LENTERA, Jurnal Studi Perempuan, Vol. 1/No. 2/ Desember 2005, ISSN 1858-4845
PEKERJA WANITA INDUSTRI RUMAH TANGGA KONFEKSI DAN KONTRIBUSINYA TERHADAP PENDAPATAN RUMAH TANGGA (Studi di Kecamatan Tanggulangin, Kabupaten Sidoarjo) Bambang Suratman* Abstract This research aims at describing the economic-social background, wage system, earnings distribution, contribution to domestic earnings, and time allocation among domestic woman workers. The research result shows that the woman workers, in terms of age and educational background, represent the potential force for the growth of related industry and improvement of family earnings. Its remuneration is the contract system, which has an significant contribution to family. The research result also reveals that married woman workers tend to render all its earnings, while singleworkers have more freedom to use their earnings. In addition, tThere is a no difference between married woman workers and single workers in terms of time allocation. Key words: industry, household, sewing, earnings A. Pendahuluan Industri kecil dan industri rumah tangga berkembang dengan sifat-sifat padat karya. Dalam hal ini Mc. Cawley (1979) mengatakan bahwa perkembangan industrialisasi di Indonesia di sektor industri kecil atau rumah tangga paling tinggi dalam penyerapan tenaga kerja. Hal tersebut dikarenakan industri kecil maupun industri rumah tangga relatif tidak memerlukan keahlian tinggi, modal kecil dan bahkan di pedesaan. Pekerjaan rumah tangga dapat didahulukan tanpa meninggalkan kegiatan ekonomis lainnya. Industri kecil sebagai bagian dari sektor informal memainkan peran penting dalam penyerapan tenaga kerja di pedesaan Jawa. Kebanyakan industri kecil, terutama yang dikerjakan di rumah banyak menyerap tenaga kerja wanita (Scolten, 1987).
*)
Drs. Bambang Suratman adalah dosen Jurusan Ekonomi Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Surabaya
157
Bambang Suratman, Pekerja Wanita Industri Rumah Tangga Konfeksi Dan Kontribusinya Terhadap Pendapatan Rumah Tangga (studi Di Kecamatan Tanggulangin, Kabupaten Sidoarjo)
Salah satu jenis industri kecil rumah tangga adalah industri kecil konfeksi yang sebagian besar tenaga kerjanya wanita. Maksudnya wanita sebagai pekerja industri rumah tangga merupakan gejala yang menarik dalam studi tentang wanita. Keberadaannya tidak bisa dipisahkan dari peranan wanita. Sebagai pencari nafkah, sebagai tenaga kerja keluarga, yang bertugas mengerjakan pekerjaan domestik. Industri rumah tangga merupakan kegiatan ekonomi yang berada di sekitar rumah tempat tinggal (home-based production) dan wanita mempunyai peluang untuk bekerja pada industri semacam itu. Wanita Jawa sering disebut sebagai ”Manajer Rumah Tangga”. Tanggung jawab mereka tidak saja dalam mengatur keuangan rumah tangga, akan tetapi juga mencari nafkah (Geertz, 1961). Tanggungjawab untuk ikut mencari nafkah ini semakin menonjol di kalangan wanita dari keluarga miskin karena hasil pendapatan suami tidak mencukupi. Hal ini membuktikan bahwa wanita merupakan tenaga kerja yang potensial untuk ikut serta memajukan usaha. Wanita bukan merupakan subordinat dari lakilaki, tapi merupakan mitra sejajar yang kemampuannya tidak boleh diabaikan. Partisipasi ekonomi wanita ternyata tidak mengubah peranan ideal wanita. Mengenai pekerjaan wanita di luar rumah, apapun kedudukan mereka serta sumbangan ekonomi mereka, tugas utama mereka tetaplah mengurus rumah tangga (Sumbung, 1984). Dapatlah dimengerti apabila wanita senantiasa merasa diharuskan untuk mengatur keseimbangan antara perannya sebagai pengurus rumah tangga dan pencari nafkah. Selain harus melakukan pekerjaan rumah tangga, wanita pedesaan juga harus memenuhi peranan mereka sebagai penjaga ikatan kekerabatan dan ketetanggaan (Geerz, 1961). Peranan ”ideal” yang diharapkan dari wanita ini merupakan salah satu hambatan bagi wanita yang ingin memasuki lapangan kerja dan wanita yang sudah bekerja. Allen dan Wolkowitz (1987) menyebut hambatan ini sebagai ”Hambatan Ideologis”. Selain hambatan ideologis masih ada ”Hambatan Material”, misalnya tingkat pendidikan dan keterampilan yang rendah. Hambatan-hambatan ini merupakan penjelasan parsial dari adanya ketidakseimbangan berdasarkan gender dalam lapangan pekerjaan. Perbedaan upah untuk pekerjaan yang sama dan segregasi pekerjaan berdasarkan jenis kelamin merupakan manifestasi ketidakseimbangan berdasarkan gender (gender inequality) dalam lapangan pekerjaan. Meskipun industri rumah tangga konfeksi memberikan peluang wanita
158
LENTERA, Jurnal Studi Perempuan, Vol. 1/No. 2/ Desember 2005, ISSN 1858-4845
untuk bekerja, tetapi terdapat masalah penting yang perlu dikaji baik untuk kepentingan akademis maupun praktis. Permasalahan umum yang diangkat dalam penelitian ini adalah (1) Bagaimanakah karakteristik pekerja wanita pada industri rumah tangga konfeksi di Kecamatan Tanggulangin Kabupaten Sidoarjo? (2) Bagaiamana sistem upah yang berlaku pada industri rumah tangga konfeksi, khususnya pekerja wanita? (3) Bagaimanakah penggunaan pendapatan yang diterima? Apakah ada perbedaan pola alokasi pendapatan antara pekerja yang sudah menikah dengan yang belum? Bagaimanakah sumbangan pendapatan pekerja wanita terhadap pendapatan rumah tangga? (4) Bagaimanakah alokasi waktu dalam rumah tangga pekerja wanita pada industri rumah tangga konfeksi di Kecamatan Tanggulangin Kabupaten Sidoarjo? Penelitian ini bertujuan untuk melihat: (1) latar belakang sosial ekonomi pekerja wanita pada industri rumah tangga konfeksi. (2) sistem upah yang berlaku pada industri rumah tangga konfeksi, khususnya bagi pekerja wanita. (3) distribusi pendapatan pekerja wanita pada industri rumah tangga konfeksi dan sumbangannya terhadap pendapatan rumah tangga. (4) alokasi waktu dalam rumah tangga pekerja wanita pada industri rumah tangga konfeksi di Kecamatan Tanggulangin Kabupaten Sidoarjo. Secara teoritis dan praktis penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat. (1) Bagi industri kecil rumah tangga konfeksi, hasil penelitian ini diharapkan dapat dipakai sebagai acuan dalam memotivasi kerja. (2) Menemukan karakteristik pekerja wanita di industri rumah tangga konfeksi. (3) Bagi pemerintah daerah, sebagai bahan pertimbangan dalam penentuan program-program dan kebijaksanaan yang tepat untuk meningkatkan peran wanita di dunia kerja dan sekaligus untuk mengembangkan industri kecil rumah tangga konfeksi di Kecamatan Tanggulangin Kabupaten Sidoarjo. (4) Bagi peneliti khususnya dan peneliti-peneliti berikutnya pada umumnya, penelitian ini memberikan sumbangan referensi tentang peran pekerja wanita dan kontribusinya terhadap pendapatan rumah tangga. (5) Ditemukan pola baru yang dapat digunakan untuk pengembangan pengetahuan untuk meningkatkan sumber daya manusia khususnya wanita di industri rumah tangga. Prosedur pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan instrumen berupa angket atau kuesioner yang diisi oleh pekerja wanita industri rumah tangga konfeksi di Kecamatan Tanggulangin Kabupaten Sidoarjo. Sedangkan penentuan
159
Bambang Suratman, Pekerja Wanita Industri Rumah Tangga Konfeksi Dan Kontribusinya Terhadap Pendapatan Rumah Tangga (studi Di Kecamatan Tanggulangin, Kabupaten Sidoarjo)
jumlah sampel ditentukan dengan rumus dari Parel, dalam Suparmoko, (1998) sehingga dari populasi yang ada sebesar 263. Dengan menduga besarnya proporsi (p) sebesar 50%, serta dengan menginginkan kesalahan penyimpangan 5%, dimana besarnya nilai Z = 1,960 berarti jumlah sampel dalam penelitian ini adalah paling sedikit 71 responden. Dalam penelitian ini jumlah responden ditentukan sebaganyak 80 orang pekerja wanita. B. 1.
Pembahasan Latar Belakang Sosial Pekerja Data yang diperoleh menunjukkan bahwa pada umumnya mereka berlatar belakang pendidikan tingkat atas (SLTA) dan berumur antara 20-31 tahun. Dilihat dari usia menunjukkan bahwa usia responden berkisar antara 20-48 tahun, dengan prosentase terbanyak adalah responden yang berusia 26-31 tahun (sesuai tabel tingkat pendidikan dan usia responden). Hal ini memperlihatkan bahwa pekerja wanita pada industri rumah tangga konfeksi ini relatif berumur muda dan produktif. Dengan demikian potensi yang dimiliki oleh para pekerja wanita tersebut cukup beasr karena pada kelompok umur di bawah 40 tahun tersebut masih banyak kesempatan untuk mengembangkan kemampuannya dalam bidang keterampilan maupun bidang lainnya. Dilihat dari ada tidaknya kekerabatan antara pekerja wanita dengan pemilik, ternyata dari 80 orang pekerja wanita yang diteliti sejumlah 43 orang (53,75%) tidak ada hubungan kekerabatan dengan pemilik. Sedangkan 37 orang pekerja yang lain (46,25%) mengatakan masih ada hubungan kekerabatan dengan pemilik. Tentang jenis ketrampilan pekerja wanita menurut ada/tidaknya hubungan kekerabatan dengan pemilik dapat terlihat bahwa 46,25% pekerja masih ada hubungan kekerabatan dengan pemilik. Selanjutnya jika ditinjau dari jenis keterampilan pekerjaan yang dilakukan, pekerjaan menjahit yang ada hubungan kekerabatan merupakan prosentase terbesar (45,95%) dari pada yang lain. sedangkan yang tidak ada hubungan kekerabatan dengan pemilik sebesar 53,79%. Akan tetapi jenis pekerjaan obras/bordir dan potong, pekerja yang tidak ada hubungan kekerabatan dengan pemilik sama besar yaitu sebesar 20,93%, untuk jenis pekerjaan menjahit maka prosentase tersebut lebih besar dari pada mereka yang mempunyai hubungan kekerabatan dengan pemilik, yaitu sebesar 16,22%. Sedangkan untuk jenis pekerjaan obras maka prosentase tersebut lebih kecil
160
LENTERA, Jurnal Studi Perempuan, Vol. 1/No. 2/ Desember 2005, ISSN 1858-4845
karena untuk jenis obras/bordir, pekerja yang mempunyai hubungan kekerabatan dengan pemilik adalah sebesar 27,03%. Pada jenis pekerjaan desain, jumlahnya relatif lebih besar pada pekerja yang ada hubungan kekerabatan dari pada pekerja yang tidak ada hubungan kekerabatan. Interpretasi terhadap hasil penelitian ini adalah bahwa sebagian pekerja tidak ada hubungan kekerabatan dengan pemilik, tetapi tidak pada semua jenis pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja. Dalam mengungkap ”alasan bekerja” pekerja wanita industri rumah tangga konfeksi, tersedia tiga kemungkinan jawaban bagi responden, yaitu alasan bekerja karena desakan ekonomi, karena didorong oleh orang tua atau kerabat, atau karena alasan belajar/magang. Dari jawaban yang masuk ternyata desakan ekonomi mempunyai prosentase terbesar (66,25%) dan jenis keterampilan yang dipilih adalah menjahit (60,38%). Untuk ”alasan bekerja” karena belajar atau magang ternyata mempunyai prosentase terendah di antara dua asalah yang lain, ternyata tidak ada yang belajar/magang dalam jenis keterampilan desain. Bila dikaitkan dengan jenis ketrampilan dan hubungannya dengan pemilik dapat diinterpretasikan bahwa meskipun antara pekerja dengan pemilik unit usaha ada hubungan kekerabatan, tetapi ternyata yang benar-benar mengaku bahwa alasan bekerja membantu kerabat hanya 25%. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun ada hubungan kekerabatan antara pemilik dengan pekerja, tetapi keduanya juga menjalankan hubungan kerja sebagaimana hubungan antara buruh dengan majikan. 2. Pengupahan Sistem pengupahan yang berlaku pada industri rumah tangga konfeksi di Kecamatan Tanggulangin adalah sistem borongan; artinya besar kecilnya upah yang diterima oleh masing-masing pekerja ditentukan oleh jumlah pekerjaan yang dapat diselesaikan. Dari temuan hasil penelitian pada industri rumah tangga konfeksi di Kecamatan Tanggulangin, besar upah yang diterima pekerja bervariasi antara Rp. 50.000,00 sampai Rp. 300.000,00 per minggu, namun demikian karena sistemnya borongan maka akan sangat tergantung pada jumlah produk yang dihasilkan. Ada beberapa faktor yang menentukan besarnya upah ini antara lain jumlah produk yang bisa diselesaikan, bagian/jenis pekerjaan yang dikerjakan, tingkat kesulitan yang dikerjakan dan sebagainya. Penghasilan yang diterima oleh pekerja paling besar adalah Rp. 300.000,00/
161
Bambang Suratman, Pekerja Wanita Industri Rumah Tangga Konfeksi Dan Kontribusinya Terhadap Pendapatan Rumah Tangga (studi Di Kecamatan Tanggulangin, Kabupaten Sidoarjo)
minggu, dan untuk jenis pekerjaan yang menerima penghasilan terbesar adalah desain yaitu sebesar 66,67% dari jumlah responden yang spesialisasinya adalah desain. Untuk jenis pekerjaan potong, yang menerima penghasilan terbesar adalah sejumlah 40% dan pekerjaan menjahit yang menerima penghasilan terbesar adalah 10%. Sedangkan untuk pekerjaan obras, tidak ada pekerja yang menerima penghasilan terbesar. Diantara keempat jenis pekerjaan yang ada, pekerjaan desain menuntut kreatifitas yang paling tinggi dari pekerjanya karena desain harus selalu dikembangkan sesuai dengan perkembangan mode yang ada, dan untuk ini pekerja harus rajin mengamati perkembangan mode karena kalau tidak tentu saja produknya akan kurang laku di pasaran. Secara lebih rinci variasi upah yang diterima oleh pekerja wanita industri rumah tangga konfeksi teralokasi pada bagian-bagian berikut: penghasilan sebesar Rp. 200.500,00 250.000,00/ perminggu prosentasenya paling tinggi yaitu sebesar 33,75% pekerja; prosentase terbesar kedua adalah pekerja yang memperoleh antara Rp. 150.500,00 200.000,00 (22,5%); pekerja yang memperoleh penghasilan antara Rp. 100.500,00 Rp. 150.000,00 adalah sebesar 18,75%; disusul dengan tingkat penghasilan pada level yang tertinggi yaitu sebesar Rp. 250.500,00 Rp. 300.000,00 yaitu sebesar 17,5% pekerja, sedangkan pekerja yang menerima penghasilan paling rendah yaitu Rp. 50.000,00 Rp. 100.000,00 menduduki urutan terakhir yaitu hanya sebesar 7,5% dari seluruh pekerja yang ada. Dari rincian tersebut dapatlah disimpulkan bahwa pekerja wanita industri rumah tangga konfeksi paling sedikit menerima penghasilan Rp. 200.000,00/bulan dan paling tinggi menerima penghasilan sebesar Rp. 1.200.000,00/bulan. Dan kalau dicermati lebih dalam lagi maka dapat diketahui bahwa bagian potong dan desain merupakan penerima penghasilan lebih besar dari pada bagian-bagian yang lainnya. Bagian potong lebih memerlukan kecermatan dan kehati-hatian yang lebih tinggi karena kalau terjadi salah potong maka bagian menjahit tidak akan mau menjahit potongan yang salah tersebut. 3. Motif Pekerja Wanita Setiap pekerja memiliki berbagai macam kebutuhan pada suatu saat tertentu. Kebutuhan yang paling kuat akan menentukan aktivitas-aktivitas yang akan dilakukan. Paul Harsey (1982) mengartikan motif sebagai kebutuhan, keinginan, gerak hati dalam diri seseorang. Menurutnya, aktivitas-aktivitas yang timbul dari
162
LENTERA, Jurnal Studi Perempuan, Vol. 1/No. 2/ Desember 2005, ISSN 1858-4845
kebutuhan yang paling kuat dapat diklasifikasikan kedalam dua kategori, yaitu aktivitas yang diarahkan pada tujuan dan aktivitas tujuan. Tingkat-tingkat kebutuhan pekerja dalam studi ini dapat dilihat dari prioritas urutan tujuan para pekerja dalam bekerja. Hasil tentang prosentase pilihan terhadap urutan kebutuhan pekerja (tabel 13) terlihat bahwa seluruh responden (100%) mengatakan bahwa ”uang” merupakan prioritas utama mereka bekerja. Sedangkan jaminan masa depan merupakan kebutuhan berikutnya. Bergaul dengan teman, pada umumnya dipilih pekerja sebagai urutan ketiga. Kebutuhan akan prestasi menempati urutan keempat dan urutan terakhir adalah kebutuhan akan penghargaan. Dengan demikian dapat diinterpretasikan bahwa prioritas kebutuhan pekerja wanita umumnya pada level pemenuhan kebutuhan fisiologis. Hal tersebut tampaknya juga selaras dengan data yang ada yang menunjukkan bahwa sebagian besar responden mengatakan bahwa alasan mereka bekerja adalah karena desakan ekonomi (lihat tabel 6). 4. Alokasi Pendapatan Sebenarnya uang hanyalah merupakan alat yang digunakan untuk memenuhi kepuasan motif lain. Sehingga persoalannya terletak pada hal-hal yang dapat dilakukan seseorang pekerja terhadap uang tersebut dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhan mereka. Meskipun penggunaan uang terkait dengan semua macam kebutuhan disamping kebutuhan fisiologis, serta kadar pentingnya sukar dipastikan. Namun pada studi ini terlihat bahwa penghasilan yang dapat diterima oleh pekerja wanita sebagian besar (70%) digunakan untuk memenuhi kebutuhan fisiologis (yang diwujudkan dalam memenuhi makan, perumahan, dan pakaian); kemudian untuk mengangsur hutang (15%) dan biaya-biaya: sekolah, transportasi dan lain-lain masing-masing 5%. Sedangkan untuk kebutuhan rekreasi dan tabungan tidak ada. Relevansi terhadap hirarki kebutuhan Maslow adalah orangorang yang kebutuhan untuk kelangsungan hidupnya tidak dapat terpenuhi dengan baik, maka akan memberikan nilai yang sangat tinggi terhadap uang sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan fisiologisnya. Kenyataan ini sesuai dengan data tentang jenis ketrampilan pekerja wanita dalam hubungannya dengan tempat tinggalnya (tabel 7) bahwa seluruh responden mengatakan kebutuhan uang menjadi prioritas utama.
163
Bambang Suratman, Pekerja Wanita Industri Rumah Tangga Konfeksi Dan Kontribusinya Terhadap Pendapatan Rumah Tangga (studi Di Kecamatan Tanggulangin, Kabupaten Sidoarjo)
Dari penelitian ini juga ditemukan bahwa ada sedikit perbedaan mengenai alokasi pendapatan pekerja wanita menurut status perkawinan. Dari pekerja wanita yang sudah berkeluarga menyumbangkan seluruh pendapatannya untuk menambah/memenuhi kebutuhan rumah tangganya. Hal tersebut sesuai dengan anggapan bahwa bagi wanita yang sudah berkeluarga, mencari nafkah merupakan kepanjangan peran domestik mereka. Apalagi kenyataannya bahwa penghasilan yang diperoleh suami mereka, tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga mereka. Sementara itu wanita yang belum menikah lebih bebas dalam mengalokasikan pendapatan mereka. Sebagian pendapatan mereka untuk membantu orang tua dan sebagian lagi untuk keperluan sendiri, misalnya membeli baju, perhiasan dan kesenangan yang lain. 5. Alokasi Waktu Perbedaan status perkawinan ternyata tidak mempunyai konsekuensi terhadap alokasi waktu. Jumlah jam kerja yang dialokasikan untuk pekerjaan dalam industri rumah tangga konfeksi bagi pekerja wanita berstatus kawin sama dengan yang berstatus belum kawin, karena di industri rumah tangga konfeksi yang menjadi sampel penelitian menerapkan jam kerja mulai dari jam 08.00 16.00 dalam setiap harinya sehingga tidak ada perbedaan jam kerja. Meskipun pekerja wanita yang sudah menikah alokasi waktu bekerja di luar rumah seharusnya 8 jam, berdasarkan wawancara yang telah dilakukan peneliti, pekerja tersebut menyatakan bahwa hal ini tidak teramat sangat mengganggu pekerjaan rumah yang antara lain berupa kegiatan mengasuh anak, memasak dan lain-lain, karena anggota keluarga yang lain dapat menyadari akan hal ini dan pekerjaan rumah diselesaikan secara gotong royong antara anggota keluarga yang lain. Sedangkan bagi pekerja yang belum berkeluarga kegiatan yang sedikit lebih banyak menyita waktu di luar waktu kerja adalah untuk belanja ke pasar. C. Penutup Pekerja wanita pada industri rumah tangga konfeksi dilihat dari umur dan pendidikan merupakan tenaga yang potensial baik untuk perkembangan industri itu sendiri maupun untuk peningkatan pendapatan keluarga. Sistem upah yang berlaku di industri rumah tangga konfeksi adalah sistem borongan, dalam artian pekerja melaksanakan pekerjaan dan memperoleh penghasilannya tidak didasarkan pada jam kerja yang telah diselesaikan tapi
164
LENTERA, Jurnal Studi Perempuan, Vol. 1/No. 2/ Desember 2005, ISSN 1858-4845
berdasar pada jumlah produk yang bisa dihasilkan, dengan demikian semakin lama masa kerja dari pekerja wanita tersebut maka akan semakin ahli dan terampil mereka dalam bekerja sehingga penghasilan yang diperolehpun akan semakin banyak. Pendapatan pekerja wanita mempunyai kontribusi yang cukup penting terhadap pendapatan keluarga dalam rangka memenuhi kebutuhan rumah tangga. Dari penelitian ini juga ditemukan bahwa ada sedikit perbedaan mengenai alokasi pendapatan pekerja wanita menurut status perkawinan. Dari pekerja wanita yang sudah berkeluarga menyumbangkan seluruh pendapatannya untuk menambah/ memenuhi kebutuhan rumah tangganya. Hal tersebut sesuai dengan anggapan bahwa bagi wanita yang sudah berkeluarga, mencari nafkah merupakan kepanjangan peran domestik mereka. Sementara itu wanita yang belum menikah lebih bebas dalam mengalokasikan pendapatan mereka. Sebagian pendapatan mereka untuk membantu orang tua dan sebagian lagi untuk keperluan sendiri, misalnya membeli baju, perhiasan dan kesenangan yang lain. Tidak ada perbedaan alokasi waktu bagi pekerja wanita yang sudah menikah dengan pekerja wanita yang belum menikah, karena jam kerja setiap harinya adalah tetap yaitu mulai jam 08.00 16.00 baik bagi pekerja wanita yang sudah menikah maupun yang belum menikah. Mengingat bahwa tidak ada perbedaan jam kerja antara pekerja wanita yang sudah menikah dengan yang belum, maka dalam rangka pemberdayaan wanita pedesaan, khususnya yang berstatus kawin, perlu diperkenalkan sistem kerja yang memungkinkan para pekerja wanita tersebut bisa melakukan pekerjaan mereka di rumah. Dengan demikian peran ideal mereka sebagai ibu rumah tangga tidak ditinggalkan, sementara mereka tetap bisa mencari nafkah tambahan. Daftar Pustaka Allen, Sheilla dan Carol W olkowltz 1987 Homeworking: Myths and Realities, Hongkong: Macmillan Education Ltd. Anker, Richard dan Catherine Hein 1980 Sex, Inequalities in The Third World, London: Macmillah Press.
163
Bambang Suratman, Pekerja Wanita Industri Rumah Tangga Konfeksi Dan Kontribusinya Terhadap Pendapatan Rumah Tangga (studi Di Kecamatan Tanggulangin, Kabupaten Sidoarjo)
Arief, Sritua dan Adi Sasono 1996 Ketergantungan dan Keterbelakangan, Jakarta: Sinar Harapan. BKKBN Jawa Timur 1994 Rencana Pembangunan Lima Tahun Ke Enam Pembangunan Keluarga Sejahtera. Geertz, Hildred 1961 The Javanese Family, Glencoe Press. Kartini Kartono 1981 Psychology Wanita. Jilid I dan II. Bandung: Alumni. Mc. Cawley 1979 Industrialization in Indonesia. Canberra: ANU. Naisbitt, John 1997 Magatrends Asia, Delapan Megatrends Asia yang Mengubah Dunia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Ilmu. Rahardjo, Dawam 1990 Transformasi Pertanian, Industrialisasi, dan Kesempatan Kerja; Cetakan Ketiga; Jakarta: Universitas Indonesia Press. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah 1997 Selayang Pandang Kabupaten Sidoarjo. Scholten Elisabeth Locher 1987 Female Labour in Twentieth Century Java, European NationsIndonesia Practice, dalam Scholten dan Nihof (ed). Indonesian Women in Focus. USA: Foris Publication. BPS Kantor Statistik Kabupaten Sidoarjo 1997 Sidoarjo Dalam Angka.
164
LENTERA, Jurnal Studi Perempuan, Vol. 1/No. 2/ Desember 2005, ISSN 1858-4845
Singarimbun, Masri dan Efendi, Sofian 1995 Metode Penelitian Survey. Jakarta: LP3ES. Singgih, Wibowo; Murdinah & Yusro Nuri Fawzy 1992 Petunjuk Mendirikan Usaha Kecil, Jakarta: Penebar Swadaya. Suparnoko, M. 1998 Metode Penelitian Praktis, Jakarta: BPFE, UGM. Syahrudin 1989
Pengembangan Industri dan Perdagangan Luar Negeri, Laporan Penelitian, Pusat Penelitian Universitas Andalas.
Tjokrowinoto, Moelyarto. dkk. 1990 Analisis Situasi Wanita Kantor Menteri Negara Urusan Wanita. Jakarta Pusat. Townsend, Bickley. July 1996 Room at The Top for Women. American Demographics. Ware, Halen 1981 Women, Demography and Development. Canberra: ANU.
165