Linguistika Akademia Vol.1, No.1, 2012: 31~42 ISSN: 2089-3884
PADANAN FUNGSIONAL PADA PERIBAHASA TERJEMAHAN INGGRIS-INDONESIA Candra Irwanto e-mail:
[email protected] ABSTRACT Translation of a text has often meaning changes between source language and target language. One of the samples is the translation of proverbs, especially English proverbs which are translated into Indonesian proverbs. It happens because there is one of translation theories which allows the changes, it is a free translation. This analysis aims to describe the causes and reasons why the changes can be accepted by Indonesia people when they read the text. This paper uses method of comparison between method of foregrounding and method of automatization because it focuses on the both proverbs. The result of analysis shows that the tendency in choosing automatization than foregrounding because of the different background such as social, culture, place, and to show the value of aesthetics.
ABSTRAK Dalam teks terjemahan sering ditemukan ketidaksesuain arti antara bahasa sumber dengan bahasa sasaran. Salah satu contohnya yaitu pada terjemahan peribahasa bahasa Inggris ke bahasa Indonesia. Hal itu terjadi karena memang dalam salah satu metode terjemahan ada yang dinamakan terjemahan bebas yang mengijinkan ketidaksesuaian itu. Kajian ini bertujuan untuk mengungkap sebab-sebab dan alasan-alasan kenapa hal itu diterima oleh para pengguna bahasa Indonesia ketika mereka membaca teks terjemahan tersebut. Metode yang digunakan ialah perbandingan metode foregrounding dengan metode aoutomatization karena pembahasan ini difokuskan pada kedua peribahasa bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. Hasil analisis menunjukan bahwa kecenderungan menggunakan metode aoutomatization daripada foregrounding dikarenakan perbedaan sosial ,budaya, keadaan alam, dan untuk menimbulkan nilai estetika. Kata kunci: terjemahan, peribahasa, estetika.
A. PENDAHULUAN Bahasa tidak sekadar sebagai alat komunikasi belaka. Di balik itu, bahasa mempunyai kekuatan, keindahan dan kedalaman makna. Bila kita melihat orang bercakap-cakap di pinggir jalan, di warung,
32
atau pun di tempat umum lainnya, maka bahasa itu akan terlihat biasa-biasa saja. Tetapi, bahasa tampil dengan sangat berbeda ketika bahasa itu dituangkan sebagai alat penyampaian makna dalam karya sastra, khususnya puisi. Salah satu contoh di mana bahasa atau kata-kata itu mempunyai kekuatan yang dapat mempengaruhi pembaca atau pendengar ialah dalam puisi-puisinya Sutardji Calzoum Bachri. Pada umumnya, puisi akan terasa indah ketika rima-rima yang mengakhiri setiap barisnya tersusun dengan senada, tapi tidak demikian dengan beliau, ia lebih mengandalkan kekuatan bahasa untuk menyampaikan suatu pesan. Hal itu bisa terlihat dari pusi-puisnya yang berudul “Tapi”, “Amuk”, “Tragedi Winka & Sikha”, dan “Sepisaupi”. Untuk lebih jelasnya berikut penulis kutip sepenggal puisi dari “Sepisaupi”. Sepisau luka sepisau duri Sepikul dosa sepukau sepi Sepisau duka serisau diri Sepisau sepi sepisau nyanyi
Sutardji menggabungkan kata sepi dan pisau dan sapa menjadi pisau, sepisaupi, sepisaupa, sepisapa-nya, maka sapanya dalam sepi itu menusuk seperti pisau. Di situ arti sepi dan pisau digabungkan hingga terjadi makna sepi seperti pisau menusuk (Pradopo, 2011: 152). Lain lagi dengan puisi-puisinya Chairil Anwar yang keindahan bahasa atau kata-kata dan rima yang sangat indah dan senada sehingga pembaca atau pendengar pun akan merasakan keindahan bahasa tersebut. Salah satu contoh penggalan puisinya adalah dalam film Ada Apa Dengan Cinta saat Cinta, sang tokoh utama membacakan puisi yang berbunyi: Aku susah tidur Orang ngomong Anjing menggonggong Dunia jauh mengabur
Puisi di atas sekilas tampak sederhana. Pemilihan kata yang terbaca pun tidak asing didengar. Namun, karena puisi tersebut Linguistika Akademia Vol. 1, No. 1, 2012 : 31 – 42
Linguistika Akademia
ISSN: 2089-3884
33
berima, yaitu abab, maka keindahan bahasa yang penuh makna itu muncul ke hadapan para penikmat karya sastra, khususnya puisi. Kekuatan dan keindahan bahasa tidak hanya terdapat pada puisi. Contoh lain yang membuat bahasa itu menjadi tidak biasabiasa saja ialah pada kalimat-kalimat peribahasa. Peribahasa menurut kamus Cambridge Advanced Learner’s Dictionary adalah a short sentence, usually known by many people, stating something commonly experienced or giving advice, kalimat pendek yang menyampaikan pengalaman penuh makna dari orang dulu dan atau untuk memberi nasihat-nasihat bijak. Sedangkan, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, peribahasa diartikan sebagai ungkapan atau kalimat ringkas padat, berisi perbandingan, perumpamaan, nasihat, prinsip hidup atau aturan tingkah laku. Jadi, bahasa peribahasa sarat makna dengan pemilihan kata-kata yang indah— biasanya menggunakan pengandaian—dan tepat. Seperti puisi, peribahasa juga tidak kalah indahnya. Namun, bagimana kalau bahasa peribahasa itu diterjemahkan ke dalam bahasa lain, misalnya peribahasa berbahasa Inggris diterjemahkan ke peribahasa berbahasa Indonesia. Apakah keindahan bahasa masih bisa terjaga dengan segala aspek yang menghambatnya? Mulai dari perbedaan tempat tinggal, sosial budaya, keadaan alam, dan tentu perbedaan bahasa yang mempunyai tata bahasa yang berbeda pula. Bagaimana pula peran foregrounding atau terjemahan secara harfiah dan automatization atau terjemahan bahasa bermain pada proses tersebut? Apakah keindahan estetika di setiap peribahasa bahasa asing yang kemudian diterjemahkan ke bahasa Indonesia dapat tersampaikan? Pertanyaan-pertanyaan itulah yang akan penulis uraikan pada kajian ini. B. LANDASAN TEORI Konsep estetika dari bahasa lahir pada tahun 1930-an dan awal 1940-an dan tokoh utamanya ialah Jan Mukarovsky, seoarang yang termasuk ke dalam aliran Praha. Konsepnya kurang lebih sebagai berikut. Bahwa setiap objek tindakan, termasuk bahasa, bisa memiliki fungsi praktisnya. Bahasa misalnya mempunyai fungsi praktis komunikasi. Manakala objek atau tindakan itu yang menjadi fokus perhatian dan untuk objek atau tindakan itu sendiri, bukan untuk Padanan Fungsional pada Terjemahan Peribahasa Inggris… (Candra Irwanto)
34
fungsi praktisnya – nilai praktisnya sudah ditanggalkan, maka objek atau tindakan tersebut dikatakan mempunyai nilai estetis. Dalam pengertian ini maka nilai estetis tidak terbatas hanya pada karya kesusasteraan saja tetapi hadir dalam hubungannya dengan objek atau tindakan apapun. Hal ini karena kita mendekati dengan apa yang disebut foregrounding of the utterance sebagai kebalikan dari automatization. Automatization mengacu kepada stimulus yang biasa diharapkan dalam situasi sosial. Sebaliknya foregrounding (dalam bahasa Ceko: aktualisace) mengacu kepada stimulus yang secara cultural tidak diharapkan muncul dalam situasi sosial, hingga ia menarik perhatian. Berikut contoh automatization dan foregrounding. Dalam bahasa Sunda, terdapat kalimat bade kamana, ungkapan ini lebih merupakan ungkapan salam di jalan, dan sejajar dengan ungkapan, hello! Dalam bahasa Inggris. Sering ditemui mahasiswa pemula dalam mempelajari bahasa Inggris menerjemahkan secara harfiah, where are you going? Sewaktu bertemu orang asing. Ini akan menimbulkan rasa kaget baginya, mungkin ia akan menjawab, it’s my own business. Contoh di atas menggiring kita pada kesimpulan bahwa terjemahan bahasa merupakan aoutomatization, sedangkan terjemahan harfiah (literal translation) adalah contoh foregrounding, yaitu bahwa kata itu sendiri (where are you going) bukannya makna komunikatif pesan yang diberi respon. Sewaktu mereaksi terhadap kata-kata itulah yang dimaksudkan dengan fungsi estetik, yang menurut Jan Mukarovsky: the esthetically intentional distortion of the linguistic components. (Garvin in Hill, ed. 1969:266) (Alwasiah, 1993: 40-41). C. PEMBAHASAN 1. Data Bahasa No 1
Peribahasa Bahasa Sumber Charity begins at home
Peribahasa Bahasa Sasaran Sebelum memikirkan orang lain, pikirlah diri sendiri dulu
2
Let sleeping dogs lie
Jangan mengusik, pertengkaran
Linguistika Akademia Vol. 1, No. 1, 2012 : 31 – 42
sebab
jadi
Linguistika Akademia
ISSN: 2089-3884
35
3
Kill two birds with one stone
Sekali dayung, dua, tiga pulau terlampaui
4
Still waters run deep
Orang diam tanda berilmu
5
Every cloud has a silver lining
Setiap musibah pasti ada hikmahnya
6
You can’t judge a book by its cover
Jangan menilai orang hanya dari luar
2. Analisis Pada bagian ini, penulis akan menganalisis satu demi satu sumber data yang sudah tertera di atas dengan menggunakan perbandingan antara automatization dan foregrounding. 1) Charity begins at home: Sebelum memikirkan orang lain, pikirlah diri sendiri dulu Bagi para pemula pembelajar bahasa Inggris ketika melihat terjemahan di atas mungkin akan kebingungan dalam menyelaraskan antara bahasa sumber, yaitu bahasa Inggris dengan bahasa sasaran, bahasa Indonesia. Pada bahasa sumber disebutkan kata charity yang dalam hal ini berarti “kebaikan” sedangkan pada bahasa sasaran tidak disebutkan kata “kebaikan”. Selanjutnya, pada bahasa sumber disebutkan kata begins yang bertindak sebagai kata kerja yang berarti “mulai”, namun dalam bahasa sasaran tidak disebutkan kata “mulai”. Dan yang terakhir at home dalam bahasa sumber yang berarti “di rumah” juga tidak diterjemahkan “di rumah” pada bahasa sasaran. Semua hasil terjemahan dari bahasa sumber tidak menggunakan satu kata pun yang sama artinya, charity begins at home diterjemahkan menjadi “sebelum memikirkan orang lain, pikirlah diri sendiri dulu”. Padahal, pada bahasa sumber tidak disebutkan kata-kata before, people, dan seterusnya yang mempunyai arti sama dengan hasil terjemahannya. Maka, dalam penerjemahan peribahasa tersebut dapat disimpulkan bahwa metode terjemahan tidak menggunakan foregrounding, tapi memakai automatization. Untuk membuktikan pernyataan tersebut, berikut penulis sebutkan makna peribahasa dari bahasa sumber tersebut. Makna peribahasa bahasa Inggris charity begins at home menurut Cambridge Advanced Learner’s Dictionary adalah you Padanan Fungsional pada Terjemahan Peribahasa Inggris… (Candra Irwanto)
36
should take care of your family and other people who live close to you before helping people who are living further away or in another country. Jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia kurang lebih sebagai berikut, kamu sebaiknya memperhatikan keluargamu atau orang-orang terdekat lebih dulu sebelum memperhatikan orang yang berada jauh apalagi jauh di lain Negara. Dari pengertian atau pun pemaknaan yang telah diuraikan, tampak jelas adanya kesamaan makna dengan hasil terjemahan “sebelum memikirkan orang lain, pikirlah diri sendiri dulu”. Terjemahan tersebut sekaligus menunjukan bahwa pemaknaan yang pada awalnya menimbulkan kebingungan ternyata mempunyai nilai estetika yang tinggi. 2) Let sleeping pertengkaran
dogs
lie:
Jangan
mengusik,
sebab
jadi
Terjemahan di atas juga akan menimbulkan kebingungan bagi para pemula pembelajar bahasa Inggris, apalagi bagi mereka yang tidak tahu-menahu tentang peribahasa bahasa Inggris. Seperti pada kasus terjemahan charity begins at home, terjemahan ini juga mempunyai padanan kata yang sangat berbeda antara bahasa sumber dengan bahasa sasaran. Pada peribahasa bahasa sumber diawali dengan kata let yang berarti “biarkan”, tetapi pada bahasa sasaran justru diawali dengan kata “jangan”. Kata selanjutnya yaitu sleeping dalam bentuk gerund atau kata kerja yang dibendakan pada bahasa sumber, namun pada bahasa sasaran tidak ada satu kata pun yang mengandung unsur tidur. Kata yang ketiga yaitu dogs yang berarti anjing dalam bentuk jamak, tapi pada bahasa sasaran juga tidak disebutkan kata anjing atau hewan lainnya yang berpadanan dengan anjing, bahkan hasil terjemahan teresebut sama sekali tidak memiliki objek langsung yang menyebabkan ambiguitas kepada siapa perintah itu ditujukan. Jadi, dengan melihat beberapa kasus yang terjadi pada penerjemahan peribahasa bahasa Inggris, let sleeping dogs lie, ke dalam bahasa Indonesia yang diterjemahkan menjadi “jangan mengusik, sebab jadi pertengkaran”, kembali menunjukan bahwa terjemahan ini menggunakan metode automatization bukan foregrounding. Untuk lebih jelasnya berikut penulis cantumkan pengertian peribahasa bahasa sumber let sleeping dogs lie menurut Cambridge Advanced Learner’s Dictionary, artinya ialah said to warn Linguistika Akademia Vol. 1, No. 1, 2012 : 31 – 42
Linguistika Akademia
ISSN: 2089-3884
37
someone that they should not talk about a bad situation that most people have forgotten about. Jika diterjemahkan peribahasa tersebut menjadi “peringatkanlah kepada siapapun untuk tidak berkata tentang hal buruk pada masa lalu yang sudah dilupakan oleh orangorang. Dari pengertian tersebut dapat dihubungkan kepada makna yang terkandung pada hasil terjemahan “jangan mengusik, sebab jadi pertengkaran”. Kedua arti—makna dalam kamus dan makna pada hasil terjemahan—mempunyai maksud yang sama yaitu jangan mengungkit-ungkit kejadian masa lalu yang barangkali ada seseorang yang akan tersinggung yang disimbolkan oleh seekor anjing dan masa lalu disimbolkan oleh sleeping atau tidur. Kesimpulannya, terjemahan ini juga mempunyai nilai estetika sekaligus nilai moral yang amat luhur. 3) Kill two birds with one stone: Sekali dayung, dua, tiga pulau terlampaui Pada bagian ketiga ini, setidaknya ada sedikit perbedaan dengan hasil terjemahan yang pertama dan yang kedua. Bila pada hasil terjemahan yang pertama dan yang kedua tidak ada satu kata pun yang sama atau mirip artinya sesuai kamus, pada terjemahan ini terdapat satu kata yang artinya sesuai yaitu kata two pada bahasa sumber yang diartikan “dua” pada bahasa sasaran. Tetapi, kesamaan tersebut tidak serta-merta dapat dikatakan bahwa terjemahan tersebut menggunakan terjemahan secara harfiah atau foregrounding. Terjemahan ini hanya memiliki satu kesamaan saja, dan yang lainnya berbeda. Kata kill yang berarti “bunuh” atau “membunuh” pada bahasa sumber berganti arti yang sangat jauh entah itu menjadi sekali, dayung, pulau, atau kata-kata lain yang ada pada hasil terjemahan tersebut. Kemudian birds yang berbentuk jamak yang berarti “dua burung” pada bahasa sumber juga tidak diartikan burung atau pun hewan lain yang menyerupai burung. Kata selanjutnya yaitu with yang berkedudukan sebagai preposisi juga tidak tampak pada bahasa sasaran. Kemudian bilangan one pada bahasa sumber juga tidak ada pada bahasa sasaran, malahan yang ada justru bilangan “tiga”. Dan yang terakhir stone yang berarti “batu” juga tidak diterjemahkan menjadi batu lagi pada bahasa sasaran. Padanan Fungsional pada Terjemahan Peribahasa Inggris… (Candra Irwanto)
38
Berdasarkan pemaparan di atas, walaupun kata two diterjemahkan secara harfiah menjadi “dua”, namun secara keseluruhan penerjemahan peribahasa tersebut masih mneggunakan metode automatization. Hal itu dibuktikan dari berbagai pergantian arti yang terjadi pada kata-kata lainnya kecuali kata “dua” yang sudah penulis jelaskan di atas. Selain itu, hubungan makna antara terjemahan “sekali dayung, dua, tiga pulau terlampaui” juga selaras dengan maksud kill two birds with one stone. Pernyataan tersebut bisa dibuktikan dengan melihat makna sebenarnya dari peribahasa bahasa sumber itu menurut Cambridge Advanced Learner’s Dictionary, makna peribahasa tersebut adalah to succeed in achieving two things in a single action. Jika diterjemahkan akan menjadi “mencapai dua keberhasilan dengan satu langkah”. Kesamaan makna itu bisa dilihat dari masing-masing kalimat yang terkesan mendapat sebuah keberuntungan ganda—two birds dan “dua atau tiga pulau terrlampaui”—padahal itu hanya dilakukan sekali—one stone dan “sekali dayung”—. Penjelasan ini juga menunjukan bahwa terjemahan peribahasa dari kedua Negara yang berbeda latar sosiokulturalnya menjadi sangat bernilai estetika. 4) Still waters run deep: Orang diam tanda berilmu Pada bagian ini, hasil terjemahan sama seperti bagian pertama dan kedua yang tidak ada satu kata pun yang sama artinya antara bahasa sumber dengan bahasa sasaran. Kata still pada bahasa sumber yang berarti “masih” tidak diterjemahkan menjadi masih. Kata selanjutnya yaitu waters yang berkedudukan kata kerja dikarenakan water adalah uncountable atau sesuatu yang tidak bisa dihitung tapi di sini ia mendapat tambahan s, maka waters bisa berarti “menyiram” atau bisa juga berarti “memproduksi cairan”, namun kedua arti itu tidak tampak pada bahasa sasaran. Dan yang terakhir run deep yang berkedudukan sebagai kata kerja yang apabila diterjemahkan secara harfiah menjadi “mengalir sangat dalam” juga tidak muncul pada hasil terjemahan bahasa sasaran. Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa metode yang digunakan untuk menerjemahkan peribahasa still waters run deep menjadi “orang diam tanda berilmu” ialah automatization. Seandainya terjemahan ini menggunakan metode foregrounding, mungkin selain akan menjadi kacau juga pesan yang terkandung Linguistika Akademia Vol. 1, No. 1, 2012 : 31 – 42
Linguistika Akademia
ISSN: 2089-3884
39
tidak tersampaikan. Maka, sangat tepat automatization digunakan karena sebenarnya hasil terjemahan yang menjadi “orang diam tanda berilmu” sangat relevan dengan makna still waters run deep. Untuk lebih jelasnya, penulis akan mengutip arti dari terjemahan tersebut menurut Cambridge Advanced Learner’s Dictionary, kamus itu menjelaskan sebagai berikut, said about a person who says little, but who might in fact know a lot. Peribahasa tersebut mengatakan tentang seseorang yang tidak banyak bicara, tapi mungkin sebenarnya ia orang yang banyak tahu atau pintar. Tampak sekali hubungan di antara keduanya yang memiliki maksud yang sama pula. Kesimpulannya adalah bahwa terjemahan auotmatization yang apabila hanya dibaca tanpa mengkaji akan meninggalkan kebingungan para pembaca atau khususnya bagi para pemula pembelajar bahasa Inggris, namun setelah diteliti kebingungan itu akan terjawab. 5) Every cloud has a silver lining: Setiap musibah pasti ada hikmahnya Peribahasa di atas mempunyai dua kata yang diterjemahkan sama artinya dengan bahasa sumber. Kata every dalam bahasa Inggris yang berarti “setiap” tidak mengalami perubahan terjemahan, ia diterjemahkan kembali menjadi “setiap”. Kata lainnya yang diterjemahkan dengan menyerupai arti dari bahasa sumber ialah kata has yang berarti “punya”. Di sini walaupun kata has yang bermakna “punya” tidak diterjemahkan menjadi “punya” atau “mempunyai”, tetapi dengan diterjemahkannya menjadi kata “ada” sudah cukup mewakili maksud dari kata “punya”. Sedangkan kata lainnya, seperti cloud, silver, dan lining mengalami pergantian arti. Kata cloud yang berkedudukan sebagai kata benda yang berarti “awan” tidak diterjemahkan ke bahasa sasaran menjadi awan. Kata selanjutnya yaitu silver yang mempunyai arti “perak” tidak diterjemahkan menjadi perak. Kata yang terakhir yaitu lining yang berarti “lapisan” juga tidak tampak pada bahasa sasaran. Pembahasan di atas menunjukan bahwa penerjemahan peribahasa yang digunakan adalah metode automatization. Walaupun pada bahasa sasaran terdapat dua kata yang memiliki arti yang sama dengan bahasa sumber, yaitu kata every dan has, tetapi jika bahasa sumber itu diterjemahkan menggunakan metode Padanan Fungsional pada Terjemahan Peribahasa Inggris… (Candra Irwanto)
40
foregrounding, mungkin akan berbunyi seperti ini, “setiap awan mempunyai lapisan yang berwarna perak” bukan “setiap musibah pasti ada hikmahnya”. Maka dari itu, hasil terjemahan di atas merupakan penerjemahan bahasa, atau automatization, bukan terjemahan harfiah. Meskipun demikian, makna yang tersirat dari masing-masing peribahasa —antara versi bahasa Inggris dengan versi bahasa Indonesia— mengandung kesamaan makna. Untuk lebih jelasnya berikut penulis kutip pengertian peribahasa every cloud has a silver lining berdasarkan Cambridge Advanced Learner’s Dictionary, di sana mengartikan peribahasa tersebut sebagai berikut said to emphasize that every difficult or unpleasant situation has some advantage. Jika diterjemahkan kurang lebih akan seperti ini, “berkata untuk meyakinkan bahwa setiap kesulitan atau kekecewaan dalam suatu keadaan selalu ada keuntungan”. Jika terjemahan tersebut disepadankan dengan makna “setiap musibah pasti ada hikmahnya”, akan tampak bahwa keserasian itu memang ada. Jadi, walaupun pada awalnya terjemahan peribahasa tersebut sedikit membingungkan, namun setelah dikaji ternyata kebingungan itu menimbulkan nilai estetika kepada pembaca. 6) You can’t judge a book by its cover: Jangan menilai orang hanya dari luar Pada terjemahan peribahasa yang keenam terdapat dua kata yang memiliki kesamaan makna antara bahasa sumber dengan bahasa sasaran. Kata itu ialah can’t yang berkedudukan sebagai prohibition atau suatu larangan yang diterjemahkan menjadi “jangan”. Kata yang kedua adalah judge yang berarti “menilai” atau lebih kasar lagi bisa berarti “menghakimi” juga memiliki arti yang sama dengan bahasa sumber. Tetapi kata-kata yang lainnya sama kasusnya seperti kata-kata pada peribahasa-peribahasa sebelumnya yang mengalami perubahan arti. Kata pertama you pada bahasa sumber yang berarti “kamu” atau “kalian” bahkan tidak tampak pada bahasa sasaran, ia hanya dijadikan objek tersirat dari peribahasa tersebut. Kata selanjutnya ialah book yang berarti “buku” juga tidak diterjemahkan menjadi buku atau kertas atau benda-benda lain yang menyerupai buku pada bahasa sasaran. Kemudian kata cover yang berarti “sampul” atau “kover” juga tidak tampak pada bahasa sasaran. Linguistika Akademia Vol. 1, No. 1, 2012 : 31 – 42
Linguistika Akademia
ISSN: 2089-3884
41
Berdasarkan pemaparan tersebut dengan melihat berbagai pergantian arti yang terjadi antara bahasa sumber dengan bahasa sasaran dan hasil terjemahan yang tidak secara harfiah, maka terjemahan tersebut sudah tentu menggunakan metode automatization. Dua kata—can’t yang berarti “jangan” dan judge yang berarti “menilai”—tidak tidak cukup kuat untuk membuktikan bahwa terjemahan peribahasa itu merupakan hasil dari foregrounding.Terjemahan tersebut bisa dikatakan foregrounding apabila hasilnya berbunyi seperti ini, “jangan menilai buku dari sampulnya”. Meskipun begitu, kedua makna dari masing-masing terjemahan itu memiliki kesepadanan satu sama lain.Hal ini sekaligus memperkuat pernyataan penulis bahwa metode yang digunakan memang metode automatization. Sebagai bukti, berikut penulis uraikan makna peribahasa yang masih dalam versi bahasa Inggris menurut Cambridge Advanced Learner’s Dictionary, di sana disebutkan bahwa you can’t judge a book by its cover: said to show that you cannot know what happen something or someone is like by looking only at their appearance. Jika arti itu diterjemahkan ke bahasa Indonesia akan seperti ini, “kalian tidak akan tahu apa yang terjadi tentang sesuatu atau seseorang dengan hanya melihat penampilan mereka saja”. Arti tersebut menggiring pembaca bahwa arti peribahasa you can’t judge a book by its cover menurut Cambridge Advanced Learner’s Dictionary yang diterjemahkan menjadi “jangan menilai orang hanya dari luar” memiliki kesamaan yang persis. Kajian ini juga membuktikan bahwa terjemahan tersebut memiliki nilai estetika yang sangat dalam maknanya. D. KESIMPULAN Dari pembahasan di atas, penulis menyimpulkan bahwa perubahan arti pada peribahasa dari bahasa sumber ke bahasa sasaran bukan tanpa alasan digunakan. Salah satu alasan kenapa perbedaan arti itu terjadi adalah karena latar belakang keadaan alam yang berbeda pula. Bangsa Inggris yang tidak sama dengan bangsa Indonesia menggunakan kata-kata bird dan stone sedangkan bangsa Indonesia yang merupakan Negara kepulauan menggantinya dengan kata-kata “dayung” dan “pulau”. Mekipun demikian, perbedaan dari kedua bahasa itu memiliki sebuah maksud yang sama. Selama pergantian itu tidak melenceng dari nilai estetikanya, Padanan Fungsional pada Terjemahan Peribahasa Inggris… (Candra Irwanto)
42
maka hal itu wajar-wajar saja. Tetapi, penulis kemudian memunculkan pertanyaan apakah peribahasa bahasa Indonesia merupakan saduran dari peribahasa bahasa Inggris karena banyak data menunjukan kesamaan-kesamaan yang persis. Mungkin akan lebih baik kalau hal itu bisa diteliti lebih lanjut. E. DAFTAR PUSTAKA Alwasiah, Chaedar, A. 1993. Beberapa Mazhab dan Dikotomi Teori Linguistik, Bandung: Angkasa. Armada. 2008. Cambridge Advanced Learner’s Dictionary. UK: Cambridge University Press. Hadikusumo, B.U. 1984. Useful Vocabs, Expressions and Idiomatic Problems, Yogyakarta: Kanisius. Lado, M. J. 2008. Memahami Tenses Bahasa Inggris, Jakarta: Titik Terang. Panut, Sugeng. 2004. Kamus Peribahasa Bahasa Inggris, Jakarta: Kesaint Blanc. Pradopo, Rachmat Djoko. 2011. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Setiawan, Ebta. 2010-2011. KBBI offline versi 1.3. Soedjarwo, Rudi. 2002. Ada Apa Dengan Cinta?. Jakarta: Miles Films.
Linguistika Akademia Vol. 1, No. 1, 2012 : 31 – 42