Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VII Bahasa, Sastra dan Budaya: Kaitannya dengan Isu-Isu Global
2015
22 TANDA METAFORIS “AIR” DALAM PERIBAHASA INDONESIA DAN PADANAN MAKNANYA DALAM PERIBAHASA JERMAN Sawitri Retnantiti Jurusan Sastra Jerman Universitas Negeri Malang Abstrak: Tema padanan makna peribahasa Indonesia dan Jerman, secara spesifik sangat menarik untuk dikaji secara semiotis, khususnya tentang keberadaan makna sebuah unsur dalam kalimat padanan makna peribahasa Indonesia dan Jerman, beserta representasi budaya yang memengaruhinya. Ada beberapa padanan makna peribahasa Indonesia dan Jerman yang memiliki unsur yang sama, salah satunya adalah yang di dalamnya mengandung kata ’air’ (’das Wasser’), baik yang terkandung di dalam kedua bahasa (Indonesia dan Jerman) atau di dalam peribahasa Indonesia saja. Kajian tanda metaforis ‘air’ dalam peribahasa Indonesia dan Jerman ini ditinjau dari perspektif semiotika Charles S. Peirce dan bertujuan untuk membahas lebih mendalam tentang (1) semiotika dan metafora dalam peribahasa, (2) tanda metaforis “air” (ikonis) dalam peribahasa Indonesia dan padanan maknanya dalam peribahasa Jerman, beserta representasi budayanya, (3) tanda metaforis “air” (indeksikal) dalam peribahasa Indonesia dan padanan maknanya dalam peribahasa Jerman, beserta representasi budayanya, dan (4) simpulan. Kata-kata Kunci: Peribahasa Indonesia – Jerman; Representasi Budaya; Semiotika; Tanda Metaforis
PENDAHULUAN Pendidikan komunikasi lintas budaya merupakan bagian integral dari pendidikan berperspektif globalisasi dan sudah menjadi tuntutan yang sangat penting untuk diaplikasikan di dunia pendidikan, khususnya pada jenjang pendidikan tinggi dan lebih spesifik lagi untuk program studi bahasa asing. Alasannya adalah karena pembelajaran bahasa asing memiliki fungsi yang diantaranya adalah sebagai sarana yang dapat menjembatani komunikasi dan selanjutnya pemahaman lintas budaya (crossculture understanding) antara bahasa ibu, yaitu bahasa Indonesia dengan bahasa asing tertentu yang sedang dipelajari. Salah satu di antara sejumlah bahasa asing yang dipelajari di Indonesia dan yang menjadi materi kajian dalam makalah ini adalah bahasa Jerman, terutama yang berkaitan dengan kajian padanan makna peribahasa Indonesia dan Jerman, dan lebih spesifik lagi kajian tentang metafora yang terkandung di dalamnya. Berdasarkan pengalaman dari penutur dwibahasa dan penerjemah diketahui ada dua model peribahasa, yakni (1) peribahasa yang memiliki makna sama namun dengan struktur, kosakata dan metafora yang berbeda serta (2) peribahasa yang identik, baik dari struktur, kosakata dan metafora yang digunakan, sehingga tidak memiliki masalah dalam penerjemahan (Mieder, 2004: 10). Kajian metafora dalam padanan makna peribahasa Indonesia dan Jerman ini dapat menjadi semacam jembatan linguistik bagi pemahaman lintas budaya yang merupakan cermin dari simbol-simbol budaya dari dua bahasa yang berbeda. Menurut pengamatan, dari penelitian sebelumnya yang pernah ada biasanya menekankan pada perbandingan padanan makna peribahasa Jerman dan Indonesia secara deskriptif, misalnya sebagaimana dilakukan oleh Kalvin Karuna (2011) tentang penerjemahan ungkapan idiomatis bahasa Jerman (Interkulturelle Übersetzung sowie die Übersetzung Idiomatischer Redewendung) dan M. Kharis (2006) tentang perbandingan antara peribahasa dalam bahasa Jerman dengan bahasa Indonesia. Sementara itu, Gina Sofianti (2010) meneliti dengan kajian yang lebih spesifik, yakni kaji banding peribahasa yang menggunakan kata ‘orang’ dalam bahasa Jerman dan bahasa Indonesia. Berdasarkan beberapa tema kajian peribahasa dalam penelitian tersebut, secara spesifik sangat menarik untuk diteliti keberadaan sebuah unsur dalam kalimat padanan makna peribahasa Indonesia dan Jerman dikaitkan dengan representasi budaya yang memengaruhinya. Dari survai diperoleh data diantaranya ada beberapa padanan makna peribahasa Indonesia dan Jerman yang memiliki unsur yang sama, yaitu di dalamnya mengandung kata ’air’ (das Wasser), baik yang terkandung di dalam kedua bahasa (Indonesia dan Jerman) atau di dalam salah satu dari kedua bahasa tersebut (Indonesia atau Jerman).
116
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VII Bahasa, Sastra dan Budaya: Kaitannya dengan Isu-Isu Global
2015
Menurut Cliffort Geertz (1973:24), kebudayaan sebagai sistem simbolis digunakan sebagai gagasan semiotik dan interpretasi teks. Baik tanda (sign) maupun teks diperlakukan sebagai sistem simbolis . Oleh karena itu, dalam kaitannya dengan pemahaman lintas budaya antara Indonesia dan Jerman dapat dilihat pada kajian perbandingan padanan makna peribahasa Indonesia dan Jerman dari tinjauan perspektif semiotika, atau secara lebih spesifik berkaitan dengan tanda metaforis peribahasa dikaji dari perspektif semiotika Charles S. Peirce. Selanjutnya, di bawah ini akan dibahas lebih mendalam tentang (1) semiotika dan metafora dalam peribahasa, (2) tanda metaforis “air” (ikonis) dalam peribahasa Indonesia dan padanan maknanya dalam peribahasa Jerman, beserta representasi budayanya, (3) tanda metaforis “air” (indeksikal) dalam peribahasa Indonesia dan padanan maknanya dalam peribahasa Jerman, beserta representasi budayanya, dan (4) simpulan. PEMBAHASAN Semiotika Dan Metafora Dalam Peribahasa Metafora merupakan salah satu gaya bahasa yang berasal dan berkembang dari analogi kualitatif, yang menyatakan kemiripan hubungan sifat antara dua perangkat istilah (Keraf , 1991: 137). Makna metafora dibatasi oleh sebuah konteks. Lebih lanjut Keraf mengemukakan bahwa jika dalam sebuah metafora masih dapat ditentukan makna dasar dari konotasinya sekarang, maka metafora itu masih hidup. Namun, jika tidak dapat ditentukan konotasinya lagi, maka metafora itu sudah mati atau sudah merupakan klise. Metafora, adalah bentuk penciptaan sesuatu yang baru berdasarkan kesamaan dengan sesuatu yang telah diketahui, yang menurut Hume (dalam Sukyadi, 2011: 212), penciptaan sesuatu yang baru seperti metafora merupakan prinsip yang melandasi ikonisitas internal bahasa. Ikonisitas berhubungan dengan pembahasan dalam kajian bidang semiotika, yang oleh Ferdinand de Saussure didefinisikan sebagai ilmu yang mengkaji tentang tanda (penanda/ signifier dan petanda/ signified ) sebagai bagian dari kehidupan sosial. Secara implisit dalam definisi Saussure (dalam Piliang, 2004: 88) ada prinsip bahwa semiotika menyandarkan dirinya pada aturan main (rule) atau kode sosial (social code) yang berlaku di dalam masyarakat, sehingga tanda dapat dipahami maknanya secara kolektif. Saussure (dalam Sukyadi, 2011: 26) melihat bahasa sebagai sebuah sistem urutan tanda yang maknanya dicapai secara arbitrer melalui konvensi budaya, sedangkan menurut pendapat Charles S. Peirce, karena pada dasarnya setiap hari manusia menggunakan tanda untuk berkomunikasi (Pateda, 2010: 32), maka ia selalu menggunakan sistem tanda, sehingga secara sadar atau tidak manusia harus selalu bernalar atau berpikir logis. Tidak seperti Saussure yang “membekukan” tanda dalam kerangka sinkronis, Peirce melihat tanda sebagai mata rantai tanda yang tumbuh, sehingga Peirce dianggap sebagai bagian dari pengikut aliran pragmatis (Christomy, 2004: 115), yang dikenal dengan teori hubungan trikotomis/ triadik dan model segitiga semiotiknya. Apabila dikaitkan dengan hubungan triadik di dalam segitiga semiotik (tanda, objek, interpretan) dari Peirce (1994: 228), maka metafora berada pada kategori objek sebagai petanda sekunder (signified 2) dari penanda primer (signifier) dan termasuk tanda yang disebut dengan ‘ikon’ ketika berdiri sendiri (ikonis), kemudian jika tanda metaforis tersebut terdapat dalam ungkapan verbal yang bersifat penunjukan, maka disebut dengan ‘indeks’ (indeksikal). Selanjutnya, apabila keterhubungan tanda metaforis tersebut dalam sebuah konteks, yang dilandasi oleh kebiasaan (by virtue of habit) atau kesepakatan, maka disebut dengan ‘tanda simbolis’. Hubungan triadik dalam segitiga semiotik Peirce terdiri atas representamen, objek, dan interpretan, seperti tampak pada visualisasi berikut ini. Gambar 1. Hubungan antara Representamen, Objek, Interpretan
117
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VII Bahasa, Sastra dan Budaya: Kaitannya dengan Isu-Isu Global
2015
Peribahasa sebagai salah satu produk budaya yang berasal dari tradisi sastra lisan dan kemudian berkembang menjadi sastra tulis, baik peribahasa dalam bahasa Jerman maupun dalam bahasa Indonesia memiliki kesamaan fungsi dalam membantu menyampaikan pesan tersirat dalam komunikasi bahasa baik lisan maupun tulisan di antara masyarakatnya sesuai dengan corak budaya masing-masing, terutama peribahasa yang memiliki komponen metafora di dalamnya. Whitting (dalam Mieder, 2004) menyatakan, bahwa sebuah peribahasa itu bermartabat, yang di dalamnya mengandung tanda berupa simbol klasik, yang akan dipakai seorang intelek atau seseorang yang memiliki wawasan pendidikan tinggi. Hal semacam itu telah dibuktikan di manapun di dunia untuk kurun waktu yang lama. Tanda berupa simbol klasik yang dikaji adalah metafora yang secara semiotik memiliki makna pesan kiasan yang berguna secara pragmatis dalam proses komunikasi di dalam masyarakat. Hal ini berkaitan dengan adanya kenyataan, bahwa hingga saat ini peran peribahasa (termasuk peran metafora di dalamnya) adalah sebagai alat bantu komunikasi di dalam pergaulan masyarakat sehari-hari dianggap masih sangat signifikan, sejalan dengan perkembangan budaya masyarakat sekarang. Menurut Pateda (2010, 235), metafora dapat dikelompokkan menjadi tiga, yakni: (i) metafora antropomorfis, (ii) metafora binatang, dan (iii) metafora sinestetis. Metafora antropomorfis (Inggris: antropomorfic) adalah metafor yang berhubungan dengan diri manusia, yaitu manusia membandingkan dan mengasosiasikan unsur-unsur badannya dengan alam sekitar, sehingga lahirlah metafora: mulut sungai, jantung kota, mata pencaharian, kaki gunung dan sebagainya. Kategori metafora yang kedua adalah metafora binatang, yaitu asosiasi yang membandingkan sifat-sifat binatang dengan sifat manusia yang menampak, namun yang diperbandingkan bukan saja sifat, tetapi juga unsur-unsur tubuh hewan, sehingga lahir metafora antara lain: kumis kucing, kuping gajah, lidah buaya. Yang behubungan dengan sifat, misalnya: engkau kerbau, kamu seperti anjing dan kucing. Selanjutnya adalah metafora sinestetis, yaitu metafora yang didasarkan pada perubahan kegiatan dari indra satu ke indra yang lain. Misalnya, dari indra pendengaran ke indra peraba adalah musik yang keras, suaranya halus/ keras; dari indra pencium ke indra peraba adalah parfum yang berbau lembut, dari indra penglihatan ke indra perasa adalah wajahnya manis sekali, pengalamannya sungguh pahit dan sebagainya. Sementara itu,Lakoff dan Johnson (1980:7) menyatakan bahwa karena konsep metafora adalah sistematis, maka bahasa yang digunakan manusia untuk berbicara, aspek pembicarannya secara konseptual adalah juga sistematis. Ekspresi linguistik dari metafora dalam bahasa sehari-hari dapat memberi wawasan ke dalam sifat metafora terhadap konsep yang terkait dengan struktur kegiatan sehari-hari. Dengan demikian tiga kategori metafora menurut Pateda di atas dapat ditambahkan satu kategori lagi, yakni kategori metafora struktur kegiatan sehari-hari. Dalam peribahasa Indonesia dan Jerman ditemukan adanya beberapa padanan makna peribahasa yang mencakup ketiga kategori metafora di atas. Namun, khusus untuk pembahasan dalam makalah ini hanya dibatasi pada peribahasa yang mengandung tanda metaforis ‘air’, baik yang terdapat dalam peribahasa Indonesia maupun Jerman. Sebagaimana uraian di atas, tanda metaforis ‘air’ yang bersifat ikonis termasuk dalam kategori metafora antropomorfis dan dapat ditelaah dalam posisinya sebagai objek dalam segitiga semiotis, yang mencakup tanda ikonis, tanda indeksikal, dan tanda simbolis. Namun, dalam makalah ini tanda metaforis yang bersifat simbolis tidak termasuk dalam pembahasan, karena harus merujuk pada teks, sehingga fokus pembahasan dalam makalah ini adalah tentang tanda metaforis “air’ yang bersifat ikonis dan penunjukkannya yang bersifat indeksikal, yang terdapat dalam padanan makna peribahasa Indonesia dan Jerman beserta representasi budayanya, sebagaimana dipaparkan dalam uraian berikut ini. Tanda Metaforis “Air” (Ikonis) Dalam Peribahasa Indonesia Dan Padanan Maknanya Dalam Peribahasa Jerman Serta Representasi Budayanya Peribahasa Indonesia yang mengandung tanda metaforis ‘air’ yang bersifat ikonis dan padanan maknanya dalam peribahasa Jerman, yang ditelaah dalam makalah ini adalah: (1) Air tenang menghanyutkan (Ind) = Stille Wasser sind tief (Jer) (2) Air cucuran atap jatuhnya ke pelimbahan (Ind) = Wie die Alten sungen, so zwitschern auch die Jungen (Jer) (3) Air beriak tanda tak dalam (Ind) = Viel Lärm um nichts (Jer) Ketiga peribahasa Indonesia tersebut dan padanannya dalam peribahasa Jerman, masing-masing akan dibahas secara semiotis dalam bentuk tabel berikut penjelasannya, yang selanjutnya diikuti dengan paparan terhadap representasi budayanya.
118
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VII Bahasa, Sastra dan Budaya: Kaitannya dengan Isu-Isu Global
2015
(1) Air tenang menghanyutkan (Ind) = Stille Wasser sind tief (Jer) (1.Ind) Air tenang = (1.Jer) Stille Wasser Tabel 1. Analisis Semiotis dari Penanda Ikonis ‘Air Tenang’ dan ‘Stille Wasser’ (1.Ind) Makna Sebenarnya Makna Kiasan Penanda Ikonis Petanda Primer Petanda Sekunder Air unsur alam orang tenang keadaan pendiam (1.Jer) Makna Sebenarnya Makna Kiasan Penanda Ikonis Petanda Primer Petanda Sekunder stille keadaan tenang/ tertutup Wasser unsur alam orang Petanda primer dari kedua penanda ikonis peribahasa Jerman dan Indonesia memiliki kesamaan, yakni unsur alam dan keadaan, sehingga wujud tanda metaforis keduanya dapat dimasukkan dalam kategori metafora antropomorfis, karena terdapat unsur perbandingan antara sifat manusia dengan alam sekitar, meskipun tanda ikonisnya berupa sifat manusia dan tidak terkait dengan bagian tubuh manusia sebagaimana pendapat dari Pateda (2010: 235). Adapun petanda sekunder dari ‘stille Wasser’ dianalogikan dengan seseorang yang sifatnya tenang atau tertutup dan memiliki makna kiasan yang identik dengan petanda sekunder dari ‘air yang tenang’ (orang yang pendiam). Adapun representasi budaya kedua penanda ikonis dalam peribahasa tersebut juga memiliki kesamaan yaitu situasi dan kondisi lingkungan alam yang berupa keadaan air di sungai/ danau/ laut yang tenang. (2) Air cucuran atap jatuhnya ke pelimbahan (Ind) = Wie die Alten sungen, so zwitschern auch die Jungen (Jer) (2.Ind) Air cucuran, pelimbahan = (2.Jer) die Alten, die Jungen Tabel 2. Analisis Semiotis dari Penanda Ikonis ‘Air cucuran, Pelimbahan’ dan ‘Die Alten, Die Jungen’ (2.Ind) Makna Sebenarnya Makna Kiasan Penanda Ikonis Petanda Primer Petanda Sekunder Air unsur alam orang tua cucuran keadaan sifat/ teladan pelimbahan keterangan tempat anak (2.Jer) Makna Sebenarnya Makna Kiasan Penanda Ikonis Petanda Primer Petanda Sekunder die Alten usia tua orang tua die Jungen usia muda anak Petanda primer dari penanda ikonis peribahasa Indonesia ‘air’ adalah unsur alam yang merujuk pada ‘cucuran’ yang petanda primernya adalah keadaan, dan ‘pelimbahan’ adalah keterangan tempat, sehingga wujud tanda metaforisnya dapat dimasukkan dalam kategori metafora antropomorfis, karena terdapat unsur perbandingan antara sifat manusia dengan alam sekitar, yang tercermin pada petanda sekundernya, yakni: ‘air’ dianalogikan dengan orang tua, ‘cucuran’ dengan sifat/ teladan, dan ‘pelimbahan’ dengan anak. Petanda primer dari penanda ikonis peribahasa Jerman ‘die Alten’ adalah usia tua, yang merujuk pada penanda ‘die Jungen’ yang petanda primernya adalah usia muda, namun petanda primer tersebut memiliki makna kontradiktif. Secara implisit, petanda primer tersebut menunjukkan bentuk proses perkembangan fisik dan psikis yang berkaitan dengan usia baik yang terjadi pada manusia maupun binatang, sehingga wujud tanda metaforisnya termasuk dalam kategori metafora struktur kehidupan sehari-hari. Petanda sekunder dari ‘die Alten’ adalah orang tua dan ‘die Jungen’ adalah anak. Adapun representasi budaya dari penanda peribahasa Jerman berhubungan dengan lingkungan sosial budaya masyarakat, terutama hubungan antar anggota keluarga, sedangkan representasi budaya penanda peribahasa Indonesia berkaitan dengan budaya masyarakat, terutama tentang bentuk arsitektur atap rumah dalam menghadapi musim penghujan. (3) Air beriak tanda tak dalam (Ind) = Viel Lärm um nichts (Jer) (3.Ind) Air beriak = Viel Lärm
119
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VII Bahasa, Sastra dan Budaya: Kaitannya dengan Isu-Isu Global
2015
Tabel 3. Analisis Semiotis dari Penanda Ikonis ‘Air Beriak dan ‘Viel Lärm’ (3.Ind) Makna Sebenarnya Makna Kiasan Penanda Ikonis Petanda Primer Petanda Sekunder Air unsur alam orang beriak keadaan sombong/ suka membual (3.Jer) Makna Sebenarnya Makna Kiasan Penanda Ikonis Petanda Primer Petanda Sekunder viel keterangan jumlah banyak Lärm keadaan kehebohan/ keributan Petanda primer dari penanda ikonis peribahasa Jerman ‘viel’ dan ‘Lärm’ (kebisingan) merupakan wujud tanda metaforis dengan kategori metafora sinestetis dan petanda sekundernya dikiaskan dengan banyak kehebohan/ keributan. Petanda primer dari penanda ikonis peribahasa Indonesia ‘air’ dan ‘beriak’ adalah unsur alam dan keadaan, sehingga wujud tanda metaforisnya dapat dimasukkan dalam kategori metafora antropomorfis, karena terdapat unsur perbandingan antara sifat manusia dengan alam sekitar yang tercermin pada petanda sekundernya, yaitu orang yang sombong/ suka membual. Untuk representasi budaya wujud tanda metaforis dari penanda ikonis peribahasa Jerman ‘viel Lärm’ berasal dari karya sastra Shakespeare berupa drama komedi yang berjudul: ‘Much Ado About Nothing’ (Duden, 2002: 463 dan Röhrich, 2003: 930), sedangkan representasi budaya wujud tanda metaforis dari penanda peribahasa Indonesia ‘air beriak’ adalah lingkungan alam yang berupa keadaan air di sungai/ danau/ laut yang bergejolak Tanda Metaforis “Air” (Indeksikal) Dalam Peribahasa Indonesia Dan Padanan Maknanya Dalam Peribahasa Jerman Serta Representasi Budayanya Tanda metaforis “air’ yang bersifat indeksikal dalam peribahasa, baik Indonesia maupun Jerman adalah penanda indeksikal yang berupa kata-kata yang berfungsi sebagai penunjukan/ penjelas terhadap penanda ikonis. Telaah semiotis disajikan dalam bentuk tabel dan selanjutnya dipaparkan representasi budayanya beserta nilai makna konotasi yang terkandung di dalamnya. Berikut adalah uraian dari tanda metaforis “air” (indeksikal) dari ketiga peribahasa di atas.
Air tenang menghanyutkan = Stille Wasser sind tief Tabel 4. Analisis Semiotis dari Penanda Indeksikal ‘menghanyutkan’ dan ‘tief’ (1.Ind) Makna Sebenarnya Makna Kiasan Penanda Indeksikal Petanda Primer Petanda Sekunder Air unsur alam orang tenang keadaan pendiam Menghanyutkan keadaan arah maju/ berisi/ berilmu mendatar () (1.Jer) Makna Sebenarnya Makna Kiasan Penanda Indeksikal Petanda Primer Petanda Sekunder stille keadaan tenang/ tertutup Wasser unsur alam orang tief keadaan arah ke bawah/ tidak bisa dipercaya menurun () dalam Secara sekilas, ungkapan verbal dari kedua peribahasa tersebut memiliki padanan makna yang identik atau serupa, namun ternyata secara semiotik, penanda indeksikalnya memiliki pola penunjukan makna sebenarnya dari petanda primer yang berbeda, yaitu ‘tief’ (‘menurun atau ke arah bawah dalam’) dan ‘menghanyutkan’(‘mendatar atau arah maju’), sehingga hal ini berpengaruh juga pada makna kiasan dari petanda sekundernya secara keseluruhan berikut nilai makna konotasinya. Oleh karena itu, dalam peribahasa Jerman ini, pola tanda metaforis yang bersifat indeksikal ‘menurun atau ke arah bawah () dalam’, yang petanda sekundernya memiliki nilai makna konotasi negatif (‘tidak bisa dipercaya’), sedangkan padanannya (1)
120
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VII Bahasa, Sastra dan Budaya: Kaitannya dengan Isu-Isu Global
2015
dalam peribahasa Indonesia memiliki pola tanda metaforis yang bersifat indeksikal ‘mendatar atau arah maju ()’ yang petanda sekundernya berkonotasi positif (‘berisi/ berilmu’) dan hal tersebut merupakan representasi dari pola pikir budaya Jerman dan Indonesia. (2) Air cucuran atap jatuhnya ke pelimbahan = Wie die Alten sungen, so zwitschern auch die Jungen Tabel 5. Analisis Semiotis dari Penanda Indeksikal ‘atap jatuhnya ke’ dan ‘Wie, sungen, so zwitschern auch’ (2.Ind) Makna Sebenarnya Makna Kiasan Penanda Indeksikal Petanda Primer Petanda Sekunder Air unsur alam orang tua cucuran keadaan sifat/ teladan atap keterangan tempat berasal jatuhnya ke keadaan arah ke bawah/ menurun ke menurun () pelimbahan keterangan tempat anak (2.Jer) Makna Sebenarnya Makna Kiasan Penanda Indeksikal Petanda Primer Petanda Sekunder Wie perbandingan bagaimana die Alten sungen, so
zwitschern auch
usia tua jenis kegiatan akibat jenis kegiatan
orang tua kebiasaan, maka
mencontoh/ mengikuti
die Jungen usia muda anak Secara semiotis, penanda indeksikal kedua peribahasa tersebut memiliki pola penunjukan/ penjelas dari makna sebenarnya berupa petanda primer yang berbeda, yaitu ‘wie, sungen, so zwitschern auch’ yang diasosiasikan dengan kegiatan meniru, sedangkan petanda primer ‘atap, jatuhnya ke’() analog dengan keadaan unsur alam berupa air dengan hukum alam, yang selalu mengalir ke tempat yang lebih rendah. Pola penunjukan terhadap penanda ikonis berpengaruh pada pola penunjukan pada petanda sekunder dari peribahasa Jerman yaitu ‘mengikuti/ mencontoh kebiasaan’ (bisa dipelajari), sedangkan pada peribahasa Indonesia adalah ‘menurut sifat/ teladan’ (faktor keturunan dan atau bisa dipelajari) dan ini merepresentasikan pola pikir budaya kedua bangsa. Meskipun penanda indeksikalnya tidak sama, makna sebenarnya juga berbeda, ternyata makna kiasannya memiliki kemiripan, demikian juga dengan nilai makna konotasinya, yakni bisa positif atau negatif. (3) Air beriak tanda tak dalam = Viel Lärm um nichts Tabel 6. Analisis Semiotis dari Penanda Indeksikal ‘nyaring bunyinya’ dan ‘um nichts’ (3.Ind) Makna Sebenarnya Makna Kiasan Penanda Indeksikal Petanda Primer Petanda Sekunder Air unsur alam orang beriak keadaan sombong/ suka membual tanda keterangan penjelas biasanya tak dalam keadaan arah ke bawah/ bodoh/ tidak cakap menurun () dangkal (3.Jer) Makna Sebenarnya Makna Kiasan Penanda Indeksikal Petanda Primer Petanda Sekunder viel keterangan jumlah banyak Lärm keadaan kehebohan/ keributan um keterangan penjelas tentang nichts keadaan urusan/ sesuatu yang tak berarti Penanda indeksikal peribahasa Jerman dan dua padanan maknanya dalam peribahasa Indonesia, secara semiotis memiliki pola penunjukan/ penjelas dari makna sebenarnya berupa petanda primer yang
121
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VII Bahasa, Sastra dan Budaya: Kaitannya dengan Isu-Isu Global
2015
berbeda, yaitu ‘um nichts’ (Jerman) yang diasosiasikan dengan suatu penjelasan keadaan, sedangkan ‘tanda tak dalam’ (Indonesia) diasosiasikan dengan suatu penjelasan keadaan arah ke bawah/ menurun () dangkal. Peribahasa Jerman memiliki pola penunjukan pada petanda sekunder yang merepresentasikan pola pikir budaya Jerman, berupa penjelasan keadaan berupa sesuatu/ urusan yang tidak berarti, sedangkan pola pikir budaya Indonesia direpresentasikan oleh petanda sekunder ‘tanda tak dalam’(dangkal), yaitu keadaan seseorang yang bodoh/ tidak cakap. Baik peribahasa Indonesia maupun Jerman, keduanya memiliki kesamaan nilai makna konotasi, yaitu negatif. SIMPULAN. Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa untuk penanda ikonis ‘air’ dalam ketiga peribahasa Indonesia tersebut memiliki petanda sekunder yang sama, yaitu ‘orang’, demikian juga dengan petanda sekunder dari ‘Wasser’ dalam peribahasa Jerman. Kemudian apabila penanda ikonis dari ‘air’ tersebut merujuk kepada suatu keadaan tertentu berkaitan dengan keadaan alam, maka petanda sekunder ‘orang’ juga merujuk kepada sifat/ karakter tertentu dari manusia. Sementara itu, meskipun antara peribahasa dengan kode: (2.Ind) dan (2.Jer), berbeda penanda ikonisnya, namun ada kesamaan petanda sekunder untuk yang (2.Jer) yaitu ‘orang tua’ dan ‘anak’, sedangkan untuk (3.Jer) memiliki petanda sekunder yang berbeda. Adapun penanda ikonis ‘air’ untuk peribahasa Indonesia dan Jerman merepresentasikan keadaan lingkungan alam yang berhubungan dengan sungai/ danau/ laut di masing-masing negara. Sementara untuk penanda ikonis selain air dalam peribahasa Jerman merepresentasikan keadaan sosial (hubungan kekeluargaan) dan budaya (karya sastra terjemahan dari drama komedi Shakespeare). Untuk tanda metaforis’air’ yang bersifat indeksikal, antara peribahasa Indonesia (1.Ind) dan Jerman (1.Jer) memiliki pola penunjukan petanda primer yang berbeda, yaitu ‘menghanyutkan’(‘mendatar atau arah maju’) dan tief’ (‘menurun atau ke arah bawah dalam’), sehingga hal ini berpengaruh juga pada makna kiasan dari petanda sekundernya secara keseluruhan berikut nilai makna konotasinya, yaitu (-) untuk (1.Jer) dan (+) untuk (1.Ind). Selanjutnya pada (2.Ind) dan (2.Jer), meskipun penanda indeksikalnya tidak sama, makna sebenarnya juga berbeda, ternyata makna kiasannya atau petanda sekundernya memiliki kemiripan, demikian juga dengan nilai makna konotasinya, yakni bisa positif atau negatif. Adapun pola indeksikal yang terdapat pada (2.Ind) merepresentasikan adanya pengaruh faktor keturunan (sifat) dan bisa dipelajari (teladan), sedangkan (2.Jer) merepresentasikan sesuatu yang bisa dipelajari (mengikuti/ mencontoh kebiasaan). Sementara itu, untuk (3.Ind) dan (1.Jer) memiliki pola penunjukan yang sama-sama ‘menurun atau ke arah bawah ’, namun yang (3.Ind) bermakna dangkal dan yang (1.Jer) bermakna dalam dan keduanya sama-sama memiliki nilai makna konotasi yang negatif. REFERENSI Badudu, J.S. 2008. Kamus Peribahasa. Memahami Arti dan Kiasan Peribahasa, Pepatah, dan Ungkapan. Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara Christomy, T. 2004. Peircean dan Kajian Budaya. Dalam Christomy, T dan Untung Yuwono (Ed.), Semiotika Budaya (hlm. 109-145). Depok: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya. Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat. Universitas Indonesia. Duden Redewendungen Wörterbuch der deutschen Idiomatik. Edisi ke-2. 2002. Mannheim: Dudenverlag. Geertz, Cliffort. 1973. The Interpretation of Cultures. Selected Essays by Cliffort Geertz. New York: Basic Book, Inc. Karuna, Kalvin. 2011. Interkulturelle Übersetzung sowie die Übersetzung Idiomatischer Redewendung. Makalah dipresentasikan pada Konferensi dan Seminar Internasional tentang Bahasa sebagai Jembatan antar Budaya di Jurusan Sastra Jerman Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia. Keraf, Gorys. 1991. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama Kharis, M. 2006. Perbandingan Antara Peribahasa dalam Bahasa Jerman dengan Bahasa Indonesia. Makalah dipresentasikan pada Seminar Jurusan Sastra Jerman Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang. Lakoff, George dan Mark Johnson. 1980. Metaphors We Live By. Chicago: The University of Chicago Press Mieder, Wolfgang. 2004. Proverbs: a Handbook. Westport: Greenwood Press Pamuntjak, K.St, N. St Iskandar dan A. Dt. Madjoindo.2004. Peribahasa. Jakarta: Balai Pustaka Pateda, Mansoer. 2010. Semantik Leksikal. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
122
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VII Bahasa, Sastra dan Budaya: Kaitannya dengan Isu-Isu Global
2015
Peirce, Charles Sanders. 1994. The Collected Papers of Charles Sanders Peirce. II: Elements of Logic. Hartsthorne, Charles and Paul Weiss (ed.) Cambridge, MA: Harvard University Press.. Piliang, Yasraf Amir. 2004. Semiotika Sebagai Metode Dalam Penelitian Desain. Dalam Christomy, T dan Untung Yuwono (Ed.), Semiotika Budaya (hlm. 87-107). Depok: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya. Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat. Universitas Indonesia. Röhrich, Lutz. 2003. Lexikon der sprichwörtlichen Redensarten. Freiburg: Herder Sofianti, Gina. 2010. Kaji Banding Peribahasa yang Menggunakan Kata Orang dalam Bahasa Jerman dan Bahasa Indonesia. Skripsi Tidak Dipublikasikan. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia. Sukyadi, Didi. 2011. Teori dan Analisis Semiotika. Bandung: Rizqi Press.
123