PELAKSANAAN PEMBINAAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN (STUDI DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS II A BINJAI)
TESIS
Oleh
ANTON SETIAWAN 077005003/HK
S
C
N
PA
A
S
K O L A
H
E
A S A R JA
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009 Anton Setiawan : Pelaksanaan Pembinaan Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai), 2009
PELAKSANAAN PEMBINAAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN (STUDI DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS II A BINJAI)
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh
ANTON SETIAWAN 077005003/HK
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009 Anton Setiawan : Pelaksanaan Pembinaan Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai), 2009
Judul Tesis
Nama Mahasiswa Nomor Pokok Program Studi
: PELAKSANAAN PEMBINAAN MENURUT UNDANGUNDANG NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN (STUDI DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS II A BINJAI) : Anton Setiawan : 077005003 : Ilmu Hukum
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS) Ketua
(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) (Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH,DFM) Anggota Anggota
Ketua Program Studi
(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH)
Direktur,
(Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, MSc)
Tanggal lulus : 24 Juli 2009 Anton Setiawan : Pelaksanaan Pembinaan Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai), 2009
Telah diuji pada Tanggal : 24 Juli 2009
PANITIA PENGUJI TESIS Ketua
: Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS
Anggota
: 1. Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH 2. Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH, DFM 3. Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH 4. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum
Anton Setiawan : Pelaksanaan Pembinaan Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai), 2009
ABSTRAK
Keberhasilan pembinaan narapidana setelah berada di masyarakat, sangat tergantung pada proses sosialisasi narapidana di dalam lembaga, dengan mengadaptasi nilai-nilai agama, kesusilaan dan sosial lainnya yang berlaku dalam masyarakat. Artinya, bentuk-bentuk penekanan, pemerasan dan perlakuan tidak senonoh, harus tidak terjadi dalam kehidupan Lembaga Pemasyarakatan. Oleh karenanya pembinaan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan hendaknya bukan dengan cara penekanan (pembalasan), tetapi perlindungan. Penelitian tentang “Pelaksanaan Pembinaan Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan (Studi di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai)” terdiri atas 3 (tiga) masalah, yaitu : Bagaimanakah pelaksanaan pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Binjai berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan; Faktor-faktor apakah yang menghambat dan mendukung dalam keberhasilan tujuan pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Binjai; dan Upaya-upaya apakah yang dilakukan untuk menghadapi hambatan dalam pelaksanaan tujuan pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Binjai. Pendekatan masalah dalam penelitian tesis “Pelaksanaan Pembinaan Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan (Studi di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai)” yang peneliti laksanakan menggabungkan pendekatan yuridis normatif dengan yuridis sosiologis. Pendekatan yuridis normatif dilakukan dengan menginventarisasi dan meneliti bahan kepustakaan hukum yang terkait dengan tujuan pidana, penjara, dan pemasyarakatan serta peraturan perundangundangan lainnya. Hasil penelitian berupa banyak ditemukan kekerasan dan penyalahgunaan kekuasaan yang menyebabkan “viktimisasi” terhadap para terpidana. Konsep Lembaga Pemasyarakatan pada level empirisnya tak ada bedanya dengan penjara. Bahkan ada tudingan bahwa Lembaga Pemasyarakatan adalah “sekolah kejahatan”. Sebab orang justru menjadi lebih jahat setelah menjalani hukuman penjara di Lembaga Pemasyarakatan. Ini menjadi salah satu faktor dominan munculnya seseorang bekas narapidana melakukan kejahatan lagi, yang biasa disebut dengan residivis. Keberhasilan upaya pembinaan, pengayoman warga binaan di dalam Lembaga Pemasyarakatan sangat tergantung kepada faktor-faktor pendukung lainnya, sementara yang diketahui saat ini adalah Lembaga Pemasyarakatan menghadapi 4 (empat) permasalahan pokok, yaitu: masalah peraturan pelaksana dalam membina warga binaan yang kurang efektif; masalah personalia Lembaga Pemasyarakatan; masalah administrasi; masalah sarana fisik. Upaya yang perlu dilakukan dalam menghadapi hambatan pembinaan narapidana adalah: menjalin kerjasama dengan instansi pemerintah dan Lembaga Swadaya Masyarakat dalam upaya peningkatan pembinaan terhadap narapidana; adanya motivasi yang kuat di dalam pribadi petugas Lembaga Pemasyarakatan Anton Setiawan : Pelaksanaan Pembinaan Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai), 2009
dengan prinsip moralitas dan idealisme yang tinggi; upaya peningkatan kesejahteraan petugas Lembaga Pemasyarakatan untuk meningkatkan loyalitas petugas dalam melaksanakan tugas; adanya moralitas yang baik dalam diri narapidana sehingga sadar bahwa narapidana adalah seseorang yang taat hukum setelah bebas; melengkapi sarana dan prasana yang dibutuhkan dalam melakukan pembinaan; dan meningkatkan partisipasi masyarakat terhadap narapidana melalui kesediaan masyarakat untuk menerima narapidana sebagai anggota masyarakat. Peneliti menyarankan adanya suatu pemahaman mengenai tanggung jawab pembinaan terhadap narapidana dengan semua pihak, khususnya komponen dalam sistem peradilan pidana seperti kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman dengan mengikutsertakan masyarakat secara aktif, serta perlunya peran serta pemerintah dan pihak swasta dalam upaya menghadapi kendala yang dihadapi lembaga pemasyarakatan.
Kata kunci : Pembinaan, Narapidana, Pemasyarakatan
Anton Setiawan : Pelaksanaan Pembinaan Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai), 2009
ABSTRACT
Efficacy of convict construction after residing in society, very depend on process of convict socialization in institute, with the adaptation of religion values, other social and ethics going into effect in society. Its meaning, emphasis forms, unharmonious treatment and extortion, should not be happened in life Institute The Pemasyarakatan. For the reason convict construction in Institute Pemasyarakatan shall non by emphasis (retaliation), but protection. Research about “Construction Execution of According to Number Law 12 Year 1995 About Pemasyarakatan (Study in Institute The Pemasyarakatan Klas II A Binjai)” consisted of 3 (three) problem, that is : What will be construction execution in Institute of Pemasyarakatan Binjai of pursuant to Number Law 12 Year 1995 about Pemasyarakatan; Factors what pursuing and supporting in efficacy of construction target in Institute of Pemasyarakatan Binjai; and Efforts what conducted to face the resistance in execution of construction target in Institute of Pemasyarakatan Binjai. Approach of internal issue of thesis research “Construction Execution of According to Number Law 12 Year 1995 About Pemasyarakatan Study in Institute The Pemasyarakatan Klas II A Binjai)” what researcher execute to join the approach of yuridis normatif by yuridis is sosiologis. Approach of yuridis normatif done with the stocktaking and check the related law bibliography substance with an eye to crime, serve a sentence, and pemasyarakatan and also other law and regulation. Result of research in the form of a lot of found by hardness and power abuse causing viktimisasi to all punished. Concept Institute the Pemasyarakatan its level empiric nothing; there is no the difference with the prison. May even exist accusation that Institute Pemasyarakatan is badness school. People cause exactly become more virulent after serving a sentence in Institute Pemasyarakatan. This become one of dominant factor of somebody appearance is convict do the badness again, ordinary referred as with recidivist. Efficacy strive the construction, pengayoman of citizen binaan in Institute Pemasyarakatan very depended to other supporter factors, whereas knew in this time [is] Institute Pemasyarakatan face 4 (fundamental four) problems, that is: problem of executor regulation in constructing citizen binaan which less be effective; personnel problem Institute the Pemasyarakatan; administrative affair; problem of physical medium. Effort which require to be conducted in face of resistance of convict construction is : braiding cooperation with the governmental institution and SelfSupporting Institute of society in the effort make-up of construction to convict; existence of strong motivation in worker person Institute the Pemasyarakatan principally is high moralitas idealism and; strive the make-up of worker prosperity Anton Setiawan : Pelaksanaan Pembinaan Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai), 2009
Institute the Pemasyarakatan to increase loyalitas worker in executing duty; existence of good moralitas in conscious convict it'self so that that convict is obedient somebody punish after free; equiping medium and prasana required in conducting construction; and improve the society participation to convict through society readiness to accept convict as society member. Researcher suggest the existence of an understanding of concerning construction responsibility to convict with all party, specially component in system of judicature of crime like police, public attorney, and judgement by involve the society actively, and also the importance of governmental role and also and party of private sector in the effort facing constraint faced by the institute pemasyarakatan.
Keywords : Construction, Convict, Pemasyarakatan.
Anton Setiawan : Pelaksanaan Pembinaan Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai), 2009
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami ucapkan Kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmatNya sehingga peneliti dapat menyelesaikan penelitian dengan judul penelitian “PELAKSANAAN PEMBINAAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN (STUDI DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS II A BINJAI)” Penulisan tesis merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam rangka menyelesaikan studi pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Peneliti turut mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setulus-tulusnya kepada: 1. Rektor Universitas Sumatera Utara Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&Sp. A(K) atas dibukanya kerjasama program beasiswa Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia dengan Universitas Sumatera Utara. 2. Direktur Sekolah Pascasarjana Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, MSc atas pemberian kesempatan menjadi mahasiswa di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan. 3. Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH selaku Ketua Program Sudi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan. 4. Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS selaku Ketua Komisi Pembimbing yang telah memberikan sumbang saran dalam penelitian. 5. Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH selaku Komisi Pembimbing yang telah memberikan nasehat dan masukan dalam penelitian ini. Anton Setiawan : Pelaksanaan Pembinaan Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai), 2009
6. Syafruddin Sulung Hasibuan, SH, MH,DFM selaku Komisi Pembimbing yang telah memberikan ide-ide dalam penulisan. 7. Dosen-dosen yang telah memberikan materi kuliah di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan, sehingga peneliti dapat menyelesaikan studi dengan baik. 8. Staf pegawai yang telah memberikan informasi dan kontribusi selama peneliti kuliah di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan. Peneliti berterima kasih atas dukungan moril yang telah diberikan istri tercinta beserta anak-anakku tersayang yang telah mengerti atas perjuangan memperoleh gelar di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan. Dengan segala keterbatasan kekurangan yang ada, peneliti berharap semoga penelitian ini bisa dimanfaatkan oleh segenap kalangan yang membutuhkan.
Medan,
Agustus 2009
Penulis
Anton Setiawan
Anton Setiawan : Pelaksanaan Pembinaan Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai), 2009
RIWAYAT HIDUP
Nama
: ANTON SETIAWAN
Tempat/Tgl. Lahir
: Jogyakarta, 28 Mei 1975
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Status
: Menikah
Agama
: Islam
Alamat
: Jl. Kemiri Ujung Komplek Graha Taman Sari No. 34 B
PENDIDIKAN FORMAL - Sekolah Dasar
dari tahun
s/d
.
- Sekolah
dari tahun
s/d
.
- Sekolah
dari tahun
s/d
.
- Fakultas Hukum
dari tahun
s/d
.
- Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara (USU) dari tahun 2007 s/d sekarang.
Anton Setiawan : Pelaksanaan Pembinaan Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai), 2009
DAFTAR ISI
Halaman ABSTRAK ..........................................................................................................
i
ABSTRACT .........................................................................................................
iii
KATA PENGANTAR .......................................................................................
v
RIWAYAT HIDUP ............................................................................................
vii
DAFTAR ISI ......................................................................................................
viii
DAFTAR TABEL .............................................................................................
x
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................
xi
DAFTAR SINGKATAN ..................................................................................
xii
DAFTAR ISTILAH ..........................................................................................
xiii
BAB I
PENDAHULUAN ...........................................................................
1
A. Latar Belakang ..................................................................................
1
B. Rumusan Masalah .............................................................................
17
C. Tujuan Penelitian ...............................................................................
17
D. Manfaat Penelitian .............................................................................
18
E. Keaslian Penelitian .............................................................................
19
F. Kerangka Teori dan Konsepsi ............................................................
19
G. Metode Penelitian ..............................................................................
33
BAB II
PEMBINAAN NARAPIDANA MENURUT UNDANGUNDANG NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN ...................................................................
35
A. Gambaran Umum Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai .........
35
B. Pola Pembinaan Narapidana ...............................................................
45
1. Pembinaan Mental Rohani ..............................................................
53
2. Pembinaan Umum ...........................................................................
55
3. Pembinaan Keterampilan dan Kegiatan Kerja ................................
56
4. Pembinaan Lainnya ........................................................................
58
Anton Setiawan : Pelaksanaan Pembinaan Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai), 2009
5. Pembinaan Olahraga dan Kesenian ................................................. 61 BAB III
HAMBATAN PEMBINAAN NARAPIDANA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS II A BINJAI ..........................................................................
85
A. Program Pembinaan Kerohanian ........................................................
85
B. Program Pembinaan Keterampilan dan Kegiatan Kerja ....................
88
BAB IV
UPAYA GUNA MENGHADAPI HAMBATAN DALAM PELAKSANAAN TUJUAN PEMBINAAN DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS II A BINJAI ..................................
94
A. Program Pembinaan Kerohanian .......................................................
94
B. Program Pembinaan Keterampilan dan Kegiatan Kerja .....................
95
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................ 103
A. Kesimpulan ......................................................................................... 103 B. Saran .................................................................................................. 104 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 105
Anton Setiawan : Pelaksanaan Pembinaan Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai), 2009
DAFTAR TABEL
Nomor 1.
2.
3.
Judul
Halaman
Rekapitulasi Data Pegawai Berdasarkan Golongan di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai Bulan April Tahun 2009...............................
38
Rekapitulasi Data Pegawai Berdasarkan Tingkat Pendidikan di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai Bulan April Tahun 2009 .................
39
Rekapitulasi Data Pegawai Berdasarkan Jenis Kelamin di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai Tahun 2009 .................................................
39
4.
Rekapitulasi Data Pegawai Berdasarkan Jabatan di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai Tahun 2009 ........................................................... 39
5.
Rekapitulasi Pembinaan Mental Rohani Islam di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai Tahun 2009 ............................................................................
53
Rekapitulasi Pembinaan Mental Rohani Kristen di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai Tahun 2009 ............................................................................
54
Daftar Mata Pelajaran Paket B di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai Bulan April Tahun 2009 ...........................................................................
56
Bimbingan Kerja di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai Bulan April Tahun 2009 ............................
57
Hasil Produksi di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai Bulan April Tahun 2009 ............................
57
Rekapitulasi Keadaan Kesehatan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai Bulan April Tahun 2009 ......................................................
60
Kegiatan Olahraga di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai Bulan April Tahun 2009 ............................
61
6.
7.
8. 9. 10.
11.
Anton Setiawan : Pelaksanaan Pembinaan Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai), 2009
DAFTAR GAMBAR
No. 1.
Judul
Halaman
Struktur Organisasi Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai ...........
37
Anton Setiawan : Pelaksanaan Pembinaan Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai), 2009
DAFTAR SINGKATAN
KUHP : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana LN
: Lembaran Negara
SMR : The Standar Minimum Rulers Fo The Treatment of Prisoners WvS
: Wetboek van Straafrecht
Anton Setiawan : Pelaksanaan Pembinaan Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai), 2009
DAFTAR ISTILAH
Parole
: Pelepasan Bersyarat
Probation
: Pidana Bersyarat
Retribution
: Pembalasan
Deterrence
: Kepenjaraan
Penolog
: Ahli Kepenjaraan
Rehabilitation
: Pemulihan
Resosialitation
: Penggabungan
Social Reintegration : Penyatuan Sosial Way of Life
: Pandangan Hidup
Anton Setiawan : Pelaksanaan Pembinaan Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai), 2009
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Pemberian sanksi pidana yang setimpal terhadap pelaku kejahatan belum mengakibatkan pelaku jera dalam melakukan kejahatan. Bahkan ada indikasi statistik bahwa kejahatan semakin meningkat, baik secara kuantitas maupun kualitas. Oleh karenanya masalah pemberian sanksi pidana masih relevan untuk dipertanyakan keberadaannya. Adanya suatu pemahaman yang tepat terhadap pelaku atau pelanggar hukum atau sanksi pidananya akan membawa dampak yang cukup berarti bagi pemberian sanksi pidana itu sendiri. Pada prinsipnya dalam hukum pidana di Indonesia, tujuan pemberian sanksi pidana harus berfungsi untuk membina atau membuat pelanggar hukum menjadi tobat dan bukan berfungsi sebagai pembalasan. Pemahaman yang demikian sesuai dengan pandangan hidup bangsa (way of life) yang terkandung dalam Pancasila yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Awalnya, sanksi pidana berupa penjara itu dikenal sebagai salah satu sarana untuk membalas dendam bagi seorang pelaku kejahatan, tanpa memperhitungkan setimpal atau tidaknya sanksi pidana itu dengan kejahatan yang dilakukannya. 1 Tujuan sanksi pidana pada waktu dulu hanya membuat si pelaku kejahatan menjadi jera dan masyarakat takut untuk berbuat kejahatan. Perkembangan pemikiran ke arah perbaikan hidup pelaku kejahatan baru dikenal sejak adanya teori penjatuhan hukuman. Secara tradisional, teori pemidanaan dapat dibagi menjadi 2 (dua) kelompok, yaitu: 1
Barda Nawawi Arief, Kebijaksanaan Sanksi Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan, Makalah, (Semarang : Universitas Diponegoro, 1989), hlm. 12. Anton Setiawan : Pelaksanaan Pembinaan Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai), 2009 1
1) Teori absolut yang menyebutkan pidana dijatuhkan semata-mata karena orang yang melakukan tindak pidana. Pidana merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan tersebut. 2) Teori relatif yang menyebutkan memidana bukanlah memuaskan tuntutan absolut dari keadilan. 2 Pembalasan itu tidak mempunyai nilai, tetapi mempunyai tujuan tertentu yang bermanfaat. Jadi dasar pembenaran menurut teori relatif terletak pada tujuan pidana yang diputuskan bukan karena orang tersebut jahat, melainkan supaya orang tidak lagi melakukan kejahatan. Persoalan yang perlu dilihat apakah sanksi pidana dapat menjamin seseorang untuk tetap taat pada norma hukum setelah menjalani pidana, atau dapatkah dinyatakan bahwa kejahatan terjadi bukan saja disebabkan oleh penyimpangan moral, tetapi juga karena pengaruh sosial ekonomi, sehingga sanksi pidana dituntut dapat bervariasi, dalam rangka pembinaan terhadap si pelaku atau pelanggar hukum. 3
Pemberian sanksi pidana selalu direalisasikan dengan membina di Lembaga Pemasyarakatan. Ada anggapan yang menyatakan bahwa pelanggar hukum hanya dapat dibina jika diasingkan dari lingkungan sosial, serta pelanggar hukum
2
Petrus Panjaitan, Lembaga Pemasyarakatan Dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana, (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1995), hlm. 9. 3 Usaha untuk memperbaharui sanksi pidana hendaknya berorientasi kepada pendidikan yang dapat menghasilkan karya nyata di masyarakat. Sedangkan sanksi pidana berupa hukuman semata tidak akan bermanfaat bagi pembaharuan kesadaran hukum, moral, dan mental pelanggar hukum, jika semata-mata hanya untuk mematuhi Undang-undang tanpa memperhatikan kesiapan mental, fisik, dan spritual si pelaku atau pelanggar hukum. Anton Setiawan : Pelaksanaan Pembinaan Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai), 2009
dinyatakan sebagai individu yang telah rusak dalam segala-galanya sehingga tidak akan dapat diharapkan untuk bersikap ramah terhadap lingkungan sosialnya. Adanya pemahaman seperti itu merupakan suatu pembalasan yang dilegalisir oleh kenyataan dan kehendak masyarakat itu sendiri (stigma). 4 Pembalasan secara timbal-balik di atas, sulit untuk dicegah jika perlakuan terhadap si pelaku kejahatan masih menganut aliran konvensional. Oleh karena itu, di satu pihak membina anggota keluarga si pelaku kejahatan, di lain pihak menghilangkan persepsi buruk masyarakat terhadap si pelaku kejahatan itu sendiri. Secara yuridis formal, masalah pemberian sanksi pidana di Indonesia dikenal sejak berlakunya KUHP (Wetbooek Van Straafrecht Voor Indonesie) yang merupakan produk kolonial.Tujuan pemberian sanksi pidana yang terkandung dalam Pasal 10 KUHP semata-mata sebagai reaksi atas pelanggaran yang dilakukan seseorang. Ini berarti pengakuan terhadap hak asasi manusia si pelaku kejahatan tidak menjadi prioritas. Herbert L. Packer dalam bukunya The Limits of The Criminal Sanction yang dikutip Barda Nawawi Arief membicarakan masalah sanksi pidana dalam penanggulangan kejahatan, menyebutkan bahwa: a) Sanksi pidana sangatlah diperlukan, kita tidak dapat hidup sekarang maupun di masa yang akan datang tanpa pidana; b) Sanksi pidana merupakan alat atau sarana terbaik yang sudah ada, yang kita miliki untuk menghadapi bahaya-bahaya besar dan bersifat segera; 4
Pembalasan tidak selalu dalam bentuk-bentuk penyiksaan fisik, tetapi bisa juga bersifat penekanan psikologis. Hal itu bertujuan bukan saja ditujukan kepada pelaku kejahatan, tetapi tertuju pada anggota keluarga. Terciptanya pembalasan seperti ini akan membawa dampak negatif terhadap anggota keluarga si pelaku kejahatan. Akibatnya anggota keluarga akan dipaksa oleh keadaan berbuat hal yang sama dengan si pelaku kejahatan. Anton Setiawan : Pelaksanaan Pembinaan Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai), 2009
c) Sanksi pidana suatu ketika merupakan penjamin yang utama atau terbaik dan suatu ketika merupakan pengancam yang utama dari kebebasan manusia itu sendiri. Ia merupakan penjamin apabla dipergunakan secara hemat, cermat dan secara manusiawi. Ia merupakan pengancam apabila digunakan secara sembarangan dan secara paksa. 5 Sedangkan menurut Muladi, bahwa tujuan pemidanaan adalah untuk memperbaiki kerusakan individual dan sosial yang diakibatkan oleh tindak pidana. Hal ini terdiri atas seperangkat tujuan pemidanaan yang harus dipenuhi dengan tujuan yang merupakan titik berat harus bersifat kasuistis. Perangkat tujuan pemidanaan yang dimaksud terdiri atas: 1) Pencegahan (umum dan khusus); 2) Perlindungan masyarakat; 3) Memelihara solidaritas masyarakat; 4) Pengimbalan/perimbangan. 6 Pengaruh langsung dari penjatuhan pidana itu jelas terhadap orang yang dikenai pidana. Tetapi pidana itu belum dirasakan sungguh-sungguh olehnya kalau sudah dilaksanakan secara efektif. Dengan pemidanaan di sini dikehendaki agar terpidana tidak melakukan tindak pidana lagi. Oleh karena itu, penjatuhan pidana menjadi alternatif dalam rangka mencegah perbuatan melanggar hukum, baik oleh individu maupun kelompok. Pemenjaraan dalam bentuk pengisolasian diri dalam tembok penjara, ternyata mengalami perubahan seiring dengan kemajuan peradaban suatu bangsa. Penghargaan terhadap citra manusia menjadi dasar utama
5 6
Barda Nawawi Arief, Op-Cit, hlm. 23. Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, (Bandung : Alumni, 1985), hlm. 61.
Anton Setiawan : Pelaksanaan Pembinaan Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai), 2009
memperlakukan si terpidana lebih manusiawi. Sehubungan dengan itu, pemberian sanksi pidana dengan membina narapidana di Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia mengalami perubahan yang cukup berarti, khususnya tentang metode perlakuan terhadap narapidana itu sendiri. Pemikiran mengenai fungsi pemidanaan menurut Indonesia yang menganut ideologi Pancasila tidak lagi sekedar penjeraan tetapi juga merupakan suatu usaha rehabilitasi dan reintegrasi sosial Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) yang telah ditetapkan dengan suatu sistem perlakuan terhadap para pelanggar hukum di Indonesia yang dinamakan dengan sistem pemasyarakatan. Istilah pemasyarakatan untuk pertama kali disampaikan oleh Almarhum Bapak Sahardjo (Menteri Kehakiman pada saat itu) pada tanggal 5 Juli 1963 dalam pidato penganugerahan gelar Doctor Honoris Causa oleh Universitas Indonesia. Pemasyarakatan oleh beliau dinyatakan sebagai tujuan dari pidana penjara. 7 Plato menyatakan bahwa tidak ada yang bisa mengubah nasib manusia kecuali dirinya sendiri.Dengan adanya suatu perubahan memungkinkan manusia mengenal dirinya sendiri. Proses pengenalan diri sendiri memerlukan tahap motivasi berupa tahap kelanjutan dari introspeksi. Dalam hal pemasyarakatan, Warga Binaan Pemasyarakatan diberikan motivasi untuk dirinya sendiri sehingga dapat memandang positif setiap kejadian. Dengan adanya motivasi diri yang berlangsung terus-menerus, maka akan menimbulkan suatu proses pengembangan diri dengan tahapan self
7
Satu tahun kemudian, pada tanggal 27 April 1964 dalam Konferensi Jawatan Kepenjaraan yang dilaksanakan di Lembang Bandung, istilah pemasyarakatan dibakukan sebagai pengganti kepenjaraan. Pemasyarakatan dalam konferensi ini dinyatakan sebagai suatu system pembinaan terhadap para pelanggar hukum dan sebagai suatu pengejawantahan keadilan yang bertujuan untuk mencapai reintegrasi sosial atau pulihnya kesatuan hubungan hidup, kehidupan dan penghidupan Warga Binaan Pemasyarakatan di dalam masyarakat. Dalam perkembangan selanjutnya, pelaksanaan system pemasyarakatan semakin mantap dengan diundangkannya Undang Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Anton Setiawan : Pelaksanaan Pembinaan Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai), 2009
development. 8 Dengan adanya Undang Undang Pemasyarakatan ini maka makin kokoh usaha-usaha untuk mewujudkan visi sistem pemasyarakatan, sebagai tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara Pembina, yang dibina dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas Warga Binaan Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggungjawab. 9 Pembinaan diatur secara khusus dari Pasal 5 sampai dengan Pasal 9 UndangUndang Nomor 12 Tahun 1995. Jika dilihat Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan mengatur tentang pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan dan pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan dilakukan di BAPAS. Selanjutnya dipertegas dengan Pasal 7ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 yang menyatakan bahwa pembinaan dan pembimbing Warga Binaan Pemasyarakatan diselenggarakan oleh Menteri dan dilaksanakan oleh petugas pemasyarakatan.10 Perubahan pandangan dalam memperlakukan narapidana di Indonesia tentunya didasarkan pada suatu evaluasi kemanusiaan yang merupakan wujud manifestasi Pancasila, sebagai dasar pandangan hidup bangsa yang mengakui hak-hak asasi narapidana. Menilik butir ketiga dari pemikiran Sahardjo di atas, ada suatu mata 8
C.Harsono, Sistem Baru Pembinaan Narapidana, (Jakarta : Djambatan, 1995), hlm. 10 Sahardjo yang dikenal sebagai tokoh pembaharu dalam dunia kepenjaraan, telah mengemukakan ide pemasyarakatan bagi terpidana. Alasannya: 1). Tiap orang adalah makhluk kemasyarakatan; 2) tidak ada orang yang hidup di luar masyarakat; 3) kemudian narapidana hanya dijatuhi hukuman kehilangan kemerdekaan bergerak. Jadi perlu diusahakan supaya tetap dapat mempunyai mata pencaharian. 10 Lihat Pasal 5 sampai dengan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan 9
Anton Setiawan : Pelaksanaan Pembinaan Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai), 2009
rantai yang harus jelas diperhatikan oleh para pembina maupun pemerintah, yaitu, bagaimana pembina itu mampu menghasilkan si narapidana yang tetap mempunyai mata pencaharian setelah keluar dari penjara. 11 Kesimpulannya, individu sebagai anggota masyarakat tentunya tidak terlepas dari faktor-faktor yang mempengaruhinya berbuat jahat. Namun, sebagai manusia yang mempunyai citra, harkat juga martabat yang sama di hadapan Tuhan, tentunya harus diperlakukan secara bertanggungjawab dan manusiawi. Pemberian sanksi pidana bagi pelanggar hukum, bukan sebagai pembalasan atau eksploitasi tenaga manusia untuk kepentingan golongan/jawatan pemerintah, tetapi bertujuan untuk menyadarkan perilaku menyimpang pada diri si pelanggar hukum tersebut. Pidana penjara di dalam sejarahnya dikenal sebagai reaksi masyarakat akibat adanya tindak pidana yang dilakukan oleh seorang pelanggar hukum. Oleh karena itu pidana penjara juga disebut sebagai pidana hilang kemerdekaan, dimana seseorang itu dibuat tidak berdaya dan diasingkan secara sosial dari lingkungannya semula. 12 Oleh karena itu sesuai dengan pernyataan Baharudin Suryobroto sebagai
11
Berhasil tidaknya mendidik narapidana sebagai seorang pekerja yang taat pada hukum kelak setelah berada di masyarakat, sangat tergantung pada proses sosialisasi narapidana di dalam lembaga, dengan mengadaptasi nilai-nilai agama, kesusilaan dan sosial lainnya yang berlaku dalam masyarakat. Artinya, bentuk-bentuk penekanan, pemerasan dan perlakuan tidak senonoh, harus tidak terjadi dalam kehidupan Lembaga Pemasyarakatan. Oleh karena itu pembinaan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan tidak dilakukan dengan cara penekanan (pembalasan), tetapi perlindungan. 12 Pidana penjara sebagaimana terdapat di Indonesia, ternyata mempunyai kaitan sejarah yang erat dengan perkembangan hukum kolonial, yaitu Wetboek van Straafrecht (WvS) yang merupakan produk pemerintah Belanda. Di samping itu, pidana penjara selalu menjadi tema sentral dalam setiap kali terjadi diskusi dalam seminar-seminar Hukum Pidana maupun kriminologi serta penologi, bahkan dalam perkembangan hukum pidana, pidana penjara ini tidak pernah luput dari sorotan. Anton Setiawan : Pelaksanaan Pembinaan Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai), 2009
berikut: 13 Pidana penjara hingga sekarang masih tetap merupakan pidana yang menduduki tempat terpenting sebagai tempat institut pidana. Nama aslinya yang pernah kita kenal di Indonesia ini ialah “gevengenis straaf” berasal dari kata Belanda yang menunjukkan kepada wujud dari pidana itu, karena gevengenis yang dapat diartikan sebagai suatu status/keadaan di mana orang yang bersangkutan berada dalam keadaan gevengenis atau tertangkap, memang merupakan perwujudan utama dari vrijheids bercoving als straaf (vrijheid straaf) atau dalam bahasa Indonesianya pidana hilang kemerdekaan (lazimnya kata gevengenis dipakai untuk menunjukkan kepada bangunannya). Bahasa Inggris “imprisonment” yang berasal dari kata “prison” sedikit ada perbedaannya dengan “gevengenis straaf”. Istilah Pidana Penjara sebenarnya lebih menunjukkan kepada tujuan dari “gevengenis straaf”, yakni “afschrikking” atau penjeraan (deterence). Istilah penjeraan yang berasal dari kata “jera” ini sebenarnya ditunjukkan kepada yang dikenakan pidana itu. Akan tetapi sebagaimanapun sebutannya, yang jelas “gevengenis straaf” atau “improsnment”, dalam keasliannya dimaksudkan untuk “penjeraan”, afschrikking, detterence, suatu doktrin yang bersumber pada pendapat 1,5 abad yang lalu dan paling dibela oleh Baccaria (1738-1794). Pidana penjara di samping diatur dalam Pasal 10 KUHP sub a juga diatur dalam Pasal 12. Menurut bunyi Pasal ini bahwa lamanya waktu dari pidana penjara itu adalah seumur hidup atau selama waktu tertentu, yang dikategorikan lagi ke dalam hari, berupa paling pendek satu hari dan paling lama lima belas tahun. Selanjutnya ayat 3 dari Pasal ini menegaskan bahwa pidana penjara itu boleh dijalani selama dua puluh tahun berturut-turut. Kurun waktu pidana yang dijalani seorang narapidana selama waktu tertentu tidak boleh melebihi dua puluh tahun. 14 Selanjutnya Pasal 13 dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana ini 13
Baharudin Suryobroto, “Pelaksanaan Sistem Pemasyarakatan”, Majalah Lembaga Pembinaan Hukum Nasional, (Jakarta : BPHN, No.16 Tahun V, April, Mei, Juni, 1972), hlm.10. 14 Pidana penjara diatur dalam Pasal 10, 12, 13, 14 sub a 1, 15, 24, 25, 26, 27, 28, 29 KUHP saat ini, merupakan urutan kedua di bawah pidana mati di kelompok pidana pokok. Kitab Undangundang Hukum Pidana Indonesia yang ada sekarang menurut sejarahnya merupakan bagian terbesar dari Wetboek van Straafrecht (WvS) 1915 sejak tanggal 1 Januari 1918. KUHP 1915 ternyata mengikuti Straf Wetboek tahun 1881 di Belanda. Anton Setiawan : Pelaksanaan Pembinaan Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai), 2009
mengklasifikasikan terpidana atas beberapa golongan atau kelas. Adapun yang dimaksudkan dengan kelas/golongan terpidana itu adalah seperti tercantum dalam Pasal 49 Gestichten Reglement 1917 No. 708. pasal 49 Reglemen Kepenjaraan (L.N.1917 No. 708 diubah dengan L.N. 1948 No. 77) menurut lamanya hukuman yang harus dijalani, maka para terhukum penjara dibagi atas empat kelas, yang terberat masuk Kelas I, kemudian Kelas II, Kelas III dan yang teringan masuk Kelas IV. Bila terpidana berkelakuan baik, maka dapat dinaikkan kelasnya. Berdasarkan ketentuan ayat 2 Pasal 50 Reglemen menentukan, bahwa para terhukum penjara selama hidup dan terhukum penjara sementara yang nakal atau berbahaya bagi para pegawai penjara dan para terhukum lainnya, disendirikan daripada terhukum lainnya. Maksud pembagiannya, yaitu: 15 1) Orang mempunyai dasar-dasar baik jangan sampai dijangkiti kebiasaankebiasaan buruk. 2) Mendorong orang hukuman berkelakuan baik agar dapat naik pangkat dan demikian dapat memperbaiki nasibnya. 3) Merupakan persiapan dari terhukum, yaitu dari keadaan dihukum kemudian diberi kelonggaran-kelonggaran lebih banyak, diberi kemerdekaan dengan perjanjian dan akhirnya dimerdekakan tanpa syarat. Menurut Pasal 15 KUHP seseorang yang dipidana penjara boleh dilepaskan dengan perjanjian, bila telah dua pertiga dari bagian hukuman yang sebenarnya dan juga paling sedikit sembilan bulan daripada itu. Pasal ini juga dikenal sebagai “pelepasan bersyarat”. Selanjutnya Pasal 50 ayat (1) dari Reglement Penjara menyatakan bahwa terpidana dibagi ke dalam beberapa golongan, antara lain:
15
Soegiarta Dwidjoseputro, Peraturan Penjara Dengan Keterangan, (Jakarta : Direktorat Pemasyarakatan, 1998), hlm. 23. Anton Setiawan : Pelaksanaan Pembinaan Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai), 2009
pangkat pertama termasuk: 16 (1) a. Orang yang dihukum dengan hukuman penjara seumur hidup. b. Orang yang dihukum dengan hukuman penjara sementara yang tidak mau turut perintah atau yang berbahaya untuk keamanan pegawai-pegawai penjara atau teman-teman terpenjara. (2) Orang hukuman yang masuk pangkat ini harus dipisahkan dengan orangorang terpenjara lainnya. (3) Orang-orang itu jika mungkin harus ditutup di penjara istimewa (khusus dan dikerjakan dalam lingkungan tembok penjara dengan penjagaan yang keras). (4) Orang yang dihukum dengan hukuman penjara sementara dan termasuk pangkat ini dapat dinaikkan ke pangkat dua, apabila kelakuannya selama satu tahun baik. Disamping pembagian golongan, para terpidana yang dipenjara atau menjalani hukuman, menurut Pasal 14 KUHP diwajibkan menjalankan segala pekerjaan berdasarkan ketentuan pelaksanaan Pasal 29. Menurut Pasal 29 KUHP menjelaskan bahwa: tempat kerja, upah kerja ditentukan dalam ordonansi yang sesuai dengan kitab Undang-undang itu. Adapun ordonansi yang dimaksudkan itu termaktub dalam LN 1917 No. 708 diubah dengan LN 1948 No. 77 (Peraturan Kepenjaraan) yaitu dalam Bab VIII Pasal 57 sampai dengan Pasal 64. Hal-hal yang perlu mendapat sorotan dari ketentuan wajib bagi terpidana menurut keterangan ini, adalah: 17 a) Bahwa pekerjaan yang diberikan kepada terpidana merupakan suatu kewajiban; baik di luar maupun di dalam tembok penjara, baik pria maupun perempuan. b) Pekerjaan yang dilakukan oleh orang terpenjara harus untuk keperluan jawatan negara; dan penghasilan pekerjaan orang terpenjara menjadi keuntungan negara pula. 16 17
Pasal 50 ayat (1) dari UU No. 708 tahun 1917 tentang Reglement Penjara Pasal 57, Pasal 59, dan Pasal 62
Anton Setiawan : Pelaksanaan Pembinaan Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai), 2009
c) Orang terpenjara diwajibkan bekerja selama 9 jam setiap harinya. Pasal 24 KUHP, menjelaskan bahwa orang terpidana boleh diwajibkan bekerja di dalam atau di luar tembok penjara. Adapun bentuk pekerjaan yang dilakukan terpidana, adalah: Pekerjaan yang dapat dilakukan yang terhukum di luar tembok penjara meliputi, antara lain, mengikuti ekspedisi militer, dipekerjakan di tambang batubara atau tambang lain, dipekerjakan pada pekerjaan umum (seperti pembangunan) yang besar, dipekerjakan disuruh membuka hutan, dipekerjakan di perusahaan karet di Nusakambangan dan sebagainya. Juga dalam tembok penjara dapat dilakukan pekerjaan yang dapat meliputi, antara lian, memintal, menenun, menjahit, membuat sepatu, tas, dan barang-barang lain dari kulit, dipekerjakan di bengkel besi dalam penjara, dipekerjakan dalam penjara, dan sebagainya. 18 Pasal 24 KUHP ternyata tidak dikenakan kepada semua terpidana, tetapi ada pengecualian seperti yang termaksud dalam Pasal 25 KUHP, yaitu bagi terpidana yang dijatuhi pidana seumur hidup serta perempuan maupun orang yang menurut hasil pemeriksaan dokter kesehatannya tidak kuat, maka tidak diwajibkan. Sebagai penjelasan dikemukakan bahwa narapidana itu yang dihukum seumur hidup tidak diperkenankan bekerja di luar tembok karena dikhawatirkan akan lari, sedangkan narapidana wanita tidak diperkenankan juga bekerja di luar tembok lembaga pemasyarakatan karena pertimbangan kesusilaan. Di samping adanya terpidana yang dikecualikan mengikuti pekerjaan seperti yang terdapat dalam Pasal 25 KUHP, ternyata Pasal 26 KUHP juga memberikan pengecualian, di mana menurut ketentuannya, yaitu: Jika mengingat keadaan diri atau masyarakat terpidana, hakim menimbang 18
Pasal 24 KUHP
Anton Setiawan : Pelaksanaan Pembinaan Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai), 2009
ada alasan, maka dalam putusan ditentukan bahwa terpidana tidak boleh diwajibkan bekerja diluar tembok tempat orang-orang terpidana. Menurut penjelasannya, peraturan ini ditujukan kepada misalnya orang-orang yang mempunyai kedudukan tinggi dalam masyarakat sehingga bila mereka dipekerjakan di luar tembok, terlihat banyak orang dirasa malu, sehingga hal ini dapat merupakan pemberatan hukumannya. Maka untuk hal ini Hakim memerlukan bahwa para pegawai yang diwajibkan dengan pemeriksaan pendahuluan dalam proses verbalnya atau laporan-laporan mereka tidak menuliskan kesimpulan-kesimpulan sendiri akan tetapi harus memberitahukan hal-hal atau peristiwa-peristiwa menurut kenyataannya saja yang dapat meyakinkan Hakim, bahwa dalam hal-hal yang tertentu betul-betul ada alasan untuk memperhatikan kedudukan kemasyarakatan terdakwa, setidak-tidaknya memberikan pendapatnya sendiri. Hal ini menurut pertimbangan Hakim dan ditetapkan dalam surat keputusannya. Jika tidak ada keputusan Hakim seperti ini, maka orang-orang berpangkat tinggi pun jika dihukum dapat dipekerjakan pula di luar tembok seperti terhukum lain-lainnya. 19 Pengaturan pidana penjara seperti yang termuat dalam Pasal 27 KUHP adalah mengklasifikasikan waktu tertentu, yang dikenal dengan hari, minggu, bulan dan tahun. Pasal 26 mengatur agar pidana penjara dan pidana kurungan itu dapat dijalani di rumah penjara, namun dalam bagiannya sendiri-sendiri. Pasal 29 KUHP sebagai pasal penutup/akhir dari pengaturan pidana penjara yang menyatakan bahwa perihal menjalani pidana, pekerjaan dan upah terpidana dan lain sebagainya menunjuk Undang-undang lain sebagai peraturan yang akan mengatur lebih lanjut. Adapun peraturan yang dimaksud adalah Reglement Penjara 1917 No. 708. Di dalam perkembangan berikutnya, kurun waktu awal berlakunya Hukum Pidana (melalui UU No. 1 Tahun 1946) hingga sekarang ini, yang dalam tahap penggodokan Hukum Pidana yang baru, masalah jenis-jenis pidana, dalam hal ini pidana penjara dalam Pasal 10 KUHP tetap merupakan salah satu hal yang urgen dalam membicarakan
19
Pasal 26 KUHP
Anton Setiawan : Pelaksanaan Pembinaan Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai), 2009
keseluruhan hukum pidana yang baru. Praktisi hukum maupun kalangan akademis yang mendalami hukum pidana, selalu berpendapat bahwa pidana penjara itu harus dipertahankan dalam sistem pemidanaan Indonesia. Walaupun ada yang menganut garis moderat bahwa pidana penjara itu masih diperlukan, akan tetapi perlu kejelasan filosofinya atau falsafah Pancasilanya harus ditonjolkan, KUHP yang akan datang disadari sekali bahwa jiwa dan pengaruh dari jenis-jenis pidana yang terdapat di dalam WvS 1915 itu tidak dengan begitu saja hilang tanpa bekas, setidak-tidaknya kerangka berpikir para pengusul ide-ide pembaharuan masih didominasi oleh KUHP sekarang ini. 20 Sehubungan dengan prospek pidana penjara di masa datang (dalam hal ini pidana penjara yang ada di KUHP baru) maka patut dipahami pendapat Muladi di bawah ini: 21 Di dalam penjelasan umum konsep rancangan KUHP tahun 1972 dinyatakan, bahwa pidana perampasan kemerdekaan berasal dari pandangan hidup individualistis dan melalui Wetboek van Strafrecht sejak 1 Januari 1916 pidana ini berlaku di Indonesia. Baik secara universal maupun secara pembaharuan baik teoritis untuk mengurangi daya lakunya. Namun merupakan suatu kenyataan, bahwa di suatu pihak pidana perampasan kemerdekaan akan tetap ada sekalupun namanya berbeda-beda dan di lain pihak tanpa mengurangi penghargaan atas pembaharu-pembaharu pidana perampasan kemerdekaan, pada pidana tersebut akan selalu melekat kerugiann yang ditinjau dari segi tujuan yang hendak dicapai adalah sebagai berikut: 1) Tujuan penjara sebagai sarana maka terdapat pengamanan terpidana; dan 2) Memberikan kesempatan-kesempatan kepada narapidana untuk merehabilitasi. 20
Pidana penjara sebagaimana yang diatur dalam KUHP (WvS 1915) tersebut menunjukkan cirinya sebagai hukum pidana yang menganut teori pembalasan, yang kalau diakui secara jujur dan manusiawi, maka sering dipersoalkan keuntungan apa yang diperoleh dari pidana penjara itu. 21 Muladi, “Jenis-Jenis Pidana Pokok dalam KUHP Baru”, Majalah Hukum Nasional, (Jakarta : BPHN, No. 2 Tahun 1989), hlm. 95. Anton Setiawan : Pelaksanaan Pembinaan Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai), 2009
Sehubungan dengan kenyataan-kenyataan di atas, perlu kiranya di hayati prinsip-prinsip yang harus dipegang teguh baik di dalam pengaturan kemerdekaan yang antara lain adalah menempatkan preferensi pada alternatif pidana perampasan kemerdekaan (alternative to improsonment) seperti denda dan pidana bersyarat (pidana pengawasan) jangan menggunakan pidana perampasan kemerdekaan jangka pendek, sejauh mungkin diusahakan untuk menerapkan The Standar Minimum Rulers Fo The Treatment of Prisoners (SMR) yang telah diadopsi oleh Kongres PBB I tentang pencegahan kejahatan dan pembinaan para pelaku pada tahun 1955 dengan perubahan-perubahannya, selalu berusaha untuk mengembangkan alternatif pidana perampasan kemerdekaan dan program-program pembinaan narapidana di luar lembaga (the institiutuinalization of corrections). 22 Memahami pendapat Muladi di atas, terkandung makna yang menyatakan bahwa penggunaan pidana penjara seperti yang terdapat dalam KUHP sekarang sepertinya sudah bukan merupakan alternatif perbaikan pidana penjara ke arah yang lebih manusiawi dan menghindari dampak negatif bagi perkekmbangan sosial kemasyarakatan
terpidana,
mengakibatkan
timbulnya
pendapat
yang
mempertentangkan manfaat pidana penjara sebagai salah satu sarana politik kriminal, maupun mencegah kejahatan, seperti yang diungkapkan oleh Barda Nawawi Arief: 23
22
Hal ini akan mengakibatkan dehumanisasi pelaku tindak pidana dan pada akhirnya menimbulkan kerugian bagi narapidana yang terlalu lama di dalam lembaga, berupa ketidak mampuan untuk melanjutkan kehidupan secara produktif di dalam masyarakat. Namun demikian keberadaan pidana perampasan kemerdekaan sulit dihindari karena untuk menggantikan sarana primitis ini dengan yang lebih baik belum dapat dilakukan. 23 Barda Nawawi Arief, Kebijaksanaan Sanksi Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan, Makalah, (Semarang : Universitas Diponegoro, 1989), hlm. 66. Anton Setiawan : Pelaksanaan Pembinaan Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai), 2009
Kritik yang cukup menarik dilihat dari sudut politik kriminal ialah adanya pernyataan bahwa orang tidak menjadi lebih baik tetapi justru menjadi lebih jahat setelah menjalani pidana penjara, terutama apabila pidana penjara ini dikenakan kepada anak-anak atau para remaja. Sehubungan dengan hal ini sering pula diungkapkan bahwa rumah penjara meurpakan perguruan tinggi kejahatan atau pabrik kejahatan. Mengenai kritik terhadap pidana penjara ini, The American Correctional Association pada tahun 1959 telah mengemukakan bahwa pidana penjara yang dilaksanakan berdasarkan pandangan yang bersifat pemidanaan semata-mata, akan lebih banyak menghasilkan penjahat daripada mencegahnya. Dinyatakan selanjutnya, bahwa pidana penjara yang bersifat pemidanaan (punitive imprisonment) saat ini tidaklah merupakan alat pencegah yang efektif kebanyakan penghuni penjara. 24 Gerakan abolosionis ini, secara akademis menampakkan dirinya pada tahun 1983, di Vienna Austria yakni pada The Minth World Congress of Criminology. Norwegia dan Amerika Utara merupakan pelopor gerakan ini, setelah kelompokkelompok tertentu mengkaji secara mendalam keadaan yang menyedihkan dalam kehidupan narapidana. 25 Bilamana gerakan di Amerika menekankan reaksinya pada penghapusan penjara (prison abolitionistis), maka gerakan di kalangan akademis Eropa menekankan keberatannya terhadap “the criminal justice system as a whole” di mana sistem kepenjaraan merupakan jantungnya yang bersifat represif. Pandangan abolosionis ingin membentuk masyarakat yang bebas, dengan cara 24
Ketidakpuasan akan hasil yang dicapai dari adanya suatu sanksi berupa pidana penjara, ternyata bukan saja monopoli para pembaharu hukum di Indonesia, tetapi sebelumnya juga telah muncul apa yang dikenal dengan gerakan abolosionis. 25 Muladi, “Gerakan Abolisionis (Rancangan Non-Refresif Terhadap Kejahatan)”, Makalah, (Semarang : Fakultas Hukum Universitas Tujuh Belas Agustus 1945, 1988), hlm. 1. Anton Setiawan : Pelaksanaan Pembinaan Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai), 2009
menghapuskan penjara-penjara sebagai refleksi pemikiran punitif. Pemikiran dari gerakan kaum abolosionis ini ternyata ditanggapi secara positif oleh Muladi, seperti yang dikatakannya di bawah ini: Terlepas dari segalanya, secara jujur kita harus mengakui bahwa, pidana penjara membawa dampak negatif tidak saja bagi yang terkena, tetapi juga bagi masyarakat. Bagi yang terkena, penderitaan tidak hanya dialami sendiri, tetapi juga bagi keluarganya dan orang-orang yang hidupnya tergantung pada narapidana.Bagi masyarakat, kerugian tampak dari sering timbulnya Residivisme akibat penjatuhan pidana. 26 Di samping Muladi, Roeslan Saleh juga mengungkapkan keprihatinannya terhadap pidana penjara itu banyak laporan dan penelitian mengungkapkan, bahwa selagi menjalani pidana penjara masih banyak pula akibat-akibat sampingan yang negatif. Oleh karenanya pembentuk undang-undang seharusnya berhemat dengan jenis pidana penjara. 27 Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka penelitian ini akan membahas tentang “Pelaksanaan Pembinaan Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan (Studi di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai)”.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka permasalahan pokok dalam penelitian ini adalah:
26 27
Muladi, “Sanksi Alternatif”, Makalah Ilmiah, 1988 hlm. 2. Roeslan Saleh, Segi Lain Hukum Pidana, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1984), hlm. 10.
Anton Setiawan : Pelaksanaan Pembinaan Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai), 2009
1. Bagaimanakah pelaksanaan pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Binjai berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan? 2. Faktor-faktor apakah yang menghambat dan mendukung dalam keberhasilan tujuan pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai? 3. Upaya-upaya apakah yang dilakukan untuk menghadapi hambatan dalam pelaksanaan tujuan pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai?
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan diatas, maka penelitian ini bertujuan: 1. Untuk mengetahui pelaksanaan pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Binjai dengan berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. 2. Untuk mengetahui faktor-faktor pendukung dan penghambat untuk keberhasilan tujuan pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai. 3. Untuk mengetahui upaya-upaya yang dilakukan guna menghadapi hambatan dalam pelaksanaan tujuan pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai.
D. Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah:
Anton Setiawan : Pelaksanaan Pembinaan Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai), 2009
1. Secara teoritis, diharapkan menjadi bahan masukan untuk perkembangan ilmu hukum
pidana,
khususnya
mengenai
bagaimana
melaksanakan
sistem
pemasyarakatan di Lembaga Pemasyarakatan. 2. Secara praktis a. Masukan bagi pihak Lembaga Pemasyarakatan Binjai untuk mengevaluasi pelaksanaan sistem pemasyarakatan Lembaga Pemasyarakatan Binjai dengan berpedoman Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan sehingga mantan narapidana akan benar-benar menyadari kesalahannya yang pada akhirnya akan menjadi anggota masyarakat berguna bagi agama, bangsa, dan negara. b. Masukan bagi pihak Lembaga Pemasyarakatan Binjai serta instansi yang terkait untuk mengevaluasi faktor-faktor yang menghambat dan faktor yang mendukung dalam mencapai keberhasilan sistem pemasyarakatan di Lembaga Pemasyarakatan Binjai. c. Masukan bagi Lembaga Pemasyarakatan Binjai dan instansi terkait untuk dapat mencari upaya penyelesaian dalam menghadapi kendala dalam pelaksanaan sistem pemasyarakatan di Lembaga Pemasyarakatan Binjai.
E. Keaslian Penelitian Berdasarkan penelusuran kepustakaan yang dilakukan oleh peneliti mengenai “Pelaksanaan Pembinaan Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai)”. belum Anton Setiawan : Pelaksanaan Pembinaan Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai), 2009
pernah dilakukan. Hal ini berarti menegaskan bahwa penelitian tersebut adalah asli.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori a. Teori pembinaan pelanggaran hukum Pembinaan pelanggaran hukum menurut sejarah adalah merupakan koreksi atas kegagalan dari konsep pemenjaraan dimana dalam pelaksanaannya telah menimbulkan dampak yang negatif. John Howard yang merupakan sheriff dari Bedford Inggris pada tahun 1777 telah mengorbankan harta dan jiwanya dalm mengunjungi rumah-rumah penjara di Inggris yang bertujuan untuk meringankan orang-orang yang di penjara sehingga pada tahun 1800-an muncul istilah probation (pidana bersyarat) dan parole (pelepasan bersyarat). 28 Kedudukannya sebagai koreksi terhadap pidana penjara, maka pembinaan pelanggaran hukum berdasarkan sistem pemasyarakatan memandang bahwa perilaku melanggar hukum adalah merupakan kekurangan manusiawi yang ada pada setiap manusia dan pada hakekatnya tidak terlepad dari adanya kekurangan yang melekat pada masyarakat. Pembinaan pelanggaran hukum lebih berfungsi untuk pemenuhan kebutuhan dari anggota masyarakat yang melakukan perbuatan melanggar hukum yaitu dalam mempertahankan eksistensinya sebagai sesama manusia, sesama anggota masyarakat dengan hak-haknya yang asasi, yang secara tidak langsung menyangkut pula kebutuhan masyarakat dalam rangka kesejahteraan manusia. Adanya pengenalan antara pemenuhan kebutuhan antara anggota masyarakat yang melanggar hukum di satu sisi dan pemenuhan kebutuhan masyarakat di lain 28
Didin Sudirman, Reposisi dan Revitalisasi Pemasyarakatan, (Jakarta : Pusat Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, 2007), hlm. 105 Anton Setiawan : Pelaksanaan Pembinaan Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai), 2009
pihak (yang sebenarnya tidak dapat di pisahkan satu sama lainnya) menyebabkan adanya pergeseran penekanan dalam pelaksanaan pembinaan sehingga dalam pembinaan pelanggar hukum terdapat adanya 2 (dua) perspektif yaitu: 1) Pola pembinaan yang lebih berorientasi kepada pemenuhan kebutuhan dari yang membina sebagai cerminan pemenuhan kebutuhan masyarakat (official perspective). 2) Pola pembinaan yang lebih berorientasi kepada pemenuhan kebutuhan dari yang di bina (consumers perspective). 29 Dalam sistem pemasyarakatan terlihat adanya suatu upaya adanya pengintegrasian
narapidana,
petugas
pemasyarakatan
dan
masyarakat.
Pemasyarakatan tidak hanya sekedar rehabilitasi dan resosialisasi narapidana tetapi harus ada mata rantai pemulihan hubungan sosial narapidana dengan masyarakat pasca menjalani pidana, setelah narapidana kembali ke masyarakat. 30 Berdasarkan prinsip pemasyarakatan tersebut, terlihat bahwa Sahardjo menginginkan adanya pengintegrasian narapidana, petugas dan masyarakat. Pemasyarakatan tidak hanya sekedar rehabilitasi dan sosialisasi narapidana tetapi harus ada mata rantai pemulihan hubungan sosial narapidana dengan masyarakat pasca menjalani pidana, yaitu penerimaan kembali bekas narapidana setelah di masyarakat. Adapun pertimbangan lain yang di lihat Sahardjo akan perlunya peran masyarakat disebabkan terpidana telah menjalani pidana dan pembinaan sehingga
29
Ibid, hlm. 106 Oleh karena itu pembinaan dengan sistem pemasyarakatan dapat memenuhi tujuan pemidanaan dapat dikaji berdasarkakan teori relatif menurut teori ini pidana bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada orang yang telah melakukan tindak pidana. 30
Anton Setiawan : Pelaksanaan Pembinaan Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai), 2009
tidak boleh ada hukuman tambahan dari pihak manapun. 31 Menurut teori utilitarian, hukuman bertujuan mencegah semua pelanggaran hukum atau kejahatan. Hal ini merupakan tujuan yang paling luas, yaitu mencegah bahkan bila memungkinkan dapat mencegah semua jenis kejahatan. Disamping itu hukuman harus dapat mencegah hal-hal buruk. Tujuan hukuman untuk mendorong setiap orang agar tidak melakukan pelanggaran yang tidak berbahaya atau bukan sesuatu yang jahat, sehingga ada kebebasan untuk memilih, namun didorong untuk tidak memilih perbuatan yang tidak berbahaya. Hukuman bertujuan menekan kejahatan, di mana setelah seseorang itu menjalani hukuman diharapkan tidak melakukan kejahatan kembali. Dalam mencegah kejahatan harus dilakukan dengan biaya semurah mungkin. Hukum pidana yang berisi kumpulan peraturan mengandung larangan akan mendapat sanksi pidana atau hukuman apabila dilanggar. Dengan demikian menjatuhkan hukuman bagi pelaku tindak pidana oleh negara adalah bagian dari perlindungan terhadap hukum yang berlaku serta melindungi kepentingan setiap warga negara. Sejak dipergunakannya institusionalisasi dalam bentuk pidana penjara, maka perkembangan dari pelaksanaan pidana penjara itu sendiri juga tidak dapat dilepaskan dari perkembangan doktrin-doktrin pemidanaan. Fungsi pidana penjara yang semula bertujuan merampas kemerdekaan mengalami perubahan-perubahan sejalan dengan perkembangan masyarakat dan 31
Dalam hal ini Sahardjo ingin memberikan pemahaman bahwa tanggung jawab lembaga pemasyarakatan tidak boleh di campur-adukkan dengan proses penjatuhan pidana. Dengan demikian sejauh mana pemasyarakatan itu dapat memenuhi tujuan pidana, dikaji berdasarkan teori utilitarian. Anton Setiawan : Pelaksanaan Pembinaan Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai), 2009
sejalan pula dengan perkembangan berbagai disiplin ilmu yang mendominasi dan mempengaruhi tujuan dari pidana penjara. 32 Gagasan pemasyarakatan sebagai sistem perlakuan terhadap narapidana di Indonesia pada dasarnya menganut pola reintegrasi yang di anut oleh sebagian besar bangsa-bangsa didunia yang dalam prinsip dasar perlakuannya lebih berorientasi pada pembinaan di tengah-tengah masyarakat (community based corrections ). Walaupun tujuan pidana penjara mengalami perubahan, namun dalam kenyataannya tidak pernah terjadi bahwa tujuan yang lama terjadilah akumulasi dari tujuan-tujuan tersebut yang terhimpun di atas kepentingan individual maupun sosial yang berbedabeda yang tidak jarang bertentangan antara kepentingan yang satu dengan yang lainnya. Teori yang bersifat utilitarian ini lebih ”memandang kedepan” daripada ”memandang ke belakang”. Hukuman digambarkan sebagai landasan moral untuk mencapai sesuatu yang lebih bermanfaat di masa mendatang. Manfaat-manfaat itu mempunyai jangkauan pencegahan kejahatan. Jangkauan pencegahan kejahatan paling tidak mengacu kepada pencegahan umum, ancaman sebagai hukuman harus dapat mempengaruhi pandangan orang akan resiko dari suatu perbuatan jahat, sedangkan pada pencegahan khusus mengacu pada bagaimana hukuman dapat membentuk pandangan orang sebagai objek hukuman. 33
32
Tujuan yang semula ditujukan untuk pembalasan (retribution) beralih kepada penjaraan (deterrence), rehabilitasi (rehabililtation), resosialisasi (resosialitation) dan terakhir reintegrasi sosial (social reintegration). 33
Begitupun halnya dengan incapacitation,mengacu kepada kemampuan hukuman untuk membatasi pelaku dengan cara pemindahan pelaku kejahatan dari masyarakat. Dengan demikian harus Anton Setiawan : Pelaksanaan Pembinaan Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai), 2009
b. Teori pengayoman pemasyarakatan Kedudukan, sifat dan fungsi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 di Lembaga Pemasyarakatan dalam mengayomi serta memasyarakatkan warga binaan cukup penting karena yang tadinya warga binaan dianggap sebagai sampah masyarakat, oleh Lembaga Pemasyarakatan diupayakan kembali menjadi orang yang berguna bagi nusa dan bangsa serta dapat diharapkan berperan aktif dan produktif dalam pembangunan dan bagi dirinya ia dapat berbahagia di dunia dan akhirat. Pencapaian tujuan yang dimaksud dilakukan oleh pihak Lembaga Pemasyarakatan melalui 10 (sepuluh) prinsip pokok pemasyarakatan serta dengan bentuk-bentuk pembinaan, pengayoman yakni pembinaan mental, sosial dan keterampilan. Pengayoman
pemasyarakatan
diberikan
kepada
warga
binaan
yang
berorientasi pada masa depan yang cerah dapat diwujudkan, yakni : 1) Mempercepat kesadaran warga binaan 2) Mempersiapkan kembali kemasyarakat 3) Memberikan bekal untuk hidup bermasyarakat. 34 Untuk mewujudkan sistem pembinaan pemasyarakatan tersebut, maka Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan mengatur tentang hak-hak yang dimiliki oleh narapidana. Hak ini dapat di lihat dalam Pasal 14 UndangUndang Nomor 12 Tahun 1995, menentukan bahwa: 35 Narapidana berhak: ada tujuan lebih jauh dari hanya pidana saja, sehingga teori ini mengharapkan hukuman dapat memperbaiki pelaku kejahatan. 34 Berlin Nainggolan, Implementasi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Sebagai Dasar Mengayomi Serta Memasyarakatkan Warga Binaan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B SiborongBorong, (Medan : FH USU, 2002), hlm. 1. 35 Pasal 14 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Anton Setiawan : Pelaksanaan Pembinaan Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai), 2009
a) b) c) d) e) f) g) h) i) j) k) l) m)
Melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaan. Mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani. Mendapatkan pendidikan dan pengajaran. Mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak. Menyampaikan keluhan. Mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang tidak terlarang. Mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan. Menerima kunjungan keluarga penasehat hukum atau orang tertentu lainnya. Mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi). Mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti, mengunjungi keluarga. Mendapatkan pembebasan bersyarat. Mendapatkan cuti menjelang bebas. Mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam rangka pelaksanaan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan, maka pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan pada tanggal 19 Mei 1999. Peraturan Pemerintah ini dapat dikatakan sangat terlambat, namun demikian kita masih menghargai usaha pemerintah untuk mengatur dengan cara melakukan pembinaan dan pembimbingan terhadap warga dan pemasyarakatan. Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 menentukan bahwa: 1) 2)
3)
Pembinaan narapidana dilaksanakan melalui beberapa tahap pembinaan Tahap pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri dari 3 (tiga) tahap yaitu: a) Tahap awal b) Tahap lanjutan dan c) Tahap akhir Pengalihan pembinaan dari satu tahap ke tahap lain, ditetapkan melalui sidang tim pengamat pemasyarakatan berdasarkan data dari pembina pemasyarakatan, pengaman pemasyarakatan, pembimbing kemasyarakatan dan wali narapaidana.
Anton Setiawan : Pelaksanaan Pembinaan Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai), 2009
4) 5)
Data sebagaimana dimaksud dalam ayat 3 merupakan hasil pengamatan, penilaian dan laporan terhadap pelaksanaan pembinaan. Ketentuan mengenai pengamatan, penilaian dan pelaporan sebagaimana dimaksud dalam ayat 4 diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri. Selanjutnya mengenai waktu untuk tiap-tiap proses pembinaan tersebut diatur
dalam Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 selengkapnya menentukan: 1) Pembinaan tahap awal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf a bagi narapidana dimulai sejak yang bersangkutan berstatus sebagai narapidana sampai dengan 1/3 (satu pertiga) dari masa pidana. 2) Pembinaan tahap lanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf b meliputi: 3) Tahap lanjutan pertama, sejak berakhirnya pembinaan tahap awal sampai dengan ½ (satu perdua) dari masa pidana dan 4) Tahap lanjutan kedua sejak berakhirnya pembinaan tahap lanjutan pertama sampai dengan 2/3 (dua pertiga) masa pidana. 5) Pembinaan tahap akhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf c dilaksanakan sejak berakhirnya tahap lanjutan sampai dengan berakhirnya masa pidana dari narapidana yang bersangkutan. 6) Pentahapan pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), (2) dan (3) ditetapkan melalui sidang Tim Pengamat Pemasyarakatan. Ketentuan Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 dijelaskan bahwa tahapan pembinaan ada 3 (tiga) tahap. Ketentuan tersebut apabila diperhatikan tetap membagi tahapan pembinaan tahap. Karena tahap kedua dibagi dua yaitu pembinaan tahap lanjutan pertama, tahap lanjutan kedua yang dalam Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor. M.02-PK.04.10 Tahun 1990 tentang Pola Pembinaan Pidana/Tahanan disebut tahap kedua untuk tahap lanjutan pertama dan tahap untuk tahap lanjutan kedua. Memahami fungsi Lembaga Pemasyarakatan yang dinyatakan oleh Sahardjo, sejak itu dipakai sistem pemasyarakatan sebagai metode dan pemasyarakatan sebagai Anton Setiawan : Pelaksanaan Pembinaan Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai), 2009
proses. Dengan dipakainya sistem pemasyarakatan sebagai metode pembinaan narapidana, jelas terjadi perubahan fungsi Lembaga Pemasyarakatan yang tadinya sebagai tempat pembalasan berganti sebagai tempat pembinaan. Didalam perjalanannya, bentuk pembinaan yang diterapkan bagi narapidana yang meliputi: 36 a) Pembinaan berupa interaksi langsung sifatnya kekeluargaan antara pembina dan yang dibina; b) Pembinaan yang bersifat persuasif, yaitu berusaha merubah tingkah laku melalui keteladanan; c) Pembinaan berencana, terus-menerus dan sistematis; d) Pembinaan kepribadian yang meliputi kesadaran beragama, barbangsa dan bernegara, intelektual, kecerdasan, kesadaran hukum, keterampilan, mental spiritual. Pelaksanaan pidana penjara dengan menonjolkan aspek pembinaan di dalam lembaga, hingga saat ini mengalami hambatan. Hal ini antara lain disebabkan keterbatasan sarana fisik berupa bangunan penjara dan peralatan bengkel kerja yang masih memakai peninggalan kolonial Belanda; sarana personalia yaitu tenaga ahli yang profesional di bidang ilmu keperilakuan; sarana administrasi dan keuangan berupa terbatasnya dana peraturan dan perundang-undangan yang masih memakai reglemen penjara (Gestichten Reglemen 1917 No.708). 37 Keterbatasan sarana dapat merupakan salah satu penghambat pembinaan narapidana seperti yang diharapkan. Oleh karenanya, sulit untuk menghasilkan pembinaan yang efektif, efisien serta berhasil guna. Hal ini cukup beralasan, mengingat tujuan sistem pemasyarakatan itu sangat ideal, sedangkan sarananya 36
Departemen Kehakiman, Pola Pembinaan Narapidana/Tahanan, 1990 Tujuan pembinaan narapidana selanjutnya dikatakan untuk memperbaiki dan meningkatkan budi pekerti para narapidana dan anak didik yang berada di dalam Lembaga Pemasyarakatan/rumah tahanan negara. 37
Anton Setiawan : Pelaksanaan Pembinaan Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai), 2009
sangat terbatas. Akibatnya, setiap petugas akan mengalami kejenuhan dan berkhayal mengenai cita-cita pemasyarakatan. Masalah pembinaan terhadap narapidana tidak terlepas dengan pembicaraan masalah pidana, pemidanaan. Dalam pidana hal yang tidak kalah penting adalah berkaitan dengan masalah mengapa manusia melakukan perbuatan melanggar hukum. Dalam arti sebab-sebab timbulnya kejahatan dan apa perlunya sanksi hukum pidana diterapkan. Menurut peneliti sampai saat ini meskipun perubahan dalam arti sifat, bentuk dan tujuan pidana, pidana tetap dianggap sebagai satu-satunya jawaban akhir dalam memberantas kejahatan, padahal pandangan ini tidaklah benar karena persoalannya bukan saja pengaruh pidana yang menakutkan atau membentuk penegak hukum yang profesional akan tetapi ada hal lain yang penting diperhatikan adalah adanya faktor motif timbulnya pelanggar-pelanggar hukum. 38 J.E. Sahetapy dalam disertasinya, mengemukakan bahwa pemidanaan bertujuan “pembebasan” pidana harus dapat membebaskan si pelaku dari cara atau jalan yang keliru yang telah ditempuhnya. Maka membebaskan tidak identik dengan pengertian rehabilitasi atau reformasi. Makna membebaskan menghendaki agar si pelaku bukan saja harus dibebaskan dari alam pikiran yang jahat yang keliru, melainkan ia harus pula dibebaskan dari kenyataan sosial dimana ia terbelenggu. 39 Menurut Sahetapy tidak dapat disangkal bahwa dalam pengertian pidana 38
Oleh karena itu sampai saat ini belum dapat diberikan jawaban yang memuaskan mengapa orang melakukan kejahatan tertentu dan mengapa masih ada orang melakukan kejahatan yang sama setelah pelakunya dipidana mati. 39 J.E. Sahetapi, Suatu Studi Khusus Mengenai Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana, (Jakarta : Rajawali Press, 1992), hlm. 279 Anton Setiawan : Pelaksanaan Pembinaan Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai), 2009
tersimpul unsur-unsur penderitaan, tetapi penderitaan dalam tujuan membebaskan bukanlah semata-mata untuk penderitaan agar si pelaku menjadi takut atau merasa menderita akibat suatu pembalasan dendam melainkan derita itu harus dilihat sebagai obat atau sebagai kunci jalan keluar yang membebaskan dan yang memberikan kemungkinan bertobat dengan penuh keyakinan. 40 Peter Hoefnagels mengemukakan tujuan pidana adalah untuk penyelesaian konflik (conflict resolution), mempengaruhi para pelanggar dan orang-orang lain ke arah perbuatan yang kurang lebih sesuai dengan hukum (influencing offenders and possibly other than offenders toward more or less law-conforming behavior). 41 Rijksen, membedakan antara dasar hukum dari pidana dan tujuan pidana. Dasar hukum dari pidana terletak pada pembalasan terhadap kesalahan yakni dari pembalasan itu terletak pembenaran dari wewenang pemerintah untuk memidana (strafbevoegdheid van de overheid). Apakah penguasa juga akan menggunakan wewenang itu tergantung dari tujuan yang dikehendaki. Tujuan itu merupakan penegakan wibawa, penegakan norma, menakut-nakuti, mendamaikan, mempengaruhi tingkah laku dan menyelesaikan konflik. 42 Selanjutnya Roeslan Saleh berpendapat bahwa pada hakekatnya ada dua poros yang menentukan garis hukum pidana yaitu; pertama dari segi prevensi yaitu bahwa hukum pidana adalah hukum sanksi, suatu upaya untuk dapat mempertahankan kelestarian hidup bersama dengan melakukan pencegahan kejahatan dan kedua dari segi pembalasan yaitu bahwa hukum pidana sekaligus merupakan pula penentuan hukum, merupakan koreksi dari dan reaksi atas sesuatu yang bersifat tidak hukum sehingga dapat dikatakan bahwa pidana adalah selaku merupakan perlindungan 40
Ibid, hlm. 280. Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op-Cit, hlm. 21. 42 Ibid, hlm 21. 41
Anton Setiawan : Pelaksanaan Pembinaan Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai), 2009
terhadap masyarakat dan pembalasan atas perbuatan tidak hukum. 43 Memahami fungsi Lembaga Pemasyarakatan yang dilontarkan Sahardjo, sejak itu dipakai sistem pemasyarakatan sebagai metode dan pemasyarakatan sebagai proses. Dengan dipakainya sistem pemasyarakatan sebagai metode pembinaan narapidana, jelas terjadi perubahan fungsi Lembaga Pemasyarakatan yang tadinya sebagai tempat pembalasan berganti sebagai tempat pembinaan. Di dalam perjalanannya, bentuk pembinaan yang diterapkan bagi narapidana yang meliputi: 44 a) Pembinaan berupa interaksi langsung sifatnya kekeluargaan antara pembina dan yang dibina; b) Pembinaan yang bersifat persuasif, yaitu berusaha merubah tingkah laku melalui keteladanan; c) Pembinaan berencana, terus-menerus dan sistematis; d) Pembinaan kepribadian yang meliputi kesadaran beragama, barbangsa dan bernegara, intelektual, kecerdasan, kesadaran hukum, keterampilan, mental spiritual. Keterbatasan sarana dapat merupakan salah satu penghambat pembinaan narapidana seperti yang diharapkan. Oleh karenanya, sulit untuk menghasilkan pembinaan yang efektif, efisien serta berhasil guna. Hal ini cukup beralasan, mengingat tujuan sistem pemasyarakatan itu sangat ideal, sedangkan sarananya sangat terbatas. Akibatnya, setiap petugas akan mengalami kejenuhan mengenai citacita pemasyarakatan. Richard D. Schwartz dan Jerome H. Skolnick, menyatakan sanksi pidana dimaksudkan untuk a) mencegah terjadinya pengulangan tindak pidana (to prevent recidivism); b) mencegah orang lain melakukan perbuatan yang sama 43
Disamping mengandung hal-hal lain yaitu bahwa pidana diharapkan sebagai sesuatu yang akan membawa kerukunan dan pidana adalah suatu proses pendidikan untuk menjadikan orang dapat diterima kembali dalam masyarakat. 44 Departemen Kehakiman, Pola Pembinaan Narapidana/Tahanan, 1990. Anton Setiawan : Pelaksanaan Pembinaan Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai), 2009
seperti yang dilakukan si terpidana (to deter other from the peformance of similar acts); c) menyediakan saluran untuk mewujudkan motif-motif balas (to provide a channel for the expression of realiatory motives). 45 Selanjutnya Emile Durkheim mengatakan mengenai fungsi dari pidana adalah untuk menciptakan kemungkinan bagi pelepasan emosi-emosi yang ditimbulkan atau diguncangkan oleh adanya kejahatan (the function of punishment is to create a possibility for the release of emotion that are aroused by the time). 46 Roger Hood berpendapat bahwa sasaran pidana disamping untuk mencegah terpidana atau pembuat potensial melakukan tindak pidana juga untuk, pertama memperkuat
kembali
nilai-nilai
sosial
(reinforcing
social
values),
kedua
menentramkan rasa takut masyarakat terhadap kejahatan (allaying public fear of crime). 47 Ahli di bidang kepenjaraan (penolog) mengakui bahwa ada 3 (tiga) elemen pokok apabila tujuan pemasyarakatan tercapai, yaitu: 1) petugas; 2) narapidana; dan 3) masyarakat. Dipertimbangkannya unsur masyarakat adalah sesuatu yang rasional dan tepat mengingat beberapa hal bahwa narapidana adalah anggota masyarakat yang telah melanggar hukum, serta narapidana juga nantinya setelah lepas menjalani hukuman kembali ke masyarakat. 48 Sistem pemasyarakatan sebagai petunjuk arah pembinaan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan belum mencapai hasil yang memadai, dengan beberapa indikator: 49
45
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung : Alumni, 1998), hlm. 20. 46 Ibid, hlm. 19. 47 Ibid., hlm. 21. 48 Hal ini berarti bahwa pembinaan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan dirasakan tidak mencukupi karena pembinaan hanya sebatas masa hukuman. 49 Oleh karena itu lanjutan pembinaan tetap berada di lingkungan masyarakat itu sendiri yang Anton Setiawan : Pelaksanaan Pembinaan Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai), 2009
a) Narapidana yang melarikan diri dari Lembaga Pemasyarakatan. b) Pelanggaran hak-hak narapidana. c) Penolakan bekas narapidana oleh masyarakat. d) Keterbatasan sarana maupun prasarana dalam mendukung pembinaan.
2. Kerangka Konsepsional Konsep atau pengertian merupakan unsur pokok dari suatu penelitian, jika masalah dan kerangka konsep teoritisnya telah jelas, biasanya sudah diketahui pula fakta mengenai gejala-gejala yang menjadi pokok perhatian, dan suatu konsep sebenarnya adalah defenisi secara singkat dari apa yang diamati, konsep menentukan antara variabel yang ingin menentukan adanya hubungan empiris. 50 Oleh karena itu dalam penelitian ini didefinisikan beberapa konsep dasar agar secara operasional diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan, yaitu: 1. Penjara adalah bangunan untuk menempatkan para terpidana; lembaga pemasyarakatan; bui; hal ini erat hubungannya dengan Pasal 10 KUHP, yaitu: Pidana terdiri atas:
berimplikasi terhadap masyarakat bertanggungjawab bagi kelangsungan kehidupan sosial ekonomi bekas narapidana. Faktor penerimaan masyarakt terhadap bekas narapidana tidak hanya sekedar menerima menjadi anggota keluarga ataupun lingkungannya, tetapi harus menghilangkan prasangka buruk akan adanya kemungkinan melakukan kejahatan kembali dengan cara menerima kembali bekerja di berbagai lapangan pekerjaan. 50 Koentjorodiningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta : Gramedia Pustaka, 1997), hlm. 21. Anton Setiawan : Pelaksanaan Pembinaan Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai), 2009
a. Pidana pokok: 1. Pidana mati; 2. Pidana penjara; 3. Pidana kurungan; 4. Pidana denda; 5. Pidana tutupan. b. Pidana tambahan: 1. Pencabutan hak-hak tertentu; 2. Perampasan barang-barang tertentu; 3. Pengumuman putusan hakim. 51 2. Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan, dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana. 52
G. Metode Penelitian 1. Spesifikasi dan Sifat Penelitian Pendekatan masalah dalam penelitian tesis “Pelaksanaan Pembinaan Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (Studi di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai)” yang peneliti laksanakan menggabungkan pendekatan yuridis normatif dengan yuridis sosiologis. Pendekatan yuridis normatif dilakukan dengan menginventarisasi dan meneliti bahan kepustakaan hukum yang terkait dengan tujuan pidana, penjara, dan pemasyarakatan serta peraturan perundang-undangan lainnya. 53 Sedangkan penelitian empiris dilakukan melalui penelitian terhadap sistem pemasyarakatan di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. 54
51
Ibid, hlm. 350. Ketentuan Umum butir 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan 53 Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta : Rineka Cipta, 1996), hlm. 4. 54 Bambang Waluyo, Penelitian Hukum, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1998), hlm. 54. 52
Anton Setiawan : Pelaksanaan Pembinaan Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai), 2009
2. Lokasi Penelitian Penelitian ini mengambil lokasi di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai karena merupakan Lembaga Pemasyarakatan yang menerapkan sistem pembinaan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan sehingga dapat dijadikan teladan bagi Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai.
3. Metode Pengumpulan Data Penelitian ini menggunakan metode empiris yang dilakukan dengan studi lapangan dengan cara penyebaran kuesioner, wawancara, dan pengamatan terhadap pelaksanaan pembinaan dalam pelaksanaan sistem pemasyarakatan di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai.
4. Analisis Data Data yang diperoleh melalui wawancara, observasi, dan studi kepustakaan dikelompokkan
berdasarkan
realibilitasnya,
yang
akan
dianalisis
dengan
menggunakan analisis kualitatif. Pada analisis kualitatif ini peneliti akan menganalisis hasil wawancara dari responden dan membuat tabel hasil kuesioner serta melakukan evaluasi hasil pengamatan yang ada yaitu keadaan serta gejala-gejala yang ada selama di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai, yang selanjutnya dilaporkan dengan menggunakan sistem penulisan deskriptif analitis.
Anton Setiawan : Pelaksanaan Pembinaan Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai), 2009
BAB II PEMBINAAN NARAPIDANA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN
A. Gambaran Umum Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai 1. Sejarah Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai
a) b) c) d)
Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai merupakan bangunan peninggalan pemerintahan kolonial Belanda yang berdiri pada tahun 1918. Terletak di Jalan Jendral Gatot Subroto No. 72 Binjai, dengan luas areal seluruhnya adalah 30.980,00 m2 yang terdiri dan bangunan seluas ± 10.755.20 m2 dan sisa tanah dipergunakan untuk perkebunan kelapa sawit dan perumahan pegawai. Secara geografis Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai mempunyai batasan-batasan sebagai berikut : Sebelah selatan berbatasan dengan perkebunan Tanjung Jati. Sebelah utara berbatasan dengan Jl. Jend. Gatot Subroto. Sebelah barat berbatasan dengan SD lnpres 02. Sebelah timur berbatasan dengan pemukiman penduduk. 55
2. Bangunan Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai Bangunan Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai berbentuk persegi panjang dikelilingi oleh tembok setinggai ± 4 meter dan terdapat pos jaga di setiap 55
Wawancara dengan Ibu Nurmawaty selaku Ka. Sub Bag. TU di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai pada tanggal 3 Maret 2009 Anton Setiawan : Pelaksanaan Pembinaan Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai), 2009
sudutnya. Berikut bangunan-bangunan yang ada di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai: 1) Perkantoran. 2) Blok hunian. a. Blok A (tahanan) b. Blok B (narapidana) c. Blok C (tahanan wanita) d. Blok D (narapidana)
35
e. Blok E f. Blok F 3) Mesjid. 4) Gereja. 5) Poloklinik. 6) Aula. 7) Perpustakaan. 8) Kantin. 9) Ruang kunjungan. 10) Dapur. 11) Gudang. 12) Ruang kegiatan kerja. 13) Kamar mandi dan wc. 3.
Struktur Organisasi Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai
Anton Setiawan : Pelaksanaan Pembinaan Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai), 2009
Efektifitas dan mobilitas di dalam Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai ditentukan oleh sistem mekanisme kerja yang ada dimana masing-masing telah mempunyai tugas dan kewajiban atau wewenang yang telah ditentukan. Berikut ini struktur organisasi Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai, yaitu:
Anton Setiawan : Pelaksanaan Pembinaan Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai), 2009
Anton Setiawan : Pelaksanaan Pembinaan Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai), 2009
4.
Keadaan Petugas Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai Keberhasilan suatu pembinaan narapidana tidak terlepas dari partisipasi
petugas. Jumlah petugas atau pegawai di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai adalah 82 (delapan puluh dua) orang. Tabel 1 Rekapitulasi Data Pegawai Berdasarkan Golongan di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai Bulan April Tahun 2009 No. 1. 2. 3. 4.
Golongan
Jumlah 46 orang 35 orang 1 orang
I II III IV Total
82 orang
Sumber data : Ka. Sub Bag. TU berdasarkan data bulan April 2009 di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai Berdasarkan Tabel 1 diatas dapat diketahui bahwa sebagaian besar pegawai masih berada di golongan II dan III yang dilhat berdasarkan masa kerja. Sedangkan tingkat pendidikan pegawai relatif lebih banyak di tingkat SLTA. Hal ini dapat dilihat melalui tabel 2 di bawah ini:
Tabel 2
Rekapitulasi Data Pegawai Berdasarkan Tingkat Pendidikan di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai Bulan April Tahun 2009 No. 1. 2. 3. 4.
Tingkat Pendidikan Sarjana Lengkap Sarjana Muda SLTA SLTP
Jumlah 18 orang 1 orang 60 orang 3 orang
Sumber data : Ka. Sub Bag. TU berdasarkan data bulan April 2009 di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai i
Tabel 3
Rekapitulasi Data Pegawai Berdasarkan Jenis Kelamin di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai Tahun 2009 No. 1. 2.
Jenis Kelamin Laki-Laki Perempuan
Jumlah 71 orang 11 orang
Sumber data : Ka. Sub Bag. TU berdasarkan data bulan Februari 2009 di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai Tabel 4 Rekapitulasi Data Pegawai Berdasarkan Jabatan di Pemasyarakatan Klas II A Binjai Tahun 2009 No.
Jabatan
Lembaga
Jumlah
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Pejabat Struktural 14 orang Staf Umum 3 orang Staf Kepegawaian 6 orang Staf Bimkemas 4 orang Staf Kegiatan Kerja 2 orang Staf Kamtib 3 orang Staf KPLP 12 orang Staf Registrasi 4 orang Petugas Jaga 34 orang Total 82 orang Sumber data : Ka. Sub Bag. TU berdasarkan data bulan Februari 2009 di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai Struktur organisasi Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai dan uraian tugas masing-masing adalah: 56 1) Kepala lembaga pemasyarakatan Menyusun
rencana
kerja
Lembaga
Pemasyarakatan
dengan
mengkoordinasikan tugas seksi pembinaan, seksi kegiatan kerja, seksi administrasi keamanan dan tata tertib, pengamanan Lembaga Pemasyarakatan sesuai dengan 56
Wawancara dengan Ibu Nurmawaty selaku Ka. Sub Bag. TU di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai pada tanggal 3 Maret 2009
ii
petunjuk dan aturan yang berlaku. Menilai dan mengesahkan penilaian pekerjaan dan pegawai dalam lingkungan Lembaga Pemasyarakatan dan melakukan pembinaan pegawai di lingkungan Lembaga Pemasyarakatan. 2) Sub bagian tata usaha Menyusun rencana kerja pada Sub Bagian Tata Usaha, mengkoordinasikan pelaksanaan tugas ketatausahaan pada urusan umum, kepegawaian dan keuangan Lembaga Pemasyarakatan sesuai dengan ketentuan dan peraturan perundangundangan yang berlaku dalam rangka pemberian pelayanan administrasi serta mengesahkan penilaian pelaksanaan pekerjaan pejabat bawahan. Dalam pelaksanaan tugasnya dibantu oleh: a) Urusan Kepegawaian dan Keuangan, yang mempunyai tugas melakukan urusan kepegawaian dan keuangan seperti: pengusulan calon pegawai yang telah memenuhi syarat untuk mengikuti pelatihan pra jabatan, pengusulan kenaikan pangkat, pengusulan pengangkatan dalam jabatan struktural, pengusulan pemindahan pegawai, pengusulan pemberhentian pegawai, pengusulan pensiun pegawai, membuat daftar gaji/ lembur dan rapel pegawai, melakukan pembayaran gaji, mengkoordinasikan penyusunan Daftar Urutan Kepangkatan (DUK) dan Daftar Usulan Proyek (DUP), melaksanakan pencairan dana, membayar atas tagihan beban anggaran rutin, melakukan pemotongan pajak pada setiap pengeluaran, melakukan penilaian pelaksanaan pekerjaan pejabat/ staf. b) Urusan Umum, mempunyai tugas antara lain: melakukan hal-hal yang berkaitan dengan surat-menyurat, melakukan pemeliharaan kendaraan dinas, perlengkapan iii
kantor, gedung dan rumah dinas, mengkoordinasikan penyusunan Daftar Usulan Proyek (DUP), melakukan penilaian pelaksanaan pekerjaan pejabat/ staf. 57 3) Seksi bimbingan narapidana/anak didik Menetapkan
rencana
kerja
seksi
bimbingan
narapidana/anak
didik,
mengkoordinasikan pelaksanaan bimbingan terhadap narapidana/anak didik dalam lingkungan Lembaga Pemasyarakatan dengan melakukan registrasi dan membuat statistik serta dokumentasi sidik jari, memberikan bimbingan kemasyarakatan, mengurus kesehatan dan memberikan bimbingan dan penyuluhan rohani, memberikan latihan olah raga, peningkatan pengetahuan dan asimilasi, cuti pelepasan dan kesejahteraan narapidana/anak didik serta mengesahkan penilaian pelaksanaan pekerjaan pejabat bawahan. Dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh: a.
Sub Seksi Registrasi, mempunyai tugas untuk melakukan pendaftaran terhadap narapidana baru dengan urutan sebagai berikut: a)
Meneliti sah tidaknya surat keputusan (vonis)/surat penetapan/surat perintah dan mencocokkan narapidana/ tahanan yang bersangkutan.
b)
Mencatat identitas narapidana/tahanan dalam buku register B bagi narapidana dan buku register A untuk tahanan.
57
Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor M.01.PR.07.03 Tahun 1995 tanggal 26 Februari 1985 tentang Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pemasyarakatan
iv
c)
Meneliti
barang-barang
bawaan
narapidana/tahanan,
kemudian
mencatatnya dalam buku penitipan barang (register D), setelah itu barang-barang diberi label yang diatasnya diberi nama pemilik. d)
Mengambil teraan jari (tiga jari kiri) narapidana pada surat keputusan dan 10 (sepuluh) jari kanan kiri pada kartu dektiloskopi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
e)
Mengambil foto narapidana.
f)
Memerintahkan untuk memeriksa narapidana kepada dokter atau paramedis.
g)
Setelah pemeriksaan kesehatan, petugas pendaftaran membuat berita acara penerimaan narapidana yang ditandatangani bersama.
h) b.
Menilai pelaksanaan pekerjaan pejabat/ staf bawahan.
Sub Seksi Bimbingan Kemasyarakatan Perawatan, yang mempunyai untuk melakukan tugas: a)
Memberikan bimbingan dan penyuluhan rohani.
b)
Memberikan latihan olah raga.
c)
Memberikan bimbingan kemasyarakatan.
d)
Peningkatan pengetahuan asimilasi, cuti penglepasan.
e)
Memberikan kesejahteraan bagi narapidana.
f)
Memberikan perawatan kesehatan narapidana.
g)
Menilai pelaksanaan pekerjaan pejabat staf bawahan. v
4) Seksi kegiatan kerja Bertugas untuk menyusun rencana kerja pada Seksi Kegiatan Kerja, mengkoordinasikan pemberian bimbingan kerja, mempersiapkan sarana kerja dan mengelola hasil kerja yang meliputi pemberian bimbingan latihan kerja bagai narapidana/anak didik, mempersiapkan fasilitas sarana kerja serta mengelola hasil kerja
sesuai
dengan
ketentuan
yang
berlaku
dalam
rangka
pembinaan
narapidana/anak didik, serta mengesahkan penilaian pelaksanaan pekerjaan pejabat bawahan. Dalam pelaksanaan tugasnya dibantu oleh: a) Sub Seksi Bimbingan Kerja dan Pengelolaan Hasil Kerja, mempunyai tugas memberikan petunjuk dan bimbingan latihan kerja bagi narapidana/anak didik, memanfaatkan keterampilan narapidana yang menonjol sebagai tutor sesama narapidana/anak didik,
serta
mengelola
hasil
kerja,
menilai
pelaksanaan pekerjaan pejabat/ staf bawahan. b) Sub Seksi Sarana Kerja, mempunyai tugas untuk mempersiapkan fasilitas kerja yang dibutuhkan sesuai dengan program kerja yang telah ditetapkan, menilai pelaksanaan pekerjaan pejabat/staf bawahan. 5) Seksi administrasi keamanan dan ketertiban Bertugas menyusun rencana kerja Seksi Administrasi Keamanan dan Ketertiban, mengkoordinasikan kegiatan administrasi keamanan, pelaporan dan tata tertib sesuai peraturan dan ketentuan yang berlaku dalam rangka terciptanya suasana aman dan tertib di lingkungan Lembaga Pemasyarakatan, serta mengesahkan menilai pelaksanaan tugasnya dibantu oleh: vi
a) Sub Seksi Keamanan, mempunyai tugas untuk mengatur jadwal tugas pengamanan,
melakukan
pengawasan
dan
pengontrolan
penggunaan
perlengkapan keamanan, pembagian tugas pengamanan, dan memberikan penilaian pelaksanaan pekerjaan pegawai bawahan. b) Sub Seksi Pelaporan dan Tata Tertib, bertugas untuk menerima laporan harian dan berita acara dari satuan pengamanan yang bertugas, menyiapkan laporan berkala di Seksi Keamanan dan Tata Tertib, dan menilai pelaksanaan pekerjaan pegawai bawahan. 6) Kesatuan pengamanan lembaga pemasyarakatan Terdiri dari petugas-petugas pengamanan antara lain Rupam dan Ruport yang bertugas untuk menjaga keamanan dan ketertiban Lembaga Pemasyarakatan dengan melakukan fungsinya dalam penjagaan dan pengawasan terhadap narapidana/anak didik, melakukan pemeliharaan keamanan dan ketertiban, melakukan pengawalan, penerimaan, penempatan dan pengeluaran narapidana/anak didik, melakukan pemeriksaan terhadap pelanggar keamanan, membuat laporan harian dan berita acara pelaksanaan pengamanan, serta mengesahkan penilaian pelaksanaan pekerjaan pegawai bawahan.
5. Keadaan Penghuni Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai mempunyai kapasitas hunian sebanyak 400 (empat ratus) orang. Akantetapi jumlah hunian yang berada di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai pada bulan April 2009 adalah sebesar 788 vii
(tujuh ratus delapan puluh delapan) orang. 58
B. Pola Pembinaan Narapidana Kejahatan adalah suatu gejala atau suatu persoalan yang melekat dalam masyarakat, merupakan teori Frank Tannenbaum dalam preface buku “Horizons in Criminology” karya Barnes & Teeters; “Crime is Eternal as Eternal as Society”. Manusia sesuai dengan kodratnya lahir dan hidup dalam kelompok-kelompok tipe dan corak organisasi kemanusiaan. 59 Dari hal di atas kelihatannya bahwa kejahatan sama sekali tidak dikehendaki oleh masyarakat, tetapi justru kejahatan itu selalu ada dan dilakukan oleh anggota masyarakat itu sendiri. Dengan demikian maka agak sulit diterima bahwa kejahatan pasti dapat dihilangkan dan dilenyapkan secara tuntas dari muka bumi. Sejalan dengan keadaan yang demikian itu maka salah satu jalan yang ditempuh adalah berusaha untuk mencegah dan menekan timbulnya kejahatan, dan juga memperbaiki para penjahat agar bisa kembali sebagai warga masyarakat yang berguna dan dapat dituntut rasa tanggung jawabnya baik sebagai manusia pribadi maupun sebagai anggota masyarakat. Herbert L. Packer dalam bukunya “the units of the criminal sanction” menyebutkan bahwa sanksi pidana suatu ketika merupakan penjamin yang utama atau 58
Wawancara dengan Ibu Nurmawaty selaku Ka. Sub Bag. TU di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai pada tanggal 3 Maret 2009 59 Sifat-sifat manusia tidak selalu sejalan dengan apa yang dikehendaki oleh tuntutan masyarakat, termasuk dalam hal ini perilaku manusia yang dinamakan dengan kejahatan. Oleh karena itulah kejahatan tidak dapat dihapuskan dari masyarakat, kecuali dalam pikiran utopistis sebenarnya tidak akan ada.
viii
terbaik dan suatu ketika merupakanpengancam yang utama dari kebebasan manusia itu sendiri. Sanksi pidana merupakan penjaminapabila dipergunakan secara hemat, cermat, dan manusiawi. Sementara sebaliknya, bisa merupakan ancaman jika digunakan secara sembarangan dan secara paksa. 60 Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan, dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana. Dengan adanya sistem pemasyarakatan akan menjadi suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina, dan masyarakat. 61 John Delaney mengatakan bahwa pengintegrasian kembali narapidana ke dalam masyarakat harus dilakukan lewat tahapan “self realisation process” yaitu satu proses yang memperhatikan dengan seksama pengalaman, nilai-nilai, pengharapan dan cita-cita narapidana, termasuk di dalamnya latar belakang budayanya, kelembagaannya dan kondisi masyarakat dari mana ia berasal. 62 David Rothman mengatakan bahwa rehabilitasi adalah kebohongan yang 60
Konsep Lembaga Pemasyarakatan pada level empirisnya, sesungguhnya, tak ada bedanya dengan penjara. Bahkan ada tudingan bahwa Lembaga Pemasyarakatan adalah sekolah kejahatan. Sebab orang justru menjadi lebih jahat setelah menjalani hukuman penjara di Lembaga Pemasyarakatan. Ini menjadi salah satu faktor dominan munculnya seseorang bekas narapidana melakukan kejahatan lagi, yang biasa disebut dengan residivis. 61 Sistem pemasyarakatan bertujuan untuk meningkatkan kualitas Warga Binaan Pemasyarakatan agar menyadari kesalahannya, memperbaiki diri, serta tidak akan mengulangi tindak pidana sehingga diharapkan dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat berpedan aktif dalam pembangunan, serta dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggungjawab. 62 Bandingkan dengan pendapat Robert Martison yang telah mempelajari ratusan program reformasi selama jangka waktu dua dasawarsa mengambil kesimpulan bahwa penjara yang telah melakukan segala usaha untuk merehabilitasi penjahat tidak akan berhasil.
ix
diagung-agungkan. Pernyataan Rothman ini muncul setelah ia melihat kenyataan yang sebenarnya bahwa penjara mengasingkan penjahat dari cara hidup yang wajar sehingga la tidak siap untuk hidup di jalan yang benar setelah ia dibebaskan dari penjara. Juga kenyataan adanya kekerasan dalam penjara yang merendahkan martabat manusia di penjara. 63 Selain itu jenis keterampilan atau pekerjaan yang ada sangat terbatas dengan upah yang tidak memadai. Ironisnya, hampir seluruh tindak kejahatan yang ditangani oleh sistem peradilan pidana Indonesia selalu berakhir di penjara. Padahal penjara bukan solusi terbaik dalam menyelesaikan masalah-masalah kejahatan, khususnya tindak kejahatan di mana “kerusakan” yang ditimbulkan oleh tindak kejahatan tersebut masih bisa di restorasi sehingga kondisi yang telah “rusak” dapat dikembalikan ke keadaan semula, di mana dalam keadilan restoratif mi dimungkinkan adanya penghilangan stigma dari individu pelaku. 64 Studi lapangan (field study} yang dilakukan dalam penelitian ini bertujuan memperoleh gambaran yang detil, mendalam dan memadai mengenai situasi program pembinaan ketrampilan kerja/latihan kerja yang sekarang ini berjalan di dalam dan luar lembaga, Mencari faktor signifikansi program tersebut untuk menjadi faktor penghalang seorang mantan penghuni penjara kembali ke dalam penjara. Dalam hal pembinaan dan perlakuan narapidana dapat dilakukan dengan indikator relevansi program dengan kemampuan survival bagi orang-orang yang telah dibebaskan dalam 63
Yang dimaksud Rothman adalah penjara telah mengasingkan penjahat dari cara hidup yang wajar melalui sikap para petugas penjara terhadap para terpidana yang selalu diiringi rasa was-was, mereka merasa setiap saat dalam keadaan bahaya karena mereka dikelilingi oleh penjahat yang dicurigai setiap saat memberontak. 64 Dalam menyikapi tindak kejahatan yang dianggap dapat di restorasi kembali, dikenal suatu paradigma penghukuman yang disebut sebagai restorative justice, di mana pelaku di dorong untuk memperbaiki kerugian yang telah ditimbulkannya kepada korban, keluarganya dan juga masyarakat. Berkaitan dengan kejahatan yang kerusakan masih bisa diperbaiki, pada dasarnya masyarakat menginginkan agar bagi pelaku diberikan “pelayanan” yang bersifat rehabilitatif. Masyarakat mengharapkan para pelaku kejahatan akan menjadi lebih baik dibanding sebelurn mereka masuk kedalam institusi penjara.
x
mencegah residivisme. 65 Sistem pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan yang baru berorientasi bottom up approach yaitu permbinaan Warga Binaan Pemasyarakatan yang berdasarkan kebutuhan belajar Warga Binaan Pemasyarakatan sesuai dengan hasil pre test sebelum dilakukan pembinaan. Pada pertengahan dilakukannya pembinaan, akan dilakukan mid test untuk mengetahui tingkat keberhasilan pembinaan bagi Warga Binaan Pemasyarakatan dan setelah pembinaan selesai dilakukan akan diberikan post test untuk mengevaluasi pembinaan yang diberikan. 66 Dalam melaksanakan pembinaan di lingkungan Lapas, Rutan/Cabrutan dan Balai Bapas, terdapat faktor-faktor yang perlu mendapat perhatian karena dapat berfungsi sebagai faktor pendukung dan dapat pula menjadi faktor penghambat. Faktor-faktor yang dimaksud antara lain: 1) Pola dan tata letak bangunan Pola dan tata letak bangunan sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor M.01.PL.01.01 Tahun 1985 tanggal 11 April 1985 tentang Pola Bangunan Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara perlu diwujudkan, karena pola dan tata letak bangunan merupakan faktor yang penting guna mendukung pembinaan, sesuai dengan tujuan pemasyarakatan. 67 2) Struktur organisasi 65
Kerangka berpikir yang dipergunakan untuk menganalisa berangkat dari pemikiranpemikiran tersebut pada akhirnya memunculkan peacemaking criminology yang menawarkan suatu pilihan tentang bentuk penghukuman yang bersifat non-violence dilakukan diluar Lembaga Pemasyarakatan, melibatkan partisipasi aktif korban, bersatu untuk mengintegrasikan pelaku ke dalam masyarakat, melalui suatu mekanisme mediasi. 66 Ady Suyatno, Himpunan Perundang-undangan Tentang Pemasyarakatan, (Jakarta : Dirjen Pemasyarakatan Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, 2003), hlm. 20. 67 Lokasi Lembaga Pemasyarakatan Binjai terletak di Jalan Jenderal Gatot Subroto No. 72 kota Binjai, dengan luas areal seluruhnya adalah 30.980,00 m2 yang terdiri dan bangunan seluas ± 10.755.20 m2. Perlu adanya perluasan bangunan untuk mengantisipasi over kapasitas narapidana yang kian meningkat tiap tahunnya.
xi
Mekanisme kerja, khususnya hubungan dan jalur-jalur perintah/ komando dan staf hendaknya mampu dilaksanakan secara berdaya guna agar pelaksanaan tugas di setiap unit kerja berjalan dengan lancar. Setiap petugas harus mengerti dan dapat menjalankan tugasnya sesuai dengan wewenang dan tanggungjawabnya masingmasing. Namun demikian, disiplin/penerapan struktur organisasi hendaknya tidak menjadikan tugas-tugas menjadi lamban apabila sampai terlambat. Dengan perkataan lain struktur organisasi tidak boleh menjadi faktor penghambat, sehingga harus diperlakukan secara luwes, sepanjang tidak melanggar ketentuan yang ada. 3) Kepemimpinan Kalapas, Karutan/Kacabrutan dan Kabapas Kepemimpinan Kalapas, Karutan/Kacabrutan dan Kabapas akan mampu menjadi faktor pendukung apabila kepemimpinannya mampu mendorong motivasi kerja bawahan, membina dan memantapkan disiplin, tanggung jawab dan kerjasama serta kegairahan bekerja. Demikian juga kemampuan profesional dan integritas moral Kalapas, Karutan/ Kacabrutan dan Kabapas, sangat dituntut agar kepemimpinannya dapat menjadi faktor pendukung sekaligus menjadi teladan.
4) Kualitas dan kuantitas petugas Kualitas petugas harus mampu menjawab tantangan-tantangan dan masalahmasalah yang selalu di lingkungan Lapas, Rutan/Cabrutan dan Balai Bapas disamping penguasaan terhadap tugas-tugas rutin. Kekurangan dalam kualitas/jumlah petugas hendaknya dapat diatasi dengan peningkatan kualitas dan pengorganisasian yang rapih, sehingga tidak menjadi factor penghambat atau bahkan menjadi ancaman bagi xii
pembinaan dan keamanan/ketertiban. Petugas
pemasyarakatan
dituntut
untuk
mengikuti
asas-asas
sistem
pembinaan, yaitu: a) Pengayoman adalah perlakuan terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan dalam rangka melindungi masyarakat dari kemungkinan diulanginya tindak pidana oleh Warga Binaan Pemasyarakatan, juga memberikan bekal hidup kepada Warga Binaan Pemasyarakatan agar menjadi warga yang berguna di dalam masyarakat. b) Persamaan perlakuan dan pelayanan adalah pemberian perlakuan dan pelayanan yang sama kepada Warga Binaan Pemasyarakatan tanpa membedabedakan orang. c) Pendidikan dan pembimbingan adalah penyelenggaraan pendidikan dan bimbingan dilaksanakan berdasarkan Pancasila antaralain penanaman jiwa kekeluargaan, keterampilan, pendidikan kerohanian, dan kesempatan untuk menunaikan ibadah. d) Penghormatan harkat dan martabat manusia adalah bahwa sebagai orang yang tersesat Warga Binaan Pemasyarakatan tetap diperlakukan sebagai manusia. e) Kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan adalah bahwa Warga Binaan Pemasyarakatan harus berada didalam Lembaga Pemasyarakatan untuk jangka waktu yang tertentu sehingga negara mempunyai kesempatan penuh untuk memperbaikinya. Selama di Lembaga Pemasyarakatan, Warga Binaan Pemasyarakatan tetap memperoleh hak-hak yang lain seperti layaknya manusia. f) Terjaminnya hak untuk berhubungan dengan keluarga dan orang-orang tertentu adalah bahwa meskipun Warga Binaan Pemasyarakatan berada di Lembaga Pemasyarakatan tetapi harus tetap didekatkan dan dikenalkan dengan masyarakat dan tidak boleh diasingkan dari masyarakat. 68 5) Manajemen Hal ini berkaitan erat dengan mutu kepemimpinan, struktur organisasi dan kemampuan/keterampilan pengelolaan (managerial skill) dari pimpinan maupun staf sehingga pengelolaan administrasi di lingkungan Lapas, Rutan/Cabrutan dan Balai Bapas dapat berjalan tertib dan lancar. Dalam kaitan ini perlu dikaji terus-menerus
68
Dwidja Priyatno, Materi Diklat, (Jakarta : Departemen Hukum dan HAM, 2000), hlm. 10.
xiii
mengenai tipe manajemen pemasyarakatan sesuai dengan kebutuhan dan kondisi Indonesia. 6) Sarana dan fasilitas pembinaan Kekurangan sarana dan fasilitas baik dalam jumlah maupun mutu telah menjadi penghambat pembinaan bahkan telah menjadi salah satu penyebab rawannya keamanan/ketertiban. Adalah menjadi tugas dan kewajiban bagi Kalapas, Karutan/ Kacabrutan dan Kabapas untuk memelihara dan merawat semua sarana/fasilitas yang ada dan mendayagunakannya secara optimal. 7) Anggaran Sekalipun dirasakan kurang mencukupi untuk kebutuhan seluruh program pembinaan, namun diusahakan memanfaatkan anggaran yang tersedia secara berhasil guna dan berdaya guna.
8) Sumber daya alam Sebagai konsekwensi dari pelaksanaan konsep pemasyarakatan terbuka dan produktif, maka sumber daya alam merupakan salah satu faktor pendukung. Namun demikian, tanpa sumber daya alampun pembinaan tetap harus dapat berjalan dengan memanfaatkan sarana dan fasilitas-fasilitas yang ada. 9) Kualitas dan ragam program pembinaan Kualitas bentuk-bentuk program pembinaan tidak semata-mata ditentukan oleh anggaran ataupun sarana dan fasilitas yang tersedia. Diperlukan programxiv
program kreatif tetapi murah dan mudah serta memiliki dampak edukatif yang optimal bagi warga binaan pemasyarakatan. 10) Masalah-masalah lain yang berkaitan dengan warga binaan pemasyarakatan. 69 Sistem pembinaan yang dilaksanakan di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai mengikuti petunjuk yang berdasarkan Surat Edaran Nomor: KP.10.13/3/3/1 tanggal 8 Februari 1995 berupa:
1. Pembinaan Mental Rohani Pembinaan mental dan rohani bertujuan untuk meningkatkan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Pembinaan ini berupa kegiatan kerohanian Islam berupa pengajian, zikir, sholat berjamaah, ceramah, sholat Jumat, dan kegiatan intensif pendidikan Islam yang bekerjasama dengan PIAI (Pendidikan Intensif Agama Islam Kota Binjai) termasuk kegiatan peringatan hari besar keagamaan. Tabel 5
Rekapitulasi Pembinaan Mental Rohani Islam di Pemasyarakatan Klas II A Binjai Tahun 2009
69
Lembaga
Dalam hal ini para petugas dituntut untuk mampu mengenal masalah-masalah lain yang berkaitan dengan warga binaan pemasyarakatan agar dapat mengatasinya dengan tepat. Umumnya masalah itu berkisar pada: a) Sikap acuh tak acuh keluarga narapidana, karena masih ada keluarqa napi yang bersangkutan tidak memperhatikan lagi nasib narapidana tersebut. b) Partisipasi masyarakat yang masih perlu juga ditingkatkan karena masih didapati kenyataan sebahagian anggota masyarakat masih enggan menerima kembali bekas narapidana. c) Kerjasama dengan instansi (badan) tertentu baik yang terkait secara langsung maupun tidak langsung masih perlu ditingkatkan juga, karena masih ada diantaranya yang belum terketuk hatinya untuk membina kerjasama. d) Informasi dan pemberitaan-pemberitaan yang tidak seimbang, bahwa cenderung selalu mendiskreditkan Lapas, Rutan/Cabrutan dan Balai Bapas sehingga dapat merusak citra pemasyarakatan di mata umum. e)
xv
No. 1. 2. 3. 4. 5.
Jadwal
Peserta
Senin, Minggu Pertama Jumat, Minggu Pertama Senin, Minggu Ketiga Jumat, Minggu Ketiga Senin, Minggu Keempat
20 s/d 30 orang
Pemateri PIAI
Sumber data : Wawancara dengan narapidana pada April 2009 di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai Keberadaan mesjid di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai sangat membantu narapidana dalam membina mental rohaninya dengan kondisi mesjid yang masih memungkinkan untuk beribadah dengan adanya sajadah sebanyak 15 (lima belas) buah layak pakai dengan daya tampung 130 (seratus tiga puluh) orang. Pembinaan bagi narapidana Kristen disediakan gereja yang kondisinya kurang layak pakai, seperti: jendela rusak, dinding retak, genteng bocor, pintu rusak, kamar mandi tidak ada, kipas angin kurang jumlahnya.
Tabel 6
Rekapitulasi Pembinaan Mental Rohani Kristen di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai Tahun 2009
Jadwal
Peserta
Pemateri
16 pertemuan/bulan
40 s/d 45 orang (Minggu: 80 orang)
1. GPDI Maranata Medan 2. GPI Binjai 3. Yayasan Pekabaran Injil Solided Gloria Medan 4. GEPKIM Binjai 5. HKBP Jl. Uskup Agung Medan 6. GBKP Batang Serangan Sumber data : Wawancara dengan narapidana pada Februari 2009 di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai Restorative justice adalah suatu proses dimana semua pihak yang terlibat xvi
dalam suatu tindak pidana tertentu bersama-sama memecahkan masalah bagaimana menangani akibatnya di masa yang akan datang. Dilihat dengan kaca mata restorative justice, tindak pidana adalah suatu pelanggaran terhadap manusia dan relasi antar manusia. Tindak pidana menciptakan suatu kewajiban untuk membuat segala sesuatunya menjadi lebih baik dengan melibatkan korban, pelaku, dan masyarakat dalam mencari solusi untuk memperbaiki, rekonsiliasi, dan menentramkan hati. 70 Kesadaran yang muncul, keinginan untuk memulihkan, dan pelaksanaan pemulihan kerugian atau kerusakan diharapkan muncul karena kerelaan dari pelaku tindak pidana bukan dikarenakan adanya paksaan dari pihak lain, Di sisi lain, masyarakat juga mempunyai kewajiban terhadap korban dan pelaku tindak pidana dalam mengintegrasikan mereka kembali ke dalam masyarakat dan menjamin terbukaluasnya kesempatan bagi pelaku untuk dapat memperbaiki diri dan kembali aktif di dalam masyarakat. 71 Meskipun dalam Undang-undang tentang penghukuman dalam sistem peradilan Indonesia tidak diatur secara detail perihal perlakuan minimal yang diberikan oleh negara. Konsep sistem pemasyarakatan maupun peraturan-peraturan standar
minimum
bagi
perlakuan
terhadap
narapidana
menganut
filosofi
penghukuman yang diwarnai pendekatan rehabilitatif, yaitu pendekatan yang menganggap pelaku pelanggar hukum sebagai pesaldtan dan karenanya harus 70
Menurut pandangan restorative justice, pelaku adalah orang yang menjadi target atau sasaran kejahatan, anggota keluarganya, saksi mata, anggota keluarga pelaku, dan masyarakat secara umum. Tindak pidana memunculkan kewajiban dan liabilitas. Pelaku harus dibantu untuk sadar akan kerugian atau kerusakan yang timbul dan dibantu dalam menunaikan kewajibannya untuk secara maksimal memulihkan kerugian atau kerusakan yang timbul sebagai akibat dari perbuatannya 71 Konsep sistem pemasyarakatan dalam instrumen Nasional tentang reaksi negara terhadap orang yang telah divonis melanggar hukum, yang diilhami oleh 10 (sepuluh) prinsip pemasyarakatan dari Sahardjo, memperlihatkan kecenderungan nilai dan pendekatan yang hampir sama dengan nilai dan pendekatan yang terdapat dalam instrumen internasional tentang perlakuan terhadap tahanan dan narapidana, sebagaimana termuat dalam Peraturan-peraturan Standar Minimum (Perserikatan Bangsa Bangsa) bagi Perlakuan terhadap Narapidana, resolusi 663 C (XXIV)/1957 dan resolusi 2076/1977.
xvii
disembuhkan. 72 2. Pembinaan Umum Pembinaan umum merupakan suatu pembinaan yang ditujukan untuk meningkatkan pengetahuan dan mengembangkan fungsi intelektual narapidana. Kegiatan yang dilakukan antara lain mengembangkan fungsi intelektual narapidana. Kegiatan yang dilakukan antara lain program kejar Paket A, kejar Paket B, seminar, pemberdayaan perpustakaan dan penyuluhan. Hal ini dapat dilihat dengan adanya jumlah peserta sebanyak 40 (empat puluh) orang mengikuti Paket B di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai. Tabel 7 Daftar Mata Pelajaran Paket B di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai Bulan April Tahun 2009 No.
Hari
1.
Senin
2.
Selasa
3.
Rabu
Mata Pelajaran 1. 2. 1. 2. 1. 2.
Bahasa Indonesia IPA Bahasa Inggris Matematika IPS PPKN
Nama Guru Zulkifli Julham Al-Khoir Joko Suhardi Danu Tarigan
Jam Pelajaran 09.00 – 10.00 WIB 10.00 – 11.00 WIB 09.00 – 10.00 WIB 10.00 – 11.00 WIB 09.00 – 10.00 WIB 10.00 – 11.00 WIB
Sumber data : Wawancara dengan narapidana pada Bulan April 2009 di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai
3. Pembinaan Keterampilan dan Kegiatan Kerja Pembinaan keterampilan dan kegiatan kerja untuk meningkatkan kemampuan
72
Hak-hak narapidana atau orang-orang yang dipenjara sebagaimana tercantum dalam Peraturan-peraturan Standar Minimum (Perserikatan Bangsa Bangsa) bagi perlakuan terhadap narapidana, resolusi 663 C (XXTV)/1957 dan resolusi 2076/1977, sebagian besar juga diatur dalam instrumen-instrumen nasional.
xviii
narapidana dan mengembangkan bakat. Untuk mengetahui minat masing-masing tahanan dalam mengikuti bimbingan keterampilan, dilakukan dengan mengadakan penelitian pada setiap tahanan yang baru masuk Rutan/Cabrutan. Bimbingan keterampilan sedapat mungkin diarahkan kepada jenis-jenis keterampilan yang bermanfaat di masyarakat dan yang dapat dikembangkan lebih lanjut di Lapas apabila kelak telah diputus menjadi narapidana, seperti keperluan industri kecil (pertukangan), pertanian, perkebunan dan sebagainya. Kegiatan yang dilakukan antara lain:
Tabel 8 Bimbingan Kerja di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai Bulan April Tahun 2009 No.
Jenis Bimbingan
Peralatan
1. 2. 3. 4.
Buat lampu hias Buat batako/pot bunga Menjahit Bengkel/Listrik
5.
Buat rak baju
6.
Elektronik
Pisau Cetakan, cangkul, sekop Mesin jahit Obeng plat, obeng bunga, kunci pas, kunci inggris, kunci ring. Martil, gergaji, mesin potong, ketam Solder, tang, obeng, gunting, tester, timah, penghisap solder Cangkul, mesin potong rumput
7.
Pertanian
Bahan
Peserta
Bambu, lem Semen, pasir
4 orang 2 orang
Benang -
3 orang 2 orang
Kayu, triplek, 3 orang paku, kuas, lem 2 orang
Bibit tanaman
2 orang
Sumber data : Wawancara dengan Kasi Kegiatan Kerja pada April 2009 di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai Tabel 9: Hasil Produksi di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai Bulan xix
April Tahun 2009 No.
Hasil Produksi
Peserta
Keterangan
1. 2. 3. 4. 5.
Kerajinan tangan Tukang jahit Batako/pot Bengkel/listrik Meubel
5 orang 3 orang 5 orang 2 orang 8 orang
Pelatihan Pelatihan Pelatihan Pelatihan Pelatihan
Sumber data : Wawancara dengan Kasi Kegiatan Kerja pada April 2009 di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai Didalam penyelenggaraan tugas-tugas pemasyarakatan, bimbingan kerja memiliki unsur-unsur penting, yakni :
1) Pendidikan dalam arti yang luas kepada narapidana. 2) Membentuk narapidana menjadi manusia yang kreatif dan inovatif. 3) Menjamin pelaksanaan keamanan karena narapidana lebih aktif melatih diri di bengkel kerja. 4) Mencegah timbulnya pelaku kejahatan baru dari keluarga narapidana karena desakan tuntutan kehidupan sebab pencari nafkah sedang menjalani pidana di LP. Hasil produksi dari bimbingan kerja dan keterampilan merupakan bagian dari pembinaan dalam prinsip–prinsip ekonomi, dimana hasil produksi mendapat perhatian khusus untuk dipasarkan, dengan mempertimbangkan : 1) Pemasaran dan selera konsumen secara umum. 2) Keterkaitan produksi hasil karya narapidana dengan hasil produksi yang sama di masyarakat umum. 3) Kemungkinan pengembangan produksi. 4) Pekerjaan berarti kerja keras yang berarti akan mendorong kebiasaan narapidana untuk berpikir serta berbuat produktif serta ekonomis. xx
5) Faktor daya guna, hasil guna dan tepat guna. 73
4. Pembinaan Lainnya a) Penyuluhan narkoba dan obat berbahaya Merupakan suatu kegiatan pembinaan yang bertujuan untuk membimbing narapidana mengembangkan sikap kemasyarakatan dan menanamkan sikap prososial, sehingga mereka nantinya dapat kembali kemasyarakat dan tidak mengulangi tindakan penyalahgunaan narkoba setelah mereka bebas. Kagiatan ini dilakukan langsung oleh tim medis Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai. Bentuk kegiatan ini dilakukan dengan cara pemeriksaan rutin, pemeriksaan berkala, serta program seminar kesehatan. b) Rehabilitasi medis Perawatan media warga binaan pemasyarakatan berfungsi untuk menjaga agar mereka selalu dalam keadaan sehat jasmaniah maupun rohaniah. Oleh karena itu selalu diusahakan agar mereka tetap memperoleh kebutuhan-kebutuhan dasar yang cukup (misalnya makanan, air bersih untuk minum, mandi wudhu den sebagainya). Rehabilitasi medis dilaksanakan oleh dokter dan perawat.Bentuk kegiatannya: 1) Pemeriksaan kondisi kesehatan dan status narapidana baru 2) Identifikasi penyakit yang diderita 3) Detoksifikasi 4) Pemeriksaan urine bagi pegawai dan narapidana
73
Ibid., hlm. 68
xxi
5) Kontrol dokter ke blok-blok penghuni 6) Kegiatan rawat inap dan rawat jalan 74
Tabel 10
No.
Rekapitulasi Keadaan Kesehatan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai Bulan April Tahun 2009 Jumlah
Penyakit
Laki-laki
Perempuan
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Penyakit Kulit 62 orang 2 orang Penyakit Mata 1 orang Penyakit Perut 23 orang Penyakit Pernafasan 31 orang Penyakit Kelamin Penyakit Malaria Penyakit Beri-beri Kecelakaan 7 orang Keluhan Lain 23 orang Gangguan Jiwa Total 143 orang 2 orang Sumber data : Wawancara dengan Dokter Nisna Gustin pada April 2009 di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai Setiap tahanan berhak memperoleh perawatan kesehatan yang layak berupa:
74
Sesuai dengan hak-hak Warga Binaan Pemasyarakatan berupa mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang baik.
xxii
1) Perawatan kesehatan tahanan di Rutan/Cabrutan dilakukan oleh dokter Rutan/Cabrutan, dalam hal tidak ada Dokter Rutan/Cabrutan dapat dilakukan oleh para medis. 2) Pemeriksaan kesehatan dilakukan sekurang-kurangnya satu kali dalam satu bulan, kecuali ada keluhan, maka sewaktu-waktu dapat diperiksa Dokter. 3) Atas nasehat Dokter Rutan/Cabrutan dan seizin pihak yang menahan tahanan yang sakit dan tidak bisa dirawat di Klinik Rutan/Cabrutan, dapat dikirim ke Rumah Sakit Umum atas izin instansi yang menahan dengan pengawalan POLRI/CPM. Apabila ada tahanan yang meninggal dunia karena sakit segera diberitahukan kepada instansi yang menahan dan keluarga tahanan yang bersangkutan serta dimintakan surat keterangan dari Dokter serta dibuatkan Berita Acara oleh Tim yang dituniuk oleh Karutan/ Kacabrutan. 4) Apabila ada tahanan yang meninggal dunia karena sebab lain, Kepala Rutan/Cabrutan segera melapor kepada Kepolisian terdekat guna penyidikan dan penyelesaian visum et repertum dari Dokter yang berwenang, serta memberi-tahukan kepada instansi yang menahan dan keluarganya. 5) Jenazah yang tidak diambil oleh keluarganya dalam waktu 2 x 24 jam sejak meninggal dunia, padahal telah diberitahukan kepada keluarganya secara layak, maka penguburannya dilakukan oleh Rutan/ Cabrutan atau Rumah Sakit. 6) Barang-barang milik tahanan yang meninggal dunia segera diserahkan kepada keluarganya dan dibuatkan berita acara dan setelah lewat 3 (tiga) bulan lamanya, namun tidak ada keluarganya yang mengambil, maka barang-barang tersebut menjadi milik negara. 7) Pengurusan jenazah dan pemakamannya diselenggarakan secara layak menurut agamanya. 8) Sebelum dimakamkan teraan jari (tiga jari kiri) jenazah, harus diambil untuk pembuktian dan kepastian bahwa jenazah tersebut adalah tahanan yang dimaksud dalam surat-surat dan dokumen yang sah. 9) Setiap ada tahanan yang meninggal dunia segera dilaporkan kepada Kakanwil Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia. 75 5. Pembinaan Olahraga dan Kesenian a) Olahraga Kegiatan olahraga dilaksanakan setiap hari, pagi dan sore sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan. Kegiatan yang dilaksanakan antara lain lari pagi, senam
75
Lihat Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor : M.02-PK.04.10 Tahun 1990 Tentang Pola Pembinaan Narapidana/Tahanana
xxiii
pagi, bola voli, tenis meja dan catur. Tabel 11
No. 1. 2. 3.
Kegiatan Olahraga di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai Bulan April Tahun 2009 Kegiatan
Tenis Meja Bola Volley Takraw
Pembina John Tarigan Anton Setiawan -
Jumlah Laki-laki 47 orang 64 orang 34 orang
Perempuan -
Sumber data : Wawancara dengan Pembina Olahraga John Tarigan pada April 2009 di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai
b) Kesenian Kegiatan kesenian dimaksudkan untuk membina dan mengasah bakat-bakat seni narapidana, sehingga mereka dapat menyalurkan bakat seni yang mereka miliki. Kegiatan kesenian yang dilaksanakan antara lain vokal group dan group band. Dalam instrumen Internasional, secara jelas diatur tentang keberadaan lembaga pengawas yang independen (ombudsman atau oversight committee) atas bekerjanya lembaga-lembaga dan administrasi pemenjaraan, untuk memastikan bahwa lembaga-lembaga ini telah bekerja sebagaimana aturan dan perundang-undangan yang berlaku. Lembaga yang independen ini juga memiliki otoritas atas akses yang luas ke dalam lembaga pemenjaraan dan terhadap narapidana. Narapidana pun memiliki hak untuk menyampaikan keluhan kepada lembaga pengawas yang independen ini secara bebas dan tanpa didengarkan oleh pejabat lembaga pemenjaraan. Tentang lembaga pengawas yang independen ini tidak diatur dalam instrumen nasional. 76 76
Dalam kegiatan pengenalan lingkungan bagi narapidana yang baru masuk ke lembaga pemenjaraan, yang pada saat itu diberikan pengenalan fisik lingkungan, juga seyogyanya diberikan pengenalan atas peraturan-peraturan yang eksis dalam lembaga, tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh narapidana, juga tentang hak dan kewajiban narapidana. Bila dalam instrumen internasional, informasi-informasi tersebut wajib diberikan oleh pejabat lembaga pemenjaraan, tetapi
xxiv
Prinsip-prinsip dasar bahwa pengaturan lembaga pemenjaraan harus meminimalkan berbagai perbedaan diantara kehidupan dalam lembaga dengan kehidupan bebas, yang bertujuan untuk mengurangi pertanggung jawaban para narapidana karena martabat mereka sebagai insan manusia, juga dianut oleh instrumen nasional. Hal-hal tentang pencatatan identitas diri narapidana, kategori-kategori penempatan narapidana, akomodasi, kebersihan pribadi, pakaian narapidana dan tempat tidur, makanan, pelayanan kesehatan, dan lain-lain, mesldpun tidak diatur secara rinci sebagaimana dalam Standard Minimum Rules (UN), dalam instrumen nasional pun hampir semuanya telah diatur, walaupun memang dengan kualitas yang lebih rendah ketimbang ketentuan yang secara eksplisit disebut dalam Standard Minimum Rules (UN). Misalnya, dalam hal pemberian pakaian, perlengkapan tidur, ketersediaan obat-obatan dan petugas medis demikian pula masalah sanitasi dan ventilasi kamar atau sel narapidana. 77 Pemenuhan hak-hak asasi tahanan dan narapidana memang tidak dapat disingkirkan, namun seyogyanya dilaksanakan bersamaan dan seimbang dengan pemenuhan hak-hak asasi pihakpihak yang terkait dengan pelaku kejahatan. Tidak hanya itu, sistem pemasyarakatan yang secara konsisten dan optimal menganut dalam instrumen nasional pemberian pengenalan lingkungan ini diberikan oleh kepala blok. Kepala blok adalah narapidana, yang biasanya dipilih atas kualifikasi pendeknya sisa masa hukuman dan perilaku patuh “hukum” (sesungguhnya hanya patuh kepada petugas) serta memiliki kewibawaan atas narapidana lain, pihak yang diberikan tanggung jawab oleh petugas yang berwenang dalam lembaga sebagai penyambung aspirasi petugas, dan menjadi penanggung jawab atas ketertiban dan keamanan di wilayah bloknya yang terdiri atas beberapa kamar dan dihuni oleh sejumlah narapidana. 77
Berkaitan dengan restorative justice, maka terdapat banyak sekali hal yang terdapat dalam ketentuan internasional ataupun nasional yang terkait dengan penahanan/pemenjaraan sebagai kegiatan terminal yang harus memiliki kontribusi pada kehidupan yang lebih baik, minimal sama, pada diri pelanggar hukum pasca penghukuman. Penekanan pada pemberian pelatihan vokasional sebagai bekal di masa depan, adalah salah satu bentuknya. Dengan kata lain, penghukuman tidak lagi merupakan instrumen retributif ataupun rehabilitatif tetapi juga restoratif. Walaupun demikian, masih berkaitan dengan ide restorative justice, maka terdapat banyak sekali hal yang belum diatur dalam ketentuan internasional ataupun nasional.
xxv
pemikiran restorative justice, sebenarnya tidak menuntut diberlakukannya berbagai hal yang selama ini telah diatur dalam ketentuan internasional ataupun nasional mengenai pembinaan ataupun perlakuan terhadap narapidana. Perspektif restorative justice juga menuntut diadakannya pembentukan ataupun perubahan (bila sebelumnya sudah terbentuk) menyangkut lembaga-lembaga lain di luar lembaga pemasyarakatan guna bersama-sarna lembaga pemasyarakatan merestorasi perilaku jahat atau menyimpang dari narapidana. Baik ketentuan mternasional maupun nasional tidak menyinggung hal itu.78 Sistem peradilan pidana (criminal justice system) adalah sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi masalah kejahatan. 79 Sedangkan pengertian menanggulangi adalah usaha mengendalikan kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi dengan menyelesaikan sebagian besar laporan maupun keluhan masyarakat yang menjadi korban kejahatan dengan mengajukan pelaku kejahatan ke sidang pengadilan untuk diputus bersalah serta mendapat pidana di samping itu ada hal lain yang tidak kalah penting adalah mencegah terjadinya korban kejahatan serta mencegah pelaku untuk mengulangi kejahatannya. Dari uraian di atas dapat dirinci bahwa tujuan sistem peradilan pidana sebagaimana dikatakan oleh Mardjono Reksodiputro sebagai berikut: 1) Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan; 78
Ide restorative justice menghendaki agar proporsi lembaga-lembaga lain tersebut cukup signifikan dibandingkan dengan lembaga pemasyarakatan, melambangkan tersedianya.cukup alternatif dalam rangka pemberian sanksi sosial bagi anggota masyarakat yang melakukan kejahatan dan penyimpangan. 79
Marjono Reksodipitro, Op. Cit., hlm 84
xxvi
2) Menyelesaikan kasus-kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat merasa puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah telah dipidana sehingga masyarakat merasa puas; 3) Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya. 80 Sedangkan menurut Davies mengatakan bahwa tujuan sistem peradilan pidana antara lain: 1) Menjaga masyarakat dengan mencegah kejahatan yang akan terjadi, dengan merehabilitasi terpidana atau orang-orang yang diperkirakan mampu melakukan kejahatan. 2) Menegakkan hukum dan respek kepada hukum dengan memastikan pembinaan yang baik kepada tersangka, terdakwa atau terpidana, mengeksekusi terpidana dan mencegah masyarakat yang tidak bersalah dari tuntutan hukum. 3) Menjaga hukum dan ketertiban. 4) Menghukum pelanggar kejahatan sesuai dengan prinsip keadilan. 5) Membantu korban kejahatan. 81 Berkenaan dengan istilah sistem peradilan pidana atau criminal justice system tidak terpisah dari istilah system yang digambarkan oleh Davies et.al sebagai “the word system conveys an impression of a complex to end”
82
artinya bahwa kata
system menunjukkan adanya suatu kesan dari objek yang komplek lainnya dan berjalan dari awal sampai akhir. Oleh karena itu dalam mewujudkan tujuan sistem tersebut ada empat instansi yang terkait yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan. Keempat komponen tersebut harus bekerja sama secara terpadu (Integrated Criminal Justice Administration).Berproses secara terpadu artinya bahwa keempat sub sistem ini bekerja bagai bejana berhubungan walaupun 80
Ibid, hlm. 85 Davies, Criminal Justice and Introduction to the Criminal Justice System in England and Wales, (London : Longman Group Limited, 1995), hlm. 4 82 Ibid., hlm. 14 81
xxvii
masing-masing berdiri sendiri. Polisi selaku penyidik melakukan penyidikan termasuk penyelidikan, penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan surat. Jaksa selaku penuntut umum melakukan penuntutan berdasarkan hasil penyidikan yang disampaikan oleh penyidik. Hakim atas dasar dakwaan penuntut umum melakukan pemeriksaan dalam sidang pengadilan. 83 Hal senada juga ditegaskan oleh mantan Menteri Ali Said 84 dalam pengarahannya antara lain menyatakan: Sebelumnya mengenai perlunya tenaga-tenaga profesional sistem peradilan pidana yang bekerja dengan baik. Kita tidak akan dapat mengharapkan sistem yang bekerja dengan baik itu apabila tidak ada keterpaduan dalam kegiatan unsur-unsur tersebut. Dalam kebhinekaan fungsi masing-masing unsur sistem maka penghayatan yang sama tentang sistem peradilan pidana penting. Inilah yang akan membuktikan keterpaduan dari berbagai unsur tersebut. 85 Selanjutnya beliau juga menambahkan bahwa disamping kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan, untuk indonesia ingin ditambahkan pula masyaarakat dan penasehat hhukum sebagai unsur sistem tersebut. Menurutnya, Jepang telah mempergunakan pendekatan keterpaduan ini dalam sistem peradilan pidananya, sehingga Jepang diajukan sebagai “ one of the succesfull models of an integrate approach”. sistem di Jepang diperumpamakan sebagai “ a chain of gears and each ofther should be precise and tenacious in maintaining good 83
R. Abdul Salam dan Zen Zanibar, Refleksi Keterpaduan Penyidikan Penuntutan dan Peradilan Dalam Penanganan Perkara, (Jakarta : DISKUM POLRI, 1997), hlm.8 84 Menteri Kehakiman RI pada saat seminar bersama UNAFEI Jepang-BIBINKUMNAS Departemen Kehakiman RI “Pencegahan Kejahatan dan Pembinaan Pelanggar Hukum, Jakarta 13-21 Januari 1984. 85 Mardjono Reksodiputro, Bunga Rampai Permasalahan dalam Sistem Pidana, (Jakarta : Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia, 1997), hlm 48
xxviii
combination with each other” (seperangkat roda gigi yang harus dengan cermat dan ulet menjaga kombinasi yang baik antara masing – masing roda gigi tersebut). Dengan sisitem tersebut Jepang telah dapat “membanggakan“ angka pengungkapan perkara” yang tinggi (high conviction rate) di Pengadilan. Hal ini disebabkan karena penyidikan yang efisien, paartisipasi masyarakat yang aktif, kerajinan para penegak hukum dan kecendrungan mereka mengejar kebenaran matriil (substantial truth) dalam setiap perkara atau yang dinamakan “precise justice” (keadilan yang cermat) 86 Ciri terpenting dalam sistem Jepang adalah wewenang hukum yang dinamakan “suspended prosecution” yang dimilliki oleh seorang penuntut umum. Dalam hal ini penuntut umum mempunyai keleluasaan (diskresi) untuk menghentikan penuntut meskipun ada cukup bukti tentang kesalahan. Melalui kewewenangan ini penegak hukum dapat mengendalikan aliran perkara kepengadilan maupun ke badanbadan pemasyarakatan. Oleh karena itu fungsi penuntut umum ditekankan pula sebagai koordinator untuk seluruh proses peradila pidana. Kewenangan penuntut umum diatas diawasi melalui suatu lembaga yang dinamakan “inquest of prosecution” (hak angket terhadap penuntut umum) yangg dilakukan oleh sejumlah warga masyarakat yang dipilih secara undian. Disamping itu penyelesaian perkara di pengadilan Jepang cepat, dengan keseimbangan hukum dijaga. Hukuman yang dijatuhkan dapat dianggap sebagai sangat “murah hati” (lenient) karena Pengadilan berpendapat bahwa asal saja “angka
86
Mardjono Reksodiputro, Op-Cit, hlm. 49
xxix
pengungkapan perkara” dan angka penghukuman dipertahankan dalam tingkat yang tinggi, maka hukuman yang murah hati tidak akan mengurangi efek penegakan umum dari hukuman tersebut. Pendapat yang menyatakan bahwa sistem peradilan pidana atau criminal justice system bukanlah suatu sistem, contohnya di Amerika Serikat. Pendapat tersebut disebabkan karena ada tiga komponen dari sistem tersebut tidak berjalan dengan harmonis, juga tidak cukup efisien untuk menciptakan ketakutan akan hukuman serta respek kepada nilai hukum itu sendiri. Burton Wright dan Vernon B. Fox misalnya menyatakan bahwa ”the criminal justice system is frequently critized because it is not a coordinated structure-not a really a system. In many ways this is true” 87 Pendapat yang menyatakan C.J.S. bukan sebagai sistem dibantah oleh Willa Darson, yang menyatakan : “Administration of justice can be regarded as a system by most standards. It may be poorly functioning system but it does meet the criteria nonetheless. The system approach is still in its infancy,” 88 sedangkan W.La Patra menyatakan bahwa “I do believe that a criminal justice system does exist, but that it function very poorly. The criminal justice system is a loosely connected, nonharmonious, group of social entities”. 89 Selanjutnya dalam mencapai tujuan dan efektifitas dari sistem peradilan pidana ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu: 1) Efisiensi kepolisian merupakan prasyarat untuk administrasi pemasyarakatan yang baik.
87
Kenneth J.Peak, Administration Justice: Police, Courts and Corrections Management, (New Jersey Prentice Hall, 2001), hlm. 89 88 Ibid., hlm.22 89 Ibid., hlm. 23
xxx
2) Penggunaan yang berlebihan dalam penahanan sementara akan mengakibatkan lembaga pemasyarakatan menampung penghuni di atas batas kapasitasnya. Hal ini sebenarnya dapat diatasi dengan mengurangi input, menambah output, dan mempersingkat waktu persidangan. 3) Mengurangi beban penghuni lembaga pemasyarakatan atau dengan mempergunakan kemungkinan lain daripada pidana penjara. 4) Mencegah disparitas dalam pidana yang dijatuhkan untuk perkara yang serupa, agar terpidana tidak diperlakukan tidak adil dan menimbulkan rasa permusuhan terhadap sub sistem peradilan pidana, termasuk lembaga pemasyarakatan yang akan menyukarkan pembinaan. 90 Sistem peradilan pidana yang dilaksanakan secara terpadu sebenarnya merupakan proses pelaksanaan atau penegakan hukum pidana dan proses kriminal. Dalam suatu sistem peradilan yang baik harus menyadari keterbatasannya dalam menyampaikan kepada masyarakat bahwa tugas mereka adalah hanya menjaga ketertiban umum (public order maintenance) 91 Sebagai suatu sistem agar dapat dilaksanakan secara terpadu ada beberapa pendekatan yang dapat dipakai, yaitu: 1) Pendekatan normatif, dengan memandang keempat aparatur penegak hukum sebagai institusi pelaksana peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga keempat aparatur tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem penegakan hukum semata. 2) Pendekatan administratif, dengan memandang keempat aparatur penegak hukum sebagai suatu organisasi manajemen yang memiliki mekanisme kerja organisasi yang berlaku dalam organisasi tersebut. 3) Pendekatan sosial, dengan memandang keempat aparatur penegak hukum merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu sistem sosial sehingga masyarakat secara keseluruhan ikut bertanggungjawab atas keberhasilan atau ketidakberhasilan dari keempat aparatur penegak hukum tersebut dalam melaksanakan tugasnya. 92 Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa walaupun masing-masing 90
Marjono Reksodiputro, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, (Jakarta : Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia, 1997), hlm. 145 91 Mardjono Reksodiputro, Ibid., hlm. 6 92 Romli Atmasasmita, Op-Cit., hlm.146
xxxi
instansi komponen sistem peradilan pidana mempunyai tugas dan fungsi masingmasing akan tetapi dalam mencapai tujuan harus bekerja sama karena jika tidak ada beberapa kerugian akan timbul yaitu: 1) Kesukaran dalam menilai sendiri keberhasilan atau kegagalan masing-masing instansi sehubungan dengan tugas bersama; 2) Kesulitan dalam memecahkan sendiri masalah pokok masing-masing instansi (sebagai sub sistem dari sistem peradilan pidana) dan; 3) Karena tanggungjawab masing-masing instansi sering kurang jelas perbandingannya, maka setiap instansi tidak terlalu memperhatikan efektifitas menyeluruh dari sistem peradilan pidana. 93 Kerugian tersebut merupakan kendala utama dalam managemen keseluruhan sistem sehingga tidak berhasil dalam mewujudkan tujuan SPP. Tujuan SPP bukan hanya tanggungjawab satu instansi tetapi tanggungjawab keempat komponen SPP. Selain dengan bentuk pendekatan tersebut diatas, sistem peradilan pidana tidak dapat dipisahkan dari proses kriminal, Herbert L. Packer mengemukakan ada 2 (dua) model yaitu Due Process Model dan Crime Control Model. Crime Control Model (C.C.M) lebih memperhatikan kebutuhan untuk menyelesaikan kasus atau memperhatikan kebutuhan untuk menyelesaikan kasus atau memastikan ada tidaknya suatu kejahatan dan mengontrol kejahatan sedangkan Due Process Model (D.P.M) lebih menekankan pentingnya hak asasi dari terdakwa. 94 Kedua model sistem peradilan di atas terdapat persamaan dan perbedaan. Persamaannya dilandasi pada asumsi tentang:
93 94
Mardjono Reksodiputro, Sue Titus Reid, Crime and Criminology, (New York : CBS College Publishing, 19982),
hlm. 275
xxxii
1) Penetapan suatu tindakan sebagai tindakan pidana harus terlebih dahulu ditetapkan jauh sebelum proses identifikasi dan kontak dengan seorang tersangka pelaku kejahatan atau lebih dikenal dengan asas ex post facto law, artinya undang-undang tidak berlaku surut. 2) Hukum untuk melakukan tindakan penyidikan dan penangkapan terhadap seorang tersangka pelaku kejahatan. 3) Seorang pelaku kejahatan adalah subjek hukum yang harus dilindungi dan berhak atas peradilan yang jujur dan tidak memihak. 95 Pengertian dari affirmative model adalah selalu menekankan pada eksistensi dan penggunaan kekuasaan format pada setiap sudut dari proses peradilan pidana dan model ini kekuasaan legislatif sangat dominan, sedangkan pengertian negative model selalu menekankan pembahasan pada kekuasaan formal dan modifikasi dari penggunaan kekuasaan tersebut. Kekuasaan yang dominan dalam model ini adalah kekuasaan yudikatif dan selalu mengaju pada konstitusi. 96 Namun bagaimanapun juga tujuan dari sistem peradilan pidana adalah untuk mencegah dan mengontrol kejahatan. 97 Secara internasional perlindungan terhadap pelaku tindak kejahatan telah dilindungi seperti dengan adanya The Standard Minimum Rules. The Standard Minimum Rules recommend that no prisoner shall be punished except in accordance with law or regulation, or unless he has been informed of the alleged offense and given a proper opportunity to present his defense” 98 terjemahannya adalah bahwa dalam peraturan standar minimum diatur bahwa tak seorang penjahat dihukum kecuali melanggar hukum dan peraturan atau setidak-tidaknya dia telah dinyatakan melanggar hukum dan peraturan atau setidak-tidaknya dia telah dinyatakan melanggar peraturan dan diberikan kesempatan untuk membela diri. Dari ketentuan standar minimum tersebut jelas bahwa seseorang itu dihukum 95
Romli Atmasasmita, Op-Cit., hlm. 18 Ibid, hlm. 20 97 Gerald D. Robin, Introduction to the Criminal Justice System, (New York : Harper dan Row Inc, 1980), hlm. 46 98 International Review of Crime Policy, Jo. 26.1968, 1970, Implementation of The Standard Minimum Rules for the Treatment of Prisoners, (Holland :University Leiden, 1980), hlm. 81 96
xxxiii
apabila melanggar hukum dan peraturan. Untuk itu hendaknya seorang hakim harus memperhatikan orang yang akan dijatuhkan hukuman dan hukuman yang dijatuhkan juga haruslah mengandung keadilan, manfaat dan kepastian hukum. Hukuman yang terlalu berat atau terlalu ringan dari yang sewajarnya atas suatu kejahatan merupakan putusan yang tidak adil menggambarkan tidak berhasilnya pengadilan memberikan pidana yang tepat untuk dapat memperbaiki pelaku kejahatan. Apabila hal ini terjadi secara berulang-ulang maka akan mengoyahkan kepercayaan masyarakat kepada hukum. Disisi lain dapat mendorong para pelaku kejahatan lebih berani melakukan perbuatannya karena sebagian mereka akan merasa kebal hukum. Dalam sistem peradilan pidana adanya suatu input-proses-output. Adapun yang dimaksud dengan input adalah laporan pengaduan tentang terjadinya tindak pidana; yang dimaksud dengan proses adalah sebagai tindakan yang diambil pihak kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan, sedangkan yang dimaksud dengan output adalah hasil-hasil yang diperoleh. Namun demikian sebenarnya masing-masing komponen juga memiliki input-proses-output. 99 Dari uraian proses sistem peradilan dapat disimpulkan bahwa proses peradilan pidana adalah suatu sistem dengan kepolisian, kejaksaan dan pengadilan serta lembaga pemasyarakatan sebagai sub-sub sistemnya. Seorang pelanggar hukum berasal dari masyarakat dan akan kembali pula ke masyarakat baik sebagai warga yang taat hukum (non residivis) maupun masyarakat yang mengulangi kembali
99
Petrus Iwan Panjaitan dan Pandapotan Simorangkir, Lembaga Pemasyarakatan dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana, (Jakarta : Sinar Harapan, 1995), hlm. 56
xxxiv
perbuatan pidananya (residivis). Lembaga pemasyarakatan sebagai lembaga pembinaan posisinya sangat strategis dalam merealisasikan tujuan akhir dari sistem peradilan pidana, yaitu rehabilitasi dan resosialisasi pelanggar hukum, bahkan sampai pada upaya penanggulangan kejahatan. 100 Berbicara masalah proses peradilan pidana tidak terlepas dari lapisan dalam sistem peradilan pidana itu sendiri, karena sistem tersebut dibangun dan diproses di dalam masyarakat. Hal ini berarti output dari pemasyarakatan dipakai untuk mengindikasikan apakah seseorang pelanggar hukum benarbenar telah mengalami rehabilitasi di lembaga pemasyarakatan butuh faktor pendukung. Jadi berhasil atau tidak pembinaan di lembaga pemasyarakatan bukan hal mutlak untuk menyatakan bahwa sistem peradilan pidana telah dilaksanakan secara terpadu dan efektif.
Mengingat banyak faktor yang ikut mempengaruhi sistem
peradilan pidana itu sendiri seperti telah disebutkan di atas. Namun tidak dapat disangkal bahwa lembaga pemasyarakatan ikut berpengaruh secara langsung terhadap tercapai atau tidaknya dari sistem peradilan pidana. Demikian pula ketidakterpaduan antara pengadilan dengan lembaga pemasyarakatan dapat menambah ketidakpercayaan masyarakat pada hukum sebab eks narapidana gagal berintegrasi kembali dengan masyarakat atau lebih parah lagi narapidana mempunyai “rasa dendam” karena diperlakukan sewenang-wenang dalam lembaga pemasyarakatan, kondisi tersebut akan memberikan peluang timbulnya residivis.
100
Petrus Iwan Panjaitan dan Pandeporan Simorangkir, Op-Cit., hlm 65
xxxv
Di negara Jepang pemerintahnya meminta perhatian akan adanya hubungan yang erat antara lembaga pemasyarakatan dan administrasi peradilan pidana. Penekanan administrasi peradilan pidana tidak hanya sampai pada putusan hakim akan tetapi sampai dengan si pelanggar hukum kembali terintegrasi dengan masyarakat dan hidup sebagai warga yang taat kepada hukum. 101 Dari paparan tersebut dapat disimpulkan bahwa di Jepang ada suatu keterpaduan yang erat antara administrasi
peradilan
pidana
dan
lembaga
pemasyarakatan
dalam
upaya
menempatkan kembali narapidana ke masyarakat. Berbicara masalah keterpaduan, di sistem peradilan pidana Indonesia juga dikenal. Keterpaduan antara sub sistem peradilan dengan masing-masing sub sistemnya menjadi tumpuhan harapan penegakan hukum dalam negara RI guna mencapai masyarakat adil dan makmur akan tetapi apa yang menjadi harapan belum dapat diwujudkan antara lain seorang sarjana mengatakan bahwa: Apa yang menjadi tujuan utama SPP sulit dicapai, melindungi, mengamankan, dan menentramkan masyarakat sebagai bagian lain dari misi SPP belum banyak pula dirasakan masyarakat. Demikian juga pelaku-pelaku kriminal yang telah melalui dan menjalani pidananya, semula diharapkan kembali kepada jalan yang benar dan tidak mengulangi perbuatannya, baik perbuatan pidana yang sama maupun perbuatan pidana lainnya. 102 Pemenuhan berbagai faktor pendukung dalam mencapai tujuan pembinaan serta memberikan kesadaran kepada narapidana atas kesalahan yang pernah dilakukannya sehingga timbul keinginan untuk hidup secara benar dan harmonis
101
International Review Of Crime Policy, Op-Cit., hlm. 52 Rusli Muhammad, Reformasi Sistem Pertanggungjawaban Pidana, (Yogyakarta : Jurnal Hukum Ius Quna Iustrum No.I. Vol.6, 1995), hlm. 45 102
xxxvi
sebagai anggota masyarakat yang tidak melakukan kejahatan kembali pada saat di dalam lembaga maupun setelah berada di luar lembaga sebagai anggota masyarakat. Untuk itu dalam mewujudkan cita-cita sistem pemasyarakatan dibutuhkan peran aktif semua pihak termasuk anggota masyarakat teruatama hakim. Hakim sebagai pihak yang memutuskan hukuman seharusnya tetap dan ikut serta bertanggungjawab atas pelaksanaan pidana hilang kemerdekaan di lembaga pemasyarakatan. Dalam mewujudkan tanggungjawab terhadap hakim maka dibentuklah lembaga baru yang disebut dengan hakim pengawas dan pengamat yang bertugas melakukan pengawasan dan pengamatan terhadap pelaksanaan pembinaan narapidana di lembaga pemasyarakatan. Hakim pengawasan dan pengamatan sangat penting, karena hal ini akan mempengaruhi proses pembinaan yang dilakukan dan penilaian terhadap efektivitas pemberian hukuman pidana penjara yang telah diberikan. Di samping itu pengawasan dan pengamatan juga berpengaruh terhadap penentuan hukum di masa yang akan datang. Di samping untuk mencapai tujuan SPP, keterpaduan sub sistem dalam SPP juga merupakan wujud dari usaha penegakan hukum pidana yang pada hakekatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence) dalam upaya mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare). 103 Menurut Abdul Khaliq AF penyebab kegagalan LP sebagai sub sistem keempat dalam sistem
103
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung : Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996), hlm. 2
xxxvii
peradilan pidana dikarenakan oleh beberapa hal, yaitu: 104 1) Adanya mis perception diantara sub sistem dalam SPP mengenai tugas dan tanggungjawab pembinaan seorang yang sedang tersesat perilakunya karena suatu tindakan pidana, artinya baik kepolisian, kejaksaan maupun pengadilan pada umumnya berpendapat/berpandangan bahwa urusan pembinaan pelaku tindakan pidana adalah merupakan tugas dan tanggungjawab LP; 2) Kemampuan personil (human resource) LP yang secara umum kurang memadai untuk menerjemahkan “konsep pemasyarakatan” dalam menjalankan tugas pembinaan. Kendala ini biasanya bermuara pada latar belakang status pendidikan petugas LP yang sebagian besar tamatan SLTA; 3) Masalah sarana dan prasarana operasional sistem pemasyarakatan khususnya yang berupa sarana fisik yang sebagian besar masih berwujud gedung-gedung penjara warisan kolonia Belanda; 4) Adanya persepsi negatif di masyarakat bahwa LP tidak lebih dari “sekolah kejahatan”, karena dalam LP berkumpul berbagai pelaku tindak pidana; 5) Adanya semacam kultur dalam masyarakat yang mendorong lahirnya sikap selalu mencurigai terhadap setiap bekas narapidana, kultur ini lahir dari adanya pepatah “sekali lancang keujian selamanya orang tidak akan percaya” dan ketidakpercayaan atas kemampuan LP untuk membina narapidana; 6) Adanya kendala/kelemahan internal yang bersumber pada UU No. 12 Tahun 1995 sebagai basis yuridis normatif bagi penyelenggaraan sistem pemasyarakatan. Artinya UU tersebut yang lahir sebagai pengganti Regleman Penjara 1917, ternyata masih mencantumkan ketentuan yang justru menampilkan sisi kelemahan, antara lain ketentuan Pasal 14 105 dan Pasal 47 106 . Dalam pelaksanaan pembinaan hal yang utama adalah bagaimana petugas LP dapat
memahami
bagaimana
sistem
pembinaan
dikaitkan
dengan
sistem
pemasyarakatan yang diatur dalam ketentuan pasal-pasal dalam UU No.12 Tahun 1995 tentang pemasyarakatan, disamping peningkatan kuantitas dan kualitas petugas lembaga pemasyarakatan serta pemenuhan sarana dan prasarana teknis dalam upaya 104
M.Abdul Khaliq AF, Reformasi Sistem Pemasyarakatan, (Yogyakarta :Jurnal Hukum Ius Qua Iustum No. II vol. 6, 1999), hlm. 65 105 Pasal 14 Undang-Undang RI No.12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan, tentang Hakhak Narapidana 106 Pasal 47 UU RI No. 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan berisi tentang Wewenang Kepala Lembaga Pemasyarakatan dalam menentukan hukuman disiplin dalam LAPAS.
xxxviii
pembinaan. Pemahaman tersebut sangat penting dan mendesak bila melihat banyaknya narapidana yang berada di lembaga pemasyarakatan dengan berbagai tindak pidana. Mengingat berkembangan berbagai pelaku tindak pidana yang menyebabkan berkumpulnya berbagai perilaku jahat di LP, maka sudah saatnya untuk melakukan perbedaan penempatan menurut watak pelaku (narapidana) dan tindak pidana. Hal ini penting guna mempermudah pembinaan. Keberhasilan pelaksanaan pembinaan narapidana tidak dapat dilepaskan dari peran serta para pembina LP itu sendiri untuk itu dalam upaya peningkatan kualitas pembinaan ada satu hal yang tidak boleh dilupakan yaitu mengenai perlunya upaya peningkatan kesejahteraan hidup bagi petugas LP. Peningkatan kesejahteraan ini penting untuk menumbuhkan royalitas dan pemusatan perhatian serta pikiran petugas LP ketika melaksanakan tugasnya sebagai pembina narapidana. 107 Pengaturan program pembinaan untuk masing-masing secara rinci diatur dalam Pasal 10 PP No.31 Tahun 1999, selengkapnya merupakan: 1. Pembinaan tahap awal, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) meliputi: a. Masa, pengamatan, pengenalan dan penelitian lingkungan paling lama 1 bulan b. Perencanaan program pembinaan kepribadian dan kemandirian c. Pelaksanaan program pembinaan kepribadian dan kemandirian dan 107
Sebagai salah satu sumber daya manusia warga binaan yang merupakan salah satu manusia biasa yang mendapat hukuman berdasarkan putusan hakim, mengisyaratkan bahwa penjatuhan pidana bagi seseorang melalui palu sang hakim pada hakekatnya bukan sebagai suatu perbuatan balas dendam oleh negara, melainkan sebagai imbangan atas tindak pidana yang telah dilakukannya, yang mana daripadanya diharapkan akan menghasilkan kesadarannya untuk dihari yang akan datang melalui pemberian pengayomannya serta pemasyarakatannya di dalam Lembaga Pemasyarakatan dengan sistem Pemasyarakatan.
xxxix
d. Penilaian pelaksanaan program pembinaan tahap awal. 2. Pembinaan tahap lanjutan sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (2) meliputi: a. Perencanaan program pembinaan lanjutan b. Pelaksanaan program pembinaan lanjutan c. Penilaian pelaksanaan program pembinaan lanjutan dan d. Perencanaan dan pelaksanaan program asimilasi 3. Pembinaan tahap akhir sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (3) meliputi: a. Perencanaan program integrasi b. Pelaksanaan program integrasi dan c. Pengakhiran pelaksanaan pembinaan tahap akhir 4. Pentahapan pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), (2), dan (3) ditetapkan melalui sidang Tim Pengamat Pemasyarakatan. Dalam
mewujudkan
pemantapan
peranan
pembinaan
dalam
proses
pemasyarakatan ada suatu team yang sangat berperan yaitu Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP). Menurut keputusan Menteri Hukum dan Perundangundangan
Politik
Pembentukan
Indonesia
Balai
Nomor.
Perancangan
M.02.PR.08.03 Pemasyarakatan
Tahun dan
1999 Tim
tentang Pengamat
Pemasyarakatan, dalam Bab III dan Pertama, Pasal 12 menentukan bahwa: 1) TPP pusat berada di Direktorat Jenderal Pemasyarakatan dan bertanggung jawab kepada Direktorat Jenderal Pemasyarakatan. 2) TPP wilayah berada di Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Perundangundangan dan bertanggung jawab kepada kepala kantor wilayah.
xl
3) TPP daerah berada di unit pelaksana teknis pemasyarakatan dan bertanggungjawab kepada masing-masing kepala unit pelaksana teknis pemasyarakatan. 108
Sedangkan Pasal 13 menentukan mengenai tugas pokok TPP sebagai berikut: a) Memberikan saran mengenai bentuk dan program pembinaan, pengamanan dan pembimbingan dalam melaksanakan sistem pemasyarakatan b) Membuat penilaian atas pelaksanaan program pembinaan, pengamanan dan pembimbingan c) Menerima keluhan dan pengaduan dari Warga Binaan Pemasyarakatan. 109 Selanjutnya untuk mengetahui tugas masing-masing TPP diatur dalam Pasal 14, selengkapnya Pasal 14 menentukan bahwa: 1)
2)
TPP Pusat bertugas memberikan saran dan pertimbangan pengamatan kepada Direktur Jenderal Pemasyarakatan tentang masalah-masalah dan usulan pembinaan, pengamatan dan pembimbingan WBP yang diajukan oleh TPP wilayah dalam hal: a. Masalah-masalah penempatan dan pemindahan WBP b. Penyelesaian masalah-masalah usul dari daerah tentang asimilasi, pembebasan bersyarat dan remisi. c. Masalah-masalah lain yang dipandang perlu oleh Direktur Jenderal Pemasyarakatan. TPP wilayah bertugas memberikan saran atau pertimbangan pengamatan kepada kepala kantor wilayah tentang masalah-masalah dan usulan pembinaan, pengamanan dan pembimbingan WBP yang diajukan oleh Kepala UPT Pemasyarakatan dalam hal: a. Perkembangan pelaksanaan pembinaan dan pembimbingan WBP atau perawatan tahanan di semua UPT pemasyarakatan di Wilayah. b. Meneliti, menelaah, menilai usulan TPP daerah sebagai bahan pertimbangan kepala kantor wilayah untuk ditolak atau diteruskan kepada Direktur Jenderal Pemasyarakatan. c. Masalah-masalah pembinaan lainnya yang dianggap perlu oleh kepala kantor wilayah.
108
Pasal 12 Keputusan Menteri Hukum dan Perundang-Undangan Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.03 Tahun 1999 tentang Pembentukan Balai Pertimbangan Pemasyarakatan dan Tim Pengamat Pemasyarakatan 109 Ibid., Pasal 13
xli
3) a) b) c) d)
TPP Daerah bertugas memberi saran dan pertimbangan pengamanan kepada kepala UPT pemasyarakatan mengenai: Bentuk dan program pembinaan, pengamanan dan pembimbingan WBP atau perawatan tahanan dalam melaksanakan sistem pemasyarakatan Penilaian terhadap pelaksanaan program pembinaan, pengamanan dan pembimbingan WBP atau perawatan tahanan. Penerimaan keluhan dan pengaduan dari WBP untuk diteruskan kepada kepala UPT. Pelanggaran disiplin dan pelanggaran hukum oleh WBP untuk diambil tindakan cepat dan tepat guna serta lain yang timbul dalam pelaksanaan sistem pemasyarakatan. 110 Untuk melaksanakan tugas yang ditentukan Pasal 13 dan Pasal 14 maka TPP
menurut Pasal 15 mempunyai fungsi sebagai berikut : a) Merencanakan dan melakukan persidangan-persidangan b) Melakukan administrasi persidangan, inventarisasi dan dokumentasi c) Membuat rekomendasi kepada: 1) Direktur Jenderal Pemasyarakatan 2) Kepala Kantor Wilayah bagi TPP wilayah dan 3) Kepala UPT bagi TPP daerah. d) Melakukan pemantauan pelaksanaan pembinaan, pengamanan pembimbingan WBP atau perawatan tahanan. 111
dan
Dari ketentuan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa TPP mempunyai peranan yang sangat penting dalam pelaksanaan pembinaan terhadap narapidana dan TPP ini juga merupakan tim penilai terhadap program pembinaan yang dilakukan. Untuk dilaksanakan tugas tersebut maka dibentuklah susunan keanggotaan dari TPP untuk pusat, wilayah dan daerah yang berbeda-beda. Untuk TPP daerah dibedakan pada susunan keanggotaan untuk lembaga pemasyarakatan kelas I, II, dan III. Mengenai susunan keanggotaan TPP untuk lembaga pemasyarakatan diatur dalam Pasal 16 ayat 3 butir (a), selengkapnya Pasal 16 ayat 3 (a) menentukan sebagai
110 111
Ibid., Pasal 14 Ibid., Pasal 15
xlii
berikut: 1) Ketua merangkap anggota adalah Kepala Bidang Pembinaan 2) Sekretaris merangkap anggota adalah kepala seksi bimbingan kemasyarakatan. 3) Sedangkan anggotanya adalah: a. Kepala satuan pengamanan lapas; b. Kepala Bidang Administrasi Keamanan dan Tata Tertib; c. Kepala bidang kegiatan kerja; d. Kepala seksi registrasi dan kepala seksi bimbingan kerja; e. Kepala seksi keamanan; f. Dokter/tenaga paramedis lapas; g. Petugas pembimbingan kemasyarakatan balai pemasyarakatan; h. Hakim pengawas dan pengamat; i. Wali WBP; j. Instansi terkait dengan pembimbingan klien pemasyarakat, dan k. Badan atau perseorangan yang berminat terhadap pembinaan. 112 Penetapan TPP sebagai tim yang berperan dalam pemasyarakatan dengan tugas pokok sebagaimana diatur dalam Pasal 13 dan Pasal 14 sangat memberikan suatu nilai tambah untuk mencapai keberhasilan dalam pembinaan, akan tetapi citacita yang digambarkan dalam ketentuan pasal-pasal tersebut riskan untuk diwujudkan apabila melihat ketentuan dalam Pasal 16 ayat 3 pada butir (a) mengenai susunan keanggotaan TPP. Dalam Pasal 16 ayat 3 butir (a) diatas jelas bahwa orang-orang yang berada dalam TPP sebagian besar orang-orang yang berada dalam struktur organisasi lembaga pemasyarakatan. Keadaan demikian cukup memberikan kekhawatiran dalam mencapai tujuan dari pembentukan TPP itu sendiri, karena bagaimana seorang dapat menilai dua pekerjaan yang secara bersamaan merupakan hasil kerjanya dan dalam waktu yang bersamaan mempertanggungjawabkan, misalnya seorang kabid pembinaan yang 112
Ibid.,, Pasal 16 ayat 3 (a)
xliii
bertugas membuat program pembinaan lalu kabid tersebut juga merupakan ketua Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP), apakah mungkin kabid pembinaan tersebut dapat memberikan kritikan terhadap program kerja yang telah dilaksanakan (yang dibuatnya). Memang dalam ketentuan Pasal 16 ayat 3 butir (a) ada sebagian berasal dari luar LP, akan tetapi masalahnya pihak tersebut tidak secara mendetail memiliki kemampuan yang cukup untuk mengetahui proses pembinaan pemasyarakatan yang seharusnya dilakukan disamping waktu dan perhatian yang tidak terfokus. Untuk itu sebaiknya dalam penentuan keanggotaan TPP dibentuk tim yang independen yang diberi tugas khusus untuk mengadakan pengamatan dan penilaian terhadap pelaksanaan pembinaan narapidana yang terdiri dari berbagai masyarakat dengan tugas melakukan penelitian terhadap hasil pembinaan yang dilakukannya oleh pihak lembaga pemasyarakatan. Selanjutnya Pasal 18 mengatur tentang pihak yang mengangkat TPP: 1) Ketua, sekretaris dan anggota TPP pusak ditunjuk dan diangkat berdasarkan keputusan Menteri. 2) Ketua, sekretaris dan anggota TPP wilayah ditunjuk dan diangkat berdasarkan keputusan masing-masing kepala kantor wilayah. 3) Ketua, sekretaris dan anggota TPP daerah ditunjuk dan diangkat berdasarkan keputusan masing-masing kepala UPT pemasyarakatan. 113 Dalam rangka melaksanakan hak-hak narapidana tersebut maka pemerintah menetapkan beberapa peraturan yaitu: Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor. 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Keputusan
113
Ibid., Pasal 18
xliv
Departemen
Hukum
dan
Perundang-undangan
RI
Direktorat
Jenderal
Pemasyarakatan Nomor E. PK. 04. 00 – 144 Jakarta tanggal 16 November 1999, mengatakan bahwa mengenai syarat-syarat cuti mengunjungi keluarga bagi narapidana berdasarkan atas keputusan Menteri Kehakiman RI nomor M. 03-PK. 04. 02 tahun 1991 tentang Cuti Mengunjungi Bagi Narapidana. Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor M. 01-PK. 04. 01 tahun 1989 tentang Asimilasi, Pembebasan Bersyarat dan Cuti Menjelang Bebas. 114 Pelaksanaan sistem pemasyarakatan mempunyai tujuan akhir yaitu terciptanya kemandirian warga binaan atau membangun manusia mandiri. Sistem peradilan pidana dalam kerangka sistem merupakan rangkaian kegiatan yang dilakukan dalam rangka menegakkan hukum pidana dan menjaga ketertiban social, dilaksanakan mulai kerja polisi dalam melakukan penyidikan peristiwa pidana, penuntutan oleh jaksa penuntut umum, pemeriksaan perkara di pengadilan dan pelaksanaan hukuman di lapas (balai pemasyarakatan), rutan (rumah tahanan) dan cabang rutan (rumah tahanan). Seluruh rangkaian kegiatan tersebut harus saling dukung mendukung secara sinergis hingga tujuan dari bekerjanya sistem peradilan pidana tersebut dapat dicapai. Adapun tahapan-tahapan pembinaan narapidana agar dapat diterima oleh masyarakat adalah :
114
Lembaga Pemasyarakatan adalah tempat melakukan kegiatan pembinaan terhadap narapidana dengan sistem pemasyarakatan yang telah dicanangkan oleh Dr. Rahardjo sejak tahun 1964. dengan demikian diharapkan lembaga pemasyarakatan dapat berfungsi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah untuk mewujudkan sistem pemasyarakatan.
xlv
1)
2)
3)
4)
5)
Tahap pendekaan awal dilaksanakan sewaktu narapidana menjelang lepas (bebas) dari Lembaga Pemasyarakatan. Dalam tahapan ini pihak Departemen Sosial mengadakan interview khusus dengan pihak narapidana tentang harapan-harapan yang menjadi potensi dari ex narapidana yang dapat dikembangkan dalam pembinaanya. Tahapan seleksi dilaksanakan agar diketahui bahwa pemilihan peserta calon binaan (klien) secara prosedur diawali dengan pemberian tentang tujuan kegiatan, pengelompokkan masalah, serta bakat klien sehingga dalam pembinaan selanjutnya tidak mengalami variasi kegiatan yang terlalu besar. Tahap rehabilitasi sosial, dilakukan melalui sistem pelayanan diluar panti dengan menggunakan perangkat/ wadah yang dikenal dengan nama Loka Bina karya (LBK) serta sistem pelayanan lingkungan pondok sosial (Liposos) dengan tahapan pelayanan yang meliputi : a) Orientasi dan konsultasi dalam rangka untuk memudahkan pelaksanaan program pembinaan; b) Identifikasi dalam rangka memudahkan penempatan calon penerima pelayanan kesejahteraan sosial; c) Motivasi untuk menumbuhkan kemauan eks narapidana untuk mengikuti program pelayanan pembinaan yang mendapat orientasi program, penelahan dan pengungkapan agar lebih dipahami. Tahapan bimbingan sosial dan keterampilan yang meliputi : a) Bimbingan fisik dan mental yang bertujuan untuk memberikan kemampuan dan pemeliharaan kondisi sehat, percaya diri dan disiplin. b) Bimbingan sosial bertujuan meningkatkan kesadaran dan tanggung jawab sosial dalam masyarakat secara normatif. Tahapan resosialisasi, dilaksanakan melalui serangkaian kegiatan antara lain : bimbingan kesiapan dan peran serta dalam masyarakat, bimbingan sosial tentang penyesuaian diri dalam masyarakat, bimbingan bantuan usaha produktif agar supaya bekas narapidana dapat bekerja atau berusaha dalam upaya memenuhi kebutuhannya sehari-hari. 115
115
Ibid., hlm. 51
xlvi
BAB III HAMBATAN PEMBINAAN NARAPIDANA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS II A BINJAI
Keberhasilan upaya pembinaan, pengayoman warga binaan di dalam Lembaga Pemasyarakatan sangat tergantung kepada faktor-faktor pendukung lainnya, sementara yang diketahui saat ini adalah Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai menghadapi permasalahan pokok, yaitu : A. Program Pembinaan Kerohanian 1. Program pembinaan kerohanian Warga Binaan Pemasyarakatan yang belum dilaksanakan secara kontinyu. Pembinaan kerohanian di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai masih dilaksanakan bila adanya pihak luar yaitu PIAI (Pendidikan Intensif Agama Islam Kota Binjai) yang melakukan kunjungan. Hal ini berarti masih belum dilakukan berdasarkan program yang ditentukan oleh Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai. Didalam
pelaksanaan
pengayoman
warga
binaan
ini
di
Lembaga
Pemasyarakatan, pengayoman pemasyarakatan diberikan kepada warga binaan yang berorientasi pada masa depan yang cerah dapat diwujudkan, yaitu dengan cara: xlvii
1) 2) 3) 4)
Mempercepat kesadaran warga binaan. Mempersiapkan kembali kemasyarakat. Memberikan bekal untuk hidup bermasyarakat. Adanya paradigma pengayoman melatar belakangi terjadinya konsep dasar tentang pemidanaan. Konsep klasik yang selama ini di terapkan adalah konsep retribusi, yang kemudian berubah menjadi konsep teleologis sehingga 84 menimbulkan gabungan antara kedua konsep tersebut. Secara umum konsep ”menghukum” (punishment to punishment) berubah menjadi konsep ”membina” (treatment philosophy). 116 Dalam pemberian pidana ada beberapa para sarjana yang memberikan
pendapat mengenai tujuan pidana itu sendiri. Richard D. Schwartz dan Jerome H. Skolnick sanksi pidana dimaksudkan untuk : 1) Mencegah terjadinya pengulangan tindak pidana (to prevent recidivism). 2) Mencegah orang lain melakukan perbuatan yang sama seperti yang dilakukan si terpidana (to deter other from the peformance of similar acts). 3) Menyediakan saluran untuk mewujudkan motif-motif balas (to provide a channel for the expression of realiatory motives). 117 Selanjutnya Emile Durkheim mengatakan mengenai fungsi dari pidana adalah untuk menciptakan kemungkinan bagi pelepasan emosi-emosi yang ditimbulkan atau diguncangkan oleh adanya kejahatan (the function of punishment is to create a possibility for the release of emotion that are aroused by the time). 118 Roger Hood berpendapat bahwa sasaran pidana disamping untuk mencegah terpidana atau pembuat potensial melakukan tindak pidana, yaitu : 1) Memperkuat kembali nilai-nilai sosial (reinforcing social values).
116
Tongat, Pidana Kerja Sosial Dalam Pembaharuan Hukum Indonesia, Djambatan, 2002), hlm. 53. 117 Muladi, Op-Cit., hlm. 20. 118 Ibid., hlm. 22.
xlviii
(Jakarta :
2) Menenteramkan rasa takut masyarakat terhadap kejahatan (allaying public fear of crime). 119 Peter Hoefnagels mengemukakan tujuan pidana adalah : 1) Penyelesaian konflik (conflict resolution), 2) Mempengaruhi para pelanggar dan orang-orang lain ke arah perbuatan yang kurang lebih sesuai dengan hukum (influencing offenders and possibly other than offenders toward more or less law-conforming behavior). 120 2. Program pembinaan kerohanian Warga Binaan Pemasyarakatan belum adanya kesadaran bagi narapidana. Persoalan pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai dalam hal pembinaan mental rohani yaitu kurangnya kesadaran sebagai manusia yang selalu diliputi kesalahan dan harus bertobat. Hal ini dapat dilihat dengan kurangnya minat untuk memberdayakan pemateri yang khusus didatangkan dari luar lembaga untuk memberikan pengajaran yang bersifat kerohanian. Kesadaran yang harus dimiliki tiap manusia adalah kesadaran agama tanpa adanya unsur paksaan dari siapapun. Kesadaran beragama adalah kesadaran manusia untuk tetap percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa sebagai pencipta alam semesta. Membina narapidana sangat diperlukan agar kesadaran narapidana mengarahkannya untuk menjauhkan dirinya dari tindakan yang tidak terpuji, atau tindakan yang melanggar hukum. 121 3. Program pembinaan kerohanian Warga Binaan Pemasyarakatan belum memiliki sarana yang mencukupi. Setiap Warga Binaan Pemasyarakatan berhak melakukan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya. Ibadah tersebut dapat dilaksanakan di dalam Lapas ataupun diluar lapas sesuai dengan program pembinaan di Lembaga 119
Ibid., hlm. 21. Muladi., Op-Cit., hlm. 1 121 Harsono, Sistem Baru Pembinaan Narapidana, (Jakarta : Karya Uni Press, 1995), hlm. 273 120
xlix
Pemasyarakatan Klas II A Binjai. Berdasarkan Peraturan Pemerintah tentang syaratsyarat dan tata cara pelaksanaan hak-hak menyatakan setiap narapidana dan anak didik pemasyarakatan mendapatkan perawatan rohani dan jasmani. Perawatan rohani diberikan dalam bentuk bimbingan rohani dan pendidikan budi pekerti. Pada setiap Lapas wajib disediakan petugas untuk bimbingan rohani dan budi pekerti dan untuk keperluan itu Kalapas dapat menjalin kerjasama dengan instansi terkait, badan pemasyarakatan atau perorangan. Pembinaan rohani tidak akan berjalan bila sarana pendukung seperti tempat ibadah kurang memadai dengan jumlah Warga Binaan Pemasyarakatan di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai. Hal ini dapat dilihat di lapangan bahwa kondisi mesjid dan gereja kurang memadai. B. Program Pembinaan Keterampilan dan Kegiatan Kerja 1. Program pembinaan keterampilan dan kegiatan kerja hanya berorientasi kepada kebutuhan Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai. Perlindungan hukum terhadap sistem pembinaan didasarkan bahwa adanya pembinaan bukan didasarkan kepada kepentingan suatu lembaga atau negara melainkan kepentingan narapidana. Tidak setiap narapidana mempunyai kebutuhan dan bakat sama melainkan tergantung dari pribadi masing-masing yang sangat dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan, pengalaman maupun lingkungan sebelum menjalani pidana hilang kemerdekaan. 122
122
Dalam pelaksanaan pembinaan dilakukan dengan mengedepankan kepentingan narapidana (bottom up approach) yang dirasakan lebih efektif jika dibandingkan dengan pembinaan yang berasal
l
Kebutuhan dan bakat narapidana merupakan kepentingan objektif narapidana yang diketahui semenjak narapidana menjadi warga binaan pemasyarakatan dan mendapatkan pembinaan tahap pertama sebagai rangkaian proses pembinaan narapidana di lembaga pemasyarakatan dan selanjutnya mendapatkan pengesahan dalam sidang tim pengamat pemasyarakatan. Kepentingan objektif narapidana ini merupakan hal yang sangat penting mengingat adanya tujuan agar setelah menjalani pidananya, narapidana tidak mengulangi perbuatannya dan dapat menjadi manusia yang seutuhnya. Persyaratan administratif dengan mengedepankan kebutuhan dan bakat narapidana tersebut menunjukkan bahwa pelaksanaan pembinaan pada hakikatnya bukan berorientasi kepada kepentingan lembaga pemasyarakatan. 123 Dalam kata “bimbingan dan didikan” terkandung makna positif yaitu perlindungan harkat dan martabat narapidana sebagai manusia yang arti membimbing terpidana agar bertobat, mendidik supaya menjadi anggota masyarakat sosialis yang berguna. 124 Sedangkan dalam kata “pembalasan” terkandung makna sebaliknya yaitu pengingkaran terhadap hak asasi manusia sebagai suatu sistem dan sarana yang tidak sejalan dengan konsep rehabilitasi dan reintegrasi sosial. Konsep rehabilitasi dan reintegrasi sosial pada hakikatnya merupakan
dari materi pembina pemasyarakatan (top down approach). Narapidana dituntut untuk mengenal dirinya sendiri dan dalam rangka menentukan pembinaan apa yang sesuai dengan dirinya untuk membentuk dirinya sendiri sehingga dapat aktif berperan dalam pembangunan dan hidup secara wajar setelah menjalani masa pidana di lembaga pemasyarakatan. 123 Kepentingan yang paling utama adalah kepentingan narapidana, meskipun baik lembaga pemasyarakatan mendapatkan keuntungan. Keuntungan bagi lembaga pemasyarakatan misalnya berkurangnya pengamanan kepada narapidana selama mengikuti pembinaan. Hal ini juga dapat meningkatkan keahlian narapidana. 124 Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung : Alumni, 1986), hlm. 73
li
pembaharuan hukum pidana yang pada hakikatnya merupakan bagian dari kebijakan hukum pidana (politik hukum pidana). Pembaharuan hukum dimulai sejak masa permulaan berdirinya negara Republik Indonesia untuk mengisi kekosongan hukum yang ditentukan dalam Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 bahwa segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini. Diadakannya aturan peralihan ini dimaksudkan untuk menghindari kekosongan hukum yang berarti bahwa peraturan-peraturan yang ada pada zaman penjajahan masih tetap berlaku di mana pemberlakuan peraturanperaturan zaman Belanda itu disesuaikan dengan kedudukan negara Republik Indonesia sebagai negara merdeka. Pada tanggal 26 Februari 1946, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Sejak saat itulah dapat dikatakan pembaharuan hukum pidana di Indonesia dimulai. Peraturan dalam hukum pidana merupakan cerminan dari ideologi politik dari suatu bangsa di mana hukum itu berkembang dan merupakan hal yang sangat penting bahwa seluruh bangunan hukum itu bertumpu pada pandangan politik yang sehat dan konsisten. 125 Perlindungan terhadap hak asasi narapidana sebagai manusia dituangkan dalam beberapa pasal yang telah diuraikan diatas. Beberapa pasal tersebut tidak menyebutkan kata-kata “harkat dan martabat”, namun secara eksplisit dengan adanya hak dan kewajiban untuk melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap narapidana telah menunjukkan sebagai suatu bentuk perlindungan terhadap harkat dan martabat narapidana. Perlindungan tersebut dilanjutkan dengan adanya pengawasan dalam bentuk peningkatan kedisiplinan narapidana. 2. Program pembinaan keterampilan dan kegiatan kerja kurang memiliki sarana. 125
Nyoman, Relevansi Hukum Pidana Adat Dalam Pembaharuan Hukum Pidana Nasional, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2005), hlm. 75
lii
Pelaksanaan pembinaan keterampilan dan kegiatan kerja memerlukan gedung dan lahan yang cukup luas untuk digunakan sebagai lokasi pengerjaan. 3. Adanya aspek penolakan masyarakat terhadap mantan narapidana, meskipun memiliki keterampilan dan keahlian kerja. Aspek penolakan masyarakat terhadap mantan narapidana mengakibatkan pembinaan keterampilan dan kegiatan kerja di Lembaga Pemasyarakatan kurang maksimal. Hal ini berkaitan dengan asumsi masyarakat bahwa bekas narapidana bukan lebih baik akantetapi malah sebaliknya. Penolakan terhadap bekas narapidana memberikan kesan bahwa masyarakat ternyata tidak mampu atau kurang respon untuk membina narapidana. 126 Sistem pemasyarakatan sebagai petunjuk arah pembinaan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan belum mencapai hasil yang memadai, dengan beberapa indikator: a) Narapidana yang melarikan diri dari Lembaga Pemasyarakatan. b) Pelanggaran hak-hak narapidana. c) Penolakan bekas narapidana oleh masyarakat. d) Keterbatasan sarana maupun prasarana dalam mendukung pembinaan. Rijken telah membedakan antara dasar hukum dari pidana dan tujuan pidana. Dasar hukum dari pidana terletak pada pembalasan terhadap kesalahan yakni dari pembalasan itu terletak pembenaran dari wewenang pemerintah untuk memidana (strafbevoegdheid van de overheid). Apakah penguasa juga akan 126
Faktor penerimaan masyarakat terhadap bekas narapidana tidak hanya sekedar menerima menjadi anggota keluarga ataupun lingkungannya, tetapi harus menghilangkan prasangka buruk akan adanya kemungkinan melakukan kejahatan kembali dengan cara menerima kembali bekerja di berbagai lapangan pekerjaan.
liii
menggunakan wewenang itu tergantung dari tujuan yang dikehendaki. Tujuan itu merupakan penegakan wibawa, penegakan norma, menakut-nakuti, mendamaikan, mempengaruhi tingkah laku dan menyelesaikan konflik. 127 Sebagai penegak hukum, maka petugas pemasyarakatan fungsi sebagai wadah yang melahirkan hak dan kewajiban. Dengan demikian, kedudukan dan peranan tidak dapat dipisahkan yang berarti pada prinsipnya suatu hak merupakan wewenang untuk berbuat atau tidak berbuat, sedangkan kewajiban adalah beban atau tugas. Peranan yang ideal dan peranan yang seharusnya merupakan nilai dalam kerangka normatif sebagai acuan dalam melaksanakan peranan yang dianggap oleh diri sendiri dan peranan yang sebenarnya dilakukan. 128 Dari sisi sistem pemasyarakatan, aturan yang berkonotasi pemberian labelling dan stigma sedapat mungkin dihindarkan. Karena disadari bahwa pemberian cap negatif terhadap narapidana, justru akan mempersulit pengembalian mereka (reintegrasi) ke dalam masyarakat. 129 Kedua konsep ini menunjukkan bahwa apabila seseorang di cap jahat, maka sadar atau tidak ia akan melakukan kembali kejahatannya itu (residivis). Prinsip ke 8 yang dianut dalam Sepuluh Prinsip Pemasyarakatan menyatakan bahwa: “Tiap orang adalah manusia dan harus diperlakukan sebagai manusia, 127
Ibid., hlm. 2 Dalam perspektif ini, maka peranan petugas pemasyarakatan berada dalam ruang lingkup berhak (berwenang) dalam pembinaan. Perihal peranan lazimnya ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang meliputi peranan yang ideal, peranan yang seharusnya, peranan yang dianggap oleh diri sendiri dan peranan yang sebenarnya dilakukan. 129 Dalam teori psikologi, stigmatisasi dapat mengkondisikan seseorang cenderung untuk melakukan penyimpangan tahap kedua (second deviant behaviour). Pada tahap ini seseorang dikondisikan untuk menghayati perilakunya sebagai sesuatu yang seharusnya dan dianggap benar. Apalagi dari sudut sosiologi proses stigmatisasi, akan menimbulkan apa yang dinamakan self propelling prophecy (ramalan yang lambat-laun akan menjadi kenyataan). 128
liv
meskipun ia telah tersesat. Tidak boleh selalu ditunjukkan pada narapidana bahwa ia itu penjahat. Sebaliknya ia harus selalu merasa bahwa ia dipandang dan diperlakukan sebagai manusia. Maka petugas pemasyarakatan tidak boleh bersikap maupun memakai kata-kata yang menyinggung perasaannya, khususnya yang bersangkutan dengan perbuatan yang telah lampau yang menyebabkan ia masuk Lapas, segala label yang negatif (cap sebagai penjahat) hendaknya sedapat mungkin dihapuskan.” 130 Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia sebagai payung sistem pemasyarakatan
Indonesia,
menyelenggarakan
sistem
pemasyarakatan
agar
narapidana dapat memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana, sehingga narapidana dapat diterima kembali dalam lingkungan masyarakatnya, kembali aktif berperan dalam pembangunan serta hidup secara wajar sebagai seorang warga negara. Saat seorang narapidana menjalani vonis yang dijatuhkan oleh pengadilan, maka hakhaknya sebagai warga negara akan dibatasi. Sesuai Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995, narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di Lembaga Pemasyarakatan. Walaupun terpidana kehilangan kemerdekaannya, tapi ada hak-hak narapidana yang tetap dilindungi dalam sistem pemasyarakatan Indonesia. 131
BAB IV 130
Didin Sudirman, Op-Cit., hlm 317 Oleh sebab itu dari sisi ilmu pemasyarakatan, ketentuan tersebut bertentangan dengan strategi yang digunakan dalam mencapai tujuan pemasyarakatan yaitu re-integrasi secara sehat dengan masyarakat. Dampak lainnya adalah ketika mereka tidak diberikan haknya secara sama dengan narapidana lainnya. Hal itu berarti “perilaku baik mereka selama menjalani pidana” tidak di apresiasi secara benar dan tepat oleh petugas. Situasi ini baik langsung maupun tidak langsung akan menimbulkan resistensi dari kelompok narapidana tersebut. Lebih jauh hal itu akan berpengaruh terhadap keamanan di dalam Lapas karena adanya tekanan tambahan dari kelompok ini. 131
lv
UPAYA GUNA MENGHADAPI HAMBATAN DALAM PELAKSANAAN TUJUAN PEMBINAAN DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS II A BINJAI
Proses pembinaan narapidana oleh Lembaga Pemasyarakatan Klas II Binjai perlu adanya upaya guna mencapai keberhasilan yang ingin dicapai, meliputi : A. Program Pembinaan Kerohanian 1. Program pembinaan kerohanian Warga Binaan Pemasyarakatan perlu dilaksanakan secara kontinyu. Pembinaan kerohanian di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai selayaknya tidak hanya bekerjasama dengan pihak luar yaitu PIAI (Pendidikan Intensif Agama Islam Kota Binjai) akantetapi juga memberikan pelatihan kepada pembina/petugas lapas untuk dapat memberikan pembinaan kerohanian sehingga dapat dilaksanakan secara kontinyu. 2. Program pembinaan kerohanian Warga Binaan Pemasyarakatan perlu adanya kesadaran bagi narapidana. Salahsatu peran dari petugas pemasyarakatan dalam korelasi dengan Warga Binaan Pemasyarakatan adalah sebagai guru. Guru memiliki tugas dan tanggungjawab terhadap muridnya yaitu untuk memberi tahu sesuatu yang perlu, yang belum diketahui muridnya, mengajari muridnya supaya menjadi manusia yang pintar dan cerdas, misalnya membaca, menulis berhitung dan etika kesopanan, meyakinkan setiap orang muridnya bahwa antara tahu dan tidak tahu hanya dibatasi jarak yang amat kecil yang bisa diatasi asal ada kemauan. Karenanya guru mempunyai kewajiban membangkitkan semangat untuk meningkatkan kualitas intelektual muridnya. Hal ini disebabkan sebagian besar Warga Binaan Pemasyarakatan berpendidikan rendah antara buta huruf sampai setingkat Sekolah Menengah Pertama, mayoritas Warga lvi
93
Binaan Pemasyarakatan berusia muda. Disinilah peran petugas pemasyarakatan, amat strategis sebagai guru yang wajib meningkatkan kualitas intelektual para muridnya. Dan tentu melibatkan masyarakat (organisasi profesi, organisasi kemasyarakatan, lembaga pendidikan), baik pemerintah atau swasta. 132 3. Program pembinaan kerohanian Warga Binaan Pemasyarakatan harus memiliki sarana yang mencukupi. Gedung pemasyarakatan merupakan representasi keadaan penghuni di dalamnya. Keadaan gedung yang layak dapat mendukung proses pembinaan yang sesuai harapan. Di Indonesia sendiri, sebagian besar bangunan Lembaga Pemasyarakatan merupakan warisan kolonial, dengan kondisi infrastruktur yang terkesan ”angker” dan keras. Tembok tinggi yang mengelilingi dengan teralis besi menambah kesan seram penghuninya. Pembinaan kerohanian dapat di dukung dengan adanya fasilitas gedung ibadah yang memadai sehingga pembinaan dari petugas dan pihak luar dapat dilaksanakan dengan maksimal.
B. Program Pembinaan Keterampilan dan Kegiatan Kerja 1. Program pembinaan keterampilan dan kegiatan kerja berorientasi kepada kebutuhan Warga Binaan Pemasyarakatan. Untuk dapat mengatasi upaya-upaya hambatan di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai tentang pembinaan keterampilan dan kegiatan kerja, maka pembinaan harus berorientasi kepada kebutuhan Warga Binaan Pemasyarakatan 132
S. Simanjuntak, Op-Cit, hlm. 57
lvii
dengan memperhatikan kelengkapan sarana dan prasarana alat-alat pendukung agar dapat menunjang pelaksanaan pembinaan tersebut. Pembinaan keterampilan dan kegiatan kerja harus bekerja secara produktif untuk meningkatkan kualitas kemandirian, kreatifitas, dan produktifitas Warga Binaan Pemasyarakatan sehingga bukan untuk sekedar pengisi waktu saja. Dengan adanya orientasi kepada kebutuhan Warga Binaan Pemasyarakatan dapat terarah serta berdaya guna. Oleh karena itu diperlukan peningkatan sarana pendidikan keterampilan di Lembaga Pemasyarakatan. Salah satu hasil keterampilan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai berupa kerajinan meubel yang memiliki proses cukup lama dengan melalui 3 (tiga) proses, yaitu: proses pembuatan, proses pembuatan dari bahan setengah jati, dan proses akhir. Kerajinan meubel oleh narapidana memiliki bahan kayu akar dari kayu jati, mahoni, dan kayu sembarang dengan menggunakan chainsaw, pahat ukir, gerenda, kertas pasir kasar atau halus, kuas atau kompresor. Selain itu juga diperlukan dempul kayu, dempul kaca dan wood filler dengan jenis pewarnaan berupa warna jati, warna sungkai, warna mahoni, dan warna coca brown. Untuk pengilap meubel diperlukan clear gloss. Keseluruhan bahan baku diperoleh dari masyarakat luar Lembaga Pemasyarakatan dan lingkungan sekitar Lembaga Pemasyarakatan. Dengan adanya keterampilan narapidana, maka pembinaan akan memenuhi kebutuhan Warga Binaan Pemasyarakatan sehingga tidak melakukan keterampilan dengan keadaan terpaksa, namun untuk meningkatkan kemampuan dan keahlian bagi Warga Binaan lviii
Pemasyarakatan itu sendiri. a) Proses pembuatan meubel : Bahan baku berupa kayu jati atau mahoni atau kayu sembarang diolah menjadi bahan setengah jadi menggunakan alat chainsaw (gergaji mesin) dibentuk sesuai dengan bentuk kayu akar berupa kursi, meja, tempat tidur, hiasan ruangan, vas bunga, tempat buah. b) Proses pembuatan dari bahan setengah jadi menjadi bahan jadi berupa pengamplasan dengan kertas pasir. c) Proses akhir berupa bahan jadi di dempul untuk menutupi pori-pori kayu yang kurang baik sehingga memakan waktu 2 sampai 3 jam. Setelah bahan jadi tersebut dilihat kondisi cukup bagus, akan dimulai proses pewarnaan sesuai dengan permintaan. Bila telah selesai pewarnaan, dilakukan proses pengecatan dasar beberapa menit lalu di amplas kembali untuk diberikan clear dengan tujuan mengkilapkan. Bila semua proses telah dilakukan, tahap terakhir yaitu pengeringan pada suhu 25 (dua puluh lima ) derjat celcius selama 4 (empat) jam agar mendapatkan kualitas terbaik. Proses pembuatan meubel yang telah selesai akan dipasarkan dengan cara melakukan pameran serta kerjasama dengan toko meubel. 133 2. Program pembinaan keterampilan dan kegiatan kerja harus memiliki sarana yang memadai.
133
Wawancara dengan Warga Binaan Pemasyarakatan pada bulan April 2009 di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai
lix
Pelaksanaan pembinaan keterampilan dan kegiatan kerja memerlukan gedung dan lahan yang cukup luas untuk digunakan sebagai lokasi pengerjaan dengan mempertimbangkan faktor ekonomi agar produk dapat di pasarkan. 3. Pola pembinaan petugas di Lembaga Pemasyarakatan harus mampu menepis penolakan masyarakat terhadap mantan narapidana, meskipun memiliki keterampilan dan keahlian kerja. Berkenaan dengan masalah petugas pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan, ternyata dapat dikatakan belum sepenuhnya dapat menunjang tercapainya tujuan dari pembinaan itu sendiri, mengingat sebagian besar dari mereka relatif belum ditunjang oleh bekal kecakapan melakukan pembinaan dengan pendekatan humanis yang dapat menyentuh perasaan para narapidana, dan mampu berdaya cipta dalam melakukan pembinaan. Berdasarkan uraian di atas maka peneliti melihat dari tujuan didirikan Lembaga Pemasyarakatan, maka proses pembinaan yang seharusnya diberikan kepada narapidana belum dapat berjalan. Hal ini disebabkan karena sarana dan prasarana Lembaga Pemasyarakatan yang belum dapat mengakomodir konsep Lembaga Pemasyarakatan sebagai wadah pembinaan narapidana. Selain itu beberapa faktor non-teknis seperti adanya paradigma tentang narapidana dan wujud pembinaan yang belum sempurna turut memperburuk kondisi pembinaan di pemasyarakatan. Eksistensi pembinaan pada dasarnya tidak terlepas dari gagasan perubahan sistem kepenjaraan ke sistem pemasyarakatan yang dikemukakan oleh Sahardjo dalam pidato pengukuhan sebagai Doktor Honoris Causa (DR. HC) di lx
Istana Negara pada tanggal 15 Juli 1963 yang menyatakan: Bahwa tidak saja masyarakat diayomi terhadap diulangi perbuatan jahat oleh terpidana melainkan juga orang yang telah tersesat diayomi dengan memberikan kepadanya bekal hidup sebagai warga yang berguna di dalam masyarakat. Dari pengayom itu nyata bahwa menjatuhkan pidana bukanlah tindakan balas dendam dari negara, Tobat tidak dapat dicapai dengan penyiksaan melainkan dengan bimbingan. Terpidana juga tidak dijatuhi pidana siksaan melainkan pidana hilang kemerdekaan. Negara telah mengambil kemerdekaan seseorang dan yang pada waktunya akan mengembalikan orang itu ke masyarakat lagi mempunyai kewajiban terhadap orang terpidana itu dan masyarakat.40 Pada asasnya pergantian tersebut menempatkan pembinaan narapidana dengan sistem pemasyarakatan ke dalam bahagian sistem peradilan pidana yaitu pemasyarakatan merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana adalah bagian integral dari tata peradilan terpadu (integrated criminal justice system). Dengan demikian pemasyarakatan baik ditinjau dari sistem, kelembagaan, cara pembinaan dan petugas pemasyarakatan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari satu rangkaian proses penegakan hukum. 134 Kedudukan tersebut menunjukkan bahwa pembinaan terhadap narapidana merupakan upaya penanggulangan kejahatan melalui sistem pidana yang didahului oleh berbagai rangkaian proses yang telah disusun secara sistematis yang didahului oleh penyidikan di lembaga kepolisian, penuntutan di lembaga kejaksaan dan pemeriksaan sidang di pengadilan. Pelaksanaan eksekusi dilakukan di lembaga pemasyarakatan sebagai bahagian akhir dari sistem tersebut. Keberadaan lembaga pemasyarakatan tidak terlepas dari petugas yang 134
Lihat Penjelasan Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pemasyarakatan
lxi
melaksanakannya sebagai suatu perilaku yang berpengaruh dalam pencapaian tujuan pemasyarakatan sebab secara konsepsional, maka inti dari penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. 135 Keberadaan petugas pemasyarakatan merupakan penegak hukum sebagaimana ditentukan dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan yang menyebutkan bahwa petugas pemasyarakatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) merupakan pejabat fungsional penegak hukum yang melaksanakan tugas di bidang pembinaan, pengamanan dan pembimbingan warga binaan pemasyarakatan. Sebagai penegak hukum, maka petugas pemasyarakatan memiliki kedudukan (status) dan peranan (role). Kedudukan berkaitan dengan fungsi sebagai suatu wadah yang melahirkan hak dan kewajiban. Sedangkan peranan berkaitan dengan tugas yang dilahirkan dari kedudukan. 136 Penanggulangan kejahatan bukan hanya bertujuan untuk menyelesaikan peristiwa hukum yang terjadi di masyarakat namun juga mengusahakan agar pelaku tidak mengulangi kejahatan yang telah dilakukannya. Karakteristik ini merupakan tujuan akhir dari proses sistem peradilan pidana. Tujuan sistem peradilan pidana sebagai salah satu sarana penanggulangan kejahatan dikemukakan oleh Mardjono 135
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2005), hlm. 5 136 Kedudukan tersebut berkaitan dengan kesepuluh prinsip yang dikemukakan oleh Sahardjo yang menunjukkan bahwa pembinaan terhadap narapidana dilaksanakan dengan sifat preventif melalui rangkaian yang bersifat refresif. Pelaksanaan pembinaan terhadap narapidana dengan sifat preventif mengisyaratkan bahwa kedudukan lembaga pemasyarakatan sebagai bahagian akhir dalam sistem peradilan pidana memiliki tendensi yang positif yakni bukan hanya dititikberatkan pada rangkaian proses tersebut melainkan sebagai tujuan akhir dalam penanggulangan kejahatan.
lxii
Reksodiputro yang menyatakan bahwa hukum pidana bertujuan: 1) Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan; 2) Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana. 3) Mengusahakan agar orang yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulanginya. 137 Hukum sebagai sarana kontrol sosial, salah satu wujudnya ialah menggunakan sarana penal (pidana). Eksistensi hukum pidana memiliki nilai-nilai pokok sebagai berikut: 1) Keamanan dan ketertiban sebagai tujuan setiap hukum pidana; 2) Kesadaran warga masyarakat akan makna dan hakikat hukum yang kemudian dapat menjadi sumber keadilan, kedamaian, kesejahteraan rohaniah dan jasmaniah sebagai tujuan akhir hukum pidana; 3) Keserasian antara kejasmanian dan kerohanian harus dicapai dalam hukum pidana. 138 Dengan demikian beberapa hal yang perlu dilaksanakan adalah: 1) Menjalin kerjasama dengan instansi pemerintah dan Lembaga Swadaya Masyarakat dalam upaya peningkatan pembinaan terhadap narapidana. 2) Adanya
motivasi
yang
kuat
di
dalam
pribadi
petugas
Lembaga
Pemasyarakatan dengan prinsip moralitas dan idealisme yang tinggi. 3) Upaya peningkatan kesejahteraan petugas Lembaga Pemasyarakatan untuk meningkatkan loyalitas petugas dalam melaksanakan tugas.
137
Penanggulangan kejahatan merupakan bahagian yang terpenting dalam hukum pidana sehingga pembinaan terhadap narapidana di lembaga pemasyarakatan berfungsi sebagai tempat pemidanaan yang merupakan puncak dari seluruh proses mempertanggungjawabkan perbuatan pelanggaran hukum. Sebagai puncak dimaksudkan bahwa lembaga pemasyarakatan memiliki fungsi sentral untuk mencapai tujuan dari hukum pidana sebagai norma yang bertujuan agar narapidana tidak mengulangi perbuatannya. Mardjono Reksodiputro, Op-Cit, hlm. 84 138 Purnadi Purbacaraka, Filsafat Hukum Pidana, (Jakarta : Rajawali Press, 1997) hlm. 31
lxiii
4) Adanya moralitas yang baik dalam diri narapidana sehingga sadar bahwa narapidana adalah seseorang yang taat hukum setelah bebas. 5) Melengkapi sarana dan prasana yang dibutuhkan dalam melakukan pembinaan. 6) Meningkatkan partisipasi masyarakat terhadap narapidana melalui kesediaan masyarakat untuk menerima narapidana sebagai anggota masyarakat.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN lxiv
A.
Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian di atas, maka peneliti mengambil beberapa
kesimpulan di antaranya : 1. Pemasyarakatan sebagai suatu sub sistem peradilan pidana tidak dapat bekerja sendiri tanpa dibantu oleh sub sistem pidana lainnya, yaitu kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan. Dalam suatu sistem, apabila salah satu komponen tidak berfungsi maka sulit untuk mencapai tujuan yang dikehendaki oleh sistem tersebut. 2. Hambatan yang terjadi dalam pelaksanaan pembinaan narapidana dapat diatasi
dengan
meningkatkan
menambah
daya
tampung
Lembaga
Pemasyarakatan Klas II A Binjai untuk memaksimalkan pembinaan serta meningkatkan kedisiplinan pembinan/petugas dalam memberikan pembinaan sesuai dengan aturan yang berlaku. 3. Upaya yang dilakukan dalam mengatasi hambatan pembinaan narapidana diperlukan penanaman moral petugas yang berintegritas dan memiliki loyalitas dalam melaksanakan pembinaan sehingga dapat berjalan dengan baik.
B.
Saran 102 Berdasarkan hasil penelitian di atas, maka peneliti mengambil beberapa saran,
lxv
yaitu : 1. Diharapkan adanya suatu pemahaman mengenai tanggung jawab pembinaan terhadap narapidana dengan semua pihak, khususnya komponen dalam sistem peradilan pidana seperti kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman dengan mengikutsertakan masyarakat secara aktif. 2. Diharapkan Kalapas dapat memberikan instruksi ke jajarannya secara tegas sehingga pembinaan narapidana oleh pembina dapat dilakukan dengan baik. 3. Perlunya peran serta pemerintah dan pihak swasta dalam upaya menghadapi hambatan yang dihadapi lembaga pemasyarakatan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Buku-Buku lxvi
Arief, Barda Nawawi, Kebijaksanaan Sanksi Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan, Semarang : Universitas Diponegoro, 1989 Atmasasmita, Romli, Strategi Pembinaan Pelanggaran Hukum Dalam Penegakan Hukum di Indonesia, Bandung : Alumni, 1982 Dwidjoseputro, Soegiarta, Peraturan Penjara Dengan Keterangan, Jakarta : Direktorat Pemasyarakatan, 1998 Hamzah, Andi, Sistem Pidana Dan Pemidanaan di Indonesia Dari Retribusi Ke Reformasi, Bandung : Prandya Paramita, 1996 Hanitijo Soemitro, Roni, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1988 Koentjorodiningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Jakarta : Gramedia Pustaka, 1997 Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, Bandung : Alumni, 1985 Panjaitan, Petrus, Lembaga Pemasyarakatan Dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1995 Poernomo, Bambang, Pelaksanaan Pidana Penjara Dengan Sistem Pemasyarakatan, Yogyakarta : Liberty, 1980 Priyatno, Dwidja, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, Bandung : Refika Aditama, 2006 Rahardjo, Satjipto, Ilmu Hukum, Bandung : Aditya Bakti, 1996 Samosir, Djisman, Fungsi Pidana Penjara Dalam Sistem Pemidanaan Di Indonesia, Bandung : Bina Cipta, 1992 Soegondo, Kebutuhan Biologis Bagi Narapidana Di Tinjau dari Segi Hukum, Agama dan Psikologi, Jakarta : Gramedia, 1982 Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta : UI Press, 1986 ------------------------, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta : UI-Press, 1986
104
------------------------, dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1995 lxvii
------------------------, dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta : Rajawali Press, 1985 Sudarsono, Kamus Hukum, Jakarta : Rineka Cipta, 2007
2. Makalah, Seminar, Jurnal Ilmiah Muladi, “Jenis-Jenis Pidana Pokok dalam KUHP Baru”, Majalah Hukum Nasional, BPHN, No. 2 Tahun 1989 Suryobroto, Bahrudin, “Pelaksanaan Sistem Pemasyarakatan”, Majalah Lembaga Pembinaan Hukum Nasional, No.16 Tahun V, April, Mei, Juni, 1972
3. Perundang-undangan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Nasional 2005 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan
lxviii