1
PEMBAGIAN PERTANGGUNGAN DALAM TERJADINYA HOSPITAL BENEFIT ANTARA ASURANSI KESEHATAN KOMERSIAL DAN BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL (BPJS) KESEHATAN
Irene Nindia Laksmi, Myra Rosana B. Setiawan
Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Kampus UI Depok 16424
[email protected]
Abstrak
Skripsi ini membahas mengenai asuransi kesehatan di Indonesia di mana terdapat asuransi kesehatan sosial yang diselenggarakan oleh negara melalui badan hukum sosial dan asuransi kesehatan komersial yang diselenggarakan oleh badan hukum komersial milik pihak swasta. Asuransi sosial kepesertaannya bersifat wajib sedangkan asuransi komersial bersifat sukarela. Sejak tahun 2014, asuransi kesehatan sosial di Indonesia diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Bagi penduduk Indonesia yang kemampuan ekonominya di atas rata-rata masyarakat Indonesia umumnya memiliki dua jenis asuransi tersebut. Dalam hal ini penulis membahas bagaimana pembagian pertanggungan di antara kedua jenis asuransi dalam hal terjadinya pengobatan di rumah sakit. Hasil penelitian menyatakan bahwa di beberapa bulan akhir tahun 2014 ini, BPJS Kesehatan telah membuat perjanjian kerjasama dalam bentuk Koordinasi Manfaat dengan puluhan perusahaan asuransi komersial.
Kata kunci
: pembagian pertanggungan; BPJS Kesehatan; hukum asuransi
THE APPORTIONMENT OF INSURANCE COVERAGE IN HOSPITAL BENEFIT BETWEEN COMMERCIAL HEALTH INSURANCE AND ORGANIZER OF SOCIAL SECURITY FOR HEALTH
Abstract
The focus of this study is health insurance in Indonesia, that consist of social health insurance held by government of the country through social legal entity and commercial health insurance held by private party through commercial legal entity. Social insurance is obliged for everyone in the country while commercial insurance is voluntary. Since 2014, social health insurance in Indonesia held by legal entity named BPJS Kesehatan. Usually for the citizen who have economic power above the average of Indonesia citizen, they have
Pembagian pertanggungan dalam..., Irene Nindialaksmi, FH UI, 2015
2 both insurance. In this case researcher examines how the apportionment of coverage between both insurance in hospital benefit. The result of this research state that since the last few months in 2014, BPJS Kesehatan has made cooperation agreement in Coordination of Benefit with tens of commercial insurance corporation.
Key words: the apportionment of coverage, BPJS Kesehatan, insurance law
Pendahuluan
Usaha Perasuransian saat ini telah menjadi suatu kebutuhan utama bagi masyarakat dunia termasuk masyarakat Indonesia karena dengan mendaftarkan diri pada suatu asuransi berarti pendaftar asuransi (yang kemudian disebut sebagai Tertanggung) akan membayar iuran wajib per bulan yang dinamakan premi kepada suatu perusahaan asuransi (yang kemudian disebut Penanggung) dan Penanggung akan membayar uang ganti rugi kepada tertanggung saat diri Tertanggung mendapatkan kerugian yang tentunya tidak dapat diprediksi waktu terjadinya. Pilihan untuk mendaftarkan diri pada suatu usaha perasurasian menjadi semakin digemari karena ganti rugi yang didapat oleh pendaftar asuransi nilainya jauh lebih besar jika dibandingkan dengan premi yang dibayarkan oleh pendaftar, dengan demikian Tertanggung mendapatkan keuntungan dengan mendaftarkan diri pada usaha asuransi. Awal mula adanya usaha asuransi ini berasal dari Negara Inggris, di mana pada saat itu pertama kali digunakan untuk melindungi kapal laut dari berbagai kecelakaan dan kerusakan karena Inggris merupakan negara maritim yang kuat. Kemudian usaha asuransi menyebar dan diikuti oleh negara-negara Eropa lainnya dan pada akhirnya juga oleh Negara Indonesia. Pengaruh dari Inggris sebagai negara pencetus usaha asuransi adalah dalam bentuk peraturan hukum asuransi yang dicetuskan oleh hakim-hakim di Inggris dan kemudian diadopsi oleh negara-negara di seluruh dunia. UU Perasuransian No. 40 Tahun 2014 Pasal 1 angka (1) memberikan definisi asuransi adalah “perjanjian antara dua pihak, yaitu perusahaan asuransi dan pemegang polis, yang menjadi dasar bagi penerimaan premi oleh perusahaan asuransi sebagai imbalan untuk: (a). Memberikan penggantian kepada tertanggung atau pemegang polis karena kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan keuntungan, atau tanggung jawab hukum kepada
Pembagian pertanggungan dalam..., Irene Nindialaksmi, FH UI, 2015
3
pihak ketiga yang mungkin diderita tertanggung atau pemegang polis karena terjadinya suatu peristiwa yang tidak pasti; atau (b). Memberikan pembayaran yang didasarkan pada meninggalnya tertanggung atau pembayaran yang didasarkan pada hidupnya tertanggung dengan manfaat yang besarnya telah ditetapkan dan/atau didasarkan pada hasil pengelolaan dana.” Asuransi itu sendiri jika ditinjau dari jenisnya bergerak di berbagai macam bidang, namun secara garis besar dapat dibedakan menjadi: 1. Asuransi Jiwa (asuransi jiwa, asuransi kesehatan, asuransi kecacatan, asuransi pendidikan) dan 2. Asuransi Non-Jiwa/Asuransi Kerugian (asuransi kebakaran, asuransi pengangkutan). Sedangkan jika ditinjau dari sifatnya, asuransi yang ada adalah 1. Asuransi Komersial/sukarela dan 2. Asuransi sosial/wajib. Dalam skripsi ini akan dibahas mengenai asuransi
dengan
jenis
Asuransi
Kesehatan
baik
yang
diselenggarakan
secara
komersial/sukarela (oleh perusahaan swasta di mana tidak semua penduduk Indonesia terdaftar sebagai anggotanya) maupun asuransi sosial/wajib yang saat ini di Indonesia dikenal sebagai BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) Kesehatan. Di atas tadi telah dibahas pengertian dan dasar hukum asuransi yang merujuk pada asuransi komersial/sukarela, sedangkan untuk asuransi sosial yang sifatnya wajib, lahirnya dilatarbelakangi oleh Undang-Undang Dasar 1945 hasil amandemen terakhir yakni amandemen keempat di tahun 2002 Pasal 28 H ayat (3) yang menyatakan: “Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat”, Pasal 34 ayat (2) yang menyatakan: “Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan, dan Pasal 34 ayat (3) yang menyatakan: “Negara bertanggungjawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak”, dan atas amanat Pasal-Pasal tersebut dibentuklah UndangUndang mengenai Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN) dalam UU No. 40 Tahun 2004. Kemudian tujuh tahun setelahnya didirikan pula BPJS menurut UU No. 24 Tahun 2011 sebagai implementasi dari amanat Undang-Undang Dasar 1945 mengenai jaminan sosial dan berdasar hukum pada UU SJSN Pasal 5 ayat (1) yang menyatakan: “Badan Penyelenggara Jaminan Sosial harus dibentuk dengan Undang-Undang” dan Pasal 52 ayat (2) yang menyatakan bahwa semua ketentuan yang mengatur mengenai Badan Penyelenggara Jaminan Sosial disesuaikan dengan Undang-Undang SJSN tersebut.
Pembagian pertanggungan dalam..., Irene Nindialaksmi, FH UI, 2015
4
Asuransi Kesehatan adalah suatu sistem pembiayaan kesehatan yang berjalan berdasarkan konsep risiko dan merupakan bagian dari asuransi jiwa. Masyarakat bersamasama menjadi anggota asuransi kesehatan dengan dasar bahwa keadaan sakit merupakan suatu kondisi yang mungkin terjadi di masa mendatang sebagai suatu risiko kehidupan. Asuransi Kesehatan lahir dengan tujuan memberikan penggantian biaya perawatan dalam rangka pemulihan atau penyembuhan bagi pesertanya atau tertanggungnya yang menderita suatu penyakit. Asuransi Kesehatan komersial/sukarela diselenggarakan oleh pihak swasta dalam rangka mencari keuntungan. Contoh asuransi kesehatan komersial/sukarela yang ada di Indonesia antara lain asuransi PT Prudential, asuransi PT Manulife, asuransi PT Allianz, asuransi PT Sinarmas, asuransi PT Jiwasraya, dan masih banyak yang diselenggarakan oleh perusahaan swasta lainnya. Sedangkan Asuransi Kesehatan sosial/wajib diselenggarakan oleh negara atau pemerintah melalui suatu badan hukum publik yang tidak mencari keuntungan. Asuransi Kesehatan sosial/wajib yang dikenal di Indonesia saat ini adalah BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) Kesehatan. BPJS Kesehatan merupakan bagian dari BPJS. BPJS merupakan lembaga nirlaba atau lembaga yang tidak mencari keuntungan dalam tugasnya sebagai penyelenggara program jaminan sosial di Indonesia. BPJS ini merupakan badan hukum publik dan didirikan atas dasar UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan UU No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. BPJS memiliki tujuan untuk mewujudkan terselenggaranya pemberian jaminan terpenuhinya kebutuhan dasar hidup yang layak bagi setiap Peserta dan/atau anggota keluarganya. BPJS ini menggantikan lembaga-lembaga jaminan sosial di Indonesia, antara lain lembaga asuransi jaminan kesehatan yakni PT Askes Indonesia menjadi BPJS Kesehatan, lembaga jaminan sosial ketenagakerjaan PT Jamsostek menjadi BPJS Ketenagakerjaan, lembaga jaminan sosial PT Asabri dan PT Taspen lebur ke dalam BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Walaupun UU mengenai BPJS ini sudah disahkan pada tahun 2011, namun proses lembaga tersebut menjadi BPJS membutuhkan waktu yang tidak sebentar. BPJS Kesehatan yang menggantikan PT Askes lahir tahun 2014, dan BPJS Ketenagakerjaan yang menggantikan PT Jamsostek akan lahir tahun 2015. Menurut UU No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Pasal 5 ayat (2), BPJS yang ada di Indonesia terdiri dari: (1) BPJS Kesehatan, dan (2) BPJS
Pembagian pertanggungan dalam..., Irene Nindialaksmi, FH UI, 2015
5
Ketenagakerjaan. Sebagaimana disebutkan di atas bahwa penulis dalam skripsi ini akan membahas mengenai asuransi kesehatan, maka penulis dalam hal BPJS juga akan membahas mengenai BPJS Kesehatan. BPJS Kesehatan tersebut menyelenggarakan program jaminan kesehatan. Setiap WNI atau WNA yang sudah bekerja minimal 6 (enam) bulan di Indonesia wajib menjadi Peserta program Jaminan Sosial. BPJS Kesehatan meng-cover beberapa risiko, salah satunya risiko jika peserta atau tertanggung sakit dan harus dirawat di rumah sakit. Dalam hal ini, perlindungan dari risiko tersebut dinamakan Hospital Benefit. Di sisi lain, asuransi kesehatan yang merupakan bagian dari asuransi jiwa yang sukarela dari perusahaan asuransi komersial, juga mempunyai produk asuransi kesehatan yang salah satu rider (pertambahan manfaat pertanggungan)-nya adalah Hospital Benefit. Dari hal tersebut, masyarakat Indonesia yang memiliki asuransi kesehatan komersial mengalami kebingungan karena di satu sisi ia memiliki asuransi kesehatan komersial dan di satu sisi ia juga sebagai peserta wajib dari BPJS Kesehatan yang merupakan asuransi sosial wajib. Tentu kita berpikir bahwa ada tumpang tindih hal yang di-cover oleh Asuransi Kesehatan dari perusahaan asuransi komersial dan BPJS Kesehatan dan tentunya akan timbul pertanyaan bilamana terjadi peserta atau tertanggung harus dirawat di rumah sakit, siapakah yang akan membiayai kerugian tersebut? Apakah BPJS Kesehatan saja atau Asuransi Kesehatan dari perusahaan asuransi komersial saja ataukah keduanya dengan pembagian tertentu? Dengan adanya pertanyaan tersebut, mendorong penulis untuk membahas hal tersebut dalam skripsi ini.
Rumusan Masalah Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan di atas, untuk membatasinya perlu dirumuskan permasalahan yang hendak diteliti, antara lain: 1. Hal-hal apa sajakah yang dapat dan tidak dapat di-cover oleh BPJS Kesehatan? 2. Bagaimana pengaturan mengenai pembagian pertanggungan dalam terjadinya Hospital Benefit antara BPJS Kesehatan dengan Asuransi Kesehatan Komersial? 3. Bagaimana pembagian pertanggungan dalam terjadinya Hospital Benefit antara BPJS Kesehatan dengan Asuransi Kesehatan Komersial baik di Fasilitas Kesehatan yang sudah bekerjasama dengan BPJS Kesehatan maupun di Fasilitas Kesehatan yang belum bekerjasama dengan BPJS Kesehatan?
Pembagian pertanggungan dalam..., Irene Nindialaksmi, FH UI, 2015
6
Metode Penelitian Jenis penelitian yang dipilih dalam penelitian ini adalah normatif (yuridis normatif). Tipe dari penelitian ini yaitu termasuk dalam penelitian deskriptif yang bertujuan menggambarkan secara jelas pembagian pertanggungan antara BPJS Kesehatan dan asuransi kesehatan komersial. Metode pengumpulan data penelitian ini dengan cara melakukan studi kepustakaan yaitu dengan menggunakan data sekunder. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari kepustakaan.1 Data sekunder dilihat dari kekuatan mengikatnya terdiri atas bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier, yang dapat dijelaskan sebagai berikut:2 1. Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang isinya mempunyai kekuatan mengikat pada masyarakat. Bahan hukum primer pada penelitian ini yaitu Undang-Undang No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, Undang-Undang No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, Undang-Undang No. 40 Tahun 2014 tentang Usaha Perasuransian, Peraturan Presiden No. 111 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan, dan Peraturan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial No. 1 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan. 2. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan informasi yang berkaitan dengan isi sumber primer serta implementasinya. Bahan hukum sekunder pada penelitian ini yaitu buku mengenai hukum asuransi dan buku mengenai BPJS Kesehatan. 3. Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap sumber primer atau sumber sekunder. Bahan hukum tersier pada penelitian ini yaitu buku petunjuk penulisan skripsi, kamus, dan website BPJS Kesehatan. Data-data sekunder yang telah diperoleh akan dianalisis dan dipresentasikan secara kualitatif. Pendekatan kualitatif merupakan tata cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif analitis, yaitu apa yang dinyatakan oleh sasaran penelitian yang bersangkutan secara tertulis 1
Sri Mamudji, et al. Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hlm. 6. 2
Ibid., hlm. 30-31.
Pembagian pertanggungan dalam..., Irene Nindialaksmi, FH UI, 2015
7
atau lisan, dan perilaku nyata.3 Guna memperoleh data yang lebih lengkap, penulis melakukan wawancara dengan narasumber yang berhubungan yakni dengan Ibu Eka selaku bagian pemasaran di Rumah Sakit Tugu Ibu, Depok. Penulis juga mengikuti Seminar Sosialisasi Coordination of Benefit yang diadakan oleh Kantor Pusat BPJS di Cempaka Putih, Jakarta Pusat.
Hasil Penelitian Bagaimana jika seseorang mempunyai 2 (dua) buah asuransi yakni asuransi komersial yang secara sukarela ia miliki karena kemampuan finansialnya dan asuransi sosial yang wajib dimiliki sebagai Warga Negara Indonesia? Banyak orang yang mengira bahwa ia dapat mencari
untung
dari
klaim
asuransi.
Pada
asuransi
kesehatan
misalnya
ia
mempertanggungkan kesehatannya pada beberapa perusahaan asuransi atau penanggung, dalam hal ini berarti seseorang sebagai peserta BPJS Kesehatan sekaligus mempunyai asuransi kesehatan komersial dari perusahaan asuransi swasta. Tidak ada peraturan yang melarang seseorang untuk mempertanggungkan sebuah objek asuransi pada lebih dari satu Penanggung dan seseorang juga diperbolehkan mempertanggungkan sebuah objek asuransi pada lebih dari satu Penanggung untuk risiko yang sama. Dalam hal demikian, jika terjadi risiko, maka Tertanggung bebas dan boleh untuk mengajukan klaim kepada Penanggung yang manapun. Misalnya diperbolehkan mengajukan klaim kepada BPJS Kesehatan atau boleh juga mengajukan klaim kepada Perusahaan Asuransi Komersialnya. Tetapi aturannya adalah jika Tertanggung telah mengajukan klaim untuk seluruh nilai kerugian (claim for the full loss) kepada satu Penanggung, maka Tertanggung tidak boleh mengajukan klaim lagi ke Penanggung yang lainnya. Hal ini dilakukan untuk mencegah Tertanggung memperoleh keuntungan dari pembayaran klaim asuransinya. Diperbolehkan pula melakukan klaim kepada lebih dari satu Penanggung dengan syarat total nilai klaim yang didapat tidak melebihi total nilai kerugian. Hal ini dapat dijelaskan dalam hukum asuransi melalui perjanjian pertanggungan berdasarkan prinsip indemnitas yang intinya adalah bahwa Tertanggung mendapat penggantian biaya pemulihan (secara finansial) setelah mengalami kerugian namun hanya
3
Ibid., hlm. 67.
Pembagian pertanggungan dalam..., Irene Nindialaksmi, FH UI, 2015
8
mengembalikan sampai saat sebelum terjadi kerugian tersebut, tidak sampai Tertanggung mendapat keuntungan tambahan dengan melakukan klaim. Perjanjian indemnitas mengandung arti bahwa penanggung memiliki kewajiban untuk memulihkan kerugian yang dialami tertanggung. Sehubungan dengan itu, agar perjanjian asuransi tidak disalahgunakan menjadi perjanjian perjudian, tidak mendorong moral hazard, atau tidak merugikan tertanggung, maka penggantian kerugian yang dilakukan oleh penanggung hanya untuk mengembalikan posisi finansial Tertanggung pada posisi sesaat sebelum terjadi kerugian, tidak boleh mengakibatkan Tertanggung mendapat keuntungan dari kerusakan atau kehilangan asetnya, dan tidak boleh membuat Tertanggung berada pada posisi finansial yang lebih baik setelah terjadinya kerugian. Dengan demikian, berapa jumlah yang menjadi kewajiban penanggung hanya bisa diketahui setelah kerugian benar-benar terjadi. Nilai pertanggungan yang ada pada polis hanya menunjukkan bahwa itu adalah nilai maksimal yang akan dibayar oleh penanggung jika terjadi risiko.4 Setelah mengetahui mengenai Perjanjian Indemnitas dalam asuransi di atas menjadi jelaslah bagi kita mengenai sifat dari perjanjian asuransi yang selama ini sering disalahartikan oleh masyarakat sebagai kesempatan untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. BPJS Kesehatan memberikan penggantian biaya dalam hal:5 1.
Pelayanan kesehatan tingkat pertama, yaitu pelayanan kesehatan nonspesialistik mencakup: a. Administrasi pelayanan b. Pelayanan promotif dan preventif c. Pemeriksaan, pengobatan, dan konsultasi medis d. Tindakan medis nonspesialistik, baik operatif maupun non-operatif e. Pelayanan obat dan bahan medis habis pakai f. Transfusi darah sesuai kebutuhan medis g. Pemeriksaan penunjang diagnosis laboratorium tingkat pertama h. Rawat inap tingkat pertama sesuai indikasi
2.
Pelayanan kesehatan rujukan tingkat lanjutan, yaitu pelayanan kesehatan mencakup:
4
Kornelius Simanjuntak, Brian Amy Prastyo, dan Myra R.B. Setiawan, Hukum Asuransi, Cet. 1, (Depok: Djokosoetono Research Center, 2011), hlm. 49. 5
http://bpjs-kesehatan.go.id/index.php/pages/detail/2014/12 diakses pada 11 September 2014 pk 22.40
WIB
Pembagian pertanggungan dalam..., Irene Nindialaksmi, FH UI, 2015
9
a. Rawan jalan, meliputi: A1. Administrasi Pelayanan A2. Pemeriksaan, pengobatan, dan konsultasi spesialistik oleh dokter spesialis dan subspesialis A3. Tindakan medis spesialistik, baik bedah maupun nonbedah sesuai dengan indikasi medis A4. Pelayanan obat dan bahan medis habis pakai A5. Pelayanan penunjang diagnostik lanjutan sesuai dengan indikasi medis A6. Rehabilitasi medis A7. Pelayanan darah A8. Pelayanan kedokteran forensik A9. Pelayanan jenazah di fasilitas kesehatan b. Rawat inap, yang meliputi: B1. Perawatan inap nonintensif B2. Perawatan inap di ruang intensif B3. Pelayanan kesehatan lain yang ditetapkan oleh Menteri Hal-hal yang tidak di-cover oleh BPJS Kesehatan: Perpres No 111 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan Pasal 25 menyatakan Pelayanan Kesehatan yang tidak dijamin yaitu6: a. pelayanan kesehatan yang dilakukan tanpa melalui prosedur sebagaimana diatur dalam peraturan yang berlaku; b. pelayanan kesehatan yang dilakukan di Fasilitas Kesehatan yang tidak bekerjasama dengan BPJS Kesehatan, kecuali dalam keadaan darurat; c. pelayanan kesehatan yang telah dijamin oleh program jaminan kecelakaan kerja terhadap penyakit atau cedera akibat kecelakaan kerja atau hubungan kerja; d. Pelayanan Kesehatan yang dijamin oleh program kecelakaan lalu lintas yang besifat wajib sampai nilai yang ditanggung oleh program jaminan kecelakaan lalu lintas. e. pelayanan kesehatan yang dilakukan di luar negeri; f. pelayanan kesehatan untuk tujuan estetik; 6
Indonesia a, Peraturan Presiden tentang Jaminan Kesehatan, Perpres nomor 111 tahun 2013, LN Nomor 255 Tahun 2013, Pasal 25
Pembagian pertanggungan dalam..., Irene Nindialaksmi, FH UI, 2015
10
g. pelayanan untuk mengatasi infertilitas; h. Pelayanan meratakan gigi (ortodonsi); i. gangguan kesehatan/penyakit akibat ketergantungan obat dan/atau alkohol; j. gangguan kesehatan akibat sengaja menyakiti diri sendiri, atau akibat melakukan hobi yang membahayakan diri sendiri; k. pengobatan komplementer, alternatif dan tradisional, termasuk akupuntur, shin she, chiropractic, yang belum dinyatakan efektif berdasarkan penilaian teknologi kesehatan (health technology assessment); l. pengobatan dan tindakan medis yang dikategorikan sebagai percobaan (eksperimen); m. alat kontrasepsi, kosmetik, makanan bayi, dan susu; n. perbekalan kesehatan rumah tangga; o. pelayanan kesehatan akibat bencana pada masa tanggap darurat, kejadian luar biasa/wabah; p. biaya pelayanan kesehatan pada kejadian tak diharapkan yang dapat dicegah (preventable adverse events); dan q. biaya pelayanan lainnya yang tidak ada hubungan dengan Manfaat Jaminan Kesehatan yang diberikan. Coordination of Benefit (COB) atau Koordinasi Manfaat adalah suatu proses dimana dua atau lebih Penanggung (payer) yang menanggung orang yang sama untuk benefit asuransi kesehatan yang sama, membatasi total benefit dalam jumlah tertentu yang tidak melebihi jumlah pelayanan kesehatan yang dibiayakan.7 Pihak yang pertama kali membayar tagihan klaim disebut dengan Penjamin pertama (Primary Payer) sedangkan pihak yang membayar sisa dari tagihan klaim disebut dengan Penjamin Kedua (Secondary Payer). Sehubungan dengan peningkatan pelayanan kepada masyarakat, BPJS Kesehatan, dan beberapa penyelenggara program asuransi kesehatan tambahan (asuransi komersial) melakukan kerjasama dalam bentuk koordinasi manfaat atau Coordination of Benefit (CoB). CoB menanggung orang yang sama untuk benefit asuransi kesehatan yang sama, membatasi
7
Panitia Sosialisasi CoB, Modul Sosialisasi CoB, Kantor BPJS Pusat Cempaka Putih, Jakarta pada 3 Desember 2014
Pembagian pertanggungan dalam..., Irene Nindialaksmi, FH UI, 2015
11
total benefit dalam jumlah tertentu yang tidak melebihi jumlah pelayanan kesehatan yang dibiayakan.8 Teori mengenai Koordinasi Manfaat ini sebenarnya telah dikenal dalam asuransi kesehatan sejak lama namun Indonesia baru mengenalnya dan mengadakannya setelah tahun 2000. Peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang mengikuti asuransi kesehatan tambahan melalui perusahaan asuransi komersial yang sudah menjalin kerja sama dengan BPJS Kesehatan akan mendapat benefit lain yang tidak ditanggung BPJS Kesehatan, khususnya dalam pelayanan nonmedis seperti naik kelas perawatan mendapatkan perawatan lanjutan yang eksklusif, ataupun berobat di rumah sakit swasta yang belum bekerja sama dengan BPJS Kesehatan jika dalam keadaan gawat darurat. Pada skema CoB, BPJS Kesehatan akan menjamin pelayanan kesehatan sesuai tarif yang berlaku pada program JKN. Adapun selisih biaya akan menjadi tanggung jawab asuransi komersial selama sesuai dengan prosedur yang berlaku.Koordinasi manfaat antara BPJS Kesehatan dengan asuransi komersial dilakukan berdasarkan perjanjian kerja sama. Sampai akhir Juni 2014, sudah ada puluhan asuransi komersial yang melakukan penandatanganan kerja sama terkait pelaksanaan skema CoB dengan BPJS Kesehatan.9 Dalam hal pengajuan klaim, pada pelayanan kesehatan tingkat lanjutan yang diberikan oleh fasilitas kesehatan BPJS Kesehatan, maka BPJS Kesehatan bertindak sebagai pembayar pertama. Sementara itu, apabila pelayanan kesehatan diberikan di fasilitas yang tidak bekerja sama dengan BPJS Kesehatan, perusahaan asuransi swasta yang menjalin CoB dengan BPJS Kesehatan bisa mengajukan klaim kepada BPJS Kesehatan. Perusahaan asuransi swasta tersebut bisa mengajukan klaim secara kolektif setiap bulan paling lambat tanggal 10 per bulannya.10 Dasar hukum dilakukannya CoB atau koordinasi manfaat tersebut adalah: Perpres No 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan
Bab VI mengenai Koordinasi
Manfaat Pasal 27 menyatakan bahwa: 8
Tim Visi Yustisia, Panduan Resmi Memperoleh Jaminan Kesehatan dari BPJS, Semua Warga Negara Wajib Daftar, Cet. 1, (Jakarta: Visimedia, 2014), hlm. 24 9
Ibid.
10
Tim Visi Yustisia, Panduan Resmi Memperoleh Jaminan Kesehatan dari BPJS, Semua Warga Negara Wajib Daftar, Cet. 1, (Jakarta: Visimedia, 2014), hlm. 25 vide 12/Asuransi Swasta/Tambahan Siap Jalankan Mekanisme CoB dengan BPJS Kesehatan, www.bpjs-kesehatan.go.id, 31 Agustus 2014
Pembagian pertanggungan dalam..., Irene Nindialaksmi, FH UI, 2015
12
(1) Peserta Jaminan Kesehatan dapat mengikuti program asuransi kesehatan tambahan. (2) BPJS Kesehatan dan penyelenggara program asuransi kesehatan tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat melakukan koordinasi dalam memberikan Manfaat untuk Peserta Jaminan Kesehatan yang memiliki hak atas perlindungan program asuransi kesehatan tambahan. Kemudian Undang-Undang No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN) Pasal 23 ayat (4) menyatakan: “Dalam hal peserta membutuhkan rawat inap di rumah sakit, maka kelas pelayanan di rumah sakit diberikan berdasarkan kelas standar.” Penjelasan Pasal 23 ayat (4) menyatakan: “Peserta yang menginginkan kelas yang lebih tinggi dari pada haknya (kelas standar), dapat meningkatkan haknya dengan mengikuti asuransi kesehatan tambahan, atau membayar sendiri selisih antara biaya yang dijamin oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dengan biaya yang harus dibayar akibat peningkatan kelas perawatan.” Perpres No 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan Pasal 24 menyatakan: “Peserta yang menginginkan kelas perawatan yang lebih tinggi dari pada haknya, dapat meningkatkan haknya dengan mengikuti asuransi kesehatan tambahan, atau membayar sendiri selisih antara biaya yang dijamin oleh BPJS Kesehatan dengan biaya yang harus dibayar akibat peningkatan kelas perawatan.” Permenkes No 71 Tahun 2013 tentang Pelayanan Kesehatan pada Jaminan Kesehatan Nasional Pasal 1 menyatakan: “Peserta yang menginginkan kelas perawatan yang lebih tinggi dari pada haknya, dapat meningkatkan haknya dengan mengikuti asuransi kesehatan tambahan, atau membayar sendiri selisih antara biaya yang dijamin oleh BPJS Kesehatan dengan biaya yang harus dibayar akibat peningkatan kelas perawatan.” Dan Pasal 2 menyatakan: “Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), bagi peserta PBI Jaminan Kesehatan tidak diperkenankan memilih kelas yang lebih tinggi dari haknya.” Perpres No 111 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan Pasal 28 menyatakan: “Ketentuan mengenai tata cara koordinasi Manfaat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 dan Pasal 27A diatur dalam perjanjian kerjasama antara BPJS Kesehatan dengan penyelenggara program asuransi kesehatan tambahan atau badan penjamin lainnya.“
Pembagian pertanggungan dalam..., Irene Nindialaksmi, FH UI, 2015
13
Dari pasal-pasal di atas, dapat disimpulkan bahwa aturannya adalah BPJS memberi penggantian pembayaran dari kelas III sampai dengan kelas I, itu merupakan pelayanan kesehatan yang sudah cukup layak. Namun jika peserta atau pasien merasa itu belum cukup layak, bisa masuk ke kelas VIP dengan menambah biaya sendiri atau mendapat bayaran dari asuransi kesehatan komersial yang diikutinya secara sukarela. Perpres No 111 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan Pasal 39 menyatakan: (1). BPJS Kesehatan melakukan pembayaran kepada Fasilitas Kesehatan tingkat pertama secara praupaya berdasarkan kapitasi atas jumlah Peserta yang terdaftar di Fasilitas Kesehatan tingkat pertama. (2). Dalam hal Fasilitas Kesehatan tingkat pertama di suatu daerah tidak memungkinkan pembayaran berdasarkan kapitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), BPJS Kesehatan diberikan kewenangan untuk melakukan pembayaran dengan mekanisme lain yang lebih berhasil guna. (3). BPJS Kesehatan melakukan pembayaran kepada Fasilitas Kesehatan rujukan tingkat lanjutan berdasarkan cara Indonesian Case Based Groups (INACBG’s). Prinsip Koordinasi Manfaat11 (1) Koordinasi manfaat diberlakukan apabila Peserta BPJS Kesehatan membeli asuransi kesehatan tambahan dari Penyelenggara Pogram Asuransi Kesehatan Tambahan atau Badan Penjamin lainnya yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan. (2) BPJS Kesehatan merupakan penjamin utama atas program jaminan kesehatan. (3) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), BPJS Kesehatan bukan merupakan penjamin utama program jaminan kesehatan untuk koordinasi manfaat program jaminan sosial di bidang kecelakaan lalu lintas. (4) Koordinasi Manfaat yang diperoleh peserta tidak melebihi total jumlah biaya pelayanan kesehatannya. (5) Koordinasi manfaat yang ditanggung oleh BPJS Kesehatan adalah pelayanan kesehatan yang sesuai kesepakatan antara BPJS Kesehatan dengan Asuransi Kesehatan Tambahan atau Badan Penjamin lainnya.
11
Panitia Sosialisasi CoB dalam Seminar Sosialisasi CoB di Kantor Pusat BPJS Cempaka Putih, Jakarta Pusat, Rabu 3 Desember 2014.
Pembagian pertanggungan dalam..., Irene Nindialaksmi, FH UI, 2015
14
Ketentuan mengenai Penanggung dalam Klaim di Pelayanan Kesehatan tertentu di Fasilitas Kesehatan yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan maupun tidak dapat dilihat dalam tabel berikut. Sumber: Perpres No. 111 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan dan Sosialisasi CoB di Kantor Pusat BPJS Cempaka Putih, Jakarta Pusat Tabel I.
No.
Penanggung Biaya
Jenis Pelayanan
Fasilitas
Kelas
Kesehatan
Perawatan
Asuransi BPJS
(Faskes) 1.
Tambahan Standar
+
-
Non Faskes Standar
-
+
Rawat Jalan
Faskes
Tingkat Pertama
BPJS
(RJTP)
Kesehatan
BPJS
Kecuali gawat darurat *)
2.
Standar
+
-
Non Faskes Standar
-
+
Rawat Inap Tingkat Faskes Pertama (RITP)
BPJS
Kecuali gawat
BPJS
darurat *)
3.
Rawat Jalan
Faskes
Standar
+
-
Tingkat Lanjutan
BPJS
Naik Kelas
-
+
-
+
(RJTL)
Perawatan Non Faskes Standar BPJS
Kecuali gawat darurat *)
4.
Rawat Inap Tingkat
Faskes
Standar
+
-
Lanjutan (RITL)
BPJS
Naik Kelas
+
+
Perawatan Non Faskes Standar **)
selisih
+
+ selisih
Pembagian pertanggungan dalam..., Irene Nindialaksmi, FH UI, 2015
15
BPJS
Naik Kelas
+
Perawatan
+ selisih
Keterangan: + ditanggung - tidak ditanggung *) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku **) sesuai dengan daftar Rumah Sakit yang ditetapkan oleh BPJS Kesehatan
Namun, walaupun Fasilitas Kesehatan yang belum bekerjasama dengan BPJS Kesehatan hanya dapat menerima CoB dengan BPJS Kesehatan dalam keadaan darurat, ada pula Fasilitas Kesehatan yang yang belum bekerjasama dengan BPJS Kesehatan namun dapat menerima CoB dengan BPJS Kesehatan dalam keadaan pasien bagaimanapun, bukan hanya dalam keadaan gawat darurat. Berikut adalah daftar enam belas Fasilitas Kesehatan di seluruh Indonesia yang belum bekerjasama dengan BPJS Kesehatan namun bersedia menerima CoB BPJS Kesehatan12: 1. RS Siloam Badung, Bali 2. RS Mitra Keluarga Bekasi Timur, Bekasi 3. RSU Puri Cinere, Depok 4. RS Siloam Hospital Kebon Jeruk, Jakarta Barat 5. RS Mitra Kemayoran, Jakarta Pusat 6. RS Pondok Indah, Jakarta Selatan 7. RS MMC, Jakarta Selatan 8. RS Mitra Internasional, Jakarta Timur 9. RS Pantai Indah Kapuk, Jakarta Utara 10. RS Siloam Hospital Makassar 11. RS Siloam Hospital Manado 12. RS Permata Bunda Medan 13. RS Eka Hospital Pekanbaru 12
Panitia Sosialisasi CoB dalam Seminar Sosialisasi CoB di Kantor Pusat BPJS Cempaka Putih, Jakarta Pusat, Rabu 3 Desember 2014.
Pembagian pertanggungan dalam..., Irene Nindialaksmi, FH UI, 2015
16
14. RS JIH Sleman 15. RS Premier Surabaya 16. RS Premier Bintaro, Tangerang Selatan Selanjutnya mengenai Prosedur Pelayanan di Fasilitas Kesehatan BPJS. Pelayanan yang dijamin oleh BPJS Kesehatan adalah pelayanan yang sesuai prosedur dan ketentuan JKN diantaranya : 1. Rujukan ke Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan BPJS Kesehatan hanya berasal dari Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama BPJS Kesehatan. 2. Peserta yang pada saat pelayanan rawat jalan di FKRTL tidak mengikuti prosedur dan ketentuan maka biaya pelayanan kesehatannya tidak dapat dijamin dan apabila peserta selanjutnya mendapatkan pelayanan rawat inap maka biaya pelayanan kesehatannya tidak dapat dijamin BPJS Kesehatan. 3.Hal-hal lain sesuai ketentuan yang berlaku
Dari penjabaran analisis di atas dapat disimpulkan untuk menjawab pokok permasalahan:
Pengaturan
Pertanggungan
antara
BPJS
Kesehatan
dan
Asuransi
Kesehatan
Tambahan/Komersial: Menurut Peraturan BPJS No. 1 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan dan Perpres No. 111 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan, Peserta BPJS bisa mendapat klaim dari: 1.
BPJS Kesehatan saja
Peserta dapat penggantian biaya penuh dari BPJS Kesehatan dalam hal peserta berobat sesuai dengan prosedur BPJS, di Fasilitas Kesehatan yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan di kelas III s.d I, dan jika penyakit yang diderita termasuk dalam manfaat yang ditanggung oleh BPJS Kesehatan, serta tidak ada plafon atau batas harga pelayanan kesehatan dalam suatu diagnosis penyakit. 2.
BPJS Kesehatan dan Asuransi Kesehatan Tambahan/ Komersial
Peserta dapat penggantian biaya dari BPJS Kesehatan dan kemudian sisa kekurangannya oleh Asuransi Kesehatan Tambahan/Komersial dalam hal peserta berobat
Pembagian pertanggungan dalam..., Irene Nindialaksmi, FH UI, 2015
17
sesuai dengan prosedur BPJS, di Fasilitas Kesehatan yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan dan peserta meminta peningkatan kelas perawatan, juga di Fasilitas Kesehatan yang tidak bekerjasama dengan BPJS Kesehatan jika pasien dalam keadaan gawat darurat. Dalam hal mengajukan klaim kepada Asuransi Kesehatan Tambahan/Komersial, diajukan oleh BPJS Kesehatan mewakili peserta agar terjadi koordinasi sehingga biaya yang dibayarkan tidak melebihi total tagihan perawatan. Hal ini juga sesuai dengan prinsip asuransi berganda dan indemnitas dalam usaha perasuransian. Peserta dapat mengajukan klaim atau mendapat pertanggungan dari kedua penanggung yakni BPJS Kesehatan dan Asuransi Kesehatan Tambahan/Komersial dengan syarat total biaya yang ditanggung dari keduanya tidak melebihi total biaya perawatan. Dengan demikian, peserta tidak mengambil keuntungan diri sendiri dengan adanya usaha asuransi dan mencegah terjadinya moral hazard.
Pengaturan Pertanggungan antara BPJS Kesehatan dan Asuransi Kesehatan Tambahan/Komersial di Fasilitas Kesehatan yang Tidak bekerjasama dengan BPJS Kesehatan:
BPJS Kesehatan dapat menanggung biaya perawatan peserta di Fasilitas yang tidak bekerja sama dengan BPJS Kesehatan namun hanya pada kondisi gawat darurat di mana perawatan yang diberikan adalah pada tahap Rawat Inap Tingkat Lanjutan (RITL) sesuai Perpres No. 111 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan. Namun adapula Fasilitas Kesehatan yang belum bekerjasama dengan BPJS Kesehatan bersedia menanggung pasien dengan BPJS Kesehatan dalam tahap pengobatan apapun, meskipun bukan ddalam keadaan gawat darurat. Fasilitas kesehatan tersebut adalah yang termasuk dalam Daftar Rumah Sakit Non BPJS Kesehatan yang melayani Peserta CoB. Kesimpulan Terkait dengan Pokok Permasalahan yang sudah terjawab dalam Bab 4, penulis menarik kesimpulan bahwa: 1.
Hal-hal yang dapat ditanggung oleh BPJS Kesehatan antara lain pengobatan kesehatan
yang dilakukan sesuai dengan prosedur sebagaimana ditentukan dalam BPJS yakni dari pelayanan kesehatan tingkat pertama hingga pelayanan kesehatan rujukan tingkat lanjutan
Pembagian pertanggungan dalam..., Irene Nindialaksmi, FH UI, 2015
18
serta pengobatan yang dilakukan di wilayah Negara Republik Indonesia sedangkan hal-hal yang tidak dapat ditanggung adalah pengobatan yang belum diakui oleh dunia kedokteran misalnya pengobatan tradisional dan pengobatan yang sifatnya pelengkap misalnya pengobatan yang dilakukan untuk kecantikan. Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa BPJS Kesehatan sudah tepat dalam memberikan jaminan sosial di bidang kesehatan karena dapat dikatakan pengobatan yang benar-benar penting dan harus diprioritaskan untuk dilakukan yang dapat ditanggung. 2.
Dalam terjadinya hospital benefit, dimungkinkan adanya pembagian pertanggungan
antara BPJS Kesehatan dan Asuransi Kesehatan Komersial. Hal ini sesuai dengan prinsip asuransi berganda dan indemnitas dalam usaha perasuransian. Tidak ada larangan untuk mempunyai dua Penanggung atau bahkan mengajukan klaim untuk manfaat yang sama kepada dua Penanggung dengan ketentuan bahwa total nilai pertanggungan yang didapat dari kedua Penanggung tidak melebihi total nilai biaya pengobatan di rumah sakit. Dengan demikian, Tertanggung mendapat ganti kerugian atas biaya pengobatan namun tidak sampai mengambil keuntungan dari klaim tersebut. Dapat disimpulkan bahwa aturan ini juga untuk mencegah terjadinya moral hazard yang tidak dikehendaki dalam usaha perasuransian. Namun dapat pula terjadi hanya BPJS Kesehatan yang menanggung yakni apabila peserta berobat sesuai dengan prosedur BPJS, di Fasilitas Kesehatan yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan di kelas III s.d I, dan jika penyakit yang diderita termasuk dalam manfaat yang ditanggung oleh BPJS Kesehatan, serta tidak ada plafon atau batas harga pelayanan kesehatan dalam suatu diagnosis penyakit. Peserta dapat penggantian biaya dari BPJS Kesehatan dan kemudian sisa kekurangannya oleh Asuransi Kesehatan Tambahan/Komersial dalam hal peserta berobat sesuai dengan prosedur BPJS, di Fasilitas Kesehatan yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan dan peserta meminta peningkatan kelas perawatan, juga di Fasilitas Kesehatan yang tidak bekerjasama dengan BPJS Kesehatan jika pasien dalam keadaan gawat darurat. Dalam hal mengajukan klaim kepada Asuransi Kesehatan Tambahan/ Komersial, diajukan oleh BPJS Kesehatan mewakili peserta agar terjadi koordinasi sehingga biaya yang dibayarkan tidak melebihi total tagihan perawatan. 3.
Untuk pengobatan yang diadakan di Fasilitas Kesehatan yang sudah bekerjasama
dengan BPJS Kesehatan dapat ditanggung seluruhnya dalam tahap pengobatan manapun oleh BPJS Kesehatan jika pasien sudah melakukan prosedur yang sesuai sebagaimana dikehendaki BPJS Kesehatan, pasien memilih kelas perawatan antara kelas III s.d I, bukan VIP, serta
Pembagian pertanggungan dalam..., Irene Nindialaksmi, FH UI, 2015
19
penyakit yang diderita masuk ke dalam manfaat yang ditanggung oleh BPJS Kesehatan. Sedangkan jika pengobatan dilakukan di Fasilitas Kesehatan yang belum bekerjasama dengan BPJS Kesehatan, pada umumnya BPJS Kesehatan tidak dapat menanggung kecuali pasien dalam keadaaan darurat dan tahap pengobatan ada pada tahap Rawat Inap Tingkat Lanjutan. Jika pasien tidak dalam keadaan darurat, maka pengobatan yang dilakukan di Fasilitas Kesehatan yang belum bekerjasama dengan BPJS Kesehatan tidak dapat ditanggung oleh BPJS Kesehatan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa BPJS Kesehatan belum maksimal dalam memberikan jaminan sosial di bidang kesehatan bagi masyarakat Indonesia
Saran Saran penulis bagi pihak-pihak yang terkait dalam suksesnya penyelenggaraan jaminan sosial Negara Republik Indonesia di bidang kesehatan antara lain: 1.
Bagi BPJS
Alangkah lebih baiknya jika BPJS menambah jumlah rumah sakit untuk bekerjasama. Dengan demikian, semakin banyak masyarakat Indonesia yang merasakan manfaat dari jaminan sosial di bidang kesehatan. Selain itu koordinasi manfaat yang telah diselenggarakan BPJS dengan asuransi komersial hendaknya diberi penetapan tertulis kepada rumah sakit. Dengan demikian rumah sakit tidak mengalami kebingungan mengenai bagaimana pertanggungan pengobatan bagi pasien yang memiliki kedua jenis asuransi tersebut. 2.
Bagi Rumah Sakit
Alangkah baiknya jika setiap rumah sakit meningkatkan mutu dan pelayanannya kepada setiap pasien tanpa diskriminasi sehingga keluhan dari masyarakat mengenai betapa lama dan rumitnya prosedur pelayanan kesehatan dan sebagainya dapat semakin berkurang. 3.
Bagi Pemerintah
Pemerintah diharapkan dapat membuat sosialisasi secara masif mengenai segala hal yang berkaitan dengan BPJS sehingga tidak ada lagi masyarakat yang mengeluh tidak mengetahui adanya berbagai fasilitas pengobatan yang sudah lebih baik sejak adanya BPJS. Pemerintah juga diharapkan dapat mempermudah akses masyarakat kecil kepada BPJS dan pengobatan gratis di rumah sakit. Dengan demikian dapat terwujud amanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 UUD 1945 mengenai kesehatan.
Pembagian pertanggungan dalam..., Irene Nindialaksmi, FH UI, 2015
20
Daftar Referensi Buku Ilyas, Yaslis. Asuransi Kesehatan – Review Utilisasi, Manajemen Klaim, dan Fraud (Kecurangan Asuransi Kesehatan). Cet. 1 (Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat UI, 2003). Mamudji, Sri. et.al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005). Murti, Bhisma. Dasar-Dasar Asuransi Kesehatan. Cet. 1 (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2000). Salim, A. Abbas. Dasar-Dasar Asuransi (Principles of Insurance). Ed. 1, Cet. 2 (Jakarta: CV Rajawali Pers, 1991) Simanjuntak, Kornelius., Brian Amy Prastyo, Myra R.B. Setiawan. Hukum Asuransi. Cet. 1 (Depok: Djokosoetono Research Center FHUI, 2011). Sinaga, Hotbonar. Membangun Jaminan Sosial Menuju Negara Kesejahteraan. (Jakarta: CV Java Media Network, 2009). Soekanto, Soerjono. Pengantar Penulisan Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986). Sulastomo. Asuransi Kesehatan Sosial: Sebuah Pilihan. Edisi 1, Cet. 1 (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002). Thabrany, Hasbullah. Introduksi Asuransi Kesehatan. Cet. 1 (Jakarta: IDI, 1999). Tim Visi Yustisia, Panduan Resmi Memperoleh Jaminan Kesehatan dari BPJS, Semua Warga Negara Wajib Daftar, Cet. 1, (Jakarta: Visimedia, 2014).
Internet http://www.jamsosindonesia.com/sjsn/bpjs diakses pada 1 September 2014 pk 19.33 WIB. http://bpjs-kesehatan.go.id/index.php/pages/detail/2014/12 diakses pada 11 September 2014 pk 22.40 WIB
Peraturan Perundang-Undangan ________. Undang-Undang tentang Perasuransian. UU No. 40 Tahun 2014, LN No. 337 Tahun 2014, TLN No. 5618 ________. Peraturan Presiden tentang Perubahan atas Peraturan Presiden No. 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan. Perpres No.111 Tahun 2013, LN No. 255 Tahun 2013.
Pembagian pertanggungan dalam..., Irene Nindialaksmi, FH UI, 2015