Papan Permainan sebagai Media Pembelajaran Kreatif Sastra Tradisional dengan Aksara Jawa Kuno
Dr. Rosida Tiurma Manurung, M. Hum. Fakultas Psikologi, Universitas Kristen Maranatha, Bandung
Abstrak Pada masa kini, sastra tradisional dengan aksara kuno di Indonesia dinyatakan hampir punah. Demikian juga, sastra sastra tradisional lainnya saat ini juga terancam punah. Untuk mengatasi ini, diperlukan pembelajaran sastra tradional yang sarat dengan nilai luhur dan nilai kepribadian bangsa. Akan tetapi, banyak dijumpai kelemahan dalam pembelajaran sastra tradisional ini, salah satunya adalah masih monotonnya sistem pembelajaran sastra di kelas. Penerapan metode mengajar yang beragam yang disertai dengan penggunaan media pembelajaran yang kreatif perlu didesain dan diaplikasikan, salah satunya ialah papan permainan. Kata kunci: papan permainan, sastra tradisional, kreativitas Abstract At present, the traditional literature of ancient scripts in Indonesia is at the point of extinction. Similarly, the exixtence ofother regional language literatures today is endangered. To overcome this problem, the learning required for traditional literature should be loaded with noble values and values of national identity. However, many weaknesses are found in learning the traditional literature, one of which is the monotony of classroom learning system in the literature. The application of a variety of teaching methods should be accompanied by a creative use of instructional media which are needed to be designed and applied, one of which is a board game. Keywords: board games, traditional literature, creativity
I.
Pendahuluan
Pada era modern ini, pengaruh budaya asing semakin meluas yang telah meminggirkan dan menggerus budaya lokal. Sastra tradisional Indonesia, baik lisan maupun tulisan yang beragam mulai ditinggalkan karena dianggap kuno. Semakin banyak pula ragam budaya yang akhirnya punah karena tidak adanya penerus. Begitu kayanya budaya Indonesia namun kurang tanggapnya generasi muda saat ini dalam mempertahankannya. Berdasarkan fakta, budaya lokal yang terancam punah salah satunya adalah satra tradisional yang menggunakan huruf kuno atau aksara kuno. Salah satunya adalah sastra tradisonal dengan aksara Jawa yang biasa disebut Hanacaraka. Huruf ini dinilai kuno, tidak modern, dan sulit dipelajari di kalangan generasi muda. Padahal, Hanacaraka merupakan warisan budaya bernilai tinggi dan menunjukkan kepribadian bangsa. Di Yogyakarta dan Jawa Tengah, huruf Hanacaraka masih dapat ditemukan dan digunakan terutama untuk memberi nama jalan. Akan tetapi, fakta itu hanya berlaku di daerah pedesaan saja. Daerah perkotaan yang terkena imbas globalisasi mulai meninggalkan tradisi tersebut. Dengan adanya gejala kurang antusiasnya generasi muda kepada pembelajaean sastra tradisional yang terkesan monoton dan klasikal, diperlukan pembahasan dan penelitian tentang 197
Zenit Volume 2 Nomor 3 Desember 2013
perancangan pembelajaran muatan lokal dengan media yang interaktif dan kreatif. Papan permainan dapat menjadi sarana terbaik untuk dijadikan media pembelajaran Aksara Jawa Kuno kepada generasi muda sehingga generasi muda dapat mulai mengenal dan mencintai budayanya sendiri. Nilai-nilai luhur yang berisi pandangan hidup dan nilai moral yang terkandung di dalam aksara Hanacaraka akan hilang begitu saja jika tidak dipertahankan. Diharapkan pembahasan dan penelitian tentang kreativitas pembelajaran aksara Jawa kuno di kalangan generasi muda dengan Game dapat menghasilkan konsep model paradigma kaidah yang dapat dimanfaatkan dan diaplikasikan secara praktis oleh pengguna penelitian. Dalam penelitian ini pengguna penelitian yang dapat menggunakan hasil pembahasan ialah pemerintah daerah, dinas pariwisata, departemen pendidikan dan budaya, sejarahwan, guru, pelajar, masyarakat luas, serta pemerhati bidang pendidikan.
II.
Sastra Tradisonal dan Aksara Kuno
2.1
Sastra Tradisional
Pada awalnya, sastra tradisional (tertulis) paling banyak dijadikan objek penelitian filologi ketimbang objek penelitian sastra sendiri. Dengan pendekatan filologi teks sastra tradisional yang dijadikan bahan kajian dianggap sebagai “cermin berbahan bahasa” yang dapat memantulkan gambaran perkembangan budaya suatu bangsa lewat penggunaan kata. Via teks sastra dicarilah di antaranya informasi budaya, agama, sosial, filsafat, sejarah, dan mistik. Dengan cara di atas, tidak mengherankan apabila dapat dijaring data ekstrinsik. Haruslah diakui bahwa penelitian terhadap teks-teks sastra tradisional (juga lisan) telah berlangsung lama, tetapi fokus utama umumnya pada aspek kesastraan. Penelitian sastra tradisional yang membahas aksara kuno masih kurang mendapat perhatian. 2.2
Hanacaraka sebagai Seni Sastra Tulis Tradisional
Menurut J.G. de Casparis dari Belanda, yaitu pakar paleografi atau ahli ilmu sejarah aksara, aksara Hanacaraka itu berasal dari aksara Palawa India Selatan. Jenis aksara ini mulai digunakan sekitar abad ke-4 dan abad ke-5 masehi. Salah satu bukti penggunaan jenis aksara ini di Nusantara adalah ditemukannya prasasti Yupa di Kutai, Kalimantan Timur. Aksara ini juga digunakan di Pulau Jawa, yaitu di Tatar Sunda di Prasasti Tarumanegara yang ditulis sekitar pada tahun 450 M. di tanah Jawa sendiri, aksara ini digunakan pada Prasasti Tuk Mas dan Prasasti Canggal. Aksara Palawa ini menjadi ibu dari semua aksara yang ada di Nusantara, termasuk aksara Hanacaraka. Hanacaraka merupakan salah satu bentuk perkembangan tulisan Jawa yang terdiri atas 20 huruf. Prasasti Jawa tertua memang menggunakan tulisan Palawa ini, tetapi aksara Hanacaraka yang digunakan para pujangga Jawa Timur dari abad ke-10 hingga 11 dalam ciptaan-ciptaan kakawihan mempunyai ciri khas Jawa. Ha-Na-Ca-Ra-Ka berarti ada ‘utusan‘, yakni utusan hidup, berupa nafas yang berkewajiban menyatukan jiwa dengan jasat manusia. Maksudnya ada yang mempercayakan, ada yang dipercaya, dan ada yang dipercaya untuk bekerja. Ketiga unsur itu adalah Tuhan, manusia, dan kewajiban manusia (sebagai ciptaan). Da-Ta-Sa-Wa-La berarti manusia setelah diciptakan sampai dengan data ‘ saatnya (dipanggil) ‘ tidak boleh sawala ‘ mengelak ‘ manusia (dengan segala atributnya) harus bersedia melaksanakan, menerima dan menjalankan kehendak Tuhan. Pa-Dha-Ja-Ya-Nya berarti menyatunya zat pemberi hidup (Ilahi) dengan yang diberi hidup (makhluk). Makna padha sama’ atau sesuai; cocok ‘, batin yang tercermin dalam perbuatan berdasarkan keluhuran dan keutamaan’. Jaya itu ‘menang, unggul‘ sungguh-sungguh dan bukan menang-menangan ‘bukan sekadar menang ‘ atau menang tidak sportif. Ma-Ga-Ba-Tha-Nga berarti menerima segala yang diperintahkan dan yang dilarang oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Maksudnya manusia harus pasrah, sumarah pada garis kodrat meskipun manusia diberi hak untuk mewiradat, tetapi tetap berusaha untuk menanggulanginya.
198
Papan Permainan sebagai Media Pembelajaran Kreatif Sastra Tradisional dengan Aksara Jawa Kuno (Rosida Tiurma Manurung)
Gambar 1 Hanacaraka Dasar
Urutan dasar aksara Jawa banyak dikenal orang karena berisi suatu ‘cerita’: - Hana Caraka (Terdapat Pengawal) - Data Sawala (Berbeda Pendapat) - Padha Jayanya (Sama kuat/hebatnya) - Maga Bathanga (Keduanya mati). Bagi mereka yang kurang mengenal bahasa Jawa, diperlukan pengetahuan sebagai berikut. /d/, /ɖ/, /j/, /b/, dan /g/ pada bahasa Jawa selalu dibunyikan meletup (ada hembusan h); ini memberikan kesan ‘berat’ pada aksen Jawa. ha, mewakili fonem /a/ dan /ha/. Bila aksara ini terletak di depan suatu kata, akan dibaca /a/. Aturan ini tidak berlaku untuk nama atau kata bahasa asing (selain bahasa Jawa). da dalam penulisan latin dipakai untuk /d/ dental dan meletup (lidah di belakang pangkal gigi seri atas dan diletupkan). /d/ ini berbeda dari bahasa Indonesia/Melayu. dha dalam penulisan Jawa latin dipakai untuk /ɖ/ (d-retrofleks). Posisi lidah sama dengan /d/ bahasa Melayu/Indonesia, tetapi bunyinya diletupkan. tha dalam penulisan Jawa latin dipakai untuk /ʈ/ (t-retrofleks). Posisi lidah sama seperti /d/ tetapi tidak diberatkan. Bunyi ini mirip dengan bila orang beraksen Bali menyuarakan 't'.
III.
Kreativitas dengan Papan permainan
3.1
Kreativitas
Pengertian orang atau pribadi sebagai kriteria kreativitas dikemukakan oleh Guilford (1950) disebut kepribadian kreatif. Kepribadian kreatif menurut Guilford meliputi dimensi kognitif (yaitu bakat) dan nonkognitif (yaitu minat, sikap, dan kualitas temperamental). Menurut teori ini, orangorang kreatif memiliki ciri-ciri kepribadian yang yang secara signifikan berbeda dengan orang-orang yang kurang kreatif. Karakteristik-karakteristik kepribadian ini menjadi kriteria untuk mengidentifikasi orang-orang kreatif. Orang-orang yang memiliki ciri-ciri seperti yang dimiliki oleh orang-orang kreatif dengan sendirinya adalah orang kreatif (Supriadi, 1994: 13). Kriteria ketiga adalah produk kreatif, yang 199
Zenit Volume 2 Nomor 3 Desember 2013
menunjuk kepada hasil perbuatan, kinerja, atau karya seseorang dalam dalam bentuk barang, atau gagasan. Kriteria ini dipandang sebagai yang paling eksplisit untuk menentukan kreativitas seseorang. Menurut Supriadi (1994: 23), ada lima pendekatan yang digunakan untuk menilai kreativitas seseorang. 1) Analisis objektif terhadap produk kreatif:Pendekatan ini dimaksudkan untuk menilai secara langsung kreativitas suatu produk berupa benda atau karya-karya kreatif lain yang dapat diobservasi wujud fisiknya. Pendekatan ini pertama kali dikemukakan oleh Ghiselin (1963). Metode ini dikembangkan oleh Simonton (1980) yaitu digunakan dalam studinya terhadap kreativitas dalam karya musik klasik, berdasarkan orisinalitasnya. 2) Pertimbangan subjektif: Pendekatan ini mengandalkan berbagai kamus biografi untuk memilih orang-orang kreatif. Pertimbangan subjektif digunakan dengan cara meminta sekelompok pakar untuk menilai kreativitas orang-orang tertentu yang sesuai dengan bidangnya. 3) Inventori kepribadian: Pendekatan ini ditujukan untuk mengetahui kecenderungan-kecenderungan kepribadian kratif seseorang atau keterkaitan kepribadian yang berhubungan dengan kreativitas. Kepribadian kreatif meliputi: sikap, motivasi, minat, gaya berpikir, dan kebiasaan-kebiasaan dalam berperilaku. 4) Inventori biografis: Inventori biografis digunakan untuk mengungkap berbagai aspek kehidupan orang-orang kreatif, meliputi identitas pribadi, lingkungan, dan pengalaman-pengalaman hidupnya. Dengan memperhatikan biografis seseorang, maka dapat dilihat tingkat kreativitas orang tersebut. 5) Tes Kreativitas: Tes kreativitas digunakan untuk mengidentifikasi orang-orang kreatif yang ditunjukkan oleh kemampuan dalam berpikir kreatif. Hasil tes ini berbentuk skor yang kemudian dikonversikan ke dalam skala tertentu yang menghasilkan Creativity Quotient (CQ) yang mirip dengan Intelligence Quotient (IQ). 3.2
Papan permainan
Game pada katagori Papan permainan membutuhkan suatu papan yang terbagi dalam sektorsektor tertentu (dengan garis-garis) dan didalamnya terdapat sejumlah alat main yang dapat digerakkan. Termasuk dalam katagori ini adalah catur. Dua buah pemain akan berhadapan dan saling mengadu strategi sesuai dengan aturan untuk mencapai daerah lawan atau mempertahankan daerahnya sendiri, mengalahkan bidak musuh, mengumpulkan sesuatu. Pemain pada papan permainan ini akan berusaha menganalisis hubungan-hubungan geometri yang ada pada papan dan bidak. 3.3
Fungsi Papan permainan
Tim penelitian dari University of California, San Fransisco menemukan bahwa game dianggap mampu menajamkan kembali fungsi otak bagi manula. Selain itu, Papan permainan juga mampu mengembangkan kemampuan motorik anak menjadi lebih baik. Game interaktif seperti Papan permainan juga meningkatkan kemampuan motorik kontrol, seperti menendang, menangkap, melempar bola, cenderung lebih baik pada anak-anak yang bermain game interaktif. Papan permainan juga sarana yang sangat baik sebagai media interaktif pembelajaran anak karena sangat fun dan friendly. Papan permainan juga sangat mendukung interaksi anak dengan orang lain, karena Papan permainan dirancang untuk dimainkan oleh lebih dari 1 orang. 3.4
Jenis-jenis Papan permainan
Papan permainan umumnya mengangkat tema yang spesifik serta menarik, dilengkapi dengan peraturan yang mendetail, tetapi tetap mudah diikuti, mekanisme permainan yang menantang logika (sekaligus meminimalkan faktor keberuntungan), dan menuntut adanya interaksi yang cukup sering antara para pemain, jauh berbeda dari berbagai permainan papan yang umumnya telah lama kita kenal (ular tangga, ludo, atau halma). Tema yang diangkat sangat bervariasi, mulai dari sejarah/legenda (Alhambra, Tajmahal, Marcopolo), tempat-tempat menarik di seluruh belahan dunia (Indonesia, Manila, Niagara), cerita dari buku/film (Lord of the Ring, Pilars of the Earth), dan berbagai tema umum yang biasa kita dapati alam keseharian kita (perdagangan, politik, atau interaksi sosial). 200
Papan Permainan sebagai Media Pembelajaran Kreatif Sastra Tradisional dengan Aksara Jawa Kuno (Rosida Tiurma Manurung)
Beberapa di antaranya bahkan dilengkapi dengan ilustrasi dan komponen permainan yang begitu indah sehingga layak disebut sebagai sebuah karya seni. Dengan berbagai karakteristik yang dimilikinya, papan permainan berhasil menjadi sebuah komoditas sangat menarik (sekaligus mahal). Di banyak negara Eropa, pencipta papan permainan (umumnya dikenal sebagai game engineer/game designer) menjadi sebuah profesi yang cukup menjanjikan dan sangat dihargai, bahkan dianggap setingkat dengan para pengarang buku . Seorang game engineer dituntut untuk memiliki pengetahuan yang memadai di bidang matematika dan statistika, karena umumnya kedua hal tersebut menjadi faktor penting dalam penciptaan mekanisme permainan. Selain itu mereka juga umumnya dituntut untuk memiliki pengetahuan tentang tema yang diangkat (sejarah, psikologi, ekonomi, literatur, dll). Dengan demikian, sebuah proces penciptaan permainan papan bisa dilihat sebagai sebuah proses riset yang kompleks. Salah seorang game engineer terkemuka Friedemann Friese bahkan telah merencanakan proses riset selama 5 tahun untuk ide permainan terbarunya. Menurut Friedemann Friese, dua karakteristik utama dari papan permainan, tema dan mekanisme permainan, juga menjadikan papan permainan menjadi sebuah produk yang memiliki fungsi ganda. Selain fungsi utama sebagai alat hiburan, papan permainan juga dapat dimanfaatkan sebagai alat belajar yang efektif. Setiap permainan papan umunya dilengkapi dengan keterangan minimal umur pemain yang disarankan, disesuaikan dengan tingkat kesulitan permainan. Papan permainan untuk anak-anak dan keluarga umumnya lebih banyak menekankan faktor edukasi sederhana dan interaksi/komunikasi yang intensif diantara pemain. Untuk level kesulitan yang lebih tinggi umumnya dibutuhkan lebih banyak perhitungan dan perencanaan/strategi untuk bisa memenangkan permainan. Berbeda dengan catur, yang hanya bisa dimainkan oleh dua orang, permainan papan umumnya dimainkan oleh lebih dari dua orang, ditambah mekanisme yang unik menjadikan permainan ini relatif lebih kompleks dan tentunya lebih menarik. Sayangnya, hingga saat ini papan permainan masih menjadi suatu produk impor yang relatif mahal dan belum bisa dinikmati oleh masyarakat banyak. Walaupun komunitas penggemar permainan ini di Indonesia telah semakin banyak, tetapi tetap saja kita kesulitan untuk bisa menikmati permainan jenis ini. 3.5
Papan Permainan sebagai Media Pembelajaran yang Kreatif
Dalam pembelajaran sastra tradisional, dibutuhkan sebuah bentuk media pembelajaran yang mampu mengakomodasi kebutuhan guru-guru dalam menyampaikan materi kepada murid dengan cara yang menarik, tetapi efektif dan efisien. Salah satu bentuk media edukasi yang efektif dan efisien yang dapat digunakan sebagai perangkat pengajaran yakni games. Tidak dapat dimungkiri, pada era modern ini, games telah memberikan daya tarik besar kepada generasi muda. Bagaimana ketertarikan siswa terhadap games dijadikan sumber energi positif untuk menyampaikan pengetahuan kepada siswa sehingga siswa antusias dan memiliki ketertarikan yang besar. Salah satu alternatifnya adalah menjadikan papan permaianan sebagai media baru dalam pembelajaran sastra tradisional yang menggunakan aksara hanacaraka. Papan permainan adalah suatu permainan yang sudah ada sejak 5000 tahun yang lalu. Papan permainan sebagai alternatif pembelajaran tersebut sebenarnya bukanlah hal yang baru. Oleh karena kita sejak lama sudah mengenal catur, halma, ludo, dan ular tangga, sebagai papan permainan yang digunakan dan merupakan game-game menarik untuk dimainkan di berbagai kalangan dari anak sampai dewasa karena cara memainkannya mudah dan tidak rumit. Papan permainan memiliki potensi besar untuk dikembangkan, serta bisa menjadi alternatif media untuk menyampaikan materi pembelajaran. Untuk itu ComLabs ITB bersama Kummara, telah memproduksi papan permainan yang kreatif untuk pembelajaran, dengan mengadakan kegiatan inisiatif yang menghadirkan beragam papan permainan pembelajaran yang menarik untuk dimainkan. Dalam ajang itu lebih dari tiga ratus peserta akan bisa memainkan lebih dari seratus jenis papan permainan. Industri papan permainan memiliki potensi luar biasa dan produk papan permainan buatan Indonesia akan mulai dikenal di seluruh dunia. Dalam pembelajaran sastra tradisional, papan permainan, misalnya monopoli, menggunakan aksara hanacaraka disertai aksara latin untuk menunjukan nilai uang, lokasi, atau benda yang dijual 201
Zenit Volume 2 Nomor 3 Desember 2013
dan dibeli. Contoh lain, papan permainan ular tangga menggunakan cerita tradisional dengan aksara hanacaraka, contohnya cerita Aji Saka dan asal-mula Pulau Jawa. Gambar 2 Papan Permainan
Sumber: www.tekno.kompas.com
IV.
Simpulan
Dari paparan tentang penggunaan multimedia dalam pengajaran muatan lokal sastra tradisional di sekolah, dapat disimpulkan beberapa hal: 1. Sastra tradisional berada kondisi kritis karena banyak generasi sekarang sudah tidak mengenalnya. Untuk menanggulangi kepunahan sastra tradisional, pemerintah memberlakukan sastra tradisional sebagai muatan lokal yang dipelajari di sekolah. 2. Meskipun menjadi muatan lokal dan diajarkan di sekolah, mata pelajaran sastra tradisional masih kurang diminati siswa. Hal ini disebabkan mata pelajaran sastra tradisional diajarkan dengan cara monoton dan klasikal. 3. Untuk mengatasi masalah ini, metode pengajaran sastra tradisional perlu dikembangkan, dengan penerapan metode pembelajaran papan permainan. 4. Penggunaan papan permainan,selain untuk menumbuhkan semangat belajar pada siswa, juga dapat membantu serta memfasilitasi siswa dengan gaya belajar yang kreatif dan berbeda. 5. Berbagai macam papan permainan sastra tradisional dengan aksara hanacaraka dapat dimainkan dalam proses belajar siswa. Permainan ini jika didukung oleh bahan ajar terstuktur akan menghasilkan hasil yang luar biasa.
V.
Daftar Pustaka
Semiawan, Conny dkk. 1984. Memupuk Bakat dan Kreativitas Siswa Sekolah Menengah. Jakarta: Gramedia. Supriadi, Dedi.1994. Kreativitas, Kebudayaan, dan Perkembangan Iptek. Bandung: Alfabeta. Guilford, J.P.1977. Way Beyond the IQ. Buffalo:Creative Learning Press. Munandar, Utami. 1999.Pengembangan Kreativitas Anak Berbakat. Jakarta: Depdiknas dan Rineka Cipta.
202