PELUANG BEKERJA DAN BERUSAHA WANITA KEPALA RUMAH TANGGA DAN PENGARUHNYA TERHADAP TINGKAT UPAH DI DESA CIHIDEUNG UDIK KABUPATEN BOGOR
FEMY AMALIA ARIZI PUTRI
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Peluang Bekerja dan Berusaha Wanita Kepala Rumah Tangga dan Pengaruhnya terhadap Tingkat Upah di Desa Cihideung Udik Kabupaten Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Januari 2013 Femy Amalia Arizi Putri NIM I34090065
ABSTRAK FEMY AMALIA ARIZI PUTRI. Peluang Bekerja dan Berusaha Wanita Kepala Rumah Tangga (WKRT) dan Pengaruhnya terhadap Tingkat Upah di Desa Cihideung Udik Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh WINATI WIGNA. Penelitian ini bertujuan menganalisis hubungan ideologi gender dengan peluang bekerja dan berusaha WKRT; menganalisis hubungan karakteristik WKRT dengan peluang bekerja dan berusaha; dan menganalisis hubungan peluang bekerja dan berusaha WKRT dengan tingkat upah. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dan didukung dengan kualitatif. Secara umum WKRT memiliki ideologi gender kuat, peluang bekerja dan berusaha yang sulit, dan tingkat upah rendah. Ideologi gender berhubungan dengan peluang bekerja dan berusaha, peluang bekerja dan berusaha tidak berhubungan dengan tingkat upah, karakteristik usia berhubungan dengan peluang bekerja dan berusaha, karaktersitik lamanya menjadi WKRT tidak berhubungan dengan peluang bekerja dan berusaha, dan karakteristik tanggungan anak tidak berhubungan dengan peluang bekerja dan berusaha. Kata kunci: wanita kepala rumah tangga, ideologi gender, karakteristik, peluang bekerja dan berusaha, tingkat upah
ABSTRACT FEMY AMALIA ARIZI PUTRI. The Opportunity to work and business Women Head of Household (WHH) and Influence to wage rate in Cihideung Udik’s village, Bogor’s regency. Supervised by WINATI WIGNA. The objectives of this research are: to analyze gender's ideology associated with opportunity to work and business WHH, to analyze characteristic associated with opportunity to work and business WHH, to analyze opportunity to work and business associated with wage rate WHH. This research was using quantitative method and supported by qualitative. In common show that respondent majority have categorised gender’s ideology strong, opportunity to work and business are hard, dan low wage rate. Gender's ideology is associated with opportunity to work and business, opportunity to work and business is not associated with wage rate, age characteristic is associated with opportunity to work and business, the duration as WHH and child responsibility characterisic are not associated with opportunity to work and business. Keywords: women head of household, gender's ideology, characteristic, opportunity to work and business, wage rate
PELUANG BEKERJA DAN BERUSAHA WANITA KEPALA RUMAH TANGGA DAN PENGARUHNYA TERHADAP TINGKAT UPAH DI DESA CIHIDEUNG UDIK KABUPATEN BOGOR
FEMY AMALIA ARIZI PUTRI
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Judul Skripsi: Peluang Bekerja dan Berusaha Wanita Kepala Rumah Tangga dan Pengaruhnya terhadap Tingkat Upah di Desa Cihideung Udik Kabupaten Bogor Nama
: Femy Amalia Arizi Putri
NIM
: I34090065
Disetujui oleh
Dra. Winati Wigna, MDS Pembimbing
Diketahui oleh
Dr Ir Soeryo Adiwibowo, MS Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2012 ini ialah gender, dengan judul Peluang Bekerja dan Berusaha Wanita Kepala Rumah Tangga dan Pengaruhnya terhadap Tingkat Upah di Desa Cihideung Udik Kabupaten Bogor. Terima kasih penulis ucapkan kepada dosen pembimbing skripsi penulis, yaitu Dra. Winati Wigna, MDS yang telah memberikan masukan dan bimbingan kepada penulis; dan dosen penguji utama, yaitu Dr. Ir. Ekawati S. Wahyuni, MS; serta dosen penguji wakil departemen, yaitu Ir. Sutisna Riyanto, MS yang telah memberikan masukan kepada penulis. Lalu pembimbing akademik saya, yaitu Dr. Ir.Lala M. Kolopaking, MS. Tidak lupa kedua orang tua Ayahanda Zulkifli H.S dan Ibunda Nurarini orang tua tercinta serta Zulfahmi A.P. dan Nada K.A.P., kakak dan adik tersayang yang selalu memberi semangat, dukungan, doa, dan materi kepada penulis dengan penuh keikhlasan. Malik, Rizka A, Zela, Ninis, M. Septiadi, Ayu A, Ayu J, Anggi, Asti, Zona dan teman-teman Departemen SKPM yang tidak bisa disebutkan satu persatu, yang selalu memberikan motivasi dan semangat kepada penulis selama proses penyusunan penelitian. Serta semua pihak yang telah membantu dalam proses penulisan hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Januari 2013 Femy Amalia Arizi Putri
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
ix
DAFTAR GAMBAR
x
DAFTAR LAMPIRAN
x
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Masalah Penelitian
2
Tujuan Penelitian
3
Kegunaan Penelitian
3
PENDEKATAN TEORETIS
5
TINJAUAN PUSTAKA
5
Kerangka Pemikiran
15
Hipotesis Penelitian
16
Definisi Operasional
17
METODOLOGI PENELITIAN
19
Lokasi dan Waktu
19
Teknik Sampling
19
Teknik Pengumpulan Data
20
Teknik Pengolahan dan Analisis Data
21
GAMBARAN UMUM LOKASI
23
Kondisi Geografis
23
Demografi
23
Pendidikan dan Mata Pencaharian
25
Agama
27
Lingkungan dan Kesehatan
27
Potensi wisata
29
Pembangunan Ekonomi dan Infrastruktur
29
IDEOLOGI GENDER DAN KEHIDUPAN WANITA KEPALA RUMAH TANGGA (WKRT)
31
Ideologi Gender
31
Kehidupan Wanita Kepala Rumah Tangga (WKRT)
34
Karakteristik Responden
35
Ikhtisar
37
PELUANG BEKERJA DAN BERUSAHA SERTA PENGARUHNYA TERHADAP TINGKAT UPAH WANITA KEPALA RUMAH TANGGA (WKRT)
39
Peluang Bekerja dan Berusaha Wanita Kepala Rumah Tangga (WKRT)
39
Hubungan Ideologi Gender dengan Peluang Bekerja dan Berusaha Wanita Kepala Rumah Tangga (WKRT)
43
Hubungan Karakteristik dengan Peluang Bekerja dan Berusaha Wanita Kepala Rumah Tangga (WKRT) 44 Hubungan Peluang Bekerja dan Berusaha dengan Tingkat Upah Wanita Kepala Rumah Tangga (WKRT) 46 Ikhtisar SIMPULAN DAN SARAN
48 51
Simpulan
51
Saran
51
DAFTAR PUSTAKA
53
LAMPIRAN
55
RIWAYAT HIDUP
57
DAFTAR TABEL 1 Perbandingan antara gender dan seks 2 Pola penggunaan tanah di Desa Cihideung Udik tahun 2009 3 Jumlah dan persentase komposisi penduduk berdasarkan kelompok usia di Desa Cihideung Udik tahun 2012 4 Jumlah rukun tetangga dan rukun warga di Desa Cihideung Udik tahun 2000, 2002, 2010, dan 2012 5 Jumlah penduduk berdasarkan tingkat pendidikan di Desa Cihideung Udik tahun 2012 6 Jumlah sarana pendidikan di Desa Cihideung Udik tahun 2012 7 Jumlah penduduk berdasarkan mata pencaharian di Desa Cihideung Udik tahun 2012 8 Jumlah rumah tangga berdasarkan jenis pekerjaan utama di Desa Cihideung Udik tahun 2002 dan 2010 9 Jumlah sarana peribadatan di Desa Cihideung Udik tahun 2002 dan 2010 10 Jumlah dan persentase bangunan berdasarkan jenis bangunan di Desa Cihideung Udik tahun 2002 dan 2010 11 Jumlah sarana kesehatan di Desa Cihideung Udik tahun 2012 12 Jumlah sarana dan prasarana ekonomi di Desa Cihideung Udik tahun 2012 13 Jumlah dan persentase responden berdasarkan ideologi gender di Desa Cihideung Udik tahun 2012 14 Jumlah dan persentase responden berdasarkan usia di Desa Cihideung Udik tahun 2012 15 Jumlah dan persentase responden berdasarkan lamanya menjadi WKRT di Desa Cihideung Udik tahun 2012 16 Jumlah dan persentase berdasarkan beban keluarga responden di Desa Cihideung Udik tahun 2012 17 Jumlah dan persentase responden berdasarkan peluang bekerja dan berusaha di Desa Cihideung Udik tahun 2012 18 Jumlah dan persentase responden berdasarkan usaha mencari pekerjaan di Desa Cihideung Udik tahun 2012 19 Jumlah dan persentase responden berdasarkan faktor pendukung berusaha di Desa Cihideung Udik tahun 2012 20 Jumlah dan persentase responden berdasarkan jenis pekerjaan di Desa Cihideung Udik tahun 2012 21 Jumlah dan persentase responden berdasarkan pekerjaan di Desa Cihideung Udik tahun 2012 22 Jumlah dan persentase responden berdasarkan jenis upah di Desa Cihideung Udik tahun 2012
6 23 24 24 25 26 26 27 27 28 28 29 31 36 36 37 39 39 40 40 41 41
23 Jumlah dan persentase responden berdasarkan kesulitan mencari pinjaman di Desa Cihideung Udik tahun 2012 24 Jumlah dan persentase responden berdasarkan hubungan ideologi gender dengan peluang bekerja dan berusaha di Desa Cihideung Udik tahun 2012 25 Jumlah dan persentase berdasarkan hubungan karakteristik usia responden dengan peluang bekerja dan berusaha responden di Desa Cihideung Udik tahun 2012 26 Jumlah dan persentase berdasarkan hubungan karakteristik lamanya menjadi WKRT responden dengan peluang bekerja dan berusaha responden di Desa Cihideung Udik tahun 2012 27 Jumlah dan persentase berdasarkan hubungan karakteristik tanggungan anak dengan peluang bekerja dan berusaha responden di Desa Cihideung Udik tahun 2012 28 Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat upah di Desa Cihideung Udik tahun 2012 29 Jumlah dan persentase berdasarkan hubungan peluang bekerja dan berusaha dengan tingkat upah responden di Desa Cihideung Udik tahun 2012
42
43
44
45
45 46
47
DAFTAR GAMBAR 1 Kerangka analisis 2 Peta Desa Cihideung Udik
16 55
DAFTAR LAMPIRAN 1 Peta lokasi penelitian 2 Jadwal penelitian
55 56
PENDAHULUAN Bab ini menjelaskan latar belakang, perumusan masalah, tujuan penelitian, dan kegunaan penelitian ini. Subbab latar belakang menjelaskan alasan penelitian ini dilakukan. Subbab perumusan masalah menjelaskan hal-hal apa saja yang menjadi fokus dalam penelitian ini. Sementara itu, subbab tujuan penelitian mengarahkan untuk menjawab perumusan masalah yang telah dibuat dan mengarahkan pencari data yang dibutuhkan. Subbab yang terakhir dalam bab ini adalah kegunaan penelitian yang menjelaskan manfaat dari penelitian ini.
Latar Belakang Rumah tangga adalah seseorang atau sekelompok orang yang yang biasanya tinggal bersama dalam satu bangunan serta pengelolaan makan dari satu dapur, maksudnya jika pengurusan kebutuhan sehari-harinya dikelola bersama-sama jadi satu (BPS 2012). Satu rumah tangga dapat terdiri dari hanya satu anggota rumah tangga. Rumah tangga memiliki kepala rumah tangga yang bertanggung jawab atas rumah tangga yang dipimpinnya. Kepala rumah tangga identik dengan pria yang memimpin, namun di dalam masyarakat juga terdapat wanita yang berperan sebagai kepala rumah tangga. Sajogyo dalam Gardiner dan Surbakti (1991), menyatakan bahwa Wanita Kepala Rumah Tangga (WKRT) dapat dijelaskan baik secara de jure maupun secara de facto. Definisi WKRT yang digunakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) ialah secara de jure, yaitu wanita yang memang hidup berumah tangga sendiri dalam arti tidak menikah, atau bercerai, baik cerai hidup maupun cerai mati. Sementara itu secara de facto, wanita yang menjadi kepala rumah tangga ialah karena wanita itu merantau tanpa suami atau wanita itu ditinggal merantau oleh suaminya dan berumah tangga sendiri, dan wanita yang suaminya tidak mampu secara fisik atau mental sebagai pengelola rumah tangga. Jumlah WKRT terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Gardiner (1991) dalam Gardiner dan Surbakti (1991), menyatakan bahwa jumlah WKRT mengalami peningkatan sebesar 1% dan 1.2% per tahun untuk periode 1971-1980 dan 1980-1985. Sementara pada tahun 2001 menunjukkan kurang dari 13%, adanya kecenderungan peningkatan rumah tangga yang dikepalai wanita rata-rata 0.1% per tahun (PEKKA 2012). BPS (2011) juga menyatakan jumlah WKRT di Indonesia sebesar 13.91% pada tahun 2010 dan 14.29% pada tahun 2011. Budaya yang paling dominan di Indonesia ialah budaya patriarkhi. Menurut Rianingsih (2005), patriarkhi secara luas mengacu pada dominasi pria pada hubungannya dengan kekuasaan, yaitu pria mendominasi wanita dengan berbagai cara tetap berada di bawah (subordinat). Negara juga turut mempertegas dengan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 pada pasal 31 dan 34, dalam kehidupan sosial politik dan kemasyarakatan di Indonesia, kepala rumah tangga adalah suami atau pria. Kedua hal tersebut menempatkan wanita dalam posisi subordinat apalagi wanita yang menjadi kepala rumah tangga. Konsepsi gender dalam pembagian kerja belum sepenuhnya tercapai dan konstruksi sosial budaya seringkali memandang masing-masing jenis kelamin
2 dari segi seks bukan dari segi kemampuan. Kuatnya nilai sosial budaya patriarkhi di Indonesia lalu didukung dengan adanya Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 yang menyebabkan semakin kuatnya ideologi gender di masyarakat. Ideologi gender adalah suatu pemikiran yang dianut masyarakat mengenai perbedaan antara pria dan wanita dalam akses dan kontrol. Ideologi gender tertanam sejak masa kanak-kanak sehingga seringkali menjadi pedoman dalam bersikap dan berperilaku dalam kehidupan sehari-hari. Adanya ideologi gender yang dipengaruhi oleh konstruksi sosial budaya mengakibatkan ketidakadilan gender, seperti subordinasi, marginalisasi, beban kerja banyak, kekerasan, dan stereotipe (Handayani dan Sugiarti 2008). Hal tersebut seringkali merugikan wanita begitu pula WKRT. Posisi WKRT menjadi sulit baik dalam hukum yang berlaku maupun dalam kehidupan sosialnya. WKRT yang secara de jure dipersulit oleh ideologi gender sedangkan WKRT secara de facto statusnya tidak diakui secara hukum dan dipersulit juga dengan ideologi gender. Hal tersebut menyebabkan kepala rumah tangga wanita sering didiskriminasi haknya dalam berbagai bidang seperti sosial politik, ekonomi, kesehatan, maupun pendidikan. Sementara itu, WKRT harus memenuhi kebutuhan kehidupannya dengan bekerja dan berusaha. Namun, dalam proses bekerja dan berusaha tersebut mereka mengalami kesulitan, status yang seringkali dianggap negatif membuatnya menjadi tidak percaya diri dan Wigna (1990) menyatakan bahwa status pekerjaan mereka cenderung sektor tradisional dan informal. Tak heran apabila rumah tangga yang dikepalai wanita umumnya miskin dengan tingkat pendapatan yang rendah dalam strata sosial ekonomi di Indonesia. Wanita sebagai pencari nafkah utama di Indonesia sebesar 14%-17% dan akan terus bertambah karena migrasi musiman, keluarga berantakan, kematian atau permanen migran dari male breadwinner, inilah alasan bertambahnya WKRT (Hubeis 2010). Hubeis (2010) juga menambahkan bahwa WKRT yang termasuk dalam kelompok termiskin secara langsung terkait pada status ekonomi, yaitu tidak adanya peluang ekonomi dan otonomi, kurangnya akses ke pendidikan, dan jasa pendukung, serta minimnya partisipasi dalam penentuan keputusan. Sementara itu WKRT menjadi penopang dalam memenuhi rumah tangganya dengan bekerja dan berusaha. Namun, wanita dalam hal ini WKRT kurang diberikan kesempatan kerja. BPS (2011) melalui Susenas tahun 20092011, angka partisipasi kerja wanita yang menjadi kepala rumah tangga lebih rendah (61.72%) dibandingkan angka partisipasi kerja pria yang menjadi kepala rumah tangga (92.80%). Oleh karena itu, perlu digali lebih dalam gambaran kesulitan wanita bila menjadi kepala rumah tangga yang umumnya berada dalam kelompok termiskin ketika bekerja dan berusaha.
Masalah Penelitian Secara umum perkembangan Wanita Kepala Rumah Tangga (WKRT) telah mengalami peningkatan sejak tahun 1970-an. Gardiner (1991) dalam Gardiner dan Surbakti (1991), menyatakan bahwa jumlah WKRT mengalami peningkatan sebesar 1% dan 1.2% per tahun untuk periode 1971-1980 dan 1980-1985. Sementara pada tahun 2001 menunjukkan kurang dari 13%, adanya
3 kecenderungan peningkatan rumah tangga yang dikepalai wanita rata-rata 0.1% per tahun (PEKKA 2012). BPS (2011) juga menyatakan jumlah WKRT di Indonesia sebesar 13.91% pada tahun 2010 dan 14.29% pada tahun 2011. Selain itu juga terjadi peningkatan yang cukup tinggi pada perceraian hidup atau mati baik di desa maupun di kota. Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan wanita menjadi kepala rumah tangga, yaitu adanya industrialisasi, perceraian, dan migrasi. Konsepsi gender dalam pembagian kerja belum sepenuhnya tercapai dan konstruksi sosial budaya seringkali memandang masing-masing jenis kelamin dari segi seks bukan dari segi kemampuan, kesempatan secara universal yang menyebabkan ketidakadilan gender. Banyak aplikasi gender di masyarakat yang belum sesuai dengan yang diharapkan karena masih dipengaruhi oleh faktor sosial dan budaya dan telah menghasilkan ketidakadilan gender. Ideologi gender merupakan suatu pemikiran yang dianut oleh masyarakat mengenai perbedaan antara pria dan wanita dalam hal akses dan kontrol. Ideologi gender tertanam sejak masa kanak-kanak sehingga seringkali menjadi pedoman dalam bersikap dan berperilaku dalam kehidupan sehari-hari. Ideologi gender akan menghasilkan ketidakadilan gender. Perumusan masalah yang pertama adalah sejauh mana ideologi gender berhubungan dengan peluang berusaha dan bekerja WKRT. Lalu perumusan kedua adalah sejauh mana karakteristik WKRT berhubungan dengan peluang berusaha dan bekerja WKRT. Nilai sosial dan budaya yang berlaku cenderung merugikan wanita apalagi WKRT, masih saja ada label negatif di masyarakat terhadap status WKRT. Hal tersebut berpengaruh terhadap rumah tangga yang dikepalai wanita sehingga mereka menjadi pihak yang tidak diuntungkan. Posisi ini tentunya akan berdampak pada peluang bekerja dan berusaha di mana hal ini berhubungan dengan tingkat upah yang diperolehnya. Perumusan masalah yang ketiga adalah sejauh mana peluang bekerja dan berusaha WKRT berhubungan dengan tingkat upah.
Tujuan Penelitian Penelitian ini akan melihat peluang bekerja dan berusaha kepala rumah tangga. Fokus penelitiannya, yaitu peluang bekerja dan berusaha wanita kepala rumah tangga dan pengaruhnya terhadap tingkat upah di Desa Cihideung Udik Kabupaten Bogor. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan dalam menganalisis hubungan ideologi gender dengan peluang bekerja dan berusaha WKRT; menganalisis hubungan karakteristik WKRT dengan peluang bekerja dan berusaha; dan menganalisis hubungan peluang bekerja dan berusaha WKRT dengan tingkat upah.
Kegunaan Penelitian Kegunaan teoretis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi perkembangan ilmu gender khususnya terfokus pada Wanita Kepala Rumah Tangga (WKRT). Selanjutnya kegunaan praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber referensi bagi beberapa kalangan, antara
4 lain: (1) bagi kalangan pemerintah Kabupaten Bogor, hasil penelitian ini diharapkan menjadi sumber informasi yang bermanfaat dalam menentukan arah kebijakan yang turut memperhitungkan WKRT pada masa yang akan datang; (2) bagi kalangan akademisi, penelitian ini diharapkan mampu menyumbang penelitian dan mampu mendorong berkembangnya penelitian mengenai WKRT; (3) bagi masyarakat Desa Cihideung Udik, hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi dan pengetahuan mereka mengenai gambaran WKRT dalam bekerja dan berusaha dan pengaruhnya terhadap tingkat upah.
5
PENDEKATAN TEORETIS Bab ini menjelaskan tinjauan pustaka, kerangka pemikiran, hipotesis penelitian, dan definisi operasional. Subbab tinjauan pustaka berisi bahan pustaka yang dirujuk berasal dari beberapa sumber berupa buku dan hasil penelitian sebelumnya. Subbab kerangka pemikiran menjelaskan variabel-variabel yang diuji dalam penelitian ini. Subbab hipotesis penelitian memaparkan proposisi yang diuji dalam penelitian ini dan subbab definisi operasional memaparkan kriteria dan standar pengkategorian masing-masing variabel yang diuji.
TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan pustaka memuat telaah singkat, jelas, dan sistematis tentang kerangka teoretis, hasil-hasil penelitian yang relevan yang melandasi masalah penelitian atau gagasan guna menggali pemahaman mengenai masalah penelitian dan pemecahan masalahnya. Subbab ini terdiri dari gender dan ketidakadilan gender, wanita kepala rumah tangga, karakteristik wanita kepala rumah tangga, faktor yang menyebabkan peningkatan wanita kepala rumah tangga, posisi wanita kepala rumah tangga terhadap hukum di Indonesia, peluang bekerja dan berusaha wanita kepala rumah tangga,
Gender dan Ketidakadilan Gender Analisis gender merupakan alat analisis untuk memahami realitas sosial, serta memahami bahwa pokok persoalannya ialah sistem dan struktur yang tidak adil. Pemahaman antara konsep gender dengan konsep seks diperlukan untuk memahami persoalan-persoalan ketidakadilan sosial yang menimpa kaum wanita. Handayani dan Sugiarti (2008) menyatakan, “..di mana baik laki-laki maupun perempuan menjadi korban dan mengalami dehumanisasi karena ketidakadilan gender tersebut. Kaum perempuan mengalami dehumanisasi akibat ketidakadilan gender sementara kaum lelaki mengalami dehumanisasi karena melanggengkan penindasan gender”.
Seks ialah pembagian jenis kelamin yang ditentukan secara biologis antara pria dan wanita yang memiliki fungsi organisme yang berbeda, fungsinya tidak dapat dipertukarkan, ketentuan Tuhan (kodrati). Handayani dan Sugiarti (2008) juga menjelaskan konsep gender, yaitu sifat yang melekat pada kaum pria dan wanita yang terbentuk oleh faktor sosial maupun budaya, pembedaan peran dan fungsi antara pria dan wanita menurut kedudukan, fungsi dan peranan masingmasing dalam berbagai bidang kehidupan dan pembangunan. Fungsi dan peranan antara pria dan wanita dapat dipertukarkan. Hal ini sangat berkaitan dengan faktor sosial, geografis, dan kebudayaan suatu masyarakat seperti pada Tabel 1. Hubeis (2010) juga menyatakan, bahwa gender adalah suatu konsep yang merujuk pada suatu sistem peranan dan hubungan antara pria dan wanita yang ditentukan oleh sosial budaya, politik dan ekonomi di mana cara dan proses implementasi gender
6 dikonstruksikan di masyarakat. Jadi, gender dapat diartikan sebagai perbedaan antara pria dan wanita dalam peran, fungsi, hak, tanggung jawab, dan perilaku yang dibentuk oleh tata nilai sosial, budaya, adat istiadat dari kelompok masyarakat. Proses sosialisasi yang berjalan secara turun temurun akan mempengaruhi perkembangan visi, emosi, ideologi, fisik dan biologis masing-masing jenis kelamin. Hal inilah yang akhirnya melahirkan keyakinan masyarakat tentang bagaimana pria dan wanita berpikir, bertindak, serta terciptanya norma-norma atas “pantas” atau “tidak pantas” masing-masing jenis kelamin yang sesuai dengan ketentuan sosial tersebut. Perbedaan gender yang dikonstruksikan secara sosial dan budaya seringkali telah melahirkan berbagai ketidakseimbangan atau ketidakadilan gender. Hubeis (2010) menyatakan bahwa sosialisasi nilai-nilai gender yang mencakup sosialisasi sifat, cara bertingkah laku dan peran telah ditanamkan sejak masih dalam kandungan hingga berakhir masa hidup. Kebanyakan kepercayaan yang muncul di masyarakat -seperti wanita berfungsi 3 m (masak, macak, manak) sedangkan pria pantang memasak, mencuci, dan melakukan kegiatan rumah tangga- menguntungkan kaum pria dan meminggirkan kaum wanita. Hal tersebut juga mengakibatkan wanita sudah tersosialisasi untuk melakukan peran domestik, yaitu mengurus rumah tangga, mengasuh anak, dan melayani suami. Sementara pria disosialisasikan untuk berperan publik, yaitu melindungi dan menafkahi anak dan istri. Tabel 1 Perbandingan antara gender dan seks Karakteristik
Seks
Gender
Sumber pembeda Visi, misi Unsur pembeda Sifat
Tuhan Kesetaraan Biologis (alat reproduksi) Kodrat, tertentu, tidak dapat dipertukarkan Terciptanya nilai-nilai (kesempurnaan, kenikmatan, kedamaian) sehingga menguntungkan kedua belah pihak
Manusia (masyarakat) Kebiasaan Sosiologis (tingkah laku) Harkat, martabat, dapat dipertukarkan Terciptanya norma-norma/ ketentuan tentang kepantasan, seringkali merugikan salah satu pihak dan biasanya adalah perempuan Dapat berubah, musiman dan berbeda antar kelas
Dampak
Keberlakuan
Sepanjang masa, di mana saja, tidak mengenal pembedaan kelas Sumber: Handayani dan Sugiarti (2008)
Perbedaan gender mengakibatkan ketidakadilan gender yang termanifestasikan dalam berbagai bentuk, seperti marginalisasi, subordinasi, stereotipe, kekerasan, dan beban kerja lebih berat. (1)Marginalisasi disebut juga pemiskinan ekonomi, sumbernya bisa berasal dari kebijakan pemerintah, keyakinan, tafsiran agama, keyakinan tradisi dan kebiasaaan, bahkan asumsi ilmu pengetahuan. (2)Subordinasi adalah anggapan bahwa wanita tidak penting terlibat dalam pengambilan keputusan politik. Hal ini terlihat dalam prosentase jumlah pekerja wanita, penggajian, pemberian fasilitas, serta beberapa hak-hak wanita
7 yang berkaitan dengan kodratnya belum terpenuhi. Bentuk subordinasi terlihat juga dengan pengkategorian semua pekerjaan yang termasuk domestik dan reproduksi yang dianggap lebih rendah dan menjadi subordinasi terhadap pekerjaan produksi. (3)Stereotipe adalah pelabelan terhadap suatu kelompok atau jenis pekerjaan tertentu yang dikonstruksi oleh masyarakat sebagai hasil hubungan sosial tentang perbedaan antara pria dan wanita. Hal ini mengakibatkan peluang wanita bekerja di luar rumah sangat terbatas. (4)Kekerasan adalah suatu serangan terhadap fisik maupun mental psikologis seseorang. Budaya yang didominasi oleh pria menyebabkan kekerasan sering terjadi terhadap wanita seperti untuk memenangkan perbedaan pendapat dan menyatakan rasa tidak puas yang menunjukkan bahwa pria berkuasa atas wanita. (5)Beban kerja wanita lebih berat karena peran wanita yang berkembang justru menambah perannya, dan umumnya wanita mengerjakan peranan sekaligus untuk memenuhi tuntutan pembangunan (Handayani dan Sugiarti 2008). Persentase wanita yang berada di sektor publik masih lebih rendah dibandingkan pria. Wanita yang berada di sektor publik berarti telah melakukan kegiatan produktif, yaitu menghasilkan produksi barang atau jasa, namun seringkali dipersulit. Konstruksi sosial budaya juga menentukan jenis pekerjaan yang cocok dan tidak cocok untuk dilakukan seorang wanita karena dianggap lemah maka hanya dapat melakukan pekerjaan ringan, sedangkan pria dapat dianggap dapat melakukan pekerjaan berat. Terdapat permasalahan ketika yang bekerja di sektor publik adalah wanita yang bertujuan menopang kehidupan rumah tangganya atau dapat disebut sebagai wanita kepala rumah tangga. Mereka akan memiliki beban yang lebih berat karena di samping bekerja di sektor publik, mereka juga bekerja di sektor domestik. Stereotipe terhadap status WKRT dari masyarakat bahkan konstruksi sosial di masyarakat (yang menempatkan wanita di sektor domestik) akan menghambat kegiatan wanita sebagai kepala rumah tangga yang pada akhirnya mempersulit mereka dalam memenuhi kebutuhan rumah tangganya. Hal tersebut akan berbeda ketika yang berada di sektor publik adalah pria apalagi pria sebagai kepala rumah tangga. Pria lebih mudah melakukan kegiatan produktif karena konstruksi sosial di masyarakat memandang pria pantas bekerja di sektor publik. Hal ini memudahkan pria sebagai kepala rumah tangga memenuhi kebutuhan rumah tangganya sehingga kesejahteraan mereka lebih tinggi dibandingkan wanita kepala rumah tangga. Penjelasan tersebut menunjukkan bahwa konsepsi gender dalam pembagian kerja belum sepenuhnya tercapai dan konstruksi sosial budaya seringkali memandang masing-masing jenis kelamin dari segi seks bukan dari segi kemampuan, kesempatan secara universal yang menyebabkan ketidakadilan gender.
Wanita Kepala Rumah Tangga (WKRT) Secara umum perkembangan Wanita sebagai Kepala Rumah Tangga (WKRT) telah mengalami peningkatan sejak tahun 1970-an. Gardiner (1991) dalam Gardiner dan Surbakti (1991), menyatakan bahwa jumlah WKRT mengalami peningkatan sebesar 1% dan 1.2% per tahun untuk periode 1971-1980 dan 1980-1985. Jumlah WKRT yang meningkat terutama bagi mereka yang muda atau berusia 10-24 tahun dan bertempat tinggal di daerah perkotaan serta berstatus belum kawin. Sementara pada tahun 2001 menunjukkan kurang dari 13%, adanya
8 kecenderungan peningkatan rumah tangga yang dikepalai wanita rata-rata 0.1% per tahun (PEKKA 2012). BPS (2011) juga menyatakan jumlah WKRT di Indonesia sebesar 13.91% pada tahun 2010 dan 14.29% pada tahun 2011. Selain itu juga terjadi peningkatan yang cukup tinggi pada perceraian hidup atau mati baik di desa maupun di kota. Perubahan status sosial wanita menjadi kepala rumah tangga dapat disebabkan oleh perceraian (cerai mati atau cerai hidup) atau proses migrasi. Menurut Sajogyo dalam Gardiner dan Surbakti (1991), status sosial wanita kepala rumah tangga dapat dijelaskan, baik secara de jure maupun secara de facto. Secara de jure menggambarkan wanita sebagai kepala rumah tangga karena memang hidup berumah tangga sendiri, dalam arti tidak menikah atau karena bercerai (cerai hidup, cerai mati). Secara de facto menggambarkan wanita sebagai kepala rumah tangga karena wanita merantau tanpa suami atau wanita itu ditinggal merantau oleh suaminya dan berumah tangga sendiri. Wanita kepala rumah tangga adalah wanita yang belum kawin, cerai atau janda, dan tinggal sendiri atau bersama anak-anak atau anggota rumah tangga lainnya, serta mengurus rumah tangganya sendiri terpisah dari orang lain. Berdasarkan status sosial tersebut, wanita menjadi kepala rumah tangga yang bertanggung jawab atas rumah tangganya dan menjadi pencari nafkah utama. Hal tersebut akan berlaku juga bagi wanita yang memiliki suami yang tidak mampu secara fisik atau mental untuk mengelola rumah tangganya. Jadi, dapat disimpulkan bahwa wanita dapat disebut sebagai kepala rumah tangga apabila bercerai (cerai mati atau cerai hidup), ditinggal merantau suami atau merantau tanpa suami, belum menikah (lajang), suami yang tidak mampu secara fisik atau mental memenuhi kebutuhan rumah tangganya.
Karakteristik Wanita Kepala Rumah Tangga (WKRT) Karakteristik yang melekat pada diri WKRT terkait dengan usia, status perkawinan, pendidikan, dan lamanya menjadi WKRT. Gardiner dan Surbakti (1991) menyatakan bahwa sebagian besar WKRT berusia 45 tahun atau lebih dibandingkan Pria Kepala Rumah Tangga (PKRT), status perkawinan WKRT lebih beragam dibandingkan PKRT yang secara umum statusnya menikah, pendidikan WKRT jauh lebih rendah dibandingkan PKRT, dan perbedaan pendidikan WKRT dan PKRT di desa lebih besar dari di kota. Pendidikan WKRT umumnya lebih rendah dibandingkan PKRT karena budaya pada saat mereka muda lebih mengutamakan pendidikan untuk anak laki-laki. Pendidikan WKRT yang rendah memberikan peluang kecil dalam memasuki pasaran kerja. Perbedaan jumlah anggota yang mencari nafkah, pendidikan, dan peluang bekerja juga menyebabkan ketimpangan kesejahteraan antar WKRT yang berstatus cerai mati. Hasil penelitian Wigna (1990) juga menyatakan bahwa umumnya tingkat pendidikan WKRT rendah, yaitu mayoritas berpendidikan SD ke bawah, sedangkan sebagian kecil berpendidikan SMP dan SMA. Berdasarkan status perkawinannya, PKRT banyak yang mempunyai status kawin, sedangkan cerai mati dan hidup lebih banyak dimiliki oleh WKRT. Sajogyo et al. (1989) menyatakan bahwa pendidikan WKRT yang umumnya rendah menyebabkan mereka baru mampu meraih pekerjaan yang tidak membutuhkan keterampilan.
9 Hasil penelitian Rianingsih (2005) menunjukkan bahwa pendidikan perempuan yang menjadi kepala rumah tangga mayoritas tidak sekolah. Pendidikan perempuan rata-rata rendah karena berbagai sebab, yaitu alasan ekonomi orang tua, pandangan terhadap pendidikan yang masih minim, anggapan pendidikan bukan investasi namun pemborosan pada zaman ketika mereka masih kecil. Hasil penelitiannya juga menunjukkan bahwa mayoritas usia WKRT sekitar 41-50 tahun, berdasarkan status perkawinan mayoritas cerai mati, jumlah tanggungan mayoritas sebesar 1-3 orang, berdasarkan lamanya menjadi kepala rumah tangga mayoritas 1-10 tahun. Aplikasi gender di masyarakat turut mempengaruhi kondisi wanita kepala rumah tangga. WKRT seringkali kesulitan dalam memperoleh pekerjaan yang menghasilkan upah tinggi karena pendidikan mereka yang umumnya rendah. Pendidikan yang rendah menyebabkan mereka baru mampu meraih pekerjaan yang tidak membutuhkan keterampilan. Secara umum, hasil penelitian mengenai wanita kepala rumah tangga memperlihatkan kenyataan di lapangan bahwa pendidikan WKRT lebih rendah dibandingkan pria kepala rumah tangga. Pandangan orang tua dulu, pendidikan yang tinggi diperuntukan untuk anak lakilaki karena anak perempuan diasumsikan akan bekerja di sektor domestik. Penelitian Wigna (1990) menunjukkan bahwa pendidikan wanita kepala rumah tangga umumnya rendah dan status pekerjaan wanita kepala rumah tangga cenderung sektor tradisional dan informal. Gardiner (1991) dalam Gardiner dan Surbakti (1991) menyatakan, pengaruh pendidikan cukup berkaitan erat dengan perbedaan lapangan kerja antara wanita kepala rumah tangga dan pria kepala rumah tangga. Faktor umur, status perkawinan dan terutama pendidikan WKRT yang lebih rendah dari PKRT menyebabkan WKRT kurang terwakili sebagai tenaga pengelola. Menurut Sajogyo et al. (1989), tingkat pendidikan kepala rumah tangga wanita berkorelasi positif dengan tingkat kesejahteraan mereka: “Jenis pekerjaan yang terjangkau oleh kategori tingkat kesejahteraan rendah ialah kurang menuntut keterampilan dari hasil pendidikan yang tidak tinggi, yaitu buruh tani dan petani tak bertanah. Jenis pekerjaan yang terjangkau oleh kategori tingkat kesejahteraan menengah sudah mulai menuntut keahlian yang terkait dengan pendidikan, yaitu sektor pertanian dan non pertanian. Sedangkan jenis pekerjaan yang terjangkau oleh kategori tingkat kesejahteraan tinggi menuntut keahlian khusus yang diperoleh melalui pendidikan tinggi, yaitu sektor non pertanian”.
Tingkat pendidikan wanita kepala rumah tangga juga memiliki ikatan dengan tingkat status sosial ekonomi, makin tinggi pendidikan wanita makin tinggi pula status sosial ekonomi rumah tangganya. Wigna (1990) juga menyatakan bahwa pekerjaan tambahan lebih beragam untuk PKRT dibandingkan WKRT.
Faktor yang Menyebabkan Peningkatan Wanita Kepala Rumah Tangga (WKRT) Seringkali wanita yang menjadi kepala rumah tangga bukan secara sukarela tetapi situasi buruklah yang telah memaksa mereka memimpin rumah tangga. Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan wanita menjadi kepala rumah tangga, yaitu industrialisasi, perceraian, dan migrasi. Gejala peningkatan jumlah WKRT yang ada di Indonesia sebagian besar karena usia dan perbedaan mortalitas antara pria dan wanita sehingga gejala WKRT didominasi oleh mereka
10 yang tua dan berstatus cerai mati. Hubeis (2010) menyatakan bahwa wanita sebagai pencari nafkah utama di Indonesia sebesar 14%-17% dan akan terus bertambah karena migrasi musiman, keluarga berantakan, kematian atau permanen migran dari male breadwinner, inilah alasan bertambahnya WKRT. Sajogyo dalam Gardiner dan Surbakti (1991) menyatakan bahwa perubahan masyarakat dari masyarakat pertanian ke industri telah mendorong berkembangnya rumah tangga yang dikepalai oleh wanita di pedesaan dan perkotaan. Industrialisasi turut mengubah pandangan wanita di mana wanita menjadi lebih individu dan mementingkan pekerjaannya. Hal ini berdampak pada pandangan bahwa waktu adalah uang dan wanita yang bekerja memungkinkan akan memperpanjang masa lajangnya. Dengan demikian akan semakin banyak wanita yang mandiri dan mengundurkan usia pernikahannya. Banyaknya migrasi keluar kampungnya juga turut menyumbang peningkatan jumlah wanita kepala rumah tangga. Hal tersebut berlaku pada kondisi wanita yang telah kawin bermigrasi tanpa suaminya atau ditinggal bermigrasi oleh suaminya. Data di salah satu daerah penelitian yang berlokasi di Kabupaten Kubu Raya, Karawang menunjukkan bahwa banyak wanita yang mencari nafkah di Arab Saudi sebagai Tenaga Kerja Wanita (TKW) (Akhmadi et al. 2011). Banyak dari mereka yang pergi meninggalkan kampungnya. Mata pencaharian sebagai buruh migran tersebut menyebabkan mereka merantau ke luar dari kampung halamannya sehingga mereka menjadi kepala rumah tangga. Sajogyo (1989), menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat kesejahteraan rumah tangga maka semakin jauh meninggalkan sektor pertanian sebagai sumber mata pencaharian. Tidak heran jika banyak wanita yang merantau keluar kampung halamannya mencari pekerjaan yang lebih baik untuk penghidupan rumah tangganya. Perceraian juga turut menyumbang peningkatan wanita kepala rumah tangga, baik cerai hidup maupun cerai mati. Banyak hasil penelitian menunjukkan bahwa wanita menjadi kepala rumah tangga karena suami mereka secara finansial tidak bertanggung jawab (ditinggal suami karena menikah lagi dengan perempuan lain, suami tidak mau bekerja atau tidak mau menafkahi). Penelitian Akhmadi et al. (2011) mengidentifikasikan 265 kasus perceraian di 4 lokasi penelitian. Kasus yang terjadi disebabkan berbagai alasan, yaitu kekerasan dalam rumah tangga, kawin kontrak, pernikahan dini, dan perselingkuhan. Perceraian tidak hanya terjadi di daerah pedesaan tetapi juga terjadi di perkotaan. Proporsi wanita kepala rumah tangga yang berstatus cerai mati dan cerai hidup lebih tinggi di desa dibandingkan di kota. Status cerai mati umumnya lebih banyak dimiliki oleh wanita kepala rumah tangga karena pria kepala rumah tangga umumnya berstatus kawin, Gardiner (1991) dalam Gardiner dan Surbakti (1991); Wigna (1990); Rianigsih (2005) juga memperlihatkan bahwa usia wanita kepala rumah tangga lebih tua dari pria kepala rumah tangga.
Posisi Wanita Kepala Rumah Tangga (WKRT) terhadap Hukum di Indonesia Dalam sebuah rumah tangga terdapat peran-peran yang melekat bagi anggotanya. Peran-peran tersebut muncul karena ada pembagian peran tugas di dalam rumah tangga. Umumnya di Indonesia, suami berperan sebagai kepala
11 rumah tangga dalam mencari nafkah dan istri berperan sebagai ibu rumah tangga yang mengurus rumah. Pembagian peran ini tidak lain berdasarkan atas ajaran agama dan nilai-nilai budaya yang dianut oleh masyarakat Indonesia, di mana pria ditempatkan sebagai jenis kelamin yang memiliki kemampuan lebih tinggi dibandingkan jenis kelamin lainnnya, yakni wanita. Nilai-nilai tersebut menjadi dasar dari kebijakan pemerintah, seperti kebijakan yang mengatur pembagian peran antara suami dan istri yang tertuang dalam Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974. Seiring perkembangan zaman, nilai-nilai budaya di Indonesia mengalami pergeseran. Hal ini dapat dilihat dari fakta di lapangan di mana Data Susenas Indonesia tahun 2007 menunjukkan bahwa jumlah rumah tangga yang dikepalai wanita mencapai 13.60% atau sekitar 6 juta rumah tangga yang mencakup lebih dari 30 juta penduduk. Sementara berdasarkan penelitian PEKKA data tahun 2001 menunjukkan kurang dari 13%, adanya kecenderungan peningkatan rumah tangga yang dikepalai wanita rata-rata 0.1% per tahun (PEKKA 2012). Data terbaru tahun 2012 dari Lombok menyatakan bahwa 973 perempuan di Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat berperan menjadi kepala rumah tangga karena menggantikan peran kaum pria dalam mencari kebutuhan hidup keluarga (Republika 2012). Fakta tersebut menunjukkan bahwa peran wanita sebagai kepala rumah tangga mengalami peningkatan. Keberadaan rumah tangga yang dikepalai oleh wanita di Indonesia umumnya belum diakui di masyarakat terutama WKRT secara de facto. Beberapa penelitian di lapangan menunjukkan bahwa posisi wanita lemah jika dibandingkan oleh pria, sehingga rumah tangga yang dikepalai oleh wanita seringkali dikaitkan dengan kemiskinan. Munti (1999) menjelaskan bahwa: “Seringkali perempuan sebagai kepala rumah tangga harus melakukan upaya ekstra (lebih) agar hak-haknya terlindungi. Seperti dalam mengurus pajak, untuk mendapatkan PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak), ia harus terlebih dahulu membuktikan dirinya sebagai kepala keluarga melalui surat keterangan yang menerangkan hal tersebut” (Munti 1999:8).
Kondisi wanita kepala rumah tangga mengakibatkan tidak adanya pembagian kerja yang seimbang dengan anggota keluarga lainnya. Hal ini berpengaruh terhadap beban berlebih yang harus ditanggung oleh wanita, karena di satu sisi ia harus menghidupi rumah tangganya, sementara di satu sisi tetap dituntut sebagai istri yang melakukan kegiatan domestik. Menurut Munti (1999), tidak adanya pengakuan terhadap wanita kepala rumah tangga juga terlihat dari berbagai kebijakan-kebijakan negara lainnya, yaitu: 1. Kebijakan mengenai peran dalam UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Pengaturan mengenai peran dan fungsi suami dan istri tercantum dalam beberapa pasal, yaitu pada pasal 31 ayat 3 yang berbunyi: “Suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga”. Pasal ini secara jelas mendukung pembagian peran berdasarkan jenis kelamin dan mutlak menguatkan pola pikir masyarakat. Selain itu, semakin dipertegas dalam pasal 34 yang berbunyi: “suami wajib melindungi istri dan istri wajib mengatur rumah tangga sebaik-baiknya”. Pada satu sisi, menurut Munti (1999) pasal 31 dan 34 dalam UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 ini tidak sejalan dengan kebijakan lainnya, yaitu kebijakan
12 mengenai peran ganda yang tercantum didalam GBHN tahun 1993 yang menyebutkan: “Wanita, baik sebagai warga negara maupun sebagai sumber daya insani pembangunan, mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban, serta kesempatan yang sama dengan pria untuk berperan dalam pembangunan di segala bidang dan tingkatan. Peranan wanita sebagai mitra sejajar dengan pria diwujudkan melalui peningkatan kemandirian peran aktifnya dalam pembangunan, termasuk upaya mewujudkan keluarga beriman dan bertakwa, sehat, sejahtera, dan bahagia serta untuk pengembangan anak, remaja, dan pemuda dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya” (Munti 1999:14).
2. Kebijakan UU Nomor 25 Tahun 1997 mengenai ketenagakerjaan Menurut Munti (1999), peraturan perundang-undangan mengenai ketenagakerjaan umumnya melarang diadakannya perbedaan imbalan antara pekerja pria dengan pekerja wanita, namun kenyataan di lapangan berbeda. Buruh wanita sering dianggap sebagai lajang, sehingga tidak mendapatkan tunjangan keluarga seperti yang didapatkan oleh buruh pria. Dalam penelitian Sajogyo et al. (1989) juga menyatakan bahwa hanya 15 responden dari 60 responden yang telah kawin dan dicatat kawin ditempat kerjanya sehingga berpengaruh terhadap penghasilan mereka. Hal tersebut karena ada asumsi atau pandangan bahwa pria sebagai pencari nafkah utama dan wanita hanya sebagai pencari nafkah tambahan. Selain itu, pada UU Nomor 25 Tahun 1997 tentang ketenagakerjaan pasal 98 melarang wanita untuk bekerja pada malam hari dengan alasan harus melayani keluarga. Pandangan ini sangat dipengaruhi oleh pengaturan pembagian peran suami dan istri yang terpola dalam masyarakat dan UU Perkawinan. Adanya peraturan tersebut jelas membatasi hak dan ekonomi perempuan dalam bekerja. Kebijakan-kebijakan tersebut menunjukkan bahwa posisi wanita terutama wanita sebagai kepala rumah tangga sangat lemah jika dibandingkan dengan pria sebagai kepala rumah tangga. Lemahnya posisi tersebut merupakan akibat dari adanya nilai-nilai tertentu yang dikembangkan oleh masyarakat maupun oleh negara. Selain itu, hubungan antar jenis kelamin yang yang tidak seimbang juga diperkuat oleh negara dengan UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974. Nilai-nilai dan kebijakan tersebut pada akhirnya mempengaruhi wanita kepala rumah tangga dalam ekonomi, politik, dan sosial.
Peluang Bekerja dan Berusaha Wanita Kepala Rumah Tangga (WKRT) Bekerja diartikan sebagai aktivitas melakukan pekerjaan dengan maksud memperoleh atatu membantu memperoleh pendapatan atau keuntungan dan lamanya bekerja paling sedikit 1 jam secara terus menerus dalam seminggu yang lalu (BPS 2012). Sajogyo et al. (1989) menyatakan bahwa setiap perubahan yang menggeser wanita dari pekerjaan yang ada tanpa menggantinya dengan kesempatan kerja yang lebih baik dan juga sistem administrasi yang membatasi wanita untuk menjangkau berbagai kemudahan berarti akan merugikan rumah tangga miskin. Peluang berusaha dari lapisan rumah tangga yang mampu atau tidak mampu dalam pola nafkah yang berganda, yaitu usaha tani sendiri, berburuh tani, berdagang, usaha kerajinan tangan dan mencari pangan serta keperluan dari alam bebas.
13 Kegiatan di nonpertanian semakin bertambah jumlahnya. Namun, peluang kerja di sektor pertanian belum dibarengi dengan kenaikan peluang kerja di sektor nonpertanian sehingga berkembangnya sektor informal sangat penting untuk menguatkan perekonomian negara, apalagi partisipasi wanita dalam sektor ini tidak bisa diabaikan. Hal ini diungkapkan oleh Sajogyo et al. (1989), bahwa kegiatan di bidang industri dan perdagangan merupakan kegiatan yang ideal bagi wanita di pedesaan yang memiliki peran ganda, yaitu sebagai ibu rumah tangga dan pencari nafkah. Widayati (1991) juga menyatakan bahwa maksimisasi pendapatan dipraktekkan oleh banyak WKRT melalui berbagai cara, seperti mengkaryakan tenaga kerja keluarga secara maksimal dan pekerjaan ganda, sistem bagi hasil dan penyerahan hak garap kepada anak dengan imbalan terserah anak, memberi tumpangan tempat tinggal dan makan pada menantu dan anak tirinya dengan imbalan tenaga. Usaha-usaha yang dilakukan oleh WKRT memberikan sumbangan terhadap peluang kerja dan usaha di sektor lainnya yang terkait, seperti industri pembuatan kue yang menyumbang peningkatan akan permintaan komoditas pertanian, industri kerajinan yang memberikan peluang usaha kerajinan. Sajogyo et. al (1989) menyatakan bahwa peluang bekerja bagi wanita di pedesaan di sektor dagang, industri, dan jasa dapat meningkatkan pendapatan rumah tangganya, meningkatkan potensi wanita untuk mengambil keputusan di berbagai aspek kehidupan. Data sensus penduduk menunjukkan bahwa persentase kepala rumah tangga wanita yang bekerja di pedesaan dari tahun 2009 hingga 2011 meningkat sebesar 1.29% dibandingkan kepala rumah tangga pria di pedesaan yang meningkat sebesar 0.53% dalam kurun waktu 2009 hingga 2011. Namun, jika dilihat persentasenya wanita kepala rumah tangga yang bekerja di pedesaaan masih terbilang sedikit, yaitu sebesar 67.32% tahun 2011 dibandingkan pria kepala rumah tangga yang bekerja di pedesaaan, yaitu sebesar 95.33% tahun 2011. Sementara itu jika dilihat pada provinsi Jawa Barat, persentase kepala rumah tangga wanita yang bekerja di pedesaan dari tahun 2009 hingga 2011 meningkat sebesar 4.44% dibandingkan kepala rumah tangga pria di pedesaan yang meningkat sebesar 1.40% dalam kurun waktu 2009 hingga 2011. Namun, jika dilihat persentasenya pada provinsi Jawa Barat wanita kepala rumah tangga yang bekerja di pedesaaan masih terbilang sedikit, yaitu sebesar 57.84% tahun 2011 dibandingkan pria kepala rumah tangga yang bekerja di pedesaaan, yaitu sebesar 95.05% tahun 2011 (BPS 2011). Peluang pekerjaan bagi WKRT sangat terbatas dan didukung dengan minimnya keterampilan sehingga pekerjaan yang banyak tersedia ialah pekerjaan sebagai pembantu rumah tangga dan sebagian besar responden berpenghasilan rendah (Habib 2010). Sementara itu, kehidupan WKRT di pedesaaan cenderung karena tuntutan yang berasal dari dalam diri. Widayati (1991), mengatakan bahwa “..wanita sebagai kepala keluarga di pedesaan sudah terkondisi untuk memikul beban ekonomi rumah tangga (membantu mencari nafkah).” Namun, masih ada kesulitan WKRT dalam memperoleh pekerjaan karena lapangan pekerjaan yang kurang beragam dan lebih didominasi oleh pria. Kesulitan dalam bekerja, jenis pekerjaan yang mayoritas informal pada akhirnya mengakibatkan tingkat pendapatan yang diperolehnya tergolong rendah. Hubeis (2010) menyatakan bahwa “sebagian besar angkatan kerja wanita bekerja di sektor informal, dengan alasan fleksibilitas durasi kerja, tidak
14 mensyaratkan pendidikan tinggi, dan dapat diakhiri kapan saja dikehendaki”. Pekerjaan wanita yang berada di sektor informal terkait dengan usaha di bidang pangan dan nonpangan serta jasa. Banyaknya wanita yang bekerja di lingkup rumah tangga atau di lahan pertanian milik keluarga diakibatkan stereotipe peran wanita yang menganggap bahwa pekerjaan tersebut sebagai perpanjangan pekerjaan domestik yang mereka lakukan. Hubeis (2010) juga menyatakan bahwa kesenjangan lapangan pekerjaan berbasis gender antara pria dan wanita semakin melebar dari tahun ke tahun pada sektor sekunder dan tersier (nonpertanian). Wanita yang berusaha seringkali mengalami kesulitan dalam hal permodalan terutama dalam mengaksesnya. Akses permodalan yang diberikan pemerintah sudah cukup banyak, namun tidak semua program ditujukan khusus kepada wanita sehingga sedikit wanita pengusaha (terutama yang kecil) yang terjaring oleh program tersebut. Jika ada sebagian besar diorientasikan pada pekerjaan-pekerjaan domestik yang biasa dilakukan wanita. Hubeis (2010) berdasarkan studi tentang penyempurnaan kredit dari Menneg dan studi program di Aceh-Nias menyatakan beberapa hal, sebagai berikut: 1. Sebagian besar wanita pengusaha informal dengan skala usaha sangat kecil dan tidak memiliki aspek legalitas yang disyaratkan dalam pengajuan kredit ke bank; 2. Banyak kepemilikan wanita pengusaha terdaftar atas nama pria (suami), walaupun pengelolaan usaha dilakukan oleh wanita; 3. Secara legalitas dan regulasi perbankan tidak ditemukan adanya diskriminasi gender pada prosedur dan persyaratan calon debitur perbankan; 4. Minimal besaran kredit menjadi hambatan utama bagi wanita karena kebanyakan dari mereka berusaha dalam skala yang kecil sehingga sulit memenuhi persyaratan perbankan; 5. Kebanyakan pinjaman yang langsung ke masyarakat dibuat untuk pedagang dan pemuka masyarakat yang menjadi anggota dan yang mengatur pinjaman yang diterima oleh masyarakat yang bersangkutan. Dalam kehidupan sosialnya WKRT kurang mendapatkan perhatian karena masih adanya pandangan bahwa pria yang berperan dalam pencari nafkah utama. Hal ini menyebabkan masalah-masalah yang dihadapi oleh rumah tangga yang dikepalai wanita kurang mendapat perhatian dalam pembangunan. Hal tersebut juga berdampak pada keterbatasan perempuan mendapatkan akses dan kontrol terhadap sumber daya. Rianingsih (2005) menyatakan, “Kehidupan perempuan kepala keluarga merupakan persoalan kelas dimana perempuan berada pada strata yang paling rendah dibawah garis kemiskinan, selain itu juga persoalan gender yang menimbulkan ketidakadilan terhadap perempuan sehingga perempuan berada pada posisi marginalisasi, stereotipe, kekerasan, subordinat, dan beban ganda”.
Asumsi tersebut seringkali berlaku juga di perusahaan di mana WKRT bekerja. Penelitian Ihromi (1990) memperlihatkan bahwa wanita kurang diperhatikan dan kurang mendapatkan haknya. Hasil penelitian di dua provinsi memperlihatkan bahwa terdapat pembedaan gaji antara pria dan wanita, suami atau pria dianggap sebagai pencari nafkah, tenaga kerja wanita yang sudah kawin dianggap sebagai lajang, surat perjanjian pada umumnya sudah ditetapkan oleh
15 perusahaan lebih dahulu dan tidak disusun berdasarkan hasil perundingan dengan penerima kerja. Hal-hal ini berdampak pada wanita kepala rumah tangga yang tidak dapat memperoleh tunjangan keluarga, karyawan wanita mendapat perlakuan yang kurang adil dalam hal tunjangan dan fasilitas kesehatan, bantuan dana ketika seorang tenaga kerja meninggal juga tidak dapat diterima oleh duda dari tenaga kerja wanita karena jelas dalam peraturan dimuat bahwa jandalah yang berhak menerima dana. Pada beberapa perusahaan, tenaga kerja wanita yang sudah kawin dianggap sebagai lajang, jika wanita tersebut menjadi janda dan ingin mendapat tunjangan untuk anak-anaknya maka harus membuktikan lewat hukum. Hal tersebut berbeda dengan pria yang memiliki tanggungan anak-anak, mereka tidak perlu membuktikannya lewat hukum. Selain itu, masih terdapat asumsi bahwa yang berperan di sektor publik adalah pria. Hal ini diperlihatkan pada penelitian LP3ES (1998) di mana wanita kepala rumah tangga yang akan berhubungan dengan birokrasi lembaga keuangan memanfaatkan anak laki-laki terutama yang pendidikannya tertinggi di rumah tangga.
Kerangka Pemikiran Jumlah WKRT terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Gardiner (1991) dalam Gardiner dan Surbakti (1991), menyatakan bahwa jumlah WKRT mengalami peningkatan sebesar 1% dan 1.2% per tahun untuk periode 1971-1980 dan 1980-1985. Sementara pada tahun 2001 menunjukkan kurang dari 13%, adanya kecenderungan peningkatan rumah tangga yang dikepalai wanita rata-rata 0.1% per tahun (PEKKA 2012). BPS (2011) juga menyatakan jumlah WKRT di Indonesia sebesar 13.91% pada tahun 2010 dan 14.29% pada tahun 2011. Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan wanita menjadi kepala rumah tangga, yaitu industrialisasi, perceraian, dan migrasi. Kuatnya nilai sosial budaya patriarkhi di Indonesia lalu didukung dengan adanya Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 yang menyebabkan semakin kuatnya ideologi gender di masyarakat. Ideologi gender tertanam sejak masa kanak-kanak sehingga seringkali menjadi pedoman dalam bersikap dan berperilaku dalam kehidupan sehari-hari. Adanya ideologi gender yang dipengaruhi oleh konstruksi sosial budaya mengakibatkan ketidakadilan gender, seperti subordinasi, marginalisasi, beban kerja banyak, kekerasan, dan stereotipe. Hal tersebut menyebabkan kepala rumah tangga wanita sering didiskriminasi haknya dalam berbagai bidang seperti sosial politik, ekonomi, kesehatan, maupun pendidikan. Sementara itu, WKRT harus memenuhi kebutuhan kehidupannya dengan bekerja dan berusaha. Posisi yang kurang menguntungkan ini tentunya akan berdampak pada peluang bekerja dan berusaha WKRT di mana hal ini berhubungan dengan tingkat upah yang diperolehnya. Namun, wanita dalam hal ini WKRT kurang diberikan kesempatan kerja. BPS (2011) melalui Susenas tahun 2009-2011, angka partisipasi kerja wanita yang menjadi kepala rumah tangga lebih rendah (61.72%) dibandingkan angka partisipasi kerja pria yang menjadi kepala rumah tangga (92.80%). Ideologi yang tidak sadar gender akan berdampak pada peluang bekerja dan berusaha WKRT yang sulit, yaitu sulit dalam bekerja, sulit mencari pinjaman, dan jenis pekerjaan yang termasuk nonformal. Peluang bekerja dan berusaha akan
16 berpengaruh terhadap tingkat upah yang diperoleh oleh WKRT. Berdasarkan uraian sebelumnya maka akan dijelaskan keterkaitan antara beberapa variabel sehingga dapat menggambarkan kajian peluang bekerja dan berusaha Wanita Kepala Rumah Tangga (WKRT) yang digambarkan sebagai berikut: Faktor penyebab : 1. Industrialisasi 2. Perceraian (cerai hidup dan cerai mati) 3. Migrasi
Peluang bekerja dan berusaha wanita kepala rumah tangga
Ideologi gender
1. 2. 3. 4.
Usaha mencari pekerjaan Faktor pendukung berusaha Kesulitan pinjaman Jenis pekerjaan
Tingkat upah
Karakteristik wanita kepala rumah tangga 1. Usia 2. Lamanya menjadi WKRT 3. Tanggungan anak
Keterangan
: : mempengaruhi : mempengaruhi (tidak diuji statistik) : mempengaruhi (tidak diuji statistik) Gambar 1 Kerangka analisis
Hipotesis Penelitian Berdasarkan hasil kerangka pemikiran di atas, dapat disusun hipotesis uji sebagai berikut: 1. Diduga terdapat hubungan antara ideologi gender dengan peluang bekerja dan berusaha wanita kepala rumah tangga; 2. Diduga terdapat hubungan antara karakteristik dengan peluang bekerja dan berusaha wanita kepala rumah tangga;
17 3. Diduga terdapat hubungan antara peluang bekerja dan berusaha wanita kepala rumah tangga dengan tingkat upah.
Definisi Operasional Penelitian ini menggunakan beberapa istilah operasional yang digunakan untuk mengukur variabel. Masing-masing variabel terlebih dahulu diberi batasan sehingga dapat ditentukan indikator pengukurannya. Istilah-istilah tersebut, yaitu: 1. Rumah tangga adalah seseorang atau sekelompok orang yang yang biasanya tinggal bersama dalam satu bangunan serta pengelolaan makan dari satu dapur, maksudnya jika pengurusan kebutuhan sehari-harinya dikelola bersama-sama jadi satu. 2. Wanita Kepala Rumah Tangga (WKRT) secara de jure, yaitu wanita yang memang hidup berumah tangga sendiri dalam arti tidak menikah, atau bercerai, baik cerai hidup maupun cerai mati. Sementara itu secara de facto, wanita yang menjadi kepala rumah tangga ialah karena wanita itu merantau tanpa suami atau wanita itu ditinggal merantau oleh suaminya dan berumah tangga sendiri, dan wanita yang suaminya tidak mampu secara fisik atau mental sebagai pengelola rumah tangga. 3. Ideologi gender adalah suatu pemikiran yang dianut masyarakat mengenai perbedaan antara pria dan wanita dalam hal akses dan kontrol. Lalu ideologi gender akan dikelompokkan menjadi ideologi tidak sadar gender apabila terdapat pemikiran bahwa terdapat perbedaan antara pria dan wanita dalam hal akses dan kontrol, sedangkan ideologi sadar gender apabila terdapat pemikiran bahwa tidak terdapat perbedaan antara pria dan wanita dalam hal akses dan kontrol. Cara mengukurnya: a. Akses adalah kesempatan untuk menggunakan sumber daya ataupun hasilnya tanpa memiliki wewenang untuk mengambil keputusan. Akses diukur dengan pernyataan “tidak setuju” (skor 2), dan “setuju” (skor 1) b. Kontrol adalah kewenangan dalam mengambil keputusan. Kontrol diukur dengan pertanyaan “tidak setuju” (skor 2), dan “setuju” (skor 1) Jadi, ideologi gender diukur dengan menjumlah seluruh alat ukur akses dan kontrol, skor terendah 1 x 10 = 10; dan skor tertinggi 2 x 10 = 20 Maka ideologi tidak sadar gender bila skor: 10-15 Maka ideologi sadar gender bila skor: 16-20 4. Peluang bekerja dan berusaha adalah kesempatan bagi seseorang untuk memperoleh pekerjaan dan melakukan usaha dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup pokoknya untuk membina kesejahteraan rumah tangganya agar lebih baik dari keadaan sebelumnya. Peluang bekerja dan berusaha diukur dengan menggunakan alat ukur, yaitu usaha mencari pekerjaan, faktor pendukung berusaha, kesulitan pinjaman, dan jenis pekerjaan. Cara mengukurnya: a. Usaha mencari pekerjaan diukur dengan pertanyaan “tidak” (skor 2), dan “ya” (skor 1) Jadi, kesulitan usaha dalam mencari pekerjaan diukur dengan menjumlah seluruh alat ukur, skor terendah 1 x 6 = 6; dan skor tertinggi 2 x 6 = 12
18 Maka kesulitan usaha mencari pekerjaan sulit (skor 1) bila skor: 6-9 Maka kesulitan usaha mencari pekerjaan mudah (skor 2) bila skor: 10-12 b. Faktor pendukung berusaha diukur dengan pertanyaan “tidak” (skor 2), dan “ya” (skor 1) Jadi, faktor pendukung berusaha diukur dengan menjumlah seluruh alat ukur proses pekerjaan, skor terendah 1 x 5 = 5; dan skor tertinggi 2 x 5 = 10 Maka faktor pendukung berusaha rendah (skor 1) bila skor: 5-7 Maka faktor pendukung berusaha tinggi (skor 2) bila skor: 8-10 c. Kesulitan pinjaman adalah kondisi di masyarakat dalam mencari pinjaman berupa uang, diukur dengan pertanyaan “tidak” (skor 2), dan “ya” (skor 1). d. Jenis pekerjaan dibagi menjadi pekerjaan nonformal dan formal. Jenis pekerjaan nonformal, yaitu pekerjaan yang tidak memiliki aturan tertulis dan pekerjaan formal, yaitu pekerjaan yang memiliki aturan tertulis. Cara mengukurnya, jenis pekerjaan “nonformal” (skor 1) dan “formal” (skor 2). Jadi, total keseluruhan peluang bekerja dan berusaha diukur dengan menjumlah seluruh alat ukur, skor terendah 1x4= 4; dan skor tertinggi 2x4=8 Maka peluang bekerja dan berusaha sulit (skor 1) bila skor: 4-6 Maka peluang bekerja dan berusaha mudah (skor 2) bila skor: 7-8 5. Tingkat upah adalah besarnya penghasilan yang diperoleh dari kegiatan bekerja dan berusaha yang dinilai dengan uang yang diperoleh selama satu bulan (dalam satuan rupiah). Tingkat upah dilihat berdasarkan upah rata-rata WKRT yang diperoleh dari hasil penelitian di lapangan (data emik), yaitu: Upah tinggi (skor 2) : > Rp76 0683 Upah rendah (skor 1) : ≤ Rp76 0683 6. Karakteristik WKRT adalah sesuatu hal yang melekat pada diri WKRT dan menggambarkan diri WKRT. Karakteristik dilihat dari usia, lamanya menjadi WKRT, dan tanggungan anak. Penentuan skor 1 digunakan untuk kategori yang tidak diinginkan oleh peneliti sedangkan skor 2 digunakan untuk kategori yang diinginkan oleh peneliti. a. Usia adalah jumlah tahun sejak responden lahir hingga penelitian ini berlangsung. Usia dikategorikan berdasarkan data emik, yaitu: Usia muda (skor 2) : ≤47 tahun Usia tua (skor 1) : >47 tahun b. Lamanya menjadi WKRT adalah jumlah tahun sejak menjadi WKRT hingga penelitian ini berlangsung. Lamanya menjadi WKRT dikategorikan berdasarkan data emik, yaitu: Baru (skor 1) : ≤14 tahun Lama (skor 2) : >14 tahun c. Tanggungan anak adalah jumlah anak yang dimiliki oleh WKRT. Tanggungan anak dikategorikan berdasarkan data emik, yaitu: Sedikit (skor 2) : ≤3 anak Banyak (skor 1) : >3 anak
19
METODOLOGI PENELITIAN Bab ini menjelaskan lokasi dan waktu penelitian, teknik sampling, teknik pengumpulan data, dan teknik pengolahan serta analisis data. Subbab lokasi dan waktu penelitian menjelaskan tempat penelitian dan waktu penelitian ini dilakukan. Subbab teknik sampling menjelaskan unit analisis dan populasi sasaran penelitian. Subbab teknik pengambilan data menjelaskan data yang digunakan dalam penelitian ini dan cara pengambilan sampel. Selanjutnya subbab teknik pengolahan dan analisis data memaparkan teknik yang digunakan dalam pengolahan data yang telah diperoleh untuk selanjutnya dianalisis sesuai dengan kebutuhan penelitian. Penelitian ini merupakan penelitian sensus, yaitu informasi yang dikumpulkan berasal dari seluruh populasi dengan menanyakan langsung ke 15 RW dan 48 RT. Penelitian ini dimaksudkan untuk menjelaskan (explanatory research) peluang bekerja dan berusaha wanita kepala rumah tangga dengan menggunakan metoda kuantitatif dan didukung dengan kualitatif untuk memperkaya analisis. Penelitian ini bersifat eksplanatori karena akan menjelaskan hubungan antara variabel-variabel melalui pengujian hipotesa (Singarimbun & Effendi 2008). Penelitian kuantitatif adalah penelitian yang menggambarkan atau menjelaskan suatu masalah yang hasilnya dapat digeneralisasikan. Penelitian kuantitatif ini menggunakan kuesioner (pertanyaan) terstruktur sebagai alat pengumpulan data yang pokok, lalu jawaban dicatat, diolah dan dianalisis dan didukung kualitatif yang dilakukan dengan melakukan wawancara mendalam dibantu dengan panduan kuesioner dan observasi lapang untuk mempertajam analisis.
Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Kabupaten Bogor. Lokasi penelitian dilakukan di Desa Cihideung Udik, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat (lampiran 1). Penentuan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive) berdasarkan pertimbangan terdapat Wanita Kepala Rumah Tangga (WKRT). Selain itu, kemudahan akses penelitian keterbatasan biaya, tenaga, dan waktu juga memudahkan peneliti dalam memperoleh data dan informasi. Penelitian dilaksanakan mulai bulan Mei 2012 hingga Januari 2013 (lampiran 2). Kegiatan penelitian meliputi penyusunan proposal skripsi, kolokium, perbaikan proposal, pengambilan data lapangan, pengolahan dan analisis data, penulisan draft skripsi, sidang skripsi, dan perbaikan laporan skripsi.
Teknik Sampling Unit analisis dalam penelitian ini adalah individu. Populasi sasarannya adalah Wanita Kepala Rumah Tangga (WKRT) sebagai pencari nafkah utama, dan memiliki anak usia sekolah hingga usia setara SMA/sederajat. Kerangka sampling dari penelitian ini berasal dari populasi sasaran. Populasi sasaran tersebut hanya ada 41 WKRT maka seluruhnya diambil untuk dijadikan
20 responden. Besarnya sampel suatu penelitian bergantung pada keseragaman populasi, presisi yang dikehendaki, rencana analisa, tenaga, biaya dan waktu (Singarimbun dan Effendi 2008). Namun, berhubung sampel yang memenuhi kriteria hanya sedikit maka diambil seluruhnya, yaitu 41 responden.
Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data digunakan untuk memperoleh data primer dan data sekunder. Pengumpulan data primer diperoleh melalui kuesioner, wawancara mendalam kepada responden dan informan, dan melakukan observasi lapang. Data sekunder diperoleh dari data profil desa dan kajian pustaka. Berikut penjelasan pengumpulan datanya: 1. Kuesioner; teknik mengumpulkan informasi tentang peluang bekerja dan berusaha wanita sebagai kepala rumah tangga dan pengaruhnya terhadap tingkat upah dengan mendata responden secara keseluruhan dan menanyakan responden melalui kuesioner terstruktur; 2. Wawancara mendalam; teknik wawancara mendalam dilakukan untuk mendapatkan data primer dan deskriptif yang dilakukan terhadap responden dan informan. Pemilihan informan dilakukan secara sengaja (purposive) pemerintah desa, dan tokoh masyarakat, maka peneliti membuat panduan pertanyaan yang digunakan sebagai pedoman dalam pengumpulan data. Dalam membantu proses wawancara mendalam terkadang digunakan alat perekam suara (recorder) yang akan digunakan untuk memudahkan merekam hasil wawancara; 3. Observasi lapang; hal ini dilakukan agar peneliti dapat melihat dan mengamati kejadian dan proses sosial yang terjadi di sekitar objek penelitian. Observasi lapang ini dilakukan untuk menjaga kealamian kejadian atau pendapat responden sehingga informasi yang didapat sesuai dengan apa yang dilakukan responden; 4. Penelusuran dokumen atau literatur; data sekunder diperoleh dari melakukan kajian pustaka dan menganalisis terhadap berbagai literatur, yaitu skripsi, tesis, disertasi, buku, jurnal dan internet yang terkait dengan wanita kepala rumah tangga baik itu dokumen pribadi ataupun dokumen resmi. Pertama kali dikumpulkan informasi mengenai profil Desa Cihideung Udik dari Kantor Desa Cihideung Udik. Profil desa ini untuk melihat data desa secara keseluruhan baik berdasarkan batas-batas wilayah maupun kependudukannya. Kedua, dilakukan pendataan secara manual kepada ketua Rt dan Rw karena data mengenai rumah tangga yang dikepalai oleh wanita kurang lengkap di Kantor Desa Cihideung Udik. Setelah itu data-data akan dimasukkan ke Excel untuk dibuat kerangka sampling. Namun, karena data di lapangan ternyata hanya sedikit maka diambil seluruhnya, yaitu sejumlah 41 responden dan akan dilakukan wawancara dengan menggunakan kuesioner. Selain mengumpulkan data dari responden, maka untuk menunjang ketajaman analisis perlu dilakukan juga wawancara mendalam kepada responden dan informan. Pemilihan informan dilakukan dengan menggunakan metode pengambilan sistem bola salju
21 (snowbalI) dan purposive. Selain itu, akan dicari data sekunder yang akan diperoleh dari penelusuran literatur atau dokumen.
Teknik Pengolahan dan Analisis Data Pengolahan data dilakukan setelah data telah diberi kode. Pertama, data yang telah dikode perlu dipindahkan ke dalam berkas data, yaitu komputer dengan aplikasi program Statistic Program for Social Sciences (SPSS versi 17.0). Kedua, dibuat tabel frekuensi dan tabulasi silang yang digunakan untuk menelaah hubungan antar variabel. Sementara itu, data yang diperoleh dari hasil wawancara mendalam disajikan secara deskriptif dengan mengutip hasil pembicaraan yang telah dilakukan. Ketiga, melakukan pengeditan untuk mengoreksi kesalahankesalahan yang ditemukan (Singaribun dan Effendi 2008). Data yang diperoleh dari beberapa instrumen akan dianalisis dengan beberapa teknik, antara lain: 1. Tabulasi silang, untuk menerangkan hubungan antar variabel dengan metode analisa sederhana berupa tabel tiruan; 2. Tabel frekuensi untuk menggambarkan variabel-variabel yang ada; 3. Microsoft Excel untuk mengolah data sementara sebelum diolah dengan aplikasi SPSS; 4. Statistic Program for Social Sciences (SPSS version 17.0) untuk mengolah data hasil kuesioner.
22
23
GAMBARAN UMUM LOKASI Bab ini menjelaskan keadaan lokasi penelitian yang terdiri dari kondisi geografis, demografi, pendidikan dan mata pencaharian, agama, lingkungan dan kesehatan, potensi wisata, pembangunan ekonomi dan infrastruktur.
Kondisi Geografis Kabupaten Bogor adalah sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Barat, Indonesia. Kabupaten ini terdiri dari 40 kecamatan yang terbagi lagi atas sejumlah kelurahan/desa, salah satunya Kecamatan Ciampea. Kecamatan Ciampea berlokasi di Kabupaten Bogor wilayah Barat. Kecamatan ini dikenal dengan kondisi alamnya yang relatif sejuk sehingga cocok sebagai areal pertanian dan perkebunan. Waktu yang dapat ditempuh dari Kecamatan Ciampea ke Kota Bogor ialah sekitar 45 menit. Wilayah administrasi Kecamatan Ciampea terdiri dari 13 kelurahan/desa, salah satunya Desa Cihideung Udik. Desa Cihideung Udik berbatasan dengan: sebelah utara : Desa Cihideung Ilir, Kecamatan Ciampea sebelah selatan : Desa Situdaun, Kecamatan Tenjolaya sebelah timur : Desa Sinar Sari, Kecamatan Dramaga sebelah barat : Desa Bojong Jengkol, Kecamatan Ciampea Jarak Desa Cihideung Udik dengan ibukota kecamatan adalah 7 Km, sementara jarak ke ibukota kabupaten adalah 30 Km dan jarak ke ibukota provinsi adalah 122 Km. Desa Cihideung Udik memiliki permukaan yang datar dengan ketinggian 600 m di atas permukaan laut, dengan curah hujan 300-600 mm, dan suhu rata-rata harian 30-350C. Luas wilayah Desa Cihideung Udik ialah sebesar 284 Ha dengan perincian pola penggunaan tanahnya seperti pada Tabel 2. Tabel 2 Pola penggunaan tanah di Desa Cihideung Udik tahun 2009 No 1 2 3 4 5 6 7
Pola penggunaan Pemukiman Persawahan Perkebunan Kuburan Pekarangan Perkantoran Luas prasarana umum lainnya Total Sumber: Desa Cihideung Udik (2009)
Luas wilayah (Ha/m2) 57.0 183.0 24.2 2.5 2.0 0.5 14.8 284.0
Persentase 20.07 64.44 8.52 0.89 0.70 0.18 5.21 100.00
Demografi Data terakhir tahun 2012 bulan Mei, jumlah penduduk Desa Cihideung Udik adalah 13.887 jiwa yang terdiri dari 7.209 laki-laki dan 6.678 perempuan. Data penduduk berdasarkan pengelompokkan usia memperlihatkan bahwa jumlah
24 penduduk paling banyak adalah penduduk berusia 0-4 tahun (1.433 jiwa atau 10.3%) dan paling sedikit adalah penduduk berusia 60-64 tahun (553 jiwa atau 3.9%). Distribusi sebaran penduduk Desa Cihideung Udik dapat dilihat perinciannya pada Tabel 3. Tabel 3 Jumlah dan persentase komposisi penduduk berdasarkan kelompok usia di Desa Cihideung Udik tahun 2012 No Kelompok usia 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Jumlah (jiwa) Laki-laki Persentase Perempuan Persentase 784 10.9 649 9.7 633 8.8 572 8.6 738 10.2 602 9.0 670 9.3 595 8.9 610 8.5 577 8.6 465 6.5 430 6.4 485 6.7 470 7.0 434 6.0 469 7.0 426 5.9 410 6.1 377 5.2 416 6.2 423 5.9 418 6.3 300 4.2 253 3.8 353 4.9 321 4.8 511 7.1 496 7.4
0-4 5-9 10-14 15-19 20-24 25-29 30-34 35-39 40-49 50-54 55-59 60-64 65-69 70-ke atas Jumlah 7209 100.0 Sumber: Desa Cihideung Udik (2012)
6678
100.0
Jumlah (jiwa) 1433 1205 1340 1265 1187 895 955 903 836 793 841 553 674 1007 13887
Desa Cihideung Udik terbagi dalam dua dusun, 15 rukun warga dan 48 rukun tetangga. Jumlah KK (Kepala Keluarga) desa ini bertambah pesat yang saat ini sejumlah 3.428 KK, sehingga tidak dipungkiri desa ini mengalami perkembangan pemekaran wilayah yang berbeda dari tahun ke tahun dengan bertambahnya jumlah penduduk. Perkembangan tersebut dapat dilihat perinciannya pada Tabel 4. Tabel 4 Jumlah rukun tetangga dan rukun warga di Desa Cihideung Udik tahun 2000, 2002, 2010, dan 2012 No
Lembaga
2000 2002 1 Rukun Tetangga (RT) 36 30 2 Rukun Warga (RW) 9 5 Sumber: Badan Pusat Statistik (2000; 2002; 2010)
Tahun 2010 45 14
2012 48 15
Lokasi Desa Cihideung Udik terbilang cukup luas dengan letak RW yang saling berdekatan. Setiap RW berbeda kampung dan memiliki jumlah RT yang berbeda-beda. Lokasi tiap RW di Desa Cihideung Udik adalah sebagai berikut : RW 1 : Kampung Cinangneng I RW 9 : Kampung Cihideung Udik RW 2 : Kampung Cinangneng I RW 10 : Kampung Cihideung Udik
25 RW 3 RW 4 RW 5 RW 6 RW 7 RW 8
: Kampung Cibanteng Sawah : Kampung Cinangneng II : Kampung Pabuaran : Kampung Sinagar : Kampung Sinagar : Kampung Pasar Rebo
RW 11 : Kampung Cihideung Udik RW 12 : Kampung Cihideung Udik RW 13 : Kampung Cihideung Udik RW 14 : Darmaga Regensi II RW 15 : Taman Dramaga Permai
Pendidikan dan Mata Pencaharian Berdasarkan data yang diperoleh dari BPS (Badan Pusat Statistik) dan kantor desa terlihat perbandingan tingkat pendidikan pada tahun 2002 dan 2012. Tingkat pendidikan di Desa Cihideung Udik terus mengalami peningkatan yang berarti, terlihat pada penduduk mulai dari lulusan SLTA/sederajat, akademi, hingga universitas yang terbilang cukup signifikan. Pada tahun 2002, lulusan SLTA/sederajat sebesar 575 orang, akademi sebesar 3 orang, dan universitas sebesar 5 orang. Lalu pada tahun 2012 mengalami peningkatan, lulusan SLTA/sederajat sebesar 1.269 orang, akademi sebesar 239 orang, dan universitas sebesar 277 orang. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat peningkatan kesadaran penduduk akan pentingnya pendidikan tinggi. Peningkatan jumlah penduduk berdasarkan tingkat pendidikan dapat dilihat lebih terperinci pada Tabel 5. Tabel 5 Jumlah penduduk berdasarkan tingkat pendidikan di Desa Cihideung Udik tahun 2012 No
Tingkat pendidikan
Jumlah 2002 2012 1 Tamat SD/sederajat 7243 1204 2 Tamat SLTP/Sederajat 1340 1363 3 Tamat SLTA/Sederajat 575 1269 4 Tamat DI/DII/DIII (akademi) 3 239 5 Tamat S1/S2/S3 (universitas) 5 277 Sumber: Badan Pusat Statistik (2002) dan Desa Cihideung Udik (2012) Adanya peningkatan kesadaran penduduk akan pentingnya pendidikan juga didukung oleh pembangunan sarana pendidikan di Desa Cihideung Udik. Hal ini mempermudah penduduk dalam mengakses pendidikan. Namun, sarana pendidikan berupa SLTA/sederajat hanya ada satu unit di desa, sehingga kapasitasnya kurang dapat menampung pelajar yang ingin bersekolah di SLTA/sederajat. Oleh karena itu, sebagian besar penduduk harus mengakses pendidikan SLTA/sederajat ke luar desa. Begitu pula dengan sarana pendidikan yang lain, masih minim jumlahnya sehingga sebagian besar penduduk harus mengakses pendidikan ke luar desa. Jumlah sarana pendidikan di Desa Cihideung Udik dapat dilihat lebih terperinci pada Tabel 6.
26 Tabel 6 Jumlah sarana pendidikan di Desa Cihideung Udik tahun 2012 No Sarana pendidikan 1 TK/PAUD 2 SD/MI 3 SLTP/MTs 4 SLTA/MA 5 Pondok Pesantren Sumber: Desa Cihideung Udik (2012)
Jumlah (unit) 4 6 2 1 3
Wilayah Desa Cihideung Udik sebagian besar terdiri dari areal persawahan, yaitu sebesar 183 Ha/m2. Sehingga tidak heran apabila penduduknya sebagian besar masih bermatapencaharian dalam bidang pertanian sebagai petani, namun lebih banyak sebagai buruh tani, yaitu sejumlah 1.867 orang. Mata pencaharian terbanyak kedua adalah wirausahawan, yaitu sejumlah 1.655 orang. Desa Cihideung Udik yang tidak jauh dari jalan utama dan pasar, dan dengan transportasi yang mudah semakin lama menggeser pola pikir penduduk untuk berkerja di bidang nonpertanian. Mata pencaharian penduduk pun mulai beragam, baik bidang pertanian maupun nonpertanian, dapat dilihat lebih terperinci pada Tabel 7. Tabel 7 Jumlah penduduk berdasarkan mata pencaharian di Desa Cihideung Udik tahun 2012 No Mata pencaharian 1 Petani 2 Buruh tani 3 Pedagang 4 PNS 5 TNI/POLRI 6 Karyawan swasta 7 Wirausahawan lainnya Sumber: Desa Cihideung Udik (2012)
Jumlah (orang) 543 1867 691 107 5 685 1655
Persentase 9.8 33.6 12.4 1.9 0.1 12.3 29.9
Data yang diperoleh selain dari kantor desa, yaitu BPS (Badan Pusat Statistik) memperlihatkan jumlah rumah tangga berdasarkan jenis pekerjaan utama penduduk Desa Cihideung Udik pada Tabel 8. Pekerjaan utama dalam bidang pertanian semakin berkurang terlihat dari tahun 2002 hingga 2010, dan semakin bertambah pada beberapa bidang nonpertanian. Meskipun wilayah Desa Cihideung Udik masih didominasi dengan areal persawahan, namun banyak penduduk yang beralih ke pekerjaan utama di bidang nonpertanian. Bidang nonpertanian lainnya, yaitu industri, konstruksi, perdagangan hotel&restauran, angkutan, dan jasa.
27 Tabel 8 Jumlah rumah tangga berdasarkan jenis pekerjaan utama di Desa Cihideung Udik tahun 2002 dan 2010 No Pekerjaan utama 2002 Pertanian 1650 Pertambangan & 86 penggalian 3 Industri 75 4 Konstruksi 40 5 Perdagangan hotel & 375 restauran 6 Angkutan 105 7 Jasa 17 8 Lainnya 130 Total 2478 Sumber: Badan Pusat Statistik (2002; 2010) 1 2
Jumlah Rumah Tangga Persentase 2010 Persentase 66.6 785 23.7 3.5 25 0.8 3.0 1.6 15.1
70 52 1050
2.1 1.6 31.8
4.2 0.7 5.2 100.0
30 994 300 3306
0.9 30.1 9.1 100.0
Agama Penduduk Desa Cihideung Udik seluruhnya beragama Islam berdasarkan data terakhir (2010), dapat dilihat dengan banyaknya pembangunan sarana peribadatan berupa masjid maupun mushola. Penduduk desa ini melakukan rutinitas ibadahnya yang kuat, terlihat dengan kegiatan pengajian bagi segala usia yang jadwalnya berbeda-beda setiap kampung. Jumlah sarana peribadatan yang ada di Desa Cihideung Udik dapat dilihat lebih terinci pada Tabel 9. Tabel 9 Jumlah sarana peribadatan di Desa Cihideung Udik tahun 2002 dan 2010 No
Sarana peribadatan
Jumlah 2002 2010 2012 1 Masjid 11 9 12 2 Langgar 32 8 21 3 Gereja 0 0 0 4 Pura 0 0 0 5 Wihara 0 0 0 Total 43 17 33 Sumber: Badan Pusat Statistik (2002; 2010) dan Desa Cihideung Udik (2012)
Lingkungan dan Kesehatan Kondisi lingkungan di Desa Cihideung Udik relatif homogen, namun terdapat perbedaan yang tidak signifikan. Pada dusun 1 (RW 1-RW 7, RW 14-15) dan dusun 2 (RW 8) lingkungannya sudah mulai berkembang karena jarak masih relatif dekat dengan jalan raya utama. Banyak industri rumah tangga yang bergerak dalam bidang konveksi, seperti membuat jaket. Areal persawahan mulai berkurang dan mayoritas penduduk mulai beralih ke nonpertanian, namun
28 keadaan lingkungan masih asri yang kental dengan nuansa pedesaan. Pada dusun 2 (RW 9-RW 13) jarak dengan jalan raya utama sudah relatif jauh dan angkutan umum yang sampai ujung (RW 13) agak jarang. Areal persawahan masih banyak dan sedikit industri rumah tangga ataupun industri besar seperti pabrik yang dapat menyerap tenaga kerja, sehingga mayoritas masih bermatapencaharian di pertanian. Penduduk Desa Cihideung Udik tinggal di rumah-rumah yang berupa rumah pribadi maupun rumah kontrakan. Kondisi rumah-rumah tersebut beragam dan tidak seluruhnya bangunan permanen. Bangunan semi permanen paling banyak di desa ini, yaitu sejumlah 2.800 unit pada tahun 2010 yang mengalami peningkatan dari tahun 2002. Sementara itu, bangunan tidak permanen mengalami penurunan yang drastis dan memperlihatkan ada peningkatan dalam perekonomian penduduk. Jumlah bangunan menurut jenisnya pada tahun 2002 dan 2010 dapat dilihat lebih terperinci pada Tabel 10. Tabel 10 Jumlah dan persentase bangunan berdasarkan jenis bangunan di Desa Cihideung Udik tahun 2002 dan 2010 No Jenis bangunan
Jumlah 2002 Persentase 2010 1 Permanen 887 51.5 675 2 Semi permanen 615 35.7 2800 3 Tidak permanen 220 12.8 90 Total 1722 100.0 3565 Sumber: Badan Pusat Statistik (2002; 2010)
Persentase 18.9 78.5 2.5 100.0
Peningkatan taraf hidup masyarakat dapat terpenuhi salah satunya melalui pembangunan fasilitas kesehatan. Fasilitas kesehatan yang menunjang kini tersedia di Desa Cihideung Udik, yaitu puskesmas, balai pengobatan/klinik, dokter umum, posyandu, pos KB desa, bidan, petugas gizi keliling dan dukun bayi terlatih. Ada perkembangan dari fasilitas kesehatan tersebut, terlihat bahwa dokter umum yang tadinya hanya satu orang tahun 2010 lalu bertambah menjadi 3 orang tahun 2012; pos KB desa yang pada tahun 2002-2010 hanya 1 unit lalu bertambah menjadi 14 unit. Jumlah sarana kesehatan dari tahun 2002, 2010, dan 2012 dapat dilihat lebih terperinci pada Tabel 11. Tabel 11 Jumlah sarana kesehatan di Desa Cihideung Udik tahun 2012 No
Sarana kesehatan
Jumlah 2002 2010 2012 1 Puskesmas 1 unit 1 unit 1 unit 2 Balai pengobatan/klinik 3 unit 1 unit 3 Dokter umum 1 orang 3 orang 4 Posyandu 12 unit 10 unit 14 unit 5 Pos kb desa 1 unit 1 unit 14 unit 6 Bidan 2 orang 3 orang 7 Petugas gizi keliling 14 orang 8 Dukun bayi terlatih 7 orang 2 orang Sumber: Badan Pusat Statistik (2002; 2010) dan Desa Cihideung Udik (2012)
29 Potensi wisata Desa Cihideung Udik memiliki potensi wisata yang menawarkan pesona alam pedesaaan. Keadaan alam di Desa Cihideung Udik yang masih asri menawarkan kesejukan yang dicari oleh penduduk yang merasa penat dengan kesibukan kota. Hal tersebut dimanfaatkan oleh warga asing yang mengelola salah satu tanah di desa tersebut dengan membangun tempat wisata “Kampung Cinangneng” dengan tema “Tour Poelang Kampung”. Selain itu, juga terdapat berbagai macam tempat makan yang menawarkan masakan khas Sunda baik yang pengelolaannya besar-besaran maupun kecil.
Pembangunan Ekonomi dan Infrastruktur Perkembangan ekonomi di Desa Cihideung Udik semakin berkembang dengan adanya lapangan pekerjaan bagi penduduk desa. Pada dusun 1 (RW 1-RW 7, RW 14-15) banyak terdapat industri rumah tangga berupa konveksi, seperti pembuatan jaket, dan jasa lembaga keuangan di RW 6. Koperasi Unit Desa (KUD) yang ada tidak aktif dan berjumlah satu unit. Pada dusun 1 maupun 2 banyak terdapat industri-industri rumah tangga yang bergerak dalam bidang makanan. Sarana dan prasarana ekonomi di Desa Cihideung Udik dapat dilihat lebih terperinci pada Tabel 12. Tabel 12 Jumlah sarana dan prasarana ekonomi di Desa Cihideung Udik tahun 2012 No Sarana dan prasarana ekonomi 1 Koperasi Unit Desa (KUD) 2 Jasa lembaga keuangan 3 Industri rumah tangga 4 Perusahaan kecil 5 Perusahaan sedang 6 Perusahaan besar 7 Pasar Sumber: Desa Cihideung Udik (2012)
Jumlah (unit) 1 (tidak aktif) 1 78 1 2 -
Seiring waktu, pembangunan infrastruktur di Desa Cihideung Udik semakin baik. Kehadiran PNPM yang aktif didukung oleh warga desa, banyak membantu dalam pembangunan infrastruktur, seperti jalan-jalan kecil yang menghubungkan dengan jalan besar, dan pembangunan MCK di beberapa RW. Selain itu, PNPM juga membantu peminjaman modal bagi warga desa terutama miskin yang memiliki usaha namun minim modal.
30
31
IDEOLOGI GENDER DAN KEHIDUPAN WANITA KEPALA RUMAH TANGGA (WKRT) Ideologi Gender Ideologi gender adalah suatu pemikiran yang dianut oleh masyarakat yang mempengaruhi WKRT (Wanita Kepala Rumah Tangga) dalam akses dan kontrol. Dalam penelitian ini ideologi gender dibagi lagi menjadi dua kategori, yaitu sadar gender apabila terdapat pemikiran bahwa tidak terdapat perbedaan dalam hal akses dan kontrol antara pria dan wanita, sedangkan tidak sadar gender apabila terdapat pemikiran bahwa terdapat perbedaan dalam hal akses dan kontrol antara pria dan wanita. Ideologi gender tertanam sejak masa kanak-kanak sehingga seringkali menjadi pedoman dalam bersikap dan berperilaku dalam kehidupan sehari-hari. Keadaaan ideologi gender responden di Desa Cihideung Udik yang dianut tergolong tidak sadar gender terlihat pada Tabel 13. Tabel 13 Jumlah dan persentase responden berdasarkan ideologi gender di Desa Cihideung Udik tahun 2012 Ideologi gender Tidak sadar gender Sadar gender Total
Jumlah 30 11 41
Persentase 73.2 26.8 100.0
Berdasarkan Tabel 13 dapat diketahui bahwa ideologi gender yang dimiliki responden tergolong tidak sadar gender. Mayoritas responden (73.2%) tidak sadar gender, dan sisanya kurang dari setengah jumlah responden termasuk sadar gender (26.8%). Berdasarkan wawancara mendalam yang dilakukan terhadap responden, keinginan seluruh responden kuat terhadap keinginan bekerja dalam mencari nafkah untuk membiayai hidup keluarganya. Namun, fakta di lapang seringkali responden kesulitan dalam mendapatkan pekerjaan yang berpenghasilan tinggi dan ini tidak terlepas dari ideologi yang dimiliki oleh responden sendiri dan masyarakat. Ideologi tidak sadar gender yang yang dimiliki oleh reponden tergolong kuat, namun mereka mengabaikan ideologi gender yang mereka miliki dengan tetap bekerja di sektor publik. Hal tersebut mengakibatkan mereka hanya bisa mengakses pekerjaan yang tidak jauh-jauh dari rumah sehingga meskipun mereka bekerja untuk memenuhi kehidupan, mereka juga tetap dapat melakukan kegiatan rumah tangga. Hasil wawancara mendalam, mayoritas responden yang memiliki ideologi tidak sadar gender mengatakan tidak mau bekerja jauh-jauh dari rumah karena takut meninggalkan anaknya yang masih kecil dan memberatkan urusan rumah tangga, salah satu responden mengatakan: “Susah neng, kita mah kalo mau kerja. Ini anak kita yang paling kecil udah dari TK ga bisa ditinggal sampe sekarang kelas 1 SD. Waktu itu aja pernah nangis pas kita tinggal sebentar, ga mau kita tinggal deh” (Rm seorang WKRT dengan beban 3 anak, 37 tahun).
32 Lalu mayoritas responden juga baru mulai bekerja setelah hidup sendiri tanpa suami, sehingga mereka terpaksa bekerja dan memiliki ideologi bahwa pekerjaan yang dimiliki oleh wanita hanya sekedar tambahan saja bukan sebagai pencari nafkah utama apabila ada suami, salah satu responden mengatakan: “Ga sanggup kalo ninggalin anak buat kerja jauh, ini juga saya baru kerja setelah ga ada suami, harusnya suami yang cari nafkah. Kerja yang bisa saya lakuin juga cuma bersih-bersih rumah, sekarang aja jadi buruh cuci karena ibu saya sakit. Ya..perempuan mah ga bisa jadi ketua, kan itu jabatan buat laki-laki” (Sr dengan beban 2 anak, 35 tahun).
Responden yang tergolong ideologi tidak sadar gender juga sepakat bahwa urusan keluarga yang terkait rumah, anak, keluarga, dan pendidikan adalah urusan wanita, sedangkan pria kurang baik dalam hal tersebut, salah satu responden mengatakan: “Kebanyakan di mana-mana ibunya yang ngurus anak, kalo bapak mah ga bisa ngurus anak, paling cuma nyari uang aja. Iya emang paling banyak tugasnya kalo ibu, neng (En 50 tahun).”
Sementara itu konstruksi sosial budaya yang ada di masyarakat seringkali menganggap status WKRT rendah. Hal ini menjadi permasalahan yang dimiliki oleh responden karena ada perasaan rendah diri dengan status yang dimilikinya. Berdasarkan wawancara mendalam dengan responden, responden jarang keluar rumah selain bekerja, responden sering pulang malam sehingga tidak tahu kondisi sekitarnya, responden yang bekerja sebagai PRT (Pembantu Rumah Tangga) sering menginap, malu untuk bergaul dengan tetangga, banyak saudara responden yang tinggal di sekitar rumah, responden atau mendiang suami responden termasuk salah satu tokoh masyarakat sehingga disegani. Hal tersebut didukung dengan pernyataan salah satu responden, seperti: “Suami saya orang baik, orang kalo butuh apa-apa ke suami saya. Saya merasa sangat kehilangan bapak” (AK yang memiliki 3 anak, cerai mati).
Anggapan masyarakat terhadap status responden relatif beragam. Responden yang memiliki anggapan negatif dari masyarakat, menyatakan bahwa status mereka suka dipandang sebelah mata, suka dianggap rendah, suka menjadi bahan pembicaraan, perbedaan sikap pria disekitarnya yang menjadi lebih genit. Ada perasaan rendah diri jika bergaul dengan masyarakat, terutama pria. Berikut beberapa pernyataan responden: “Ada aja yang membicarakan saya diam-diam, saya pernah denger katanya saya kerja di Parung tempat remang-remanglah. Padahal kan saya kerja jadi sales nawarin barang dari siang sampe sore” (Ibu Ll 44 tahun, cerai mati). “Anggapan negatif ada aja mba, katanya saya suka godain laki orang padahal kan laki-lakinya aja tuh yang genit. Pas saya kerja di pabrik juga pernah ada atasan saya yang genit sama saya, dikira kalo janda cerai hidup itu cewek gampangan jadi seenaknya aja genit sama saya. Ya saya laporin aja ke bos, terus orang itu langsung ditegur. Kebanyakan mah dari cowoknya aja tuh yang genit” (Ibu Rs 30 tahun, cerai hidup).
33 “Tetangga sama sodara disini baik-baik, saya mah suka minder aja karena ga punya baju bagus, neng” (Sf 38 tahun, cerai mati). “Saya suka nangis, rumah suka dikata-katain. Saya kan orang ga punya, suami udah ga ada. Saya suka malu, yang lain kan pada punya duit” (Wr 45 tahun, cerai mati). “Sebelumnya saya cerai mati, terus saya nikah lagi baru 7 bulan uda cerai hidup. Ya saya ngerasa malu, janda kan suka dipandang sebelah mata. Saya kerja sendiri biayain hidup anak ni satu-satunya, yang penting kerja” (Ew 26 tahun, cerai hidup). “Saya sering nangis harus cari duit sendiri. Omongan mah ada aja, kan ga salah yah kalo saya dandan. Ini saya dandan dikit udah diomongin” (Em 42 tahun cerai hidup). “Iya saya malu kalo kemana-mana. Janda kan suka dipandang rendah” (Um 37 tahun, cerai mati).
Hal yang sama juga dirasakan responden yang termasuk tokoh masyarakat dan biasa dipanggil “Bu Hj” sepeninggal mendiang suaminya yang juga tokoh masyarakat, berikut pernyataannya: “Setelah suami saya ga ada, banyak cowok yang mulai genit sama saya, terus saya dan keluarga saya juga sering jadi bahan omongan masyarakat. Padahal masalah kecil saya sama anak saya aja suka dibesar-besarkan bahkan ga ada masalah pun dibuat jadi masalah. Iya itu udah kayak selebritis aja” (Ibu As 48 tahun, cerai mati).
Aktifitas yang ada di desa tidak terlalu menarik perhatian WKRT. Kegiatan yang ada memang tidak cocok dengan waktu mereka yang harus bekerja, bahkan tidak pernah diajak dengan alasan tidak punya waktu. Salah satu contoh terlihat dari anggapan mengenai kehadiran rapat-rapat yang biasanya dilakukan pria. Hasil wawancara mendalam ini menunjukkan bahwa masih kuatnya pikiran dalam membeda-bedakan akses dan kontrol antara pria dan wanita. Berdasarkan hasil wawancara mendalam dengan responden, rapat-rapat yang seringkali mereka hadiri hanya dengan sesama wanita dan terkait masalah pengajian, namun rapat-rapat besar yang kumpul bersama antara pria dan wanita sangat jarang bahkan tidak pernah. Mayoritas responden yang tidak menghadiri rapat-rapat yang melibatkan kepentingan masyarakat seperti acara-acara besar, pembangunan jalan mengatakan bahwa rapat-rapat yang diadakan seringkali malam dan dihadiri oleh pria. Meskipun responden diundang, namun akan diwakili oleh anak lakilakinya yang dewasa. Ibu Rh (39 tahun) yang cerai mati juga mengatakan, “Kalau dulu mah sering ada kumpul-kumpul di balai desa, seperti pinjaman modal dari desa atau RT, saya suka hadir tapi sekarang uda ga ada kabar atau undangan lagi, padahal kan saya juga mau tau kalau ada berita-berita dari balai desa, perempuan qo ga pernah diajak lagi”.
Anggapan mengenai rapat yang tidak penting juga diungkapkan oleh Ibu AK (45 tahun) yang cerai mati, “Iya kalau ada acara-acara besar kayak Maulidan di masjid depan rumah, palingan laki-laki semua dan malem. Kalau saya ya cuma arisan sama tetangga kumpul ibuibu. Rapat-rapat besar gitu urusan lelaki, neng”.
34 Selain itu, masih ada beberapa pernyataan responden yang terkait dengan kehadiran dan kepentingan rapat-rapat yang melibatkan kepentingan masyarakat, seperti berikut: “Ibu-ibu mah ga ada kumpul-kumpul kalo acara besar gitu, neng. Biasanya anakanak muda atau bapak-bapak” (Wr 45 tahun, cerai mati). “Ga usah ikut rapat-rapat, ga penting. Dulu mah pas ada suami diundang, sekarang ga pernah lagi tuh” (SM 42 tahun, cerai mati). “Ada rapat-rapat, kalo hari besar diundang tapi sayanya males ntar diomongin orang. Ya daripada diomongin orang mending saya ga usah dateng rapat sekalian, ga penting” (ER 37 tahun, cerai hidup). “Rapat yah, diundang tapi bukan saya yang dateng. Kalo rapat, diwakilin sama anak saya atau mantu saya kalo ada disini” (Mr 48 tahun, cerai mati).
Wawancara mendalam dengan responden juga memperlihatkan bahwa responden yang berpandangan rapat itu penting untuk dihadiri oleh mereka karena mereka ingin terlibat di dalamnya. Namun, fakta di lapangan tidak memungkinan mereka untuk terlibat dalam rapat. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat tidak menganggap penting kehadiran wanita dalam rapat yang melibatkan kepentingan masyarakat dan masih kuatnya ideologi tidak sadar gender. Ideologi gender yang ada di masyarakat masih berakar kuat dan menjadi ideologi gender yang dianut oleh responden sebagai WKRT. Adanya ketidakadilan gender termanifestasikan dalam bentuk subordinasi yang menganggap wanita tidak penting dalam mengambil keputusan yang melibatkan masyarakat sehingga WKRT jarang terlibat di dalamnya. Lalu marginalisasi yang mengakibatkan pemiskinan ekonomi bagi WKRT dan berhubungan juga dengan stereotipe yang membuat WKRT memiliki keterbatasan dalam mengakses pekerjaan yang jauh dari rumah. Kemudian kekerasan secara mental yang menjadikan WKRT merasa tidak percaya diri karena ada anggapan negatif serta beban kerja lebih berat dengan tetap memikul peran domestik.
Kehidupan Wanita Kepala Rumah Tangga (WKRT) Adanya peningkatan jumlah WKRT disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu industrialisasi, perceraian, dan migrasi. Keadaan geografis yang ada di Desa Cihideung Udik masih didominasi oleh persawahan (64.4%) dan perkembangan industrialisasi tidak terlalu berkembang pesat hanya beberapa industri menengah ke bawah saja yang jumlahnya tidak banyak sehingga industrialisasi tidak menyumbang peningkatan jumlah WKRT di Desa Cihideung Udik. Hal yang serupa juga terjadi dengan faktor migrasi yang tidak menyumbang peningkatan jumlah WKRT di Desa Cihideung Udik. Adanya perbedaan mortalitas antara pria dan wanita turut menyumbang jumlah WKRT yang tua dan berstatus cerai mati, dan adanya cerai hidup juga turut menyumbang jumlah WKRT. Jadi gejala WKRT yang ada di Desa Cihideung Udik secara umum disebabkan oleh perceraian baik cerai hidup maupun cerai mati.
35 Secara umum, WKRT yang ada di Desa Cihideung Udik kebanyakan karena perbedaan mortalitas antara pria dan wanita sehingga berusia tua dan berstatus cerai mati. Mayoritas WKRT yang berusia tua tersebut sudah tidak bekerja lagi dan hidup bergantung dengan anak yang sudah memiliki penghasilan. WKRT yang menjadi responden yang masih bekerja jumlahnya sedikit, lalu ditambah dengan kriteria yang masih memiliki anak usia sekolah kurang dari atau setara SMA/sederajat sehingga hanya ada 41 WKRT yang memenuhi kriteria. Oleh karena itu, responden masih harus menanggung biaya pendidikan anaknya yang masih berusia sekolah. Tingkat pendidikan anak secara umum tergantung dari usaha WKRT dalam membiayai pendidikan anak dan tidak luput dari motivasi anak sendiri dalam mengenyam pendidikan tinggi. Masyarakat lebih memperhatikan kondisi anak WKRT yang berstatus cerai mati karena dianggap anak yatim sehingga tidak luput dari pemberian bantuan terhadap WKRT berstatus cerai mati. Namun, secara umum tidak ada bantuan yang diarahkan khusus untuk membantu WKRT selain berstatus cerai mati. WKRT di lapangan mayoritas termasuk dalam golongan ekonomi menengah bawah bahkan paling banyak golongan ekonomi bawah. Pekerjaan yang dimiliki oleh WKRT juga hanya sebatas pekerjaan yang berpenghasilan rendah, sedangkan WKRT memiliki tanggung jawab yang besar terhadap kelangsungan rumah tangganya. Anggapan masyarakat terhadap status WKRT rata-rata relatif beragam dan bergantung usia dan penyebab menjadi WKRT. Jika WKRT berusia muda dan menjadi WKRT karena status cerai hidup seringkali menjadi bahan pembicaraan masyarakat. Selain itu, sikap WKRT seringkali menjadi sorotan masyarakat sehingga WKRT sering merasa tidak percaya diri. Menurut informan, pelibatan WKRT dalam mengambil keputusan yang terkait kepentingan masyarakat termasuk penting namun tidak terealisasikan dalam kehidupan nyata. Waktu yang telah tersita untuk bekerja dan mengurus rumah tangga menjadikan WKRT jarang dilibatkan dalam kepentingan masyarakat.
Karakteristik Responden Responden mempunyai karakteristik atau ciri khas yang berbeda satu sama lainnya. Hal tersebut berguna untuk mengetahui kondisi responden dan membantu menganalisa hasil pembahasan. Responden pada penelitian ini adalah Wanita Kepala Rumah Tangga (WKRT) yang bekerja dan memiliki anak usia sekolah sampai setara SMA/sederajat. Keseluruhan responden bertempat tinggal di Desa Cihideung Udik dan diperoleh 41 responden yang memenuhi kriteria melalui sensus yang dilakukan oleh peneliti.
Usia Responden Usia adalah jumlah tahun sejak responden lahir hingga penelitian ini berlangsung pada tahun 2012. Hasil penelitian di lapangan menunjukkan bahwa dari 41 responden, usia responden yang termuda adalah 26 tahun dan tertua berusia 67 tahun. Berdasarkan data tersebut, karakteristik usia responden dibagi menjadi dua kategori. Kategori pertama adalah kelompok usia muda dengan
36 rentang usia 26-47 tahun, dan kategori kedua adalah kelompok usia tua dengan rentang usia 48-67 tahun. Sebaran usia responden WKRT dapat dilihat lebih terperinci pada Tabel 14. Tabel 14 Jumlah dan persentase responden berdasarkan usia di Desa Cihideung Udik tahun 2012 Usia Muda ( ≤47 tahun) Tua ( >47 tahun) Total
Jumlah 33 8 41
Persentase 80.5 19.5 100.0
Pada Tabel 14 dapat diketahui bahwa mayoritas responden termasuk kategori kelompok usia muda sejumlah 80.5%, sedangkan hanya 19.5% responden yang termasuk kategori kelompok usia tua.
Lamanya menjadi Wanita Kepala Rumah Tangga Lamanya menjadi Wanita Kepala Rumah Tangga (WKRT) adalah jumlah tahun sejak menjadi WKRT hingga penelitian ini berlangsung pada tahun 2012. Lamanya menjadi WKRT diukur dengan waktu. Hal ini dapat memperlihatkan seberapa lama pengalaman WKRT yang berjuang sendiri dalam mencari nafkah. Hasil penelitian di lapangan menunjukkan bahwa lamanya menjadi WKRT responden yang terendah adalah 6 bulan dan tertinggi 25 tahun. Berdasarkan data tersebut, lamanya menjadi WKRT responden dibagi menjadi dua kategori. Kategori pertama adalah kelompok 5 bulan-14 tahun yang termasuk baru, dan kategori kedua adalah kelompok 15-25 tahun yang termasuk lama, seperti pada Tabel 15. Tabel 15 Jumlah dan persentase responden berdasarkan lamanya menjadi WKRT di Desa Cihideung Udik tahun 2012 Lamanya menjadi WKRT Baru ( ≤14 tahun) Lama ( >14 tahun) Total
Tahun 38 3 41
Persentase 92.7 7.3 100.0
Pada Tabel 15 menunjukkan bahwa berdasarkan lamanya menjadi WKRT, responden di Desa Cihideung Udik paling banyak berada pada kategori 5 bulan14 tahun, yaitu sebanyak 92.7%. Berdasarkan data di lapangan juga dapat diketahui, lamanya menjadi WKRT terbanyak adalah 3 tahun, yaitu sebanyak 7 responden dan terbanyak kedua adalah 4 tahun, yaitu sebanyak 6 responden.
Tanggungan Anak WKRT di desa Cihideung Udik yang menjadi responden masih memiliki anak. Anak-anak WKRT yang umumnya berusia SD-SMP masih harus menjadi tanggungannya. Tanggungan anak, dibagi menjadi dua kategori berdasarkan data di lapang, yaitu banyak (tanggungan anak 4-7), dan sedikit (tanggungan anak 13), seperti pada Tabel 16.
37 Tabel 16 Jumlah dan persentase berdasarkan beban keluarga responden di Desa Cihideung Udik tahun 2012 Tanggungan anak Sedikit ( ≤3 anak) Banyak ( >3 anak) Total
Jumlah 32 9 41
Persentase 78 22 100
Berdasarkan Tabel 16, mayoritas responden memiliki tanggungan anak kategori sedikit (1-3 anak) sejumlah 78%, sedangkan sisanya memiliki tanggungan anak kategori banyak (4-7 anak) sejumlah 22%. Berdasarkan wawancara mendalam, responden memiliki tanggung jawab yang berat dengan adanya peran ganda sebagai pencari nafkah dan ibu rumah tangga. Tanggung jawab dalam mengurus anak, rumah, keperluan pendidikan anak, dan memberi makan anak dilakukan sendiri oleh responden. Berdasarkan hasil data di lapang, responden masih memiliki anak yang belum bekerja dan belum bisa dilepas, atau anak yang sebagian laki-laki sehingga tanggung jawab di rumah tetap dipegang oleh ibu.
Ikhtisar a. Secara umum, ideologi gender yang dimiliki responden tergolong tidak sadar gender. Mayoritas responden termasuk tidak sadar gender jika dibandingkan dengan ideologi responden yang tergolong sadar gender. b. Gejala WKRT yang ada di Desa Cihideung Udik secara umum disebabkan oleh perceraian baik cerai hidup maupun cerai mati. Adanya industrialisasi dan migrasi tidak memberikan sumbangan bagi peningkatan WKRT di Desa Cihideung Udik. Mayoritas WKRT yang berusia tua tersebut sudah tidak bekerja lagi dan hidup bergantung dengan anak yang sudah memiliki penghasilan. Mayoritas WKRT di Desa Cihideung Udik termasuk ke dalam golongan ekonomi menengah bawah dan pekerjaan yang dimiliki oleh WKRT juga hanya sebatas pekerjaan yang berpenghasilan rendah. Waktu yang telah tersita untuk bekerja dan mengurus rumah tangga menjadikan WKRT jarang dilibatkan dalam kepentingan masyarakat. c. Karakteristik mayoritas responden termasuk kategori kelompok usia muda, yaitu rentang usia ≤47 tahun; lamanya menjadi WKRT berada pada kategori baru, yaitu 5 bulan-14 tahun; dan tanggungan anak kategori sedikit, yaitu 1-3 anak.
38
39
PELUANG BEKERJA DAN BERUSAHA SERTA PENGARUHNYA TERHADAP TINGKAT UPAH WANITA KEPALA RUMAH TANGGA (WKRT) Peluang Bekerja dan Berusaha Wanita Kepala Rumah Tangga (WKRT) Peluang bekerja dan berusaha adalah kesempatan bagi seseorang untuk memperoleh pekerjaan dan melakukan usaha dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup pokoknya untuk membina kesejahteraan rumah tangganya agar lebih baik dari keadaan sebelumnya. Peluang bekerja dan berusaha WKRT diukur dengan alat ukur, yaitu usaha mencari pekerjaan, faktor pendukung berusaha, kesulitan pinjaman, dan jenis pekerjaan. Jumlah dan persentasenya jika seluruh alat ukur dihitung maka dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17 Jumlah dan persentase responden berdasarkan peluang bekerja dan berusaha di Desa Cihideung Udik tahun 2012 Peluang bekerja dan berusaha Sulit Mudah Total
Jumlah 34 7 41
Persentase 82.9 17.1 100.0
Secara umum peluang bekerja dan berusaha pada WKRT di Desa Cihideung Udik tergolong sulit. Tabel 17 menunjukkan bahwa peluang bekerja dan berusaha mayoritas responden tergolong sulit, yaitu sejumlah 34 responden (82.9%), dan tergolong mudah, yaitu sejumlah 7 responden (17.1%). Salah satu alat ukur untuk melihat peluang bekerja dan berusaha responden adalah dengan melihat usaha mencari pekerjaan. Keadaan menjadi WKRT tentunya memaksa mereka untuk mencari nafkah dalam menghidupi kebutuhan rumah tangga, namun tidak seluruh responden memiliki pengalaman bekerja sebelum menjadi WKRT. Usaha dalam mencari pekerjaan dibagi menjadi dua kategori, yaitu sulit dan mudah, seperti dalam Tabel 18. Tabel 18 Jumlah dan persentase responden berdasarkan usaha mencari pekerjaan di Desa Cihideung Udik tahun 2012 Usaha mencari pekerjaan Sulit Mudah Total
Jumlah 17 24 41
Persentase 41.5 58.5 100.0
Secara umum, hasil persentase kategori sulit dan mudah dalam usaha mencari pekerjaan tidak terlalu jauh berbeda. Pada Tabel 18 menunjukkan bahwa mayoritas responden tergolong mudah dalam usaha mencari pekerjaan (58.5%). Usaha dalam mencari pekerjaan responden tergolong mudah karena responden memperoleh pekerjaan yang tidak terlalu membutuhkan keterampilan tinggi dan cenderung jenis pekerjaan nonformal, seperti dalam Tabel 20.
40 Faktor pendukung berusaha dibagi menjadi dua kategori, yaitu sulit dan mudah, seperti Tabel 19. Faktor pendukung berusaha dilihat dari kesulitan modal, waktu bekerja, persaingan, sosialisasi dengan pekerja lain, dan lokasi. Tabel 19 Jumlah dan persentase responden berdasarkan faktor pendukung berusaha di Desa Cihideung Udik tahun 2012 Faktor pendukung berusaha Sulit Mudah Total
Jumlah 26 15 41
Persentase 63.4 36.6 100.0
Mayoritas responden dalam faktor pendukung berusaha termasuk dalam kategori sulit, yaitu sejumlah 63.4% dari keseluruhan responden. Responden mengalami kesulitan dalam hal modal, waktu bekerja yang menyita keseluruhan waktu responden, banyak saingan dengan pekerja lainnya, sulit dalam bersosialisasi, dan lokasi bekerja yang termasuk jauh dari rumah. Jenis pekerjaan yang dimiliki oleh responden dapat dibagi menjadi dua kategori, kategori pertama adalah nonformal, dan kategori kedua adalah formal, seperti Tabel 20. Jenis pekerjaan nonformal artinya tidak memiliki peraturan yang jelas dan tertulis seperti pekerjaan formal. Hasil penelitian menunjukkan, mayoritas responden termasuk ke dalam jenis pekerjaan nonformal sebesar 75.6% lebih besar dibandingkan responden yang memiliki jenis pekerjaan formal, yaitu 24.4%. Tabel 20 Jumlah dan persentase responden berdasarkan jenis pekerjaan di Desa Cihideung Udik tahun 2012 Jenis pekerjaan Nonformal Formal Total
Jumlah 31 10 41
Persentase 75.6 24.4 100.0
Pekerjaan responden di Desa Cihideung Udik beragam. Berdasarkan data di lapang, pekerjaan yang dimiliki responden dapat diklasifikasikan, yaitu buruh cuci, buruh konveksi, buruh pabrik, buruh tani, cleaning service, pedagang, pegawai kantin, pengusaha, PRT (Pembantu Rumah Tangga), SPG (Sales Promotion Girl). Pekerjaan yang paling banyak adalah pedagang, yaitu 12 reponden. Pekerjaan sebagai pedagang ini seluruhnya pedagang kecil yang berdagang, seperti nasi uduk, gorengan, sayur, jajanan anak, mie ayam, gadogado. Lalu jenis pekerjaan sebagai PRT (Pembantu Rumah Tangga) terbanyak setelah pedagang, yaitu 10 responden. Hal tersebut karena di sekitar RW 03, RW 06, dan RW 08 terdapat banyak perumahan sehingga beberapa WKRT mencari nafkah disana. Data yang lebih terperinci dapat dilihat pada Tabel 21. Pekerjaan yang dimiliki oleh responden menghasilkan upah yang beragam pula. Jenis upah responden dapat diklasifikasikan menjadi dua kategori, kategori pertama adalah memiliki upah pasti, dan kategori kedua adalah memiliki upah tidak pasti, seperti Tabel 22. Hasil penelitian di lapang menunjukkan, mayoritas responden memiliki upah yang tidak pasti sejumlah 61% dibandingkan dengan responden yang memiliki upah pasti sebesar 39%.
41 Tabel 21 Jumlah dan persentase responden berdasarkan pekerjaan di Desa Cihideung Udik tahun 2012 Pekerjaan Buruh cuci Buruh konveksi Buruh pabrik Buruh tani Cleaning service Pedagang Pegawai kantin Pengusaha PRT (Pembantu Rumah Tangga) SPG (Sales Promotion Girl) Total
Jumlah 1 3 4 2 1 12 1 5 10 1 41
Persentase 2.4 7.3 9.8 4.9 2.4 29.3 2.4 12.2 24.4 2.4 100.0
Tabel 22 Jumlah dan persentase responden berdasarkan jenis upah di Desa Cihideung Udik tahun 2012 Jenis upah Memiliki upah pasti Memiliki upah tidak pasti Total
Jumlah 16 25 41
Persentase 39 61 100
Berdasarkan hasil penelitian di lapang, responden mudah memperoleh pekerjaan karena pekerjaan yang dapat mereka akses adalah pekerjaan yang mudah dan tidak terlalu banyak persyaratan maupun aturan tertulis, seperti berdagang makanan di depan rumah, usaha kecil-kecilan, menjadi PRT (Pembantu Rumah Tangga), buruh cuci, dan buruh tani, seperti Tabel 21. Pekerjaan tersebut tentunya tidak perlu waktu lama dalam memperolehnya, dan responden sepakat mereka bekerja apapun asal halal dan dapat memperoleh penghasilan meskipun upah yang diperolehnya tidak pasti, seperti Tabel 22. Hal ini juga tidak terlepas dari dukungan keluarga dan teman responden yang telah bekerja dalam mencari pekerjaan sehingga hanya perlu menunggu waktu sekitar seminggu atau dua minggu langsung mendapatkan pekerjaan tanpa proses yang sulit. Sementara responden yang tidak tahu harus bekerja apa akan berdagang di depan rumahnya bahkan ada yang berkeliling di sekitar rumah tanpa harus lama menentukan jenis pekerjaan apa yang cocok dilakukan. Jenis pekerjaan tidak menjadi masalah bagi mereka, hanya pengalaman bekerja sewaktu masih ada suami yang menjadi perbedaan pada masing-masing responden. Penuturan beberapa responden mengenai kesulitan bekerja: “Saya cuma bisa nangis cari uang, palingan dikasi saudara terus pas disini ade saya bantu cari kerja. Saya mah yang penting kerja bisa hidupin keluarga, pas waktu itu juga nunggu dulu mau masuk ke pabrik. Kalo ade saya ga bantu bilang ke bosnya ga bakalan deh saya bisa masuk (Em 42 tahun).” “Saya baru kerja setelah ditinggal suami, dulu mah perjuangan banget sampe akhirnya saya bisa buka usaha rias penganten. Saya pernah kerja di konveksi sebentar (5-6 bulan), jualan makanan, buruh cuci, sales kosmetik, sales yakult, yang
42 penting tuh anak bisa jajan neng. Terus sampe akhirnya ada yang minta dandanin, saya belajar sendiri dari majalah-majalah wanita tentang cara rias..(Nr 50 tahun).” “Saya sering nangis gatau mau kerja apa, pernah nguli di sawah tapi kan ga tentu dapet uangnya, terus sampe saya nanya-nanya temen ada kerjaan nggak, akhirnya saya ditawarin buat nyuci di rumah dosen. Saya tuh yang penting dapet duit dari kerja..(Rn 44 tahun).”
Peluang bekerja dan berusaha WKRT juga diukur dengan melihat seberapa sulit WKRT memperoleh pinjaman. Secara umum kesulitan mencari pekerjaan tidak terlalu sulit dan tidak terlalu mudah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa separuh jumlah responden (51.2%) mengalami kesulitan dalam mencari pinjaman, sedangkan kurang dari separuhnya (48.8%) tidak terlalu mengalami kesulitan dalam mencari pinjaman, seperti Tabel 23. Tabel 23 Jumlah dan persentase responden berdasarkan kesulitan mencari pinjaman di Desa Cihideung Udik tahun 2012 Kesulitan mencari pinjaman Sulit Mudah Total
Jumlah 21 20 41
Persentase 51.2 48.8 100.0
Pada Tabel 23 memperlihatkan bahwa jumlah responden yang menyatakan sulit dalam mencari pinjaman tidak jauh berbeda dengan jumlah responden yang mudah dalam mencari pinjaman. Responden yang mengalami kesulitan dalam memperoleh pinjaman karena tidak mau meminjam ke orang-orang sekitar bahkan tidak pernah sama sekali. Responden juga menyatakan takut untuk meminjam ke orang sekitar karena takut tidak bisa membayar dan menjadi bahan pembicaraan masyarakat. Sementara itu, responden yang tidak mengalami kesulitan dalam memperoleh pinjaman karena meminjam dengan saudara, teman, bahkan meminjam ke tempat mereka bekerja. Hal ini didukung dengan pernyataan beberapa responden: “Kalo minjem-minjem uang saya ama sodara aja, soalnya orang lain mah ga percaya nanti malah jadi omongan. Ya kalo kepepet waktu itu anak mau beli sepatu, ya saya minjem di bank keliling” (Mr 42 tahun). “Kalo butuh apa-apa kayak pas mau lebaran, saya tinggal pinjem aja ke pabrik, ga susah jadi nanti uang tiap bulan saya tinggal dipotong aja. Saya ga berani kalo minjem ke yang lain, nanti takut ga kebayar” (Is 42 tahun).
Sebagian besar responden yang diwawancarai menyatakan tidak pernah meminjam ke lembaga formal, seperti bank, koperasi, dan pegadaian. Namun, hanya ada tiga responden yang menyatakan pernah meminjam ke lembaga formal. Responden pertama, yaitu Ibu Aa (48 tahun) pernah meminjam ke bank dan menjadi anggota koperasi karena beliau memiliki usaha di bidang perdagangan di Jakarta. Mendiang suami beliau termasuk tokoh agama di kampungnya, dan dikenal sebagai orang kaya di kampungnya. Responden kedua, yaitu Ibu Et (40 tahun) pernah meminjam ke bank untuk menggadaikan SK. Mendiang suaminya adalah PNS dan memiliki dana pensiunan sehingga beliau termasuk keluarga yang kaya dan terpandang di kampungnya. Responden ketiga, yaitu Ibu Nr (50
43 tahun) yang pernah meminjam ke bank dan pegadaian. Berdasarkan wawancara mendalam dengan beliau, beliau mengalami kesulitan ketika meminjam ke bank untuk modal usaha rias pengantinnya. Beliau mengatakan karena usahanya masih baru dan belum menjanjikan sehingga agak kesulitan, lalu beliau juga mengatakan harus membuktikan statusnya sebagai Wanita Kepala Rumah Tangga (WKRT) dengan menunjukkan surat keterangan kematian mendiang suaminya.
Hubungan Ideologi Gender dengan Peluang Bekerja dan Berusaha Wanita Kepala Rumah Tangga (WKRT) Ideologi gender memperlihatkan bahwa suatu pemikiran masyarakat mengenai perbedaan akses dan kontrol antara pria dan wanita menjadi pedoman dalam bersikap dan bertingkah laku. Hal tersebut tergambarkan dari hasil penelitian terhadap responden bahwa mayoritas responden (73.2%) termasuk tidak sadar gender, dan sisanya kurang dari setengah termasuk sadar gender (26.8%). Sementara itu, mayoritas peluang bekerja dan berusaha responden (82.9%) termasuk sulit lebih besar persentasenya dibandingkan yang termasuk mudah (17.1%). Ideologi gender tersebut akan dilihat pengaruhnya terhadap peluang bekerja dan berusaha dari responden dengan tabulasi silang, pada Tabel 24. Tabel 24 Jumlah dan persentase responden berdasarkan hubungan ideologi gender dengan peluang bekerja dan berusaha di Desa Cihideung Udik tahun 2012 Peluang bekerja dan berusaha Sulit Mudah Total
Ideologi gender Tidak sadar gender Sadar gender Jumlah Persentase Jumlah Persentase 25 83.3 9 81.8 5 16.7 2 18.2 30 100.0 11 100.0
Pada Tabel 24, memperlihatkan bahwa peluang bekerja dan berusaha responden yang sulit lebih besar persentasenya (83.3%) pada ideologi gender yang termasuk tidak sadar gender. Lalu peluang bekerja dan berusaha responden yang mudah lebih besar persentasenya (18.2%) pada ideologi yang termasuk sadar gender. Secara umum, responden termasuk ke dalam kategori ideologi gender yang tidak sadar gender. Hal ini berarti terdapat hubungan antara ideologi gender dengan peluang bekerja dan berusaha. Ideologi gender memiliki hubungan yang cukup kuat jika dilihat dari hasil tabulasi silang di mana peluang bekerja dan berusaha responden menjadi sulit. Konstruksi sosial budaya yang ada di masyarakat masih memiliki pengaruh kuat dalam hal membeda-bedakan akses dan kontrol antara pria dan wanita. Dalam hal ini, posisi WKRT yang berjenis kelamin wanita dipersulit dengan adanya ideologi gender tersebut. Pembagian peran yang berdasarkan jenis kelamin dan tidak berdasarkan kemampuan menyebabkan ketidakadilan gender terutama bagi WKRT yang harus berperan ganda dalam rumah tangganya. Hal tersebut turut mempersulit WKRT dalam mengakses pekerjaan dan usaha yang menghasilkan upah tinggi.
44 Banyaknya responden yang menganut ideologi tidak sadar gender tergolong kuat terlihat dari keputusan bekerja, jabatan dalam bekerja, lokasi bekerja, waktu bekerja, jenis pekerjaan yang dapat dilakukan, dan beban ganda yang harus dilakukan. Ideologi yang mengharuskan wanita bekerja pada kegiatan domestik, yaitu rumah tangga mempengaruhi keputusan mereka dalam bekerja. Ideologi yang dianut responden terpaksa diabaikan karena status yang mengharuskan mereka bekerja. Ideologi tersebut juga mengakibatkan mereka hanya bisa mengakses pekerjaan yang tidak membutuhkan keterampilan tinggi, jenis pekerjaan yang nonformal dengan upah yang rendah. Hal ini mempengaruhi peluang bekerja dan berusaha responden sebagai Wanita Kepala Rumah Tangga (WKRT) yang akhirnya menjadi sulit.
Hubungan Karakteristik dengan Peluang Bekerja dan Berusaha Wanita Kepala Rumah Tangga (WKRT) Karakteristik yang melekat pada WKRT menggambarkan WKRT secara keseluruhan. Karakteristik WKRT dilihat berdasarkan usia, lamanya menjadi WKRT, dan tanggungan anak. Usia mayoritas responden termasuk tua (80.5%); mayoritas responden berdasarkan lamanya menjadi WKRT berada pada kategori baru (≤14 tahun) sejumlah 92.7%; dan tanggungan anak kategori sedikit (≤3 anak) sejumlah 78%. Sementara itu, mayoritas peluang bekerja dan berusaha responden (82.9%) termasuk sulit lebih besar persentasenya dibandingkan yang termasuk mudah (17.1%). Karakteristik tersebut akan dilihat pengaruhnya terhadap peluang bekerja dan berusaha dari responden dengan tabulasi silang, pada Tabel 25, 26, dan 27. Tabel 25 Jumlah dan persentase berdasarkan hubungan karakteristik usia responden dengan peluang bekerja dan berusaha responden di Desa Cihideung Udik tahun 2012 Peluang bekerja dan berusaha Sulit Mudah Total
Karakterisik usia Tua Jumlah Persentase 7 87.5 1 12.5 8 100.0
Muda Jumlah Persentase 27 81.8 6 18.2 33 100
Pada Tabel 25 menunjukkan bahwa peluang bekerja dan berusaha responden yang termasuk sulit lebih besar persentasenya (87.5%) pada karakteristik usia yang termasuk tua. Lalu peluang bekerja dan berusaha responden yang termasuk mudah lebih besar persentasenya (18.2%) pada karakteristik usia yang termasuk muda. Hal ini berarti ada hubungan antara karakteristik usia dengan peluang bekerja dan berusaha responden. Usia responden yang termasuk tua akan mengalami kesulitan memperoleh peluang bekerja dan berusaha di masyarakat. Usia yang semakin tua menjadikan mereka semakin terbatas dalam bekerja keras dalam memenuhi kebutuhan rumah tangganya. Responden yang bekerja dalam usia yang termasuk tua seringkali
45 karena tuntutan ekonomi yang mendasarinya dan tidak ada anggota rumah tangga lainnya yang dapat diandalkan. Tabel 26 Jumlah dan persentase berdasarkan hubungan karakteristik lamanya menjadi WKRT responden dengan peluang bekerja dan berusaha responden di Desa Cihideung Udik tahun 2012 Peluang bekerja dan berusaha Sulit Mudah Total
Karakterisik lamanya menjadi WKRT Baru Lama Jumlah Persentase Jumlah Persentase 31 81.6 3 100 7 18.4 0 0 38 100.0 3 100
Pada Tabel 26 menunjukkan bahwa peluang bekerja dan berusaha yang termasuk sulit lebih besar persentasenya (100%) pada karakteristik lamanya menjadi WKRT yang termasuk lama. Lalu peluang bekerja dan berusaha yang termasuk mudah lebih besar persentasenya (18.4%) pada karakteristik lamanya menjadi WKRT yang termasuk baru. Hal ini berarti tidak menunjukkan adanya hubungan antara karakteristik lamanya menjadi WKRT dengan peluang bekerja dan berusaha. Namun, terdapat kecenderungan bahwa karakteristik lamanya menjadi WKRT responden mayoritas termasuk baru jumlahnya besar persentasenya pada peluang bekerja dan berusaha (81.6%) sejumlah 31 responden. Mayoritas responden baru bekerja setelah menjadi WKRT sehingga memiliki kesulitan dalam berusaha dan bekerja. Responden yang telah lama menjadi WKRT rata-rata sudah mulai memiliki pengalaman dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri. Tabel 27 Jumlah dan persentase berdasarkan hubungan karakteristik tanggungan anak dengan peluang bekerja dan berusaha responden di Desa Cihideung Udik tahun 2012 Peluang bekerja dan berusaha Sulit Mudah Total
Karakterisik tanggungan anak Banyak Sedikit Jumlah Persentase Jumlah Persentase 7 77.8 27 84.4 2 22.2 5 15.6 9 100.0 32 100.0
Pada Tabel 27 menunjukkan bahwa peluang bekerja dan berusaha yang termasuk sulit lebih besar persentasenya (84.4%) pada karakteristik tanggungan anak yang termasuk sedikit. Lalu peluang bekerja dan berusaha yang termasuk mudah lebih besar persentasenya (22.2%) pada karakteristik tanggungan anak yang termasuk banyak. Hal ini berarti tidak ada hubungan antara karakteristik tanggungan anak dengan peluang bekerja dan berusaha. Namun, terdapat kecenderungan antara keduanya. Mayoritas responden yang memiliki tanggungan anak sedikit rata-rata masih memiliki anak yang sebagian besar masih sekolah dan belum bekerja, sedangkan mayoritas responden yang memiliki anak banyak rata-rata anaknya sudah berusia dewasa dan sudah berumah tangga sendiri sehingga tidak terlalu menjadi beban bagi responden.
46 Hubungan Peluang Bekerja dan Berusaha dengan Tingkat Upah Wanita Kepala Rumah Tangga (WKRT) Pengakuan yang minim dari masyarakat bahkan konstruksi sosial di masyarakat (yang menempatkan wanita di sektor domestik) menghambat kegiatan wanita sebagai kepala rumah tangga yang pada akhirnya mempersulit mereka dalam memenuhi kebutuhan rumah tangganya. Hal tersebut didukung dengan hasil penelitian mengenai peluang bekerja dan berusaha mayoritas responden (82.9%) termasuk sulit lebih besar persentasenya dibandingkan yang termasuk mudah (17.1%) Adanya ketidakadilan gender sehingga mempersulit responden sebagai Wanita Kepala Rumah Tangga (WKRT) dalam memperoleh pekerjaan yang berupah tinggi, kesulitan dalam faktor pendukung berusaha, jenis pekerjaan yang dapat diakses tergolong nonformal, kesulitan memperoleh pinjaman. Hal tersebut akan mempengaruhi tingkat upah yang diperoleh WKRT menjadi rendah seperti pada Tabel 28. Upah rata-rata keseluruhan responden adalah sebesar Rp760 683. Hal tersebut dapat diklasifikasikan menjadi dua kategori, yaitu kategori pertama termasuk tinggi, yaitu di atas rata-rata dan kategori kedua termasuk rendah, yaitu di bawah rata-rata, seperti Tabel 28. Upah responden memiliki sebaran yang beragam, mulai dari yang terkecil sebesar Rp125 000 hingga yang terbesar sebesar Rp3 000 000. Mayoritas responden berupah di bawah rata-rata atau kurang dari sama dengan Rp760 683 sejumlah 28 responden atau sebesar 68.3%, sedangkan sisanya berupah di atas rata-rata sejumlah 13 responden atau sebesar 31.7%. Tabel 28 Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat upah di Desa Cihideung Udik tahun 2012 Tingkat upah Tinggi (> Rp760 683) Rendah (≤ Rp760 683) Total
Jumlah 13 28 41
Persentase 31.7 68.3 100.0
Hubungan peluang bekerja dan berusaha terhadap tingkat upah dianalisis dengan tabulasi silang. Pada Tabel 29 akan dijelaskan tabulasi silang mengenai hubungan peluang bekerja dan berusaha dengan tingkat upah. Terlihat bahwa tingkat upah yang tergolong rendah lebih besar persentasenya (85.7%) pada peluang bekerja dan berusaha yang tergolong mudah, sedangkan tingkat upah tinggi lebih besar persentasenya (35.3%) pada peluang bekerja dan berusaha yang termasuk sulit. Hal ini menunjukkan bahwa antara peluang bekerja dan berusaha tidak terdapat hubungan dalam menentukan tingkat upah. Akan tetapi, terdapat kecenderungan bahwa peluang bekerja dan berusaha responden mayoritas sulit dan tingkat upahnya rendah, yaitu 22 responden. Keberagaman pekerjaan yang dimiliki responden terkait dengan tingkat upahnya. Setelah dilakukan penelitian, pada Tabel 28 mayoritas responden (68.3%) tergolong memiliki upah rendah, yaitu dibawah rata-rata upah keseluruhan responden atau kurang dari sama dengan Rp760 683. Rendahnya upah responden tidak terlepas dari pekerjaan yang mudah dan tidak memerlukan keterampilan tinggi. Pekerjaan-pekerjaan yang
47 dimiliki responden (Tabel 21 dan 22 halaman 43) juga sebagian besar (61%) tidak pasti, meskipun kondisinya seperti itu mereka tetap menjalani pekerjaannya dengan landasan faktor ekonomi. Tabel 29 Jumlah dan persentase berdasarkan hubungan peluang bekerja dan berusaha dengan tingkat upah responden di Desa Cihideung Udik tahun 2012 Tingkat upah Rendah Tinggi Total
Peluang bekerja dan berusaha Sulit Mudah Jumlah Persentase Jumlah Persentase 22 64.7 6 85.7 12 35.3 1 14.3 34 100.0 7 100.0
Kenyataan di lapang menunjukkan bahwa wanita belum mampu menggunakan hak-hak ekonominya karena tidak memiliki akses dan kontrol terhadap sumber daya pembangunan yang berakar pada persoalan ketidakadilan dan ketidaksetaraan gender. Salah satunya terlihat dari keterbatasan meraih peluang bekerja dan berusaha yang pada akhirnya mendorong timbulnya perbedaan dalam memperoleh upah dan peluang bekerja dan berusaha. Tenaga kerja WKRT ini berada di pasar sekunder, yaitu kurang terampil, berupah rendah, dan kondisi kerja yang kurang baik. Menurut Hubeis (2010) alasan mereka bekerja di pasar sekunder karena kemajuan bekerja wanita yang dinilai rendah, secara sosial wanita berbeda dengan pria, komitmen yang rendah dan tanggung jawab yang terfokus dengan pekerjaan domestik, dinilai sebagai makhluk yang tidak terlalu berambisi untuk mendapatkan upah tinggi, dan solidaritas rendah. WKRT yang menjadi responden seluruhnya bekerja dan masih memiliki anak usia sekolah hingga setara SMA/sederajat. Responden bekerja untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya, dan memiliki tanggung jawab yang besar terhadap rumah tangganya termasuk dalam hal pendidikan anak. Pendidikan anak penting terutama dalam hal pertumbuhan dan perkembangannya. Namun, dalam mendukung pendidikan anak yang berkualitas diperlukan biaya yang besar. Sementara itu, mayoritas peluang bekerja dan berusaha responden termasuk sulit dengan tingkat upah yang rendah. Tingkat keberhasilan pendidikan anak responden mayoritas tidak berhasil (58.5%) dengan melihat anak yang berhenti dipertengahan sekolah sebelum lulus, anak yang tidak melanjutkan sekolah setelah lulus, dan masuknya ke sekolah unggulan. LP3ES (1998) menyatakan bahwa salah satu pengeluaran yang menyita sumber ekonomi rumah tangga adalah biaya pendidikan anak. Hal ini juga didukung dengan hasil penelitian Rianingsih (2005), yang menyatakan bahwa penghasilan WKRT yang tergolong minim menjadi salah satu faktor terhadap keberhasilan pendidikan anak Semua responden memiliki kesadaran akan pentingnya pendidikan bagi anak-anak mereka, tidak saja bagi anak laki-laki tetapi juga anak perempuan. Namun, karena tingkat upah mereka yang relatif rendah, seringkali terpaksa harus mengorbankan pendidikan anak. Meskipun sudah ada bantuan dari pemerintah melalui dana BOS (Biaya Operasional Sekolah), namun biaya berupa seragam, buku, dan keperluan sekolah lainnya masih membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Dalam membiayai pendidikan anak-anak sebagian dari mereka berusaha
48 mengatasi sendiri, sedang sebagian lainnya mendapat bantuan dari orang lain, seperti anak, saudara kandung atau ipar. Usaha yang dilakukan responden sebagai WKRT sangat menentukan keberhasilan pendidikan anak. Terdapat perbedaan pada responden yang sangat mengusahakan untuk pendidikan anak sehingga mereka bekerja keras untuk memenuhi pendidikan anak sedangkan responden yang kurang mengusahakan hanya pasrah karena memiliki upah rendah. Keberhasilan pendidikan anak juga tidak terlepas dari kemauan anak untuk bersekolah.
Ikhtisar a. Secara umum peluang bekerja dan berusaha pada WKRT di Desa Cihideung Udik tergolong sulit. Jika dilihat dari alat ukurnya, mayoritas responden tergolong mudah dalam usaha mencari pekerjaan, berdasarkan faktor pendukung berusaha termasuk dalam kategori sulit, berdasarkan jenis pekerjaan termasuk nonformal, dan berdasarkan kesulitan pinjaman termasuk sulit. b. Hubungan ideologi gender terhadap peluang bekerja dan berusaha dianalisis dengan tabulasi silang. Terdapat hubungan antara ideologi gender dengan peluang bekerja dan berusaha. Terlihat dari peluang bekerja dan berusaha responden yang sulit lebih besar persentasenya pada ideologi gender yang termasuk tidak sadar gender. Lalu peluang bekerja dan berusaha responden yang mudah lebih besar persentasenya pada ideologi yang termasuk sadar gender. c. Hubungan karakteristik usia responden terhadap peluang bekerja dan berusaha dianalisis dengan tabulasi silang. Terdapat hubungan antara karakteristik usia dengan peluang bekerja dan berusaha responden. Terlihat dari peluang bekerja dan berusaha responden yang termasuk sulit lebih besar persentasenya pada karakteristik usia yang termasuk tua. Lalu peluang bekerja dan berusaha responden yang termasuk mudah lebih besar persentasenya pada karakteristik usia yang termasuk muda. d. Hubungan karakteristik lamanya menjadi WKRT responden terhadap peluang bekerja dan berusaha dianalisis dengan tabulasi silang. Tidak terdapat hubungan antara karakteristik lamanya menjadi WKRT dengan peluang bekerja dan berusaha. Namun, terdapat kecenderungan bahwa karakteristik lamanya menjadi WKRT responden mayoritas termasuk baru jumlahnya besar persentasenya pada peluang bekerja dan berusaha sejumlah 31 responden. e. Hubungan karakteristik tanggungan anak responden terhadap peluang bekerja dan berusaha dianalisis dengan tabulasi silang.tidak terdapat hubungan antara karakteristik tanggungan anak dengan peluang bekerja dan berusaha. Namun, terdapat kecenderungan antara keduanya. Mayoritas responden yang memiliki tanggungan anak sedikit rata-rata masih memiliki anak yang sebagian besar masih sekolah dan belum bekerja, sedangkan mayoritas responden yang memiliki anak banyak rata-rata anaknya sudah berusia dewasa dan sudah berumah tangga sendiri sehingga tidak terlalu menjadi beban bagi responden. f. Hubungan peluang bekerja dan berusaha terhadap tingkat upah dianalisis dengan tabulasi silang. Terlihat bahwa tingkat upah yang tergolong rendah
49 lebih besar persentasenya pada peluang bekerja dan berusaha yang tergolong mudah, sedangkan tingkat upah tinggi lebih besar persentasenya pada peluang bekerja dan berusaha yang termasuk sulit. Hal tersebut menunjukkan bahwa antara peluang bekerja dan berusaha tidak terdapat hubungan dalam menentukan tingkat upah. Akan tetapi, terdapat kecenderungan bahwa peluang bekerja dan berusaha responden mayoritas sulit dan tingkat upahnya rendah, yaitu sebanyak 22 responden.
50
51
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1.
2.
3.
Adapun simpulan yang dapat diambil dari hasil penelitian, yaitu: Hubungan ideologi gender terhadap peluang bekerja dan berusaha dianalisis dengan tabulasi silang. Terdapat hubungan antara ideologi gender dengan peluang bekerja dan berusaha. Terlihat dari peluang bekerja dan berusaha responden yang sulit lebih besar persentasenya pada ideologi gender yang termasuk tidak sadar gender. Lalu peluang bekerja dan berusaha responden yang mudah lebih besar persentasenya pada ideologi yang termasuk sadar gender. Hubungan karakteristik responden terhadap peluang bekerja dan berusaha dianalisis dengan tabulasi silang. Terdapat hubungan antara karakteristik usia dengan peluang bekerja dan berusaha responden. Terlihat dari peluang bekerja dan berusaha responden yang termasuk sulit lebih besar persentasenya pada karakteristik usia yang termasuk tua. Lalu peluang bekerja dan berusaha responden yang termasuk mudah lebih besar persentasenya pada karakteristik usia yang termasuk muda. Tidak terdapat hubungan antara karakteristik lamanya menjadi WKRT dengan peluang bekerja dan berusaha. Namun, terdapat kecenderungan bahwa karakteristik lamanya menjadi WKRT responden mayoritas termasuk baru jumlahnya besar persentasenya pada peluang bekerja dan berusaha. Tidak terdapat hubungan antara karakteristik tanggungan anak dengan peluang bekerja dan berusaha. Namun, terdapat kecenderungan antara keduanya. Mayoritas responden yang memiliki tanggungan anak sedikit rata-rata masih memiliki anak yang sebagian besar masih sekolah dan belum bekerja, sedangkan mayoritas responden yang memiliki anak banyak rata-rata anaknya sudah berusia dewasa dan sudah berumah tangga sendiri sehingga tidak terlalu menjadi beban bagi responden. Hubungan peluang bekerja dan berusaha terhadap tingkat upah dianalisis dengan tabulasi silang. Terlihat bahwa tingkat upah yang tergolong rendah lebih besar persentasenya pada peluang bekerja dan berusaha yang tergolong mudah, sedangkan tingkat upah tinggi lebih besar persentasenya pada peluang bekerja dan berusaha yang termasuk sulit. Hal tersebut menunjukkan bahwa antara peluang bekerja dan berusaha tidak terdapat hubungan dalam menentukan tingkat upah. Akan tetapi, terdapat kecenderungan bahwa peluang bekerja dan berusaha responden mayoritas sulit dan tingkat upahnya rendah.
Saran 1.
Adapun saran dari hasil penelitian ini, yaitu: Perlunya sosialisasi kesadaran gender di masyarakat melalui lembaga yang berwenang dan peran tokoh masyarakat untuk menyadarkan bahwa akses dan kontrol antara pria dan wanita sama, sehingga tidak ada pihak yang merasa dirugikan. Dalam hal ini tentunya Wanita Kepala Rumah Tangga
52
2.
(WKRT) yang dirugikan sehingga mereka tidak mengalami kesulitan dalam peluang bekerja dan berusaha; Perlunya penyediaan pendidikan informal dalam mendukung keterampilan Wanita Kepala Rumah Tangga (WKRT) supaya mereka dapat lebih percaya diri dalam melamar pekerjaan yang memiliki tingkat upah tinggi. Selain itu, juga perlu dibukanya kesempatan bekerja untuk Wanita Kepala Rumah Tangga (WKRT).
53
DAFTAR PUSTAKA Akhmadi, Yusrina A, Budiyati S, Yumna A. 2011. Pemberdayaan perempuan kepala keluarga di Indonesia (studi kasus di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam, Jawa Barat, Kalimantan Barat, dan Nusa Tenggara Timur) [internet]. 15.00 [diunduh 2012 Maret 23]. Tersedia pada: http://www.smeru.or.id/report/research/accesstojustice/accesstojustice_ini .pdf. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2011. Persentase rumah tangga menurut Provinsi, jenis kelamin KRT yang bekerja, dan daerah tempat tinggal, 2009-2011 [internet]. 09.54 [diunduh 2012 Juni 10]. Tersedia pada: http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?kat=1&tabel=1&daftar=1&id_su byek=40¬ab=6. ________________________. 2012. Perkembangan beberapa indikator utama sosial-ekonomi Indonesia [internet]. 15.00 [diunduh 2012 Maret 23]. Tersedia pada: http://www.bps.go.id/. Gardiner Mayling Oey, Surbakti Soedarti. 1991. Strategi Kehidupan Wanita Kepala Rumah Tangga. Jakarta (ID): Biro Pusat Statistik. 185 hal. Gardiner Mayling Oey. 1991. Wanita dan pria kepala rumah tangga. Dalam: Gardiner Mayling Oey, Surbakti Soedarti. Strategi Kehidupan Wanita Kepala Rumah Tangga. Jakarta (ID): Biro Pusat Statistik. Hal 9-28. Habib Tanzima Zohra. 2010. Socio-psychological status of female heads of households in Rajshahi City, Bangladesh. Journal of Antrophology [internet]. 13.45 [diunduh 2012 April 12]; 6 (2): 173-186. Tersedia pada: http://www.antrocom.net/upload/sub/antrocom/060210/05-Antrocom.pdf. Handayani T, Sugiarti. 2008. Konsep dan Teknik Penelitian Gender. Malang (ID): UMM Press. Hubeis Aida VS. 2010. Pemberdayaan Perempuan dari Masa ke Masa. Bogor (ID): IPB Press. 520 hal. Ihromi TO. 1990. Aspek hukum dari wanita kepala rumah tangga. Dalam: Sajogyo Pudjiwati, Ihromi TO, Surbakti Soedarti, Mayling Oey Gardiner, editor. Strategi Kehidupan Wanita Kepala Rumah Tangga (WKRT). Jakarta (ID): Biro Pusat Statistik. Hal 46-66. Ihromi TO. 1990. Para Ibu yang Berperan Tunggal dan yang Berperan Ganda. Jakarta (ID): Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. 187 hal. [LP3ES] Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial. 1998. Studi Kasus Kehidupan Ekonomi Wanita Kepala Keluarga DKI Jakarta dan DI Yogyakarta. Jakarta (ID): LP3ES. Munti Ratna Batara. 1999. Perempuan sebagai Kepala Rumah Tangga. Jakarta: Lembaga Kajian Agama dan Jender. [PEKKA] Pemberdayaan Kepala Keluarga. 2012. Profil PEKKA [internet]. 15.00 [diunduh 2012 April 12]. Tersedia pada: http://www.pekka.or.id/8/ index.php?option=com_content&view=article&id=19&Itemid=27&lang=i n. Republika. 2012. Mengenaskan, ratusan perempuan Lombok jadi kepala keluarga [internet]. 13.00 [diunduh 2012 April 12]. Tersedia pada:
54 http://www.republika.co.id/berita/regional/nusantara/12/03/05/m0ephu mengenaskan- ratusan-perempuan-lombok-jadi-kepala-keluarga. Rianingsih Mien. 2005. Fenomena Sosial Kehidupan Perempuan Kepala Keluarga Miskin [tesis]. Depok (ID): Universitas Indonesia. Sajogyo Pudjiwati, Surbakti Soedarti, Gardiner Mayling Oey. 1989. Laporan Studi Wanita Kepala Rumah Tangga Berdasarkan Data Sensus Penduduk 1980. Jakarta (ID): Biro Pusat Statistik. 104 hal. Sajogyo Pudjiwati. 1989. Peluang berusaha dan bekerja serta tingkat kesejahteraan rumah tangga yang dikepalai wanita di Indonesia 1980. Dalam: Sajogyo Pudjiwati, Surbakti Soedarti, Gardiner Mayling Oey,editor. 1989. Laporan Studi Wanita Kepala Rumah Tangga Berdasarkan Data Sensus Penduduk 1980. Jakarta (ID): Biro Pusat Statistik. Hal 1-30. ________________. 1989. Peluang Bekerja sebagai Sumber Nafkah Wanita Pedesaan. Bogor: PSP IPB. Singarimbun Masri, Effendi Sofian. 2008. Metode Penelitian Survei. Jakarta (ID): Pustaka LP3ES. Surbakti Soedarti, Imawan W., Purba K., Hutajulu A.T. 1991. Titi Rantai Kelurahan Perdagangan Kota di Sumatera Utara. Dalam: Gardiner Mayling Oey, Surbakti Soedarti, editor. 1991. Strategi Kehidupan Wanita Kepala Rumah Tangga. Jakarta (ID): Biro Pusat Statistik. Hal 51-72. [UU] Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan. Jakarta (ID): Sekretariat Negara. Widayati Wahyu Anny. 1991. Kemandirian wanita kepala rumah tangga di pedesaan. Dalam: R.W. Hesti, K. Sri, I. Susrini, Suhariningsih, R. Retty, Y. Yayuk, editor. Kemandirian Perempuan Indonesia. Malang (ID): Kelompok Studi Wanita Pusat Penelitian UNIBRAW. Wigna Winati. 1990. Kehidupan Rumah Tangga yang Dikepalai Wanita (Studi Kasus Masyarakat Industri di Pedesaan di Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat). Bogor(ID): Pusat Studi Pembangunan IPB.
55
LAMPIRAN Lampiran 1 Peta lokasi penelitian Peta Desa Cihideung Udik, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat
Sumber: http://maps.google.co.id/maps?hl=id&client=firefoxa&hs=tA3&rls=org.mozilla:e nUS:official&q=peta+kantor+desa+cihideung+ilir&bav=on.2,or.r_gc.r_pw.r_qf., cf.osb&biw=1024&bih=439&um=1&ie=UTF-8&sa=N&tab=wl Gambar 2 Peta Desa Cihideung Udik
56 Lampiran 2 Jadwal penelitian Kegiatan
Mei 3
Penyusunan Proposal Skripsi Kolokium Perbaikan Proposal Pengambilan Data Lapangan Pengolahan dan Analisis Data Penulisan Draft Skripsi Sidang Skripsi Perbaikan Skripsi
4
Juni 1 2 3 4
Juli-Oktober
November 1
2
3
4 1
Desember 2
3
Januari
4 1 2 3 4
Februari 1
2
57
RIWAYAT HIDUP
Femy Amalia Arizi Putri lahir di Jakarta pada tanggal 19 Desember 1991. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara, dari pasangan Zulkifli H.S. dan Nurarini. Penulis memulai pendidikannya di Taman Kanak-kanak (TK) Aisiyah 32 pada tahun 1996-1997. Kemudian melanjukan ke Sekolah Dasar Negeri (SDN) 01 Cipedak pada tahun 1997-2003, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri (SLTPN) 131 Jakarta pada tahun 2003-2006, dan Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 49 Jakarta pada tahun 2006-2009. Setelah lulus dari jenjang pendidikan SMA, penulis melanjutkan pendidikannya di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2009 melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima di Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia. Selama penulis menuntut ilmu di Institut Pertanian Bogor, penulis aktif mengikuti organisasi dan kegiatan kepanitiaan. Penulis aktif dalam organisasi mahasiswa saat di asrama, yaitu Tim PPAMB Asrama TPB IPB pada periode kepengurusan 2009-2010 (Divisi Kegiatan). Penulis juga aktif dalam organisasi kemahasiswaan lain, yaitu Ikatan Mahasiswa Peminat Ekologi Manusia (IMPEMA) pada periode kepengurusan 2010-2011 dan 2011-2012 sebagai anggota Divisi Riset dan Pengembangan Masyarakat; Sanggar Juara periode kepengurusan 2010-2011 (Anggota) dan 2011-2012 (Divisi Human Research and Development); Himpunan Mahasiswa Peminat Ilmu-ilmu Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (HIMASIERA) pada tahun 2011-2012 (Divisi Research and Development). Penulis juga aktif mengikuti kegiatan kepanitiaan dalam beberapa acara di IPB, seperti kepanitiaan dalam Masa Perkenalan Departemen (MPD) Sains Komuninikasi dan Pengembangan Masyarakat dan Masa Perkenalan Fakultas (MPF) Ekologi Manusia, dan berbagai kepanitiaan di organisasi.