Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
OTONOMI UNTUK MEWUJUDKAN BANTEN MANDIRI, MAJU DAN SEJAHTERA Prof. DR. Paulus Tangdilintin Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Pelita Harapan Karawaci, Tangerang, Banten E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Otonomi yang dijalankan sejak awal reformasi memikul mandat yang khas. Motivasinya dilartarbelakangi oleh suatu pengalaman yang tragis. Pengalaman tragis itu merupakan akibat pembangunan yang menyimpang dari tujuan utama republikini yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur dalam tatanan negara Kesatuan Republik Indonesia. Karena itu otonomi yang kita jalankan sekarang terutama diarahkan untuk mengoreksi pembangunan yang dilakukan rezim Orde Baru yang terlalu mengejar pembangunan fisik material khusunya ekonomi, dan sebaliknya mengabaikan bahkan melumpuhkan pilar-pilar utama kelembagaan masyarakat yaitu keadilan, persamaan, dan kelestarian lingkungan. Pada hal pilar-pilar itulah yang akan menjadi modal sosial untuk memperkokoh masyarakat dan meningkatkan daya juang menghadapi berbagai tantangan. Setelah lebih satu dekade reformasi, ternyata kita belum mampu mewujudkan cita-cita reformasi itu bahkan ada kecendrungan kita mengulangi kesalahan Rezim Orde Baru. Kata kunci: otonomi, desentralisasi, kesenjangan sosial, ekonomi ganda, pelaku pembangunan, substansi pembangunan, metode pelaksanaan pembangunan dibendung bahkan sebaliknya diharapkan dapat menghadirkan banyak peluang bagi warga Banten. Sebagian wilayah Propinsi Banten saat ini merupakan kawasan yang padat industri yang memberi peluang kerja bagi masyaraskat. Hal ini merupakan berkat yang terbawa oleh ”ekspansi” yang telah menghadirkan sejumlah fasilitas penting penunjang kegiatan ekspor impor berupa Bandara Internasional Soekarno-Hatta dan Pelabuhan Bojonegara, dan juga infrastruktur seperti aliran listrik, air bersih dan transportasi seperti jalan tol dan kereta api, sehingga tidak heran bahwa cukup banyak industri yang memilih untuk berlokasi di Propinsi Banten. Fasilitas yang semakin baik itu menjadi faktor penarik bagi masuknya insvestor untuk membuka usaha di Banten. Pada saat ini paling sedikit terdapat 18 kawasan industri yang berada di sepanjang pesisir Utara dari Anyer, Ciwandan, Kragilan, Balaraja, Cikupa Pasar Kemis, hingga Serpong. Sedang Cilegon, Serang dan Tangerang menjadi pusat perdagangan dan jasa. Produk domestik regional bruto Propinsi Banten didukung dari sektor modern, yaitu : 47% dari sektor industri, 19% sektor perdagangan dan 5,35% dari sektor jasa. Mayoritas penduduk Propinsi Banten bekerja di sektor modern. Di Kabupaten Tangerang tercatat 43% penduduk yang berusia 15 tahun ke atas bekerja di sektor industri, sedang di Kota Serang, Kota Tangerang, dan Cilegon tercatat masing-masing 39%, 46% dan 44%. Tanpa terasa Banten Utara telah menjadi bagian integral dari kegiatan ekonomi global. Pengaruh ekonomi global telah membuat Banten Utara semakin dinamis, terus menata diri menjadi lingkungan yang kondusif bagi para investor.
1.
Latar Belakang Propinsi Banten tergolong propinsi baru yang diresmikan pada tahun 2000 berdasar UndangUndang Nomor 23 Tahun 2000. Sebagai propinsi baru pasti banyak masalah yang muncul, dan tentu lebih banyak lagi masalah yang belum ditemukan. Dibutuhkan banyak upaya untuk mengungkap semua masalah itu, untuk kemudian dicarikan pemecahan, sehingga SDM yang kompeten sangat dibutuhkan untuk menyusun strategi dan menetapkan urutan prioritas. Dalam kondisi demikian, Banten butuh waktu persiapan, butuh model untuk dijadikan perbandingan. Tetapi hal ini tentunya tidak mudah karena Banten mempunyai keunikan dan masalah tersendiri yang berbeda dengan daerah lain, baik dari sisi latar belakang sejarah masa lampau maupun kondisi aktual lingkungan yang dibawa oleh derasnya arus globalisasi dan informasi. Bagaimana gambaran Banten saat ini? Kemana pembangunan Banten akan dibawa? Itulah pertanyaan yang harus dijawab sebelum berbicara tentang pemecahan masalah baik yang sudah dikenal (aktual) maupun yang baru akan ditemukan (latent). Jawab atas pertanyaan ini pasti beragam, tergantung sudut pandang melihatnya. Banten merupakan salah satu propinsi yang bersentuhan langsung dengan Ibu Kota Negara, Jakarta. Posisi ini mempunyai pengaruh ganda kepada perkembangan Banten saat ini dan masa yang akan datang. Banyak hal yang menguntungkan tetapi tidak sedikit membawa permasalahan rumit bahkan menambah peliknya permasalahan yang telah ada. Banten tentu tidak dapat membendung ”ekspansi” kota metropolitan yang terus mendesak keluar. ”Ekspansi” itu bukan hanya tidak dapat [158]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
Namun perkembangan ini bukan tanpa masalah bagi Banten. Dinamika perekonomian global yang dialami Banten Utara tidak diikuti oleh Banten Selatan, sehingga terjadi kesenjangan. Masalah kesenjangan bukanlah masalah yang mudah. Perekonomian global telah membuat sektor perekonomian bekerja sebagai satu tatanan sendiri dan beroperasi dalam jalinan yang terkait secara global. Kekuatan penggerak di belakang perkembangan tersebut adalah perusahaanperusahaan global yang dewasa ini semakin aktif mengukuhkan dan mengkonsolidasikan diri. Oleh karena itu, kekuatan-kekuatan globalisasi ini cendrung mengikis integrasi dan otonomi perekonomian lokal. Globalisasi telah membuat kesenjangan antara Banten Utara dan Banten Selatan yang semakin melebar. Kurangnya prasarana dan sarana transportasi telah membuat wilayah Banten Selatan cenderung terisolasi, sehingga produksi pertanian mereka sulit dipasarkan. Tidak heran jika di Pandeglang misalnya masih dijumpai perdagangan barter. Untuk mendapatkan minyak goreng atau garam misalnya, mereka harus menukar dengan beras, atau untuk mendapatkan peralatan rumah tangga (seperti gelas) ditukar dengan ayam. Seekor ayam ukuran sedang dapat ditukar dengan 6 buah gelas. Kabupaten Lebak juga mengalami masalah minimnya prasarana jalan. Namun faktor utama kemiskinan di Lebak adalah karena minimnya tanah pertanian untuk digarap. Dari 304.472 hektar tanah di Lebak sebagian dikuasai oleh negara dan swasta. Tercatat 43.000 hektar termasuk wilayah TNGHS, 33.000 dikuasai Perhutani, dan 67.000 hektar dikuasai oleh perkebunan negara dan swasta, serta 5.130 hektar merupakan tanah ulayat masyarakat adat Baduy. Penduduk Lebak rata-rata hanya memiliki 0,57 hektar atau 1200 meter persegi perkeluarga. Tanah seluas itu tentu tidak mungkin digarap sebagai sumber mata pencaharian. Banten sekarang terjebak dalam kondisi ekonomi ganda (ekonomi dualistik) yaitu dua sistem ekonomi dalam satu masyarakat. Kedua sistem ekonomi ini masing-masing memiliki pijakan budaya, aturan main, teknologi das pola-pola permintaan dan teknik pelaksanaan yang berbeda. Ekonomi dualistik pertama kali diperkenalkan oleh Boeke 1953 untuk menyuburkan hadirnya sistem ekonomi modern dan sistem ekonomi tradisional secara bersamaan dalam ekonomi kolonial. Ia yakin bahwa kedua sistem tersebut sulit dipadukan. Dalam sistem ekonomi ganda, masyarakat yang menjalankan ekonomi modern menikmati kekayaan, sedangkan ekonomi tradisional tetap misikin dan tidak dapat memperoleh imbas dari ekonomi kaya itu. Slogan yang pas untuk keadaan itu adalah ”yang kaya makin kaya dan yang miskin makin miskin”.
2.
Gambaran Situasi Gambaran situasi di atas memperlihatkan permasalahan utama yang dialami oleh Propinsi Banten yaitu masalah kesenjangan antara Banten Utara dan Banten Selatan. Permasalahan ini menjadi tantangan yang sangat aktual jika dihadapkan dengan motivasi dasar pembangunan yang saat ini sedang dilaksanakan pemerintah daerah yaitu untuk Mewujudkan Masyarakat Mandiri, Maju dan Sejahtera. Masyarakat Banten yang makmur hanya dapat diwujudkan jika kesenjangan dapat dihilangkan atau paling tidak dapat dijembatani. Kemakmuran hanya dapat dicapai jika seluruh kekuatan dari semua komponen masyarakat dapat dilibatkan dalam pembangunan. Keterlibatan ini dapat bermakna ganda. Keterlibatan dapat mempercepat tercapainya cita-cita masyarakat makmur, tetapi juga keterlibatan dapat meningkatkan rasa percaya diri yang berarti memperkokoh identitas setiap komponen itu. Selanjutnya dengan partisipasi akan timbul rasa saling membutuhkan di antara semua komponen masyarakat. Namun saat ini hal tersebut tentu tidak mudah untuk diwujudkan karena karakter ekonomi global, yang sudah disebutkan di atas, menjadi bagian dari tatanan ekonomi yang cenderung bergerak sendiri, dan lebih berorientasi keluar. Dalam situasi tersebut, ekonomi global bekerja dalam jaringan bisnis global dan dikendalikan oleh perusahaan-perusahaan global baik dalam upaya memasok bahan baku, maupun dalam mencari akses pasar tempat melempar produksi. Untuk membangun masyarakat Bantren yang otonom, dalam pengertian mandiri, ternyata banyak hambatan yang harus diatasi. Globalisasi tidak lagi dapat dihindarkan melainkan harus diterima sebagai bagian dari lingkungan kita. Tantangan sekarang adalah bagaimana memanfaatkan ekonomi global ini secara positif. Ekonomi global harus dimaknai sebagai hadirnya peluang emas untuk mendongkrak ketertinggalan. Salah satu karakter lain dari perekonomian global yang perlu diwaspadai adalah meningkatnya mobilisasi yang terwujud dalam aliran masuk tenaga kerja dari daerah luar Banten, untuk mambuka usaha maupun untuk mencari pekerjaan. Hal ini menyebabkan warga asli Banten semakin terpinggirkan baik secara fisik maupun sosial. Secara fisik memberikan implikasi terjadinya perpindahan lokasi tempat tinggal, dan secara sosial menyebabkan hilangnya simbol-simbol tradisional seperti kepemilikan tanah atau status sosial adat lainnya. Globalisasi juga cenderung menimbulkan fasilitas-fasilitas budaya baru yang dapat menimbulkan konflik. Perkembangan ini harus diimbangi dengan dikembangkannya institusi yang dapat mulai menata masyarakat sesuai dengan perkembangan yang aktual.
[159]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
Arus mobilitas sekarang memperlihatkan adanya kecenderungan terpinggirkannya budaya lokal, padahal modal utama untuk membangun masyarakat yang mandiri adalah identitas yang tercermin dalam budaya lokal tersebut. Situasi demikian juga merupakan suatu tantangan berat yang harus dihadapi. Sebenarnya perkembangan industri yang daya rusaknya mulai terlihat masih belum mencukupi untuk menyerap semua potensi tenaga kerja yang ada di Propinsi Banten. Jumlah pencari kerja yang ada lebih besar daripada jumlah lowongan kerja yang tersedia, sehingga secara absolut terdapat angkatan kerja yang masih belum mendapatkan pekerjaan. Data tahun 2007 misalnya, mencatat para penganggur di Propinsi Banten sebanyak 632 ribu dan bagian terbesar dari jumlah itu justru berada di Kabupaten Tangerang salah satu wilayah padat industri, yaitu 233 ribu orang. Salah satu penyebab banyaknya angka pengangguran ini adalah tingkat pendidikan angkatan kerja yang masih belum memadai, sehingga banyak posisi yang diisi oleh angkatan kerja dari daerah-daerah selain Propinsi Banten. Selain itu, seandainya pun terserap sebagai pegawai, banyak angkatan kerja yang hanya menduduki posisi rendah sebagai buruh atau pekerja kasar. Hal ini diperparah dengan tingginya angka pemutusan hubungan kerja dengan alasan efisiensi, terkait dengan buruknya kondisi perekonomian dunia di masa kini. Sebagai akibatnya, potensi besar berupa aset angkatan kerja ini malah akan menjadi suatu beban bagi perekonomian propinsi Banten. Namun tidak berarti bahwa jalan keluar sudah tertutup untuk memperbaiki keadaan. Salah satu strategi yang dapat diambil adalah melaksanakan Otonomi Daerah secara konsekuen.
menetapkan kebijakan pertumuhan tinggi untuk pembangunan ekonomi1. Hasilnya luar biasa. Pertumbuhan yang dicapai rata-rata 7,9% bahkan pada 1968 mencapai 10,9%2, dan selama Repelita I pertumbuhan tercatat rata-rata 9,9%. Pendapatan perkapita juga terus meningkat, sehingga keberhasil yang diperlihatkan lewat angkaangka ini telah menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara yang sukses melaksanakan pembangunan dan dicatat sebagai salah satu macam Asia. Bukan hanya pembangunan ekonomi, pembangunan sosial juga mendapat perhatian besar di masa Orde baru. Sejak pelita III prioritas pembangunan fokus pada pemerataan dengan mencanangkan program 8 jalur pemerataan. Program-program kesejahteraan yang diarahkan untuk menanggulangi kemiskinan digiatkan pada semua level (individu, kelompok, regional, wilayah, kawasan) melalui semua instansi (departemen dan non departemen) dengan menggunakan berbagai model (candak kulak, PKT,P4KT, BKD, IDT, KCK,JPS,P2DKE, PEMP, Takesra, P2KP, PPK). Seperti pembangunan ekonomi pada umumnya, pembangunan kesejahteraan ini juga tercatat sukses. Penelitian yang dilakukan Mubyarto untuk mengvaluasi program IDT seluruh Indonesia membuktikan hal itu.3 Melihat rekam keberhasilan pembangunan ekonomi maupun sosial itu sulit dipercaya bahwa Rezim Orde Baru harus tumbang oleh kerusuhan besar yang dipicuh oleh penderitaan yang disebabkan oleh kemiskinan. 4.
Otonomi Daerah sebagai Solusi Skema Otonomi Daerah yang dikembangka menyusul tumbangnya era Orde Baru adalah bagian dari solusi untuk meluruskan kembali cita-cita pembangunan bangsa sesuai jiwa Undang-undang Dasar 45, setelah pembangunan yang dijalankan Resm Orde Baru gagal mewujudkan kesejahteraan bangsa. Karena meskipun selalu mencatat keberhasilan dengan angka pertumbuhan yang tinggi dan pendapatan perkapita yang terus meningkat, ternyata hasil pembangunan itu hanya dinikmati oleh sekelompok kecil mereka yang kuat, sedang sebagian terbesar rakyat justru semakin terjepit. Kesenjangan antara yang kaya dan yang miskin semakin lebar, yang menimbulkan kecemburuan sosial yang makin lama makin sulit diredam akhirnya meletus dalam berbagai bentuk perlawanan yang sulit dikendalikan.
3.
Banten Cerminan Indonesia Kondisi dan situasi Banten yang tergambar secara singkat di atas sebenarnya sekaligus mencerminkan kondisi dan situasi Indonesia secara nasional. Indonesia secara nasional mengalami kesenjangan antara kota dan desa, antara Indonesia bagian Barat dan Indonesia Bagian Timur. Ada sektor-sektor kegiatasn ekonomi yang telah terhisap kedalam kegiatan ekonomi global yang moderen, sementara ada sektor-sektor kegiatan ekonomi yang masih dikelola secara sangat tradisional yang terus tertinggal dan semakin terjepit. Yang disebut terakhir ini justru menjadi tumpuan harapan sebagian besar masyarakat yang tinggal di pedesaan atau di bagian-bagian kumuh dalam semua kota di Indonesia. Kondisi suram ini tidak dapat dilepaskan dari kebijakan yang diambil pada fase pemulihan di awal era Orba yang salah satunya adalah mengundang investasi sebesar-besarnya, yang selanjutnya dikuatkan oleh keputusan MPR yang
1
Untuk tujuan itu pada 1 Januari 1976 disyahkan UU pananaman Modal asing dan pada 3 Juli 1968 UU penanaman Modal Dalam Negeri. 2 Lihat Baswir dkk, 1999, mengutip Sundrum 1986 3 Mubyarto, 1999,h.9-11 [160]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
Pertanyaan yang menggoda adalah kenapa pembangunan yang dinilai sangat berhasil itu ternyata membawa bencana? Di mana kesalahannya? Bagaimana memperbaikinya? Itu pergumulan yang muncul di awal era reformasi. Jawab atas pertanyaan ini pasti banyak, tetapi tetapi sesuai topik ada 2 yang paling mempengaruhi solusi yang dipilih saat itu. Pertama: system pemerintahan yang sangat sentralistik, otoriter dan birokratis. Kedua,paradigma pembangunan (ekonomi) yang sangat fokus pertumbuhan dan berorientasi pasar. Krisis yang terjadi itu telah menimbulkan kesadaran bahwa cita-cita bangsa ini telah bergeser jauh dari yang diamanatkan UUD 45. Karena itu transformasi total harus segera dilakukan. Pilihan untuk itu adalah pelaksanaan Otonomi Daerah yang tujuannya tercermin dari prisip-prinsip yang terkandung dalam UU.no 22/99 dan rumusan operasionalnya tercermin dalam Program Pembangunan Nasioanl (Propenas) 1999. Otonomi menurut UU.no. 22/99 itu dirumuskan sebagai : kewenangan Daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasar aspirassi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan (UU.no.22, ps 1.h.). Dalam UU. No 32/2004 (pengganti UU no 22/99) rumusan itu menjadi: otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan (UU.no 32 ps. 1 butir 5) Dari rumusan itu tercermin bahwa tujuan otonomi adalah mengganti sistem pemerintahan yang sentralistik, otoriter, dan birokratis menjadi lebih partisipatif, demokratis. Rumusan itu memperlihatkan bahwa otonomi yang dipilih sebagai solusi krisis itu adalah otonomi yang mengutamakan kepentingan daerah dan masyarakatnya dan bukan kepentingan pemerintah pusat (seperti jiwa UU no. 5/74). Desentralisasi yang dijalankan di era reformasi ini seharusnya dipahami sebagaimana dirumuskan oleh Pide (1997) yang dikutip oleh Joko Widodo (2001?) bahwa “desentralisasi pada dasarnya adalah pelimpahan atau penyerahan kekuasaan atau wewenang di bidang tertentu secara vertikal dari institusi /lembaga / pejabat yang lebih tinggi kepada institusi / lembaga / fungsionaris bawahannya sehingga yang diserahi / dilimpahi kekuasaan wewenang tertentu itu berhak bertindak atas nama sendiri dalam urusan tertentu tersebut.4 Penegasan ini penting karena dalam praktek pemberian kewenangan dari pusat ternyata hanya berhenti di Propinsi atau kabupaten, dan tidak dilanjutkan kepada institusi / lembaga atau pejabat dibawahnya.
4
Ada banyak perubahan yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan otonomi ini, baik dalam menata sistem pemerintahan maupun menata jalannya pembangunan pada semua level mulai dari pusat sampai ke daerah-daerah. Paling tidak perubahan (khususnya yang menyangkut penataan pembangunan) itu menyangkut 3 bidang yaitu (a) perubahan menyangkut pelaku pembangunan, (b) perubahan menyangkut metode pembangunan dan (c) perubahan menyangkut substansi pembangunan. Cita-cita propinsi Banten untuk mewujudkan Banten yang Mandiri, Maju dan Sejahtera berdasar Iman dan Taqwa hanya dapat diwujudkan jika ke 3 perubahan yang diamanatkan otonomi itu dapat dilakukan. (a). Mengenai perubahan pelaku pembangunan, undang-undang Otoda menetapkan adanya penyerahan kewenangan dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah, atau kalau mengikuti rumusan Pide tadi, nbedrarti penyerahan kewenangan dari instansi yang lebih tinggi ke instansi yang lebih rendah, bahkan menurut jiwa UU otonomi desentralisasi itu harus bermuara ke masyarakat. Tujuannya untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri, bahkan lebih dari itu ditegaskan (dan mungkin ini yang lebih menarik) bahwa peran pemerintah yang selama ini sangat dominan melakukan pembangunan akan digantikan oleh peran serta masyarakat yang semakin besar. (b) Mengenai perubahan substansi pembangunan pasal tadi mengisyaratkan bahwa fokus pembangunan di era Otonomi itu tidak lagi hanya pada fisik material tetapi juga (dan mungkin terutama) pada peningkatan kualitas manusia. Maksudnya bahwa keberhasilan pembangunan tidak hanya dinilai dari tingkat pertumbuhan tetapi keberhasilan itu terutama harus dinilai dari kualitas kinerja manusia yang lebih mampu berinisiatif dan lebih berani menyampaikan aspirasinya. Harus disadari bahwa kekayaan sesungguhnya yang menjadi andalan setiap masyarakat adalah manusia warganya. Kekayaan dan kekuatan yang seharusnya menjadi andalan Indonessia adalah warga (manusia) Indonesia dan bukan terutama sumber daya balamnya, demikian juga kekayaan dan kekuatan yang seharusnya menjadi andalan Banten adalah warga Banten. Masyarakat yang memiliki sumber daya alam yang sangat terebatas telah membuktikan hal itu seperti Jepang, Singapur atau Israel. Negara-negara ini dapat tampil menjadi kekuatan dunia yang cukup diperhitungkan karena didukung oleh warga yang berkualitas. (c) Sedang menyangkut metode pelaksanaan pembangunan tersirat prinsip bahwa cara atau pendekatan pembangunan tidak hanya
Joko Widodo (2001:39) mengutip Pide, 1997:34
[161]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
pembangunan sektoral namun juga pembangunan wilayah bahkan secara lebih terfokus adalah pembangunan masyarakat (community building). Perubahan yang mendasar disini adalah pada pendekatan yang selama ini kita anut yang beranggapan bahwa kesejahteraan masyarakat dapat diwujudkan dengan membangun berbagai sektor (seperti kesehatan, ekonomi, pendidikan dan lain sebagainya) akan diarahkan menjadi pembangunan kemasyarakatan. Pembangunan kemasyarakatan menganut strategi bahwa masyarakatlah yang seharusnya diprioritaskan untuk dibangun dan diperkuat sehingga mampu membangun dirinya sendiri. Membangun masyarakat pada dasarnya berarti membangun sistem yang wujudnya institusiinstitusi dalam masyarakat itu. Institusi-institusi dalam masyarakat dapat dibedakan atas : institusi pasar (ekonomi), institusi sosial (masyarakat) dan institusi politik (pemerintah). Simon Peres pernah bercerita tentang awal Israel menjalin hubungan dengan Rusia. Yang pertama diminta Rusia dari Israel adalah sapi, karena sapi Israel dapat memproduksi susu 3 kali lebih banyak dari sapi pada umumnya sehingga Israel dapat mengeksport susu. Namun di Rusia sapi Israel ternyata tidak berbeda dengan yang lain. Pesan cerita ini menurut Peres adalah bahwa “Anda bisa mendapatkan susu yang lebih banyak dari sistem ketimbang dari sapi”5.
yang berarti dalam rangka persiapan penerapan Otoda tersebut. Perhatian rupanya lebih banyak diarahkan pada persiapan perangkat hukum dan perundang-undangan. Padahal penyesuaian otomatis tidak akan terjadi meskipun perangkat perundangannya telah lengkap. Peraturan dan perundangan itu baru merupakan infrastruktur sosial yang perlu dilengkapi dengan perencanaan tindakan, perencanaan perubahan. Paling tidak ada tiga kategori hambatan yang dialami dalam melakukan perubahan itu, yakni hambatan yang berlatar belakang struktural, hambatan yang berlatar belakang administratif dan hambatan yang berlatar sosial budaya. Dengan memperhatikan latar belakang Propinsi Banten yang diuraikan diawal tulisan ini kita dapat membayangkan hambatan yang harus dipertimbangkan dalam mendorong perubahan mewujudkan Banten yang Mandiri, Maju dan Sejahtera. Paling tidak ada dua hal : (1) Tantangan berkaitan dengan perobahan Pelaku Pembangunan. Dalam hal ini Banten tidak berbeda dengan daerah lain. Dengan pelaku pembangunan disini terutama dimaksudkan Pemerintah Daerah yang diharapkan dapat berubah lebih demokratis dan partisipatif. Namun seperti kita semua tahu selama era Orba, Pemda hanya berfungsi sebagai pelaksana dari program pembangunan yang seluruhnya ditangani oleh Pemerintah Pusat, mulai dari perencanaan, pelaksanaan sampai pada evaluasinya. Pemerintah daerah hanya berfungsi sebagai pelaksana dan untuk itu mereka tidak boleh menyimpang dari skenario yang telah ditetapkan oleh pemerintah yang dikenal dengan petunjuk pelaksanaan (juklak) dan petunjuk teknis (juknis). Pada umumnya mereka tidak memiliki tradisi mengidentifikasi potensi daerahnya, membuat perencanaan berdasar potensi itu dengan memperhatikan aspirasi masyarakat, kemudian melaksanakan bersama dengan masyarakat. Sekarang mereka diminta untuk mengatur dan mengurus daerahnya dengan prakarsanya sendiri. Kita tentu dapat memahami kesulitan untuk merealisasikan perubahan ini. Perubahan yang diharapkan ini tidak akan terjadi dengan hanya mengeluarkan berbagai perundangan dan peratura, karena untuk perubahan itu dibutuhkan perubahan pola pikir, pengetahuan, ketrampilan bahkan sikap yang sesuai dengan perubahan itu. Saya kira dibutuhkan semacam pendidikan dan pelatihan. Hal yang sama dialami oleh masyarakat, yang di era otonomi, yang demokratis partisipatif, justru diharapkan menjadi pelaku pembangunan utama. Masyarakat kita selama era Orba hanya diperlakuan sebagai obyek dalam pembangunan. Mereka selalu dinilai tidak berdaya dan karena itu harus dijadikian obyelk pemberdayaan. Tidak pernah diberi kepercayaan untuk ikut berpartisipasi
5.
Tantangan Pelaksanaan Melaksanakan otonomi pada hakekatnya berarti melakukan serangkaian perubahan. Itulah yang ditegaskan dalam Penjelasan Undang-Undang No. 22 berkaitan dengan Dasar Pemikiran bahwa "Hal-hal yang mendasar dalam undang-undang ini adalah mendorong dan memberdayakan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreatifitas, meningkatkan peran serta masyarakat, mengembangkan peran dan fungsi DPRD Melihat uraian di atas jelas bahwa pembangunan yang akan diterapkan dalam rangka Otonomi Daerah adalah identik dengan apa yang disebut oleh Tropman dkk sebagai locality development yang dengan tepat didifinisikan sebagai : "to empower the local residents to gain the capacity to solve problems and successfully cope with powerful authorities and institutions that affect their lives"6. Mungkin pertanyaannya sekarang adalah tantangan besar apa yang akan dihadapi dalam menerapkan Otoda ? Jawabnya adalah melakukan perubahan membentuk dan merubah tatanan, sistem, mekanisme dan perilaku yang sudah melembaga untuk disesuaikan dengan aspirasi baru. Namun nampaknya tantangan ini tidak mendapat perhatian 5
Oscar Lafontaine dkk (terjemahan 1999) h.. 37 Cnaan and Rothman (tanpa thn) dalam John E. Tropman dkk (ed) (tanpa tahun) 6
[162]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
atau berinisiatif dalam mangatasi masalahnya. Pada hal kita tahu bahwa pengalaman adalah guru yang terbaik untuk mengembangkan diri. Di era Otonomi masyarakat diharapkan dapat berperan aktif mengambil prakarsa dan berani menyalurkan aspirasinya melalui semua jalur yang ada. Dengan kata lain pada era otonomi ini masyarakat diharapkan dapat menjadi subyek pembangunan dan bukan sekedar obyek dalam pembangunan. Perubahan ini tentu tidak mudah sehingga membutuhkan strategi yang tepat, apalagi dengan mengingat masyarakat kita yang berlatar belakang kultur feodal yang paternalistik. Masyarakat kita sudah terbiasa hanya menunggu perintah. Kultur seperti itu telah diwarisi dari era feodal, kemudian dilestarikan di masa penjajahan dan terakhir era otoriter yang militeristik selama Orde Baru. Semua itu memenjarakan inisiatif dan rasa percaya diri masyarakat kita. Ini semua memperlihatkan betapa besar tantangan yang dihadapi dalam rangka menciptakan masyarakat kita sebagai subyek pembangunan. (2) Tantangan berkaitan dengan perobahan Metode Pelaksanaan Pembangunan. Seperti dijelaskan di atas, yang kita maksudkan dengan perobahan metode adalah merobah prinsip pembangunan sektoral menjadi pembangunan wilayah, atau disebut juga pembangunan lokal atau pembangunan masyarakat (community building). Kenapa pembangunan lokal ini penting? Karena salah satu faktor penyebab krisis yang akhirnya terus berkepanjangan adalah hilangnya kemampuan masyarakat untuk mengatasi masalah-masalah yang timbul dalam kehidupan sehari-hari. Penyebabnya penyeragaman yang dilakukan selama Orba. Tujuannya untuk memudahkan pengaturan terpusat, tetapi ternyata berakibat fatal dengan hancurnya nilai-nilai yang menjadi urat nadi kehidupan masyarakat lokal. Untuk memulihkan kembali kehidupan masyarakat, sendi-sendi kehidupan lokal itu harus dibangun kembali. Tanpa itu tidak mungkin mengharapkan masyarakat untuk dapat berpartisipasi dalam membangun masa depannya. Masalah utama yang kita hadapi dalam melaksanakan pembangunan masyarakat adalah (1) kita tidak sadar benar apa urgensinya pembangunan masyarakat itu dan (2) kelihatannya kita juga tidak mengetahui teori, metode dan teknik membangun kelembagaan masyarakat itu. Karena keterbatasan itu kita cendrung mengabaikannya, dan akibatnya kita gagal membangun wadah bagi kekuatan terbesar yang kita miliki untuk membangun bangsa ini yaitu kekuatan yang dimiliki oleh rakyat kita sendiri. Khusus untuk Propinsi Banten pembangunan masyarakat penting karena propinsi ini unik berhubung dengan posisinya, sebagai penyangga ibu kota negara. Hal ini sudah dijelaskan di awal tulisan ini. Apa masalahnya?
6.
Penutup Sebenarnya di awal tulisan ini sudah diungkap. Banten saat ini terbelah dalam Banten Utara dan Banten Selatan yang berbeda dalam banyak hal. Perbedaan ini semakin diperlebar oleh kemajuan yang sangat dinamis yang dialami Banten Utara karena posisinya yang strategis dan fasilitas yang semakin baik. Kondisi ini menarik arus globalisasi mengalir lebih deras, dan mendorong meningkatnya mobilisasi manusia menyusul menjamurnya pemukiman khususnya di Banten Utara. Pada fase perkembangan saat ini, secara sosiologis Banten sulit disebut sebagai suatu masyarakat. Banten terdiri dari banyak segmen masyarakat yang tidak merasa terkait satu dengan yang lain, bagaikan tumpukan pasir yang berkumpul tetapi tidak terikat. Kondisi semacam ini tentu tidak dapat dibiarkan berlangsung lama. Bukan saja karena “masyarakat” seperti ini sulit dibangun, tetapi juga karena dapat menjadi sumber ketegangan yang sulit dikendalikan. Pemerintah dituntut untuk mengimbangi perkembangan ini dengan mengembangkan institusi yang dapat menata masyarakat sesuai dengan perkembangan yang aktual. Seharusnya itulah yang menjadi tujuan falsafah pembangunan Banten yaitu “Mewujudkan Banten yang Mandiri, Maju dan Sejaterah”. Gejala Ekonomi ganda yang disebut diawal harus dilihast sebagai tantangan sekaligus peluang untuk memulai pembangunan wilayah (community building sesuai amanat Undang-Undang Otonomi. Daftar Pustaka Buku Adam Kuper dan Jessica Kuper. 2000. Ensiklopedia Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Baswir, Revrisond, dkk. 1999. Pembangunan Tanpa Perasaan. Jakarta dan Yogyakarta: Elsam dan Idea. Cnaan, Ram A. and Jack Rothman. Locality Development and the building of Community, in Tropman et al. (ed). Strategies of Community Intervention. Illinois: Peacock Publishers,Inc. Kaloh, J. 2007. Mencari Bentuk Otonomi Daerah, Suatu Solusi Dalam Menjawab Kebutuhan Lokal dan Tantangan Global. Jakarta: Rineka Cipta. Mubyarto.1999. Reformasi Ekonomi. Yogyakarta: Aditya Media. Joko Widodo. 2001. Good Governance. Surabaya: Insan Cendekia. Peres, Shimon. Melibatkan Diri dalam Tanggung Jawab Sejarah dan Tantangan Masa Depan. dalam Lafontaine, Oscar, dkk. 2000. Shaping Globalization (terjemahan). Yogjakarta: Penerbit Jendela. [163]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
Timur Mahardika. 2001. Strategi Tiga Kaki. Dari Pintu Otonomi Daerah Mencapai Keadilan Sosial. Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama. BPS Propinsi. Banten Dalam Angka. 2008 (diakses 9 Mei 2010). Undang-Undang Undang-Undang Otonomi Daerah 1999, Penerbit Restu Agung Jakarta Undang-Undang Otonomi Daerah 2004, Edisi Lengkap, 2006, penerbit Fokusmedia Dokumen Draf Program IPTEK bagi Wilayah (IbW), 2010, Meletakkan Dasar Masyarakat Mnadiri Melalui PKBM Draf Usulan Program IPTEK bagi Wilayah di Propinsi Banten oleh Dinas Pendidikan Pemerintah Propinsi Banten (2010) Koran Kompas, 26 Januari 2010 Kompas, 27 Januari 2010 Kompas, 28 Januari 2010 Kompas, 29 Januari 2010 Kompas, 30 Januari 2010 Identitas Penulis Paulus Tangdilintin, Guru Besar pada Program Ilmu Kesejahteraan Sosial FISIP Universitas Indonesia ini lahir pada 16 Juli 1938 di Makale, Sulawesi Selatan. Menjadi staf pengajar di Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial FISIP UI sejak tahun 1970. Beliau pensiun pada tahun 2003. Saat beliau masih aktif, beliau pernah menjabat sebagai Ketua Jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial. Beliau juga pernah menjabat sebagai Ketua Program Pascasarjana Ilmu Kesejahteraan Sosial, juga Ketua Program Kekhususan Pembangunan Sosial. Saat ini beliau menjadi pengajar tidak tetap di Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia. Adapun bidang keahliannya adalah Pembangunan Sosial dan Evaluasi. Saat ini mengajar di FISIP UPH Karawaci Tangerang.
[164]