PEDAGANG KAKI LIMA
MAKALAH Untuk memenuhi tugas mata kuliah Ekonomi Sektor Publik Yang dibina oleh Ibu Martina Purwaning Diah, S.AP, M.AP
OLEH : ERIN DAMAYANTI 135030118113001
UNIVERSITAS BRAWIJAYA FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI JURUSAN ILMU ADMINISTRASI PUBLIK 2013/2014 i
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Pertumbuhan di kota-kota tidak dapat dipisahkan dari kehadiran sektor informal yang keberadaanya tidak dapat terlepas dari pembangunan. Arus urbanisasi menyebabkan pertumbuhan jumlah angkatan kerja yang tidak seimbangan dengan jumlah lapangan kerja. Dalam situasi inilah para pencari kerja lari ke sektor informal dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Salah satu usaha sektor informal adalah pedagang kaki lima (PKL). Pedagang Kaki Lima (Sektor Informal) adalah mereka yang melakukan kegiatan usaha dagang perorangan atau kelompok yang dalam menjalankan usahanya menggunakan tempat-tempat fasilitas umum, seperti terotoar, pingir-pingir jalan umum, dan lain sebagainya. Pedagang yang menjalankan kegiatan usahanya dalam jangka tertentu dengan menggunakan sarana atau perlangkapan
yang
mudah
dipindahkan,
dibongkar
pasang
dan
mempergunakan lahan fasilitas umum sebagai tempat usaha seperti kegiatan pedagang- pedagang kaki lima yang ada di jalan raya desa Gurah Kabupaten Kediri, tepatnya depan pasar Gurah. Dalam perkembangannya PKL menghadapkan pemerintah pada kondisi yang dilematis, disatu sisi keberadaannya dapat menciptakan lapangan kerja, sedangkan dilain pihak keberadaan PKL yang tidak diperhitungkan dalam perencanaan tata ruang telah menjadi beban bagi kota. PKL beraktivitas pada ruang-ruang publik kota tanpa mengindahkan kepentingan umum, sehingga terjadinya distorsi fungsi dari ruang tersebut. Pada akhirnya kesesuaian tatanan fisik masa dan ruang kota dalam menciptakan keserasian lingkungan
ii
kota sering kali tidak sejalan dengan apa yang telah direncanakan. PKL telah memberikan dampak negatif terhadap tatanan kota, sedangkan terhadap masyarakat keberadaan PKL selain memberikan dampak negatif juga memberikan manfaat atau dampak positif terhadap masyarakat.
B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana sejarah keberadaan kaki lima ? 2. Bagaimana konsep dasar pedagang kaki lima ? 3. Apa dampak positif dan negatif pedagang kaki lima ? 4. Bagaimana keberadaan pedagang kaki lima di jalan raya Gurah ?
C. Tujuan Penulisan 1.
Untuk memahami dan menganalisa sejarah keberadaan pedagang kaki lima.
2.
Untuk memahami dan menganalisa konsep dasar pedagang kaki lima.
3.
Untuk memahami dan menganalisa dampak positif dan negatif pedagang kaki lima.
4.
Untuk memahami dan menganalisa keberadaan pedagang kaki lima di jalan raya Gurah.
iii
BAB II KAJIAN TEORI
A. Sejarah Pedagang Kaki Lima Pedagang kaki lima atau yang sering disebut PKL merupakan sebuah komunitas yang kebanyakan berjualan dengan memanfaatkan area pinggir jalan raya untuk mengais rezeki dengan menggelar dagangannya atau gerobaknya di pinggir-pinggir perlintasan jalan raya. Bila melihat sejarah dari permulaan adanya Pedagang Kaki Lima, PKL atau pedagang kaki lima sudah ada sejak masa penjajahan Kolonial Belanda. Pada masa penjajahan kolonial peraturan pemerintahan waktu itu menetapkan bahwa setiap jalan raya yang dibangun hendaknya menyediakan sarana untuk Para pedestrian atau pejalan kaki yang sekarang ini disebut dengan trotoar. Lebar ruas untuk sarana bagi para pejalan kaki atau trotoar ini adalah 5 kaki atau 5 feet (feet = satuan panjang yang umum digunakan di Britania Raya dan Amerika Serikat). 1 kaki adalah sekitar sepertiga meter atau tepatnya 0,3048 m. Maka 5 feet atau 5 kaki adalah sekitar satu setengah meter. Selain itu juga pemerintahan pada waktu itu juga menghimbau agar sebelah luar dari trotoar diberi ruang yang agak lebar atau agak jauh dari pemukiman penduduk untuk dijadikan taman sebagai penghijauan dan resapan air. Dengan adanya tempat atau ruang yang agak lebar itu kemudian para pedagang mulai banyak menempatkan gerobaknya untuk sekedar beristirahat sambil menunggu adanya para pembeli yang membeli dagangannya. Seiring perjalanan waktu banyak pedagang yang memanfaatkan lokasi tersebut sebagai tempat untuk berjualan sehingga mengundang para pejalan kaki yang kebetulan lewat untuk membeli makanan, minuman sekaligus beristirahat. iv
Berawal dari situ maka Pemerintahan Kolonial Belanda menyebut mereka sebagai Pedagang Lima Kaki buah pikiran dari pedagang yang berjualan di area pinggir perlintasan para pejalan kaki atau trotoar yang mempunyai lebar Lima Kaki. Seiring perjalanan waktu para pedagang lima kaki ini tetap ada hingga sekarang, namun ironisnya para pedagang ini telah diangggap mengganggu para pengguna jalan karena para pedagan telah memakan ruas jalan dalam menggelar dagangannya. Namun bila kita menengok kembali pada masa penjajahan belanda dahulu, antara ruas jalan raya, trotoar dengan jarak dari pemukiman selalu memberikan ruang yang agak lebar sebagai taman maupun untuk resapan air. hal ini bisa kita lihat pada wilayah-wilayah yang masih bertahan dan terawat sejak pemerintahan kolonial hingga sekarang seperti di daerah Malang terutama di daerah Jalan Besar Ijen, dan lain sebagainya. Hal ini sangat berbeda dengan sekarang, dimana antara trotoar dengan pemukiman tidak ada jarak sama sekali, pembuatan taman-taman yang ada di sisi pinggir jalan terkesan seadanya sehingga tidak mampu untuk meresap air apa bila hujan. Ini fakta bukan fenomena, ini kenyataan dan bukan rekaan. Lantas tidak sepenuhnya kesalahan itu teralamatkan pada Pedagang Kaki Lima (PKL) yang notabone memang dirasakan sangat mengganggu para pengguna jalan. Sungguh ironis memang, disatu sisi mereka mencari nafkah, satu sisi mereka juga mengganggu kenyamanan para pengguna jalan. Dalam hal ini pemerintah harus lebih jeli dalam mengambil tindakan dan juga menegakkan peraturan. Lapangan pekerjaan yang sulit juga mendukung maraknya Pedagang Kaki Lima (PKL) yang merupakan alih profesi akibat PHK dan lain sebagainya.
B. Konsep Dasar Pedagang Kaki Lima Menurut Poerwadarminta (2000) Pedagang Kaki Lima atau yang biasa disingkat dengan kata PKL adalah istilah untuk menyebut penjaja dagangan yang menggunakan gerobak. Istilah itu sering ditafsirkan demikian karena jumlah kaki pedagangnya ada lima. Lima kaki tersebut adalah dua kaki
v
pedagang ditambah tiga "kaki"gerobak (yang sebenarnya adalah tiga roda atau dua roda dan satu kaki). Dahulu namanya adalah pedagang emperan jalan, sekarang menjadi pedagang kaki lima, namun saat ini istilah PKL memiliki arti yang lebih luas, Pedagang Kaki Lima digunakan pula untuk menyebut pedagang di jalanan pada umumnya. Istilah kaki lima adalah lantai yang diberi atap sebagai penghubung rumah dengan rumah(Kamus Besar Bahasa Indonesia), arti yang kedua adalah lantai (tangga) dimuka pintu atau di tepi jalan. Arti yang kedua ini lebih cenderung diperuntukkan bagi bagian depan bangunan rumah toko, dimana di jaman silam telah terjadi kesepakatan antar perencana kota bahwa bagian depan(serambi) dari toko lebarnya harus sekitar lima kaki dan diwajibkan dijadikan suatu jalur dimana pejalan kaki dapat melintas. Namun ruang selebar kira-kira lima kaki itu tidak lagi berfungsi sebagai jalur lintas bagi pejalan kaki, melainkan telah berubah fungsi menjadi area tempat jualan barang-barang pedagang kecil, maka dari situlah istilah pedagang kaki lima dimasyarakatkan. Pedagang kaki lima merupakan bagian dari sektor informal kota yang mengembangkan aktifitas produksi barang dan jasa di luar kontrol pemerintah dan tidak terdaftar (Evers dan Korf, 2002:234). Istilah pedagang kaki lima atau disingkat PKL sering ditafsirkan karena jumlah kaki pedagangnya ada lima. Lima kaki tersebut adalah dua kaki pedagang ditambah tiga "kaki" gerobak (yang sebenarnya adalah tiga roda atau dua roda dan satu kaki). Sebenarnya istilah kaki lima berasal dari masa penjajahan kolonial Belanda. Peraturan pemerintahan waktu itu menetapkan bahwa setiap jalan raya yang dibangun hendaknya menyediakan sarana untuk pejalan kaki. Lebar ruas untuk pejalan adalah lima kaki atau sekitar satu setengah meter. Para pedagang yang menempati sarana untuk pejalan tersebut kemudian disebut sebagai pedagang kaki lima. Saat ini istilah PKL digunakan secara lebih luas, tidak hanya
untuk para pedagang yang berjualan/berada di badan jalan
(trotoar) saja tetapi juga digunakan untuk para pedagang yang berjualan di jalanan pada umumnya. Ciri-ciri atau sifat pedagang kaki lima: Pada umumnya tingkat pendidikannnya rendah.
vi
Memiliki sifat spesialis dalam kelompok
barang
atau
jasa yang
diperdagangkan. Barang yang diperdagangkan berasal dari produsen kecil atau hasil produksi sendiri. Pada umumnya modal usahanya kecil, berpendapatan rendah, serta kurang mampu memupuk dan mengembangkan modal. Hubungan pedagang kaki lima dengan pembeli bersifat komersial. Beberapa karakteristik khas pedagang kaki lima
dikemukakan oleh
Bagong Suyanto dkk. adalah pertama, pola persebaran kaki lima umumnya mendekati pusat keramaian dan tanpa ijin menduduki zona-zona yang semestinya menjadi milik publik (depriving public zoning). Kedua, para pedagang kaki lima umumnya memiliki daya resistensi sosial yang sangat lentur terhadap berbagai tekanan dan kegiatan penertiban, Ketiga, sebagai sebuah kegiatan usaha, pedagang kaki lima umumnya memiliki mekanisme involutif penyerapan tenaga kerja yang sangat longgar. Keempat sebagian besar pedagang kaki lima adalah kaum migran, dan proses adaptasi serta eksistensi mereka didukung oleh bentuk-bentuk hubungan patronase yang didasarkan pada ikatan faktor kesamaan daerah asal (locality sentiment). Kelima, para pedagang kaki lima rata-rata tidak memiliki ketrampilan dan keahlian alternatif untuk mengembangkan kegiatan usaha baru luar sektor informal kota (Suyanto, 2005: 47-48). Penjelasan berdasarkan ciri-ciri yang melekat pada pedagang kaki lima nampaknya menjadi alternative yang dapat digunakan untuk memahami keberadaan pedagang kaki lima dalam usaha untuk melakukan pembinaan dan penataanya. Apa yang dikemukakan oleh Kartono dkk berdasarkan hasil penelitianya di Bandung, dalam menjelaskan ciri-ciri pedagang kaki lima dapat berguna membantu pembinaan dan penataan pedagang kaki lima tersebut. Menurut Kartono dkk (1980:3-7) pedagang kaki lima mempunyai cirri-ciri a). Merupakan pedagang yang sekaligus sebagai berarti produsen, b). Ada yang menetap pada lokasi tertentu, ada yang bergerak dari tempat yang satu ketempat yang lain (menggunakan pikulan, kereta dorong, tempat atau
vii
stan yang tidak permanen serta bongkar pasang),
c). Menjajakan bahan
makanan, minuman, barang-barang konsumsi lainya yang tahan lama secara eceran, d). Umumnya bermodal kecil, kadang hanya merupakan alat bagi pemilik modal dengan mendapatkan sekedar komisi sebagai imbalan atau jerih payahnya, e). Kualitas barang yang diperdagangkan relatif rendah dan biasanya tidak berstandar, f). Volume peredaran uang tidak seberapa besar, para pembeli umumnya merupakan pembeli yang berdaya beli rendah, g). Usaha berskala kecil bisa merupakan family enterprise, dimana ibu dan anakanak turut membantu dalam usaha tersebut, baik secara langsung maupun tidak langsung, h). Tawar menawar antar pembeli merupakan relasi yang ciri khas, i). Dalam melaksanakan pekerjaanya ada yang secara penuh, sebagian lagi setelah kerja atau pada waktu senggang dan ada pula yang secara musiman, j) Barang yang dijual biasanya convenience goods jarang sekali specialty goods, k). Dan seringkali berada dalam suasana psikologis yang tidak tenang, meliputi perasaan takut kalu tiba-tiba kegiatan mereka dihentikan oleh Tim Penertiban Umum (TIBUM) dan Satpol PP sebagai aparat pemerintah daerah. Ciri-ciri yang digambarkan oleh Kartono dkk. tersebut memperlihatkan bahwa pedagang kaki lima mempunyai keragaman baik dari segi tempat berdagang, skala usaha, permodalan, jumlah tenaga kerja, jenis dagangan, dan lokasi usahanya. Alisyahbana (2005:43-44) berdasarkan penelitianya di kota Surabaya telah mengkategorikan pedagang kaki lima menjadi 4 tipologi. Keempat tipologi tersebut adalah: Pertama pedagang kaki lima murni yang masih bisa dikategorikan PKL, dengan skala modal terbatas, dikerjakan oleh orang yang tidak mempunyai pekerjaan selain pedagang kaki lima, ketrampilan terbatas, tenaga kerja yang bekerja adalah anggota keluarga. Kedua, pedagang kaki lima yang hanya berdagang ketika ada bazar (pasar murah/pasar rakyat, berjualan di Masjid pada hari Jumat, halaman kantorkantor). Ketiga, pedagang kaki lima yang sudah melampaui ciri pedagang kaki pertama dan kedua, yakni pedagang kaki lima yang telah mampu mempekerjakan orang lain. Ia mempunyai karyawan, dengan membawa barang daganganya dan peraganya dengan mobil, dan bahkan ada yang
viii
mempunyai stan lebih dari satu tempat. Termasuk dalam tipologi ini adalah pedagang kaki lima yang nomaden berpindah-pindah tempat dengan menggunakan mobil bak terbuka. Keempat pedagang kaki lima yang termasuk pengusaha kaki lima. Mereka hanya mengkoordinasikan tenaga kerja yang menjualkan barang-barangnya. Termasuk pedagang kaki lima jenis ini yaitu padagang kaki lima yang mempunyai toko, dimana tokonya berperan sebagai grosir yang menjual barang daganganya kepada pedagang kaki lima tak bermodal dan barang yang diambil baru dibayar setelah barang tersebut laku. Ciri pedagang kaki lima yang juga sangat menonjol adalah bersifat subsistensi. Mereka berdagang hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Apa yang diperoleh pada hari ini digunakan sebagai konsumsi hari ini bagi semua anggota keluarganya dengan demikian kemampuan untuk menabung juga rendah. Kondisi ini menyebabkan para pedagang kaki lima menjadi sangat kawatir terhadap berbagai tindakan aparat yang dapat mengganggu kehidupan subsistensinya. Yustika (2001) menggambarkan pedagang kaki lima adalah kelompok masyarakat marjinal dan tidak berdaya. Mereka rata-rata tersisih dari arus kehidupan kota dan bahkan tertelikung oleh kemajuan kota itu sendiri dan tidak terjangkau dan terlindungi oleh hukum, posisi tawar rendah, serta menjadi obyek penertiban dan peralatan kota yang represif. Peranan pedagang kaki lima dalam perekonomian antara lain:
Dapat menyebarluaskan hasil produksi tertentu.
Mempercepat proses kegiatan produksi karena barang yang dijual cepat laku.
Membantu masyarakat ekonomi lemah dalam pemenuhan kebutuhan dengan harga yang relative murah.
Mengurangi pengangguran.
ix
C. Dampak Positif dan Negatif Pedagang Kaki Lima 1. Dampak Positif Ditinjau dari sisi positifnya, sektor informal Pedagang Kaki Lima (PKL) merupakan sabuk penyelamat yang menampung kelebihan tenaga kerja yang tidak tertampung dalam sektor formal (Usman, 2006:50), sehingga dapat mengurangi angka pengangguran. Kehadiran PKL di ruang kota juga dapat meningkatkan vitalitas bagi kawasan yang ditempatinya serta berperan sebagai penghubung kegiatan antara fungsi pelayanan kota yang satu dengan yang lainnya. Selain itu, PKL juga memberikan pelayanan kepada masyarakat yang beraktivitas di sekitar lokasi PKL, sehingga mereka mendapat pelayanan yang mudah dan cepat untuk mendapatkan barang yang mereka butuhkan Pada umumnya barang-barang yang diusahakan PKL memiliki harga yang relatif terjangkau oleh pembelinya, dimana pembeli utamanya adalah masyarakat menengah kebawah yang memiliki daya beli yang rendah. Keberadaan
PKL
bisa
menjadi
potensi
pariwisata
yang
cukup
menjanjikan, sehingga keberadaan PKL banyak menjamur di sudut-sudut kota. Dampak positif lainnya terlihat pula dari segi sosial dan ekonomi, karena sektor informal memiliki karakteristik efesien dan ekonomis. Hal tersebut menurut Sethurahman selaku koordinator penelitian sektor informal yang dilakukan ILO di 8 negara berkembang, karena kemampuan menciptakan surplus bagi investasi dan dapat membantu meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Hal ini dikarenakan usaha-usaha sektor informal bersifat subsisten dn modal yang digunakan kebanyakan berasal dari usaha sendiri. Modal ini sama sekali tidak menghabiskan sumber daya ekonomi yang besar. 2. Dampak Negatif Sisi Negatif, karakteristik PKL yang menggunakan ruang untuk kepentingan umum, terutama di pinggir jalan dan trotoar untuk melakukan aktivitasnya yang mengakibatkan tidak berfungsinya sarana-sarana kepentingan umum. Tidak tertampungnya kegiatan PKL di ruang x
perkotaan, menyebabkan pola dan struktur kota moderen dan tradisional berbaur menjadi satu sehingga menimbulkan suatu tampilan yang kontras. Bangunan moderen nan megah berdampingan dengan bangunan sederhana bahkan cenderung kumuh. Perlu adanya upaya yang terpadu dari pihak terkait untuk menertibkan Pedagang Kaki Lima ini sebagai upaya untuk mengembalikan fungsi ruang publik sesuai peruntukkannya. Hal tersebut berakibatkan penurunan kualitas ruang kota ditunjukkan oleh semakin tidak terkendalinya perkembangan PKL sehingga seolaholah semua lahan kosong yang strategis maupun tempat-tempat yang strategis merupakan hak PKL. Pkl mengambil ruang dimana-mana tidak hanya ruang kosong atau terabaikan, tetapi juga pada ruang yang jelas peruntukkannya secara formal. PKL secara ilegal berjualan hampir di seluruh jalur pedestrian, ruang terbuka, jalur hijau dan ruang kota lainnya. Alasannya karena aksesbilitasnya yang tinggi sehingga berpotensi besar untuk mendatangkan konsumen juga. Akibatnya adalah kaidah-kaidah penataan ruang menjadi mati oleh pelanggaran-pelanggaran yang terjadi akibat keberadaan PKL tersebut. Keberadaan PKL yang tidak terkendali mengakibatkan
pejalan
kaki
berdesak-desakkan,
sehingga
dapat
menimbulkan tindak kriminal (pencopetan). Mengganggu kegiatan ekonomi pedagang formal karena lokasinya yang cenderung memotong jalur pengunjung seperti pinggir jalan dan depan toko. Selain itu, pada beberapa tempat keberadaan PKL mengganggu para pengendara kendaraan bermotor dan mengganggu kelancaran lalu lintas. Permasalahan yang terjadi berkaitan dengan penataan atau penertiban PKL adalah kembalinya PKL yang sudah direlokasi ke tempat semula yang ditertibkan. PKL yang mendatangi kembali lokasi yang sudah ditertibkan tersebut terdiri dari PKL lama yang dulu ditertibkan dan PKL baru yang memilih lokasi tersebut dalam melaksanakan aktivitasnya. Fenomena menjamurnya Pedagang Kaki Lima terutama dikota-kota besar terjadi karena :
Adanya krisis ekonomi yang melanda Indonesia berdampak pada banyak perusahaan tidak beroperasi lagi seperti sedia kala oleh karena
xi
ketidakmampuan perusahaan menutupi biaya operasionalnya sehingga timbul kebijakan pemutusan hubungan kerja (PHK). Hal ini juga memberi kontribusi terhadap peningkatan jumlah pengangguran yang umumnya bermukim di wilayah perkotaan. Demi mempertahankan hidup, orang-orang yang tidak tertampung dalam sektor formal maupun yang terkena dampak PHK tersebut kemudian masuk ke dalam sektor salah satunya adalah menjadi pedagang Kaki Lima.
Perencanaan ruang tata kota yang hanya terfokus pada ruang-ruang formal saja yang menampung kegiatan formal. Seiring dengan berjalannya waktu, keberadaan ruang-ruang fomal kota tersebut mendorong munculnya kegiatan informal kota salah satunya di sektor perdagangan, yaitu Pedagang Kaki Lima (PKL) sebagai kegiatan pendukung (activity support).
Pertumbuhan penduduk kota yang sangat cepat di Indonesia lebih banyak disebabkan adanya arus urbanisasi dan pembengkakan kota. Keadaan semacam ini menyebabkan kebutuhan lapangan kerja di perkotaan semakin tinggi. Seiring dengan hal tersebut, ternyata sektor formal tidak mampu menyerap seluruh pertambahan angkatan kerja. Akibatnya terjadi kelebihan tenaga kerja yang tidak tertampung, mengalir dan mempercepat tumbuhnya sektor informal. Salah satu bentuk perdagangan informal yang penting adalah Pedagang Kaki Lima.
xii
BAB III PEMBAHASAN
Analisis Pedagang Kaki Lima Di Jalan Raya Gurah Pedagang Kaki Lima (PKL) yang ada di pinggir dan ditrotoar jalan raya Gurah Kabupaten Kediri tepatnya berada di depan pasar gurah. Ada yang berjualan mulai pagi sampai malam tetapi juga ada yang berjualan hanya pada malam hari saja.. Mayoritas PKL tersebut warga asli Desa Gurah Kabupaten Kediri. PKL tersebut kebanyakan menjual makanan dan minuman, seperti kopi, teh, nasi pecel, martabak, dan lain-lain. Mereka berjualan untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya, karena mayoritas dari mereka tidak mempunyai kerja sampingan selain menjadi PKL. Mereka telah lama berjualan di tempat tersebut. Tidak ada pajak atau iuran yang dibebankan untuk para pedagang tersebut. Mereka lebih memilih berjualan disana, karena letaknya yang strategis yaitu di pinggir jalan raya yang menghubungkan arah Kediri Kota dengan Pare. Selain itu, tempat tersebut juga sangat ramai, dan tidak jauh dari rumah mereka. Padahal banyak pedagang kaki lima yang berpindah untuk berjualan ke kawasan pasar tugu simpang lima gumul, namun tidak dengan mereka. Sebenarnya, di pasar tugu pengunjungnya juga tidak kalah ramai dengan tempat mereka berjualan. Pajak yang dibebankan juga tidaklah mahal, hanya Rp 1.000 per minggunya. Alasan mereka tidak mau berjualan di pasar tugu karena jauh dan terlalu repot jika harus membawa dagangannya ke pasar tugu SLG. Namun, ironisnya keberadaan PKL tersebut mengganggu pengguna jalan yang ingin melewati jalan tersebut. Trotoar yang seharusnya digunakan untuk pejalan kaki, justru digunakan untuk berjualan. Kendaraan para pembeli yang di parkir di jalan, juga dapat mengganggu jalannya lalu lintas. Mereka tidak
xiii
memikirkan hal-hal seperti itu. Pemerintah daerah tersebut juga tidak pernah mengambil tindakan tegas. Sehingga mereka merasa nyaman dan tenangtenang saja berjualan di tempat tersebut. Seharusnya pemerintah menyediakan tempat untuk mereka berjualan atau menganjurkan mereka untuk berjualan di pasar tugu SLG. Apabila mereka tetap memaksa untuk berjualan dipinggir jalan tersebut, pemerintah harus memberikan denda dan hukuman yang tegas, agar mereka tidak lagi berjualan di pinggir jalan tersebut dan mau pindah ke pasar tugu SLG. Sehingga pengguna jalan merasa nyaman untuk melewati jalan tersebut.
xiv
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan Pedagang Kaki Lima yang biasa di singkat dengan PKL adalah mereka yang berjualan di pinggir-pingir jalan atau di trotoar dengan modal yang sedikit. Mereka menggunakan fasilitas umum untuk berjualan. Keberadaan PKL mempunyai dampak positif dan negatif. PKL juga dapat membantu mengurangi pengangguran. Namun, PKL sangat mengganggu jalannya lalu lintas, tidak jarang banyak kecelakaan yang terjadi. Tidak ada tindakan tegas yang dilakukan untuk menangani masalah PKL yang mengganggu pengguna jalan tersebut.
B. Saran Seharusnya pemeritah sudah harus bertindak tegas dalam menangani permasalahan PKL yang mengganggu pengguna jalan. Pemerintah harus menyediakan tempat yang layak untuk mereka berjualan.
xv
DAFTAR PUSTAKA
http://mujibsite.wordpress.com/2009/08/14/sejarah-pedagang-kaki-lima-pkl/ http://id.shvoong.com/social-sciences/sociology/2205244-definisi-pedagang-kaki lima/ http://aushaf-fahri.blogspot.com/2014/02/pengertian-ciri-ciri-dan-contoh sektor.html http://andrevetronius-hmjsejarah.blogspot.com/2013/10/dampak-positif-dannegatif-keberadaan_23.html
xvi