OPOSISI KUAT DAN LEMAH DALAM SAJAK “LE CHÊNE ET LE ROSEAU” KARYA JEAN DE LA FONTAINE Rahardhyani Primarista Putri dan Dr. Renny Sjahrul Azwar, M.Si. Program Studi Prancis, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok, Indonesia
[email protected]
Abstrak Penelitian ini membahas makna di balik sosok le Chêne dan le Roseau yang digambarkan dalam sajak “Le Chêne et le Roseau” karya Jean de la Fontaine. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan teori struktural. Hasil penelitian ini memperlihatkan adanya oposisi kuat dan lemah yang digambarkan melalui sosok le Chêne dan le Roseau. Keduanya merupakan lambang manusia dan sifat-sifatnya. Kata kunci: sajak, oposisi, kuat dan lemah, le Chêne et le Roseau, Jean de la Fontaine
Opposition of Strong and Weak in the Poem “Le Chêne et le Roseau” by Jean de la Fontaine Abstract The focus of this study is on the meaning of the characters le Chêne and le Roseau based on the poem “Le Chêne et le Roseau” by Jean de la Fontaine. This is a qualitative research, using the theory of structuralism. The result of this study shows that le Chêne and le Roseau are symbols of the opposition of strong and weak. These two characters also symbolize human and its traits. Keywords: poem, opposition, strong and weak, le Chêne et le Roseau, Jean de la Fontaine Pendahuluan Latar Belakang Abad XVII merupakan salah satu masa kegemilangan Prancis. Di bawah pimpinan Raja Louis XIV (1638-1715), negara tersebut menjadi negara paling terpandang di Eropa. Sang Raja menerapkan sistem monarki absolut yang membuatnya memiliki kekuasaan tak terbatas (Husen, 2001, p.33). Seluruh aspek kehidupan rakyat berada dalam pengawasan Louis XIV, tak terkecuali bidang bahasa (Mason, 1966, hlm.85). Para sastrawan Prancis pada abad XVII memiliki tugas untuk mengajarkan kebaikan kepada masyarakat agar dapat menjadi manusia yang bermoral, elegan dalam bertindak dan memiliki akhlak yang terpuji dalam suatu masyarakat yang disiplin dan beradab (Lagarde & Michard, 1970, hlm.8). Karya 1
Oposisi kuat…, Rahardhyani Primarista Putri, FIB UI, 2013
sastra yang dianggap efektif untuk menyampaikan sebuah pesan moral adalah sajak, karena memiliki kekayaan tersendiri yang dapat menyampaikan sebuah gagasan dengan lebih baik. Melalui bentuk dan susunan kata yang diatur sedemikian rupa dalam sajak, pembaca dapat mengingat sebuah pesan, pemikiran, atau deskripsi secara lebih mudah (Puzin, 1989, hlm.9). Salah seorang penyair abad XVII dengan karya-karya yang tak pernah luput dari pesan moral adalah Jean de la Fontaine. Sajak-sajaknya mendapat perhatian dari berbagai kalangan masyarakat karena memiliki pesan yang sangat kuat yang disampaikan melalui gaya penulisan yang unik. Hal tersebut membuat nama la Fontaine selalu berada dalam jajaran penyairpenyair klasik ternama di zamannya (Mason, 1966). Sepanjang hidupnya, la Fontaine telah menulis berbagai eligi, sajak didaktik, sajak situasi, sajak dramatik, berbagai surat dan makalah. Namun, hal yang membuat nama penyair ini tetap abadi hingga sekarang adalah dongeng-dongeng dan sajak-sajaknya yang bergenre fabel yang selalu memberikan pelajaran moral kepada manusia melalui tokoh-tokohnya (Puzin, 1989, hlm.365). Hingga saat ini belum ada seorang penulis pun yang dapat menandingi produktivitasnya dalam penulisan fabel (Lagarde & Michard, 1970). Melalui sajak-sajaknya, la Fontaine mengkritik masyarakat Prancis abad XVII dengan gaya bahasa yang unik dan mudah diterima. Ia mengemukakan ambisi, keegoisan, ketamakan dan sifat-sifat buruk manusia lainnya melalui tokoh-tokoh dalam karyanya. Sajak-sajaknya merupakan satire politik, sehingga raja Louis XIV pun tidak lepas dari kritikan la Fontaine (Aksa, 1990, hlm. 17). Binatang seringkali menjadi tokoh utama dalam karya-karyanya. Namun demikian, terdapat sebuah sajak bergenre fabel karya la Fontaine yang menampilkan tumbuhan sebagai tokoh utama, yaitu sajak “Le Chêne et le Roseau”. Sajak “Le Chêne et le Roseau” merupakan sajak terakhir dalam buku I antologi sajak berjudul “Fables: Le Premier Recueil” yang diterbitkan pada tahun 1668. Sajak ini mengungkapkan percakapan antara pohon ek dan alang-alang. Pohon ek dideskripsikan sebagai sosok yang kokoh dan kuat. Pohon tersebut bersimpati terhadap alang-alang yang dianggapnya begitu rapuh. Pohon ek menawarkan perlindungan terhadap alang-alang. Namun demikian, sang alang-alang merasa dirinya tak perlu dikasihani. Di akhir pembicaraan antara kedua jenis tumbuhan tersebut, datang angin kencang yang membelah pohon ek. Tumbuhan jarang digunakan oleh la Fontaine sebagai tokoh dalam fabelnya. Oleh karena itu, sajak ini menjadi salah satu karya la Fontaine yang menonjol dan menarik untuk diteliti. Selain itu, sajak-sajak la Fontaine selalu mengacu pada keadaan sosial masyarakat yang ditemukannya sehari-hari. Dengan demikian, sangatlah menarik untuk menyelidiki makna di balik dua tokoh utama dalam sajak “Le Chêne et le Roseau”. 2
Oposisi kuat…, Rahardhyani Primarista Putri, FIB UI, 2013
Rumusan Masalah Berdasarkan uraian dalam latar belakang, maka muncul pertanyaan: apakah makna di balik tokoh le Chêne dan le Roseau dalam sajak “Le Chêne et le Roseau” karya Jean de la Fontaine? Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan mengungkapkan makna di balik sosok le Chêne dan le Roseau dalam sajak “Le Chêne et le Roseau” karya Jean de la Fontaine. Tinjauan Teoretis Fabel Fabel adalah suatu karya sastra mengenai dunia binatang, tumbuhan atau makhlukmakhluk tak bernyawa. Jenis cerita ini selalu mengandung pesan moral. Oleh karena itu, tujuan utama fabel ialah menyampaikan pelajaran moral atau budi pekerti. Pesan tersebut disampaikan melalui analogi yang terpancar dari tindakan tokoh-tokoh dalam cerita (Keraf, 1994, hlm.140). Dalam fabel, dunia digambarkan sebagaimana adanya, yaitu adanya orangorang baik dan jahat yang sama-sama berjuang untuk bertahan hidup. Para penulis fabel mengajak manusia untuk mengambil contoh dari pelajaran moral yang terkandung dalam karya agar pembaca menyesuaikan perilakunya dengan nilai-nilai yang penting untuk diketahui (Aksa, 1990, hlm.14). Fabel merupakan cerita fiktif, tetapi pesan moral yang terkandung di dalamnya mampu menunjukkan sesuatu yang berhubungan dengan kehidupan nyata pembaca (Aksa, 1990, hlm.15). Pada umumnya, semua cerita yang berasal dari contoh kehidupan dianggap sebagai sesuatu yang perlu diinterpretasikan karena memiliki dua lapisan makna, yaitu makna tersurat dan makna tersirat. Makna tersurat merupakan makna cerita, sedangkan makna tersirat merupakan pesan moral yang ingin disampaikan. Interpretasi memperjelas pesan moral yang sebelumnya tersirat dalam cerita dan menempati kedudukan yang lebih tinggi dibanding cerita, karena interpretasi moral menentukan cerita. Dengan kata lain, pesan moral dalam fabel disampaikan melalui cerita dan interpretasinya (Aksa, 1990, hlm.16). Kajian Sajak Schmitt dan Viala mengemukakan bahwa sebuah teks terdiri atas aspek material, aspek verbal (fonetik, morfologi, sintaksis), aspek semantik, dan aspek pragmatik. Masing3
Oposisi kuat…, Rahardhyani Primarista Putri, FIB UI, 2013
masing unsur dapat dianalisis. Keseluruhan aspek tersebut dapat digolongkan dalam dua aspek besar, yaitu aspek bentuk sajak yang terdiri atas metrik, bunyi dan sintaksis serta aspek makna sajak yang terdiri atas aspek semantik dan pragmatik. Masing-masing aspek tersebut akan dibahas lebih lanjut lagi di bawah ini. Aspek metrik merupakan bentuk irama sajak. Aspek ini memiliki peranan penting dalam mengungkapkan suasana sajak. Peranan aspek tersebut mempunyai kaitan yang erat dengan makna sajak, karena irama mendukung pengungkapan makna sajak secara keseluruhan. Aspek metrik memiliki beberapa komponen. Komponen pertama adalahjumlah bait dan jumlah suku kata dalam sajak. Penghitungan suku kata tersebut tergantung pada kaidah penggunaan huruf “e”. Huruf tersebut dapat tidak dibunyikan (muet) atau justru wajib dibunyikan dan dihitung sebagai satu suku kata, tergantung pada posisinya (Schmitt & Viala, 1982, hlm.134). Komponen metrik selanjutnya, yaitu césure dan coupe. Césure (//) adalah hentian panjang di tengah larik. Hentian ini didasarkan pada tuntutan makna maupun karena adanya tanda jeda. Césure membagi larik-larik sajak menjadi bagian-bagian yang masingmasing disebut hémistische (Schmitt & Viala, 1982, hlm.137). Sementara itu, coupe (/) adalah hentian singkat pada larik sajak yang membagi sebuah larik kedalam beberapa metrum (mesure). Berbeda dengan césure, penempatan coupe lebih bebas (Schmitt & Viala, 1982, hlm.136). Semakin banyak hentian dalam sebuah larik, irama sajak pun semakin cepat karena bagian-bagiannya semakin pendek. Komponen aspek bentuk sajak berikutnya adalah aspek yang sangat penting dalam sebuah sajak, yaitu aspek bunyi. Dalam sebuah sajak, bunyi dapat memperdalam ucapan serta menimbulkan rasa dan suasana yang khusus ( Pradopo, 1990, hlm.22). Suasana bunyi tersebut dapat diketahui melalui analisis aliterasi dan asonansi. Aliterasi adalah pengulangan bunyi konsonan dalam larik. Sementara itu, asonansi adalah pengulangan bunyi vokal dalam larik (Schmitt & Viala, 1982, hlm. 129). Kesan yang ditimbulkan oleh permainan antara bunyibunyi konsonan dan vokal serta pesan implisit yang terkandung di dalamnya akan membantu menemukan makna keseluruhan dalam sajak. Selanjutnya, analisis bunyi juga tak dapat dipisahkan dari analisis rima sajak. Rima adalah elemen-elemen bunyi yang sama pada awal, akhir dan di dalam suatu larik sajak. Rima membentuk gaung antara dua larik sajak atau lebih (Schmitt & Viala, 1982, hlm.136). Terdapat beberapa jenis rima, yaitu rima datar (A-A, B-B, C-C), rima berpeluk (A-B-B-A) dan rima bersilang (A-B-A-B (Schmitt & Viala, 1982, hlm.139). Aspek terakhir yang terdapat dalam aspek metrik adalah sintaksis, yaitu cabang linguistik yang mempelajari cara-cara mengatur urutan kata dalam pembentukan suatu 4
Oposisi kuat…, Rahardhyani Primarista Putri, FIB UI, 2013
kalimat (Dubois, 1970 , hlm.14). Analisis tersebut berguna untuk meninjau kalimat utuh sajak demi menangkap pesan yang ingin disampaikan oleh penyair. Analisis sintaksis dalam penelitian ini berfokus pada analisis klausa dan kalimat. Klausa merupakan satuan gramatikal yang sekurang-kurangnya terdiri dari subyek dan predikat (Chevalier, 1988, hlm.10). Sementara itu, kalimat adalah kumpulan kata yang dapat berdiri sendiri dan memiliki makna lengkap (Chevalier, 1988, hlm.9). Kalimat terdiri dari beberapa klausa. Berbeda dengan klausa, kalimat memiliki intonasi final. Berdasarkan jumlah klausanya, kalimat dapat dibedakan menjadi kalimat sederhana, yaitu kalimat yang hanya terdiri dari satu klausa dan kalimat kompleks, yaitu kalimat yang terdiri dari beberapa klausa atau memiliki lebih dari satu predikat (Kentjono, 1984, hlm.63). Analisis makna sajak berguna untuk menentukan pesan moral yang ingin disampaikan oleh Jean de la Fontaine melalui sajak “Le Chêne et le Roseau”. Selain itu, melalui langkah ini dapat ditelaah makna dari kedua tokoh yang terdapat dalam sajak. Analisis makna sajak meliputi aspek semantik dan pragmatik. Semantik merupakan cabang linguistik yang meneliti arti atau makna bahasa (Verhaar, 1999). Makna tersebut dapat digolongkan menjadi makna leksikal dan makna gramatikal. Penelitian ini meninjau sajak “Le Chêne et le Roseau” dari segi makna leksikal yang terdiri dari makna denotatif dan konotatif. Makna denotatif merupakan makna yang memiliki hubungan dengan suatu objek di luar bahasa. Dengan kata lain, tanda itu mengacu dan menunjuk pada suatu realita non linguistik (Zaimar dan Harahap, 2011, hlm.164). Lebih lanjut lagi, Nida mendefinisikan hal ini sebagai makna yang terkandung dalam suatu bentuk bahasa yang mengacu pada benda, tindakan, perasaan, tempat dan waktu (1969, hlm. 56). Sementara itu, makna konotatif merupakan makna yang timbul karena reaksi tertentu para peserta komunikasi akibat lingkungan, zaman atau perorangan (Nida 1969, hlm. 90). Dengan kata lain, makna konotatif adalah makna yang timbul sebagai reaksi pembaca. Oleh karena itu, makna ini tidak mengandung kepastian karena berbeda bagi tiap orang. Unsur pembentuk sajak selanjutnya yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah aspek pragmatik. Hal tersebut meliputi analisis komunikasi dan pilihan kata (diksi), gaya bahasa serta isotopi, motif dan tema. Sebuah teks adalah suatu bentu komunikasi yang mengaitkan antara penyampai pesan (P1, yang berbicara atau menulis pesan) dan penerima pesan (P2, pendengar atau pembaca). Proses komunikasi yang berlangsung dipengaruhi oleh tiga faktor. Faktor pertama, yaitu keadaan temat P1 dan P2 berada ; jauh atau dekat, saling mengenal atau tidak. Kedua, alat yang digunakan dalam berkomunikasi. Faktor terakhir, yaitu kemampuan kedua pelaku komunikasi (P1 dan P2) dalam hal menggunakan alat komunikasi 5
Oposisi kuat…, Rahardhyani Primarista Putri, FIB UI, 2013
dan menguasaan materi pesan yang menjadi pembahasan (Schmitt & Viala, 1982, hlm. 3233). Komponen aspek pragmatik selanjutnya adalah gaya bahasa, khususnya gaya bahasa dalam tataran semantik, yaitu majas. Kerbrat-Orechini (1986, hlm. 94) mengemukakan bahwa semua jenis makna yang mengandung pengertian implisit dalam konteks tertentu dapat membentuk kehadiran majas (Zaimar, 2002 , hlm.46). Terdapat berbagai macam jenis majas yang dapat diklasifikasikan dalam beberapa kategori, yaitu majas perbandingan, majas pertentangan dan majas pertautan. Masing-masing kategori majas tersebut terdiri dari beberapa subkategori majas. Jenis-jenis majas yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah simile, metafora dan sinekdoke. Aspek pragmatik juga meliputi isotopi, motif dan tema. Schmitt dan Viala mendefinisikan isotopi sebagai jaringan makna (1982, hlm.29). Dengan jaringan makna inilah kita dapat menemukan motif dan tema. Keduanya adalah unsur yang berulang. Motif adalah isotopi minimal atau sederhana, sedangkan tema adalah isotopi yang kompleks, terbentuk dari beberapa motif. Sementara itu, Zaimar dan Harahap menyimpulkan isotopi sebagai wilayah makna terbuka yang terdapat di sepanjang wacana (2011, hlm.154). Konsep isotopi memungkinkan pesan apa pun untuk dipahami secara utuh. Metode Penelitian Penulis menggunakan pendekatan struktural dalam melakukan penelitian ini. Pendekatan tersebut mengemukakan bahwa tiap unsur dalam karya sastra bersifat fungsional. Unsur-unsur tersebut saling berkaitan dan membentuk suatu kesatuan yang utuh (Barthes, 1966, hlm.6-7). Berdasarkan teori struktural, sajak dapat dianalisis dari unsur-unsur yang membangunnya, yaitu dari aspek bentuk yang meliputi aspek metrik, bunyi, dan sintaksis serta aspek isi yang mencakup aspek semantik dan pragmatik (Schmitt & Vialla, 1982, hlm.20-21). Pembahasan Penelitian ini dibagi menjadi beberapa unit analisis, yaitu analisis aspek metrik, aspek bunyi, aspek sintaksis, aspek semantik dan aspek pragmatik. Unit analisis tersebut merupakan unsur-unsur pembangun sajak dan masing-masing unsur saling berkaitan satu sama lain. Keseluruhannya akan menentukan makna sajak dan dapat membantu menemukan makna di balik sosok le Chêne dan le Roseau. Analisis Aspek Metrik
6
Oposisi kuat…, Rahardhyani Primarista Putri, FIB UI, 2013
Sajak “Le Chêne et le Roseau” tidak memiliki bentuk yang baku. Sajak tersebut merupakan gabungan antara alexandrine, yaitu larik yang terdiri dari dua belas suku kata dan octosyllable, larik yang terdiri dari delapan suku kata. Bentuk alexandrine ditemukan dalam empat belas larik, sedangkan bentuk octosyllable ditemukan sebanyak lima belas kali dalam sajak. Selain itu, terdapat pula tiga larik yang dibagi dalam sebelas suku kata. Kombinasi ketiga bentuk tersebut mengindikasikan adanya ketidakteraturan dalam sajak. Dalam menganalisis aspek metrik, sajak “Le Chêne et le Roseau” dibagi dalam tiga bagian. Metrik dan ritme sajak memiliki kaitan yang erat dengan pengujaran. Oleh karena itu, pembagian tersebut didasarkan pada ujaran yang disampaikan tokoh-tokoh dalam sajak. Bagian pertama merupakan narasi yang terdapat di larik 1 dan larik 24 hingga 32. Selanjutnya, bagian kedua dimulai dari ujaran yang disampaikan oleh tokoh le Chêne kepada tokoh le Roseau (larik 2 hingga larik 17) dan bagian ketiga ditandai dengan komentar tokoh le Roseau terhadap le Chêne (larik 18-23). Ujaran le Chêne memiliki ritme yang cukup beragam. Terdapat beberapa variasi ritme, yaitu 6/3/3, 5/3 dan 6/5 yang masing-masing hanya muncul satu kali. Selain itu, ditemukan juga ritme 3/5 sebanyak 2 kali, ritme 4/4 sebanyak 5 kali dan ritme 6/6 sebanyak 6 kali. Terdapat hentian singkat yang membagi larik dalam sejumlah metrum. Hal tersebut dapat ditemukan pada larik kedua (3/3/3/3) dan ketiga (4/2/6) sajak. Pembagian tersebut menciptakan ritme yang cepat. Selanjutnya, pembicaraan tokoh le Chêne didominasi oleh ritme 4/4 dan 6/6. Kedua pembagian tersebut membuat irama kalimat tokoh le Chêne menjadi lebih teratur dan terstruktur. Pada bagian kedua, ditemukan bentuk 5/6, 2/5/4, 2//4//3/2 dan 5/3, masing-masing sebanyak satu kali. Selain itu, ditemukan juga bentuk 6//6 dan 3/5 sebanyak dua kali. Tokoh le Roseau memulai pembicaraannya dengan irama yang tenang (larik 18 dan 19, pola 5/6 dan 6//6). Hal tersebut mengindikasikan bahwa ucapan tokoh ini dipikirkan dengan sungguhsungguh sebelum diutarakan. Irama tersebut dipertahankan hingga kalimat yang terakhir. Ia tidak merasa khawatir dengan apa yang dikatakan oleh le Chêne. Selain itu, pada bagian kedua juga ditemukan beberapa penggunaan césure. Seperti yang telah dijelaskan pada tinjauan teoretis, césure didasarkan pada tuntutan makna. Dalam hal ini, penggunaan césure berfungsi untuk menonjolkan pertentangan. Tokoh le Roseau yang dianggap tak berdaya oleh le Chêne tidak merasa dirinya lemah atau perlu dikasihani. Argumentasi tokoh le Roseau ditonjolkan melalui penggunaan césure pada larik 19 dan larik 21. Selanjutnya, pada bagian narasi ditemukan bentuk 6//6, 5/3, 6/6, 4//4, 2/3/3, 4/4, 2/2/4/4 dan 4/6/2 yang masing-masing muncul sebanyak satu kali. Bagian tersebut memiliki 7
Oposisi kuat…, Rahardhyani Primarista Putri, FIB UI, 2013
pembagian yang lebih bervariasi karena tidak ada pengulangan dalam pemotongan larik. Hal ini berfungsi untuk membangun konfik dalam sajak yang ditandai dengan kedatangan angin kencang sebagai suatu hal yang menguji kekuatan tokoh le Chêne dan le Roseau. Seperti halnya pada bagian kedua, terdapat pula penggunaan césure pada bagian ini. Hal tersebut menonjolkan perbedaan reaksi kedua tokoh tersebut terhadap kedatangan angin kencang (larik 28). Dari analisis aspek metrik sajak “Le Chêne et le Roseau” dapat disimpulkan bahwa dalam keseluruhan sajak ini, larik-lariknya selalu ditampilkan dalam irama yang tidak memiliki pola yang teratur dan struktur hentian yang bervariasi. Penggunaan césure dan coupe menunjang makna sajak karena memberikan penekanan di bagian-bagian tertentu. Analisis Aspek Bunyi Sajak “Le Chêne et le Roseau” memiliki pola rima yang beragam, yaitu rima bersilang (A-B-A-B-A) dan rima datar (A-A-B-B) sebanyak satu bait serta rima berpeluk (A-B-B-A) sebanyak tiga bait. Selain itu, ditemukan juga beberapa gabungan antara dua pola rima, yaitu kombinasi rima berpeluk dan bersilang (A-B-B-A-B) serta kombinasi rima bersilang dan rima datar (A-B-A-B-C-C). Tidak adanya keteraturan dalam pola rima sajak “Le Chêne et le Roseau” menciptakan adanya variasi dalam bentuk sajak. Hal ini berkaitan dengan ancaman yang harus dihadapi oleh kedua tokoh dalam sajak. Ancaman tersebut datang secara tiba-tiba dan ditonjolkan melalui ketidakteraturan dalam pola rima sajak. Analisis bunyi selanjutnya menyangkut unsur bunyi konsonan dan vokal yang dapat menimbulkan permainan bunyi dan dapat memunculkan kesan-kesan tertentu dalam sajak. Dua konsonan yang dominan dalam sajak merupakan dua bunyi dengan konotasi makna yang berbeda. Bunyi-bunyi konsonan yang mendominasi sajak “Le Chêne et le Roseau” merupakan bunyi [ 1 ] yang muncul sebanyak 52 kali dan bunyi [ l ] yang muncul sebanyak 49 kali. Berdasarkan konteks makna sajak ini, getaran yang dihasilkan oleh bunyi konsonan [ 1 ] mengindikasikan suatu hal yang berbahaya dan mengancam. Bunyi tersebut menonjolkan kedatangan angin kencang yang menyerang dengan keras. Dengan demikian, bunyi tersebut secara bersamaan juga menimbulkan efek kecemasan atau ketidakpastian. Dalam hal ini, keberadaan bunyi konsonan [ 1 ] dalam sajak memberikan kesan rasa khawatir dan cemas terhadap kehidupan dan datangnya cobaan (angin kencang). Sementara itu, bunyi konsonan [ l ] menyiratkan suatu hal yang lembut dan tenang. Bunyi ini menggambarkan tokoh le Roseau yang memiliki kedua sifat tersebut. Ia tetap tenang menanggapi perkataan le Chêne dan tidak 8
Oposisi kuat…, Rahardhyani Primarista Putri, FIB UI, 2013
memaksakan diri untuk tetap berdiri kokoh ketika menghadapi angin kencang. Dengan demikian, bunyi [ l ] menggambarkan kualitas yang dibutuhkan seseorang untuk bertahan hidup dalam dunia ini, yaitu kemampuan untuk beradaptasi. Sementara itu, dua bunyi vokal yang dominan dalam sajak “Le Chêne et le Roseau” adalah bunyi [ a ] yang muncul sebanyak 43 kali dan bunyi [ @ ] yang muncul sebanyak 46 kali. Bunyi [ a ] adalah bunyi vokal tak bulat dan terbuka. Sebaliknya, bunyi [ @ ] adalah bunyi vokal bulat dan setengah tertutup. Bunyi [ a ] terdengar nyaring, sedangkan bunyi [ @ ] terdengar lembut. Berdasarkan proses produksi dan konotasi bunyi yang muncul, kedua huruf vokal yang paling dominan dalam sajak merupakan dua bunyi yang sangat bertolak belakang. Ditinjau dari konteks makna yang terdapat dalam sajak, bunyi vokal [ a ] menyiratkan kemegahan. Bunyi tersebut menggambarkan sosok le Chêne yang percaya diri terhadap kemampuannya. Selain itu, bunyi tersebut juga menonjolkan kekuatan le Chêne yang luar biasa di matanya sendiri. Sementara itu, bunyi [ @ ] mengindikasikan kegelisahan dan ketidakpastian. Hal ini mengacu pada kekuatan le Chêne yang pada kenyataannya tidak sebesar yang dibayangkan oleh tokoh tersebut. Kedatangan angin kencang mematahkan dominasi sosok pohon ek atas alang-alang. Analisis Aspek Sintaksis Dalam melalukan analisis sintaksis, sajak tersebut dibagi berdasarkan kalimat yang ditandai dengan intonasi final pada larik terakhir berupa tanda titik. Hasil analisis menunjukkan bahwa sajak “Le Chêne et le Roseau” terdiri dari kalimat-kalimat kompleks yang terbagi dalam beberapa klausa sebagai pembentuk dasar sebuah kalimat. Dialog le Chêne terdiri atas enam belas larik (larik 2 hingga larik 16) dan secara keseluruhan membentuk lima kalimat. Tokoh ini menggunakan sembilan klausa bebas dan lima klausa terikat dalam dialognya. Penggunaan klausa bebas yang lebih dominan dibanding klausa terikat menyiratkan bahwa le Chêne memiliki banyak argumen yang ingin disampaikan. Terdapat dua kalimat yang terdiri atas enam larik. Kedua kalimat tersebut menonjolkan kelebihan ciri fisik le Chêne atas le Roseau. Le Chêne membandingkan keduanya dan menegaskan bahwa dirinyalah yang lebih superior. Tokoh ini berbicara panjang lebar dan secara mendetil mengenai kelebihannya. Hal tersebut menonjolkan terdapatnya sifat sombong dalam diri le Chêne. Namun demikian, tedapat pula penggunaan kalimat yang lebih singkat oleh tokoh ini, yaitu satu kalimat yang terdiri atas dua larik dan dua kalimat yang hanya
9
Oposisi kuat…, Rahardhyani Primarista Putri, FIB UI, 2013
mencakup satu larik. Pada bagian-bagian tersebut, tokoh ini berbicara mengenai le Roseau. Dari uraian tersebut terlihat bahwa le Chêne lebih suka berbicara mengenai dirinya sendiri. Sementara itu, le Roseau hanya berbicara sepanjang tujuh larik. Keseluruhan dialognya membentuk empat kalimat yang terdiri dari empat klausa bebas dan empat klausa terikat. Keseimbangan dalam jumlah kalimat dan klausa terikat serta klausa bebas tersebut menunjukkan bahwa tokoh ini menyampaikan pendapatnya dengan cara yang lebih berhatihati. Le Roseau tetap tenang menanggapi perkataan le Chêne. Ia tidak berbicara panjang lebar seperti lawan bicaranya. Hal ini menunjukkan sifat le Roseau yang rendah hati. Selanjutnya, analisis aspek sintaksis menunjukkan bahwa sajak “Le Chêne et le Roseau” terdiri atas dua belas kalimat. Hanya terdapat dua kalimat sederhana dalam sajak ini. Sepuluh kalimat lainnya merupakan kalimat kompleks. Dominasi kalimat kompleks yang tersusun atas klausa-lausa yang berlapis-lapis mengesankan suatu hal yang rumit, yaitu suatu hal yang dianggap sebagai keuntungan dalam situasi tertentu belum tentu dapat berefek positif dalam situasi lain. Apabila dikaitkan dengan sajak, kegagahan dan kekuatan fisik le Chêne merupakan suatu hal yang patut dibanggakan. Namun demikian, hal tersebut pada akhirnya justru merugikannya. Sebaliknya, hal yang dianggap negatif justru dapat berefek positif dalam situasi lain. Hal ini mengacu pada kemampuan fisik le Roseau yang dianggap lemah, namun pada akhirnya justru dapat membuatnya bertahan melewati cobaan berat. Analisis Aspek Semantik Pada bagian ini diteliti judul sajak dan komponen maknanya. Selanjutnya, makna denotatif dan konotatif yang terdapat dalam sajak juga dijabarkan. Hal tersebut dilakukan untuk mengetahui makna dan pesan moral yang terdapat dalam sajak “Le Chêne et le Roseau”. Judul sajak“Le Chêne et le Roseau” terdiri atas dua kata benda, yaitu le Chêne yang berarti ‘pohon ek’ dan le Roseau yang berarti ‘alang-alang’. Kedua kata tersebut dihubungkan dengan kata sambung ‘et’ (dan). Hal ini menunjukkan bahwa sajak tersebut mengisahkan mengenai dua jenis tumbuhan, yaitu pohon ek dan alang-alang. Dari segi bentuk, kedua jenis tumbuhan tersebut sangat bertolak-belakang. Dilihat dari komponen maknanya, pohon ek merupakan tumbuhan yang besar, menjulang dan memiliki akar serta batang yang panjang dan berliku-liku. Sementara itu, alang-alang adalah sejenis rerumputan. Tumbuhan tersebut kecil, ramping serta memiliki tangkai yang sangat tipis dan licin, sehingga tumbuhan ini cenderung bergerak mengikuti gerakan angin. 10
Oposisi kuat…, Rahardhyani Primarista Putri, FIB UI, 2013
Kata le Chêne dan le Roseau juga dapat ditinjau dari makna simbolis yang terkandung di dalamnya. Le Chêne merupakan simbol keagungan dan kemegahan. Tumbuhan tersebut merupakan lambang kekuatan, baik kekuatan moral maupun kekuatan fisik. Selain itu, pohon ini dianggap sebagai jembatan antara langit dan bumi. Tangkai pohon ek yang panjang dan daun-daunnya yang lebar dianggap sebagai simbol keramah-tamahan (Chevalier, 1973, hlm.348). Sementara itu, le Roseau merupakan simbol kerapuhan. Namun demikian, pada saat yang bersamaan, tumbuhan tersebut juga melambangkan fleksibilitas atau kelenturan (Chevalier, 1973, hlm.116). Dari kedua tokoh tersebut muncul berbagai oposisi, yaitu besar dan kecil, kuat dan lemah, serta kaku dan lentur. Tokoh le Chêne melambangkan sesuatu yang besar, kuat, dan kaku. Sementara itu, le Roseau melambangkan sesuatu yang kecil, lemah, dan lentur. Analisis judul sajak yang telah dijelaskan memberi gambaran awal mengenai isi sajak. Selanjutnya akan disajikan uraian mengenai analisis makna denotatif dan konotatif sajak. Analisis makna denotatif dan konotatif sajak dilakukan kalimat per kalimat. Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa oposisi yang muncul dari analisis judul sajak, yaitu besar dan kecil, kuat dan lemah, serta kaku dan lentur, seluruhnnya tampak dalam isi sajak. Pada awal sajak, le Chêne muncul sebagai simbol kekuatan. Tokoh ini digambarkan sebagai sosok yang besar dan kuat karena tokoh ini dapat tetap berdiri kokoh ketika menghadapi ancaman. Sebaliknya, le Roseau merupakan simbol kerapuhan. Tokoh ini tampak sebagai sosok yang kecil dan lemah karena harus menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar. Namun demikian, ketika cobaan terberat tiba (“le plus terrible des enfants que le Nord eût porté jusque-là dans ses flancs”), tampaknya kedua tokoh tersebut bertukar peran. Le Roseau muncul sebagai tokoh yang lebih kuat. Tokoh ini dapat melewati cobaan terberat karena memiliki kemampuan untuk beradaptasi. Sementara itu, le Chêne tetap berusaha melawan ancaman yang datang. Sifat kaku yang diiliki oleh tokoh ini pada akhirnya justru merugikan dirinya sendiri. Selanjutnya, analisis makna denotasi dan konotasi juga menunjukkan bahwa selain tokoh le Chêne dan le Roseau, ada tokoh lain yang memiliki peran penting dalam sajak, yaitu le vent (angin). Dalam mitologi Yunani, angin merupakan kekuatan yang dimiliki oleh para Titan1. Kekuatan tersebut menimbulkan kegelisahan dan kecemasan serta dapat menyebabkan kerusuhan dan kekacauan. Selain itu, angin merupakan simbol dari ketidakstabilan dan ketidakteraturan (Chevalier, 1973, hlm.364-366). Dengan demikian, sesuai dengan apa yang 1
Dalam mitologi Yunani, Titan adalah sekelompok raksasa yang menguasai bumi sebelum digulingkan oleh Zeus yang merupakan keturunan mereka sendiri. (Kamus Le Petit Robert, 1993)
11
Oposisi kuat…, Rahardhyani Primarista Putri, FIB UI, 2013
dideskripsikan dalam sajak, angin atau le vent muncul sebagai sosok yang merusak dan dapat dianggap sebagai cobaan atau bahkan ancaman bagi kedua tokoh utama dalam sajak. Analisis Aspek Pragmatik Analisis aspek pragmatik dilakukan dengan menelusuri komunikasi dan pemilihan kata (diksi) serta gaya bahasa yang digunakan dalam sajak, kemudian dilanjutkan dengan analisis isotopi, motif dan tema. Hal tersebut dilakukan untuk mendapatkan makna yang lebih mendalam dan mengetahui tema sajak yang diteliti. Sajak “Le Chêne et le Roseau” menampilkan dua tokoh utama, yaitu le Chêne dan le Roseau. Ditinjau dari segi pilihan kata, komunikasi yang berlangsung antara le Chêne dan le Roseau tergolong komunikasi formal. Keduanya menggunakan kata “vous” (anda) ketika menyebutkan lawan bicaranya. Penggunaan kata “anda” dan “saya” mengindikasikan jarak antara kedua tokoh tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa keduanya tidak memiliki hubungan yang akrab satu sama lain. Meskipun keduanya tidak memiliki hubungan pertemanan, posisi le Chêne dan le Roseau tidak terlalu berjauhan karena keduanya masih dapat berinteraksi. Hal tersebut menyiratkan bahwa kedua tokoh dalam sajak hidup berdampingan, namun tidak saling kenal. Selanjutnya, dalam sajak ini terdapat beberapa pilihan kata yang menonjol, yaitu “baisser la tête” atau “menundukkan kepala” (larik 6), “courber le dos” atau “membungkukkan punggung” (larik 23), “Royaumes” atau “kerajaan” (larik 16) dan “empire” atau “kerajaan” (larik 32). Keempat kata tersebut berhubungan dengan kerajaan. Hal ini dapat mengacu ke sistem pemerintah monarki absolut yang sedang diterapkan pada saat sajak ini dibuat dan memberikan nuansa politis dalam sajak. Hasil analisis gaya bahasa menunjukkan bahwa la Fontaine menggunakan gaya bahasa yang cukup beragam dalam menulis sajaknya. Tiga gaya bahasa yang ditemukan dalam sajak ini adalah simile, sinekdoke dan metafora. Hasil analisis ketiga gaya bahasa tersebut menunjang makna yang terdapat dalam sajak dan membantu mengungkapkan makna sosok le Chêne dan le Roseau dalam sajak yang diteliti. Gaya bahasa yang dominan dalam sajak ini merupakan gaya bahasa metafora. Dari analisis majas tersebut ditemukan bahwa le Chêne merupakan metafora masyarakat kelas atas, yaitu seseorang yang memiliki kedudukan yang tinggi atau kekayaan yang besar. Sementara itu, le Roseau merupakan metafora masyarakat kelas bawah, yaitu seseorang dengan kemampuan yang kecil dan modal yang lemah. Analisis selanjutnya merupakan analisis isotopi sajak yang dilakukan untuk menemukan motif dan tema sajak. Berdasarkan komponen maknanya, kata-kata dalam sajak 12
Oposisi kuat…, Rahardhyani Primarista Putri, FIB UI, 2013
”Le Chêne et le Roseau” dapat dikelompokkan ke dalam beberapa isotopi yang berbeda. Empat isotopi yang terdapat dalam sajak ini, yaitu alam, manusia, sifat dan keadaan serta tindakan dan gerakan. Dilihat dari jumlah kata yang terdapat dalam setiap isotopi, isotopi alam memiliki jumlah kata terbanyak, yaitu dua puluh enam kata. Selanjutnya, terdapat isotopi tindakan dan gerakan yang terdiri dari dua puluh satu kata, isotopi perasaan dan keadaan yang memiliki empat belas kata dan terakhir, isotopi manusia yang terdiri dari tiga belas kata. Isotopi-isotopi yang telah ditemukan dapat digolongkan dalam dua motif, yaitu motif manusia dan motif alam. Isotopi tindakan dan gerakan serta isotopi perasaan dan keadaan dapat digolongkan dalam motif manusia karena kata-kata yang menunjukkan tindakan, keadaan, dan perasaan yang terdapat dalam sajak ini mengacu pada sifat-sifat manusia. Berdasarkan kedua motif tersebut, tema yang dapat dibentuk adalah manusia yang digambarkan melalui alam. Melalui analisis isotopi, motif dan tema tampak bahwa sajak“Le Chêne et le Roseau” merefleksikan manusia melalui alam sekitar. Penggambaran manusia dan sifat-sifatnya melalui unsur alam, yaitu tokoh le Chêne dan le Roseau, disebabkan oleh kesamaan komponen makna antara dua tokoh utama dalam sajak dan sifat manusia yang dilambangkan oleh keduanya. Le Chêne merupakan lambang manusia yang kaku dan tidak dapat beradaptasi. Sementara itu, le Roseau merupakan lambang manusia yang dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar, atau manusia yang fleksibel. Sifat-sifat yang dimiliki oleh le Chêne menunjukkan kekuatan. Sebaliknya, sifat-sifat le Roseau menunjukkan kelemahan. Namun demikian, berdasarkan analisis makna yang telah dilakukan, kekuatan sesungguhnya adalah kemampuan seseorang untuk beradaptasi. Kesimpulan Sajak “Le Chêne et le Roseau” ditulis di bawah rezim monarki absolut yang dipimpin oleh raja Louis XIV. Pada abad XVII tersebut, keteraturan menjadi ideologi bagi raja dalam memerintah dan merupakan pedoman bagi rakyat Prancis dalam bermasyarakat. Namun demikian, hasil analisis bentuk sajak yang mencakup analisis segi metrik, bunyi dan sintaksis menunjukkan bahwa unsur keteraturan tidak ditemukan dalam sajak karya Jean de la Fontaine tersebut. Penyair tidak mengikuti kaidah-kaidah penulisan sajak konvensional dalam menulis sajak yang diteliti. Ketidakteraturan dalam aspek bentuk menunjang pesan yang ingin disampaikan oleh penyair dalam sajak. Melalui bentuk sajak tersebut, la Fontaine menunjukkan variasi dalam 13
Oposisi kuat…, Rahardhyani Primarista Putri, FIB UI, 2013
bercerita yang merupakan perwujudan dari fleksibilitas yang harus dimiliki seseorang dalam menjalani kehidupan. Hal ini berkaitan erat dengan pesan moral yang terkandung dalam sajak yang diteliti, yaitu dalam sebuah masyarakat hierarkis, suatu posisi atau jabatan tidak dapat dipertahankan selamanya. Hal ini disebabkan karena selalu ada pihak yang memiliki kekuasaan dan kemampuan yang melebihi kita. Dengan kata lain, ancaman dapat datang secara tidak terduga dengan kekuatan yang tidak terbayangkan pula. Oleh sebab itu, seseorang harus menghilangkan rasa sombong dan mengenal kekuatan orang lain serta mengetahui kekurangan diri sendiri jika ingin berhasil dalam hidup. Sajak “Le Chêne et le Roseau” menunjukkan bahwa tampak fisik tidak dapat dijadikan sebagai tolok ukur kekuatan. Seseorang yang terlihat gagah belum tentu kuat secara fisik. Sebaliknya, seseorang yang lembut belum tentu lemah. Pesan moral dalam sajak disampaikan melalui dua tumbuhan untuk membuat karya sastra ini lebih menarik bagi pembaca. Selain itu, penggambaran tumbuhan juga memberikan visualisasi yang jelas dan bukti yang konkrit kepada pembaca mengenai akibat dari sifat dan tindakan dua tokoh utama dalam sajak tersebut. Selanjutnya, apabila melihat dua tokoh utama dalam sajak yang diteliti, dapat disimpulkan bahwa keduanya menggambarkan berbagai sifat manusia. Tokoh le Chêne merupakan lambang sifat buruk manusia, yaitu kesombongan dan sifat kaku. Sementara itu, le Roseau yang dianggap kecil dan lemah melambangkan fleksibilitas dan kesadaran diri. Apabila dikaitkan dengan keadaan sosial penyair, kedua tokoh dalam sajak dapat menggambarkan dua lapisan masyarakat pada masanya. Dalam hal ini, oposisi kuat dan lemah dapat diinterpretasikan secara lebih lanjut lagi. Kuat dan lemah serta besar dan kecil dapat mengacu pada modal yang dimiliki atau pada jabatan yang diduduki. Oleh karena itu, tokoh le Chêne merupakan gambaran sosok yang memiliki modal dan kekuasaan serta memiliki kedudukan yang terpandang. Hal ini mengacu pada masyarakat kelas atas. Sementara itu, le Roseau tidak memiliki modal atau kedudukan yang dapat dibanggakan. Namun demikian, tokoh tersebut memiliki kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar. Hal tersebut merupakan karakteristik yang pada umumnya dimiliki oleh rakyat biasa. Kaum ini terbiasa hidup dalam kesederhanaan, sehingga mampu menyesuaikan diri dengan berbagai kondisi. Penjelasan yang dipaparkan di atas dapat diterapkan pula pada masyarakat modern dan akan tetap relevan selama masih ada perbedaan antara kaya dan miskin, yaitu perbedaan hierarki berdasarkan modal, kekuasaan serta kedudukan. Oleh karena itu, sajak ini bersifat universal karena pesan moral yang terkandung di dalamnya tetap relevan dalam segala zaman 14
Oposisi kuat…, Rahardhyani Primarista Putri, FIB UI, 2013
dan tempat. Hal tersebut menunjukkan bahwa sajak “Le Chêne et le Roseau” memenuhi fungsi sosial karya sastra Prancis pada abad XVII karena berupaya mengajarkan kebaikan pada masyarakat melalui pesan moral yang terkandung di dalamnya.
Daftar Pustaka Aksa, Yati Haswidi. (1990). “Rubah dan Kancil Suatu Gambaran Tatan Dunia: Studi Perbandingan Beberapa Fabel Karya la Fontaine dan Satjadibrata”. Disertasi, Fakultas Pascasarjana, Universitas Indonesia, Jakarta. Barthes, Roland.. “Introduction à l’Analyse Structurale des Récits”, dalam Communication No. 8. Paris: Editions du Seuil (1966): 237-272. Chevalier, Jean-Claude, et al. (1973). Dictionnaire des Symboles. Paris: Ed. Seghers et Ed. Jupiter. Chevalier, Jean-Claude, et al. (1988). Grammaire Larousse du Française Contemporain. Paris: Librairie Larousse. Husen, Ida Sundari. (2001). Mengenal Pengarang-Pengarang Prancis dari Abad ke Abad. Jakarta: Grasindo. Keraf, Gorys. (1994). Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama. Lagarde, André dan Laurent Michard. (1970). XVIIè Siècle : Les Grands Auteurs du Français du Programme. Paris: Bordas. Mason, Germaine. (1966). A Concise Survey of French Litterature. New Jersey: Littlefield, Adams & Co. Pradopo, Djoko Rahmat. (1987). Pengkajian Puisi: Analisis Strata Norma dan Analisis Struktural & Semiotik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Puzin, Claude (1989). Littérature: Textes et Documentes XVIIe Siècle. Paris: Nathan. Schmitt, M.P. & A. Viala. (1982). Savoir Lire. Paris: Didier. Verhaar, J.W.M. (1999). Asas-Asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada Press.
University
Zaimar, Okke Kusuma Sumantri & Ayu Basoeki Harahap. (2011). Telaah Wacana: Teori dan Penerapannya. Depok: Komodo Books. Zaimar, Okke K.S. (2002). Majas dan Pembentukannya. Makara Seri Sosial Humaniora Vol. 6, 45-57. Lembaga Penelitian Universitas Indonesia.
15
Oposisi kuat…, Rahardhyani Primarista Putri, FIB UI, 2013
Lampiran
LE CHÊNE ET LE ROSEAU Le Chêne un jour dit au roseau : Vous avez bien sujet d'accuser la Nature ; Un Roitelet pour vous est un pesant fardeau. Le moindre vent qui d'aventure Fait rider la face de l'eau, Vous oblige à baisser la tête : Cependant que mon front, au Caucase pareil, Non content d'arrêter les rayons du soleil, Brave l'effort de la tempête. Tout vous est aquilon ; tout me semble zéphir . Encor si vous naissiez à l'abri du feuillage Dont je couvre le voisinage, Vous n'auriez pas tant à souffrir : Je vous défendrais de l'orage ; Mais vous naissez le plus souvent Sur les humides bords des Royaumes du vent. La Nature envers vous me semble bien injuste. Votre compassion, lui répondit l'Arbuste , Part d'un bon naturel ; mais quittez ce souci. Les vents me sont moins qu'à vous redoutables. Je plie, et ne romps pas. Vous avez jusqu'ici Contre leurs coups épouvantables Résisté sans courber le dos ; Mais attendons la fin. Comme il disait ces mots, Du bout de l'horizon accourt avec furie Le plus terrible des enfants Que le Nord eût porté jusque-là dans ses flancs. L'Arbre tient bon ; le Roseau plie. Le vent redouble ses efforts, Et fait si bien qu'il déracine Celui de qui la tête au ciel était voisine, Et dont les pieds touchaient à l'empire des morts.
16
Oposisi kuat…, Rahardhyani Primarista Putri, FIB UI, 2013