IDENTIFIKASI KOLEKSI MUSEUM PURI LUKISAN DI KELURAHAN UBUD, KECAMATAN UBUD, KABUPATEN GIANYAR, BALI (KAJIAN SEJARAH, STRUKTUR, DAN FUNGSINYA SEBAGAI SUMBER BELAJAR SEJARAH KEBUDAYAAN DI SMA KELAS XI BAHASA)
Oleh: I Wayan Agus Suatmika 1014021003
JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA 2014
IDENTIFIKASI KOLEKSI MUSEUM PURI LUKISAN DI KELURAHAN UBUD, KECAMATAN UBUD, KABUPATEN GIANYAR, BALI (KAJIAN SEJARAH, STRUKTUR, DAN FUNGSINYA SEBAGAI SUMBER BELAJAR SEJARAH KEBUDAYAAN DI SMA KELAS XI BAHASA)
SKRIPSI
Diajukan kepada Universitas Pendidikan Ganesha Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Menyelesaikan Program Sarjana Pendidikan Sejarah
Oleh : I WAYAN AGUS SUATMIKA NIM. 1014021003
JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA SINGARAJA 2014
SKRIPSI
DIAJUKAN UNTUK MELENGKAPI TUGAS-TUGAS DAN MEMENUHI SYARAT-SYARAT UNTUK MENCAPAI GELAR SARJANA PENDIDKAN SEJARAH DI JURUSAN PENDIDKAN SEJARAH, FIS UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA SINGARAJA
Menyetujui,
Pembimbing I
Pembimbing II
Dr. I Wayan Mudana, M.Si
Ketut Sedana Arta, S.Pd, M.Pd
NIP. 19601231 198703 1 015
NIP. 19760412 200604 1 001
SKRIPSI OLEH I WAYAN AGUS SUATMIKA TELAH DIPERTAHANKAN DI DEPAN DEWAN PENGUJI PADA HARI
: Kamis
TANGGAL : 17 Juli 2014
Dewan Penguji Penguji I
Dr. I Wayan Mudana, M.Si
Ketua
NIP. 19601231 198703 1 015
Penguji II
Ketut Sedana Arta, S.Pd, M.Pd
Anggota
NIP. 19760412 200604 1 001 Penguji III
Prof. Dr. Nengah Bawa Atmadja, M.A NIP. 19510217 197903 1 004
Anggota
Diterima Oleh Panitia Ujian Fakultas Ilmu Sosial Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha) Singaraja Guna Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan Pada Hari
:
Tanggal
:
Mengetahui,
Ketua Ujian
Sekretaris Ujian
Pembantu Dekan I
Ketua Jurusan
Prof. Dr. I Gede Astra Wesnawa, M.Si
Dr. I Ketut Margi, M.Si
NIP.19620425 199003 1 002
NIP. 19631231 200212 1 044
Mengesahkan Dekan Fakultas Ilmu Sosial
Prof. Dr. Nengah Bawa Atmadja, M.A NIP. 19510217 197903 1 004
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan, bahwa karya tulis yang berjudul “Identifikasi Koleksi Museum Puri Lukisan di Kelurahan Ubud, Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar, Bali (Kajian Sejarah, Struktur, dan Fungsinya Sebagai Sumber Belajar Sejarah Kebudayaan di SMA Kelas XI Bahasa)” beserta seluruh isinya adalah benar-benar karya sendiri, dan saya tidak melakukan penjiplakan dan mengutip dengan cara-cara yang tidak sesui dengan etika yang berlaku dalam masyarakat keilmuan. Atas pernyataan ini, saya siap menanggung resiko/sanksi yang dijatuhkan kepada saya apabila kemudian ditemukan pelanggaran atas etika keilmuan dalam karya ini, atau ada klaim terhadap keaslian karya saya ini.
Singaraja, 11 Juli 2014 Yang membuat pernyataan,
I Wayan Agus Suatmika NIM. 1014021003
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Ida Sang Hyang Widhi Wasa, karena berkat
rahmat-Nyalah
penulis
dapat
menyelesaikan skripsi
yang berjudul
“Identifikasi Koleksi Museum Puri Lukisan di Kelurahan Ubud, Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar, Bali (Kajian Sejarah, Struktur, dan Fungsinya Sebagai Sumber Belajar Sejarah Kebudayaan di SMA Kelas XI Bahasa)” tepat pada waktu yang telah ditentukan. Tujuan penulisan laporan ini adalah untuk memenuhi syarat yang harus dipenuhi dalam menyelesaikan program sarjana Pendidikan Sejarah, Universitas Pendidikan Ganesha. Dalam penyusunan laporan ini, penulis banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak baik itu bantuan berupa moral maupun spiritual, maka dari itu pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada: 1. Prof. Dr. Nyoman Sudiana, M,Pd. selaku Rektor Undiksha yang telah memberikan kesempatan kepada penulis mengikuti pendidikan di Jurusan Pendidikan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial. 2. Bapak Prof. Dr. Nengah Bawa Atmadja, M.A. selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial beserta stafnya sekaligus sebagai Dosen Penguji yang telah memberikan masukan-masukan tambahan yang bermanfaat dalam penyempurnaan skripsi ini . 3. Dr. I Ketut Margi, M.Si. selaku Ketua Jurusan Pendidikan Sejarah yang selalu memberikan motivasi dan membimbing penulis dalam penyusunan skripsi ini.
i
4. Bapak Ketut Sedana Arta, S.Pd, M.Pd. selaku Sekretaris Jurusan Pendidikan Sejarah sekaligus sebagai Pembimbing II, yang telah banyak memberikan bimbingan, motivasi, arahan dan saran sehingga penulis bisa menyusun skripsi ini dengan tepat waktu. 5. Bapak Dr. I Wayan Mudana, M.Si. sekaligus sebagai Pembimbing Akademik (PA) dan Pembimbing I, atas segala bimbingan, motivasi, kesabarannya dalam membimbing penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini. 6. Seluruh staf dosen Jurusan Pendidikan Sejarah yang telah banyak membantu dalam memberikan bimbingan pengetahuan dan motivasi dalam kepada penulis selama menempuh studi di Jurusan Pendidikan Sejarah Universitas Pendidikan Ganesha hingga penyusunan skripsi ini. 7. Bapak I Wayan Parmadi, S.IP, MAP. selaku Lurah Ubud beserta staf Kasi yang telah banyak memberikan bantuan kepada penulis atas segala informasi sehingga mampu menyelesaikan skripsi ini. 8. Bapak Tjokorda Raka Kerthiyasa, S.Sos., M.Si. selaku salah satu Panglingsir Puri Ubud sekaligus sebagai Bendesa Pakraman Ubud yang telah bersedia meluangkan waktu untuk memberikan bantuan kepada
penulis
dalam
penyelesaian skripsi ini. 9. Bapak Ir. Tjokorda Bagus Astika (Kepala Divisi Museum), I Made Suteja (Kepala Operasional) dan Anak Agung Moning serta staf Museum Puri Lukisan lainnya yang telah memberikan izin dan informasi terkait pengumpulan data sehingga sangat membantu penulis dalam pengumpulan dan pengolahan data skripsi ini. ii
10. Bapak Drs. Made Sudarma, M.M, M.Pd. selaku Kepala Sekolah SMA Negeri 1 Ubud, Bapak Drs. I Wayan Sudarsana, M.Pd. dan Drs. I Made Labha Suwipra selaku guru sejarah di SMA Negeri 1 Ubud beserta siswa dan siswi SMA Negeri 1 Ubud yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu yang telah meluangkan banyak waktunya memberikan informasi yang diperlukan dalam penulisan skripsi ini. 11. Untuk keluargaku, I Made Astika (Bapak), Ni Made Suwarmini (Ibu), I Kadek Meidi Antika (saudara) beserta keluarga besar di Ubud yang dengan sabar dan penuh cinta memotivasi, mendukung dan memberikan semangat dalam segala hal agar skripsi ini bisa terselesaikan. 12. Rekan-rekan mahasiswa dan mahasiswi Jurusan Pendidikan Sejarah angkatan 2010 (Ni Komang Rusna Dewi, Ni Wayan Suratni, Ni Kadek Dwiyanti, Putu Yulie Kurniawati, Ni Made Wiyantini, I Wayan Gunawan, Made Chandra Wiguna, Kadek Edy Indraguna, Gede Bagus Surya Utama beserta teman-teman History “10 lainnya) dan serta apresiasi khusus kepada Grup DM (I Wayan Eka Juliarta, I Wayan Suwartika, Putu Ari Antara, Pande Nyoman Suastawan, Made Angga Setiawan, Putu Edy Saputra, I Wayan Dedi Pranata dan Kadek Virgotama Krissanta) yang telah mengisi hari-hari penulis di rantauan dan banyak memberikan motivasi serta dorongan semangat dalam menyelesaikan skripsi ini. 13. Teman-teman KKN Desa Bongkasa, PPL SMKN 2 Singaraja serta teman-teman di luar jurusan yang telah banyak memberikan motivasi dan dorongan semangat kepada penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.
iii
14. Kepada semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan namanya satu per satu, terima kasih atas dukungan dan bantuannya hingga terselesainya skripsi ini. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna karena terbatasnya kemampuan dan pengalaman yang dimiliki, maka dari itu saran dan kritik yang sifatnya membangun demi kesempurnaan skripsi ini sangat penulis harapkan. Akhir kata, penulis mengharapkan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan penulis pada khususnya.
Singaraja, 11 Juli 2014
Penulis
iv
Identifikasi Koleksi Museum Puri Lukisan di Kelurahan Ubud, Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar, Bali (Kajian Sejarah, Struktur, dan Fungsinya Sebagai Sumber Belajar Sejarah Kebudayaan di SMA Kelas XI Bahasa) Oleh: I Wayan Agus Suatmika, Dr. I Wayan Mudana, M.Si, Ketut Sedana Arta, S.Pd, M.Pd e-mail: {
[email protected],
[email protected],
[email protected]}@undiksha.ac.id ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengetahui latar belakang berdirinya Museum Puri Lukisan (2) mengetahui tata ruang dan koleksikoleksi yang terdapat di Museum Puri Lukisan (3) mengetahui koleksi-koleksi yang terdapat dalam Museum Puri Lukisan yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber belajar sejarah kebudayaan. Dalam penelitian ini, data dikumpulkan dengan menggunakan metode kualitatif dengan tahap-tahap ; (1) teknik penentuan lokasi penelitian, (2) teknik penentuan informan, (3) teknik pengumpulan data (observasi, wawancara, studi pustaka), (4) teknik validitas data (triangulasi data), dan (5) teknik analisis data. Hasil penelitian menunjukan bahwa, (1) Pendirian Museum Puri Lukisan diprakarsai oleh Tjokorda Gde Agung Sukawati yang didukung oleh Rudolf Bonnet dan seniman-seniman Pita Maha yang bertujuan untuk menyelamatkan warisan hasil budaya leluhur agar tidak hilang dibawa ke luar negeri oleh wisatawan asing. (2) Tata ruang Museum Puri Lukisan mengikuti struktur tata rumah adat di Bali yakni konsep Asta Kosala-kosali dimana koleksi museum ditempatkan di empat ruangan yakni gedung utara, gedung barat, gedung timur dan gedung selatan berdasarkan urutan waktu koleksi tersebut dibuat. (3) Koleksi-koleksi di Museum Puri Lukisan dapat dirasakan manfaatnya sebagai sumber belajar sejarah kebudayaan di kelas XI Bahasa yang dimaksudkan agar siswa dapat melihat relevansi antara pembelajaran yang diberikan di sekolah dengan yang ada di lingkungan sehingga bermanfaat bagi pemahaman dan hasil belajar siswa. Selain itu, manfaat lainnya adalah siswa dapat menumbuhkan rasa cinta akan budaya sendiri dan turut serta untuk melestarikannya. Kata Kunci: museum, sumber belajar sejarah, tata ruang dan koleksi .
v
DAFTAR ISI
Halaman PRAKATA …………………………………………………………………
i
ABSTRAK …………………………………………………………………
v
DAFTAR ISI ………………………………………………………………
vi
DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………...
ix
DAFTAR TABEL …………………………………………………………
xii
DAFTAR PETA……………………………………………………………
xiii
DAFTAR BAGAN ………………………………………………………..
xiv
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ……………………………………………
1
1.2 Rumusan Masalah ………………………………………………….
5
1.3 Tujuan Penulisan …………………………………………………..
6
1.4 Manfaat Penulisan ………………………………………………....
6
BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Konsep Umum Pendirian Museum ……………………………….
9
2.1.1 Pengertian Museum…………………………………………
9
2.1.2 Latar Belakang Pendirian Museum…………………………
10
2.1.3 Fungsi Pendirian Museum………………………………….
11
2.2 Tata Ruang dan Koleksi Museum ……………………………….
15
2.2.1 Tata Ruang…………………………………………………
15
vi
2.2.2 Koleksi Museum……………………………………………
18
2.3 Sumber Belajar Sejarah ………………………………………….
21
2.3.1 Tinjauan Tentang Sumber Belajar …………………………
21
2.3.2 Pengertian Sumber Belajar Sejarah…………………………
22
2.3.3 Jenis-jenis Sumber Belajar…………………………………
24
2.3.4 Manfaat Sumber Belajar…………………………………...
27
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian……………………………………………
29
3.2 Lokasi Penelitian…………………………………………………
30
3.3 Teknik Penentuan Informan ……………………………………..
30
3.4 Teknik Pengumpulan Data ……………………………………….
31
3.4.1 Observasi ………………………………………………….
31
3.4.2 Wawancara ……………………………………………….
32
3.4.3 Analisis Dokumen ………………………………………….
32
3.4 Validitas Data…………………………………………………….
33
3.5 Teknik Analisis Data…………………………………………..…
34
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian …………………………….
37
4.1.1 Keadaan Letak dan Geografis Kelurahan Ubud ………….
37
4.1.2 Keadaan Demografis Kelurahan Ubud ……………………
39
1. Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin……………..
39
2. Keadaan Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian…...
40
3. Keadaan Penduduk Berdasarkan Pendidikan………….
42
vii
4. Keadaan Penduduk Berdasarkan Agama………………
43
4.1.3 Keadaan Sosial Ekonomi Kelurahan Ubud ……………….
44
4.1.4 Keadaan Pemerintahan Kelurahan Ubud …………………
45
4.1.5 Sejarah Singkat Kelurahan Ubud …………………………
48
4.2 Latar Belakang Berdirinya Museum Puri Lukisan ………………
53
4.3 Tata Ruang dan Koleksi Museum Puri Lukisan………………….
68
4.3.1 Angkul-angkul dan Halaman Utama Museum Puri Lukisan
74
4.3.2 Gedung Pertama (Gedung Utara) …………………………
75
4.3.3 Gedung Kedua (Gedung Barat)…………………………...
85
4.3.4 Gedung Ketiga (Gedung Timur)…………………………..
94
4.3.4 Gedung Keempat (Gedung Selatan)………………………
103
4.4 Koleksi-koleksi Museum Puri Lukisan yang Dapat Dimanfaatkan Sebagai Sumber belajar Sejarah Kebudayaan ……………………
110
BAB V PENUTUP 5.1 Simpulan …………………………………………………………
128
5.2 Saran-Saran ……………………………………………………...
131
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN
viii
DAFTAR GAMBAR Gambar 4.1
Halaman
Sketsa Rancangan Awal Gedung Museum Puri Lukisan yang Dibuat Oleh Rudolf Bonnet…………………………………..
69
4.2
Pintu Depan (Angkul-angkul) Museum Puri Lukisan………...
74
4.3
Halaman Utama Museum Puri Lukisan……………………….
75
4.4
Vitrim Koleksi Patung Berbentuk Manusia…………………...
76
4.5
Vitrim Koleksi Patung Berbentuk Binatang…………………..
76
4.6
Sang Hyang Indra Menghidupkan Kembali Sang Sutasoma….
77
4.7
Garuda yang Lapar…………………………………………….
78
4.8
Tari Gambuh…………………………………………………...
79
4.9
Tari Keris………………………………………………………
79
4.10
Putusnya Jembatan Bambu Betung……………………………
80
4.11
Odalan…………………………………………………………
81
4.12
Tarian Barong Landung……………………………………….
82
4.13
Orang Minum dan Seekor Anjing……………………………..
83
4.14
Dewi Pertiwi…………………………………………………..
84
4.15
Garuda Makan Ular…………………………………………...
84
4.16
Sorga Neraka Dengan Hukum Karma Phala………………….
86
4.17
Tukang Patung Bali Sedang Bekerja………………………….
87
4.18
Tumpek Landep……………………………………………….
88
4.19
Siklus Kehidupan……………………………………………..
88
ix
4.20
Upacara Jayaprana…………………………………………….
4.21
Orang Bermain-main di Muka Istana dengan Keluarga
89
Bangsawan…………………………………………………….
90
4.22
Upacara di Pura………………………………………………..
91
4.23
Tumbal…………………………………………………………
92
4.24
Topeng…………………………………………………………
93
4.25
Kakek Sedang Duduk Termenung…………………………….
93
4.26
Sasih/kalender Bali…………………………………………….
95
4.27
Sita Labuh Geni……………………………………………….
96
4.28
Perang Subali dan Sugriwa……………………………………
96
4.29
Pemutaran Mandara Giri………………………………………
97
4.30
Arjuna Bertapa………………………………………………..
98
4.31
Terbunuhnya Niwatakawaca………………………………….
99
4.32
Adi Parwa…………………………………………………….
100
4.33
Naga Anantaboga…………………………………………….
101
4.34
Lelintangan……………………………………………………
102
4.35
Perang Boma……………………………………………….. …
102
4.36
The Landscape and Her Children……………………………..
104
4.37
Gugurnya Abimanyu………………………………………….
104
4.38
Cremation Procession…………………………………………
105
4.39
Mecaru…………………………………………………………
105
4.40
Pan Brayut……………………………………………………..
107
4.41
King of Frog…………………………………………………...
108
x
4.42
Senggama……………………………………………………...
108
4.43
Kunjungan Robert. F. Kennedy ke Puri Ubud………………..
109
4.44
Tjokorda Agung Sukawati Dengan Seorang Turis……………
109
4.45
Rudolf Bonnet dan Para Seniman Pita Maha…………………
110
xi
DAFTAR TABEL Tabel
Halaman
2.1
Jenis-jenis Sumber Belajar…………………………………..
26
4.1
Penggunaan Lahan Kelurahan Ubud Tahun 2012………….
39
4.2
Jumlah Penduduk Kelurahan Ubud Tahun 2012……………
40
4.3
Komposisi Mata Pencaharian Penduduk Kelurahan Ubud Tahun 2012………………………………………………….
4.4
Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan Tertinggi Di Kelurahan Ubud yang Ditamatkan Tahun 2012…………
4.5
71
Pemanfaatan Koleksi-koleksi Museum Puri Lukisan Dalam Pembelajaran Sejarah Kebudayaan………………….
4.8
43
Data Koleksi Lukisan dan Patung Museum Puri Lukisan Tahun 2013………………………………………………….
4.7
42
Jumlah Penduduk di Kelurahan Ubud Berdasarkan Agama Tahun 2012………………………………………….
4.6
41
116
Data Kunjungan ke Museum Puri Lukisan Periode Mei 2014…………………………………………………….
xii
127
DAFTAR PETA Peta
Halaman
4.1
Pulau Bali dan Lokasi Penelitian…………………………
38
4.2
Lokasi Museum Puri Lukisan…………………………….
38
xiii
DAFTAR BAGAN Bagan
Halaman
3.1
Gambar Trianggulasi Sumber/Data…………………………
34
3.2
Proses Analisis Data………………………………………...
34
4.1
Struktur Pemerintahan Kelurahan Ubud…………………….
47
4.2
Struktur Pengelolaan Museum Puri Lukisan………………...
65
xiv
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Kebudayaan merupakan segala ciptaan manusia pada hakekatnya hasil usaha manusia untuk memberi bentuk serta susunan baru kepada pemberian alam, sesuai dengan kebutuhan jasmani dan rohaninya (Soekmono, 1958 : 9 dalam Asmito, 1992 : 23). Hal tersebut terlahir dari rasa, cipta dan karsa manusia yang diwujudkan dalam berbagai produk sebagai suatu warisan budaya dari suatu bangsa. Akan tetapi, interaksi antara bangsa yang satu dengan bangsa yang lainnya dapat mengancam warisan budaya yang dimiliki. Bersamaan dengan keadaan ini, benda-benda warisan budaya yang patut kita banggakan satu persatu lepas dari tangan kita ke pihak lain. Beberapa diantaranya yang tidak menyadari akibat andaikata seluruh kekayaan warisan budaya lenyap dan merugikan generasi mendatang, tidak segan-segan melepaskan untuk orang lain (Budiastra, 1982 : 19). Oleh sebab itu, untuk melestarikan dan menjaga warisan budaya, diperlukan suatu wadah atau tempat yang sering disebut dengan Museum. Tidak hanya sebagai cagar budaya, museum juga
2
dapat dijadikan sebagai bahan studi oleh kalangan akademis, dokumentasi kekhasan masyarakat tertentu ataupun dokumentasi dan pemikiran imajinatif di masa depan (Sutaarga, 1999/2000 : 46). Salah satu museum yang lekat dengan sejarah perkembangan seni khususnya seni lukis dan seni patung adalah Museum Puri Lukisan. Museum ini terletak di Kelurahan Ubud, Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar. Posisinya yang berada di kawasan pariwisata menyebabkan museum ini tidak hanya dikunjungi oleh wisatawan lokal saja, tetapi juga oleh berbagai wisatawan mancanegara. Koleksikoleksi yang terdapat dalam Museum Puri Lukisan tidak hanya dapat dinikmati dari perspektif seni saja tetapi juga dari perspektif sejarah, hal itu karena museum ini menyajikan perkembangan karya seni lukis dan patung yang ada di Bali secara periodik. Namun, kebanyakan orang khususnya para peserta didik tidak mengetahui nilai-nilai sejarah yang dimiliki museum ini dan cenderung berasumsi bahwa keberadaan museum ini hanya cocok dijadikan sebagai referensi mata pelajaran seni budaya. Gagasan ini diperkuat Pradnya (17 tahun) selaku siswa kelas XI IPB di SMA Negeri 1 Ubud yang diwawancarai tanggal 2 April 2014 menyatakan: “…saya tidak mengetahui sejarah keberadaan Museum Puri Lukisan ini sebelumnya. Menurut saya, museum Puri Lukisan banyak menyimpan koleksi-koleksi lukisan dan patung yang indah. Ketika SMP saya biasa berkunjung ke museum ini untuk kegiatan muatan lokal melukis sehingga museum ini lebih cocok dijadikan tempat belajar seni”. Pernyataan tersebut didukung oleh Bianca (17 tahun) yang merupakan salah satu siswi kelas XI IPB di SMA Negeri 1 Ubud yang diwawancarai tanggal 2 April 2014 menyatakan:
3
“…saya tidak begitu mengetahui asal-usul serta sejarah berdirinya museum Puri Lukisan. Sejak SD hingga sekarang saya pernah beberapa kali mengunjungi museum dan hanya melihat-melihat karya lukisan dan patung tanpa mengetahui unsur sejarah yang ada di dalamnya. Pastinya, yang saya tahu, museum ini layak dijadikan tempat belajar seni karena di sana banyak terdapat karya seni lukisan dan patung”. Berdasarkan wawancara di atas, Museum Puri Lukisan diharapkan dapat difungsikan sebagai sumber referensi tambahan bagi pembelajaran sejarah khususnya sejarah kebudayaan yang tujuannya agar materi yang diberikan di kelas dapat lebih variatif dan tidak menjemukan mengingat mata pelajaran sejarah sering dianggap tidak penting dibandingkan mata pelajaran lainnya. Hal tersebut sesuai dengan pendapat yang dipaparkan oleh Harianti (2013 : 5) yang mengungkapkan bahwa“…pembelajaran sejarah yang ada di sekolah cenderung disepelekan. Hal ini karena penggunaan metode pembelajaran yang monoton, kurangnya penggunaan media pembelajaran serta kepribadian guru yang cenderung kaku dan kurang terbuka menjadi kunci utama mata pelajaran sejarah dan guru sejarah kurang disenangi siswa”. Pendapat itu diperkuat oleh Gandhi dalam Sutjiatiningsih (1995 : 54) yang menjelaskan bahwa“…pendidikan sejarah menurut siswa hanya bersifat hafalan. Karena bersifat hafalan, seolah-olah pendidikan sejarah dapat dipelajari di rumah. Materi yang dipelajari pun hanya berasal dari catatan-catatan seperti yang dijelaskan oleh guru pengajar di depan kelas, tanpa ada kemamuan untuk memperoleh atau menambah dan mengembangkan dari sumber-sumber lain”. Para siswa dianggap belajar sejarah hanya sekedar untuk mendapatkan nilai saja, setelah itu tidak ada keinginan untuk mengulang lagi pelajaran yang telah diberikan.
4
Untuk mengurangi kendala yang dialami oleh tenaga pendidik dalam memberikan pembelajaran sejarah, Sanjaya, (2006 : 175) mencoba memberikan solusi bahwa “…dalam pengajaran tradisional, guru sering hanya menetapkan buku sebagai sumber belajar. Dalam proses pembelajaran yang dianggap modern sesuai tuntutan standar proses pendidikan dan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya teknologi informasi, maka sebaiknya guru memanfaatkan sumber-sumber lain selain buku”. Gagasan ini diperkuat oleh Suparno ((1998/1999 : 39) yang menjelaskan bahwa “…banyak tempat di sekitar kita yang potensial menjadi sumber belajar tetapi luput dari perhatian para pendidik. Di kotakota besar terdapat museum, kebun binatang, kebun raya tetapi belum sepenuhnya dimanfaatkan”. Dengan demikian, salah satu sumber belajar yang yang dapat digunakan adalah koleksi Museum Puri Lukisan sebagai sumber belajar sejarah kebudayaan, khususnya ditujukan untuk SMA kelas XI Program Bahasa. Dalam kurikulum KTSP, Standar Kompetensi yang menunjang adalah menganalisis perkembangan Bangsa Indonesia sejak masuknya pengaruh Barat sampai dengan pendudukan Jepang. Sedangkan Kompetensi Dasar yang relevan adalah menganalisis perkembangan pengaruh Barat dan perubahan ekonomi, demografi, dan kehidupan sosial budaya masyarakat Indonesia pada masa kolonial dengan topik materi perkembangan kebudayaan masa kolonial. Berdasarkan kajian pustaka yang sudah dilakukan sebelumnya, penelitian mengenai museum sudah ada beberapa yang menulisnya. Misalnya oleh Sugitayasa (2010), dengan judul Museum Subak Mandala di Desa Sanggulan, Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan. Pokok permasalahan adalah kajian sejarah dan
5
fungsinya sebagai pengembangan literasi kebudayaan agraris. Di samping itu juga ditulis oleh Sustrawan (2011) dengan judul Museum Arkeologi Gedong Arca di Desa Bedulu Gianyar Bali. Pokok permasalahannya adalah tentang sejarah, struktur dan fungsinya sebagai sumber belajar sejarah (Studi Kasus di SMP 3 Tampaksiring). Sri Jayanti (2012) dengan judul Museum Pasifika Nusa Dua. Pokok permasalahannya adalah tentang faktor-faktor pedirian museum, struktur dan nilai-nilai pendidikan multikultur yang ada di dalamnya. Aspriyanti (2012) dengan judul Museum Gunung Api Batur. Pokok permasalahannya adalah faktor-faktor pendirian museum dan fungsinya sebagai pembelajaran IPS. Dari beberapa penulisan mengenai museum hampir seluruhnya membahas tentang sejarah, struktur dan fungsi maupun unsur pendidikan yang terkandung di dalam museum. Khusus untuk kajian Museum Puri Lukisan, museum ini memang lebih memfokuskan pada perspektif seni tapi bisa dikaji ke aspek sejarah kebudayaan. Hal ini mendorong penulis untuk meneliti tentang “Identifikasi Koleksi Museum Puri Lukisan di Kelurahan Ubud, Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar, Bali (Kajian Sejarah, Struktur, dan Fungsinya Sebagai Sumber Belajar Sejarah Kebudayaan di SMA Kelas XI Bahasa)”.
1.2 Rumusan Masalah Dari uraian latar belakang diatas dapat ditarik beberapa rumusan permasalahan antara lain; 1.2.1
Bagaimana latar belakang berdirinya Museum Puri Lukisan ?
6
1.2.2
Bagaimana tata ruang dan koleksi-koleksi yang terdapat di Museum Puri Lukisan ?
1.2.3
Koleksi-koleksi apa saja yang terdapat dalam Museum Puri Lukisan yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber belajar sejarah kebudayaan ?
1.3 Tujuan Penelitian Dari pemaparan rumusan permasalahan diatas, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini antara lain; 1.3.1
Untuk mengetahui latar belakang berdirinya Museum Puri Lukisan.
1.3.2
Untuk mengetahui tata ruang dan koleksi-koleksi yang terdapat di Museum Puri Lukisan.
1.3.3
Untuk mengetahui koleksi - koleksi yang terdapat dalam Museum Puri Lukisan yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber belajar sejarah kebudayaan.
1.4 Manfaat Hasil Penelitian Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian yang sudah diuraikan sebelumnya, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut. 1.4.1
Manfaat Teoretis Secara teoretis, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk mengembangkan pengetahuan tentang keberadaan sebuah museum beserta
7
fungsinya sebagai sumber belajar khususnya sumber belajar sejarah kebudayaan. 1.4.2
Manfaat Praktis Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi dunia pendidikan dan pengajaran sejarah yang belakangan ini kurang diminati oleh siswa.
1.4.2.1 Bagi Guru, khususnya guru sejarah, penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai bahan masukan dan pembaharuan terkait dengan pembelajaran yang menggunakan metode pembelajaran karya wisata (di luar kelas). 1.4.2.2 Bagi Mahasiswa, penelitian ini dapat digunakan sebagai salah satu sumber referensi alternatif untuk memahami keberadaan museum khususnya yang menyangkut fungsinya sebagai sumber belajar. 1.4.2.3 Bagi Peneliti Sendiri, hasil penelitian ini dapat peneliti manfaatkan sebagai pengetahuan dalam pembelajaran sejarah. Penelitian ini juga menjadi acuan untuk peneliti sendiri sebagai calon guru yang profesional dalam mengungkapkan suatu permasalahan menjadi sebuah tulisan sejarah. 1.4.2.4 Bagi Peneliti Berikutnya, hasil penelitian ini memberikan berbagai manfaat. Terkait dengan itu, peneliti berikutnya dapat melakukan penelitian replikasi dengan mengambil subjek, fokus, dan rancangan penelitian yang sama dengan penelitian ini. Dari hasil penelitian tersebut diperoleh temuan pembanding, yang mungkin memperkuat atau menolak hasil penelitian ini. Di samping itu, peneliti berikutnya dapat pula
8
mengambil situs, fokus, dan rancangan penelitian yang berbeda dengan penelitian ini, tetapi tetap terkait dengan topik yang sama. 1.4.2.5 Bagi Pemerintah, agar terus dapat menjaga dan melestarikan semua peninggalan-peninggalan sejarah maupun hasil karya seseorang agar tidak punah dimakan zaman sehingga nantinya dapat menumbuhkan rasa apresiasi di kalangan generasi muda.
9
BAB II LANDASAN TEORI
2.1 Konsep Umum Pendirian Museum 2.2.1 Pengertian Museum Secara etimologis, museum berasal dari bahasa Yunani, “mouseion” yang sebenarnya merujuk kepada nama kuil untuk sembilan Dewi Muses, anak-anak Dewa Zeus yang melambangkan ilmu dan kesenian. Kemudian, International Council of Museums atau ICOM memaparkan definisi museum secara umum sebagai institusi permanen yang nirlaba dan melayani kebutuhan publik dengan sifat yang terbuka yang diwujudkan dengan cara melakukan usaha pengkoleksian, mengkonservasi, meriset, mengkomunikasikan, serta memamerkan benda nyata kepada masyarakat untuk kebutuhan studi, pendidikan dan kesenangan. (Sutaarga, 1999/2000 : 46). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa museum merupakan gedung yang digunakan sebagai tempat untuk pameran tetap benda-benda yang patut mendapat perhatian umum serta peninggalan sejarah, seni dan ilmu serta sebagai tempat menyimpan barang kuno (Sulistyo dan Mulyono, 2000: 253). Lebih lanjut
10
terkait dengan pengertian Museum, Gerthud Rudlof Hille dalam Sutaarga (1999/2000 : 4) menyatakan bahwa “…museum bukan saja mengumpulkan barang-barang antik (barang-barang bagi penyelidikan ilmu pengetahuan), tetapi barang-barang itu adalah warisan kebudayaan dan segala hubungannya harus dipamerkan kepada umum (dapat menambah pengetahuan semua orang”.
2.1.2 Latar Belakang Pendirian Museum Museum merupakan institusi penting dalam pembangunan kebudayaan bangsa. Museum didirikan untuk kepentingan pelestarian warisan budaya dalam rangka pembinaan dan pengembangan budaya bangsa, juga sebagai sarana pendidikan non formal. Hal tersebut tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1995 yang menyebutkan bahwa museum adalah lembaga, tempat penyimpanan, perawatan, pengamanan dan pemanfaatan bukti materiil hasil budaya manusia, alam, dan lingkungannya guna menunjang upaya perlindungan dan pelestarian budaya bangsa yang nantinya dapat digunakan untuk meningkatkan martabat bangsa Indonesia. Berdasarkan Peraturan Pemerintah ini, museum memiliki tugas menyimpan, merawat, mengamankan, dan memanfaatkan koleksi museum berupa benda cagar budaya, alam maupun lingkungannya (Aspriyanti, 2012 : 12). Bagi dunia pendidikan, keberadaan museum sangat mendukung bagi tercapainya keberhasilan dalam mencapai tujuan pendidikan. Hal itu karena museum dengan dunia pendidikan mempunyai tujuan yang sama, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa serta pelestarian nilai luhur bangsa kita walau dengan cara yang berbeda (Budiastra, 1972 : 19). Di sekolah pencapaian pendidikan dilakukan melalui
11
interaksi antara guru dengan murid sedangkan di museum interaksi yang terjadi adalah interaksi antara benda koleksi dengan pengunjung yang datang untuk melihat dan mencoba untuk menarik makna yang terkandung di dalamnya. Museum sebagai perguruan untuk umum, tetapi juga bukan tempat untuk bersantai, memerlukan tenaga-tenaga ahli, tenaga pengelola, tenaga-tenaga pengasuh, yang di samping keahlian, keterampilan dan keperkaan terhadap lingkungannya, juga memerlukan sikap dan itikad pamong-pamong pendidikan dan kebudayaan yang bekerja sebagai pamong, memberikan pelayanan ilmiah, edukatif-kultural tanpa pamrih (Sutaarga, 1999/2000 : 46). Hal itu didukung oleh Olofsson (1991 : 7) yang menyatakan bahwa “...museum berperan memberikan penerangan kepada subyek belajar maupun masyarakat umum tentang berbagai hal yang menyangkut ilmu pengetahuan dan teknologi serta mengetahui bagaimana tentang perubahan sosial budaya yang melingkupi kehidupan masyarakat dalam konteks zamannya”. Diharapkan museum dapat membina dan membentuk ahlak, budi pekerti, watak atau kepribadian yang memberi ciri khusus Bangsa Indonesia. Disinilah museum berperan penting sebagai sarana pendidikan nonformal melalui program-program edukatifkulturalnya dengan berpedoman pada tiga pilar kebijakan permuseuman Indonesia, yaitu : 1) Mencerdaskan bangsa, 2) Kepribadian Bangsa, dan 3) Ketahanan Nasional dan Wawasan Nusantara.
2.1.3 Fungsi Pendirian Museum Menurut Sugiartha dkk (2004: 8) dalam Warmadewi (2012), Secara garis besar, museum memiliki beberapa fungsi antara lain dijabarkan sebagai berikut:
12
a. Menghindarkan bangsa dari kemiskinan kebudayaan Tugas museum adalah sebagai badan yang kompeten untuk turut menghindarkan bangsa dari kemiskinan budaya yang artinya bahwa museum merupakan suatu badan yang ikut membendung, mempertahankan, memelihara, dan mengamankan hasil-hasil budaya masyarakat dan menghindarkannya dari kehancuran dan kemusnahan sebagai akibat dari proses akulturasi dan penetrasi kebudayaan (Rangkuti, 2002: 133). b. Memajukan kesenian dan kerajinan rakyat Dalam era IPTEK dewasa ini sudah menjadi pemandangan umum bahwa melalui sejarah perkembangan masyarakat seperti masuknya hasil teknologi luar negeri lewat perdagangan ke tangan masyarakat, dalam waktu yang relatif pendek berakibat terdesaknya kerajinan rakyat. Oleh sebab itu, apabila diteliti lebih lanjut, kerajinan tangan tersebut memiliki suatu nilai yang sangat tinggi dari segi teknis maupun segi artistiknya dibandingkan dengan produk-produk luar negeri tersebut, sehingga masyarakat dituntut harus mampu melestarikan kesenian maupun kerajinan tersebut untuk kemajuan bangsa. c. Turut menyalurkan dan memperluas pengetahuan Museum memang dirancang sedemikian rupa untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga berperan untuk memberikan peneranganpenerangan yang serba visual dan praktis serta untuk ditujukan kepada masyarakat umum dan pelajar sehingga masyarakat dapat menambah pengetahuan tentang masa lampau.
13
d. Memberi kesempatan bagi penikmat seni Pada museum besar (yang jumlah koleksinya cukup banyak, baik yang bergerak di lapangan ilmu-ilmu sejarah dan budaya, maupun yang bergerak di lapangan ilmu pengetahuan dan teknologi) melakukan kegiatan rutin diantaranya mengadakan pameran keliling dengan sarana prasarana yang memadai. Cara lainnya yang ditempuh adalah meminjamkan koleksi-koleksinya untuk dipamerkan di museum lainnya yang terletak jauh dari pusat museum sehingga dapat membantu masyarakat yang berada jauh di pusat kota dapat menikmati museum keliling tersebut. e. Menjalankan fungsi edukatif Menurut Alisyabana sebagaimana dikutip oleh Sutaarga (1962:71) dikatakan “museum sebagai alat pendidikan zaman modern”. Keberadaan museum dalam menjalankan fungsinya sebagai media pendidikan dapat berperan untuk mendekatkan siswa tentang realitas masa lampau sekaligus dapat dijadikan pedoman di masa yang akan datang. Dalam konteks pendidikan, museum dapat berperan untuk memberikan penerangan kepada subyek belajar maupun masyarakat umum tentang berbagai hal yang menyangkut ilmu pengetahuan dan teknologi serta mengetahui bagaimana tentang perubahan sosial budaya yang melingkupi kehidupan masyarakat dalam konteks zamannya. f. Dalam bidang ekonomi, museum juga memiliki fungsi yang cukup besar dalam memajukan ekonomi suatu negara Museum dapat dimanfaatkan sebagai instrumen pengentasan kemiskinan, dengan cara museum dikembangkan sebagai perekonomian alternatif di tingkat daerah.
14
Maksudnya adalah keberadaan museum dikembangkan serta diberdayakan secara maksimal yang nantinya dapat dijadikan instrumen perekonomian masyarakat. Misalnya, di dekat museum seni dibangun pasar seni budaya yang menjual kerajinan-kerajinan lokal dan lain sebagainya. Jika letak museum itu di kawasan pariwisata, hal ini memungkinkan para wisatawan asing maupun lokal yang ingin mengunjungi museum ini guna menambah pengetahuan mereka (Sugiartha dkk, 2004 : 8) . Sutaarga (1999/2000 : 33-34) juga menyebutkan “…fungsi lain Museum sebagai suatu pranata sosial budaya, yakni sebagai badan budaya, museum tidak bertujuan
untuk
mencari
keuntungan”.
Bahwasanya
museum-museum
dan
peninggalan-peninggalan sejarah dan kepurbakalaan itu dijadikan tujuan para wisatawan asing untuk menunjang pengembangan industri pariwisata nasional, itu tentu sangat menguntungkan. Menguntungkan karena salah satu fungsi kegiatan museum adalah untuk memajukan perkenalan antar bangsa. Pameran-pameran keliling yang diselenggarakan secara antar bangsa memang sangat dianjurkan oleh UNESCO, dengan maksud untuk mempererat tali persahabatan antar bangsa dan untuk menjamin terselenggaranya perdamaian di antara umat manusia. Tentunya sebelum kita memantapkan diri memperkenalkan budaya yang kita miliki kepada bangsa lainnya, alangkah baiknya kita membangun karakter untuk mengapresiasi kebudayaan yang kita miliki terlebih dahulu. Dalam hal ini Seraya (1982/1983: 70) menyebutkan bahwa “…fungsi museum sebagai pengembangan generasi muda dalam rangka menemui kepribadiannya di tengah pembangunan karakter bangsa diharapkan agar dapat berperan menjadi sarapan rohani yang empuk,
15
memupuk apresiasi dan membina kecintaan terhadap budaya sendiri”. Hal itu tentunya semakin menonjolkan peranan museum sebagai informasi kebudayaan bangsa. Oleh sebab itu, dalam upaya membina rasa persaudaraan antar bangsa di dunia dapat dilakukan dengan cara memperkenalkan masing-masing kebudayaan. Tentunya kita dihadapkan oleh perbedaan kebudayaan yang beranekaragam sehingga diperlukan rasa apresiasi yang tinggi terhadap wujud kebudayaan di luar dari kebudayaan yang dimiliki. Langkah paling awal yang dilakukan agar kita mampu menghargai budaya bangsa lain adalah terlebih dimulai dengan menghargai budaya yang kita miliki yang mencerminkan kepribadian bangsa kita sendiri.
2.2 Tata Ruang dan Koleksi Museum Untuk mendirikan suatu museum yang baik perlu dipenuhi persyaratan tertentu. Persyaratan tersebut akan menjadikan suatu museum yang baru dapat berfungsi dengan baik, sesuai dengan yang tercantum dalam pengertian, fungsi maupun tujuan museum. Adapun persyaratan yang akan dibahas meliputi persyaratan untuk lokasi museum, bangunan museum, koleksi museum, peralatan museum, organisasi dan ketenangan. Maka dalam kajian pustaka kali ini yang akan dibahas adalah yang menyangkut tentang tata ruang museum dan koleksi museum.
2.2.1 Tata Ruang Dalam segi tata ruang, membangun sebuah museum harus diperlukan ruangan-ruangan yang diperlukan untuk kepentingan museum (pembagian ruangan,
16
jumlah dan ukuran ruangan, faktor elemen iklim yang berpengaruh dan sirkulasi udara yang baik, juga masalah sistem penggunaan cahaya). Sebaliknya dalam mendirikan gedung museum jangan hanya memikirkan kemegahan atau keindahan bangunan yang mungkin hal itu hanya akan menjadi monumen bagi arsiteknya, tetapi bangunan tersebut harus sanggup menyelamatkan objek museum, personel museum, dan pengunjung museum. Kesan bangunan museum tidak perlu angker, dingin tetapi harus punya kesan hangat dan mengundang. Oleh karena itu, gaya dan penampilan arsitektur museum dapat menjangkau lapisan masyarakat atas, menengah, dan rendah yang ditinjau dari keadaan sosial ekonomi masyarakat (Direkorat Museum Depbudpar, 2000:16). Lebih lanjut, (Ishaq, 1999/2000: 16-18) menyebutkan syarat-syarat yang digunakan untuk membuat tata ruang museum agar museum tersebut terkesan menarik antara lain; 1. Syarat-syarat umum a. Bangunan dikelompokkan dan dipisahkan menurut fungsi dan aktivitasnya, ketenangan, keramaian dan keamanan b. Pintu masuk utama (main entrance) adalah untuk pengunjung museum c. Pintu masuk khusus (service entrance) untuk lalu lintas, koleksi, bagian pelayanan, perkantoran, rumah jaga serta ruang-ruang pada bangunan khusus. d. Area publik atau umum terdiri dari bangunan utama (pameran tetap maupun pemeran temporer); auditorium; keamanan; giftshop dan kafetaria; ticket box dan penitipan barang; loby atau ruang istirahat; toilet; serta taman dan tempat parkir. e. Area seni publik yang terdiri dari bangunan administrasi (termasuk perpustakaan dan ruang rapat) f. Area privat terdiri dari laboratorium konservasi, studio preparasi, dan storage dan ruangan studi koleksi 2. Syarat-syarat khusus a. Bangunan uma (pameran tetap dan pameran temporer) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut;
17
-
Dapat dipamerkan serta memuat benda-benda koleksi yang akan dipamerkan - Mudah dicapai baik dari luar maupun dari dalam - Merupakan bangunan penerima yang memiliki daya tarik sebagai bangunan pertama yang dikunjungi oleh pengunjung museum - Mempunyai sistem keamanan yang baik, baik dari segi kontruksi, spesifikasi ruang untuk mencegah rusaknya benda-benda secara alami (cuaca dan lain-lain) maupun dari segi kriminalitas dan pencurian b. Bangunan auditorium harus mudah dicapai oleh umum dan dapat dipakai untuk ruangan diskusi, pertemuan dan ceramah. c. Bangunan khusus terdiri dari laboratorium konservasi, studi preparasi, storage dan studi koleksi, bangunan ini harus; - Terletak di daerah tenang - Mempunyai pintu masuk khusus - Memiliki sistem keamanan yang baik (terhadap kerusakan, kebakaran, kriminalitas) yang menyangkut segi-segi kontruksi maupun spesifikasi ruang d. Bangunan administrasi harus terletak strategis baik terhadap pencapaian umum maupun bangunan-bangunan lain dan mempunyai pintu masuk khusus (Ishaq, 1999/2000 : 16 - 18). Pendapat serupa juga diungkapkan oleh Seraya (1982/1983: 78) yang menambahkan bahwa struktur tata ruang museum yang baik hendaknya dapat memenuhi beberapa syarat terkait dengan upaya memamerkan koleksi yang dimiliki diantaranya; 1. Museum harus senantiasa menyediakan tempat penataan koleksi yang baik untuk pameran tetap dan berkala agar dapat menonjolkan nilai-nilai budaya termasuk etika dan estetika lewat arti simbol dari wujud koleksi itu sendiri. 2. Setiap ruangan dalam museum hendaknya memiliki cara atau metode yang diterapkan untuk menyampaikan pesan dan koleksi yang dipamerkan sehingga menimbulkan apresiasi bagi pengamatnya dan bisa berkolerasi dalam lingkungan alam budaya.
18
Intinya, dapat disimpulkan bahwa tata ruang dalam museum hendaknya dapat dirancang dengan menyesuaikan dengan keadaan di lingkungan sekitar museum guna melindungi koleksi museum, personel museum maupun pengunjung museum serta yang paling penting adalah keberadaan struktur bangunan museum dapat mengoptimalkan fungsinya untuk melayani masyarakat luas dalam menyajikan wujud kebudayaan dan refleksi kepribadian bangsa.
2.2.2 Koleksi Museum Koleksi utama museum adalah koleksi dan pamerannya. Jenis museum itu mengutamakan koleksi tertentu, pada gilirannya jenis-jenis koleksi itu merupakan petunjuk tentang pengutamaan dalam pemikiran konseptual museum yang bersangkutan (Sumadio, 1996 : 69). Koleksi asli menjadi salah satu ciri museum dan orang datang karena ingin melihat benda yang sesungguhnya. Koleksi museum yang dikumpulkan akan memberikan gambaran akan adanya suatu sistem nilai yang terpancar dari koleksi itu baik berupa wujud, tata kehidupan masyarakat, serta ide-ide atau gagasan yang terkandung pada budaya itu (Seraya, 1982/1983: 71). Makna yang terkandung dalam koleksi yang umumnya saling berkaitan dan merupakan sistem bulat dan menyeluruh yang menggambarkan tingkah laku masyarakat yang menciptakannya. Penentuan koleksi suatu museum diperlukan karena belum adanya keseragaman persyaratan koleksi baik untuk museum pemerintah maupun museum swasta. Untuk mendapatkan keseragaman persyaratan koleksi, maka diperlukan syarat-syarat sebagai berikut (Direktorat Museum Depbudpar, 2008: 18)
19
1. Mempunyai nilai sejarah dan ilmiah (termasuk nilai estetika) 2. Dapat diidentifikasi mengenai wujudnya (morfologi), tipenya (tipologi), gaya, fungsi, makna, asalnya secara historis dan geografis, serta periode dalam geologi khususnya untuk benda-benda sejarah alam dan teknologi. 3. Harus dapat dijadikan dokumen dalam arti sebagai bukti kenyataan dan kehadirannya (realitas dan eksistensinya) bagi peneliti ilmiah 4. Dapat dijadikan suatu monumen atau bakal jadi monumen dalam sejarah alam dan budaya 5. Benda asli (ralita), replika atau reproduksi yang sah menurut persyaratan umum Salah satu cara memperkenalkan koleksi kepada masyarakat adalah dengan mengadakan pameran yang terdiri atas dua jenis pameran yakni pameran tetap dan pameran temporal. Pameran tetap sifatnya permanen yang berjalan dalam waktu relatif lama sedangkan pameran temporal (temporer) sifatnya sementara waktu dan menampilkan suatu konsep tematis. Tujuan pameran adalah mendekatkan museum beserta koleksinya kepada masyarakat, sebab koleksi museum adalah subyek dan obyek ilmu pengetahuan. Koleksi museum sebenarnya merupakan subyek atau obyek bersifat multidimensional, dapat diteliti dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan atau sebaliknya bahwa koleksi museum dapat menjadi subyek dan obyek bermacammacam disiplin ilmu pengetahuan misalnya Ilmu Biologi, Geologi, Kedokteran, Teknologi, Ekonomi, Hukum, Antropologi, Sejarah, Arkeologi, Seni Rupa dan lainnya. Secara kasat mata, koleksi museum merupakan kumpulan benda peninggalan sejarah, alam dan warisan budaya. Menurut Atmaja (2011: 1) koleksi museum dapat diklasifikasikan sebagai berikut: 1. Etnografika adalah benda-benda koleksi yang merupakan hasil budaya atau menggambarkan identitas suatu etnis misalnya alat-alat teknologi tradisional, pakaian adat tradisional dan sebagainya.
20
2. Historika yakni benda koleksi yang mempunyai “nilai sejarah” dan menjadi objek penelitian sejarah misalnya senjata-senjata peninggalan penjajah Jepang dan Belanda. 3. Geologika yakni benda koleksi yang merupakan objek disiplin ilmu geologi, antara lain meliputi batuan, mineral, fosil, dan benda-benda bentukan alam lainnya. 4. Biologika yakni benda koleksi yang merupakan objek penelitian atau dipelajari oleh disiplin ilmu biologi, misalnya tengkorak atau rangka manusia, tumbuhtumbuhan dan hewan. 5. Arkeologika yakni benda koleksi yang merupakan hasil tindakan budaya sejak masa pra sejarah sampai masuknya pengaruh budaya barat. Jenis koleksi ini merupakan hasil budaya yang menjadi objek penelitian arkeologi. 6. Numismatika dan Heraldika. Numismatika adalah setiap mata uang atau alat tukar yang sah sedangkan heraldika adalah setiap tanda jasa, lambang dan tanda pangkat resmi termasuk cap atau stempel. 7. Filologika yang merupakan benda berupa naskah kuno yang ditulis tangan yang menguraikan sesuatu hal atau peristiwa, misalnya naskah La Galigo di Sulawesi Selatan, naskah Ka Ga Nga dari daerah Bengkulu. 8. Keramika adalah benda koleksi yang dibuat dari tanah liat yang dibakar berupa barang pecah belah. 9. Koleksi seni rupa adalah benda seni yang mengekspresikan pengalaman artistik manusia melalui dua atau tiga dimensi.
21
10. Teknologi (modern) adalah benda yang menggambarkan perkembangan teknologi yang menonjol berupa peralatan dan atau hasil produksi yang dibuat oleh suatu industri atau pabrik.
2.3 Sumber Belajar Sejarah 2.3.1 Tinjauan tentang Sumber Belajar Sumber belajar adalah segala macam sumber yang ada diluar diri peserta didik dan memudahkanya dalam proses belajar (Arsyad, 1997 : 102). Menurut Suparno (1998/1999 : 38) “...sumber belajar adalah manusia, bahan, kejadian atau peristiwa, setting, teknik, yang membangun kondisi yang memberikan kemudahan bagi anak didik untuk belajar memperoleh pengetahuan, keterampilan dan sikap”. Sumber belajar merupakan sesuatu yang berhubungan dengan usaha memperkaya pengalaman belajar siswa. Ada banyak sumber belajar yang bisa digunakan, misalnya buku, brosur, majalah, surat kabar, poster, lembar informasi lepas, naskah, peta foto dan lingkungan sekitar. Meskipun demikian, penggunaan sumber belajar tetap harus mempertimbangkan kesesuaian materi yang dipelajari dengan tujuan pembelajaran yang akan dicapai (Suyanto dan Asep, 2012 : 100). AECT (1977 : 60) dalam Sudjarwo (1988) menjelaskan,“…sumber belajar adalah berbagai atau semua sumber baik yang berupa data, orang dan wujud tertentu yang dapat digunakan oleh siswa dalam belajar baik secara terpisah maupun secara terkombinasi sehingga mempermudah siswa dalam mencapai tujuan belajarnya”. Kemudian, Degeng (1990 : 83) dalam Sustrawan (2011) menyebutkan bahwa “…sumber belajar mencakup semua sumber yang mungkin dapat digunakan oleh si
22
belajar agar terjadi perilaku belajar”. Hal ini diperjelas oleh Sanjaya (2006 : 174) yang menyebutkan bahwa, sumber belajar adalah segala sesuatu yang dapat dimanfaatkan oleh siswa untuk mempelajari bahan dan pengalaman belajar sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai. Dalam proses penyusunan perencanaan program pembelajaran, guru perlu menerapkan sumber apa yang dapat digunakan digunakan oleh siswa agar mereka dapat mencapai tujuan yang telah digunakan. 2.3.2 Pengertian Sumber Belajar Sejarah Menurut Widja (1989 : 91) sejarah adalah studi keilmuan tentang segala sesuatu yang telah dialami manusia di waktu lampau dan yang telah meninggalkan jejak-jejaknya di waktu sekarang. Penekanan perhatian diletakkan pada aspek peristiwanya sendiri, Dalam hal ini terutama yang bersifat khusus dari segi-segi urutan perkembangan yang kemudian disusun dalam suatu cerita sejarah. Dari pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa sumber belajar sejarah adalah segala macam sumber-sumber sejarah atau benda-benda peninggalan sejarah yang ada di sekitar lingkungan kegiatan belajar yang dapat membantu optimalisasi hasil belajar siswa. Untuk mewujudkannya, guru harus memiliki program tertentu di luar pembelajaran yang diperoleh di sekolah dengan mengupayakan agar siswa dapat belajar secara langsung di lingkungan, misalnya dengan mengadakan study tour maupun pembelajaran di luar kelas. Gagasan ini didukung oleh Pageh ( 2000 : 143) yang menjelaskan bahwa “…kita juga perlu memikirkan usaha-usaha atau saran bagi pengembangan kesadaran sejarah bagi keseluruhan masyarakat kita. Untuk tujuan itu, kita biasanya berpikir ke arah pendirian monumen-monumen, patung-patung,
23
museum-museum dan lain-lain”. Jika di tinjau dari betapa pentingnya peserta didik memperoleh pengetahuan tentang sejarah tentunya dalam kegiatan pembelajaran sejarah ini sangat dituntut keaktifan peserta didik, dan kretivitas seorang guru atau pendidik terutama guru bidang studi Pendidikan Sejarah sehingga Pendidikan Sejarah sudah mencerminkan tentang fungsi dan tujuan pendidikan nasional. Dalam memanfaatkan sumber belajar sejarah, hendaknya disesuaikan dengan kurikulum yang relevan, salah satunya adalah kurikulum KTSP. Implementasi kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) adalah bagaimana menyampaikan pesan -pesan kurikulum kepada peserta didik untuk membentuk kompetensi mereka sesuai dengan
karakteristik
dan
kemampuan
masing-masing.
Tugas
guru
dalam
implementasi KTSP adalah bagaimana memberikan kemudahan belajar (facilitate of learning) kepada peserta didik, agar mereka mampu berinteraksi dengan ingkungan eksternal sehingga terjadi perubahan perilaku (Mulyasa, 2010 : 178). Lebih lanjut, Sanjaya (2009 : 130) menambahkan “…salah satu prinsip KTSP berpusat pada potensi,
perkembangan,
kebutuhan
dan
kepentingan
peserta
didik
dan
lingkungannya”. Inti dari implementasi kurikulum KTSP adalah suatu penerapan ide, konsep, dan kebijakan kurikulum (kurikulum potensial) dalam suatu aktivitas pembelajaran sehingga peserta didik menguasai seperangkat kompetensi tertentu sebagai hasil interaksi dengan lingkungan. Dalam kurikulum KTSP, pengajaran sejarah hendaknya dilakukan tidak hanya menggunakan sumber-sumber belajar berupa buku saja, tetapi juga sumber-sumber belajar yang ada di lingkungan sekitar peserta didik seperti monumen, candi, museum dan lain sebagainya.
24
2.3.3 Jenis – jenis Sumber Belajar Sumber belajar memiliki ruang sumber belajar yang merupakan tempat sejumlah alat media, artefak atau benda-benda budaya, alat peraga, gambar, poster dan sebagainya. Sumber belajar yang berupa bahan atau alat diantaranya berupa buku referensi, buku cerita, gambar-gambar, narasumber, benda atau hasil budaya (Sudono, 2000 : 7-10). Sanjaya (2006 : 172-174) menyebutkan ada empat sumber belajar sebagai berikut: a. Manusia Sumber Manusia merupakan sumber utama dalam proses pembelajaran. Dalam usaha pencapaian tujuan pembelajaran, guru dapat memanfaatkannya dalam setting proses belajar mengajar. Misalkan untuk mempelajari undang-undang lalu lintas, guru bisa menggunakan sumber belajar utama siswa. Demikian juga untuk mempelajari topiktopik yang berhubungan dengan kesehatan, guru dapat memanfaatkan tenaga medis seperti dokter atau perawat b. Alat dan Bahan Pengajaran Alat adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk membantu guru, sedangkan bahan pengajaran adalah segala sesuatu yang mengandung pesan yang akan disampaikan kepada siswa. Alat dan bahan biasanya menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Yang menjadi bahan pelajaran diantaranya adalah buku-buku, majalah, koran dan bahan cetak lainnya, transparansi yang telah berisi pesan yang akan disampaikan, film slide, foto, gambar, dan lain sebagainya. Sedangkan yang termasuk pada alat adalah seperti overhead projector (OHP) atau alat pewayang
25
pandang untuk memproyeksikan transparansi, slide projector untuk menayangkan film slide, tape, video player memutar kaset audio dan video c. Berbagai Aktivitas dan Kegiatan Yang dimaksud aktivitas adalah segala perbuatan yang sengaja dirancang oleh guru untuk memfasilitasi kegiatan belajar siswa seperti kegiatan diskusi, demonstrasi, simulasi, melakukan percobaan dan lain sebagainya. d. Lingkungan atau Setting Segala sesuatu yang dapat memungkinkan siswa belajar, misalnya gedung sekolah, perpustakaan, laboratorium, taman, kantin sekolah dan lain sebagainya. Lebih lanjut, Sudjarwo (1988 : 142-143) menambahkan kategori sumber belajar dilihat dari segi tipe atau atau asal-usulnya menjadi 2 jenis yaitu a. Sumber belajar yang dirancang (learning resources by design) yaitu sumber belajar yang sengaja dibuat untuk tujuan intruksional. Oleh karena itu dasar rancangannya adalah isi, tujuan kurikulum dan ciri-ciri siswa tertentu. Sumber belajar jenis ini sering disebut sebagai bahan intruksional (Instructional materials). Contoh adalah bahan pengajaran terprogram, modul, transparasi untuk sajian tertentu, slide untuk sajian tertentu, guru bidang studi, film topik ajaran tertentu, video topik khusus, komputer instruksional, dan sebagainya. b. Sumber belajar yang mudah tersedia sehingga tinggal memanfaatkan (learning resources by utilization) yakni sumber belajar yang telah ada untuk maksud non intruksional, tetapi dapat dimanfaatkan sebagai sumber belajar yang kualitasnya setingkat dengan sumber belajar jenis by design. Contohnya antara lain: safari garden, kebun raya, taman nasional, museum bahari, museum wayang, museum
26
satria mandala, kebun binatang, film tentang binatang buas, biografi Soekarno, biografi Soeharto dan sebagainya. AECT (1977 : 60) dalam Sudjarwo (1988 : 141-142) lebih rinci menyebutkan jenis-jenis sumber belajar diantaranya dapat berupa pesan, orang, bahan, alat, teknik dan latar. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 2.1 dibawah ini:
Tabel 2.1 : Jenis-jenis Sumber Belajar Sumber Belajar Pesan
Orang Bahan
Alat
Teknik
Latar
Pengertian
Contoh
Informasi yang ditransmisikan atau diteruskan oleh komponen lain dalam dalam bentuk ide, ajaran, fakta, makna, nilai dan data Manusia yang berperan sebagai pencari, penyimpan, pengolah dan penyaji pesan Sesuatu wujud tertentu yang mengandung pesan atau ajaran untuk disajikan dengan menggunakan alat atau bahan itu sendiri tanpa alat penunjang apaun Sesuatu perangkat yang digunakan untuk menyampaikan pesan yang tersimpan dalam bahan tadi. Alat ini biasanya disebut hardware atau perangkat keras Prosedur yang runtut atau acuan yang dipersiapkan untuk menggunakan bahan, peralatan, orang dan lingkungan belajar secara terkombinasi dan terkoordinasi untuk menyampaikan ajaran atau materi pelajaran Situasi di sekitar proses belajar mengajar terjadi
Isi bidang studi yang dicantumkan dalam kurikulum pendidikan formal, dan non formal maupun dalam pendidikan informal Guru, dosen, guru membimbing, guru Pembina, tutor, siswa, pemain, pembicara, instruktur dan penatar Buku, modul, majalah, bahan pengajaran terprogram, transparasi, film, video tape, pita audio (kaset audio), filmstrip, microfiche dan sebagainya Proyektor slide, proyektor film, proyektor filmstrip, proyektor overhead (OHP), monitor televisi, monitor komputer, kaset rekorder, pesawat radio dan lain-lain Keller plan, belajar secara mandiri, belajar jarak jauh, belajar secara kelompok, simulasi, diskusi, ceramah, pemecahan masalah, tanya jawab dan sebagainya
Sumber : Sudjarwo (1988)
Lingkungan fisik: gedung, sekolah, perpustakaan, laboratorium, studio, dan sebagainya; Non fisik: tatanan ruang belajar, sistem ventilasi, tingkat kegaduhan lingkungan belajar, cuaca dan sebagainya
27
2.3.4 Manfaat Sumber Belajar Suatu kegiatan belajar mengajar akan lebih efektif dan efisien dalam usaha pencapaian tujuan instruksional. Suparno (1998/1999 : 41-42) menyebutkan manfaat sumber belajar antara lain; a. Secara umum, sumber belajar bermanfaat membantu siswa belajar lebih baik. Sebagaimana anda ketahui, hasil belajar masa lalu mempengaruhi masa kini dan hasil belajar masa kini akan berpengaruh kepada belajar masa depan. Pemahaman akan konsep, prinsip, dan prosedur secara benar akan lebih langgeng menjadi milik siswa jika mereka mengalami proses belajar yang bermakna. Hasil belajar tersebut dapat digunakan untuk memahami dan memecahkan masalah dalam waktu dan situasi yang berbeda. Hal tersebut menggambarkan keadaan siswa yang memiliki retensi belajar. b. Sumber belajar dapat mengakrabkan siswa maupun guru dengan lingkungan sekitar. c. Memungkinkan guru merancang dan melaksanakan program pembelajaran dengan lebih baik. d. Mendorong penerapan pendekatan pembelajaran siswa aktif. e. Memungkinkan partisipasi masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan. Narasumber dapat mengembangkan pengetahuan dan keahliannya untuk kepentingan anak didik. f. Sumber belajar memungkinkan kerjasama antar guru sehingga menumbuhkan rasa kebersamaan dan dengan demikian meningkatkan semangat kerja guru.
28
g. Adanya sumber belajar memungkinkan anak yang cepat belajar untuk melakukan kegiatan pengayaan (enrichment) pengalaman belajarnya. Sebaliknya, bagi anak yang lambat dimungkinkan untuk mempelajari bahan media dan bekerja dengan alat yang ada pada sumber belajar untuk memperbaiki hasil belajarnya. Kemudian, Rohani (2010 : 103) juga menyebutkan manfaat dari sumber belajar antara lain; a. Memberi pengalaman belajar secara langsung dan konkret kepada peserta didik. b. Dapat menyajikan sesuatu yang tidak mungkin diadakan, dikunjungi atau dilihat secara langsung dan konkret. c. Dapat menambah dan memperluas cakrawala sajian yang ada di dalam kelas. d. Dapat memberi motivasi yang positif apabila diatur dan direncanakan pemanfaatanya secara tepat. e. Dapat merangsang untuk berfikir, bersikap, berkembang lebih lanjut.
29
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Rancangan Penelitian Penelitian merupakan usaha untuk menemukan, mengembangkan dan melakukan verifikasi terhadap kebenaran suatu peristiwa atau suatu pengetahuan dengan memakai metode-metode ilmiah (Kartono, 1996 : 20). Metode merupakan cara berfikir dan berbuat yang harus direncanakan dengan baik untuk mengadakan penelitian dalam mencapai suatu hasil penelitian yang baik. Melakukan sebuah penelitian di masyarakat tentunya memerlukan sebuah pendekatan penelitian yang sesuai dengan apa yang menjadi sasaran dari penelitian tersebut. Dengan menggunakan pendekatan penelitian yang benar tentunya akan mempermudah jalannya suatu penelitian. Berkaitan dengan hal tersebut maka pendekatan penelitian yang dipakai dalam penelitian ini adalah pendekatan penelitian kualitatif.
30
3.2 Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Museum Puri Lukisan, Kelurahan Ubud, Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar, Bali. Museum Puri Lukisan ini merupakan tempat pariwisata yang memamerkan karya-karya seni lukis seniman-seniman Ubud dan sekitarnya.
3.3 Penentuan Informan Untuk memperoleh data yang akurat dan relevan dengan kajian penelitian, maka dalam menentukan informan, peneliti menggunakan teknik “purposive sampling”. Dalam “purposive sampling” dilakukan pengambilan sampel dengan sudah ada tujuannya dan sudah terencana sebelumnya. Disamping penentuan informal secara “purposive sampling” diikuti juga oleh teknik “snow ball” yakni peneliti mendatangi informan kunci pada lokasi penelitian, kemudian akan akan dilanjutkan dengan informan lainnya atas petunjuk informan pertama tentang siapa saja yang harus dihubungi. Dengan cara ini, diharapkan tidak saja jumlah informan yang bertambah tetapi juga data akan terus berkembang dan sekaligus memungkinkan untuk melakukan pengecekan data. Mengenai jumlah jumlah informan yang diwawancarai tidak ditentukan pasti, jumlah informan dibatasi agar lebih mudah melakukan pengumpulan data. Untuk menambah keakuratan data maka diusahakan informan yang ditentukan lebih variatif dan juga selalu dilakukan cros cek terhadap data yang didapat dari setiap informan sehingga data tersebut terjaga kesahihannya.
31
Dalam penelitian ini menggunakan informan kunci yaitu Ir. Tjokorda Bagus Astika (Kepala Divisi Museum) yang ditunjuk berdasarkan pertimbangan bahwa beliau memiliki pengetahuan yang memadai tentang masalah yang ingin dipecahkan dan layak dipakai sebagai narasumber. Informan kunci diharapkan menunjuk informan lain (membantu dalam masalah sejarah keberadaan, struktur tata ruang, koleksi Museum Puri Lukisan dalam penelitian ini seperti, Anak Agung Moning (kurator), I Made Suteja (Kepala Operasional) Drs. I Wayan Sudarsana M.Pd. dan Drs. I Made Labha Suwipra (guru di SMA Negeri 1 Ubud) serta beberapa siswa/siswi SMA Negeri 1 Ubud.
3.4 Teknik Pengumpulan Data Tahap ini merupakan kegiatan mencari dan menemukan sumber yang diperlukan. Berdasarkan sifatnya, sumber sejarah terdiri atas sumber primer dan sumber sekunder. Adapun teknik-teknik pengumpulan data yang digunakan untuk menemukan sumber-sumber sejarah antara lain, 1) teknik pengamatan langsung di lapangan atau observasi; 2) teknik pertanyaan mendalam atau teknik wawancara; dan 3) teknik studi pustaka atau dokumen.
3.4.1 Observasi . Dalam kegiatan observasi yang dilakukan untuk memperoleh data atau keadaan awal di lapangan, penulis dengan langsung terjun ke lokasi penelitian yakni Museum Puri Lukisan yang letaknya di Kelurahan Ubud. Adapun yang hal-hal yang perlu diamati antara lain: melihat secara langsung bagaimana kondisi dan
32
perkembangan Museum Puri Lukisan dilihat dari sejarah berdirinya, tata ruang dan koleksi-koleksi barang seni yang dimiliki, dan fungsinya sebagai sumber belajar sejarah. Dalam kegiatan observasi awal, penulis mencari dan merumuskan permasalahan yang akan dikaji dan juga menghubungi pihak-pihak yang bisa membantu penulis nantinya dalam melakukan penelitian.
3.4.2 Wawancara Adapun informan yang diwawancarai diantaranya : Ir. Tjokorda Bagus Astika (Kepala Divisi Museum), Anak Agung Moning (kurator), I Made Suteja (Kepala Operasional), Drs. I Wayan Sudarsana M.Pd. dan Drs. I Made Labha Suwipra (guru di SMA Negeri 1 Ubud) serta beberapa siswa/siswi SMA Negeri 1 Ubud. Dalam hal ini peneliti mengarahkan dan menggali informasi lebih jauh dan sesuai dengan apa yang diharapkan dan permasalahan yang diteliti. Dalam teknik wawancara, peneliti menggunakan teknik snow ball yaitu informan yang ditetapkan sebagai informan kunci nantinya diharapkan menunjukkan informan lainnya, wawancara sekaligus dipakai sebagai trianggulasi data dengan data yang diperoleh dari sumber tertulis, maupun hasil wawancara terhadap para informan satu maupun informan lainnya.
3.4.3 Teknik Analisis Dokumen Dokumen adalah surat tertulis atau tercetak yang dapat dipakai atau keterangan yang dapat dipakai bukti. Dokumen dibedakan menjadi dokumen pribadi dan dokumen resmi. Dokumen pribadi merupakan dokumen yang bersifat pribadi seperti catatan harian, agenda pribadi dan lainnya. Sedangkan dokumen resmi
33
merupakan dokumen yang bersifat resmi, kelembagaan, organisasi, dan komunitas. Studi dokumen merupakan suatu teknik pengumpulan data dengan menghimpun dan menganalisis dokumen-dokumen, baik dokumen tertulis, gambar maupun elektronik. Dokumen-dokumen yang dihimpun dipilih yang sesuai dengan tujuan dan fokus masalah. Di dalam kegiatan penelitian ini, penulis juga menggunakan beberapa sumber tertulis yang bisa dijadikan sumber seperti artikel karangan Seraya (1981/1982) tentang Museum Puri Lukisan, katalog Museum Puri Lukisan, artikel harian Nusa Bali yang berjudul “Seniman Ubud Padukan Pengaruh Timur dan Barat”, Profil Kelurahan Ubud, data BPS dan kajian pustaka lainnya yang relevan tentang keberadaan Museum Puri Lukisan yang kemudian diperkuat dengan melakukan dokumentasi berupa foto.
3.5 Validitas Data Untuk lebih menjamin dan meyakinkan suatu data yang akan dikumpulkan dalam penelitian ini, perlu dikembangkan teknik validitas data yang biasa digunakan dalam penelitian kualitatif yaitu teknik trianggulasi. Panton sebagaimana dikutip oleh Sutopo, (2002) menyatakan ada empat teknik trianggulasi yaitu (1) trianggulasi data, (2) trianggulasi peneliti, (3) trianggulasi metodologi dan (4) trianggulasi teoretis. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan trianggulasi data atau sumber meliputi sumber lisan dan sumber tertulis, hal ini dimaksudkan agar peneliti bisa mendapatkan data dari beberapa narasumber yang berbeda-beda posisinya dengan teknik wawancara mendalam, guna untuk membandingkan informasi dari narasumber yang
34
satu dengan informasi dari narasumber yang lain. Untuk jelasnya dapat dilihat penampilan gambar trianggulasi sumber pada bagan di 3.1 di bawah ini: Informasi 1 Data
Wawancara
Informasi 2 Informasi 3
Sumber: Sutopo (2002) 3.6 Teknik Analisis Data Analisis data menurut Panton yang dikutip oleh Moleong (1990: 103) adalah proses mengatur urutan data, mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, kategori dan satuan uaraian dasar. Analisis dalam penelitian kualitatif terdiri dari tiga komponen pokok yaitu reduksi data, sajian data, dan penarikan simpulan dengan verifikasinya. Ketiga komponen ini tidak dapat dipisahkan dan saling berinteraksi dalam hal pengumpulan data. Untuk lebih jelasnya, proses analisis dalam bentuk interaktif ini dapat digambarkan pada bagan 3.2 di bawah ini: Pengumpulan Data
Reduksi Data
Sajian Data
Penarikan Simpulan Sumber : Moleong, (1990)
35
Dalam penelitian yang akan dilakukan ini, langkah-langkah dalam analisis interaktif yang dilakukan peneliti adalah sebagai berikut: 1. Peneliti akan mengumpulkan data dari berbagai sumber, termasuk dari informan yang telah ditetapkan dengan berbagai pertimbangan. Kemudian begitu data diperoleh, tanpa menunggu data berikutnya peneliti langsung menganalisis data yang dimaksud. Ini artinya analisis data dimulai pada saat pertama data-data masuk kemudian disusul analisis data setiap kali data diperoleh. 2. Dari data yang diperoleh, peneliti mengolah dan menyusun pengertian singkatan dengan pemahaman arti segala peristiwanya yang disebut reduksi data 3. Langkah selanjutnya, peneliti akan menyusun sajian data yang secara sistematis dengan memperhatikan semua catatan-catatan yang diperoleh di lapangan. 4. Setelah berakhir, peneliti mulai menarik simpulan dengan verifikasinya yang berdasarkan semua hal yang terdapat dalam reduksi data dan sajian datanya. 5. Apabila simpulan dianggap kurang mantap, maka peneliti menggali lagi dalam filednote atau, 6. Peneliti melakukan pengumpulan data ulang, kasus data yang dianggap kurang memadai atau data meragukan tersebut dan, 7. Pengumpulan data, reduksi data, penyajian data serta verifikasi atau penarikan simpulan ini akan dilakukan secara bersambung dan berkelanjutan serta terus dilakukan sehingga diperoleh simpulan yang matang
36
8. Siklus pengumpulan data sampai verifikasi untuk data-data tersebut dilakukan oleh peneliti selama data diperoleh meragukan atau diragukan kesahihannya.
37
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian 4.1.1 Keadaan Letak dan Geografis Kelurahan Ubud Museum Puri Lukisan terletak di Kelurahan Ubud yang termasuk bagian dari Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar. Secara geografis, Kelurahan Ubud terletak pada 8 25 ’19” Lintang Selatan dan 115 14 ’42” Bujur Timur, dan berada pada ketinggian 325 m dari permukaan laut. Keberadaan Kelurahan Ubud terletak di tengah-tengah Pulau Bali, yang sangat mudah dicapai dari semua penjuru, baik dari provinsi, kabupaten maupun kecamatan. Dari Kota Provinsi yaitu Kota Denpasar berjarak 30 km, yang dapat ditempuh dalam kurun waktu sekitar 40 menit. Dari Kota Kabupaten Gianyar berjarak 15 km, yang dapat ditempuh dalam waktu 25 menit. Dari Kota Kecamatan Ubud berjarak 0,3 km. Adapun batas-batas wilayah Kelurahan Ubud dengan desa tetangga lainnya sebagai berikut: 1. Sebelah Utara
: Kecamatan Tegalalang
38
2. Sebelah Timur
: Desa Peliatan
3. Sebelah Selatan
: Desa Mas
4. Sebelah Barat
: Desa Sayan
Keadaan letak dan geografis Kelurahan Ubud dapat dilihat pada peta 4.1 dan 4.2 di bawah ini Peta 4.1 : Pulau Bali dan Lokasi Penelitian
Sumber : Diunduh pada Situs http.petanusantara.blogspot.com Peta 4.2: Lokasi Museum Puri Lukisan
Lokasi Museum Puri Lukisan
Sumber : Profil Pembangunan Kelurahan Ubud (Tahun 2013)
39
Bila diuraikan lebih jauh secara geografis, Kelurahan Ubud berada dalam jarak 40 km dari daerah pegunungan terdekat dan 15 km dari laut terdekat. Sedangkan untuk ke daerah sungai tidak sampai dalam hitungan kilometer, mengingat di dalam wilayah Kelurahan Ubud sendiri dilalui oleh aliran Sungai Wos. Bentuk permukaan tanah (bentang lahan) di wilayah Kelurahan Ubud adalah datar, dengan luas wilayah 732,05 Ha atau 7,32 Km2. Dari luas wilayah tersebut dan ditunjang dengan kondisi topografi seperti di atas, pemanfaatan lahan di wilayah Kelurahan Ubud telah mengalami perkembangan. Untuk lebih jelasnya tentang penggunaan lahan di Kelurahan Ubud dapat dilihat pada tabel 4.1 di bawah ini: Tabel 4.1 : Penggunaan Lahan Kelurahan Ubud Tahun 2012 Luas Penggunaan Lahan (Ha) 1 Areal persawahan 343,00 2 Areal pekarangan 222,27 3 Tanah Tegalan 148,39 4 Kuburan 1,65 5 Lainnya 16,74 Jumlah 732,05 Sumber : Profil Pembangunan Kelurahan Ubud (Tahun 2013) No
Jenis Penggunaan Lahan
Persentase (%) 46,85 30,36 20,27 0,23 2,29 100
4.1.2 Keadaan Demografis Kelurahan Ubud 4.1.2.1 Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin Keadaan penduduk Kelurahan Ubud berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada tabel 4.2 di bawah ini
40
Tabel 4.2 : Jumlah Penduduk Kelurahan Ubud Tahun 2012 Jumlah Penduduk (jiwa) 1 Laki-laki 5.609 2 Perempuan 5.515 Jumlah 11.124 Sumber : Profil Pembangunan Kelurahan Ubud (Tahun 2013) No
Jenis Kelamin
Persentase (%) 50,42 49,58 100
Berdasarkan tabel 4.2 di atas menunjukkan bahwa secara umum penduduk di Kelurahan Ubud lebih banyak penduduk laki-laki dibandingkan penduduk perempuan. Hal tersebut dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu, angka kematian penduduk perempuan lebih tinggi dari angka kematian penduduk laki-laki dan angka kelahiran penduduk perempuan cenderung lebih sedikit dibandingkan angka kelahiran penduduk laki-laki. Menurut data BPS Kabupaten Gianyar (2013) pada tahun 2012, angka kelahiran di Kelurahan Ubud adalah 24 orang untuk penduduk laki-laki dan 23 orang untuk penduduk perempuan sedangkan angka kematiannya adalah 12 orang untuk penduduk laki-laki dan 16 orang untuk penduduk perempuan.
4.1.2.2 Keadaan Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian Keadaan
penduduk
menurut
mata
pencaharian
dimaksudkan
untuk
mengetahui keadaan aktivitas penduduk terkait dengan kegiatan ekonomi yang dilakukan penduduk pada wilayah yang ditempati. Di Kelurahan Ubud sendiri memiliki berbagai macam jenis mata pencaharian. Untuk lebih jelasnya mengenai mata pencaharian penduduk dapat dilihat pada tabel 4.3 di bawah ini.
41
Tabel 4.3 : Komposisi Mata Pencaharian Penduduk Kelurahan Ubud Tahun 2012 Jumlah Penduduk (jiwa) 1 Pertanian 514 2 Peternakan 0 3 Perikanan 0 4 Perkebunan 0 5 Perdagangan 1.541 6 Industri 105 7 Listrik/air minum 2 8 Angkutan 124 9 Perbankan/lembaga keuangan 65 10 Pemerintahan/jasa-jasa 1.343 Jumlah 3694 Sumber : Profil Kelurahan Ubud (Tahun 2013) No
Jenis Mata Pencaharian
Persentase (%) 13,91 0 0 0 41,72 2,84 0,05 3,36 1,76 36,36 100
Berdasarkan tabel 4.3 dapat disimpulkan bahwa sektor perdagangan dan pemerintahan/jasa-jasa yang lebih mendominasi roda perekonomian di Kelurahan Ubud. Hal itu didukung oleh faktor pariwisata yang berkembang sehingga masyarakat cenderung bergantung kepada sektor perdagangan (menjual barangbarang seni) maupun jasa-jasa pariwisata. Meskipun jumlah penduduk yang menggeluti bidang pertanian lebih sedikit dibandingkan sektor perdagangan dan jasa, sektor pertanian juga memiliki peranan penting untuk kebutuhan pangan. Hal itu dapat dilihat dengan pemanfaatan luas lahan persawahan seluas 343,00 Ha. Sementara itu, dari sektor industri di Kelurahan Ubud belum banyak digeluti dan masih terbatas dalam industri rumah tangga (IRT).
42
4.1.2.3 Keadaan Penduduk Berdasarkan Pendidikan Tingkat pendidikan penduduk di suatu daerah sangat memperngaruhi tingkat pembangunan di daerah tersebut. Dengan mengetahui tingkat pendidik masyarakat, akan diketahui juga bagaimana kualitas tenaga kerja pada suatu daerah. Apabila taraf pendidikan masyarakat di suatu daerah tinggi, maka program pembangunan yang dirancang akan lebih terarah dan professional serta kesadaran masyarakat akan pembangunan yang berkelanjutan akan lebih tinggi. Komposisi penduduk menurut pendidikan akan disajikan pada tabel 4.4 di bawah ini. Tabel 4.4: Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan Tertinggi Di Kelurahan Ubud yang Ditamatkan Tahun 2012 Jumlah Penduduk (jiwa) 1 Belum sekolah 1.157 2 Belum tamat SD 2.469 3 Tamat SD 2.053 4 Tamat SLTP 1.259 5 Tamat SMU 3.367 6 Tamat Akademi/Perguruan Tinggi 819 Jumlah 11.124 Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Gianyar (Tahun 2013) No
Pendidikan
Persentase (%) 10,40 22,20 18,45 11,32 30,27 7,36 100
Mengacu pada tabel 4.4 di atas dapat diketahui bahwa secara umum pendidikan di Kelurahan Ubud sudah berjalan baik, hal itu dapat dilihat dari persentase jumlah penduduk yang menamatkan SMU yakni 30,27 % paling besar dibandingkan tamatan lainnya, sehingga hal itu membuktikan bahwa program pendidikan minimal 12 tahun yang dicanangkan pemerintah sudah berjalan sangat baik di Kelurahan Ubud. Posisi terendah adalah tingkat Akademi/perguruan tinggi
43
dengan persentase 7,36%. Namun, yang juga perlu diperhatikan adalah angka belum sekolah yang cukup tinggi yakni 10,40%. Hal ini perlu segera mendapat penanganan melalui pendidikan di luar sekolah misalnya dengan melakukan kejar paket B atau paket lainnya dan program pemberantasan buta aksara. Secara keseluruhan tamatantamatan di seluruh jenjang di atas sudah terprogram dengan baik dan SDM tersebut nantinya diharapkan dapat meningkatkan pembangunan di Kelurahan Ubud.
4.1.2.4 Keadaan Penduduk Berdasarkan Agama Keadaan penduduk di Kelurahan Ubud pada umumnya sangat homogen sehingga adat-istiadat maupun kultur budaya yang berlaku bersifat tunggal. Salah satu unsur budaya tersebut adalah agama. Berdasarkan data tahun 2012 menunjukkan bahwa Agama Hindu lebih dominan bahkan hampir bersifat absolut yang ditunjukkan dengan angka 11.116 jiwa (99,93%) dibandingkan dengan Agama Islam sebanyak 8 jiwa (0,07%). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dari tabel 4.5 di bawah ini: Tabel 4.5 : Jumlah Penduduk di Kelurahan Ubud Berdasarkan Agama Tahun 2012 No 1 2 3 4
Agama
Hindu Islam Kristen Buddha Jumlah Sumber : Profil Kelurahan Ubud (Tahun 2013)
Jumlah (jiwa) 11.116 8 0 0 11.124
Persentase (%) 99,93 0,07 0 0 100
44
4.1.3 Keadaan Sosial Ekonomi Kelurahan Ubud Struktur perekonomian Kelurahan Ubud mengedepankan industri pariwisata. Pembangunan pariwisata di Ubud dilakukan dengan cara melestarikan kebudayaan sebagai dasar menunjang pariwisata serta didasarkan pada norma-norma yang berlaku di masyarakat yang bernafaskan seni dan budaya yang dijiwai oleh Agama Hindu. Pariwisata yang dilaksanakan di Ubud sendiri adalah pariwisata budaya, dimana penyelenggaraan pariwisata budaya dilaksanakan berdasarkan azas manfaat, usaha bersama dan kekeluargaan, adil dan merata, percaya pada diri sendiri dan peri kehidupan, keseimbangan, keserasian dan keselarasan yang berdasar pada Agama Hindu. Pariwisata tersebut didukung dan saling dilengkapi keberadaannya oleh perdagangan (art shop), jasa-jasa, dan pertanian. Berdasarkan persentase, sektor perdagangan merupakan mata pencaharian dominan masyarakat Ubud dengan persentase 41,72 %, diikuti oleh jasa-jasa sebanyak 36,36 % dan pertanian kurang lebih 13,91 %. Perkembangan pariwisata yang pesat menyebabkan banyak sektor didominasi oleh arus pariwisata menyebabkan masyarakat Kelurahan Ubud yang memilih untuk berdagang dengan membuka art shop di pinggir jalan maupun di Pasar Ubud. keberadaan Pasar sebagai media pertemuan penjual dengan pembeli juga memberikan andil dari berkembangnya sektor Perdagangan di Kelurahan Ubud. Meskipun keberadaan Pasar Ubud, tidak otomatis didominasi oleh masyarakat Ubud, akan tetapi tetap saja keberadaanya memberikan pengaruh yang cukup signifikan bagi pertumbuhan perekomian masyarakat setempat. Pengelolaan Pasar Ubud itu sendiri berada di bawah tanggung jawab Pemerintah Kabupaten Gianyar melalui Dinas
45
Pendapatan dan Bagian Perekonomian Sekretariat Daerah Kabupaten Gianyar. Meskipun demikian dalam setiap upaya penataan maupun penertiban yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah, selalu melibatkan unsur Pemerintah Kelurahan dan LPM Kelurahan Ubud (Profil Kelurahan Ubud, 2009). Untuk sektor jasa didominasi oleh banyaknya akomodasi pariwisata seperti bungalows, hotel maupun jasa-jasa transportasi yang banyak ditemui di sekitaran Kelurahan Ubud. Sektor jasa ini dioptimalkan untuk menunjang kenyamanan para wisatawan yang berkunjung ke Ubud. Selain perdagangan dan jasa, denyut nadi pariwisata Kelurahan Ubud ditunjang oleh sektor pertanian yang menyuguhkan panorama hamparan sawah yang indah dan cukup menunjang dalam pembangunan. Sektor pertanian total memiliki areal seluas 343,00 Ha. Bila ditinjau dari aspek organisasi adat di bidang pertanian, kelurahan Ubud memiliki 6 subak yaitu : Subak Landu, Subak Angkeran, Subak Bungkuan, Subak Juwuk Manis, Subak Muwa dan Subak Padang Tegal dengan hasil pertanian utama adalah padi. Ketiga sektor utama ini didukung oleh karakteristik Kelurahan Ubud sebagai sebuah daerah tujuan pariwisata yang diunggulkan di Kabupaten Gianyar.
4.1.4 Keadaan Pemerintahan Kelurahan Ubud Sebagaimana umumnya setiap Desa atau Kelurahan yang ada di Bali, Kelurahan Ubud terbagi menjadi dua sistem pemerintahan, yaitu Desa Adat dan Desa Dinas. Luas Kelurahan Ubud yaitu 732,05 Ha atau 7,32 Km2 terbagi menjadi tiga belas Banjar Dinas, diantaranya: Banjar Ubud Kelod, Banjar Ubud Kaja, Banjar Ubud Tengah, Banjar Sambahan, Banjar Taman Kelod, Banjar Taman Kaja, Banjar
46
Bentuyung, Banjar Tegalantang, Banjar Junjungan, Banjar Padangtegal Kaja, Banjar Padangtegal Kelod, Banjar Padangtegal Tengah dan Banjar Padangtegal Mekarsari. Sedangkan secara aspek sosial keagamaan dan adat, Kelurahan Ubud terbagi dalam enam Desa Pakraman diantaranya: 1. Desa Pakraman Ubud 2. Desa Pakraman Taman Kaja 3. Desa Pakraman Bentuyung 4. Desa Pakraman Tegalantang 5. Desa Pakraman Junjungan 6. Desa Pakraman Padangtegal Struktur organisasi pemerintahan Keluruhan Ubud terdiri dari seorang Lurah yang
bertugas
menjalankan
pemerintahan,
pembangunan
kelurahan
dan
menyelesaikan masalah-masalah (seperti : perekonomian, sosial budaya, hukum dan lainnya). Lurah dibantu oleh Sektetaris Kelurahan yang dibawahnya terdapat empat Kepala Seksi (Kasi) diantaranya: (1), Kasi Pemerintahan dan Trantib, (bertugas menangani pemerintahan kelurahan dan menjaga keamanan dan ketertiban kelurahan); (2) Kasi Kesejahteraan Masyarakat (menangani masalah kesejahteraan masyarakat pembinaan terhadap KB, PKK, Karang Taruna dan lainnya); (3) Kasi Pembangunan (memberikan pelayanan di bidang ekonomi dan pembangunan) dan; (4) Kasi Pelayanan Umum (menangani masalah umum kelurahan). Selain itu, Lurah juga dibantu oleh Kepala Lingkungan (Kaling) yang bertanggung jawab langsung kepada Lurah. Untuk lebih jelas tentang struktur pemerintahan Kelurahan Ubud dapat dilihat pada bagan 4.1 di bawah ini:
47
Bagan 4.1 : Struktur Pemerintahan Kelurahan Ubud Kepala Kelurahan
Kasi Pemerintahan dan Trantib
I Wayan Parmadi, S.IP, MAP
Dewa Gede Agung Purnawan, S.H.
Kasi Kesejahteraan Masyarakat I Wayan Pering Sanjaya, S.E.
Sekretaris Kelurahan I Made Raka Adnyana, S.H.
Kasi Pembangunan Ni Nyoman Suartini, S.E., M.Si. Kasi Pelayanan Umum I Ketut Darma Wiyasa, S.E.
Kaling Ubud Kelod
Kaling Bentuyung
Kaling Taman Kelod
Dewa Made Adnyana, S.Pd
I Wayan Suma
I Gst Ngr Bgs Jayendra, S.T.
Kaling Ubud Tengah
Kaling Junjungan
Kaling Padangtegal Kaja
A.A. Gd Putra
I Wayan Tirta
I Made Suantara, S.T.
Kaling Ubud Kaja
Kaling Tegalantang
Kaling Padangtegal Mekarsari
I Wayan Subadi
I Wayan Sena
I Ketut Sada
Kaling Sambahan
Kaling Taman Kaja
Kaling Padangtegal Kelod
Ketut Ginarsa
I Kadek Indrawan, SE, M.M.
I Nyoman Oka Wirajaya Kaling Padangtegal Tengah A.A Gd Anom Sukawati
Sumber : Diolah dari Profil Kelurahan Ubud (2014)
48
4.1.5 Sejarah Singkat Kelurahan Ubud Sejarah Kelurahan Ubud tidak bisa dilepaskan dengan kisah perjalanan Rsi Markandhya. Disebutkan bahwa perjalanan Maha Rsi Markandhya dari Gunung Raung yang menurut Lontar Markandhya Purana, juga disebut Gunung Dewata, menuju Gunung Agung di Bali Dwipa Mandala (Bali). Pada waktu masih melakukan yoga, tapa samadhi di Gunung Raung atau Bukit Dewata (Jawa Timur), Maha Rsi Markandhya mendapatkan pawisik dari Sang Hyang Prajadhipa atau Sang Hyang Jagatnatha, agar membina dan melakukan yasakirti terhadap kawasan desa-desa di kaki Gunung Agung, Kahyangan Sang Hyang Pasupati, yang berasal dari salah satu agraning (puncak) Gunung Semeru, di Jawa Timur. Setelah mendapatkan pawisik seperti itu, Maharsi Markandhya kemudian mengumpulkan 800 orang Wong Aga (Wang Gunung), yang akan mengiring Maha Rsi Markandhya ke Gunung Agung, di Balidwipa Mandala. Berangkatlah rombongan Rsi Markandhya ke arah timur dengan turun di Pantai Pabahan Bali di Buleleng. Beliau beserta pengikutnya kemudian melakukan pembukaan hutan dengan menebangi kayu-kayu besar di lereng Gunung Agung (Gunung Tohlangkir) untuk membuat pemukiman dan lahan pertanian. Untuk mencapai lereng tersebut, bamyak hambatan yang ditemui tetapi berkat kewibawaan hasil yoga samadhi dan ketetapan hati Sang Maha Rsi untuk melaksanakan pawisik Sang Hyang Prajadhipa, akhirnya rombongan Maharsi Markandhya dengan 800 orang pengiring Wong Aga-nya akhirnya tiba dengan selamat di Gunung Agung(Bajra dkk, 2013: 14) . Maha Rsi Markandya kemudian menetap kawasan hutan belantara di kaki Gunung Agung. beliau lalu memberi petunjuk agar pengiringnya membuat pondok
49
untuk istirahat. Setelah semua pengiringnya membuat pondok, Sang Maha Rsi lalu memerintahkan agar semua pengikutnya mulai merabas hutan di kawasan kaki Gunung Agung yang angker itu. Akan tetapi banyak musibah-musibah yang dialami para pengikut beliau sehingga jumlah pengikut beliau dari 800 menjadi 200 orang (Parwata, 1999: 42). Pendapat tersebut diperkuat oleh salah satu Penglingsir Puri Agung Ubud yakni Tjokorda Raka Kerthiyasa, S.Sos., M.Si (58 tahun) selaku Bendesa Adat Ubud dengan wawancara pada 17 Juni 2014 menyatakan: “…setelah para pengikut Sang Maha Rsi merabas hutan beberapa hari, tiba tiba langit menjadi mendung dan hujan lebat pun turun. Hujan yang lebat itu, disertai oleh kilat petir yang menggelegar sambung - menyambung sehingga kawasan hutan itu seperti diguncang. Hujan itu tak pernah reda selama tujuh bulan sehingga langit di kawasan kaki Gunung Agung itu menjadi gelap gulita. Palung-palung di kaki Gunung Agung itu kebanjiran. Semua lembah penuh dengan genangan air. Seolah-olah dunia ini akan pralaya di akhir yuga. Kondisi alam yang seperti itu berakibat banyak diantara pengiring Sang Maha Rsi menjadi sakit mendadak yang kemudian meninggal. Selama kurun waktu tujuh bulan itu, dengan hujan deras yang tak henti-hentinya makin banyak pengiring Sang Maha Rsi yang sakit dan meninggal. Pagi sakit, waktu siang harinya meninggal. Pengiring yang masih hidup yang menggotong pengiring yang telah meninggal untuk dikuburkan, sorenya langsung mendadak jatuh sakit, lalu keesokan paginya telah meninggal. Demikianlah keadaan Wong Aga, pengiring Maha Rsi Markandya pada waktu itu. Itulah yang disebut Grubug Agung Bah Bedeg. Disamping para pengiring Maha Rsi Markandya banyak yang meninggal karena ditimpa sakit mendadak, banyak pula yang meninggal dan hilang karena dimangsa binatang buas, yang tak terbilang banyaknya di kawasan hutan di kaki Gunung Agung itu. Menjelang akhir bulan ketujuh, hujan mulai mereda . Akhirnya Wong Aga pengiring Sang Maha Rsi yang berjumlah 800 orang itu, hanya masih hidup 200 orang saja”. Menanggapi situasi dan kondisi seperti itu, Maha Rsi Markandhya memaklumi hal tersebut karena pada saat Sang Maha Rsi mulai merabas hutan di sana, belum melakukan Upacara Matur Piuning kehadapan Ida Bhatara Toh Langkir yang berstana di puncak Gunung Agung. Untuk keberhasilan melaksanakan pawisik dari Sang Hyang Prajadhipa atau Sang Hyang Pasupati untuk membina desa-desa di
50
kawasan kaki Gunung Agung itu, tidak mungkin dapat dilaksanakan hanya dengan 200 orang pengiring saja. Akhirnya Maha Rsi Markandhya kembali lagi mencari pengiring Wong Aga di kaki Gunung Raung, di Jawa Timur. Pengiring yang berhasil dikumpulkan berjumlah 400 orang. Pengiring yang berjumlah 400 orang ini semuanya membawa sekta atau paksa agama masing-masing, yang dianut oleh mereka sejak dari tanah Hindu (Bhatara Warsa - India). Jenisnya ada enam sekta (paksa), seperti yang dikemukakan dalam Lontar Sadagama di Bali. Masing-masing rinciannya adalah: (1) Sambhupaksa, (2) Brahmapaksa, (3) Indrapaksa, (4) Kalapaksa, (5) Bayupaksa dan (6) Wisnupaksa (Bajra, 2013: 14-15). Setelah beberapa hari tiba kembali di kawasan hutan kaki Gunung Agung, Maha Rsi Markandhya bersama para pengiringnya melaksanakan Upacara Matur Piuning kehadapan Ida Bhatara Toh Langkir dengan persembahan dan pemujaan caru atau tawur dan kemudian dilanjutkan dengan mendem Panca Datu, (emas, perak, besi, tembaga, dan tembaga) di lokasi yang disebut Basukihan, yang menjadi lokasi Pura Basukihan (Pura Besakih sekarang). Kata Basuki itu sendiri berasal dari bahasa Jawa Kuno yang berarti selamat. Maha Rsi Markandhya kemudian mengganti nama Gunung Tohlangkir menjadi Gunung Agung dan menamakan pulau ini menjadi Wali yang dikemudian hari menjadi Bali, yang berarti dimana semua akan selamat dan sejahtera dengan melaksanakan persembahan Yajna atau korban suci (Bajra, 2013: 16). Setelah melakukan serangkaian upacara, Maha Rsi Markandhya bersama 400 orang pengiring Wong Aga-nya menjadi selamat. Di bawah pimpinan Maha Rsi Markandhya sendiri, para pengiringnya membangun desa untuk mencari lokasi hutan
51
yang lain yang akan dirabas untuk berjalan ke arah barat daya dari Basukihan (Besakih sekarang) yang berlokasi di arah Neriti (barat daya) kaki Gunung Agung. Setelah rombongan menempuh perjalanan beberapa hari akhirnya rombongan Maha Rsi Markandhya tiba di suatu kawasan di sebuah bukit kecil yang melintang dari arah selatan ke arah utara. Di sebelah barat dan timur bukit yang melintang itu atau di sebelah kiri dan kanan bukit itu mengalir dua batang sungai yang airnya jernih sekali. Sehingga bukit yang melintang tersebut, seolah-olah bukit itu dibelit dan dijaga oleh dua buah naga yaitu Naga Ananta Bhoga dan Naga Vasuki (Basuki). Sosok bukit yang melintang itu bernama Gunung Lebah. Kedua sungai yang mengitari bukit itu, di sebelah baratnya bernama Tukad Yeh Wos Kiwa. Sedangkan sungai yang di sebelah timur Gunung Lebah itu disebut Tukad Yeh Wos Tengen. Kedua batang sungai itu, bertemu atau menyatu di bagian selatan Gunung Lebah dan kawasan itu kemudian disebut Campuhan (Pecampuhan). Dalam filsafat adisrsti (ciptaan mulia), Tukad Yeh Wos Kiwa juga disebut sebagai nyasa pradhana atau disebut Tukad Yeh Wos Luh. Sedangkan Tukad Yeh Wos Tengen, disebut sebagai nyasa purusha atau disebut Tukad Yeh Wos Muani. Pecampuhan atau pertemuan dan bersatunya antara purusha dan pradhana itu akan melahirkan adisrsti (ciptaan mulia) atau akan melahirkan kewibawaan dan kekuatan sakala dan niskala, seperti kekuatan yoga semadhi Maha Rsi Markandhya. Pernyataan diatas diperkuat oleh Dewa Gede Agung Purnawan, S.H. (45 tahun) selaku Kasi Pemerintahan dan Trantib Kelurahan Ubud pada wawancara tanggal 18 Juni 2014 menyatakan: “…ketika Rsi Markandhya melanjutkan perjalanan mulai dari lereng Gunung Agung menuju arah selatan, beliau kemudian menemukan sebuah lereng atau bukit kecil yang memanjang ke arah utara dan selatan. Bukit ini diapit oleh
52
oleh dua buah seungai yang bentuknya berliku yang mirip seperti ular atau naga. Sungai yang berada di sebelah barat disebut Sungai Wos Barat, sedangkan yang berada di sebelah timur disebut Sungai Wos Timur. Kedua Sungai Wos ini bertemu menjadi satu di sebuah lokasi yang dinamakan Campuhan, tepat di bawah dari Pura Gunung Lebah. Menurut kepercayaan, apabila kita menyucikan diri tepat di pertemuan sungai tersebut, kita akan dilimpahkan kesehatan dan keselamatan. Selanjutnya, di Campuhan inilah Rsi Markandhya mulai membuka pemukiman dan membagikan tanah pertanian kepada pengikutnya”. Pendapat tersebut diperkuat oleh Tjokorda Raka Kerthiyasa, S.Sos., M.Si pada wawancara tanggal 17 Juni 2014 yang menyatakan: “…Maha Rsi Markandhya yang merabas hutan di kawasan Gunung Lebah itu, sedikit sekali menemukan pohon-pohon kayu yang besar. Sama seperti sekarang, kondisi lingkungan di sekitar Gunung Lebah banyak ditumbuhi oleh alang-alang sampai ke perbatasan sosok Gunung Lebah di sebelah utaranya. Maha Rsi Markandhya bersama para pengiring Wong Aga-nya, di tempat itu lalu membangun parhyangan yang disebut Pura Gunung Lebah. Di punggung Gunung Lebah itu, di bagian utara dan selatannya tumbuh pohon Bodi dan dari bawahnya mengalir air yang kecil yang airnya jernih. Tempat keluarnya mata air itu disebut Taman Beji yang merupakan pasiraman dan pasucian Dewa dan Dewi yang berparhyangan di sekitar kawasan itu. Air ini terus mengalir ke sungai di kaki Gunung Lebah di bagian barat sampai ke tepi kedua jurang disana. Tidak jauh dari Pura Gunung Lebah dan sumber air di Taman Beji itu terdapat Pura Alit, yang airnya warnanya putih, sehingga air yang mengalir dari sana disebut Tirtha Banyu Tabah, yang memberikan hidup dan kehidupan. Selain dari air yang mengalir dari jurang - jurang yang tidak begitu dalam ada lagi keluar air yang menghadap ke timur yang disebut Tirta Sudhamala yang akan mamarisudha kekotoran fisik dan batin umat manusia dalam hidup dan kehidupan. Semua air dari Patirtha-patirthan tersebut akhirnva mengalir ke Sungai Campuhan sehingga kekuatan kesucian pecampuhan Tukad Yeh Wos Luh dan Tukad Yeh Wos Muani menjadi bertambah lagi yang memberi kesejahteraan hidup. Selain itu juga ada patirthan yang berlokasi di bagian timur laut Pura Gunung Lebah. Di salah satu tempat ada mata air yang keluar dari selatan menghadap ke utara. Tirtha ini disebut Tirtha Salukat yang mengalir juga ke Sungai Campuhan. Di bagian Tukad Yeh Wos Tengen di timur ada lagi tirtha yang keluar dari tengah gua menghadap ke selatan yang disebut Tirtha Ring Gua, tidak ada yang mengetahui fungsinya. Tirtha Ring Gua ini, mengalir ke selatan dan akhirnya juga mengalir ke Sungai Campuhan, sehingga kewibawaan dan kesucian Pecampuhan Tukad Yeh Wos Kiwa dengan Tukad Yeh Wos Tengen semakin bertambah lagi. Di sekitar tebing-tebing Gunung Lebah dan Pura Gunung
53
Lebah itu ada banyak sekali mata air yang keluar dan banyak diantaranya yang tidak bernama tetapi ada pula di antaranya yang bernama”. Sebutan Uos atau Wos untuk kedua sungai tersebut telah melekat menjadikan nama desa atau pemukiman jaman itu yang sesuai dengan maknanya. Menurut Tjokorda Gde Agung Suyasa (Alm) yang mengutif isi lontar Markandhya Purana itu “Wos atau Uos ngaran Usadi, Usadi ngaran Usada, dan Usada ngaran Ubad”. Dari kata Ubad ini ditranskripsikan menjadi “Ubud” (Parwata, 1999: 43). Demikianlah Sungai Campuhan yang kaya akan khasanah budaya memberi obat kebahagiaan kepada kita. Betapa tidak, air sungai dipergunakan untuk keperluan mengairi sawah dan keperluan hidup yang memberi kebahagiaan jasmaniah dan tirtha yang disucikan dapat memberikan kebahagiaan bathiniah .
4.2 Sejarah Berdirinya Museum Puri Lukisan Orang-orang sering menyebut nama museum ini dengan istilah yang berbedabeda. Ada yang menyebut “Museum Ratna Wartha’’,“Museum Ubud”,“Museum Puri Lukisan Ratna Wartha” dan sebagainya. Adanya sebutan simpang siur itu pada dasarnya bermaksud untuk mempertegas atau memudahkan ucapan saja. Namun, nama sebenarnya ialah “Museum Puri Lukisan” milik “Yayasan Ratna Wartha” yang terletak di Kelurahan Ubud. Lokasi Museum Puri Lukisan terletak di Kelurahan Ubud, Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar. Jaraknya dari kota Denpasar kurang lebih 24 km dan terletak di tempat yang cukup strategis di tengah-tengah destinasi pariwisata Ubud. Lokasi museum ini berada di atas tanah munduk yaitu sebidang tanah yang keadaannya agak tinggi, dikelilingi semak-semak, sawah dan sungai. Luas
54
tanahnya kurang lebih 1,3 Ha pada ketinggian 300 meter dari permukaan laut dan temperatur rata-rata 28ºC. letak tiap-tiap bangunan satu sama lainnya berjauhan. Menurut perencanaannya hal itu disesuaikan dengan situasi dan keadaan alam sekitarnya serta menurut kepentingannya. Setiap gedung menampilkan wajah tradisional Bali sekalipun pada bagian-bagiannya terdapat unsur-unsur modern. Penghijauan dilengkapi dengan taman yang terdiri dari kebun dan kolam. Pada celahcelahnya terdapat jalur setapak mulai dari bagian depan sampai pada gedung masingmasing. Dalam ruangan gedung terpajang hasil karya seni bernafaskan kebudayaan Bali. Keserasian antara bentuk dan tempat bangunan serta situasi sekitarnya menggambarkan suasana pedesaan yang terpisah dari kebisingan. Timbulnya gagasan mendirikan Museum Puri Lukisan itu sebenarnya berkaitan erat dengan sejarah suatu organisasi perkumpulan pelukis dan pemahat Bali bernama “Pita Maha”. Jauh sebelum Bali didatangi dan didiami oleh orang-orang Barat, seni lukis dan seni ukir Bali pada umumnya bergaya klasik tradisional, sebagai perkembangan lanjut dari kehidupan seni masa tradisi besar di Bali. Hasil seni serupa itu pada dasarnya menunjukkan ciri rasa pengabdian terhadap keagamaan dan kehidupan kemanusiaan. Di antaranya tercermin pada temanya yang mengambil isi cerita pewayangan seperti Ramayana, Maha Bharata, Sutha Soma dan cerita rakyat lainnya yang bersifat suci. Ungkapan tersebut pada umumnya dipakai orang untuk keperluan upacara sebagai alat perlengkapan, hiasan tempat-tempat suci dan ada pula dipakai pada bangunan tempat tinggal dan sebagainya. Sedangkan bahan-bahannya sebagian besar mempergunakan bahan lokal buatan Bali (Seraya, 1981/1982: 46).
55
Gagasan tersebut didukung oleh Anak Agung Moning (82 tahun) selaku kurator yang diwawancarai tanggal 16 Juni 2014 menyatakan bahwa: “…seperti yang kita ketahui, Bali terkenal di mata dunia karena hasil kebudayaannya khususnya keseniannya. Akan tetapi, saya yakin banyak generasi muda Bali yang tidak mengetahui asal mula ataupun akar hasil kesenian masyarakat Bali. Hasil polesan karya seni yang paling pertama dari masyarakat Bali berwujud pada lukisan pewayangan yang dinamakan Aliran Wayang Klasik. Lukisan pewayangan tersebut berkembang pesat di Desa Kamasan, Klungkung dan senantiasa mempergunakan bahan-bahan tradisional. Lukisan tersebut kalau kita perhatikan banyak kita temui pada hiasan-hiasan tempat suci di Pura maupun sebagai penghias ruangan terutama di Puri-puri yang ada di Bali. Kemudian, revolusi hasil kesenian Bali ditandai dengan masuknya pengaruh Barat ke Bali yang dibawa oleh para seniman asing membuat ragam kesenian Bali semakin berkembang. Tidak hanya pewayangan, tetapi juga sisi humanisme, realisme dan naturalisme turut mengakar dalam karya seniman Bali yang diperoleh dari seniman-seniman seperti; Rudolf Bonnet, Walter Spies, Mario Blanco, Arie Smith hingga Hans Snell yang semuanya menetap di Bali dalam jangka waktu yang lama, khususnya di Ubud”. Setelah masuknya pengaruh-pengaruh seniman Eropa ini barulah seni lukis di Bali mengalami perkembangan. Hal itu dapat dilihat dari wujud visual, seni lukis Bali pada saat itu sudah mulai mengenal anatomi, volume maupun perspektif. Selain itu, pengaruh dari seniman barat itu juga telah menambah pengetahuan bentuk, plastisitas, pengolahan ruang dan teknik melukis secara efisien serta dari sisi penggarapannya obyeknya, seniman Bali saat itu sudah mulai menggarap tentang kehidupan sosial masyarakat dan tentang alam sekitarnya, baik itu aktivitas manusia, pemandangan alam sawah, dan sebagainya sehingga perlahan obyek mengenai tokoh-tokoh pewayangan seperti Mahabrata dan Ramayana mulai sedikit dikesampingkan. Dengan dibukanya Bali sebagai obyek pariwisata pada tahun 1927 yang diikuti oleh datangnya seniman-seniman asing ke Bali yakni Walter Spies (seniman berkebangsaan Jerman) pada akhir tahun 1926 dan Rudolf Bonnet (seniman Belanda)
56
pada tahun 1928 membawa perubahan yang tidak kecil bagi perkembangan seni lukis dan ukir di Bali. Kedua tokoh seniman barat selama di Bali membimbing dan memberikan dasar-dasar baru dari pada perkembangan kehidupan karya seni para seniman Bali. Hal senada juga diungkapkan oleh Anak Agung Gede Rai (dalam artikel harian Nusa Bali tanggal 6 April 2014) yang menyatakan: “…tanpa ada unsur yang menggurui, puluhan seniman Ubud berinteraksi dengan Barat melalui Walter Spies (1893-1942) dan Rudolf Bonnet (18951978). Walter Spies mengkritisi karya seniman lokal, membuka diri untuk kerja sama secara teknis, membagi pengetahuan dan tanpa menggurui. Ia melahirkan sumber inspirasi bagi seniman Bali dalam mengolah kekayaan alam menjadi energi baru. Dengan demikian keindahan dan kecantikan alam Bali semakin mengemuka dalam kanvas. Alam mitologi Bali tidak lagi menjadi sesuatu yang tabu untuk diungkap oleh seniman lokal. Selain itu, ada hembusan inspirasi dari kepiawaian dan sensitivitas estetis Walter Spies dalam menyatakan kekeramatan, kesan mistis, kisah mitos (leak dan instalasi ciri Bali) dalam kanvas dan teknik gambar modern. Sedangkan Bonnet menjadi guru terbang bebas bea bagi pelukis Ubud, mengukuhkan kesenian sebagai life style sekaligus membimbing pencapaian kualitas karya yang berkarakter dengan memberi panutan bagaimana seorang seniman profesional, terdidik mesti bersikap terhadap kekayaan lokal yang luhur “. Kedua tokoh tersebut pada mulanya tertarik kesenian Bali. Begitu pula sangat prihatin terhadap kehidupannya. Oleh sebab itu, mereka mengusulkan suatu usaha untuk mengangkat kesejahteraan seniman agar hasil karya seni dapat berkembang sesuai dengan arah dan tujuan yang diinginkan. Pada tahun 1930 mereka memberikan suatu gagasan untuk mendirikan suatu organisasi kepada masyarakat khususnya para seniman. Gagasan tersebut mendapat dukungan dari Tjokorda Gede Agung Sukawati dan Tjokorda Gede Rai Peliatan dan tidak lama berselang gagasan itu dapat diwujudkan dengan nama “Pita Maha” yang diberikan oleh seorang sastrawan Ubud, Tjokorda Ngurah Lingsir. Organisasi ini memiliki tujuan yakni tidak mementingkan keuntungan matrial atau uang, melainkan ingin memajukan atau mengembangkan
57
hasil karya seni dan mengangkat kesejahteraan para senimannya. Pendapat tersebut didukung oleh oleh Anak Agung Gede Rai (dalam artikel harian Nusa Bali tanggal 6 April 2014) yang menyatakan bahwa: “…adanya organisasi Pita Maha yang didukung oleh Tjokorda Gede Agung Sukawati dan para seniman Barat khususnya Rudolf Bonnet turut serta memperbaiki tingkat kesejahteraan masyarakat Ubud, khususnya para seniman. Sosok yang menurut saya paling berperan penting adalah Rudolf Bonnet. Selain ia menjadi guru terbang bebas bea bagi seniman Ubud, ia juga dikenal sebagai sosok sensitif dan peduli akan realita seni, seni sebagai ritual dan yang paling penting dalam keberlangsungan hidup para seniman adalah bagaimana ia juga memfungsikan seni sebagai sumber pengidupan. Dengan demikian, ada sekat konotasi fungsi berkesenian kapan ngayah (diamalkan), kapan bayah (dibayar). Hal tersebut didukung oleh perkembangan pesat pariwisata sejak tahun 70’an hingga kini memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perkembangan seni yang dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat, khususnya para seniman”. Untuk melaksanakan maksud tersebut, selanjutnya dibentuklah kepengurusan dengan keanggotaan sebagai berikut : 1. Komisi Pengawas, terdiri atas 1. Rudolf Bonnet 2. Walter Spies 3. Tjokorda Gede Agung Sukawati 4. Tjokorda Gede Raka Sukawati 5. I Gusti Nyoman Lempad 6. M V Wessen, sebagai sekretaris 2. Para pengurus lainnya atau disebut Kelian, terdiri dari : 1. Punggawa Peliatan Tjokorda Gede Rai sebagai kelian gede (ketua kelian) 2. Anak Agung Gede Sobrat, kelian kelompok Padangtegal
58
3. Gusti Ketut Kobot, kelian kelompok Pengosekan dan Nyuh Kuning 4. Ketut Rodja, kelian kelompok desa Mas 5. Made Jasa, kelian kelompok desa Batuan 6. I Rijek, kelian kelompok desa Celuk 7. I Gusti Made Deblog, kelian kelompok Denpasar 8. Ida Bagus Gede, kelian kelompok desa Sanur 9. Pan Seken, kelian kelompok desa Kamasan, Klungkung Pada awal berdirinya, jumlah anggota kurang lebih 125 orang. Tentu dalam pengelolaannya badan pengurus dan komisi pengawas memiliki tugas dan kewajiban antara lain: 1. Melaksanakan aturan dan tata tertib organisasi 2. Memilih dan mengadakan penilaian terhadap hasil karya seni para anggotanya 3. Mengadakan hubungan antar daerah atau negara di dunia internasional dalam rangka promosi, mengadakan pameran-pameran dan sebagainya Para Kelian bertugas mengurus anggota kelompoknya, bertanggung jawab atas ketertiban dan kelancaran kerja sesuai dengan kepentingannya. Para anggota diwajibkan menyerahkan hasil karyanya pada hari sabtu untuk diperiksa dan dinilai. Bagi yang memenuhi syarat, akan dikumpulkan dan bagi yang tidak memenuhi syarat dikembalikan oleh komisi pengawas untuk seterusnya dibawa ke rumah masingmasing. Hal ini sesuai dengan pernyataan Ir. Tjokorda Bagus Astika (60 tahun) selaku Kepala Divisi Museum pada wawancara tanggal 8 Mei 2014 menjelaskan bahwa:
59
“…setiap malam minggu, organisasi ini (Pita Maha) selalu mengadakan acara bursa seni di Puri Agung Ubud. Panglingsir Puri yakni Tjokorda Agung Sukawati beserta Rudolf Bonnet dan Walter Spies mengundang senimanseniman Bali untuk memperlihatkan hasil karyanya sekaligus diperkenalkan kepada tamu-tamu asing saat itu sehingga dapat menimbulkan transaksi jual beli”. Pada saat itu juga, untuk memeriahkan acara bursa seni dipentaskan suatu tarian yang dinamakan tarian Gabor yang difungsikan sebagai tari penyambutan”. Dengan jumlah anggota kurang lebih mencapai 125 orang, Pita Maha berperan aktif dalam pameran-pameran seni. Adapun pameran-pameran tersebut dilaksanakan di berbagai tempat seperti di Surabaya, Jakarta, Medan, Balikpapan, Yogyakarta (Museum Sonobudoyo), di Negeri Belanda, Amerika, Perancis dan Inggris. Pada saat diselenggarakan pameran dunia di Paris pada tahun 1937, dua orang anggota pernah menerima hadiah bintang perak, masing-masing atas nama Ida Bagus Gelgel berasal dari Kesiman dan Ida Bagus Kembeng berasal dari Ubud. Karena kesuksesan dalam menyelenggarakan berbagai pameran, Pita Maha mendapat apresiasi dari asisten Residen Pemerintah Hindia Belanda yang berkedudukan di Singaraja dan kontrolir yang berkedudukan di Gianyar pada saat itu. Suatu usaha untuk dapat mencapai kemajuan ataupun popularitas seperti itu tidaklah luput dari tantangan fisik maupun mental. Suatu pemikiran yang pada hakekatnya bertujuan mempertahankan dan mengabadikan keunggulan hasil usaha membina seni seperti yang telah dijelaskan sebelumnya menimbulkan suatu ide atau gagasan lagi di kalangan pengurus dan anggotanya untuk membangun sebuah wadah yaitu sebuah museum Bali modern. Gagasan ini sejalan dengan yang diungkapkan oleh Widia (1982/1983: 2) yang menjelaskan bahwa “…berdasarkan pada monument ordonantie STB. 238/1931, yang isinya bahwa ia menganggap perlu mengambil
60
tindakan-tindakan untuk melindungi benda-benda yang harus dianggap mempunyai nilai penting bagi prasejarah, sejarah, kesenian atau palaeontologi. Dalam hal ini terutama benda-benda budaya yang berasal dari Bali. Hal yang berkenaan dengan kebijakan dan metode pada masa penjajahan Belanda tersebut adalah untuk menyelamatkan hasil budaya Bali yang tercermin dari maksud dan tujuan Pita Maha diantaranya; memajukan dan mengembangkan seni daerah, meningkatkan mutu seni dan menyalurkan hasil karya seniman”. Adapun latar belakang pendirian Museum Puri Lukisan juga diperkuat oleh Ir. Tjokorda Bagus Astika (60 tahun) selaku Kepala Divisi Museum pada wawancara tanggal 8 Mei 2014 menyatakan: “…yang menjadi dasar pemikiran dalam mendirikan museum, intinya adalah menyelamatkan hasil karya seniman Bali yang terbaik. Hal itu disebabkan karena pada era 1930-an banyak hasil karya seniman Bali yang dibeli oleh orang asing dan dibawa pulang. Hal tersebut menimbulkan keprihatinan oleh beberapa kalangan seperti panglingsir puri yang khawatir karya-karya seniman Bali yang terbaik lebih banyak dibawa ke luar negeri dan tidak bisa dinikmati oleh generasi selanjutnya. Oleh sebab itu, timbul upaya-upaya menyelamatkan hasil karya seni dengan mendirikan museum”. Keinginan tersebut mendapat sokongan moral dan material dari anggota Pita Maha. Namun, akibat meletusnya PD II gagasan tersebut tersendat-sendat. Dan baru tahun 1947 gagasan tersebut diungkapkan kembali. Semula bangunan museum akan dikerjakan di lahan lapangan Desa Mas sekarang. Akan tetapi, karena adanya keinginan masyarakat Mas membuat alun-alun, rencana mendirikan Museum Bali modern di tempat itu menjadi batal. Kemudian melalui musyawarah dan mufakat yang dipimpin oleh koordinatif punggawa Ubud, Tjokorda Agung Sukawati diputuskan bahwa museum Bali modern tersebut didirikan di sekitar desa Ubud. Ada
61
yang mengusulkan dibangun di Campuhan, ada yang mengusulkan di sebelah timur Pura Batukaru (di sebelah utara perempatan jalan raya Ubud sekarang). Berdasarkan berbagai pertimbangan akhirnya dipilih sebidang tanah munduk yaitu tempat Museum Puri Lukisan sekarang (Seraya, 1981/1982: 49). Hal senada juga diungkapkan oleh Ir. Tjokorda Bagus Astika (60 tahun) selaku Kepala Divisi Museum pada wawancara tanggal 16 Juni 2014 menyatakan: “…atas kesepakatan antara penglingsir Puri Ubud, Tjokorda Gede Agung Sukawati, Rudolf Bonnet serta para seniman Pita Maha pendirian museum dilakukan tetap di desa Ubud. Padahal, awalnya pendirian museum hendak dilakukan di Desa Mas, Ubud, tepatnya di Jaba Pura Taman Pule (sekarang Lapangan Ari). Akan tetapi, karena terjadi pro kontra yang berkaitan dengan status kepemilikan tanah menyebabkan rencana pendirian museum di sana menjadi terkatung-katung. Agar pembangunan museum bisa cepat dilakukan, maka atas musyawarah bersama, lokasi pendirian museum akhirnya diputuskan di Kelurahan Ubud, tepatnya di Jalan Raya Ubud”. Pada tahun 1953 Tjokorda Gede Agung Sukawati mengemukakan gagasan pendirian museum kepada Bapak Alisastroamidjojo yang pada saat itu menjabat sebagai Duta Besar Indonesia di Amerika Serikat. Gagasan tersebut didukung oleh beliau dan juga Pemerintah Bali pada saat itu. Setelah memperoleh dukungan kemudian dibentuk suatu panitia yang selanjutnya ditetapkan sebagai pengurus yayasan dengan nama “Yayasan Ratna Wartha” dan disahkan berdasarkan akta notaris yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah Bali pada tahun 1953 di Denpasar. Yayasan tersebut terdiri dari 3 orang yaitu Tjokorda Agung Gede Sukawati, selaku ketua; Tjokorda Agung Mas, selaku penulis dan bendahara dan Tjokorda Anom Bawa sebagai pembantu. Pada tanggal 14 Januari 1954 datang utusan Yang Mulia Perdana Menteri Alisastroamidjojo bersama Bapak Soedarsono Kepala Kebudayaan Yogyakarta. Utusan tersebut membawa kabar bahwa Yang Mulia akan hadir bersama
62
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohamad Yamin dan wakil Perdana Menteri Bapak Wongso serta menteri-menteri lainnya untuk meletakkan batu pertama Museum Puri Lukisan pada tanggal 31 Januari 1954 (Seraya, 1981/1982: 49-50). Setelah peletakan batu pertama, muncul tantangan baru terkait usaha untuk merampungkan pembangunan. Pengurus yayasan senantiasa mengambil langkah bijaksana sehingga dapat memperoleh sumbangan dana dari dalam maupun luar negeri. Di samping mendapat bantuan dari dari Pemerintah RI, juga ada donatur dari luar negeri seperti Asia Foundation, Ford Foundation, Sticcusa, pengusahapengusaha swasta dan perorangan lainnya. Sumbangan dana yang terkumpul semuanya berjumlah 80.000 gulden. Selain itu, ada juga sumbangan berbentuk koleksi yang terdiri dari lukisan dan patung-patung. Para dermawan yang paling banyak memberikan sumbangan koleksi adalah Rudolf Bonnet, di samping hasil karya para seniman lainnya. Dengan demikian jumlah koleksi yang tertampung pada waktu itu cukup banyak sehingga Museum Bali Modern dapat dibuka secara resmi pada tanggal 1 Juli 1956 dengan nama “Museum Puri Lukisan”. Sejak diresmikan tahun 1956 hingga sekarang tentunya Museum Puri Lukisan banyak mengalami renovasi maupun pembangunan. Bangunan gedung induk (gedung utara sekarang) yang menggunakan bahan-bahan lokal seperti alang-alang untuk atapnya, kerangka kayu, rusuk-rusuknya terbuat dari bambu dan lain sebagainya. Tentunya, bahan-bahan seperti itu mudah lapuk oleh pengaruh alam, binatang anaianai dan semacamnya sehingga gedung ini sering mengalami kerusakan. Untungnya, renovasi gedung ini banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak. Renovasi Gedung Utara mendapat bantuan PELITA lewat Proyek Rehabilitasi dan Perluasan Museum
63
Bali pada tahun anggaran 1978/1979 sebanyak Rp. 7.500.000 (tujuh juta lima ratus ribu rupiah) pada saat itu. Untuk pembangunan Gedung Barat dan Gedung Timur dimulai sekitar akhir tahun 1979 dan selesai sekitar akhir tahun 1981 dengan sumber dana berasal dari dana tahun anggaran 1980/1981 dengan pengeluaran kurang lebih sebanyak Rp. 12.500.000 (dua belas juta lima ratus ribu rupiah) pada saat itu untuk masing-masing gedung. Terakhir, Gedung Selatan merupakan gedung museum yang paling baru dan dikerjakan bersamaan dengan renovasi tempat penjualan tiket, pembuatan cafeteria, perluasan parkir yang semuanya diselesaikan sekitar tahun 2011. Sedangkan untuk anggaran yang telah dikeluarkan, menurut pihak museum sendiri berjumlah kurang lebih Rp. 6.000.000.000 (enam milyar rupiah). Terkait dengan pembangunan museum, Tjokorda Bagus Astika (60 tahun) pada wawancara tanggal 8 Mei 2014 menyatakan: “…museum ini merupakan salah satu museum swasta sehingga pembangunan yang ada bergantung pada yayasan dan apabila ada kerusakan ataupun ada yang harus direnovasi, hal itu dilakukan secara bertahap. Adapun bantuan yang ada banyak berasal dari luar seperti Yayasan Bonnet, Yayasan The Beer, Ford Foundation dan lainnya. Namun, yang disayangkan adalah kurangnya bantuan yang diperoleh dari pemerintah. Kecuali, pada tahun 1980/1981 saat pemerintah Bali masih dipegang oleh Prof Ida Bagus Mantra. Pemerintah Bali saat itu memberikan bantuan kepada Museum Puri Lukisan berupa pendanaan dalam pembangunan gedung barat dan gedung timur yang sekarang. Sedangkan untuk gedung selatan, balai wantilan, cafeteria, pengurugan jurang untuk pembangunan tempat parkir, serta pembuatan angkul-angkul (pintu gerbang) selesai dikerjakan sekitar tahun 2011”. Dalam menjaga keberlangsungan museum, maka diperlukan aspek finansial yang mapan dan stabil, baik itu yang bersumber dari dana Yayasan Ratna Wartha sendiri, sumbangan maupun dari harga penjualan tiket. Untuk harga tiket yang ditawarkan museum kepada pengunjung dikategorikan menjadi empat jenis
64
diantaranya: (1) tiket publik seharga Rp. 50.000/orang sudah termasuk soft drink; (2) tiket seharga Rp. 75.000/orang sudah termasuk tea time (kopi/teh, soft drink dan snack); (3) tiket harga Rp. 115.000/orang sudah termasuk lunch dan; (4) tiket seharga Rp. 125.000/orang termasuk dinner. Untuk tiket gratis hanya diberlakukan untuk anak-anak di bawah usia 11 tahun, tamu-tamu pemerintah, dan siswa maupun mahasiswa yang telah membawa surat pengantar. Sebagai salah satu tempat atau wadah yang diberi kepercayaan untuk mengelola warisan budaya Bali, maka diperlukan sistem organisasi pengelolaan museum yang baik. Kondisi terkini Museum Puri Lukisan dilihat dari jumlah staf pegawai yang ada adalah 34 orang yang merupakan tenaga teknis dan administrasi dengan klasifikasi pendidikan S1 Teknik Sipil, Arkeologi, dan Seni serta SMA, SMP dan SD. Tenaga kerja yang dipilih merupakan tenaga ahli yang memiliki standar operasional yang layak dan berkompeten sehingga dalam perekrutannya tidak dilakukan secara sembarangan. Untuk pengelolaan museum, I Made Suteja (47 tahun) selaku Kepala Operasional yang diwawancarai tanggal 14 Mei 2014 menyatakan: “…sejak tahun 2011, telah terjadi perubahan signifikan dalam pengorganisasian Museum Puri Lukisan yakni ditiadakannya posisi Direktur Museum. Sebelumnya posisi ini berada di bawah Yayasan Ratna Warta dan membawahi langsung divisi-divisi museum di bawahnya. Peniadaan ini dimaksudkan untuk mengikuti perkembangan permuseuman agar pengelolaannya menjadi lebih efisien. Sekarang ini, yayasan secara langsung dibantu oleh 3 divisi museum yakni Museum Division, Operational Division dan Research and Development Division. Museum Division bertugas mengurus pengelolaan struktur gedung maupun koleksi dan membawahi penjaga gedung, konservasi dan ekshibisi. Operational Division bertugas mengelola dan mengawasi sistem operasional dari museum seperti security (sistem kemanan), garden (kebun), kitchen (dapur), dan akunting. Sedangkan Research and Development Division bertugas mengelola urusan perizinan museum”.
65
Untuk lebih jelasnya tentang struktur organisasi pengelolaan Museum Puri Lukisan dapat dilihat pada bagan 4.2 Bagan 4.2 : Struktur Pengelolaan Museum Puri Lukisan President/Managing Director Yayasan Ratna Wartha Tjokorda Putra Sukawati
Museum Division Tjokorda Bagus Astika
(1) Collection (Curator, Conservation and Documentation research education) (2) Exhibition
Operation Division I Made Suteja
(1) Sales and Public Relation (Ticketing and Information) (2) Personel (Security and gardener) (3) Acct and Financial (4) Museum Administration (5) Maintenance
Research & Development Soemantri Widagdo
(1) Museum Venture Development (Giftshop, Restaurant, Workshop, and Conference) (2) Museum Development (Artist Corporative)
Sumber: Museum Puri Lukisan (2014) Berdasarkan bagan 4.2 diatas disimpulkan bahwa pembagian tugas yang teratur menandakan pengelolaan permuseuman di masa sekarang senantiasa menuju ke arah profesionalisme. Di Museum Puri Lukisan, koordinator yang bertanggung jawab adalah Ketua atau President/Managing Director Yayasan Ratna Wartha. Tugas ketua tersebut dibantu oleh tiga (3) divisi yakni; (1) Divisi Museum (Museum Division), (2) Divisi Operasional (Operation Division), dan (3) Divisi Penelitian dan Pembangunan (Research and Development Division). Masing-masing Kepala Divisi
66
memiliki tugas yang berbeda-beda. Kepala Divisi Museum mengurus bagian permuseuman seperti koleksi, gedung pameran, konservasi, dokumentasi, dan pendidikan. Kepala Operasional mengurus tentang keuangan, administrasi museum, tiket, keamanan dan lainnya. Terakhir, Kepala Divisi Penelitian dan Pembangunan lebih banyak mengordinir bagian penelitian dan perizinan
termasuk izin
penyelenggaraan pameran (khususnya pameran temporer) dan pembangunan sarana prasarana. Tentunya, dalam menjalankan tugasnya, masing-masing kepala divisi dibantu oleh staf-staf sub divisinya. Selain pengelolaan yang baik, unsur yang terpenting yang menjadi jiwa dalam penyelenggaraan museum adalah keberadaan koleksi museum. Agar koleksi museum dapat dipamerkan secara utuh dan dapat dinikmati oleh masyarakat umum, maka hendaknya setiap museum memiliki upaya dalam menjaga koleksi museum agar tetap lestari dan tidak rusak. Hal tersebut juga berlaku untuk Museum Puri Lukisan. Salah satu keunggulan yang dimiliki oleh Museum Puri Lukisan dibandingkan museummuseum lain yang ada di Bali, bahkan yang ada di Indonesia adalah museum ini secara khusus memiliki ruang konservasi tersendiri. Menurut Suteja (47 tahun) selaku Kepala Divisi Operasional yang diwawancarai tanggal 14 Mei 2014 menyatakan: “…museum itu sangat kompleks. Dalam pengelolaannya kita tidak bisa hanya terpaku hanya satu ilmu saja sebab museum itu akan senantiasa semakin berkembang. Perkembangannya mulai dari pengelolaan yang semakin professional termasuk salah satunya adalah sistem perawatan koleksi museum yang semakin modern. Untuk menyiasati perkembangan museum yang dinamis, maka kita perlu meningkatkan ide-ide maupun ilmu-ilmu baru yang belum kita peroleh sebelumnya. Salah satu langkah terdepan yang kita miliki dibandingkan museum-museum lainnya di Bali bahkan di Indonesia adalah museum ini merupakan satu-satunya museum di Indonesia yang memiliki ruangan khusus konservasi. Hal itu menyebabkan banyak museum lain yang belajar di sini, salah satunya adalah Museum Bali, padahal Museum
67
Bali itu sendiri merupakan museum tertua dan merupakan milik pemerintah Bali. Mereka biasanya belajar di sini terkait pengelolaan sistem perawatan koleksi misalnya seperti pengaturan suhu ruangan museum maupun teknik konservasinya”. Museum Puri Lukisan melakukan perawatan koleksi tahap preventif dan kuratif atau tahap pencegahan sebelum dan sesudah terjadi kerusakan. Dalam perkembangan sebelumnya, Museum Puri Lukisan dulu masih menggunakan teknik tradisional dengan menggunakan minyak tanah dan kanfer atau kapur barus. Sekarang, teknik konservasi dibuat dengan lebih modern misalnya dengan pengaturan suhu tertentu untuk menjaga kelembapan ruangan serta pemberian obat-obatan. Selain itu, untuk meningkatkan teknologi konservasi, Museum Puri Lukisan banyak menjalin kerjasama dengan konservator-konservator dari luar negeri seperti dari Singapura dan Belgia. Bahkan, salah satu tenaga konservator yang bernama Wayan Sumadi khusus dikirim ke Singapura selama enam bulan untuk memperdalam teknik konservasi. Pendapat tersebut diperkuat oleh Tjokorda Bagus Astika (60 tahun) pada wawancara tanggal 18 Juni 2014 yang menyatakan: “…dalam melakukan upaya konservasi, kami pihak museum juga melakukan langkah secara manual misalnya seperti melakukan pembersihan setiap hari dan mengatur suhu tertentu dalam ruangan. Namun, langkah preventif kita melakukan konservasi dengan dibantu oleh tenaga asing. Untuk koleksi di atas material kanvas, kami banyak dibantu oleh konservator dari Belgia yang bernama Martin. Kemudian untuk koleksi di atas material kertas, kami banyak dibantu dari konservator dari Singapura. Untuk perawatan lebih lanjut, salah satu tenaga konservator yang bernama Wayan Sumadi khusus dikirim ke Singapura selama enam bulan untuk memperdalam teknik konservasi”. Dari uraian latar belakang sejarah berdirinya, Museum Puri Lukisan tergerak untuk melestarikan hasil budaya Bali agar dapat dinikmati oleh generasi selanjutnya. Basrul (1986) menyebutkan bahwa perjalanan panjang sejarah sebuah daerah telah
68
meninggalkan banyak benda yang mempunyai nilai bagi sejarah perkembangan masyarakat, selain itu keberadaan adat istiadat budaya masyarakat yang khas dan masih dipegang hingga saat ini perlu diperkenalkan kepada masyarakat sehingga hal itu perlu dilestarikan ke suatu wadah yang dinamakan museum. 4.3 Tata Ruang dan Koleksi Museum Puri Lukisan Seperti yang yang telah dijelaskan pada BAB II, “ Dalam segi tata ruang, membangun sebuah museum harus diperlukan ruangan-ruangan yang diperlukan untuk kepentingan museum (pembagian ruangan, jumlah dan ukuran ruangan, faktor elemen iklim yang berpengaruh dan sirkulasi udara yang baik, juga masalah, sistem penggunaan cahaya). Sebaliknya dalam mendirikan gedung museum jangan hanya memikirkan kemegahan atau keindahan bangunan yang mungkin hal itu hanya akan menjadi monumen bagi arsiteknya, tetapi bangunan tersebut harus sanggup menyelamatkan objek museum, personel museum, dan pengunjung museum. Museum Puri Lukisan dengan luas wilayah sekarang kurang lebih 1,3 Ha memiliki corak bangunan yang khas dengan arsitektur Bali yang menggunakan konsep bale dangin (gedung timur), bale daja (gedung utara), bale dauh (gedung barat), dan bale kelod (gedung selatan). Konsep tersebut sedikit bersentuhan dengan pengaruh Eropa. Persentuhan ini sendiri timbul karena bangunan museum ini dirancang khusus oleh Rudolf Bonnet. Menurut Anak Agung Moning (82 tahun) selaku kurator yang diwawancarai pada 6 Mei 2014 menyatakan: “..gedung museum ini merupakan rancangan dari Bonnet. pada awal pembangunan gedung museum di tahun 1956, terutama gedung I atau gedung utara, Bonnet membuat rancangan bangunan dengan tetap berpedoman pada struktur arsitektur bangunan Bali. Pada awal pembangunan gedung, Bonnet
69
menggunakan bahan tradisional seperti jerami untuk atapnya, pilarnya dari batang pohon kelapa, dindingnya berupa bedeg dan kampil (karung). Khusus untuk pengerjaannya, lebih banyak dilakukan oleh para undagi (tukang bangunan) yang berasal dari Ubud dan Padangtegal”. Gagasan ini diperkuat dengan hasil wawancara dengan Tjokorda Bagus Astika (60 tahun) tanggal 10 Mei 2014 menyatakan: “…luas museum kurang lebih 1,3 Ha. Dalam pembagian ruangannya dibagi menjadi empat yakni gedung utara, gedung barat, gedung timur dan gedung selatan. Dilihat dari corak arsitekturnya, sesungguhnya bangunan Museum Puri Lukisan ini tidak tepat jika dikatakan perpaduan dengan gaya arsitektur Eropa melainkan dikatakan sebagai persentuhan. Hal itu dikarenakan konsepnya masih tetap berpegangan dengan konsep arsitektur Bali yakni Asta Kosala-kosali. Adapun yang dikatakan persentuhan Bali dan Eropa dalam bangunan Museum Puri Lukisan itu terjadi karena orang yang merancang bangunan museum saat itu adalah orang barat yakni Rudolf Bonnet itu sendiri termasuk penempatan bale-bale yakni bale daja, bale dauh, bale danginnya beserta landscape kebun-kebunnya”. Untuk lebih jelasnya mengenai rancangan awal Museum Puri Lukisan yang dibuat oleh Rudolf Bonnet dapat dilihat pada gambar 4.1 di bawah ini:
Gambar 4.1: Sketsa Rancangan Awal Gedung Museum Puri Lukisan yang Dibuat Oleh Rudolf Bonnet Sumber : Dokumentasi Penulis, (Mei 2014).
70
Mengacu pada hasil wawancara di atas, struktur tata ruang museum mengaplikasikan struktur tata ruang tradisional Bali yakni struktur rumah adat Bali yang menerapkan konsep Asta Kosala-kosali yang tujuannya tidak hanya melestarikan budaya Bali tetapi juga menciptakan keserasian dan keindahan tata letak bangunan. Hal ini tentunya mempengaruhi sirkulasi udara dan juga efektivitas pemanfaatan ruang kosong yang ada. Penerapan konsep Asta Kosala–kosali di Museum Puri Lukisan ini menyebabkan lingkungan museum menjadi asri dan sejuk serta jauh dari kebisingan. Pernyataan ini didukung oleh pembangunan angkul-angkul atau pintu gerbang dalam kebudayaan Bali. Angkul-angkul ini menurut kepercayaan Agama Hindu dikatakan sebagai tempat yang pertama dalam menolak bala ataupun hal-hal yang tidak diinginkan sebelum memasuki pekarangan rumah. Setelah memasuki angkul-angkul maka kita akan melihat bangunan gedung museum yang dibagi menjadi empat gedung (utara, barat, timur dan selatan) yang dipadukan dengan keindahan halaman yang ditumbuhi banyak pepohonan dan kolam ikan. Gedung pertama (gedung utara) yang merupakan gedung utama karena pada saat dibukanya museum ini untuk umum pada tahun 1956, baru gedung ini yang selesai dibangun. Gedung ini memamerkan hasil karya-karya para seniman yang dibuat pada era Pita Maha sebelum Perang Dunia II dengan jumlah koleksi seni lukis yang dipamerkan sebanyak 61 buah dan seni patung sebayak 43 buah. Gedung kedua (gedung barat) merupakan galeri yang memamerkan hasil karya seniman yang dibuat setelah Perang Dunia II hingga sampai saat ini (kontemporer) dengan jumlah karya seni lukis dan patung sebanyak 55 dan 21 buah. Gedung ketiga (gedung timur) memajangkan jumlah karya lukis sebanyak 47 buah dan patung sebanyak 3 buah
71
dengan karya-karya seni lukis bertemakan pewayangan dari lukisan klasik yang telah ada sebelum abad ke 20 dan dikombinasikan dengan karya-karya tema pewayangan yang sudah mengalami perkembangan sampai saat yang terdiri dari wayang style Ubud, Batuan dan lain sebagainya. Terakhir, gedung keempat bernama Journey of Tjokorda Gde Agung Sukawati yang memajang kurang lebih 26 karya lukis dan 12 buah karya patung yang dipadukan dengan foto perjalanan Ida Tjokorda Gde Agung Sukawati yang berkolaborasi dengan dua seniman barat yaitu Walter Spies dan Rudolf Bonnet (lihat tabel 4.6 dibawah ini). Tabel 4.6 : Data Koleksi Lukisan dan Patung Museum Puri Lukisan Tahun 2013 No Gedung Koleksi Lukisan Koleksi Patung 1 Gedung utara 61 buah 43 buah 2 Gedung barat 55 buah 21 buah 3 Gedung timur 47 buah 3 buah 4 Gedung selatan 26 buah 12 buah Sumber : Diolah dari Data Yayasan Ratna Warta (2013)
Total 104 buah 71 buah 50 buah 38 buah
Koleksi-koleksi Museum Puri Lukisan diperoleh dari hasil membeli lukisan terutama di tempat-tempat yang mengadakan pameran seni serta sumbangan dalam bentuk pinjaman hasil karya seni dari Yayasan Ratna Wartha sendiri, para seniman maupun kolektor seni dari negara-negara seperti Belanda, Amerika Serikat, Swiss dan Jerman terutama hasil karya seni yang telah dibeli oleh orang-orang asing pada era 1930-an. Adapun orang-orang yang banyak memberikan sumbangan sumbangan antara lain nyonya van Wessen dari negeri Belanda, Rudolf Bonnet dan Tjokorda Agung Sukawati. Gagasan tersebut didukung oleh Anak Agung Moning (82 tahun) pada wawancara tanggal 6 Mei 2014 yang menyatakan:
72
“…dari hasil penjualan tiket, kalau misalnya ada uang lebih, maka kita gunakan untuk membeli koleksi. Banyak kita menambah koleksi dengan membeli karya seni dari pameran yang dianggap baik. Setiap tahun senimanseniman berbeda-beda mulai dari Ubud, Batuan, dan Pengosekan akan memamerkan karyanya. Museum Puri Lukisan ini menerawang ke atas dan ke bawah. Maksudnya, menerawang ke atas adalah kita harus memiliki (membeli) karya yang terbaik agar nantinya di masa yang akan datang anak cucu kita masih bisa menikmatinya tanpa harus kita mecari ke luar negeri lagi. Kemudian menerawang ke bawah maksudnya kita tetap mencari hasil karya seni yang lampau baik itu dengan membeli, meminjam, maupun memperoleh sumbangan”. Hal senada juga diungkapkan oleh Tjokorda Bagus Astika (60 tahun) pada wawancara tanggal 18 Juni 2014 yang menyatakan: “…perolehan ataupun pengumpulan koleksi di Museum Puri Lukisan ada berbagai cara. Yang pertama tentunya berasal dari sumbangan secara langsung dari para seniman, Rudolf Bonnet, Tjokorda Gede Agung Sukawati maupun dari orang-orang asing yang dulu pernah membeli karya seni lukis seniman Bali. Orang-orang asing tersebut umumnya mereka sudah berusia lanjut dan takut tidak ada yang mengurus karya seni tersebut sehingga mereka memutuskan mengembalikan karya seni yang sudah mereka beli ke Bali dan tempat yang layak bagi mereka untuk menempatkan hasil karya tersebut adalah di Museum Puri Lukisan. Untuk kelanjutannya, museum tetap menambah koleksinya dengan membeli karya seni terbaik dari pameranpameran yang berlangsung, baik itu pameran temporer di Museum Puri Lukisan sendiri maupun di museum lainnya”. Untuk memudahkan pengunjung memahami koleksi, maka pihak museum menggunakan metode presentasi estetika. Metode ini akan memamerkan benda-benda dengan penilaian segi-segi artistik benda koleksi, tentunya berlaku bagi benda-benda kebudayaan material atau benda-benda ungkapan kesenian. Terlampau jauh menonjolkan segi-segi artistik benda itu kaitannya sebagai suatu benda hasil seni atau karya manusia menurut ukuran tempat dan waktunya. Orang akan lebih menghargai atau menghayati hasil seni seorang seniman, dengan juga menyajikan dalam konteks tempat dan waktu seniman itu hidup dan berkarya (Sutaarga, 1999/2000 : 52).
73
Gagasan ini didukung oleh Anak Agung Moning (82 tahun) yang diwawancarai pada tanggal 6 Mei 2014 menyatakan: “…benda-benda karya seniman Bali yang dipamerkan di museum ini memiliki makna-makna tersendiri yang mencerminkan kepribadian seniman yang membuatnya. Pernah saya (kurator) diberitahu langsung oleh Bonnet bahwa melihat karya lukisan atau patung di museum ini merupakan sesuatu yang penting. Pentingnya agar kita bisa membaca karakteristik seniman dari hasil karyanya juga pesan-pesan yang disampaikan misalnya seperti pesanpesan politik Karya-karya yang dihasilkan para seniman kebanyakan merupakan suatu refleksi diri terhadap nilai-nilai ketuhanan maupun filsafatfilsafat, dapat juga kritik sosial yang ditujukan kepada sesama manusia”. Lebih lanjut, koleksi museum ini disajikan kepada pengunjung dengan menggunakan foto, gambar, sketsa, skema dan label penjelas, ditata secara skematis dan artistik. Dengan demikian, koleksi yang disajikan itu dapat dipahami makna dan nilai historisnya sehingga benda tersebut dapat menunjukkan dirinya dengan jelas kepada pengunjung. Koleksi di Museum Puri Lukisan ini sendiri dilengkapi dengan keterangan data seperti asal-usul, tahun pembuatan, nama seniman, ukuran, bahan pembuatan dan makna yang terkandung di dalamnya. Pelabelan pada koleksi yang ada terdiri atas tiga bahasa (Indonesia, Inggris dan Jepang). Hal ini dimaksudkan oleh Arthanegara (1982/1983 : 23-24) agar “…pengunjung khususnya siswa tidak hanya tumbuh minatnya mengenal wujud benda koleksi itu saja, tetapi mereka akan dapat mengenal bahan dari sebuah koleksi dan cara pembuatannya. Pengenalan akan koleksi museum tergambar pula kondisi masyarakat pendukungnya, dengan demikian tergambar pula sejarah dari masyarakat tersebut. Maka akan terjadi hubungan timbal
74
balik antara pembelajaran sejarah yang diajarkan di kelas dan fungsi museum sebagai pengajaran sejarah di luar kelas”. Secara umum, Museum Puri Lukisan memenuhi syarat koleksi museum seperti: (1) tata pameran menempatkan koleksi dalam gedung; (2) cahaya (keindahan dan penerangan); (3) label, harus padat, ringkas dan dapat dimengerti dan; (4) lalu lintas pengunjung. Penataan ruangan dan koleksi Museum Puri Lukisan didasarkan pada periodisasi zaman. Adapun koleksi Museum Puri Lukisan akan diuraikan oleh penulis dengan struktur tata ruangnya. Untuk lebih jelas tentang struktur tata ruang dan koleksi Museum Puri Lukisan dapat dilihat di bawah ini
4.3.1 Angkul–angkul dan Halaman Utama Museum Puri Lukisan Seperti yang dijelaskan di atas, sebelum kita mulai memasuki area gedunggedung–gedung museum kita akan melihat sebuah bangunan gapura berbentuk candi bentar yang berfungsi sebagai pintu masuk utama ke dalam museum. Bangunan ini terdiri dari 3 pintu dimana pintu yang ditengah merupakan pintu utama. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dari gambar 4.2 dibawah ini:
Gambar 4.2: Pintu Depan (Angkul-angkul) Museum Puri Lukisan Sumber : Dokumentasi Penulis (Mei 2014)
75
Setelah memasuki pintu gerbang, pengunjung akan memasuki halaman museum yang sejuk dan indah serta dihiasi oleh banyak pepohonan dan kolam ikan yang membuat suasana menjadi nyaman. Adapun gambar halaman utama Museum Puri Lukisan dapat dilihat pada gambar 4.3 di bawah ini:
Gambar 4.3: Halaman Utama Museum Puri Lukisan Sumber: Dokumentasi Penulis (Mei 2014) 4.3.2 Gedung Pertama (Gedung Utara) Seperti yang dijelaskan sebelumnya, gedung ini memamerkan hasil karyakarya para seniman yang dibuat pada era Pita Maha sebelum Perang Dunia II dengan 3 aliran berbeda yakni aliran Ubud, Batuan dan Sanur. Adapun master pies seni lukis di gedung ini adalah karya-karya seniman I Gusti Nyoman Lempad, Ida Bagus Gelgel, I Gusti Made Deblog dkk, sedangkan karya patung yang menjadi master pies
76
adalah karya-karya seniman Ida Bagus Nyana, Ida Bagus Tilem, I Nyoman Cokot dan seniman-seniman lainnya. Ukuran gedung ini kurang lebih 40 x 8 meter dan terdapat 4 buah vitrim (lemari tempat memajang koleksi) yang ditujukan khusus untuk melindungi dan memamerkan koleksi patung yang ada. Untuk lebih jelasnya mengenai bentuk vitrim yang ada di gedung pertama dapat dilihat pada gambar 4.4 dan 4.5 di bawah ini:
Gambar 4.4: Vitrim Koleksi Patung Berbentuk Manusia Sumber: Dokumentasi Penulis (Mei 2014)
Gambar 4.5: Vitrim Koleksi Patung Berbentuk Binatang Sumber: Dokumentasi Penulis (Mei 2014)
77
Adapun beberapa koleksi lukisan dan patung yang ada di ruangan ini antara lain: 1. Lukisan: Sang Hyang Indra Menghidupkan Kembali Sang Sutasoma
Gambar 4.6: Sang Hyang Indra Menghidupkan Kembali Sang Sutasoma Sumber : Dokumentasi Penulis (Mei 2014) Lukisan ini dibuat oleh Ida Bagus Buda asal Desa Batuan, Sukawati pada tahun 1934 dengan menggunakan media kertas, tinta cina dan prada. Dalam lukisan ini diceritakan bahwa Sang Sutasoma hendak pergi bertapa ke sebuah hutan dan tanpa sengaja bertemu dengan seekor harimau yang hendak memangsa anaknya sendiri. Pemandangan tersebut membuat Sang Sutasoma menjadi iba dan kemudian menawarkan diri untuk menggantikan anak harimau tersebut untuk menjadi mangsa dari induk harimau. Maka, tewaslah beliau dimangsa oleh harimau tersebut. Akan tetapi, Sang Hyang Indra kemudian menghidupkannya kembali dan kemudian melanjutkan lagi tapanya dengan dilindungi oleh seluruh binatang hutan.
78
2. Lukisan: Garuda yang Lapar
Gambar 4.7: Garuda yang Lapar Sumber: Dokumentasi Penulis (Mei 2014) Lukisan ini dibuat oleh Ida Bagus Made Kembeng asal Tebesaya, Ubud pada tahun 1938 dengan menggunakan media kertas dan tempera. Makna yang terkandung dalam lukisan ini mengisahkan tentang seekor burung garuda yang dikirimkan oleh ayahnya untuk mencari dua orang bersaudara yang terus berkelahi dan tidak dapat dilerai. Kedua bersaudara yang terus bertengkar tersebut kemudian mengutuk satu sama lain menjadi seekor gajah dan kura-kura. Karena tidak dapat dipisahkan, akhirnya kedua saudara tersebut dimangsa oleh garuda. 3. Lukisan: Tari Gambuh Lukisan Tari Gambuh ini dibuat Anak Agung Gede Raka Turas asal Padangtegal, Ubud pada tahun 1936 yang menceritakan tentang pertunjukkan tari Gambuh yang biasa dipentaskan ketika ada upacara besar di pura. Tarian yang
79
diiringi alat musik seruling ini mengisahkan cerita Malat Panji yang merupakan cerita dari daerah Jawa Timur yang berkembang pada abad 11 sampai abad 13. Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat pada gambar 4.8 di bawah ini:
Gambar 4.8: Tari Gambuh Sumber: Dokumentasi Penulis (Mei 2014) 4. Lukisan: Tari Keris
Gambar 4.9: Tari Keris Sumber : Dokumentasi Penulis (Mei 2014)
80
Lukisan Tari Baris diatas merupakan karya dari I Gusti Nyoman Lempad yang dibuat pada tahun 1940 yang menceritakan tentang tarian keris yang biasa dimainkan pada saat pertunjukkan calonarang. Penari keris dalam pertunjukan tersebut berada dalam keadaan kesurupan dan merupakan pengikut dari Barong (kebaikan) melawan Rangda (kejahatan). 5. Lukisan: Putusnya Jembatan Bambu Betung
Gambar 4.10: Putusnya Jembatan Bambu Betung Sumber: Dokumentasi Penulis (Mei 2014) Dalam lukisan karya I Gusti Nyoman Lempad tersebut diceritakan ada seorang perempuan yang sedang mengandung. Akan tetapi, ia tidak menjaga kandungannya dengan baik, bahkan ia ingin menggugurkan kandungannya. Kelak
81
ketika ia sudah meninggal, ia akan menempuh jalan ke sorga melewati titi (jembatan) Gonggang atau titi Ugal-agil dan dia akan jatuh sesuai dengan dosanya di masa lalu. 6. Lukisan: Odalan
Gambar 4.11: Odalan Sumber: Dokumentasi Penulis (Mei 2014) Lukisan “Odalan” tersebut merupakan buah karya dari I Gusti Ketut Kobot yang berasal dari Pengosekan, Desa Mas, Ubud dan dikerjakan sekitar tahun 1933. Lukisan tersebut menggambarkan rutinitas masyarakat Bali, khususnya dalam menyambut hari berdirinya sebuah pura (210 hari sekali) atau yang biasa disebut dengan Odalan. Dalam kegiatan ngodalin tersebut, ada yang menghaturkan sesajen, bersembahyang dan biasanya dimeriahkan dengan iringan musik gamelan dan tarian yang ditujukan sebagai persembahan kepada dewa-dewa.
82
7. Lukisan: Tarian Barong Landung
Gambar 4.12: Tarian Barong Landung Sumber: Dokumentasi Penulis (Mei 2014)
Lukisan “Tarian Barong Landung” merupakan buah karya Anak Agung Gede Sobrat yang dibuat sekitar tahun 1934. Lukisan ini memperlihatkan sebuah sekeha (perkumpulan) yang mana pada saat hari raya Galungan dan Kuningan melakukan tradisi ngelawang (mementaskan) barong keliling desa untuk memeriahkan suasana hari raya. Khusus dalam lukisan ini terlihat dua barong yang berpostur tubuh tinggi sehinggi dinamakan Barong Landung. Barong ini merupakan simbol jalinan cinta Jayapangus dan anak saudagar Cina bernama Kang Ching Wi. Pementasan barong ini diiringi oleh gamelan khas Bali yang dimainkan oleh beberapa pemuda.
83
8. Patung: Orang Minum dan Seekor Anjing
Gambar 4.13: Orang Minum dan Seekor Anjing Sumber: Dokumentasi Penulis (Mei 2014) Sebuah patung hasil karya Ida Bagus Nyoman Bun asal Desa Batuan, Sukawati yang dibuat sekitar tahun 1935. Patung ini dibuat dengan memanfaatkan kayu tamarind. Makna patung ini menceritakan seseorang yang membawa makanan dan minuman yang kemudian diperhatikan oleh seekor anjing yang kelihatannya juga menginginkan makanan dan minuman tersebut. Akan tetapi, orang tersebut tidak memperdulikan anjing yang sedang memperhatikannya dan minum dengan santai. 9. Patung: Dewi Pertiwi Patung ini dibuat oleh Ida Bagus Nyana pada tahun 1933 asal Desa Mas, Ubud dengan menggunakan bahan dari kayu pangkal buaya. Patung ini
84
menggambarkan wujud Dewi Pertiwi atau Ibu Pertiwi sebagai Dewi yang menjadi sumber dari segala sesuatu yang ada di bumi. Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat pada gambar 4.14 di bawah ini:
Gambar 4.14: Dewi Pertiwi Sumber: Dokumentasi Penulis (Mei 2014) 10. Patung: Garuda Makan Ular
Gambar 4.15: Garuda Makan Ular Sumber: Dokumentasi Penulis (Mei 2014)
85
Patung “ Garuda Makan Ular” merupakan buah karya dari maestro seniman patung Bali yakni I Nyoman Cokot. Patung ini dibuat tahun 1930 dengan memanfaatkan kayu akar. Patung garuda ini cukup istimewa, sebab memiliki bentuk yang sedikit berbeda dari patung garuda yang ada pada umumnya.
4.3.3 Gedung Kedua (Gedung Barat) Gedung kedua atau gedung barat merupakan gedung selanjutnya yang wajib dikunjungi setelah gedung utara. Keistimewaan gedung ini adalah memamerkan hasil karya seniman yang dibuat setelah Perang Dunia II hingga sampai saat ini (kontemporer) atau yang biasa disebut Tradisional-modern. Jumlah karya seni lukis dan patung sebanyak 55 dan 21 buah. Adapun karya lukis yang menjadi master pies adalah karya seniman Ida Bagus Made Poleng, Anak Agung Gede Sobrat, Dewa Nyoman Batuan dan I Ketut Budiana. Gedung seluas kira-kira 38 x 12 meter ini merupakan bukti nyata dari revolusi karya seniman-seniman Bali. Hal itu itu karena sejak tahun 1946, para seniman tidak lagi membuat karya seni dengan hanya mengandalkan teknik dua dimensi maupun tiga dimensi namun sudah memiliki perspektif maupun anatomi yang sesuai dengan objek yang ingin dikerjakan. Salah satu gaya lukisan yang terkenal selain gaya Tradisional-modern di gedung ini adalah aliran Young Artist. Aliran ini dibawa oleh Arie Smith seorang pelukis asal Belanda pada tahun 1956 dan ketika ia tiba di Bali, ia menemukan beberapa pengaruh Barat pada lukisan-lukisan seniman Bali. Kemudian, Arie Smith ini membimbing seniman-seniman muda di daerah Penestanan, Ubud untuk mengembangkan teknik baru dalam melukis. Teknik ini menggunakan warna yang
86
berbeda-beda dan terang dalam kombinasi dengan tema-tema yang imaginatif. Aliran ini penuh dengan warna dan tema yang sederhana yaitu timbul dengan sendirinya dan tidak dibuat-buat. Berikut ini merupakan koleksi lukisan dan patung yang ada di gedung barat antara lain: 1. Lukisan: Sorga Neraka Dengan Hukum Karma Phala
Gambar 4.16: Sorga Neraka Dengan Hukum Karma Phala Sumber: Dokumentasi Penulis (Mei 2014) Lukisan ini dibuat oleh Anak Agung Gede Konta pada tahun 1971 dengan menggunakan kanvas dan tinta cina. Diceritakan dalam lukisan tersebut Sang Bima dalam Bima Swarga (bagian dari cerita Mahabarata) pergi ke neraka untuk mencari arwah orang tuanya. Sesampainya di sana, ia menyaksikan berbagai macam hukuman yang harus dijalani oleh umat manusia ketika mereka sudah meninggal akibat dari kelakuan buruk mereka selama mereka hidup di dunia (karma phala).
87
2. Lukisan: Tukang Patung Bali Sedang Bekerja
Gambar 4.17: Tukang Patung Bali Sedang Bekerja Sumber: Dokumentasi Penulis (Mei 2014) Lukisan ini dibuat oleh I Nyoman Madia dengan menggunakan media kanvas dan tempera pada tahun 1957. Lukisan ini memperlihatkan seniman-seniman patung di Bali sedang mengukir patung dengan bentuk tokoh-tokoh dewa maupun motifmotif hias. 3. Lukisan: Tumpek Landep “Tumpek Landep” adalah karya lukis seniman asal Taman, Ubud yang bernama I Nyoman Meja. Lukisan yang diselesaikan tahun 1975 tersebut menggambarkan kegiatan keagamaan umat Hindu yang setiap 210 hari sekali melakukan kegiatan tumpek landep yang jatuh pada hari sabtu wuku landep
88
mengupacarai benda-benda perkakas seperti keris, tombak, pisau yang ada di pura dan rumah. Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat pada gambar 4.18 di bawah ini:
Gambar 4.18: Tumpek Landep Sumber: Dokumentasi Penulis (Mei 2014) 4. Lukisan: Siklus Kehidupan
Gambar 4.19: Siklus Kehidupan Sumber: Dokumentasi Penulis (Mei 2014)
89
“Siklus Kehidupan” merupakan buah karya dari I Ketut Murtika asal Desa Batuan, Sukawati. Lukisan yang dibuat tahun 2001 tersebut mengisahkan tentang siklus kehidupan manusia dari lahir sampai meninggal dimana karma, harta dan kama menentukan hidup kita dikemudian hari. Siklus perjalanan hidup manusia ini disaksikan oleh Dewa Surya (matahari) dan Dewi Ratih (bulan). 5. Lukisan: Upacara Jayaprana
Gambar 4.20: Upacara Jayaprana Sumber: Dokumentasi Penulis (Mei 2014) Lukisan ini merupakan salah satu contoh aliran young artist. Hal itu dapat dilihat dari daerah seniman yang mengerjakan lukisan ini yakni I Nyoman Kerip asal Penestanan, Ubud. Lukisan yang dibuat sekitar tahun 1972 ini menceritakan kisah asmara Jayaprana dan Layonsari yang sampai pada jenjang pernikahan. Akan tetapi,
90
usia pernikahan mereka tidak berlangsung lama karena beberapa saat setelah pernikahan mereka, Jayaprana tewas dibunuh. 6. Lukisan: Orang Bermain-main di Muka Istana dengan Keluarga Bangsawan
Gambar 4.21: Orang Bermain-main di Muka Istana dengan Keluarga Bangsawan Sumber: Dokumentasi Penulis (Mei 2014) Salah satu lukisan gaya young artist ini dikerjakan oleh I Mundik yang berasal dari Penestanan, Ubud. Lukisan yang selesai tahun 1968 ini menceritakan tentang kehidupan orang-orang di sekitar keluarga bangsawan yang setiap malamnya berkunjung ke istana (puri) untuk menyaksikan berbagai pertunjukkan misalnya seperti pertunjukkan tarian dan gamelan. Keluarga bangsawan pun juga turut menikmati pertunjukkan tersebut dan terlihat berkumpul bersama dengan masyarakat di sekitarnya.
91
7. Lukisan: Upacara di Pura
Gambar 4.22: Upacara di Pura Sumber: Dokumentasi Penulis (Mei 2014) Lukisan “Upacara di Pura” ini juga merupakan salah satu karya seni lukis aliran young artist. Lukisan yang dibuat oleh I Made Sinteg pada tahun 1972 ini menggambarkan kegiatan keagamaan di pura ketika dilangsungkannya upacara piodalan. Terlihat para wanita berjalan beriringan membawa banten sebagai sesajen yang ditujukan untuk menghormati para Dewa sedangkan yang lainnya berada di halaman pura untuk menyaksikan tarian dan gamelan. 8. Patung: Tumbal “Tumbal” merupakan sebuah hasil seni patung yang diungkapkan secara artistik oleh Pande Ketut Jamprah. Beliau berasal dari Desa Mas, Ubud yang terkenal sebagai daerah penghasil seniman patung selain Desa Peliatan. Karya patungnya ini
92
diselesaikan tahun 1998 dengan menggunakan kayu suar. Tumbal merupakan sesuatu atau seseorang yang dijadikan korban untuk memperoleh sesuatu dan biasanya dikaitkan dengan dunia mistik. Tumbal dapat mengakibatkan seseorang yang dijadikan sebagai persembahan menjadi cacat ataupun meninggal.
Gambar 4.23: Tumbal Sumber: Dokumentasi Penulis (Mei 2014) 9. Patung: Topeng Karya seni patung ini dirancang oleh I Wayan Pendet pada tahun 1972 dengan memanfaatkan kayu waru. Topeng sudah tidak asing lagi di telinga orang Bali sebab topeng merupakan benda yang memperjelas watak terutama dalam seni tari Bali. Dalam karya patung ini terlihat dua karakter berbeda, namun dipadukan menjadi satu dalam sebuah topeng. Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat pada gambar 4.24 di bawah ini.
93
Gambar 4.24: Topeng Sumber: Dokumentasi Penulis (Mei 2014) 10. Patung: Kakek Sedang Duduk Termenung
Gambar 4.25: Kakek Sedang Duduk Termenung Sumber: Dokumentasi Penulis (Mei 2014) Patung diatas merupakan hasil karya I Made Sama yang berasal dari Blahbatuh
dengan
menggunakan
bahan
dari
kayu
suar.
Sama
mencoba
94
mengekspresikan imaginasinya tentang seorang kakek yang mencoba merenungi dan menyesali nasibnya di masa lalu. 4.3.4
Gedung Ketiga (Gedung Timur) Gedung ketiga (gedung timur) memajangkan jumlah karya lukis sebanyak 47
buah dan patung sebanyak 3 buah dengan karya-karya seni lukis bertemakan pewayangan dari lukisan klasik yang telah ada sebelum abad ke 20 dan dikombinasikan dengan karya-karya tema pewayangan yang sudah mengalami perkembangan sampai saat yang terdiri dari wayang style Kamasan, Ubud, Batuan dan lain sebagainya. Luas ruangan ini kurang lebih 38 x 12 meter. Awal mula masuknya aliran wayang atau yang biasa disebut Seni Lukis Bali Klasik tidak bisa dilepaskan dari pengaruh Kerajaan Majapahit yang berkuasa di nusantara. Ketika Majapahit menguasai Bali, mereka turut membawa kebudayaan mereka berupa ornamen-ornamen yang memiliki karakter Hindu India seperti dalam cerita Ramayana, Mahabharata. Khusus untuk pewarnaannya hanya menggunakan lima buah warna diantaranya; (1) warna merah vermilion; (2) warna biru; (3) warna kuning; (4) warna hitam; dan (5) warna putih. Perkembangan seni lukis Bali klasik berkembang pesat di Desa Kamasan, Klungkung sehingga dikenal dengan Gaya Kamasan. Aliran yang memiliki bentuk stylistik yang kuat dengan perspektif gelap ke terang ini semakin berkembang ke daerah lain seperti di Batuan dan Kerambitan. Adapun koleksi-koleksi yang terdapat di gedung timur ini akan diuraikan sebagai berikut;
95
1. Lukisan: Sasih/kalender Bali
Gambar 4.26: Sasih/kalender Bali Sumber: Dokumentasi Penulis (Mei 2014) Lukisan yang dibuat tahun 1800 oleh anonim memaparkan sistem penanggalan Bali yang dikenal dengan 12 sasih (bulan) diantaranya; (1) Kasa; (2) Karo; (3) Katiga; (4) Kapat; (5) Kalima; (6) Kanem; (7) Kapitu; (8) Kawolu; (9) Kasanga; (10) Kadasa; (11) Desta; dan (12) Sada dengan tiap-tiap bulan terdiri dari 35 hari. 2. Lukisan: Sita Labuh Geni Lukisan “Sita Labuh Geni” dibuat oleh Pekak Kawi asal Desa Kamasan, Klungkung pada tahun 1804 mengisahkan bahwa dalam cerita Ramayana, Sita diculik oleh Rahwana. Namun, Dewi Sita dicurigai telah kehilangan kesuciannya setelah diculik oleh Rahwana. Untuk membuktikan dirinya masih suci, maka Sita menawarkan diri untuk melakukan upacara Labuh Geni, dimana ia harus meloncat ke dalam api. Setelah melakukan upacara tersebut, Sita tidak mati karena dilindungi oleh Dewa Agni. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar 4.27 dibawah ini:
96
Gambar 4.27: Sita Labuh Geni Sumber: Dokumentasi Penulis (Mei 2014) 3. Lukisan: Perang Subali dan Sugriwa
Gambar 4.28: Perang Subali dan Sugriwa Sumber: Dokumentasi Penulis (Mei 2014) Menurut pengelola museum, pembuat dan tahun dibuatnya lukisan “Perang Subali dan Sugriwa” tidak diketahui secara pasti. Namun, secara detail isi atau makna
97
yang disampaikan menceritakan tentang cerita Ramayana. Cerita tersebut diawali ketika Jatayu sebelum ia wafat memberitahukan kepada Sri Rama bahwa istrinya, Dewi Sita telah diculik oleh Rahwana. Dalam perjalanan untuk mencari istrinya, ia bertemu dengan Hanoman yang melaporkan adanya perkelahian antara Subali dengan Sugriwa karena adanya kesalahpahaman antara kakak beradik tersebut. 4. Lukisan: Pemutaran Mandara Giri
Gambar 4.29: Pemutaran Mandara Giri Sumber: Dokumentasi Penulis (Mei 2014) Lukisan ini dibuat oleh I Nyoman Dogol pada tahun 1605 dan mengisahkan upaya yang dilakukan oleh para dewa untuk memperoleh tirtha amerta, yaitu air suci yang jika diminum akan membuat hidup abadi. Menurut petunjuk, tirtha amerta berada di dasar lautan Ksera (Kserasagara). Setelah dasar laut tirta itu diketahui keberadaanya, para dewa dengan dipimpin oleh Dewa Wisnu melakukan pemutaran
98
terhadap lautan tersebut dengan menggunakan Gunung Mandhara dengan dibantu oleh awatara penjelmaan Dewa Wisnu yakni Kurma Awatara. 5. Lukisan: Arjuna Bertapa
Gambar 4.30: Arjuna Bertapa Sumber: Dokumentasi Penulis (Mei 2014) Dalam lukisan “Arjuna Bertapa” disebutkan bahwa Arjuna yang sedang bertapa di Gunung Indrakila digoda oleh tujuh bidadari, namun tidak terusik. Kemudian datanglah babi hutan yang mengguncang Indrakila. Arjuna keluar dari tempat pertapaannya dan membawa anak panah. Pada saat itu datang pemburu jelmaan Dewa Siwa. Secara bersamaan, Arjuna dan pemburu tersebut sama-sama menancapkan anak panahnya pada babi hutan tersebut dan terjadilah perdebatan. Pemburu mengeluarkan naga dan Arjuna mengeluarkan Garuda. Akhirnya, pertempuran tersebut dimenangkan oleh Arjuna dan seketika pemburu itu berubah
99
menjadi Dewa Siwa. Arjuna lalu menyembah dan dia dianugerahi senjata Winimba Sara. 6. Lukisan: Terbunuhnya Niwatakawaca
Gambar 4.31: Terbunuhnya Niwatakawaca Sumber: Dokumentasi Penulis (Mei 2014) Lukisan ini dibuat pada tahun 1793 oleh I Wayan Geger asal Kamasan, Klungkung. Dalam lukisan tersebut diceritakan bahwa Niwatakawaca yang sangat sakti menyerang sorga karena permintaannya mengawini Dewi Supraba tidak dikabulkan. Para dewa menjadi panik dan mengutuskan tujuh bidadari untuk menggodanya, namun usaha tersebut gagal. Akhirnya, diutuslah Dewi Supraba bersama Arjuna untuk mencari kelemahan Niwatakawaca. Dewi Supraba berpurapura suka kepada Niwatakawaca dan tanpa curiga Niwatakawaca memberitahukan
100
rahasia kelemahannya ada di bawah lidahnya. Arjuna kemudian berhasil mengalahkannya setelah mengetahui rahasia teresebut. 7. Lukisan: Adi Parwa
Gambar 4.32: Adi Parwa Sumber: Dokumentasi Penulis (Mei 2014) Dalam lukisan hasil karya Nang Ramis yang dibuat tahun 1678 disebutkan bahwa akibat Bima ditipu oleh Bagawan Drona dari pihak Korawa untuk mencari Tirta Amerta, Bima menjadi sangat malu karena direndahkan oleh para Korawa. Begitu juga dengan para Pandawa yang turut menyesali perbuatan Bima. Maka, untuk merenungi kesalahannya, Bima kemudian pergi bertapa ke Gunung Manaka. 8. Lukisan: Naga Anantaboga Lukisan “Naga Anantaboga” dibuat oleh I Made Peger asal Kamasan pada tahun 1799. Dalam lukisan tersebut, Naga Anantaboga dibuat pada sehelai kain yang
101
dijadikan umbul-umbul. Biasanya pada umbul-umbul terdapat lukisan naga yang disimbolkan sebagai lambang pengikat norma-norma keagamaan yang dimaksudkan untuk menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan umat beragama. Untuk lebih jelasnya mengenai lukisan “Naga Anantaboga” dapat dilihat pada gambar 4.33 di bawah ini:
Gambar 4.33: Naga Anantaboga Sumber: Dokumentasi Penulis (Mei 2014) 9. Lukisan: Lelintangan Lukisan “Lelintangan” dibuat oleh I Sangging Suranda yang berasal dari Kamasan. Secara khusus, tidak ada informasi yang detail mengenai tahun pembuatannya. Cerita yang tergambar dalam lukisan ini menjelaskan tentang Pelintangan atau Lelintangan yang didalamnya terdapat gambar-gambar yang melambangkan hari kelahiran pada perhitungan pertanggalan Bali. Lelintangan ini dibuat dengan tujuan untuk dijadikan sebagai pedoman hidup, mengoreksi tingkah laku, mencari identitas hidup, mengetahui nasib, riwayat hidup masa lalu atau masa yang akan datang. Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat pada gambar 4.34 di bawah ini:
102
Gambar 4.34: Lelintangan Sumber: Dokumentasi Penulis (Mei 2014) 10. Lukisan: Perang Boma
Gambar 4.35: Perang Boma Sumber: Dokumentasi Penulis (Mei 2014) “Perang Boma” merupakan karya seni lukis yang dihasilkan oleh I Kayun asal Kamasan pada tahun 1808. Lukisan ini menceritakan tentang kemarahan Boma
103
karena putrinya diculik oleh Samba, putra Krisnha. Boma yang marah kemudian menggempur istana kerajaan Dwarawati sehingga perang Boma pun tak terelakkan.
4.3.5
Gedung Keempat (Gedung Selatan) Gedung seluas 40 x 15 meter ini merupakan rentetan gedung terakhir. Gedung
ini merupakan gedung koleksi Museum Puri Lukisan yang paling baru yang diselesaikan pada tahun 2011. Gedung ini bernama Journey of Tjokorda Gde Agung Sukawati yang memajang kurang lebih 26 karya lukis dan 12 buah karya patung yang dipadukan dengan perjalanan Ida Tjokorda Gde Agung Sukawati yang berkolaborasi dengan dua seniman barat yaitu Walter Spies dari Jerman dan Rudolf Bonnet dari Belanda dan didukung oleh para seniman dari dari beberapa daerah di Bali, dalam suatu organisasi bernama Pita Maha yang dituangkan dalam bentuk foto-foto Ida Tjokorda Gde Agung Sukawati, Walter Spies, Rudolf Bonnet dan hasil karya seniman Pita Maha serta beberapa patung yang menunjukkan perkembangan seni lukis dan patung dari masa Pita Maha sampai dengan saat ini. Selain itu, dalam waktu-waktu tertentu, gedung ini ini juga berfungsi sebagai tempat untuk pameran temporer. Berikut ini merupakan koleksi-koleksi lukisan, patung, maupun foto yang terdapat di ruangan ini diantaranya: 1. Lukisan: The Landscape and Her Children “The Landscape and Her Children” dibuat oleh Walter Spies pada tahun 1939. Lukisan ini menunjukkan sisi naturalisme dari keadaan alam Bali yang indah. Dalam lukisan tersebut menggambarkan seorang manusia yang berjalan dengan seekor kerbau di sebuah jalan setapak yang di sekelilingnya terdapat hamparan
104
pepohonan dan dari kejauhan terlihat sebuah gunung. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar 4.36 di bawah ini.
Gambar 4.36: The Landscape and Her Children Sumber: Dokumentasi Penulis (Mei 2014) 2. Lukisan: Gugurnya Abimanyu
Gambar 4.37: Gugurnya Abimanyu Sumber: Dokumentasi Penulis (Mei 2014) Lukisan ini merupakan aliran wayang Kamasan yang berhasil menyabet medali perak pada Paris International Exposition pada tahun 1937 atas nama Ida
105
Bagoes Gelgel. Lukisan ini mengisahkan tentang keberanian Abimanyu, putra Arjuna yang pada saat itu baru berusia 16 tahun dalam perang Bharata Yudha. Ia dihadapkan pada situasi sulit dimana ia dikepung dengan para ksatria yang lebih berpengalaman di pihak Korawa. Cara yang mereka lakukan untuk mengalahkannya terbilang kotor dan curang yaitu dengan mengeroyokinya. Akibat kecurangan pihak Korawa tersebut, gugurlah Abimanyu di Kurusetra. 3. Lukisan: Cremation Procession
Gambar 4.38: Cremation Procession Sumber: Dokumentasi Penulis (Mei 2014) Lukisan ini merupakan salah satu koleksi pameran temporer yang diselenggarakan oleh Museum Puri Lukisan dengan tajuk “Keliki Exhibition Werdi Jana Kerti” yang dimulai pada tanggal 28 April hingga 28 Juni 2014. Lukisan ini dibuat oleh Gusti Made Beseg pada tahun 1970. Lukisan ini menggambarkan kegiatan upacara ngaben sebagai bagian dari ritual masyarakat Bali sebagai wujud rasa berterima kasih kepada leluhur. Roh leluhur yang sudah meninggal akan
106
disucikan melalui upacara ngaben sehingga nantinya akan mendapatkan tempat yang baik. 4. Lukisan: Mecaru
Gambar 4.39: Mecaru Sumber: Dokumentasi Penulis (Mei 2014) Lukisan ini juga merupakan salah satu koleksi pameran temporer “Keliki Exhibition Werdi Jana Kerti” yang dibuat oleh I Wayan Martawan pada tahun 1967. Lukisan ini mengambil tema tentang salah satu rutinitas keagamaan masyarakat Hindu di Bali yang melakukan ritual mecaru. Mecaru ini merupakan salah satu wujud Bhuta Yadnya yang ditujukan untuk menanamkan nilai-nilai luhur dan spiritual kepada umat manusia agar selalu dapat menyelaraskan dan mengharmoniskan diri dengan lingkungan sekitar. Hal tersebut sesuai dengan konsep Tri Hita Karana yakni Palemahan (menciptakan hubungan harmonis dengan lingkungan).
107
5. Patung: Pan Berayut
Gambar 4.40: Pan Brayut Sumber Dokumentasi Penulis (Mei 2014) Patung yang dibuat dari kayu nangka ini merupakan karya dari Pande Ketut Jamprah yang diselesaikan pada tahun 1972. Pantung tersebut menggambarkan sosok seorang ayah yang sedang bercengkerama bersama anak-anaknya yang berjumlah 4 orang sambil menggendong mereka. Sang Ayah terlihat kesulitan menggendong keempat anaknya sekaligus sehingga anaknya menjadi bergelayutan. Mungkin karena hal tersebut, ayah tersebut bernama Pan Brayut. 6. Patung: King of Frog “King of Frog” yang dalam bahasa Indonesia berarti raja katak atau kodok. Patung ini diselesaikan tahun 1955 oleh I Wayan Ayun dari Peliatan, Ubud. Patung berbahan kayu cekek ini memperlihatkan bentuk seekor katak besar yang dikelilingi oleh katak-katak lain yang bertubuh lebih kecil darinya. Karena tubuhnya yang lebih besar dari katak yang lainnya, maka secara tidak langsung ia dinobatkan sebagai raja.
108
Sebagai raja katak, ia membiarkan beberapa katak kecil bersandar di tubuhnya yang besar.
Gambar 4.41: King of Frog Sumber: Dokumentasi Penulis (Mei 2014) 7. Senggama “Senggama” (2002) oleh I Made Sukanta Wahyu memperlihatkan wujud dua orang manusia berlainan jenis yang sedang melakukan hubungan intim, namun secara visual tidak terlalu menonjolkan sisi vulgarisme. Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat pada gambar 4.42 di bawah ini:
Gambar 4.42: Senggama Sumber: Dokumentasi Penulis (Mei 2014)
109
8. Foto: Kunjungan Robert. F. Kennedy ke Puri Ubud
Gambar 4.43: Kunjungan Robert. F. Kennedy ke Puri Ubud Sumber: Dokumentasi Penulis (Mei 2014) Foto ini diambil pada tahun 1962 ketika Robert. F. Kennedy, adik dari Presiden AS saat itu, John. F. Kennedy dan istrinya berkunjung ke Indonesia. Dalam foto tersebut terlihat Tjokorda Agung Sukawati menemani mereka berdua sambil memperkenalkan budaya Bali. 9. Foto: Tjokorda Agung Sukawati Dengan Seorang Turis
Gambar 4.44: Tjokorda Agung Sukawati Dengan Seorang Turis Sumber: Dokumentasi Penulis (Mei 2014)
110
Dalam foto yang diambil pada tahun 1971 tersebut terlihat Panglingsir Puri Ubud, Tjokorda Agung Sukawati sedang mengendarai sepeda motor keliling Ubud dengan salah seorang wisatawan. Dalam upaya untuk memperkenalkan Bali khususnya daerah Ubud kepada wisatawan mancanegara, Tjokorda Agung Sukawati banyak melakukan interaksi dengan warga negara asing yang berkunjung ke Bali sehingga beliau banyak mempunyai sahabat dari luar negeri. 10. Foto: Rudolf Bonnet dan Para Seniman Pita Maha
Gambar 4.45: Rudolf Bonnet dan Para Seniman Pita Maha Sumber: Dokumentasi Pribadi (Mei 2014) Foto yang diambilkan sekitar tahun 1960’an yang memperlihatkan Rudolf Bonnet (tengah) tengah berpose bersama seniman-seniman lainnya.
4.4 Koleksi-koleksi Museum Puri Lukisan yang Dapat Dimanfaatkan Sebagai Sumber Belajar Sejarah Kebudayaan Seperti yang dijelaskan pada BAB II,”…koleksi museum yang dikumpulkan akan memberikan gambaran akan adanya suatu sistem nilai yang terpancar dari
111
koleksi itu baik berupa wujud, tata kehidupan masyarakat, serta ide-ide atau gagasan yang terkandung pada budaya itu”. Hal tersebut memerlukan pengkajian seksama secara kritis, analitis, dan sistematis hingga dapat ditelusuri identitas serta sistemnya secara bulat dan menyeluruh, sehingga dengan tersusunnya identitas koleksi dari hasil pengkajian dapat membantu meningkatkan pengetahuan masyarakat (Seraya, 1982/1983:71). Koleksi tersebut disusun berdasarkan struktur dan fungsinya dalam masyarakat yang mencerminkan periodisasi serta kegunaannya dalam masyarakat. Hal tersebut juga berlaku bagi Museum Puri Lukisan yang berfungsi dalam dunia pendidikan sebagai sumber belajar sejarah, khususnya sejarah kebudayaan. Museum ini menyajikan sejarah perkembangan seni lukis dan patung yang ada di Bali yang semula hanya terkena pengaruh kebudayaan Hindu tetapi kini telah bersentuhan dengan budaya Barat. Dalam lukisan yang dipamerkan banyak menggambarkan peristiwa-peristiwa yang terdapat dalam cerita pewayangan dan kehidupan sosial budaya masyarakat Bali yang masih tradisional yang dapat dijadikan sebagai sumber belajar sejarah. Hubungan antara museum dengan pembelajaran sejarah terutama yang berkaitan peninggalan kebudayaan dengan memiliki kaitan yang erat. Hal itu diungkapkan oleh Artanegara (1982/1983: 24) yang menjelaskan bahwa “…koleksi museum dapat berperanan dalam pengenalan yang lebih mendalam dan penghayatan akan arti dan hakekat suatu peninggalan harta budaya. Dengan demikian dapat membantu sebagai media penerangan dan bahayanya pemiskinan budaya suatu bangsa dan ini berarti koleksi museum penting artinya dalam pembinaan mental bangsa khususnya dalam menumbuhkan semangat nasionalisme”. Hal senada juga
112
diungkapkan oleh Anak Agung Moning (82 tahun) yang diwawancarai pada tanggal 6 Mei 2014 menyatakan : “…keberadaan Museum Puri Lukisan ini sesungguhnya dirasakan sangat bermanfaat bagi pelestarian budaya guna mencegah Bali menjadi Balu. Balu itu artinya tidak punya istri. Istri Bali yang saya maksud adalah perwujudan dari keindahan alam dan kebudayaannya. Kita lihat sekarang, keindahan alam Bali sudah mulai luntur begitu juga dengan budayanya. Generasi muda sekarang terlihat kurang mau mengenal budaya sendiri, malahan justru lebih menjunjung tinggi budaya asing. Apabila Bali sudah tidak mampu melestarikan budaya, apa mau dikata, tentunya sudah tidak ada taksu sehingga Bali kemudian menjadi balu seperti yang telah saya sebutkan sebelumnya. Maka disinilah pentingnya menurut saya keberadaan Museum Puri Lukisan”. Koleksi museum sangat penting dan strategis fungsinya untuk menyajikan informasi yang diperlukan oleh siswa sebagai sumber belajar pembelajaran sejarah. Di lain pihak, guru dapat menjadikan Museum Puri Lukisan sebagai sumber referensi tambahan bagi pembelajaran sejarah di sekolah mengingat tenaga pendidik sering mengalami kendala-kendala dalam mentransformasikan nilai-nilai sejarah kepada peserta didik di sekolah. Hal tersebut sesuai dengan pendapat yang dipaparkan oleh Harianti (2013 : 5) yang mengungkapkan bahwa“…pembelajaran sejarah yang ada di sekolah cenderung disepelekan. Hal ini karena penggunaan metode pembelajaran yang monoton, kurangnya penggunaan media pembelajaran serta kepribadian guru yang cenderung kaku dan kurang terbuka menjadi kunci utama mata pelajaran sejarah dan guru sejarah kurang disenangi siswa”. Pendapat itu diperkuat oleh Gandhi dalam Sutjiatiningsih (1995 : 54) yang menjelaskan bahwa“…pendidikan sejarah menurut siswa hanya bersifat hafalan. Karena bersifat hafalan, seolah-olah pendidikan sejarah dapat dipelajari di rumah. Materi yang dipelajari pun hanya berasal dari catatancatatan seperti yang dijelaskan oleh guru pengajar di depan kelas, tanpa ada
113
kemamuan untuk memperoleh atau menambah dan mengembangkan dari sumbersumber lain”. Para siswa dianggap belajar sejarah hanya sekedar untuk mendapatkan nilai saja, setelah itu tidak ada keinginan untuk mengulang lagi pelajaran yang telah diberikan. Lebih lanjut, Widja (2007 : 1) menjelaskan beberapa realita yang terjadi dalam pembelajaran sejarah di sekolah diantaranya; 1. Cara pengajaran sejarah lebih berorientasi pada cara-cara bercerita (mendongeng), mungkin sebagai warisan tradisi lisan dalam historiografi kita masih cukup melekat pada lingkungan sekolah yang menjadikan peserta didik bersifat pasif-reseptif dan peran guru menjadi sangat dominan sebagai tukang cerita 2. Adanya kecenderungan kuat menampilkan fakta bernuansa mitos (proses ke arah pemantapan suatu keyakinan), sehingga sering ada kesan penggambaran sejarah sebagai proses “pemitosan”, sehingga peserta didik yang kritis, sejarah diberi kesan cenderung “berbohong” daripada mendorong proses berpikir reflektif-kritis 3. Adanya rekayasa ideologis yang terulang dalam kurikulum pendidikan, khususnya pendidikan sejarah (Widja, 2007 : 1) Berdasarkan kendala-kendala di atas, Sanjaya, (2006 : 175)
mencoba
memberikan solusi bahwa “…dalam pengajaran tradisional, guru sering hanya menetapkan buku sebagai sumber belajar. Dalam proses pembelajaran yang dianggap modern sesuai tuntutan standar proses pendidikan dan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya teknologi informasi, maka sebaiknya guru memanfaatkan sumber-sumber lain selain buku”. Gagasan ini diperkuat oleh Suparno ((1998/1999 : 39) yang menjelaskan bahwa “…banyak tempat di sekitar kita yang potensial menjadi sumber belajar tetapi luput dari perhatian para pendidik. Di kotakota besar terdapat museum, kebun binatang, kebun raya tetapi belum sepenuhnya dimanfaatkan”.
114
Dalam mengupayakan agar museum dapat dijadikan sumber belajar, Museum Puri Lukisan terlebih dahulu menumbuhkembangkan minat siswa agar mau berkunjung ke museum tentunya adalah dengan menjalin kerjasama dengan tenaga pendidik di berbagai sekolah untuk mengajak siswanya agar mau ke museum. Dalam hal ini pihak Museum Puri Lukisan membebaskan biaya tiket masuk khusus untuk para siswa maupun mahasiswa yang bertujuan melakukan pembelajaran di luar kelas. Hal tersebut merupakan salah satu upaya demi mewujudkan program pemerintah agar masyarakat mau berkunjung ke museum yang mana salah satu programnya adalah Visit Museum Year 2010. Selain itu, strategi lain yang dilakukan oleh Museum Puri Lukisan adalah menerima penyelenggaraan event-event yang berkaitan dengan dunia pendidikan seperti penyelenggaraan seminar pendidikan, serta menjalin kerjasama dengan beberapa universitas seperti ISI dan Undiksha untuk penyelenggaraan tugas akhir mahasiswa yang berkaitan dengan pameran seni lukis dan pertunjukkan tari. Gagasan tersebut diperkuat melalui wawancara dengan Tjokorda Bagus Astika (60 tahun) pada tanggal 18 Juni 2014 menyatakan: “…strategi kita pertama-tama adalah mengajak siswa agar mau ke museum. Hal itu guna mewujudkan program pemerintah yaitu salah satunya adalah Visit Museum Year 2010 dan Gerakan Nasional Cinta Museum. Kita sendiri tetap memberikan kesempatan kepada anak-anak sekolah maupun perguruan tinggi untuk mengunjungi museum dengan tanpa biaya masuk. Selain itu, kita juga mengadakan even-even yang berkaitan dengan dunia pendidikan misalnya mengadakan seminar-seminar dan penyelenggaraan pertunjukkan tugas akhir”. Untuk pemaparan koleksi, Museum Puri Lukisan memiliki label yang berisi tentang informasi yang berkaitan dengan asal-usul koleksi, pencipta koleksi dan makna yang terkandung di dalamnya yang dibuat secara ringkas, padat dan jelas.
115
Untuk label dibuat dalam tiga bahasa yakni Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris dan Bahasa Jepang. Selain pemanfaatan label, informasi tentang koleksi museum juga dipaparkan dengan menggunakan jasa kurator yakni Bapak Anak Agung Moning dan bagian dokumentasi dan pendidikan yang dipegang oleh Dewa Putu Raka. Pemanfaatan teknologi juga diperlukan, dalam hal ini Museum Puri Lukisan memiliki ruangan khusus di Gedung Selatan yang dilengkapi dengan TV LED untuk memamerkan koleksi museum. Pemanfaatan
koleksi-koleksi
Museum
Puri
Lukisan
sangat
penting
dioptimalkan guna menambah wawasan serta rasa cinta budaya bagi masyarakat, siswa maupun mahasiswa yang melakukan penelitian. Salah satu pemanfaatan museum ini diterapkan di SMA Negeri 1 Ubud. Hal ini dimaksudkan agar siswa dapat belajar secara langsung pada objek yang ada di lingkungan sekitar, di luar dari ilmu yang mereka peroleh di sekolahnya. Dalam hal ini, untuk materi yang menekankan aspek sejarah kebudayaan lebih ditekankan di kelas XI program Bahasa. Berdasarkan kurikulum yang diterapkan oleh SMA Negeri 1 Ubud di kelas XI Bahasa yakni KTSP, pembelajaran di luar kelas merupakan inti dari implementasi kurikulum KTSP itu sendiri yakni suatu penerapan ide, konsep, dan kebijakan kurikulum (kurikulum potensial) dalam suatu aktivitas pembelajaran sehingga peserta didik menguasai seperangkat kompetensi tertentu sebagai hasil interaksi dengan lingkungan. Kemudian berdasarkan kurikulum KTSP, sumber perangkat belajar yaitu silabus dan RPP menjelaskan secara khusus tentang sejarah kebudayaan. Standar Kompetensi yang menunjang dalam pemanfaatan Museum Puri Lukisan adalah menganalisis perkembangan Bangsa Indonesia mulai dari pengaruh Hindu hingga
116
masuknya pengaruh Barat. Sedangkan Kompetensi Dasar yang relevan adalah menganalisis perkembangan pengaruh Barat dan perubahan ekonomi, demografi, dan kehidupan sosial budaya masyarakat Indonesia pada masa kolonial. Topik materi yang sesuai dengan pembelajaran sejarah di kelas XI Bahasa adalah pengaruh kebudayaan Barat terhadap kebudayaan Indonesia terutama yang mempengaruhi ragam kesenian nusantara. Untuk lebih jelasnya mengenai uraian materi sejarah yang dapat diperoleh dari koleksi-koleksi yang terdapat di Museum Puri Lukisan dapat dilihat pada tabel 4.7 di bawah ini: Tabel 4.7 Pemanfaatan Koleksi-koleksi Museum Puri Lukisan Dalam Pembelajaran Sejarah Kebudayaan No
Koleksi
Materi yang relevan
1
Koleksi di Gedung I
Seperti yang kita ketahui, Bangsa Indonesia sejak
(Gedung Utara)
abad ke 16 telah menjalin interaksi dengan bangsabangsa asing dari benua Eropa seperti Portugis, Spanyol, Belanda, Perancis dan Inggris yang semula bertujuan untuk berdagang dan mencari rempah-rempah namun seiring waktu berubah menjadi politik imperialisme dan kolonialisme. Terlepas dari penjajahan yang dilakukan oleh bangsa Barat, interaksi antara penduduk pribumi Indonesia dengan bangsa asing selama ratusan tahun membawa suatu akulturasi budaya yang
117
sangat kompleks. Pengaruh kebudayaan Barat memiliki peranan besar terhadap perkembangan kebudayaan yang dimiliki oleh Indonesia. Portugis misalnya, bangsa ini merupakan pelopor lahirnya aliran
musik
keroncong;
Belanda
selain
memperkenalkan sistem bercocok tanam tanaman komoditi,
mereka
juga
mengenalkan
Bahasa
Belanda di sekolah-sekolah pribumi. Hal tersebut juga kita temui di Bali. Unsur kebudayaan yang menonjol mengalami perkembangan adalah seni terutama seni lukis. Setelah datangnya Walter Spies dan Rudolf Bonnet pada 1926 dan 1928, seni lukis Bali yang semula temanya hanya berkutat pada sisi religius dan tokoh-tokoh pewayangan kemudian beralih mulai menggarap tema-tema yang bersifat natural dan realis misalnya pemandangan sawah ataupun kehidupan sosial masyarakat. Dari wujud visual, seni lukis Bali pada saat itu sudah mulai mengenal anatomi, volume maupun perspektif 2
Koleksi di Gedung II
Sesungguhnya koleksi yang ada di ruangan ini
(Gedung Barat)
merupakan penyempurnaan dari apa yang diperoleh dari Gedung I. Pengaruh-pengaruh Barat yang ada
118
semakin
berkembang
meskipun
pola-pola
mencapai tradisional
puncaknya masih
tetap
dipertahankan. Salah satu aliran yang banyak bermunculan
pada
masa
ini
adalah
aliran
tradisonal-modern yang berkembang sejak tahun 1946. Pada masa itu, para seniman tidak lagi membuat karya seni dengan hanya mengandalkan teknik dua dimensi maupun tiga dimensi namun sudah memiliki perspektif maupun anatomi yang sesuai dengan objek yang ingin dikerjakan. Setelah aliran
tradisional-modern,
bermunculan
aliran
selanjutnya yang dinamakan aliran young artist. Aliran ini dibawa oleh Arie Smith seorang pelukis asal Belanda pada tahun 1956 dan ketika ia tiba di Bali, ia menemukan beberapa pengaruh Barat pada lukisan-lukisan seniman Bali. Kemudian, Arie Smith ini membimbing seniman-seniman muda di daerah Penestanan, Ubud untuk mengembangkan teknik
baru
dalam
melukis.
Teknik
ini
menggunakan warna yang berbeda-beda dan terang dalam
kombinasi
dengan
tema-tema
yang
imaginatif. Aliran ini penuh dengan warna dan
119
tema
yang
sederhana
yaitu
timbul
dengan
sendirinya dan tidak dibuat-buat. 3
Koleksi di Gedung III
Pada masa pemerintahan Hayam Wuruk dan
(Gedung Timur)
Mahapatih Gajah Mada, Bali menjadi salah satu sasaran untuk menjadi daerah kekuasaan Majapahit dalam rangka penyatuan nusantara, sesuai dengan yang diutarakan oleh Gajah Mada dalam Sumpah Palapa. Kemudian, tahun 1343 Bali berhasil ditaklukkan. Secara tidak langsung, penguasaan Bali oleh Majapahit turut berdampak terhadap keberlangsungan kebudayaan Bali. Kesenian Hindu Jawa (Majapahit) memberi warna tersendiri bagi kesenian Bali terutama bagi seni lukis sehingga melahirkan apa yang disebut seni lukis Bali klasik (aliran wayang). Hasil seni serupa itu pada dasarnya
menunjukkan
ciri
rasa
pengabdian
terhadap keagamaan dan kehidupan kemanusiaan. Di antaranya tercermin pada temanya mengambil
isi
cerita
pewayangan
yang seperti
Ramayana, Maha Bharata, Sutha Soma dan cerita rakyat lainnya yang bersifat suci. Ungkapan tersebut pada umumnya dipakai orang untuk
120
keperluan upacara sebagai alat perlengkapan, hiasan tempat-tempat suci dan ada pula dipakai pada bangunan tempat tinggal dan sebagainya. Sedangkan
bahan-bahannya
sebagian
besar
mempergunakan bahan lokal buatan Bali. Untuk dari pewarnaannya hanya menggunakan lima buah warna diantaranya; (1) warna merah vermilion; (2) warna biru; (3) warna kuning; (4) warna hitam; dan (5) warna putih. Perkembangan seni lukis Bali klasik berkembang pesat di Desa Kamasan, Klungkung
sehingga
dikenal
dengan
Gaya
Kamasan. Aliran yang memiliki bentuk stylistik yang kuat dengan perspektif gelap ke terang ini semakin berkembang ke daerah lain seperti di Batuan dan Kerambitan. 4
Koleksi di Gedung IV
Interaksi antara Bangsa Indonesia dan bangsa asing
(Gedung Selatan
telah telah berlangsung cukup lama, mulai dari jalinan dagang dengan bangsa-bangsa Cina, India, Arab dan Gujarat hingga dengan bangsa-bangsa Barat. Khusus di Bali, jalinan interaksi dengan bangsa Barat yakni Belanda dimulai ketika Cornelis de Houtman singgah di Bali pada tahun 1597.
121
Hubungan Bali dan Belanda selanjutnya tidak terlalu intensif hingga di akhir abad ke 19 atau awal abad ke 20 interaksi antara Bali dengan Belanda berlangsung dengan cara konflik yang ditandai dengan meletusnya Perang Jagaraga, Puputan Badung hingga Puputan Klungkung. Kemudian, ketika Bali mulai dibuka sebagai objek pariwisata pada tahun 1927, para pelancong dari Barat (salah satunya para seniman) mulai berdatangan ke Bali. Di Ubud salah satunya, panglingsir Puri Ubud yaitu Tjokorda Agung Sukawati sadar betul perlunya menjalin hubungan yang baik dengan wisatawan mancanegara untuk memperkenalkan Bali ke penjuru dunia. Para wisatawan tersebut diajak tinggal di Ubud dan disajikan pertunjukkan kebudayaan-kebudayaan Bali seperti tari-tarian dan karya
lukis.
Hal
ini
dimaksudkan
selain
memperkenalkan budaya dan pariwisata Bali ke mancanegara, diharapkan rasa persahabatan dan toleransi antar bangsa dapat terjalin dengan baik sehingga tercipta suatu interaksi yang selaras dan harmonis di antara bangsa-bangsa di dunia, salah
122
satunya dengan cara pengenalan seni.
Jadi, keberadaan Museum Puri Lukisan tidak hanya sebagai sumber belajar sejarah kebudayaan, namun juga memupuk rasa cinta budaya dan toleransi antar bangsa yang harus dimiliki setiap generasi muda sehingga hal ini perlu dirasakan manfaatnya dengan menjadikannya sebagai sarana belajar di luar kelas (outdoor study). Tentunya, pemanfaatan Museum Puri Lukisan sebagai sumber belajar sejarah kebudayaan nampaknya memerlukan strategi serta metode yang tepat guna mempermudah tenaga pendidik mentransformasikan nilai-nilai sejarah kepada peserta didik, serta di lain pihak peserta didik dapat menyerap secara optimal nilai-nilai yang telah disampaikan. Adapun strategi dan metode yang akan dipakai penulis yakni, menggunakan strategi contextual teaching and learning (CTL) dengan metode inquiry. Pemilihan strategi contextual teaching and learning (CTL) dengan menggunakan metode inquiry akan mempermudah guru dalam penyampaian materi kepada siswa. Hal tersebut dikarenakan salah satu dasar dari metode CTL dengan menggunakan metode inquiry adalah bagaimana seorang guru mengaplikasikan materi yang diajarkan di dalam kelas dengan cara mengkaitkan materi yang diajarkan dengan kondisi dunia nyata peserta didik. Selain itu model pembelajaran CTL juga bertujuan untuk membangun pemahaman siswa (konstruktivisme) mengenai latar belakang didirikannya Museum Puri Lukisan. Kemudian model pembelajaran ini akan dipadukan dengan metode inquiri yang bertujuan agar siswa aktif untuk mencari serta menemukan arti dari keberadaan koleksi-koleksi Museum Puri Lukisan yang
123
dapat dijadikan sebagai sumber belajar (Rusman, 2010: 187; Tanredja, 2012: 49). Dengan mengaplikasikan keberadaan museum yang letaknya tidak jauh dari sekolah akan membuat guru lebih mudah menyampaikan relevansi materi yang diajarkan di sekolah dengan kondisi di lingkungan secara riil. Untuk mewujudkan strategi yang akan dilaksanakan, guru hendaknya membuat Rancangan Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) (lihat lampiran). Pemanfaatan Museum Puri Lukisan sebagai sumber belajar sejarah kebudayaan telah diterapkan oleh SMA Negeri 1 Ubud. SMA Negeri 1 Ubud memiliki suatu program setiap jeda tengah semester genap untuk melakukan kunjungan ke museum. Program tersebut terealisasikan terakhir pada bulan Maret 2013 lalu, sedangkan tahun ini belum bisa direalisasikan karena pada saat jeda tengah semester di bulan Maret 2014, SMA Negeri 1 Ubud sedang dalam pergantian posisi Kepala Sekolah sehingga terkendala administrasi saat ingin melakukan kegiatan pembelajaran di luar kelas. Pendapat ini berdasarkan hasil wawancara dengan Drs. I Wayan Sudarsana, M.Pd., (46 tahun) selaku Guru Sejarah SMA Negeri 1 Ubud, pada tanggal 17 Mei 2014 menyatakan, “…SMA Negeri 1 Ubud memiliki program khusus dengan mengajak siswa berkunjung ke museum. Untuk kelas X, museum yang wajib dikunjungi adalah Museum Arkeologi Gedung Arca sedangkan untuk kelas XI adalah Museum Puri Lukisan. Khusus untuk kunjungan ke Museum Puri Lukisan untuk kelas XI, saya (guru) sendiri yang mendampingi. Tujuan kami melakukan kunjungan ke museum ini adalah agar para siswa mampu belajar secara langsung terhadap objek yang akan diamati diluar dari materi yang ada di buku ataupun LKS. Oleh karena itu, melalui pembelajaran di luar kelas, siswa diharapkan mampu memiliki pemahaman tersendiri mengenai materi yang disampaikan baik itu kebudayaan pada masa pengaruh Majapahit (Hindu) maupun mengenai materi tentang sejarah kebudayaan pada masa
124
kolonial. Siswapun terlihat sangat antusias dan tertarik ketika diajak berkunjung ke museum karena mereka dapat memiliki pengetahuan mengenai perkembangan kebudayaan khususnya kesenian yang ada di lingkungan sekitar mengingat Ubud merupakan salah satu daerah seni yang ada di Kabupaten Gianyar. Untuk tugas, saya menugaskan para siswa untuk mencatat apa yang ada di museum dengan membuat paper dan dipresentasikan dalam bentuk power point. Jadi dengan adanya ke museum, siswa dapat mengetahui bahwa museum tidak hanya sebagai tempat memajang benda kuno tetapi juga dapat difungsikan sebagai sumber belajar sehingga fungsi edukatif dalam museum dapat berjalan dengan baik. Selain itu, khusus untuk pembelajaran sejarah, pembelajaran ke museum diharapkan dapat meningkatkan minat belajar siswa terhadap pembelajaran sejarah sehingga kesan bahwa pembelajaran sejarah yang selalu “dinomorduakan” dapat diminimalisir. Namun, yang menjadi kendala untuk tahun ini kegiatan tersebut belum bisa dijalankan karena kondisi internal sekolah yang belum memungkinkan”. Pendapat ini juga didukung oleh guru sejarah lainnya yang bernama Drs. Made Labha Suwipra (52 tahun) yang diwawancarai pada tanggal 17 Mei 2014 menyatakan, “…di kelas XI Bahasa khusunya materi tentang sejarah kebudayaan sangat relevan dengan keberadaan Museum Puri Lukisan. Letaknya yang dekat dengan SMA Negeri 1 Ubud memungkinkan siswa dapat belajar langsung di sana baik untuk kegiatan pembelajaran di sekolah ataupun berekreasi bersama keluarga/teman sejawat di luar dari kegiatan sekolah. Hal itu karena Museum Puri Lukisan menyimpan banyak benda-benda hasil kebudayaan khususnya karya seni yang diwariskan oleh leluhur yang wajib diketahui oleh generasigenerasi muda. Dengan melihat karya seni dari tahun sekian, siswa dari belajar secara riil dari apa yang telah diperolehnya di kelas”. Untuk lebih jelasnya, pendapat serupa juga dikemukakan oleh seorang siswa kelas XII SMA Negeri 1 Ubud (penulis berasumsi siswa kelas XI belum melakukan kunjungan ke museum) yang bernama Gusti Ngurah Alit Mahendra (18 tahun) pada wawancara tanggal 19 Mei 2014 menyatakan, “…SMA Negeri 1 Ubud mengadakan kunjungan museum pada saat jeda tengah semester genap. Siswa yang berkunjung khusus hanya siswa/siswi kelas XI Bahasa dan ditemani oleh guru mata pelajaran sejarah. Kami
125
ditugaskan untuk berkunjung ke museum guna membandingkan pengetahuan yang kami peroleh pada buku pelajaran dengan benda asli atau yang riil. Pertama-tama, kami melakukan observasi kemudian mencatat dan mendokumentasikan apa yang kami peroleh di lapangan. Setelah kunjungan selesai, kami ditugaskan untuk membuat tugas individu berupa paper yang nantinya dipresentasikan dengan power point. Secara pribadi, saya cukup senang dengan adanya kunjungan museum ini. Kami yang sebelumnya hanya memperoleh pengetahuan dari buku, dapat belajar secara langsung di lingkungan sekitar yang sebelumnya belum pernah kami manfaatkan sebagai sarana belajar”. Hal senada juga diungkapkan oleh I Kadek Dwipayana (18 tahun) siswa kelas XII SMA Negeri 1 Ubud pada wawancara tanggal 17 Juni 2014 menyatakan: “…pada kegiatan tengah semester genap, siswa SMA Negeri 1 Ubud, khususnya kelas XI Bahasa berkunjung ke Museum Puri Lukisan dalam rangka kegiatan pembelajaran di luar kelas. Tugas yang diberikan oleh guru adalah mencatat koleksi-koleksi museum dari berbagai waktu. Tugas ini dikerjakan secara individu dalam sebuah paper yang nantinya dipresentasikan ke dalam power point. Secara pribadi, saya sendiri sudah sering mengunjungi museum ini mulai dari SD hingga SMA, namun, saya sendiri baru mengetahui kalau Museum Puri Lukisan dapat digunakan sebagai tambahan materi pembelajaran sejarah di kelas”. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan dengan guru dan juga siswa SMA Negeri 1 Ubud dengan menggunakan beberapa instrumen wawancara tentang kunjungan ke museum. Dari hasil wawancara dengan beberapa orang siswa yakni Alit Mahendra dan Dwipayana, mereka sepakat menyatakan bahwa siswa kelas XI Bahasa ditugaskan untuk berkunjung ke Museum Puri Lukisan guna membandingkan atau menemukan keterkaitan antara materi yang diperoleh di sekolah dengan benda nyata. Nantinya setelah kunjungan selesai, siswa ditugaskan membuat paper dan dipresentasikan dalam bentuk power point.
126
Dalam pertanyaan wawancara lainnya, penulis menanyakan manfaat yang diperoleh setelah mengunjungi museum bagi pembelajaran sejarah kebudayaan, siswa menyatakan bahwa kunjungan ke museum sangat menambah pengetahuan tentang kesejarahan terutama tentang budaya yang ada di lingkungan sekitar. Diharapkan para siswa mengetahui terlebih dahulu kebudayaan yang ada di lingkungan sekitar kemudian melestarikan hasil peninggalan leluhur dengan cara yang positif. Selain dengan beberapa orang siswa, penulis juga mewawancarai guru mata pelajaran sejarah di SMA Negeri 1 Ubud yang menyatakan bahwa benar guru mengajak siswa kelas XI Bahasa SMA Negeri 1 Ubud mengadakan kegiatan pembelajaran di luar kelas selama jeda tengah semester genap. Hal ini dimaksudkan agar siswa memiliki pemahaman tersendiri mengenai materi yang disampaikan baik itu kebudayaan pada masa pengaruh Majapahit (Hindu) maupun mengenai materi tentang sejarah kebudayaan pada masa kolonial. Siswa cukup antusias dengan tugas kunjungan museum yang dilakukan dan kemudian diimplementasikan dalam tugas paper dan dipresentasikan dengan power point. Manfaat yang diperoleh oleh siswa diantaranya menambah wawasan tentang benda-benda hasil kebudayaan khususnya karya seni yang diwariskan oleh leluhur yang wajib diketahui oleh generasi-generasi muda. Dengan melihat karya seni dari tahun sekian, siswa dari belajar secara riil dari apa yang telah diperolehnya di kelas. Selain itu, pembelajaran ke museum diharapkan dapat meningkatkan minat belajar siswa terhadap pembelajaran sejarah sehingga kesan bahwa pembelajaran sejarah yang selalu “dinomorduakan” dapat diminimalisir. Berdasarkan data kunjungan ke Museum Puri Lukisan pada bulan Mei 2014, kunjungan lebih banyak didominasi oleh wisatawan asing dengan persentase 86,40%.
127
Hal itu tidak terlepas dari letak museum terletak di jantung kawasan internasional Ubud. Untuk wisatawan lokal termasuk para siswa persentasenya hanya 12,46% disusul oleh kategori anak-anak dengan jumlah persentase 1,14%. Berdasarkan persentase tersebut, minat masyarakat lokal (termasuk siswa) masih terbilang minim untuk mengunjungi Museum Puri Lukisan sehingga perlu diupayakan minat kunjungan masyarakat lokal khususnya para siswa dan generasi muda. Hal tersebut perlu diupayakan mengingat museum ini banyak menyimpan hasil budaya Bali yang layak diapresiasi dan dilestarikan. Untuk lebih jelasnya mengenai jumlah kunjungan Museum Puri Lukisan di Bulan Mei 2014, dapat dilihat pada tabel 4.8 di bawah ini: Tabel 4.8 Data Kunjungan ke Museum Puri Lukisan Periode Mei 2014 No 1 2 3
Kategori Pengunjung Wisatawan Asing Wisatawan Domestik Anak-anak Total Sumber: Museum Puri Lukisan (2014)
Jumlah 2955 426 39 3420
Persentase (%) 86,40 12,46 1,14 100
128
BAB V PENUTUP
5.1 Simpulan Berdasarkan hasil pembahasan dapat disimpulkan bahwa Museum Puri Lukisan merupakan museum Bali Modern yang pengelolaannya berada di bawah Yayasan Ratna Wartha. Pendirian museum ini dimaksudkan untuk mempertahankan dan mengabadikan keunggulan hasil usaha membina seni. Selain itu, khawatir karyakarya seniman Bali yang terbaik lebih banyak dibawa ke luar negeri dan tidak bisa dinikmati oleh generasi selanjutnya. Oleh sebab itu, timbul upaya-upaya menyelamatkan hasil karya seni dengan mendirikan museum sehingga menimbulkan suatu ide atau gagasan untuk membangun sebuah museum. Pada tahun 1953 Tjokorda Gede Agung Soekawati mengemukakan gagasan pendirian museum kepada Bapak Alisastroamidjojo yang pada saat itu menjabat sebagai Duta Besar Indonesia di Amerika Serikat. Gagasan tersebut didukung oleh beliau dan juga Pemerintah Bali pada saat itu. Setelah memperoleh dukungan kemudian dibentuk suatu panitia yang selanjutnya ditetapkan sebagai pengurus yayasan dengan nama “Yayasan Ratna Wartha” dan disahkan berdasarkan akta notaris yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah Bali pada tahun 1953 di Denpasar. Terkait dengan pembangunan museum,
129
yayasan banyak mendapat banyak sumbangan dari berbagai pihak. Sumbangan dana yang terkumpul semuanya berjumlah 80.000 gulden. Selain itu, ada juga sumbangan berbentuk koleksi yang terdiri dari lukisan dan patung-patung. Dengan demikian jumlah koleksi yang tertampung pada waktu itu cukup banyak sehingga Museum Bali Modern dapat dibuka secara resmi pada tanggal 1 Juli 1956 dengan nama “Museum Puri Lukisan”. Struktur bangunan Museum Puri Lukisan dengan luas wilayah sekarang kurang lebih 1,3 Ha memiliki corak bangunan yang khas dengan arsitektur Bali yang menggunakan konsep Asta Kosala-kosali yang terdiri dari bale dangin (gedung timur), bale daja (gedung utara), bale dauh (gedung barat), dan bale kelod (gedung selatan). Konsep tersebut sedikit bersentuhan dengan pengaruh Eropa karena yang merancang struktur bangunan museum adalah Rudolf Bonnet. Untuk pameran koleksinya, penempatan koleksi Museum Puri Lukisan dibagi ke dalam 4 gedung diantaranya; 1. Gedung pertama (gedung utara) yang merupakan gedung utama karena pada saat dibukanya museum ini untuk umum pada tahun 1956, baru gedung ini yang selesai dibangun. Gedung ini memamerkan hasil karyakarya para seniman yang dibuat pada era Pita Maha sebelum Perang Dunia II dengan jumlah koleksi seni lukis yang dipamerkan sebanyak 61 buah dan seni patung sebayak 43 buah. 2. Gedung kedua (gedung barat) merupakan galeri yang memamerkan hasil karya seniman yang dibuat setelah Perang Dunia II hingga sampai saat ini
130
(kontemporer) atau yang biasa disebut dengan aliran Tradisional-Modern dengan jumlah karya seni lukis dan patung sebanyak 55 dan 21 buah. 3. Gedung ketiga (gedung timur) memajangkan jumlah karya lukis sebanyak 47 buah dan patung sebanyak 3 buah dengan karya-karya seni lukis Aliran Bali Klasik bertemakan pewayangan dari lukisan klasik yang telah ada sebelum abad ke 20 dan dikombinasikan dengan karya-karya tema pewayangan yang sudah mengalami perkembangan sampai saat yang terdiri dari wayang style Ubud, Batuan dan lain sebagainya. 4. Terakhir, gedung keempat bernama Journey of Tjokorda Gde Agung Sukawati yang memajang kurang lebih 26 karya lukis dan 12 buah karya patung yang dipadukan dengan foto perjalanan Ida Tjokorda Gde Agung Sukawati yang berkolaborasi dengan dua seniman barat yaitu Walter Spies dan Rudolf Bonnet Pemanfaatan Museum Puri Lukisan sebagai sumber belajar sejarah kebudayaan nampaknya memerlukan strategi serta metode yang tepat guna mempermudah tenaga pendidik mentransformasikan nilai-nilai sejarah kepada peserta didik, serta di lain pihak peserta didik dapat menyerap secara optimal nilai-nilai yang telah disampaikan. Adapun strategi dan metode yang akan dipakai penulis yakni, menggunakan strategi contextual teaching and learning
(CTL) dengan metode
inquiry. Salah satu sekolah yang memanfaatkan Museum Puri Lukisan sebagai sumber belajar sejarah kebudayaan adalah SMA Negeri 1 Ubud. Manfaat yang diperoleh oleh siswa dengan menjadikan museum tersebut sumber belajar sejarah
131
kebudayaan diantaranya menambah wawasan tentang benda-benda hasil kebudayaan khususnya karya seni yang diwariskan oleh leluhur yang wajib diketahui oleh generasi-generasi muda serta menumbuhkan rasa kecintaan terhadap hasil budaya yang dimiliki. Dengan melihat karya seni dari tahun sekian, siswa dari belajar secara riil dari apa yang telah diperolehnya di kelas. Selain itu, pembelajaran ke museum diharapkan dapat meningkatkan minat belajar siswa terhadap pembelajaran sejarah sehingga kesan bahwa pembelajaran sejarah yang selalu “dinomorduakan” dapat diminimalisir.
5.2 Saran Sebagai bagian akhir dari tulisan ini, penulis memberikan saran dan masukan kepada siswa dan guru, masyarakat umum, pengunjung dan pemerintah. Adapun saran yang dapat penulis sampaikan sebagai berikut: 1. Bagi siswa dan guru, Museum Puri Lukisan diharapkan dapat meningkatkan sebagai sumber belajar di luar sekolah sehingga pemahaman dan hasil belajar siswa khususnya berkaitan dengan sejarah kebudayaan dapat ditingkatkan. 2. Bagi masyarakat umum, diharapkan dapat memfungsikan Museum Puri Lukisan sebagai sumber belajar umum secara positif dan mampu melestarikan hasil budaya leluhur. 3. Bagi pengunjung (peneliti), yang ingin mengkaji tentang Museum Puri Lukisan masih banyak topik yang biasa diangkat dan menarik untuk dikaji. Walaupun peneliti sudah mengkaji dari aspek pendidikan yang
132
penulis teliti, selain itu dari pariwisata, ekonomi, budaya tentu akan lebih menarik.
Sehingga
hasil
penelitian
dapat
digunakan
sebagai
acuan/referensi dalam karya tulis lainnya. 4. Bagi pemerintah yang terkait, diharapkan ikut serta mengawasi dan menjaga eksistensi Museum Puri Lukisan, meskipun museum ini merupakan museum swasta namun hendaknya turut diperhatikan karena museum ini merupakan salah satu kolektor hasil budaya Bali.
DAFTAR PUSTAKA
Arsyad, Azhar. 2006. Media Pembelajaran. Jakarta: Rajagrafindo Persada Arthanegara, I Gusti Bagus. 1982/1983. Pendayagunaan Koleksi Museum Bali Dalam Pengajaran Sejarah di SMTA Denpasar. Dalam Menyongsong 50 Tahun Museum Bali (hlm. 19-25). Denpasar: Proyek Pengembangan Permuseuman Bali, Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Asmito. 1992. Sejarah Kebudayaan Indonesia. Semarang : IKIP Semarang Press Aspriyanti, Ayu. 2012. Museum Gunungapi Batur, Kintamani, Bangli dalam Perspektif Pendidikan. Skripsi (Tidak Diterbitkan). Jurusan Pendidikan Sejarah. Singaraja Atmaja, Bawa. 2011. Pengembangan Museum Sebagai Daya Tarik Wisata Budaya : Perspektif Antropologis. Bali : Universitas Pendidikan Ganesha Badan Pusat Statistik Kabupaten Gianyar. 2013. Kecamatan Ubud Dalam Angka Bajra, Ida Bagus dkk. 2013. Selayang Pandang Bale Agung Ubud. Bali : Yayasan Budaya Dharma Kawisastra Basrul, Akram. 1986. Buku Pintar Bidang Permuseuman. Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Budiastra, Putu. 1972. Katalogus Museum Bali. Proyek Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta 1972 ----------. 1981/1982. Museum Bali. Proyek Pengembangan Permuseuman Bali, Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan 1981/1982 Direktorat Museum Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala Departemen Kebudayaan Pariwisata. 2007. Pengelolaan Koleksi Museum. Jakarta Harianti, Wahyu. 2013. Persepsi Siswa Terhadap Guru Sejarah yang Ideal (Studi Kasus pada Kelas XI IPS Tahun Pelajaran 2012/2013 di SMAN 1 Nusa Penida, Kabupaten Klungkung, Bali). Skripsi (Tidak Diterbitkan). Jurusan Pendidikan Sejarah. Singaraja Ishqaq, H. M 1999/2000. Kecil Tetapi Indah : Pedoman Pendirian Museum. Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Proyek Pembinaan Permuseuman.
Kartono, Kartini. 1996. Pengantar Metodologi Riset Sosial. Bandung : Mandar Maju Mulyasa. 2010. Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan : Kemandirian Guru dan Kepala Sekolah. Jakarta : PT Bumi Aksara Nusa Bali. 2014. Artikel : Seniman Ubud Padukan Pengaruh Timur dan Barat Oloffson, Ulla Keding. 1991. Museum dan Anak-anak Risalah Tentang Pendidikan. Jakarta : Balai Pustaka Pageh, Made. 2000. Pengantar Ilmu Sejarah. STKIP Singaraja Parwata, I Made. 1999. Pelaksanaan Taur Agung Pedanan dan Penerapannya Dalam Meningkatkan Sradha Bhakti Umat Hindu di Desa Adat Ubud, Desa Ubud, Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar. Skripsi (Tidak Diterbitkan). STAH Parama Dharma Denpasar. Profil Pembangunan Kelurahan Ubud 2009 Profil Pembangunan Kelurahan Ubud 2013 Rangkuti, Sofia. 2002. Manusia Indonesia dan Kebudayaan di Indonesia, Teori dan Konsep. Jakarta: Dian Rakyat Rohani, Ahmad. 2000. Media Instruksional Edukatif. Jakarta : Rineka Cipta Rusman. 2012. Model-Model Pembelajaran Mengembangkan Profesionalisme Guru. Jakarta: Rajawali Pers. Sanjaya, Wina. 2006. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta : Kencana ----------. 2009. Kurikulum dan Pembelajaran : Teori dan Praktik Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Jakarta : Kencana Seraya, I Made. 1981/1982. Museum Puri Lukisan Yayasan Ratna Wartha. Dalam Mengenal Beberapa Museum di Bali (hlm 45-66). Denpasar : Proyek Pengembangan Permuseuman Bali Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. -----------. 1982/1983. Langkah-langkah Museum Bali Dalam Rangka Memupuk Apresiasi dan Membina Cinta Budaya Generasi Muda). Dalam Menyongsong 50 Tahun Museum Bali (hlm. 69-87). Denpasar : Proyek Pengembangan Permuseuman Bali Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
---------. 1983/1984. Museum Bali Salah Satu Sumber Informasi Kebudayaan Bali Dalam Rangka Membina Cinta Budaya. Denpasar : Proyek Pengembangan Permuseuman Bali Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Sudjarwo. 1988. Beberapa Aspek Pengembangan Sumber Belajar. Jakarta : MSP Sudono, Anggani. 2000. Sumber Belajar dan Alat Permainan (Untuk Pendidikan Usia Dini). Jakarta : PT. Grasindo Sumadio, Bambang. 1996. Bunga Rampai Permuseuman. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Direktorat Permuseuman Sugiartha, Wayan dkk. 2004. Fungsi Museum Sejarah Dari Sosiologi Antropologi (Kajian Tentang Museum Bali, Denpasar dan Museum Subak, Tabanan Dalam Rangka Penelusuran Jejak Sejarah dan Budaya). IKIP Negeri Singaraja Sulistyo & Mulyono. 2000. Kamus Bahasa Indonesia. Surakarta : ITA Suparno, Suhaenah. 1998/1999. Pemanfaatan dan Pengembangan Sumber Belajar Pendidikan Dasar. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Proyek Pendidikan Guru Sekolah Dasar. Sustrawan, I Gede. 2011. Museum Arkeologi Gedung Arca di Desa Bedulu Gianyar Bali : Sejarah, Struktur dan Fungsinya Sebagai Sumber Belajar Sejarah (Studi Kasus di SMPN 3 Tampaksiring). Skripsi (Tidak Diterbitkan). Jurusan Pendidikan Sejarah. Singaraja Sutaarga, Amir. 1962. Persoalan Museum di Indonesia. Jakarta: Jawatan, Kebudayaan Departemen P & K. ------------. 1999/2000. Capita Selecta Museografi dan Museologi. Proyek Pembinaan Permuseuman, Direktorat Permuseuman, Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan Nasional 1999/2000 Sutjiatiningsih, Sri. 1995. Pengajaran Sejarah : Kumpulan Makalah Simposium. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional Suyanto & Asep, Djihad. 2012. Bagaimana Menjadi Calon Guru dan Guru Profesional. Yogyakarta : Multi Pressindo
Taniredja, dkk. 2012. Model-Model Pembelajaran Inovatif. Bandung: Alfabeta Warmadewi, Sri Jayanti. 2012. Museum Pasifika Nusa Dua dalam Perspektif Pendidikan. Skripsi (Tidak Diterbitkan). Jurusan Pendidikan Sejarah. Widia, I Wayan. 1982/1983. Beberapa Kebijakan dan Metode Pengadaan Koleksi Museum Bali Selama 50 Tahun. Dalam Menyongsong 50 Tahun Museum Bali (hlm. 1-18). Denpasar : Proyek Pengembangan Permuseuman Bali Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Widja, I Gede. 1989. Dasar-Dasar Pengembangan Strategi Serta Metode Pengajaran Sejarah. Jakarta: Debdikbud --------, 1991. Sejarah Lokal Suatu Perspektif Dalam Pengajaran Sejarah. Bandung : Angkasa Yayasan Ratna Wartha. 2013. Uraian Gedung-gedung Museum Puri Lukisan.
Lampiran 1 PEDOMAN WAWANCARA A. Tujuan Wawancara Wawancara ini dilakukan untuk memperoleh informasi terkait permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana latar belakang berdirinya Museum Puri Lukisan ? 2. Bagaimana tata ruang dan koleksi-koleksi yang terdapat di Museum Puri Lukisan ? 3. Koleksi-koleksi apa saja yang terdapat dalam Museum Puri Lukisan yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber belajar sejarah kebudayaan ? B. Informan Adapun subjek yang dijadikan sebagai informan dalam wawancara ini sebagai berikut: 1. Kepala Divisi Museum Puri Lukisan. 2. Kepala Divisi Operasional Museum Puri Lukisan. 3. Kurator. 4. Beberapa Guru SMA Negeri 1 Ubud. 5. Sejumlah Siswa SMA Negeri 1 Ubud. C. Kerangka wawancara Kisi-kisi wawancara yang akan ditanyakan kepada informan meliputi: 1. Kerangka wawancara dengan Kepala Divisi Museum, Kepala Divisi Operasional Museum, dan Kurator Museum.
a. Bagaimana latar belakang berdirinya Museum Puri Lukisan ? b. Apa tujuan didirikan Museum Puri Lukisan ? c. Siapa saja pihak yang berperan dalam pendirian Museum Puri Lukisan ? d. Kenapa Desa/Kelurahan Ubud dipilih sebagai tempat mendirikan Museum Puri Lukisan ? e. Berapa luas wilayah Museum Puri Lukisan ? f. Bagaimana proses pembangunan dan renovasi Museum Puri Lukisan ? g. Bagaimana corak bangunan Museum Puri Lukisan ? h. Bagaimana struktur bangunan Museum Puri Lukisan ? i. Bagaimana sistem pembagian ruangan/bangunan untuk penempatan koleksi museum? j. Jenis koleksi apa saja yang terdapat di Museum Puri Lukisan ? k. Darimana saja asal koleksi yang ada di Museum Puri Lukisan ? l. Bagaimana keadaan koleksi Museum Puri Lukisan ? m. Upaya apa yang dilakukan oleh Museum dalam merawat koleksi yang ada ? n. Apa saja makna yang terkandung dalam koleksi Museum Puri Lukisan ? o. Bagaimana tingkat kunjungan wisatawan lokal maupun mancanegara ke Museum Puri Lukisan ? p. Bagaimana sistem pengelolaan Museum Puri Lukisan ? q. Bagaimana keadaan staf pegawai Museum Puri Lukisan ? r. Bagaimana ketentuan penggunaan tiket ?
s. Apa saja keunggulan Museum Puri Lukisan dibandingkan museum lainnya yang ada di Bali ? t. Apakah Museum Puri Lukisan dapat berfungsi sebagai sumber belajar sejarah kebudayaan di SMA kelas XI Bahasa ? u. Bagaimana peranan Museum Puri Lukisan sebagai sumber belajar sejarah kebudayaan di SMA kelas XI Bahasa ? v. Strategi apa yang digunakan oleh Museum Puri Lukisan untuk mengenalkan koleksi, khususnya kepada para siswa ? w. Apakah ada petugas khusus yang memberikan informasi kepada pengunjung (siswa) tentang koleksi Museum Puri Lukisan ? 2. Kerangka wawancara dengan guru Sejarah di SMA Negeri 1 Ubud a. Apakah Bapak/Ibu pernah mengajak siswa berkunjung ke Museum Puri Lukisan ? b. Terkait dengan pembelajaran Sejarah Kebudayaan di Kelas XI Bahasa, apakah Museum Puri Lukisan dapat difungsikan sebagai sumber belajar sejarah bagi siswa ? c. Untuk bagian materi apa dalam silabus yang relevan dengan Museum Puri Lukisan ? d. Strategi pembelajaran apa yang bapak/ibu terapkan jika mengajak siswa berkunjung ke Museum Puri Lukisan ? e. Apa saja tugas yang diberikan kepada siswa jika berkunjung ke Museum Puri Lukisan ?
f. Apa hasil yang bapak/ibu harapkan dengan memfungsikan Museum Puri Lukisan sebagai sumber belajar Sejarah Kebudayaan ? 3. Kerangka wawancara dengan sejumlah siswa SMA Negeri 1 Ubud a. Apakah anda pernah berkunjung ke Museum Puri Lukisan ? b. Kapan anda terakhir berkunjung ke Museum Puri Lukisan ? c. Hal menarik apa yang anda temui di Museum Puri Lukisan ? d. Menurut anda, apakah Museum Puri Lukisan dapat difungsikan sebagai sumber belajar sejarah, terutama sejarah kebudayaan ? e. Apakah pengetahuan/pemahaman anda terhadap pembelaran sejarah bertambah setelah berkunjung ke Museum Puri Lukisan ?
Lampiran 2
DAFTAR INFORMAN
1. Nama
: Tjokorda Raka Kerthiyasa, S.Sos., M.Si
Pekerjaan
: Bendesa Desa Pakraman Ubud
Umur
: 58 tahun
Alamat
: Puri Agung Ubud, Ubud, Gianyar
Tanggal wawancara : 17 Juni 2014
2. Nama
: Dewa Gede Agung Putrawan, SH
Pekerjaan
: Kasi Pemerintahan dan Trantib Kelurahan Ubud
Umur
: 45 tahun
Alamat
: Kelurahan Ubud, Ubud, Gianyar
Tanggal wawancara : 18 Juni 2014
3. Nama
: Ir. Tjokorda Bagus Astika
Pekerjaan
: Kepala Divisi Museum Puri Lukisan
Umur
: 60 tahun
Alamat
: Puri Menara, Ubud, Gianyar
Tanggal wawancara : 8 Mei, 10 Mei dan 16 Juni 2014
4. Nama
: I Made Suteja
Pekerjaan
: Kepala Operasional Museum Puri Lukisan
Umur
: 47 tahun
Alamat
: Kelurahan Ubud, Ubud, Gianyar
Tanggal wawancara : 14 Mei 2014
5. Nama
: Anak Agung Moning
Pekerjaan
: Kurator Museum Puri Lukisan
Umur
: 82 tahun
Alamat
: Desa Batuan, Sukawati, Gianyar
Tanggal wawancara : 6 Mei dan 16 Juni 2014
6. Nama
: Drs. I Wayan Sudarsana, M.Pd
Pekerjaan
: PNS (Guru Sejarah SMA Negeri 1 Ubud)
Umur
: 46 tahun
Alamat
: Kelurahan Ubud, Ubud, Gianyar
Tanggal wawancara : 17 Mei 2014
7. Nama
: Drs. Made Labha Suwipra
Pekerjaan
: PNS (Guru Sejarah SMA Negeri 1 Ubud)
Umur
: 52 tahun
Alamat
: Desa Petak, Gianyar
Tanggal wawancara : 17 Mei 2014
8. Nama
: Gusti Agung Bianca Maha Redayadarani Wiguna
Pekerjaan
: Pelajar (Siswa SMA Negeri 1 Ubud)
Umur
: 17 tahun
Alamat
: Kelurahan Ubud, Ubud, Gianyar
Tanggal wawancara : 2 April 2014
9. Nama
: I Wayan Pradnya
Pekerjaan
: Pelajar (Siswa SMA Negeri 1 Ubud)
Umur
: 17 tahun
Alamat
: Kelurahan Ubud, Ubud, Gianyar
Tanggal wawancara : 2 April 2014
10. Nama
: Gusti Ngurah Alit Mahendra
Pekerjaan
: Pelajar (Siswa SMA Negeri 1 Ubud)
Umur
: 18 tahun
Alamat
: Kelurahan Ubud, Ubud, Gianyar
Tanggal wawancara : 19 Mei 2014
11. Nama
: I Kadek Dwipayana
Pekerjaan
: Pelajar (Siswa SMA Negeri 1 Ubud)
Umur
: 18 tahun
Alamat
: Kelurahan Ubud, Ubud, Gianyar
Tanggal wawancara : 17 Juni 2014
RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP)
Perkembangan Kebudayaan Bangsa Indonesia Masa Kolonial
OLEH : I Wayan Agus Suatmika 1014021003 JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA SINGARAJA 2014
RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP) Satuan Pendidikan
: SMA Negeri 1 Ubud
Mata Pelajaran
: Sejarah
Kelas/Semester
: XI Program Bahasa / 2 (Genap)
Pertemuan
:3
Waktu
: 2 x 45 Menit
Tahun Pelajaran
: 2013/2014
STANDAR KOMPETISI : Menganalisis perkembangan Bangsa Indonesia sejak masuknya
pengaruh
Barat
sampai
dengan
pendudukan Jepang KOMPETISI DASAR
: Menganalisis perkembangan pengaruh Barat dan perubahan ekonomi, demografi, dan kehidupan sosial budaya masyarakat Indonesia pada masa kolonial
INDIKATOR
: 1. Menjelaskan latar belakang didirikannya Museum Puri Lukisan, Kelurahan Ubud, Kecamatan Ubud, Gianyar 2. Memfungsikan koleksi Museum Puri Lukisan sebagai sumber belajar sejarah kebudayaan
Indikator afektif yang hendak dicapai dalam pembelajaran ini 1. siswa dapat mengikuti pelajaran dengan tertib. 2. siswa memiliki rasa ingin tahu mengenai latar belakang didirikanya Museum Puri Lukisan, Kelurahan Ubud, Kecamatan Ubud, Gianyar. 3. siswa dapat mengidentifikasi asal-usul pembuatan dan makna-makna yang terkandung dalam koleksi Museum Puri Lukisan.
4. siswa dapat belajar secara langsung dengan berinteraksi dengan lingkungan. 5. siswa dapat memiliki rasa toleransi antar sesama 6. siswa dapat mengapresiasi dan menjaga hasil budaya yang dimiliki 7. siswa memberikan tanggapan terhadap materi pelajaran yang diberikan. 8. siswa mampu menjawab pertanyaan yang diberikan guru. I. Tujuan Pembelajaran 1. Melalui penjelasan guru, siswa dapat menjelaskan latar belakang didirikanya Museum Puri Lukisan, Kelurahan Ubud, Kecamatan Ubud, Gianyar 2. Melalui media gambar, siswa dapat mendeskripsikan secara langsung wujud koleksi Museum Puri Lukisan. 3. Melalui proses diskusi, siswa dapat mengelompokkan jenis koleksi Museum Puri Lukisan berdasarkan urutan waktu pembuatannya dan mengetahui makna-makna yang terkandung di dalamnya. II. Materi A. Masuknya Pengaruh Barat ke Indonesia Seperti yang kita ketahui, Bangsa Indonesia sejak abad ke 16 telah menjalin interaksi dengan bangsa-bangsa asing dari benua Eropa seperti Portugis, Spanyol, Belanda, Perancis dan Inggris yang semula bertujuan untuk berdagang dan mencari rempah-rempah namun seiring waktu berubah menjadi politik imperialisme dan kolonialisme. Terlepas dari penjajahan yang dilakukan oleh bangsa Barat, interaksi antara penduduk pribumi Indonesia dengan bangsa asing selama ratusan tahun membawa suatu akulturasi budaya yang sangat kompleks. Pengaruh kebudayaan Barat memiliki peranan besar terhadap perkembangan kebudayaan yang dimiliki oleh Indonesia. Portugis misalnya, bangsa ini merupakan pelopor lahirnya aliran musik keroncong; Belanda selain memperkenalkan sistem bercocok tanam tanaman komoditi, mereka juga mengenalkan Bahasa Belanda di sekolah-sekolah pribumi. Khusus di Bali, jalinan interaksi dengan bangsa Barat yakni Belanda dimulai ketika Cornelis de Houtman singgah di Bali pada tahun 1597. Hubungan Bali dan
Belanda selanjutnya tidak terlalu intensif hingga di akhir abad ke 19 atau awal abad ke 20 interaksi antara Bali dengan Belanda berlangsung dengan cara konflik yang ditandai dengan meletusnya Perang Jagaraga, Puputan Badung hingga Puputan Klungkung. Kemudian, ketika Bali mulai dibuka sebagai objek pariwisata pada tahun 1927, para pelancong dari Barat (salah satunya para seniman) mulai berdatangan ke Bali yakni Walter Spies dan Rudolf Bonnet pada 1926 dan 1928. Kedatangan mereka memberikan warna baru bagi kebudayaan Bali, khususnya di bidang seni lukis. seni lukis Bali yang semula hanya terkena pengaruh Hindu dan temanya hanya berkutat pada sisi religius dan tokoh-tokoh pewayangan kemudian beralih mulai menggarap tema-tema yang bersifat natural dan realis misalnya pemandangan sawah ataupun kehidupan sosial masyarakat. Dari wujud visual, seni lukis Bali pada saat itu sudah mulai mengenal anatomi, volume maupun perspektif. Selain itu, pengaruh dari seniman barat itu juga telah menambah pengetahuan bentuk, plastisitas, pengolahan ruang dan teknik melukis secara efisien. B. Latar Belakang didirikanya Museum Puri Lukisan Timbulnya gagasan mendirikan Museum Puri Lukisan itu sebenarnya berkaitan erat dengan sejarah suatu organisasi perkumpulan pelukis dan pemahat Bali bernama “Pita Maha”. Jauh sebelum Bali didatangi dan didiami oleh orang-orang Barat, seni lukis dan seni ukir Bali pada umumnya bergaya klasik tradisional, sebagai perkembangan lanjut dari kehidupan seni masa tradisi besar di Bali. Hasil seni serupa itu pada dasarnya menunjukkan ciri rasa pengabdian terhadap keagamaan dan kehidupan kemanusiaan. Di antaranya tercermin pada temanya yang mengambil isi cerita pewayangan seperti Ramayana, Maha Bharata, Sutha Soma dan cerita rakyat lainnya yang bersifat suci. Ungkapan tersebut pada umumnya dipakai orang untuk keperluan upacara sebagai alat perlengkapan, hiasan tempat-tempat suci dan ada pula dipakai pada bangunan tempat tinggal dan sebagainya. Sedangkan bahan-bahannya sebagian besar mempergunakan bahan lokal buatan Bali. Dengan dibukanya Bali sebagai obyek pariwisata pada tahun 1927 yang diikuti oleh datangnya seniman-seniman asing ke Bali yakni Walter Spies (seniman
berkebangsaan Jerman) pada akhir tahun 1926 dan Rudolf Bonnet (seniman Belanda) pada tahun 1928 membawa perubahan yang tidak kecil bagi perkembangan seni lukis dan ukir di Bali. Kedua tokoh seniman barat selama di Bali membimbing dan memberikan dasar-dasar baru dari pada perkembangan kehidupan karya seni para seniman Bali. Pada mulanya mereka tertarik kesenian Bali. Begitu pula sangat prihatin terhadap kehidupannya. Oleh sebab itu, mereka mengusulkan suatu usaha untuk mengangkat kesejahteraan seniman agar hasil karya seni dapat berkembang sesuai dengan arah dan tujuan yang diinginkan. Gagasan tersebut mendapat dukungan dari Tjokorda Gede Agung Sukawati dan Tjokorda Gede Rai Peliatan dan tidak lama berselang, tahun 1930 gagasan itu dapat diwujudkan dengan nama “Pita Maha” yang diberikan oleh seorang sastrawan Ubud, Tjokorda Ngoerah Lingsir. Organisasi ini memiliki tujuan yakni tidak mementingkan keuntungan matrial atau uang, melainkan ingin memajukan atau mengembangkan hasil karya seni dan mengangkat kesejahteraan para senimannya. Dengan jumlah anggota kurang lebih mencapai 125 orang, Pita Maha berperan aktif dalam pameran-pameran seni. Adapun pameran-pameran tersebut dilaksanakan di berbagai tempat seperti di Surabaya, Jakarta, Medan, Balikpapan, Yogyakarta (Museum Sonobudoyo), di Negeri Belanda, Amerika, Perancis dan Inggris. Pada saat diselenggarakan pameran dunia di Paris pada tahun 1934, dua orang anggota pernah menerima hadiah bintang perak, masing-masing atas nama Ida Bagus Gelgel berasal dari Kesiman dan Ida Bagus Kembeng berasal dari Ubud. Karena kesuksesan dalam menyelenggarakan berbagai pameran, Pita Maha mendapat apresiasi dari asisten Residen Pemerintah Hindia Belanda yang berkedudukan di Singaraja dan kontrolir yang berkedudukan di Gianyar pada saat itu. Suatu usaha untuk dapat mencapai kemajuan ataupun popularitas seperti itu tidaklah luput dari tantangan fisik maupun mental. Suatu pemikiran yang pada hakekatnya bertujuan mempertahankan dan mengabadikan keunggulan hasil usaha membina seni seperti yang telah dijelaskan sebelumnya menimbulkan suatu idea tau gagasan lagi di kalangan pengurus dan anggotanya untuk membangun sebuah wadah yaitu sebuah museum Bali modern. Gagasan tersebut mendapat sokongan moral dan
material dari anggota Pita Maha. Akan tetapi, akibat meletusnya PD II gagasan tersebut tersendat-sendat. Akan tetapi, tahun 1947 gagasan tersebut diungkapkan kembali. Semula bangunan museum akan dikerjakan di lahan lapangan desa Mas sekarang. Akan tetapi, karena adanya keinginan masyarakat Mas membuat alun-alun, rencana mendirikan Museum Bali modern di tempat itu menjadi batal. Kemudian melalui musyawarah dan mufakat yang dipimpin oleh koordinatif punggawa Ubud, Tjokorda Agung Sukawati diputuskan bahwa museum Bali modern tersebut didirikan di sekitar desa Ubud. Ada yang mengusulkan dibangun di Campuhan, ada yang mengusulkan di sebelah timur Pura Batukaru (di sebelah utara perempatan jalan raya Ubud sekarang). Berdasarkan berbagai pertimbangan akhirnya dipilih sebidang tanah munduk yaitu tempat Museum Puri Lukisan sekarang. Pada tahun 1953 Tjokorda Gede Agung Sukawati mengemukakan gagasan pendirian museum kepada Bapak Alisastroamidjojo yang pada saat itu menjabat sebagai Duta Besar Indonesia di Amerika Serikat. Gagasan tersebut didukung oleh beliau dan juga Pemerintah Bali pada saat itu. Setelah memperoleh dukungan kemudian dibentuk suatu panitia yang selanjutnya ditetapkan sebagai pengurus yayasan dengan nama “Yayasan Ratna Wartha” dan disahkan berdasarkan akta notaris yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah Bali pada tahun 1953 di Denpasar. Yayasan tersebut terdiri dari 3 orang yaitu Tjokorda Agung Gede Soekawati, selaku ketua; Tjokorda Agung Mas, selaku penulis dan bendahara dan Tjokorda Anom Bawa sebagai pembantu. Pada tanggal 14 Januari 1954 datang utusan Yang Mulia Perdana Menteri Alisastroamidjojo bersama Bapak Soedarsono Kepala Kebudayaan Yogyakarta. Utusan tersebut membawa kabar bahwa Yang Mulia akan hadir bersama Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohamad Yamin dan wakil Perdana Menteri Bapak Wongso serta menteri-menteri lainnya untuk meletakkan batu pertama Museum Puri Lukisan pada tanggal 31 Januari 1954. Setelah peletakan batu pertama, muncul tantangan baru terkait usaha untuk merampungkan pembangunan. Pengurus yayasan senantiasa mengambil langkah bijaksana sehingga dapat memperoleh sumbangan dana dari dalam maupun luar negeri. Di samping mendapat bantuan dari dari Pemerintah RI, juga ada donatur dari
luar negeri seperti Asia Foundation, Ford Foundation, Sticcusa, pengusaha-pengusaha swasta dan perorangan lainnya. Sumbangan dana yang terkumpul semuanya berjumlah 80.000 gulden. Selain itu, ada juga sumbangan berbentuk koleksi yang terdiri dari lukisan dan patung-patung. Para dermawan yang paling banyak memberikan sumbangan koleksi adalah Rudolf Bonnet, di samping hasil karya para seniman lainnya. Dengan demikian jumlah koleksi yang tertampung pada waktu itu cukup banyak sehingga Museum Bali Modern dapat dibuka secara resmi pada tanggal 1 Juli 1956 dengan nama “Museum Puri Lukisan”.
C. Koleksi-koleksi yang Terdapat di Museum Puri Lukisan Untuk penempatan koleksinya, Museum Puri Lukisan menggunakan urutan waktu berdasarkan koleksi itu dibuat dan masing-masing ditempatkan pada gedung yang berbeda-beda. 1. Gedung Pertama Gedung pertama (gedung utara) yang merupakan gedung utama karena pada saat dibukanya museum ini untuk umum pada tahun 1956, baru gedung ini yang selesai dibangun. Ukuran gedung ini kurang lebih 40 x 8 meter. Gedung ini memamerkan hasil karya-karya para seniman yang dibuat pada era Pita Maha sebelum Perang Dunia II dengan jumlah koleksi seni lukis yang dipamerkan sebanyak 61 buah dan seni patung sebanyak 43 buah dengan 3 aliran berbeda yakni aliran Ubud, Batuan dan Sanur. Adapun master pies seni lukis di gedung ini adalah karya-karya seniman I Gusti Nyoman Lempad, Ida Bagus Gelgel, I Gusti Made Deblog dkk, sedangkan karya patung yang menjadi master pies adalah karya-karya seniman Ida Bagus Nyana, Ida Bagus Tilem, I Nyoman Cokot dan seniman-seniman lainnya. 2. Gedung Kedua Gedung kedua (gedung barat) merupakan galeri yang memamerkan hasil karya seniman yang dibuat setelah Perang Dunia II hingga sampai saat ini
(kontemporer) atau yang biasa disebut Tradisional-modern. Gedung seluas kira-kira 38 x 12 meter ini merupakan bukti nyata dari revolusi karya seniman-seniman Bali. Hal itu itu karena sejak tahun 1946, para seniman tidak lagi membuat karya seni dengan hanya mengandalkan teknik dua dimensi maupun tiga dimensi namun sudah memiliki perspektif maupun anatomi yang sesuai dengan objek yang ingin dikerjakan. Salah satu gaya lukisan yang terkenal selain gaya Tradisional-modern di gedung ini adalah aliran Young Artist. Aliran ini dibawa oleh Arie Smith seorang pelukis asal Belanda pada tahun 1956 dan ketika ia tiba di Bali, ia menemukan beberapa pengaruh Barat pada lukisan-lukisan seniman Bali. Kemudian, Arie Smith ini membimbing seniman-seniman muda di daerah Penestanan, Ubud untuk mengembangkan teknik baru dalam melukis. Teknik ini menggunakan warna yang berbeda-beda dan terang dalam kombinasi dengan tema-tema yang imaginatif. Aliran ini penuh dengan warna dan tema yang sederhana yaitu timbul dengan sendirinya dan tidak dibuat-buat.Adapun karya lukis yang menjadi master pies adalah karya seniman Ida Bagus Made Poleng, Anak Agung Gede Sobrat, Dewa Nyoman Batuan dan I Ketut Budiana dengan jumlah karya seni lukis dan patung sebanyak 55 dan 21 buah. 3. Gedung Ketiga Gedung ketiga (gedung timur) memiliki luas ruangan ini kurang lebih 38 x 12 meter dan memamerkan lukisan aliran wayang atau yang biasa disebut Seni Lukis Bali Klasik. Awal mula masuknya aliran wayang atau yang biasa disebut Seni Lukis Bali Klasik tidak bisa dilepaskan dari pengaruh Kerajaan Majapahit yang berkuasa di nusantara. Ketika Majapahit menguasai Bali, mereka turut membawa kebudayaan mereka berupa ornamen-ornamen yang memiliki karakter Hindu India seperti dalam cerita Ramayana, Mahabharata. Khusus untuk pewarnaannya hanya menggunakan lima buah warna diantaranya; (1) warna merah vermilion; (2) warna biru; (3) warna kuning; (4) warna hitam; dan (5) warna putih. Perkembangan seni lukis Bali klasik berkembang pesat di Desa Kamasan, Klungkung sehingga dikenal dengan Gaya
Kamasan. Aliran yang memiliki bentuk stylistik yang kuat dengan perspektif gelap ke terang ini semakin berkembang ke daerah lain seperti di Batuan dan Kerambitan. Adapun jumlah karya lukis sebanyak 47 buah dan patung sebanyak 3 buah dengan karya-karya seni lukis bertemakan pewayangan dari lukisan klasik yang telah ada sebelum abad ke 20 dan dikombinasikan dengan karya-karya tema pewayangan yang sudah mengalami perkembangan sampai saat yang terdiri dari wayang style Kamasan, Ubud, Batuan dan lain sebagainya. 4. Gedung Keempat Terakhir, gedung keempat bernama Journey of Tjokorda Gede Agung Sukawati. Gedung seluas 40 x 15 meter ini merupakan gedung koleksi Museum Puri Lukisan yang paling baru yang diselesaikan pada tahun 2011 dan memajang kurang lebih 26 karya lukis dan 12 buah karya patung yang dipadukan dengan foto perjalanan Ida Tjokorda Gede Agung Sukawati yang berkolaborasi dengan dua seniman barat yaitu Walter Spies dan Rudolf Bonnet. Selain itu, dalam waktu-waktu tertentu, gedung ini ini juga berfungsi sebagai tempat untuk pameran temporer
III. Strategi/Metode Pembelajaran Strategi Pembelajaran : contextual teaching and learning (CTL) Metode Pembelajaran : inquiry. Tanya jawab Penugasan IV. Kegiatan Pembelajaran N
Tahapan
Kegiatan Pembelajaran
o 1
Guru Pendahulun
Siswa
Guru datang tepat waktu. Guru
membuka
Waktu
pelajaran
Siswa menyambut guru dengan
tertib
sambil
10 menit
dengan mengucapkan salam. Guru
melakukan
absensi Siswa membalas dengan
(menanyakan kepada siswa mengenai
membaca buku di kelas.
kehadiran
mengucapkan salam.
para Ketua Kelas menjawab
siswa dan keterangan siswa
pertanyaan guru dengan
yang tidak hadir).
mengacungkan tangan.
Guru memberikan apersepsi Siswa
menyimak
atau pertanyaan untuk siswa.
pertanyaan guru dengan
dengan
baik
jalan
menanyakan
dan
menjawab
mengenai:
pertanyaan guru dengan
1. Apa yang paling kalian
baik dan benar disertai
ketahui
kalau
membahas
kita tentang
dengan
mengacungkan
tangan terlebih dahulu.
kebudayaan Bali? . Guru
menyampaikan Siswa menyimak dengan
kompetensi dasar, Indikator
tertib
dan tujuan pembelajaran.
Indikator
Kemudian
memberitahu
kompetisi dan
dasar, tujuan
pembelajaran
yang
mengenai metode yang akan
diajukan
serta
digunakan pada pertemuaan
metode pengajaran.
guru
saat ini. 2
Kegiatan Inti
65
a. Eksplorasi Guru
membagikan
(dalam
bentuk
yang
berkaitan
latarbelakang
materi Siswa
membaca
dan
ringkasan)
menyimak dengan tertib
dengan
dan bersungguh-sungguh.
didirikanya
Museum Puri Lukisan kepada siswa serta memberi arahan
Menit
kepada siswa untuk membaca materi tersebut. b. Elaborasi Kemudian,
barulah
memberikan
guru Siswa
penjelasan
mengenai
latarbelakang
didirikanya
Museum
dengan
penuh
perhatian mendengarkan penjelasan guru.
Puri
Lukisan Guru kemudian menunjukkan Siswa gambar-gambar
tentang
koleksi Museum Puri Lukisan
dengan
penuh
perhatian mendengarkan penjelasan guru
beserta asal-usul serta makna yang terkandung di dalamnya Setelah itu, guru memberi Siswa
membentuk
arahan siswa agar membentuk
kelompok dengan teman
dengan teman sebangku.
sebangku.
Selanjutnya guru menugaskan Siswa pada
masing-masing
kelompok
jenis
koleksi Museum Puri Lukisan berdasarkan
urutan
pembuatannya menjelaskan koleksi
instruksi dari guru
untuk Siswa mengerjakan tugas
mengelompokkan
yang
mengerjakan
dan makna-makna
terkandung di
gedungnya.
waktu
dalam
masing-masing
dengan tertib
c. Konfirmasi Selanjutnya guru menghimbau Setiap kepada
masing-masing
kelompok
untuk
menyampaikan
hasil
klompok
menindak lanjuti intruksi dari
guru
untuk
menyampaikan
hasil
diskusinya yang diwakili oleh
diskusi
mereka.
salah seorang juru bicara.
Penyampaian
hasil
diskusi
oleh
diwakili
seorang juru bicara di masing-masing kelompok. Setelah
masing-masing Siswa
kelompok
selesai
mempresentasikan hasil kerja
dalam
berpartisipasi proses
diskusi
dengan
penuh
tersebut.
klompoknya, guru membuka sesi
diskusi,
dengan
cara
memberikan kesempatan pada masing-masing siswa untuk menambahkan jawaban yang masih dianggap kurang. Guru
menguatkan
jawaban Siswa
dan memberikan penegasan
perhatian
dari jawaban masing-masing
bersungguh-sungguh
siswa, dan memberi apresiasi
mendengarkan penguatan
bagi
jawaban dari guru
siswa
berusaha
yang
sudah
dan
mengemukakan
pendapat. Guru menyelipkan pendidikan Siswa
dengan
penuh
karakter.
perhatian mendengarkan pendidikan karakter yang disampaikan guru
Guru
merefleksi
pelajaran
yang telah dilakukan bersama siswa.
3
Penutup
Guru menyimpulkan materi Siswa menyimak secara bersama-sama dengan siswa.
Menit
sungguh-sungguh. Siswa mengacungkan tangan untuk bersamasama menyimpulkan materi hari ini
Guru memberikan motivasi Siswa
menyimak
kepada siswa agar siswa lebih
bersungguh-sungguh
aktif untuk kedepannya.
dalam
dan
mendengarkan
penjelasan dari guru Guru memberikan post test.
Siswa
dengan
bersungguh-sungguh mengerjakan
post
test
yang diberikan guru. siswa Siswa mencatat tugas yang diberikan guru mempelajari materi berikutnya
Guru dan
individu power
menugaskan
memberikan untuk point
tugas membuat mengenai
klasifikasi pembagian koleksi Museum Puri Lukisan.
15
Sebelum guru meninggalkan Siswa ikut berdoa dan kelas, guru dan siswa berdoa
memberi salam kepada
agar diberi keselamatan
guru
serta
tangan
Guru mengucapkan salam dan
mencium
guru
sebelum
meniggalkan kelas
meninggalkan kelas.
V. Alat, Bahan, Sumber Belajar Dan Media Pembelajaran : White Board, Black Board, Kapur, Spidol, dan Penghapus
1. Alat
papan. 2. Bahan
: LKS
3. Media
: Gambar Koleksi Museum Puri Lukisan
4. Sumber
: Asmito.1992. Sejarah Kebudayaan Indonesia.
Semarang : IKIP Semarang Press. Seraya, I Made. 1981/1982. Museum Puri Lukisan
Yayasan
Ratna
Wartha.
Dalam
Mengenal
Beberapa Museum di Bali (hlm 45-66). Denpasar : Proyek Pengembangan Permuseuman Bali Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Suparmin,
dkk.
2011.
Surakarta: Mediatama. VI. Penilaian A. Teknik Penilaian: test-non-test B. Bentuk Penilaian: Non-Test : Tanya jawab dan Penugasan Test : Uraian
Buku
Kerja
Siswa.
C. Instrument NO
KD Lulusan
1
Menganalisis
Materi Latar
Indikator
No Soal
Menjelaska
1.
Bentuk Soal Jelaskan
Kunci Jawaban 1. Pendirian museum
perkembanga belakang
n latar
secara
ini dimaksudkan
n
belakang
singkat
untuk
didirikanya
Latar
mempertahankan
pengaruh didirikanya
Barat
dan Museum
perubahan
Puri
Museum
Belakang
dan mengabadikan
ekonomi,
Lukisan
Puri
didirikanny
keunggulan hasil
demografi,
serta koleksi Lukisan
a Museum
usaha membina
dan
yang
Puri
seni. Selain itu,
kehidupan
terdapat di
Lukisan?
khawatir karya-
sosial budaya dalamnya
karya seniman Bali
masyarakat
yang terbaik lebih
Indonesia
banyak dibawa ke
pada
luar negeri dan
kolonial
masa
tidak bisa dinikmati oleh generasi selanjutnya. Oleh sebab itu, timbul upaya-upaya menyelamatkan hasil karya seni dengan mendirikan museum sehingga menimbulkan suatu ide atau gagasan untuk membangun sebuah museum..
2.
Jelaskan
2. Anggota organisasi
kontribusi
ini sebagaian besar
organisasi
mengusulkan untuk
Pita Maha
mendirikan
dalam
museum guna
pendirian
melestarikan hasil
Museum
budaya Bali. Selain
Puri
itu, dalam upaya
Lukisan?
pembangunan museum, anggota organisasi ini cukup berperan dalam pengumpulan koleksi dimana mereka banyak menyumbang hasil karya mereka untuk kebutuhan museum, sehingga dengan banyaknya koleksi yang terkumpul, Museum ini dapat dibuka kepada umum
3.
Kapan secara resmi Museum Puri
3. 1 Juli 1956
Lukisan dibuka untuk umum? Memfungsi
4.
Jelaskan
4.Gedung
kedua
kan koleksi
bagaimana
(gedung
barat)
Museum
jenis
merupakan
galeri
Puri
koleksi
yang memamerkan
Lukisan
yang
hasil karya seniman
sebagai
terdapat di
yang dibuat setelah
sumber
gedung
Perang
belajar
kedua ?
hingga sampai saat
sejarah
ini
kebudayaan
atau
Dunia
II
(kontemporer) yang
biasa
disebut Tradisionalmodern. . 5.
Menurut
5. Pelajaran yang
anda,
dapat kita peroleh
Pelajaran
adalah kita dapat
apa yang
mengetahui secara
dapat kita
langsung jenis
petik
kebudayaan yang
setelah
ada di sekitar kita.
mengetahui
Tentunya,
latar
kebudayaan yang
belakang
merupakan warisan
berdiri
leluhur tersebut
serta
perlu diapresiasi
koleksi
dan dilestarikan
yang terdapat dalam Museum Puri Lukisan, ? Nilai Kognitif Butir Soal Benar x Skor Butir Soal
PENILAIAN AFEKTIF PER KOMPETENSI DASAR/PERTEMUAN Mata Pelajaran
: Sejarah
Kelas/Semester, Tahun
: XI Program Bahasa/ Genap, 2013-2014
KD
:Menganalisis perkembangan pengaruh Barat dan perubahan ekonomi, demografi, dan kehidupan sosial budaya masyarakat Indonesia pada masa kolonial .
Pertemuan Ke NO 1 2 3 4
NAMA SISWA
:3 ASPEK/INDIKATOR AFKETIF YANG DIAMATI 1 2 3 4 5
NILAI
5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 KETERANGAN INDIKATOR AFEKTIF: 1. Mempertanyakan/bertanya 2. Menjawab Pertanyaa 3. Mempresentasikan tugas individu/kelompok 4. Kemampuan berdiskusi 5. Menghargai pendapat orang lain RENTANG NILAI 76 – 100 : amat baik 51 – 75
: baik
26 – 50
: cukup
0 – 25
: kurang
Menyetujui,
Ubud, 19 Juli 2014
Guru Bidang Studi Sejarah
Mahasiswa Bersangkutan,
Drs. I Wayan Sudarsana, M.Pd
I Wayan Agus Suatmika
NIP. 19670922 199802 1 003
NIM. 1014021003
Mengetahui, Kepala SMA N 1 Ubud
Drs. Made Sudarma, M.M, M.Pd NIP. 19581113 198403 1 003
LAMPIRAN Soal Post Test 1. Jelaskan secara singkat latar belakang berdirinya Museum Puri Lukisan? 2. Sebutkan pembagian gedung koleksi Museum Museum Puri Lukisan? 3. Berikanlah pendapat anda tentang manfaat yang diperoleh dengan mengetahui latar belakang berdiri serta koleksi yang terdapat dalam Museum Puri Lukisan berkaitan dengan pelajaran sejarah! Kunci Jawaban 1. Pendirian
museum
ini
dimaksudkan
untuk
mempertahankan
dan
mengabadikan keunggulan hasil usaha membina seni. Selain itu, khawatir karya-karya seniman Bali yang terbaik lebih banyak dibawa ke luar negeri dan tidak bisa dinikmati oleh generasi selanjutnya. Oleh sebab itu, timbul upaya-upaya menyelamatkan hasil karya seni dengan mendirikan museum sehingga menimbulkan suatu ide atau gagasan untuk membangun sebuah museum. Pada tahun 1953 Tjokorda Gede Agung Soekawati mengemukakan gagasan pendirian museum kepada Bapak Alisastroamidjojo yang pada saat itu menjabat sebagai Duta Besar Indonesia di Amerika Serikat. Gagasan tersebut didukung oleh beliau dan juga Pemerintah Bali pada saat itu. Setelah memperoleh dukungan kemudian dibentuk suatu panitia yang selanjutnya ditetapkan sebagai pengurus yayasan dengan nama “Yayasan Ratna Wartha” dan disahkan berdasarkan akta notaris yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah Bali pada tahun 1953 di Denpasar. Terkait dengan pembangunan museum, yayasan banyak mendapat banyak sumbangan dari berbagai pihak. Sumbangan dana yang terkumpul semuanya berjumlah 80.000 gulden. Selain itu, ada juga sumbangan berbentuk koleksi yang terdiri dari lukisan dan patung-patung. Dengan demikian jumlah koleksi yang tertampung pada waktu
itu cukup banyak sehingga Museum Bali Modern dapat dibuka secara resmi pada tanggal 1 Juli 1956 dengan nama “Museum Puri Lukisan”. 2. Untuk pameran koleksinya, penempatan koleksi Museum Puri Lukisan dibagi ke dalam 4 gedung diantaranya; a. Gedung pertama (gedung utara) yang merupakan gedung utama karena pada saat dibukanya museum ini untuk umum pada tahun 1956, baru gedung ini yang selesai dibangun. Gedung ini memamerkan hasil karya-karya para seniman yang dibuat pada era Pita Maha sebelum Perang Dunia II. b. Gedung kedua (gedung barat) merupakan galeri yang memamerkan hasil karya seniman yang dibuat setelah Perang Dunia II hingga sampai saat ini (kontemporer) atau yang biasa disebut dengan aliran Tradisional-Modern. c. Gedung ketiga (gedung timur) memajangkan karya seni lukis Aliran Bali Klasik bertemakan pewayangan dari lukisan klasik yang telah ada sebelum abad ke 20 dan dikombinasikan dengan karya-karya tema pewayangan yang sudah mengalami perkembangan sampai saat yang terdiri dari wayang style Ubud, Batuan dan lain sebagainya. d. Terakhir, gedung keempat bernama Journey of Tjokorda Gde Agung Sukawati yang memajang kurang perjalanan Ida Tjokorda Gde Agung Sukawati yang berkolaborasi dengan dua seniman barat yaitu Walter Spies dan Rudolf Bonnet serta sebagai gedung temporer 3. Manfaat yang diperoleh oleh siswa dengan menjadikan museum tersebut sumber belajar sejarah kebudayaan diantaranya menambah wawasan tentang benda-benda hasil kebudayaan khususnya karya seni yang diwariskan oleh leluhur
yang
wajib
diketahui
oleh
generasi-generasi
muda
serta
menumbuhkan rasa kecintaan terhadap hasil budaya yang dimiliki. Dengan melihat karya seni dari tahun sekian, siswa dari belajar secara riil dari apa yang telah diperolehnya di kelas. Selain itu, pembelajaran ke museum
diharapkan dapat meningkatkan minat belajar siswa terhadap pembelajaran sejarah