”PENGEMBANGAN KEWIRAUSAHAAN SEKTOR INFORMAL: STUDI KASUS PEDAGANG KAKI LIMA”
Editor : Zarmawis Ismail
PROGRAM INSENTIF PENELITI DAN PEREKAYASA LIPI TAHUN 2009
1
Lap Dikti Zarmawis Final 2009.indd 1
LIPI
6/22/2010 6:24:14 PM
©2009 Indonesian Institute of Sciences (LIPI) Pusat Penelitian Ekonomi (LIPI)
KATALOG DALAM TERBITAN PUSAT DOKUMENTASI DAN INFORMASI ILMIAH LIPI
Pengembangan Kewirausahaan Sektor Informal: Studi Kasus Pedagang Kaki Lima/editor Zarmawis Ismail. - [Jakarta] : Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, 2009.
i-xv + 144 hlm: 15 cm x 21 cm
338 ISBN : 978-602-8659-24-6
Penerbit:
LIPI
LIPI Press, anggota Ikapi Pusat Penelitian Ekonomi (LIPI) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Widya Graha Lt. 4 - 5 Jalan Jenderal Gatot Subroto No. 10, Jakarta 12710 Telp: 021-526 7120 Fax: 021-526 2139
ii
Lap Dikti Zarmawis Final 2009.indd Sec1:ii
6/22/2010 6:24:28 PM
KATA PENGANTAR
Buku laporan penelitian dengan judul ”Pengembangan Kewirausahaan Sektor Informal: Studi Kasus Pedagang Kaki Lima” merupakan salah satu dari sepuluh kegiatan Program Insentif Peneliti dan Perekayasa Dikti-LIPI Tahun 2009 yang berada di bawah pengelolaan Pusat Penelitian Ekonomi (P2E) - LIPI. Penelitian di latar belakangi oleh peranan sektor informal dalam penyerapan tenaga kerja yang relatif besar, yakni 56% dari jumlah angkatan kerja nasional. Pedagang Kaki Lima (PKL) sebagai bagian sektor informal, selain berperan dalam penyerapan tenaga kerja, juga telah bekontribusi pada perekonomian daerah dan sumber penghasilan masyarakat. Karena itu penelitian dengan judul tersebut penting untuk dilakukan. Secara umum penelitian bertujuan untuk menemukan konsep yang tepat bagi pengembangan kewirausahaan PKL sehingga menjadi sektor formal dalam upaya peningkatan kesejahteraan mereka. Sedangkan secara khusus, tujuan penelitian adalah (1) mengkaji karakteristik PKL di suatu daerah, (2) mengkaji perkiraan kontribusi PKL terhadap perekonomian daerah, (3) mengkaji peranan stakeholders dalam membina dan mengembangkan PKL, dan (4) mengkaji faktorfaktor yang mempengaruhi kewirausahaan PKL bagi keberhasilan usaha mereka. Buku laporan penelitian terdiri dari 6 (enam) bab, yakni: (1) pendahuluan, (2) gambaran umum dan karakteristik PKL; (3) perkiraan kontribusi PKL terhadap perekonomian daerah; (4) peranan stakeholders dalam membina PKL menjadi sektor formal; (5) faktor-faktor yang
i
Lap Dikti Zarmawis Final 2009.indd Sec3:i
6/22/2010 6:24:28 PM
mempengaruhi kewirausahaan PKL; dan (6) konsep pengembangan kewirausahaan PKL menjadi sektor formal. Berbagai temuan dalam laporan penelitian ini penting untuk disimak, karena PKL di satu sisi telah berperan penting dalam perekonomian, tetapi di sisi lain kondisi sosial-ekonomi mereka tidak memperlihatkan kemajuan. Berhasilnya pelaksanaan penelitian sesuai dengan waktunya sehingga menghasilkan laporan ini, adalah berkat kerja sama dan bantuan banyak pihak, terutama dinas/instansi di daerah, rekan-rekan peneliti, dan narasumber lainnya. Karena itu pada kesempatan ini, kepada pihak-pihak tersebut kami mengucapkan terima kasih. Ucapan yang sama juga kami sampaikan pada tim peneliti, karena dengan kerasnya dapat dihasilkan laporan penelitian ini dengan baik. Kami berharap, semoga laporan penelitian ini dapat memberikan sumbangsih terhadap pengembangan ilmu pengathuan dan dimanfaatkan secara maksimal bagi pengambil kebijakan dan keperluan praktis lainnya. Kami menyadari bahwa Buku laporan penelitian ini tidak terlepas dari berbagai kekurangan, karena itu kepada para pembaca diharapkan komentar, kritik, dan saran konstruktif sebagai masukan bagi penyempurnaan laporan penelitian-penelitian P2E-LIPI selanjutnya.
Jakarta, Desember 2009 Kepala Puslit Ekonomi LIPI
Drs. Darwin, M.Sc NIP. 19551121 198303 1 003
ii
Lap Dikti Zarmawis Final 2009.indd Sec3:ii
6/22/2010 6:24:28 PM
ABSTRAK Secara umum penelitian bertujuan untuk menemukan konsep yang tepat bagi pengembangan kewirausahaan PKL sehingga menjadi sektor formal dalam upaya peningkatan kesejahteraan mereka. Sedangkan secara khusus, tujuan penelitian adalah (1) mengkaji karakteristik PKL di suatu daerah, (2) mengkaji perkiraan kontribusi PKL terhadap perekonomian daerah, (3) mengkaji peranan stakeholders (pemerintah, swasta, dan asosiasi/organisasi) dalam membina dan mengembangkan PKL, dan (4) mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi jiwa kewirausahaan bagi keberhasilan PKL. Dengan pendekatan ekonomi dan pendekatan sosial, serta data/ informasi yang diperoleh dari Kota Bandung dan Kota Yogyakarta sebagai lokasi penelitian, dianalisis dengan menggunakan metode kuantitatif dan metode kualitatif. Dari analisis dengan menggunakan kedua metode ini, dihasilkan temuan berikut: (1) PKL memiliki karakteristik beragam, selain daerah asal, pendidikan, jenis usaha dll, namun satu hal yang menarik adalah alasan menjadi PKL karena modal terbatas dan ingin mandiri; (2) PKL telah berkontribusi dalam penyerapanan tenaga kerja, sewa lokasi/tempat usaha, retribusi kebersihan, dan retribusi keamanan yang merupakan penerimaan pemerintah kota; (3) PKL sudah dibina oleh pemerintah, swasta, dan asosiasi/organisasi, namun belum optimal. Karena sampai saat ini PKL belum memperoleh bantuan pinjaman modal dari institusi keuangan, seperti BRI dan koperasi; (4) Penanganan PKL terutama oleh pemerintah kota, mulai dari pendataan, perizinan usaha, pengadaan lokasi/tempat usaha, dan promosi penjualan dagangan PKL kecendrungannya lebih baik di Kota Yogyakarta dibanding Kota Bandung; dan (5) Kewirausahaan PKL dilihat aspek-aspek percaya diri, berorientasikan tugas dan hasil, pengambil
iii
Lap Dikti Zarmawis Final 2009.indd Sec3:iii
6/22/2010 6:24:28 PM
risiko, kepemimpinan, dan berorientasi ke masa depan, melalui uji validitas menunjukkan bahwa PKl secara minimal telah memiliki kadar kewirausahaan dan tinggal lagi bagaimana mengembangkannya. Sementara kewirausahaan PKL hubungannya dengan faktor-faktor pendidikan, pengalaman berusaha, umur, gender, dan pelatihan, hasil analisis korelasi menunjukkan ada pengaruh yang signifikan antara variabel gender dengan kadar kewirausahaan PKL,dengan nilai koefisien sebesar -0.245. Artinya faktor gender (laki-laki) sangat berpengaruh terhadap keberhasilan usaha dibanding perempuan. Mengingat peran PKL begitu nyata dalam pembangunan ekonomi di suatu kota, maka pembenahannya selain dilakukan dengan penyediaan tempat, infrastruktur, promosi dan menerapkan kebijakan dengan tegas/konsisten, juga dalam meningkatkan kadar kewirausahaan PKL, perlu ada intervensi dalam pendidikan/pelatihan (pembelajaran) yang terstruktur, di samping penyediaan kredit ringan pada PKL, sehingga dengan cara ini usaha mereka menjadi lebih maju untuk menjadi usaha formal. Kata Kunci: Sektor informal, PKL, kontribusi, kewirausahaan, dan stakeholders.
iv
Lap Dikti Zarmawis Final 2009.indd Sec3:iv
6/22/2010 6:24:28 PM
ABSTRACT
The objective of the research in general is to make the concept for the PKL entrepreneurship development to be the formal sector so that it can increase the income and welfare. The research objectives in particular are: (1) to characterize PKL in a region; (2) to estimate the contribution of PKL in the local economy; (3) to review the roles of stakeholders in supporting PKL to be the formal sector; and (4) to analyze the entrepreneurship factors of PKL. This research used economic and social approaches, with data/ information obtained from Kota Bandung and Kota Yogyakarta as research locations and analyzed through quantitative and qualitative methods. Based on research conducted, the results are: (1) Most PKL are from diverse regions and have different characteristics according to their level of education and types of business; (2) PKL also significantly contributes through labor absorption and retributions to the regional income; (3) The empowerment of PKL by local government and associations has not optimum yet; (4) The regional policies of PKL, such as to provide data, business locations and to assist the publication and promotion of the goods sold by the small traders, are better in Kota Yogyakarta than in Kota Bandung; (5) Correlation analysis of PKL entrepreneurship related to their factors of education, work experience, age, gender and training shows that there is a significant effect between gender and level of PKL entrepreneurship, with coefficient value of -0.245. It means that gender factor is really related to the business achievement or success. According to the important roles of PKL in the economic development, the policies can be implemented to provide location, infrastructure and promotion, and to increase the level of entrepreneurship of PKL. Besides,
v
Lap Dikti Zarmawis Final 2009.indd Sec3:v
6/22/2010 6:24:28 PM
the intervention in training and education, and funding are needed in order to support PKL to be the formal sector. Keywords: Informal Sektor, PKL, contribution, entrepreneurship, stakeholders
vi
Lap Dikti Zarmawis Final 2009.indd Sec3:vi
6/22/2010 6:24:28 PM
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ........................................................................ i ABSTRAK ....................................................................................... iii ABSTRACT ..................................................................................... iv DAFTAR ISI ..................................................................................... vii DAFTAR TABEL .............................................................................. x DAFTAR GAMBAR ......................................................................... xiv DAFTAR GRAFIK ............................................................................ xv BAB 1 PENDAHULUAN ............................................................... Oleh: Yani Mulyaningsih, Chitra Indah Yuliana, dan Zarmawis Ismail 1.1 Latar Belakang .......................................................................... 1.2 Masalah Penelitian .................................................................. 1.3 Tujuan dan Sasaran Penelitian............................................ 1.4 Hipotesis Kerja .......................................................................... 1.5 Alur Pikir Penelitian ................................................................ 1.6 Metodologi Penelitian .......................................................... 1.7 Daerah/Lokasi Penelitian .................................................... 1.8 Sistematika Penulisan ............................................................ Daftar Pustaka ........................................................................ BAB 2 GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN DAN KARAKTERISTIK PKL ............................................................ Oleh: Zarida 2.1 Pendahuluan ........................................................................... 2.2 Gambaran Umum Daerah Penelitian............................... 2.3 Karakteristik PKL ..................................................................... 2.4 Potensi PKL Dalam Pengembangan Usaha ................... 2.5 Penutup ...................................................................................... Daftar Pustaka ..........................................................................
1
1 5 6 6 7 8 10 11 13
15 15 18 20 35 38 40
vii
Lap Dikti Zarmawis Final 2009.indd Sec3:vii
6/22/2010 6:24:29 PM
BAB 3 PERKIRAAN KONTRIBUSI PKL DALAM PEREKONOMIAN DAERAH .............................................. 41 Oleh: Chitra Indah Yuliana 3.1 Pendahuluan ........................................................................... 41 3.2 Kontribusi PKL Terhadap Tenaga Kerja ............................ 45 3.3 Kontribusi PKL Terhadap Pendapatan Daerah ............ 49 3.4 Kontribusi PKL Terhadap Kesejahteraan Masyarakat . 58 3.5 Penutup ...................................................................................... 61 Daftar Pustaka .......................................................................... 63 BAB 4 PERANAN STAKHOLDERS DALAM MEMBINA PKL MENJADI SEKTOR FORMAL ............................................ 65 Oleh: Ernany Dwi Astuty 4.1 Pendahuluan ............................................................................ 65 4.2 Peranan Pemerintah .............................................................. 66 4.3 Peranan Swasta/Pemodal .................................................... 83 4.4 Peranan Asosiasi/Organisasi PKL ...................................... 85 4.5 Hubungan Mitra Kerja dengan PKL ................................. 89 4.6 Penutup...................................................................................... 90 Daftar Pustaka.......................................................................... 92 BAB 5 FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEWIRAUSAHAAN PKL .................................................... Oleh: Yani Mulyaningsih 5.1 Pendahluan .............................................................................. 5.2 Kewirausahaan: Tinjauan Teoritis ...................................... 5.3 Indikator Keiwrausahaan PKL ........................................... 5.4 Pengaruh Pendidikan, Pengalaman Berusaha, Umur, Gender, dan Pelatihan Terhadap Kewirausahaan PKL 5.5 Penutup...................................................................................... Daftar Pustaka..........................................................................
95 95 96 100 111 125 126
viii
Lap Dikti Zarmawis Final 2009.indd Sec3:viii
6/22/2010 6:24:29 PM
BAB 6 KONSEP PENGEMBANGAN KEWIRAUSAHAAN PKL MENJADI SEKTOR FORMAL ........................................... Oleh: Zarmawis Ismail 6.1 Pendahuluan............................................................................ 6.2 Faktor Internal PKL ............................................................. 6.3 Faktor Eksternal PKL ............................................................ 6.4 Kesimpulan dan Rekomendasi.......................................... Daftar Pustaka ........................................................................
127 127 128 135 139 144
ix
Lap Dikti Zarmawis Final 2009.indd Sec3:ix
6/22/2010 6:24:29 PM
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Alasan Menjadi PKL di Kota Bandung dan KotaYogyakarta Tabel 2.2 Tingkat Pendidikan PKL di Kota Bandung dan Kota Yogyakarta ..................................................................................... Tabel 2.3 Lama Menjadi PKL di Kota Bandung dan Kota Yogyakarta Tabel 2.4 Lama Beraktivitas pada Lokasi Usaha di Kota Bandung dan Kota Yogyakarta .................................................................. Tabel 2.5 Lokasi Usaha PKL di kota Bandung dan Yogyakarta ...... Tabel 2.6 Jumlah Modal Awal PKL di Kota Bandung dan Kota Yogyakarta...................................................................................... Tabel 2.7 Sumber Modal PKL di kota Bandung dan KotaYogyakarta . Tabel 2.8 Jumlah Modal Harian PKL di Kota Bandung dan Kota Yogyakarta ..................................................................................... Tabel 2.9 Jenis Usaha PKL di Kota Bandung dan Kota Yogyakarta Tabel 2.10 Rata-rata Keuntungan Perhari PKL di Kota Bandung dan Kota Yogyakarta............................................................................ Tabel 2.11 Kemudahan / Kesulitan PKL Dalam Memperoleh Bahan Baku di Kota Bandung dan Kota Yogyakarta .................... Tabel 2.12 Bentuk Usaha PKL di Kota Bandung dan Kota Yogyakarta ... Tabel 2.13 Bentuk Kerjasama Usaha PKL di Kota Bandung dan Kota Yogyakarta...................................................................................................... Tabel 2.14 Pembagian Hasil Usaha PKL di Kota Bandung dan Kota Yogyakarta...................................................................................................... Tabel 3.1 Jumlah Tenaga Kerja Bukan Keluarga dalam Usaha PKL di Kota Bandung........................................................................... Tabel 3.2 Jumlah Tenaga Kerja Bukan Keluarga dalam Usaha PKL di Kota Yogyakarta.......................................................................
22 24 25 26 27 28 29 30 32 33 34 37 37 38 45 46
x
Lap Dikti Zarmawis Final 2009.indd Sec3:x
6/22/2010 6:24:29 PM
Tabel 3.3 Upah Tenaga Kerja Bukan Keluarga dalam Usaha PKL di Kota Bandung ............................................................................... Tabel 3.4 Upah Tenaga Kerja Bukan Keluarga dalam Usaha PKL di Kota Yogyakarta....................................................................... Tabel 3.5 Upah Tenaga Kerja Bukan Keluarga dalam Usaha PKL di Kota Yogyakarta ..................................................................... Tabel 3.6 Jumlah Biaya Sewa Tempat/Lokasi Usaha PKL per Bulan di Kota Bandung dan Kota Yogyakarta .............................. Tabel 3.7 Retribusi Kebersihan dan Keamanan yang Dibayar oleh PKL di Kota Bandung dan Kota Yogyakarta ...................... Tabel 3.8 Pihak yang Memungut Pembayaran Retribusi Keamanan dan Kebersihan pada PKL di Kota Bandung dan Kota Yogyakarta...................................................................................... Tabel 3.9 Rata-rata Keuntungan Per Bulan Usaha PKL di Kota Bandung dan Kota Yogyakarta ............................................... Tabel 4.1 Persentase Responden PKL Menurut Organisasi Yang Dibutuhkan Untuk Keberhasilan Usaha di Bidang Produksi di Kota Bandung dan Kota Yogyakarta, Tahun 2009 .................................................................................................. Tabel 4.2 Persentase Responden PKL Menurut Macam Materi Yang Dibutuhkan Untuk Keberhasilan Usaha di Bidang Produksi di Kota Bandung dan KotaYogyakarta Tahun 2009 .................................................................................................. Tabel 4.3 Persentase Responden PKL Menurut Organisasi Yang Dibutuhkan Untuk Keberhasilan Usaha di Bidang Pemasaran di Kota Bandung dan Yogyakarta, Tahun 2009..................................................................................... Tabel 4.4 Persentase Responden PKL Menurut Macam Kebutuhan Untuk Keberhasilan Usaha di Bidang Pemasaran di Kota Bandung dan Kota Yogyakarta, Tahun 2009 ......................
48 49 50 52 55
38 60
77
78
79
80
xi
Lap Dikti Zarmawis Final 2009.indd Sec3:xi
6/22/2010 6:24:29 PM
Tabel 4.5 Persentase Responden Menurut Lembaga Pemberi Penyuluhan di Kota Bandung dan Kota Yogyakarta, Tahun 2009..................................................................................... Tabel 4.6 Persentase Responden Menurut Pemberi Pinjaman Modal Usaha di Kota Bandung dan Kota Yogyakarta, Tahun 2009..................................................................................... Tabel 4.7 Persentase Pengetahuan Responden Tentang Keberadaan Asosiasi PKL di Kota Bandung dan Kota Yogyakarta, Tahun 2009 ........................................................... Tabel 4.8 Persentase Responden Menurut Keikutsertaan pada Asosiasi PKL di Kota Bandung dan Kota Yogyakarta, Tahun 2009 ................................................................................... Tabel 4.9 Persentase Responden Menurut Peran Asosiasi Terhadap PKL di Kota Bandung dan Kota Yogyakarta, Tahun 2009... Tabel 4.10 Persentase Responden Menurut Hubungan PKL dengan Mitra Kerja di Kota Bandung dan Kota Yogyakarta, Tahun 2009 ............................................................ Tabel 5.1. Hasil Uji Validitas Terhadap Variabel Kewirausahaan PKL di Kota Bandung dan Kota Yogyakarta ....................... Tabel 5.2 Hasil Uji Reliabilitas Kewirausahaan PKL di Kota Bandung & Kota Yogyakarta.............................................................................................. Tabel 5.3 Data Statistik dan Interprestasi Nilai tentang Kewirausahaan PKL di Kota Bandung dan Kota Yogyakarta ........................................................................... Tabel 5.4 Korelasi Antara Kewirausahaan dengan Tingkat Pendidikan. Responden PKL di Kota Bandung dan Kota Yogyakarta .....................................................................................
81
85
87
88 88
90 102 104
107
113
xii
Lap Dikti Zarmawis Final 2009.indd Sec3:xii
6/22/2010 6:24:29 PM
Tabel 5.5 Korelasi Antara Kewirausahaan dengan Pengalaman Berusaha Responden PKL di Kota Bandung dan Kota Yogyakarta ..................................................................................... Tabel 5.6 Korelasi Antara Kewirausahaan dengan Umur Responden PKL di Kota Bandung dan Kota Yogyakarta Tabel 5.7 Korelasi Antara Kewirausahaan dengan Gender Responden PKL di Kota Bandung & Kota Yogyakarta ... Tabel 5.8 Korelasi antara Kewirausahaan degan Pelatihan Responden PKL Di Kota Bandung dan Kota Yoyakarta .
115 118 121 122
xiii
Lap Dikti Zarmawis Final 2009.indd Sec3:xiii
6/22/2010 6:24:29 PM
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 Alur Pikir Penelitian ............................................................... 8 Gambar 4.1 Inovasi Manajemen Perkotaan Kawasan Burangrang: Model Pengembangan Masyarakat dan Kemampuan Lingkungan Berkelanjutan .................................................. 69 Gambar 5.1 Kewirausahaan Responden PKL di Kota Bandung dan Kota Yogyakarta Berdasarkan Tingkat Pendidikan ................................................................................ 110 Gambar 5.2 Kewirusahaan Responden PKL di Kota Bandung dan Kota Yogyakarta Berdasarkan Tingkat Pendidikan ..... 114 Gambar 5.3 Kewirausahaan Responden PKL di Kota Bandung dan Kota Yogyakarta Berdasarkan Pengalaman Berusaha 116 Gambar 5.4 Kewirausahaan Responden PKL di Kota Bandung dan Kota Yogyakarta Berdasarkan Umur .............................. 119 Gambar 5.5 Kewirausahaan Responden PKL diKota Bandung dan Kota Yogyakarta Berdasarkan Gender ................... 120 Gambar 5.6 Kewirausahaan Responden PKL di Kota Bandung dan Kota Yogyakarta Berdasarkan Ada atau Tidak Adanya Pelatihan .................................................................................... 123
xiv
Lap Dikti Zarmawis Final 2009.indd Sec3:xiv
6/22/2010 6:24:29 PM
DAFTAR GRAFIK
Grafik 3.1 Jumlah Responden Menurut Sewa Lokasi/Tempat Usaha Berdasarkan Pihak Penerima di Kota Bandung dan Kota Yogyakarta ..................................................................................... 51 Grafik 3.2 Jumlah Sewa Lokasi/Tempat Usaha PKL per Bulan di Kota Bandung dan Kota Yogyakarta ................................... 52
xv
Lap Dikti Zarmawis Final 2009.indd Sec3:xv
6/22/2010 6:24:29 PM
Pendahuluan
BAB 1 PENDAHULUAN Yani Mulyaningsih, Chitra Indah Yuliana, dan Zarmawis Ismail
1.1 Latar Belakang Sektor informal merupakan cerminan kondisi sebagian besar angkatan kerja di Indonesia sekaligus sebagai bagian penting dari perekonomian. Hal ini didukung kuat oleh data dalam Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia (Badan Pusat Statistik, 2008), bahwa pada Februari 2008 yang bekerja di sektor informal mencapai 62.844.924 orang atau sekitar 56,37% dari total angkatan kerja. Dengan kata lain, sektor informal mampu berperan relatif lebih besar dalam hal penciptaan lapangan pekerjaan daripada sektor formal. Selain itu, sektor informal telah pula mensubsidi sektor formal, yaitu ketika buruh yang bekerja di sektor formal dengan upah yang rendah mampu bertahan karena sektor informal dapat menyediakan kebutuhan hidup yang murah bagi mereka. Terdapat pula peran sektor informal yang tidak kalah pentingnya, misalnya melalui pemasukan retribusi dari Pedagang Kaki Lima (PKL) untuk kas daerah (Ramli, 1992). Di antara sektor lainnya, sektor informal memiliki daya tahan paling kuat dan dapat menjadi bibit entrepreneur (wirausahawan) yang tangguh. Pada umumnya sektor informal dianggap lebih survive karena relatif lebih independent atau tidak tergantung pada pihak lain, khususnya menyangkut permodalan dan lebih mampu beradaptasi dengan lingkungan usahanya. Oleh karena itu, krisis ekonomi yang dimulai akhir tahun 1997 dan tereskalasi menjadi krisis multidimensi,
1
Lap Dikti Zarmawis Final 2009.indd Sec2:1
6/22/2010 6:24:29 PM
Yani Mulyaningsih, Chitra Indah Yuliana, dan Zarmawis Ismail
tidak berdampak secara signifikan terhadap PKL sebagai bagian dari sektor informal. Hal ini berarti sektor informal seperti PKL tersebut memiliki peran penting sebagai penyangga distorsi sistem ekonomi (Tamba dan Sijabat, 2006). Keberadaan sektor informal membuat angka pengangguran dan kemiskinan tidak meledak sedahsyat yang ditakutkan, karena terbukti mampu menjadi peredam gejolak di pasar kerja perkotaan dengan menampung limpahan jutaan buruh korban pemutusan hubungan kerja (PHK) di sektor formal (Samhadi, 2007). Di lain pihak, sektor informal dalam hal ini PKL sebenarnya mengalami kondisi yang dilematis. Pertama, PKL yang memiliki berbagai peran penting di antaranya seperti yang telah diuraikan di atas, kerap dijadikan ”kambing hitam” atas problematika perekonomian yang terjadi. Kehadiran PKL terutama di perkotaan dianggap mengganggu ketertiban, merusak estetika, hingga memperburuk kemacetan. Faktor-faktor tersebut yang dijadikan alasan pemerintah melakukan penggusuran PKL. Berdasarkan data Konsorsium Kemiskinan Kota (Samhadi, 2007), sepanjang tahun 2001 dan 2003 saja ada 24.748 PKL dan kios jalanan yang digusur. Gerobak dan kios mereka dihancurkan. Terdapat 34.000 orang kehilangan mata pencaharian. Sementara, pemerintah tampak lebih memberi hak dan keleluasaan pada pemodal untuk menguasai ruang berusaha karena mall dan pusat perbelanjaan skala besar lainnya justru semakin bertambah banyak jumlahnya. Penyebabnya dapat dipicu oleh salah satu unsur fundamental yang terdapat pada karakteristik PKL, yaitu tidak adanya izin resmi pendirian usaha dari pemerintah. Rumitnya birokrasi perizinan dan tingginya biaya untuk menjalankan bisnis secara legal merupakan salah satu dari sekian banyak kendala yang harus dihadapi PKL. Dalam tataran pemerintah daerah juga tampak sangat kurangnya keberpihakan terhadap PKL. Upaya pemerintah daerah belum optimal
2
Lap Dikti Zarmawis Final 2009.indd Sec2:2
6/22/2010 6:24:29 PM
Pendahuluan
dalam memberi alternatif ruang usaha yang berorientasi untuk melindungi dan mengembangkan usaha PKL yang digusur; karena kemudian cenderung ditempatkan di lokasi yang kurang strategis, sulit dijangkau dan sepi pembeli (Heraty dkk, 2003). Kondisi demikian sejalan seperti yang disebutkan oleh Ramli (1992) bahwa kebijakan pemerintah untuk PKL lebih bersifat ’penertiban’ dan bukan ’pembangunan’. Tanpa adanya upaya pembinaan akan mematikan usaha PKL dan semakin memperburuk kondisi masyarakat ekonomi lemah. Kedua, meskipun PKL telah berkontribusi besar terhadap perekonomian nasional, realitas yang terjadi adalah tidak adanya imbal-balik manfaat yang sesuai bagi para pelaku usahanya. Penghasilan dari hasil kegiatan PKL hanya mampu untuk mempertahankan hidup (survival) sehingga tidak mampu memikirkan pemenuhan kebutuhan penting lainnya untuk kelangsungan usaha seperti pendidikan dan ketrampilan atau skill. Dengan akumulasi atas segala keterbatasan itu, pelaku usaha PKL tidak memiliki posisi tawar (bargaining posision) dan termasuk masyarakat yang termarginalkan, diabaikan eksistensinya terutama dari perhatian dan kebijakan pemerintah yang seharusnya mendukung segala upaya perwujudan kesejahteraan bagi seluruh lapisan masyarakat. Kemudian, seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa PKL merupakan bibit wirausahawan yang tangguh, maka di balik berbagai keterbatasan yang harus mereka hadapi, usaha PKL sebenarnya terdapat aspek krusial yang dapat dikembangkan yaitu aspek kewirausahaan (entrepreneurship). Aspek ini penting guna meningkatkan produktivitas dan keberlanjutan (sustanaibility) kegiatan usaha PKL yang menjadi sumber penghasilannya. Hal inilah yang selama ini luput dari perhatian pelaku usaha PKL, padahal dari kajian Soetrisno (2003) terungkap bahwa dimensi entrepreneural development menempati posisi yang strategis guna membangun sektor yang berdaya saing dalam kerangka
3
Lap Dikti Zarmawis Final 2009.indd Sec2:3
6/22/2010 6:24:29 PM
Yani Mulyaningsih, Chitra Indah Yuliana, dan Zarmawis Ismail
globalisasi dan keterbukaan pasar. Terciptanya wirausaha dapat dimungkinkan apabila terdapat lingkungan yang kondusif, intervensi pemerintah yang tepat, dan sistem insentif yang sesuai. Kombinasi dan kerjasama perusahaan swasta dengan perguruan tinggi juga dibutuhkan guna melakukan pembinaan bagi wirausaha baru dalam skema jasa pengembangan bisnis. Meningkatnya jumlah PKL di kota-kota besar, seperti Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta dengan beragam jenis usaha, pada umumnya disebabkan oleh terbatasnya kesempatan berusaha dan kesempatan kerja di daerah asal mereka. Sebagian besar PKL tersebut berasal dari berbagai kabupaten/kota di Indonesia. Adanya Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dan kemudian diganti dengan Undang-undang No. 32 tentang Pemerintahan Daerah, pada dasarnya dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah. Salah satu implementasi dari undang-undang tersebut adalah pemerintah daerah diberi wewenang untuk mengeksplorasi, mengeksploitasi, dan melakukan produksi terhadap sumber daya alam yang ada di daerah tersebut. Pengelolaan sumber daya ini jelas ditujukan untuk semaksimal mungkin kemakmuran masyarakat di daerah itu. Karena itu faktor penting dalam pengembangan usaha PKL adalah mengkombinasikan antara aspek kreativitas, inovasi, dan teknologi yang dituntut dalam kewirausahaan, belum dapat diaplikasikan secara optimal dalam kegiatan usaha PKL. Sementara itu, usaha PKL tampaknya bukan menjadi fokus dari kebijakan atau perhatian pemerintah. Kegiatan pembinaan yang dilakukan pemerintah tidak mempunyai kejelasan, sehingga antara satu instansi pemerintah dengan instansi lainnya tidak memiliki tanggung jawab dalam hal penanganan dan pembinaan
4
Lap Dikti Zarmawis Final 2009.indd Sec2:4
6/22/2010 6:24:29 PM
Pendahuluan
terhadap usaha PKL (Widodo, 2005). Dengan demikian, penelitian mengenai pengembangan kewirausahaan sektor informal: studi kasus PKL, sangatlah penting untuk dilakukan. Pentingnya penelitian ini didasari oleh beberapa hal antara lain (1) masih kurang tersedianya data/informasi yang mendalam dan akurat tentang PKL, terutama faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kewira-usahaan mereka dan cara yang tepat untuk membina dan mengembangkannya menjadi sektor formal; (2) tingginya kontribusi usaha PKL terhadap penyerapan tenaga kerja, yang merepresentasikan sebagian besar kondisi angkatan kerja di Indonesia; dan (3) menghasilkan konsep rekomendasi sebagai bahan masukan bagi perumusan kebijakan pemerintah dalam upaya pembinaan dan pengembangan kewirausahaan PKL menjadi sektor formal bagi peningkatan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat.
1.2 Masalah Penelitian Keberhasilan usaha PKL selain dipengaruhi oleh pengelolaan usaha yang baik, tersedianya berbagai akses (modal, bahan baku, pasar, dll), dan dukungan stakeholders (pemerintah, swasta, dan asosiasi/ organisasi), juga sangat dipengaruhi oleh jiwa kewirausahaan mereka. Karena itu dan berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan penelitian adalah sebagai berikut: (1) bagaimana gambaran umum dan karakteristik PKL di suatu daerah?; (2) berapa besar perkiraan kontribusi usaha PKL terhadap perekonomian daerah?; (3) bagaimana peran stakeholders dalam membina PKL?; (4) faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi jiwa kewirausahaan bagi keberhasilan PKL?; dan (5) bagaimana menghasilkan konsep pengembangan kewirausahaan PKL sebagai bahan rekomendasi bahan masukan perumusan kebijakan pemerintah dalam membina PKL menjadi sektor formal?
5
Lap Dikti Zarmawis Final 2009.indd Sec2:5
6/22/2010 6:24:30 PM
Yani Mulyaningsih, Chitra Indah Yuliana, dan Zarmawis Ismail
1.3 Tujuan dan Sasaran Penelitian Secara umum penelitian bertujuan untuk menemukan konsep yang tepat bagi pengembangan kewirausahaan PKL sehingga menjadi sektor formal dalam upaya peningkatan kesejahteraan mereka. Sedangkan secara khusus, tujuan penelitian adalah (1) mengkaji gambaran umum dan karakteristik PKL di suatu daerah, (2) mengkaji perkiraan kontribusi PKL terhadap perekonomian daerah, (3) mengkaji peranan stakeholders dalam membina dan mengembangkan PKL, dan (4) mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi jiwa kewirausahaan PKL bagi keberhasilan usahanya. Sasaran Penelitian adalah (1) Menghasilkan gambaran umum dan karakteristik, perkiraan kontribusi terhadap perekonomian daerah, peran stakeholders (pemerintah, swasta, dan asosiasi/organisasi) dalam membina PKL menjadi sektor formal, dan faktor-faktor yang mempengaruhi kewirausahaan PKL; (2) Menghasilkan rekomendasi konsep sebagai bahan permusan kebijakan pemerintah dalam upaya pembinaan dan pengembangan kewirausahaan usaha PKL menjadi sektor formal.
1.4 Hipotesis Kerja Dalam penelitian ini digunakan hipotesis kerja, dengan asumsiasumsi penelitian sebagai berikut: (1) PKL sebagai bagian usaha sektor informal memiliki karakteristik yang beragam; (2) Sektor informal relatif berkontribusi besar terhadap pembangunan perekonomian daerah; (3) Peran stakeholders (pemerintah, swasta, dan asosiasi/organisasi belum optimal dalam membina PKL untuk menjadi sektor formal; dan (4) Faktor kewirausahaan berpengaruh nyata terhadap pengem-bangan usaha PKL menjadi sektor formal.
6
Lap Dikti Zarmawis Final 2009.indd Sec2:6
6/22/2010 6:24:30 PM
Pendahuluan
1.5 Alur Pikir Penelitian PKL telah berperan dalam pereknomian daerah, tetapi kualitas hidupnya masih rendah. Sementara itu dalam melakukan usahanya, PKL secara garis besar dipengaruhi oleh dua faktor utama, yakni faktor usaha dan faktor kewirausahaan yang dimilikinya, seperti tampak pada Gambar 1: Alur Pikir Penelitian. Dalam hal faktor usaha, keberhasilan PKL berkaitan dengan aspek-aspek: (1) demografi: umur, jenis kelamin, dan pendidikan; (2) ekonomi: jenis usaha, sumber dan jumlah modal, akses (bahan baku dan lokasi usaha); (3) nilai sosial: strata sosial, etnis, keterbukaan terhadap nilai baru, aktivitas sosial, mobilitas, tipologi keluarga, status perkawinan, dan lingkungan; dan (4) kelembagaan: peranan lembaga terkait dan kebijakan pemerintah. Sementara dalam hal kewirausahaan PKL, aspek-aspek yang cukup berpengaruh secara substansial terdiri dari 6 (enam) kelompok, yaitu: (1) percaya diri: keyakinan, ketidak-tergantungan, dan optimisme; (2) berorientasikan tugas dan hasil: kebutuhan akan prestasi, beorientasi laba, ketekunan, ketabahan, tekad kerja keras, mempunyai dorongan kuat dan inisiatif; (3) pengambil risiko: kemampuan mengantisipasi dan mengambil risiko, suka pada tantangan; (4) kepemipinan: bertingkah laku sebagai pemimpin, dapat bergaul dengan orang lain, menanggapi saran dan kritik; (5) keorisinilan: inovatif dan kreatif, fleksibel, punya banyak sumber, dan serba bisa; dan (6) beorientasi ke masa depan: mempunyai target dan responsif. Kedua faktor utama tersebut secara substansial, pengaruh, dan hubungannya terhadap keberhasilan PKL, diungkap pada bagian-bagian laporan ini.
7
Lap Dikti Zarmawis Final 2009.indd Sec2:7
6/22/2010 6:24:30 PM
Yani Mulyaningsih, Chitra Indah Yuliana, dan Zarmawis Ismail
Kontribusi PKL dalam Perekonomian
GAP
Eksistensi PKL: - Demografi - Ekonomi - Nilai sosial - Kelembagaan
Rendahnya Kualitas Hidup PKL
Kewirausahaan
Konsep Pengembangan Kewirausahaan PKL
Peran stkaeholders
Gambar 1.1 Alur Pikir Penelitian
1.6 Metodologi Penelitian Pendekatan Penelitian Penelitian dilakukan dengan dua pendekatan, yaitu pendekatan ekonomi dan pendekatan sosial. Dengan meng-gunakan kedua pendekatan, diharapkan dapat mengung-kapkan perkembangan PKL dan peranan kewirausahaan dalam pengembangan usaha mereka di suatu daerah. Pendekatan ekonomi tekanannya pada penyerapan tenaga kerja, perkiraan kontribusi terhadap perekonomian daerah, dan kesejahteraan masyarakat. Dalam pendekatan ekonomi juga dikaji kewirausahaan PKL yang difokuskan pada manajemen (pengelolaan) usaha, seperti perencanaan, pembagian kerja, kualitas pelaku usaha, pelaksanaan dan risiko usaha. Pendekatan sosial digunakan untuk menganalis nilai-nilai dan sistem sosial dari pelaku usaha sektor informal,
8
Lap Dikti Zarmawis Final 2009.indd Sec2:8
6/22/2010 6:24:30 PM
Pendahuluan
aspek demografi, dan pendidikan di samping peranan stakeholders (pemerintah, swasta, dan asosiasi/organisasi) dalam membina PKL menjadi sektor formal.
Unit Analisis, Jenis, dan Sumber Data Unit analisis penelitian adalah PKL dan stakeholders (pemerintah, swasta, dan asosiasi/organisasi PKL). Selain PKL sebagai sasaran utama penelitian, penetapan pemerintah, swasta, dan asosiasi/organisasi sebagai unit penelitian, mengingat ketiga mitra kerja merupakan faktor penentu keberhasilan PKL menjadi sektor formal. Data penelitian terdiri dari data primer dan data sekunder. Data sekunder, antara lain kontribusi PKL (serapan tenaga kerja dan pendapatan) terhadap perekonomian daerah, berbagai kebijakan pemerintah, swasta dan asosiasi/organisasi yang ikut membina PKL. Data/informasi diperoleh dari instansi pemerintah, swasta, dan asosiasi/ organisasi. Data primer terdiri dari berbagai karakteristik PKL dalam melakukan usahanya, seperti alasan menjadi PKL, tingkat pendidikan, lama waktu, beraktivitas, lokasi usaha, modal usaha, sumber modal, jenis usaha dan keuntungan yang diperoleh, kemudahan/kesulitan dalam melakukan usaha, serta dan masalah usaha yang dihadapi PKL. Data primer diperoleh melalui pengisian kuesioner oleh responden (PKL) dan hasil wawancara mendalam (in-depth interview) dengan narasumber terpilih (pemerintah, swasta, dan asosiasi/organisasi yang terkait dengan PKL). Jumlah responden di masing-masing kota adalah 50 PKL. Teknik pengumpulan responden dilakukan melalui metode convenience atau accidental sampling. Hal ini dilakukan karena jumlah populasi, sebaran, dan karakteristik PKL (asal daerah, jenis usaha, lama usaha, dan lain-lain) secara terinci di masing-masing kota tidak ada.
9
Lap Dikti Zarmawis Final 2009.indd Sec2:9
6/22/2010 6:24:30 PM
Yani Mulyaningsih, Chitra Indah Yuliana, dan Zarmawis Ismail
Teknik Analisis Data Data/informasi yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan metode kuantitatif dan metode kualitatif. Secara kuantitatif, alat analisis yang digunakan adalah model matematik, statistik, dan ekonometrika. Penggunaan model ekonometrika dimaksudkan untuk menjawab permasalahan dalam penelitian. Data/informasi yang berkaitan dengan kewirausahaan PKL dianalisis dengan menggunakan metode regeresi berganda (multiple regression) dengan persamaan Y= f (X1,X2, X3,.....Xn). di mana Y = kewirausahaan dan merupakan variabel terikat (dependent variable). X1 adalah demografi, X2 adalah ekonomi, dan X3 adalah sosial, masing-masing merupakan variabel bebas (independent variable). Secara kualitatif analisis dilakukan dalam bentuk deskriptif analitis, yaitu uraian yang menggambarkan keragaman usaha PKL serta likuliku kegiatannya. Hal ini berarti bahwa keberhasilan usaha PKL menjadi sektor formal tidak hanya ditentukan oleh faktor teknis/fisik dan ekonomi semata, tetapi juga faktor-faktor sosial, seperti pendidikan, sikap/prilaku dalam melakukan usaha, dan hubungan PKL dengan mitra kerja sangat menentukan keberhasilan usaha mereka.
1.7 Daerah/Lokasi Penelitian Penelitian mengenai Pengembangan Kewirausahaan Sektor Informal: Studi Kasus Pedagang Kaki Lima (PKL) dilaksanakan di dua kota, yakni Kota Bandung dan Kota Yogyakarta. Pemilihan kedua kota tersebut didasarkan pada data BPS tahun 2008, bahwa Kota Bandung dan Kota Yogyakarta termasuk kota-kota yang banyak terdapat PKL dengan beragam latar belakang dan jenis usaha.
10
Lap Dikti Zarmawis Final 2009.indd Sec2:10
6/22/2010 6:24:30 PM
Pendahuluan
Dalam upaya mendapatkan data/informasi sesuai dengan tujuan dan sasaran penelitian, di kota masing-masing telah dikunjungi dinas/ instansi dan asosiasi/organisasi baik pemerintah maupun swasta yang terkait dengan PKL. Dari kunjungan pada dinas/instansi, perguruan tinggi, dan asosiasi/organisasi PKL di masing-masing kota, diperoleh data sekunder mengenai PKL (jumlah, sebaran, jenis usaha dll), kebijakan, dan program pembinaan, juga informasi hasil wawancara mendalam (in-depth interview) dengan narasumber dari masing-masing dinas/ instansi, dan asosiasi/organisasi PKL. Informasi ini berkaitan dengan peranan, masalah, dan pembinaan terhadap PKL yang dilakukan oleh stakeholders (pemerintah, swasta, dan asosiasi/organisasi PKL) di masing-masing kota. Seiring dengan pengumpulan data sekunder dan wawancara mendalam dengan dinas/instansi dan asosiasi/ organisasi PKL tersebut, di masing-masing kota dalam rentang waktu di atas, juga dilakukan pengumpulan data primer melalui pengisian kuesioner oleh PKL sebagai responden.
1.8 Sistematika Penulisan Laporan penelitian teridiri dari 6 (enam) bab. Bab I adalah pendahuluan, yang memuat latar belakang, permasalahan, tujuan dan sasaran, hipotesis kerja, alur pikir, metodologi, dan daerah penelitian. Bab II Gambaran Umum dan Karakteristik PKL, memuat gambaran umum, karakteristik PKL, dan pontensi PKL dalam kegiatan usaha. Bab III, Perkiraan Kontribusi PKL dalam Perekonomian Daerah, yang secara substansial memuat uraian tentang kontribusi PKL terhadap kesempatan kerja, kontribusi PKL terhadap pendapatan daerah, retribusi PKL terhadap kebersihan dan keamanan, dan kontribusi PKL terhadap kesejahteraan masyarakat. Bab IV Peranan Stakholders Dalam
11
Lap Dikti Zarmawis Final 2009.indd Sec2:11
6/22/2010 6:24:30 PM
Yani Mulyaningsih, Chitra Indah Yuliana, dan Zarmawis Ismail
Membina PKL Menjadi Sektor Formal, dengan substansial bahasan peranan pemerintah, peranan swasta/pemilik modal, peranan asosiasi/ organisasi PKL, dan hubungan mitrakerja dengan PKL. Bab V, Faktorfaktor yang Mempengaruhi Kewirausahaan PKL, dengan substansi bahasan kewirausahaan: tinjauan teori, indikator kewirausahaan PKL, dan pengaruh pendidikan, pengalaman berusaha, umur, gender, dan pelatihan terhadap kewirausahaan PKL. Bab VI, Konsep Pengembangan Kewirausahaan PKL Menjadi Sektor Formal, secara substansial membahas faktor internal, faktor eksternal, serta kesimpulan dan rekomendasi.
12
Lap Dikti Zarmawis Final 2009.indd Sec2:12
6/22/2010 6:24:30 PM
Pendahuluan
DAFTAR PUSTAKA Badan Pusat Statistik. 2008. Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia Februari 2008. Jakarta: BPS. Heraty, Toeti, dkk. 2003. “Menata Kembali Hak Warga Negara: Belajar dari Kasus Penggusuran di DKI Jakarta”. http://www.indonesiahouse.org Kementerian Negara Koperasi dan UKM. 2003. Ekonomi Kerakyatan dalam Kancah Globalisasi. Jakarta: Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya UKMK. Nursyamsi, Julius dan Wardoyo. 2008. “Ruang Lingkup dan Proses Terbentuknya Kewirausahaan”. http://entrepreneur.gunadarma. ac.id/ R., Randy dan Riant Nugroho. 2007. Manajemen Pemberdayaan. Jakarta: Gramedia. Ramli, Rusli. 1992. Sektor Informal Perkotaan Pedagang Kakillima di Indonesia. Jakarta: Ind-Hill-Co. Samhadi, Sri Hartati. 2007. “Perekonomian Dilema Sektor Informal”. http://www.unisosdem.org Sutrisno, Joko. 2003. Pengembangan Pendidikan Berwawasan Kewirausahaan Sejak Dini. http://tumoutou.net/702_07134/joko_ sutrisno.pdf Widodo, Tri. 2005. “Peran Sektor Informal terhadap Perekonomian Daerah: Teori dan Aplikasi”. http://www.psekp-ugm.ac.id
13
Lap Dikti Zarmawis Final 2009.indd Sec2:13
6/22/2010 6:24:30 PM
Lap Dikti Zarmawis Final 2009.indd Sec2:14
6/22/2010 6:24:30 PM
Gambaran Umum Daerah Penelitian dan Karakteristik PKL
BAB 2 GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN DAN KARAKTERISTIK PKL Zarida
2.1 Pendahuluan Dalam situasi perekonomian dunia yang sudah mengglobal seperti saat ini, ternyata sektor informal masih berperan sebagai sumber pendapatan sebagian besar penduduk di dunia ketiga. Jika mengkaji sektor informal – terutama di perkotaan – maka pokok bahasan yang sering muncul di permukaan adalah PKL. Karenanya, berbicara mengenai PKL mau tidak mau tentunya kita juga akan membicarakan sektor informal. Industrialisasi yang terjadi di dunia ketiga tidak serta-merta dapat menjawab masalah pengangguran yang terjadi. Tenaga kerja yang tak tertampung mencari jalannya sendiri dan berhenti di sektor informal, tanpa ada alternatif lain. Tentunya hal tersebut – pada awalnya – bukanlah merupakan pilihan, terlebih dengan adanya kebijakan perekonomian yang cenderung lebih bias pada sektor informal. Akibat dari terabaikannya sektor tersebut, maka keadaanya makin tidak menjanjikan bahkan cenderung mengkhawatirkan. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa sistem perekonomian di Indonesia berjalan dengan dua pola yang berbeda, yaitu sektor formal dan sektor informal. Walaupun keduanya berada pada berbagai kondisi yang bertolak belakang, namun pada dasarnya keduanya
15
Lap Dikti Zarmawis Final 2009.indd Sec2:15
6/22/2010 6:24:30 PM
Zarida
saling tergantung secara fungsional. Sebagai contoh adalah banyaknya perusahaan-perusahaan besar yang menggunakan ujung tombak pemasaran pruduknya pada sektor informal. Sebagai contoh adalah ”teh botol” dan “jamu” . Di sisi lain, jika diamati lebih jauh lagi, sebagian besar dari pedagang sektor informal memang lebih memilih untuk menjual produk-produk hasil industri daripada hasil pertanian, karena memang selain tidak membutuhkan modal (relatif lebih kecil), resikonyapun juga hampir tidak ada. Hasil dari penelitian yang lain juga menunjukkan bahwa lebih dari dua juta orang – baik buruh maupun karyawan dari sektor formal (swasta maupun pemerintah) – kurang lebih 1,5 jutanya membeli makanan dari sektor informal. Hal ini karena hanya dengan cara demikianlah mereka dapat bertahan – karena penghasilan mereka rata-rata rendah – meski bekerja untuk sektor formal. Sepintas, kondisi di atas menunjukkan adanya hubungan yang fungsional antara sektor formal dan informal, namun pada kenyataannya hubungan keduanya mengandung unsur ketidakadilan, bahkan pada tingkatan tertentu juga dapat menimbulkan eksploitasi. Menurut Boeke bahwa faktor yang memisahkan kedua sektor di atas adalah ”kultur”. Sementara kelompok lain, Massachussets Institute of Technology (MIT) berpendapat bahwa ketidakadilan strukturlah yang telah menciptakan kerusakan budaya pada Negara bekas jajahan. Karenanya, negara tersebut gagal menciptakan struktur ekonomi yang efektif, guna membangun perekonomiannya. Mengulas keberadaan sektor informal akan lebih menarik ketika permasalahan di perkotaan dilihat secara struktural. Selama ini, sektor informal lebih banyak dilihat dari posisi strukturalnya yang kurang menguntungkan, sehingga sulit berkembang. Padahal, persoalannya juga harus melihat pada struktur internalnya, untuk kemudian secara
16
Lap Dikti Zarmawis Final 2009.indd Sec2:16
6/22/2010 6:24:30 PM
Gambaran Umum Daerah Penelitian dan Karakteristik PKL
bersama-sama dan terintegrasi mengatasinya secara makro. Ketika dua sektor tersebut (formal dan informal) dikaitkan dengan negara atau pemerintah – dalam hubungannya dengan sumberdaya dan keamanan ekonomi – maka aspek struktural dan hasil hubungan kedua sektor tersebut akan muncul ke permukaan. Di sini terlihat bahwa sektor informal selain sumberdayanya sangat terbatas, keamanan ekonominyapun sangat rendah. Dengan posisinya yang lemah tersebut, tentunya pemerintah akan merasa kesulitan untuk merangkul mereka melalui lembaga-lembaga formal yang ada. Kendala lain yang sebenarnya juga akan menambah kesulitan mereka adalah anggapan, bahwa mereka melakukan kegiatan yang bersifat ilegal dan mengganggu. Namun demikian, masih ada berbagai sudut pandang yang memperjelas bahwa sektor informal adalah bagian dari sistem yang kurang mendapat stimulasi secara memadai. Stagnasi ini terjadi karena kelemahan internal dan strukturnya yang cenderung didominasi oleh sektor formal, dalam suatu sistem dan lingkungan sosial yang sama. Hubungan antara sektor formal dan informal menurut Moser sebagai suatu bentuk hubungan yang subordinatif dan didasarkan pada prinsip pertukaran yang tidak adil (unequal exchange), di mana salah satu pihak cenderung melakukan eksploitasi pada pihak lain . Dari berbagai uraian di atas, maka timbul pertanyaan mendasar, yaitu bagaimana gambaran umum di dua daerah/kota penelitian, dilihat dari keberadaan PKL, bagaimana karakteristik PKL sebagai bagian sektor informal, dan potensi apa yang dimiliki PKL yang dapat mendukung pengembangan usahanya. Karena itu uraian telaah dalam bagian ini berupaya mengungkap ketiga aspek tersebut secara lebih terinci dan mendalam.
17
Lap Dikti Zarmawis Final 2009.indd Sec2:17
6/22/2010 6:24:31 PM
Zarida
2.2 Gambaran Umum Daerah Penelitian Sebagaimana telah diungkap di bagian depan (Bab I Pendahluan), penelitian dilakukan di dua daerah/kota, yakni Kota Bandung dan Kota Yogyakarta. Kedua kota ini tentu saja memiliki kelebihan dan kekurangan dilihat dari potensi sosial ekonomi dan keberadaan PKL. Kota Bandung, berdasarkan data tahun 2006, memiliki luas wilayah 167,85 km2, dan secara adminisratif terdiri dari 26 kecamatan, 39 kelurahan, 1.502 RW, dan 9.277 RT dan jumlah penduduk 2.510.982 jiwa. Berdasarkan difinisi PKL, di Kota Bandung jenis PKL dibedakan menjadi: PKL troroar, yaitu PKL yang memanfaatkan keramaian atau jalur lalu lintas dan cendrung beraktivitas di siang hari. PKL Pasar, yaitu PKL yang memanfaatkan aktivitas pasar dengan waktu operasi mengikuti jam pasar (pagi hari); dan PKL mobile (PKL yang berpindahpindah), yaitu PKL yang selain berjualan di trotoar dan pasar, juga berjualan di lokasi-lokasi khusus. Sementara luas Kota Yogyakarta adalah 32,50 km2 atau hanya 1,02 % dari luas wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Secara administratif, Kota Yogyakarta terdiri dari 14 kecamatan, 45 kelurahan, 614 Rukun Warga (RW), dan 2.523 Rukun Tetangga (RT), dan jumlah penduduk 449.886 jiwa pada tahun 2008. Struktur perekonomian daerah Kota Yogyakarta, pada tahun 2005 misalnya didominasi oleh sektor perdagangan dan restoran yaitu sebesar 25,52%. Sementara sektor jasa-jasa berada di urutan kedua, yakni sebesar 21,33%. Berdasarkan Perda No. 26 Tahun 2002 tentang Penataan Pedagang Kaki Lima (PKL), di mana dalam tataran konsep, PKL itu teramasuk dalam sektor perdagangan. Karena itu dalam pembinaan PKL di Kota Yogyakarta, tekanannya pada skala usaha, manajerial, dan pemasaran.
18
Lap Dikti Zarmawis Final 2009.indd Sec2:18
6/22/2010 6:24:31 PM
Gambaran Umum Daerah Penelitian dan Karakteristik PKL
Pada tahun 2006 di Yogyakarta terdapat sekitar 2.000 PKL, sementara di Kota Bandung, pada tahun 2004 saja terdapat sebanyak 21.581 PKL dan mengalami peningkatan satu setengah kali dari tahun 2000 yang jumlahnya 16.880 PKL. Mereka tersebar di 7 lokasi (Jl. Otto Iskandar Dinata, Jl. Merdeka, Jl. Asia Afrika, sekitar Alun-alun, Jl. Dalem Kaum, Jl. Kapatihan, dan Jl. Dewi Sartika), selain di 26 pasar dalam Kota Bandung. Dari hasil kajian Pemerintah Kota Bandung bekerjasama dengan LPM-Unpad (2007), diperkirakan di tujuh lokasi tersebut jumlah PKL mencapai 10.500 dengan beragam dagangan, seperti pakaian, kerajinan, mainan, dan makanan/minuman. PKL dilihat dari asal mereka, ternyata sebagian besar (70%) berasal dari wilayah luar Jawa, seperti Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi, 18 % dari wilayah Jawa Barat (Tasikmalaya, Garut, Sumedang dll), dan 12 % dari wilayah Kota Bandung. Sementara PKL di Yogyakarta sebagian besar berasal dari Wonosari dan Kolon Progo, dan sebagian lainnya kebanyakan dari Minang (Sumatera), serta Solo dan Wonogiri (Jawa Tengah). Jenis usaha PKL di Kota Bandung relatif beragam seperti pakaian, kerajinan, mainan, dan makanan/ minuman. Di Yogyakarta porsi jenis usaha PKL yang dominan adalah souvenir/batik/kerajinan, dan pakaian. Dengan keluarnya Peraturan Walikota Yogyakarta No. 62 Tahun 2009, ruas jalan yang trotoarnya dapat diizinkan untuk lokasi/tempat usaha PKL. Ruas jalan dengan trotoar tempat usaha PKL tersebut tersebar pada 14 kecamatan dalam Kota Yogyakata. Di Kecamatan Danurejan misalnya, terdapat enam nama jalan, seperti Jl. Tukangan sisi timur, Jl. Hayam Wuruk sisi barat dan sisi timur, dan Jl. Lempuyangan, sisi selatan. Demikian pula di Kecamatan Gondokusuman, terdapat dua puluh satu nama jalan. Misalnya Jl. Urip Sumoharjo sisi utara dan selatan, Jl. Prof.Dr. Sardjito timur jembatan sisi utara, barat, dan timur.
19
Lap Dikti Zarmawis Final 2009.indd Sec2:19
6/22/2010 6:24:31 PM
Zarida
Meskipun PKL memiliki peluang yang luas untuk lokasi/tempat usaha pada berbagai ruas jalan di empat kecamatan tersebut, PKL harus bersedia membuat surat pernyataan yang intinya bersedia mengembalikan lokasi usaha, apabila pemilik usaha/kuasa atas bangunan/tanah yang berbatasan langsung dengan jalan akan mempergunakannya tanpa syarat apapun. Besarnya jumlah PKL di Kota Bandung dapat dipahami, karena baik luas wilayah, jumlah kecamatan, kelurahan, dan jumlah penduduknya jauh lebih besar dibanding Yogyakarta. Dari jumlah penduduk misalnya, penduduk Kota Bandung lima setengah kali jumlah penduduk Yogyakarta dan jumlah PKL Bandung hampir sebelas kali jumlah PKL Yogyakarta. Sementara itu dari wawancara dengan narasumber di Bappeda, terungkap, bahwa meningkatnya jumlah PKL di Kota Bandung, antara lain disebabkan oleh krisis ekonomi yang terjadi sejak tahun 1997. Selain itu faktor-faktor yang mendorong berkembangnya PKL di kota tersebut adalah: (1) Kota Bandung ditetapkan sebagai Pusat Kegiatan Nasional (PKN) dan Pusat Kegiatan Wilayah (PKW) sehingga mempunyai daya tarik terhadap arus urbanisasi; (2) pertumbuhan jumlah penduduk yang pesat, sedangkan lapangan kerja terbatas yang berakibat tingginya tingkat pengangguran; dan (3) keterbatasan SDM dan modal usaha.
2.3 Karakteristik PKL Mengenai karakteristik PKL yang terungkap dari respon PKL di lapangan relatif juga beragam. Keberagaman tersebut dilihat dari aspek-aspek, antara lain alasan menjadi PKL, tingkat pendidikan, lama waktu, beraktivitas, lokasi usaha, modal usaha, sumber modal , jenis usaha dan keuntungan yang diperoleh.
20
Lap Dikti Zarmawis Final 2009.indd Sec2:20
6/22/2010 6:24:31 PM
Gambaran Umum Daerah Penelitian dan Karakteristik PKL
Alasan dan Pendidikan PKL Mengenai alasan menjadi PKL, dari data primer di kedua kota (Bandung dan Yogyakarta) terungkap bahwa sebagian besar masingmasing 64% dan 54 %, alasan menjadi PKL adalah karena terbatasnya modal, dan yang lainnya mengatakan keinginan untuk mandiri dan tidak ada pekerjaan lain, seperti tampak pada Tabel 2.1. Bila diamati bahwa sebagian besar alasan menjadi PKL karena ketiadaan modal tentu dapat dipahami. Karena untuk melakukan suatu usaha apalagi tujuan untuk memperoleh keuntungan jelas membutuhkan modal yang relatif memadai, dalam artian dengan modal tersebut selain dapat membeli barang yang akan dijual, juga digunakan untuk memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari dan kalau ada sisanya ditabung. Satu hal yang menarik adalah menjadi PKL agar bisa mandiri, hal ini jelas merupakan cita-cita luhur yang perlu didorong oleh stakeholders, terutama pemerintah. Di sini diperlukan konsep-konsep kemandirian dalam berusaha, seperti hemat, efisien, tidak mudah putus asa, memiliki daya juang tinggi, dan suka/harus menabung walaupun dalam jumlah kecil untuk penumpukkan modal usaha. Konsep-konsep ini dan konsep majamenen usaha lainnya perlu diintrodusir pada PKL oleh pemerintah atau asosiasi/organisasi PKL lainnya.
21
Lap Dikti Zarmawis Final 2009.indd Sec2:21
6/22/2010 6:24:31 PM
Zarida
Tabel 2.1 Alasan Menjadi PKL di Kota Bandung dan KotaYogyakarta Alasan responden menjadi PKL Modal terbatas Tidak ada pekerjaan lain Faktor keturunan Faktor lingkungan Keinginan untuk mandiri Tuntutan ekonomi Hobi Total
Kota Bandung Jumlah Persentase responden (%) (PKL) 32 64 7 1
14 2
1
2
8 1
16 2
50
100
Kota Yogyakarta Jumlah Persentase responden (%) (PKL) 26 54 5 3
10 6
14
28
2 50
4 100
Sumber: Data Primer P2E LIPI, 2009
Kegiatan ekonomi informal di Indonesia lebih menonjol di berbagai kota besar di Pulau Jawa. Hal ini terutama erat kaitannya dengan tingkat pendidikan dan pertumbuhan penduduknya, yang juga disumbang oleh arus urbanisasi–sebagai akibat terbatasnya lapangan kerja dan proses industrialisasi. Keberadaan kaum migran di perkotaan tanpa keahlian yang dibutuhkan tentunya akan menambah jumlah PKL bahkan pengangguran di perkotaan. Diperkirakan, pekerja sektor informal meliputi 30 – 44% angkatan kerja di kota. Adanya cadangan sumberdaya manusia yang luar biasa untuk kegiatan produktif di setiap hari yang keuletannya telah menunjukkan potensinya. Sayangnya, sampai saat ini potensi yang hebat tersebut belum dapat dimanfaatkan oleh pemerintah.
22
Lap Dikti Zarmawis Final 2009.indd Sec2:22
6/22/2010 6:24:31 PM
Gambaran Umum Daerah Penelitian dan Karakteristik PKL
Mengenai pendidikan PKL relatif beragam dari SD sampai dengan SLTA, di mana untuk Kota Bandung pendidikan PKL porsi terbesar (40%) berpendidikan SD dan 30% SLTA. Sedangkan di Yogyakarta, porsi pendidikan PKL terbesar (54%) adalah SLTA, seperti tertera pada Tabel 2.2. Tentunya hal ini sudah dapat ditebak, bagi mereka yang berpendidikan rendah, bekerja sebagai PKL adalah jalan keluar yang tercepat untuk mendapatkan penghasilan. Terlebih lagi jika mereka adalah migran yang tak mempunyai keahlian apapun. Yang menarik adalah, baik di Bandung maupun di Yogyakarta proporsi yang terkecil adalah mereka yang berpendidikan tinggi. Jika ditelisik lebih jauh lagi, mereka melakukan hal tersebut antara lain karena pekerjaan sebagai PKL yang tadinya hanya sebagai tambahan penghasilan, ternyata di kemudian hari hasilnya cukup menjanjikan, karena melebihi pekerjaan utamanya. Secara konsep, pendidikan merupakan faktor penentu dalam pembangunan dan sebagai salah satu jalan yang cukup efektif untuk melakukan mobilitas dalam melanjutkan pendidikan atau mencari pekerjaan oleh sebagian penduduk. Peningkatan dalam pendidikan dapat mengentaskan penduduk dari kemiskinan baik secara langsung atau tidak langsung, yaitu melalui perbaikan pendapatan, nutrisi, dan pengeluaran rata-rata jumlah anggota keluarga (Tirtosudomo, 1994). Dari berbagai penelitian terungkap bahwa ada korelasi positif antara pendapatan dan pendidikan. Artinya makin tinggi tingkat pendidikan seseorang mempunyai kecendrungan makin tinggi pula pendapatannya. Tingginya tingkat pendidikan PKL di Yogyakarta dibanding PKL di Bandung, sesungguhnya belum tentu berpengaruh nyata pada peningkatan hasil usaha mereka. Tetapi tingginya pendidikan seseorang (PKL), paling tidak merupakan penambahan pengetahuan dan keterampilan minimum yang diperlukan untuk memajukan usaha dibanding dengan mereka yang berpendidikan lebih rendah.
23
Lap Dikti Zarmawis Final 2009.indd Sec2:23
6/22/2010 6:24:31 PM
Zarida
Tabel 2.2 Tingkat Pendidikan PKL di Kota Bandung dan Kota Yogyakarta
Tingkat pendidikan SD SMP SMA Sarjana Total
Kota Bandung Jumlah Persentase responden (%) (PKL) 20 40 14 28 15 30 1 2 50 100
Kota Yogyakarta Jumlah Persentase responden (%) (PKL) 8 16 7 14 27 54 8 16 50 100
Sumber: Data Primer, P2E LIPI, 2009
Lama Waktu, Beraktivitas, dan Lokasi Usaha Mengenai lama waktu menjadi PKL di kedua kota juga bervariasi bahkan ada 15-20 tahun dengan porsi di Bandung 18% dan Yogyakarta 42 %. Namun demikian lama waktu menjadi PKL dengan porsi yang menonjol adalah 1-5 tahun yakni 60% untuk PKL di Bandung dan 38% untuk PKL Yogyakarta. Lamanya waktu menjadi PKL sebenarnya dapat pula sebagai indikasi keberhasilan PKL dalam melakukan usahanya. Artinya makin lama waktu seseorang sebagai PKL mempunyai kecendrungan makin berhasil pula ia dalam usahanya. Karena dengan waktu yang lama tersebut, PKL sudah mengenal dan mengetahui selera beragam pembeli, sudah tahu cara menawarkan barang dagangannya, dan sudah tahu tempat-tempat di mana ia membeli barang dagangannya dengan harga bersaing dan kualitas yang memadai. Namun kenyataan tersebut tidak terbukti, bahkan mereka yang waktunya lebih singkat yang berhasil dalam mengembangkan usahanya. Hal ini mengindikasikan pula bahwa faktor-faktor internal, seperti tingkat pendidikan, pengalaman berusaha, dan keinginan untuk maju dan berdikari tidak
24
Lap Dikti Zarmawis Final 2009.indd Sec2:24
6/22/2010 6:24:31 PM
Gambaran Umum Daerah Penelitian dan Karakteristik PKL
menonjol, di samping peran faktor eksternal (pemerintah, swasta, dan asosiasi/organisasi) tidak begitu kuat pengaruhnya terhadap mereka yang sudah lama menjadi PKL terutama di Kota Yogyakarta. Tabel 2.3 Lama Menjadi PKL di Kota Bandung dan Kota Yogyakarta Kota Bandung Kota Yogyakarta Lama responden Jumlah Persentase Jumlah Persentase menjadi PKL responden %) responden (PKL)
< 1 tahun 1 – 5 tahun
(PKL) 2 30
6 60
(PKL) 2 19
4 38
6 – 10 tahun
9
18
8
16
11 – 15 tahun 16 – 20 tahun
3 3
6 6
5 3
10 6
> 20 tahun
3
6
13
26
Total
50
100
50
100
Sumber: Data Primer P2E LIPI, 2009
Mengenai lama beraktivitas di lokasi usaha, menunjukkan bahwa mayoritas (60%) di Bandung dan 34 % di Yogyakarta, responden PKL telah berada di lokasi usaha yang mereka gunakan sekarang, selama kurun waktu 1 – 5 tahun (Tabel 2.4). Hal ini terjadi karena sebagian besar dari mereka belum pernah mengalami relokasi. Selain itu juga kemungkinan PKL masih menempati lokasi usaha tersebut karena pembeili/ langgan masih memadai, atau kalaupun mau pindah lokasi, belum punya cukup modal untuk membayar sewa di lokasi yang baru.
25
Lap Dikti Zarmawis Final 2009.indd Sec2:25
6/22/2010 6:24:31 PM
Zarida
Tabel 2.4 Lama Beraktivitas pada Lokasi Usaha di Kota Bandung dan Kota Yogyakarta
Lama responden beraktivitas di lokasi usaha < 1 tahun 1 – 5 tahun 6 – 10 tahun 11 – 15 tahun 16 – 20 tahun > 20 tahun Total
Kota Bandung Jumlah Persentase responden (%) (PKL) 2 18 30 60 9 18 3 6 3 6 3 6 50 100
Kota Yogyakarta Jumlah Persentase responden (%) (PKL) 5 10 17 34 10 20 3 6 3 6 12 24 50 100
Sumber: Data Primer P2E LIPI, 2009
Dalam hal lokasi/tempat usaha baik PKL di Bandung maupun PKL di Yogyakarta menunjukkan bahwa sebagian besar yaitu 84% di Bandung dan 92 % di Yogyakarta, PKL melakukan usahanya di pusat kota dan yang lainnya dekat pasar, dan dekat kampus (Tabel 2.5.). Pemilihan lokasi/tempat usaha oleh PKL tentu sudah menjadi keharusan, karena sasarannya adalah pembeli/calon konsumen. Artinya di mana ada keramaian atau banyak pembeli/calon konsumen, di situ ada PKL. Karena itu pusat-pusat kota dan kampus menjadi lokasi/tempat usaha yang diincar oleh PKL. Selain itu kedua lokasi ini, tentu tidak bisa dipungkiri pula, pada perayaan hari-hari besar nasional atau daerah juga menjadi sasaran PKL. Bahkan dari wawancara dengan narasumber salah satu dinas/instansi pemerintah kota Bandung, terungkap pula
26
Lap Dikti Zarmawis Final 2009.indd Sec2:26
6/22/2010 6:24:31 PM
Gambaran Umum Daerah Penelitian dan Karakteristik PKL
bahwa pada hari minggu, warga Kota Bandung tumpah berolah raga yang dipusatkan di sekitar Gedung Sate (Kantor Gubernur).Kondisi ini dimanfaatkan oleh PKL dengan menggelar dagangannya beragam jenis, sehingga diperkirakan ratusan juta uang beredar di sana setiap minggu. Tabel 2.5 Lokasi Usaha PKL di kota Bandung dan Yogyakarta
Lokasi Usaha
Pusat kota Dekat bahan baku Dekat pasar Dekat kampus Dekat objek wisata Total
Bandung Jumlah Persentase responden 42 84 2 4 5 10 1 2 50
100
Yogyakarta Jumlah Persentase responden 46 92 1
2
3
6
50
100
Sumber: Data Penelitian P2E LIPI, 2009
Modal, Sumber, dan Modal Harian Usaha Modal awal yang digunakan oleh sebagian besar (74%) PKL di Bandung berkisar antara 1-5 juta rupiah, sementara di Yogyakarta sebagian besar (52%) menggunakan modal awal mereka untuk berusaha, sebesar lebih dari 5 juta rupiah (Tabel 2.6.), dengan demikian penggunaan modal awal oleh sebagian besar PKL di Yogyakarta relatif lebih besar daripada yang digunakan oleh sebagian besar PKL di Bandung. Argumentasi yang memungkinkan adalah, jenis usaha yang dijalankan oleh sebagian besar PKL di Yogyakarta memang membutuhkan modal yang relatif lebih besar yaitu untuk souvenir dan
27
Lap Dikti Zarmawis Final 2009.indd Sec2:27
6/22/2010 6:24:31 PM
Zarida
asesoris, jika dibandingkan dengan modal yang dibutuhkan untuk usaha makanan dan atau minuman bagi PKL di Bandung. Tabel 2.6 Jumlah Modal Awal PKL di Kota Bandung dan KotaYogyakarta
Jumlah modal awal < 1 juta 1 – 5 juta > 5 juta Total
Kota Bandung Jumlah Persentase responden (%) (PKL) 8 16 37 74 5 10 50 100
Kota Yogyakarta Jumlah Persentase responden (%) (PKL) 11 22 18 36 21 52 50 100
Sumber: Data Primer P2E LIPI, 2009
Agar dapat mengetahui bagaimana pengembangan usaha PKL selanjutnya, diperlukan informasi darimana saja sumber modal tersebut berasal. Informasi ini menjadi penting jika dikaitkan dengan efektivitas dari modal kerja (modal awal) yang digunakan. Darimana saja sumber modal tersebut berasal dapat dilihat pada Tabel 2.7.
28
Lap Dikti Zarmawis Final 2009.indd Sec2:28
6/22/2010 6:24:32 PM
Gambaran Umum Daerah Penelitian dan Karakteristik PKL
Tabel 2.7 Sumber Modal PKL di kota Bandung dan KotaYogyakarta
Sumber modal Pribadi Keluarga Pelepas uang Pinjam bank Pinjam teman Total
Kota Bandung Jumlah Persentase responden (%) (PKL) 44 88 3 6 1 2
Kota Yogyakarta Jumlah Persentase responden (%) (PKL) 37 74 12 24
1 1
2 2
1
2
50
100
50
100
Sumber: Data Penelitian P2E LIPI, 2009
Dari data Tabel 2.7. diketahui bahwa di dua kota, baik di Bandung maupun di Yogyakarta mayoritas PKL menggunakan modal awal dari milik sendiri, masing-masing 88% dan 74%. Kalaupun ada modal usaha yang berasal dari keluarga dan atau dari yang lain (pelepas uang,bank, dan teman), proporsinya sangat kecil. Dengan demikian, mereka berharap agar modal awal dapat digunakan secara efisien dan efektif dalam menjalankan usaha, karena tanpa harus membayar bunga pinjaman. Dari modal awal, sebagian akan digunakan untuk membeli barang dagangan yang dijadikan usaha PKL,di mana jumlah ini dikenal dengan modal harian. Besarnya modal harian ini antara satu PKL dengan PKL lainnya relatif bervariasi tergantung pada jenis usaha masing-masing. Hasil penelitian di dua kota (Tabel 2.8) menunjukkan bahwa sebagian besar PKL memiliki modal harian kurang dari satu juta rupiah dengan porsi masing-masing (Bandung 96% dan Yogyakarta 84%). Sumber
29
Lap Dikti Zarmawis Final 2009.indd Sec2:29
6/22/2010 6:24:32 PM
Zarida
modal ini dikaitkan dengan lama usaha PKL, memberikan indikasi bahwa sebagian besar PKL di kedua kota ini tampaknya belum tersentuh oleh lembaga keuangan mikro, seperti BRI Unit Desa dan koperasi dalam membantu modal usaha PKL. Kondisi ini tentu merupakan salah faktor yang menyebabkan lambannya PKL berkembang menjadi sektor formal. Tabel 2.8 Jumlah Modal Harian PKL di Kota Bandung dan Kota Yogyakarta
Jumlah modal harian < 1 juta >1 juta Tidak menjawab Total
Kota Bandung Persentase Jumlah (%) responden (PKL) 48 96 2 4 50
100
Kota Yogyakarta Persentase Jumlah (%) responden (PKL) 42 84 4 8 4 8 50
100
Sumber: Data Primer P2E LIPI, 2009
Jenis Usaha dan Kauntungan Yang Diperoleh Jenis usaha makanan atau minuman, merupakan pilihan sebagian besar PKL baik di Bandung maupun di Yogyakarta. Kota Bandung yang dikenal sebagai kota tujuan wisata belanja dan Yogyakarta yang merupakan tujuan wisata budaya, bisa jadi merupakan pilihan yang tepat karena memberikan peluang bagi berkembangnya usaha mereka. Sementara itu, di Yogyakarta jenis usaha souvenir dan aksesoris juga menempati proporsi yang sama dengan makanan dan minuman. Sebagai kota tujuan wisata budaya, tentunya kedua jenis usaha
30
Lap Dikti Zarmawis Final 2009.indd Sec2:30
6/22/2010 6:24:32 PM
Gambaran Umum Daerah Penelitian dan Karakteristik PKL
tersebut juga mempunyai potensi untuk berkembang, yang tak dapat diabaikan begitu saja. Kegiatan semacam ini muncul sangat fantastis, bahkan cenderung mendominasi, sebagai refleksi dari lemahnya sistem dan organisasi kegiatan ekonomi formal dan legal. Namun demikian pengembangan usaha tersebut tentunya sangat tergantung dan tak dapat dilepaskan begitu saja dengan besarnya modal awal dan modal harian yang mereka gunakan. Bersumber dari modal tersebut, jenis usaha PKL di dua kota relatif beragam. Keberagaman ini lebih nyata di Yogyakarta dan porsi terbanyak adalah usaha makanan dan minuman, souvenir, dan asesoris masing-masing 22 % dan pakaian 18 %. Sementara di Bandung sebagian besar (60%) jenis usaha PKL adalah makanan dan minuman, pakaian 14 %, dan asesoris 14 %. (Tabel 2.9). Besarnya usaha PKL di bidang makanan dan minuman di Bandung dapat dipahami, karena kota ini menjadi salah satu pusat kuliner nasional saat ini, di samping beragam daya tarik lainnya terutama bagi penduduk Jakarta, apalagi setelah dibukanya jalan bebas hambatan/tol Jakarta-Bandung melintasi Cikampek, Purwakarta, dan Padalarang (Cipularang).
31
Lap Dikti Zarmawis Final 2009.indd Sec2:31
6/22/2010 6:24:32 PM
Zarida
Tabel 2.9 Jenis Usaha PKL di Kota Bandung dan Kota Yogyakarta Jenis Usaha Makanan/minuman Souvenir Pakaian (sepatu, sandal, dll) Aksesoris Mainan Kaset CD Buku-buku Pulsa Tanaman Pelukis Obat-obatan tradisional Total
Kota Bandung Jumlah Persentase responden (%) (PKL) 30 60 7 14
Kota Yogyakarta Jumlah Persentase responden (%) (PKL) 11 22 11 22 9 18
8 2 2 1 -
16 4 4 2 -
11
22
1 1 1 3 1
2 2 2 6 2
50
100
1 50
2 100
Sumber: Data Primer P2E LIPI, 2009
Tujuan untuk melakukan usaha adalah untuk mendapatkan keuntungan. Dengan keuntungan yang diperoleh sebagian digunakan untuk membiayai kebutuhan hidup sehari-hari, yang lainnya untuk memperbesar modal usaha, dan kalau masih berlebih ditabung. Keuntungan yang diperoleh PKL dari usahanya bervariasi, yakni antara kurang dari Rp 100.000,- perhari; Rp 100.000-500.000,- per hari. Porsi PKL yang memperoleh keuntungan antara kedua kategori ini hampir sama. PKL yang memperoleh keuntungan kurang dari Rp 100.000,per hari di Bandung 52% dan di Yogyakarta 46%. Sementara PKL yang memperoleh keuntungan rata-rata Rp 300.000,- per hari, di Yogyakarta porsinya lebih besar yakni 50% dan di Bandung 46%, seperti tampak pada Tabel 2.10. Penghasilan PKL di kedua kota tersebut tentu relatif besar dibanding dengan rata-rata penghasilan PNS yang sudah bekerja
32
Lap Dikti Zarmawis Final 2009.indd Sec2:32
6/22/2010 6:24:32 PM
Gambaran Umum Daerah Penelitian dan Karakteristik PKL
kurang lebih 30 tahun atau berada pada strata/golongan IV, dengan asumsi tidak mengikutkan daya juang dan faktor kerugian yang mungkin terjadi pada PKL. Tabel 2.10 Rata-rata Keuntungan Perhari PKL di Kota Bandung dan Kota Yogyakarta
Jumlah keuntungan usaha < 100 ribu 100 – 500 ribu > 500 ribu Total
Bandung Jumlah Persentase responden (%) (PKL) 26 52 23 46 1 2 50 100
Yogyakarta Jumlah Persentase responden (%) (PKL) 23 46 25 50 2 4 50 100
Sumber: Data Primer P2E LIPI, 2009
Besar kecilnya keuntungan yang didapat tentunya juga ditentukan oleh faktor yang tak kalah pentingnya, yaitu lokasi usaha PKL, yang juga memberikan kontribusi terhadap perkembangan PKL selanjutnya. Untuk mendapatkan lokasi yang dianggap srategis, PKL melakukan berbagai cara dan upaya antara lain dengan pendudukan lokasi tersebut berangsur-angsur. Hal ini biasanya dilakukan di atas tanah negara atau tanah milik perorangan seringkali dalam kondisi sedang disewa orang yang dianggap tanah tak bertuan. Di sisi lain adakalanya pemilik tanah beranggapan bahwa tanah mereka yang ditempati PKL tidak bernilai atau penyewa merasa tidak berkepentingan untuk mengusir mereka.
Kemudahan/Kesulitan Usaha Meskipun usaha yang dilakukan oleh PKL menunjukkan kecendrungan yang selalu menguntungkan, namun sangat diharapkan keuntungan yang diperoleh itu dapat digunakan mereka untuk
33
Lap Dikti Zarmawis Final 2009.indd Sec2:33
6/22/2010 6:24:32 PM
Zarida
memperbesar volume usaha. Keberhasilan usaha PKL tersebut tidak terlepas dari berbagai kemudahan terhadap perolehan bahan baku baik untuk diolah atau langsung dijual sebagai barang dagangan. Dari penelitian terungkap bahwa pada umumnya PKL di dua kota tidak mengalami kesulitan memperoleh bahan baku seperti tampak pada Tabel 2.11. Dari Tabel ini diketahui bahwa bahan baku atau barang untuk dijual oleh PKL berasal dari pasar/dekat pasar, pemasok/kerabat, grosir, sumber bahan baku, di pasaran, dan di produksi sendiri. Tabel 2.11 Kemudahan / Kesulitan PKL Dalam Memperoleh Bahan Baku di Kota Bandung dan Kota Yogyakarta No.
1.
2.
Kemudahan / kesulitan dalam memperoleh bahan baku Mudah, karena: a. Dekat pasar b. Pemasok/kerabat c. Dekat grosir d. Dekat bahan baku e. Banyak dijual di pasaran f. Produksi sendiri g. Tidak menjawab Total Sulit, karena: a. Stok barang tidak menentu b. Tidak menjawab Total
Kota Bandung
Kota Yogyakarta
Jumlah responden (PKL)
Persentase (%)
Jumlah responden (PKL)
Persentase (%)
24 7 4 7
48 14 8 14
5 6 3 9
10 12 6 18
7 1 50
14 2 100
10 2 12 50
20 4 24 100
50
100
6 44 50
12 88 100
Sumber: Data Primer P2E-LIPI, 2009
34
Lap Dikti Zarmawis Final 2009.indd Sec2:34
6/22/2010 6:24:32 PM
Gambaran Umum Daerah Penelitian dan Karakteristik PKL
2.4 Potensi PKL Dalam Pengembangan Usaha Studi yang mendalam tentang sektor informal di Indonesia dilakukan oleh Hans Dieter Evers, di mana sebagian besar pelaku di sektor tersebut adalah PKL. Menurutnya, sektor ini sebagai suatu bentuk ekonomi bayangan, yang kegiatan-kegiatannya tidak mengikuti aturanaturan dari pemerintah dan bergerak dalam unit-unit kecil, sehingga dianggap lebih efisien dalam memberikan pelayanannya. Namun jika diperhatikan lebih seksama, kegiatan seperti ini bersifat subsisten dan hanya bernilai ekonomis terutama dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari di lingkungan masyarakat, di mana sektor tersebut berada. Selanjutnya, sektor informal dan penunjangnya mengandung makna ilegal, yang bercirikan perekonomian pada masa sebelum revolusi industri, sehingga akan sulit bagi sektor ini untuk memperoleh peluang yang sama dengan mereka ynag bergerak di sektor formal. Meskipun demikian, dari uraian mengenai karakteristik PKL di dua kota (Bandung dan Yogyakarta) di atas, menunjukkan bahwa PKL memiliki potensi yang positif dan menjajikan. Positif, artinya bahwa keberadaan PKL memberi peluang pada masyarakat menengah ke bawah terutama yang berpenghasilan rendah untuk memperoleh barang-barang keperluan sehari-hari dan tahan lama dengan harga yang terjangkau; sebagai lapangan kerja, dan sumber pendapatan daerah (hal ini diungkap pada bagian lain dalam laporan ini); dan sebagai daya dari wisatawan jika PKL dikelola dengan baik, seperti yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Yogyakarta, yang ujung-ujungnya sumber pemasukan daerah. Menjanjikan, artinya PKL dengan potensi yang dimilikinya, seperti daya juang dan kemauan untuk mandiri sehingga menjadi sector formal tentu hal ini akan berkontribusi lebih besar lagi dalam penyerapan tenaga kerja dan pendapatan pemerintah kota.
35
Lap Dikti Zarmawis Final 2009.indd Sec2:35
6/22/2010 6:24:33 PM
Zarida
Mengenai daya juang PKL, misalnya di Jakarta di mana sebagian besar PKL dikuasai oleh kaum migran yang terorganisir dalam kelompok jenis-jenis usaha tertentu. Kondisi tersebut terjadi tanpa ada yang memobilisir mereka, kecuali adanya daya tarik dan variasi pekerjaan yang tersedia. Kondisi sedemikian juga merupakan refleksi dari adanya solidaritas atas rasa keadilan yang mereka rasakan dan perjuangan yang dilakukan, agar mereka tetap dapat bertahan hidup di kota. Di sisi lain, upaya yang mereka lakukan tersebut di atas sekaligus juga merupakan suatu tindakan yang mendukung (menolong) nasib sebagian besar penduduk kota yang berpenghasilan rendah agar juga bisa survive di kota. Kemandirian PKL yang merupakan potensi untuk maju dan berkembang dalam berusaha, dapat pula dilihat pada bentuk usaha, bentuk kerja sama, dan pembagian hasil kerja sama. Mengenai bentuk usaha, ternyata sebagian besar PKL baik di Bandun maupun di Yogyakarta, masing-masing 94 % dilakukan sendiri atau perorangan. Kalaupun ada kerja sama, hanya sebatas tempat usaha dan barang yang akan dijual, seperti tampak pada Tabel 2.12. Mengenai bentuk kerjasama usaha (Tabel 2.13), menunjukkan bahwa sebagian besar PKL melakukan usaha sendiri baik Bandung maupun di Yogyakarta masingmasing 94 %. Data di atas menunjukkan bahwa mayoritas responden di dua kota tersebut, dalam melakukan usahanya sangat tergantung dari kemampuannya sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa keber-hasilan usaha PKL mengindikasikan sebagai pengaruh jiwa kewirausahaan yang dimilikinya. Demikian pula halnya pembagian hasil usaha, ternyata juga sebagian besar untuk dimiliki PKL sendiri, masing-masingnya 64 % seperti tertera pada Tabel 2.14. Keuntungan dari usaha tanpa membaginya dengan pihak lain, karena bentuk usaha yang mereka miliki adalah usaha perorangan. Hal ini tentu sebagai implementasi dari bentuk dan kerjasama usaha yang dilakukan PKL
36
Lap Dikti Zarmawis Final 2009.indd Sec2:36
6/22/2010 6:24:33 PM
Gambaran Umum Daerah Penelitian dan Karakteristik PKL
Tabel 2.12 Bentuk Usaha PKL di Kota Bandung dan Kota Yogyakarta
Bentuk usaha PKL Perorangan Bersama Total
Kota Bandung Jumlah Persentase responden (%) (PKL) 47 94 3 6 50 100
Kota Yogyakarta Jumlah Persentase responden (%) (%) 47 94 3 6 50 100
Sumber: Data Primer, P2E LIPI, 2009
Tabel 2.13
Bentuk Kerjasama Usaha PKL di Kota Bandung dan Kota Yogyakarta Kota Bandung Kota Yogyakarta Bentuk Jumlah Persentase Jumlah Persentase kerjasama responden (%) responden (%) (PKL) (PKL) Tempat usaha 1 2 Barang yang 2 4 3 6 dijual Tidak ada 47 94 47 94 kerjasama usaha Total 50 100 50 100 Sumber: Data Primer P2E LIPI, 2009.
37
Lap Dikti Zarmawis Final 2009.indd Sec2:37
6/22/2010 6:24:33 PM
Zarida
Tabel 2.14 Pembagian Hasil Usaha PKL di Kota Bandung dan Kota Yogyakarta
Bentuk bagi hasil Dibagi 2 (50%) Diberi 30% dari keuntungan Keuntungan Milik sendiri Total
Kota Bandung Jumlah Persentase responden (%) (PKL) 1 2 2 4
Kota Yogyakarta Jumlah Persentase responden (%) (PKL) 2 4 1 2
47
64
47
64
50
100
50
100
Sumber: Data Primer P2E LIPI, 2009
2.5 Penutup Meskipun jumlah PKL di Kota Bandung lebih banyak sebagai akibat luasnya wilayah dan banyaknya jumlah penduduk dibanding Kota Yogyakarta, namun keberadaan PKL dilihat dari karakteristiknya, antara lain alasan menjadi PKL, pendidikan, lama waktu menjadi PKL, lokasi usaha, sumber modal, jenis usaha, dan keuntungan usaha, tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Namun satu hal yang dapat dicatat, berbagai karakteristik PKL tersebut seperti, keinginan untuk mandiri dan daya juang yang tinggi dalam melakukan usaha sehingga berhasil dengan memperoleh keuntungan, merupakan potensi yang perlu dibina sehingga PKL dapat menjadi sektor formal. Ketimpangan ekonomi akan terus terjadi di kota-kota besar di tanah air termasuk di kedua kota penelitian, jika kebijakan ekonomi yang dijalankan pemerintah selalu memihak pada pelaku sektor formal dan kurang memperhatikan usaha-usaha kecil termasuk PKL
38
Lap Dikti Zarmawis Final 2009.indd Sec2:38
6/22/2010 6:24:33 PM
Gambaran Umum Daerah Penelitian dan Karakteristik PKL
yang juga berkontribusi pada perekonomian daerah. Karena itu potensi yang dimiliki PKL, perlu dibina secara berkelanjutan tidak hanya oleh pemerintah sebagai fasilitator dan dinamisator, tetapi juga mengikutsertakan swasta dan asosiasi/organisasi dalam memberikan akses yang terkait lokasi/tempat usaha, modal usaha, bahan baku/ barang dagangan, pemasaran, dan manajemen untuk keberlangsungan usaha PKL.
39
Lap Dikti Zarmawis Final 2009.indd Sec2:39
6/22/2010 6:24:33 PM
Zarida
DAFTAR PUSTAKA
De Soto,Hernando.1992. Masih Ada Jalan Lain. Jakarta:Yayasan Obor Indonesia. Manning,Chris dan Tajuddin N E.1996. Urbanisasi, Pengangguran, dan Sektor Informal. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Rachbini,Didik J dan Abdul Hamid. 1994. Ekonomi Informal Perkotaan. Jakarta:LP3ES. Saejono,Yetty.2005.Pergulatan Pedagang Muhammadyah University Press.
Kakilima.
Surakarta:
Usman,Sunyoto.2006. Malioboro. Yogyakarta: PT Mitra Tata Persada.
40
Lap Dikti Zarmawis Final 2009.indd Sec2:40
6/22/2010 6:24:33 PM
Perkiraan Kontribusi PKL Dalam Perekonomian Daerah
BAB 3 PERKIRAAN KONTRIBUSI PKL DALAM PEREKONOMIAN DAERAH Chitra Indah Yuliana
3.1 Pendahuluan Berbagai sumber referensi telah menyebutkan bahwa sektor informal memiliki peran penting dalam perekonomian negara di dunia, khususnya bagi negara sedang berkembang. Misalnya, yang disebutkan dalam publikasi dari Kementrian Tenaga Kerja India, bahwa data dari NSS (National Sample Survey) periode 1999-2000 menunjukkan sektor yang tidak terorganisasi (unorganized sector) atau sektor informal telah mampu menyerap 370 juta tenaga kerja atau sekitar 92% dari total angkatan kerja di India. Hal tersebut mengindikasikan bahwa sektor informal dapat menyediakan kesempatan pekerjaan yang luas bagi angkatan kerja. Selain itu sektor informal berkontribusi secara signifikan pada produk nasional, yakni dengan pangsa dalam total Net Domestic Product (NDP) di India pada harga berlaku periode tersebut mencapai lebih dari 60%. Palnitkar (2005) juga mengemukakan bahwa akibat peluang kerja pada sektor formal (organized sector) yang tidak mampu meningkat untuk mengimbangi pertumbuhan jumlah penduduk perkotaan dan imigran yang begitu cepat, maka sektor informal perkotaan menjadi suatu fenomena permanen yang menyediakan kesempatan pekerjaan dan sumber penghasilan bagi penduduk untuk beberapa tahun mendatang.
41
Lap Dikti Zarmawis Final 2009.indd Sec2:41
6/22/2010 6:24:33 PM
Chitra Indah Yuliana
Selain itu, pada karya De Soto, The Other Path (1989) dalam Rachbini dan Hamid, (1994), yang terkenal karena analisisnya tentang gerakan ekonomi bawah tanah (underground economy) terungkap pula bahwa sektor informal di Lima, Peru tampak menonjol sebagai penyelesaian atas masalah darurat yang disebabkan oleh tidak bekerjanya sektor formal. Menurutnya, sektor informal merupakan kunci yang mengakibatkan di suatu negara mengalami stagnasi yang berkepanjangan, namun kemudian dianggap pula sebagai sebuah solusi dari kemandekkan ekonomi masyarakat. Berdasarkan hal ini, tampak adanya kontradiksi dalam memandang sektor informal, bahwa sektor informal kemudian dianggap menjadi sangat penting tidak hanya karena sebagai kantong penyangga atas limpahan tenaga kerja tetapi justru karena di situlah tampak jelas terdapat permasalahannya, serta adanya pandangan dari kelompok yang lebih menganggap bahwa sektor informal sebagai kendala (barrier) paling potensial bagi perkembangan ekonomi secara keseluruhan. Lebih lanjut, Brata (2008) menyebutkan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara dengan banyak aktivitas informal dalam perekonomian, yakni dengan merujuk pada Blunch dkk (2001), bahwa pada tahun 2001 sektor informal Indonesia menyerap tenaga kerja hingga 77,9% dari jumlah angkatan kerja. Kontribusi sektor ini pada lapangan pekerjaan di negara-negara Asia lainnya menunjukkan porsi yang beragam, yaitu sekitar 73,7% di India; 67,1% di Pakistan; dan 66,9% di Filipina serta 51,4% di Thailand. Peran sektor ini menjadi lebih penting ketika krisis ekonomi sejak akhir tahun 1997 menerpa tanah air dan kemampuan sektor formal-modern dalam penyerapan tenaga kerja kian berkurang sehingga menjadi suatu solusi bagi masalah pengangguran. Sejalan dengan hal tersebut, Tambunan (2004, dalam Brata, 2008) dengan hasil surveinya pada wilayah perkotaan di Jakarta,
42
Lap Dikti Zarmawis Final 2009.indd Sec2:42
6/22/2010 6:24:33 PM
Perkiraan Kontribusi PKL Dalam Perekonomian Daerah
menyatakan tidak ada keraguan bahwa sektor informal sangat penting bagi sebagian besar kehidupan keluarga, setidaknya sebagai tambahan penghasilan sekunder ataupun pelengkap. Salah satu aktivitas penting dari sektor informal yang terdapat pada wilayah perkotaan ini ialah Pedagang Kaki Lima (PKL), yang disebut oleh Suharto (2003) dalam Brata (2008) merupakan pedagang informal karena menggunakan lokasi jalan yang sebenarnya tidak dimaksudkan sebagai aktivitas perdagangan dan dianggap ilegal sehingga harus menghadapi berbagai permasalahan serta ancaman dari kebijakan pihak yang berwenang. Istilah sektor informal sering diidentikkan dengan jenis pekerjaan yang dilakukan oleh PKL, yang menunjukkan begitu penting dan khasnya dalam sektor informal karena PKL dianggap sebagai salah satu pekerjaan yang paling penting di kebanyakan kota di negaranegara berkembang pada umumnya. Pandangan positif terhadap PKL ialah bahwa PKL merupakan suatu ‘solusi terakhir’ dalam menghadapi berbagai kondisi, antara lain proses urbanisasi yang berangkai dengan migrasi-kota, pertumbuhan kota yang pesat, pertumbuhan kesempatan kerja yang lambat dalam sektor industri, serta adanya teknologi impor yang padat modal dalam kondisi kelebihan penawaran tenaga kerja. Namun demikian, PKL hanya sedikit memperoleh perhatian akademik dibadingkan kelompok pekerjaan utama lainnya (Bromley, 1978, dalam Ramli, 1992). Oleh karena itu, kembali pada kontribusi yang sebenarnya diperoleh dari kehadiran sektor informal, penting pula untuk dikaji lebih dalam dengan berfokus pada kontribusi PKL yang merupakan bagian dari sektor informal perkotaan. Pembahasan pentingnya PKL di sini bukan berarti untuk menutup mata terhadap permasalahan yang dianggap timbul akibat kehadiran PKL, seperti pelanggaran
43
Lap Dikti Zarmawis Final 2009.indd Sec2:43
6/22/2010 6:24:33 PM
Chitra Indah Yuliana
K3 (Ketertiban, Kebersihan dan Keamanan), bukan pula untuk mendukung agar PKL semakin diperbanyak jumlahnya, melainkan untuk menunjukkan gambaran peran PKL dalam perekonomian daerah. Selain itu peran PKL tersebut dimaksudkan agar memperoleh perhatian dari seluruh stakeholders (pemerintah, swasta, dan asosiasi/organisasi) dalam membina, setidaknya membantu mengembangkan potensi usaha melalui pemberdayaan mereka hingga akhirnya mampu menjadi sektor formal. Hal ini disebabkan pada dasarnya, seperti yang diungkap oleh Basri dan Munandar (2008), bahwa munculnya PKL adalah refleksi dari adanya upaya sekedar untuk bertahan hidup (survival economy), atau sesuatu yang hanya bersifat darurat. Idealnya, semakin baik perekonomian, maka akan banyak terdapat pelaku sektor formal yang ditandai tenaga kerja telah memiliki kemampuan manajemen usaha dan keahlian yang memadai, tempat usaha resmi dan terdaftar, dapat mengelola cashflow usaha dengan rapi, dan membayar pajak sesuai aturan. Dengan melihat kenyataan yang terjadi pada kondisi saat ini, tulisan ini berfokus pada perkiraan kontribusi PKL dalam perekonomian daerah, pada dua kota penelitian, yakni Kota Bandung dan Kota Yogyakarta. Perkiraan kontribusi PKL tersebut dalam bab ini diklasifikasikan ke dalam tiga sub-bab utama. Pertama, membahas tentang kontribusi PKL dalam hal penciptaan kesempatan kerja. Kedua, mengkaji kontribusi PKL terhadap pendapatan daerah melalui pembayaran sewa lokasi/tempat usaha oleh PKL, retribusi kebersihan dan retribusi keamanan. Ketiga, pembahasan tentang kontribusi PKL secara umum pada kesejahteraan masyarakat.
44
Lap Dikti Zarmawis Final 2009.indd Sec2:44
6/22/2010 6:24:33 PM
Perkiraan Kontribusi PKL Dalam Perekonomian Daerah
3.2 Kontribusi PKL Terhadap Kesempatan Kerja Seperti yang telah disebutkan di atas, bahwa hasil studi mengenai kontribusi sektor informal bagi perekonomian di berbagai negara terutama tampak secara nyata dalam hal penciptaan kesempatan kerja. Dalam penelitian ini dikaji penyerapan tenaga kerja yang ditunjukkan dari respon PKL di lapangan (data primer) yang menyatakan bahwa mereka menggunakan tenaga kerja yang bukan anggota keluarga dalam melakukan usaha. Tabel berikut memperlihatkan penciptaan lapangan kerja oleh para responden PKL di Kota Bandung. Selain untuk sumber nafkah bagi kehidupan PKL itu sendiri, ternyata PKL dapat pula menyediakan lapangan pekerjaan bagi orang lain dengan merekrut tenaga kerja yang bukan keluarga. Ditunjukkan bahwa 10 orang responden merekrut tenaga kerja lain yang bukan keluarganya sebanyak 1-4 orang. Tabel 3.1 Jumlah Tenaga Kerja Bukan Keluarga dalam Usaha PKL di Kota Bandung
Keterangan 1 orang 2-4 orang Tidak ada Tidak menjawab Total
Jumlah Responden (PKL) 6 4 32 8 50
Persentase (%) 12 8 64 16 100
Sumber: Data Primer P2E LIPI, 2009
Kemudian, pada studi kasus di Kota Yogyakarta berdasarkan data perekonomian Pemerintah Kota Yogyakarta, pada tahun 2006
45
Lap Dikti Zarmawis Final 2009.indd Sec2:45
6/22/2010 6:24:33 PM
Chitra Indah Yuliana
sedikitnya terdapat 2.000 PKL di Kawasan Malioboro yang didominasi penduduk usia 31-50 tahun dengan tingkat pendidikan SLTA. Berkaitan dengan karakteristik tersebut, PKL merupakan sabuk penyelamat yang menampung kelebihan tenaga kerja yang tidak dapat tertampung di sektor formal. Di samping itu, seperti yang disebutkan oleh Usman dkk (2006), bahwa pada umumnya PKL di Malioboro memiliki karyawan untuk membantunya berjualan, sisi positif keberadaan PKL dalam hal penyerapan tenaga kerja juga tampak dalam hasil pengolahan data kuesioner penelitian ini. Tabel 3.2. menunjuk-kan sebanyak 21 responden PKL merekrut tenaga kerja yang bukan keluarga. Tabel 3.2 Jumlah Tenaga Kerja Bukan Keluarga dalam Usaha PKL di Kota Yogyakarta
Keterangan 1 orang 2-4 orang 5-7 orang Tidak ada Tidak menjawab Total
Jumlah Responden (PKL) 16 4 1 16 13 50
Persentase (%) 32 8 2 32 26 100
Sumber: Data Primer P2E LIPI, 2009
Dalam hal penyerapan tenaga kerja berdasarkan data Tabel 3.1 dan Tabel 3.2 di atas, jika diasumsikan setiap usaha PKL dapat menyerap tenaga kerja bukan keluarga rata-rata dua orang saja, maka tenaga kerja yang terserap oleh usaha PKL di dua kota penelitian tidaklah sedikit jumlahnya. Dari penelitian terungkap bahwa di Kota Bandung, pada tahun 2004 saja terdapat sebanyak 21.581 PKL dan mengalami
46
Lap Dikti Zarmawis Final 2009.indd Sec2:46
6/22/2010 6:24:34 PM
Perkiraan Kontribusi PKL Dalam Perekonomian Daerah
peningkatan satu setengah kali dari tahun 2000 yang jumlahnya 16.880 PKL.Bila diasumsikan jumlah PKL tidak mengalami perubahan, maka jumlah tenaga kerja yang diserap oleh usaha PKL di Bandung pada saat ini sebanyak 46.162 orang. Di Yogyakarta pada tahun 2006 terdapat sekitar 2.000 PKL, dan jika jumlah PKL tidak mengalami perubahan saat ini, maka tenaga kerja yang terserap oleh usaha PKL sebanyak 4.000 orang. Bila dikaitkan dengan jenis usaha PKL yang beragam, seperti diungkap di depan, seperti makanan dan minuman, pakaian/batik, kerajinan/ souvenir, mainan, dan variasi, maka jika dihitung dari kegiatan hulu (produksi) sampai kegiatan hilir (pemasaran) tentu jumlah tenaga kerja yang diserap lebih banyak lagi. Penyerapan tenaga kerja pada usaha PKL tersebut tentu saja berimplikasi pada upah yang diperoleh sebagai sumber penghasilan mereka yang akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan seharihari bersama anggota keluarga. Di Bandung, meskipun porsi PKLyang menggunakan tenaga kerja masih relatif kecil dan dengan upah tidak lebih dari Rp 1.000.000 per bulan (lihat Tabel 3.3), tetapi maknanya sangat besar karena dengan 10 orang PKL yang mampu menciptakan lapangan pekerjaan sebagai sumber pemenuhan kebutuhan hidup bagi 10 orang lainnya, ini dapat pula berarti estimasi bagi 10 keluarga (minimal total 30 orang) dengan asumsi kesepuluh orang yang direkrut sebagai pekerja tersebut akan turut menafkahi keluarganya.
47
Lap Dikti Zarmawis Final 2009.indd Sec2:47
6/22/2010 6:24:34 PM
Chitra Indah Yuliana
Tabel 3.3 Upah Tenaga Kerja Bukan Keluarga dalam Usaha PKL di Kota Bandung
Keterangan < Rp 500.000/bulan Rp 500.0001.000.000/bulan Tidak Ada Tidak Menjawab Total
Jumlah Responden (PKL) 7
Persentase (%) 14
3 32 8 50
6 64 16 100
Sumber: Data Primer P2E LIPI, 2009
Dari Tabel 3.4 dengan 5 responden di antaranya yang menjawab telah memberikan upah masing-masing sekitar Rp 500.000-Rp 1.000.000 per bulan (lihat Tabel 3.4). Sebagian besar atau sejumlah 16 responden (32%) memiliki hanya 1 orang tenaga kerja tetapi terdapat 4 responden lain (8%) yang memiliki pekerja sebanyak 2-4 orang, dan 1 responden (2%) memiliki hingga 5-7 pekerja. Jumlah ini lebih banyak dibandingkan yang terdapat di Kota Bandung, dan seperti penjelasan sebelumnya bahwa betapapun kecilnya jumlah tenaga kerja yang direkrut PKL dalam usahanya, dapat berarti pula bahwa satu orang tenaga kerja tersebut akan dapat membantu memenuhi kebutuhan hidup bagi keluarganya.
48
Lap Dikti Zarmawis Final 2009.indd Sec2:48
6/22/2010 6:24:34 PM
Perkiraan Kontribusi PKL Dalam Perekonomian Daerah
Tabel 3.4 Upah Tenaga Kerja Bukan Keluarga dalam Usaha PKL di Kota Yogyakarta
Keterangan < Rp 500.000/bulan Rp 500.0001.000.000/bulan Tidak Ada Tidak Menjawab Total
Jumlah Responden (PKL) 3 5
Persentase (%) 6 10
41 1 50
82 2 100
Sumber: Data Primer P2E LIPI, 2009.
Jika rata-rata 10 % dari jumlah PKL di masing-masing kota (Bandung dan Yogyakarta), tentu merupakan jumlah yang bukan sedikit upah yang diterima pekerja itu untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari bersama keluarganya. Implikasi lebih jauh dari peranan PKL dalam memberi nafkah kepada sebagian masyarakat jelas merupakan hal yang sangat positif bagi pemerintah kota. Artinya keberadaan PKL secara relatif telah meringankan beban pemerintah kota dalam menciptakan lapangan kerja yang akan mengurangi masalah sosial ekonomi, pengangguran, kemiskinan dan ketertiban/keamanan di kota tersebut.
3.3 Kontribusi PKL Terhadap Pendapatan Daerah 3.3.1 Sewa Lokasi/Tempat Usaha Sebanyak 39 responden di Kota Bandung (78%) lebih dominan menjawab tidak membayar untuk tempat usahanya. Di antara 10 orang responden yang menjawab bahwa mereka telah membayar
49
Lap Dikti Zarmawis Final 2009.indd Sec2:49
6/22/2010 6:24:34 PM
Chitra Indah Yuliana
tempat untuk usahanya, 1 orang di antaranya mengakui bayaran tersebut ditujukan kepada oknum petugas. Kemudian, sebanyak 6 orang menyatakan telah membayar kepada Pemerintah Daerah dan 3 orang lainnya membayar kepada pemilik lokasi tempat mereka berjualan. Sementara itu, responden di Kota Yogyakarta yang sebagian besar berdagang di dekat keramaian/pusat kota (sebanyak 46 orang atau 92%), dari total keseluruhan sebanyak 28 orang (56%) menyatakan telah membayar untuk tempat usaha tersebut. Sebagian besar (24% responden) di antaranya menyebutkan membayar biaya tersebut kepada Pemda, dan terdapat 5 orang (10% responden) yang menyatakan kepada oknum petugas. PKL lainnya membayar kepada koperasi-koperasi, perusahaan ataupun ke pihak universitas (UGM) yang menjadi lokasi usaha mereka. Tabel 3.5 Pihak yang Memungut Bayaran Sewa Tempat/Lokasi Usaha PKL Menurut Responden di Kota Bandung dan Kota Yogyakarta Keterangan Pemda Pemilik Oknum Lainnya Tidak Menjawab Tidak Membayar Total
PKL Bandung Jumlah Persentase Responden (%) (PKL) 6 12 3 6 1 2 0 0 1 2 39 78 50 100
PKL Yogyakarta Jumlah Persentase Responden (%) (PKL) 12 24 2 4 5 10 9 18 1 2 21 42 50 100
Sumber: Data Primer Tim Peneliti P2E LIPI, 2009
50
Lap Dikti Zarmawis Final 2009.indd Sec2:50
6/22/2010 6:24:34 PM
Perkiraan Kontribusi PKL Dalam Perekonomian Daerah
45 40 35
Pemda
30
Pemilik
25
Oknum
20
Lainny a
15
Tidak Menjaw ab
10
Tidak Membay ar
5 0
B and ung
Y o g yakar t a
Grafik 3.1 Jumlah Responden yang Membayar Sewa /Lokasi Tempat Usaha Berdasarkan Penerima di Kota Bandung dan di Kota Yogyakarta Sumber: Data Primer P2E LIPI, 2009
Tabel 3.6. menunjukkan besarnya jumlah biaya sewa tempat/ lokasi usaha yang dibayarkan oleh responden di Kota Bandung dan Kota Yogyakarta. Di antara responden di Kota Bandung yang menjawab telah membayar sewa tempat, sebagian besar (8 responden) membayar kurang dari Rp 500.000 per bulan. Namun demikian, ada pula yang menyatakan dengan biaya lebih dari Rp 1.000.000 per bulan. Lebih lanjut, responden di Kota Yogyakarta yang membayar sewa tempat untuk usaha mereka mayoritas juga dengan biaya kurang dari Rp 500.000 per bulan (36% responden), namun 12% responden lainnya menyatakan membayar tempat hingga lebih dari Rp 1.000.000 per bulan.
51
Lap Dikti Zarmawis Final 2009.indd Sec2:51
6/22/2010 6:24:34 PM
Chitra Indah Yuliana
Tabel 3.6 Jumlah Biaya Sewa Tempat/Lokasi Usaha PKL per Bulan di Kota Bandung dan Kota Yogyakarta Keterangan