Bahasa Kalbu Written by Siswoyo Sunday, 13 June 2010 05:21
Oleh : Rizqia Maulida
Rembulan bagai bola cahaya besar yang membenderang melunakkan langit malam yang gelap. Kerlip bintang pun berpijar satu-satu, cahayanya mampu mengubah malam yang hitam seakan kian bersahabat. Titik-titik pijaran benda langit itu menandakan bahwa dalam hidup tidak selamanya kelam, hati akan selalu bisa menemukan harapan, dan cahaya di langit itu secerah sucinya nurani. Malam-malam yang berlalu tidak akan terlewatkan tanpa makna. Assyifa terjaga dari tidurnya yang lelap. Matanya melihat ke jarum jam yang menunjukkan pukul setengah dua pagi hari. Kakinya melangkah perlahan menuju kamar mandi dan dia menyegerakan diri membasuh muka serta berwudhu. Sajadah baldu tebal kehijauan terhampar di lantai sudut kamar, seakan memanggil-manggil jiwanya untuk mendirikan sholat sunnah dua rakaat. Dalam penuh pengharapan di setiap tahajudnya, Assyifa bersujud dan memohon kepada Sang Pencipta agar diberi kemudahan dalam kehidupannya.
Perlahan titik-titik bening mengalir dari sudut mata. Ingatannya mengenai masa lalu kembali menyesakkan dada. Seakan rangkaian peristiwa berakhir duka itu akan meledak dan memecah hingga dirinya ingin berlari berteriak sekuatnya. Namun semua perasaan menyiksa itu masih dapat dikendalikan dan terangkai menjadi untaian kata-kata dan kalimat memohon perlindungan dari Tuhannya. Seakan tidak pernah akan ada habisnya airmatanya setia membasahi pipi, tanda bahwa sebenarnya dirinya sungguh tidak mampu menanggung derita itu sendiri.
Kedua mata indah yang senantiasa menatap dunia dengan ceria, kini terpejam dan
1/8
Bahasa Kalbu Written by Siswoyo Sunday, 13 June 2010 05:21
bersembunyi di balik kedua telapak tangan yang berlapis mukena jingga. Assyifa menyembunyikan wajahnya dari dunia. Wajah yang sarat akan kepiluan yang berasal dari hati. Hati yang terluka parah dan sulit terobati. Sepertiga malam adalah waktu yang membahagiakan baginya. Kala itu dirinya merasa tenang dan nikmat dalam kesendirian. Sepuasnya dia dapat mengutarakan isi hati dan pikirannya yang tertuang dalam doa-doanya kepada Tuhannya.
Bayangan masa-masa pahit yang berujung perpisahan, perceraian atas pernikahan yang gagal dibina dalam waktu yang relatif singkat masih melekat dibenaknya. Tanpa mengetahui kesalahan atas dirinya Assyifa harus pasrah menerima keegoisan sepihak. Namun, biarlah semua itu berlalu. Kini di usianya yang menjelang dua puluh satu tahun, kepahitan itu terkubur di dasar alam ketidaksadarannya, membenam dan lenyap dengan penuh keikhlasan.
Matahari naik, menerangi bumi. Sinarnya menghangatkan jiwa yang rapuh untuk tetap melangkah tangguh. Berbalut busana muslimah nuansa merah muda, Assyifa memenuhi janjinya untuk menemani Salma pergi ke toko buku, mereka ingin membeli buku berkenaan dengan perkuliahan. Assyifa menghadap ke sebuah rak yang bertuliskan “Fakultas Hukum”. Di sana ia berdiri memilih-milih buku yang sesuai, sedangkan Salma sedang asyik menerima telfon dari mamanya di sudut rak buku lainnya.
“Assyifa???” Sapa seorang pemuda yang berdiri di depannya terhalang rak-rak buku.
“Mas Fahri?? Kok bisa ada disini? Bukannya Mas kerja di Jakarta?” Assyifa membalas sapaan dengan pertanyaan.
2/8
Bahasa Kalbu Written by Siswoyo Sunday, 13 June 2010 05:21
“Sejak dua minggu lalu saya ditempatkan di Cabang Medan. Sekarang lagi mengisi waktu saja. Kamu sedang apa?” Fahri menghampirinya mendekat.
“Saya sedang mencari buku juga untuk semester ini. Mas apakabar? Ibu apakabar?” Assyifa tersenyum senang kepada Fahri.
“Alhamdulillah kami sehat… Bagaimana dengan keadaanmu? Bagaimana dengan pernikahanmu?” tanya Fahri ingin tahu.
“Alhamdulillah, Assyifa juga sehat, Mas. Pernikahan saya sudah berakhir. Permisi dulu ya Mas, saya ingin melihat buku lainnya.” Assyifa meletakkan buku yang dipegangnya ke rak dan beralih ke rak yang lainnya.
“Assyifa …” Fahri seakan hendak menahan sehingga langkah Assyifa terhenti dan menoleh kearahnya.
“Iya?? Ada apa Mas?” Assyifa memperhatikan Fahri ingin tahu.
3/8
Bahasa Kalbu Written by Siswoyo Sunday, 13 June 2010 05:21
“Jika ingin menghubungi kamu, saya harus bagaimana? Bolehkah?” Fahri tersenyum keragu-raguan.
“Ohh.. Iya. Boleh Mas. Ini nomor handphone saya. Salam juga buat Ibu ya, Mas.” Assyifa membalas senyum Fahri dengan ramah dan meninggalkannya.
Assyifa menghampiri Salma, teman perkuliahannya sesama di Fakultas Hukum yang juga menumpang tinggal di rumah keluarga Assyifa. Mereka kembali mencari buku mengenai hukum perdata dan pidana sebagai referensi tambahan di semester ini.
Hal yang kebetulan Assyifa berjumpa dengan Fahri, pemuda yang lebih tua lima tahun darinya yang dikenal pada beberapa bulan lalu, di penghujung tahun, di sebuah kampung damai yang menjunjung tinggi religiuitas. Ketika itu Assyifa, Salma, bersama teman-teman organisasi di kampusnya mengadakan bakti sosial ke daerah Fahri.
Fahri adalah seorang pemuda baik hati yang membukakan pikirannya bahwa dunia ini bukan selebar daun kelor. Di penghujung tahun lalu, tepat di suatu senja di pinggir pantai, mereka berdiri di tengah keramaian melepas pandang ke laut yang mengharu biru luas. Bertukarpandangan mengenai masa depan, dengan mengumpulkan sisa-sisa semangat demi hari depan yang lebih baik.
4/8
Bahasa Kalbu Written by Siswoyo Sunday, 13 June 2010 05:21
“Siapa itu tadi, Syifa?” tanya Salma seraya mengaitkan lengannya di bahu Assyifa dan berjalan meninggalkan toko buku.
“Temanku, Salma.” Jawab Assyifa dengan singkat dan tersenyum malu.
Mereka tidak menemukan buku yang dibutuhkan dan bermaksud mencari di toko buku lainnya. Sepanjang perjalanan Assyifa tidak memperhatikan pembicaraan yang dikatakan Salma. Pikirannya tertuju kepada Fahri. Assyifa sungguh tidak menyangka akan bertemu lagi dengan Fahri. Lelaki pertama yang sedikit mencairkan kebekuan yang ada dihatinya. Pemuda itu pernah sesaat mengetuk pintu hatinya untuk bisa menerima kenyataan bahwa hidup harus dilalui semangat dan hari-hari baru dengan penuh cita.
Bibirnya tersenyum kecil mengingat ketika Fahri menanyakan bagaimana untuk bisa menghubunginya, dan Assyifa merasa cukup senang dan berharap mereka bisa berteman baik. Sesekali Assyifa melirik ponselnya dan berharap Fahri akan menghubunginya.
“Kamu kenapa, Fa?? Kok senyum-senyum sendiri?” Goda Salma yang merasa heran ditengah perjalanan pulang di dalam angkutan umum.
“Haa?? Ohh. Gk kok. Gk ada apa-apa”. Ujarnya tertawa.
5/8
Bahasa Kalbu Written by Siswoyo Sunday, 13 June 2010 05:21
Salma hanya mengeryitkan dahi dan meninggikan alisnya pertanda bingung dan juga tertawa.
Sore harinya, Fahri menghubungi Assyifa melalui pesan-pesan singkatnya. Menerima pesan tersebut Assyifa merasa senang dan membalasnya pesan tersebut. Mereka menjadi saling terbuka untuk menceritakan kegiatan atau kesibukan satu sama lain. Lambat laun Fahri menjadi akrab dengan Assyifa. Mereka menjadi mengenal dan saling mendukung kegiatan positif, meski semua dukungan itu hanya sebatas pesan singkat via ponsel, dan mereka jarang bertemu.
Assyifa masih meyakinkan dirinya, bahwa tidak mudah mencari cinta sempurna. Kala dahaga itu muncul, apakah manusia akan melakukan apapun untuk mendapatkan yang didambanya? Tidak bagi Assyifa, dirinya hanya akan mencinta dengan sederhana.
Waktu bergulir, hari berganti bulan, kedekatan antara Fahri dan Assyifa bertambah tanpa menghilangkan nilai-nilai etika. Kedekatan yang ditandai dengan rasa percaya dari Fahri untuk mengutarakan perasaan ataupun mengungkapkan keinginan mengenai harapan di masa depan bersama Assyifa. Dengan jujur Fahri mengatakan bahwa sesungguhnya sejak pertama bertemu dirinya mengagumi sosok Assyifa. Pada awal perkenalan singkat itu, Annisa sedang dirundung kesedihan mendalam dikarenakan perceraian pernikahannya yang hanya bisa diterimanya dengan kepasrahan. Fahri mampu melihat diri Assyifa dari sisi yang berbeda, sebagai wanita tegar yang mengagumkan. Wanita yang sedang diuji oleh Penciptanya, dan dia harus bertahan untuk itu.
6/8
Bahasa Kalbu Written by Siswoyo Sunday, 13 June 2010 05:21
Kini jauh sudah langkah hari yang memanggil-manggil hati Assyifa untuk membuka lembaran baru. Tanpa disadarinya dengan kehadiran Fahri dalam hidupnya, satu kata bertulis cinta pun telah menelusup hingga ke relung hati, tidak berwujud dan tidak tersentuh hanya mampu dirasa. Ketika perasaan itu menjelma dalam sebentuk hati, bukankah itu amanah dari yang Maha Kuasa agar Assyifa menjaganya.
Hening menjelang malam memperhatikan kerumunan anak-anak panti asuhan yang dikunjunginya, rembulan bersinar tiada berarti, cukup wajahnya menggantikan karena hati melebihi cantik parasnya. Assyifa duduk di pondok pinggir telaga kecil ditemani Salma. Assyifa duduk bermenung larut dalam lamunan. Jemari lentiknya memetik tiap lembar kuntum kelopak mawar merah satu persatu dari tangkai. Lembar kelopak itu terbang dan mendarat perlahan menyentuh permukaan air sebuah telaga hingga jernihnya air melingkar-lingkar berpola memusat pada lembar mawar yang kemudian terbawa arus. Lembar-lembar yang baru berterbangan tertiup angin sepoi, semerbak harumnya mewangi.
Sejenak dirinya merenung mengenai kehidupan, lingkar-lingkar berpola yang dibentuk air ketika tersentuh lembar mawar itu adalah bias, kehidupan pun demikian memiliki bias… Segala sesuatu yang ada saling mempengaruhi. Dan mengenai dirinya yang sekarang, Fahri memberikan bias positif tanpa pernah diduga sebelumnya. Kebahagiaan pun seakan bukan khayalan jika hati penuh keyakinan, kemuliaan yang dinanti akan datang menjelang.
Dengan sisi hati yang tersisa, Assyifa berharap kesempatan itu akan ada kembali. Setelah lama dirinya hilang rasa dan kini kembali hidup dan jatuh cinta. Fahri perlahan melepaskannya dari belenggu masa lalu, membuatnya percaya bahwa masih ada asa menjalin hubungan merangkai impian masa depan.
7/8
Bahasa Kalbu Written by Siswoyo Sunday, 13 June 2010 05:21
Udara terasa semakin sejuk karena satu sisi hati telah terisi. Sepenuhnya di dalam kalbu Assyifa larut berharap dalam mimpi-mimpi baru. Assyifa tenggelam dalam untaian doa yang tiada berkesudahan agar sebentuk perasaan yang ada dihatinya itu tidak dibutakan dan bukan pula hal yang semu belaka. Insyaallah menuju ridha-Nya.
8/8