ANALISIS KEMISKINAN DI TINGKAT RUMAH TANGGA DI KABUPATEN BOGOR
Oleh: ESTRELLITA LINDIASARI A14304078
PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
RINGKASAN ESTRELLITA LINDIASARI. Analisis Kemiskinan di Tingkat Rumah Tangga di Kabupaten Bogor. Di bawah bimbingan MUHAMMAD FIRDAUS. Kemiskinan merupakan suatu permasalahan yang dihadapi oleh negaranegara berkembang, termasuk di Indonesia. Kemiskinan menyangkut suatu kondisi kekurangan dari sebuah tuntutan kehidupan yang paling minimum, khususnya dari aspek konsumsi, pendapatan, dan kebutuhan sosial. Jumlah penduduk miskin di Indonesia berfluktuasi dari tahun ke tahun. Fluktuasi tersebut juga terjadi di Jawa Barat. Jumlah penduduk miskin di Jawa Barat relatif menurun dari tahun 2003 hingga 2004, kemudian meningkat kembali hingga tahun 2006. Sementara itu, berdasarkan data Susenas 2005-2006, jumlah penduduk miskin di Kabupaten Bogor pada tahun 2005 sebesar 0,48 juta jiwa dan meningkat menjadi 0,54 juta jiwa pada tahun 2006. Jumlah tersebut merupakan yang paling besar di antara kabupaten lain di Jawa Barat. Menurut data BPS, kepadatan penduduk Kabupaten Bogor adalah 1.594 jiwa per km2. Kepadatan penduduk tersebut berdampak dalam penyediaan infrastruktur serta lapangan pekerjaan yang memadai dan menjadi beban dalam proses pembangunan. Jika berkualitas rendah akan meningkatkan kemiskinan di Kabupaten Bogor. Kabupaten Bogor terdiri dari tiga wilayah pengembangan, yaitu Bogor Barat, Bogor Tengah, dan Bogor Timur. Bogor Barat memiliki karakteristik wilayah pertanian, sedangkan Bogor Tengah memiliki karakteristik wilayah manufaktur dan Bogor Timur memiliki karakteristik wilayah industri. Secara berurutan, nilai dari IPM wilayah dengan urutan yang terbesar yaitu Bogor Tengah dan komponennya sebesar 71,45, Bogor Barat sebesar 67,41 dan Bogor Timur sebesar 67,29. Penelitian ini bertujuan untuk : (1) Mendeskripsikan karakteristik rumah tangga miskin di tiga wilayah pengembangan yaitu Bogor Barat, Bogor Tengah, dan Bogor Timur, (2) Menganalisis kaitan antara status kemiskinan dan status pekerjaan di tiga wilayah pengembangan, yaitu Bogor Barat, Bogor Tengah, dan Bogor timur, dan (3) Menganalisis karakteristik yang membedakan rumah tangga miskin dan tidak miskin di tiga wilayah pengembangan yaitu Bogor Barat, Bogor Tengah, dan Bogor Timur. Analisis deskriptif digunakan untuk mengidentifikasi potret kemiskinan di Kabupaten Bogor. Analisis statistik non parametrik digunakan untuk menganalisis kaitan antara status kemiskinan dan status pekerjaan kepala keluarga di Kabupaten Bogor. Karakteristik yang membedakan rumah tangga miskin di Kabupaten Bogor dianalisis menggunakan metode CHAID (Chi-square Automatic Interaction Detection or detector). Indikator kemiskinan yang digunakan berdasarkan BPS, yaitu luas lantai bangunan tempat tinggal, jenis lantai bangunan tempat tinggal, jenis dinding bangunan tempat tinggal, sumber air minum, penggunaan fasilitas buang air besar, jenis bahan bakar untuk masak sehari-hari, sumber penerangan rumah tangga, kepemilikan aset minimal senilai Rp 500.000, frekuensi makan dalam sehari, pembelian pakaian baru dalam setahun, pembelian daging/ayam/susu dalam seminggu, kemampuan berobat ke puskesmas atau poliklinik, pendidikan tertinggi kepala rumah tangga, dan bidang pekerjaan utama kepala rumah tangga.
Menurut BPS, suatu rumah tangga dapat dikatakan miskin jika memenuhi minimal sembilan dari 14 indikator yang ditetapkan. Jumlah rumah tangga miskin berdasarkan hasil pengolahan SUSDA Kabupaten Bogor Tahun 2006 sebesar 22.831 kepala keluarga atau sebesar 16,06 persen. Persentase terbesar berada di wilayah pengembangan Bogor Barat sebesar 25 persen dan di wilayah pengembangan Bogor Timur yaitu sebesar 22,77 persen. Wilayah pengembangan Bogor Tengah memiliki persentase rumah tangga miskin terkecil yaitu sebesar 10,3 persen. Di ketiga wilayah pengembangan Kabupaten Bogor, status kemiskinan dan status pekerjaan kepala keluarga memiliki hubungan yang sangat lemah karena nilai koefisien korelasi di seluruh kecamatan kurang dari 0,200. Karakteristik yang membedakan rumah tangga miskin dan tidak miskin di Kabupaten Bogor yaitu kepemilikan aset, luas lantai bangunan tempat tinggal, jenis pekerjaan, jenis dinding bangunan tempat tinggal, dan frekuensi makan dalam sehari. Implikasi kebijakan dalam mengatasi kemiskinan di Kabupaten Bogor, yaitu memberdayakan ekonomi masyarakat, memperbanyak pembangunan infrastruktur, memperluas jaringan kerja dan kemitraan, dan meningkatkan penyerapan tenaga kerja. Jumlah rumah tangga miskin di Kabupaten Bogor sebesar 16,06 persen, dengan urutan jumlah rumah tangga miskin terbesar berada di wilayah pengembangan Bogor Barat, Bogor Tengah, dan Bogor Timur. Status pekerjaan kepala keluarga tidak berpengaruh terhadap status kemiskinan rumah tangga di Kabupaten Bogor. Hanya di Kecamatan Leuwisadeng, Pamijahan, Rumpin, Sukajaya, Bojong Gede, Cijeruk, Ciomas, Gunung Sindur, Tajurhalang, Gunung Putri, dan Jonggol yang memiliki keterkaitan antara status kemiskinan dengan status pekerjaan kepala keluarga dengan keterkaitan yang sangat lemah sangat lemah. Karakteristik yang membedakan rumah tangga miskin dan tidak miskin di wilayah Bogor Barat adalah kepemilikan aset, luas lantai bangunan tempat tinggal, frekuensi pembelian pakaian baru dalam setahun, jenis dinding bangunan tempat tinggal, sumber penerangan, jenis pekerjaan, kemampuan berobat, dan frekuensi makan dalam sehari. Karakteristik yang membedakan rumah tangga miskin di wilayah Bogor Tengah adalah kepemilikan aset, kemampuan membayar untuk berobat ke Puskesmas/Poliklinik, jenis pekerjaan, jenis dinding, luas lantai bangunan tempat tinggal, fasilitas buang air besar, dan frekuensi makan dalam sehari. Karakteristik yang membedakan rumah tangga miskin di wilayah Bogor Timur adalah kepemilikan aset, jenis pekerjaan, sumber penerangan, kemampuan membayar untuk berobat ke Puskesmas/Poliklinik, frekuensi makan dalam sehari, luas lantai, jenis lantai, dan jenis dinding. Saran yang dapat diajukan dalam penelitian ini adalah program penanggulangan kemiskinan hendaknya difokuskan pada wilayah yang memiliki persentase rumah tangga miskin yang tinggi, yaitu Kecamatan Nanggung, Sukajaya, Ciseeng, Cijeruk, Tanjung Sari, dan Cariu. Selain itu, pemerintah perlu melakukan pelatihan-pelatihan keterampilan untuk menambah penghasilan bagi rumah tangga di Kabupaten Bogor. Sebaiknya dilakukan penelitian mengenai karakteristik kemiskinan yang mencakup seluruh kecamatan di Kabupaten Bogor.
ANALISIS KEMISKINAN DI TINGKAT RUMAH TANGGA DI KABUPATEN BOGOR
Oleh: ESTRELLITA LINDIASARI A14304078
Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
Judul Skripsi
: Analisis Kemiskinan di Tingkat Rumah Tangga di Kabupaten Bogor
Nama
: Estrellita Lindiasari
NRP
: A14304078
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Muhammad Firdaus, Ph.D NIP. 132 158 758
Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M. Agr NIP. 131 124 019
Tanggal Kelulusan:
PERNYATAAN
DENGAN
INI
SAYA
MENYATAKAN
BAHWA
SKRIPSI
YANG
BERJUDUL “ANALISIS KEMISKINAN DI TINGKAT RUMAH TANGGA DI KABUPATEN BOGOR” BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA PERGURUAN TINGGI LAIN ATAU LEMBAGA LAIN MANAPUN UNTUK TUJUAN MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK TERTENTU. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHANBAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH.
Bogor,
September 2008
Estrellita Lindiasari A14304078
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama lengkap Estrellita Lindiasari, dilahirkan pada 14 September 1986 di Pekanbaru sebagai anak tunggal dari pasangan Rudy Andrean Sulaiman dan Lien Nurliena Dachlan. Pada tahun 1998 penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Pengadilan IV Bogor. Pada tahun 2001 penulis menyelesaikan pendidikan menengah pertama di SLTPN 1 Bogor dan menyelesaikan pendidikan menengah atas di SMUN 3 Bogor pada tahun 2004. Selama menempuh pendidikan menengah pertama dan menengah atas, penulis aktif dipelbagai organisasi, seperti Pramuka SLTPN 1 Bogor dan Korps Taruna SMUN 3 Bogor. Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) tahun 2004, penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) pada program studi Ekonomi Pertanian Sumberdaya (EPS), jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Fakultas Pertanian. Selama menempuh pendidikan di IPB, penulis aktif diberbagai organisasi kemahasiswaan seperti Koperasi Mahasiswa, Himpunan Mahasiswa Peminat Sosial Ekonomi (2006-2007) serta aktif dalam beberapa kegiatan kepanitian.
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah Tuhan Semesta alam, pujian yang memenuhi seluruh nikmat-Nya bagi kemuliaan wajah-Nya dan keagungan kekuasaan-Nya. Atas anugrah, berkat dan kasih sayang-Nya penulis dapat menyelesaikan pembuatan skripsi penelitian dengan judul “Analisis Kemiskinan di Tingkat Rumah Tangga di Kabupaten Bogor”. Skripsi ini ditulis untuk memenuhi persyaratan penyelesaian Program Sarjana pada Fakultas Pertanian, Departemen Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan menganalisis kondisi kemiskinan di Kabupaten Bogor dan karakteristik yang membedakan rumah tangga miskin dan tidak miskin di wilayah tersebut. Dalam penulisan skripsi ini penulis ingin berterimakasih kepada Bapak Muhammad Firdaus, Ph.D selaku pembimbing skripsi, dan semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini. Penulis menyadari bahwa skripsi ini memiliki banyak kekurangan dan kelemahan, oleh karena itu penulis senantiasa menerima setiap saran dan kritik yang membangun dari berbagai pihak guna menyempurnakan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat berguna bagi semua pihak.
Bogor, September 2008
Penulis
UCAPAN TERIMA KASIH
Segala puji dan syukur kepada Allah SWT atas segala rahmat dan anugerah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberi bantuan dan dukungan serta kerjasama dalam penyusunan skripsi ini terutama kepada : 1. Bapak Muhammad Firdaus, Ph.D selaku dosen pembimbing skripsi atas bimbingan, saran, kritik dan perhatian Bapak terhadap penulis. 2. Bapak Dr. Ir. Harianto, MS. selaku dosen penguji utama atas segala kritik dan saran dalam penyempurnaan skripsi ini. 3. Ibu Eva Anggraini, S.Pi, M.Si selaku dosen penguji komisi pendidikan atas saran dan perbaikan dalam penyempurnaan skripsi ini. 4. Ibu Ir. Yayah K. Wagiono, MEc selaku dosen pembimbing akademik atas bimbingan, saran, kritik, dan perhatiannya. 5. Kedua orang tua atas kasih sayang, perhatian, dukungan dan doa yang terusmenerus kepada penulis serta semua keluarga besar yang selalu mendoakan, menyemangati, mendukung, serta membantu secara moral dan materil. 6. Semua dosen yang telah memberikan ilmu yang sangat besar manfaatnya bagi penulis. 7. Teman-teman satu bimbingan di EPS : Putra Fajar Pratama, Deli Sopian, Wahyudi Romdhani, dan Khrisna Pratama atas semua pertolongan dan kebersamaan kita selama ini. 8. Teman-teman yang sangat membantu, mendukung dan perhatian : Owin, Mayank, Evie, Morin, Risti, Maya, Ade, Deasy, Ella, Nat2, Kevin, B’jay, Pipih, Pamcuy, Can2, M’Galih, Mail, Aghiez, M’Sari, Ricky, Irna, Cita, Ucie, T’Fitri serta rekan-rekan EPS 41 lainnya atas semua kebersamaan dan suka duka selama ini. 9. Teman-teman 13-an, KKP Gekbrong 2007, MISETA 2006-2007 , TYN ,dan teman-teman yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu. Terima kasih untuk semuanya. 10. Mba Pini Wijayanti atas semua bantuan yang diberikan kepada penulis selama ini. Terima kasih atas dukungan yang besar untuk penulis.
i
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ......................................................................................... iii DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... ix DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... x I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ..................................................................................... 1 1.2 Perumusan Masalah.............................................................................. 5 1.3 Tujuan Penelitian ................................................................................ 7 1.4 Kegunaan Penelitian ............................................................................. 8 1.5 Ruang Lingkup Penelitian .................................................................... 8 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Penelitian Terdahulu tentang Kemiskinan .............................. 10 2.2 Tinjauan Penelitian Terdahulu tentang Pengangguran ........................... 12 2.3 Tinjauan Penelitian Terdahulu yang menggunakan Analisis CHAID .... 13 2.4 Perbedaan dengan Penelitian Terdahulu ............................................... 14 III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis ................................................................ 16 3.1.1 Konsep Kemiskinan ..................................................................... 16 3.1.2 Pengangguran .............................................................................. 20 3.2 Kerangka Pemikiran Operasional ......................................................... 22 3.3 Hipotesis .............................................................................................. 26 IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ................................................................ 27 4.2 Jenis dan Sumber Data ......................................................................... 27 4.3 Metode Analisis dan Pengolahan Data .................................................. 28 4.3.1 Analisis Deskriptif ....................................................................... 28 4.3.2 Analisis Statistik Non-Parametrik ................................................ 29 4.3.3 Analisis CHAID .......................................................................... 30 4.4 Definisi Operasional ............................................................................. 34 V. KEMISKINAN DI KABUPATEN BOGOR 5.1 Jumlah Penduduk dan Indikator Kemiskinan ........................................ 37 5.2 Karakteristik Rumah Tangga Miskin di Kabupaten Bogor .................... 38 5.2.1 Wilayah Pengembangan Bogor Barat........................................... 38 5.2.2 Wilayah Pengembangan Bogor Tengah ...................................... 53 5.2.3 Wilayah Pengembangan Bogor Timur ......................................... 72 5.3 Indikator Kemiskinan Utama Rumah Tangga Miskin ........................... 86 5.3.1 Wilayah Pengembangan Bogor Barat........................................... 86 5.3.2 Wilayah Pengembangan Bogor Tengah ...................................... 87
ii
5.3.3 Wilayah Pengembangan Bogor Timur ........................................ 89 5.3 Indikator Kemiskinan Utama Rumah Tangga dengan Kepala Keluarga Menganggur .............................................................. 90 5.4.1 Wilayah Pengembangan Bogor Barat........................................... 90 5.4.2 Wilayah Pengembangan Bogor Tengah ...................................... 92 5.4.3 Wilayah Pengembangan Bogor Timur ......................................... 94 VI. KAITAN ANTARA STATUS PEKERJAAN DAN STATUS KEMISKINAN DI KABUPATEN BOGOR 6.1 Wilayah Pengembangan Bogor Barat ............................................. 96 6.2 Wilayah Pengembangan Bogor Tengah ......................................... 99 6.3 Wilayah Pengembangan Bogor Timur ............................................ 102 VII. KARAKTERISTIK PEMBEDA RUMAH TANGGA MISKIN DAN TIDAK MISKIN DI KABUPATEN BOGOR 7.1 Wilayah Pengembangan Bogor Barat ............................................. 106 7.2 Wilayah Pengembangan Bogor Tengah ......................................... 114 7.3 Wilayah Pengembangan Bogor Timur ............................................ 122 7.4 Implikasi Kebijakan ....................................................................... 130 VIII. KESIMPULAN DAN SARAN 8.1 Kesimpulan .......................................................................................... 133 8.2 Saran .................................................................................................... 134 DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 135 LAMPIRAN .................................................................................................... 139
iii
DAFTAR TABEL
No.
Halaman
1.
Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Indonesia menurut daerah Tahun 1996 – 2006 .................................................. 1
2.
IPM Kabupaten Bogor dan Komponennya Tahun 2002 – 2005 ......... 4
3.
Angka IPM dan Komponennya menurut Wilayah Pengembangan di Kabupaten Bogor Tahun 2005............................... 5
4.
Jumlah Rumah Tangga Miskin di Wilayah Pengembangan Bogor Barat Tahun 2006 (persen) ...................................................... 38
5.
Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Luas Lantai Lebih Besar dari 8 m2 per orang di Wilayah Pengembangan Bogor Barat Tahun 2006 (persen) ...................................................... 39
6.
Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Jenis Lantai Bangunan Tempat Tinggal di Wilayah Pengembangan Bogor Barat Tahun 2006 (persen) ................................................................ 40
7.
Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Jenis Dinding Bangunan Tempat Tinggal di Wilayah Pengembangan Bogor Barat Tahun 2006 (persen) ................................................................ 41
8.
Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Sumber Air Minum di Wilayah Pengembangan Bogor Barat Tahun 2006 (persen) ............................................................................................. 42
9.
Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Fasilitas Buang Air Besar di Wilayah Pengembangan Bogor Barat Tahun 2006 (persen) ............................................................................................. 43
10.
Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Jenis Bahan Bakar yang Digunakan untuk Memasak Sehari-hari di Wilayah Pengembangan Bogor Barat Tahun 2006 (persen) ............................. 44
11.
Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Sumber Penerangan di Wilayah Pengembangan Bogor Barat Tahun 2006 (persen) .................................................................................... 45
iv
12.
Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Frekuensi Makan dalam Sehari di Wilayah Pengembangan Bogor Barat Tahun 2006 (persen) .................................................................................... 46
13.
Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Kepemilikan Aset di Wilayah Pengembangan Bogor Barat Tahun 2006 (persen) ........... 47
14.
Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Frekuensi Membeli Pakaian Baru dalam Setahun di Wilayah Pengembangan Bogor Barat Tahun 2006 (persen) ................................................................ 48
15.
Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Frekuensi Membeli Daging/Ayam/Susu dalam Seminggu di Wilayah Pengembangan Bogor Barat Tahun 2006 (persen) ............................. 49
16.
Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Kemampuan Membayar untuk Berobat ke Puskesmas/Poliklinik di Wilayah Pengembangan Bogor Barat Tahun 2006 (persen) ............................. 50
17.
Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Status Pekerjaan Kepala Keluarga di Wilayah Pengembangan Bogor Barat Tahun 2006 (persen).......................................................................... 51
18.
Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Jenis Pekerjaan Kepala Keluarga di Wilayah Pengembangan Bogor Barat Tahun 2006 (persen).......................................................................... 52
19.
Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Pendidikan Tertinggi Kepala Keluarga di Wilayah Pengembangan Bogor Barat Tahun 2006 (persen) ................................................................ 53
20.
Jumlah Rumah Tangga Miskin di Wilayah Pengembangan Bogor Tengah Tahun 2006 (persen)................................................... 54
21.
Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Luas Lantai Lebih Besar dari 8 m2 per orang di Wilayah Pengembangan Bogor Tengah Tahun 2006 (persen) ............................................................. 55
22.
Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Jenis Lantai Bangunan Tempat Tinggal di Wilayah Pengembangan Bogor Tengah Tahun 2006 (persen) ............................................................. 56
23.
Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Jenis Dinding Bangunan Tempat Tinggal di Wilayah Pengembangan Bogor Tengah Tahun 2006 (persen) ............................................................. 58
v
24.
Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Sumber Air Minum di Wilayah Pengembangan Bogor Tengah Tahun 2006 (persen) ............................................................................................. 59
25.
Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Fasilitas Buang Air Besar di Wilayah Pengembangan Bogor Tengah Tahun 2006 (persen) ............................................................................................. 60
26.
Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Jenis Bahan Bakar yang Digunakan untuk Memasak Sehari-hari di Wilayah Pengembangan Bogor Tengah Tahun 2006 (persen) .......................... 62
27.
Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Sumber Penerangan di Wilayah Pengembangan Bogor Tengah Tahun 2006 (persen) .................................................................................... 63
28.
Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Frekuensi Makan dalam Sehari di Wilayah Pengembangan Bogor Tengah Tahun 2006 (persen) .................................................................................... 64
29.
Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Kepemilikan Aset di Wilayah Pengembangan Bogor Tengah Tahun 2006 (persen) ........ 65
30.
Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Frekuensi Membeli Pakaian Baru dalam Setahun di Wilayah Pengembangan Bogor Tengah Tahun 2006 (persen) ............................................................. 66
31.
Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Frekuensi Membeli Daging/Ayam/Susu dalam Seminggu di Wilayah Pengembangan Bogor Tengah Tahun 2006 (persen) .......................... 68
32.
Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Kemampuan Membayar untuk Berobat ke Puskesmas/Poliklinik di Wilayah Pengembangan Bogor Tengah Tahun 2006 (persen) .......................... 69
33.
Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Status Pekerjaan Kepala Keluarga di Wilayah Pengembangan Bogor Tengah Tahun 2006 (persen).......................................................................... 70
34.
Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Jenis Pekerjaan Kepala Keluarga di Wilayah Pengembangan Bogor Tengah Tahun 2006 (persen).......................................................................... 71
vi
35.
Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Pendidikan Tertinggi Kepala Keluarga di Wilayah Pengembangan Bogor Tengah Tahun 2006 (persen) ............................................................. 72
36.
Jumlah Rumah Tangga Miskin di Wilayah Pengembangan Bogor Timur Tahun 2006 (persen) .................................................... 73
37.
Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Luas Lantai Lebih Besar dari 8 m2 per orang di Wilayah Pengembangan Bogor Timur Tahun 2006 (persen) ............................................................... 74
38.
Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Jenis Lantai Bangunan Tempat Tinggal di Wilayah Pengembangan Bogor Timur Tahun 2006 (persen) ............................................................... 75
39.
Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Jenis Dinding Bangunan Tempat Tinggal di Wilayah Pengembangan Bogor Timur Tahun 2006 (persen) ............................................................... 76
40.
Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Fasilitas Buang Air Besar di Wilayah Pengembangan Bogor Timur Tahun 2006 (persen) ............................................................................................. 76
41.
Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Sumber Air Minum di Wilayah Pengembangan Bogor Timur Tahun 2006 (persen) ............................................................................................. 77
42.
Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Jenis Bahan Bakar yang Digunakan untuk Memasak Sehari-hari di Wilayah Pengembangan Bogor Timur Tahun 2006 (persen) ............................ 78
43.
Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Sumber Penerangan di Wilayah Pengembangan Bogor Timur Tahun 2006 (persen) .................................................................................... 79
44.
Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Frekuensi Makan dalam Sehari di Wilayah Pengembangan Bogor Timur Tahun 2006 (persen) .................................................................................... 80
45.
Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Kepemilikan Aset di Wilayah Pengembangan Bogor Timur Tahun 2006 (persen) .......... 81
46.
Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Frekuensi Membeli Pakaian Baru dalam Setahun di Wilayah Pengembangan Bogor Timur Tahun 2006 (persen) ............................................................... 82
vii
47.
Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Frekuensi Membeli Daging/Ayam/Susu dalam Seminggu di Wilayah Pengembangan Bogor Timur Tahun 2006 (persen) ............................ 83
48.
Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Kemampuan Membayar untuk Berobat ke Puskesmas/Poliklinik di Wilayah Pengembangan Bogor Timur Tahun 2006 (persen) ............................ 84
49.
Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Status Pekerjaan Kepala Keluarga di Wilayah Pengembangan Bogor Timur Tahun 2006 (persen).......................................................................... 84
50.
Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Jenis Pekerjaan Kepala Keluarga di Wilayah Pengembangan Bogor Timur Tahun 2006 (persen).......................................................................... 85
51.
Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Pendidikan Tertinggi Kepala Keluarga di Wilayah Pengembangan Bogor Timur Tahun 2006 (persen) ............................................................... 86
52.
Indikator Kemiskinan Dominan Rumah Tangga Miskin di Wilayah Pengembangan Bogor Barat Tahun 2006 ............................. 86
53.
Indikator Kemiskinan Dominan Rumah Tangga Miskin di Wilayah Pengembangan Bogor Tengah Tahun 2006.......................... 88
54.
Indikator Kemiskinan Dominan Rumah Tangga Miskin di Wilayah Pengembangan Bogor Timur Tahun 2006............................ 90
55.
Indikator Kemiskinan Dominan Rumah Tangga dengan Kepala Keluarga Menganggur di Wilayah Pengembangan Bogor Barat Tahun 2006 ....................................................................................... 91
56.
Indikator Kemiskinan Dominan Rumah Tangga dengan Kepala Keluarga Menganggur di Wilayah Pengembangan Bogor Tengah Tahun 2006 ........................................................................... 93
57.
Indikator Kemiskinan Dominan Rumah Tangga dengan Kepala Keluarga Menganggur di Wilayah Pengembangan Bogor Timur Tahun 2006............................................................................. 94
58.
Kaitan antara Status Kemiskinan dan Status Pekerjaan di Wilayah Pengembangan Bogor Barat Tahun 2006 ............................. 96
59.
Kaitan antara Status Kemiskinan dan Status Pekerjaan di Wilayah Pengembangan Bogor Tengah Tahun 2006.......................... 102
viii
60.
Kaitan antara Status Kemiskinan dan Status Pekerjaan di Wilayah Pengembangan Bogor Timur Tahun 2006............................ 104
ix
DAFTAR GAMBAR
No.
Halaman
1. Perkembangan IPM Jawa Barat Tahun 2002 – 2007 .......................... 3 2. Hipotesis Kuznets .............................................................................. 19 3. Skema Kerangka Pemikiran Operasional ............................................ 25 4. Persentase Rumah Tangga Miskin dan Tidak Miskin dengan Kepala Keluarga Pengangguran di Wilayah Pengembangan Bogor Barat Tahun 2006 .................................................................... 96 5. Persentase Rumah Tangga Miskin dan Tidak Miskin dengan Kepala Keluarga Bekerja di Wilayah Pengembangan Bogor Barat Tahun 2006............................................................................... 97 6. Persentase Rumah Tangga Miskin dan Tidak Miskin dengan Kepala Keluarga Bekerja di Wilayah Pengembangan Bogor Tengah Tahun 2006 ........................................................................... 100 7. Persentase Rumah Tangga Miskin dan Tidak Miskin dengan Kepala Keluarga Pengangguran di Wilayah Pengembangan Bogor Tengah Tahun 2006 ................................................................. 101 8. Persentase Rumah Tangga Miskin dan Tidak Miskin dengan Kepala Keluarga Bekerja di Wilayah Pengembangan Bogor Timur Tahun 2006 ............................................................................. 103 9. Persentase Rumah Tangga Miskin dan Tidak Miskin dengan Kepala Keluarga Pengangguran di Wilayah Pengembangan Bogor Timur Tahun 2006 ................................................................... 104 10. Dendogram CHAID Analisis Karakteristik yang Membedakan Rumah Tangga Miskin di Wilayah Pengembangan Bogor Barat .................................................................................................. 113 11.Dendogram CHAID Analisis Karakteristik yang Membedakan Rumah Tangga Miskin di Wilayah Pengembangan Bogor Tengah ............................................................................................... 121 12.Dendogram CHAID Analisis Karakteristik yang Membedakan Rumah Tangga Miskin di Wilayah Pengembangan Bogor Timur ................................................................................................. 129
x
DAFTAR LAMPIRAN
No.
Halaman
1. Indikator Kemiskinan BPS ................................................................ 140 2. Indikator Kemiskinan Dominan Rumah Tangga Miskin di Wilayah Pengembangan Bogor Barat Tahun 2006 ............................. 141 3. Indikator Kemiskinan Dominan Rumah Tangga dengan Kepala Keluarga Menganggur di Wilayah Pengembangan Bogor Barat Tahun 2006 ................................................................... 142 4. Indikator Kemiskinan Dominan Rumah Tangga Miskin di Wilayah Pengembangan Bogor Tengah Tahun 2006.......................... 143 5. Indikator Kemiskinan Dominan Rumah Tangga dengan Kepala Keluarga Menganggur di Wilayah Pengembangan Bogor Tengah Tahun 2006 ................................................................ 144 6. Indikator Kemiskinan Dominan Rumah Tangga Miskin di Wilayah Pengembangan Bogor Timur Tahun 2006............................ 145 7. Indikator Kemiskinan Dominan Rumah Tangga dengan Kepala Keluarga Menganggur di Wilayah Pengembangan Bogor Timur Tahun 2006 .................................................................. 145 8. Perbandingan Rumah Tangga dengan Kepala Keluarga Bekerja dan Menganggur berdasarkan Status Kemiskinan Rumah Tangga di Wilayah Pengembangan Bogor Barat Tahun 2006 ....................................................................................... 146 9. Perbandingan Rumah Tangga dengan Kepala Keluarga Bekerja dan Menganggur berdasarkan Status Kemiskinan Rumah Tangga di Wilayah Pengembangan Bogor Tengah Tahun 2006 ....................................................................................... 146 10. Perbandingan Rumah Tangga dengan Kepala Keluarga Bekerja dan Menganggur berdasarkan Status Kemiskinan Rumah Tangga di Wilayah Pengembangan Bogor Timur Tahun 2006 ....................................................................................... 147 11. Hasil Uji Chi-Square dan Koefisien Kontingensi di Wilayah Pengembangan Bogor Barat ................................................ 148 12. Hasil Uji Chi-Square dan Koefisien Kontingensi di Wilayah Pengembangan Bogor Tengah ............................................. 159
xi
13. Uji Chi-Square dan Koefisien Kontingensi di Wilayah Pengembangan Bogor Timur ............................................................. 177 14. Peta Kabupaten Bogor ....................................................................... 182 15. Dendogram CHAID Wilayah Pengembangan Bogor Barat ................ 183 16. Dendogram CHAID Wilayah Pengembangan Bogor Tengah .............................................................................................. 184 17. Dendogram CHAID Wilayah Pengembangan Bogor Timur ................................................................................................ 185
1
I. PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Kemiskinan merupakan suatu permasalahan yang banyak dihadapi oleh
negara-negara berkembang, termasuk di Indonesia. Kemiskinan menyangkut suatu kondisi kekurangan dari sebuah tuntutan kehidupan yang paling minimum, khususnya dari aspek konsumsi, pendapatan, dan kebutuhan sosial. Kekurangan dalam aspek konsumsi mencakup kekurangan pangan sehari-hari, sandang, perumahan, dan pelayanan kesehatan. Kekurangan dalam aspek kebutuhan sosial adalah ketergantungan dan ketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam masyarakat termasuk dalam bidang pendidikan dan informasi. Tabel 1. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Indonesia menurut Daerah Tahun 1996-2006 Persentase penduduk miskin (%) Tahun Kota Desa Kota+Desa Kota Desa Kota+Desa 1996 9,42 24,59 34,01 13,39 19,78 17,47 1998 17,60 31,90 49,50 21,92 25,72 24,23 1999 15,64 32,33 47,97 19,41 26,03 23,43 2000 12,30 26,40 38,70 14,60 22,38 19,14 2001 8,60 29,30 37,90 9,76 24,84 18,41 2002 13,30 25,10 38,40 14,46 21,10 18,20 2003 12,20 25,10 37,30 13,57 20,23 17,42 2004 11,40 24,80 36,10 12,13 20,11 16,66 2005 12,40 22,70 35,10 11,68 19,98 15,97 2006 14,49 24,81 39,30 13,47 21,81 17,75 Sumber : Diolah dari data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Jumlah penduduk miskin (juta)
Jumlah penduduk miskin di Indonesia berfluktuasi dari tahun ke tahun, yang diperlihatkan pada Tabel 1. Pada periode 1996-1999 jumlah penduduk miskin meningkat sebesar 13,96 juta karena krisis ekonomi, yaitu dari 34,01 juta pada tahun 1996 menjadi 47,97 juta pada tahun 1999. Pada periode 1999 – 2002
2
terjadi penurunan jumlah penduduk miskin sebesar 9,57 juta, yaitu dari 47,97 juta pada tahun 1999 menjadi 38,40 juta pada tahun 2002. Penurunan jumlah penduduk miskin juga terjadi pada periode 2002 – 2005 sebesar 3,3 juta, yaitu dari 38,40 juta pada tahun 2002 menjadi 35,10 juta pada tahun 2005. Pada tahun 2006 terjadi peningkatan sebesar 3,95 juta menjadi 39,30 juta penduduk miskin di Indonesia. Fluktuasi tersebut juga terjadi di Jawa Barat. Jumlah penduduk miskin di Jawa Barat relatif menurun dari tahun 2003 hingga 2004, kemudian meningkat kembali hingga tahun 2006. Pada tahun 2003, persentase jumlah penduduk miskin sebesar 12,90 persen dari total jumlah penduduk Provinsi Jawa Barat dan menurun menjadi 12,10 persen pada tahun 2004, kemudian meningkat menjadi 13,06 tahun 2005 dan 14,49 tahun 2006. Sementara itu, berdasarkan data Susenas 2005-2006, jumlah penduduk miskin di Kabupaten Bogor pada tahun 2005 sebesar 0,48 juta jiwa dan meningkat menjadi 0,54 juta jiwa pada tahun 2006. Jumlah tersebut merupakan yang paling besar di antara kabupaten lain di Jawa Barat. Jika dilihat secara persentase, ternyata tingkat kemiskinan di Kabupaten Bogor relatif rendah karena jumlah penduduknya besar. Kemiskinan juga merupakan alasan rendahnya Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Secara menyeluruh kualitas manusia Indonesia relatif masih sangat rendah, dibandingkan dengan kualitas manusia di negara-negara lain di dunia. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) sebagai salah satu indikator yang digunakan dalam pengukuran kemiskinan diperkenalkan oleh United Nations Development Programs (UNDP).
3
Berdasarkan Human Development Report 2004 yang menggunakan data tahun 2002, angka Human Development Index (HDI) Indonesia adalah 0,692. Kondisi IPM Indonesia berada pada urutan ke 111 dari 175 negara. Meningkat satu peringkat dibandingkan kondisi IPM tahun 2003, yang menempatkan Indonesia pada urutan 112, dari 175 negara. Posisi ini masih sangat jauh tertinggal dari negara-negara di kawasan Asia Tenggara yang lain. IPM Malaysia berada pada urutan ke 59. Thailand pada posisi 76 bahkan Philipina yang diasumsikan sebagai negara yang cukup miskin, menempati urutan 83, masih jauh di atas Indonesia. Untuk kawasan Asia Tenggara, Indonesia hanya berada satu peringkat di atas Vietnam, negara yang baru saja keluar dari konflik politik yang panjang akibat perang saudara yang tidak berkesudahan. 72 71
IPM
70 69 68 IPM
67 66 65 2002
2003
2004
2005
2006
2007
Tahun
Sumber : Statistik Pembangunan Gubernur Jawa Barat 2003-2008 Gambar 1. Perkembangan IPM Jawa Barat Tahun 2002-2007 Jawa Barat sebagai salah satu provinsi yang berbatasan langsung dengan ibukota Republik Indonesia, Jakarta, menghadapi masalah yang tidak sederhana
4
dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Hal ini disebabkan Jawa Barat memiliki jumlah penduduk yang besar serta pengaruh migrasi dan urbanisasi. Jumlah penduduk dapat menjadi beban dalam proses pembangunan. IPM Jawa Barat pada tahun 2003-2007 (Gambar 1) memperlihatkan peningkatan yang cukup signifikan sehingga secara tidak langsung menyatakan bahwa kesejahteraan di wilayah ini mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. UNDP memasukkan IPM Kabupaten Bogor ke dalam tingkatan status menengah ke atas. IPM Kabupaten Bogor relatif terus membaik terlihat pada Tabel 2. Hal ini kemungkinan disebabkan karena semakin terwujudnya optimalisasi dan sinergitas pola dan sasaran pembangunan manusia yang dikembangkan pemerintah dan masyarakat di Kabupaten Bogor selama ini. Tabel 2. IPM Kabupaten Bogor dan Komponennya Tahun 2002 – 2005 Komponen 2002 1. Angka harapan hidup 66,8 2. Angka melek huruf 92,80 3. Rata-rata lama sekolah 6,10 4. Kemampuan daya beli 550,4 67,70 Angka IPM Sumber : BPS Kabupaten Bogor (2006)
2003 66,82 92,80 6,18 551,52 67,81
2004 66,94 93,22 6,26 552,45 68,10
2005 67,10 93,91 6,69 556,75 68,99
Kabupaten Bogor terdiri dari tiga wilayah pengembangan, yaitu Bogor Barat, Bogor Tengah, dan Bogor Timur. Pembagian tiga wilayah ini berdasarkan karakteristik wilayah masing-masing. Bogor Barat memiliki karakteristik wilayah pertanian, sedangkan Bogor Tengah memiliki karakteristik wilayah manufaktur dan Bogor Timur memiliki karakteristik wilayah industri. Berdasarkan Tabel 3, IPM wilayah pembangunan Bogor Tengah dan komponennya berada di posisi tertinggi yaitu 71,45. Hal ini disebabkan karena wilayah pengembangan Bogor Tengah didominasi oleh kecamatan-kecamatan perkotaan, seperti Cibinong,
5
Dramaga, Sukaraja, Bojong Gede, dan Citeureup. IPM wilayah pengembangan Bogor Barat sebesar 67,41 dan Bogor Timur sebesar 67,29 tidak jauh berbeda dan kedua wilayah tersebut berada di bawah angka IPM Kabupaten Bogor. Hal ini disebabkan kecamatan di kedua wilayah ini bercorak pedesaan, seperti Cariu, Cigudeg, dan Sukajaya. Tabel 3.
Angka IPM dan Komponennya menurut Pengembangan di Kabupaten Bogor Tahun 2005
Wilayah AKB AHH AMH RLS pembangunan Bogor Barat 49,64 65,25 93,67 6,01 Bogor Tengah 39,02 68,61 96,35 7,77 Bogor Timur 43,50 66,64 90,07 6,12 Kabupaten Bogor 42,42 67,10 93,91 6,69 Sumber : BPS Kabupaten Bogor (2007)
1.2
Wilayah
PPP
IPM
Stratum
556,75 560,35 554,5 556,75
67,41 71,45 67,29 68,99
Bawah Atas Bawah Median
Perumusan Masalah Di dalam Pembukaan UUD 1945 pada alinea ke - IV tercantum tujuan
negara yang salah satu diantaranya adalah untuk memajukan kesejahteraan umum. Pengertian yang lebih rinci lagi tentang tujuan negara tersebut yaitu untuk mencapai
masyarakat
adil
dan
makmur
berdasarkan
Pancasila.
Untuk
mewujudkan kesejahteraan umum atau mencapai masyarakat adil dan makmur terscbut negara kita harus membangun. Membangun dalam arti tidak hanya membangun dari bentuk fisiknya saja, tetapi membangun secara keseluruhan yang dikenal dengan sebutan membangun manusia Indonesia seutuhnya. Dalam membangun manusia Indonesia seutuhnya, salah satu tantangan yang dihadapi adalah rendahnya taraf kehidupan masyarakat Indonesia atau lebih dikenal dengan istilah kemiskinan.
6
Menurut data BPS, jumlah penduduk Kabupaten Bogor sebesar 3,8 juta jiwa. Jumlah ini adalah yang terbesar kedua di Provinsi Jawa Barat setelah Kabupaten Bandung. Jumlah tersebut mendiami wilayah seluas 2.388,93 km2 sehingga secara rata-rata kepadatan penduduk Kabupaten Bogor adalah 1.594 jiwa per km2. Jumlah penduduk yang besar berdampak dalam penyediaan infrastruktur serta lapangan pekerjaan yang memadai. Selain itu, jumlah penduduk yang besar menjadi beban dalam proses pembangunan jika berkualitas rendah karena akan meningkatkan kemiskinan di Kabupaten Bogor. Antara pertumbuhan penduduk yang terus meningkat serta tersedianya lapangan pekerjaan mempunyai hubungan timbal balik yang sangat erat kaitannya. Faktor pertumbuhan penduduk berpengaruh pula terhadap penambahan angkatan kerja sehingga kesempatan kerja menjadi lebih terbatas penyediannya. Akibat yang dirasakan adalah timbulnya tenaga kerja yang menganggur atau masalah pengangguran. Angkatan kerja di Kabupaten Bogor pada tahun 2006 mencapai 1.237.611 jiwa, sebanyak 916.679 jiwa (74,2%) diantaranya bekerja dan 320.932 jiwa (25,8%) menganggur. Jumlah penduduk yang menganggur sebanyak 90.214 jiwa (7,2%) sedang mencari pekerjaan dan 320.932 jiwa (18,6%) murni tidak bekerja karena alasan merasa tidak mungkin mendapatkan kerja dan alasan merasa sudah cukup. Kemiskinan dan pengangguran menjadi masalah dalam pembangunan di Kabupaten Bogor. Pemerintah Kabupaten Bogor telah melakukan beberapa kebijakan dalam proses penanggulangan kemiskinan tersebut. Beberapa hal yang harus diketahui oleh pemerintah dalam penanggulangan kemiskinan adalah
7
karakteristik rumah tangga miskin di Kabupaten Bogor. Karakteristik rumah tangga menjadi salah satu ukuran dalam melihat kemiskinan dan mempermudah pemerintah dalam proses pembuatan kebijakan penanggulangan kemiskinan. Berdasarkan latar belakang, maka permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah: 1.
Bagaimana potret kemiskinan Kabupaten Bogor berdasarkan tiga wilayah pengembangan yaitu Bogor Barat, Bogor Tengah, dan Bogor Timur?
2.
Bagaimana hubungan antara status kemiskinan dengan status pekerjaan di tiga wilayah pengembangan Kabupaten Bogor yaitu Bogor Barat, Bogor Tengah, dan Bogor Timur?
3.
Apa saja karakteristik yang membedakan rumah tangga miskin dan tidak miskin di tiga wilayah pengembangan Kabupaten Bogor yaitu Bogor Barat, Bogor Tengah, dan Bogor Timur.
1.3
Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah
dikemukakan, maka penelitian ini bertujuan untuk : 1.
mendeskripsikan karakteristik rumah tangga miskin di tiga wilayah pengembangan yaitu Bogor Barat, Bogor Tengah, dan Bogor Timur;
2.
menganalisis kaitan antara status kemiskinan dan status pekerjaan di tiga wilayah pengembangan, yaitu Bogor Barat, Bogor Tengah, dan Bogor timur,
8
3.
menganalisis karakteristik yang membedakan rumah tangga miskin dan tidak miskin di tiga wilayah pengembangan yaitu Bogor Barat, Bogor Tengah, dan Bogor Timur.
1.4
Kegunaan Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah dapat memberikan informasi mengenai
kondisi kemiskinan di Kabupaten Bogor. Kegunaan penelitian ini secara lebih khusus adalah sebagai berikut: 1. Bagi pemerintah pusat dan Kabupaten Bogor sebagai pembuat kebijakan, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dalam perencanaan dan pengambilan keputusan yang terkait dengan pengentasan kemiskinan di Indonesia secara umum dan Kabupaten Bogor khususnya. 2. Bagi penulis berguna sebagai sarana untuk mendapatkan pengalaman ilmiah dan sarana implementasi dari teori-teori yang diajarkan. 3. Sebagai bahan informasi, perbandingan, dan masukan bagi kalangan akademisi dalam penelitian-penelitian selanjutnya.
1.5
Ruang Lingkup Penelitian ini hanya membahas gambaran kemiskinan yang terjadi di
Kabupaten Bogor. Kecamatan di Kabupaten Bogor yang menjadi ruang lingkup penelitian adalah 34 kecamatan. Kecamatan di wilayah pengembangan Bogor Barat adalah Kecamatan Ciampea, Cibungbulang, Cigudeg, Leuwiliang, Leuwisadeng, Nanggung, Pamijahan, Rumpin, Sukajaya, dan Tenjo. Kecamatan di wilayah pengembangan Bogor Tengah adalah Kecamatan Babakan Madang,
9
Bojong Gede, Caringin, Cibinong, Cigombong, Cijeruk, Ciomas, Cisarua, Ciseeng, Citerureup, Dramaga, Gunung Sindur, Kemang, Megamendung, Parung, Sukaraja, Tajurhalang, dan Tamansari. Kecamatan di wilayah pengembangan Bogor Timur adalah Kecamatan Cariu, Cileungsi, Gunung Putri, Jonggol, dan Tanjung Sari.
10
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Tinjauan Penelitian Terdahulu Tentang Kemiskinan Penelitian tentang kemiskinan telah banyak dilakukan. Rahmawati (2006)
meneliti tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan rumah tangga di Kabupaten Pacitan menggunakan model regresi logistik biner. Hasil penelitian diketahui faktor-faktor yang berpengaruh nyata pada taraf sepuluh persen terhadap peluang rumah tangga berada dalam kemiskinan adalah jumlah anggota rumah tangga yang termasuk tenaga kerja, umur, pendidikan, jenis kelamin, dan pendapatan. Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Nurhayati (2007) tentang faktorfaktor yang mempengaruhi tingkat kemiskinan serta pendapatan di Jawa Barat. Dengan menggunakan model persamaan simultan didapatkan faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan di Jawa Barat adalah pendapatan dan pendidikan pada taraf nyata satu persen. Sedangkan, faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan adalah tenaga kerja dan investasi. Pada tahun 2006, Kusumaningtyas melakukan penelitian tentang kemiskinan masyarakat di sekitar kawasan industri JABABEKA (Studi kasus Desa Pasir Gombong, Kecamatan Cikarang Utara, Kabupaten Bekasi) dengan menggunakan metode kualitatif dengan strategi penelitian studi kasus. Hasil penelitian diketahui kemiskinan masyarakat Desa Pasir Gombong dapat diartikan sebagai ketidakmampuan untuk memenuhi hak dasar (pangan, perumahan, dan pakaian), kekurangan pelayanan dan barang-barang, kondisi kehidupan sehari-hari yang serba kekurangan, pekerjaan yang tidak menentu, pendidikan dan keahlian
11
yang rendah dan ketidaksamaan kesempatan pada sejumlah orang dalam menjalani kehidupannya. Topik lain dalam penelitian tentang kemiskinan adalah tentang pertumbuhan ekonomi dan pengurangan angka kemiskinan di Indonesia oleh Wiraswara (2005). Dengan menggunakan analisis regresi berganda dengan metode OLS (Ordinary Least Square) didapatkan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak berpengaruh terhadap angka kemiskinan di Indonesia pada tahun 2002. Ruspayandi (2006) melakukan penelitian tentang penskalaan dimensi ganda dan autokorelasi spasial ukuran dan indikator kemiskinan kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Barat. Dengan menggunakan penskalaan dimensi ganda (multidimensional scaling) dan analisis Procrustes didapatkan bahwa tingkat kemiskinan daerah berbentuk wilayah administratif kota secara umum lebih rendah jika dibandingkan dengan daerah yang berbentuk kabupaten. Perbedaan tingkat kemiskinan antar kedua bentuk daerah ini lebih besar jika dilihat dari faktor nonmoneter. Pada tahun 2008, Romdhani melakukan penelitian mengenai pemetaan karakteristik dan faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan di Kabupaten Bogor. Dengan menggunakan metode Biplot didapatkan bahwa indikator kemiskinan di Kabupaten Bogor ternyata tidak semua menyebar merata, hanya akses terhadap sumber air minum, penggunaan selain gas untuk masak sehari-hari, daya beli daging/ayam/susu dalam seminggu, dan pendidikan kepala rumahtangga yang rendah yang menyebar merata. Selain itu, faktor yang mempengaruhi kemiskinan adalah produksi padi sawah per kapita yang berpengaruh positif.
12
Jumlah sarana pasar dan migrasi penduduk berpengaruh negatif dan nyata terhadap tingkat kemiskinan Topik lain dalam penelitian kemiskinan dikemukakan oleh Pratama (2008) tentang keterkaitan antara karakteristik dengan kesejahteraan rumah tangga di wilayah pengembangan Bogor Timur Kabupaten Bogor. Dengan menggunakan model persamaan struktural didapatkan bahwa tingkat pendapatan kepala keluarga berpengaruh terhadap kesejahteraan rumah tangga di wilayah pengembangan Bogor Timur. Tingkat pendapatan dipengaruhi oleh tingkat pendidikan dan sektor perkerjaan utama kepala keluarga.
2.2
Tinjauan Penelitian Terdahulu Tentang Pengangguran Sandra (2004) melakukan penelitian mengenai dampak kebijakan upah
minimum terhadap tingkat upah dan pengangguran di Pulau Jawa. Dengan menggunakan model persamaan simultan menujukkan bahwa hasil simulasi kenaikan upah minimum propinsi (UPM) sebesar lima persen akan menyebabkan penurunan permintaan tenaga kerja. Selain itu, kenaikan UPM juga menyebabkan menurunnya tingkat upah riil yang diterima pekerja, menaikkan jumlah penawaran tenaga kerja, dan menurunkan jumlah pengangguran. Penelitian mengenai pengangguran telah diteliti oleh Anas (2006) mengenai pengaruh kebijakan moneter dalam menstabilkan inflasi dan pengangguran di Indonesia. Hasil penelitian menggunakan analisis Structural Vector Auto Regression yang dikombinasikan dengan model koreksi kesalahan Vector
Error
Correction
Model
didapatkan
bahwa
faktor-faktor
yang
13
mempengaruhi pengangguran di Indonesia adalah inovasi dalam pengangguran itu sendiri. Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Simaremare (2006) mengenai pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap tingkat pengangguran di Indonesia. Dengan menggunakan metode Ordinary Least Square (OLS) menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak mampu menciptakan lapangan kerja yang dapat mengurangi
jumlah
pengangguran
dan
tingkat
pengangguran.
Tingkat
pengangguran dipengaruhi oleh pertumbuhan angkatan kerja dan jumlah pengangguran yang telah ada dari tahun sebelumnya.
2.3
Tinjauan Penelitian Terdahulu yang Menggunakan Analisis CHAID (Chi-square Automatic Interaction Detection or detector) Penelitian dengan menggunakan analisis CHAID telah dilakukan oleh
Widianti (2004) mengenai perilaku konsumen rumah tangga yang memiliki refrigerator terhadap buah-buahan tropika. Dengan menggunakan analisis CHAID pada sampel 75 responden menunjukkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku konsumen tersebut adalah jumlah buah yang dibeli dan tingkat pendidikan responden. Selain itu, pada tahun 2004 Nurjaeni melakukan penelitian mengenai penelusuran karakteristik rumah tangga miskin dengan menggunakan metode CHAID. Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel kepemilikan fasilitas listrik, pendidikan tertinggi kepala rumah tangga, luas lantai, jenis lantai, kepemilikan fasilitas rumah tangga, kepemilikan aset usaha, sumber air minum
14
dan memasak, serta proporsi pengeluaran untuk makanan menjadi variabel yang membedakan antara rumah tangga miskin dengan rumah tangga tidak miskin. Sunarti (2006) melakukan penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi pembelian susu formula anak pada keluarga berpendapatan rendah dengan menggunakan analisis CHAID. Hasil analisis memperlihatkan faktorfaktor yang mempengaruhi adalah harga susu formula, pendapatan keluarga, tingkat pendidikan, status kepemilikan rumah dan pertimbangan sebelum melakukan pembelian. Faktor harga merupakan faktor yang paling menentukan jadi atau tidak dalam membeli susu formula. Pada tahun 2006, Rullyanto menggunakan analisis CHAID dalam menganalisis pola konsumsi buah impor pada rumah tangga berpendapatan tinggi di Kota Bogor. Analisis CHAID menunjukkan faktor usia dan pengeluaran menjadi faktor yang mempengaruhi pola konsumsi buah impor tersebut. Sedangkan faktor jenis kelamin, pendapatan, besar keluarga dan pekerjaan tidak mempengaruhi pola konsumsi.
2.4
Perbedaan dengan Penelitian Terdahulu Penelitian-penelitian terdahulu mengenai kemiskinan maupun yang
menggunakan analisis CHAID, tidak ditemukan penelitian yang secara langsung membahas masalah kemiskinan dan karakteristik yang mmebedakan rumah tangga miskin dan tidak miskin di tiga wilayah pengembangan Kabupaten Bogor secara keseluruhan tetapi hanya beberapa kecamatan saja. Selain itu, belum ada penelitian yang membahas mengenai kaitan antara status kemiskinan dan status pekerjaan di Kabupaten Bogor. Untuk itulah penelitian ini dilakukan guna
15
memberikan informasi kepada semua pihak tentang potret kemiskinan, kaitan status kemiskinan dengan status pekerjaan, serta karakteristik yang paling penting dari rumah tangga miskin terutama di Kabupaten Bogor. Dengan demikian diharapkan pemerintah dan masyarakat akan dapat melakukan upaya untuk mengentaskan kemiskinan di Kabupaten Bogor serta di Indonesia.
16
III. KERANGKA PEMIKIRAN
3.1
Kerangka Pemikiran Teoritis
3.1.1 Konsep Kemiskinan Sebelum tahun 1993 seseorang dikategorikan miskin apabila total pengeluaran yang dibutuhkan untuk pembelian makanan senilai 2100 kalori per kapita per hari. Ini merupakan garis batas kemiskinan yang ditetapkan oleh BPS. Sejak 1993, Indonesia telah mengadopsi basic needs approach yang terdiri dari pengeluaran untuk makanan dan non-makanan. Pada tahun 1996 BPS memperbaharui metode penghitungan garis kemiskinan untuk memasukkan komponen pengeluaran bukan makanan secara lebih memadai. Sementara menurut Bank Dunia kemiskinan diartikan sebagai: Poverty is hunger. Poverty is lack of shelter. Poverty is being sick and not being able to see a doctor. Poverty is not being to go to school and not knowing how to read. Poverty is not having a job, is fear for the future, living one day at a time. Poverty is losing a child to illness brought about by unclean water. Poverty is powerlessness, lack of representation and freedom.1 Kemiskinan memiliki pengertian yang berbeda antar daerah dan waktu. Hal ini berarti masalah kemiskinan merupakan masalah multidimensi. Kemiskinan tidak hanya berbicara masalah pendapatan yang rendah, tetapi juga menyangkut masalah perumahan yang buruk, rendahnya pembangunan manusia (human development) dalam hal pendidikan dan kesehatan, ketiadaan akses pada aset-aset produktif, ketakutan akan masa depan, dan lain-lain.
1
www.worldbank.org
17
Dalam memahami kemiskinan dapat ditinjau dari beberapa pendekatan. Pertama, pendekatan pendapatan (income approach) dimana seseorang disebut miskin jika pendapatan dan konsumsinya berada di bawah tingkat tertentu yaitu tingkat pendapatan dan pengeluaran minimal yang layak secara sosial. Kedua, pendekatan kebutuhan dasar (basic needs approach), yang mana seseorang disebut miskin jika tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya seperti makanan, sandang, papan, sekolah dasar, dan lain-lain. Ketiga, pendekatan aksesibilitas dimana seseorang miskin karena kurangnya akses terhadap aset produktif, akses terhadap infrastruktur sosial dan fisik, akses terhadap informasi, akses terhadap pasar, dan akses terhadap teknologi. Keempat, pendekatan kemampuan manusia (human capability approach) dimana seseorang disebut miskin jika tidak memiliki kemampuan yang dapat berfungsi pada tingkat minimal. Kelima, pendekatan ketimpangan (inequality approach) yang merupakan pendekatan kemiskinan relatif. Kemiskinan relatif yaitu suatu ukuran mengenai kesenjangan di dalam distribusi pendapatan (proporsi dari tingkat pendapatan rata-rata). Semua negara telah mengukur kemiskinan yang terjadi dengan berbagai metode dan pendekatan yang berbeda-beda. Bank Dunia juga menetapkan standar pendapatan US $ 1,- sebagai garis batas kemiskinan. Bank Dunia setiap tahun dalam laporannya mengeluarkan Human Development Index (IPM, Indeks Pembangunan Manusia) dengan komponen antara lain tingkat harapan hidup, tingkat melek huruf penduduk dewasa, tingkat penyelesaian studi pada sekolah dasar dan menengah, dan PDB riil per kapita. UNDP juga secara rutin mempublikasikan angka indeks yang mengukur kemiskinan yaitu the Human Poverty Index (IKM, Indeks Kemiskinan Manusia).
18
Indeks ini terdiri dari tiga komponen dasar yaitu longevity; menghitung persentase penduduk yang meninggal sebelum berusia 40 tahun. Kedua adalah literacy; persentase penduduk dewasa yang melek huruf. Ketiga adalah living standard; yang merupakan kombinasi dari persentase penduduk yang memiliki akses yang cepat pada layanan kesehatan, persentase penduduk yang memiliki akses air bersih dan sehat, dan persentase balita kurang gizi. Menurut Sajogyo (1986), untuk mengkategorikan penduduk miskin, tidak cukup hanya menggunakan satu garis kemiskinan saja. Tiga garis yang harus digunakan adalah : melarat (destitute), miskin sekali (very poor) dan miskin (poor). Di desa pada tingkat 180 Kg dikategorikan melarat, 240 Kg dikategorikan miskin sekali dan 320 Kg setara beras per orang per tahun dikategorikan miskin. Untuk di kota, setara 270 Kg, 360 Kg dan 480 Kg setara beras per orang per tahun. Korelasi antara pertumbuhan dan kemiskinan tidak berbeda dengan hubungan pertumbuhan dan kesenjangan. Menurut Simon Kuznets, hubungan antara pendapatan dan tingkat pendapatan per kapita berbentuk U terbalik. Demikian juga dengan hubungan antara kemiskinan dan pertumbuhan ekonomi. Hasil ini diinterpretasikan sebagai evolusi dari distribusi pendapatan dalam proses transisi dari suatu ekonomi perdesaan (rural) atau ekonomi tradisional ke suatu ekonomi perkotaan (urban) atau ekonomi industri. Hipotesis Kuznets menjelaskan bahwa pada awal proses pembangunan, ketimpangan dalam distribusi pendapatan meningkat sebagai akibat dari proses urbanisasi dan industrialisasi dan pada akhir proses pembangunan ketimpangan menurun, yakni pada saat sektor industri di daerah perkotaan sudah dapat
19
menyerap sebagian besar dari tenaga kerja yang datang dari perdesaan atau pada saat pangsa pasar pertanian lebih kecil di dalam produksi dan penciptaan pendapatan. Tingkat Kesenjangan
Periode Tingkat Pendapatan Per Kapita Gambar 2. Hipotesis Kuznets Sumber : Tambunan, 2003 Hipotesis U terbalik ini didasarkan pada argumentasi teori Lewis mengenai perpindahan penduduk dari perdesaan (pertanian) ke perkotaan (industri). Daerah perdesaan yang sangat padat penduduknya mengakibatkan tingkat upah di sektor pertanian sangat rendah dan membuat suplai dari pertanian ke industri tidak terbatas. Pada fase terakhir, pada saat sebagian besar dari tenaga kerja yang berasal dari pertanian telah diserap oleh industri, perbedaan pendapatan per kapita antara perdesaan dan perkotaan menjadi kecil atau tidak lagi. Pemerintah Kabupaten Bogor melaksanakan Sensus Daerah pada tahun 2006 untuk mengidentifikasi keadaan masyarakat Kabupaten Bogor termasuk keadaan kemiskinan di daerah tersebut. Melalui Sensus Daerah 2006 kriteria masyarakat miskin di Kabupaten Bogor, yaitu memiliki : (1) luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8 m2 per orang; (2) jenis lantai bangunan tempat tinggal tanah atau bambu atau kayu murahan; (3) jenis dinding tempat tinggal
20
bambu atau rumbia atau kayu berkualitas rendah atau tembok tanpa diplester ; (4) tidak mempunyai fasilitas tempat buang air besar atau menggunakan bersamasama dengan rumah tangga lain ; (5) sumber penerangan rumah tangga bukan menggunakan listrik ; (6) sumber air minum dari sumur atau mata air tidak terlindung atau sungai atau air hujan ; (7) bahan bakar untuk memasak sehari-hari menggunakan kayu bakar atau minyak tanah atau arang ; (8) tidak pernah mengkonsumsi daging/susu/ayam per minggu atau hanya satu kali dalam seminggu ; (9) tidak pernah membeli pakaian baru dalam setahun atau hanya satu kali membeli dalam setahun (untuk setiap anggota rumah tangga) ; (10) hanya satu kali atau dua kali makan dalam sehari (untuk setiap anggota rumah tangga) ; (11) tidak mampu membayar untuk berobat ke Puskesmas atau Poliklinik ; (12) lapangan pekerjaan utama kepala rumah tangga adalah petani dengan luas lahan 0,5 hektar atau buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan, atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan kurang dari Rp 600.000 per bulan ; (13) pendidikan tertinggi kepala rumah tangga hanya SD atau tidak tamat SD maupun tidak sekolah ; (14) tidak mempunyai tabungan atau barang yang mudah dijual dengan nilai minimal Rp 500.000, seperti sepeda motor (kredit/non kredit), emas, ternak, kapal motor, atau barang modal lainnya.
3.1.2 Konsep Pengangguran Penduduk dalam suatu negara dibedakan menjadi dua golongan, yaitu tenaga kerja dan bukan tenaga kerja. Menurut Bank Dunia, tenaga kerja adalah penduduk yang berumur antara 15 hingga 64 tahun. Selanjutnya, tenaga kerja dibagi lagi menjadi dua kelompok, yaitu angkatan kerja dan bukan angkatan kerja.
21
Angkatan kerja adalah penduduk dalam usia kerja atau tenaga kerja yang sedang bekerja, atau mempunyai pekerjaan namun untuk sementara sedang tidak bekerja maupun yang sedang mencari pekerjaan. Sedangkan bukan angkatan kerja adalah penduduk dalam usia kerja atau tenaga kerja yang tidak bekerja, tidak mempunyai pekerjaan, dan tidak sedang mencari pekerjaan. Penduduk yang termasuk ke dalam bukan angkatan kerja, antara lain orang-orang yang kegiatannya bersekolah (pelajar, mahasiswa), mengurus rumah tangga (ibu-ibu yang bukan wanita karir), serta menerima pendapatan tetapi bukan merupakan imbalan langsung atas jasa kerjanya (pensiunan, penderita cacat yang dependen). Angkatan kerja dibedakan juga ke dalam dua kelompok, yaitu pekerja dan penganggur. Pekerja ialah orang-orang yang mempunyai pekerjaan dan memang sedang bekerja (saat dilakukan sensus atau survei), serta orang yang mempunyai pekerjaan namun untuk sementara waktu kebetulan sedang tidak bekerja. Sedangkan pengangguran adalah seseorang yang mau dan membutuhkan pekerjaan dan atau seseorang yang seharusnya dilihat dari segi kebutuhan dan kemampuannya telah dan harus mempunyai pekerjaan yang layak dan sah menurut hukum dinegaranya. Pekerjaan tersebut digunakan sebagai sumber kehidupan dan penghidupan dirinya, keluarganya, masyarakat, dan bangsanya. Tetapi karena sesuatu hal, dia tidak memiliki kesempatan itu. Menurut Lipsey, et al. (1997), pengangguran dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu pengangguran siklis, pengangguran friksional, dan pengangguran struktural. Pengangguran siklis adalah pengangguran yang terjadi ketika permintaan total tidak memadai untuk membeli semua keluaran potensial ekonomi, sehingga menyebabkan senjang resesi dimana keluaran aktual lebih
22
kecil dari keluaran potensial. Pengangguran siklis dikatakan sebagai orang yang menganggur terpaksa yaitu mereka ingin bekerja dengan tingkat upah yang berlaku tetapi pekerjaan tidak tersedia. Pengangguran
struktural
adalah
pengangguran
yang
disebabkan
ketidaksesuaian antara struktur angkatan kerja berdasarkan jenis keterampilan, pekerjaan, industri atau lokasi geografis dan struktur permintaan akan tenaga kerja. Sedangkan pengangguran friksional diakibatkan oleh perputaran normal tenaga kerja. Sumber penting pengangguran friksional adalah penduduk usia muda yang memasuki angkatan kerja dan mencari pekerjaan. Selain itu, pengangguran friksional juga disebabkan oleh orang-orang yang keluar dari pekerjaannya, baik karena tidak puas dengan kondisi pekerjaan yang sekarang maupun karena diberhentikan. Menurut BPS, pengangguran terbuka adalah orang yang mencari pekerjaan, yang sedang mempersiapkan usaha, yang tidak mencari pekerjaan, dan mereka yang sudah punya pekerjaan. Mencari pekerjaan adalah kegiatan seseorang yang tidak bekerja dan pada saat survei orang tersebut sedang mencari pekerjaan, seperti yang belum pernah bekerja dan sedang berusaha mendapatkan pekerjaan atau orang yang sudah pernah bekerja, karena suatu hal berhenti atau diberhentikan dan sedang berusaha mendapatkan pekerjaan.
3.2
Kerangka Pemikiran Operasional Jumlah penduduk yang semakin meningkat mengakibatkan permintaan
terhadap tuntutan kehidupan yang paling minimum atau kebutuhan dasar juga semakin meningkat. Hal ini terkadang tidak diimbangi dengan peningkatan
23
pasokan kebutuhan dasar tersebut sehingga mengakibatkan tidak semua orang terpenuhi kebutuhan dasarnya. Kebutuhan dasar tersebut dapat berupa sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan daya beli. Terpenuhinya kebutuhan dasar tersebut menunjukkan kesejahteraan seseorang. Apabila kesejahteraan seseorang tidak terpenuhi secara terus-menerus, hal ini akan menyebabkan kemiskinan. Peningkatan jumlah penduduk juga mengakibatkan peningkatan pada permintaan lapangan kerja. Hal ini apabila tidak ditunjang dengan jumlah lapangan kerja yang memadai akan menyebabkan masalah pengangguran. Selain itu, dengan meningkatnya jumlah penduduk akan terjadi transformasi lahan dari sektor pertanian ke sektor non pertanian seperti untuk perumahan. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang banyak menyerap tenaga kerja. Sehingga dengan semakin menurunnya luas lahan pertanian akan mengakibatkan banyak terjadi pengangguran di sektor tersebut. Indikator kemiskinan rumah tangga memberikan suatu gambaran tentang penyebab kemiskinan di wilayah barat Kabupaten Bogor. Indikator tersebut mencakup 15 faktor, yaitu luas lantai bangunan tempat tinggal (m2), jenis lantai bangunan tempat tinggal terluas, jenis dinding bangunan tempat tinggal terluas, sumber air minum yang digunakan untuk konsumsi sehari-hari, penggunaan fasilitas tempat buang air besar, jenis bahan bakar yang digunakan untuk memasak sehari-hari, sumber penerangan (energi) rumah tangga, jenis barang yang dimiliki minimal senilai 500.000 (emas, televisi berwarna, kulkas/mesin cuci, sepeda motor), frekuensi anggota rumah tangga makan dalam sehari, frekuensi anggota rumah tangga membeli pakaian baru dalam setahun, frekuensi
24
anggota rumah tangga membeli daging/ayam/susu dalam seminggu, kemampuan anggota rumah tangga berobat ke puskesmas/poliklinik, jenjang pendidikan tertinggi yang pernah atau sedang ditempuh, bidang pekerjaan utama kepala rumah tangga. Melalui analisis tabulasi silang terhadap indikator-indikator yang telah dijabarkan diharapkan dapat lebih memahami potret kemiskinan rumah tangga di Kabupaten Bogor. Hubungan status kemiskinan dengan status pekerjaan kepala rumah tangga di Kabupaten Bogor juga dianalisis menggunakan analisis tabulasi silang. Selain itu, untuk mengetahui karakteristik yang membedakan rumah tangga miskin dan tidak miskin di Kabupaten Bogor maka dilakukan analisis CHAID terhadap indikator-indiaktor tersebut. Melalui analisis-analisis tersebut diharapkan dapat memberikan masukan kepada pemerintah untuk membuat kebijakan-kebijakan penanggulangan masalah kemiskinan terutama di Kabupaten Bogor. Bagan di bawah ini untuk mempermudah alur penelitian.
25
Kemiskinan di Kabupaten Bogor
14 indikator kemiskinan
CHAID
Crosstab
Potret kemiskinan di Kabupaten Bogor
Hubungan antara status kemiskinan dan status pekerjaan di Kabupaten Bogor
Karakteristik yang paling menonjol dalam membedakan rumah tangga miskin dan tidak miskin di Kabupaten Bogor
Implikasi kebijakan Gambar 3. Skema Kerangka Pemikiran Operasional
26
3.3
Hipotesis Berdasarkan kerangka pemikiran, maka dapat dirumuskan beberapa
hipotesa sebagai berikut : 1. Karakteristik
rumah tangga miskin berbeda-beda di setiap wilayah
pengembangan Kabupaten Bogor. 2. Status pekerjaan kepala rumah tangga berpengaruh terhadap status kemiskinan di Kabupaten Bogor. 3. Karakteristik yang diduga paling menonjol membedakan rumah tangga miskin
dan tidak miskin yaitu pendidikan kepala keluarga, jenis pekerjaan kepala keluarga, dan kepemilikan aset.
27
IV. METODE PENELITIAN
4.1
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kabupaten Bogor yang meliputi 41 kecamatan.
Lokasi tersebut dipilih secara sengaja karena beberapa pertimbangan, yaitu ketersediaan data untuk melakukan analisis tabulasi silang dan CHAID dalam penggambaran karakteristik kemiskinan di Kabupaten Bogor. Selain itu karena tingkat kemiskinan Kabupaten Bogor yang tinggi dibandingkan wilayah lain di Jawa Barat padahal wilayah ini adalah salah satu penunjang DKI Jakarta. Penelitian dilakukan selama empat bulan, mulai bulan Januari 2007 hingga bulan Juni 2008.
4.2
Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang
merupakan data lintas sektoral (cross-section) yaitu data Sensus Daerah Kabupaten Bogor tahun 2006 yaitu data F1 dan F2 mengenai indikator-indikator kemiskinan. Pada data awal, jumlah rumah tangga sebesar 855.733 kepala keluarga. Jumlah rumah tangga yang dipilih sebanyak 142.203 kepala keluarga setelah dilakukan clearing data. Sumber data diperoleh dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor. Sumber informasi lainnya berupa artikel diperoleh dari jurnal serta dari media massa elektronik. Serta digunakan data-data dari literatur dan hasil-hasil penelitian sebelumnya. Penelitian ini hanya dilakukan pada 34 kecamatan, seharusnya jumlah kecamatan yang ada sebanyak 41 buah kecamatan. Kecamatan-kecamatan yang
28
tidak digunakan antara lain : Kecamatan Ciawi, Kecamatan Klapanunggal, Kecamatan Rancabungur, Kecamatan Sukamakmur, Kecamatan Parung Panjang, dan Kecamatan Tenjolaya. Hal tersebut disebabkan belum adanya kelengkapan dalam survei dan ketidakcocokan antara data F1 dan F2. Data tersebut diperkirakan lengkap pada akhir tahun 2008. Penentuan rumah tangga miskin pada penelititan ini dilakukan dengan menggunakan indikator-indikator kemiskinan yang telah ditetapkan oleh BPS dan dapat dilihat pada Lampiran 1. Menurut BPS, suatu rumah tangga dapat dikatakan miskin jika telah memenuhi minimal sembilan dari 14 indikator tersebut. Indikator kemiskinan tersebut dapat dilihat pada Lampiran 1.
4.3
Metode Analisis dan Pengolahan Data Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
kuantitatif dan kualitatif. Metode kualitatif digunakan untuk menganalisis hubungan antara indikator kemiskinan dengan status kemiskinan dan status pekerjaan di Kabupaten Bogor dengan menggunakan analisis deskriptif. Metode kuantitatif digunakan untuk menganalisis karakteristik yang membedakan rumah tangga miskin dan tidak miskin di tiga wilayah pengembangan Kabupaten Bogor.
4.3.1 Analisis Deskriptif Analisis deskriptif adalah analisis yang berkaitan dengan pengumpulan dan penyajian suatu gugus data sehingga memberikan informasi yang berguna. Menurut Nazir (2003), metode deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti status sekelompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran
29
ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuan dari penelitian deskriptif adalah membuat gambaran yang akurat mengenai hubungan antara fenomena yang diteliti. Analisis deskriptif dilakukan untuk mengidentifikasi potret kemiskinan di Kabupaten Bogor. Analisis potret kemiskinan dilakukan melalui tabulasi silang (cross tabulation) indikator-indikator kemiskinan di Kabupaten Bogor. Hasil tabulasi silang masing-masing variabel kemudian diinterpretasikan agar diperoleh gamabaran kemiskinan rumah tangga di Kabupaten Bogor.
4.3.2 Analisis Statistik Non parametrik Analisis statistik non parametrik adalah suatu metode analisis untuk mengetahui nilai hubungan antara status kemiskinan suatu rumah tangga dengan status pekerjaan kepala keluarga di Kabupaten Bogor. Analisis ini menggunakan uji Chi-Square dan uji koefisien kontingensi. Uji Chi-Square digunakan untuk melihat hubungan antara status kemiskinan dan status pekerjaan kepala keluarga. Uji koefisien kontingensi digunakan untuk melihat keeratan hubungan pada uji Chi-Square. a.
Chi-Square dengan rumus sebagai berikut : 2
1
1
Keterangan: r = total baris c = total kolom i = indeks baris j = indeks kolom Oij = nilai sel baris ke-i kolom ke-j Eij = nilai harapan sel baris ke-i kolom ke-j
2
30
b.
Koefisien kontingensi dengan rumus sebagai berikut :
Keterangan : C = Nilai koefisien kontingensi 2 Χ = Hasil Chi-Square hitung n = Jumlah responden Menurut Guilford dalam Rakhmat (2002), koefisien kontingensi memiliki pemahaman sebagai berikut : 0,000 – 0,200 0,201 – 0,400 0,401 – 0,700 0,701 – 0,900 0,901 – 1,000
= Sangat lemah = Lemah = Cukup kuat = Kuat = Sangat kuat
4.3.3 Analisis CHAID Metode CHAID (Chi-square Automatic Interaction Detection or detector) merupakan sebuah metode eksploratori non parametrik untuk menganalisis sekumpulan data berukuran besar dan cukup efisien untuk menduga peubah penjelas yang paling signifikan terhadap peubah respon. Interaksi antar peubah juga dapat dideteksi melalui metode CHAID (Du toit, et al.,1986). Metode ini termasuk salah satu tipe dari metode AID (Automatic Interaction Detection) yang dapat digunakan untuk menganalisis keterkaitan struktural antar peubah respon dan peubah penjelas dalam segugus data. Perbedaan CHAID dengan metode AID lainnya adalah tipe data yang digunakan yaitu data kategorik berskala nominal dan ordinal dengan uji yang digunakan adalah uji Chi-square.
31
Metode CHAID digunakan dalam penelitian ini karena dapat mendeteksi secara jelas karakteristik yang membdeakan rumah tangga miskin dan tidak miskin di Kabupaten Bogor. Metode ini selain menjelaskan adanya pengaruh yang signifikan atau tidak tetapi juga menjelaskan secara detail mengenai posisi dari kategori-kategori
pada
peubah
respon
dan
peubah
penjelas
yang
mempengaruhinya. Cara kerja metode CHAID adalah dengan memisahkan gugus data ke dalam beberapa kelompok secara bertahap. Tahap pertama diawali dengan membagi data menjadi beberapa kelompok berdasarkan satu peubah penjelas yang pengaruhnya paling signifikan terhadap peubah respon. Kemudian masing-masing anak gugus yang terbagi diperiksa kembali secara terpisah dan dibagi lagi berdasarkan peubah lainnya. Seterusnya dengan kriteria statistik uji Chi-square pada setiap pemisahannya hingga pada akhirnya diperoleh kelompok-kelompok pengamatan yang memiliki respon dan peubah penjelas tertentu yang berkaitan. Untuk lebih jelasnya tahapan-tahapan dalam metode CHAID dijelaskan pada algoritma berikut : 1. Masing-masing peubah penjelas dibuat tabulasi silang yaitu antara kategorikategori peubah penjelas dengan kategori-kategori peubah respon. 2. Dari setiap tabulasi yang diperoleh, disusun sub tabel berukuran 2 x d yang mungkin, d adalah banyaknya kategori peubah respon. Kemudian cari nilai χ2hitung pada semua sub tabel tersebut. Dari seluruh nilai χ2hitung yang diperoleh, cari χ2hitung terkecil. Jika χ2hitung < χ2α (α ditetapkan, db= d-1), maka kedua kategori peubah penjelas tersebut digabungkan menjadi satu kategori.
32
3. Jika terdapat kategori gabungan yang terdiri dari dari tiga atau lebih kategori asal, maka harus dibagi secara biner terhadap kategori gabungan tersebut. Dari pembagian ini dicari χ2hitung terbesar. Jika χ2hitung > χ2α, maka pembagian biner berlaku. Kembali ke tahap kedua. 4. Setelah diperoleh penggabungan optimal untuk setiap peubah penjelas, hitung nilai-p masing-masing tabel yang terbentuk (tabel yang mengalami pengurangan kategori yaitu c kategori peubah penjelas menjadi r kategori, nilai-p nya dikalikan dengan pengganda Bonferoni sesuai dengan tipe peubahnya)yaitu nilai-p terkecil. Jika nilai-p terkecil < α yang ditetapkan, maka X pada nilai-p tersebut adalah peubah penjelas yang pengaruhnya paling signifikan terhadap peubah respon. 5. Jika pada tahap keempat diperoleh peubah yang pengaruhnya paling signifikan, maka peubah tersebut muncul yang pertama pada dendogram menurut kategori. 6. Lakukan kembali tahap kesatu sampai kelima terhadap peubah penjelas lainnya setelah dipisah ke setiap kategori peubah penjelas yang telah muncul sebelumnya. Pengganda Bonferroni untuk tabel yang mengalami pengurangan kategori sesuai dengan tipe peubahnya (Kass, 1980) : 1. Peubah monotonik
1 1
2. Peubah nominal 1
! 1" 0
! 1" ! ! "!
33
3. Peubah float
屲%
2 2 2 1
Statistik uji yang digunakan adalah χ2 dengan rumus : 2
1
1
2
Keterangan: r = total baris c = total kolom i = indeks baris j = indeks kolom Oij = nilai sel baris ke-i kolom ke-j Eij = nilai harapan sel baris ke-i kolom ke-j Keunggulan metode CHAID bila dibandingkan dengan metode ChiSquare lainnya adalah hasil analisis menghasilkan suatu dendogram pemisahan. Berdasarkan dendogram ini akan diperoleh informasi, yaitu : 1. Pengelompokan Pengamatan Pengelompokan pengamatan dikelompokkan ke dalam kelompok-kelompok yang relatif homogen dalam kaitannya dengan nilai-nilai peubah penjelas dan peubah respon. 2. Asosiasi antar Peubah Asosiasi antar peubah, kecenderungan nilai peubah penjelas tertentu berpadanan dengan nilai peubah penjelas yang lain. 3. Interaksi antar Peubah Penjelas Peranan silang dua peubah penjelas dalam pemisahan pengamatan menurut peubah respon.
34
Metode CHAID juga memiliki kelemahan apabila data yang dianalisis berukuran kecil. Hasil analisis dengan jumlah sampel tebatas menghasilkan dendogram yang kurang berkembang sehingga menyebabkan jumlah variabel atau faktor-faktor yang berpengaruh juga terbatas. Kelemahan alat analisis CHAID adalah dapat diantisipasi dengan menganalisis data yang berukuran kecil dengan Chi-Square yang memiliki prinsip dasar yang sama dan dalam hal ini menggunakan analisis Chi-Square Test Independensi. Hasil analisis ini sama artinya yaitu menunjukkan bahwa permasalahan yang dianalisis tidak hanya dipengaruhi beberapa faktor saja. Tetapi dengan menggunakan sampel yang lebih besar pada permasalahan yang sama akan menghasilkan jumlah faktor yang berpengaruh menjadi lebih banyak apabila dianalisis dengan CHAID.
4.4. Definisi Operasional Beberapa definisi yang dibutuhkan dan dikondisikan dalam terhadap kemiskinan rumah tangga Kabupaten Bogor adalah sebagai berikut : - Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) adalah suatu cara untuk mengukur kemiskinan dengan menggunakan pendekatan kebutuhan dasar (setara 2100 kalori per kapita per hari) dan bukan makanan. Data SUSENAS bersifat makro hanya mencakup jumlah agregat dan persentase penduduk miskin, tetapi tidak dapat menunjukkan siapa si miskin dan di mana alamat mereka, sehingga kurang operasional di lapangan. - Penduduk miskin adalah penduduk yang memenuhi indikator kemiskinan minimal sembilan dari 14 indikator.
35
- Indikator kemiskinan adalah petunjuk yang memberikan indikasi tentang suatu keadaan kemiskinan atau suatu alat pengukur perubahan dari kemiskinan. - Luas lantai bangunan tempat tinggal < 8m2 adalah rumah tangga yang memiliki luas lantai bangunan < 8 m2 per orang. Misalnya, suatu rumah tangga memiliki anggota rumah tangga sebanyak empat orang. Rumah tangga tersebut dapat dikatakan miskin jika memiliki luas lantai < 32 m2. - Jenis lantai bangunan tempat tinggal adalah rumah tangga dikatakan miskin jika memiliki jenis lantai dari tanah, bambu, atau kayu murahan. - Jenis dinding bangunan tempat tinggal adalah rumah tangga dikatakan miskin jika memiliki dinding selain menggunakan tembok. - Fasilitas tempat buang air besar rumah tangga dikatakan miskin jika tidak punya atau menggunakan fasilitas tersebut bersama-sama dengan rumah tangga lain. - Sumber penerangan rumah tangga dikatakan miskin jika memiliki sumber penerangan bukan listrik, seperti petromak. - Sumber air minum rumah tangga dikatakan miskin jika tidak menggunakan air dalam kemasan atau ledeng (PDAM) sebagai sumber air minum. - Bahan bakar untuk masak sehari-hari rumah tangga dikatakan miskin jika menggunakan kayu bakar, arang, atau minyak tanah untuk masak sehari-hari. - Konsumsi daging/ayam/susu rumah tangga dikatakan miskin jika tidak pernah mengkonsumsi atau hanya satu kali dalam seminggu. - Pembelian pakaian baru dalam setahun rumah tangga dikatakan miskin jika tidak pernah atau hanya membeli satu stel dalam setahun.
36
- Frekuensi makan dalam sehari rumah tangga dikatakan miskin jika hanya satu kali atau dua kali makan dalam sehari. - Kemampuan berobat ke puskesmas atau poliklinik rumah tangga dikatakan miskin jika tidak mampu membayar untuk berobat. - Lapangan pekerjaan utama kepala rumah tangga rumah tangga dikatakan miskin jika kepala rumah tangga bekerja di bidang pertanian. - Pendidikan tertinggi kepala rumah tangga rumah tangga dikatakan miskin jika kepala rumah tangga tidak pernah sekolah, tidak tamat SD, TK atau hanya SD. - Kepemilikan aset atau tabungan rumah tangga dikatakan miskin jika tidak punya tabungan atau barang yang mudah dijual dengan nilai minimal Rp 500.000, seperti sepeda motor, televisi, emas, dan kulkas. - Bekerja adalah melakukan kegiatan/pekerjaan paling sedikit 1(satu) jam berturut-turut dalam seminggu dengan maksud untuk memperoleh pendapatan. - Angka kapadatan penduduk adalah perbandingan antara jumlah penduduk dan luas wilayah dalam km2. - Angka pengangguran terbuka adalah perbandingan penduduk yang mencari kerja terhadap angkatan kerja. - AKB adalah angka kematian bayi - AHH adalah angka harapan hidup - AMH adalah angka melek huruf - RLS adalah rata-rata lama sekolah - PPP adalah kemampuan daya beli.
37
V. KEMISKINAN DI KABUPATEN BOGOR
5.1
Jumlah Penduduk dan Indikator Kemiskinan Kondisi kemiskinan di Kabupaten Bogor dapat dilihat dari perhitungan 14
indikator kemiskinan, yaitu luas lantai bangunan tempat tinggal, jenis lantai bangunan tempat tinggal, jenis dinding bangunan tempat tinggal, sumber air minum, penggunaan fasilitas buang air besar, jenis bahan bakar untuk masak sehari-hari, sumber penerangan rumah tangga, kepemilikan aset minimal senilai Rp 500.000, frekuensi makan dalam sehari, pembelian pakaian baru dalam setahun, pembelian daging/ayam/susu dalam seminggu, kemampuan berobat ke puskesmas atau poliklinik, pendidikan tertinggi kepala rumah tangga, dan bidang pekerjaan utama kepala rumah tangga. Menurut BPS, suatu rumah tangga dapat dikatakan miskin jika memenuhi minimal sembilan dari 14 indikator yang ditetapkan. Jumlah rumah tangga miskin berdasarkan hasil pengolahan SUSDA Kabupaten Bogor Tahun 2006 sebesar 22.831 kepala keluarga atau sebesar 16,06 persen dari jumlah rumah tangga di Kabupaten Bogor. Jumlah terbesar berada di wilayah pengembangan Bogor Barat sebesar 9.642 kepala keluarga atau sebesar 25 persen dari jumlah rumah tangga di wilayah tersebut. Jumlah terkecil berada di wilayah pengembangan Bogor Timur yaitu sebesar 4.606 kepala keluarga dengan persentase 22,77 persen dari jumlah rumah tangga di wilayah Bogor Timur. Wilayah pengembangan Bogor Tengah memiliki jumlah rumah tangga miskin yang besar, yaitu 8.583 kepala keluarga tetapi memiliki persentase terkecil yaitu sebesar 10,3 persen dibandingkan jumlah rumah tangga di wilayah tersebut.
38
5.2
Karakteristik Rumah Tangga Miskin di Kabupaten Bogor
5.2.1 Wilayah Pengembangan Bogor Barat Rumah tangga di wilayah Bogor Barat cenderung termasuk ke dalam rumah tangga tidak miskin. Jumlah rumah tangga miskin di wilayah ini cukup besar yaitu 9.642 rumah tangga atau sebesar 25 persen. Persentase rumah tangga miskin yang tertinggi terdapat pada Kecamatan Nanggung sebesar 52,8 persen. Persentase rumah tangga miskin yang terendah berada di Kecamatan Ciampea sebesar 7,2 persen. Tabel 4.
Jumlah Rumah Tangga Miskin di Wilayah Pengembangan Bogor Barat Tahun 2006 (persen)
Status Kemiskinan Tidak Miskin Miskin N % N % Ciampea 3295 92,8 256 7,2 Cibungbulang 2521 89,0 311 11 Cigudeg 2189 85,0 385 15 Jasinga 4025 73,2 1470 26,8 Leuwiliang 2798 82,8 582 17,2 Leuwisadeng 2465 71,5 981 28,5 Nanggung 330 47,2 369 52,8 Pamijahan 2754 78,0 777 22 Rumpin 3759 76,2 1171 23,8 Sukajaya 2540 50,8 2460 49,2 Tenjo 2296 72,3 880 27,7 Total 28792 75,0 9642 25 Sumber : Suseda Kabupaten Bogor 2006 Kecamatan
Kecamatan Ciampea identik dengan sektor non-pertanian yaitu sebesar 92,5 persen rumah tangga di wilayah ini memiliki kepala keluarga yang bekerja di sektor non-pertanian. Kecamatan Nanggung identik dengan sektor pertanian, sebesar 54,9 persen rumah tangga memiliki kepala keluarga yang bekerja di sektor pertanian. Hal ini memperlihatkan bahwa persentase rumah tangga miskin yang
39
tinggi terdapat pada kecamatan yang dominan memiliki kepala keluarga yang bekerja di sektor pertanian, seperti Kecamatan Nanggung dan Sukajaya. Karakteristik rumah tangga miskin di wilayah pengembangan Bogor Barat dapat dilihat dari berbagai aspek yang terdapat pada Lampiran 1, yaitu : 1.
Luas Lantai Bangunan Tempat Tinggal kurang dari 8 m2 per orang Salah satu aspek penting dalam pengukuran kondisi perumahan suatu
rumah tangga adalah luas lantai bangunan tempat tinggal. Luas lantai rumah menurut BPS yang menjadi indikator suatu rumah tangga tergolong miskin adalah kurang dari 8 m2 per orang. Mayoritas rumah tangga miskin di wilayah pengembangan Bogor Barat memiliki luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8 m2. Tabel 5.
Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Luas Lantai Lebih Besar dari 8 m2 per orang di Wilayah Pengembangan Bogor Barat Tahun 2006 (persen)
Luas lantai lebih besar dari 8 m2 per orang Ya Tidak Ciampea 35,9 64,1 Cibungbulang 32,5 67,5 Cigudeg 30,4 69,6 Jasinga 38,1 61,9 Leuwiliang 37,1 62,9 Leuwisadeng 40,2 59,8 Nanggung 50,9 49,1 Pamijahan 29,6 70,4 Rumpin 51,1 48,9 Sukajaya 31,2 68,8 Tenjo 46,3 53,8 Total 38,1 61,9 Sumber : Suseda Kabupaten Bogor 2006 Kecamatan
Jumlah rumah tangga miskin yang memiliki luas lantai bangunan kurang dari 8 m2 per orang sebesar 61,9 persen dari jumlah rumah tangga miskin wilayah Bogor Barat. Persentase tertinggi rumah tangga miskin yang memiliki luas lantai
40
kurang dari 8 m2 per orang berada di Kecamatan Pamijahan. Sebanyak 70,4 persen rumah tangga miskin di Kecamatan Pamijahan memiliki luas lantai kurang dari 8 m2 per orang. Kecamatan Nanggung memiliki persentase terendah rumah tangga miskin yang memiliki luas lantai kurang dari 8 m2 per orang yaitu sebesar 49,1 persen. 2.
Jenis Lantai Bangunan Kondisi perumahan juga dapat dilihat dari jenis lantai bangunan tempat
tinggal. Penggunaan kayu, papan, bambu atau tanah sebagai lantai bangunan tempat tinggal menjadi indikator suatu rumah tangga dinyatakan miskin. Rumah tangga miskin di Bogor Barat cenderung menggunakan kayu, papan, bambu atau tanah sebagai lantai bangunan tempat tinggal yaitu sebesar 50,1 persen. Tabel 6.
Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Jenis Lantai Bangunan Tempat Tinggal di Wilayah Pengembangan Bogor Barat Tahun 2006 (persen)
Jenis lantai Ubin/ Semen/ Kayu/ Keramik/ Kecamatan marmer/ tegel/ bata papan granit teraso merah Ciampea 2,3 25 46,5 1,2 Cibungbulang 6,8 27 41,5 2,3 Cigudeg 10,6 33 22,1 7,8 Jasinga 6,3 23,1 9,4 8,5 Leuwiliang 4 21 47,3 4 Leuwisadeng 4,1 29,2 24,2 4,7 Nanggung 11,7 10,8 11,9 42,3 Pamijahan 8,8 16,5 50,7 1,7 Rumpin 3 21,8 10,5 4,6 Sukajaya 6,7 21,1 16,9 23,9 Tenjo 4,3 23,9 12,2 3,3 Total 5,9 22,6 21,4 11,1 Sumber : Suseda Kabupaten Bogor 2006
Bambu
Tanah
3,5 4,8 11,2 41,2 6,7 23,1 21,1 2,4 27,7 25 21,7 22,5
21,5 17,7 15,3 11,5 17,2 14,8 2,2 19,9 32,5 6,4 34,7 16,5
Persentase terendah adalah rumah tangga miskin yang menggunakan keramik, marmer atau granit sebagai lantai bangunan yaitu hanya sebesar 5,9
41
persen dari jumlah rumah tangga di wilayah ini. Penggunaan kayu, papan, bambu atau tanah untuk lantai bangunan tempat tinggal terbesar berada di Kecamatan Nanggung sebesar 65,6 persen
dari jumlah rumah tangga di kecamatan ini.
Persentase terkecil penggunaan kayu, papan, bambu atau tanah untuk lantai bangunan tempat tinggal berada di Kecamatan Pamijahan yaitu sebesar 24 persen. 3.
Jenis Dinding Bangunan Salah satu aspek lain yang penting untuk melihat kondisi perumahan suatu
rumah tangga adalah jenis dinding bangunan. Suatu rumah tangga dinyatakan miskin menurut BPS menggunakan jenis dinding selain tembok, yaitu menggunakan kayu, bambu atau lainnya. Rumah tangga miskin di Bogor Barat hanya sebanyak 24,5 persen yang sudah menggunakan tembok sebagai dinding bangunan tempat tinggal. Tabel 7.
Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Jenis Dinding Bangunan Tempat Tinggal di Wilayah Pengembangan Bogor Barat Tahun 2006 (persen)
Jenis dinding Tembok Kayu Bambu Ciampea 52,7 2,7 30,5 Cibungbulang 52,1 3,9 41,2 Cigudeg 27,8 6,5 63,6 Jasinga 15,3 5,7 77,9 Leuwiliang 42,4 7,6 46,4 Leuwisadeng 23 8,9 66,8 Nanggung 11,9 45 40,7 Pamijahan 66,9 3,2 28,4 Rumpin 18,7 4,9 74,7 Sukajaya 13,3 22,2 63,4 Tenjo 17,4 7,6 73,6 Total 24,5 11,6 62 Sumber : Suseda Kabupaten Bogor 2006 Kecamatan
Lainnya 14,1 2,9 2,1 1,1 3,6 1,3 2,4 1,4 1,7 1,1 1,4 1,9
42
4.
Sumber Air Minum Penggunaan air dalam kemasan dan ledeng yaitu berupa penggunaan
PDAM sebagai sumber air minum bagi rumah tangga miskin di wilayah ini masih sangat sedikit yaitu hanya sebesar 0,4 persen dari jumlah rumah tangga di wilayah Bogor Barat. Rumah tangga miskin di wilayah Bogor Barat mayoritas menggunakan sumur sebagai sumber air minum yaitu sebesar 58,5 persen. Selain sumur, mata air juga menjadi sumber air minum yang dominan di Bogor Barat yaitu sebesar 32,2 persen. Tabel 8.
Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Sumber Air Minum di Wilayah Pengembangan Bogor Barat Tahun 2006 (persen)
Sumber Air Minum Air Kecamatan Ledeng Mata Air Air dalam Sumur Danau (PDAM) air sungai hujan kemasan Ciampea 0,8 0 57,4 37,5 4,3 0 0 Cibungbulang 0,3 0 64 35 0,3 0 0,3 Cigudeg 0 0,3 49,3 43,1 7 0 0,3 Jasinga 0,1 0,5 64,7 12,4 22 0,1 0,1 Leuwiliang 0,2 0,2 57,2 41,7 0,3 0 0,3 Leuwisadeng 0,3 0,2 68,4 26,3 4,4 0 0,4 Nanggung 0 0,3 24,4 70,7 4,3 0 0,3 Pamijahan 0,1 0,3 49,1 46,9 3 0,1 0,4 Rumpin 0,8 0,2 74,8 21,5 2,4 0 0,3 Sukajaya 0 0,2 39,9 47,4 11,4 0 1,1 Tenjo 0 0,1 94 1,3 4,4 0,1 0 Total 0,2 0,2 58,5 32,2 8,2 0 0,5 Sumber : Suseda Kabupaten Bogor 2006 Persentase tertinggi rumah tangga miskin yang menggunakan air dalam kemasan atau ledeng (PDAM) sebagai sumber air minum berada di Kecamatan Rumpin sebesar 1 persen. Persentase terendah rumah tangga miskin yang menggunakan air dalam kemasan atau ledeng (PDAM) sebagai sumber air minum berada di Kecamatan Tenjo yaitu hanya sebesar 0,1 persen.
43
5.
Fasilitas Buang Air Besar Mayoritas rumah tangga miskin di wilayah Bogor Barat belum memiliki
fasilitas buang air besar sendiri. Hanya sebanyak 4,3 persen rumah tangga miskin di wilayah ini yang mempunyai fasilitas buang air besar sendiri. Sarana yang paling sering digunakan oleh rumah tangga miskin di wilayah ini untuk buang air besar adalah sungai dengan persentase 45,3 persen. Tabel 9 .
Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Fasilitas Buang Air Besar di Wilayah Pengembangan Bogor Barat Tahun 2006 (persen)
Kecamatan
Fasilitas Buang Air Besar Sendiri Umum
Bersama
Ciampea 9,8 13,7 10,9 Cibungbulang 3,2 19 6,1 Cigudeg 6 20,8 9,9 Jasinga 2,1 9,5 3,9 Leuwiliang 4,5 27,8 11,5 Leuwisadeng 4,7 25,2 4,5 Nanggung 1,4 27,4 22,5 Pamijahan 1,9 27,4 5,3 Rumpin 11,3 15,9 14,8 Sukajaya 2,9 22,6 4,8 Tenjo 3,2 8,5 6,6 Total 4,3 19,2 7,5 Sumber : Suseda Kabupaten Bogor 2006
Sungai Kebun Empang Lainnya
55,1 60,1 53,8 68,9 40,7 54,6 14,6 51,2 23,7 50,3 9,4 45,3
0,4 0,3 1,8 9,1 0,7 0,2 0,5 0 4,4 0,6 39,7 5,9
4,3 9,6 5,2 2,6 11 7,8 29,3 9,1 19,2 13,5 25,6 12,4
5,9 1,6 2,6 3,9 3,8 3 4,3 5 10,8 5,4 7 5,3
Persentase tertinggi rumah tangga miskin yang telah memiliki fasilitas buang air besar sendiri adalah di Kecamatan Rumpin sebesar 11,3 persen. Persentase terendah rumah tangga miskin yang telah memiliki fasilitas buang air besar sendiri adalah di Kecamatan Jasinga yaitu sebesar 2,1 persen. Selain itu, Kecamatan Jasinga juga memiliki persentase tertinggi penggunaan sungai sebagai sarana buang air besar yaitu sebesar 68,9 persen.
44
6.
Jenis Bahan Bakar Indikator kemiskinan menurut BPS yang menyatakan suatu rumah tangga
dikatakan miskin adalah menggunakan bahan bakar minyak tanah, kayu bakar atau arang. Rumah tangga miskin di wilayah pengembangan Bogor Barat lebih banyak yang menggunakan kayu bakar atau arang sebagai bahan bakar untuk memasak sehari-hari, yaitu sebesar 87,9 persen. Penggunaan minyak tanah sebagai bahan bakar untuk memasak sehari-hari juga banyak digunakan yaitu oleh 11,4 persen rumah tangga miskin. Tabel 10. Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Jenis Bahan Bakar yang Digunakan untuk Memasak Sehari-hari di Wilayah Pengembangan Bogor Barat Tahun 2006 (persen)
Kecamatan
Minyak tanah Ciampea 50,4 Cibungbulang 45 Cigudeg 8,1 Jasinga 3,7 Leuwiliang 15,6 Leuwisadeng 16,1 Nanggung 5,4 Pamijahan 17,2 Rumpin 14,2 Sukajaya 3 Tenjo 11,7 Total 11,4 Sumber : Suseda Kabupaten Bogor 2006
Jenis bahan bakar Kayu bakar/ arang 48,4 55 91,4 95,8 84,2 83,3 93 82,8 84,1 96,3 87,9 87,9
Lainnya 1,2 0 0,5 0,6 0,2 0,6 1,6 0 1,7 0,7 0,7 0,7
Kecamatan Sukajaya memiliki persentase terbesar dalam penggunaan kayu bakar sebagai bahan bakar yaitu sebesar 96,3 persen. Persentase terendah penggunaan kayu bakar atau arang sebagai bahan bakar untuk memasak seharihari berada di Kecamatan Ciampea yaitu sebesar 48,4 persen. Sedangkan penggunaan minyak tanah terbesar berada di Kecamatan Ciampea sebesar 50,4
45
persen. Persentase terendah penggunaan minyak tanah sebagai bahan bakar untuk memask sehari-hari berada di Kecamatan Sukajaya sebesar 3 persen. 7.
Sumber Penerangan Mayoritas rumah tangga miskin di Bogor Barat sudah menggunakan
sumber penerangan yang berasal dari Perusahaan Listrik Negara (PLN) yaitu sebesar 70,7 persen. Hal ini memperlihatkan bahwa listrik telah dapat diakses oleh rumah tangga miskin sekalipun. Diikuti oleh penggunaan minyak tanah sebagai sumber penerangan yang digunakan oleh 20,2 persen rumah tangga. Tabel 11. Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Sumber Penerangan di Wilayah Pengembangan Bogor Barat Tahun 2006 (persen) Sumber penerangan Genset/ Listrik Petromak Minyak Lainnya PLN diesel swasta tanah Ciampea 74,6 0 0,8 1,6 13,3 9,8 Cibungbulang 84,6 0,6 3,9 1,3 4,8 4,8 Cigudeg 66,5 0,5 7,5 0,5 22,1 2,9 Jasinga 81,3 0 2,7 1,6 13,7 0,6 Leuwiliang 74,7 0,2 1,2 1,7 18 4,1 Leuwisadeng 78,9 0,5 1,2 1 14 4,4 Nanggung 34,4 0,3 3,5 1,1 53,4 7,3 Pamijahan 82,6 0,5 4,4 0,9 9,1 2,4 Rumpin 52,3 2,3 2 2 28,7 12,6 Sukajaya 71,6 0,6 3,9 0,9 21,2 1,8 Tenjo 64 0,3 3 1,3 28,1 3,4 Total 70,7 0,6 3,1 1,3 20,2 4,1 Sumber : Suseda Kabupaten Bogor 2006 Kecamatan
Persentase terbesar penggunaan minyak tanah sebagai sumber penerangan berada di Kecamatan Nanggung sebesar 53,4 persen. Persentase terendah penggunaan minyak tanah sebagai sumber penerangan berada di Kecamatan Cibungbulang sebesar 4,8 persen. Persentase terbesar penggunaan listrik (PLN) sebagai sumber penerangan berada di Kecamatan Pamijahan sebesar 8,2 persen.
46
8.
Frekuensi Makan (kali/hari) Kemampuan ekonomi suatu rumah tangga dalam memenuhi kebutuhan
dasar atau primer seperti pemenuhan kebutuhan pangan dapat dilihat dari frekuensi makan dalam sehari. Menurut BPS, suatu rumah tangga termasuk ke dalam rumah tangga miskin jika frekuensi makan dalam sehari hanya satu atau dua kali. Frekuensi makan dalam sehari mayoritas rumah tangga miskin di Bogor Barat adalah dua kali dalam sehari sebesar 53,7 persen. Tabel 12 .
Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Frekuensi Makan dalam Sehari di Wilayah Pengembangan Bogor Barat Tahun 2006 (persen)
Frekuensi makan dalam sehari 1 kali 2 kali 3 kali atau lebih Ciampea 3,5 89,5 7 Cibungbulang 1 77,5 21,5 Cigudeg 1 39 60 Jasinga 0,7 33,9 65,3 Leuwiliang 0,3 67 32,6 Leuwisadeng 0,4 69,4 30,2 Nanggung 0,5 39 60,4 Pamijahan 0,4 73,2 26,4 Rumpin 0,3 68,1 31,7 Sukajaya 0,4 36,7 62,9 Tenjo 0,3 64,7 35 Total 0,5 53,7 45,8 Sumber : Suseda Kabupaten Bogor 2006 Kecamatan
Persentase terendah rumah tangga miskin yang dapat makan tiga kali dalam sehari berada di Kecamatan Cibungbulang sebesar 21,5 persen. Persentase tertinggi rumah tangga miskin yang dapat makan tiga kali dalam sehari berada di Kecamatan Jasinga sebesar 65,3 persen. Sementara itu, hanya 0,5 persen rumah tangga di wilayah Bogor Barat yang hanya satu kali makan dalam sehari. Hal ini mengindikasikan bahwa kebutuhan akan pangan tetap menjadi kebutuhan utama bagi masyarakat.
47
9.
Kepemilikan Aset Kemampuan ekonomi suatu rumah tangga juga dapat dilihat dari
kepemilikan aset. Dalam hal ini yang dimasukkan ke dalam kepemilikan aset yaitu emas, televisi berwarna, lemari pendingin, dan sepeda motor. Suatu rumah tangga dinyatakan miskin menurut BPS apabila hanya memiliki kepemilikan aset kurang dari Rp 500.000. Rumah tangga miskin di Bogor Barat mayoritas memiliki kepemilikan aset kurang dari Rp 500.000 yaitu sebesar 79,4 persen dari jumlah rumah tangga miskin di wilayah ini. Tabel 13. Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Kepemilikan Aset di Wilayah Pengembangan Bogor Barat Tahun 2006 (persen) Kepemilikan aset ≥ Rp 500.000 < Rp 500.000 Ciampea 14,8 85,2 Cibungbulang 19 81 Cigudeg 16,4 83,6 Jasinga 24,9 75,1 Leuwiliang 15,3 84,7 Leuwisadeng 19 81 Nanggung 25,2 74,8 Pamijahan 16 84 Rumpin 20,8 79,2 Sukajaya 18,4 81,6 Tenjo 31,1 68,9 Total 20,6 79,4 Sumber : Suseda Kabupaten Bogor 2006 Kecamatan
Rumah tangga miskin di Kecamatan Ciampea memiliki persentase tertinggi kepemilikan aset kurang dari Rp 500.000 yaitu 85,2 persen. Persentase terendah rumah tangga miskin yang memiliki kepemilikan aset kurang dari Rp 500.000 berada di Kecamatan Tenjo yaitu sebesar 68,9 persen. Pendapatan suatu rumah tangga erat kaitannya dengan kepemilikan aset. Hal ini terlihat bahwa rumah tangga miskin relatif memiliki pendapatan yang rendah sehingga aset yang dimiliki pun kurang dari Rp 500.000.
48
10.
Frekuensi Pembelian Pakaian (kali/tahun) Frekuensi pembelian pakaian baru dalam setahun juga menjadi salah satu
alat ukur kemampuan ekonomi suatu rumah tangga dalam memenuhi kebutuhan dasarnya yaitu kebutuhan sandang. Suatu rumah tangga dinyatakan miskin apabila hanya dapat membeli kurang dari dua stel pakaian baru dalam setahun. Mayoritas rumah tangga miskin di wilayah pengembangan Bogor Barat hanya dapat membeli satu stel pakaian dalam setahun yaitu sebesar 75,9 persen. Tabel 14. Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Frekuensi Membeli Pakaian Baru dalam Setahun di Wilayah Pengembangan Bogor Barat Tahun 2006 (persen) Frekuensi membeli pakaian baru dalam setahun Tidak pernah membeli 1 stel 2 stel atau lebih Ciampea 17,6 76,6 5,9 Cibungbulang 13,2 85,5 1,3 Cigudeg 17,7 73,2 9,1 Jasinga 20 73,3 6,7 Leuwiliang 19,1 78,9 2,1 Leuwisadeng 21,3 74,6 4,1 Nanggung 11,7 80,2 8,1 Pamijahan 15,1 81,9 3,1 Rumpin 13 76,2 10,8 Sukajaya 15,9 73,2 11 Tenjo 10,9 78,1 11 Total 16,2 75,9 7,8 Sumber : Suseda Kabupaten Bogor 2006 Kecamatan
Rumah tangga miskin di wilayah Bogor Barat yang dapat membeli pakaian baru dua stel atau lebih dalam setahun hanya 7,8 persen rumah tangga. Kecamatan Sukajaya dan Tenjo memiliki persentase tertinggi rumah tangga miskin yang mampu membeli dua stel atau lebih pakaian dalam setahun yaitu sebesar 11 persen. Persentase terendah rumah tangga miskin yang dapat membeli dua stel atau lebih pakaian baru dalam setahun berada di Kecamatan
49
Cibungbulang yaitu sebesar 1,3 persen dari jumlah rumah tangga miskin di wilayah tersebut. 11.
Pembelian daging/ayam/susu (kali/minggu) Kemampuan ekonomi suatu rumah tangga juga dapat dilihat dari
kemampuan memenuhi kebutahan akan pangan. Hal ini dapat dilihat dari frekuensi pembelian daging atau ayam atau susu dalam seminggu. Menurut BPS, rumah tangga dinyatakan miskin jika hanya dapat membeli kurang dari dua kali daging atau ayam atau susu dalam seminggu. Tabel 15. Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Frekuensi Membeli Daging/Ayam/Susu dalam Seminggu di Wilayah Pengembangan Bogor Barat Tahun 2006 (persen) Frekuensi membeli daging/ayam/susu dalam seminggu Tidak pernah membeli 1 kali 2 kali atau lebih Ciampea 74,6 24,6 0,8 Cibungbulang 77,2 22,8 0 Cigudeg 68,8 30,9 0,3 Jasinga 77,6 21,9 0,5 Leuwiliang 75,6 24,2 0,2 Leuwisadeng 89,6 10,3 0,1 Nanggung 86,4 13 0,5 Pamijahan 89,3 10,7 0 Rumpin 68,4 31,4 0,2 Sukajaya 79,5 20,1 0,4 Tenjo 88,8 11,3 0 Total 79,9 19,8 0,3 Sumber : Suseda Kabupaten Bogor 2006 Kecamatan
Pada umumnya rumah tangga miskin di Bogor Barat tidak mampu untuk membeli daging atau ayam atau susu dalam seminggu dengan persentase 79,9 persen dari jumlah rumah tangga miskin di wilayah ini. Persentase tertinggi rumah tangga miskin yang tidak pernah membeli daging atau ayam atau susu dalam seminggu berada di Kecamatan Leuwisadeng sebesar 89,6 persen. Persentase
50
terendah rumah tangga miskin yang tidak dapat membeli daging atau ayam atau susu dalam seminggu berada di Kecamatan Rumpin sebesar 68,4 persen. 12.
Kemampuan Berobat Kemampuan membayar untuk berobat ke Puskesmas atau Poliklinik dapat
melihat kondisi kesehatan suatu rumah tangga. Rumah tangga dinyatakan miskin apabila tidak dapat membayar untuk berobat ke Puskesmas maupun Poliklinik. Pada umumnya rumah tangga miskin di Bogor Barat sudah mampu membayar untuk berobat di Puskesmas atau Poliklinik yaitu sebesar 66,5 persen dari jumlah rumah tangga miskin di wilayah ini. Tabel 16 . Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Kemampuan Membayar untuk Berobat ke Puskesmas/Poliklinik di Wilayah Pengembangan Bogor Barat Tahun 2006 (persen) Kecamatan
Ya Ciampea 54,7 Cibungbulang 76,5 Cigudeg 64,7 Jasinga 71,9 Leuwiliang 69,2 Leuwisadeng 70,9 Nanggung 49,3 Pamijahan 65,3 Rumpin 75,7 Sukajaya 58,3 Tenjo 70,8 Total 66,5 Sumber : Suseda Kabupaten Bogor 2006
Kemampuan Berobat Tidak 45,3 23,5 35,3 28,1 30,8 29,1 50,7 34,7 24,3 41,7 29,2 33,5
Persentase tertinggi rumah tangga miskin yang tidak dapat membayar untuk berobat ke Puskesmas atau Poliklinik berada di Kecamatan Nanggung sebesar 50,7 persen. Persentase terendah rumah tangga miskin yang tidak dapat membayar untuk berobat ke Puskesmas atau Poliklinik berada di Kecamatan Cibungbulang sebesar 23,5 persen. Hal ini memperlihatkan bahwa kondisi
51
kesehatan rumah tangga di wilayah pengembangan Bogor Barat relatif sudah cukup baik, terlihat dari persentase rumah tangga miskin yang dapat membayar untuk berobat lebih besar dibandingkan yang tidak dapat membayar. 13.
Ketenagakerjaan Rumah tangga miskin di wilayah pengembangan Bogor Barat cenderung
memiliki kepala keluarga yang sudah bekerja. Hal ini terlihat pada Tabel 17, persentase rumah tangga miskin yang memiliki kepala keluarga bekerja sebesar 96,4 persen. Persentase tertinggi rumah tangga miskin yang memiliki kepala keluarga bekerja berada di Kecamatan Ciampea sebesar 98,4 persen. Tabel 17. Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Status Pekerjaan Kepala Keluarga di Wilayah Pengembangan Bogor Barat Tahun 2006 (persen) Kecamatan
Bekerja Ciampea 98,4 Cibungbulang 96,5 Cigudeg 96,9 Jasinga 98 Leuwiliang 96,6 Leuwisadeng 94,6 Nanggung 98,6 Pamijahan 96,7 Rumpin 95,5 Sukajaya 96,1 Tenjo 95,7 Total 96,4 Sumber : Suseda Kabupaten Bogor 2006
Satus Pekerjaan Menganggur 1,6 3,5 3,1 2 3,4 5,4 1,4 3,3 4,5 3,9 4,3 3,6
Menurut BPS, suatu rumah tangga termasuk ke dalam golongan rumah tangga miskin jika memiliki kepala keluarga bekerja di sektor pertanian. Hal ini disebabkan karena kepala keluarga yang bekerja di sektor pertanian merupakan buruh tani yang memiliki pendapatan relatif rendah. Berdasarkan Tabel 18, kepala keluarga rumah tangga miskin di wilayah pengembangan Bogor Barat bekerja di
52
sektor pertanian yaitu sebesar 48,2 persen dari jumlah rumah tangga miskin di wilayah tersebut. Tabel 18.
Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Jenis Pekerjaan Kepala Keluarga di Wilayah Pengembangan Bogor Barat Tahun 2006 (persen)
Jenis pekerjaan Non pertanian Pertanian Ciampea 82 18 Cibungbulang 54,7 45,3 Cigudeg 49,9 50,1 Jasinga 46,8 53,2 Leuwiliang 56,5 43,5 Leuwisadeng 67,5 32,5 Nanggung 29,8 70,2 Pamijahan 45,2 54,8 Rumpin 59,5 40,5 Sukajaya 41,3 58,7 Tenjo 65,1 34,9 Total 51,8 48,2 Sumber : Suseda Kabupaten Bogor 2006 Kecamatan
Persentase terendah rumah tangga miskin yang memiliki kepala keluarga bekerja di sektor pertanian berada di Kecamatan Ciampea sebesar 18 persen. Persentase tertinggi rumah tangga miskin di wilayah Bogor Barat yang memiliki kepala keluarga bekerja di sektor pertanian adalah Kecamatan Nanggung yaitu sebesar 70,2 persen. Hal ini sesuai dengan jumlah rumah tangga miskin yang paling besar berada di Kecamatan Nanggung dan terendah berada di Kecamatan Ciampea. 14.
Pendidikan Tertinggi Kepala Keluarga Kemampuan ekonomi suatu rumah tangga juga tidak lepas dari peran
pendidikan tertinggi kepala keluarga. Pendidikan tertinggi kepala keluarga yang tidak tamat SD menjadi kriteria suatu rumah tangga dinyatakan miskin menurut BPS. Berdasarkan Tabel 19, mayoritas kepala keluarga rumah tangga miskin di
53
Bogor Barat mengenyam pendidikan tertinggi adalah tidak tamat SD yaitu sebesar 96,5 persen. Tabel 19 .
Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Pendidikan Tertinggi Kepala Keluarga di Wilayah Pengembangan Bogor Barat Tahun 2006 (persen)
Pendidikan tertinggi kepala keluarga Tidak tamat SD Tamat SD Ciampea 93,4 6,6 Cibungbulang 96,1 3,9 Cigudeg 96,4 3,6 Jasinga 96,9 3,1 Leuwiliang 94 6 Leuwisadeng 96,8 3,2 Nanggung 96,7 3,3 Pamijahan 97,1 2,9 Rumpin 94,1 5,9 Sukajaya 98,9 1,1 Tenjo 95,7 4,3 Total 96,5 3,5 Sumber : Suseda Kabupaten Bogor 2006 Kecamatan
Persentase tertinggi rumah tangga miskin yang memiliki kepala keluarga dengan pendidikan tertinggi tidak tamat SD berada di Kecamatan Sukajaya yaitu sebesar 98,9 persen. Persentase terendah rumah tangga miskin di wilayah ini yang memiliki kepala keluarga dengan pendidikan tertinggi tidak tamat SD berada di Kecamatan Ciampea sebesar 93,4 persen jumlah rumah tangga yang pendidikan tertinggi kepala keluarganya adalah SD atau MI sederajat.
5.2.2 Wilayah Pengembangan Bogor Tengah Rumah tangga di wilayah Bogor Tengah mayoritas bukan termasuk rumah tangga miskin. Sebanyak 74.728 atau 89,7 persen rumah tangga di wilayah ini termasuk ke dalam golongan rumah tangga tidak miskin. Jumlah rumah tangga
54
miskin di wilayah ini hanya sebanyak 8.583 rumah tangga atau sebesar 10,3 persen dari jumlah rumah tangga di wilayah ini. Tabel 20.
Jumlah Rumah Tangga Miskin di Wilayah Pengembangan Bogor Tengah Tahun 2006 (persen)
Status Kemiskinan Tidak miskin Miskin N % N % Babakan Madang 2232 88,8 281 11,2 Bojong Gede 800 99,5 4 0,5 Caringin 3870 84 738 16 Cibinong 1811 98,3 31 1,7 Cigombong 1830 85 324 15 Cijeruk 5274 76,4 1626 23,6 Ciomas 6206 98,4 103 1,6 Cisarua 4591 95,7 206 4,3 Ciseeng 2647 72,1 1022 27,9 Citeureup 2615 91,4 245 8,6 Dramaga 5515 92,5 448 7,5 Gunung Sindur 3939 87,6 559 12,4 Kemang 4972 91,3 476 8,7 Megamendung 5808 88,8 730 11,2 Parung 4687 93,9 303 6,1 Sukaraja 4070 95,1 208 4,9 Tajurhalang 7018 93,5 491 6,5 Tamansari 6843 89,7 788 10,3 Total 74728 89,7 8583 10,3 Sumber : Suseda Kabupaten Bogor 2006 Kecamatan
Persentase tertinggi jumlah rumah tangga miskin berada di Kecamatan Ciseeng, yaitu sebanyak 1022 rumah tangga atau 27,9 persen rumah tangga di wilayah ini tergolong miskin. Persentase terendah berada di Kecamatan Bojong Gede sebanayak 4 rumah tangga atau sebesar 0,5 persen rumah tangga di Kecamatan Bojong Gede tergolong rumah tangga miskin. Karakteristik rumah tangga di wilayah pengembangan Bogor Tengah dapat dilihat dari berbagai aspek yang terdapat pada Lampiran 1, yaitu:
55
1.
Luas Lantai Bangunan Tempat Tinggal Kurang dari 8 m2 per orang Kondisi perumahan dapat dilihat dari luas lantai bangunan tempat tinggal.
Suatu rumah tangga dinyatakan miskin jika memiliki luas lantai kurang dari 8 m2 per orang. Rumah tangga miskin di wilayah pengembangan Bogor Tengah cenderung sudah memiliki luas lantai bangunan tempat tinggal lebih dari 8 m2 per orang. Berdasarkan Tabel 21, sebesar 53,3 persen rumah tangga miskin di wilayah ini memiliki luas lantai bangunan tempat tinggal lebih besar dari 8 m2 per orang. Tabel 21. Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Luas Lantai Lebih Besar dari 8 m2 per orang di Wilayah Pengembangan Bogor Tengah Tahun 2006 (persen) Luas lantai lebih besar dari 8 m2 per orang Ya Tidak Babakan Madang 63,3 36,7 Bojong Gede 50 50 Caringin 53,3 46,7 Cibinong 48,4 51,6 Cigombong 38,9 61,1 Cijeruk 52,6 47,4 Ciomas 32 68 Cisarua 38,8 61,2 Ciseeng 62,2 37,8 Citeureup 59,6 40,4 Dramaga 45,1 54,9 Gunung Sindur 61 39 Kemang 69,7 30,3 Megamendung 48,2 51,8 Parung 50,5 49,5 Sukaraja 44,2 55,8 Tajurhalang 60,5 39,5 Tamansari 43,3 56,7 Total 53,3 46,7 Sumber : Suseda Kabupaten Bogor 2006 Kecamatan
Persentase tertinggi rumah tangga miskin di wilayah pengembangan Bogor Tengah yang memiliki luas lantai bangunan kurang dari 8 m2 per orang berada di Kecamatan Cisarua sebesar 61,2 persen. Persentase terendah rumah tangga miskin
56
di wilayah ini yang memiliki luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8 m2 per orang berada di Kecamatan Kemang sebesar 30,3 persen. 2.
Jenis Lantai Bangunan Jenis lantai bangunan juga memperlihatkan kondisi perumahan suatu
rumah tangga. Suatu rumah tangga dinyatakan miskin jika memakai kayu atau papan atau bambu maupun tanah sebagai jenis lanatai bangunan tempat tinggal. Rumah tangga miskin di wilayah pengembangan Bogor Tengah cenderung menggunakan semen atau bata merah sebagai lantai bangunan yaitu sebesar 28,9 persen. Tabel 22. Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Jenis Lantai Bangunan Tempat Tinggal di Wilayah Pengembangan Bogor Tengah Tahun 2006 (persen)
Kecamatan
Keramik/ marmer/ granit
Ubin/ tegel/ teraso
Babakan 9,3 20,3 Madang Bojong Gede 0 25 Caringin 6,9 18,3 Cibinong 6,5 19,4 Cigombong 7,1 9,9 Cijeruk 3,6 18,2 Ciomas 7,8 20,4 Cisarua 11,2 18,4 Ciseeng 3,6 17,8 Citeureup 2,9 24,5 Dramaga 7,6 35,7 Gunung Sindur 2,5 15 Kemang 3,6 23,1 Megamendung 9,3 13,4 Parung 4,6 15,2 Sukaraja 8,2 43,3 Tajurhalang 2,6 12 Tamansari 6 26,9 Total 5,3 19,7 Sumber : Suseda Kabupaten Bogor 2006
Jenis lantai Semen/ Kayu/ bata papan nerah
Bambu
Tanah
11
33,5
20,6
5,3
25 43 38,7 58,3 40,7 54,4 53,9 12,7 12,7 20,1 17 9,7 40,3 22,4 23,1 20,2 25,6 28,9
0 4,1 9,7 1,5 3,7 3,9 7,8 2,9 27,3 1,8 1,4 10,9 18,8 3,6 2,4 1,6 10,4 7,2
0 20,9 0 15,7 28,4 1,9 4,9 11,5 11,4 8,9 2,1 6,3 14,8 3,3 2,9 4,7 22,7 15
50 6,9 25,8 7,4 5,5 11,7 3,9 51,4 21,2 25,9 61,9 46,4 3,4 50,8 20,2 58,9 8,4 23,8
57
Rumah tangga miskin di Bogor Tengah yang menggunakan kayu atau papan sebagai lantai bangunan tempat tinggal hanya sebesar 7,2 persen. Jumlah rumah tangga miskin yang hanya menggunakan tanah sebagai lantai bangunan tempat tinggal sebesar 23,8 persen. Persentase tertinggi rumah tangga miskin yang menggunakan tanah sebagai lantai bangunan berada di Kecamatan Gunung Sindur sebesar 61,9 persen dan terendah berada di Kecamatan Megamendung sebesar 3,4 persen. Jumlah rumah tangga miskin yang menggunakan bambu sebesar 15 persen. Persentase tertinggi rumah tangga miskin yang menggunakan kayu atau papan atau bambu maupun tanah berada di Kecamatan Ciseeng sebesar 65,8 persen dan terendah berada di Kecamatan Cisarua sebesar 16,6 persen. 3.
Jenis Dinding Bangunan Aspek lain yang memperlihatkan kondisi perumahan adalah jenis dinding
bangunan tempat tinggal. Rumah tangga dinyatakan miskin menuurut BPS jika menggunakan jenis dinding selain tembok yaitu menggunakan kayu atau bambu atau lainnya. Rumah tangga miskin di wilayah pengembangan Bogor Tengah yang sudah menggunakan tembok sebagai dinding bangunan tempat tinggal sebesar 43,7 persen. Persentase tertinggi penggunaan tembok sebagai dinding bangunan berada di Kecamatan Bojong Gede sebesar 75 persen sedangkan persentase terendah berada di Kecamatan Gunung Sindur sebesar 20,6 persen. Mayoritas rumah tangga miskin di wilayah pengembangan Bogor Tengah menggunakan bambu sebagai dinding bangunan tempat tinggal yaitu sebesar 47,6 persen. Jumlah rumah tangga yang menggunakan kayu sebagai dinding bangunan tempat tinggal sebesar 6,9 persen. Persentase tertinggi rumah tangga miskin yang menggunakan bambu sebagai dinding bangunan tempat tinggal berada di
58
Kecamatan Ciseeng sebesar 67,5 persen. Persentase terendah rumah tangga miskin yang menggunakan bambu sebagai dinding bangunan tempat tinggal berada di Kecamatan Sukaraja sebesar 22,6 persen. Tabel 23.
Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Jenis Dinding Bangunan Tempat Tinggal di Wilayah Pengembangan Bogor Tengah Tahun 2006 (persen)
Jenis Dinding Tembok Kayu Bambu Babakan Madang 31 12,5 54,1 Bojong Gede 75 0 25 Caringin 54,6 2,3 42,7 Cibinong 48,4 22,6 25,8 Cigombong 60,8 0,9 37 Cijeruk 50,6 2,5 46 Ciomas 71,8 9,7 14,6 Cisarua 69,9 10,2 14,1 Ciseeng 21,7 9,4 67,5 Citeureup 26,9 18,4 53,1 Dramaga 55,4 4 38,3 Gunung Sindur 20,6 12,2 64 Kemang 31,3 9,9 56,7 Megamendung 54,7 8,4 35,1 Parung 34,3 12,2 51,5 Sukaraja 71,2 5,3 22,6 Tajurhalang 32,4 8,1 55,2 Tamansari 49,6 4,2 44,5 Total 43,7 6,9 47,6 Sumber : Suseda Kabupaten Bogor 2006 Kecamatan
4.
Lainnya 2,5 0 0,4 3,2 1,2 0,9 2,5 5,8 1,4 1,6 2,5 3,2 2,1 1,9 2 1 4,3 1,6 1,9
Sumber Air Minum Kondisi tempat tinggal yang baik juga dapat dilihat dari sumber air minum
yang digunakan sehari-hari. Suatu rumah tangga dinyatakan miskin jika masih menggunakan sumber air dari sungai, mata air, sumur, danau, maupun air hujan. Penggunaan air dalam kemasan dan ledeng yaitu penggunaan PDAM sebagai sumber air minum bagi rumah tangga miskin di wilayah Bogor Tengah masih
59
sangat sedikit yaitu sebesar 1,4 persen dari jumlah rumah tangga miskin di wilayah tersebut. Tabel 24.
Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Sumber Air Minum di Wilayah Pengembangan Bogor Tengah Tahun 2006 (persen)
Sumber Air Minum Air dalam Ledeng Sumur Mata air kemasan PDAM Babakan Madang 0,7 0 62,7 28,1 Bojong Gede 0 0 100 0 Caringin 0 0,4 48,9 42,9 Cibinong 0 0 87,1 12,9 Cigombong 0,3 0 50,6 48,2 Cijeruk 0,4 1,7 31,2 62,1 Ciomas 0 1 83,6 12,6 Cisarua 0,5 0 43,1 48,5 Ciseeng 1,3 0,2 89,4 7,9 Citeureup 0,8 0 68,2 25,7 Dramaga 0,7 0,9 34,9 62 Gunung Sindur 0,5 0 87,1 11,6 Kemang 0 0,4 89,5 9,7 Megamendung 0,7 0,1 55,7 41,1 Parung 0 0 96,3 3,3 Sukaraja 0 0,5 86,6 10,6 Tajurhalang 0 0 97,4 2,6 Tamansari 0,4 3,9 17,9 68,9 Total 0,5 0,9 59 36,1 Sumber : Suseda Kabupaten Bogor 2006 Kecamatan
Lainnya 8,6 0 7,7 0 0,9 4,6 2,9 7,8 1,2 5,3 1,5 0,7 0,4 2,4 0,3 2,4 0 8,9 3,5
Persentase tertinggi rumah tangga miskin yang menggunakan air dalam kemasan maupun ledeng (PDAM) sebagai sumber air minum berada di Kecamatan Tamansari sebesar 4,3 persen.Berdasarkan Tabel 24, rumah tangga miskin di wilayah pengembangan Bogor Tengah cenderung menggunakan air sumur sebagai sumber air minum sehari-hari yaitu sebesar 59 persen. Persentase tertinggi rumah tangga miskin yang menggunakan air sumur sebagai sumber air minum berada di KecamatanBojong Gede yaitu sebesar 100 persen. Persentase terendah rumah tangga miskin yang menggunakan air sumur sebagai sumber air
60
minum berada di Kecamatan Cijeruk sebesar 31,2 persen. Selain itu, penggunaan mata air juga menjadi sumber air minum 36,1 persen rumah tangga miskin di wilayah pengembangan Bogor Barat. 5.
Fasilitas Buang Air Besar Fasilitas tempat buang air besar juga menjadi salah satu aspek untuk
melihat kondisi tempat tinggal yang layak. Menurut BPS, suatu rumah tangga dinyatakan miskin jika tidak memiliki fasilitas tempat buang air besar sendiri, seperti masih menggunakan fasilitas umum, bersama, sungai, kebun, empang atau lainnya. Rumah tangga miskin di wilayah pengembangan Bogor Tengah hanya sebesar 11,9 persen yang sudah memiliki fasilitas tempat buang air besar sendiri. Tabel 25.
Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Fasilitas Buang Air Besar di Wilayah Pengembangan Bogor Tengah Tahun 2006 (persen)
Fasilitas buang air besar Sendiri Umum Bersama Sungai Babakan Madang 12,1 19,9 16 44,1 Bojong Gede 0 0 50 50 Caringin 13,6 43,1 18,4 20,5 Cibinong 38,7 19,4 29 6,5 Cigombong 14,2 19,8 20,1 39,8 Cijeruk 8,9 38,8 12,2 31,6 Ciomas 8,7 25,2 13,6 50,5 Cisarua 29,1 35,9 25,7 8,3 Ciseeng 7,1 8,6 19,7 8,2 Citeureup 34,7 8,6 29 24,9 Dramaga 5,8 25 9,4 45,1 Gunung Sindur 5,4 5 13,8 7,5 Kemang 8,6 7,1 12,2 10,9 Megamendung 19,7 56,7 10,4 11,5 Parung 14,9 5,6 33,7 1,7 Sukaraja 8,2 6,3 11,1 67,3 Tajurhalang 17,7 5,9 33,2 6,3 Tamansari 8,6 22,7 9,5 52,3 Total 11,9 24,4 16,4 24,5 Sumber : Suseda Kabupaten Bogor 2006 Kecamatan
Lainnya 7,8 0 4,5 6,4 6,2 8,4 1,9 1 57,6 2,8 14,7 68,3 61,1 1,6 44,2 7,2 36,8 6,8 22,7
61
Fasilitas tempat buang air besar yang mayoritas digunakan oleh rumah tangga miskin di wilayah Bogor Tengah adalah menggunakan sarana sungai yaitu sebesar 24,5 persen. Persentase tertinggi rumah tangga miskin yang menggunakan sungai sebagai sarana buang air besar berada di Kecamatan Sukaraja sebesar 67,3 persen. Persentase terendah rumah tangga
miskin yang menggunakan sungai
sebagai sarana buang air besar berada di Kecamatan Parung sebesar 1,7 persen. Selain penggunaan sarana sungai, fasilitas yang banyak digunakan oleh rumah tangga di wilayah pengembangan Bogor Tengah adalah sarana umum sebesar 24,4 persen. 6.
Jenis Bahan Bakar Suatu rumah tangga dinyatakan rumah tangga miskin menurut BPS jika
menggunakan kayu bakar/arang maupun minyak tanah sebagai bahan bakar untuk memasak sehari-hari. Rumah tangga miskin di wilayah pengembangan Bogor Tengah lebih banyak menggunakan kayu bakar atau arang sebagai bahan bakar untuk memasak sehari-hari, yaitu sebesar 64,2 persen dari jumlah rumah tangga. Persentase tertinggi rumah tangga miskin yang menggunakan kayu bakar atau arang sebagai bahan bakar untuk memasak sehari-hari berada di Kecamatan Babakan Madang sebesar 73 persen. Persentase terendah rumah tangga miskin yang menggunakan kayu bakar atau arang sebagai bahan bakar untuk memasak sehari-hari berada di Kecamatan Bojong Gede sebesar 0 persen. Penggunaan bahan bakar lain, seperti gas, listrik, briket batubara,d an lainnya hanya digunakan oleh 0,7 persen rumah tangga di wilayah pengembangan Bogor Tengah.
62
Tabel 26.
Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Jenis Bahan Bakar yang Digunakan untuk Memasak Sehari-hari di Wilayah Pengembangan Bogor Tengah Tahun 2006 (persen)
Kecamatan
Minyak tanah Babakan Madang 26,7 Bojong Gede 100 Caringin 29,4 Cibinong 54,8 Cigombong 30,2 Cijeruk 26,8 Ciomas 90,3 Cisarua 59,2 Ciseeng 27,1 Citeureup 31 Dramaga 42 Gunung Sindur 39,2 Kemang 43,3 Megamendung 24,8 Parung 62 Sukaraja 58,2 Tajurhalang 45,2 Tamansari 33,8 Total 35 Sumber : Suseda Kabupaten Bogor 2006 7.
Jenis Bahan Bakar Kayu bakar/arang 73 0 70,3 41,9 69,4 72,1 8,7 38,8 71,8 68,2 58 59,9 55,9 73,8 37,6 40,9 54,4 65,9 64,2
Lainnya 0,4 0 0,3 3,2 0,3 1,1 1 2 1,1 0,8 0 0,9 0,8 1,2 0,3 1 0,4 0,4 0,7
Sumber Penerangan Kondisi tempat tinggal yang layak juga memperhatikan aspek sumber
penerangan yang digunakan oleh rumah tangga. Suatu rumah tangga dinyatakan miskin jika belum mendapatkan akses terhadap listrik, seperti PLN, genset atau diesel, maupun menggunakan listrik swasta sebagai sumber penerangan. Rumah tangga miskin di wilayah pengembangan Bogor Tengah cenderung sudah mendapatkan akses terhadap listrik. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 27, persentase rumah tangga miskin yang menggunakan PLN sebagai sumber penerangan sebesar 80,1 persen.
63
Tabel 27.
Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Sumber Penerangan di Wilayah Pengembangan Bogor Tengah Tahun 2006 (persen)
Sumber penerangan Genset/ Listrik Minyak PLN Lainnya Petromak tanah diesel swasta Babakan Madang 76,2 0,4 6 2,1 12,8 2,5 Bojong Gede 50 0 0 0 25 25 Caringin 85,8 0,5 0,5 0,7 6,9 5,6 Cibinong 87,1 3,2 0 3,2 0 6,5 Cigombong 74,7 0 6,2 0,3 16,7 2,2 Cijeruk 78,3 0,4 2,3 3,5 10,1 5,4 Ciomas 83,5 0 0 1 6,8 8,7 Cisarua 86,9 1 0 1 6,3 4,9 Ciseeng 70,6 0,1 4,4 1,6 16,1 7,1 Citeureup 62 1,2 1,6 0,8 28,6 5,7 Dramaga 73,2 0,9 6,5 2 7,1 10,3 Gunung Sindur 86,4 0,4 1,1 1,8 7,9 2,5 Kemang 84,5 0,2 3,2 0,2 5 6,9 Megamendung 90,5 0,4 2,3 2,9 2,6 1,2 Parung 80,2 0,3 1,3 1,3 4,6 12,2 Sukaraja 81,3 0,5 2,4 1,4 10,1 4,3 Tajurhalang 85,3 0,2 1,4 2 6,7 4,3 Tamansari 81 0,3 1,5 1,9 11,9 3,4 Total 80,1 0,4 2,6 1,9 9,8 5,2 Sumber : Suseda Kabupaten Bogor 2006 Kecamatan
Persentase tertinggi rumah tangga miskin yang menggunakan PLN sebagai sumber penerangan berada di Kecamatan Megamendung sebesar 90,5 persen. Persentase terendah rumah tangga miskin yang menggunakan PLN sebagai sumber penerangan berada di Kecamatan Bojong Gede sebesar 50 persen. Selain PLN, penggunaan minyak tanah sebagai sumber penerangan digunakan oleh 9,8 persen rumah tangga miskin di wilayah pengembangan Bogor Tengah. Persentase tertinggi yang menggunakan minyak tanah sebagai sumber penerangan berada di Kecamatan Citeureup sebesar 28,6 persen dan terendah berada di Kecamatan Cibinong sebesar 0 persen.
64
8.
Frekuensi Makan (kali/hari) Salah satu aspek untuk melihat kondisi ekonomi rumah tangga adalah
dengan melihat kemampuan rumah tangga tersebut memenuhi kebutuhan dasarnya. Salah satu kebutuhan dasar yang terpenting adalah kebutuhan pangan yang dapat dilihat dari frekuensi makan dalam sehari. Suatu rumah tangga dinyatakan miskin jika hanya dapat makan satu atau dua kali dalam sehari. Tabel 28.
Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Frekuensi Makan dalam Sehari di Wilayah Pengembangan Bogor Tengah Tahun 2006 (persen) Frekuensi makan dalam sehari Kecamatan 1 kali 2 kali 3 kali atau lebih Babakan Madang 0,4 63,7 35,9 Bojong Gede 0 100 0 Caringin 0,7 80,2 19,1 Cibinong 3,2 90,3 6,5 Cigombong 0,3 77,5 22,2 Cijeruk 0,5 85,2 14,3 Ciomas 1 91,3 7,8 Cisarua 1,5 83 15,5 Ciseeng 1 81,2 17,8 Citeureup 2 80 18 Dramaga 1,1 86,4 12,5 Gunung Sindur 1,3 82,1 16,6 Kemang 2,1 71 26,9 Megamendung 0,8 78,5 20,7 Parung 1,7 75,6 22,8 Sukaraja 1 91,3 7,7 Tajurhalang 1 86,6 12,4 Tamansari 1 87,2 11,8 Total 1 81,8 17,3 Sumber : Suseda Kabupaten Bogor 2006 Frekuensi makan dalam sehari mayoritas rumah tangga miskin di wilayah pengembangan Bogor Tengah adalah dua kali dalam sehari dengan persentase 81,8 persen. Persentase tertinggi berada di Kecamatan Bojong Gede sebesar 100 persen dan terendah berada di Kecamatan Babakan Madang yang hanya 63,7 persen rumah tangga miskin yang dapat makan dua kali dalam sehari. Sementara
65
itu, hanya 17,3 persen rumah tangga miskin di wilayah Bogor Tengah yang dapat tiga kali makan dalam sehari. 9.
Kepemilikan Aset Berikut ini akan disajikan data mengenai jumlah rumah tangga
berdasarkan kepemilikan aset di wilayah pengembangan Bogor Tengah : Tabel 29.
Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Kepemilikan Aset di Wilayah Pengembangan Bogor Tengah Tahun 2006 (persen)
Kepemilikan aset ≥ Rp 500.000 < Rp 500.000 Babakan Madang 17,8 82,2 Bojong Gede 25 75 Caringin 12,2 87,8 Cibinong 16,1 83,9 Cigombong 8 92 Cijeruk 8,2 91,8 Ciomas 21,4 78,6 Cisarua 20,9 79,1 Ciseeng 21,3 78,7 Citeureup 17,1 82,9 Dramaga 20,8 79,2 Gunung Sindur 25,4 74,6 Kemang 42,4 57,6 Megamendung 18,4 81,6 Parung 23,4 76,6 Sukaraja 17,8 82,2 Tajurhalang 20 80 Tamansari 14,8 85,2 Total 17,8 82,2 Sumber : Suseda Kabupaten Bogor 2006 Kecamatan
Kondisi ekonomi rumah tangga juga dapat dilihat dari kepemilikan aset, seperti emas, lemari pendingin, sepeda motor, dan televisi berwarna. Suatu rumah tangga dinyatakan miskin jika memiliki aset kurang dari Rp 500.000. Mayoritas rumah tangga miskin di wilayah pengembangan Bogor Tengah mempunyai kepemilikan aset kurang dari Rp 500.000. Sebanyak 82,2 persen rumah tangga miskin di Bogor Tengah memiliki kepemilikan aset kurang dari Rp 500.000.
66
Persentase tertinggi rumah tangga miskin yang mempunyai kepemilikan aset kurang dari Rp 500.000 berada di Kecamatan Cigombong yaitu sebesar 92 persen. Sedangkan persentase terendah rumah tangga miskin yang mempunyai kepemilikan aset kurang dari Rp 500.000 berada di Kecamatan Kemang sebesar 57,6 persen. 10.
Pembelian Pakaian (kali/tahun) Aspek lain untuk melihat kondisi perekonomian adalah kemampuan untuk
memenuhi kebutuhan dasar. Kebutuhan dasar selain pangan adalah kebutuhan akan sandang yang dapat dlihat dari frekuensi pembelian pakaian baru dalam setahun. Suatu rumah tangga dinyatakan miskin apabila tidak dapat membeli atau hanya dapat membeli satu stel pakaian baru dalam setahun. Tabel 30.
Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Frekuensi Membeli Pakaian Baru dalam Setahun di Wilayah Pengembangan Bogor Tengah Tahun 2006 (persen) Frekuensi membeli pakaian baru dalam setahun Kecamatan Tidak pernah membeli 1 stel 2 stel atau lebih Babakan Madang 11 84 5 Bojong Gede 25 75 0 Caringin 22,1 75,5 2,4 Cibinong 16,1 83,9 0 Cigombong 25,3 74,4 0,3 Cijeruk 23,7 72,3 4,1 Ciomas 26,2 68,9 4,9 Cisarua 20,4 78,6 1 Ciseeng 12,6 73,9 13,5 Citeureup 20,4 73,5 6,1 Dramaga 18,8 76,8 4,5 Gunung Sindur 11,3 80,3 8,4 Kemang 17,2 79,2 3,6 Megamendung 19,2 77,3 3,6 Parung 14,9 77,6 7,6 Sukaraja 18,8 78,4 2,9 Tajurhalang 15,3 77,8 6,9 Tamansari 16,5 77,4 6,1 Total 18,3 76,1 5,6 Sumber : Suseda Kabupaten Bogor 2006
67
Rumah tangga miskin di wilayah Bogor Tengah cenderung hanya dapat membeli pakaian baru satu stel dalam setahun sebesar 76,1 persen rumah tangga. Kecamatan Babakan Madang memiliki persentase tertinggi rumah tangga miskin yang hanya mampu membeli satu stel pakaian baru dalam setahun yaitu sebesar 84 persen. Sementara itu, Kecamatan Ciomas memiliki persentase terendah yaitu 68,9 persen rumah tangga miskin di wilayah tersebut hanya mampu membeli satu stel pakaian baru dalam setahun.
11.
Pembelian daging/ayam/susu (kali/minggu) Kondisi ekonomi rumah tangga juga dapat dilihat dari frekuensi pembelian
daging atau ayam atau susu dalam seminggu. Rumah tangga dinyatakan miskin jika frekuensi pembelian daging atau ayam atau susu dalam seminggu adalah satu kali atau tidak pernah sama sekali dalam seminggu. Pada umumnya rumah tangga miskin di Bogor Tengah tidak mampu untuk membeli daging atau ayam atau susu dalam seminggu dengan persentase 82,7 persen. Persentase tertinggi rumah tangga miskin yang tidak mampu membeli daging atau ayam atau susu dalam seminggu berada di Kecamatan Bojong Gede sebesar 100 persen. Persentase terendah rumah tangga miskin yang tidak dapat membeli daging atau ayam atau susu dalam seminggu berada di Kecamatan Cibinong sebesar 58,1 persen. Persentase rumah tangga miskin yang dapat membeli daging atau ayam atau susu dua kali atau lebih dalam seminggu hanya sebesar 0,2 persen.
68
Tabel 31.
Kecamatan
Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Frekuensi Membeli Daging/Ayam/Susu dalam Seminggu di Wilayah Pengembangan Bogor Tengah Tahun 2006 (persen) Frekuensi membeli daging/ayam/susu dalam seminggu Tidak pernah membeli 1 kali 2 kali atau lebih
Babakan 81,9 Madang Bojong Gede 100 Caringin 80,2 Cibinong 58,1 Cigombong 83 Cijeruk 84,1 Ciomas 70,9 Cisarua 75,2 Ciseeng 83,4 Citeureup 74,3 Dramaga 77,2 Gunung Sindur 88,2 Kemang 87,4 Megamendung 85,3 Parung 81,2 Sukaraja 87,5 Tajurhalang 83,1 Tamansari 81,3 Total 82,7 Sumber : Suseda Kabupaten Bogor 2006 12.
17,8
0,4
0 19,8 38,7 17 15,7 28,2 24,8 16,5 25,7 22,5 11,8 11,6 14,5 18,2 12,5 16,1 18,7 17,1
0 0 3,2 0 0,1 1 0 0,1 0 0,2 0 1,1 0,1 0,7 0 0,8 0 0,2
Kemampuan Berobat Kemampuan memenuhi kebutuhan dasar juga harus memperhatikan
kemudahan terhadap akses kesehatan. Kemudahan terhadap akses kesehatan rumah tangga dapat dilihata dari kemampuan suatu rumah tangga untuk membayar berobat ke Puskesmas maupun ke Poliklinik. Suatu rumah tangga dinyatakan miskin jika tidak dapat membayar untuk berobat ke Puskesmas atau Poliklinik. Pada umumnya rumah tangga miskin di Bogor Tengah sudah mampu membayar untuk berobat di Puskesmas atau Poliklinik yaitu sebesar 64,9 persen dari jumlah rumah tangga miskin di wilayah ini. Kecamatan Dramaga memiliki
69
persentase 80,1 persen rumah tangga miskin yang dapat membayar untuk berobat ke Puskesmas atau Poliklinik. Sedangkan persentase terendah berada di Kecamatan Cisarua yang hanya 46,6 persen rumah tangga miskin di wilayah ini sudah dapat membayar untuk berobat di Puskesmas atau Poliklinik. Tabel 32.
Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Kemampuan Membayar untuk Berobat ke Puskesmas/Poliklinik di Wilayah Pengembangan Bogor Tengah Tahun 2006 (persen)
Kecamatan Babakan Madang Bojong Gede Caringin Cibinong Cigombong Cijeruk Ciomas Cisarua Ciseeng Citeureup Dramaga Gunung Sindur Kemang Megamendung Parung Sukaraja Tajurhalang Tamansari Total Sumber : Suseda Kabupaten Bogor 2006 13.
Kemampuan berobat Ya Tidak 76,5 23,5 75 25 53,3 46,7 58,1 41,9 59,3 40,7 67,6 32,4 61,2 38,8 46,6 53,4 69,3 30,7 68,2 31,8 80,1 19,9 69,4 30,6 54,4 45,6 53,3 46,7 67,3 32,7 48,1 51,9 72,3 27,7 71,4 28,6 64,9 35,1
Ketenagakerjaan Rumah tangga miskin di wilayah pengembangan Bogor Tengah cenderung
memiliki kepala keluarga yang sudah bekerja. Sebanyak 96,9 persen rumah tangga miskin di wilayah ini memiliki kepala keluarga yang sudah bekerja. Persentase tertinggi rumah tangga miskin yang memiliki kepala keluarga sudah bekerja berada di Kecamatan Cibinong sebesar 100 persen. Persentase terendah
70
rumah tangga miskin yang memiliki kepala keluarga sudah bekerja berada di Kecamatan Bojong Gede sebesar 75 persen. Tabel 33. Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Status Pekerjaan Kepala Keluarga di Wilayah Pengembangan Bogor Tengah Tahun 2006 (persen) Kecamatan
Bekerja Babakan Madang 95,7 Bojong Gede 75 Caringin 98,4 Cibinong 100 Cigombong 95,4 Cijeruk 97,4 Ciomas 91,3 Cisarua 97,1 Ciseeng 96,3 Citeureup 97,1 Dramaga 98,4 Gunung Sindur 92,8 Kemang 96,4 Megamendung 96,8 Parung 97 Sukaraja 98,1 Tajurhalang 96,5 Tamansari 99,1 Total 96,9 Sumber : Suseda Kabupaten Bogor 2006
Status Pekerjaan Menganggur 4,3 25 1,6 0 4,6 2,6 8,7 2,9 3,7 2,9 1,6 7,2 3,6 3,2 3 1,9 3,5 0,9 3,1
Rumah tangga miskin di wilayah pengembangan Bogor Tengah mayoritas memiliki kepala keluarga yang bekerja di sektor non pertanian yaitu sebesar 56,5 persen dari jumlah rumah tangga miskin di wilayah ini. Persentase tertinggi rumah tangga miskin yang memiliki kepala keluarga bekerja di sektor non-pertanian adalah Kecamatan Bojong Gede sebesar 100 persen. Sedangkan persentase terendah rumah tangga miskin yang memiliki kepala keluarga bekerja di sektor non pertanian berada di Kecamatan Megamendung sebesar 42,5 persen.
71
Tabel 34.
Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Jenis Pekerjaan Kepala Keluarga di Wilayah Pengembangan Bogor Tengah Tahun 2006 (persen)
Jenis pekerjaan Non pertanian Pertanian Babakan Madang 60,5 39,5 Bojong Gede 100 0 Caringin 42,4 57,6 Cibinong 71 29 Cigombong 47,2 52,8 Cijeruk 47,7 52,3 Ciomas 86,4 13,6 Cisarua 57,3 42,7 Ciseeng 55,1 44,9 Citeureup 55,5 44,5 Dramaga 62,1 37,9 Gunung Sindur 78,7 21,3 Kemang 58,2 41,8 Megamendung 42,5 57,5 Parung 74,3 25,7 Sukaraja 68,3 31,7 Tajurhalang 77,4 22,6 Tamansari 57,6 42,4 Total 56,5 43,5 Sumber : Suseda Kabupaten Bogor 2006 Kecamatan
14.
Pendidikan Tertinggi Kepala Keluarga Kondisi kesejahteraan rumah tangga dapat dilihat dari pendidikan tertinggi
kepala keluarga. Suatu rumah tangga dinyatakan miskin jika mempunyai kepala keluarga yang memiliki pendidikan tertinggi adalah tidak tamat Sekolah Dasar. Mayoritas rumah tangga miskin di wilayah pengembangan Bogor Tengah yaitu sebesar 95,2 persen rumah tangga miskin mempunyai kepala keluarga yang memiliki pendidikan tertinggi tidak tamat Sekolah Dasar. Persentase tertinggi rumah tangga miskin di wilayah ini yang mempunyai kepala keluarga berpendidikan tertinggi tidak tamat Sekolah Dasar berada di Kecamatan Bojong Gede yaitu sebesar 100 persen. Sedangkan persentase
72
terendah berada pada Kecamatan Gunung sindur sebesar 87,9 persen jumlah rumah tangga miskin di wilayah tersebut memiliki kepala keluarga yang berpendidikan tertinggi tidak tamat Sekolah Dasar. Tabel 35.
Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Pendidikan Tertinggi Kepala Keluarga di Wilayah Pengembangan Bogor Tengah Tahun 2006 (persen)
Pendidikan tertinggi kepala keluarga Tidak Tamat SD Tamat SD Babakan Madang 97,8 2,2 Bojong Gede 100 0 Caringin 96,9 3,1 Cibinong 90,3 9,7 Cigombong 96,6 3,4 Cijeruk 97,1 2,9 Ciomas 90,3 9,7 Cisarua 95,6 4,4 Ciseeng 95,7 4,3 Citeureup 97,2 2,8 Dramaga 96,1 3,9 Gunung Sindur 87,9 12,1 Kemang 93,2 6,8 Megamendung 97,5 2,5 Parung 90,7 9,3 Sukaraja 91,3 8,7 Tajurhalang 91,8 8,2 Tamansari 96,7 3,3 Total 95,2 4,8 Sumber : Suseda Kabupaten Bogor 2006 Kecamatan
5.2.3 Wilayah Pengembangan Bogor Timur Rumah tangga di wilayah Bogor Timur mayoritas bukan termasuk rumah tangga miskin. Sebanyak 15.672 rumah tangga di wilayah pengembangan Bogor Timur atau sebesar 77,3 persen termasuk ke dalam golongan rumah tangga tidak miskin. Hanya sebanyak 4.606 rumah tangga atau 22,7 persen dari jumlah rumah tangga di wilayah ini yang termasuk ke dalam golongan rumah tangga miskin.
73
Tabel 36.
Jumlah Rumah Tangga Miskin dan Tidak Miskin di Wilayah Pengembangan Bogor Timur Tahun 2006 (persen)
Jumlah rumah tangga Tidak miskin Miskin N % N Cariu 1873 65,5 985 Cileungsi 4188 96,4 157 Gunung Putri 3078 98,6 44 Jonggol 5188 68 2440 Tanjung Sari 1345 57,8 980 Total 15672 77,3 4606 Sumber : Suseda Kabupaten Bogor 2006 Kecamatan
% 34,5 3,6 1,4 32 42,2 22,7
Persentase tertinggi jumlah rumah tangga miskin berada di Kecamatan Tanjung Sari, yaitu sebanyak 980 rumah tangga atau sebesar 42,2 persen rumah tangga di wilayah ini tergolong rumah tangga miskin. Persentase terendah jumlah rumah tangga miskin berada di Kecamatan Gunung Putri, yaitu sebanyak 44 rumah tangga atau sebesar 1,4 persen rumah tangga di wilayah ini tergolong rumah tangga miskin. Karakteristik rumah tangga di wilayah pengembangan Bogor Timur dapat dilihat dari berbagai aspek yang terdapat pada lampiran 1, yaitu : 1.
Luas Lantai Bangunan Tempat Tinggal kurang dari 8 m2 per orang Kondisi tempat tinggal yang layak dapat dilihat melalui beberapa aspek,
seperti luas lantai bangunan tempat tinggal. Suatu rumah tangga dinyatakan miskin jika memiliki luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8 m2 per orang. Mayoritas rumah tangga miskin di wilayah pengembangan Bogor Timur memiliki luas lantai bangunan tempat tinggal lebih besar dari 8 m2. Jumlah rumah tangga miskin yang memiliki luas lantai bangunan kurang dari 8 m2 per orang sebesar 25,6 persen dari jumlah rumah tangga miskin di wilayah ini. Persentase tertinggi rumah tangga miskin yang memiliki luas lantai
74
bangunan tempat tinggal kurang dari 8 m2 per orang berada di Kecamatan Cileungsi sebesar 46,5 persen. Persentase terendah rumah tangga miskin yang memiliki luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8 m2 per orang berada di Kecamatan Cariu sebesar 18,2 persen. Tabel 37.
Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Luas Lantai Lebih Besar dari 8 m2 per orang di Wilayah Pengembangan Bogor Timur Tahun 2006 (persen)
Luas lantai lebih besar dari 8 m2 per orang Ya Tidak Cariu 81,8 18,2 Cileungsi 53,5 46,5 Gunung Putri 56,8 43,2 Jonggol 72,5 27,5 Tanjung Sari 75,9 24,1 Total 74,4 25,6 Sumber : Suseda Kabupaten Bogor 2006 Kecamatan
2.
Jenis Lantai Bangunan Aspek lain yang dapat melihat kondisi tempat tinggal yang layak adalah
jenis lantai bangunan tempat tinggal. Rumah tangga dimasukkan ke dalam golongan rumah tangga miskin jika menggunakan kayu atau papan atau bambu maupun tanah sebagai lantai bangunan tempat tinggal. Rumah tangga miskin di Bogor Timur lebih banyak menggunakan bambu sebagai lantai bangunan tempat tinggal yaitu sebesar 35,4 persen. Jumlah rumah tangga miskin yang hanya menggunakan tanah sebagai lantai bangunan tempat tinggal sebesar 26,5 persen dan yang menggunakan kayu/papan sebesar 10,1 persen. Persentase tertinggi penggunaan kayu atau papan atau bambu maupun tanah sebagai lantai bangunan tempat tinggal berada di Kecamatan Tanjung Sari sebesar 79,6 persen. Persentase terendah rumah tangga miskin yang menggunakan
75
kayu atau papan atau bambu maupun tanah sebagai lantai bangunan tempat tinggal berada di Kecamatan Gunung Putri sebesar 47,7 persen. Tabel 38.
Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Jenis Lantai Bangunan Tempat Tinggal di Wilayah Pengembangan Bogor Timur Tahun 2006 (persen)
Jenis lantai Keramik/ Ubin/ Semen/ Kecamatan Kayu/ marmer/ tegel/ bata papan granit teraso merah Cariu 5 16,6 6,4 3,6 Cileungsi 12,1 19,7 12,7 7 Gunung Putri 13,6 15,9 22,7 2,3 Jonggol 6,8 17,5 5,1 9,2 Tanjung Sari 3,4 12,6 4,5 19,8 Total 5,9 16,3 5,7 10,1 Sumber : Suseda Kabupaten Bogor 2006 3.
Bambu
Tanah
37,3 16,6 6,8 33 43,9 35,4
31,2 31,8 38,6 28,4 15,9 26,5
Jenis Dinding Bangunan Kondisi tempat tinggal yang layak juga dapat dilihat melalui jenis dinding
bangunan tempat tinggal yang digunakan. Jenis dinding yang digunakan selain tembok menandakan suatu rumah tangga dinyatakan
rumah tangga miskin.,
seperti kayu, bambu, dan lain-lain. Rumah tangga miskin di wilayah pengembangan Bogor Timur mayoritas menggunakan bambu sebagai dinding bangunan tempat tinggal sebesar 74,5 persen. Rumah tangga miskin yang menggunakan tembok sebagai dinding bangunan tempat tinggal hanya sebesar 16,1 persen. Persentase tertinggi rumah tangga miskin yang menggunakan kayu atau bambu dan lainnya sebagai dinding bangunan tempat tinggal berada di Kecamatan Tanjung Sari sebesar 88,3 persen. Kecamatan Gunung Putri memiliki persentase terendah rumah tangga miskin yang menggunakan kayu atau bambu dan lainnya sebagai dinding bangunan tempat tinggal sebesar 65,9 persen.
76
Tabel 39.
Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Jenis Dinding Bangunan Tempat Tinggal di Wilayah Pengembangan Bogor Timur Tahun 2006 (persen)
Jenis dinding Tembok Kayu Bambu Cariu 15,4 5,3 76,3 Cileungsi 20,4 5,7 68,8 Gunung Putri 34,1 11,4 52,3 Jonggol 17,6 6,1 74,5 Tanjung Sari 11,7 12,6 74,5 Total 16,1 7,3 74,5 Sumber : Suseda Kabupaten Bogor 2006 Kecamatan
4.
Lainnya 2,9 5,1 2,3 1,8 1,2 2,1
Fasilitas Buang Air Besar Kondisi tempat tinggal yang layak juga dapat dilihat melalui aspek lain,
seperti fasilitas buang air besar yang dimiliki oleh rumah tangga. Suatu rumah tangga dinyatakan miskin jika tidak memiliki fasilitas buang air besar sendiri, yaitu menggunakan sarana umum, bersama, sungai, dan lain-lain. Rumah tangga miskin di wilayah pengembangan Bogor Timur mayoritas menggunakan sarana sungai sebagai fasilitas buang air besar. Sebanyak 40,6 persen rumah tangga miskin di wilayah ini menggunakan sarana sungai sebagai fasilitas buang air besar. Tabel 40.
Kecamatan
Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Fasilitas buang air besar di Wilayah Pengembangan Bogor Timur Tahun 2006 (persen)
Sendiri
Umum
Fasilitas buang air besar Bersama Sungai Kebun
Cariu 1,9 3 2,1 Cileungsi 19,7 15,3 33,1 Gunung 6,8 2,3 63,6 Putri Jonggol 7,3 8,2 15,2 Tanjung 3,4 4,1 3,5 Sari Total 5,7 6,4 11 Sumber : Suseda Kabupaten Bogor 2006
Empang
Lainnya
41,8 3,8
41,5 5,1
1,3 20,4
8,2 2,5
4,5
2,3
20,5
0
35,2
25,2
5,2
3,8
60,3
18,2
4,9
5,7
40,6
26,3
5
5,1
77
Rumah tangga miskin yang memiliki fasilitas buang air besar sendiri hanya sebesar 5,7 persen. Persentase tertinggi rumah tangga miskin yang tidak memiliki fasilitas buang air besar sendiri berada di Kecamatan Tanjung Sari sebesar 96,6 persen. Persentase terendah rumah tangga miskin yang tidak memiliki fasilitas buang air besar sendiri berada di Kecamatan Cileungsi sebesar 80,3 persen. 5.
Sumber Air Minum Kondisi tempat tinggal yang layak dapat dilihat dari aspek lain, seperti
sumber air minum yang digunakan oleh rumah tangga. Suatu rumah tangga dinyatakan miskin jika tidak menggunakan air dalam kemasan dan ledeng (PDAM) sebagai sumber air minum. Hanya sebesar 0,8 persen rumah tangga miskin di wilayah pengembangan Bogor Timur yang menggunakan air dalam kemasan dan ledeng (PDAM) sebagai sumber air minum. Tabel 41.
Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Sumber Air Minum di Wilayah Pengembangan Bogor Timur Tahun 2006 (persen) Sumber Air Minum
Kecamatan
Air Ledeng Sumur dalam (PDAM) kemasan 0,8 0,1 82,3 0,6 0 98,1
Cariu Cileungsi Gunung 0 0 100 Putri Jonggol 0,7 0,2 73,7 Tanjung 0,4 0,1 55,9 Sari Total 0,6 0,2 72,9 Sumber : Suseda Kabupaten Bogor 2006
Mata air
Air sungai
Air hujan
Danau
3,8 0,6
9,4 0,6
0,1 0
3,5 0
0
0
0
0
22,2
2,7
0,2
0,2
33,3
10,2
0,1
0
19,7
5,7
0,2
0,8
Mayoritas rumah tangga miskin di wilayah pengembangan Bogor Timur menggunakan sarana sumur sebagai sumber air minum sebesar 72,9 persen.
78
Persentase tertinggi rumah tangga miskin yang menggunakan sumur sebagai sumber air minum berada di Kecamatan Gunung Putri sebesar 100 persen. Kecamatan Tanjung Sari memiliki persentase terendah rumah tangga miskin yang menggunakan sumur sebagai sumber air minum sehari-hari yaitu sebesar 55,9 persen. Rumah tangga miskin di Kecamatan Tanjung Sari hanya sebesar 0,5 persen yang menggunakan air dalam kemasan dan ledeng (PDAM) sebagai sumber air minum. 6.
Jenis Bahan Bakar Menurut BPS, suatu rumah tangga dinyatakan miskin jika menggunakan
kayu bakar atau arang atau minyak tanah dan lainnya sebagai bahan bakar untuk memasak sehari-hari. Mayoritas rumah tangga miskin di wilayah pengembangan Bogor Timur menggunakan kayu bakar atau arang sebagai bahan bakar untuk memasak sehari-hari, yaitu sebesar 84,3 persen. Rumah tangga miskin yang menggunakan minyak tanah sebagai bahan bakar untuk memasak sehari-hari 14,7 persen. Tabel 42.
Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Jenis Bahan Bakar yang Digunakan untuk Memasak Sehari-hari di Wilayah Pengembangan Bogor Timur Tahun 2006 (persen) Jenis bahan bakar
Kecamatan
Minyak Gas Listrik tanah Cariu 12,7 0,1 0,3 Cileungsi 51 0 0 Gunung Putri 56,8 0 0 Jonggol 15,1 0,1 0,6 Tanjung Sari 7,9 0,1 0,6 Total 14,7 0,1 0,5 Sumber : Suseda Kabupaten Bogor 2006
Kayu bakar/arang
Lainnya
86,4 48,4 43,2 83,7 91,2 84,3
0,5 0,6 0 0,4 0,2 0,4
Persentase tertinggi rumah tangga miskin yang menggunakan kayu bakar atau arang sebagai bahan bakar untuk memasak sehari-hari berada di Kecamatan
79
Tanjung Sari sebesar 91,2 persen. Persentase terendah rumah tangga miskin yang menggunakan kayu bakar atau arang sebagai bahan bakar untuk memasak seharihari berada di Kecamatan Gunung Putri sebesar 43,2 persen. 7.
Sumber Penerangan Kondisi tempat tinggal yang yang layak juga dapat dilihat dari sumber
penerangan yang digunakan rumah tangga. Suatu rumah tangga dinyatakan miskin menurut BPS jika tidak mendapatkan akses terhadap listrik sebagai sumber penerangan rumah tangga, seperti masih menggunakan minyak tanah, petromak, dan lain-lain. Rumah tangga miskin di wilayah pengembangan Bogor Timur mayoritas sudah menggunakan PLN sebagai sumber penerangan sebesar 55,4 persen. Tabel 43.
Kecamatan
Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Sumber Penerangan di Wilayah Pengembangan Bogor Timur Tahun 2006 (persen)
Genset/ PLN diesel 58 0,3 89,8 0
Sumber penerangan Listrik Minyak Petromak swasta tanah 0,7 0,7 38,5 0 1,9 7
Cariu Cileungsi Gunung 95,5 0 0 Putri Jonggol 52,4 0,3 1,9 Tanjung 53,1 0,2 2,7 Sari Total 55,4 0,3 1,7 Sumber : Suseda Kabupaten Bogor 2006
Lainnya 1,8 1,3
0
2,3
2,3
3,7
37,6
4,1
1,7
40,1
2,2
2,5
36,9
3,1
Rumah tangga miskin di wilayah pengembangan Bogor Timur yang menggunakan minyak tanah sebagai sumber penerangan sebesar 36,9 persen. Persentase tertinggi rumah tangga miskin yang masih menggunakan minyak tanah sebagai sumber penerangan berada di Kecamatan Tanjung Sari sebesar 40,1 persen. Kecamatan Gunung Putri memiliki persentase terendah rumah tangga
80
miskin yang menggunakan minyak tanah sebagai sumber penerangan sebesar 2,3 persen. 8.
Frekuensi Makan (kali/hari) Kondisi ekonomi suatu rumah tangga dapat dilihat dari beberapa aspek,
seperti kemampuan rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan dasar terutama pangan, yang dapat dilihat dari frekuensi makan dalam sehari. Menurut BPS, rumah tangga dinyatakan miskin jika dapat makan satu atau dua kali dalam sehari. Rumah tangga miskin di wilayah pengembangan Bogor Timur mayoritas sudah dapat makan dua kali dalam sehari sebesar 72,9 persen. Tabel 44.
Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Frekuensi Makan dalam Sehari di Wilayah Pengembangan Bogor Timur Tahun 2006 (persen)
Frekuensi makan dalam sehari 1 kali 2 kali 3 kali atau lebih Cariu 14,1 70,7 15,2 Cileungsi 15,9 80,3 3,8 Gunung Putri 13,6 79,5 6,8 Jonggol 10,8 75,3 13,9 Tanjung Sari 14,4 67,6 18,1 Total 12,5 72,9 14,7 Sumber : Suseda Kabupaten Bogor 2006 Kecamatan
Rumah tangga miskin yang sudah dapat makan sesuai dengan kebutuhan pangan yaitu tiga kali dalam sehari hanya sebesar 14,7 persen. Persentase tertinggi rumah tangga miskin yang sudah dapat makan tiga kali dalam sehari atau lebih berada di Kecamatan Gunung Putri sebesar 14,7 persen. Persentase terendah rumah tangga miskin yang sudah dapat makan tiga kali dalam sehari atau lebih berada di Kecamatan Cileungsi sebesar 3,8 persen.
81
9.
Kepemilikan Aset Kondisi ekonomi juga dapat dilihat dari kepemilikan aset yang dimiliki
oleh rumah tangga, seperti televisi berwarna, lemari es, sepeda motor, dan emas. Menurut BPS, suatu rumah tangga dinyatakan miskin jika memiliki aset kurang dari Rp 500.000. Mayoritas rumah tangga miskin di wilayah pengembangan Bogor Timur memiliki aset kurang dari Rp. 500.000. Tabel 45.
Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Kepemilikan Aset di Wilayah Pengembangan Bogor Timur Tahun 2006 (persen)
Kepemilikan aset ≥ Rp 500.000 < Rp 500.000 Cariu 18 82 Cileungsi 29,3 70,7 Gunung Putri 25 75 Jonggol 22,5 77,5 Tanjung Sari 28,6 71,4 Total 23,1 76,9 Sumber : Suseda Kabupaten Bogor 2006 Kecamatan
Rumah tangga di Bogor Timur yang memiliki kepemilikan aset kurang dari Rp 500.000 yaitu sebesar 76,9 persen. Persentase tertinggi rumah tangga miskin yang memiliki aset kurang dari Rp 500.000 berada di Kecamatan Cariu sebesar 82 persen. Persentase terendah rumah tangga miskin yang memiliki aset kurang dari Rp 500.000 berada di Kecamatan Cileungsi sebesar 70,7 persen. 10.
Pembelian Pakaian (kali/tahun) Kondisi ekonomi suatu rumah tangga juga dapat dilihat dari kemampuan
rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan akan sandang atau pakaian, yaitu frekuensi pembelian pakaian baru dalam setahun. Rumah tangga dinyatakan miskin jika tidak pernah atau hanya satu kali membeli pakaian baru dalam setahun. Rumah tangga miskin di wilayah pengembangan Bogor Timur mayoritas hanya dapat membeli satu pakaian baru dalam setahun.
82
Tabel 46.
Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Frekuensi Membeli Pakaian Baru dalam Setahun di Wilayah Pengembangan Bogor Timur Tahun 2006 (persen)
Frekuensi membeli pakaian baru dalam setahun Tidak pernah membeli 1 stel 2 stel atau lebih Cariu 1,1 51,2 47,7 Cileungsi 1,3 73,9 24,8 Gunung Putri 2,3 75 22,7 Jonggol 0,4 72,3 27,3 Tanjung Sari 0,1 54,2 45,7 Total 0,5 64 35,5 Sumber : Suseda Kabupaten Bogor 2006 Kecamatan
Rumah tangga miskin di wilayah pengembangan Bogor Timur yang sudah dapat membeli dua stel atau lebih pakaian baru dalam setahun sebesar 35,5 persen. Persentase tertinggi rumah tangga miskin yang sudah dapat membeli pakaian baru dua stel atau lebih dalam setahun berada di Kecamatan Cariu sebesar 47,7 persen.Persentase terendah rumah tangga miskin yang sudah dapat membeli pakaian baru dua stel atau lebih dalam setahun berada di Kecamatan Gunung Putri sebesar 22,7 persen. 11.
Pembelian daging/ayam/susu (kali/minggu) Aspek lain yang digunakan untuk melihat kondisi ekonomi suatu rumah
tangga adalah frekuensi pembelian daging atau ayam atau susu dalam seminggu. Suatu rumah tangga dinyatakan miskin jika tidak pernah membeli atau hanya dapat satu kali membeli daging atau ayam atau susu dalam seminggu. Mayoritas rumah tangga miskin di wilayah pengembangan Bogor Timur tidak pernah membeli daging atau ayam atau susu dalam seminggu. Sebesar 79,6 persen rumah tangga miskin di wilayah pengembangan Bogor Timur tidak pernah membeli daging atau ayam atau susu.
83
Tabel 47.
Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Frekuensi Membeli Daging/Ayam/Susu dalam Seminggu di Wilayah Pengembangan Bogor Timur Tahun 2006 (persen) Frekuensi membeli daging/ayam/susu dalam seminggu Kecamatan Tidak pernah membeli 1 kali 2 kali atau lebih Cariu 79,7 19,9 0,4 Cileungsi 75,8 23,6 0,6 Gunung Putri 84,1 15,9 0 Jonggol 80,6 18,9 0,5 Tanjung Sari 77,6 22 0,4 Total 79,6 19,9 0,5 Sumber : Suseda Kabupaten Bogor 2006 Rumah tangga miskin di wilayah pengembangan Bogor Timur yang sudah dapat membeli daging atau ayam atau susu dua kali atau lebih dalam seminggu hanya sebesar 0,5 persen. Persentase terendah rumah tangga miskin yang tidak pernah membeli daging atau ayam atau susu dalam seminggu berada di Kecamatan Cileungsi sebesar 75,8 persen. Persentase tertinggi rumah tangga miskin yang tidak pernah membeli daging atau ayam atau susu dalam seminggu berada di Kecamatan Gunung Putri sebesar 84,1 persen. 12.
Kemampuan Berobat Kondisi ekonomi suatu rumah tangga juga dapat dilihat dari kemampuan
memenuhi kebutuhan dasar seperti kemampuan mendapatkan akses kesehatan,. Hal ini dapat dilihat dari kemampuan suatu rumah tangga membayar untuk berobat di Puskesmas atau Poliklinik. Suatu rumah tangga dinyatakan miskin jika tidak dapat membayar untuk berobat di Puskesmas atau Poliklinik. Pada umumnya rumah tangga miskin di wilayah pengembangan Bogor Timur sudah mampu membayar untuk berobat di Puskesmas atau Poliklinik yaitu sebesar 75,2 persen dari jumlah rumah tangga miskin di wilayah ini. Persentase rumah tangga miskin yang sudah mampu membayar untuk berobat di Puskesmas atau Poliklinik berada di Kecamatan Cariu sebesar 83,2 persen. Persentase
84
terendah rumah tangga miskin yang sudah mampu membayar untuk berobat di Puskesmas atau Poliklinik berada di Kecamatan Gunung Putri sebesar 50 persen. Tabel 48.
Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Kemampuan Membayar untuk Berobat ke Puskesmas/Poliklinik di Wilayah Pengembangan Bogor Timur Tahun 2006 (persen) Kemampuan berobat Kecamatan Ya Tidak Cariu 83,2 16,8 Cileungsi 69,4 30,6 Gunung Putri 50 50 Jonggol 74,9 25,1 Tanjung Sari 69,8 30,2 Total 75,2 24,8 Sumber : Suseda Kabupaten Bogor 2006 13.
Ketenagakerjaan Kondisi ketenagakerjaan dapat dilihat dari dua aspek, yaitu status
pekerjaan dan jenis pekerjaan kepala rumah tangga. Rumah tangga miskin di wilayah pengembangan Bogor Timur mayoritas sudah memiliki kepala rumah tangga yang bekerja. Persentase tertinggi rumah tangga miskin yang memiliki kepala rumah tangga bekerja berada di Kecamatan Cileungsi sebesar 98,1 persen dan terendah berada di Kecamatan Gunung Putri sebesar 93,2 persen. Tabel 49.
Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Status Pekerjaan Kepala Rumah Tangga Miskin di Wilayah Pengembangan Bogor Timur Tahun 2006 (persen) Status Pekerjaan Kecamatan Bekerja Menganggur Cariu 97,8 2,2 Cileungsi 98,1 1,9 Gunung Putri 93,2 6,8 Jonggol 95,3 4,7 Tanjung Sari 97,2 2,8 Total 96,3 3,7 Sumber : Suseda Kabupaten Bogor 2006 Rumah tangga miskin di wilayah pengembangan Bogor Timur mayoritas memiliki kepala keluarga yang bekerja di sektor pertanian yaitu sebesar 70,4
85
persen dari jumlah rumah tangga miskin di wilayah ini. Persentase tertinggi rumah tangga miskin yang memiliki kepala keluarga bekerja di sektor pertanian berada di Kecamatan Tanjung Sari sebesar 81,5 persen. Persentase terendah rumah tangga miskin yang memiliki kepala rumah tangga bekerja di sektor pertanian berada di Kecamatan Gunung Putri sebesar 11,4 persen. Tabel 50.
Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Jenis Pekerjaan Kepala Keluarga di Wilayah Pengembangan Bogor Timur Tahun 2006 (persen)
Jenis Pekerjaan Non pertanian Pertanian Cariu 27,8 72,2 Cileungsi 72,6 27,4 Gunung Putri 88,6 11,4 Jonggol 30,9 69,1 Tanjung Sari 18,5 81,5 Total 29,6 70,4 Sumber : Suseda Kabupaten Bogor 2006 Kecamatan
14.
Pendidikan Tertinggi Kepala Keluarga Kondisi kesejahteraan rumah tangga juga dapat dilihat dari pendidikan
tertinggi kepala rumah tangga. Suatu rumah tangga dinyatakan miskin jika pendidikan tertinggi kepala keluarga tidak tamat Sekolah Dasar. Rumah tangga miskin di wilayah pengembangan Bogor Timur mayoritas memiliki kepala keluarga yang mengeyam pendidikan tertinggi adalah tidak tamat Sekolah Dasar (SD) sebesar 97,9 persen. Persentase tertinggi rumah tangga miskin yang memiliki kepala keluarga yang mengeyam pendidikan tertinggi tidak tamat Sekolah Dasar berada di Kecamatan Tanjung Sari sebesar 98,5 persen. Persentase terendah rumah tangga miskin yang memiliki kepala keluarga mengeyam pendidikan tertinggi tidak tamat Sekolah dasar berada di Kecamatan Gunung Putri sebesar 93,1 persen.
86
Tabel 51.
Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Pendidikan Tertinggi Kepala Keluarga di Wilayah Pengembangan Bogor Timur Tahun 2006 (persen)
Pendidikan tertinggi Tidak Tamat SD Tamat SD Cariu 97,6 2,4 Cileungsi 94,9 5,1 Gunung Putri 93,1 6,9 Jonggol 98,2 1,8 Tanjung Sari 98,5 1,5 Total 97,9 2,1 Sumber : Suseda Kabupaten Bogor 2006 Kecamatan
5.3
Indikator Kemiskinan Utama Rumah Tangga Miskin
5.3.1 Wilayah Pengembangan Bogor Barat Rumah tangga miskin di wilayah pengembangan Bogor Barat mayoritas didominasi oleh tiga indikator kemiskinan. Sumber air minum tidak menggunakan ledeng yaitu penggunaan PDAM atau air dalam kemasan menjadi indikator kemiskinan yang dominan di seluruh kecamatan di wilayah pengembangan Bogor Barat. Kecamatan Tenjo merupakan kecamatan yang memiliki persentase tertinggi menggunakan sumber air minum bukan ledeng atau air dalam kemasan. Tabel 52.
Indikator Kemiskinan Dominan Rumah Tangga Miskin di Wilayah Pengembangan Bogor Barat Tahun 2006 Indikator kemiskinan dominan Kecamatan Pertama Kedua Ketiga Ciampea X4 (99.2) X11 (99,2) X6 (98,8) Cibungbulang X6 (100) X11 (100) X4 (99,7) Cigudeg X4 (99,7) X11 (99,7) X6 (99,5) Jasinga X6 (99,5) X11 (99,5) X4 (99,4) Leuwiliang X6 (99,8) X11 (99,8) X4 (99,7) Leuwisadeng X11 (99,9) X4 (99,5) X6 (99,4) Nanggung X4 (99,7) X11 (99,5) X5 (98,6) Pamijahan X6 (100) X11 (100) X4 (99,6) Rumpin X11 (99,8) X4 (99,1) X6 (98,3) Sukajaya X4 (99,8) X11 (99,6) X6 (99,3) Tenjo X11 (100) X4 (99,9) X6 (99,2) Sumber : Susda Kabupaten Bogor Tahun 2006
87
Frekuensi mengkonsumsi daging/ayam/susu dalam seminggu juga menjadi indikator kemiskinan yang dominan rumah tangga miskin di seluruh kecamatan di wilayah pengembangan Bogor Barat. Berdasarkan Tabel 52, Kecamatan Cibungbulang, Pamijahan, dan Tenjo memiliki persentase tertinggi yaitu sebesar 100 persen. Hal ini memperlihatkan bahwa seluruh rumah tangga miskin di tiga kecamatan ini tidak pernah atau hanya satu kali dalam seminggu mengkonsumsi daging/ayam/susu. Indikator kemiskinan utama lainnya yaitu penggunaan kayu bakar atau arang atau minyak tanah sebagai bahan bakar untuk memasak sehari-hari di sebelas
kecamatan
wilayah
pengembangan
Bogor
Barat.
Kecamatan
Cibungbulang dan Pamijahan memiliki persentase tertinggi yaitu sebesar seratus persen rumah tangga miskin di wilayah ini masih menggunakan kayu bakar/arang/minyak tanah sebagai bahan bakar untuk memasak sehari-hari. Selain itu, indikator kemiskinan lainnya yang dominan di Kecamatan Nanggung adalah tidak mempunyai fasilitas buang air besar sendiri yaitu sebesar 98,6 persen.
5.3.2 Wilayah Pengembangan Bogor Tengah Rumah tangga miskin di wilayah pengembangan Bogor Tengah mayoritas didominasi oleh beberapa indikator kemiskinan. Sumber air minum tidak menggunakan ledeng (PDAM) atau air dalam kemasan menjadi indikator kemiskinan yang dominan di 17 kecamatan di wilayah pengembangan Bogor Tengah. Kecamatan Bojong Gede, Cibinong, Parung, dan Tajurhalang merupakan kecamatan yang memiliki persentase tertinggi menggunakan sumber air minum bukan ledeng atau air dalam kemasan yaitu sebesar seratus persen.
88
Indikator kemiskinan utama lainnya yaitu penggunaan kayu bakar atau arang atau minyak tanah sebagai bahan bakar untuk memasak sehari-hari di 17 kecamatan wilayah pengembangan Bogor Tengah. Kecamatan Bojong Gede dan Dramaga memiliki persentase tertinggi yaitu sebesar seratus persen rumah tangga miskin di wilayah ini masih menggunakan kayu bakar/arang/minyak tanah sebagai bahan bakar untuk memasak sehari-hari. Selain itu, indikator kemiskinan lainnya yang dominan di Kecamatan Bojong Gede adalah tidak mempunyai fasilitas buang air besar sendiri yaitu sebesar seratus persen dan frekuensi makan dalam sehari hanya satu atau dua kali sebesar seratus persen. Tabel 53.
Indikator Kemiskinan Dominan Rumah Tangga Miskin di Wilayah Pengembangan Bogor Tengah Tahun 2006
Indikator kemiskinan dominan (persen) Pertama Kedua Ketiga Babakan Madang X6 (99,6) X11 (99,6) X4 (99,3) Bojong Gede X4 (100) X5 (100) X6 (100) Caringin X11 (100) X6 (99,7) X4 (99,6) Cibinong X4 (100) X10 (100) X6 (96,8) Cigombong X11 (100) X4 (99,7) X6 (99,7) Cijeruk X11 (99,9) X6 (98,9) X4 (97,9) Ciomas X4 (99) X6 (99) X11 (99) Cisarua X11 (100) X10 (99) X4 (99,5) Ciseeng X11 (100) X6 (98,9) X4 (98,5) Citeureup X11 (100) X4 (99,2) X6 (99,2) Dramaga X6 (100) X11 (99,8) X4 (98,4) Gunung Sindur X11 (100) X4 (99,5) X6 (99,1) Kemang X4 (99,6) X6 (99,2) X11 (98,9) Megamendung X11 (99,9) X4 (99,2) X6 (98,6) Parung X4 (100) X6 (99,7) X11 (99,3) Sukaraja X11 (100) X4 (99,5) X6 (99) Tajurhalang X4 (100) X6 (99,6) X11 (99,2) Tamansari X11 (100) X6 (99,6) X13 (96,7) Sumber : Susda Kabupaten Bogor Tahun 2006 Kecamatan
Frekuensi mengkonsumsi daging/ayam/susu dalam seminggu menjadi indikator kemiskinan yang dominan untuk rumah tangga miskin di seluruh
89
kecamatan di wilayah pengembangan Bogor Tengah. Berdasarkan Tabel 53, Kecamatan Bojong Gede, Caringin, Cibinong, Cigombong, Cisarua, Citeureup, Gunung Sindur, Sukaraja, dan Tamansari memiliki persentase tertinggi yaitu sebesar seratus persen. Hal ini memperlihatkan bahwa seluruh rumah tangga miskin di sembilan kecamatan ini tidak pernah atau hanya satu kali dalam seminggu mengkonsumsi daging/ayam/susu. Indikator kemiskinan yang dominan lainnya adalah tidak pernah atau hanya satu kali dalam setahun membeli pakaian baru di empat kecamatan, yaitu Kecamatan Bojong Gede, Cibinong, Cigombong, dan Cisarua. Selain itu, indikator kemiskinan dominan lainnya di Kecamatan Bojong Gede dan Tamansari adalah jenis pekerjaan kepala keluarga di sektor pertanian.
5.3.3 Wilayah Pengembangan Bogor Timur Rumah tangga miskin di wilayah pengembangan Bogor Timur mayoritas didominasi oleh tiga indikator kemiskinan. Penggunaan kayu bakar atau arang atau minyak tanah sebagai bahan bakar untuk memasak sehari-hari menjadi indikator kemiskinan utama seluruh kecamatan di wilayah pengembangan Bogor Timur. Kecamatan Gunung Putri memiliki persentase tertinggi yaitu sebesar seratus persen rumah tangga miskin di wilayah ini masih menggunakan kayu bakar/arang/minyak tanah sebagai bahan bakar untuk memasak sehari-hari. Frekuensi mengkonsumsi daging/ayam/susu dalam seminggu juga menjadi indikator kemiskinan yang dominan rumah tangga miskin di seluruh kecamatan di wilayah pengembangan Bogor Timur. Tabel 54 memperlihatkan bahwa Kecamatan Gunung Putri yang memiliki persentase tertinggi yaitu sebesar seratus
90
persen. Hal ini memperlihatkan bahwa seluruh rumah tangga miskin di kecamatan ini tidak pernah atau hanya satu kali dalam seminggu mengkonsumsi daging/ayam/susu. Tabel 54.
Indikator Kemiskinan Dominan Rumah Tangga Miskin di Wilayah Pengembangan Bogor Timur Tahun 2006 Indikator kemiskinan dominan (persen) Kecamatan Pertama Kedua Ketiga Cariu X11 (99,6) X4 (99,1) X6 (99,1) Cileungsi X4 (99,4) X6 (99,4) X11 (99,4) Gunung Putri X4 (100) X6 (100) X11 (100) Jonggol X11 (99,5) X4 (99,1) X6 (98,9) Tanjung Sari X11 (99,6) X4 (99,5) X6 (99,1) Sumber : Susda Kabupaten Bogor Tahun 2006 Indikator kemiskinan yang dominan lainnya yaitu sumber air minum tidak menggunakan ledeng yaitu penggunaan PDAM atau air dalam kemasan. Hal ini menjadi indikator kemiskinan yang dominan di seluruh kecamatan di wilayah pengembangan Bogor Timur. Kecamatan Gunung Putri merupakan kecamatan yang memiliki persentase tertinggi menggunakan sumber air minum bukan ledeng atau air dalam kemasan yaitu sebesar seratus persen.
5.4
Indikator Kemiskinan Utama Rumah Tangga dengan Kepala Keluarga Menganggur
5.4.1 Wilayah Pengembangan Bogor Barat Rumah tangga yang memiliki kepala keluarga yang tidak bekerja atau menganggur di wilayah pengembangan Bogor Barat mayoritas didominasi oleh tiga indikator kemiskinan. Sumber air minum tidak menggunakan air ledeng yaitu penggunaan PDAM atau air dalam kemasan menjadi indikator kemiskinan utama di seluruh kecamatan di wilayah ini. Kecamatan yang memiliki persentase tertinggi adalah Kecamatan Cigudeg, Nanggung, dan Pamijahan yaitu sebesar
91
seratus persen. Hal ini memperlihatkan bahwa seluruh rumah tangga dengan kepala keluarga tidak bekerja di tiga kecamatan ini tidak menggunakan air ledeng yaitu penggunaan PDAM atau air dalam kemasan sebagai sumber air minum. Tabel 55.
Indikator Kemiskinan Dominan Rumah Tangga dengan Kepala Keluarga Menganggur di Wilayah Pengembangan Bogor Barat Tahun 2006
Indikator kemiskinan dominan (persen) Pertama Kedua Ketiga Ciampea X6 (100) X4 (98,4) X11 (91,8) Cibungbulang X11 (98,4) X6 (95,3) X4 (89,1) Cigudeg X4 (100) X6 (97) X11 (93,9) Jasinga X4 (95,8) X6 (95,8) X11 (89,6) Leuwiliang X6 (98,2) X4 (90,9) X11 (88,2) Leuwisadeng X4 (98,4) X6 (97,7) X11 (94,6) Nanggung X4 (100) X6 (100) X11 (100) Pamijahan X4 (100) X6 (100) X11 (97,5) Rumpin X6 (97,6) X4 (97) X11 (88,4) Sukajaya X4 (98,6) X6 (98,6) X11 (98,6) Tenjo X11 (97,2) X4 (95,4) X6 (95,4) Sumber : Susda Kabupaten Bogor Tahun 2006 Kecamatan
Frekuensi mengkonsumsi daging/ayam/susu dalam seminggu juga menjadi indikator kemiskinan yang dominan rumah tangga dengan kepala keluarga menganggur di seluruh kecamatan di wilayah pengembangan Bogor Barat. Tabel 55 memperlihatkan bahwa Kecamatan Sukajaya yang memiliki persentase tertinggi yaitu sebesar 98,6 persen. Hal ini memperlihatkan bahwa sebesar 98,6 persen rumah tangga dengan kepala keluarga menganggur di kecamatan ini tidak pernah atau hanya satu kali dalam seminggu mengkonsumsi daging/ayam/susu. Indikator kemiskinan utama lainnya yaitu penggunaan kayu bakar atau arang atau minyak tanah sebagai bahan bakar untuk memasak sehari-hari di seluruh kecamatan wilayah pengembangan Bogor Barat. Kecamatan Ciampea, Nanggung, dan Pamijahan memiliki persentase tertinggi yaitu sebesar seratus
92
persen. Hal ini mengindikasikan bahwa seluruh rumah tangga dengan kepala keluarga
menganggur
di
wilayah
ini
masih
menggunakan
kayu
bakar/arang/minyak tanah sebagai bahan bakar untuk memasak sehari-hari.
5.4.2 Wilayah Pengembangan Bogor Tengah Rumah tangga yang memiliki kepala keluarga yang tidak bekerja atau menganggur di wilayah pengembangan Bogor Tengah didominasi oleh empat indikator kemiskinan. Rumah tangga dengan kepala keluarga menganggur di wilayah pengembangan Bogor Tengah memiliki indikator kemiskinan utama yaitu penggunaan kayu bakar/arang/minyak tanah sebagai bahan bakar untuk memasak sehari-hari. Kecamatan Cijeruk memiliki persentase tertinggi yaitu sebesar 99,2 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa 99,2 persen rumah tangga dengan kepala keluarga
pengangguran
di
wilayah
ini
masih
menggunakan
kayu
bakar/arang/minyak tanah sebagai bahan bakar untuk memasak sehari-hari. Frekuensi mengkonsumsi daging/ayam/susu dalam seminggu juga menjadi indikator kemiskinan yang dominan rumah tangga dengan kepala keluarga menganggur di seluruh kecamatan di wilayah pengembangan Bogor Tengah. Berdasarkan Tabel 56 memperlihatkan bahwa Kecamatan Ciseeng yang memiliki persentase tertinggi yaitu sebesar 95,7 persen. Hal ini memperlihatkan bahwa sebesar 95,7 persen rumah tangga dengan kepala keluarga menganggur di kecamatan ini tidak pernah atau hanya satu kali dalam seminggu mengkonsumsi daging/ayam/susu.
93
Tabel 56.
Indikator Kemiskinan Dominan Rumah Tangga dengan Kepala Keluarga Menganggur di Wilayah Pengembangan Bogor Tengah Tahun 2006
Indikator kemiskinan dominan (persen) Pertama Kedua Ketiga Babakan Madang X6 (96,1) X4 (93,5) X11 (93,5) Bojong Gede X4 (100) X11 (85,7) X6 (81) Caringin X4 (93,7) X6 (91,1) X11 (89,9) Cibinong X4 (91,4) X6 (85,7) X11 (71,4) Cigombong X4 (94) X6 (90,4) X11 (88) Cijeruk X6 (99,2) X11 (94,7) X4 (93,9) Ciomas X6 (78,2) X11 (74,7) X10 (58,8) Cisarua X6 (98,5) X11 (85,1) X4 (79,1) Ciseeng X4 (97,4) X6 (97,4) X11 (95,7) Citeureup X4 (98,4) X6 (90,3) X11 (82,3) Dramaga X6 (92) X4 (90,9) X11 (88,6) Gunung Sindur X4 (97) X6 (93,3) X11 (93,3) Kemang X4 (96,9) X6 (92,2) X11 (86) Megamendung X4 (94,7) X6 (94,2) X11 (93,6) Parung X4 (98,9) X11 (94,4) X6 (91,1) Sukaraja X6 (93,5) X4 (91,5) X11 (76,5) Tajurhalang X4 (92,2) X6 (91,3) X11 (88,7) Tamansari X6 (93,2) X4 (89,2) X11 (74,3) Sumber : Susda Kabupaten Bogor Tahun 2006 Kecamatan
Sumber air minum tidak menggunakan air ledeng (PDAM) atau air dalam kemasan menjadi indikator kemiskinan utama di 17 kecamatan di wilayah ini. Kecamatan yang memiliki persentase tertinggi adalah Kecamatan Bojong Gede yaitu sebesar seratus persen. Hal ini memperlihatkan bahwa seluruh rumah tangga dengan kepala keluarga tidak bekerja di kecamatan ini tidak menggunakan air ledeng yaitu penggunaaan PDAM atau air dalam kemasan sebagai sumber air minum. Indikator kemiskinan lainnya yang mendominasi di Kecamatan Ciomas adalah frekuensi pembelian pakaian baru dalam setahun hanya satu kali atau tidak sama sekali. Di kecamatan ini sebanyak 58,8 persen rumah tangga dengan kepala keluarga menganggur tidak pernah atau hanya satu kali dalam setahun membeli pakaian baru.
94
5.4.3 Wilayah Pengembangan Bogor Timur Rumah tangga yang memiliki kepala keluarga yang menganggur di wilayah pengembangan Bogor Timur mayoritas didominasi oleh tiga indikator kemiskinan. Sumber air minum tidak menggunakan air ledeng (PDAM) atau air dalam kemasan menjadi indikator kemiskinan utama di seluruh kecamatan di wilayah ini. Kecamatan yang memiliki persentase tertinggi adalah Kecamatan Tanjung Sari yaitu sebesar seratus persen. Hal ini memperlihatkan bahwa seluruh rumah tangga dengan kepala keluarga menganggur di kecamatan ini tidak menggunakan air ledeng yaitu penggunaan PDAM atau air dalam kemasan sebagai sumber air minum. Tabel 57.
Indikator Kemiskinan Dominan Rumah Tangga dengan Kepala Keluarga Menganggur di Wilayah Pengembangan Bogor Timur Tahun 2006
Indikator kemiskinan dominan (persen) Pertama Kedua Ketiga Cariu X4 (98,2) X6 (98,2) X13 (93) Cileungsi X4 (94,6) X6 (94,6) X11 (91,9) Gunung Putri X11 (75) X4 (70) X6 (62,5) Jonggol X4 (94,2) X6 (93,2) X11 (91,4) Tanjung Sari X4 (100) X6 (100) X11 (100) Sumber : Susda Kabupaten Bogor Tahun 2006 Kecamatan
Frekuensi mengkonsumsi daging/ayam/susu dalam seminggu juga menjadi indikator kemiskinan yang dominan rumah tangga dengan kepala keluarga menganggur di empat kecamatan di wilayah pengembangan Bogor Timur. Berdasarkan Tabel 57 memperlihatkan bahwa Kecamatan Tanjung Sari yang memiliki persentase tertinggi yaitu sebesar seratus persen. Hal ini memperlihatkan bahwa seluruh rumah tangga dengan kepala keluarga menganggur di kecamatan
95
ini tidak pernah atau hanya satu kali dalam seminggu mengkonsumsi daging/ayam/susu. Penggunaan kayu bakar atau arang atau minyak tanah sebagai bahan bakar untuk memasak sehari-hari menjadi indikator utama rumah tangga dengan kepala keluarga menganggur di seluruh kecamatan wilayah pengembangan Bogor Timur. Kecamatan Tanjung Sari memiliki persentase tertinggi yaitu sebesar seratus persen. Hal ini mengindikasikan bahwa seluruh rumah tangga dengan kepala keluarga
menganggur
di
wilayah
ini
masih
menggunakan
kayu
bakar/arang/minyak tanah sebagai bahan bakar untuk memasak sehari-hari. Selain itu, indikator kemiskinan yang dominan lainnya di Kecamatan Cariu adalah jenis pekerjaan kepala keluarga di sektor pertanian. Sebanyak 93 persen rumah tangga dengan kepala keluarga menganggur di kecamatan ini memiliki kepala keluarga yang bekerja di sektor pertanian. Hal ini disebabkan karena pada sektor pertanian memiliki waktu menganggur, seperti saat menunggu panen sehingga tenaga kerja di sektor ini pada saat-saat tertentu tidak memiliki pekerjaan.
96
VI. KAITAN ANTARA STATUS PEKERJAAN DAN STATUS KEMISKINAN DI KABUPATEN BOGOR
6.1
Wilayah Pengembangan Bogor Barat Hubungan status kemiskinan dengan status pekerjaan di wilayah
pengembangan Bogor Barat dapat dilihat dari Gambar 4 dan Gambar 5. Berdasarkan Gambar 4, diperlihatkan bahwa rumah tangga dengan kepala keluarga menganggur cenderung termasuk ke dalam rumah tangga tidak miskin. Hanya dua kecamatan di wilayah pengembangan Bogor Barat, yaitu Kecamatan Nanggung dan Sukajaya yang memperlihatkan kondisi rumah tangga dengan
Persentase rumah tangga
kepala keluarga menganggur mayoritas termasuk ke dalam rumah tangga miskin. 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0%
Tidak miskin Miskin
Kecamatan
Sumber : Susda Kabupaten Bogor Tahun 2006 Gambar 4.
Persentase Rumah Tangga Miskin dan Tidak Miskin dengan Kepala Keluarga Menganggur di Wilayah Pengembangan Bogor Barat Tahun 2006
Kecamatan Nanggung memiliki persentase 55,6 persen rumah tangga dengan kepala keluarga menganggur termasuk ke dalam golongan rumah tangga
97
miskin. Kecamatan Sukajaya memiliki persentase lebih besar yaitu sebanyak 66 persen rumah tangga dengan kepala keluarga menganggur di kecamatan ini termasuk ke dalam golongan rumah tangga miskin. Hal ini memperlihatkan bahwa di dua kecamatan ini, status pekerjaan kepala keluarga menganggur berpengaruh
Persentase rumah tangga
terhadap status rumah tangga dinyatakan miskin. 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0%
Tidak miskin Miskin
Kecamatan
Sumber : Susda Kabupaten Bogor Tahun 2006 Gambar 5.
Persentase Rumah Tangga Miskin dan Tidak Miskin dengan Kepala Keluarga Bekerja di Wilayah Pengembangan Bogor Barat Tahun 2006
Berdasarkan Gambar 5, memperlihatkan bahwa hampir di seluruh kecamatan di wilayah pengembangan Bogor Barat kecuali di Kecamatan Nanggung, rumah tangga dengan kepala keluarga bekerja cenderung tergolong ke dalam rumah tangga tidak miskin. Kecamatan Ciampea memiliki persentase tertinggi rumah tangga dengan kepala keluarga bekerja yang termasuk ke dalam rumah tangga tidak miskin, yaitu sebesar 92,8 persen. Hal ini memperlihatkan bahwa di wilayah pengembangan Bogor Barat, status pekerjaan kepala keluarga
98
bekerja berpengaruh positif terhadap suatu rumah tangga tergolong ke dalam rumah tangga tidak miskin. Kecamatan Nanggung memiliki perbedaan dengan kecamatan lainnya di wilayah pengembangan Bogor Barat. Hal ini terlihat dengan persentase rumah tangga dengan kepala keluarga yang bekerja sebesar 52,8 persen termasuk ke dalam golongan rumah tangga miskin. Besarnya persentase tersebut didukung dengan tingginya jumlah rumah tangga di kecamatan ini yang memiliki kepala keluarga bekerja di sektor pertanian sebesar 54,9 persen, karena tenaga kerja di sektor pertanian relatif tidak mendapatkan penghasilan yang mencukupi kebutuhan sehari-hari. Tabel 58.
Kaitan antara Status Kemiskinan dan Status Pekerjaan di Wilayah Pengembangan Bogor Barat Tahun 2006
Kecamatan Nilai Chi-Square Ciampea 0,039 Cibungbulang 2,580 Cigudeg 0,554 Jasinga 1,009 Leuwiliang 0,074 Leuwisadeng 10,477 Nanggung 0,028 Pamijahan 4,921 Rumpin 6,871 Sukajaya 16,688 Tenjo 3,121 Keterangan : *) nyata pada taraf lima persen
P-Value 0,843 0,108 0,457 0,315 0,786 0,001* 0,867 0,027* 0,009* 0,000* 0,077
Koefisien Korelasi 0,003 0,030 0,015 0,014 0,005 0,055 0,006 0,037 0,037 0,058 0,031
Tabel 58 memperlihatkan bahwa di wilayah pengembangan Bogor Barat hanya di Kecamatan Leuwisadeng, Pamijahan, Rumpin, dan Sukajaya yang memiliki keterkaitan antara status kemiskinan dengan status pekerjaan. Hal ini mengindikasikan jika kepala keluarga bekerja cenderung termasuk ke dalam golongan rumah tangga tidak miskin. Persentase rumah tangga yang memiliki
99
kepala rumah tangga bekerja lebih banyak tergolong ke dalam rumah tangga tidak miskin yaitu sebesar 72 persen di Kecamatan Leuwisadeng. Pada Kecamatan Pamijahan, Rumpin, dan Sukajaya juga terjadi hal yang serupa yaitu persentase rumah tangga yang bekerja lebih banyak tergolong ke dalam rumah tangga tidak miskin. Tetapi hubungan keeratan di empat kecamatan tersebut tergolong sangat lemah.
6.2
Wilayah Pengembangan Bogor Tengah Hubungan status kemiskinan dengan status pekerjaan di wilayah
pengembangan Bogor Tengah dilihat dari Gambar 6 dan Gambar 7. Berdasarkan Gambar 6, diperlihatkan bahwa rumah tangga dengan kepala keluarga bekerja cenderung termasuk ke dalam rumah tangga tidak miskin. Kecamatan Bojong Gede memiliki persentase tertinggi rumah tangga dengan kepala keluarga bekerja yang termasuk ke dalam rumah tangga tidak miskin, yaitu sebesar 99,6 persen. Hal ini sesuai dengan tingkat kemiskinan Kecamatan Bojong Gede yang hanya 0,5 persen. Kecamatan Ciseeng memiliki persentase tertinggi rumah tangga yang memiliki kepala keluarga bekerja termasuk ke dalam rumah tangga miskin, yaitu sebesar 27,7 persen. Hal ini sesuai dengan tingkat kemiskinan di Kecamatan Ciseeng yang tertinggi diantara kecamatan lainnya di wilayah pengembangan Bogor Tengah. Hal ini memperlihatkan bahwa di wilayah pengembangan Bogor Tengah, status pekerjaan kepala keluarga bekerja berpengaruh negatif terhadap suatu rumah tangga tergolong ke dalam rumah tangga miskin.
100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0%
Tidak miskin Babakan Madang Bojong Gede Caringin Cibinong Cigombong Cijeruk Ciomas Cisarua Ciseeng Citeureup Dramaga Gunung Sindur Kemang Megamendung Parung Sukaraja Tajurhalang Tamansari
Persentase rumah tangga
100
Miskin
Kecamatan
Sumber : Susda Kabupaten Bogor Tahun 2006 Gambar 6.
Persentase Rumah Tangga Miskin dan Tidak Miskin dengan Kepala Keluarga Bekerja di Wilayah Pengembangan Bogor Tengah Tahun 2006
Berdasarkan Gambar 7, diperlihatkan bahwa rumah tangga dengan kepala keluarga menganggur cenderung termasuk ke dalam rumah tangga tidak miskin. Kecamatan Cibinong memiliki persentase tertinggi rumah tangga dengan kepala keluarga pengangguran yang termasuk ke dalam rumah tangga tidak miskin, yaitu sebesar seratus persen. Sedangkan Kecamatan Ciseeng memiliki persentase terendah yaitu sebesar 67 persen rumah tangga dengan kepala keluarga pengangguran di wilayah ini termasuk ke dalam rumah tangga tidak miskin. Hal ini memperlihatkan bahwa di wilayah pengembangan Bogor Tengah, status pekerjaan kepala keluarga pengangguran tidak berpengaruh terhadap rumah tangga yang tergolong ke dalam rumah tangga miskin.
100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0%
Tidak miskin Babakan Madang Bojong Gede Caringin Cibinong Cigombong Cijeruk Ciomas Cisarua Ciseeng Citeureup Dramaga Gunung Sindur Kemang Megamendung Parung Sukaraja Tajurhalang Tamansari
Persentase rumah tangga
101
Miskin
Kecamatan
Sumber : Susda Kabupaten Bogor Tahun 2006 Gambar 7.
Persentase Rumah Tangga Miskin dan Tidak Miskin dengan Kepala Keluarga Menganggur di Wilayah Pengembangan Bogor Tengah Tahun 2006
Tabel 59 memperlihatkan bahwa di wilayah pengembangan Bogor Tengah hanya di Kecamatan Bojong Gede, Cijeruk, Ciomas, Gunung Sindur, dan Tajurhalang yang memiliki keterkaitan antara status kemiskinan dengan status pekerjaan. Hal ini mengindikasikan bahwa jika kepala keluarga bekerja maka cenderung rumah tangga termasuk ke dalam golongan rumah tangga tidak miskin. Di Kecamatan Bojong Gede, persentase rumah tangga yang memiliki kepala rumah tangga bekerja lebih banyak tergolong ke dalam rumah tangga tidak miskin yaitu sebesar 99,6 persen. Pada Kecamatan Cijeruk, Ciomas, Gunung Sindur, dan Tajurhalang juga terjadi hal yang serupa yaitu persentase rumah tangga yang bekerja lebih banyak tergolong ke dalam rumah tangga tidak miskin. Tetapi hubungan keeratan di lima kecamatan tersebut tergolong sangat lemah.
102
Tabel 59.
Kaitan antara Status Kemiskinan dan Status Pekerjaan di Wilayah Pengembangan Bogor Tengah Tahun 2006
Kecamatan Nilai Chi-Square Babakan Madang 1,550 Bojong Gede 7,921 Caringin 0,041 Cibinong 0,611 Cigombong 0,620 Cijeruk 6,066 Ciomas 14,585 Cisarua 3,592 Ciseeng 1,590 Citeureup 0,600 Dramaga 0,025 Gunung Sindur 38,524 Kemang 3,268 Megamendung 0,924 Parung 2,479 Sukaraja 1,733 Tajurhalang 12,987 Tamansari 0,061 Keterangan : *) nyata pada taraf lima persen 6. 3
P-Value 0,213 0,005* 0,840 0,435 0,431 0,014* 0,000* 0,058 0,207 0,438 0,874 0,000* 0,071 0,336 0,115 0,188 0,000* 0,805
Koefisien Korelasi 0,025 0,099 0,003 0,018 0,017 0,030 0,048 0,027 0,021 0,014 0,002 0,092 0,024 0,012 0,022 0,020 0,042 0,003
Wilayah Pengembangan Bogor Timur Hubungan status kemiskinan dengan status pekerjaan di wilayah
pengembangan Bogor Timur dilihat dari Gambar 8 dan Gambar 9. Berdasarkan Gambar 8, diperlihatkan bahwa rumah tangga dengan kepala keluarga bekerja cenderung termasuk ke dalam rumah tangga tidak miskin. Kecamatan Gunung Putri memiliki persentase tertinggi rumah tangga dengan kepala keluarga bekerja yang termasuk ke dalam rumah tangga tidak miskin, yaitu sebesar 98,7 persen. Kecamatan Tanjung Sari memiliki persentase terendah rumah tangga dengan kepala keluarga yang termasuk ke dalam rumah tangga tidak miskin sebesar 58 persen. Hal ini memperlihatkan bahwa di wilayah pengembangan Bogor Timur,
103
status pekerjaan kepala keluarga bekerja tidak berpengaruh terhadap status sebagai rumah tangga miskin. 100% Persentase rumah tangga
90% 80% 70% 60% 50% 40%
Tidak miskin
30%
Miskin
20% 10% 0% Cariu
Cileungsi
Gunung Putri
Jonggol Tanjung Sari
Kecamatan
Sumber : Susda Kabupaten Bogor Tahun 2006 Gambar 8.
Persentase Rumah Tangga Miskin dan Tidak Miskin dengan Kepala Keluarga Bekerja di Wilayah Pengembangan Bogor Timur Tahun 2006
Berdasarkan Gambar 9, diperlihatkan bahwa rumah tangga dengan kepala keluarga pengangguran cenderung termasuk ke dalam rumah tangga tidak miskin. Kecamatan Gunung Putri memiliki persentase tertinggi rumah tangga dengan kepala keluarga pengangguran yang termasuk ke dalam rumah tangga tidak miskin, yaitu sebesar 92,5 persen. Sedangkan Kecamatan Tanjung Sari memiliki persentase terendah yaitu sebesar 53,4 persen rumah tangga dengan kepala keluarga pengangguran di wilayah ini termasuk ke dalam rumah tangga tidak miskin. Hal ini memperlihatkan bahwa di wilayah pengembangan Bogor Timur, status pekerjaan kepala keluarga pengangguran tidak berpengaruh terhadap suatu rumah tangga dinyatakan miskin.
104
100% Persentase rumah tangga
90% 80% 70% 60% 50% 40%
Tidak miskin
30%
Miskin
20% 10% 0% Cariu
Cileungsi
Gunung Putri
Jonggol Tanjung Sari
Kecamatan
Sumber : Susda Kabupaten Bogor Tahun 2006 Gambar 9.
Persentase Rumah Tangga Miskin dan Tidak Miskin dengan Kepala Keluarga Pengangguran di Wilayah Pengembangan Bogor Timur Tahun 2006
Tabel 60 memperlihatkan bahwa di wilayah pengembangan Bogor Timur hanya di Kecamatan Gunung Putri dan Jonggol yang memiliki keterkaitan antara status kemiskinan dengan status pekerjaan. Hal ini mengindikasikan bahwa terdapat hubungan antara status kemiskinan dan status pekerjaan, yaitu jika kepala keluarga bekerja maka cenderung rumah tangga termasuk ke dalam golongan rumah tangga tidak miskin. Tabel 60.
Kaitan antara Status Kemiskinan dan Status Pekerjaan di Wilayah Pengembangan Bogor Timur Tahun 2006
Kecamatan Nilai Chi-Square P-Value Cariu 0,440 0,507 Cileungsi 2,165 0,141 Gunung Putri 10,818 0,001* Jonggol 7,634 0,006* Tanjung Sari 0,473 0,492 Keterangan : *) nyata pada taraf lima persen
Koefisien Korelasi 0,012 0,022 0,059 0,032 0,014
105
Berdasarkan Tabel 60, status pekerjaan di Kecamatan Gunung Putri berpengaruh nyata dengan status kemiskinan pada tarafa nyata 5 persen. Persentase rumah tangga di Kecamatan Gunung Putri yang memiliki kepala rumah tangga bekerja lebih banyak tergolong ke dalam rumah tangga tidak miskin yaitu sebesar 98,7 persen. Pada Kecamatan Jonggol juga terjadi hal yang serupa yaitu persentase rumah tangga yang bekerja lebih banyak tergolong ke dalam rumah tangga tidak miskin yaitu sebesar 68,3 persen. Tetapi hubungan keeratan di dua kecamatan tersebut tergolong sangat lemah.
106
VII. KARAKTERISTIK PEMBEDA RUMAH TANGGA MISKIN DAN TIDAK MISKIN DI KABUPATEN BOGOR Karakteristik yang membedakan rumah tangga miskin dan tidak miskin sangat penting untuk dianalisis karena dengan mengetahui karakteristik dominan tersebut dapat diketahui indikator mana yang dapat dijadikan indikator utama dalam mengukur kemiskinan. Sehingga akan memudahkan dalam membuat kebijakan-kebijakan yang efektif dalam menanggulangi kemiskinan di Kabupaten Bogor. Indikator-indikator kemiskinan dianalisis dengan menggunakan analisis CHAID. Dengan analisis tersebut diperoleh dendogram yang dapat menjelaskan indikator-indikator yang yang memisahkan status kemiskinan pada rumah tangga di tiga wilayah pengembangan Kabupaten Bogor.
7.1
Wilayah Pengembangan Bogor Barat Dengan menggunakan analisis CHAID , maka dihasilkan dendogram yang
memisahkan indikator kemiskinan yang memiliki pengaruh signifikan terhadap status kemiskinan di wilayah Bogor Barat seperti terlihat pada Gambar 9 dengan taraf nyata α = 0,05. Hasil analisis CHAID menunjukkan bahwa pembeda utama rumah tangga miskin dan tidak miskin di wilayah Bogor Barat adalah kepemilikan aset, luas lantai bangunan tempat tinggal, frekuensi pembelian pakaian baru dalam setahun, jenis dinding bangunan tempat tinggal, sumber penerangan, jenis pekerjaan, kemampuan berobat, dan frekuensi makan dalam sehari. Dari hasil dendogram memperlihatkan bahwa peubah pertama yang terpilih untuk memisahkan status kemiskinan rumah tangga di wilayah pengembangan Bogor Barat adalah kepemilikan aset. Sebanyak 24.962 rumah
107
tangga mempunyai kepemilikan aset lebih besar dari Rp 500.000 dan 13.652 rumah tangga mempunyai kepemilikan aset kurang dari Rp 500.000. Rumah tangga yang memiliki kepemilikan aset lebih besar dari Rp 500.000 lebih banyak yang berstatus rumah tangga tidak miskin yaitu sebesar 92,04 persen dan sisanya sebesar 7,96 persen berstatus rumah tangga miskin. Rumah tangga yang mempunyai kepemilikan aset lebih besar dari Rp 500.000 selanjutnya dibagi menjadi dua kelompok berdasarkan luas lantai bangunan tempat tinggal. Rumah tangga yang memiliki luas lantai lebih besar dari 8 m2 per orang sebesar 17.804 rumah tangga dan 7.158 rumah tangga memiliki luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8 m2 per orang. Kelompok rumah tangga pertama lebih banyak didominasi oleh rumah tangga tidak miskin (97,17 persen) dan sisanya sebesar 2,83 persen rumah tangga berstatus miskin. Begitupun dengan kelompok rumah tangga kedua yang lebih banyak didominasi oleh rumah tangga yang berstatus tidak miskin sebesar 79,27 persen dan yang berstatus rumah tangga miskin sebesar 20,73 persen. Kelompok rumah tangga yang mempunyai kepemilikan aset lebih besar Rp 500.000 dan memiliki luas lantai lebih besar dari 8 m2 kemudian dibagi lagi menjadi dua kelompok berdasarkan kemampuan berobat. Kelompok rumah tangga yang mampu membayar untuk berobat ke Puskesmas atau Poliklinik sebanyak 16.856 rumah tangga dan rumah tangga yang tidak mampu membayar untuk berobat sebanyak 948 rumah tangga. Kelompok rumah tangga pertama lebih banyak didominasi oleh masyarakat yang berstatus tidak miskin (98,05 persen) dan sisanya merupakan masyarakat berstatus miskin (1,85 persen). Begitupun untuk kelompok rumah tangga kedua, kelompok ini lebih banyak didominasi oleh
108
rumah tangga yang berstatus tidak miskin (81,43 persen) dan 18,57 persen rumah tangga berstatus miskin. Kelompok rumah tangga yang mempunyai kepemilikan aset lebih besar dari Rp 500.000 dan memiliki luas lantai lebih besar dari 8m2 dan memiliki kemampuan untuk berobat terakhir dikelompokan berdasarkan jenis pekerjaan yaitu bidang pertanian dan non pertanian. Kelompok rumah tangga pertama sebesar 2.738 rumah tangga dan kelompok rumah tangga yang kepala keluarga bekerja di sektor non pertanian sebesar 14.117 rumah tangga. Rumah tangga yang memiliki kepala keluarga yang bekerja di bidang pertanian lebih banyak berstatus tidak miskin (91,08 persen). Begitupun untuk masyarakat yang memiliki kepala keluarga yang berkerja di bidang pekerjaan non pertanian, mereka lebih banyak berstatus tidak miskin (99,21 persen). Peubah terakhir pengelompokan rumah tangga yang mempunyai kepemilikan aset lebih besar dari Rp 500.000 dan memiliki luas lantai lebih besar dari 8 m2 per orang dan tidak memiliki kemampuan membayar untuk berobat adalah jenis dinding bangunan tempat tinggal. Rumah tangga yang memiliki jenis dinding rumah dari tembok kebanyakan berstatus rumah tangga tidak miskin (94,16 persen), sedangkan bagi rumah tangga yang memiliki jenis dinding rumah dari kayu, tembok, dan lainnya mayoritas rumah tangga berstatus miskin (58,52 persen). Selanjutnya kelompok rumah tangga yang mempunyai kepemilikan aset lebih besar dari Rp 500.000 dan memiliki luas lantai kurang dari dari 8 m2 per orang dibagi menjadi dua kelompok rumah tangga berdasarkan jenis dinding. Kelompok rumah tangga pertama berdinding tembok sebanyak 5.102 rumah
109
tangga dan kelompok kedua berdinding kayu, bambu, dan lain-lain sebanyak 2.056 rumah tangga. Kelompok rumah tangga pertama mayoritas adalah rumah tangga berstatus tidak miskin (92,.36 persen), sedangkan kelompok rumah tangga kedua lebih didominasi oleh masyarakat berstatus miskin (53,21 persen). Kelompok rumah yang mempunyai kepemilikan lebih dari Rp 500.000 dan memiliki luas lantai kurang dari 8 m2 per orang dan berdinding tembok terakhir dikelompokan berdasarkan kemampuan membayar untuk berobat yaitu rumah yang mampu berobat sebesar 4.650 rumah tangga dan masyarakat yang tidak mampu berobat sebesar 452 rumah tangga. Rumah tangga yang mampu berobat lebih banyak bestatus tidak miskin (95,44 persen), begitupun rumah tangga yang tidak mampu berobat lebih banyak berstatus tidak miskin (60,62 persen). Peubah terakhir yang megelompokan masyarakat yang mempunyai kepemilikan aset lebih dari Rp 500.000 dan memiliki luas lantai kurang dari 8m2 per orang dan berdinding kayu, bambu, dan lain-lain adalah pembelian pakaian baru dalam 1 tahun. Rumah tangga yang melakukan pembelian pakaian kurang dari 1 stel per tahunnya lebih banyak berstatus miskin (66,76 persen), sedangkan rumah tangga yang melakukan dapat melakukan pembelian pakaian lebih dari 2 stel per tahunnya lebih banyak berstatus tidak miskin (82,62 persen). Hasil dendogram pada Gambar 9 juga memperlihatkan bahwa rumah tangga yang memiliki kepemilikan aset kurang dari Rp 500.000 lebih banyak yang berstatus rumah tangga miskin yaitu sebesar 56,07 persen dan sisanya sebesar 43,93 persen berstatus rumah tangga tidak miskin. Rumah tangga yang
110
mempunyai kepemilikan aset kurang dari Rp 500.000 selanjutnya dibagi menjadi dua kelompok berdasarkan kriteria luas lantai bangunan tempat tinggal. Rumah tangga yang memiliki luas lantai lebih besar dari 8 m2 per orang sebesar 7.815 rumah tangga dan 5.837 rumah tangga memiliki luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8 m2 per orang. Kelompok rumah tangga pertama lebih banyak didominasi oleh rumah tangga tidak miskin (59,49 persen) dan sisanya sebesar 40,51 persen rumah tangga berstatus miskin. Sedangkan kelompok rumah tangga kedua lebih banyak didominasi oleh rumah tangga yang berstatus miskin sebesar 76,89 persen dan yang berstatus rumah tangga tidak miskin sebesar 23,11 persen. Kelompok rumah tangga yang mempunyai kepemilikan aset kurang dari Rp 500.000 dan memiliki luas lantai lebih besar dari 8 m2 per orang kemudian dibagi lagi menjadi dua kelompok berdasarkan jenis dinding bangunan tempat tinggal. Kelompok rumah tangga yang menggunakan tembok sebagai dinding bangunan tempat tinggal sebanyak 4.509 rumah tangga dan rumah tangga yang menggunakan kayu, bambu atau lainnya sebanyak 3.306 rumah tangga. Kelompok rumah tangga pertama lebih banyak didominasi oleh masyarakat yang berstatus tidak miskin (84,52 persen) dan sisanya merupakan masyarakat berstatus miskin (15,48 persen). Sedangkan untuk kelompok rumah tangga kedua mayoritas rumah tangga yang berstatus miskin (74,65 persen) dan 25,35 persen rumah tangga berstatus tidak miskin. Kelompok rumah tangga yang mempunyai kepemilikan aset kurang dari Rp 500.000 dan memiliki luas lantai lebih besar dari 8 m2 dan menggunakan tembok sebagai dinding bangunan empat tinggal terakhir dikelompokan
111
berdasarkan jenis pekerjaan kepala keluarga yaitu bidang pertanian dan non pertanian. Kelompok rumah tangga pertama sebesar 1.131 rumah tangga dan kelompok rumah tangga yang memiliki kepala keluarga bekerja di sektor non pertanian sebesar 3.378 rumah tangga. Rumah tangga yang memiliki kepala keluarga yang bekerja di bidang pertanian lebih banyak berstatus tidak miskin (58,62 persen). Begitupun untuk masyarakat yang memiliki kepala keluarga yang berkerja di bidang pekerjaan non pertanian, mereka lebih banyak berstatus tidak miskin (93,19 persen). Peubah terakhir pengelompokan rumah tangga yang mempunyai kepemilikan aset kurang dari Rp 500.000 dan memiliki luas lantai lebih besar dari 8m2 per orang dan menggunakan kayu, bambu atau lainnya sebagai dinding bangunan adalah jenis pekerjaan kepala keluarga. Rumah tangga yang memiliki kepala keluarga yang bekerja di sektor pertanian mayoritas berstatus rumah tangga miskin (93,37 persen). Hal ini pun terjadi dengan rumah tangga yang memiliki kepala keluarga yang bekerja di sektor non pertanian, mayoritas rumah tangga tersebut berstatus miskin (63,26 persen). Sementara itu, kelompok rumah tangga yang mempunyai kepemilikan aset kurang dari Rp 500.000 dan memiliki luas lantai kurang dari dari 8 m2 per orang dibagi menjadi dua kelompok rumah tangga berdasarkan frekuensi pembelian pakaian baru dalam setahun. Kelompok rumah tangga pertama tidak dapat membeli atau hanya dapat membeli satu stel pakaian baru dalam setahun sebanyak 4.929 rumah tangga. Kelompok kedua dapat membeli dua stel atau lebih pakaian baru dalam setahun sebanyak 908 rumah tangga. Kelompok rumah tangga pertama mayoritas adalah rumah tangga berstatus miskin (82,94 persen),
112
sedangkan kelompok rumah tangga kedua lebih didominasi oleh masyarakat berstatus tidak miskin (55,95 persen). Kelompok masyarakat yang mempunyai kepemilikan aset kurang dari Rp 500.000 dan memiliki luas lantai kurang dari 8 m2 per orang dan frekuensi pembelian pakaian baru dalam setahun hanya satu stel atau bahkan tidak mampu membeli terakhir dikelompokan berdasarkan jenis dinding. Kelompok pertama yaitu rumah tangga yang menggunakan tembok sebagai dinding rumah sebesar 1.940 rumah tangga dan sisanya sebesar 2.989 rumah tangga menggunakan kayu, bambu atau lainnya sebagai dinding bangunan tempat tinggal. Rumah tangga yang menggunakan tembok sebagai dinding rumah lebih banyak bestatus miskin (60,05 persen), begitupun rumah tangga yang kayu, bambu atau lainnya sebagai dinding bangunan tempat tinggal lebih banyak berstatus miskin (97,79 persen). Peubah terakhir yang megelompokan rumah tangga yang mempunyai kepemilikan aset kurang dari Rp 500.000 dan memiliki luas lantai kurang dari 8 m2 per orang dan mampu membeli dua stel atau lebih pakaian baru dalam setahun adalah sumber penerangan. Rumah tangga yang menggunakan minyak tanah sebagai sumber penerangan lebih banyak berstatus rumah tangga miskin (91,61 persen), sedangkan rumah tangga yang menggunakan PLN, genset/diesel, listrik swasta, petromak maupun sumber penerangan lainnya lebih banyak berstatus rumah tangga tidak miskin (64,84 persen).
113 Gambar 10. Dendogram CHAID Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kemiskinan di Wilayah Pengembangan Bogor Barat
114
7.2
Wilayah Pengembangan Bogor Tengah Hasil analisis CHAID yang ditunjukkan dengan dendogram pada Gambar
10 menunjukkan bahwa karakteristik yang membedakan rumah tangga miskin dan tidak miskin di wilayah Bogor Tengah dengan taraf nyata α = 0,05 adalah kepemilikan aset, kemampuan berobat, jenis pekerjaan, jenis dinding, luas lantai bangunan tempat tinggal, fasilitas buang air besar, dan frekuensi makan dalam sehari. Dari hasil dendogram memperlihatkan bahwa peubah pertama yang terpilih untuk memisahkan status kemiskinan rumah tangga di wilayah pengembangan Bogor Tengah adalah kepemilikan aset. Sebanyak 63.240 rumah tangga mempunyai kepemilikan aset lebih besar dari Rp 500.000 dan 20.071 rumah tangga mempunyai kepemilikan aset kurang dari Rp 500.000. Rumah tangga yang memiliki kepemilikan aset lebih besar dari Rp 500.000 lebih banyak yang berstatus rumah tangga tidak miskin yaitu sebesar 97,59 persen dan sisanya sebesar 2,41 persen berstatus rumah tangga miskin. Rumah tangga yang mempunyai kepemilikan aset lebih besar dari Rp 500.000 selanjutnya dibagi menjadi dua kelompok berdasarkan kemampuan membayar untuk berobat di Puskesmas atau Poliklinik. Rumah tangga yang mampu membayar untuk berobat sebesar 60.104 rumah tangga dan 3.136 rumah tangga tidak mampu untuk berobat ke Puskesmas atau Poliklinik. Kelompok rumah tangga pertama lebih banyak didominasi oleh rumah tangga tidak miskin (98,39 persen) dan sisanya sebesar 1,61 persen rumah tangga berstatus miskin. Begitupun dengan kelompok rumah tangga kedua yang lebih banyak didominasi
115
oleh rumah tangga yang berstatus tidak miskin sebesar 82,24 persen dan yang berstatus rumah tangga miskin sebesar 17,76 persen. Kelompok rumah tangga yang mempunyai kepemilikan aset lebih besar Rp 500.000 dan mampu untuk berobat kemudian dibagi lagi menjadi dua kelompok berdasarkan jenis pekerjaan. Kelompok rumah tangga yang memiliki kepala keluarga yang bekerja di sektor pertanian sebanyak 5.704 rumah tangga dan rumah tangga yang memiliki kepala keluarga yang bekerja di sektor non pertanian sebanyak 54.400 rumah tangga. Kelompok rumah tangga pertama lebih banyak didominasi oleh masyarakat yang berstatus tidak miskin (92,11 persen) dan sisanya merupakan masyarakat berstatus miskin (7,89 persen). Begitupun untuk kelompok rumah tangga kedua, kelompok ini lebih banyak didominasi oleh rumah tangga yang berstatus tidak miskin (99,05 persen) dan 0,95 persen rumah tangga berstatus miskin. Kelompok rumah tangga yang mempunyai kepemilikan aset lebih besar dari Rp 500.000 dan mampu untuk berobat dan memiliki kepala keluarga yang bekerja di sektor pertanian terakhir dikelompokan berdasarkan luas lantai. Pertama adalah kelompok rumah tangga yang memiliki luas lantai lebih besar dari 8 m2 per orang sebanyak 4.799 rumah tangga dan kelompok rumah tangga yang memiliki luas lantai kurang dari 8 m2 per orang sebesar 905 rumah tangga. Rumah tangga yang memiliki luas lantai lebih besar dari 8 m2 per orang lebih banyak berstatus tidak miskin (96,02 persen). Begitupun untuk masyarakat yang memiliki luas lantai kurang dari 8 m2 per orang, mereka lebih banyak berstatus tidak miskin (71,38 persen).
116
Peubah terakhir pengelompokan rumah tangga yang mempunyai kepemilikan aset lebih besar dari Rp 500.000 dan mampu untuk berobat dan memiliki kepala keluarga yang bekerja di sektor non pertanian dikelompokan berdasarkan luas lantai. Rumah tangga yang memiliki luas lantai lebih besar dari 8 m2 per orang kebanyakan berstatus rumah tangga tidak miskin (99,56 persen) dan bagi rumah tangga yang memiliki luas lantai kurang dari 8 m2 per orang mayoritas rumah tangga berstatus tidak miskin (96,49 persen). Selanjutnya kelompok rumah tangga yang mempunyai kepemilikan aset lebih besar dari Rp 500.000 dan tidak mampu membayar untuk berobat dibagi menjadi dua kelompok rumah tangga berdasarkan jenis pekerjaan kepala keluarga. Kelompok rumah tangga pertama mempunyai kepala keluarga yang berkerja di sektor pertanian sebanyak 579 rumah tangga dan kelompok kedua bekerja di sektor non pertanian sebanyak 2.557 rumah tangga. Kelompok rumah tangga pertama mayoritas adalah rumah tangga berstatus tidak miskin (54,23 persen), begitupun dengan kelompok rumah tangga kedua yang lebih didominasi oleh rumah tangga berstatus tidak miskin (88,58 persen). Kelompok rumah yang mempunyai kepemilikan aset lebih dari Rp 500.000 dan tidak mampu membayar untuk berobat dan mempunyai kepala keluarga bekerja di sektor pertanian dikelompokan berdasarkan fasilitas buang air besar. Kelompok pertama yaitu rumah tangga yang memiliki sendiri fasilitas buang air besar sebanyak 267 rumah tangga dan masyarakat yang tidak memiliki sendiri fasilitas buang air besar sebanyak 312 rumah tangga. Rumah tangga yang memiliki sendiri fasilitas buang air besar mayoritas berstatus tidak miskin (83,90
117
persen), sedangkan rumah tangga yang tidak memiliki sendiri fasilitas buang air besar lebih banyak berstatus miskin (71,15 persen). Peubah terakhir yang megelompokan masyarakat yang mempunyai kepemilikan aset lebih dari Rp 500.000 dan tidak mampu membayar untuk berobat serta mempunyai kepala keluarga bekerja di sektor non pertanian dikelompokan berdasarkan luas lantai bangunan. Rumah tangga memiliki luas lantai lebih besar dari 8 m2 per orang mayoritas berstatus tidak miskin (94,20 persen), begitupun rumah tangga yang memiliki luas lantai kurang dari 8 m2 per orang lebih banyak berstatus tidak miskin (69,93 persen). Hasil dendogram pada Gambar 10 juga memperlihatkan bahwa rumah tangga yang memiliki kepemilikan aset kurang dari Rp 500.000 lebih banyak yang berstatus rumah tangga tidak miskin yaitu sebesar 64,83 persen dan sisanya sebesar 35,17 persen berstatus rumah tangga miskin. Rumah tangga yang mempunyai kepemilikan aset kurang dari Rp 500.000 selanjutnya dibagi menjadi dua kelompok berdasarkan kriteria kemampuan berobat. Rumah tangga yang mampu membayar untuk berobat sebesar 16.604 rumah tangga dan 3.467 rumah tangga tidak mampu untuk berobat. Kelompok rumah tangga pertama lebih banyak didominasi oleh rumah tangga tidak miskin (72,28 persen) dan sisanya sebesar 27,72 persen rumah tangga berstatus miskin. Sedangkan kelompok rumah tangga kedua lebih banyak didominasi oleh rumah tangga yang berstatus miskin sebesar 70,81 persen dan yang berstatus rumah tangga tidak miskin sebesar 29,19 persen. Kelompok rumah tangga yang mempunyai kepemilikan aset kurang dari Rp 500.000 dan mampu untuk berobat kemudian dibagi lagi menjadi dua
118
kelompok berdasarkan jenis pekerjaan kepala keluarga. Kelompok rumah tangga yang memiliki kepala keluarga yang bekerja di sektor pertanian sebanyak 3.520 rumah tangga dan rumah tangga yang memiliki kepala keluarga yang bekerja di sektor non pertanian sebanyak 13.084 rumah tangga. Kelompok rumah tangga pertama lebih banyak didominasi oleh rumah tangga yang berstatus miskin (56,28 persen) dan sisanya merupakan rumah tangga berstatus tidak miskin (43,72 persen). Sedangkan untuk kelompok rumah tangga kedua mayoritas rumah tangga yang berstatus tidak miskin (79,96 persen) dan 20,04 persen rumah tangga berstatus miskin. Kelompok rumah tangga yang mempunyai kepemilikan aset kurang dari Rp 500.000 dan mampu untuk berobat serta memiliki kepala rumah tangga yang bekerja di sektor pertanian terakhir dikelompokan berdasarkan frekuensi makan dalam sehari. Kelompok rumah tangga pertama yaitu yang dapat makan satu atau dua kali dalam sehari sebesar 2.149 rumah tangga dan kelompok rumah tangga yang mampu makan tiga kali atau lebih dalam sehari sebesar 1.371 rumah tangga. Rumah tangga yang dapat makan satu atau dua kali dalam sehari lebih banyak berstatus miskin (73,52 persen). Sedangkan untuk rumah tangga yang mampu makan tiga kali atau lebih dalam sehari, mereka lebih banyak berstatus tidak miskin (70,75 persen). Peubah terakhir pengelompokan rumah tangga yang mempunyai kepemilikan aset kurang dari Rp 500.000 dan memiliki kepala rumah tangga yang bekerja di sektor non pertanian adalah luas lantai bangunan. Rumah tangga yang memiliki luas lantai bangunan lebih dari 8 m2 per orang mayoritas berstatus rumah tangga tidak miskin (87,72 persen). Hal ini pun terjadi dengan rumah
119
tangga yang memiliki luas lantai bangunan kurang dari 8 m2 per orang, mayoritas rumah tangga tersebut berstatus tidak miskin (59,07 persen). Kelompok rumah tangga yang mempunyai kepemilikan aset kurang dari Rp 500.000 dan tidak mampu membayar untuk berobat di Puskesmas maupun Poliklinik dibagi menjadi dua kelompok rumah tangga berdasarkan jenis dinding rumah. Kelompok rumah tangga pertama menggunakan tembok dan lainnya sebagai dinding rumah sebanyak 2.333 rumah tangga. Kelompok kedua menggunakan kayu atau bambu sebagai dinding rumah sebanyak 1.134 rumah tangga. Kelompok rumah tangga pertama mayoritas adalah rumah tangga berstatus miskin (58,17 persen), begitupun dengan kelompok rumah tangga kedua yang lebih didominasi oleh masyarakat berstatus miskin (96,83 persen). Kelompok masyarakat yang mempunyai kepemilikan aset kurang dari Rp 500.000 dan tidak mampu membayar untuk berobat dan menggunakan tembok dan lainnya sebagai dinding bangunan tempat tinggal terakhir dikelompokan berdasarkan frekuensi makan dalam sehari. Kelompok pertama yaitu rumah tangga yang makan hanya satu atau dua kali dalam sehari sebesar 1.576 rumah tangga dan sisanya sebesar 757 rumah tangga mampu makan tiga kali atau lebih dalam sehari. Rumah tangga yang makan hanya satu atau dua kali dalam sehari lebih banyak berstatus miskin (72,02 persen), sedangkan rumah tangga yang dapat makan tiga kali atau lebih dalam sehari lebih banyak berstatus tidak miskin (70,67 persen). Peubah terakhir yang mengelompokan rumah tangga yang mempunyai kepemilikan aset kurang dari Rp 500.000 dan tidak mampu membayar untuk berobat serta menggunakan kayu atau bambu sebagai dinding bangunan tempat
120
tinggal adalah fasilitas buang air besar. Rumah tangga yang memiliki fasilitas buang air besar sendiri lebih banyak berstatus rumah tangga miskin (84,21 persen), begitupun dengan rumah tangga yang tidak memiliki fasilitas buang air besar sendiri lebih banyak berstatus rumah tangga miskin (99,07 persen).
Gambar 11. Dendogram CHAID Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kemiskinan di Wilayah Pengembangan Bogor Tengah
122
7.3
Wilayah Pengembangan Bogor Timur Hasil analisis CHAID yang ditunjukkan dengan dendogram pada Gambar
11 menunjukkan bahwa karakteristik yang membedakan rumah tangga miskin dan tidak miskin di wilayah Bogor Timur dengan taraf nyata α = 0,05 adalah kepemilikan aset, jenis pekerjaan, sumber penerangan, kemampuan berobat, frekuensi makan dalam sehari, luas lantai, jenis lantai, dan jenis dinding. Dari hasil dendogram memperlihatkan bahwa peubah pertama yang terpilih untuk memisahkan status kemiskinan rumah tangga di wilayah pengembangan Bogor Timur adalah kepemilikan aset. Sebanyak 15.158 rumah tangga mempunyai kepemilikan aset lebih besar dari Rp 500.000 dan 5.120 rumah tangga mempunyai kepemilikan aset kurang dari Rp 500.000. Rumah tangga yang memiliki kepemilikan aset lebih besar dari Rp 500.000 lebih banyak yang berstatus rumah tangga tidak miskin yaitu sebesar 92,98 persen dan sisanya sebesar 7,02 persen berstatus rumah tangga miskin. Rumah tangga yang mempunyai kepemilikan aset lebih besar dari Rp 500.000 selanjutnya dibagi menjadi dua kelompok berdasarkan jenis pekerjaan kepala keluarga. Rumah tangga yang memiliki kepala keluarga yang bekerja di sektor pertanian sebesar 2.810 rumah tangga dan 12.348 bekerja di sektor non pertanian. Kelompok rumah tangga pertama lebih banyak didominasi oleh rumah tangga tidak miskin (73,95 persen) dan sisanya sebesar 26,05 persen rumah tangga berstatus miskin. Begitupun dengan kelompok rumah tangga kedua yang lebih banyak didominasi oleh rumah tangga yang berstatus tidak miskin sebesar 97,31 persen dan yang berstatus rumah tangga miskin sebesar 2,69 persen.
123
Kelompok rumah tangga yang mempunyai kepemilikan aset lebih besar Rp 500.000 dan memiliki kepala keluarga bekerja di sektor pertanian kemudian dibagi lagi menjadi dua kelompok berdasarkan sumber penerangan. Kelompok rumah tangga yang menggunakan PLN, genset/diesel atau listrik swasta sebagai sumber penerangan sebanyak 2.605 rumah tangga dan rumah tangga yang menggunakan petromak, minyak tanah maupun sumber penerangan lainnya sebanyak 205 rumah tangga. Kelompok rumah tangga pertama lebih banyak didominasi oleh rumah tangga berstatus tidak miskin (78,46 persen) dan sisanya merupakan rumah tangga berstatus miskin (21,54 persen). Kelompok rumah tangga kedua, kelompok ini lebih banyak didominasi oleh rumah tangga berstatus miskin (83,41 persen) dan 16,59 persen rumah tangga berstatus tidak miskin. Kelompok rumah tangga yang mempunyai kepemilikan aset lebih besar dari Rp 500.000 dan memiliki kepala keluarga yang bekerja di sektor pertanian serta menggunakan PLN, genset/diesel maupun listrik swasta sebagai sumber penerangan terakhir dikelompokan berdasarkan luas lantai. Pertama adalah kelompok rumah tangga yang memiliki luas lantai lebih besar dari 8 m2 per orang sebanyak 4.799 rumah tangga dan kelompok rumah tangga yang memiliki luas lantai kurang dari 8 m2 per orang sebesar 2.301 rumah tangga. Rumah tangga yang memiliki luas lantai lebih besar dari 8 m2 per orang lebih banyak berstatus tidak miskin (82,62 persen). Rumah tangga yang memiliki luas lantai kurang dari 8 m2 per orang, mereka lebih banyak berstatus miskin (52,96 persen). Peubah terakhir pengelompokan rumah tangga yang mempunyai kepemilikan aset lebih besar dari Rp 500.000 dan memiliki kepala keluarga yang bekerja di sektor pertanian serta menggunakan petromak, minyak tanah maupun
124
sumber penerangan lainnya dikelompokan berdasarkan jenis lantai. Rumah tangga yang menggunakan keramik/marmer/granit, ubin/tegel/teraso maupun semen/bata merah kebanyakan berstatus rumah tangga miskin (54,29 persen) dan bagi rumah tangga yang menggunakan kayu/papan, bambu atau tanah sebagai lantai bangunan tempat tinggal mayoritas rumah tangga berstatus miskin (98,52 persen). Selanjutnya kelompok rumah tangga yang mempunyai kepemilikan aset lebih besar dari Rp 500.000 dan memiliki kepala keluarga yang bekerja di sektor non pertanian dibagi menjadi dua kelompok rumah tangga berdasarkan kemampuan berobat. Kelompok rumah tangga pertama mampu membayar untuk berobat di Puskesmas atau Poliklinik sebanyak 11.900 rumah tangga dan kelompok kedua tidak mampu membayar untuk berobat sebanyak 448 rumah tangga. Kelompok rumah tangga pertama mayoritas adalah rumah tangga berstatus tidak miskin (98,04 persen), begitupun dengan kelompok rumah tangga kedua yang lebih didominasi oleh rumah tangga berstatus tidak miskin (77,9 persen). Kelompok rumah yang mempunyai kepemilikan aset lebih dari Rp 500.000 dan mempunyai kepala keluarga bekerja di sektor non pertanian serta mampu untuk berobat terakhir dikelompokan berdasarkan sumber penerangan. Kelompok pertama yaitu rumah tangga yang menggunakan PLN, genset/diesel maupun listrik swasta sebanyak 11.735 rumah tangga dan rumah tangga yang menggunakan petromak, minyak tanah maupun sumber penerangan lainnya sebanyak 165 rumah tangga. Rumah tangga yang menggunakan PLN, genset/diesel maupun listrik swasta mayoritas berstatus tidak miskin (98,55 persen), begitupun rumah tangga yang menggunakan petromak, minyak tanah
125
maupun sumber penerangan lainnya lebih banyak berstatus tidak miskin (61,82 persen). Peubah terakhir yang mengelompokan masyarakat yang mempunyai kepemilikan aset lebih dari Rp 500.000 dan mempunyai kepala keluarga bekerja di sektor non pertanian serta tidak mampu membayar untuk berobat dikelompokan berdasarkan jenis dinding bangunan. Rumah tangga menggunakan tembok sebagai dinding bangunan mayoritas berstatus tidak miskin (93,85 persen), sedangkan rumah tangga yang menggunakan kayu, bambu atau lainnya lebih banyak berstatus rumah tangga miskin (64,23 persen). Hasil dendogram pada Gambar 11 juga memperlihatkan bahwa rumah tangga yang memiliki kepemilikan aset kurang dari Rp 500.000 lebih banyak yang berstatus rumah tangga miskin yaitu sebesar 69,18 persen dan sisanya sebesar 30,82 persen berstatus rumah tangga tidak miskin. Rumah tangga yang mempunyai kepemilikan aset kurang dari Rp 500.000 selanjutnya dibagi menjadi dua kelompok berdasarkan jenis pekerjaan kepala keluarga. Rumah tangga yang memiliki kepala keluarga bekerja di sektor pertanian sebesar 2.955 rumah tangga dan 2.165 rumah tangga bekerja di sektor non pertanian. Kelompok rumah tangga pertama lebih banyak didominasi oleh rumah tangga miskin (85,01 persen) dan sisanya sebesar 14,99 persen rumah tangga berstatus tidak miskin. Sedangkan kelompok rumah tangga kedua lebih banyak didominasi oleh rumah tangga yang berstatus tidak miskin sebesar 52,42 persen dan yang berstatus rumah tangga miskin sebesar 47,58 persen. Kelompok rumah tangga yang mempunyai kepemilikan aset kurang dari Rp 500.000 dan memiliki kepala keluarga bekerja di sektor pertanian kemudian
126
dibagi lagi menjadi dua kelompok berdasarkan frekuensi makan dalam sehari. Kelompok rumah tangga yang hanya dapat makan satu atau dua kali dalam sehari sebanyak 2.339 rumah tangga dan rumah tangga yang dapat makan tiga kali atau lebih dalam sehari sebanyak 616 rumah tangga. Kelompok rumah tangga pertama lebih banyak didominasi oleh rumah tangga yang berstatus miskin (90,08 persen) dan sisanya merupakan rumah tangga berstatus tidak miskin (9,92 persen). Begitupun untuk kelompok rumah tangga kedua mayoritas rumah tangga yang berstatus miskin (65,75 persen) dan 34,25 persen rumah tangga berstatus tidak miskin. Kelompok rumah tangga yang mempunyai kepemilikan aset kurang dari Rp 500.000 dan memiliki kepala rumah tangga yang bekerja di sektor pertanian serta makan satu atau dua kali dalam sehari terakhir dikelompokan berdasarkan jenis dinding bangunan. Kelompok rumah tangga pertama yaitu yang menggunakan tembok sebagai dinding bangunan sebesar 653 rumah tangga dan kelompok rumah tangga yang menggunakan kayu, bambu atau lainnya sebesar 1.686 rumah tangga. Rumah tangga yang menggunakan tembok sebagai dinding bangunan lebih banyak berstatus miskin (65,85 persen). Begitupun untuk rumah tangga yang menggunakan kayu, bambu atau lainnya, mereka lebih banyak berstatus miskin (99,47 persen). Peubah terakhir pengelompokan rumah tangga yang mempunyai kepemilikan aset kurang dari Rp 500.000 dan memiliki kepala keluarga yang bekerja di sektor pertanian serta dapat makan tiga kali atau lebih dalam sehari adalah jenis dinding bangunan. Kelompok rumah tangga pertama yaitu yang menggunakan tembok sebagai dinding bangunan sebesar 197 rumah tangga dan
127
kelompok rumah tangga yang menggunakan kayu, bambu atau lainnya sebesar 419 rumah tangga. Rumah tangga yang menggunakan tembok sebagai dinding bangunan lebih banyak berstatus tidak miskin (84,26 persen). Rumah tangga yang menggunakan kayu, bambu atau lainnya, mereka lebih banyak berstatus rumah tangga miskin (89,26 persen). Kelompok rumah tangga yang mempunyai kepemilikan aset kurang dari Rp 500.000 dan memiliki kepala keluarga bekerja di sektor non pertanian dibagi menjadi dua kelompok rumah tangga berdasarkan sumber penerangan. Kelompok rumah tangga pertama menggunakan PLN, genset/diesel maupun listrik swasta sebagai sumber penerangan sebanyak 1.642 rumah tangga. Kelompok kedua menggunakan petromak, minyak tanah maupun sumber penerangan lainnya sebanyak 523 rumah tangga. Kelompok rumah tangga pertama mayoritas adalah rumah tangga berstatus tidak miskin (64,25 persen), sedangkan kelompok rumah tangga kedua lebih didominasi oleh masyarakat berstatus miskin (84,70 persen). Kelompok masyarakat yang mempunyai kepemilikan aset kurang dari Rp 500.000 dan memiliki kepala keluarga yang bekerja di sektor non pertanian serta menggunakan PLN, genset/diesel maupun listrik swasta sebagai sumber penerangan terakhir dikelompokan berdasarkan frekuensi makan dalam sehari. Kelompok pertama yaitu rumah tangga yang makan hanya satu atau dua kali dalam sehari sebanyak 1.197 rumah tangga dan sisanya sebesar 445 rumah tangga mampu makan tiga kali atau lebih dalam sehari. Rumah tangga yang makan hanya satu atau dua kali dalam sehari lebih banyak berstatus tidak miskin (55,30 persen), begitupun dengan rumah tangga yang dapat makan tiga kali atau lebih dalam sehari lebih banyak berstatus tidak miskin (88,31 persen).
128
Peubah terakhir yang mengelompokan rumah tangga yang mempunyai kepemilikan aset kurang dari Rp 500.000 dan memiliki kepala keluarga yang bekerja di sektor non pertanian serta menggunakan petromak, minyak tanah maupun sumber penerangan lainnya adalah jenis dinding bangunan tempat tinggal. Rumah tangga yang menggunakan tembok dan jenis dinding lainnya lebih banyak berstatus rumah tangga miskin (53,62 persen), begitupun dengan rumah tangga yang menggunakan kayu atau bambu sebagai dinding bangunan lebih banyak berstatus rumah tangga miskin (95,84 persen).
Gambar 12. Dendogram CHAID Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kemiskinan di Wilayah Pengembangan Bogor Timur
130
7.4
Implikasi Kebijakan Karakteristik rumah tangga miskin di tiga wilayah pengembangan yaitu
Bogor Barat, Bogor Tengah, dan Bogor Timur menunjukkan kondisi yang tidak jauh berbeda. Hal ini terlihat dari masih banyaknya rumah tangga miskin yang memiliki kondisi tempat tinggal yang tidak layak, pendidikan kepala keluarga yang masih rendah, dan daya beli yang masih rendah. Karakteristik yang membedakan rumah tangga miskin dan tidak miskin di tiga wilayah pengembangan di Kabupaten Bogor berbeda-beda. Karakteristik yang membedakan rumah tangga miskin di wilayah Bogor Barat adalah kepemilikan aset, luas lantai bangunan tempat tinggal, frekuensi pembelian pakaian baru dalam setahun, jenis dinding bangunan tempat tinggal, sumber penerangan, jenis pekerjaan, kemampuan berobat, dan frekuensi makan dalam sehari. Karakteristik yang membedakan rumah tangga miskin di wilayah Bogor Tengah adalah kepemilikan aset, kemampuan membayar untuk berobat ke Puskesmas/Poliklinik, jenis pekerjaan, jenis dinding, luas lantai bangunan tempat tinggal, fasilitas buang air besar, dan frekuensi makan dalam sehari. Karakteristik yang membedakan rumah tangga miskin di wilayah Bogor Timur adalah kepemilikan aset, jenis pekerjaan, sumber penerangan, kemampuan membayar untuk berobat ke Puskesmas/Poliklinik, frekuensi makan dalam sehari, luas lantai, jenis lantai, dan jenis dinding. Berdasarkan hasil dan pembahasan maka beberapa implikasi kebijakan yang dapat diajukan, antara lain :
131
1. Memberdayakan Ekonomi Masyarakat Hal ini ditujukan untuk meningkatkan daya beli masyarakat, dengan daya beli yang meningkat maka akan menyelaraskan akses masyarakat terhadap sarana pendidikan dan kesehatan. Cara yang menjadi prioritas untuk meningkatkan daya beli masyarakat adalah dengan kursus dan pelatihan maupun dengan pemberian bantuan berupa sarana produksi pertanian. Kursus dan pelatihan berguna untuk meningkatkan keterampilan masyarakat sehingga dapat memenuhi kualifikasi kerja yang diharapkan. 2. Memperbanyak Pembangunan Infrastruktur Pembangunan infrastruktur ditujukan untuk mengurangi pengeluaran masyarakat dalam mengakses sarana pelayanan umum akibat kurangnya fasilitas yang tersedia. Infrastruktur yang dapat dibangun antara lain sarana transportasi, komunikasi, dan permodalan yang dapat mempermudah masyarakat dalam mengakses pelayanan umum. 3. Memperluas Jaringan Kerja dan Kemitraan Institut Pertanian Bogor dan berbagai pusat penelitian, Balai Besar Penelitian Pertanian dan industri lainnya dapat dimanfaatkan untuk menjalin jaringan
kerja
dan
kemitraan.
Lembaga-lembaga
tersebut
dapat
mengembangkan inovasi bagi pengembangan dunia usaha agar dapat meningkatkan serapan tenaga kerja lokal. 4. Meningkatkan Penyerapan Tenaga Kerja Peningkatan
penyerapan
tenaga
kerja
dapat
dilakukan
melalui
mengembangkan kesepakatan dengan investor-investor di wilayah Kabupaten Bogor untuk menggunakan tenaga kerja local. Selain itu, peningkatan
132
penyerapan tenaga kerja juga dapa dilakukan dengan memanfaatkan program CSR (Corporate Social Responsibility) dari perusahaan menengah dan besar untuk meningkatkan keterampilan dan pengembangan sektor usaha kecil, mikro atau rumahtangga.
133
VII. KESIMPULAN DAN SARAN 8.1 Kesimpulan 1.
Jumlah rumah tangga miskin di Kabuapten Bogor sebesar 16,06 persen, dengan urutan jumlah rumah tangga miskin terbesar berada di wilayah pengembangan Bogor Barat sebesar 25 persen. Jumlah rumah tangga miskin di wilayah pengembangan Bogor Tengah sebesar 22,77 persen, dan Bogor Timur sebesar 10,3 persen.
2.
Status pekerjaan kepala keluarga tidak berpengaruh terhadap status kemiskinan rumah tangga di Kabupaten Bogor. Hanya di Kecamatan Leuwisadeng, Pamijahan, Rumpin, Sukajaya, Bojong Gede, Cijeruk, Ciomas, Gunung Sindur, Tajurhalang, Gunung Putri, dan Jonggol yang memiliki keterkaitan antara status kemiskinan dengan status pekerjaan kepala keluarga dengan keterkaitan yang sangat lemah sangat lemah
3.
Karakteristik yang membedakan rumah tangga miskin di wilayah Bogor Barat adalah kepemilikan aset, luas lantai bangunan tempat tinggal, frekuensi pembelian pakaian baru dalam setahun, jenis dinding bangunan tempat tinggal, sumber penerangan, jenis pekerjaan, kemampuan berobat, dan frekuensi makan dalam sehari. Karakteristik yang membedakan rumah tangga miskin di wilayah Bogor Tengah adalah kepemilikan aset, kemampuan membayar untuk berobat ke Puskesmas/Poliklinik, jenis pekerjaan, jenis dinding, luas lantai bangunan tempat tinggal, fasilitas buang air besar, dan frekuensi makan dalam sehari. Karakteristik yang membedakan rumah tangga miskin di wilayah Bogor Timur adalah kepemilikan aset, jenis pekerjaan, sumber penerangan, kemampuan
134
membayar untuk berobat ke Puskesmas/Poliklinik, frekuensi makan dalam sehari, luas lantai, jenis lantai, dan jenis dinding. 8.2 Saran Berdasarkan hasil, pembahasan, dan kesimpulan yang didapat, maka saran yang dapat diajukan oleh penelitian ini antara lain : 1. Program penanggulangan kemiskinan hendaknya difokuskan pada wilayah yang memiliki persentase rumah tangga miskin yang tinggi, yaitu Kecamatan Nanggung, Sukajaya, Ciseeng, Cijeruk, Tanjung Sari, dan Cariu. 2. Pemerintah perlu melakukan pelatihan-pelatihan keterampilan untuk menambah penghasilan bagi rumah tangga di Kabupaten Bogor. 3. Sebaiknya dilakukan penelitian mengenai karakteristik kemiskinan yang mencakup seluruh kecamatan di Kabupaten Bogor.
135
DAFTAR PUSTAKA
Anas, A. 2006. Analisis Kebijakan Moneter dalam Menstabilkan Inflasi dan Pengangguran di Indonesia. Skripsi. Departemen Ilmu Ekonomi. Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Badan Pusat Statistik. 2005. Statistik Indonesia. BPS. Jakarta Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor. 2007. Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Bogor Tahun 2006. BPS Kabupaten Bogor. Bogor Badan Pusat Statistik. 2007. ‘Tingkat Kemiskinan di Indonesia Tahun 2007’. BPS. Jakarta. Du Toit, et al. 1986. Graphical Exploratory Data Analysis. Springer-Verlag. New York Gozali, I. 2007. Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS. Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Semarang Handari, D.A.M. 2006. Dampak Investasi Sektor Pertanian terhadap Perekonomian di Indonesia (Analisis Input-Outpt). Skripsi. Departemen Ilmu Ekonomi. Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Kusumaningtyas, A.D. 2006. Kemiskinan Masyarakat di Sekitar Kawasan Industri JABABEKA (Studi Kasus Desa Pasir Gombong, Kecamatan Cikarang Utara, Kabupaten Bekasi, Provinsi Jawa Barat). Skripsi. Program Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Lains, A. 2003. Ekonometrika : Teori dan Aplikasi. Pustaka LP3ES Indonesia. Jakarta Lipsey, dkk. 1997. Pengantar Makroekonomi. Binarupa Aksara. Jakarta Nawangsih, E. 2005. Analisis Faktor Penentu Keputusan Transformasi Kerja dari Sektor Pertanian ke Sektor Non pertanian (Kasus Desa Cimahi, Kecamatan Klari, Kabupaten Karawang, Jawa Barat). Skripsi. Program Studi Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Nazir, M. 2003. Metodologi Penelitian. Penerbit Ghalia Indonesia. Jakarta
136
Noragawati. L. 2002. Faktor Penyebab Pergeseran Tenaga Kerja dari Sektor Pertanian ke Sektor Non pertanian pada Masyarakat Desa Telukpinang Kecamatan Ciawi Kabupaten Bogor. Skripsi. Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Nurhayati, M. 2007. Analisis Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Kemiskinan di Jawa Barat. Skripsi. Program Studi Ilmu Ekonomi. Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Nurjaeni. 2004. Penelusuran Karakteristik Rumah tangga Miskin dengan Menggunakan Metode CHAID (Studi Kasus : Rumah tangga di Kabupaten Kebumen). Skripsi. Departemen Statistika. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Nurlaela, F. 2003. Dampak Investasi Sektor Pertanian terhadap Perekonomian Provinsi Jawa Barat (Analisis Input-Output). Skripsi. Departemen Ilmuilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Pratama, P.F. 2008. Keterkaitan antara Karakteristik dengan Kesejahteraan Rumah Tangga di Wilayah Pembangunan Bogor Timur Kabupaten Bogor. Skripsi. Program Studi Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Rahmawati, Y.I. 2006. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kemiskinan Rumah tangga di Kabupaten Pacitan Provinsi Jawa Timur. Skripsi. Program Studi Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Rakhmat, J. 2002. Metode Penelitian Komunikasi. Cetakan Kesebelas. PT. Remaja Rosdakarya. Bandung. Romdhani, W. 2008. Pemetaan Karakteristik dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kemiskinan di Kabupaten Bogor. Skripsi. Program Studi Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Rullyanto. 2006. Analisis Pola Konsumsi Buah Impor Pada Rumah tangga Berpendapatan Tinggi di Kota Bogor. Skripsi. Program Studi Ekstensi Manajemen Agribisnis. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Rusli, dkk. 1995. Metodologi Identifikasi Golongan dan Daerah Miskin Suatu Tinjauan dan Alternatif. PT Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta.
137
Ruspayandi, T. 2006. Penskalaan Dimensi Ganda dan Autokorelasi Spasial Ukuran dan Indikator Kemiskinan Kabupaten dan Kota di Provinsi Jawa Barat. Skripsi. Program Studi Statistika. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sajogyo. 1986. Garis Kemiskinan dan Ukuran Tingkat Kesejahteraan Penduduk. Fakultas Pertanian. IPB. Bogor. Sandra, N. 2004. Dampak Kebijakan Upah Minimum terhadap Tingkat Upah dan Pengangguran di Pulau Jawa. Skripsi. Departemen Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan. Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Simaremare, R.J. 2006. Analisis Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi terhadap Tingkat Pengangguran di Indonesia: Aplikasi Hukum Okun. Skripsi. Departemen Ilmu Ekonomi. Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sukartini, E.T.. 2003. Pergeseran Tenaga Kerja dari Pertanian ke Industri Kecil (Kasus Dusun Pakemitan II, Desa Pakemitan, Kecamatan Cikatomas, Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat). Skripsi. Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sunarti. 2006. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pembelian Susu Formula Anak pada Keluarga Berpendapatan Rendah (Kasus di Kelurahan Tegallega dan Kelurahan Babakan, Kecamatan Bogor Tengah, Kota Bogor). Skripsi. Program Sarjana Ekstensi Manajemen Agribisnis. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Tambunan, T. 2003. Perekonomian Indonesia (Beberapa Masalah Penting). Ghalia Indonesia. Jakarta. ______________. 2004. Apakah Kemiskinan di Indonesia Sebuah Fenomena Pertanian?. Media Ekonomi Volume 10, hal. 89-114. Todaro, M.P. dan Stephen C.S. 2004. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Erlangga. Jakarta. Widianti, N. 2004. Analisis Perilaku Konsumen Rumah tangga terhadap Buahbuahan Tropika (Studi Kasus di Kelurahan Tegallega Kecamatan Bogor Tengah Kota Bogor). Skripsi. Program Sarjana Ekstensi Manajemen Agribisnis. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
138
Wiraswara, A. 2005. Pertumbuhan Ekonomi dan Pengurangan Angka Kemiskinan di Indonesia. Skripsi. Departemen Ilmu Ekonomi. Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Yudhoyono, S.B. & Harniati. 2004. Pengurangan Kemiskinan di Indonesia. Brighten Press. Jakarta
139
LAMPIRAN
140
Lampiran 1. Indikator Kemiskinan BPS No.
Variabel 1 Luas lantai bangunan tempat tinggal 2 Jenis lantai bangunan tempat tinggal 3 Jenis dinding tempat tinggal 4 Fasilitas tempat buang air besar 5 Sumber penerangan rumah tangga 6 Sumber air minum Bahan bakar untuk memasak sehari7 hari Konsumsi daging / susu / ayam per 8 minggu 9 Pembelian pakaian baru setiap tahun
10 Makan dalam sehari untuk setiap hari Kemampuan membayar untuk berobat 11 ke Puskesmas / Poliklinik Lapangan pekerjaan utama kepala 12 rumah tangga
Pendidikan tertinggi kepala rumah 13 tangga
14 Kepemilikan aset/tabungan
Kriteria rumah tangga miskin BPS kurang dari 8 m2 per orang Tanah / bambu / kayu murahan bambu / rumbia / kayu berkualitas rendah / tembok tanpa diplester Tidak punya / bersama-sama dengan rumah tangga lain bukan listrik sumur / mata air tidak terlindung / sungai / air hujan Kayu bakar / arang / minyak tanah Tidak pernah mengkonsumsi / hanya satu kali dalam seminggu Tidak pernah membeli / hanya membeli satu stel dalam setahun hanya satu kali makan / dua kali makan dalam sehari Tidak mampu membayar untuk berobat petani dengan luas lahan 0,5 ha / buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan, atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan dibawah 600.000 per bulan Tidak sekolah / tidak tamat SD / hanya SD Tidak punya tabungan / barang yang mudah dijual dengan nilai minimal Rp 500.000, seperti : sepeda motor (kredit / non kredit), emas, ternak, kapal motor, atau barang modal lainnya.
141
Lampiran 2. Indikator Kemiskinan Dominan Rumah Tangga Miskin di Wilayah Pengembangan Bogor Barat Tahun 2006 Kecamatan Ciampea Cibungbulang Cigudeg Jasinga Leuwiliang Leuwisadeng Nanggung Pamijahan Rumpin Sukajaya
Tenjo
Indikator kemiskinan dominan X1(64,1%), X4(99,2%), X5(90,2%), X6(98,8%), X8(85,2%), X9(93%), X10(94,1%), X11(99,2%), X13(93,4%) X1(67,5%), X4(99,7%), X5(96,8%), X6(100%), X8(81%), X9(78,5%), X10(98,7%), X11(100%), X13(96,1%) X1(69,6%), X3(72,2%), X4(99,7%), X5(94%), X6(99,5%), X8(83,6%), X10(90,9%), X11(99,7%), X13(96,4%) X1(61,9%), X2(61,2%), X3(84,7%), X4(99,4%), X5(97,9%), X6(99,5%), X8(75,1%), X10(93,3%), X11(99,5%), X13(96,9%), X14(53,2%) X1(62,9%), X3(57,6%), X4(99,7%), X5(95,5%), X6(99,8%), X8(84,7%), X9(67,4%), X10(97,9%), X11(99,8%), X13(94%) X1(59,8%), X3(77%), X4(99,5%), X5(95,3%), X6(99,4%), X8(81%), X9(69,8%), X10(95,9%), X11(99,9%), X13(96,8%) X2(65,6%), X3(88,1%), X4(99,7%), X5(98,6%), X6(98,4%), X7(61,8%), X8(74,8%), X10(91,9%), X11(99,5%), X12(50,7%), X13(96,7%), X14(70,2%) X1(70,4%), X4(99,6%), X5(98,1%), X6(100%), X8(84%), X9(73,6%), X10(96,9%), X11(100%), X13(97%), X14(54,8%) X2(64,7%), X3(81,3%), X4(99,1%), X5(88,7%), X6(98,3%), X8(79,2%), X9(68,3%), X10(89,2%), X11(99,8%), X13(94%) X1(68,8%), X2(55,3%), X3(86,7%), X4(99,8%), X5(97,1%), X6(99,3%), X8(81,6%), X10(89%), X11(99,6%), X13(98,9%), X14(58,7%) X1(53,8%), X2(59,7%), X3(82,6%), X4(99,9%), X5(96,8%), X6(99,2%), X8(68,9%), X9(65%), X10(89%), X11(100%), X13(95,7%)
142
Lampiran 3. Indikator Kemiskinan Dominan Rumah Tangga dengan Kepala Keluarga Menganggur di Wilayah Pengembangan Bogor Barat Tahun 2006 Kecamatan Ciampea Cibungbulang Cigudeg Jasinga Leuwiliang Leuwisadeng Nanggung Pamijahan Rumpin Sukajaya Tenjo
Indikator kemiskinan dominan X4(98,4%), X6(100%), X10(62,3%), X11(91,8%), X13(65,6%) X4(89,1%), X5(60,9%), X6(95,3%), X10(70,3%), X11(98,4%), X13(76,6%) X4(100%), X5(69,7%), X6 (97%),X10(65,2%), X11(93,9%), X13(83,3%) X4(95,8%), X5(65,6%), X6(95,8%), X10(67,7%), X11(89,6%), X13(77,1%) X4(90,9%), X5(50,9%), X6(98,2%), X10(75,5%), X11(88,2%), X13(65,5%) X4(98,4%), X5(74,4%), X6(97,7%), X8(57,4%),X9(57,4%),X10(87,6%),X11(94,6%), X13(84,5%) X2(55,6%), X3(77,8%), X4(100%), X5(88,9%), X6(100%), X7(55,6%), X8(66,7%), X10(88,9%), X11(100%), X13(88,9%) X4(100%), X5(74,1%), X6(100%),X9(51,9%), X10(77,8%), X11(97,5%), X13(82,7%) X4(97%), X5(56,1%), X6(97,6%), X10(59,1%), X11(88,4%), X13(76,2%) X3(63,2%), X4(98,6%), X5(90,3%), X6(98,6%), X8(67,4%), X10(86,1%),X11(98,6%), X13(95,1%),X14(50,7%) X4(95,4%), X5(69,4%), X6(95,4%), X9(52,8%), X10(71,3%), X11(97,2%), X13(85,2%)
143
Lampiran 4. Indikator Kemiskinan Dominan Rumah Tangga Miskin di Wilayah Pengembangan Bogor Tengah Tahun 2006 Kecamatan Babakan Madang Bojong Gede Caringin Cibinong Cigombong Cijeruk Ciomas Cisarua Ciseeng Citeureup Dramaga Gunung Sindur Kemang Megamendung Parung Sukaraja Tajurhalang Tamansari
Indikator kemiskinan dominan X2(59,4%), X3(69%), X4(99,3%), X5(87,9%), X6(99,6%), X8(82,2%), X9(64,1%), X10(95%), X11(99,6%), X13(97,9%) X4(100%), X5(100%), X6(100%), X8(75%), X9(100%), X10(100%), X11(100%), X13(100%) X4(99,6%), X5(86,4%), X6(99,7%), X8(87,8%), X9(80,9%), X10(97,6%), X11(100%), X13(96,9%), X14(57,6%) X1(51,6%), X3(51,6%), X4(100%), X5(61,3%), X6(96,8%), X8(83,9%), X9(93,5%), X10(100%), X11(96,8%),X13(90,3%) X1(61,1%), X4(99,7%), X5(85,8%), X6(99,7%), X8(92%), X9(77,8%), X10(99,7%), X11(100%), X13(96,6%), X14(52,8%) X4(97,9%), X5(91,1%), X6(98,9%), X8(91,8%), X9(85,7%), X10(95,9%), X11(99,9%), X13(97,1%), X14(52,3%) X1(68%), X4(99%), X5(91,3%), X6(99%), X8(78,6%), X9(92,2%), X10(95,1%), X11(99%),X13(90,3%) X1(61,2%), X4(99,5%), X5(70,9%), X6(98,1%), X8(79,1%), X9(84,5%), X10(99%) X11(100%), X12(53,4%), X13(95,6%) X2(65,9%), X3(78,3%), X4(98,5%), X5(92,9%), X6(98,9%), X8(78,7%), X9(82,2%), X10(86,5%), X11(99,9%), X13(95,7%) X2(60%), X3(73,1%), X4(99,2%), X5(65,3%), X6(99,2%), X8(82,9%), X9(82%), X10(93,9%), X11(100%), X13(97,1%) X1(54,9%), X4(98,4%), X5(94,2%), X6(100%), X8(79,2%), X9(87,5%), X10(95,5%), X11(99,8%), X13(96,2%) X2(65,5%), X3(79,4%), X4(99,5%), X5(94,6%), X6(99,1%), X8(74,6%), X9(83,4%), X10(91,6%), X11(100%), X13(87,8%) X2(63,7%), X3(68,7%), X4(99,6%), X5(91,4%), X6(99,2%), X8(57,6%), X9(73,1%), X10(96,4%), X11(98,9%), X13(93,3%) X1(51,8%), X4(99,2%), X5(80,3%), X6(98,6%), X8(81,6%), X9(79,3%), X10(96,4%), X11(99,9%), X13(97,4 %), X14(57,5%) X2(57,8%), X3(65,7%), X4(100%), X5(85,1%), X6(99,7%), X8(76,6%), X9(77,2%), X10(92,4%), X11(99,3%), X13(90,8%) X1(55,8%), X4(99,5%), X5(91,8%), X6(99%), X8(82,2%), X9(92,3%), X10(97,1%), X11(100%), X12(51,9%), X13(91,3%) X2(65,2%), X3(67,6%), X4(100%), X5(82,3%), X6(99,6%), X8(80%), X9(87,6%), X10(93,1%), X11(99,2%), X13(91,9%) X1(56,7%), X3(50,4%), X4(95,7%), X5(91,4%), X6(99,6%), X8(85,2%), X9(88,2%), X10(93,9%), X11(100%), X13(96,7%)
144
Lampiran 5. Indikator Kemiskinan Dominan Rumah Tangga dengan Kepala Keluarga Menganggur di Wilayah Pengembangan Bogor Tengah Tahun 2006 Kecamatan Babakan Madang Bojong Gede Caringin Cibinong Cigombong Cijeruk Ciomas Cisarua Ciseeng Citeureup Dramaga Gunung Sindur Kemang Megamendung Parung Sukaraja Tajurhalang Tamansari
Indikator kemiskinan dominan X4(93,5%), X6(96,1%), X10(68,8%), X11(93,5%), X13(75,3%) X4(100%), X6(81%), X10(66,7%), X11(85,7%) X4(93,7%), X6(91,1%), X9(57%), X10(78,5%), X11(89,9%), X13(69,6%) X4(91,4%), X6(85,7%), X10(54,3%), X11(71,4%) X4(94%), X6(90,4%), X10(72,3%), X11(88%), X13(61,4%) X4(93,9%), X5(50,8%), X6(99,2%), X8(60,6%), X9(52,3%), X10(79,5%), X11(94,7%), X13(74,2%) X6(78,2%), X10(58,8%), X11(74,7%) X4(79,1%), X6(98,5%), X10(73,1%), X11(85,1%), X13(73,1%) X4(97,4%), X5(67%), X6(97,4%), X9(63,5%), X10(63,5%), X11(95,7%), X13(84,3%) X4(98,4%), X6(90,3%), X10(62,9%), X11(82,3%), X13(54,8%) X4(90,9%), X6(92%), X10(55,7%), X11(88,6%), X13(56,8%) X4(97%), X5(61,9%), X6(93,3%), X9(63,4%), X10(70,1%), X11(93,3%), X13(64,9%) X4(96,9%), X6(92,2%), X10(58,1%), X11(86%), X13(67,4%) X4(94,7%), X6(94,2%), X9(51,5%), X10(70,8%), X11(93,6%), X13(70,8%) X4(98,9%), X6(91,1%), X10(62,2%), X11(94,4%), X13(55,6%) X4(91,5%), X6(93,5%), X10(51%), X11(76,5%) X4(92,2%), X6(91,3%), X9(64,3%), X10(62,6%), X11(88,7%), X13(63,5%) X4(89,2%), X6(93,2%), X10(62,2%), X11(74,3%), X13(52,7%)
145
Lampiran 6. Indikator Kemiskinan Dominan Rumah Tangga Miskin di Wilayah Pengembangan Bogor Timur Tahun 2006 Kecamatan Cariu
Cileungsi
Gunung Putri
Jonggol
Tanjung Sari
Indikator kemiskinan dominan X2(72%), X3(84,6%), X4(99,1%), X5(98,1%), X6(99,1%), X8(82%), X9(84,8%), X10(52,3%), X11(99,6%), X13(97,6%), X14(72,2%) X2(55,4%), X3(79,6%), X4(99,4%), X5(80,3%), X6(99,4%), X8(70,7%), X9(96,2%), X10(75,2%), X11(99,4%), X13 (94,9%) X3(65,9%), X4(100%), X5(93,2%), X6(100%), X8(75%), X9(93,2%), X10(77,3%), X11(100%), X13(93,2%) X2(70,6%), X3(82,4%), X4(99,1%), X5(92,7%), X6(98,9%), X8(77,5%), X9(86,1%), X10(72,7%), X11(99,5%), X13(98,2%), X14(69,1%) X2(79,6%), X3(88,3%), X4(99,5%), X5(96,6%), X6(99,1%), X8(71,4%), X9(81,9%), X10(54,3%), X11(99,6%), X13(98,5%), X14(81,5%)
Lampiran 7. Indikator Kemiskinan Dominan Rumah Tangga dengan Kepala Keluarga Menganggur di Wilayah Pengembangan Bogor Timur Tahun 2006 Kecamatan Cariu Cileungsi Gunung Putri Jonggol Tanjung Sari
Indikator kemiskinan dominan X4(98,2%), X5(68,4%), X6(98,2%), X8(52,6%), X9(64,9%), X10(50,9%), X11(89,5%), X13(93%), X14(63,2%) X4(94,6%), X6(94,6%), X9(56,8%), X11(91,9%), X13(64,9%) X4(70%), X6(62,5%), X9(57,5%), X11(75%) X4(94,2%), X5(58,6%), X6(93,2%), X9(61%), X10(50,7%), X11(91,4%), X13(76,7%) X4(100%), X5(74,1%), X6(100%), X9(69%), X10(60,3%), X11(100%), X13(89,7%),X14(53,4%)
146
Lampiran 8. Perbandingan Rumah Tangga dengan Kepala Keluarga Bekerja dan Menganggur berdasarkan Status Kemiskinan Rumah Tangga di Wilayah Pengembangan Bogor Barat Tahun 2006 Bekerja Menganggur Miskin Tidak miskin Miskin Tidak miskin Kecamatan N % N % N % N % Ciampea 252 7,2 3238 92,8 4 6,6 57 93,4 Cibungbulang 300 10,8 2468 89,2 11 17,2 53 82,8 Cigudeg 373 14,9 2135 85,1 12 18,2 54 81,8 Jasinga 1440 26,7 3959 73,3 30 31,3 66 68,8 Leuwiliang 562 17,2 2708 82,8 20 18,2 90 81,8 Leuwisadeng 928 28 2389 72 53 41,1 76 58,9 Nanggung 364 52,8 326 47,2 5 55,6 4 44,4 Pamijahan 751 21,8 2699 78,2 26 32,1 55 67,9 Rumpin 1118 23,5 3648 76,5 53 32,3 111 67,7 Sukajaya 2365 48,7 2491 51,3 95 66 49 34 Tenjo 842 27,4 2226 72,6 38 35,2 70 64,8
Lampiran 9. Perbandingan Rumah Tangga dengan Kepala Keluarga Bekerja dan Menganggur berdasarkan Status Kemiskinan Rumah Tangga di Wilayah Pengembangan Bogor Tengah Tahun 2006 Bekerja Menganggur Kecamatan Miskin Tidak miskin Miskin Tidak miskin N % N % N % N % Babakan Madang 269 11 2167 89 12 15,6 65 84,4 Bojong Gede 3 0,4 780 99,6 1 4,8 20 95,2 Caringin 726 16 3803 84 12 15,2 67 84,8 Cibinong 31 1,7 1776 98,3 0 0 35 100 Cigombong 309 14,9 1762 85,1 15 18,1 68 81,9 Cijeruk 1583 23,4 5185 76,6 43 32,6 89 67,4 Ciomas 94 1,5 6045 98,5 9 5,3 161 94,7 Cisarua 200 4,2 4530 95,8 6 9 61 91 Ciseeng 984 27,7 2570 72,3 38 33 77 67 Citeureup 238 8,5 2560 91,5 7 11,3 55 88,7 Dramaga 441 7,5 5434 92,5 7 8 81 92 Gunung Sindur 519 11,9 3845 88,1 40 29,9 94 70,1 Kemang 459 8,6 4860 91,4 17 13,2 112 86,8 Megamendung 707 11,1 5660 88,9 23 13,5 148 86,5 Parung 294 6 4606 94 9 10 81 90 Sukaraja 204 4,9 3921 95,1 4 2,6 149 97,4 Tajurhalang 474 6,4 6920 93,6 17 14,8 98 85,2 Tamansari 781 10,3 6776 89,7 7 9,5 67 90,5
147
Lampiran 10. Perbandingan Rumah Tangga dengan Kepala Keluarga Bekerja dan Menganggur berdasarkan Status Kemiskinan Rumah Tangga di Wilayah Pengembangan Bogor Timur Tahun 2006 Bekerja Menganggur Miskin Tidak miskin Miskin Tidak miskin Kecamatan N % N % N % N % Cariu 963 34,4 1838 65,6 22 38,6 35 61,4 Cileungsi 154 3,6 4154 96,4 3 8,1 34 91,9 Gunung Putri 41 1,3 3041 98,7 3 7,5 37 92,5 Jonggol 2325 31,7 5011 68,3 115 39,4 177 60,6 Tanjung Sari 953 42 1314 58 27 46,6 31 53,4
148
Lampiran 11. Hasil Uji Chi-Square dan Koefisien Konteingensi di Wilayah Pengembangan Bogor Barat 1. Ciampea Status Pekerjaan * Kriteria Kemiskinan Crosstabulation Count
Status Pekerjaan
Kriteria Kemiskinan tidak miskin miskin 3238 252 57 4 3295 256
Bekerja Pengangguran
Total
Total 3490 61 3551
Chi-Square Tests
Pearson Chi-Square Continuity Correctiona Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
Value .039b .000 .041
df 1 1 1
.039
1
Asymp. Sig. (2-sided) .843 1.000 .840
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
1.000
.548
.843
3551
a. Computed only for a 2x2 table b. 1 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 4. 40.
Symmetric Measures
Nominal by Nominal Interval by Interval Ordinal by Ordinal N of Valid Cases
Contingency Coefficient Pearson's R Spearman Correlation
Value .003 -.003 -.003 3551
Asymp. a Std. Error
Approx. T
.016 .016
-.199 -.199
a. Not assuming the null hypothesis. b. Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis. c. Based on normal approximation.
b
Approx. Sig. .843 .843c .843c
149
2. Cibungbulang Status Pekerjaan * Kriteria Kemiskinan Crosstabulation Count
Status Pekerjaan
bekerja pengangguran
Total
Kriteria Kemiskinan tidak miskin miskin 2468 300 53 11 2521 311
Total 2768 64 2832
Chi-Square Tests
Pearson Chi-Square Continuity Correctiona Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
Value 2.580b 1.971 2.254
df 1 1 1
2.579
1
Asymp. Sig. (2-sided) .108 .160 .133
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
.108
.086
.108
2832
a. Computed only for a 2x2 table b. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 7. 03.
Symmetric Measures
Nominal by Nominal Interval by Interval Ordinal by Ordinal N of Valid Cases
Contingency Coefficient Pearson's R Spearman Correlation
Value .030 .030 .030 2832
Asymp. a Std. Error
Approx. T
.023 .023
1.606 1.606
b
a. Not assuming the null hypothesis. b. Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis. c. Based on normal approximation.
3. Cigudeg Status Pekerjaan * Kriteria Kemiskinan Crosstabulation Count
Status Pekerjaan Total
Bekerja Pengangguran
Kriteria Kemiskinan tidak miskin miskin 2135 373 54 12 2189 385
Total 2508 66 2574
Approx. Sig. .108 .108c .108c
150
Chi-Square Tests
Pearson Chi-Square Continuity Correctiona Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
Value .554b .324 .525
df 1 1 1
.553
1
Asymp. Sig. (2-sided) .457 .569 .469
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
.483
.276
.457
2574
a. Computed only for a 2x2 table b. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 9. 87. Symmetric Measures
Nominal by Nominal Interval by Interval Ordinal by Ordinal N of Valid Cases
Contingency Coefficient Pearson's R Spearman Correlation
Value .015 .015 .015 2574
Asymp. a Std. Error
Approx. T
.021 .021
.744 .744
a. Not assuming the null hypothesis. b. Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis. c. Based on normal approximation.
4. Jasinga Status Pekerjaan * Kriteria Kemiskinan Crosstabulation Count
Status Pekerjaan Total
bekerja pengangguran
Kriteria Kemiskinan kriteria tidak kriteria miskin miskin 3959 1440 66 30 4025 1470
Total 5399 96 5495
b
Approx. Sig. .457 .457c .457c
151
Chi-Square Tests
Pearson Chi-Square Continuity Correctiona Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
Value 1.009b .789 .977
df 1 1 1
1.009
1
Asymp. Sig. (2-sided) .315 .374 .323
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
.352
.186
.315
5495
a. Computed only for a 2x2 table b. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 25. 68. Symmetric Measures
Nominal by Nominal Interval by Interval Ordinal by Ordinal N of Valid Cases
Contingency Coefficient Pearson's R Spearman Correlation
Value .014 .014 .014 5495
Asymp. a Std. Error
Approx. T
.014 .014
1.004 1.004
a. Not assuming the null hypothesis. b. Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis. c. Based on normal approximation.
5. Leuwiliang Status Pekerjaan * Kriteria Kemiskinan Crosstabulation Count
Status Pekerjaan Total
bekerja pengangguran
Kriteria Kemiskinan tidak miskin miskin 2708 562 90 20 2798 582
Total 3270 110 3380
b
Approx. Sig. .315 .315c .315c
152
Chi-Square Tests
Pearson Chi-Square Continuity Correctiona Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
Value .074b .021 .073
df 1 1 1
.074
1
Asymp. Sig. (2-sided) .786 .886 .787
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
.797
.433
.786
3380
a. Computed only for a 2x2 table b. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 18. 94. Symmetric Measures
Nominal by Nominal Interval by Interval Ordinal by Ordinal N of Valid Cases
Contingency Coefficient Pearson's R Spearman Correlation
Value .005 .005 .005 3380
Asymp. a Std. Error
Approx. T
.018 .018
.272 .272
a. Not assuming the null hypothesis. b. Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis. c. Based on normal approximation.
6. Leuwisadeng Status Pekerjaan * Kriteria Kemiskinan Crosstabulation Count
Status Pekerjaan Total
bekerja pengangguran
Kriteria Kemiskinan tidak miskin miskin 2389 928 76 53 2465 981
Total 3317 129 3446
b
Approx. Sig. .786 .786c .786c
153
Chi-Square Tests
Pearson Chi-Square Continuity Correctiona Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
Value 10.477b 9.843 9.786
df 1 1 1
10.474
1
Asymp. Sig. (2-sided) .001 .002 .002
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
.002
.001
.001
3446
a. Computed only for a 2x2 table b. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 36. 72. Symmetric Measures
Nominal by Nominal Interval by Interval Ordinal by Ordinal N of Valid Cases
Contingency Coefficient Pearson's R Spearman Correlation
Value .055 .055 .055 3446
Asymp. a Std. Error
Approx. T
.019 .019
3.241 3.241
a. Not assuming the null hypothesis. b. Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis. c. Based on normal approximation.
7. Nanggung Status Pekerjaan * Kriteria Kemiskinan Crosstabulation Count
Status Pekerjaan Total
bekerja pengangguran
Kriteria Kemiskinan tidak miskin miskin 326 364 4 5 330 369
Total 690 9 699
b
Approx. Sig. .001 .001c .001c
154
Chi-Square Tests
Pearson Chi-Square Continuity Correctiona Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
Value .028b .000 .028
df 1 1 1
.028
1
Asymp. Sig. (2-sided) .867 1.000 .867
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
1.000
.569
.867
699
a. Computed only for a 2x2 table b. 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 4. 25. Symmetric Measures
Nominal by Nominal Interval by Interval Ordinal by Ordinal N of Valid Cases
Contingency Coefficient Pearson's R Spearman Correlation
Value .006 .006 .006 699
Asymp. a Std. Error
Approx. T
.038 .038
.167 .167
a. Not assuming the null hypothesis. b. Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis. c. Based on normal approximation.
8. Pamijahan Status Pekerjaan * Kriteria Kemiskinan Crosstabulation Count
Status Pekerjaan Total
bekerja pengangguran
Kriteria Kemiskinan tidak miskin miskin 2699 751 55 26 2754 777
Total 3450 81 3531
b
Approx. Sig. .867 .867c .867c
155
Chi-Square Tests
Pearson Chi-Square Continuity Correctiona Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
Value 4.921b 4.338 4.501
df 1 1 1
4.920
1
Asymp. Sig. (2-sided) .027 .037 .034
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
.030
.022
.027
3531
a. Computed only for a 2x2 table b. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 17. 82. Symmetric Measures
Nominal by Nominal Interval by Interval Ordinal by Ordinal N of Valid Cases
Contingency Coefficient Pearson's R Spearman Correlation
Value .037 .037 .037 3531
Asymp. a Std. Error
Approx. T
.019 .019
2.219 2.219
a. Not assuming the null hypothesis. b. Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis. c. Based on normal approximation.
9. Rumpin Status Pekerjaan * Kriteria Kemiskinan Crosstabulation Count
Status Pekerjaan Total
bekerja pengangguran
Kriteria Kemiskinan tidak miskin miskin 3648 1118 111 53 3759 1171
Total 4766 164 4930
b
Approx. Sig. .027 .027c .027c
156
Chi-Square Tests
Pearson Chi-Square Continuity Correctiona Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
Value 6.871b 6.390 6.416
df 1 1 1
6.869
1
Asymp. Sig. (2-sided) .009 .011 .011
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
.011
.007
.009
4930
a. Computed only for a 2x2 table b. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 38. 95. Symmetric Measures
Nominal by Nominal Interval by Interval Ordinal by Ordinal N of Valid Cases
Contingency Coefficient Pearson's R Spearman Correlation
Value .037 .037 .037 4930
Asymp. a Std. Error
Approx. T
.016 .016
2.623 2.623
b
a. Not assuming the null hypothesis. b. Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis. c. Based on normal approximation.
10. Sukajaya Status Pekerjaan * Kriteria Kemiskinan Crosstabulation Count
Status Pekerjaan Total
bekerja pengangguran
Kriteria Kemiskinan tidak miskin miskin 2491 2365 49 95 2540 2460
Total 4856 144 5000
Approx. Sig. .009 .009c .009c
157
Chi-Square Tests
Pearson Chi-Square Continuity Correctiona Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
Value 16.688b 16.004 16.945
df 1 1 1
16.685
1
Asymp. Sig. (2-sided) .000 .000 .000
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
.000
.000
.000
5000
a. Computed only for a 2x2 table b. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 70. 85. Symmetric Measures
Nominal by Nominal Interval by Interval Ordinal by Ordinal N of Valid Cases
Contingency Coefficient Pearson's R Spearman Correlation
Value .058 .058 .058 5000
Asymp. a Std. Error
Approx. T
.014 .014
4.091 4.091
b
a. Not assuming the null hypothesis. b. Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis. c. Based on normal approximation.
11. Tenjo Status Pekerjaan * Kriteria Kemiskinan Crosstabulation Count
Status Pekerjaan Total
bekerja pengangguran
Kriteria Kemiskinan kriteria tidak kriteria miskin miskin 2226 842 70 38 2296 880
Total 3068 108 3176
Approx. Sig. .000 .000c .000c
158
Chi-Square Tests
Pearson Chi-Square Continuity Correctiona Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
Value 3.121b 2.746 2.978
3.120
df 1 1 1
1
Asymp. Sig. (2-sided) .077 .097 .084
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
.081
.051
.077
3176
a. Computed only for a 2x2 table b. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 29. 92. Symmetric Measures
Nominal by Nominal Interval by Interval Ordinal by Ordinal N of Valid Cases
Contingency Coefficient Pearson's R Spearman Correlation
Value .031 .031 .031 3176
Asymp. a Std. Error
Approx. T
.019 .019
1.767 1.767
a. Not assuming the null hypothesis. b. Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis. c. Based on normal approximation.
b
Approx. Sig. .077 .077c .077c
159
Lampiran12. Hasil Uji Chi-Square dan Koefisien Kontingensi di Wilayah Pengembangan Bogor Tengah
1. Babakan Madang Status Pekerjaan * Kriteria Kemiskinan Crosstabulation Count
Status Pekerjaan
Kriteria Kemiskinan tidak miskin miskin 2167 269 65 12 2232 281
bekerja pengangguran
Total
Total 2436 77 2513
Chi-Square Tests
Pearson Chi-Square Continuity Correctiona Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
Value 1.550b 1.127 1.406
1.550
df 1 1 1
1
Asymp. Sig. (2-sided) .213 .288 .236
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
.201
.145
.213
2513
a. Computed only for a 2x2 table b. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 8. 61. Symmetric Measures
Nominal by Nominal Interval by Interval Ordinal by Ordinal N of Valid Cases
Contingency Coefficient Pearson's R Spearman Correlation
Value .025 .025 .025 2513
Asymp. a Std. Error
Approx. T
.023 .023
1.245 1.245
a. Not assuming the null hypothesis. b. Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis. c. Based on normal approximation.
b
Approx. Sig. .213 .213c .213c
160
2. Bojong Gede Status Pekerjaan * Kriteria Kemiskinan Crosstabulation Count
Status Pekerjaan
Kriteria Kemiskinan tidak miskin miskin 780 3 20 1 800 4
bekerja pengangguran
Total
Total 783 21 804
Chi-Square Tests
Pearson Chi-Square Continuity Correctiona Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
Value 7.921b 1.545 2.990
df 1 1 1
7.911
1
Asymp. Sig. (2-sided) .005 .214 .084
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
.101
.101
.005
804
a. Computed only for a 2x2 table b. 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is . 10. Symmetric Measures
Nominal by Nominal Interval by Interval Ordinal by Ordinal N of Valid Cases
Contingency Coefficient Pearson's R Spearman Correlation
Value .099 .099 .099 804
Asymp. a Std. Error
Approx. T
.097 .097
2.825 2.825
a. Not assuming the null hypothesis. b. Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis. c. Based on normal approximation.
3. Caringin Status Pekerjaan * Kriteria Kemiskinan Crosstabulation Count
Status Pekerjaan Total
bekerja pengangguran
Kriteria Kemiskinan tidak miskin miskin 3803 726 67 12 3870 738
Total 4529 79 4608
b
Approx. Sig. .005 .005c .005c
161
Chi-Square Tests
Pearson Chi-Square Continuity Correctiona Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
Value .041b .002 .041
df 1 1 1
.041
1
Asymp. Sig. (2-sided) .840 .962 .839
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
1.000
.495
.840
4608
a. Computed only for a 2x2 table b. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 12. 65. Symmetric Measures
Nominal by Nominal Interval by Interval Ordinal by Ordinal N of Valid Cases
Contingency Coefficient Pearson's R Spearman Correlation
Value .003 -.003 -.003 4608
Asymp. a Std. Error
Approx. T
.014 .014
-.202 -.202
a. Not assuming the null hypothesis. b. Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis. c. Based on normal approximation.
4. Cibinong Status Pekerjaan * Kriteria Kemiskinan Crosstabulation Count
Status Pekerjaan Total
bekerja pengangguran
Kriteria Kemiskinan tidak miskin miskin 1776 31 35 0 1811 31
Total 1807 35 1842
b
Approx. Sig. .840 .840c .840c
162
Chi-Square Tests
Pearson Chi-Square Continuity Correctiona Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
Value .611b .014 1.200
df 1 1 1
.610
1
Asymp. Sig. (2-sided) .435 .906 .273
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
1.000
.549
.435
1842
a. Computed only for a 2x2 table b. 1 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is . 59. Symmetric Measures
Nominal by Nominal Interval by Interval Ordinal by Ordinal N of Valid Cases
Contingency Coefficient Pearson's R Spearman Correlation
Value .018 -.018 -.018 1842
Asymp. a Std. Error
Approx. T
.002 .002
-.781 -.781
a. Not assuming the null hypothesis. b. Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis. c. Based on normal approximation.
5. Cigombong Status Pekerjaan * Kriteria Kemiskinan Crosstabulation Count
Status Pekerjaan Total
bekerja pengangguran
Kriteria Kemiskinan tidak miskin miskin 1762 309 68 15 1830 324
Total 2071 83 2154
b
Approx. Sig. .435 .435c .435c
163
Chi-Square Tests
Pearson Chi-Square Continuity Correctiona Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
Value .620b .398 .591
df 1 1 1
.620
1
Asymp. Sig. (2-sided) .431 .528 .442
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
.433
.257
.431
2154
a. Computed only for a 2x2 table b. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 12. 48. Symmetric Measures
Nominal by Nominal Interval by Interval Ordinal by Ordinal N of Valid Cases
Contingency Coefficient Pearson's R Spearman Correlation
Value .017 .017 .017 2154
Asymp. a Std. Error
Approx. T
.023 .023
.787 .787
a. Not assuming the null hypothesis. b. Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis. c. Based on normal approximation.
6. Cijeruk Status Pekerjaan * Kriteria Kemiskinan Crosstabulation Count
Status Pekerjaan Total
bekerja pengangguran
Kriteria Kemiskinan tidak miskin miskin 5185 1583 89 43 5274 1626
Total 6768 132 6900
b
Approx. Sig. .431 .431c .431c
164
Chi-Square Tests
Pearson Chi-Square Continuity Correctiona Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
Value 6.066b 5.567 5.636
df 1 1 1
6.065
1
Asymp. Sig. (2-sided) .014 .018 .018
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
.017
.011
.014
6900
a. Computed only for a 2x2 table b. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 31. 11. Symmetric Measures
Nominal by Nominal Interval by Interval Ordinal by Ordinal N of Valid Cases
Contingency Coefficient Pearson's R Spearman Correlation
Value .030 .030 .030 6900
Asymp. a Std. Error
Approx. T
.013 .013
2.464 2.464
a. Not assuming the null hypothesis. b. Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis. c. Based on normal approximation.
7. Ciomas Status Pekerjaan * Kriteria Kemiskinan Crosstabulation Count
Status Pekerjaan Total
bekerja pengangguran
Kriteria Kemiskinan tidak miskin miskin 6045 94 161 9 6206 103
Total 6139 170 6309
b
Approx. Sig. .014 .014c .014c
165
Chi-Square Tests
Pearson Chi-Square Continuity Correctiona Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
Value 14.585b 12.336 9.362
df 1 1 1
14.583
1
Asymp. Sig. (2-sided) .000 .000 .002
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
.002
.002
.000
6309
a. Computed only for a 2x2 table b. 1 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2. 78. Symmetric Measures
Nominal by Nominal Interval by Interval Ordinal by Ordinal N of Valid Cases
Contingency Coefficient Pearson's R Spearman Correlation
Value .048 .048 .048 6309
Asymp. a Std. Error
Approx. T
.022 .022
3.823 3.823
a. Not assuming the null hypothesis. b. Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis. c. Based on normal approximation.
8. Cisarua Status Pekerjaan * Kriteria Kemiskinan Crosstabulation Count
Status Pekerjaan Total
bekerja pengangguran
Kriteria Kemiskinan tidak miskin miskin 4530 200 61 6 4591 206
Total 4730 67 4797
b
Approx. Sig. .000 .000c .000c
166
Chi-Square Tests
Pearson Chi-Square Continuity Correctiona Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
Value 3.592b 2.534 2.779
df 1 1 1
3.591
1
Asymp. Sig. (2-sided) .058 .111 .096
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
.066
.066
.058
4797
a. Computed only for a 2x2 table b. 1 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2. 88. Symmetric Measures
Nominal by Nominal Interval by Interval Ordinal by Ordinal N of Valid Cases
Contingency Coefficient Pearson's R Spearman Correlation
Value .027 .027 .027 4797
Asymp. a Std. Error
Approx. T
.020 .020
1.895 1.895
a. Not assuming the null hypothesis. b. Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis. c. Based on normal approximation.
9. Ciseeng Status Pekerjaan * Kriteria Kemiskinan Crosstabulation Count
Status Pekerjaan Total
bekerja pengangguran
Kriteria Kemiskinan tidak miskin miskin 2570 984 77 38 2647 1022
Total 3554 115 3669
b
Approx. Sig. .058 .058c .058c
167
Chi-Square Tests
Pearson Chi-Square Continuity Correctiona Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
Value 1.590b 1.335 1.538
df 1 1 1
1.590
1
Asymp. Sig. (2-sided) .207 .248 .215
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
.206
.125
.207
3669
a. Computed only for a 2x2 table b. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 32. 03. Symmetric Measures
Nominal by Nominal Interval by Interval Ordinal by Ordinal N of Valid Cases
Contingency Coefficient Pearson's R Spearman Correlation
Value .021 .021 .021 3669
Asymp. a Std. Error
Approx. T
.017 .017
1.261 1.261
a. Not assuming the null hypothesis. b. Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis. c. Based on normal approximation.
10. Citeureup Status Pekerjaan * Kriteria Kemiskinan Crosstabulation Count
Status Pekerjaan Total
bekerja pengangguran
Kriteria Kemiskinan tidak miskin miskin 2560 238 55 7 2615 245
Total 2798 62 2860
b
Approx. Sig. .207 .207c .207c
168
Chi-Square Tests
Pearson Chi-Square Continuity Correctiona Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
Value .600b .297 .552
df 1 1 1
.600
1
Asymp. Sig. (2-sided) .438 .585 .458
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
.487
.278
.439
2860
a. Computed only for a 2x2 table b. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 5. 31. Symmetric Measures
Nominal by Nominal Interval by Interval Ordinal by Ordinal N of Valid Cases
Contingency Coefficient Pearson's R Spearman Correlation
Value .014 .014 .014 2860
Asymp. a Std. Error
Approx. T
.021 .021
.775 .775
a. Not assuming the null hypothesis. b. Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis. c. Based on normal approximation.
11. Dramaga Status Pekerjaan * Kriteria Kemiskinan Crosstabulation Count
Status Pekerjaan Total
bekerja pengangguran
Kriteria Kemiskinan tidak miskin miskin 5434 441 81 7 5515 448
Total 5875 88 5963
b
Approx. Sig. .438 .439c .439c
169
Chi-Square Tests
Pearson Chi-Square Continuity Correctiona Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
Value .025b .000 .025
df 1 1 1
.025
1
Asymp. Sig. (2-sided) .874 1.000 .875
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
.838
.495
.874
5963
a. Computed only for a 2x2 table b. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 6. 61. Symmetric Measures
Nominal by Nominal Interval by Interval Ordinal by Ordinal N of Valid Cases
Contingency Coefficient Pearson's R Spearman Correlation
Value .002 .002 .002 5963
Asymp. a Std. Error
Approx. T
.013 .013
.158 .158
a. Not assuming the null hypothesis. b. Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis. c. Based on normal approximation.
12. Gunung Sindur Status Pekerjaan * Kriteria Kemiskinan Crosstabulation Count
Status Pekerjaan Total
bekerja pengangguran
Kriteria Kemiskinan tidak miskin miskin 3845 519 94 40 3939 559
Total 4364 134 4498
b
Approx. Sig. .874 .874c .874c
170
Chi-Square Tests
Pearson Chi-Square Continuity Correctiona Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
Value 38.524b 36.891 29.559
df 1 1 1
38.515
1
Asymp. Sig. (2-sided) .000 .000 .000
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
.000
.000
.000
4498
a. Computed only for a 2x2 table b. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 16. 65. Symmetric Measures
Nominal by Nominal Interval by Interval Ordinal by Ordinal N of Valid Cases
Contingency Coefficient Pearson's R Spearman Correlation
Value .092 .093 .093 4498
Asymp. a Std. Error
Approx. T
.021 .021
6.232 6.232
a. Not assuming the null hypothesis. b. Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis. c. Based on normal approximation.
13. Kemang Status Pekerjaan * Kriteria Kemiskinan Crosstabulation Count
Status Pekerjaan Total
bekerja pengangguran
Kriteria Kemiskinan tidak miskin miskin 4860 459 112 17 4972 476
Total 5319 129 5448
b
Approx. Sig. .000 .000c .000c
171
Chi-Square Tests
Pearson Chi-Square Continuity Correctiona Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
Value 3.268b 2.723 2.877
df 1 1 1
3.268
1
Asymp. Sig. (2-sided) .071 .099 .090
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
.081
.055
.071
5448
a. Computed only for a 2x2 table b. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 11. 27. Symmetric Measures
Nominal by Nominal Interval by Interval Ordinal by Ordinal N of Valid Cases
Contingency Coefficient Pearson's R Spearman Correlation
Value .024 .024 .024 5448
Asymp. a Std. Error
Approx. T
.016 .016
1.808 1.808
a. Not assuming the null hypothesis. b. Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis. c. Based on normal approximation.
14. Megamendung Status Pekerjaan * Kriteria Kemiskinan Crosstabulation Count
Status Pekerjaan Total
bekerja pengangguran
Kriteria Kemiskinan tidak miskin miskin 5660 707 148 23 5808 730
Total 6367 171 6538
b
Approx. Sig. .071 .071c .071c
172
Chi-Square Tests
Pearson Chi-Square Continuity Correctiona Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
Value .924b .703 .876
df 1 1 1
.924
1
Asymp. Sig. (2-sided) .336 .402 .349
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
.325
.198
.336
6538
a. Computed only for a 2x2 table b. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 19. 09. Symmetric Measures
Nominal by Nominal Interval by Interval Ordinal by Ordinal N of Valid Cases
Contingency Coefficient Pearson's R Spearman Correlation
Value .012 .012 .012 6538
Asymp. a Std. Error
Approx. T
.013 .013
.961 .961
a. Not assuming the null hypothesis. b. Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis. c. Based on normal approximation.
15. Parung Status Pekerjaan * Kriteria Kemiskinan Crosstabulation Count
Status Pekerjaan Total
bekerja pengangguran
Kriteria Kemiskinan tidak miskin miskin 4606 294 81 9 4687 303
Total 4900 90 4990
b
Approx. Sig. .336 .336c .336c
173
Chi-Square Tests
Pearson Chi-Square Continuity Correctiona Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
Value 2.479b 1.828 2.104
df 1 1 1
2.479
1
Asymp. Sig. (2-sided) .115 .176 .147
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
.118
.094
.115
4990
a. Computed only for a 2x2 table b. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 5. 46. Symmetric Measures
Nominal by Nominal Interval by Interval Ordinal by Ordinal N of Valid Cases
Contingency Coefficient Pearson's R Spearman Correlation
Value .022 .022 .022 4990
Asymp. a Std. Error
Approx. T
.018 .018
1.575 1.575
a. Not assuming the null hypothesis. b. Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis. c. Based on normal approximation.
16. Sukaraja Status Pekerjaan * Kriteria Kemiskinan Crosstabulation Count
Status Pekerjaan Total
bekerja pengangguran
Kriteria Kemiskinan tidak miskin miskin 3921 204 149 4 4070 208
Total 4125 153 4278
b
Approx. Sig. .115 .115c .115c
174
Chi-Square Tests
Pearson Chi-Square Continuity Correctiona Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
Value 1.733b 1.266 2.057
df 1 1 1
1.733
1
Asymp. Sig. (2-sided) .188 .261 .152
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
.249
.126
.188
4278
a. Computed only for a 2x2 table b. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 7. 44. Symmetric Measures
Nominal by Nominal Interval by Interval Ordinal by Ordinal N of Valid Cases
Contingency Coefficient Pearson's R Spearman Correlation
Value .020 -.020 -.020 4278
Asymp. a Std. Error
Approx. T
.011 .011
-1.316 -1.316
a. Not assuming the null hypothesis. b. Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis. c. Based on normal approximation.
17. Tajurhalang Status Pekerjaan * Kriteria Kemiskinan Crosstabulation Count
Status Pekerjaan Total
bekerja pengangguran
Kriteria Kemiskinan tidak miskin miskin 6920 474 98 17 7018 491
Total 7394 115 7509
b
Approx. Sig. .188 .188c .188c
175
Chi-Square Tests
Pearson Chi-Square Continuity Correctiona Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
Value 12.987b 11.654 9.835
df 1 1 1
12.986
1
Asymp. Sig. (2-sided) .000 .001 .002
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
.002
.001
.000
7509
a. Computed only for a 2x2 table b. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 7. 52. Symmetric Measures
Nominal by Nominal Interval by Interval Ordinal by Ordinal N of Valid Cases
Contingency Coefficient Pearson's R Spearman Correlation
Value .042 .042 .042 7509
Asymp. a Std. Error
Approx. T
.017 .017
3.606 3.606
a. Not assuming the null hypothesis. b. Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis. c. Based on normal approximation.
18. Tamansari Status Pekerjaan * Kriteria Kemiskinan Crosstabulation Count
Status Pekerjaan Total
bekerja pengangguran
Kriteria Kemiskinan tidak miskin miskin 6776 781 67 7 6843 788
Total 7557 74 7631
b
Approx. Sig. .000 .000c .000c
176
Chi-Square Tests
Pearson Chi-Square Continuity Correctiona Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
Value .061b .003 .062
.061
df 1 1 1
1
Asymp. Sig. (2-sided) .805 .957 .803
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
1.000
.499
.806
7631
a. Computed only for a 2x2 table b. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 7. 64. Symmetric Measures
Nominal by Nominal Interval by Interval Ordinal by Ordinal N of Valid Cases
Contingency Coefficient Pearson's R Spearman Correlation
Value .003 -.003 -.003 7631
Asymp. a Std. Error
Approx. T
.011 .011
-.246 -.246
a. Not assuming the null hypothesis. b. Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis. c. Based on normal approximation.
b
Approx. Sig. .805 .806c .806c
177
Lampiran 13. Hasil Uji Chi-Square dan Koefisien Kontingensi di Wilayah Pengembangan Bogor Timur 1. Cariu Status Pekerjaan * Kriteria Kemiskinan Crosstabulation Count
Status Pekerjaan
Kriteria Kemiskinan tidak miskin miskin 1838 963 35 22 1873 985
bekerja pengangguran
Total
Total 2801 57 2858
Chi-Square Tests
Pearson Chi-Square Continuity Correctiona Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
Value .440b .273 .432
df 1 1 1
.439
1
Asymp. Sig. (2-sided) .507 .601 .511
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
.574
.297
.507
2858
a. Computed only for a 2x2 table b. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 19. 64. Symmetric Measures
Nominal by Nominal Interval by Interval Ordinal by Ordinal N of Valid Cases
Contingency Coefficient Pearson's R Spearman Correlation
Value .012 .012 .012 2858
Asymp. a Std. Error
Approx. T
.019 .019
.663 .663
a. Not assuming the null hypothesis. b. Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis. c. Based on normal approximation.
2. Cileungsi Status Pekerjaan * Kriteria Kemiskinan Crosstabulation Count
Status Pekerjaan Total
bekerja pengangguran
Kriteria Kemiskinan tidak miskin miskin 4154 154 34 3 4188 157
Total 4308 37 4345
b
Approx. Sig. .507 .507c .507c
178
Chi-Square Tests
Pearson Chi-Square Continuity Correctiona Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
Value 2.165b 1.059 1.621
df 1 1 1
2.164
1
Asymp. Sig. (2-sided) .141 .304 .203
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
.148
.148
.141
4345
a. Computed only for a 2x2 table b. 1 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1. 34. Symmetric Measures
Nominal by Nominal Interval by Interval Ordinal by Ordinal N of Valid Cases
Contingency Coefficient Pearson's R Spearman Correlation
Value .022 .022 .022 4345
Asymp. a Std. Error
Approx. T
.022 .022
1.471 1.471
a. Not assuming the null hypothesis. b. Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis. c. Based on normal approximation.
3. Gunung Putri Status Pekerjaan * Kriteria Kemiskinan Crosstabulation Count
Status Pekerjaan Total
bekerja pengangguran
Kriteria Kemiskinan tidak miskin miskin 3041 41 37 3 3078 44
Total 3082 40 3122
b
Approx. Sig. .141 .141c .141c
179
Chi-Square Tests
Pearson Chi-Square Continuity Correctiona Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
Value 10.818b 6.833 5.453
df 1 1 1
10.814
1
Asymp. Sig. (2-sided) .001 .009 .020
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
.018
.018
.001
3122
a. Computed only for a 2x2 table b. 1 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is . 56. Symmetric Measures
Nominal by Nominal Interval by Interval Ordinal by Ordinal N of Valid Cases
Contingency Coefficient Pearson's R Spearman Correlation
Value .059 .059 .059 3122
Asymp. a Std. Error
Approx. T
.039 .039
3.294 3.294
a. Not assuming the null hypothesis. b. Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis. c. Based on normal approximation.
4. Jonggol Status Pekerjaan * Kriteria Kemiskinan Crosstabulation Count
Status Pekerjaan Total
bekerja pengangguran
Kriteria Kemiskinan tidak miskin miskin 5011 2325 177 115 5188 2440
Total 7336 292 7628
b
Approx. Sig. .001 .001c .001c
180
Chi-Square Tests
Pearson Chi-Square Continuity Correctiona Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
Value 7.634b 7.285 7.379
df 1 1 1
7.633
1
Asymp. Sig. (2-sided) .006 .007 .007
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
.007
.004
.006
7628
a. Computed only for a 2x2 table b. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 93. 40. Symmetric Measures
Nominal by Nominal Interval by Interval Ordinal by Ordinal N of Valid Cases
Contingency Coefficient Pearson's R Spearman Correlation
Value .032 .032 .032 7628
Asymp. a Std. Error
Approx. T
.012 .012
2.764 2.764
a. Not assuming the null hypothesis. b. Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis. c. Based on normal approximation.
5. Tanjung Sari Status Pekerjaan * Kriteria Kemiskinan Crosstabulation Count
Status Pekerjaan Total
bekerja pengangguran
Kriteria Kemiskinan tidak miskin miskin 1314 953 31 27 1345 980
Total 2267 58 2325
b
Approx. Sig. .006 .006c .006c
181
Chi-Square Tests
Pearson Chi-Square Continuity Correctiona Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
Value .473b .306 .469
.472
df 1 1 1
1
Asymp. Sig. (2-sided) .492 .580 .494
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
.503
.289
.492
2325
a. Computed only for a 2x2 table b. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 24. 45. Symmetric Measures
Nominal by Nominal Interval by Interval Ordinal by Ordinal N of Valid Cases
Contingency Coefficient Pearson's R Spearman Correlation
Value .014 .014 .014 2325
Asymp. a Std. Error
Approx. T
.021 .021
.687 .687
a. Not assuming the null hypothesis. b. Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis. c. Based on normal approximation.
b
Approx. Sig. .492 .492c .492c
Lampiran 15. Dendogram CHAID Wilayah Pengembangan Bogor Barat
Lampiran 16. Dendogram CHAID Wilayah Pengembangan Bogor Tengah
Lampiran 17. Dendogram CHAID Wilayah Pengembangan Bogor Timur