Edisi Cetak Lepas Versi Digital ISSN: 0852-8489
Relasi Sipil-Militer dalam Pemberdayaan Masyarakat Papua Penulis: Syarifudin Tippe Sumber: Jurnal Sosiologi MASYARAKAT, Vol. 19, No. 2, Juli 2014: 287-303 Dipublikasikan oleh: Pusat Kajian Sosiologi, LabSosio FISIP-UI
Jurnal Sosiologi MASYARAKAT diterbitkan oleh LabSosio, Pusat Kajian Sosiologi Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia. Jurnal ini menjadi media informasi dan komunikasi dalam rangka pengembangan sosiologi di Indonesia. Redaksi MASYARAKAT mengundang para sosiolog, peminat sosiologi dan para mahasiswa sosiologi untuk berdiskusi dan menulis secara bebas dan kreatif demi pengembangan sosiologi di Indonesia. Email:
[email protected];
[email protected] Website: www.journal.ui.ac.id/jsm
Untuk mengutip artikel ini: Tippe, Syarifudin. 2014. “Relasi Sipil-Militer dalam Pemberdayaan Masyarakat Papua.” Jurnal Sosiologi MASYARAKAT, Vol. 19, No. 2, Juli 2014: 287-303.
SK Dirjen Dikti Akreditasi Jurnal No. 80/DIKTI/Kep/2012
Relasi Sipil-Militer dalam Pemberdayaan Masyarakat Papua Syarifudin Tippe Universitas Pertahanan Email:
[email protected]
Abstrak Penelitian ini hendak menunjukkan bahwa peran aktif agen-agen memungkinkan relasi sipil–militer yang memadai terbangun meski dilatari kondisi-kondisi menyulitkan. Menggunakan pendekatan kualitatif untuk mengulas relasi sipil–militer dalam pemberdayaan masyarakat Papua, kasus yang diuraikan memperlihatkan kolaborasi antara angkatan bersenjata dengan entitas sipil untuk menuntaskan ketegangan yang menyeruak di sebuah wilayah rentan konflik. Hasilnya menunjukkan bahwa komponen militer memainkan peranan menjaga perdamaian dan keamanan nasional di Papua. Sepanjang sejarah, pemerintah Indonesia merencanakan pembangunan Papua dengan melibatkan militer di satu sisi, namun tanpa merangkul masyarakat Papua di sisi lain. Hal tersebut menyebabkan ketegangan antara sipil dan militer di wilayah ini berkembang. Namun, kerja sama sipil–militer memberdayakan masyarakat adat Papua yang berpijak pada kebudayaan dan inisiatif penduduk setempat terbukti membantu menggerus kerawanan-kerawanan tersebut, selain menjadi contoh bagaimana peranan agensi dapat berkontribusi dalam menciptakan keadaan yang lebih baik. Abstract This research attempts to show that active role of agencies allows an adequate civil–military relation to be established despite of some constrains to the relationship between the two. Employing qualitative approach to assess civil–military cooperation in empowering Papuan society, the case study shows how the military and civilian collaborated to subdue the social tension in a territory prone to conflict. The result suggests that military component took pivotal role in maintaining peace and national security in Papua. Through its history, Indonesian government planned Papua development with military’s involvement on one side, yet without any attempt to embrace the subject of that development itself on the other. This expectedly gave rise to the dispute between military and civilian. However, civil–military cooperation in empowering indigenous Papuan based on local culture and local people initiative proven to be effective in reducing the risk of conflict, in addition to being a case of how the role of agencies could be vital in the making of a better condition. Keywords: civil–military relations, civil–military cooperation, sociological approach, civil-society empowerment
288 |
SYARIFUDIN TIPPE
PE N DA H U L UA N
Relasi sipil–militer (RSM) merupakan satu topik yang memperoleh berbagai ulasan dalam diskursus sosiologi militer (Andrews 2008; Zippwald 2011; Bruneau dan Matei 2008; Ankersen 2008). Sebagai topik yang mencakup hubungan di antara dua institusi sosial yang teramat strategis, ia punya signifikansi teoretis maupun empiris guna merumuskan preskripsi-preskripsi hubungan yang sehat di antara kedua kelompok ini dalam berbagai konteks yang mungkin mengikuti. Kendati dikatakan demikian, berbagai model kolaborasi positif itu sendiri sebenarnya sudah sedari waktu yang cukup lama marak dikembangkan; di antaranya dalam mengatasi bencana alam dan melaksanakan operasi stabilitas, yang biasanya dilangsungkan melalui kerja sama dengan badan pemerintahan, LSM, organisasi internasional, atau antar pemerintah (Ankersen 2008). Yang menjadi pertanyaan berharga untuk dikaji, oleh karenanya, bukan lagi apakah kondisi-kondisi umum yang memungkinkan hubungan konstruktif ini dimungkinkan? Melainkan, yang menjadi pertanyaan sudah jauh lebih spesifik dari itu. Bagaimana hubungan kolaboratif sipil–militer muncul dari satu situasi sosial lokal yang sulit? Apa yang perlu dilakukan oleh kedua belah pihak, selaku agensi, guna melanggengkan sebuah kolaborasi positif? Hendak membahas pola RSM yang berkembang di Provinsi Papua, tulisan ini berangkat dari pikiran yang disampaikan pada paragraf sebelumnya. Provinsi Papua ditandai oleh tiga ekologi wilayah utama: ekologi wilayah rawa-rawa, dataran rendah, dan kaki gunung; ekologi wilayah pesisir, pantai, dan kepulauan; ekologi wilayah pegunungan tinggi. Sekitar 70% penduduk asli Papua bertempat tinggal di kampung-kampung terpencil, pedalaman, pulau-pulau kecil, dan perbatasan negara, dengan kondisi topografis yang sulit diakses oleh pelayanan pembangunan, pemerintahan, dan pelayanan jasa kemasyarakatan (Djojosoekarto dkk. 2008). Situasi ini diperkeruh dengan fakta berbagai kebijakan yang disusun pemerintah pusat dinilai bertentangan dengan aspirasi masyarakat setempat. Pandangan yang lazim menyeruak manakala kita memperbincangkan RSM di Indonesia adalah skeptisisme. Kardi (2013) menyebutkan bahwa semenjak berlangsungnya reformasi di Indonesia peluang institusi sipil bekerja sama dengan militer (TNI) dengan mengajukan prakarsa-prakarsa progresif kepada internal TNI tertutup. Kemudian, M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiolog i Vol. 19, No. 2 , Ju li 2014:287-303
RELASI SIPIL-MILITER
| 2 89
Croissant dan Kuehn (2009) melihat selama ini masyarakat sipil belum memiliki andil besar dalam reformasi dan pertahanan militer Indonesia. Belum lagi, yang terbayang mengenai bentuk kehadiran negara di berbagai tempat di Indonesia adalah kehadiran aparat militer dan tindak kekerasannya (Rumbiak dan Manning 1989), bukan aparat sipil dan manfaat pelayanan publiknya. Hal ini memungkinkan dipertahankannya integrasi nasional secara fisik dan legal, tetapi pada saat yang sama melemahkan legitimasi dan menguatkan aspirasi orang asli—benar khususnya untuk kasus Papua—untuk memisahkan diri juga (Widjojo dkk. 2009). Namun, berangkat dari kerangka yang memungkinkan peneliti peka terhadap situasi lokal, peneliti hendak menyumbang pemahaman ihwal proses bagaimana RSM ini terbentuk dalam konteks Papua yang lumrah dianggap menantang. Alih-alih mengasumsikan secara struktural bahwa hubungan antara sipil dengan militer niscaya kontradiktif, peran aktif dari pihak militer maupun sipil dalam studi ini diasumsikan punya andil yang tak tergantikan dalam keterwujudannya. Penelitian ini akan mengembangkan uraiannya dengan berpijak pada posisi ini sekaligus, sebaliknya, lewat uraiannya akan mencoba mengembangkan perspektif ini. M E T O DE PE N E L I T I A N
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang melibatkan interpretasi periset dalam memahami dan mendedah fenomena tertentu. Dalam penelitian kualitatif, “peneliti membangun gambaran yang rinci, menyeluruh, menelaah kata-kata, memperlihatkan pandangan detail dari informan, serta melakukan kajiannya dalam latar alami” (Creswell 2003). Sementara proses pengumpulan data penelitian ini menggunakan metode studi literatur dari penelitian-penelitian terdahulu, focus group discussion, existing data statistic, serta wawancara mendalam (Bryman 2012). Dengan menggunakan pendekatan kualitatif, kajian ini berupaya melihat pola interaksi kelembagaan antara komponen sipil dan militer di lokalitas Papua guna memperoleh gambaran terang bagaimana posisi RSM yang termasuk jantung kerangka keamanan suatu negara (Shukla 2012).
M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiolog i Vol. 19, No. 2 , Ju li 2014:287-303
29 0 |
SYARIFUDIN TIPPE
R E L A S I S I PI L – M I L I T E R Y A N G DE M O K R AT I S DA N E F E K T I F
Dua penulis besar yang umumnya dirujuk sebagai basis konseptualisasi RSM adalah Huntington dan Janowitz. Bagi Huntington (1957), militer dapat menjalankan fungsinya secara memadai bila berada di luar masyarakat. Kontrol sipil yang baik muncul dari pelembagaan alih-alih pembatasan antara keduanya yang samar dan subjektif. Sebaliknya, Janowitz (1976) percaya bahwa dengan integrasi antara militer dan rakyat RSM yang lebih baik akan terwujud. Sebuah ulasan yang lebih kontemporer dari Andrews (2008) menegaskan bahwa kontrol sipil yang dilakukan secara objektif akan menciptakan kegiatan militer yang efektif sepanjang pihak militer meminimalkan keterlibatannya dalam politik. Kendati demikian, pendekatan-pendekatan di atas sama sekali tidak mempertimbangkan kekhasan sejarah serta situasi sosial dari konteks di mana hubungan bersangkutan mengambil tempat. Tetapi Feaver, ilmuwan politik yang menggunakan teori agensi, mengambil kedudukan kontras yang patut disinggung di sini. Ada dua hal, menurutnya, yang merampungkan pola RSM yang demokratis sekaligus efektif. Pertama, tersedianya legitimasi bagi institusi militer ketika mereka dituntut menggunakan kekuatan koersif. Kedua, jaminan institusional kepada kalangan sipil untuk dapat mengendalikan institusi militer. Seberapa besar transaksi antara legitimasi dan jaminan institusional itu dapat terbentuk? Jawaban Feaver—sekaligus poin yang penting kita catat—adalah ia tak pernah terlepas dari keadaan politik maupun sosiologisnya. Kapasitas institusi sipil (prinsipal) melaksanakan kendalinya atas militer (agen) ditentukan oleh kerekatan pihak prinsipal sekaligus kecenderungan deviasi dari pihak militer. Latar belakang historis, sosial, dan budaya yang menempa habitus prinsipal ataupun agen, dalam hal ini, juga merupakan faktor penting yang harus diperhitungkan. Inilah pendekatan yang akan menuntun studi ini. M O DE L I N T E R A K S I K E L E M B AG A A N KO M P O N E N S I PI L DA N M I L I T E R
Selama ini, interaksi kelembagaan sipil–militer di Papua tampaknya dikhususkan untuk memelihara keamanan persatuan dan kesaM A S YA R A K AT Ju rna l Sosiolog i Vol. 19, No. 2 , Ju li 2014:287-303
RELASI SIPIL-MILITER
| 291
tuan negara Indonesia. Kerentanan pada wilayah ini dikhawatirkan menimbulkan kekacauan politik dan ekonomi sehingga menimbulkan ketidakamanan dalam lingkup nasional (Laporan Penelitian Universitas Pertahanan 2012). Konsep pembangunan di wilayah perbatasan, khususnya Papua, telah dirancang pemerintah Indonesia agar di wilayah-wilayah ini dapat diciptakan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi meskipun dalam skala kecil. Manfaatnya adalah mengatasi masalah perbatasan yang biasanya ujung-ujungnya kembali ke persoalan pembangunan masyarakat di wilayah tersebut. Kawasan perbatasan selama ini dipertahankan sebagai kawasan hutan lindung. Situasi ini, bagi beberapa pihak dalam pemerintahan, perlu dipetakan ulang untuk ditata demi kepentingan pembangunan perekonomian melalui program pemberdayaan masyarakat. Di lain pihak, Papua mempunyai pola dan sistem kelembagaan adat yang memiliki peran dan fungsi dalam segala aspek, baik aspek politik, ekonomi, sosial-budaya, dan hukum. Misalnya, sistem dan mekanisme pengambilan keputusan berdasarkan musyawarah dan kesepakatan bersama seperti di Kabupaten Jayapura, Papua. Di tempat ini, Iram, Dugusan, Bona, dan Ondofolo memiliki hak veto sehingga kesepakatan yang diambil sebelumnya sewaktu-waktu bisa dibatalkan dengan dua opsi, untuk ditinjau kembali atau sama sekali dibatalkan sebelum dilaksanakan (Wamebu 2002). Dalam bidang pembangunan, masyarakat adat merasa belum dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan atas perencanaan pembangunan yang disusun pemerintah Indonesia (Sugandi 2008). Hal ini mengakibatkan adanya konflik di Papua. Menanggapi konflik yang terjadi di Papua, dibentuklah Lembaga Musyawarah Adat (LMA) yang bertugas memprakarsai pertemuanpertemuan antarsuku, menjadi mediator aspirasi rakyat dengan pemerintah, dan penyalur aspirasi rakyat (Kjar 2001). Pada tahun 2002, Kongres Papua II diselenggarakan di Jayapura, dihadiri lima ratus anggota Presidium Dewan Papua (PDP). Presiden Abdurrahman Wahid memberikan dana berjumlah Rp 1 miliar untuk memungkinkan diselenggarakannya kongres tersebut. Di samping semua anggota PDP, peserta musyawarah terdiri atas lebih dari dua ribu tokoh Papua lain. Peserta kongres berkumpul guna membicarakan aspirasi-aspirasi masyarakat Papua untuk masa depan. Mereka menentukan Papua ingin merdeka, tetapi hasil tersebut ditolak Presiden Wahid. Meskipun demikian, Kongres Papua merupakan kesempatan pertama bagi M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiolog i Vol. 19, No. 2 , Ju li 2014:287-303
29 2 |
SYARIFUDIN TIPPE
masyarakat Papua menyuarakan harapan-harapannya secara terbuka. Sementara Pasukan Satgas Papua, dengan keanggotaan satgas berjumlah sekitar 15.000 orang, dibentuk spontan pada saat penyelenggaraan Kongres Papua II untuk menjaga pesertanya (Kjar 2001). Kehadiran militer di Papua sendiri merupakan bentuk perlindungan pemerintah Indonesia terhadap perbatasan mengingat lokasi geografis Papua yang strategis—berbatasan langsung dengan Papua Nugini (Laporan Penelitian Universitas Pertahanan 2012). Pemerintah melalui Kemenhan dan TNI telah menempatkan sekitar 9.000 personel dalam suatu operasi khusus di wilayah perbatasan dan pulau terluar Indonesia. Jumlah tersebut masih kurang bila dihadapkan pada kondisi wilayah perbatasan yang panjang dan luas serta banyaknya pulau yang tidak berpenduduk. Kehadiran militer ini ditujukan untuk mengatasi berbagai kasus pelanggaran wilayah perbatasan dan pencurian hasil sumber daya alam nasional di wilayah tersebut. Namun, kehadiran militer telah menimbulkan kecurigaan masyarakat Papua yang besar sehingga cenderung meningkatkan ketegangan antara sipil–militer di Papua (Easton 2012). K E M E L U T R E L A S I S I PI L – M I L I T E R DI PA PUA
Relasi sipil–militer di seluruh dunia telah memasuki era turbulensi yang menantang pola mapan relasi sipil–militer masa lalu. Turbulensi tersebut digambarkan oleh Don Snider dan Miranda Carlton-Carew serta dapat ditelusuri kembali dalam empat tren yang berpotensi bertanggung jawab atas ketegangan dalam relasi sipil–militer, yaitu (i) perubahan sistem internasional, (ii) penarikan militer secara cepat, (iii) permintaan domestik pada militer dan budaya masyarakat imperatif, dan (iv) peningkatan peran misi nontradisional untuk militer (Sarkesian 1991; Connor 1999 dalam Kummel 2001). Dalam konteks masyarakat Papua, bentuk kekecewaan masyarakat atas pengambilan keputusan dalam perencanaan pembangunan yang tidak melibatkan masyarakat adat telah menimbulkan ketegangan di antara masyarakat dan militer (Easton 2012). Menyikapi kasus anggaran yang digunakan dalam pembangunan dan implementasi APBD, masyarakat Papua melakukan demonstrasi yang mengakibatkan ketegangan sipil–militer (wawancara 10 Desember 2012). Alasan demonstrasi masyarakat Papua berkisar pada manfaat pembangunan secara keseluruhan. Pelaksanaan otonomi khusus (otsus) M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiolog i Vol. 19, No. 2 , Ju li 2014:287-303
RELASI SIPIL-MILITER
| 293
dan pembangunan secara umum masih cacat, sehingga masyarakat berkeinginan untuk melaksanakan referendum. Pada umumnya, reaksi-reaksi unjuk rasa merupakan ekspresi kekecewaan terhadap realisasi pembangunan yang tidak berkeadilan. Sementara itu, kewenangan Provinsi Papua mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan kecuali kewenangan bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, moneter dan fiskal, agama, peradilan, serta kewenangan tertentu di bidang lain yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang‑undangan. PA R T I S I PA S I E N T I TA S S I PI L DA L A M KO L A B O R A S I S I PI L – M I L I T E R
Sipil dan militer merupakan dua entitas yang berbeda. Institusi sipil mengedepankan persuasi, konsensus, dan tujuan yang bersifat jangka panjang atau strategis; sedangkan institusi militer cenderung pada tindakan koersif dan tujuan yang lebih bersifat jangka pendek atau operasional (Said 2012). Oleh karena itu, keberadaan dua karakter itu dalam sebuah sistem berbangsa, bernegara, ataupun pemerintahan harus ditata dan dikelola dengan baik guna menghindari dominasi institusi satu atas institusi yang lain. Partisipasi entitas sipil dalam kerja sama sipil–militer, menurut Ankersen (2008), melibatkan aktor-aktor pemerintah daerah atau badan pemerintah lainnya, lembaga swadaya masyarakat, organisasi internasional, atau koordinasi antarpemerintah. Kerja sama sipil– militer yang melibatkan pemerintah pusat pada dasarnya dilakukan melalui program pembangunan. Proses pembangunan yang dilansir pemerintah Indonesia di Papua telah dilaksanakan dan baru efektif dimulai pada awal tahun 1980-an (Djojosoekarto et.al 2008). Keterlambatan mengawali proses pembangunan di Papua lebih disebabkan oleh kesibukan pemerintah pusat menuntaskan masalah politik kembalinya Irian Barat. Bersamaan dengan hal tersebut, akselerasi pertumbuhan yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia tidak dapat diimbangi oleh kemajuan pembangunan di Papua. Kondisi ini diperburuk oleh pola pengaturan sentralistis Orde Baru yang telah menggiring eksistensi masyarakat Papua ke dalam situasi enclave. Alasan inilah yang menjadi motif utama munculnya ketidakpuasan yang menyuburkan intensitas pergerakan kemerdekaan politik bagi sebagian komponen masyarakat, setelah sebelumnya merasa M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiolog i Vol. 19, No. 2 , Ju li 2014:287-303
29 4 |
SYARIFUDIN TIPPE
dikecewakan lewat peristiwa Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1969. Hal ini mendorong pemerintah untuk mengeluarkan UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua (Djojosoekarto et.al 2008). Undang-Undang Otonomi Khusus menempatkan orang asli Papua dan penduduk Papua pada umumnya sebagai subjek utama pembangunan. Keberadaan pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, serta perangkat di bawahnya, semua diarahkan untuk memberikan pelayanan terbaik dan pemberdayaan masyarakat. Undang-undang tersebut juga mengandung semangat penyelesaian masalah dan rekonsiliasi, antara lain dengan pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Pemberian otsus didukung oleh masyarakat dan elite Papua, khususnya untuk merespons kemiskinan di Papua. Pada tahun 2002, Gubernur Papua sebelum pemekaran, J. P. Solossa, menyampaikan bahwa sekitar 75% warga Papua diperkirakan masih hidup di bawah garis kemiskinan akibat keterbatasan sarana dan prasarana transportasi laut, darat, dan udara (Republika 24/8/2002). Keterbatasan sarana dan prasarana transportasi menghambat program-program pembangunan pemerintah yang akan dilaksanakan bagi kepentingan masyarakat di seluruh Papua. Gubernur Solossa menyatakan optimistis dengan pemberlakuan UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus. Untuk itu, dibentuklah Majelis Rakyat Papua (MRP) dalam muatan Undang-Undang Otsus di Papua sebagai institusi representasi kultural masyarakat. Majelis Rakyat Papua memiliki wewenang tertentu dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua dengan berlandaskan pada penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan, dan pemantapan kerukunan hidup beragama sebagaimana diatur dalam UU Otsus. Representasi kultural menjadikan hukum-hukum adat—yaitu aturan atau norma tidak tertulis yang hidup dalam masyarakat—dapat mengatur, mengikat, dipertahankan, serta mempunyai sanksi. Selama ini, UU Otsus mengizinkan lembaga-lembaga nonpemerintah dan militer untuk terlibat dalam pemberdayaan masyarakat di Papua. Namun, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Djojosoekarto et.al (2008), saat ditanyakan keterlibatannya dalam kegiatan-kegiatan yang diadakan lembaga nonpemerintah di bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi kerakyatan, M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiolog i Vol. 19, No. 2 , Ju li 2014:287-303
RELASI SIPIL-MILITER
| 295
dan infrastruktur selama pelaksanaan otsus Papua, hanya 12,62% responden dari masyarakat yang menyatakan pernah berinteraksi dengan lembaga nonpemerintah. Lembaga gereja disusul lembaga perempuan dan kemudian lembaga adat lebih banyak menjadi wahana partisipasi masyarakat selama otsus. Hal ini dapat dipahami karena lembaga-lembaga tersebut lebih mengakar di tengah-tengah masyarakat Papua, khususnya di kota dan kabupaten Jayapura. Adapun lembaga lain, seperti lembaga internasional, perlindungan anak, Muhammadiyah, muncul belakangan. Namun demikian, lembaga masyarakat sipil di Papua masih kesulitan menjalin kerja sama strategis antarlembaga dalam menindaklanjuti program kerja mereka. Kerja sama sering kali muncul secara insidental ketika ada “musuh bersama”, itu pun hanya bersifat kebijakan dan advokasi, meskipun ada saja kerja sama yang terjalin baik antarlembaga dalam kegiatan-kegiatan pendampingan masyarakat. Keterlibatan entitas sipil lain dalam kerja sama sipil–militer juga melibatkan organisasi internasional. Organisasi internasional yang terlibat dalam hubungan kerja sama sipil–militer di Papua terlihat dalam program pemberdayaan masyarakat adat Papua (PIPE) yang bertujuan berkontribusi bagi keseluruhan pembangunan masyarakat adat. Kerja ini dilakukan dengan membantu masyarakat Papua meningkatkan kapasitas dan swasembada guna mengurangi kemiskinan, meningkatkan kesetaraan gender, dan menguatkan mekanisme perdamaian serta pembangunan di desa-desa dan komunitas-komunitas (ILO 2004). Cakupan kegiatan program pemberdayaan ini meliputi pemberdayaan Kecamatan Muara Tami dan Kemtuk Gresi di Kota Madya/Kabupaten Jayapura, Papua, serta Kecamatan Tanah Rubuh dan Kebar di Kabupaten Manokwari, Papua Barat, lewat programprogram padat lapangan kerja dan mata pencaharian lainnya. Pembiayaan program pemberdayaan tersebut berasal dari United Nations Trust Fund for Human Security (UNTFHS) dengan dukungan dari pemerintah Jepang. R E L A S I S I PI L – M I L I T E R DA L A M PE M B E R DAY A A N M A S Y A R A K AT PA PUA
Perang yang berlangsung di Papua, yang melibatkan kelompok separatis dan satuan militer pemerintah, termasuk dalam perang yang disebut Caforio (2007) sebagai perang yang tidak beraturan atau peM A S YA R A K AT Ju rna l Sosiolog i Vol. 19, No. 2 , Ju li 2014:287-303
29 6 |
SYARIFUDIN TIPPE
rang asimetris. Jenis perang ini dapat menggunakan pendekatan tidak langsung untuk melawan musuh, seperti menggunakan atau memaksa penduduk sipil membantu salah satu pihak (Grange 2000). Dalam konteks Papua, selama ini perlawanan yang dilancarkan oleh Organisasi Papua Merdeka atau OPM selalu mendapat dukungan masyarakat sipil setempat karena adanya ikatan identitas etnis dan budaya yang sama. Oleh karenanya, operasi perdamaian yang dipilih oleh pemerintah Indonesia mencakup fungsi nonmiliter seperti mediasi, perlindungan sipil, dan pemberdayaan masyarakat setempat agar memperoleh manfaat positif atas kerelaan masyarakat mendukung pemerintah (Rana 2004). Operasi perdamaian sendiri disebut Caforio (2007) sebagai operasi selain perang atau, menurut UU No. 34/2004 Pasal 7 Ayat 2, Operasi Militer Selain Perang (OMSP). Dalam konteks kekinian, Panglima Kodam XVII/Cendrawasih menggunakan tiga pendekatan di wilayah kewenangannya. Pertama, pendekatan budaya. Kedua, pendekatan agama. Ketiga, pendekatan kesetaraan. Dalam merealisasikan ketiga pendekatan ini, Pangdam XVII/Cendrawasih menjalankan beberapa tahapan kebijakan. Pertama, membangun kepercayaan masyarakat Papua (trust building) agar mereka menaruh kepercayaan terhadap pemerintah dan aparaturnya, termasuk TNI dan Polri. Dengan demikian, masyarakat merasa terlindungi dan terayomi dengan keberadaan TNI di tengah-tengah mereka. Tahap selanjutnya, kekuatan untuk memercayai (power of Trust), yaitu pendekatan terhadap saudara-saudara yang berseberangan paham/pandangan melalui tokoh-tokoh adat, tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh pemuda, dan tokoh perempuan untuk mengajak mereka kembali bersatu dan hidup layak sebagai warga negara Indonesia yang mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan yang lain. Selanjutnya, tahap mengubah pola pikir masyarakat Papua (changing mind set) yang belum menyadari bahwa mereka sudah merdeka, di samping menghilangkan rasa takut, tekanan, dan pembodohan guna menuju kepada tatanan berkehidupan yang baik dan maju seiring tuntutan perkembangan zaman. Langkah ini berhasil terbukti dari banyaknya warga setempat yang kini berpihak kepada NKRI setelah selama ini menganggap Indonesia penjajah bagi rakyat Papua. Kodam XVII/Cendrawasih berharap pelaksanaan kegiatan-kegiatan sosial melalui pendekatan-pendekatan agama, kebudayaan, kesetaraan, serta kemanusiaan dapat mengubah pemikiran warga Papua yang selama M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiolog i Vol. 19, No. 2 , Ju li 2014:287-303
RELASI SIPIL-MILITER
| 29 7
ini diprovokasi oleh kelompok yang bergerak untuk kepentingan pribadi dan golongan. Selain itu, Kodam XVII/Cendrawasih intens melakukan pendekatan melalui agama dan kebudayaan. Di Papua, sebagian besar penduduknya memeluk agama Kristen dan agama tersebut melekat dalam kebudayaan lokal. Dengan memberikan perhatian yang lebih pada kegiatan-kegiatan keagamaan setempat, diharapkan akan timbul kecintaan sesama dan perdamaian dalam masyarakat. Kegiatan seperti anjangsana, temu tokoh agama, tokoh adat, dan tokoh daerah kerap dilakukan oleh Pangdam XVII/Cendrawasih beserta pimpinan satuan jajaran Kodam XVII/Cendrawasih. Tidak terlewatkan pula, Pangdam selalu mengikuti event pergelaran kebudayaan berskala nasional bahkan internasional. Misalnya, baru-baru ini Pangdam XVII/Cendrawasih membuka Festival Budaya Lembah Baliem 2013 di Kampung Wosilimo, Wamena. Tindakan Panglima Kodam XVII/Cendrawasih dalam melaksanakan pendekatan kesetaraan salah satunya juga terlihat dalam proses rekrutmen personel TNI. Dalam merekrut calon tamtama, bintara, perwira, maupun Diktuk, penduduk asli Papua diberikan prioritas kesempatan dibandingkan suku-suku lainnya. Relasi lain antara sipil–militer juga digambarkan dengan adanya peran pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota dalam pembangunan Papua. Dewasa ini pemerintah membayar seluruh anggaran pendidikan anak-anak di Merauke. Seluruh anak Merauke dibiayai oleh pemerintah untuk kuliah. Karena orang Papua lemah di bidang pelajaran eksakta, maka diharapkan generasi Papua sekarang mau memasuki sekolah-sekolah teknik, penerbangan, dan kedokteran, berhubung animo mereka ke bidang-bidang tersebut juga sangat tinggi. Namun demikian, pembangunan yang mencakup kebijakan pemekaran tidak selalu sejalan dengan peta kebudayaan di Papua. Misalnya, daerah Kurima yang dahulu adalah bagian dari Kabupaten Jayawijaya, setelah pemekaran menjadi bagian dari kabupaten Yahukimo. Pemekaran ini tidak sesuai dengan pemetaan kebudayaan lokal yang memasukkan Kurima sebagai bagian dari masyarakat Lembah Besar (Hubula) yang tinggal di Wamena, Kabupaten Jayawijaya. Pemetaanpemetaan adat atau kebudayaan, dan hukum adat memegang potensi sebagai dasar dari hukum nasional (Sugandi 2008). Di samping itu, inisiatif-inisiatif lokal, baik dari masyarakat, organisasi sipil, atau lintas badan antara badan-badan pemerintah dan M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiolog i Vol. 19, No. 2 , Ju li 2014:287-303
29 8 |
SYARIFUDIN TIPPE
masyarakat madani perlu didukung dan diteruskan. Seperti yang dijelaskan Pratchett dkk. (2009), aktor-aktor tersebut harus dilibatkan untuk berpartisipasi sehingga memiliki rasa keterikatan yang memperkuat partisipasi dan memberikan kesempatan masyarakat sipil berpartisipasi dengan dukungan badan-badan publik, saluran sipil, serta berbagai komunitas lainnya. Salah satu contoh upaya pemerintah dalam mendukung inisiatifinisiatif lokal tersebut adalah melalui divisi khusus di kepolisian yang disebut FKPM (Forum Kemitraan Polisi Masyarakat) yang lebih berpijak pada hukum adat lokal ketimbang hukum perundangan dalam menengahi pelbagai perselisihan, seperti pembunuhan, perzinaan, pemalsuan, dan lainnya. Ini merupakan metode resolusi konflik efektif yang akan memberikan hasil optimum dalam memecahkan permasalahan masyarakat apabila lebih didukung dengan upaya mengodifikasi hukum adat serta meningkatkan keterampilan mediasi para petugas polisi yang menangani pekerjaan tersebut (Sugandi 2008). Contoh lain juga disebutkan dalam hasil wawancara dengan wakil MRP pada 10 Desember 2012 terkait inisiatif pembangunan di Papua. Menurut wakil MRP, pembangunan jalan dan jembatan lebih baik diserahkan kepada Kimpraswil sebagai pelaksana agar dapat berjalan lebih cepat. Sementara masalah keperluan transportasi di Papua merupakan tuntutan yang dinomorsatukan dalam pembangunan kesejahteraan masyarakat di seluruh wilayah Papua. Dengan adanya fasilitas umum berupa jalan dan jembatan yang disediakan oleh negara, sistem distribusi sumber daya masyarakat, seperti hasil pertanian mereka, menjadi lancar. Dengan demikian, dampaknya akan positif pada percepatan pembangunan kesejahteraan masyarakat Papua. Keuntungan lainnya, bila pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan sudah dilakukan dalam bentuk infrastruktur lingkar Papua, maka masyarakat yang semula mendiami wilayah pedalaman akan sukarela berbondong-bondong turun mendiami wilayah sepanjang jalan tersebut. Inisiatif besar lain Pemerintah Provinsi Papua untuk mengatasi akar masalah kemiskinan di Papua adalah program pembangunan desa atau Rencana Strategis Pembangunan Kampung (RESPEK) yang mencakup bidang-bidang dasar pembangunan seperti gizi, kesehatan, pendidikan, pemberdayaan perempuan, dan prasarana (ILO 2009). Program ini didukung oleh Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) pemerintah pusat dan dimaksudkan untuk mendorong M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiolog i Vol. 19, No. 2 , Ju li 2014:287-303
RELASI SIPIL-MILITER
| 29 9
kegiatan pembangunan di tingkat desa dengan menyediakan bantuan langsung melalui lembaga-lembaga adat berbasis desa, kelompok gereja, serta badan pemerintah. Ini juga memperlihatkan dukungan badan-badan publik kepada Papua yang tercermin dalam pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat adat yang melibatkan mitra organisasi masyarakat, unit pemerintah daerah, dan organisasi nonpemerintah, di mana pembiayaannya didanai oleh UNTFHS dan didukung pemerintah Jepang (ILO 2004). Mekanisme perdamaian berakar budaya dan pembangunan sedang diperkuat melalui kegiatan program pemberdayaan masyarakat adat Papua yang memberikan kesempatan bagi tokoh masyarakat untuk menjalin kerja sama yang lebih erat dalam mengupayakan terwujudnya kepentingan bersama. Yang terpenting dari kesempatan ini adalah penguatan struktur kepemimpinan di desa-desa untuk mewujudkan kepemimpinan dan pengambilan keputusan secara kolektif di tingkat kabupaten. Ketika proses ini berkembang, diharapkan konflik yang timbul akibat kurang atau tidak adanya komunikasi antara sipil–militer, pemerintah, dan lembaga lain, maupun penyebab-penyebab serupa dapat diselesaikan dengan lebih efisien dan efektif. K E S I M PU L A N
Fenomena RSM di Indonesia menunjukkan bahwa pola relasi sipil–militer di Indonesia saat ini belum sepenuhnya mengarah pada model supremasi sipil (civilian supremacy), tetapi masih terbatas pada subordinasi bersyarat (conditional subordination). Perbedaan kapasitas efektif antara institusi sipil dan militer menyebabkan kontrol sipil yang demokratis atas militer tidak saja menjadi problematis bagi konsolidasi demokrasi, tapi juga menghalau modernisasi kultur militer. Untuk kasus Papua, keterlibatan berbagai aktor untuk menjalin kerja sama dalam pemberdayaan masyarakat Papua sangat penting demi terjalinnya relasi sipil–militer yang harmonis. Pola interaksi dalam hubungan kelembagaan antara komponen sipil dan militer di Papua terjalin atas dasar pemeliharaan keamanan di wilayah perbatasan Papua yang rentan dengan pencurian, penyelundupan, dan pelarian ke daerah perbatasan. Kondisi tersebut mendorong pemerintah untuk menghadirkan militer dalam jumlah besar untuk menjaga keamanan di wilayah tersebut. Di lain pihak, pemerintah Indonesia juga melakukan upaya pemerataan pembangunan M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiolog i Vol. 19, No. 2 , Ju li 2014:287-303
300 |
SYARIFUDIN TIPPE
di wilayah Papua yang masih terisolasi guna memajukan masyarakat. Namun, pengambilan keputusan yang tidak melibatkan masyarakat adat Papua dalam perencanaan pembangunan dan hanya melibatkan militer menimbulkan ketegangan sipil–militer di wilayah tersebut meningkat. Untuk mengatasi ketegangan yang menyeruak, ditawarkanlah kerja sama sipil dalam relasi sipil–militer. Unsur-unsur angkatan bersenjata lantas berkolaborasi dengan entitas sipil seperti pemerintah daerah/badan pemerintah lainnya, lembaga swadaya masyarakat, atau organisasi internasional, maupun lewat koordinasi antarpemerintah guna memberdayakan masyarakat adat Papua sebagai langkah melanggengkan perdamaian yang berakar pada kebudayaan lokal setempat. Tak lupa, hal ini dilangsungkan sesuai dengan inisiatif masyarakat adat Papua. Kajian ini memperlihatkan, pengendalian otoritas sipil atas militer tidak hanya dapat mengandalkan institusi-institusi saja tetapi juga hubungan interaktif, baik antara prinsipal dan agen maupun di dalam prinsipal dan agen itu sendiri. Pengendalian sipil atas militer di Provinsi Papua dalam kerangka sistem pertahanan negara perlu melihat bagaimana dinamika itu terjadi sepanjang sejarahnya. DA F TA R PU S TA K A
Andrews, Brandy M. 2008. Patterns of Civil-Military Relations in Democracies. Kansas: School of Advanced Military Studies Ankersen, Christopher. 2008. Civil-Military Cooperation in Post-Conflict Operations: Emerging Theory and Practice. New York: Routledge. Bappenas. Pembangunan Daerah dan Transmigrasi. Diakses pada 10 November 2013 (http://www.bappenas.go.id/files/2613/5183/0762/ narasi-bab-ix-pembangunan-daerah.pdf). Bruneau, Thomas C. dan Florina C. Matei. 2008. “Towards a New Conceptualization: Democratization and Civil-Military Relations.” Democratization 15:909-929. Bryman, Alan. 2012. Social Research Methods. London: Oxford University Press. Buku Putih Pertahanan Indonesia. 2008. Jakarta: Kementerian Pertahanan. Caforio, G. 2007. Social Sciences and The Military: An Interdisciplinary Overview. London: Routledge. M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiolog i Vol. 19, No. 2 , Ju li 2014:287-303
RELASI SIPIL-MILITER
| 3 01
Creswell, John W. 2003. Qualitative Inquiry and Research Design: Choosing Among Five Traditions. California: SAGE Publications, Inc. Croissant, Aurel dan David Kuehn. 2009. “Patterns of Civilian Control of the Military in East Asia’s New Democracies.” Journal of East Asian Studies 1. Dimyati. 2012. “Operasi Militer dalam Kacamata Undang-Undang TNI.” Diakses pada 19 Oktober 2013 (http://www.tribunnews. com/tribunners/2012/06/07/operasi-militer-dalam-kacamataundang-undang-tni). DiPrizio, R. C. 2002. Armed Humanitarians: U.S. Interventions from Northern Iraq to Kosovo. Baltimore: Johns Hopkins University Press. Djojosoekarto, Agung et.al. 2008. Kinerja Otonomi Khusus Papua. Jakarta: Kemitraan Partnership. Easton, Matthew dkk. 2012. Masa Lalu yang Tak Berlalu: Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Tanah Papua Sebelum dan Sesudah Reformasi. Jakarta: ICTJ dan Elsam. Ferreira, R. 2011. “The Interdisciplinarity of Military Studies: A Sociological Perspective and South African Application.” Inaugural lecture. Firmansyah, Lettu Caj Fredi. “3 Pendekatan Prajurit Cendrawasih dalam Melaksanakan Tugas Pokok TNI di Bumi Papua.” Diakses 19 Oktober 2013 (http://www.kodam17cendrawasih.mil.id/tulisan/ artikel/3-pendekatan-prajurit-cendrawasih-dalam-melaksanakantugas-pokok-tni-di-bumi-papua/) Franke, Volker. 2006. “The Peace Building Dilemma: Civil-Military Cooperation in Stability Operations.” International Journal of Peace Studies 11(2). Grange, D. L. 2000. “Asymmetric Warfare: Old Method, New Concern.” National Strategy Forum Review (Winter 2000):1‐5. Huntington, Samuel P. 1957. The Soldier and the State: The Theory and Politics of Civil-Military Relations. Boston: Belknap of Harvard University Press. ------. 1991. The Third Wave: Democratization in the Late 20th Century. Norman: University of Oklahoma Press. Janowitz, Morris. “Military Institutions and Citizenship in Western Societies.” Armed Forces and Society (2) (Jan 1976):185-204.
M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiolog i Vol. 19, No. 2 , Ju li 2014:287-303
3 02 |
SYARIFUDIN TIPPE
Kardi, Koesnadi. 2013. “Mendemokratisasikan Hubungan Sipil–Militer: Pola Hubungan Negara dan Masyarakat pada Era Reformasi di Indonesia.” Disertasi Pascasarjana Sosiologi FISIP UI. Kjar, R. 2001. “Gerakan-Gerakan Pro-Papua Barat.” Program Australian Consortium for in Country Indonesian Studies. Kontras. 2013. “Indonesia Menegaskan Pembatasan Kebebasan Berekspresi di Papua kepada Komite HAM PBB.” Diakses 19 Oktober 2013 (http://www.kontras.org/index.php?hal=siaran_pers&id=1746). Kummel, G. 2001. “Civil-Military Relations in Germany: Past, Present and Future.” Sowi-Arbeitspapier Nr. 131, Strausberg, November 2001. “Laporan Penelitian Bisnis Militer di Boven Digoel.” Februari-Maret 2004. “Laporan Penelitian Universitas Pertahanan di Papua.” 10 Desember 2012. “Mengungkap Potensi Masyarakat Adat Papua.” Warta ILO Jakarta, Januari 2009. Minaudo, Michael F. 2009. “The Civil-Military Relations Cube: A Synthesis Framework for Integrating Foundational Theory, Research, and Practice in Civil-Military Relations.” Paper US Naval War Coll. “Pejabat UP4B Dilantik.” Kompas, 11 Januari 2012. Pratchett, L., C. Durose, dan Vivien Lowndes. 2009. Empowering Communities to Influence Local Decision Making: Evidence-based Lessons for Policy Makers and Practitioners. London: Communities and Local Government Publications. Rana, Raj. 2004. “Contemporary Challenges in the Civil-Military Relationship: Complementarity or Incompatibility?” IRRC 86(855). Ringkasan Proyek: Program Pemberdayaan Masyarakat Adat Papua (PIPE). 2004. Jakarta: ILO. Said, Budiman Djoko. 2012. Menakar Ulang Hubungan Sipil–militer (HSM). Diakses 19 Oktober 2013 (http://www. fkpmaritim.org/ menakar-ulang-hubungan-sipil–militer-hsm/). Shukla, Raj. 2012. “Civil Military Relations in India.” Manekshaw Paper 36. India: KW Publishers Pvt. Sugandi, Yulia. 2008. Analisis Konflik dan Rekomendasi Kebijakan Mengenai Papua. Jakarta: Friedrich Ebert Stiftung. UU Nomor 3 Tahun 2002 tentang Sistem Pertahanan Negara. M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiolog i Vol. 19, No. 2 , Ju li 2014:287-303
RELASI SIPIL-MILITER
| 3 03
Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. Wamebu, Noah. 2002. “Pemetaan Partisipatif Multipihak: Wilayah Adat Nambluong di Kabupaten Jayapura-Papua.” Diakses pada 19 Oktober 2013 (http://www.jkpp.org/downloads/04.%20Papua.pdf). Zippwald, Scott C. 2011. “Effective Civil-Military Relations: A Necessary Ingredient for Success in America’s Future Strategic Environment.” Tesis di JFS Coll, MS in Campaign Planning and Strategy.
M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiolog i Vol. 19, No. 2 , Ju li 2014:287-303