dan perjanjian penerusnya di bawah WTO, The Agreement on Textiles and Clothing (ATC). Struktur dari rantai nilai pakaian (apparel value chain) dapat digambarkan seperti smile curve yaitu aktivitas yang bernilai tambah tertinggi berada di tahap praproduksi (R&D dan desain) dan pascaproduksi (pemasaran merk, logistik, dan jasa) dari proses produksi. Produksi aktual dari pakaian, yaitu penciptaan pekerjaan banyak terjadi, telah menjadi sangat kompetitif, terkonsentrasi, dan selalu terpapar tekanan beban biaya. Tahap-tahap utama dari peningkatan ekonomi (economic upgrading) dalam rantai nilai pakaian adalah sebagai berikut. 1.
Assembly/Cut, Make and Trim (CMT) Produsen pakaian memotong dan menjahit kain tenunan atau rajutan atau merajut pakaian langsung dari benang.
2.
Original Equipment Manufacturing (OEM)/Full Package/Free on Board (FOB) Produsen pakaian bertanggung jawab terhadap seluruh kegiatan produksi termasuk CMT dan finishing. Perusahaan harus memiliki kemampuan logistik hulu, termasuk pengadaan (sourcing dan pembiayaan) bahan baku yang diperlukan, barang, dan trim yang diperlukan untuk produksi.
3.
Original Design Manufacturing (ODM)/Full Package With Design Model bisnis yang berfokus pada penambahan kemampuan desain untuk produksi pakaian.
4.
Original Brand Manufacturing (OBM) Model bisnis yang berfokus pada merk dan penjualan produk merk sendiri. Negara berkembang masuk ke segmen yang paling rendah dari rantai nilai
karena
berbagai
keuntungan,
termasuk
perjanjian
perdagangan
yang
78
menguntungkan, buruh kerja upah murah, dan faktor kedekatan dengan pasar. Untuk masuk ke tingkatan segmen rantai nilai yang lebih tinggi, berbagai faktor lainnya perlu dipertimbangkan. Faktor-faktor tersebut di antaranya keberadaan industri tekstil domestik atau regional; produsen tekstil dan pakaian yang besar di suatu
negara;
komitmen
yang
kuat
terhadap
pertumbuhan
industri
dari
pemerintah dan sektor swasta dibutuhkan dalam hal peningkatan desain dan merk agar dapat mengembangkan bakat yang dibutuhkan dan mendirikan merk nasional. Meskipun industri pakaian global telah berkembang secara cepat sejak awal tahun 1970-an dan telah disediakan lapangan kerja bagi puluhan juta pekerja di beberapa negara kurang berkembang di dunia, industri tersebut telah mengalami dua krisis besar dalam lima tahun terakhir. Krisis pertama adalah peraturan The Multi Fibre Arrangement (MFA) yang menetapkan bahwa kuota dan tarif preferensial pada pakaian dan barang tekstil yang diimpor oleh Amerika Serikat, Kanada, dan banyak negara Eropa sejak awal tahun 1970-an dihapus oleh World Trade Organization (WTO) dan digantikan dengan perjanjian WTO tentang tekstil dan pakaian, yakni ATC (berlaku tahun 1995–2005). MFA/ATC membatasi ekspor ke pasar konsumen utama dengan memberlakukan batasan per negara (kuota) akan volume produk impor tertentu. Sistem itu dirancang untuk melindungi industri domestik Amerika Serikat dan Uni Eropa dengan membatasi impor dari pemasok kompetitif seperti Tiongkok. Kekhawatiran negara berkembang kecil dan miskin yang bergantung pada ekspor pakaian bahwa mereka akan terdorong keluar dari sistem perdagangan global oleh persaingan kompetitor yang lebih besar seperti Tiongkok, India, dan Bangladesh. Krisis yang kedua adalah ekonomi. Resesi global yang terjadi baru-baru ini, yang dipicu oleh krisis perbankan di Amerika Serikat pada tahun 2008, dan yang menyebar cepat ke sebagian besar negara industri dan berkembang membawa dunia ke ambang krisis ekonomi yang paling parah sejak The Great Depression tahun 1930-an. Penutupan pabrik dan PHK pekerja di negara-negara industri berujung pada menurunnya permintaan konsumen yang mengakibatkan berkurangnya order dan menyusutnya pasar untuk ekonomi berorientasi ekspor di negara berkembang. Resesi tersebut berdampak cukup besar pada industri pakaian dan menyebabkan penutupan pabrik, peningkatan tajam pada angka pengangguran, serta tumbuhnya kekhawatiran akan munculnya kerusuhan sosial akibat terlantarnya pekerja mencari pekerjaan baru.
79
Penghapusan kuota pada 1 Januari 2005 menandai akhir dari terbatasnya akses ke pasar Eropa dan Amerika Utara. Pengecer dan pembeli lain bebas mengakses ke sumber tekstil dan pakaian dengan jumlah tak terbatas dari negara mana saja, hanya tunduk pada sistem tarif dan transitional safeguards yang akan berakhir pada akhir tahun 2008. Peluang itu dimanfaatkan dengan baik oleh produsen pakaian biaya terendah terbesar, yakni Tiongkok, India, Bangladesh, dan Vietnam. Hal tersebut terlihat dari meningkatnya pangsa impor pakaian dari negara-negara tersebut di negara konsumen pakaian terbesar, yakni Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Jepang. Sementara itu, pangsa ekspor pakaian Indonesia hanya terlihat meningkat di pasar Amerika Serikat. Namun, saat ini Tiongkok menghadapi tantangan baru, yakni upah buruhnya yang semakin meningkat hingga 20% per tahun sehingga dapat berdampak pada daya saing produk yang dihasilkannya. Hal itu dilakukan melalui dua tren secara simultan, yaitu pergeseran produksi CMT ke negara Asia yang biaya produksinya lebih rendah, dan meningkatkan tekanan kompetitif pada industri Tiongkok agar peningkatan mutu terjadi secara cepat untuk menjaga daya saing. Kondisi pergeseran produksi dari Tiongkok ini merupakan peluang dan dapat dimanfaatkan oleh Indonesia untuk mencoba meningkatkan pangsa pasarnya. Berbagai langkah dan strategi dapat ditempuh, yakni dengan cara sebagai berikut. 1.
Tingkatkan investasi pada pendidikan dan pelatihan (training) Kesempatan untuk menjalani pendidikan dan training dapat membantu mengatasi skill deficit yang dapat menghambat economic upgrading. Pendidikan sebaiknya mencakup keahlian teknis maupun soft skills dalam area, seperti manajemen, pengembangan produk, desain, dan riset pasar.
2.
Menciptakan fungsi pemasaran (marketing) dan jejaring Perusahaan dan pemerintah sebaiknya bekerja sama menciptakan organisasi untuk memasarkan negara/kawasan dan menyelaraskan perusahaan dengan organisasi internasional yang berhubungan dengan pengembangan standar, industry advocacy, riset dan pengembangan, serta praktik terbaik.
3.
Mempromosikan
investasi
langsung
(FDI)
atau
joint
ventures
untuk
mengembangkan kemampuan vertikal (vertical capabilities) Strategi ini sangat bagus, terutama bagi kawasan yang masih didominasi model produksi perakitan atau CMT (cut, make, dan trim). Hal itu akan membantu menciptakan backward linkages dan mengembangkan keahlian bukan di dalam negara. Otoritas ekonomi harus menyediakan layanan satu
80
pintu bagi investor atau pemasok yang merencanakan untuk mendirikan perusahaan baru. 4. Investasi pada teknologi dan sistem produksi fleksibel Investasi diperlukan untuk meningkatkan kapasitas mesin produksi, logistik, dan
teknologi
informasi
yang
memungkinkan
pemasok
menjadi
lebih
terintegrasi pada jaringan pembeli. 5. Mengembangkan full package capabilities Perusahaan harus bisa atau mempunyai aliansi dengan perusahaan yang dapat menyediakan produk akhir dan jasa tambahan berkaitan dengan pengembangan produk, desain, logistik, dan pengendalian kualitas. 6. Mengembangkan standar agar dapat memenuhi sertifikasi standar regional dan internasional 7. Melakukan praktik produksi yang berkelanjutan Perusahaan yang dapat bertahan adalah perusahaan yang memilih untuk bersaing pada kredensial lingkungan mereka di samping biaya, kualitas, dan faktor tradisional lainnya. 8. Mendiversifikasi pembeli, produk, dan pasar akhir Perusahaan harus melakukan diversifikasi menjadi berbagai lini produk, pasar pengguna akhir, dan pasar geografis yang berbeda. 2. Industri Otomotif Industri otomotif di Indonesia saat ini pada umumnya masih terkonsentrasi pada kegiatan perakitan (assembly). Padahal, nilai tambah tertinggi tidak berasal dari aktivitas itu. Sesuai dengan keniscayaan pada Global Value Chain (GVC), yaitu bahwa suatu negara akan mengupayakan efisien dalam suatu aktivitas dalam rantai produksi yang bernilai tambah tinggi. Sesuai dengan smile curve, aktivitas yang bernilai tambah tinggi pada GVC adalah desain, research and development, serta aktivitas penjualan yang berorientasi ekspor. Namun, Indonesia masih terkendala pada aspek human capital dalam melakukan aktivitas tersebut. Saat dunia sudah memiliki negara desainer otomotif yang efisien seperti Jepang dan Korea, Indonesia sangat berat untuk mengembangkan merek dan desain otomotif sendiri. Terkait dengan itu, langkah selanjutnya yang mungkin dilakukan Indonesia
adalah
meningkatkan
keunggulan
komparatif
pada
parts
dan
components otomotif sehingga secara keseluruhan produk otomotif, nilai tambah yang dihasilkan di Indonesia akan menjadi jauh lebih tinggi dibandingkan semula. Berdasarkan pendapat Kohpaiboon dan Yamashita (2011), penentuan lokasi
81
produksi dari komponen otomotif terutama hanya didasarkan atas daya saing dari sisi biaya. Terkait dengan hal tersebut, Indonesia dapat mencontoh Thailand untuk mengembangkan
industri
ini.
Seperti
yang
telah
dijelaskan
pada
bagian
sebelumnya, beberapa hal krusial yang dilakukan oleh Thailand adalah (1) tidak takut dalam memiliki tingkat integrasi yang tinggi dalam hal investasi dan perdagangan; (2) mengembangkan infrastruktur secara terpusat, yang sangat memberikan kenyamanan bagi investor, baik dari sisi regulasi, logistik, maupun industri pendukung; (3) memastikan proses knowledge transfer dan learning by doing berjalan secara maksimal; dan (4) memanfaatkan peran teknokrat dalam pembangunan kawasan industri yang independen dari proses politik. Sebagai tambahan yang perlu dikoreksi dari Thailand adalah aspek human capital. Secara jangka pendek, diperlukan pembebasan tenaga kerja untuk skill tertentu yang dibutuhkan sesuai dengan preferensi investor. Namun, investasi untuk human capital dalam negeri harus segera dimulai. Beberapa hal yang dapat mendukung, antara lain, adalah (1) diskusi intensif antara kementerian tenaga kerja, investor, serta kementerian yang menaungi pendidikan menengah atas dan tinggi untuk mengetahui jenis skill yang dibutuhkan dan upaya memfasilitasinya dalam kurikulum; (2) memberikan kebebasan bagi universitas luar negeri membuka cabangnya di Indonesia, khususnya untuk jurusan penting yang masih belum mampu dipenuhi oleh universitas dalam negeri; dan (3) melonggarkan peraturan pembatasan tenaga kerja asing untuk mekanisme pertukaran tenaga kerja temporer. Hal itu untuk mendukung lancarnya proses learning tenaga kerja Indonesia, khususnya untuk skill yang hanya dapat diperoleh di head office.
3. Industri Information and Communication Technology Industri ICT di Indonesia memiliki potensi yang besar, Business monitoring International (2015) memperkirakan industri ICT di Indonesia akan tumbuh ratarata 12,5% per tahunnya dengan kapitalisasi pasar mencapai 275 trilliun rupiah pada 2019. Untuk penjualan perangkat lunak diperkirakan akan mencapai lebih dari 50 trilliun rupiah, sedangkan pada 2019 penjualan perangkat keras berupa komputer pribadi dan jasa layanan IT masing-masing akan mencapai 100 trilliun rupiah dan 80 trilliun rupiah. Jika dibandingkan dengan negara–negara tetangga, seperti Malaysia dan Singapura, porsi belanja IT per PDB Indonesia masih sangat
82
rendah, yaitu hanya sekitar 1,6%, sedangkan Malaysia dan Singapura masingmasing sebesar 6,42% dan 6,37%. Saat ini, Indonesia memiliki koneksi internet yang paling rendah jika dibandingkan dengan negara-negara di kawasan Asia–Pasifik. Permasalahan lain yang dihadapi adalah kondisi geografis Indonesia yang berupa kepulauan sehingga biaya pembangunan infrastruktur menjadi sangat mahal. Oleh karena itu, pemerintah berusaha untuk menggenjot pertumbuhan industri ICT dengan meningkatkan
infrastruktur
layanan
internet
dengan
program
Indonesia
Broadband Plan 2014–2019. Pemerintah menargetkan seluruh penduduk di kota besar memiliki akses ke internet, sedangkan untuk wilayah perdesaan ditargetkan 52% penduduknya terjamah dengan layanan internet. Bagi para pelaku usaha di industri ICT, permasalahan yang kerap mereka temui adalah permasalahan sumber daya manusia, perpajakan, dan persaingan usaha. Menurut para pelaku usaha, sumber daya manusia Indonesia tidak memiliki kesiapan kerja, khususnya para tenaga kerja dengan latar belakang pendidikan sarjana. Meskipun demikian, para tenaga kerja dengan latar belakang pendidikan SMK dirasa lebih cepat beradaptasi dengan dunia kerja sehingga pelaku usaha membutuhkan waktu yang relatif singkat dan biaya investasi yang lebih sedikit dalam mempersiapkan tenaga kerja tersebut untuk terjun langsung ke dalam dunia kerja. Selain itu, permasalah double tax juga masih menjadi hambatan bagi pelaku usaha industri ICT untuk berkembang. Pengeluaran mereka menjadi bertambah seiring dengan pajak yang dikenakan dua kali. Iklim usaha industri ICT di Indonesia saat ini juga dirasa sangat kompetitif mengingat banyak perusahaan asing yang ikut bersaing dalam memperebutkan tender. Oleh karena itu, diperlukan kebijakan yang mendukung pertumbuhan industri ICT. Pertama, kegiatan magang bagi mahasiswa perlu lebih digalakkan sehingga pengalaman kerja mereka dapat meningkat dan mempermudah mereka dalam beradaptasi dengan dunia kerja. Selain itu, kebijakan perpajakan perlu dikaji kembali guna menghindari double tax. Untuk menciptakan iklim persaingan usaha yang lebih baik, diperlukan kebijakan yang memprioritaskan perusahaan lokal dalam mengikuti tender yang dilakukan oleh perusahaan BUMN.
83
Box 4. Pelajaran
Kebijakan
Singapura,
Korea
Selatan,
Thailand,
Malaysia, dan Vietnam 1. Singapura Sejak mencapai pemerintahan sendiri pada 1959, Singapura menghadapi berbagai
ketidakpastian
ekonomi
dan
gejolak
perekonomian.
Singapura
memandang penyediaan tenaga kerja dan perumahan yang layak merupakan dua masalah pokok yang perlu segera dibenahi. Terkait penyediaan tenaga kerja, pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan sustainable merupakan satu-satunya jawaban. Dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, beberapa tujuan kebijakan yang lain akan dapat dipenuhi dengan lebih mudah. Pada tahun 1960 GDP/capita hanya SGD1,310 sementara saat ini 2014 SGD71,318, meningkat lebih dari lima puluh kali lipat. Penghasilan pekerja dengan 44 jam kerja/seminggu pada 1960 sebesar SGD120, sedangkan pada tahun 2014 meningkat menjadi SGD3,770. Sejak awal berdirinya, Singapura memiliki visi untuk menjadi bagian dari first world economics dalam waktu 3–40 tahun. Kunci untuk mencapai itu disesuaikan dengan keberadaan Singapura sebagai kota perdagangan tanpa sumber daya alam, tetapi memanfaatkan economic dynamism, menawarkan high quality of life, serta memiliki a strong national identity dan suatu konfigurasi kota global (global city). Beberapa strategi utama yang dilakukan adalah (1) meningkatkan sumber daya manusia; (2) mempromosikan kerja sama tim nasional (promoting national teamwork); (3) berorientasi internasional; (4) menciptakan iklim kondusif untuk inovasi; (5) mengembangkan klaster manufaktur dan jasa; (6) spearheading economic
redevelopment;
(7)
mempertahankan
keunggulan
daya
saing
internasional; dan (8) mengurangi vulnerabilitas. Pertumbuhan ekonomi Singapura tidak terlepas dari peran aktif EDB (economic development board) yang bertugas mempersiapkan perkembangan ekonomi untuk medium dan long term, yaitu menerapkan prinsip realignment, redirecting,
dan
reorientation
dilakukan
secara
fleksibel
sesuai
dengan
perkembangan zaman. Tiga tahapan utama perkembangan ekonomi Singapura (CSS, 2015): (1) 1950s–1970s: membangun ekonomi nasional; (2) 1980s–1990s: refining strategies: deepening and diversifying engines of growth
84
(3) 1998–2000s: globalization and the challenges of sustainable, inclusive growth Mendiang Perdana Menteri Lee pada 2012 (Neng, 2015) mengungkapkan “Without growth, we have no chance of improving our collective being… Slow growth will mean that new investments will be fewer, good jobs will be scarcer, and unemployment will be higher. Enterprising and talented Singaporeans will be lured away by the opportunities and the incomes they can earn in other leading cities. Low– income workers will be hardest hit, just as they were each time our economy slowed down in the last decade. Over time, our confidence will be dented. Thoughtful Americans have told me that a major challenge for the US after years of slow growth has been a profound loss of optimism. The same is true for Japan, and will be true of Singapore too if ever our economy stagnates.” Hal utama yang perlu dibenahi bagi Lee
adalah
menciptakan
economic
viability
yang
ditopang
oleh
struktur
administratif yang bersih dan efisien untuk melaksanakan kebijakan ekonomi (Menon, 2007). Strategi Industri Singapura dapat dijelaskan dalam prinsip sebagai berikut (CSS, 2015). (1) Melihat dengan keterbatasan yang ada, yaitu negara kecil tanpa sumber daya alam, tetapi memiliki lokasi geografi yang strategis. Oleh karena itu, filosofi pengembangan ekonominya harus berdasarkan free market system dan outward orientation didukung oleh pemerintahan yang menyediakan kerangka legislatif, lingkungan yang stabil dan kondusif untuk bisnis, corporate governance yang baik, kebijakan yang memfasilitasi bisnis, investasi dalam infrastruktur dan tenaga kerja, serta kebijakan bagi pengembangan pemerataan kesempatan hidup layak. (2) Strategi industri meliputi bebarapa fase (Cahyadi dll., 2004; Yue, 2005, Neng, 2015) a. 1965–1978: proses industrialisasi melalui strategi berorientasi ekspor dengan menarik investor asing dan mengembangkan industri manufaktur dan sektor keuangan. Perbaikan iklim tenaga kerja dan investasi serta menasionalisasi
perusahaan
karena
sektor
swasta
tidak
mampu
menyediakan kapital yang cukup dan keahlian yang cukup, seperti Singapore Airlines, Nepture Orient Lines, Development Bank of Singapore, dan Sembawang Shipyard. b. 1979–1985: memperbarui penekanan pada penngembangan tenaga kerja melalui
pendidkan
dan
pelatihan.
Mendorong
otomatisasi
industri,
85
mekanisasi, dan komputerisasi. Memberi insentif untuk beralih ke teknologi dengan nilai tambah yang lebih besar dan kebijakan yang mendorong penanaman modal dalam industri padat modal dan keahlian. c. 1986–2000: memperdalam basis teknologi industri, mengembangkan klaster industri, serta mempromosikan industri manufaktur dan jasa sebaai twin pillars
dari
perekonomian
Singapura.
Regionalisasi
atau
mendorong
perusahaan-perusahaan di Singapura untuk melebarkan sayapnya ke wilayah di sekitar Singapura, di antaranya memanfaatkan gold triangle: Riau–Johor–Singapura. d. 2000–sekarang: mengalihkan perhatian pada inovasi, pengetahuan, serta riset dan pengembangan. Penelitian dan pengembangan menjadi bagian penting dari pengembangan perekonomian Singapura pada masa yang akan datang (Goh, 2005). Untuk itu, pelindungan hak properti intelektual diterapkan dan didukung penerapannya dengan law enforcement yang kuat. Oleh karena itu, fokus pada teknologi informasi harus dilakukan termasuk web–based
commercial
strategies
dan
e–government
initiatives.
Agar
kemampuan entrepreneurship berkembang, kemampuan ini terus didorong dan termasuk dalam bagian penting dalam penelitian dan pengembangan. Terakhir, potensi manusia semakin dikembangkan, termasuk di dalamnya change management agar performa perusahaan semakin baik. (3) Pada tahun 2010 ada tiga prioritas utama yang ingin dicapai, yaitu sebagai berikut. a. Mendorong keahlian dalam setiap pekerjaan agar tingkat upah yang lebih tinggi
dapat
memperbaiki
dipertahankan. efisiensi
dan
Perusahaan membuat
didorong
pekerjaan
agar lebih
berinovasi, baik,
serta
meningkatkan keahlian pekerja pada semua tingkat. Sedapat mungkin dihindari ketergantungan kepada tenaga kerja asing. b. Memperdalam kemampuan perusahaan untuk menangkap peluang di Asia. Perusahaan perlu menumbuhkan ekosistem bisnis yang beragam, tetapi kuat
menahan
goncangan,
mengomersialisasi
R&D
sebagai
sumber
competitiveness, dan mengembangkan fasilitas berdasarkan pasar untuk melebarkan pembiayaan internasional bank. c. Membuat Singapura sebagai suatu distinctive global city and endearing home. Hal itu dicapai melalui pendalaman keahlian dalam berbagai bidang, menarik sumber daya manusia berpotensi tinggi dari luar negeri, dan membuat Singapura sebagai a distinctive global city.
86
(4) Strategi utama dalam satu dekade ke depan untuk mencapai tiga prioritas utama tersebut adalah sebagai berikut. a. Tumbuh melalui keahlian dan inovasi b. Menjadi Global–Asia Hub untuk industri manufaktur dan jasa c. Ekosistem perusahaan yang beragam d. Inovasi yang tajam e. Smart energy economy f. Meningkatkan produktivitas tanah g. Global city, endearing home Pada prinsipnya Singapura telah menerapkan apa yang diperlukan bagi suatu transformasi produktif yang berhasil (Nubler, 2014), yang ditopang oleh kebijakan industri yang baik (Lin and Treichel, 2014) dan dengan memanfaatkan keberadaan GVC yang semakin besar dalam ekonomi global saat ini (Milberg, Jiang dan Gereffi, 2014).
2. Korea Selatan Hanya dalam jangka waktu kurang lebih 60 tahun, Korea Selatan (Korsel) berhasil melakukan transisi dari perekonomian tidak berkembang, bahkan merupakan salah satu negara termiskin pada 1960an, menjadi negara maju. Keberhasilan
tersebut
dikenal
dengan
sebutan
“The
Korean
Miracle”
dan
merupakan perkembangan ekonomi yang paling berhasil selama abad ke-20. Gross National Income (GNI) per kapita meningkat dari 85 dolar AS pada tahun 1961 menjadi lebih dari 20.000 dolar AS pada tahun 2006. Korsel menjadi negara dengan perekonomian terbesar ke-13 pada tahun 2014. Perkembangan ekonomi Korsel patut diperhatikan karena merupakan pembangunan dengan ekuitas, pengentasan
kemiskinan
yang
tergolong
cepat,
dan
tanpa
peningkatan
kesenjangan (inequality) selama proses transisi. Elemen-elemen yang menjadikan Korsel pemain utama dalam ekonomi global adalah bantuan dari komunitas internasional, pengabdian masyarakat Korsel untuk bekerja, usaha konsisten dari Pemerintah untuk membuka perekonomiannya, dan upaya perusahaan untuk berinovasi dan meningkatkan daya saing di pasar internasional.
87
1960s
Development Stage
Factor-Driven
2000s
1990s
Innovation-Driven
manufacturing capability
CATCH - UP
Strategy
Science & Technology (S&T) Policy
1980s
Investment-Driven
cheap labor
Sources of Competition
Industrial Policy
1970s
innovative capability
INNOVATION
Support Export Development Expand export-orient light industries
Promote Heavy & Chemical Industries (HCI)
Scientific Institution Building § MOST/KIST § S&T Promotion Act § Five-Year Economic Plan incl.S&T
Scientific Infrastructure Setting § Government Research Institutes (GRI) § Technical and Vocation Schools § R&D Promotion Act § Daedeok Science Town § KAIST:highly qualified personnel
Promote high-technology innovation
Shift from Industry Targetting to R&D Support
Provide Information Infrastructure and R&D Support
Transition to KnowledgeBased Economy Promote New Engines of Growth and Upgrade R&D
R&D and Private Research Lab Promotion § National R&D Plan (NRDP) § Private Sector Initiatives in R&D § Promotion of Industrial R&D
Leading Role in Strategic Area Informatization E-Government GRI Restructuring U-I-G Linkages Enhancing univresearch capability Promoting co-op research Policy coordination
§ Universities’ Leading Role § Efficient National Innovation Systems (NIS) § Regional Innovations System (RIS) and Innovation Clusters
Expand technologyintensive industries
§ § § § §
§ §
Gambar 46. Transformasi Perekonomian Korea Selatan
Investasi
pendidikan
telah
memainkan
peran
penting
terhadap
pertumbuhan Korsel yang cepat dan berkelanjutan. Strategi pembangunan berfokus pada pencapaian pertumbuhan produktivitas berkelanjutan dengan secara konsisten meningkatkan nilai tambah dari output. Untuk mencapai hal itu, tenaga kerja yang berpendidikan tinggi sangatlah diperlukan. Sejak berakhirnya perang Korea sampai dengan tahun 1960-an, Korsel mengadaptasikan kebijakan substitusi impor untuk pembangunan ekonominya. Tujuan utama perekonomian pada periode itu adalah meningkatkan lapangan pekerjaan dan memperbaiki neraca pembayaran. Korsel mulai mempromosikan industri substitusi ekspor dan impor dimulai dengan subsistensi pertanian (beras) dan padat karya, sektor manufaktur ringan (tekstil dan sepeda). Perekonomian Korsel kala itu banyak bergantung pada bantuan dana asing, salah satunya bantuan dari Amerika Serikat yang menyediakan bahan baku untuk industri three white pada tahun 1950 di Korea berupa gula, benang katun, dan tepung gandum. Akumulasi modal dan investasi dalam pendidikan dasar selama periode itu memungkinkan pergeseran bertahap ke atas rantai nilai tambah menuju komoditas yang lebih canggih. Kunci pergeseran itu adalah penggunaan teknologi yang diperoleh melalui lisensi asing dan diadaptasi untuk produksi dalam negeri. Pada awal tahun 1960-an, perekonomian Korea Selatan masih terjebak dalam lingkaran kemiskinan. Untuk membebaskan diri dari jeratan kemiskinan, Pemerintah Korsel mencanangkan Five–Year Economic Development Plan pada
88
tahun 1962. Pada tahap awal pembangunan ekonomi, Pemerintah membantu perkembangan industri impor subsitusi yang memproduksi barang antara dasar, seperti semen dan pupuk. Setelah itu, Pemerintah mempromosikan industri ekspor padat karya seperti tekstil dan plywood yang memiliki daya saing internasional akibat dari biaya tenaga kerja murah dan mampu menyerap pengangguran maupun pengangguran terselubung. Dalam rangka mendukung industri ekspor, langkah-langkah mempromosikan ekspor secara luas diambil. Pinjaman dengan kebijakan suku bunga rendah diberikan untuk membantu perusahaan-perusahaan ekspor yang mengalami kesulitan keuangan. Berbagai bentuk perlakuan pajak diferensial diberlakukan kepada industri ekspor, seperti pembebasan pajak dan rabat tarif pajak. Pemerintah juga fokus pada mobilisasi yang efisien dan alokasi sumber daya investasi. Beberapa bank khusus didirikan untuk
membiayai
sektor–sektor
strategis
terbelakang
seperti
UMKM
dan
konstruksi perumahan. Bersamaan dengan hal tersebut, untuk mendorong masuknya arus modal asing, The Foreign Capital Inducement Act disahkan pada tahun 1966 dan bank asing diperbolehkan untuk membuka cabang sejak tahun 1967. Proses industrialisasi ekonomi Korsel yang cepat dibawah bimbingan Pemerintah selama tahun 1960-an menunjukkan kinerja yang mengesankan. Selama proses industrialisasi berorientasi pada pertumbuhan, sejumlah besar modal asing perlu didorong karena dana simpanan domestik tidak mencukupi untuk membiayai permintaan investasi yang sangat besar. Oleh karena itu, jumlah uang beredar meningkat dengan cepat untuk membiayai berbagai proyek pemerintah. Pertengahan tahun 1970-an implementasi kebijakan industri yang tepat guna oleh Pemerintah berdampak pada pergeseran ke pengembangan industri berat (contoh bahan kimia, besi dan baja, otomotif, serta pembangunan kapal). Seiring dengan industrial targeting, berbagai kebijakan diberlakukan untuk lebih meningkatkan kemampuan teknologi bersamaan dengan memperbaiki akses ke dan kualitas dari pelatihan teknis dan kejuruan. Tujuan mendorong HCI adalah untuk mendorong industri pertahanan, mengejar Jepang dalam industri HCI, merespons peningkatan proteksionisme dalam industri ringan, serta mencapai impor subsitusi pada barang kapital. Investasi dalam sektor–sektor baru didukung oleh insentif pajak dan keuangan serta pemberian bantuan pada grup perusahaan besar (Chaebol). Suksesnya transformasi industri berat dan kimia ke sektor ekspor baru mengakibatkan Korsel mampu mempertahankan laju pertumbuhan yang kuat sepanjang tahun 1970. Namun, dalam melaksanakan rencana pembangunan
89
ekonomi yang ambisius dengan dana tabungan domestik yang tidak mencukupi, perekonomian diwarnai dengan kekurangan dana yang cukup besar. Kesenjangan investasi-tabungan ini dijembatani dengan mendorong masuknya dana asing atau dengan meningkatkan pasokan uang. Sebagai konsekuensinya, utang luar negeri terus menumpuk dan inflasi kronis tetap terjadi. Efek samping hal tersebut menyebabkan
pergeseran
stance
kebijakan
pemerintah
menuju
strategi
pertumbuhan berorientasi stabilitas. Awal tahun 1980-an, efek samping dari manajemen ekonomi berorientasi pertumbuhan makin mencolok. Krisis minyak yang kedua dan kekacauan politik dalam negeri memberikan dampak yang cukup berarti. Akibatnya, perekonomian Korsel
mengalami
berbagai
kesulitan
selama
tahun
1980
dan
mencatat
pertumbuhan negatif pertama sejak Development Plan pertama kali dicanangkan dan defisit transaksi neraca berjalan yang besar. Untuk mengatasi kesulitan itu, Pemerintah
melakukan
meningkatkan
efisiensi
langkah–langkah ekonomi.
penyesuaian
Pertama,
Pemerintah
struktural menggeser
untuk prioritas
kebijakan ekonomi dari pertumbuhan ke stabilitas dan secara aktif mendorong penyesuaian
investasi
berganda
dan
likuidasi
perusahaan-perusahaan
bermasalah. Bersamaan dengan kebijakan itu, pergeseran ke ekonomi yang lebih terbuka dan deregulasi dilakukan secara bertahap, sebagai bagian dari langkah menuju private–initiative pada manajemen ekonomi. Sayangnya, upaya tersebut tidak begitu membuahkan hasil karena situasi ekonomi politik yang rentan. Meskipun demikian, kebijakan moneter dan fiskal yang ketat serta kestabilan baru harga
minyak
internasional,
berkontribusi
pada
pembangunan
dasar
perekonomian Korsel yang stabil. Namun, pertumbuhan ekonomi yang terus tinggi menyebabkan ketidakstabilan harga baru. Selain peningkatan inflasi, upah juga mengalami peningkatan. Korsel terus menekuni manufaktur bernilai tambah tinggi pada tahun 1990an dengan mempromosikan inovasi teknologi tinggi. Kenaikan upah buruh domestik dan apresiasi mata uang Won telah mengakibatkan defisit neraca transaksi berjalan yang cukup besar, yang memicu serangkaian reformasi, termasuk reformasi pasar keuangan. Bersamaan dengan pendirian infrastruktur informasi
yang
modern
dan
lebih
mudah
diakses,
ekspansi
kemampuan
pengembangan riset tetap dilakukan di industri Korsel, yang pada akhirnya menarik minat tenaga kerja terampil yang dihasilkan dari ekspansi pemerintah akan sistem pendidikan tinggi. Pasca-terjadinya krisis keuangan pada pertengahan
90
tahun 1990-an, upaya kebijakan dilakukan untuk mentransformasi perekonomian Korsel menjadi ekonomi berbasis pengetahuan yang memunculkan berbagai inovasi serta meningkatkan produktivitas secara keseluruhansehingga dapat mempertahankan pertumbuhan ekonomi. Banyak faktor yang berperan dalam perubahan ekonomi Korsel yang cepat. Salah satu faktornya adalah pembangunan infrastruktur informasi dan memanfaatkan potensi dari ilmu pengetahuan dan teknologi.
3. Thailand Thailand berhasil menjadi “Detroit of Asia” dengan keunggulannya menjadi pusat industri otomotif di ASEAN. Hal tersebut dicapai dari skill, teknologi, industri pendukung, dan klaster melalui learning dan akumulasi kemampuan. Analisis product space menunjukkan bahwa pada tahun 2013 yang dibandingkan dengan tahun 2010, jumlah produk berkeunggulan komparatif untuk garmen di Thailand berkurang. Pencanangan untuk menjadi negara dengan keunggulan pada industri otomotif sudah dilakukan sekurangnya sejak 3 dekade lalu. Pertumbuhan ekonomi Thailand pada tahun 1980 hingga awal tahun 1990-an sangat tinggi. Hal itu didorong oleh tingkat investasi yang sangat tinggi dengan 20% pertumbuhan jangka panjang dikontribusikan oleh stok modal fisik (Warr, 2011). Terkait dengan hal itu, Warr (2011) menjelaskan bahwa Thailand sejak beberapa dekade lalu tidak takut untuk memiliki tingkat integrasi yang dalam pada sisi investasi dan perdagangan dengan seluruh dunia.
Sumber: Perhitungan peneliti dengan Cytoscape dan Product Space Explorer. Data ekspor dari WITS.
Gambar 47. Product Space Thailand tahun 2000 dan 2013
91
Sumber: Hosono (2013)
Gambar 48. Perkembangan Industri Otomotif di Thailand
Secara khusus pengembangan infrastruktur The Eastern Seaboard berperan besar dalam perkembangan industri otomotif (Hosono, 2013). Infrastruktur tersebut berperan sebagai export hub dan pusat industri padat teknologi. Infrastruktur tersebut menjadi tempat bagi 14 lahan industri, yang menyerap 360.000 tenaga kerja, serta 1.300 pabrik, dimana yang 516 di antaranya terkait dengan produksi otomotif. Industri parts dan components tumbuh karena adanya mekanisme learning dengan memanfaatkan investasi yang sangat tinggi. Menurut JICA/JIBC (2008) beberapa hal yang menjadi kunci kesuksesan pembangunan industri otomotif di Thailand adalah(1) peran serta teknokrat yang berkemampuan tinggi dan independen dari politik; (2) mekanisme check and balance serta proses politik yang transparan; dan (3) orientasi pembangunan yang terpusat di sentral sehingga efisien jika ditinjau dari aspek spasial. Namun, terdapat risiko dari desain pembangunan industri seperti di Thailand. Walaupun kesuksesan mengalihkan keunggulan komparatif secara langsung pada machinery sesuai dengan profil keunggulan komparatif pada high– income country, terdapat risiko pada tenaga kerja, khususnya jika terdapat bonus demografi. Terkait dengan itu, ERIA (2013) menyatakan bahwa salah satu problem di Thailand adalah adanya human capital bottleneck pada sektor manufaktur.
92
4. Malaysia Malaysia
menerapkan
strategi
export–led
development
yang
berhasil
membawanya bertransisi ke upper middle income country (GDP per kapita saat ini USD10.800). Visi Malaysia pada tahun 2020 adalah menjadi high income countries (GDP USD15.000/kapita) yang akan dicapai dengan menggerakkan perekonomian naik ke high value chain dengan mempromosikan investasi di sektor high value added dan jasa. Strategi menjadi HIC dilakukan melalui program pemerintah yang disebut Economic Transformation Programme dan berciri sebagai berikut. a. Model
pertumbuhan
dimotori
sektor
swasta.
Pemerintah
memfasilitasi
lingkungan yang kondusif untuk tercapainya pertumbuhan sosial dan ekonomi yang lebih kuat. b. Pertumbuhan didorong dengan strategi dan reformasi yang market–friendly, berpusat
pada
inovasi
dan
peningkatan
nilai
tambah,
berfokus
pada
peningkatan kualitas, standar dan produktivitas pada sektor keunggulan yang dimiliki Malaysia. c. Kebijakan utama berpusat pada liberalisasi pasar, meningkatkan kompetisi, memberikan
insentif
untuk
investasi,
menghapuskan
hambatan,
dan
membiarkan sektor swasta “memimpin”.
Program yang dicanangkan Malaysia berpusat pada hal berikut. 1. Strategi industri dilakukan dengan menetapkan 12 National Key Economic
Areas (NKEAs) yang akan berkontribusi signifikan terhadap GNI 9 . Secara umum strategi industri berpusat menjadikan industri berskala besar dan naik ke rantai nilai yang lebih tinggi dengan menjadikan Malaysia sebagai hub produksi
atau
jasa.
Beberapa
contoh
strategi
sektor
tersebut
adalah
sebagaimana tampak pada tabel di bawah.
i) minyak, gas, dan energi, ii) pendidikan, iii) pariwisata, iv) wholesale and retail, v) electronics and electrical, vi) layanan kesehatan, vii) kelapa sawit, viii) communications content infrastructure, ix) agrikultur, x) business services, xi) greater Kuala Lumpur/Klang Valley dan xi) jasa keuangan. 9
93
Tabel 11. Strategi Industri Malaysia No.
Sektor
Strategi
1.
Electronics
Bertujuan untuk 1) merevitalisasi industri, 2) mempercepat
and
pertumbuhan pendapatan dan 3) mempersiapkan industri
electrical
dalam merespon shock eksternal seperti global demand. Terdiri dari 5 cluster yaitu1)
jasa/desain manufaktur, 2)
advanced assembly, 3) industrial/integrated electronics, 4) advanced materials, dan 5) wafer technology. Tujuan dari cluster adalah menggiring industri menuju aktivitas yang bernilai tambah tinggi seperti desain, rakitan, packaging dan penyediaan total solusi 2.
Minyak,
Bertujuan untuk mentransfromasi Malaysia menjadi pusat
gas, dan
perdagangan dan penyimpanan minyak di regional serta
energi
memastikan
ketahanan
energi
untuk
pasar
domestik.
Beberapa project adalah 1) mendukung investasi di industri Oil
&
Gas
Services
and
Equipment,
2)
mendukung
perusahaan lokal untuk mengekspor jasa dan produknya, 3) mengurangi ketergantungan pada proyek lokal, dan 4) menarik MnCs untuk mendirikan operasinya di Malaysia dengan bermitra dengan perusahan lokal. 3.
Kelapa
Strategi yang dilakukan adalah mendorong industri untuk
sawit dan
bergerak
karet
makanan
di
rantai
dan
nilai
kesehatan
dengan yang
memproduksi
bersifat
high
produk
end
dan
mendorong produktivitas lahan untuk mencapai supply chain kelapa sawit yang lebih efisien. 4.
Pendidikan
Bertujuan untuk membangun pendidikan di Malaysia dan memanfaatkan posisi dan akses Malaysia untuk menjadi regional
education
hub.
Tujuan
ini
dicapai
dengan
meningkatkan partisipasi swasta, menarik universitas luar negeri yang berkualitas untuk membuka cabang di Malaysia dan membangun cluster pendidikan baru.
94
Tabel 11. (lanjutan) No. 5.
Sektor Pertanian
Strategi Bertujuan untuk mentransformasi pertanian yang berskala kecil
menjadi
Strateginya
industri
adalah
agribisnis
kapitalisasi,
yang
berskala
berfokus
pada
besar. pasar
premium, menyelaraskan tujuan ketahanan pangan dengan peningkatan GNI dan berpartisipasi di rantai regional value chain. 6.
Health
Strategi pengembangan sektor dengan mengundang investasi
Care
swasta dalam industri produk farmasi, peralatan kesehatan, riset
klinis,
jasa
perawatan
lansia
serta
mendorong
kolaborasi penyedia jasa kesehatan pemerintah dan swasta. 7.
Financial
Tujuan untuk mengembangkan industri keuangan dimana
Services
hambatan utama adalah kurangnya skala dalam beberapa segmen di industri perbankan, keterbatasan investor, produk dan mata uang di pasar modal.
2. Peningkatan Human Capital, khususnya di high skill labor dilakukan dengan meningkatkan kapasitas TK domestik melalui pelatihan, pendidikan kejuruan, program universitas atau menarik talent dari luar negeri dengan menyediakan insentif dan mempermudah fasilitas dan ketentuan imigrasi. 3. Pembangunan infrastruktur secara forward looking melalui pembangunan broadband untuk mendukung sektor komunikasi, elektronik, keuangan, retail, bisnis dan edukasi serta mendukung peningkatan infrastruktur, seperti jalan, pelabuhan, dan airport untuk mendukung bisnis dan pergerakan orang dan barang. 4. Perbaikan iklim usaha untuk mendukung program promote investment dengan mendirikan lembaga PEMUDAH (unit khusus untuk memfasilitasi dunia usaha) dan melakukan deregulasi untuk mengurangi biaya dan kerumitan serta meningkatkan efisiensi kegiatan pemerintah untuk mendorong sektor swasta.
95
5. Vietnam Pada tahun 1986 Vietnam menerapkan kebijakan Doi Moi (renovation) yang bertujuan untuk mereformasi sistem ekonomi Vietnam yang sebelumya berbentuk centrally–planned economy menjadi socialist–oriented market economy. Reformasi tersebut dilakukan untuk mengintegrasikan Vietnam ke dalam perekonomian global. Untuk mencapai visi tersebut, Vietnam memiliki strategi pembangunan per sepuluh tahun (10-year socio-economic development strategy) yang kemudian dipecah menjadi strategi pembangunan per lima tahun. Vietnam memiliki visi untuk mempercepat proses industrialisasi dan modernisasi serta membangun fondasi untuk menjadikan Vietnam sebagai negara industri pada tahun 2020, sedangkan pada tahun 2025, Vietnam memiliki visi yang jelas sehingga struktur sektor industri Vietnam telah terbentuk dengan baik. Sektor industri akan menjadi sektor yang kompetitif, memiliki teknologi yang maju, dan berpartisipasi dalam nilai rantai global serta secara fundamental memenuhi persyaratan ekspor. Tenaga kerja Vietnam akan memiliki kualifikasi yang memenuhi kebutuhan sistem produksi modern. Rasio ekspor industri terhadap total ekspor mencapai 85%–88% dan nilai produk industri hi-tech mencapai 45% dari PDB. Visi Vietnam pada 2035 adalah sektor industri Vietnam akan terbangun dengan didominasi oleh industri spesialis yang berteknologi tinggi dan produknya memenuhi standar internasional, berpartisipasi secara mendalam di rantai nilai global, dan berkompetisi secara adil dalam integrasi internasional. Tenaga kerjanya profesional, disiplin, berproduktivitas tinggi, serta aktif dalam riset, desain, dan manufaktur. Rasio ekspor industri terhadap total ekspor mencapai 90% dan nilai produk industri hi–tech mencapai 50% dari PDB. Kebijakan Doi Moi yang diambil oleh Vietnam memberikan citra positif bagi Vietnam dalam hubungan perdagangan internasional. Pada tahun 1994 Amerika Serikat mencabut embargonya terhadap Vietnam. Selain itu, pada tahun 2001 terbentuk perjanjian perdagangan bilateral antara Vietnam dan Amerika Serikat. Vietnam terus membuka diri ke pasar perdagangan internasional dengan bergabung menjadi anggota WTO pada tahun 2007. Vietnam juga telah menjadi anggota perjanjian perdagangan negara-negara Asia Pasifik (TPP) pada tahun 2013. Penetrasi Vietnam ke pasar internasional semakin dalam dengan rencana Vietnam untuk membentuk free trade agreement antara Eropa dan Vietnam.
96
Perjanjian-perjanjian perdagangan yang dilakukan oleh Vietnam dengan negara-negara lain memberikan banyak keuntungan bagi Vietnam, bukan hanya meningkatkan daya saing produk Vietnam dengan menurunnya tarif, melainkan juga meningkatkan daya tarik Vietnam bagi investor asing, khususnya investorinvestor
dalam
rantai
nilai
global
(GVC).
Chaponniere
and
Cling
(2009)
menyatakan bahwa foreign direct investment merupakan kunci keberhasilan dalam export–led growth strategy Vietnam. Selain itu, Cushman and Wakefield (2015) juga menyatakan bahwa pada tahun 2014 Vietnam menempati urutan pertama sebagai negara yang paling cocok untuk berinvestasi dalam sektor manufaktur. Dalam 25 tahun terakhir industri Vietnam terus bertransformasi. Pada tahun 1990-1995 pemerintah Vietnam fokus dalam menggenjot pertumbuhan industri berat, seperti industri semen dan baja untuk memenuhi kebutuhan domestik dalam pembangunan usai perang. Selain itu, Vietnam juga fokus dalam membangun
industri
manufaktur
untuk
memenuhi
kebutuhan
domestik,
khususnya industri makanan dan minuman. Vietnam juga mengedepankan industri-industri
yang
berbasis
pada
sumber
daya
alam,
seperti
industri
pertambangan dan industri migas. Pada periode tahun 1996 hingga tahun 2000 Vietnam mulai bertransformasi ke industri manufaktur yang berorientasi ekspor, seperti industri tekstil, apparel, alas kaki, dan kertas. Setelah tahun 2001 Vietnam mulai fokus dalam menggenjot sektor industri hi-tech. Untuk menggenjot masuknya foreign direct investment, pemerintah Vietnam menerapkan beberapa insentif bagi investor, antara lain adalah sebagai berikut. 1. Pajak penghasilan perusahaan yang rendah selama periode waktu tertentu. 2. Pengurangan atau penghapusan pajak penghasilan perusahaan. 3. Pengurangan atau penghapusan pajak impor untuk barang-barang impor yang berupa aset tetap, bahan mentah, suplai, dan suku cadang. 4. Pengurangan atau penghapusan biaya sewa lahan.
97
LAMPIRAN
1.
Intensive Margin 1. Trade openness Trade openness mengindikasikan seberapa penting ekspor dan impor barang dan jasa dalam sebuah perekonomian. Hal tersebut menunjukkan ketergantungan produsen domestik terhadap permintaan luar negeri serta konsumen domestik terhadap suplai dari luar negeri. Trade openness diukur sebagai rasio perdagangan terhadap PDB dengan persamaan sbb. 𝑋!" + 𝑀!" 𝑌!" Keterangan: 𝑋 merupakan total ekspor, 𝑀 merupakan total impor, dan 𝑌 merupakan
subscript 𝑖 dan 𝑡 masing-masing
PDB;
merepresentasikan
negara dan waktu. 2. Trend in trade growth Beberapa indikator yang digunakan dalam menganalisis trend in trade growth, antara lain adalah (i) volume ekspor, (ii) pertumbuhan ekspor, dan (iii) rasio perdagangan terhadap PDB. Sumber data: WDI. 𝑆ℎ𝑎𝑟𝑒 𝑜𝑓 𝑀𝑒𝑟𝑐ℎ𝑎𝑛𝑑𝑖𝑠𝑒 𝑇𝑟𝑎𝑑𝑒 =
𝑀𝑇!" ×100 𝐺𝐷𝑃!"
𝐴𝑛𝑛𝑢𝑎𝑙 𝑔𝑟𝑜𝑤𝑡ℎ 𝑟𝑎𝑡𝑒 𝑜𝑓 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑒𝑥𝑝𝑜𝑟𝑡𝑠 = 100× (
𝑋! − 1) 𝑋!!!
Keterangan: 𝑀𝑇 merupakan total merchandise trade dan 𝑋 merupakan total ekspor; subscript 𝑖 dan 𝑡 masing-masing merepresentasikan negara dan waktu. 3. Komposisi ekspor, RCA dan integrasi perdagangan
𝐶𝐴𝐺𝑅!"# = 100×
𝑥!"#!! 𝑥!"#!!
! !! !!!
−1
Keterangan: 𝑥!"#$ merupakan nilai ekspor produk 𝑘 dari negara 𝑖 ke negara 𝑗 pada waktu 𝑡 ; 𝑡! mengindikasikan start year dan 𝑡! mengindikasikan end year.
98
Revealed comparative advantage (RCA) mengukur tingkat relative advantage atau disadvantage pada suatu industri.
𝑅𝐶𝐴!"# =
Keterangan:
𝑥!"# 𝑋!"
𝑥!"# 𝑋!"
𝑅𝐶𝐴!"# merupakan RCA untuk produk 𝑘 yang diekspor dari
negara 𝑖 ke negara 𝑗; 𝑥!"# merupakan nilai ekspor produk 𝑘 dari negara 𝑖 ke negara 𝑗; 𝑋!" merupakan total ekspor negara 𝑖 ke negara 𝑗; 𝑥!"# merupakan nilai ekspor dunia (𝑤) ke negara 𝑗 untuk produk 𝑘; dan 𝑋!" merupakan total ekspor dunia (𝑤) ke negara 𝑗. Nilai indeks RCA antara 0 dan 1 menunjukkan adanya comparative disadvantage. Jika indeks RCA > 1, negara 𝑖 memiliki keunggulan dalam sektor 𝑘. 4. Trade intensity index Trade intensity index menunjukkan tingkat intensitas ekspor dari suatu negara ke negara mitra dagangnya. Indeks ini digunakan untuk melihat
apakah
sebuah
negara
mengekspor
lebih
banyak
ke
mitra
dagangnya jika dibandingkan dengan ekspor dunia ke negara tsb. Trade intensity index menggunakan logika yang sama dengan RCA, tetapi untuk pasar bukan produk. 𝑇𝑟𝑎𝑑𝑒 𝑖𝑛𝑡𝑒𝑛𝑠𝑖𝑡𝑦 𝑖𝑛𝑑𝑒𝑥 = 100×
𝑥!"# 𝑥!"# 𝑋!" 𝑋!"
Keterangan: 𝑥!"# merupakan nilai ekspor produk 𝑘 dari negara 𝑖 ke negara 𝑗; 𝑋!" merupakan total ekspor produk 𝑘 dari negara 𝑖 ; 𝑥!"# merupakan nilai ekspor produk 𝑘 dari dunia (𝑤) ke negara 𝑗; dan 𝑋!" merupakan total ekspor dunia (𝑤) untuk produk 𝑘. Trade intensity index > 100 mengindikasikan hubungan dagang antara negara 𝑖 dengan 𝑗 yang lebih intensif dibandingkan dengan rata–rata dunia (𝑤) dengan negara 𝑗. 5. Trade complementarity index Trade complementarity index digunakan untuk melihat apakah profil ekspor suatu negara sesuai dengan profil impor mitra dagangnya atau
99
justru bersifat komplementer. Nilai indeks yang tinggi mengindikasikan kedua negara mendapatkan keuntungan dari hubungan perdagangannya. 𝑇𝑟𝑎𝑑𝑒 𝑐𝑜𝑚𝑝𝑙𝑒𝑚𝑒𝑛𝑡𝑎𝑟𝑖𝑡𝑦 𝑖𝑛𝑑𝑒𝑥 = 100× 1 − Σ! Keterangan:
𝑚!" 𝑥!" − 𝑀! 𝑋!
𝑥!" merupakan nilai ekspor produk 𝑘 dari negara 𝑖 ; 𝑋!
merupakan total ekspor negara 𝑖; 𝑚!" merupakan nilai impor produk 𝑘 dari negara 𝑗; dan 𝑀! merupakan total impor negara 𝑗. Trade complementarity index = 100 mengindikasikan mitra dagang yang ideal; sedangkan trade complementarity index = 0 mengindikasikan bahwa kedua negara tsb. adalah perfect competitors. 6. Pertumbuhan nilai vs volume Export value index dan export volume index digunakan untuk melihat pertumbuhan ekspor yang mungkin dapat disebabkan dari perubahan pada harga, volume ekspor, ataupun keduanya. Export value index adalah nilai ekspor (c.i.f) yang dikonversi ke USD dan dinyatakan dalam persentase dari rata-rata tahun dasar. Export volume index adalah rasio antara export value index dengan unit value index–nya. 𝐸𝑥𝑝𝑜𝑟𝑡 𝑣𝑎𝑙𝑢𝑒 𝑖𝑛𝑑𝑒𝑥 = 100× 𝐸𝑥𝑝𝑜𝑟𝑡 𝑣𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑖𝑛𝑑𝑒𝑥 = Keterangan:
𝑋! merupakan
nilai
𝑋! 𝑋!!!"""
𝑉𝑎𝑙𝑢𝑒 𝑖𝑛𝑑𝑒𝑥! 𝑈𝑛𝑖𝑡 𝑉𝑎𝑙𝑢𝑒 𝐼𝑛𝑑𝑒𝑥!
ekspor
pada
waktu 𝑡 dan 𝑋!!!"""
merupakan nilai ekspor pada tahun 2000. 7. Orientasi Pertumbuhan (Produk dan Pasar) Terdapat dua indikator growth orientation (GO) yaitu GO product dan GO market, yaitu sbb. a. GO
product
mengevaluasi
potensi
pertumbuhan
ekspor
dengan
membandingkan CAGR dari produk ekspor utama suatu negara terhadap pertumbuhan perdagangan dunia untuk produk tersebut. Negara dengan pertumbuhan ekspor lebih tinggi daripada pertumbuhan dunia berarti negara tersebut mengalami peningkatan pangsa di pasar dunia. Negara yang ekspor utamanya adalah sektor yang memiliki pertumbuhan tinggi memiliki posisi yang baik untuk pertumbuhan ke
100
depan. Pertumbuhan di bawah pertumbuhan dunia mengindikasikan adanya barrier yang menghambat pertumbuhan. 𝐶𝐴𝐺𝑅!"# = 100 ∗
𝑥!"#!!
! !! !!!
𝑥!"#!!
−1
Keterangan: 𝑥𝑖𝑗𝑘 merupakan nilai ekspor produk k dari negara 𝑗 ke negara 𝑖 GO market mengevaluasi potensi pertumbuhan pasar ekspor suatu negara dengan membandingkan CAGR dari ekspor ke suatu pasar relatif terhadap pertumbuhan impor pasar tersebut dari ROW.
2.
Extensive Margin 1. Jumlah Produk dan Pasar Indikator ini menghitung jumlah mitra dagang dan produk yang diekspor suatu negara, yang dihitung pada 6-digit HS level. Partner dagang dihitung apabila telah terjadi ekspor minimal satu barang dengan nilai min 10,000 USD dan jumlah produk dihitung apabila setidaknya dikirim ke satu negara dengan nilai setidaknya 10,000 USD. Semakin besar jumlah produk dan pasar, semakin terdiversifikasi ekspor suatu negara. Selama 1 dekade
Indonesia
mengalami
peningkatan
moderat
dalam
jumlah
produknya. Vietnam terlihat berhasil secara signifikan meningkatkan variasi produknya. 2. Pangsa Ekspor Pangsa 3 atau 5 barang/tujuan ekspor tertinggi terhadap total ekspor dihitung dari HS-4 digit level. Semakin kecil persentase semakin kecil market concentration,dan semakin terdiversifikasi ekspor. 3. Orientasi Pertumbuhan (Produk dan Pasar) Terdapat dua indikator growth orientation (GO) yaitu GO product dan GO market yaitu sbb. a. GO
product
mengevaluasi
potensi
pertumbuhan
ekspor
dengan
membandingkan CAGR dari produk ekspor utama suatu negara terhadap pertumbuhan perdagangan dunia untuk produk tersebut. Negara dengan pertumbuhan ekspor lebih tinggi daripada pertumbuhan
101
dunia berarti negara tersebut mengalami peningkatan pangsa di pasar dunia. Negara yang ekspor utamanya adalah sektor yang memiliki pertumbuhan tinggi memiliki posisi yang baik untuk pertumbuhan ke depan. Pertumbuhan di bawah pertumbuhan dunia mengindikasikan adanya barrier yang menghambat pertumbuhan. 𝐶𝐴𝐺𝑅!"# = 100 ∗
𝑥!"#!!
! !! !!!
𝑥!"#!!
−1
Keterangan: 𝑥𝑖𝑗𝑘 merupakan nilai eksport produk k dari negara 𝑗 ke negara 𝑖 b. GO market mengevaluasi potensi pertumbuhan pasar ekspor suatu negara dengan membandingkan CAGR dari ekspor ke suatu pasar relatif terhadap pertumbuhan impor pasar tersebut dari ROW. 4. Nilai Ekspor (Value of Reach Export) Pertumbuhan ekonomi umumnya disertai dengan adanya produk baru. Kemampuan negara untuk memelihara hubungan dagang umumnya merupakan tanda kematangan ekonomi. Indikator itu menginformasikan kelahiran, survival, dan kematian produk serta nilai dan jumlah pasarnya. Tingkat kematian yang tinggi dalam beragam sektor mengindikasikan volatilitas ekonomi; sementara jika terkonsentrasi di beberapa industri, diindikasikan terjadi evolusi produksi domestik. 5. Hummels Klenov Product dan Market Indikator ini mengukur margin intensif dan ekstensif untuk produk dan pasar. Konsep ini menangkap diversifikasi (seberapa jauh suatu negara menambah produk dan pasar dalam portofolionya) dan survival (memilah pertumbuhan ekspor dalam pertumbuhan produk lama di pasar lama versus lainnya). Dengan menghitung IM dan EM dimungkinkan untuk disimpulkan hal-hal berikut, yaitu (1) apakah suatu negara big player pada produk yang diekspornya (IM) dan (2) seberapa penting barang yang diekspornya ke dunia (EM). 𝐼𝑀! =
!!
!!,!
𝐸𝑀! =
! !! !,!
Keterangan: 𝐾 !
merupakan
set
produk
!!
!!,!
!! !!,!
yang
diekspor
negara
i ;
𝑋! ! merupakan nilai ekspor negara i untuk produk k ke rest of the world; 𝑋! ! merupakan nilai ekspor dunia untuk produk k; 𝐼𝑀! menghitung pangsa
102
negara dalam ekspor produknya; dan 𝐸𝑀! menghitung cakupan ekspornya terhadap ekspor dunia. 3.
Quality Margin 1. Muatan teknologi Indikator ini mengukur muatan teknologi pada ekspor suatu negara melalui jenis produk ekspornya. Klasifikasi teknologi menggunakan SITC 3 digit berdasarkan Hatzichronoglou (1997) dan Lall (2000). Produk dibagi menurut lima klasifikasi, yaitu primary, resource-based, low techonology, medium technology, serta high technology. Sumber data diperoleh dari World Bank. 2. Kualitas Kualitas produk didekati dengan unit values dari tiap-tiap produk ekspor. Hal itu didasari atas asumsi bahwa saat suplai kompetitif, harga yang tinggi umumnya terkait dengan kualitas yang diferensiasi produk yang
lebih
tinggi. Perbandingan
unit
value
antarnegara
dilakukan
berdasarkan SITC 5 digit atau HS 6 digitdengan perhitungan relative quality sebagai berikut. 𝑅 !"# =
𝑢𝑣 !"# 𝑢𝑣!" !"
Keterangan: 𝑢𝑣 !"# adalah unit value komoditi i di waktu t pada negara c, dan 𝑢𝑣!" !" adalah
percentile
90
unit value
komoditi i di waktu
t
dibandingkan peers. 3. Kecanggihan (Sophistication) Kecanggihan
ekspor
suatu
negara
diukur
dengan
EXPY
yang
diperoleh dari tingkat kecanggihan tiap-tiap produk (PRODY). Perhitungan EXPY menggunakan formula sebagai berikut. 𝐸𝑋𝑃𝑌 ! = !
𝑥!" 𝑃𝑅𝑂𝐷𝑌 ! 𝑋!
PRODY diukur dengan asumsi bahwa suatu produk yang umumnya diproduksi negara dengan pendapatan per kapita yang tinggi akan mempunyai tingkat kecanggihan yang lebih tinggi.
103
𝑃𝑅𝑂𝐷𝑌 ! = !
𝑥!" 𝑋! 𝑥!" 𝑌! ! 𝑋 !
𝑌! merupakan income per capita negara j, 𝑥!" merupakan
Keterangan:
ekspor komoditi k negara j, dan 𝑋! merupakan total ekspor negara j. 4. Revealed factor intensity Revealed factor intensity mengukur tingkat intensitas penggunaan capital (RPCI) serta intensitas penggunaan human capital (RHCI). !!"
𝑅𝑃𝐶𝐼 ! = Keterangan:
!
!! !!
!! !!" !! !
!!"
!! !!
𝑅𝐻𝐶𝐼! =
!
!! !!" !! !
𝐻!
merupakan per capita capital stock, 𝐻! merupakan average
years of schooling, 𝑥!" merupakan ekspor komoditi k negara j, dan 𝑋! merupakan total ekspor negara j. 5. Product space Konsep product space mengacu pada Hidalgo et. al. (2007). Product space menjelaskan posisi keunggulan komparatif suatu negara, keterkaitan antar produk, dan mengindikasikan apakah keunggulan existing dapat menopang pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Pemetaan dilakukan menggunakan data kategori produk pada SITC 4 digit.
Gambar 49. Product Space per Jenis Produk
104
Jika product space menunjukkan adanya keunggulan komparatif pada denser forest, hal tersebut mengindikasikan kesempatan untuk diversifikasi dan peningkatan teknologi. Oleh karena itu, negara yang beralih ke denser forest akan mempunyai pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi.
4.
Sustainability Margin a. Export Duration Indikator ini menunjukkan jumlah hubungan antara produk barupartner dagang dengan nilai perdagangan setidaknya USD 10.000 pada tahun awal dan jumlah serta prosentase hubungan tersebut yang bertahan sampai dengan tahun akhir yang ditentukan. Indikator durasi ekspor dihitung berdasarkan grup standar produk pada HS kode 2002. 𝒔𝒉𝒂𝒓𝒆𝒊𝒕 =
𝒏𝒊𝒋𝒕 𝒏𝒊𝒋𝒕𝒔𝒕𝒂𝒓𝒕
*100
Keterangan: n merupakan jumlah produk yang diekspor dari negara i ke partner dagang j pada tahun t; tstart
merupakan tahun awal yang
ditentukan b. Decomposition of Export Growth Along Trade Margins Pertumbuhan
ekspor
dapat
dibagi
menjadi
perluasan
arus
perdagangan saat ini (intensive margin) dan penambahan produk baru dan pasar (extensive margin). Indikator tersebut mengelompokkan semua pertumbuhan dan kontraksi dari suatu produk ke salah satu dari tujuh kategori intensive dan extensive margin. Perincian kategorikal tersebut digambarkan dengan menggunakan diagram batang vertikal. Tiap kategori dicantumkan pada axis horisontal, sedangkan porsi kategori tersebut pada total pertumbuhan ekspor dicantumkan pada axis vertikal. Nilai porsi tersebut bisa positif atau negatif tergantung pada apakah produk yang diekspor di grup tersebut tumbuh atau kontraksi. Indikator ini dihitung berdasarkan grup standar produk pada HS kode 2002. 𝒙𝒊𝒋𝒌𝒕 𝒔𝒉𝒂𝒓𝒆𝒃𝒊𝒏 = 𝟏𝟎𝟎 ∗ ∀ 𝒃𝒊𝒏 𝝐 {𝟏 … 𝟕} 𝑿𝒊𝒋𝒕 𝒌𝝐𝜴𝒃𝒊𝒏
X merupakan total nilai dari seluruh ekspor dari pelapor i ke partner j, dan x merupakan nilai ekspor produk k pada tahun t. Tahun awal dan
105
akhir dinyatakan sbg 𝑡! dan 𝑡! . 𝜴𝒃𝒊𝒏 mewakili group produk dengan keseluruhan produk dibagi menjadi 7 kelompok pada intensive dan extensive margin. Produk dikelompokkan berdasarkan karakteristik sebagai berikut. 𝑩𝒊𝒏 𝟏 𝒙𝒊𝒋𝒌𝒕 > 0 𝑢𝑛𝑡𝑢𝑘 𝑡 = 𝒕𝟏 , 𝒕𝟐 𝒅𝒂𝒏 𝒙𝒊𝒋𝒌𝒕𝟐 − 𝒙𝒊𝒋𝒌𝒕𝟏 > 0 𝑩𝒊𝒏 𝟐 𝒙𝒊𝒋𝒌𝒕 > 0 𝑢𝑛𝑡𝑢𝑘 𝑡 = 𝒕𝟏 , 𝒕𝟐 𝒅𝒂𝒏 𝒙𝒊𝒋𝒌𝒕𝟐 − 𝒙𝒊𝒋𝒌𝒕𝟏 < 0 𝑩𝒊𝒏 𝟑 𝒙𝒊𝒋𝒌𝒕𝟏 > 0 dan 𝒙𝒊𝒋𝒌𝒕𝟐 = 𝟎 𝑩𝒊𝒏 𝟒 𝑩𝒊𝒏 𝟓 𝑩𝒊𝒏 𝟔 𝑩𝒊𝒏 𝟕
𝒋
𝒋
𝒋
𝒋
𝒙𝒊𝒋𝒌𝒕𝟏 = 𝟎, 𝑿𝒊𝒋𝒕𝟏 = 𝟎, 𝒅𝒂𝒏 𝒙𝒊𝒋𝒌𝒕𝟐 > 0 𝒙𝒊𝒋𝒌𝒕𝟏 = 𝟎, 𝑿𝒊𝒋𝒕𝟏 > 0, 𝑑𝑎𝑛 𝒙𝒊𝒋𝒌𝒕𝟐 > 0 𝒙𝒊𝒋𝒌𝒕𝟏 > 0, 𝑿𝒊𝒋𝒕𝟏 = 𝟎, 𝒅𝒂𝒏 𝒙𝒊𝒋𝒌𝒕𝟐 > 0 𝒙𝒊𝒋𝒌𝒕𝟏 > 0, 𝑿𝒊𝒋𝒕𝟏 > 0, 𝒙𝒊𝒋𝒌𝒕𝟏 = 𝟎, 𝒅𝒂𝒏 𝒙𝒊𝒋𝒌𝒕𝟐 > 0
Intensive Margin (1) Increase of existing products in established markets, (2) Decrease of existing products in established markets, (3) Extinction of exports of products in established markets, Extensive Margin (4) Introduction of new products in new markets, (5) Introduction of new products in established markets, (6) Introduction of existing products in new markets, (7) Product diversification in established markets. c. Export Suspension and Factor Endowments Indikator ini mengindentifikasi arus perdagangan yang bernilai minimal USD 10.000 yang menghilang sejak tahun awal terpilih dan membandingkan
faktor
intensitas
produk
tersebut
dengan
faktor
pendukung (endowments) negara terpilih. Faktor intensitas diukur sebagai rata–rata tertimbang dari faktor pendukung (endowments) seluruh negara pengekspor suatu produk. Dengan demikian, invers dari euclidean distance antara faktor pendukung dan faktor intensitas suatu produk dijadikan suatu ukuran keunggulan komparatif. Indikator ini digunakan untuk menjelaskan mengapa ekspor suatu negara tidak dapat dipertahankan. Salah satu area yang dapat diinvestigasi
106
adalah apakah ekspor yang mati mewakili usaha untuk memproduksi barang yang memerlukan berbagai variasi faktor pendukung dari yang didukung oleh ekonomi. 𝒔𝒉𝒂𝒓𝒆𝒊 =
𝒙𝒊𝒋𝒌 𝑿𝒊𝒋
∗ 𝟏𝟎𝟎
Keterangan: X merupakan total nilai seluruh ekspor dari pelapor ekspor i ke mitra dagang j dan x merupakan nilai ekspor dari produk k
Tabel 12. Target Grup FGD Target Grup Pelaku usaha
Pemerintah
No.
Rincian
1
APINDO
2
HIPMI Jaya
3
Asosiasi Pertekstilan Indonesia
4
Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia
5
Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman
6
American Chamber
7
Adis Dimension Footwear (Sepatu)
8
Pan Brothers (Garment)
9
Anabatic (IT)
10
Matari Advertising
11
Baba Rafi (UMKM Makanan)
12
Perbankan (Mandiri, OCBC NISP, DBS)
13
PT. Berlian Laju Tanker
14
Bank Ekspor Impor Indonesia
15
PT. Bukit Muria Jaya
16
WIKA (liaison)
1
Kementerian Perdagangan
2
Kementerian Perekonomian
3
Kementerian Perindustrian
4
BKPM
5
Bappenas
Lembaga Peneliti
1
CSIS
Lembaga Internasional
1
IMF
2
AIPEG
107
Sumber: WITS World Bank, diolah
Gambar 50. Jumlah Produk dan Pasar
Sumber: WITS World Bank, diolah
Gambar 51. Pangsa Ekspor ke Negara Maju (2013)
Sumber: WITS World Bank, diolah
Gambar 52. Jangkauan Ekspor Tiongkok 2010–2013
108
10
10
-10
-10
Extensive Margin Intensive Margin
0 -12.87
Indonesia
90
70
-9.48
176.67
80 94.76 80
-69.04
30
5.23
-70
90
70
180
110
130
90
-20
10
-70
-10
0
0
0
Thailand
0
0.01
Filipina Extensive Margin
2.73
0.01
0
0
-0.09
Extensive Margin
70
-0.08
Increase of new products in new markets
Extinction of exports of old products in old markets
Increase of old products in old markets
Malaysia
Fall of old products in old markets
-0.3
Increase of new products in old markets
Introduction of old products in new markets
Creation of old products in old markets
0
Vietnam
Increase of old products in old markets
Intensive Margin 110
0.17 0.17
Fall of old products in old markets
109.1
0
Extinction of exports of old products in old markets
Increase of old products in old markets
-10
0
Increase of new products in new markets
-0.64
10
Increase of new products in old markets
0
Fall of old products in old markets
30
Introduction of old products in new markets
70 -9.15
Creation of old products in old markets
98.98
Increase of old products in old markets
Extensive Margin
Fall of old products in old markets
50
Increase of old products in old markets
-20 5.21
Extinction of exports of old products in old markets
70
50
Fall of old products in old markets
0 Extinction of exports of old products in old markets
70
130 110 90 70 50 30 10 -10 -30
Extinction of exports of old products in old markets
0.02 Increase of new products in new markets
90
Increase of new products in new markets
30 Increase of new products in new markets
30
110
Increase of new products in old markets
30
1.01
-0.53 108.73
Introduction of old products in new markets
30
1.02 Increase of new products in old markets
90
Creation of old products in old markets
130
99.05
Increase of old products in old markets
50
30
0
0
Fall of old products in old markets
180
0.96
Extinction of exports of old products in old markets
-10 50
50
0.01
0.96
Increase of new products in new markets
10 Introduction of old products in new markets
Creation of old products in old markets
-10
Increase of new products in old markets
90
0
Increase of new products in old markets
110
0
Introduction of old products in new markets
Creation of old products in old markets
10
Introduction of old products in new markets
Creation of old products in old markets
110
99.83 120.14
Intensive Margin -20.01
Intensive Margin 97.27 97.83
-0.47
2.73
Intensive Margin 99.99 105.04
50
30
-4.97
130 110 90 70 50 30 10 -10 -30
90
70
50
30
10
-10
110
90
70
50
30
10
-10
Tiongkok
Sumber: WITS World Bank, diolah
Gambar 53. Dekomposisi Pertumbuhan Ekspor tahun 2003–2013
109
Sumber: WITS World Bank, diolah
Gambar 54. Export Relative to Endowment – Malaysia 2013
Sumber: WITS World Bank, diolah
Gambar 55. Export Relative to Endowment – Philippines 2013
Sumber: WITS World Bank, diolah
Gambar 56. Export Relative to Endowment – Vietnam 2013
110
Sumber: WITS World Bank, diolah
Gambar 57. Export Relative to Endowment – Tiongkok 2013
111