BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Pembangunan yang ingin dicapai bangsa Indonesia adalah tercapainya bangsa yang maju, mandiri, dan sejahtera. Salah satu ciri bangsa yang maju adalah mempunyai derajat kesehatan yang tinggi, karena derajat kesehatan mempunyai pengaruh yang besar terhadap kualitas sumber daya manusia (Kemenkes RI, 2011). Hanya dengan sumberdaya yang sehat akan lebih produktif dan meningkatkan daya saing bangsa, tetapi pembangunan kesehatan di Indonesia masih mengalami banyak masalah. Masalah yang menjadi perhatian saat ini yaitu pengendalian penyakit menular. Salah satu penyakit menular yang sedang dikendalikan adalah penyakit tuberkulosis. Penyakit tuberkulosis masih juga menjadi masalah kesehatan dunia terutama negara yang berkembang. Besarnya masalah tersebut terlihat dari tingginya angka kesakitan dan kematian akibat tuberkulosis. Tuberkulosis adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan bakteri berbentuk batang (basil) yang dikenal dengan nama myobacterium tuberculosis (Kemenkes RI, 2011). Penularan penyakit ini melalui perantara ludah atau dahak penderita yang mengandung basil tuberkulosis paru. Pada waktu penderita batuk butir-butir air ludah
1
beterbangan di udara dan terhisap oleh orang sehat dan masuk kedalam
paru-parunya
yang
kemudian
menyebabkan
penyakit
tuberkulosis paru. Penyakit tuberkulosis merupakan penyakit menular yang terjadi di Indonesia maupun diberbagai belahan dunia. Kejadiannya kasus paling tinggi dijumpai di India sebanyak 1,5 juta orang. Urutan kedua dijumpai di Cina yang mencapai 2 juta orang dan di Indonesia menduduki urutan ketiga dengan penderita 583.000 orang pada tahun 2009 (Kemenkes RI, 2011). Menurut WHO (2012), di Indonesia setiap tahun terjadi 540 kasus baru dengan kematian 120 penderita dengan tuberkulosis positif pada dahaknya. Kejadian kasus tuberkulosis paru yang tinggi ini paling banyak terjadi pada kelompok masyarakat dengan sosio ekonomi lemah (Depkes RI, 2006). Terjadinya peningkatan kasus ini disebabkan dan dipengarui oleh daya tahan tubuh, status gizi dan kepadatan hunian lingkungan tempat tinggal. Menurut Depkes RI (2006) Sekitar 75% penderita tuberkulosis paru adalah usia produktif secara ekonomis yaitu 15-50 tahun dengan tingkat sosial ekonomi yang rendah. Diperkirakan seseorang penderita tuberkulosis paru dewasa akan kehilangan rata-rata waktu kerjanya 3 sampai 4 bulan. Hal tersebut berakibat pada kehilangan pendapatan tahunan rumah tangganya sekitar 20-30%. Jika meninggal akibat penyakit tuberkulosis paru, pendapatannya akan hilang sekitar 15
2
tahun. Selain merugikan secara ekonomis, penderita tuberkulosis paru secara sosial bahkan kadang akan dikucilkan oleh masyarakat. Indonesia sekarang berada pada ranking kelima negara dengan beban tuberkulosis tertinggi di dunia. Estimasi prevalensi tuberkulosis semua kasus adalah sebesar 660.000dan estimasi insidensi berjumlah 430.000 kasus baru per tahun. Jumlah kematian akibat tuberkulosis diperkirakan 61.000 kematian pertahun (WHO, 2010). Pada tahun 2010 didapat prevalensi tuberkulosis berdasarkan diagnosis sebesar 725 per 100.000 penduduk di Indonesia. Provinsi dengan prevalensi tuberkulosis tertinggi yaitu Papua sebesar 1.441 per 100.000 penduduk yang diikuti oleh Banten sebesar 1.282 per 100.000 penduduk, dan sulawesi utara sebesar 1.221 per 100.000 penduduk. Sedangkan prevalensi terendah Provinsi Lampung sebesar 270 per 100.000 penduduk, diikuti oleh Bali sebesar 306 per 100.000 penduduk, dan Yogyakarta sebesar 311 per 100.000 penduduk (Ditjen P2 & PL, Kemenkes RI, 2012). Berdasarkan hasil laporan bagian P2 & PL Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta pada tahun 2012 ada 407 kasus tuberkulosis, pada wilayah kota Yogyakarta ditemukan 205 kasus dan 202 kasus tuberkulosis berasal dari luar Kota Yogyakarta, untuk tahun 2013 tercatat ada 243 kasus, dari 243 kasus, kasus yang paling banyak ditemui di Puskesmas Gedongtengen.
3
Pada saat ini, pelaksanaan upaya pengendalian tuberkulosis di Indonesia secara administratif berada di bawah dua Direktorat Jenderal Kementerian
Kesehatan,
yaitu
Direktorat
Jendral
Bina
Upaya
Kesehatan (Ditjen BUK) dan Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (Ditjen P2 & PL), Subdit Tuberkulosis yang bernaung di bawah Ditjen P2 & PL. Pembinaan puskesmas berada di bawah Ditjen BUK dan merupakan tulang punggung layanan tuberkulosis dengan arahan dari subdit tuberkulosis, sedangkan pembinaan rumah sakit berada di bawah Ditjen BUK. Pelayanan kesehatan di tingkat kabupaten/kota merupakan tulang punggung dalam program pengendalian tuberkulosis. Pada tingkat kabupaten/kota, kepala dinas kesehatan bertanggung jawab atas pemantauan pelayanannya. Di seksi pembrantasan penyakit menular (P2M), wakil supervisor (wasor) tuberkulosis bertanggung jawab atas pemantauan program, register dan ketersediaan obat. Register tuberkulosis di Puskesmas Gedongtengen Yogyakarta berisi tentang identitas penderita, fasilitas yang memberi layanan, hasil pemeriksaan dahak, klasifikasi dahak, tanggal mulai berobat, jenis obat yang diberikan, dan status kesembuhan. Sampai saat ini, pengolahan register tuberkulosis di Puskesmas Gedongtengen Yogyakarta masih berupa tabel dan grafik. Pada tahun 2011, pernah dilakukan penyajian data dalam bentuk pemetaan, tapi hal itu tidak bisa berjalan. Sistem surveilans seharusnya dapat
4
mengidentifikasi sebaran kasus tuberkulosis hingga tingkat individual. Identifikasi lokasi penderita tuberkulosis bisa saja dilakukan pada tingkat individu karena dalam register tuberkulosis terdapat alamat penderita yang dapat dipetakan dengan menggunakan pendekatan Sistem Informasi Geografis (SIG) melalui penyajian data spasial. Pendekatan spasial atau keruangan dengan analisis SIG penting untuk
dilakukan
karena
pendekatan
tersebut
dapat
ditentukan
kepadatan insidensi penyakit. Konsekuensinya, keakuratan penyajian data spasial berbanding lurus dengan keakuratan item alamat pada rekam medis pasien. Oleh karena itu, penulisan alamat secara pasti pada berkas rekam medis di rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan penyakit paru-paru (BP4) sangat penting bahkan esensial (Achmadi, 2005). Penggunaan peta kesehatan sebagai salah satu bentuk penyajian data sebaiknya dapat dilakukan karena dengan satu lembar peta kita dapat mengetahui dan mengamati distribusi penyakit menurut lokasi secara langsung, dan jika data telah masuk selama periode tertentu yang mempunyai karakteristik khusus (Aji, 2006). Peta dapat menampilkan informasi jenis penyakit dalam hal ini tuberkulosis dan lokasinya
diambil
dari
register
tuberkulosis
di
Puskesmas
Gedongtengen Yogyakarta, hal ini diharapkan mempermudah dan mempercepat tindakan antisipasi dari pihak yang berwenang agar tanggap terhadap kejadian di masyarakat.
5
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah pada penelitian ini adalah bagaimana penyajian data spasial kasus tuberkulosis di Puskesmas Gedongtengen Yogyakarta?
C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Menyajikan data spasial distribusi penyakit tuberkulosis dalam bentuk
peta persebaran penyakit tuberkulosis di Puskesmas
Gedongtengen Yogyakarta 2. Tujuan Khusus a. Menyajikan data spasial distribusi kasus tuberkulosis dari data Puskesmas Gedongtengen Yogyakarta pada bulan Januari danFebruari 2014 dalam bentuk peta titik koordinat
dan
mendeskrispsikan kejadian tuberkulosis di Wilayah Puskesmas Gedongtengen. b. Menyajikan peta distribusi kasus tuberkulosis berdasarkan jenis kelamin penderita. c. Menyajikan
peta
distribusi
kasus
tuberkulosis
berdasarkan
golongan umur penderita. d. Menyajikan buffer lokasi Puskesmas Gedongtengen dengan tempat tinggal penderita.
6
e. Menyajikan peta kepadatan penduduk Kecamatan Gedongtengen dengan titik lokasi penderita tuberkulosis.
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Praktis a. Bagi Dinas kesehatan Kota Yogyakarta Hasil penelitian ini kiranya dapat digunakan untuk salah satu pertimbangan dalam pengambilan kebijakan dan memperoleh cara
untuk
menjalankan
program
yang
sesuai
untuk
mengendalikan sebaran kasus penyakit tuberkulosis. b. Bagi Penulis Dapat dijadikan sebagai tambahan ilmu pengetahuan dan wawasan yang luas dalam kepedulian penanggulangan penyakit tuberkulosis. c. Bagi Masyarakat Dapat
memberikan
mewaspadai
informasi
persebaran
kepada
penyakit
masyarakat
tuberkulosis
untuk
sehingga
masyarakat juga berperan dalam penanggulangan penyakit ini. 2. Manfaat Teoritis a. Bagi Institusi Pendidikan Dapat dijadikan sebagai tambahan pustaka untuk memperkaya kajian ilmu rekam medis.
7
b. Bagi Peneliti Lain Dapat digunakan sebagai acuan pendalaman materi yang bersangkutan untuk kelanjutan penelitian yang relevan.
E. Keaslian penelitian Penelitian tentang “Penyajian Data Spasial Kasus Tuberkulosis Di Puskesmas Gedongtengen Yogyakarta” belum pernah dilakukan orang lain, namun penelitian yang hampir sama pernah dilakukan, antara lain: 1. Penelitian Ruswanto (2010) Judul Penelitian: “Analisis Spasial Sebaran Kasus Tuberkulosis Paru Ditinjau Dari Faktor lingkungan Dalam dan Luar rumah di Kabupaten
Pekalongan”.
Hasil
penelitiannya
adalah
adanya
hubungan antara kejadian tuberkulosis dengan kepadatan hunian, luas ventilasi, kelembaban dalam rumah, suhu udara dalam rumah, pencahayaan
alami,
jenis
lantai,
suhu
udara
luar
rumah,
pengetahuan dan status gizi. a. Persamaan penelitian Penelitian ini dengan penelitian Ruswanto (2010) adalah sama mengangkat penyakit tuberkulosis sebagi kasus dalam penelitian ini.
8
b. Perbedaan penelitian Dalam
penelitian
digunakan
Ruswanto
adalah
menggunakan
studi
metode
(2010)
jenis
obsevasional
rancangan
penelitian analitik
penelitian
case
yang
dengan control,
sedangkan pada penelitian ini jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif dengan metode rancangan penelitian cross sectional. 2. Penelitian Sulistianto (2009) Judul penelitian :” Penyajian Data Rekam Medis Dalam Bentuk Peta” hasil penelitiannya adalah dapat menyajikan data penyakit ISPA dalam bentuk peta. a. Persamaan Persamaan penelitian ini dengan Sulistianto (2009) adalah samasama menampilkan data penyakit dalam bentuk peta. b. Perbedaan Perbedaan penelitian ini dengan Sulistianto (2009) adalah dalam penelitian ini tidak hanya menampilkan peta saja tapi mempunyai tujuan yang lebih khusus yaitu juga mengetahui penyebaran atau distribusi penyakit yaitu tuberkulosis. Metode pengumpulan data mempunyai perbedaan, jika penelitian ini menggunakan data dalam penelitian ini menggunakan data dari kasus tuberkulosi dari Puskesmas Gedongtengen Yogyakarta sedangkan penelitian Sulistianto menggunakan data yang dikumpulan dari berkas
9
rekam medis pasien rawat inap dengan kasus ISPA di Puskesmas Godean I. 3. Penelitian Prihutami (2009) Judul penelitian : “Analisis Kestabilan Model Penyebaran Penyakit Tuberkulosis”. a. Persamaan Persamaan penelitian ini dengan Prihutami (2009) adalah samasama mengangkat kasus tuberkulosis sebagai kasus dalam penelitian ini. b. Perbedaan Perbedaan penelitian ini dengan Prihutami (2009) adalah pada tujuan. Pada penelitian ini memilki tujuan menyajikan data spasial kasus
tuberkulosis
dari
data
Puskesmas
Gedongtengen
Yogyakarta, sedangkan pada penelitian Prihutami (2009) memiliki tujuan mengetahui model matematika penyebaran penyakit tuberkulosis, perilaku pada sub populasi susceptible, latent infectious, active infectious
F. Ruang Lingkup Menyadari keterbatasan sarana, tenaga, dana, waktu dan kemampuan penulis dalam penelitian ini, maka penulis membatasi ruang lingkup penelitian sebagai berikut:
10
1. Ruang Lingkup Waktu Penelitian ini dilaksanakan pada 3 Febuari sampai dengan 15 Maret 2014. 2. Ruang Lingkup Materi Masalah dibatasi hanya pada penyajian data spasial distribusi penyakit tuberkulosis pada tempat tinggal penderita tuberkulosis. 3. Ruang Lingkup Tempat Tempat
penelitian
ini
di
wilayah
Yogyakarta
11
Puskesmas
Gedongtengen