Oleh: Wahyu Susilo dalam Pertemuan Nasional Masyarakat Sipil untuk SDGs Jakarta, 6-7 Oktober 2015
MDGs (dan dokumen luasnya Millennium Development Goals) diadopsi oleh UN GA September 2000 oleh 189 negara (termasuk oleh Republik Indonesia di masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid) Pada era tersebut, dinamika politik dalam negeri memanas dengan adanya upaya pelengseran Presiden Abdurrahman Wahid melalui trigger Buloggate/Bruneigate yang berakhir dengan kejatuhan Presiden Abdurrahman Wahid pada bulan Juli 2001 Meskipun sebenarnya pada waktu itu, Presiden Abdurrahman Wahid sudah meletakkan dasar kelembagaan seturut dengan skema MDGs yaitu Komisi Penanggulangan Kemiskinan, yang dilanjutkan Presiden Megawati Soekarnoputri dengan penerbitan Keppres 124/2001 tentang Komisi Penanggulangan Kemiskinan Namun disisi yang lain, Indonesia masih terikat dengan skema Letter of Intent dengan IMF dimana paket-paket reformasi ekonomi yang disodorkan oleh IMF (World Bank, ADB dan negara-negara donor bilateral melalui konsorsium pendanaan pembangunan CGI) sangat kontraproduktif dalam upaya penanggulangan kemiskinan dan kemandirian ekonomi
Hingga pembentukan Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan (SNPK),terjadi pertempuran acuan kebijakan penanggulangan kemiskinan berpijak dari dokumen PRSP (Poverty Reduction Strategic Program) yang dikeluarkan oleh Bank Dunia dan Millennium Development Goals) Dalam rentang waktu tersebut, sebenarnya ada inisiatif progresif yang bisa mendukung upaya pencapaian MDGs di Indonesia dengan adanya ratifikasi Kovenan Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya yang memberi pendekatan berbasis hak asasi dari upaya penanggulangan kemiskinan. Namun keberadaan payung legal ini tidak pernah dimanfaatkan secara maksimal. Hingga 5 tahun pertama perjalanan MDGs, hampir sama sekali tidak ada inisiatif signifikan dari Pemerintah Indonesia untuk upaya pencapaian MDGs, baik dari sisi kebijakan, pelembagaan dan pendanaan
Pada tahun 2003, Sekjen PBB menunjuk Ir. Erna Witoelar (mantan Menteri Pemukiman dan Prasarana Wilayah) menjadi UN Special Ambassador for MDGs in Asia Pacific dengan pertimbangan bahwa di kawasan ini masih ada tiga perempat jumlah orang miskin yang ada dimuka bumi ini. Penunjukan ini diakui (secara tidak langsung) menguntungkan upaya pendaratan MDGs di Indonesia diantara vakumnya inisiatif pemerintah Indonesia dalam mengharmonisasikan MDGs di kebijakan pembangunan Indonesia, namun secara jangka panjang membuat pemerintah Indonesia tidak merasa punya kewajiban untuk mendaratkan MDGs sebagai tanggungjawab negara mengadopsi skenario global penanggulangan kemiskinan ini. UN Special Ambassador for MDGs in Asia Pacific ini pula yang menjadi melting pot dari masyarakat sipil yang mempunyai kepedulian terhadap MDGs dan menjadi penghubung antara masyarakat sipil, pemerintah, lembaga donor dan institusi internasional mengenai perkembangan MDGs di Indonesia.
Besarnya peran UN Special Ambassador MDGs in Asia Pasicif inilah yang menimbulkan persepsi yang salah kaprah mengenai MDGs ownership Muncul kesan bahwa MDGs adalah bagian dari program pembangunan yang diintrodusir oleh UN Agency Besarnya peran UN Agency dalam “mendaratkan” MDGs di Indonesia memang tidak bisa dihindarkan jika kita membaca Laporan Perdana MDGs Progress Report 2004 yang diluncurkan 17 Mei 2004. Laporan ini disusun oleh Bappenas dan BPS atas dukungan UNDP Indonesia. Hal sama juga terjadi dalam penyusunan Laporan Human Development Report Indonesia. Dalam penulisan laporan ini, peran masyarakat sipil hampir sama sekali tidak terlibat Hingga akhir masa jabatannya pada tahun 2007, UN Special Ambassador for MDGs in Asia Pasific memegang peran yang penting dalam mensubtitusi absennya negara dalam inisiatif-inisiatif terkait upaya pencapaian MDGs di Indonesia. Upaya ini dilanjutkan dengan peralihan fungsi kantor , UN Special Ambassador for MDGs in Asia Pasific menjadi UN Millennium Campaign, inisiatif kampanye global dibawah UN Agency.
Peran signifikan dari inisiatif negara dalam pencapaian MDGs baru terlihat setelah Indonesia mendapat rapor merah di beberapa goal dalam Laporan Pencapaian MDGs Asia Pasifik tahun 2008. laporan ini juga diperkuat dengan stagnannya Indeks Pembangunan Manusia Indonesia yang tak pernah menunjukkan perkembangan yang signifikan. Di Bappenas (meski masih dengan support UNDP) mulai membuka inisiatif untuk pembentukan kelembagaan pencapaian MDGs (melalui Target MDGs) bahkan menggunakan MDGs sebagai mainstreaming pembangunan kawasan di beberapa propinsi di Indonesia. Inisiatif lanjutan terkait upaya pencapaian MDGs di Indonesia adalah dengan penunjukkan Utusan Khusus Presiden RI untuk Pencapaian MDGs di Indonesia Prof DR. Nila Moeloek serta pembentukan Rencana Aksi Nasional untuk Percepatan Pencapaian MDGs pada tahun 2010. semua inisiatif ini untuk menyambut UN Millennium +10 Summit September 2010. Harus diakui inisiatif-inisiatif tersebut merupakan bentuk pengakuan keterlambatan Indonesia dalam upaya pencapaian MDGs.
Fase akhir (lima tahun) menjelang 2015, kritik tajam makin deras menghunjam MDGs sebagai skenario global penanggulangan kemiskinan yang jauh dari cita rasa penghormatan hak asasi manusia, lebih mengacu pada indikator-indikator kuantitatif tanpa mempertimbangan dimensi ketimpangan dan mereduksi realitas feminisasi kemiskinan MDGs juga disadari tidak cukup memadai untuk menjawab persoalan-persoalan dunia yang semakin kompleks, tidak hanya soal kemiskinan, tetapi juga soal perubahan iklim, ancaman terhadap perdamaian dunia karena perang dan terorisme, migrasi global dan kerentanan-kerentanan yang dihadapi oleh kelompokkelompok minoritas Kritik dan skeptisme terhadap MDGs lebih banyak datang dari kalangan non-pemerintah hingga akhirnya dalam penyusunan skenario pasca-2015 pelibatan aktif kalangan non-pemerintah adalah hal yang mutlak
Agenda Pasca-2015 juga merupakan muara ketidakpuasan atas kegagalan skenario MDGs, kelambanan negosiasi perubahan iklim (UNFCCC), mandegnya agenda reformasi lembaga keuangan internasional dan pengabaian atas prinsip-prinsip penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia dan hak asasi perempuan Karena itulah Agenda Pasca-2015 bukan hanya agenda-nya masyarakat sipil yang bekerja di isu-isu pembangunan tetapi juga bagi mereka yang bekerja di isu hak asasi manusia, hak asasi perempuan dan anak, lingkungan hidup dan juga mereka yang bekerja untuk isu tata kelola pemerintah dan hak atas informasi. Dalam posisi seperti inilah, masyarakat sipil (baik di tingkat nasional, regional dan internasional) mulai dan bahkan aktif terlibat dalam perumusan usulan agenda pasca-2015 dan bisa menjadi pressure group dalam putaran pembahasan agenda pasca-2015 di konsultasi nasional, regional dan UN. Kondisi ini terjadi dalam pembahasan MDGs di masa lalu.
Dengan segala catatan dan keterbatasan, kepemimpinan Indonesia sejak tahun 2012 di dalam High Level Panel on Post-2015 Development Agenda sedikit banyak telah membuka ruang bagi masyarakat sipil Indonesia untuk terlibat aktif, tidak terbatas di tingkat nasional tetapi juga di tingkat regional dan internasional dalam pembahasan agenda pembangunan pasca-2015. Keterlibatan tersebut merupakan ruang pembelajaran yang menarik untuk melihat relasi state dan non-state actor dalam berkolaborasi (dan berkontestasi pada titik-titik tertentu) mengenai rancangan skema global. Maklumat “No One Left Behind” yang tercantum dalam Mukadimah SDGs tentu tidak akan dituliskan jika proses perumusan agenda pasca-2015 berlangsung dalam proses yang monolog dan tidak melibatkan sebanyak mungkin unsurunsur yang selama ini diabaikan dalam MDGs.
1. 2.
3.
UN GA Sessi ke 70, 25 September 2015 secara resmi telah mengadopsi Sustainable Development Goals (sebagai Agenda 2030) untuk melanjutkan Millennium Development Goals dan agenda global yang penting lainnya. Tantangan bagi masyarakat sipil: Bagaimana memastikan perumusan indikator yang benarbenar mengacu pada maklumat “No One Left Behind” Bagaimana memastikan implementasi SDGs dalam kebijakan pembangunan Indonesia yang inklusif dan partisipatif Bagaimana memastikan adanya national ownership SDGs sebagai proses dimana Indonesia memiliki legacy kepeloporan dalam perumusannya.