0
PAPARAN BTP PENGAWET DAN PEMANIS PADA PANGAN YANG DIKONSUMSI ANAK USIA SEKOLAH DI KOTA PEKANBARU, RIAU
SEPTYA RHOZALYA NABILAH
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Paparan BTP Pengawet dan Pemanis pada Pangan yang Dikonsumsi Anak Usia Sekolah di Kota Pekanbaru, Riau adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, April 2015 Septya Rhozalya Nabilah NIM F251124081
RINGKASAN SEPTYA RHOZALYA NABILAH. Paparan BTP Pengawet dan Pemanis pada Pangan yang Dikonsumsi Anak Usia Sekolah di Kota Pekanbaru, Riau. Dibimbing oleh DIDAH NUR FARIDAH dan DEDI FARDIAZ. Bahan Tambahan Pangan (BTP) adalah bahan yang ditambahkan ke dalam pangan untuk mempengaruhi sifat atau bentuk pangan, tidak dimaksudkan untuk dikonsumsi secara langsung/tidak diperlakukan sebagai bahan baku pangan, baik yang mempunyai nilai gizi atau tidak. Jenis BTP yang banyak terdapat didalam produk pangan adalah pengawet dan pemanis terutama pada produk pangan industri yang biasa dikonsumsi oleh kelompok anak usia sekolah. Adanya peningkatan konsumsi suatu produk pangan, maka asupan BTP juga akan meningkat. Apabila BTP dikonsumsi secara berlebihan maka akan berdampak negatif terhadap kesehatan. Dengan memperhatikan hal tersebut diatas, untuk mengantisipasi penggunaan BTP dalam pangan yang semakin meluas, adanya isu keamanan pangan mengenai jenis pengawet dan pemanis yang digunakan, serta sebagai acuan dalam pengawasan, perlu dilakukan kajian paparan mengenai jenis BTP pengawet dan pemanis yang paling banyak dikonsumsi serta bagaimana paparan, dan analisis risikonya, sehingga dapat ditentukan apakah perlu atau tidaknya pengawasan lebih lanjut. Mengingat masih sedikitnya data kajian paparan BTP di tingkat nasional untuk menunjang penetapan batas maksimum BTP yang memadai. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui paparan BTP pengawet dan pemanis yang paling banyak dikonsumsi, karakteristik risikonya, dan kategori produk pangan apa yang paling berkontribusi berdasarkan nilai Theoretical Maximum Daily Intake (TMDI) untuk BTP pengawet dan pemanis serta nilai Estimated Daily Intake (EDI) untuk BTP pemanis yang diperoleh. Penelitian ini dilakukan melalui proses wawancara menggunakan metode 24-hours recall. BTP yang akan dipilih nantinya juga akan mempertimbangkan nilai ADI. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum rata-rata paparan BTP pengawet dan pemanis dari keseluruhan responden tingkat SD, SMP, dan SMA masih dibawah nilai ADI. Tetapi, jika dilihat berdasarkan TMDI per-responden terdapat total 103 responden (22.78%) dengan rincian: 77 responden SD (26.83%), 23 responden SMP (21.90%), dan 3 responden SMA (5.00%) yang tergolong risiko tinggi terhadap paparan benzoat dengan TMDI rata-rata 242.91 mg/org/hari (145.80% ADI). Sepuluh responden SD (3.48%) tergolong risiko tinggi terhadap paparan siklamat berdasarkan EDI atau berdasarkan kadar siklamat yang terdapat didalam produk dengan EDI rata-rata 344.41 mg/org/hari (120.88% ADI). Selain itu, terdapat 5 responden yang tergolong risiko tinggi terhadap paparan benzoat dan siklamat dengan rata-rata konsumsi benzoat 226.96 mg/org hari, dan konsumsi siklmat 362.42 mg/org/hari. Risiko yang diperoleh bisa lebih tinggi daripada hasil penelitian ini. Dalam penelitian ini, data yang diperoleh hanya berdasarkan produk pangan yang memiliki keterangan akan komposisi (ingredient) yang digunakan. Kategori produk pangan yang paling berkontribusi terhadap paparan BTP benzoat berasal dari kategori produk minuman kopi atau teh (64.30%) dan untuk pemanis siklamat berasal dari minuman serbuk (60.21%). Kata kunci : kajian paparan, pemanis, pengawet, anak usia sekolah
SUMMARY SEPTYA RHOZALYA NABILAH. Exposure to Food Additives Preservatives and Sweeteners on the Food Which is Consumed by School-Age Children in The City of Pekanbaru, Riau. Supervised by DIDAH NUR FARIDAH and DEDI FARDIAZ. Food Additive (BTP) is a substances that is added into certain food to affect the nature or form of the food, it is intended neither to be consumed directly nor to be treated as raw material for food, either it has any nutritional value or it hasn't any nutritional value . The most widely used BTP substances which are contained in food products are preservatives and sweeteners, especially in industrial food products that is commonly consumed by the group of school-age children. An increase in the consumption of the food product, will increase the BTP intake as well, and if BTP substances consumed in excessive amounts, it will cause a negative impact on health. Regarding to that fenomena, to anticipate widespread use of BTP materials on food, the food safety issues which is regarding the types of preservatives and sweeteners has used, as well as a reference in surveillance, the exposure assessment about the types of preservatives and sweeteners BTP that most widely has consumed and how it has exposed needs to be done and the risk analysis, so it can be determined whether it needs further scrutiny or not. Considering the the small number of the BTP exposure assessment data at the national level to be an adequate support to determinate the maximum limit of BTP. The aim of this study was to determine the exposure of preservatives and sweeteners BTP that the most widely consumed, the risk characteristics, and the most contributed food product categories by the value of Theoretical Maximum Daily Intake (TMDI) for BTP preservatives and sweeteners and value Estimated Daily Intake (EDI) for BTP sweetener has obtained. This research was conducted through interviews using a 24-hours recall. BTP being selected will also consider the value of the ADI. The results showed that in general, average exposure of preservatives and sweeteners of all elementary respondents, middle school respondents, and high school respondents is still below the ADI value. However, was viewed by TMDI perrespondents there were 103 respondents (22.78%) with details: 77 Elementary School respondents (26.83%), 23 junior high school respondents (21.90%), and 3 high school respondents (5.00%) were classified as high risk of benzoate exposure with TMDI of 242.91 mg/person/day (145.80% ADI) in average. Ten elementary respondents (3:48%) were classified as a high risk of cyclamate exposure based EDI or cyclamate levels that had contained in the EDI product with 344.41 mg/person /day (120.88% ADI) in average. The risks that was obtained could be higher than the results of this study, because the food products that had processed was the food products that has ingredients information that could be used. Categories of food products that contribute to the most benzoate BTP exposure are derived from coffee or tea (64.30%) as the drink product category, and for cyclamate sweetener derived from powder drink (60.21%).
Keywords: exposure assessment, sweeteners, preservatives, school-age children
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PAPARAN BTP PENGAWET DAN PEMANIS PADA PANGAN YANG DIKONSUMSI ANAK USIA SEKOLAH DI KOTA PEKANBARU, RIAU
SEPTYA RHOZALYA NABILAH
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pangan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis
: Dr Ir Hanifah Nuryani Lioe, M.Si
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Agustus 2014 ini ialah Bahan Tambahan Pangan (BTP) pengawet dan pemanis, dengan judul Paparan BTP Pengawet dan Pemanis pada Pangan yang Dikonsumsi Anak Usia Sekolah di Kota Pekanbaru, Riau. Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr. Didah Nur Faridah S.TP, M.Si dan Bapak Prof. Dr. Dedi Fardiaz M.Sc selaku pembimbing. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Riau serta Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Pekanbaru atas izin yang diberikan dalam melakukan penelitian. Selain itu, terima kasih juga penulis ucapkan kepada Bapak Amril dan Ibu Rosmala yang merupakan kedua orang tua penulis, Hazrina Adelia dan Chati Rifqi Rafif yang merupakan kakak dan adik dari penulis, serta kepada seluruh teman-teman yang senantiasa memberikan do’a, dukungan dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, April 2015 Septya Rhozalya Nabilah
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Hipotesis 2 TINJAUAN PUSTAKA Bahan Tambahan Pangan (BTP) Pengawet dan Aspek Keamanannya Pemanis dan Aspek Keamanannya Surveilan Keamanan Pangan Kajian Paparan Konsep Analisis Risiko 3 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan Metode Penelitian Preparasi Kegiatan Survei Konsumsi Pangan Food List dan Screening Pengolahan Data Paparan BTP Pengawet dan Pemanis (TMDI) Pengolahan Data Paparan BTP Pemanis (EDI) Penentuan Karakteristik Risiko Pengolahan Data Paparan Berdasarkan Kategori Produk Pangan 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Screening (Penyaringan Data) Tingkat Konsumsi Pangan Paparan BTP Pengawet Berdasarkan TMDI Karakteristik Risiko Pengawet Benzoat per-Responden Paparan BTP Pemanis Berdasarkan TMDI dan EDI Karakteristik Risiko Pemanis Siklamat per-Responden Responden yang Tergolong Risiko Tinggi terhadap Paparan Benzoat dan Siklamat Pembagian Wilayah Responden yang Berisiko Tinggi terhadap Paparan Benzoat dan Siklamat 5 SIMPULAN DAN SARAN DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN DAFTAR RIWAYAT HIDUP
iv iv iv 1 1 3 3 3 4 4 4 5 7 8 10 12 14 14 14 14 17 19 20 20 21 21 22 22 22 24 28 31 34 38 38 40 40 46 61
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Efek negatif dari beberapa jenis pengawet Efek negatif dari beberapa jenis pemanis Nilai ADI dari beberapa jenis pengawet dan pemanis Matriks penelitian terdahulu terkait kajian paparan BTP Matriks penelitian Jumlah total anak sekolah di Kota Pekanbaru Jumlah responden untuk setiap tingkat pendidikan Contoh perhitungan pengolahan data paparan benzoat (TMDI) Nilai min-max, dan nilai persentil ke-95 TMDI BTP pengawet Paparan BTP benzoat pada responden yang berisiko tinggi Perbandingan rata-rata nilai ADI, TMDI, EDI pemanis Nilai min-max, dan nilai persentil ke-95 EDI pemanis Nilai min-max, dan nilai persentil ke-95 TMDI pemanis Jumlah responden yang tergolong risiko tinggi terhadap paparan BTP pemanis
6 8 11 12 15 18 19 21 26 28 32 32 33 35
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 9
10 11 12 13 14
Kerangka analisis risiko Karakterisitik risiko Diagram alir penelitian Konsumsi rata-rata produk pangan yang mengandung benzoat dan sorbat Paparan BTP pengawet benzoat dan sorbat Kategori produk pangan yang berkontribusi terhadap paparan BTP pengawet Jumlah rata-rata konsumsi produk pangan yang mengandung benzoat dan dikonsumsi oleh responden yang berisiko tinggi (g/org/hari) Rata-rata TMDI benzoat responden yang berisiko tinggi berdasarkan kategori produk (mg/org/hari) Perbandingan jumlah rata-rata konsumsi produk pangan yang mengandung benzoat antara responden secara umum dan berisiko tinggi (g/org/hari) Perbandingan nilai rata-rata TMDI responden secara umum dan responden berisiko tinggi (mg/org/hari) Kategori produk pangan yang berkontribusi terhadap paparan BTP pemanis Jumlah rata-rata konsumsi produk pangan yang mengandung siklamat dan dikonsumsi oleh responden yang berisiko tinggi (g/org/hari) Rata-rata asupan siklamat (EDI) responden yang berisiko tinggi berdasarkan kategori produk (mg/org/hari) Perbandingan jumlah rata-rata konsumsi produk pangan yang mengandung siklamat antara responden secara umum dan berisiko tinggi (g/org/hari)
13 13 14 23 25 27 29 29 30
30 34 36 36 37
15 Perbandingan nilai rata-rata EDI siklamat responden secara umum dan responden berisiko tinggi (mg/org/hari) 16 Pembagian wilayah terhadap responden yang berisiko tinggi paparan BTP benzoat dan siklamat
38 39
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5 6 7
Kuesioner survei konsumsi pangan Gambar ukuran porsi pangan Kategori pangan Jumlah sekolah di Kota Pekanbaru Peta Kota Pekanbaru Perhitungan jumlah responden per-sekolah di setiap kecamatan Perbandingan penggunaan pemanis didalam produk terhadap peraturan BPOM 2014
46 51 54 56 57 58 59
1
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Dewasa ini penggunaan Bahan Tambahan Pangan (BTP) telah mengalami peningkatan. Tidak hanya disebabkan oleh keinginan konsumen yang menuntut adanya nilai praktis, dan keinginan untuk hidup lebih sehat. Namun, industri pangan juga dituntut untuk mampu memproduksi pangan yang bermutu, mempunyai stabilitas yang baik, dan memenuhi persyaratan perundang-undangan yang berlaku. Jenis BTP yang banyak digunakan didalam produk pangan adalah pemanis dan pengawet terutama pada produk pangan kemasan seperti bolu, aneka minuman, aneka permen dan sebagainya dengan tujuan untuk memperpanjang masa simpan, memperlambat kerusakan produk, mempertahankan mutu, meningkatkan rasa manis, dan mengurangi nilai kalori (Moreaes dan Bolini 2009). Dalam menetapkan suatu standar, termasuk penentuan batas maksimum penggunaan BTP didalam produk pangan, diperlukan adanya penerapan prinsipprinsip analisis risiko antara lain kajian risiko, manajemen risiko, dan komunikasi risiko. Melalui analisis risiko diharapkan nantinya dapat diperoleh suatu proses secara sistematis dan transparan dalam mengumpulkan, menganalisa, dan mengevaluasi informasi ilmiah maupun non ilmiah yang relevan akan bahaya yang mungkin terdapat didalam pangan, serta sebagai landasan keputusan untuk memilih opsi terbaik dalam menangani risiko tersebut berdasarkan pada berbagai alternatif yang diidentifikasi (Rahayu dan Kusumaningrum 2004). Menurut Food Standard Agency (2007) terdapat beberapa efek negatif dari beberapa jenis BTP khususnya pengawet dan pemanis. Pengawet natrium benzoat yang banyak digunakan didalam minuman berkarbonat, saos tomat, saos sambal, dan kecap dapat memperburuk asma, merusak saraf, mengakibatkan hiperaktif pada anak, dan kelainan janin. Penggunaan siklamat dilarang di beberapa negara seperti Amerika, Inggris, dan Jepang, karena dapat mengakibatkan penyakit tumor kandung kemih pada hewan coba yang diberi siklamat dengan konsentrasi tinggi (Price et al. 1970). Didalam analisis risiko dikenal dengan adanya nilai ADI. Nilai ADI merupakan jumlah miligram per kilogram berat badan zat atau BTP yang aman dikonsumsi seumur hidup, tanpa menimbulkan efek yang merugikan terhadap kesehatan. Pendekatan terhadap nilai ADI dapat ditentukan diantaranya melalui metode TMDI dan EDI. Metode TMDI ditentukan berdasarkan kadar maksimum dari peraturan yang telah ditetapkan, sedangkan EDI berdasarkan penggunaan BTP didalam produk (WHO 2009). Salah satu syarat utama BTP dapat dilakukan analisis risiko ataupun kajian paparan BTP dalam suatu populasi adalah produk pangan harus memiliki nilai ADI (CAC 1989). Menurut Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) (2013), nilai ADI yang ditetapkan untuk beberapa pengawet antara lain 0-5mg/kg berat badan (bb) untuk benzoat, 0-25mg/kg bb untuk sorbat, 0-0,7mg/kg bb untuk sulfit, dan lainnya, sedangkan untuk pemanis, nilai ADI yang ditetapkan antara lain 0-40 mg/kg bb untuk aspartam, 0-5 mg/kg bb untuk sakarin, dan 0-11 mg/kg bb untuk siklamat (BPOM 2014).
2
Di Indonesia, pengawasan BTP yang dilakukan oleh BPOM saat ini umumnya masih terbatas pada tingkat penggunaan BTP yaitu melalui pendaftaran (regristasi) produk pangan dan melalui pengujian produk pangan baik di sarana produksi maupun distribusi pangan. Studi atau pengawasan yang dilakukan oleh BPOM atau lembaga lain terhadap tingkat konsumsi BTP dalam masyarakat jarang dilakukan. Selama ini, BPOM umumnya memanfaatkan hasil studi tingkat konsumsi BTP yang dilakukan Codex, negara maju, dan beberapa negara tetangga dalam penetapan peraturan penggunaan BTP. Padahal tingkat konsumsi BTP di masing-masing negara berbeda, hal ini disebabkan pola konsumsi pangan masyarakat di masing-masing negara tersebut juga berbeda. Berdasarkan perihal diatas, untuk mengantisipasi penggunaan BTP dalam pangan yang semakin meluas, adanya isu keamanan pangan mengenai jenis pengawet dan pemanis yang digunakan, serta sebagai acuan dalam pengawasan, perlu dilakukan kajian paparan mengenai jenis BTP pengawet yang paling banyak dikonsumsi serta bagaimana analisis risiko, sehingga dapat ditentukan apakah perlu atau tidaknya pengawasan lebih lanjut. Mengingat masih sedikitnya data kajian paparan BTP di tingkat nasional untuk menunjang penetapan batas maksimum BTP yang memadai. Hingga saat ini kajian paparan suatu BTP berdasarkan pangan yang dikonsumsi oleh kelompok anak-anak jarang dilakukan (Hilbig et al. 2004). Kebanyakan studi yang dilakukan fokus pada kelompok dewasa. Padahal kelompok anak usia sekolah lebih banyak mengkonsumsi makanan dan berbagai jenis minuman jika dibandingkan dengan kelompok dewasa (Kroes et al. 2002). Kelompok anak-anak dan remaja yang semakin sibuk akan cenderung tidak memiliki waktu untuk makan seperti biasanya, sehingga terpaksa mereka harus mengkonsumsi snack untuk memenuhi kebutuhan fisiologisnya (Sulaeman 2003). Kelompok anak usia sekolah merupakan kelompok yang mempunyai tingkat konsumsi makanan jajanan yang cukup tinggi dan rentan terhadap paparan BTP (BPOM 2009). Hasil evaluasi yang dilakukan oleh Nielson et al. (2002) menunjukkan terjadinya peningkatan snacking di semua kategori (6-12 thn, dan 13-18 thn) sebesar 24-32%. Snacking didefinisikan sebagai kegiatan seseorang yang mengonsumsi makanan diluar makanan utama. Perubahan/ peningkatan kegiatan snacking ini mengakibatkan peningkatan asupan kalori dari snack sebesar 30% (462 dan 612 Kal/hari pada anak usia 6-12 dan 13-18). Data-data diatas juga sejalan dengan observasi yang dilakukan oleh Jahns et al. (2001) yang menunjukkan adanya peningkatan konsumsi snack, permen dan minuman ringan dari tahun 1977-1996. Berdasarkan hasil tersebut, pola konsumsi pangan yang menjadi kajian dalam penelitian ini adalah pola konsumsi pangan pada kelompok anak usia sekolah di Kota Pekanbaru. Wilayah Pekanbaru dikenal sebagai daerah urbanisasi, banyaknya produk pangan fabrikasi yang beredar baik makanan ataupun minuman dan berasal dari dalam negeri (MD) ataupun luar negeri (ML). Menurut Badan Pusat Satatistik (BPS) (2013), pada tahun 2010 rata-rata konsumsi makanan dan minuman olahan per kapita per hari nomor tiga terbanyak setelah kelompok padipadian dan kelompok oil & fats, yaitu sebesar 292,53 kalori. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah 24-hour recall method dengan melakukan proses wawancara mengenai produk pangan apa saja yang dikonsumsi selama 24 jam yang lalu. Produk pangan yang dikonsumsi dibuat
3
daftar serta ditentukan prioritas BTP pemanis dan pengawet yang akan dievaluasi kajian paparannya, karakteristik risiko, dan kategori produk pangan apa yang paling berkontribusi terhadap paparan BTP berdasarkan TMDI (BTP pengawet dan pemanis) dan berdasarkan EDI (BTP pemanis). Perumusan Masalah BTP pengawet dan pemanis merupakan BTP yang banyak digunakan pada produk pangan industri khususnya pada produk pangan yang biasa dikonsumsi oleh anak usia sekolah. Di Indonesia saat ini, pengkajian paparan suatu BTP terhadap pola konsumsi pangan jarang dilakukan terutama pada kelompok anak usia sekolah. Padahal jika dilihat di Good Standard of Food Additives (GSFA) yang telah disesuaikan dengan kondisi di Indonesia, masih banyak jenis produk pangan dan BTP yang belum dilakukan monitoring terhadap paparan khususnya BTP pengawet dan pemanis. Kelompok anak usia sekolah merupakan kelompok yang mempunyai tingkat konsumsi makanan jajanan yang cukup tinggi dan rentan terhadap paparan BTP terutama di wilayah Kota Pekanbaru. Kota Pekanbaru merupakan wilayah urbanisasi dengan banyaknya produk pangan industri yang beredar baik dari dalam negeri ataupun luar negeri. Dengan demikian hal tersebut dapat memberikan konsekuensi terhadap tingginya asupan BTP melebihi batas yang diizinkan. Tujuan Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah dikemukakan sebelumnya, maka penelitian yang dilakukan bertujuan untuk : 1. Melakukan screening jenis BTP pengawet dan pemanis yang dikonsumsi oleh anak usia sekolah di Kota Pekanbaru. 2. Mempelajari tingkat paparannya berdasarkan tingkat pendidikan (SD, SMP, SMA) yang ada di Kota Pekanbaru, sehingga dapat diketahui tingkat pendidikan mana yang paling dominan terpapar BTP pengawet dan pemanis. 3. Mempelajari karakteristik risiko berdasarkan nilai TMDI untuk BTP pengawet dan pemanis serta EDI untuk BTP pemanis. 4. Mempelajari kategori atau jenis produk pangan apa yang memberikan kontribusi terbesar terhadap paparan BTP berdasarkan nilai TMDI untuk BTP pengawet dan pemanis serta EDI untuk BTP pemanis. Manfaat Manfaat yang diharapkan dari penelitin ini antara lain : 1. Mengetahui jenis BTP pengawet dan pemanis apa yang paling banyak dikonsumsi oleh anak usia sekolah yang ada di Kota Pekanbaru. 2. Evaluasi paparan BTP pengawet dan pemanis yang paling banyak dikonsumsi yang berasal dari berbagai produk pangan yang telah terdaftar terhadap nilai ADI, sehingga dapat menjadi bahan pertimbangan oleh pihak terkait dalam meninjau ulang standar penggunaan pengawet dan pemanis tersebut didalam produk pangan
4
3. Sebagai masukan untuk mereview nilai peraturan maksimum level dari BTP yang bersangkutan. 4. Menjadikan model untuk melakukan kajian paparan BTP lainnya didalam produk pangan. Hipotesis 1. Tingkat pendidikan yang berbeda berpengaruh terhadap paparan BTP pengawet dan pemanis pada produk pangan yang dikonsumsi anak usia sekolah di Kota Pekanbaru. 2. Ada sebagian populasi dari anak usia sekolah di Kota Pekanbaru mengkonsumsi produk pangan yang mengandung BTP melebihi nilai ADI yang diizinkan (high risk). 3. Pengaruh berat badan (kg) terhadap karakteristik risiko responden.
2 TINJAUAN PUSTAKA Bahan Tambahan Pangan Bahan Tambahan Pangan (BTP) adalah suatu substansi atau campuran substansi, selain dari ingredient utama pangan, yang berada dalam suatu produk pangan sebagai akibat dari suatu aspek produksi, pengolahan penyimpanan, atau pengemasan (tidak termasuk kontaminan) (Branen et al. 2002). Di Indonesia, apabila mengutip pada Surat Keputusan Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) No. 36 tahun 2013, yang dimaksud dengan BTP adalah bahan yang ditambahkan ke dalam pangan untuk mempengaruhi sifat atau bentuk pangan, tidak dimaksudkan untuk dikonsumsi secara langsung/ tidak diperlakukan sebagai bahan baku baku pangan, serta baik yang mempunyai nilai gizi atau tidak. CAC (2006) menyebutkan bahwa batas maksimum penggunaan BTP adalah kadar maksimum BTP yang diizinkan dan aman ditambahkan kedalam produk pangan, dinyatakan dalam miligram (mg) BTP per kilogram (kg) pangan. CAC (2005) juga menyebutkan bahwa tujuan utama menetapkan batas penggunaan BTP yang diizinkan didalam berbagai kelompok pangan adalah untuk menjamin bahwa asupan BTP tidak melebihi Acceptable Daily Intake (ADI) atau asupan harian yang dapat diterima. ADI adalah istilah untuk menentukan dosis yang aman dan diizinkan bagi produk pangan yang dikonsumi setiap hari dan dinyatakan sebagai jumlah BTP per kilogram (kg). BTP diklasifikasikan kedalam beberapa kelompok antara lain; pewarna, pemanis, pengawet, pengkelat, penyedap rasa dan aroma, penguat rasa, pengatur keasaman, pengemulsi, dan sebagainya. Penggunaan BTP didalam produk biasanya ditunjukkan didalam label produk, dan itu merupakan aspek yang penting ketika ingin mencari dan mengevaluasi tingkat penggunaan dari bahanbahan tersebut (Kroes et al. 2002) BTP pengawet seperti garam, vinegar, asam sorbat, dan kalsium propionat digunakan didalam produk antara lain produk pangan yang dipanggang, salad dressing, keju, margarin, dan pikel. Antioksidan seperti vitamin C, E, BHT, dan BHA digunakan didalam produk yang mengandung lemak yang tinggi. Agen pengkelat seperti asam sitrat, asam malat, dan asam tartarat digunakan untuk
5
mencegah perubahan rasa, perubahan warna, dan ketengikan dari produk pangan. Selain itu, BTP juga bisa digunakan untuk menghambat terjadinya kebusukan, mengganti nutrisi hilang selama proses pengolahan, serta membuat produk pangan mempunyai penampakan yang lebih menarik (Paundhey dan Upadhyay 2012). Dan hal tersebut sangat penting dugunakan didalam industri-industri makanan, untuk menjaga kualitas serta menjamin keamanan pangan (Lino et al. 2008). Pengawet dan Aspek Keamanannya Pada mulanya, teknik pengawetan makanan terdiri dari teknik pengasapan serta pengasinan menggunakan garam nitrat. Dengan adanya evolusi di bidang sains dan teknologi, adanya penemuan akan zat-zat baru mulai dikembangkan, yang memainkan perbedaan peranan didalam produk pangan (Janina et al. 2013). Semenjak abad ke-20, peranan BTP khususnya bahan pengawet menjadi semakin penting sejalan dengan kemajuan teknologi produksi BTP sintetis. Banyaknya BTP yang tersedia secara komersil dan dengan harga yang relatif murah akan mendorong meningkatnya pemakaian BTP yang berarti meningkatkan konsumsi BTP tersebut bagi setiap individu (Cahyadi 2012). Pengawet merupakan suatu zat yang mempunyai kemampuan untuk memperpanjang umur simpan dari suatu produk pangan dengan melindungi mereka terhadap kerusakan dan pertumbuhan mikroorganisme patogen. Pengawet mempunyai sifat sebagai antimikroba yang diinzinkan sebagai BTP dalam berbagai produk pangan untuk menghambat pertumbuhan dari kapang, khamir, dan bakteri (Mota et al. 2003). Jenis pengawet yang sering digunakan dalam berbagai macam produk pangan antara lain benzoat dan sorbat terutama pada produk beverages seperti minuman ringan (Dong dan Wang 2006). CAC (2010) menyebutkan bahwa tujuan penggunaan pengawet pada pengolahan pangan adalah sebagai zat antimikroba, antimikotik, pengontrol bakteriofag, fungistatik, dan sebagainya. Bahan pengawet tidak hanya diperlukan oleh industri pangan skala besar, tetapi juga oleh industri pangan skala menengah, kecil, dan pengusaha jasa boga lainnya (Easa 2010). Adapun prinsip proses pengawetan pada produk pangan adalah menghambat pertumbuhan mikroba dengan membuat kondisi lingkungan yang tidak sesuai bagi pertumbuhan mikroba sehingga memperpanjang fase lag pertumbuhannya seperti dengan menurunkan pH, dan Aw produk pangan. Bahan pengawet akan merusak dinding sel mikroba sehingga bocor, menganggu sintesis organel sel, dan menganggu metabolisme sel (Jay et al. 2005). Saat ini, penggunaan BTP pengawet dalam proses produksi pangan perlu diwaspadai bersama, baik oleh pihak industri pangan maupun setiap individu yang terkait dengan produksi pangan (Wijaya et al. 2012). Dampak penggunaan atau pengkonsumsian BTP khususnya pengawet akan berakibat positif maupun negatif bagi masyarakat, terutama jika mengkonsumsi bahan tambahan pengawet yang berlebihan oleh generasi muda sebagai penerus pembangunan bangsa. Beberapa efek samping yang dapat ditimbulkan oleh pengawet, yaitu asidosis metabolik, kekejangan, reaksi alergi, hiperpnea didalam percobaan dengan menggunakan hewan coba (Tfouni dan Toledo 2002). Selain itu, pada beberapa penelitian juga menyebutkan adanya efek toksisitas yang ditimbulkan oleh beberapa pengawet makanan, antara lain seperti yang terdapat pada Tabel 1.
6
Tabel 1 Efek negatif dari beberapa jenis pengawet Pengawet
Status Jenis Pangan Penggunaan Tidak dilarang Minuman berkarbonat, pikel, saus tomat, saus sambal, kecap
Efek Negatif
Referensi
Memperburuk asma, merusak saraf, hiperaktif, karsinogenik, dan kelainan janin.
Food Standard Agency 2007
Sulfur dioksida
Tidak dilarang Minuman berkarbonat, buah kering, jus, produk kentang.
Iritasi pada lambung, mual, diare, serangan asma, ruam kulit, merusak vitamin B1, kelainan janin, dan merusak DNA di hewan coba.
Paundhey dan Upadhyay 2012
Garam nitrat
Menurunkan Tidak dilarang Cured meat, dan produk oksigen didalam daging kaleng. darah, membentuk nitrosamin (karsinogenik), dan menimbulkan efek negatif di kelenjar adrenal.
Paundhey dan Upadhyay 2012
Asam benzoat
Tidak dilarang Minuman Alergi, merusak sereal, dan fungsi enzim, dan produk daging gangguan pernapasan
Paundhey dan Upadhyay 2012
Kalsium sulfit
Di Amerika, penggunaan sulfit ke dalam produk pangan dilarang, termasuk daging
Paundhey dan Upadhyay 2012
Natrium benzoat
Biskuit, udang beku, jamur beku, sari nenas, dan lain-lain.
Tekanan darah rendah, shock, menimbulkan masalah terhadap bronkial, gangguan pernapasan, dan emfisema.
7
Pemanis dan Aspek Keamanannya Pemanis buatan adalah BTP yang dapat menyebabkan rasa manis pada produk pangan yang tidak atau sedikit mempunyai nilai gizi atau kalori (SNI 2004). Penggunaan pemanis buatan yang terkenal sebagai pemanis alternatif dan murah dalam industri makanan cenderung mengalami peningkatan (Nelson 2000). Seperti yang dilaporkan oleh Cahyadi (2012) berdasarkan data statistik industri pangan bahwa adanya peningkatan penggunaan pemanis buatan di produk teh dalam botol, limun, dan sirup sebesar 47.90%; 1.20%; dan 52.70%. Apabila dilihat dari data pemakaiannya selama 5 tahun terakhir peningkatan penggunaan pemanis buatan rata-rata sebesar 13.50%. Efek kesehatan dan aspek keamanan pangan merupakan isu-isu penting bagi konsumen saat ini. Meskipun adanya pendapat yang menyatakan bahwa konsumsi produk pangan yang tersedia di pasar bukan merupakan risiko untuk penyakit akut atau efek kesehatan yang merugikan di kemudian hari. Namun, beberapa konsumen prihatin tentang keamanan produk pangan tertentu terutama yang menggunakan aditif. Pemanis termasuk salah satu aditif makanan yang menciptakan sebagian besar perdebatan (Mortensen 2006). Pemanis dianggap BTP yang potensial dikonsumsi tinggi oleh konsumen karena penggunaannya dalam produk dikonsumsi dalam jumlah besar, seperti: minuman ringan, permen, permen karet, makanan penutup seperti puding, agar-agar, dan es krim. Selain itu, beberapa pemanis buatan juga tersedia untuk digunakan sebagai table top sweeteners, yang penggunaannya tinggal ditambahkan langsung ke kopi, teh, buah-buahan, sereal sarapan, dan lain-lain (Ashurst 2005). Meskipun bukti ilmiah menunjukkan bahwa pemanis diizinkan untuk penggunaan makanan, namun beberapa organisasi tetap memperhatikan tentang risiko kesehatan jangka panjang yang mungkin akan ditimbulkan, terutama bagi individu yang tergolong konsumen yang mengkonsumsi pemanis dalam level yang tinggi. Adapun beberapa efek negatif yang mungkin dapat ditimbulkan oleh pemanis buatan dapat dilihat pada Tabel 2.
8
Tabel 2 Efek negatif dari beberapa jenis pemanis Pemanis Aspartam
Status Penggunaan Tidak dilarang
Jenis Pangan Table top sweeteners, yoghurt, es krim, selai, minuman ringan, dan lain-lain.
Efek Negtif
Referensi
Assesulfam K
Tidak dilarang
Table top sweeteners, es krim, makanan yang diawetkan, minuman ringan.
Menyebabkan kanker di hewan coba, dan mutagenisitas,
Sakarin
Dilarang di German, Malaysia, Spanyol, Thailand, Perancis, Portugal, Taiwan, dan Israel.
Mustards, selai, desserts, buah kaleng, chewing gum dan lain-lain.
Menyebabkan Saulo kanker, tumor 2005; di hewan coba. Paundhey dan Upadhyay 2012.
Kerusakan Olney et al. saraf khusunya 1996 bagi anak-anak yang sedang dalam pertumbuhan, merusak perkembangan otak, berbahaya bagi penderita fenilketeuria. Paundhey dan Upadhyay 2012.
Surveilan Keamanan Pangan Surveilan keamanan pangan didefenisikan sebagai kegiatan pengumpulan, analisis, dan interpretasi data yang berhubungan dengan keamanan pangan secara sistematis dan berkelanjutan, sehingga menjadi informasi yang dapat disebarkan kepada pihak yang membutuhkan untuk perencanaan, implementasi, dan pengkajian kebijakan pangan (Arnold dan Munce 2000); (Sharp dan Reily 2000). Adapun informasi yang dimaksud adalah informasi mengenai kecenderungan keamanan pangan yang dapat dijadikan bukti ilmiah (evidence based) untuk ditindaklanjuti. Secara garis besar ada sembilan tahap pelaksanaan surveilan pada rantai pangan, yaitu: (1) mengidentifikasi masalah yang ada, (2) melakukan tinjauan pustaka dan studi yang dilakukan sebelumnya, (3) menentukan tujuan, (4)
9
membuat protokol pelaksanaan survei, (5) mengambil sampel, (6) mengumpulkan data, (7) menganalisa masalah, (8) membuat laporan akhir, dan (9) menindak lanjuti hasil survei dari data yang diperoleh (Sparinga 2002). Dengan adanya surveilan akan keamanan pangan, diharapkan hasil yang diperoleh nantinya dapat digunakan atau ditindaklanjuti guna memudahkan pengendalian risiko (risk management) dari risiko-risiko yang mungkin ditimbulkan. Berdasarkan laporan yang dibuat oleh BPOM pada tahun 2009 tentang profil pangan jajanan anak sekolahan (PJAS) nasional (4.500 SD di 79 kab/kota di Indonesia), makanan ringan merupakan kelompok makanan yang banyak ditemukan yaitu sebesar 54% diikuti minuman dan makanan utama. Untuk kelompok makanan ringan, produk yang paling banyak dijual adalah jenis produk ekstruksi (23.00 %), dan aneka gorengan (21.00%), diikuti jenis produk lainnya seperti chips, roti, wafer, permen, dan lain-lain. Untuk kelompok minuman; minuman es, dan minuman ringan kemasan mendominasi profil pangan jajanan anak usia sekolah. Dimana seperti yang diketahui, kelompok makanan ringan serta minuman yang paling mendominasi merupakan produk yang kemungkinan menggunakan BTP pengawet dan pemanis didalam produknya. Semakin banyak pedagang yang menjual produk-produk tersebut, maka akan semakin besar peluang anak usia sekolah untuk membelinya, sehingga diperlukan adanya surveilan keamanan pangan terutama tentang BTP pengawet dan pemanis yang dikonsumsi oleh anak usia sekolah. Adapun beberapa metode yang bisa dilakukan ketika melakukan survei konsumsi pangan pada anak usia sekolah antara lain: ● Dietary records Dalam hal ini, responden mencatat jumlah masing – masing makanan dan minuman yang dikonsumsi selama beberapa hari. Idealnya, metode ini dilakukan pada saat responden makan, untuk mencegah ketergantungan pada memori. Jumlah yang dikonsumsi dapat diukur menggunakan skala atau barang rumah tangga, misalnya cangkir atau sendok makan. Selain itu, nama makanan dan merk juga perlu dicantumkan. Periode pencatatan yang lebih dari 4 hari biasanya menghasilkan data konsumsi yang kurang baik, dan dilaporkan adanya penurunan tingkat asupan, karena responden yang mengalami “keletihan/ kejenuhan” serta adanya perbedaan sistematis antara orang-orang yang mematuhi dengan yang tidak mematuhi proses pencatatan pangan yang dikonsumsi (Coulston et al. 2008). ● 24-Hour Recall Metode mengingat konsumsi pangan 24 jam yang lalu merupakan metode survei konsumsi kuantitatif dimana responden diminta untuk mengingat dan melaporkan semua makanan dan minuman yang dikonsumsi dalam 24 jam sebelumnya atau pada hari sebelumnya melalui telepon (Casey et al. 1999) atau bertatap muka dengan menggunakan kertas kuesioner (Arab et al. 2010). Metode 24-hour recall merupakan metode yang digunakan oleh US. National Health and Nutrition Examination Survey (NHANES) dalam melakukan survei konsumsi pangan (Raper et al. 2004). Selain itu, menurut Joint FAO/ WHO Expert Commitee on Food Additives (JECFA 2001) paparan pengkonsumsi terbaik diperoleh dari survei jangka pendek (24 jam). ● Food Weighing Method Pada metode ini, bahan pangan yang akan dikonsumsi akan langsung ditimbang. Setiap responden akan diberikan timbangan makanan dan diberitahu
10
cara penggunaanya. Namun, metode ini kurang cocok untuk diterapkan dalam skala besar karena biayanya yang cukup besar. Selain itu, metode ini memberikan tugas yang cukup berat bagi responden, sehingga menyebabkan tingkat kesanggupan yang lebih rendah dibandingkan metode lainnya, terutama jika responden berasal dari kelompok anak-anak (BPOM 2004). Di bidang pangan diperlukan sesuatu yang lebih baik untuk masa yang akan datang, yaitu pangan yang aman untuk dikonsumsi, lebih bermutu, bergizi, dan lebih mampu bersaing dalam pasar global. Kebijakan mengenai keamanan pangan terutama yang berkaitan dengan peraturan penggunaan BTP didalam produk pangan pada dasarnya merupakan bagian integral dari kebijakan pangan nasional dan sudah tercantum didalam Peraturan Menteri Kesehatan (PerMenKes) Republik Indonesia Nomor. 36 Tahun 2013. Namun hingga saat ini belum ada data yang menyediakan mengenai informasi jenis BTP pengawet apa yang sebenarnya paling banyak dikonsumsi oleh konsumen dan bagaimana kajian paparannya ke dalam individu konsumen, terutama bagi populasi anak-anak dan remaja yang dianggap paling rentan. Banyak studi atau penelitian di negaranegara lainnya yang menjelaskan bahwa asupan makan tertinggi terjadi pada kelompok anak-anak usia sekolah. (Goyal et al. 2011). Seperti yang terdapat di negara Swedia, konsumsi siklamat untuk kelompok anak-anak mencapai 300% dari nilai ADI, dan 169% untuk assesulfamK (Ilback et al. 2003). Di Inggris hanya siklamat yang telah melebihi nilai ADI, yaitu sekitar 118% ADI, sedangkan untuk aspartam dan sakarin belum melebini nilai ADI yang telah ditetapkan (Renwick et al. 2006). Sementara untuk pengawet, di Austria dilaporkan bahwa konsumsi benzoat telah melebihi nilai ADI untuk kelompok anak-anak (135%), dan konsumsi sulfit telah melebihi nilai ADI untuk kelompok remaja dan dewasa (119% dan 124%) (Daniela et al. 2011). Kajian Paparan Perubahan gaya hidup, kebiasaan makan, dan urbanisasi merupakan faktor kunci akan peningkatan konsumsi pangan yang ada di suatu daerah (Kearney 2010). Dengan adanya peningkatan konsumsi akan suatu produk pangan fabrikasi, maka asupan aditif makanan juga akan meningkat. Hal tersebut merupakan suatu bentuk keprihatinan karena banyak BTP yang dapat memiliki efek negatif terhadap kesehatan manusia jika dikonsumsi secara berlebihan (Suh et al. 2005). Efek racun dari berbagai bahan aditif makanan saat ini telah didokumentasikan oleh Joint FAO/ WHO Expert Commitee on Food Additives (JECFA). Salah satu studi yang paling terkenal sampai saat ini yang terkait akan asupan BTP adalah studi mengenai pengawet makanan yang memberikan efek buruk terhadap prilaku anak-anak pada usia 3 tahun, dan 8-9 tahun. Para peneliti menyimpulkan bahwa natrium benzoat dapat meningkatkan hiperaktivitas pada kedua kelompok anak (EFSA 2008) . Untuk menilai apakah bahan tambahan pangan bisa memberikan risiko terhadap kesehatan, maka penelitian mengenai tingkat asupan pangan atau yang biasa dikenal dengan exposure assessment (kajian paparan) terutama pada kelompok anak usia sekolah perlu dilakukan (Poulsen 1991). Codex Alimentarius Commission (CAC) mendefenisikan kajian paparan sebagai kualitatif atau kuantitatif evaluasi dari asupan kemungkinan senyawa-senyawa biologi, kimia,
11
dan fisika melalui makanan, serta paparan dari sumber lainnya (FAO/WHO 2008). Pengkajian paparan suatu BTP berdasarkan data konsumsi pangan pada dasarnya menggabungkan data konsumsi pangan dengan data konsentrasi BTP (food additive) yang terdapat didalam makanan tersebut. Perkiraan paparan BTP yang dihasilkan nantinya dapat dibandingkan dengan hal yang berhubungan dengan kesehatan, terkait dengan adanya risiko atau tidak adanya risiko yang akan ditimbulkan dari mengkonsumsi senyawa kimia khususnya BTP yang berasal dari makanan-makanan tersebut (WHO 2000). Selain itu, hasil estimasi yang didapat nantinya akan dibandingkan dengan nilai health reference yaitu ADI (Acceptable Daily Intake). Secara umum nilai ADI dari beberapa jenis pengawet dan pemanis yang digunakan untuk produk pangan berdasarkan peraturan BPOM tahun 2013 untuk pengawet dan tahun 2014 untuk pemanis dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Nilai ADI dari beberapa jenis pengawet dan pemanis No. 1. 2. 3 4 5
Jenis Pengawet Asam sorbat dan garamnya Asam benzoat dan garamnya Sulfit Nitrit Nitrat
Nilai ADI 0-25 mg/ kg bb
Jenis Pemanis Aspartam
Nilai ADI 0-40 mg/kg bb
0-5 mg/kg bb
Assesulfam-K
0-15 mg/kg bb
0-0.7 mg/kg bb Alitam 0-0.06 mg/kg bb Siklamat 0-3.7 mg/kg bb Sakarin
0-0.34 mg/kg bb 0-11 mg/kg bb 0-5 mg/kg bb
Selain itu, dalam US FDA (2006) juga disebutkan bahwa dua jenis informasi yang diperlukan untuk memperkirakan paparan BTP adalah data konsumsi pangan dan kadar BTP dalam pangan. Paparan BTP dapat dihitung dengan mengalikan jumlah BTP yang terdapat dalam produk pangan dan jumlah konsumsi pangan tersebut. Data kadar BTP dapat diperoleh dari kadar penggunaan BTP dalam produk pangan (kadar maksimum atau kadar penggunaan yang direkomendasikan), menghitung kadarnya dalam pangan yang dikonsumsi, nilai limit of detection (LOD) atau nilai limit of quatification (LOQ) dengan metode analitik. Adapun penelitian-penelitian terdahulu yang terkait akan pengkajian paparan BTP dalam suatu produk pangan di Indonesia ataupun di beberapa negara lainnya dapat dilihat pada Tabel 4.
12
Tabel 4 Matriks penelitian terdahulu terkait kajian paparan BTP No. 1.
2.
3.
4.
Penelitian Referensi Kajian paparan pewarna Tatrazin dengan Anisyah 2009 menggunakan maksimum level dan data sekunder dari BPOM pada produk-produk fabrikasi/ produkproduk industri pada kelompok anak-anak, remaja, dan dewasa di wilayah Jakarta Utara. Kajian paparan bahan tambahan pangan “pengawet” Daniela et al. (sulfit, benzoat, dan asam sorbat) melalui analisa 2011 laboratorium (HPLC) terhadap produk pangan yang dikonsumsi kelompok anak-anak, dan dewasa di Austria Kajian paparan pengawet nitrit pada pangan olahan Lee et al. dengan menggunakan maksimum level konsentrasi 2005 nitrit berdasarkan kategori produk di Korea. Kajian risiko pada bahan tambahan pangan yang Janina 2013 terdapat pada minuman ringan yang dikonsumsi masyarakat Portugal dengan menggunakan metode HPLC. Konsep Analisis Risiko
Analisis risiko merupakan „generasi ketiga‟ dari sistem keamanan pangan setelah Good Hygine Practice dan Hazard Analysis Critical and Control Point (HACCP). Analisis risiko (Risk Analysis) secara sistematis memfokuskan pada penanggulangan akan kemungkinan terjadinya gangguan kesehatan, jika mengkonsumsi pangan yang mengandung sesuatu yang berbahaya atau yang memiliki risiko tersendirinya. Melalui analisis risiko diharapkan dapat diperoleh suatu proses yang secara sistematis, dan transparan dapat mengumpulkan, menganalisa, dan mengevaluasi informasi ilmiah maupun non-ilmiah yang relevan tentang bahaya kimia, mikrobiologis maupun fisik yang mungkin terdapat dalam pangan (Rahayu et al. 2004). Sebagai proses pengambilan keputusan yang terstruktur, analisis risiko dibagi dalam tiga komponen (Gambar 1), yang menurut Codex Alimentarius Commission (CAC) adalah: kajian risiko, manajemen risiko, dan komunikasi risiko (WHO 2005).
13
Gambar 1 Kerangka analisis risiko (WHO 2000). Berdasarkan gambar diatas, dapat dikatakan bahwa kajian risiko adalah suatu proses penentuan risiko yang berlandaskan data-data ilmiah yang terdiri dari empat tahapan, yaitu; identifikasi bahaya, karakterisasi bahaya, kajian paparan, dan karakteristik risiko. Manajemen risiko secara prinsip adalah suatu proses yang terpisah dari kajian risiko yang meliputi pembuatan dan penerapan kebijakan dengan mempertimbangkan masukan dari pihak-pihak terkait mengenai kajian risiko dan faktor lain yang relevan untuk melindungi kesehatan konsumen, dan jika diperlukan memilih opsi pencegahan serta pengendalian yang sesuai untuk menanggulangi risiko. Komunikasi risiko merupakan pertukaran informasi dan opini secara interaktif dalam pelaksanaan proses analisis risiko mengenai risiko, faktor yang berkaitan dengan risiko, dan persepsi risiko antara pengkaji risiko, manajer risiko, dan pihak terkait lainnya (Rahayu et al. 2004) Dua langkah pertama kajian risiko yaitu identifikasi bahaya dan karakteristik bahaya merupakan tahap pengembangan dari nilai ADI, sedangkan kajian paparan menggabungkan data konsumsi dan konsentrasi penggunaan BTP didalam produk, sehingga didapatkan pendekatan terhadap nilai ADI yaitu nilai TMDI dan nilai EDI. Nilai TMDI ditentukan berdasarkan peraturan yang telah ditetapkan mengenai maksimal penggunaan BTP dan nilai EDI ditentukan berdasarkan penggunaan BTP didalam produk. Perbandingan antara nilai TMDI dan EDI dengan nilai ADI dapat mengetahui bagaimana karakteristik risiko yang terdiri dari risiko tinggi dan risiko rendah seperti yang terdapat pada Gambar 2. NILAI ADI Dose Risiko rendah
Risiko tinggi
Gambar 2 Karakteristik risiko (Fardiaz 2013)
14
3 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan selama 6 bulan mulai bulan Agustus 2014 hingga Januari 2015. Pengumpulan data paparan (konsumsi) BTP pengawet diperoleh dengan melakukan survei konsumsi pangan pada anak usia sekolah yang ada di Kota Pekanbaru baik tingkat SD, SMP, dan SMA. Bahan Bahan yang diperlukan antara lain produk pangan jajanan yang dikonsumsi oleh responden dengan berbagai merek seperti minuman berperisa non karbonat, minuman berperisa karbonat, sirup, produk bakeri, produk saos/kecap, minuman teh/kopi, minuman es, permen, makanan ringan, dan selai yang memiliki keterangan mengenai komposisi (ingredient) yang digunakan. Metode Penelitian Metode penelitian terdiri atas 7 tahapan dan secara umum disajikan dalam Gambar 3 : Preparasi kegiatan
Survei konsumsi pangan Food list dan screening Pengolahan data paparan BTP pengawet dan pemanis berdasarkan TMDI
Pengolahan data paparan BTP pemanis berdasarkan EDI Pengolahan data paparan berdasarkan kategori produk Penentuan karakteristik risiko
Gambar 3 Diagram Alir Penelitian
15
Berdasarkan metode penelitian pada Gambar 3, maka terdapat beberapa prosedur yang dilakukan dalam setiap metode penelitian. Kegiatan, prosedur dan luaran dari penelitian, ditampilkan pada Tabel 5. Tabel 5 Matriks Penelitian Kegiatan Persiapan kegiatan
Survei konsumsi pangan
Prosedur ●Pembuatan kuesioner
Referensi Luaran Anisyah 2009; Didapatkan kuesioner yang BPOM 2004. sesuai
●Penentuan responden dan wilayah
Gavaravarapu et al. 2009; BPS 2013
●Penentun jumlah responden minimal
BPS 2013; Cohcran Didapatkan jumlah responden 1991 minimal per kategori
●Penentuan sekolah
Teddlie dan Yu 2007; Data Master Pendidikan KEMENDIKBUD 2014
Didapatkan jumlah dan nama sekolah sebagai tempat dilakukan proses survei
24-hour-recall
Vereecken et al. 2008
Didapatkan daftar jenis pangan yang dikonsumsi.
Food list dan ●Me-list seluruh screening daftar pangan yang dikonsumsi ●Pengecekan jenis BTP yang digunakan ●Sampel pangan yang dikonsumsi dan diperkirakan mengandung BTP ●Tidak mengikutsertakan BTP yang tidak memiliki nilai ADI.
Didapatkan kelompok responden dan wilayah yang dilakukan proses survei
CAC 2006
WHO 2009; BPOM 2013; BPOM 2004
Didapatkan jenis BTP pengawet dan pemanis yang paling berkontribusi.
16
Kegiatan
Prosedur
Pengolahan data paparan BTP pengawet dan pemanis berdasarkan TMDI
●Penentuan konsumsi pangan yang mengandung BTP pemanis dan pengawet
Pengolahan data paparan BTP pemanis berdasarkan EDI
●Perubahan ukuran porsi pangan dalam gram ●Penentuan kadar BTP yang dikonsumsi ●Rata-Rata TMDI ●Nilai ADI ●Nilai minimummaksimum, nilai persentil ke-95
Referensi
Luaran Didapatkan data paparan BTP pengawet dan pemanis berdasarkan TMDI
Jain et al. 2014
●Penentuan konsumsi pangan yang mengandung BTP pemanis dan mencantumkan kandungan pemanis didalam produknya ● Perubahan ukuran porsi pangan dalam gram ●Penentuan kadar BTP yang dikonsumsi ●Rata-Rata EDI ●Nilai ADI ●Nilai minimum, maksimum, dan persentil ke-95
Didapatkan data paparan BTP pemanis berdasarkan EDI
Penentuan karakteristik risiko
Perbandingan nilai TMDI dan nilai EDI dengan nilai ADI.
Fardiaz 2013
Adanya karakteristik risiko tinggi dan risiko rendah
Pengolahan data paparan berdasarkan kategori produk Pangan
Mengelompokkan dan menjumlahkan produk pangan yang dikonsumsi dengan kategori produk yang sama
BPOM 2014 dan Didapatkan kategori BPOM 2013 produk pangan yang paling berkontribusi terhadap paparan BTP pengawet dan pemanis
17
Preparasi Kegiatan a. Pembuatan Kuesioner Kuesioner merupakan instrumen untuk memperoleh informasi yang relevan dengan tujuan survei yaitu memperoleh data konsumsi pangan dari responden. Kuesioner penelitian ini terdiri dari tiga bagian yaitu : ● Panduan kuesioner ● Lembar identitas responden Bagian ini wajib diisi terutama umur dan berat badan responden, karena data berat badan responden digunakan untuk menghitung konsumsi pangan perhari, dan untuk mengetahui persentase dari nilai ADI. ● Lembar kuesioner konsumsi pangan, terdiri dari : (1) Jenis pangan Harus menanyakan merek produk pangan, warna, rasa atau jenis pangan apa yang dikonsumsi oleh responden selama 24 jam yang lalu. (2) Ukuran porsi pangan Responden tidak harus menyebutkan ukuran porsi pangan dalam gram untuk sekali makan. Ukuran porsi pangan dapat dinyatakan dengan menggunakan peralatan rumah tangga seperti: sendok teh, sendok makan, cangkir, mangkuk, dan lain-lain. Setelah itu dilakukan verifikasi jumlah ke dalam gram dengan menggunakan konversi (Anisyah 2009) Contoh lembaran kuesioner dapat dilihat pda lampiran 1, dan pembuatan kuesioner mengacu kepada BPOM tahun 2004. b. Penentuan Responden dan Wilayah. Secara umum populasi digolongkan kedalam tiga kelompok berdasarkan batasan usia responden dan pendidikan yaitu kelompok umur anak-anak (<12 tahun/ SD), kelompok umur remaja (13-18 tahun/ SMP & SMA) serta kelompok umur dewasa (> 18 tahun). Namun, didalam penelitian ini yang menjadi fokus utama penelitian adalah kelompok umur anak-anak, dan remaja. Berdasarkan data-data yang diperoleh dari beberapa penelitian sebelumnya, kelompok anakanak dan kelompok remaja memiliki tingkat paparan yang lebih tinggi, serta memiliki tingkat risiko yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok dewasa (Gavaravarapu et al. 2009). Pemilihan wilayah kota Pekanbaru ditentukan karena beberapa faktor, yaitu urbanisasi, banyaknya produk pangan fabrikasi yang beredar baik makanan ataupun minuman dan berasal dari dalam ataupun luar negeri, sehingga berpengaruh terhadap data paparan yang diperoleh. Dalam melakukan survei, daerah yang dipilih adalah daerah yang diperkirakan memiliki paparan yang tinggi, bukan daerah yang memiliki paparan yang rendah. Kemudahan akses dalam melakukan survei juga menjadi alasan pemilihan kota Pekanbaru. c. Penentuan Jumlah Responden Minimal Penentuan jumlah responden minimal yang akan dijadikan sample dalam penelitian ini ditentukan berdasarkan jumlah total murid Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Atas (SMA) yang ada di Kota Pekanbaru, dan diperoleh dari Badan Pusat Statistika Provinsi Riau (BPS
18
2013). Adapun jumlah total anak sekolah yang ada di Kota Pekanbaru dapat dilihat pada Tabel 6. . Tabel 6 Jumlah total anak sekolah di Kota Pekanbaru No. 1. 2 3
Tingkat pendidikan Sekolah Dasar (SD) Sekolah Menengah Pertama (SMP) Sekolah Menengah Atas (SMA) Total
Jumlah 108.716 41.572 19.453 169.741
Berdasarkan data tersebut, penentuan jumlah responden secara keseluruhan ditentukan dengan menggunakan rumus (Cochran 1991) : n= Dengan : d = error of estimation p = proporsi populasi; 0,5 apabila tidak diketahui q=1–p N = jumlah keseluruhan populasi t = absis dari kurva normal yang memotong daerah α pada sisi-sisinya. Pada penelitian ini, diharapkan galat estimasi (tingkat kesalahan) tidak lebih dari 5% dengan tingkat kepercayaan 95%, yang artinya: d = 0,05 p = 0,5 q = (1-0,5) = 0,5 t=2 N = 169.741 maka jumlah responden keseluruhan untuk penelitian ini minimal adalah : n=
= 399,06 responden ~ 400 responden
Berdasarkan perhitungan tersebut maka ditetapkan jumlah keseluruhan responden yang mewakili kelompok umur anak usia sekolah tingkat SD, SMP, dan SMA yang digunakan dalam penelitian ini minimal berjumlah 400 responden. Menurut Singarimbun dan Efendi (1995), semakin besar jumlah responden yang diambil, maka semakin tinggi tingkat presisi dari suatu populasi. Selanjutnya akan ditentukan jumlah responden yang mewakili masingmasing tingkat pendidikan , dengan menggunakan rumus : % responden per kategori = Jumlah responden per kategori :
x 100%
19
Jumlah responden untuk setiap kategori (tingkat pendidikan) dapat dilihat pada Tabel 7 : Tabel 7 Jumlah responden untuk setiap tingkat pendidikan Tingkat pendidikan SD SMP SMA Total
% responden 64.05 % 24.49 % 11.46 % 100.00 %
Jumlah responden 256 orang 98 orang 46 orang 400 orang
d. Penentuan Sekolah Metode yang digunakan dalam penentuan jumlah sekolah yang dijadikan sample penelitian adalah metode purposive sampling. Metode purposive sampling termasuk ke dalam kategori nonprobability sampling dan merupakan metode pengambilan yang tidak acak, jumlah sampel sekolah dasar dipiih berdasarkan pertimbangan tertentu atau sesuai dengan tujuan penelitian (Teddlie dan Yu 2007). Sekolah yang dipilih, diperoleh dari Data Master Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Berdasarkan Data Master KEMENDIKBUD (2014) tersebut jumlah SD yang ada di Kota Pekanbaru berjumlah 293 Sekolah, SMP berjumlah 137 sekolah, dan SMA berjumlah 67 sekolah (lampiran 4). Jumlah sekolah yang dijadikan sebagai tempat pengambilan sampel responden sebanyak 40 sekolah dengan rincian 16 SD, 16 SMP, dan 8 SMA yang tersebar di 4 kecamatan yang ada di Kota Pekanbaru yaitu Kecamatan Senapelan, Kecamatan Lima Puluh, Kecamatan Tampan, dan Kecamatan Tenayan Raya serta ditentukan dengan cara membagi peta Kota Pekanbaru kedalam 4 blok. Setiap blok akan dipilih 1 kecamatan yang mewakili (Lampiran 5). Penentuan nama sekolah ditentukan secara acak berdasarkan data referensi KEMENDIKBUD (2014). Survei Konsumsi Pangan Survei Konsumsi Pangan dilakukan dengan cara mewawancarai setiap responden tentang jenis pangan apa saja yang dikonsomsi (makanan ringan, makanan utama, minuman) selama 24 jam yang lalu atau dengan menggunakan metode 24-hour recall (Vereecken et al. 2008). Hal-hal yang harus diperhatikan dalam melakukan proses survei (proses wawancara dengan responden) adalah : 1. Berat badan responden karena data berat badan responden digunakan untuk menghitung konsumsi pangan perhari. 2. Merk produk atau jenis pangan yang dikonsumsi oleh responden. 3. Rasa/ warna kemasan dari produk pangan yang dikonsumsi. 4. Menggali informasi secara aktual dari pangan yang dikonsumsi responden selama 24 jam yang lalu 5. Responden tidak harus menyebutkan ukuran porsi pangan dalam gram untuk sekali makan. Ukuran porsi pangan dapat dinyatakan dengan menggunakan peralatan rumah tangga (sendok teh, sendok makan, cangkir, mangkuk,
20
bungkus, botol, kotak, dan lain-lain). Setelah itu, diverifikasi ke dalam gram dengan menggunakan konversi. Food List dan Screening Data Konsumsi pangan yang telah didapatkan di-list dengan menggunakan program excel. Selanjutnya, jenis pangan yang ditentukan paparannya adalah jenis pangan yang didalam kemasan produknya sudah memiliki keterangan akan ingredient (komposisi) yang digunakan. Daftar pangan yang dikonsumsi tersebut dicek secara langsung di warung sekitar sekolah, atau di supermarket, dan ditentukan jenis BTP yang digunakan didalam produk tersebut. Metode screening merupakan metode yang harus dirancang sedemikian rupa untuk mencerminkan keterangan dari suatu paparan yang akan dipertimbangkan. Metode screening saat ini telah dilakukan oleh organisasi internasional seperti Joint FAO/ WHO Expert Commitee on Food Additives (JECFA) , Joint FAO/WHO Meeting on Pesticide Residues (JMPR), dan lain-lain, serta termasuk metode yang mudah untuk dilakukan. Metode screening memiliki tujuan untuk mengidentifikasikan senyawa kimia atau BTP apa yang paling berkontribusi terhadap kajian paparan dari sumber pangan yang dikonsumsi. (WHO, 2006) Screening dilakukan melalui 2 tahap. Screening tahap pertama berdasarkan sampel pangan yang dikonsumsi dan diperkirakan mengandung BTP pengawet dan pemanis yang diteliti. Sebagai contoh, buah segar utuh yang dikonsumsi responden tidak ikut disertakan, karena diduga tidak mengandung BTP pengawet dan pemanis yang dikaji paparannya. Screening tahap kedua dengan cara tidak mengikutsertakan jenis BTP pengawet dan pemanis yang dikonsumsi yang tidak memiliki nilai ADI, seperti asam propionat dan garamnya, lisozym, isomalt (BPOM 2013), serta kelompok poliol (BPOM 2014). Jenis BTP pengawet dan pemanis yang dilakukan analisa kajian paparannya adalah jenis-jenis BTP pengawet dan pemanis yang banyak terdapat didalam produk pangan yang dikonsumsi oleh responden serta memiliki nilai ADI, karena menurut CAC (1989), BTP yang menjadi prioritas untuk dilakukan pengkajian paparannya terhadap suatu populasi adalah BTP yang memiliki nilai ADI. Pengolahan Data Paparan BTP Pengawet dan Pemanis Berdasarkan TMDI Data-data yang dihasilkan dari lembaran survei, akan diolah dengan menggunakan program excel. Adapun data yang diinput kedalam program excel memuat variabel-variabel berikut : - Konsumsi pangan yang mengandung BTP pengawet dan pemanis - Setiap ukuran porsi pangan diubah kedalam bentuk gram (g). - Jumlah atau kadar BTP yang digunakan dan diperoleh berdasarkan kadar maksimum level BTP pengawet dan pemanis yang sesuai dengan kategori produk berdasarkan peraturan BPOM 2013 untuk pengawet dan BPOM 2014 untuk pemanis (mg/kg).
21
- Konsumsi BTP pengawet dan pemanis per orang (mg/orang) yang diperoleh dengan menggunakan rumus : . - Rata-rata Theoretical Maximum Daily Intake (TMDI) per hari yang diperoleh berdasarkan total konsumsi BTP pengawet dan pemanis per orang dibagi dengan total jumlah responden untuk setiap masing-masing tingkat pendidikan. - Berat badan responden dalam satuan kilogram, dan ditentukan nilai rataratanya berdasarkan masing-masing tingkat pendidikan. - Nilai ADI dari setiap BTP pengawet dan pemanis yang ditentukan paparannya, dan diperoleh dari BPOM dikalikan dengan rata-rata berat badan responden, sehingga diperoleh rata-rata maksimum kadar BTP pengawet dan pemanis yang aman dikonsumsi (mg/org/hari). - Persentase nilai TMDI terhadap nilai ADI. - Nilai persentil ke-95 yang diperoleh dengan cara mengurutkan nilai TMDI dari nilai terendah sampai nilai tertinggi dan ditentukan nilai 95% dari data tersebut. - Nilai minimum dan nilai maksimum (Jain et al. 2014). Tabel 8 Contoh perhitungan pengolahan data paparan benzoat untuk penentuan TMDI No.
Konsumsi
BTP yang terkandung
Ukuran porsi pangan yang dikonsumsi
1.
Minuman berkarbonat Kecap
Na-benzoat Na-benzoat
2.
Konsumsi BTP (mg/org/hari)
ADI (mg/kg bb)
100 ml*
Maksimum level peraturan BPOM (mg/kg) 400
40
5
4 gram
1000
4
5
Jumlah (TMDI)
44
*Diasumsikan 100 ml = 100 g
Pengolahan Data Paparan BTP Pemanis Berdasarkan EDI Tahap pengolahan data paparan BTP pemanis berdasarkan Estimated Daily Intake (EDI) pada dasarnya sama seperti TMDI, hanya saja yang membedakan adalah jumlah atau kadar BTP yang dikonsumsi diperoleh dari kadar BTP pemanis yang digunakan didalam produk dan tercantum didalam kemasan produk. Penentuan Karakteristik Risiko Penentuan karakteristik risiko rata-rata (secara umum) ditentukan dengan cara melakukan perbandingan antara nilai TMDI dan nilai EDI yang diperoleh dengan nilai ADI dari setiap BTP baik pengawet dan pemanis yang sudah dikalikan dengan rata-rata berat badan responden. Selain itu, juga ditentukan karakteristik risiko per-responden dengan membandingkan nilai TMI dan EDI
22
per-responden dengan batasan aman (nilai ADI) yang diperbolehkan untuk setiap responden tersebut. Apabila nilai TMDI dan EDI yang dihasilkan lebih besar dibandingkan dengan nilai ADI maka karakteristik risiko responden tergolong risiko tinggi dan jika tidak melebihi ADI maka karakteristik risiko responden tergolong risiko rendah (Fardiaz 2013). Pengolahan Data Paparan Berdasarkan Kategori Produk Pangan Daftar makanan yang dikonsumsi oleh responden dikelompokkan berdasarkan kategori pangan menurut BPOM 2013 untuk pengawet dan BPOM 2014 untuk pemanis, sehingga dapat diketahui jenis kategori pangan apa yang paling banyak dikonsumsi dan berkontribusi terhadap paparan BTP pengawet dan pemanis. 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Screening (Penyaringan Data) Pada proses penyaringan data, awalnya jumlah BTP yang memiliki nilai ADI dan terdapat didalam produk pangan yang dikonsumsi oleh responden berjumlah 8 jenis BTP pengawet dan pemanis dengan rincian 4 jenis BTP pengawet (benzoat, sorbat, natrium metabisulfit, dan nitrit), dan 4 jenis BTP pemanis (aspartam, siklamat, asesulfam-K, dan sukralosa). Setelah itu, ditentukan 2 jenis BTP pengawet yaitu benzoat dan sorbat serta 3 jenis BTP pemanis yaitu aspartam, siklamat, dan asesulfam-K untuk diolah lebih lanjut terkait tingkat paparannya. BTP benzoat, sorbat, aspartam, siklamat, dan asesulfam-K merupakan BTP yang memiliki nilai ADI dan banyak digunakan didalam produk pangan serta banyak dikonsumsi oleh responden. Untuk BTP natrium metabisulfit, nitrit, dan sukralosa tidak dilakukan proses pengolahan lebih lanjut, karena hanya sedikit sekali produk yang menggunakan BTP tersebut didalam produk pangannya, serta sangat sedikit dikonsumsi oleh responden, sehingga tidak perlu ditentukan bagaimana tingkat paparannya. Tingkat Konsumsi Pangan Tingkat konsumsi pangan yang diperlukan dalam menetapkan tingkat paparan BTP pengawet dan pemanis tidak hanya ditentukan oleh jumlah frekuensi mengkonsumsi pangan tersebut, namun juga ditentukan oleh ukuran porsi pangan setiap kali mengkonsumsinya. Perhitungan nilai konsumsi pangan merupakan hasil kali antara frekuensi konsumsi pangan perhari dengan ukuran porsi pangan untuk sekali makan. Penggunaan data konsumsi pangan akan menghasilkan perkiraan paparan yang lebih akurat karena menghitung jumlah bahan pangan yang dikonsumsi tiap individu (Anisyah 2009). Berdasarkan hasil yang terdapat pada Gambar 4 dari keseluruhan responden baik tingkat pendidikan SD, SMP, dan SMA untuk BTP pengawet tingkat konsumsi rata-rata produk pangan yang mengandung pengawet benzoat lebih tinggi yaitu sebesar 208.72 g/org/hari (SD), 250.38 g/org/hari (SMP), dan 139.87 g/org/hari (SMA), jika dibandingkan dengan konsumsi rata-rata produk
23
Konsumsi rata-rata produk pangan tertentu yang mengandung benzoat dan sorbat (g/org/hari)
pangan yang mengandung pengawet sorbat yang hanya sebesar 124.41 g/org/hari (SD), 163.33 g/org/hari (SMP), dan 92.22 g/org/hari (SMA). Responden tingkat SMP merupakan responden yang paling banyak mengkonsumsi produk pangan yang mengandung pengawet baik benzoat maupun sorbat jika dibandingkan responden tingkat SD, dan SMA. Responden tingkat SMP mengkonsumsi produk pangan yang mengandung pengawet dengan ukuran porsi yang lebih besar dibandingkan responden tingkat SD, dan responden tingkat SMA, seperti untuk kategori produk minuman berkarbonat ataupun minuman non karbonat, responden SMP lebih sering mengkonsumsi dalam ukuran botol sedangkan responden tingkat SD lebih sering mengkonsumsi dalam ukuran gelas. 300 250 200 150
Produk pangan yang mengandung benzoat Produk pangan yang mengandung sorbat
100 50 0 SD
SMP
SMA
Konsumsi rata-rata produk pangan tertentu yang mengandung pemanis (g/org/hari)
Tingkat pendidikan (a) 80 70 60 Produk pangan yang mengandung aspartam
50 40 30
Produk pangan yang mengandung asesulfam-K
20
Produk pangan yang mengandung siklamat
10 0 SD
SMP
SMA
Tingkat pendidikan (b)
Gambar 4 Konsumsi rata-rata produk pangan tertentu , (a) produk pangan yang mengandung pengawet benzoat dan sorbat (g/org/hari), (b) produk yang mengandung pemanis aspartam, asesulfam-K, dan siklamat (g/org/hari)
24
Untuk BTP pemanis, tingkat konsumsi rata-rata produk pangan yang mengandung pemanis siklamat jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan tingkat konsumsi rata-rata produk pangan yang mengandung pemanis aspartam dan asesulfam-K yaitu 78.46 g/org/hari (SD), 61.84 g/org/hari (SMP), dan 14.20 g/org/hari (SMA). Responden tingkat SD merupakan responden yang paling tinggi mengkonsumsi produk pangan yang mengandung siklamat dibandingkan responden tingkat SMP dan SMA, karena kebanyakan produk yang menggunakan siklamat berasal dari kategori produk minuman serbuk saset dan merupakan jenis produk minuman yang paling banyak disukai oleh anak usia sekolah dasar. Responden tingkat SMA merupakan responden yang dapat dikatakan jarang mengkonsumsi produk pangan yang mengandung pengawet dan pemanis. Hal ini disebabkan berdasarkan hasil wawancara dengan responden kebanyakan dari responden tidak menggunakan uang jajannya untuk membeli berbagai jenis produk pangan, responden lebih cenderung menabung uang jajannya untuk keperluan lainnya. Dari 49 jenis produk pangan yang mengandung pemanis dan dikonsumsi oleh responden, 40 produk diantaranya menggunakan pemanis siklamat baik secara tunggal ataupun sinergis dengan pemanis lainnya. Siklamat memiliki harga yang paling murah dibandingkan harga pemanis aspartam dan asesulfam-K, serta dijual bebas di tempat umum (Wijaya et al. 2011). Selain itu, pemanis siklamat merupakan pemanis yang sangat larut dalam air, stabil terhadap suhu tinggi, nonkalori, dan tidak memberikan after taste (Nelson 2000). Untuk pengawet, dari total 67 produk pangan yang mengandung pengawet, 52 produk diantaranya menggunakan benzoat dan hanya 15 produk yang menggunakan sorbat sebagai pengawet didalam produk pangannya. Menurut Lennerz et al. (2014), benzoat merupakan jenis pengawet yang paling banyak digunakan didalam produk pangan. Dengan demikian, responden mengkonsumsi pemanis siklamat dan pengawet benzoat yang berasal dari produk tersebut lebih tinggi jika dibandingkan pemanis dan pengawet lainnya. Paparan BTP Pengawet Berdasarkan TMDI Nilai paparan BTP pengawet berdasarkan TMDI dihitung dengan mengalikan kadar BTP pengawet berdasarkan peraturan BPOM 2013 dengan nilai konsumsi pangan per hari. Berat badan yang digunakan untuk memperoleh nilai paparan BTP pengawet yang aman dikonsumsi atau yang dikenal dengan nilai ADI, berasal dari berat badan masing-masing responden agar diperoleh hasil yang lebih akurat. Menurut JECFA (2001), untuk mengetahui paparan BTP pengawet yang berasal dari produk yang dikonsumsi sudah melebihi batas aman atau tidak, maka perlu perbandingan antara tingkat konsumsi BTP dengan batas aman konsumsinya (ADI). Hasil rata-rata paparan BTP pengawet benzoat dan sorbat untuk keseluruhan responden berdasarkan tingkat pendidikan dapat dilihat pada Gambar 5. Nilai TMDI rata-rata untuk kedua jenis pengawet benzoat dan sorbat yang dihasilkan oleh responden tingkat SD dan SMP lebih tinggi jika dibandingkan dengan responden tingkat SMA, karena pada ke-2 tingkat responden tersebut tingkat konsumsi produk pangan yang mengandung pengawet relatif lebih tinggi. Persentase TMDI benzoat dan sorbat terhadap ADI responden tingkat SD lebih
25
tinggi dibandingkan responden tingkat SMP, yaitu 71.51% (SD) dan 63.27 % (SMP) untuk benzoat serta 15.68% (SD) dan 15.18% (SMP) untuk sorbat. Padahal nilai TMDI benzoat dan sorbat responden tingkat SMP lebih tinggi yaitu sebesar 139.00 mg/org/hari (benzoat) dan 166.71 mg/org/hari (sorbat), jika dibandingkan nilai TMDI responden tingkat SD yang hanya sebesar 117.35 mg/org/hari (benzoat) dan 128.69 mg/org/hari (sorbat).
Paparan benzoat (mg/org/hari)
300 250 200
Rata-rata ADI benzoat (mg/org/hari)
150 Rata-rata TMDI benzoat (mg/org/hari)
100 50 0
SD
SMP SMA Tingkat pendidikan (a)
Paparan sorbat (mg/org/hari)
1400 1200 1000 Rata-rata ADI sorbat (mg/org/hari)
800 600
Rata-rata TMDI sorbat (mg/org/hari)
400 200 0 SD
SMP
SMA
Tingkat pendidikan (b)
Gambar 5 Paparan BTP pengawet, (a) benzoat, (b) sorbat Hal tersebut disebabkan nilai ADI ditentukan berdasarkan kilogram berat badan. Semakin rendah berat badan seseorang, maka batas keamanan untuk mengkonsumsi pangan yang mengandung BTP juga semakin rendah (Anisyah 2009). Berat badan rata-rata responden tingkat SD (32.82 kg) lebih rendah jika dibandingkan berat badan rata-rata responden tingkat SMP (43.94 kg), sehingga persentase TMDI terhadap nilai ADI lebih tinggi dihasilkan oleh responden tingkat SD. Secara keseluruhan baik responden tingkat SD, SMP, ataupun SMA nilai TMDI yang dihasilkan masih dibawah nilai ADI, yang artinya secara umum tingkat paparan BTP pengawet benzoat dan sorbat masih dapat dikategorikan
26
aman. Hasil yang serupa juga terdapat pada beberapa negara yang melakukan kajian paparan BTP pengawet diantaranya Norwegia (Bergsten 2000), Brazil (Tfouni dan Toledo 2002) dan Korea (Yoon et al. 2003) dan menghasilkan ratarata konsumen mengkonsumsi benzoat dibawah nilai ADI. Data paparan BTP pengawet untuk seluruh responden berdasarkan tingkat pendidikan yang terdiri dari nilai minimum, maksimum, dan persentil ke-95 dapat dilihat pada Tabel 9. Dari nilai minimum paparan pengawet benzoat dan sorbat yang dihasilkan oleh responden tingkat SD, SMP, dan SMA, diketahi adanya responden yang tidak terpapar BTP pengawet baik benzoat dan sorbat. Responden tingkat SD, SMP, dan SMA yang memiliki nilai TMDI maksimum mengkonsumsi produk pangan yang mengandung pengawet terutama yang berasal dari produk minuman seperti minuman teh/kopi, minuman berperisa, dan minuman berkarbonat sebanyak 3-4 kali dalam sehari. Nilai persentil ke-95 mempunyai arti bahwa 95% dari seluruh data terletak dibawah nilai tersebut (Anisyah 2009). Pada keseluruhan responden menunjukkan nilai persentil ke-95 tertinggi berdasarkan tingkat pendidikan, berasal dari responden tingkat SMP sebesar 306.00 mg/org (benzoat) dan 540.00 mg/org/hari (sorbat). Namun, jika dilihat dari persentase persentil ke-95 terhadap nilai ADI dihasilkannya responden yang melebihi batas nilai ADI, yaitu persentil ke-95 terhadap paparan benzoat responden tingkat SD, SMP, dan SMA. Persentase persentil ke-95 tertinggi dihasilkan oleh responden tingkat SD sebesar 186.20%. Hal ini disebabkan batasan aman yang dihasilkan oleh responden tingkat SD lebih rendah dibandingkan responden tingkat SMP, karena berat badan yang dihasilkan juga relatif lebih rendah, dan nilai ADI ditentukan berdasarkan berat badan. Semakin tinggi berat badan seseorang maka batasan aman dalam mengkonsumsi suatu zat atau BTP juga semakin tinggi, sebaliknya semakin rendah berat badan seseorang batasan aman dalam mengkonsumsi suatu zat atau BTP akan semakin rendah. Orang dewasa cenderung mempunyai berat badan yang lebih tinggi dibandingkan anak-anak. Artinya jumlah BTP yang aman dikonsumsi oleh orang dewasa juga akan lebih tinggi. Orang dewasa mempunya sistem imum yang lebih baik dibandingkan anak-anak. Sistem imunitas pada anak-anak tidak bekerja sebaik sistem imunitas orang yang lebih dewasa, karena belum matangnya sistem tersebut (Doha 2005). Tabel 9 Nilai Min-Max, dan nilai persentil ke-95 TMDI BTP pengawet Jenis BTP
Tingkat pendidikan
TMDI (mg/org/hari)
Persentil ke95 (mg/org/hari)
Batas aman (mg/org/hari)
Persentase persentil terhadap ADI (%)
270 306 278 360 540 360
145.00 200.00 225.00 725.00 875.00 1500.00
186.20 153.00 123.55 49.70 61.17 24.00
Min-Max Benzoat
Sorbat
SD SMP SMA SD SMP SMA
0 – 450 0 – 594 0 – 324 0 - 720 0 - 747 0 - 535
27
Kategori produk pangan yang berkontribusi terhadap paparan BTP pengawet dapat dilihat pada Gambar 6. Lima kategori produk yang paling berkontribusi terhadap paparan benzoat adalah minuman kopi/teh (64.79%), minuman berperisa non karbonat (10.03%), produk kecap (8.61%), minuman berkarbonat (7.44%), dan produk saos/sambal (6.70%). Untuk pengawet sorbat, lima kategori produk yang paling banyak berkontribusi terhadap paparan sorbat tersebut adalah minuman teh/kopi (91.65%), minuman berkarbonat (5.68%), produk bakeri (2.02%), produk selai (0.40%), dan susu (0.17%)
Saos/sambal 6,70% Kecap 8,61%
Minuman berkarbonat 7,44%
Sirup 1,13%
Selai 0,44%
Es 0,86%
Minuman non karbonat 10,03%
Minuman teh/Kopi 64,79%
(a)
Keju 0,08%
Produk bakeri 2,02%
Minuman berkarbonat 5,68%
Selai 0,40% Susu 0,17%
Minuman teh/ kopi
(b)
Gambar 6 Kategori produk yang berkontribusi terhadap paparan BTP pengawet, (a) benzoat, (b) sorbat
28
Karakteristik Risiko Pengawet Benzoat per-Responden Tahap yang paling penting dalam menentukan karateristik risiko berawal dari kajian paparan BTP yang dikonsumsi oleh setiap responden (Ilback dan Busk 2000). Pada dasarnya karakteristik risiko tergolong ke dalam 2 bagian, yaitu risiko tinggi (high risk) jika nilai ADI yang dihasilkan per-responden melebih nilai ADI yang seharusnya, dan risiko rendah (low risk) jika nilai ADI yang dihasilkan perresponden tidak melebihi nilai ADI yang berdasarkan berat badan masing-masing. Pada Tabel 10 diperoleh sekitar 77 responden SD (26.83%), 23 responden SMP (21.90%), dan 3 responden SMA (5.00%) tergolong risiko tinggi terhadap paparan benzoat, sedangkan untuk pengawet sorbat tidak ada responden yang tergolong risiko tinggi. Hal ini disebabkan responden cenderung lebih banyak mengkonsumsi produk pangan yang mengandung benzoat dan nilai ADI benzoat jauh lebih rendah dibandingkan nilai ADI sorbat, yaitu 5 mg/kg bb untuk benzoat dan 25 mg/kg bb untuk sorbat. Hal tersebut berarti bahwa, bila sehari mengkonsumsi beberapa jenis pangan yang mengandung benzoat ataupun sorbat, maka jumlah benzoat atau sorbat yang aman dikonsumsi dalam satu hari tanpa menimbulkan risiko kesehatan hanya 0-5 mg benzoat/kg bb dan 0-25 mg sorbat/kg bb. Responden mengkonsumsi benzoat rata-rata sebesar 7.29 mg benzoat/kg bb (145.80% ADI), sehingga sudah melewati batas aman (melebihi ADI) konsumsi BTP benzoat pada setiap responden. Tabel 10 Paparan BTP benzoat pada responden yang berisiko tinggi Tingkat pendidikan
Total responden
Jumlah responden yang melebihi nilai ADI rata-rata
Persentase (%)
TMDI rata-rata
ADI rata-rata
%TMDI terhadap ADI
SD SMP SMA
287 105 60
77 23 3
26.83 21.90 5.00
226.70 292.88 276.00
152.40 205.00 236.66
148.75 142.87 116.62
Jumlah
452
103
22.78
242.91
166.60
145.80
Hasil yang diperoleh serupa dengan penelitian yang dilakukan oleh Daniela et al. (2011), yang menyatakan di Austria pengkonsumsi tinggi benzoat telah melebihi nilai ADI untuk kelompok anak-anak sebesar 135%. Hal ini perlu mendapatkan perhatian karena kelompok anak-anak merupakan kelompok yang rentan terpapar BTP dan potensial sebagai konsumen makanan yang mengandung pengawet dalam konsentrasi tinggi atau mengkonsumsi dalam jumlah yang banyak. Mengkonsumsi benzoat dengan dosis yang melebihi batas dapat memberikan efek yang merugikan bagi kesehatan. Penelitian Eberechukwu et al.. (2007), menunjukkan bahwa pemberian natrium benzoat secara in vivo pada hewan coba tikus pada dosis 60 dan 120 mg/kg dapat mengakibatkan penurunan Hb (haemoglobin) secara nyata. Selain itu, menurut Center for Food Safety (CFF) (2007), natrium benzoat dapat menyebabkan kerusakan DNA dan neurodegeneratif seperti penyakit Parkinson. Kategori produk yang dikonsumsi oleh responden yang berisiko tinggi dapat dilihat pada Gambar 7, minuman teh/kopi merupakan kategori produk yang
29
Jumlah rata-rata konsumsi produk pangan tertentu yang mengandung benzoat (g/org/hari)
paling banyak dikonsumsi oleh responden yang berisiko tinggi (64.30%), dengan jumlah rata-rata konsumsi 260.38 g/org/hari disusul minuman non karbonat dan minuman berkarbonat dengan jumlah rata-rata konsumsi masing-masingnya sebesar 82.48 g/org/hari (13.58%) dan 69.53 g/org/hari (11.44%). Ketiga jenis produk pangan tersebut juga memberikan kontribusi terbesar terhadap asupan 275 250 225 200 175 150 125 100 75 50 25 0
Kategori produk pangan
Rata-rata asupan benzoat (TMDI) (mg/org/hari)
Gambar 7 Jumlah rata-rata konsumsi produk pangan tertentu yang mengandung benzoat dan dikonsumsi oleh respon yang berisiko tinggi (g/org/hari) 180 160 140 120 100 80 60 40 20 0
Kategori produk pangan
Gambar 8 Rata-rata asupan benzoat (TMDI) responden berisiko tinggi berdasarkan kategori produk (mg/org/hari) benzoat dibandingkan jenis produk pangan lainnya. Rata-rata asupan benzoat yang dikonsumsi oleh responden yang berisiko tinggi sebesar 156.23 mg/org/hari (minuman teh/kopi), 32.99 mg/org/hari (minuman non karbonat), 27.81
30
Jumlah rata-rata konsumsi produk pangan yang mengandung benzoat (g/org/hari)
mg/org/hari (minuman berkarbonat), 10.38 mg/org/hari (kecap), 10.03 mg/org/hari (saos/sambal), 3.79 mg/org/hari (minuman es), dan 0.92 mg/org/hari (selai) (Gambar 8). Apabila rata-rata ukuran porsi produk minuman teh/kopi sebesar 150 g, berarti jika dilihat dari jumlah rata-rata konsumsi minuman teh/kopi dapat dikatakan responden yang berisiko tinggi mengkonsumsi produk minuman teh/kopi lebih dari 1 kali sehari diluar produk pangan lainnya yang juga mengandung pengawet benzoat. Perbandingan antara jumlah rata-rata konsumsi produk pangan yang mengandung benzoat (g/org/hari) serta rata-rata TMDI (mg/org/hari) antara responden secara umum tingkat SD, SMP, dan SMA dan responden berisiko tinggi dapat dilihat pada Gambar 9 dan Gambar 10. Dari gambar dapat dilihat bahwa terjadinya perbedaan yang cukup tinggi antara jumlah rata-rata konsumsi produk pangan yang mengandung benzoat antara responden secara umum dan responden yang berisiko tinggi yaitu 209.25 g/org/hari (responden secara umum) dan 447.89 g/org/hari (berisiko tinggi). 500 400 300 200 100 0
Secara Umum
Beresiko Tinggi Responden
Gambar 9 Perbandingan jumlah rata-rata konsumsi produk pangan yang mengandung benzoat antara responden secara umum dan responden yang berisiko tinggi (g/org/hari) Rata-rata TMDI benzoat (mg/org/hari)
300 250 200
Batas Aman
150 100 50 0
Secara umum
Beresiko tinggi Responden
Gambar 10 Perbandingan nilai rata-rata TMDI responden secara umum dan responden yang berisiko tinggi (mg/org/hari)
31
Responden yang berisiko tinggi mengkonsumsi produk pangan yang mengandung benzoat lebih dari 2 kali lipat responden secara umum. Oleh karena itu, rata-rata asupan benzoat (nilai TMDI) yang dihasilkan juga jauh lebih tinggi yaitu sebesar 242,91 mg/org/hari daripada responden secara umum yang hanya sebesar 117.83 mg/org/hari. Padahal jika dilihat dari batasan aman, nilai batasan aman (nilai ADI) yang dihasilkan oleh responden secara umum lebih tinggi jika dibandingkan responden yang berisiko tinggi, karena rata-rata berat badan yang dihasilkan juga relatif lebih tinggi. Rata-rata berat badan responden secara umum yaitu sebesar 37.98 kg, sedangkan responden berisiko tinggi 33.23 kg. Oleh karena itu asupan benzoat (nilai TMDI) yang diperbolehkan untuk dikonsumsi oleh responden yang berisiko tinggi hanya sebesar 166.15 mg/org/hari (Gambar 10). Paparan BTP Pemanis Berdasarkan TMDI dan EDI Pemanis merupakan suatu zat yang memiliki rasa manis. Digunakan sebagai pengganti sukrosa, dan dikenal dengan pemanis alternatif (Mortensen 2006). Berdasarkan hasil perbandingan nilai ADI terhadap rata-rata nilai TMDI dan EDI yang dilihat pada Tabel 11 secara umum tidak ada kelompok responden yang menghasilkan nilai TMDI dan EDI melebihi nilai batas aman (Nilai ADI). Hal ini ditandai dengan persentase terhadap nilai ADI baik oleh nilai EDI dan TMDI tidak ada yang melebihi 100%. Persentase nilai TMDI dan nilai EDI terhadap nilai ADI tertinggi diperoleh dari pemanis siklamat pada kelompok responden tingkat SD sebesar 7.99% (TMDI), dan 27.73% (EDI). Hal ini disebabkan responden tingkat SD lebih sering mengkonsumsi produk pangan terutama produk minuman yang mengandung pemanis siklamat dibandingkan responden tingkat SMP, dan SMA. Selain itu, siklamat memiliki nilai ADI yang paling rendah dibandingkan pemanis aspartam dan asesulfam-K, sehingga ratarata nilai ADI yang dihasilkan oleh siklmat juga relatif lebih rendah dibandingkan ke-2 pemanis lainnya baik untuk responden tingkat SD, SMA, ataupun SMA. Aspartam memiliki nilai ADI 0-40 mg/kg bb, artinya untuk responden yang memiliki berat badan cukup rendah (25 kg), nilai ADI maksimum aspartam yang dihasilkan saja mencapai 1000 mg/org/hari, sementara nilai maksimum aspartam untuk responden tingkat SD, SMP, dan SMA baik berdasarkan TMDI, dan EDI tidak ada yang mencapai 1000 mg/org/hari sehingga persentase TMDI dan EDI aspartam terhadap nilai ADI cukup rendah. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa paparan pemanis aspartam, siklamat, dan asesulfam-K untuk keseluruhan responden secara umum masih berada didalam kategori aman.
32
Tabel 11 Perbandingan rata-rata nilai ADI, TMDI, dan EDI pemanis aspartam, siklamat, dan asesulfam-K
Nilai ADI (mg/org/hari) Persentase TMDI terhadap ADI Persentase EDI terhadap ADI
SD 1312.89 1.62% 2.20%
SMP 1757.71 0.55% 0.66%
SMA 2090.00 0.18% 0.38%
Siklamat Nilai ADI (mg/org/hari) Persentase TMDI terhadap ADI Persentase EDI terhadap ADI
SD 361.05 7.99% 27.73%
SMP 483.37 5.23% 10.61%
SMA 574.75 0.96% 1.46%
Asesulfam-K Nilai ADI (mg/org/hari) Persentase TMDI terhadap ADI Persentase EDI terhadap ADI
SD 492.33 3.79% 6.83%
SMP 659.14 3.39% 1.96%
SMA 783.75 0.71% 0.41%
Aspartam
Sama halnya seperti paparan BTP pengawet, nilai lainnya yang dihitung dalam paparan BTP pemanis ini adalah nilai minimum, nilai maksimum, dan nilai persentil ke-95 seperti yang terdapat pada Tabel 12 untuk TMDI dan Tabel 13 untuk EDI. Dari tabel dapat dilihat bahwa nilai persentil ke-95 tertinggi dihasilkan oleh paparan siklamat berdasarkan EDI oleh responden tingkat SD yaitu sebesar 303.60 mg/org/hari, dengan persentase persentil terhadap nilai ADI mencapaii 92.00%. Adanya persentase persentil yang hampir mencapai nilai ADI, mengindikasikan bahwa terdapatnya responden tingkat SD yang melebihi nilai ADI berdasarkan EDI dan ditentukan secara rinci seperti yang terdapat pada Tabel 14 yaitu tabel mengenai karakteristik risiko per-responden. Tabel 12 Nilai Min-Max, dan nilai persentil ke-95 EDI BTP pemanis Jenis BTP
Aspartam
Siklamat
AsesulfamK
Tingkat pendidikan
SD SMP SMA SD SMP SMA SD SMP SMA
Min – max (mg/org/hari) 0 – 149.00 0 – 101.83 0 – 76.00 0 – 382.75 0 – 401.20 0 – 200.60 0 – 176.00 0 – 72.00 0 – 38.00
EDI Persentil ke-95 Batas aman (mg/org/hari) (mg/org/hari)
83.93 52.00 64.00 303.60 200.60 100.00 104.80 56.00 26.00
1560.00 2000.00 1880.00 330.00 473.00 572.00 690.00 705.00 705.00
Persentase persentil terhadap nilai ADI (%) 5.38 2.60 3.40 92.00 42.41 17.48 15.19 7.94 3.69
33
Tabel 13 Nilai Min-Max, dan nilai persentil ke 95 TMDI BTP pemanis Jenis BTP
Aspartam
Siklamat
Asesulfam-K
Tingkat TMDI pendidikan Min – max Persentil ke-95 Batas aman (mg/org/hari) (mg/org/hari) SD SMP SMA SD SMP SMA SD SMP SMA
0 – 195.00 0 – 124.80 0 – 90.00 0 – 210.00 0 – 352.80 0 – 63.00 0 – 244.80 0 – 368.40 0 – 105.00
99.80 90.00 15.00 108.00 70.00 61.25 105.00 120.00 30.00
1600.00 1600.00 2000.00 330.00 451.00 495.00 315.00 615.00 690.00
Persentase persentil terhadap nilai ADI (%) 6.24 5.62 0.75 32.73 15.52 12.37 33.33 19.51 4.35
Kategori produk pangan yang berkontribusi terhadap paparan BTP pemanis (aspartam, siklamat, dan asesulfam-K) berdasarkan TMDI dan EDI dapat dilihat pada Gambar 11. Dari gambar dihasilkan adanya perbedaan antara produk pangan yang paling berkontribusi terhadap paparan BTP pemanis secara TMDI dan EDI. Untuk TMDI tiga kategori produk pangan yang berkontribusi terhadap paparan adalah minuman berperisa (43%), minuman serbuk saset (37%), dan minuman teh/kopi (15%). Sementara EDI, tiga kategori produk yang paling berkontribusi terhadap paparan adalah minuman serbuk saset (73%), minuman berperisa (11%), dan minuman teh/kopi (7%). Hal ini disebabkan adanya perbedaan asupan pemanis berdasarkan kadar BTP yang digunakan. Berdasarkan peraturan BPOM 2014 (TMDI), minuman berperisa yang cenderung memiliki ukuran porsi yang lebih besar dibandingkan minuman saset akan memberikan kontribusi paparan yang lebih besar, karena pada dasarnya minuman berperisa dan minuman serbuk saset memiliki nilai maksimum level penggunaan yang sama yaitu 350 mg/kg. Penentuan nilai TMDI yang merupakan hasil kali antara ukuran porsi pangan (g) dan kadar maksimum level (mg/kg) akan menghasilkan minuman berperisa sebagai produk yang berkontribusi terbesar terhadap paparan BTP pemanis aspartam, siklamat, dan asesulfam-K. Lain halnya dengan EDI, minuman serbuk saset merupakan produk yang memberikan kontribusi terbesar terhadap paparan EDI (aspartam, siklamat, dan asesulfam-K). Minuman serbuk saset walaupun memiliki ukuran porsi pangan yang jauh lebih kecil ternyata mengandung kadar pemanis yang jauh lebih besar dibandingkan produk lainnya, sehingga akan berpengaruh terhadap nilai asupan pemanis (EDI) yang dihasilkan dari produk minuman serbuk tersebut.
34
Minuman teh/kopi 14.53%
Sirup 1.60%
Permen 0.65%
Makanan ringan 1,49% Minuman berperisa 43.50%
Minuman es 1.06%
Minuman serbuk saset 37.17%
(a) Sirup 6.47% Minuman es 2.11%
Minuman teh/kopi 6.93%
Permen 0.16%
Makanan ringan 0.45%
Minuman berperisa 11%
Minuman serbuk saset 72.53%
(b)
Gambar 11 Kategori produk yang berkontribusi terhadap paparan BTP pemanis aspartam, siklamat, dan asesulfam-K, (a) berdasarkan TMDI, (b) berdasarkan EDI Karakteristik Risiko Pemanis Siklamat per-Responden Sama halnya seperti BTP pengawet, penentuan karakteristik risiko BTP pemanis juga dilihat berdasarkan nilai TMDI dan nilai EDI setiap responden dan dibandingkan dengan nilai ADI masing-masingnya. Berdasarkan nilai TMDI atau berdasarkan kadar peraturan pemanis BPOM (2014), tidak ada responden yang tergolong risiko tinggi terhadap paparan BTP pemanis baik aspartam, siklamat, ataupun asesulfam-K. Namun, jika dilihat dari nilai EDI atau berdasarkan kadar pemanis yang digunakan di dalam produk, dihasilkan 10 responden tingkat SD (3.48%) yang tergolong risiko tinggi terhadap paparan siklamat dengan rata-rata EDI siklamat sebesar 344.41 mg/org/hari atau sebesar 13.30 mg/kg bb (120.88% ADI). Padahal nilai atau jumlah asupan siklamat yang aman dikonsumsi hanya sebesar 0-11 mg/kg bb. Hasil yang diperoleh serupa dengan hasil yang dilakukan oleh Ilback et al. (2003), di Swedia yang menyatakan adanya paparan siklamat
35
untuk kelompok anak-anak yang telah melebihi nilai ADI (300% ADI) dan lebih tinggi dibandingkan paparan pemanis lainnya. Tabel 14 Jumlah responden yang tergolong risiko tinggi terhadap paparan BTP aspartam, siklamat, dan asesulfam-K Jenis BTP
Tingkat pendidikan
Total responden
Aspartam
SD SMP SMA SD SMP SMA SD SMP SMA
287 105 60 287 105 60 287 105 60
Siklamat
Asesulfam-K
Jumlah responden yang tergolong risiko tinggi EDI TMDI 0 0 0 0 0 0 10 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Produk pangan yang paling banyak dikonsumsi oleh responden yang berisiko tinggi dapat dilihat pada Gambar 12, sedangkan produk yang berkotribusi terhadap rata-rata EDI siklamat dapat dilihat pada gambar 13. Dari segi ukuran porsi pangan, minuman teh/kopi merupakan produk yang paling banyak dikonsumsi responden berisiko tinggi sebesar 90 g/org/hari, kemudian minuman berperisa 65 g/org/hari, dan minuman serbuk saset 22 g/org/hari. Namun, kategori produk yang paling berkotribusi terhadap EDI siklamat berasal dari minuman serbuk saset (207.20 mg/org/hari), minuman teh/kopi (63.00 mg/org/hari), dan sirup (40.12 mg/org/hari). Dilihat dari jumlah, minuman serbuk saset merupakan jenis produk yang paling banyak dikonsumsi oleh responden (60.21%) dengan frekuensi rata-rata 2-3 kali sehari. Padahal seperti yang telah dijelaskan kandungan pemanis di minuman serbuk saset jauh lebih tinggi dibandingkan dengan jenis produk lainnya, sehingga akan menimbulkan risiko tinggi terhadap responden yang sering mengkonsumsinya (Lampiran 7). Dari 37 jenis produk minuman yang mengandung siklamat dan memiliki keterangan mengenai kandungan pemanis yang digunakan, 32 produk diantaranya menggunakan siklamat melebihi dari peraturan maksimum level yang telah ditetapkan. Padahal peraturan mengenai maksimum level setiap BTP ditetapkan untuk mencegah konsumen mengkonsumsi BTP melebihi nilai ADI (Leth et al. 2007). Namun, sebenarnya tidak hanya siklamat yang memiliki kandungan yang melebihi batas. Aspartam dan asesulfam-K juga digunakan secara berlebih didalam produk, hanya saja tidak ada responden yang sampai melebihi nilai ADI. Ada beberapa hal yang dapat menyebabkan produsen menggunakan kadar pemanis yang tidak sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan, diantaranya menurut Wijaya et al. (2011), kurangnya pengetahuan yang memadai oleh produsen. Fakta menunjukkan bahwa ketidakpahaman akan sifat dan karakteristik BTP dapat menyebabkan kesalahan dalam penggunaan BTP, misalnya penggunaan BTP dalam jumlah yang berlebihan. Padahal sikap kritis yang didasari pikiran bijak oleh produsen akan
36
Rata-rata asupan harian produk pangan tertentu yang mengandung siklamat (g/org/hari)
menekan risiko gangguan kesehatan tanpa harus kehilangan manfaat BTP yang seharusnya. 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 Minuman es
Sirup
Minuman Minuman Minuman teh/ kopi berperisa serbuk saset Kategori produk pangan
Rata-rata EDI siklamat (mg/org/hari)
Gambar 12 Jumlah rata-rata konsumsi produk pangan tertentu yang memgandung siklamat dan dikonsumsi oleh respon yang berisiko tinggi (g/org/hari) 250 200 150 100 50 0 Minuman Es
Sirup
Minuman Minuman Teh/ berperisa Kopi Kategori produk pangan
Minuman serbuk saset
Gambar 13 Rata-rata asupan siklamat (EDI) responden berisiko tinggi (mg/org/hari) berdasarkan kategori produk Di Indonesia,siklamat memiliki nilai ADI yang paling rendah yaitu 11 mg/kg bb jika dibandingkan nilai ADI aspartam dan asesulfam-K yang masingmasingnya sebesar 40 mg/kg bb, dan 25 mg/kg bb. Namun, di negara Eropa nilai ADI dari siklamat lebih rendah jika dibandingkan negara Indonesia, yaitu 7 mg/kg bb (SCF 2000). Hal tersebut disebabkan aspek keamanan siklamat yang lebih rendah dibandingkan pemanis lainnya. Siklamat merupakan pemanis buatan dengan tingkat kemanisan 30-40 kali lebih besar dari sukrosa. Siklamat dapat memberikan potensi karsinogenik apabila terkonversi menjadi cyclohexylamine dalam saluran pencernaan (Yu et al. 2012). Cyclohexylamine bersifat toksik dan merupakan promotor tumor, seperti tumor kandung kemih (Hu et al. 1998). Penyakit tumor kandung kemih dapat disebabkan dari makanan yang dikonsumsi,
37
Jumlah rata-rata konsumsi produk pangan yang mengandung siklamat (gr/org/hari)
karena permukaan saluran kandung kemih berkontak dengan banyak senyawa mutagenik yang terkandung didalam makanan sebelum dibuang melalui urin (Pelucchi et al. 2006). Masyarakat yang mengkonsumsi pemanis buatan selama 10 tahun atau lebih akan meningkatkan risiko terkena penyakit tumor kandung kemih (Andreatta et al. 2008). Menurut hasil penelitian Takayama et al. (2000), dari 21 kera (0-24 tahun) yang mengkonsumsi siklamat dengan konsentrasi 100 mg/kg dan 500 mg/kg sebanyak lima kali seminggu, tiga kera terkena tumor ganas dan tiga kera terkena tumor jinak. Jika dilakukan perbandingan antara responden tingkat SD secara umum dan responden yang berisiko tinggi paparan siklamat terkait ukuran porsi yang dikonsumsi dan nilai EDI yang dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 14 dan Gambar 15. Untuk responden secara umum rata-rata mengkonsumsi 78,46 g/org/hari produk yang mengandung siklamat, sedangkan responden berisiko tinggi mengkonsumsi 197.20 g/org/hari produk yang mengandung siklamat baik itu berasal dari minuman teh/kopi, minuman berperisa, sirup, minuman es ataupun minuman serbuk saset. Rata-rata EDI siklamat yang dihasilkan responden secara umum sebesar 100.11 mg/org/hari, sedangkan responden berisiko tinggi sebesar 344.41 mg/org/hari. Dilihat dari nilai batasan aman yang seharusnya (nilai ADI), responden yang secara umum memiliki nilai batasan aman yang relatif lebih tinggi, dibandingkan responden yang berisiko tinggi. Hal ini disebabkan rata-rata berat badan responden secara umum lebih tinggi dibandingkan ke-10 responden berisiko tinggi. Responden secara umum memiliki rata-rata berat badan 32.82 kg, sedangkan responden berisiko tinggi memiliki rata-rata berat badan 25.90 kg. Artinya, dengan nilai ADI siklamat 11 mg/kg bb, maka batas asupan siklamat yang aman dikonsumsi oleh responden berisiko tinggi hanya sebesar 284.90 mg/org/hari 250 200 150 100 50 0 Secara Umum
Beresiko Tinggi Responden
Gambar 14 Perbandingan jumlah rata-rata konsumsi produk pangan yang mengandung siklamat antara responden secara umum ada responden yang berisiko tinggi (g/org/hari)
38
Rata-Rata EDI siklamat (mg/org/hari)
400 350 300
Batas Aman
250 200 150 100 50 0 Secara Umum
Beresiko Tinggi Responden
Gambar 15 Perbandingan jumlah rata-rata EDI siklamat antara responden secara umum dan responden yang berisiko tinggi (mg/org/hari) Responden yang Tergolong Risiko Tinggi terhadap Paparan Benzoat dan Siklamat Diketahui dari 77 responden tingkat SD yang tergolong risiko tinggi terhadap paparan benzoat dan 10 responden tingkat SD yang tergolong risiko tinggi terhadap paparan siklamat, terdapat 5 responden tingkat SD yang tergolong risiko tinggi terhadap paparan benzoat dan siklamat. Konsumsi benzoat rata-rata 5 responden yang tergolong risiko tinggi terhadap paparan benzoat dan siklamat adalah 226.96 mg/org hari (174.58% ADI) (benzoat), dan 362.42 mg/org/hari (126.72% ADI) (siklamat). Pembagian Wilayah Responden yang Berisiko Tinggi terhadap Paparan Benzoat dan Siklamat Pembagian wilayah responden yang berisiko tinggi terhadap paparan benzoat dan siklamat dapat dilihat pada Gambar 16. Apabila dilihat dari 4 wilayah kecamatan yang mewakili 2 wilayah rural, dan 2 wilayah urban dan dijadikan tempat pengambilan sampel, diketahui dari 214 responden total yang mewakiliki wilayah rural, dan 238 responden total yang mewakili wilayah urban terdapat 103 total responden yang tergolong risiko tinggi terhadap paparan benzoat dengan rincian: 37 responden diantaranya berasal dari sekolah yang berada di sekitar Kecamatan Senapelan (urban), 32 responden berasal dari sekolah di sekitar Kecamatan Tampan (rural), 19 responden berasal dari sekolah di sekitar Kecamatan Tenayan Raya (rural), dan 15 responden berasal dari sekolah di sekitar Kecamatan Lima Puluh (urban). Untuk pemanis dari total 10 responden yang tergolong risiko tinggi terhadap paparan siklamat, 4 responden berasal dari sekolah di sekitar Kecamatan Tampan (rural), 2 responden berasal dari sekolah di sekitar Kecamatan Tenayan Raya (rural), 4 responden berasal dari sekolah di sekitar Kecamatan Lima Puluh (urban), dan tidak ada responden yang berasal dari sekolah di sekitar Kecamatan Senapelan (urban).
39
Lima Puluh 1
Senapelan 1
Tampan 2
Tenayan Raya 2 (a)
Lima Puluh 1
Senapelan 1
Tenayan Raya 2
Tampan 2 (b)
1 = kecamatan yang mewakili wilayah rural 2 = kecamatan yang mewakili wilayah urban
= 1 orang responden yang tergolong risiko tinggi Gambar 16 Pembagian wilayah terhadap responden yang berisiko tingg (a) benzoat, (b) siklamat
40
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Hasil paparan BTP pengawet dan pemanis menunjukkan bahwa secara umum rata-rata tingkat paparan BTP pengawet dan pemanis dari keseluruhan responden tingkat SD, SMP, dan SMA masih dibawah nilai ADI. Tetapi, jika dilihat berdasarkan TMDI per-responden terdapat total 103 responden (22.78%) dengan rincian: 77 responden SD (26.83%), 23 responden SMP (21.90%), dan 3 responden SMA (5.00%) yang tergolong risiko tinggi terhadap paparan benzoat dengan TMDI rata-rata 242.91 mg/org/hari (145.80% ADI). Sepuluh responden SD (3.48%) tergolong risiko tinggi terhadap paparan siklamat berdasarkan EDI atau berdasarkan kadar siklamat yang terdapat didalam produk dengan EDI ratarata 344.41 mg/org/hari (120.88% ADI). Selain itu, terdapat 5 responden yang tergolong risiko tinggi terhadap paparan benzoat dan siklamat dengan rata-rata konsumsi benzoat 226.96 mg/org hari, dan konsumsi siklmat 362.42 mg/org/hari. Risiko yang diperoleh bisa lebih tinggi daripada hasil penelitian ini, karena dalam penelitian ini, data yang diperoleh hanya berdasarkan produk pangan yang memiliki keterangan akan komposisi (ingredient) yang digunakan. Saran Peraturan yang ada baik untuk BTP pengawet maupun pemanis secara umum sudah cukup melindungi konsumen, karena umumnya TMDI lebih rendah daripada ADI. Tetapi, untuk menurunkan risiko paparan benzoat dan siklamat pada kelompok tertentu yang tergolong risiko tinggi diperlukan adanya pertimbangan oleh pihak terkait dalam meninjau ulang standar penggunaan pengawet dan pemanis didalam produk pangan yang beredar di pasaran, khususnya batas maksimum pengawet benzoat dan siklamat pada kategori produk yang paling banyak dikonsumsi dan memberikan kontribusi terbesar terhadap paparan BTP.
DAFTAR PUSTAKA Andreatta MM, Munoz SE, Lantieri MJ, Eynard AR, Navarro A. 2008. Artificial sweetener consumption and urinary tract tumors in Cordoba, Argentina. J Prev Med. 47:136-139. Anisyah, Andarwulan N, Hariyadi P. 2011. Tatrazine exposure assesment by using food frequency method in North Jakarta, Indonesia. Int J Food Sci. 2:458-463. Arab L, Wesseling-Perry K, Jardack P, Henry J, Winter A. 2010. Eight selfadministered 24-hour dietary recalls using the Internet are feasible in African Americans and Whites: the energetics study. J Am Diet Ass. 110:857-864. Arnold GJ, BA Munce. 2000. Investigation of Foodborne Disease Outbreaks. Ashurst PR. 2005. Chemistry and Technology of Soft Drinks and Fruit Juices. 2nd edition. Blackwell Publishing.
41
[BPS] Badan Pusat Statistik Provinsi Riau. 2013. Riau in Figures. Katalog BPS: 1102001.14. [BPOM] Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2004. Review of Food Safety Risk Assessment Capacity. WHO project INO FOS001:EC-3/P-1. Deputy for Food Safety and Hazarsous Substances Control Directorate for Food Safety Surveillance and Extension. Jakarta: Badan POM RI. [BPOM] Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2009. Program Nasional Peningkatan Keamanan Pangan Jajanan Anak Sekolahan. Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya. Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan. Jakarta: Badan POM RI. [BPOM] Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2013. Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia nomor 36 tentang Batas Maksimum Penggunaan Bahan Tambahan Pangan Pengawet. Jakarta: Badan POM RI. [BPOM] Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2014. Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia nomor 12 tentang Persyaratan Penggunaan Bahan Tambahan Pangan Pemanis Buatan dalam Produk Pangan. Jakarta: Badan POM RI. Bergsten C. 2000. Intake of Preservatives in Norway, Benzoic and Sorbic Acid. The Norwegian Food Coontrol Authority (SNT), Report 2. Branen AL, Davidson PM, Salmine S. 2002. Food Additive. New York: Marcel Dekker. [CAC] Codex Alimentarius Commission. 1989. Guidelines for Simple Eveluation of Food Additive Intake, CAC/GL 03-1989. Rome: CAC. [CAC] Codex Alimentarius Commission. 2005. General Standars for Food Additives, Codex Stan 192-1995 (rev.6-2005). Rome: CAC. [CAC] Codex Alimentarius Commission. 2006. Reporth of the 38th session of the Codex Committee on Food Additives and Contaminant. Joint FAO/ WHO Food Standards Programme. Rome: CAC. [CAC] Codex Alimentarius Commission. 2010. General Standars for Food Additives, Codex Stan 192-1995 (rev.11-2010). Rome: CAC. Cahyadi W. 2012. Analisis & Aspek Kesehatan Bahan Tambahan Pangan. Ed. 2, Cet. 3. Jakarta: Bumi Aksara. Casey PH, Goolsby SL, Lensing SY, Perloff BP, Bogle ML. 1999. The use of telephone interview methodology to obtain 24-hour dietary recalls. J Am Diet Ass. 99:1406-1411. [CFF] Center for Food Safety. 2007. Dietary Exposure to Benzoic Acid from Packaged Non-Alcoholic Beverages of Secondary School students. Risk Assessment Studies Report No.30. Food and Enviromental Hygiene Department: Hong Kong. Cochran WG. 1991. Teknik Penarikan Sampel. Edisi ketiga. UI-Press. Coulston AM, CJ Boushey, Feruzi MG. 2008. Nutrition in the Prevention and Treatment of Disease. 2nd ed. Elsevier: San Diego. Daniela M, Cermark K, Christine. 2011. Exposure assessment of food preservatives (sulfites, benzoic acid and sorbic acid) in Austria. Food Addit Contam. 1:1-26.
42
Doha A. 2005. Understanding Childhood. Australia: Department of Health and Ageing. Dong C, dan Wang W. 2006. Headspace solid-phase microextraction applied to the silmutaneous Determination of sorbic and benzoic acid in beverages. J Anal Chim. 562:23-29. Easa SHM. 2010. The microbial quality of fast food and traditional fast food. J Nat Sci. 8(10):117-133. Eberecchukwu IS, Amadikwa UA, Okechukwu MM. 2007. Effect of oral intake of sodium benzoat on some haematological parameters of wistar albino rats. J Sci Res Essay. 1:006-009. [EFSA] European Food Safety Authority. 2008. Assessment of the results of the study by Mc Cann (2007) on the effect of some colours and sodium benzoate on children‟s Behavior. J Efsa. 660:1-54. FAO/WHO. 2008. Codex Alimentarius Comission Procedure Manual, 18th ed. Rome, Food and Agriculture Organization of the United Nations. Fardiaz D. 2013. Risk Assessment Process-an Overview (Principle, Concepts, Methodologies). Department of Food Science and Technology, Faculty of Agricultural Engineering. Seafast Center. Bogor Agricultural University: Indonesia. [FSA] Food Standar Agency. 2007. Agency Revised Advice on Certain Artificial Colours. Gavaravarapu MA, Subba MR, Sudershan RV, Rao P, Rao MV, Kalpagam P. 2009. Focus group studies on food safety knowledge, perceptions and practice of school going adolescent in South India. J Nutr Edu Behav. 41(5):340-346. Goyal JP, Kumar N, Parma I, Shah VB, Patel B. 2011. Determination of overweight and Obesity in aff;uent adolescent in Surat City, South Gujarat India. Indian J Community Med. 36(4):296-300. Hilbig A, Freidank N, Kersiting M, Wilhem M, Wittsiepe J. 2004. Estimation of the dietary intake of acrilamide by German infants, children, and adolescent as calculated from dietary records and available data on acrilamide levels in food groups. Int J Hyg Environ Health . 207(5):46371. Hu ML, Tsai HH. 1998. Reaction of cyclohexylamine with hypochlorite and enhancement of oxidation of plasma sulfhydryl groups by hypochlorite in vitro. Food Chem Toxicol. 36:755-759. Ilback NG, Bisk L. 2000. Food additives-use, intake and safety. Scand J Food Nutr. 44:141-149. Ilback NG, Alzin M, Jahril S, Enghart BH, Busk L. 2003. Estimated intake of the artificial sweeteners accesulfame-K, asparteme, cyclamate, and sacharine in a group of Swedish diabetic. Food Addit Contam. 20(2):99114. Jain A, Mathur P. 2014. Intake of processe food and selected food additives among teenagers (13-19 years old) of Delhi, India. Asian J Multid Stud. 2(2):64-77. Jay JM, Loessener MJ, Golden DA. 2005. Modern Food Microbiology, 7th ed. New York: Springer.
43
Janina SG, Diogo, Liliana SO, Silva, Angelina P, Celeste M. Lino. 2013. Risk Assessment of Food additives thorough soft drinks and nectars consumption on Portuganuese Population: A 2010 survey. Food Chem Toxicol. 62:548-553. Jahns L, Siega-Riz AM, Popkin BM. 2001. The increasing prevalence of snacking among US children from 1977-1996. J Pediatr. 138:493-8. [JECFA]. Joint FAO/WHO Expert Committe on Food Additives. 2001. Guidlines for the Preparation of Working Papers on Intake of Food Additives for the Joint FAO/WHO Expert Committe on Food Additives. Geneva: Switzerland. Keaney J. 2010. Food consumption trends and drivers. J Philo Trans R Soc Lond B. 365:2793-2807. [KEMENDIKBUD] Kemententrian Pendidikan dan Kebudayaan. Jumlah Data Satuan Pendidikan Sekolah per Kabupaten/ Kota di Pekanbaru. http://referensi.data.kemdikbud.go.id [14 April 2014]. Kroes R, Muller D, Lambe J, Lowik MR, Van KJ, Kleiner J, Massey R, Mayer S, Urieta I, Verger P, Visconti A. 2002. Assessment of intake from the diet. Food Chem Toxicol. 40(2-3):327-85. Lee CH, Cho YH, Park KH. 2005. Assessment of estimated daily intake of nitrite by average Consumption of processed foods in Korea. Food Cont. 17:950956. Lennerz BS, Vafai SB, Delaney NF, Clish CB, Deik AA, Pierce KA, Ludwig DS, Mootha VK. 2014. Effect of sodium benzoate, a widely used food preservative, on glucose homeostatis and metabolic profiles in human. J Mol Genet Metab. 114:73-79. Leth T, Frabricius N, Fagt S. 2007. Estimated intake of sweeteners from nonalcoholic baverages in Denmark. Food Addit Contam. 24:227-235 Lino CM, Costa IM, Pena A, Fereira R, Cardoso S.M. 2008. Estimated intake of the sweeters Acessulfame-K and aspartame from soft drinks, soft drink based on mineral water and Nectars for a group of Portuganes teenage students. Food Addit Contam. 25(11):1291-1296 Moraes PCBT dan Bolini HMA. 2009. Different sweeteners in beverages prepared with instant and roasted ground coffee:ideal and equivalent sweetness. J Sens Stud. 25:215-225. Mortensen A. 2006. Sweeteners permitted in the European Union: safety aspects. Scand J Food Nutr. 50(3):104-116. Mota FJM, Ferreira IMP, Chuca SC, Oliveira MBPP. 2003. Optimation of extraction Procedures for analysis of benzoic and sorbic acid in foodstuffs. J Food Chem. 82:469-473. Nelson AL. 2000. Sweeteners Alternative: Practical Guides for The Food Industry. Minnesota: Eagan Press. Nielson SJ, Siega-Riz AM, Popkin BM. 2002. Trends in food location and sources among adolescent and young adults. J Prev Med. 35:107-13. Olney JW, Farber NB, Spitznagel E, Robins LN. 1996. Increasing brain tumour rates; is there a link to aspartame?. J Neuropath Exp Neur. 55:115-23. Paundhey RM, dan S.K Upadhyay. 2012. Food Additive. Division of Genetics, Plant breeding And Agrotechnology. National Botanical Research Institute: India.
44
Pelucchi C, Bosseti C, Negri SE, Malvezzi M, La Vecchia C. 2006. Mechanism of disease: The epidemiology of bladder cancer. J Nat Clin Pract Urol. 3:327-340. Poulsen E. 1991. Safety evaluation of substasnces consumed as technical ingredients (food Additives). Food Addit Contam. 8(2):125-134. Price JM, Biava CG, Oser BL, Vogin EE, Steinfeld J, Ley HL. 1970. Bladder tumor in rats fed cyclohexylamine or high dose of cyclamate and sacharine. Science. 167:1131-1132. Rahayu WP, Kusumaningrum HD. 2004. Prinsip-Prinsip Analisis Risiko. Jakarta: BPOM RI. Raper N, Perloff B, Ingwersen L, Steinfeldt L, Anand J. 2004. An overview of USDA‟s dietary intake data system. J Food Comp Anal. 17:545-555. Renwick AG. 2006. The intake of intense sweeteners – an update review. Food Addit Contam. 23:327-380. Saulo AA. 2005. Sugar and sweeteners in Food. Food Safety and Technology. College of Tropical Agriculture and Human Resources. University of Hawai: Manoa. [SCF[ Scientific Committee on Food. 2000. Revised Opinion of The Scientific Commite on Food on Cyclamic Acid and its Sodium and Calcium Salts. Sharp JC dan Reilly WJ. 2000. Surveillance of Foodborne Disease dalam : Lund, Barbara M. The Microbiological safety and quality of food: Volume II. Apen Publisher: Inc Maryland. Singarimbun M, Sofian E. 1995. Metode Penelitian Survey. PT Pustaka LP3ES: Jakarta. [SNI] Standar Nasional Indonesia. 2004. Bahan Tambahan Pangan Pemanis Buatan. SNI 01-6993-2004. Jakarta: Badan Standarisasi Nasional. Sparinga RA, K Suharyanto. 2002. Surveilan Keamanan Pangan pada Rantai Produksi Pangan. Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Kemanan Pangan. BPOM: Jakarta. Suh HJ, Chung MS, Cho YH, Kim JW, Kim DH, Han KW, Kim CJ. 2005. Estimated daily Intake of butylated hydroxyanisole (BHA), butylated hidroxytoulene (BHT) and tert- Butyl hydroquinone (TBHQ) antioxidants in Korea. Food Addit Contam. 22(12):1176-1188. Sulaeman A. 2003. Snack Food Industry (modul 10). Kerjasama Pusat Studi Pangan dan Gizi IPB dan PT Sucofindo. Takayama S, Renwick AG, Johansson SL, Thorgeirsson UP, Tsutsumi M, Dalgard DW, Sieber SM. 2000. Long-term toxicity and carcinogenicity study of cyclamate in nonhuman primates. J Toxicol Sci. 53:33-39 Teddie C, Yu F. 2007. Mixed methods samping: A typology with examples. J Mix Method Res. 1(1):77-100. Tfouni SAV, Toledo MCF. 2002. Determination of benzoic and sorbic acid in Braziliant food. Food Control.13:117-123. [US FDA] Us Food and Drug Administration. 2006. Estimating Dietary Intake of Substances in Food. MD:Office of Food Additive Safety. Vereecken CA, Covent M, Hellert WS, Alvira JMF, Donne CL, Henauw SD, Vriendt TD, Phillipp MK, Beghin L, Manios Y, Hallstrom L, Poortvliet E, Mathys C, Plada M, Naggy E, Moreno LA. 2008. Development and
45
evaluation of a self-administered computerized 24-hours dietarry recall method for adolescent in Europe. Int J Obesity. 32:526-534. Wijaya CH, Mulyono N, Afandi FA. 2011. Bahan Tambahan Pengawet. IPB Press: Bogor. Wijaya CH, Mulyono N, Afandi FA. 2011. Bahan Tambahan Pemanis. IPB Press: Bogor. [WHO] World Health Organization. 2000. Foodborne Disease : A Focus For Health Education. Geneva: World Health Organization. [WHO] World Health Organization. 2005. GEMS/Food Total Diet Studies. Report of the 3rd International Work Shop on Total Diet Studies, Paris, 14-21 May 2004. Geneva: World Health Organization [WHO] World Health Organization. 2009. Principle and Methods for the Risk Assessment of Chemical in Food. Chapter 6, Dietary Exposure Assessment of Chemical in Food. Yoon HJ, Cho YH, Park J, Lee CH, Park SK. 2003. Assessment of estimated daily intake of benzoates for average and high consumers in Korea. Food Addit Contam. 20:127-135. Yu S, Zhu, B, Lv F, Li S, Huang W. 2012. Rapid analysis of cyclamate in foods and beverages by gas chromatography-electron-capture detector (GCECD). Food Chem. 134:2424-2429.
46
Lampiran 1 Kuesioner Survei Konsumsi Pangan (BPOM 2004). DAFTAR KONSUMSI HARIAN
NAMA LENGKAP
:
NAMA SEKOLAH
:
UMUR
:
KELAS
:
JENIS KELAMIN
:
BERAT BADAN
:
ALAMAT LENGKAP :
CATATAN Semua makanan/minuman yang dikonsumsi akan dicatat termasuk air minum, makanan cemilan, makanan utama, ataupun makanan jajanan. Nama makanan maupun jumlah yang dimakan (dalam URT), merek makanannya (Jika Ada), rasa/ warna produk pangan yang dikonsumsi akan ditulis dalam kolom yang disediakan.
Satuan Batang Buah Bungkus Butir Pak Biji Potong Lembar Tangkai Pucuk Sendok Teh Sendok Makan
Satuan Cangkir Piring Mangkuk Gelas Kaleng Iris Kilogram Gram Ons Pound Liter Mililiter
47
Poin Pertanyaan : 1. Sebutkan makanan atau minuman apa saja yang dikonsumsi 24 jam yang lalu. 2. Sebutkan nama merek, warna, dan rasa jika ada dari produk makanan atau minuman yang dikonsumsi 3. Sebutkan berapa banyak porsi atau ukuran produk makanan atau minuman yang anda konsumsi. ? Misal: 1 gelas, 1 bungkus, 1 sendok makan, dan sebagainya. No.
Waktu
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Pagi
7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18.
19.
Siang
Makanan atau minuman yang Dikonsumsi
Merk/ rasa/ warna
Jumlah/ porsi/ ukuran yang dikonsumsi
48
20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27.
Sore
28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40. 41. 42.
Malam
49
Hari, tanggal :
Jenis Produk Pangan
Pasta dan rice Sereal untuk sarapan Daging, dan Produk daging laiinya Ikan, dan produk ikan lainnya Produk saus, kecap, dan sejenisnya Minuman Berbasis susu; susu bubuk Aneka jus Sirup Snack kue, bread roll, bolu, cookies, pie, dan aneka produk bakery lainnya Krim (tawar) dan sejenisnya Krimer minuman Permen; termasuk permen keras, permen lunak, dan permen karet Produk kakao dan produk coklat Bahan baku berbasis buah-bahan meliputi toping buah, dan santan kelapa Sayuran dan produknya ES Produk kopi, teh Keju Minuman berkarbonasi Aneka Minuman dalam kemasan Telur dan produk olahan Madu Air Suplemen makanan
Merek Produk Pangan
Rasa/ Warna Kemasan Produk Pangan
Jumlah/ Porsi Makan/ Minum
50
Jem, jeli Kacang-kacangan, bijibijian Starch, potatoes Kacang Olahan Saus emulsi; mayonnaise, salad dressing Makanan penutup atau pencuci mulut (dessert).
51
Lampiran 2 Gambar Ukuran Porsi Pangan Ukuran porsi pangan
Sendok
Piring
Mangkuk
Gambar
52
Gelas Plastik
Gelas Kaca
Kemasan minuman; kaleng, botol, kotak, dan gelas
53
Kemasan Makanan; Bungkus, Kotak, Kaleng, Batang
54
Lampiran 3 Kategori Pangan
55
56
Lampiran 4 Jumlah Sekolah di Pekanbaru (KEMENDIKBUD) Kecamatan
SD
SMP
SMA
KEC. TAMPAN
45
20
12
77
KEC. BUKIT RAYA
27
11
4
44
KEC. LIMA PULUH
23
9
4
36
KEC. SAIL
8
5
5
18
KEC. PEKANBARU KOTA
13
3
1
17
KEC. SUKAJADI
24
12
7
43
KEC. SENAPELAN
17
6
4
27
KEC. RUMBAI
18
10
2
30
KEC. TENAYAN RAYA
36
22
10
68
KEC. MARPOYAN DAMAI KEC. RUMBAI PESISIR
36
14
8
58
25
10
4
39
KEC. PAYUNG SEKAKI
21
15
6
42
293
137
67
497
Jumlah
Jumlah
57
Lampiran 5 Peta Kota Pekanbaru
58
Lampiran 6 Perhitungan jumlah responden per-sekolah di setiap kecamatan Jumlah Sekolah per Kecamatan Misal: Kecamatan yang terpilih di salah satu blok adalah Kecamatan Rumbai Pesisir. SD
: 4 sekolah
SMP
: 4 sekolah
SMA : 2 sekolah Total Sekolah : 4 Sekolah Dasar (SD) X 4 Kecamatan
= 16 SD.
4 Sekolah Menengah Pertama (SMP) X 4 Kecamatan
= 16 SMP
2 Sekolah Menengah Atas (SMA) X 4 Kecamatan
= 8 SMA
Jumlah Siswa di Setiap Sekolah per Kecamatan No.
● SD
Tingkat pendidikan
Jumlah responden
1.
SD
256
2.
SMP
98
3.
SMA
46
:
= 64 responden
:
= 16-18 responden
SMP :
= 25 responden = 6-8 responden
● SMA :
= 12 responden
:
= 6-8 responden
A22
A15 A16 A17 A18 A19 A20
A1 A2 A3 A4 A5 A6 A7 A8 A9 A10 A11 A12 A13 A14
Kode Produk
59
350 350 350 350 350 350
Asesulfam K
Melebihi Melebihi Melebihi Melebihi Melebihi Melebihi Melebihi Melebihi Melebihi -
240 800 13043 720 700 680
Aspartam
600 600 600 600 600 600 600 600 600 -
Melebihi Melebihi Melebihi Melebihi Melebihi
Keterangan
Penggunaan didalam produk (mg/kg) 7000 4100 5600 7500 2625 2875 1363 4998 3399 -
600 600 600 600 600
350 350
Peraturan BPOM tahun 2014 (mg/kg)
Melebihi Melebihi Melebihi Melebihi Melebihi Melebihi Melebihi Melebihi Melebihi Melebihi tidak melebihi Melebihi Melebihi 640 1080 3285 1200 1240
287 375
Peraturan BPOM tahun 2014 (mg/kg) 600 600 600 600 600 600 600 600 600 600 600 600 600 Melebihi Melebihi Melebihi Melebihi Melebihi
Melebihi
Siklamat Penggunaan Peraturan didalam produk BPOM 2014 (mg/kg) (mg/kg) 16000 350 19750 350 8300 350 15500 350 11200 350 14125 350 375 350 14125 350 13300 350 725 350 1000 250 11000 350 625 350 600 600 600 600 600
600
tid 7875
600
Melebihi
Keterangan
Lampiran 7 Perbandingan penggunaan pemanis didalam produk minuman terhadap peraturan BPOM 2014
Penggunaan didalam produk (mg/kg) 1000 2875 4600 3625 4500 1000 2000 3000 5727 914 98.17 3599 625 1760 1360 4771 2840 1440
1500
Keterangan
Melebihi Melebihi Melebihi Melebihi Melebihi Melebihi Melebihi Melebihi Melebihi Melebihi Melebihi Melebihi Melebihi tidak melebihi Melebihi Melebihi Melebihi Melebihi Melebihi tidak melebihi Melebihi
Melebihi Melebihi tidak melebihi Melebihi
1280 4200 500.01 1857,18
600 600 600 600
lebihi Melebihi Melebihi tidak melebihi Melebihi
90 680 3600 1666.7 -
350 350 350 350 -
350 350 350 350
600 600 600 600
156.03 800 21250 365
1320 4500 166.67 4571.43
Melebihi tidak melebihi
A24 A25 A26 A27
600 600
350 350 350
1240 235
tid Melebihi Melebihi -
200 10900 400
600 600 -
tidak melebihi -
tid 600 -
Melebihi Melebihi Melebihi
1560 3750 -
-
211.43
600 600 600
A33 A34 A35
-
-
880 5500 1960
tidak melebihi Melebihi Melebihi Melebihi tidak melebihi Melebihi Melebihi tidak melebihi Melebihi Melebihi Melebihi tidak melebihi Melebihi Melebihi Melebihi Melebihi Melebihi Melebihi Melebihi
350 350 500 500
Melebihi
600 600 600 600
239 422.85 5900 4600
500
1280 2200 4600 1960
A37 A38 A39
4000
A28 A29 A30 A31
A40
60
61
RIWAYAT HIDUP Septya Rhozalya Nabilah lahir di Batam 5 September 1990, dari ayah Drs. Amril dan Ibu Rosmala, sebagai putri kedua dari tiga bersaudara. Penulis menamatkan SMA pada tahun 2008 dari SMA ADABIAH Padang dan pada tahun yang sama diterima di jurusan Kimia Universitas Andalas Padang. Penulis menamatkan Strata Satu (S1) pada bulan Oktober 2012, dan pada bulan Februari 2013 (semester genap) diterima di Institut Pertanian Bogor untuk melanjutkan studi Strata Dua (S2). Penulis memilih Program Studi Ilmu Pangan, Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan. Selama menjalani pendidikan perguruan tinggi, penulis pernah mempublis sebuah artikel jurnal yang berjudul “Sintesis dan Karakteristik Membran yang Berbahan Dasar Kitosan, Silika, dan Kalsium Karbonat” di Jurnal SAINS UNAND (Universitas Andalas). Selain itu, jurnal yang berjudul “Paparan BTP Pengawet dan Pemanis padan Pangan yang Dikonsumsi Anak Usia Sekolah di Kota Pekanbaru, Riau sedang menunggu proses review oleh mitra bestari di Jurnal AGRITECH UGM (Universitas Gajah Mada).