PEMIMPIN BERMORAL OTONOM Kamis, 06 Agustus 2015 09:04
Oleh:
DUSKI SAMAD
Dekan Fakultas Tarbiyah dan Keguruan IAIN Imam Bonjol
Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA) serentak yang sudah berjalan proses saat ini adalah sarana demokrasi untuk melahirkan pemimpin daerah. Pemilihan pemimpin daerah propinsi, kabupaten dan kota adalah kegiatan strategis dan menentukan bagi kemajuan bangsa. Pemimpin daerah, khususnya pemimpin formal yang dipilih melalui suara rakyat, gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, walikota/wakil walikota adalah sosok yang besar konstribusinya bagi kebaikan, kesejahteraan masyarakat dan bangsa.
Pemilihan langsung yang dikatakan sebagai demokrasi yang didukung oleh syarat-syarat formal, dan prosudural dalam realitasnya belum cukup kuat menghadirkan pemimpin yang dapat memenuhi tuntutan pemilih. Fakta menunjukkan di era pemilihan langsung para pemimpin pemegang amanah rakyat di akhir jabatannya berurusan dengan aparat penegak hukum, menjadi tersangka, terdakwa dan terpidana dalam kasus korupsi dengan segala modus operandinya.
Pertanyaan yang sulit diberikan jawaban yang tuntas adalah mengapa orang-orang terbaik yang dipilih rakyat ternyata diujung pengabdiannya menjadi orang tercela. Di antara analisis yang mungkin patut ditelisik adalah berkaitannya kapasitas moral sang pemimpin. Moralitas sang pemimpin yang dari kemasannya baik, mulia dan terpuji dalam perjalanannya menjadi rusak dan membawa kekecewaan pemilihnya. Bukan tidak mungkin pula gagalnya pemilihan langsung menghadirkan pemimpin yang baik disebabkan kurang cermatnya pemilih dalam menentukan ukuran moral.
MORAL OTONOM PEMIMPIN
1/5
PEMIMPIN BERMORAL OTONOM Kamis, 06 Agustus 2015 09:04
Pandangan Kant tentang otonomi moral adalah kebebasan bertindak, memutuskan memilih dan menentukan diri sendiri sesuai dengan kesadaran terbaik bagi dirinya yang ditentukan sendiri tanpa hambatan, paksaan atau campur-tangan pihak luar (heteronomi), suatu motivasi dari dalam berdasar prinsip rasional atau self-legislation dari manusia. Pandangan J. Stuart Mill tentang otonomi moral adalah otonomi individu, yakni kemampuan melakukan pemikiran dan tindakan (merealisasikan keputusan dan kemampuan melaksanakannya), hak penentuan diri dari sisi pandang pribadi.
Pada dasarnya otonomi moral memungkinkan individu bersikap dan berperilaku seturut kontrol dirinya. Manusia tidak menimbang sikap dan perilakunya dari kendali eksternal tapi dari pertimbangan moral yang tumbuh dari kesadaran sendiri. Adanya otonomi moral mendorong individu menimbang ulang sikap dan perilaku yang akan dilakukan. Lebih jauh dapat pula dikatakan bahwa moral otonom atau kehendak otonom merupakan paham dan tolak ukur tertinggi dari segala tindakan moral. Otonomi kehendak berarti pemenuhan kehendak memungkinkan pemenuhan–pemenuhan tuntutan. Dimana kehendak berarti bahwa kehendak sendiri memberikan hukuman.
Dalam metafisika kesusilaan Kant (1979) ditemukan perbedaan antara legalitas dan moralitas. Legalitas menurut Kant dipahami sebagai kesesuaian atau ketidaksesuaian semata-mata suatu tindakan dengan hukum atau norma lahiriah belaka. Kesesuaian dan ketidaksesuaian belumlah dianggap memiliki nilai-nilai moral, sebab nilai-nilai baru dapat ditemukan dalam moralitas. Moralitas dalam pandangan Kant selanjutnya dipahami sebagai kesesuaian sikap dan perbuatan dengan norma atau hukum batiniah, yakni apa yang dipandang sebagai kewajiban. Moralitas barulah dapat diukur ketika seseorang menaati hukum secara lahiriah karena kesadaran bahwa hukum itu adalah kewajiban dan bukan lantaran takut pada kuasa sang pemberi hukum.
Moralitas sendiri dalam pandangan Kant dibedakan atas moralitas heteronom dan moralitas otonom. Moralitas heteronom diartikan sebagai sikap dimana kewajiban ditaati dan dilaksanakan bukan karena kewajiban itu sendiri, melainkan lebih karena sesuatu yang berasal dari luar kehendak si pelaku. Dalam konteks ini, dapatlah dikatakan bahwa dependensi manusia menunjukkan inkonsistensi oleh seseorang tersebut.
Moralitas otonom, di sisi lain digambarkan sebagai kesadaran manusia akan kewajiban yang ditaatinya sebagai sesuatu dikehendakinya sendiri karena diyakini sebagai sesuatu yang baik. Seseorang menerima dan mengikuti hukum lahiriah bukan lantaran mau mencapai tujuan tertentu yang diinginkannya ataupun karena takut terhadap pemberi hukuman, melainkan
2/5
PEMIMPIN BERMORAL OTONOM Kamis, 06 Agustus 2015 09:04
karena itu dijadikan kewajibannya sendiri berkat nilainya yang baik. [1]
Nucci & Narvaes (2008) menyatakan bahwa moral merupakan faktor determinan atau penentu pembentukan karakter seseorang. Menurutnya, indikator manusia yang bermoral otonom adalah: (1).Personal improvement (pengembangan kepribadian); yaitu individu yang mempunyai kepribadian yang teguh terhadap nilai atau aturan yang diinternalisasi dalam dirinya. Ia tidak mudah goyah dengan pengaruh lingkungan sosial yang dianggapnya tidak sesuai dengan nilai atau aturan yang diinternalisasi tersebut. Ciri kepribadian tersebut secara kontemporer diistilahkan sebagai integritas. Individu yang mempunyai integritas yang tinggi terhadap nilai dan aturan yang dia junjung tidak akan melakukan tindakan amoral. Sebagai contoh, individu yang menjunjung tinggi nilai agamanya tidak akan terpengaruh oleh lingkungan sosial untuk turut melakukan korupsi-manipulasi dan praktek mafia birokrasi. Dengan demikian, nilai atau aturan yang diinternalisasikan tersebut menjadi ‘tameng’ bagi dirinya supaya tidak terpengaruh oleh perilaku sosial yang menyimpang dari aturan tersebut. Faktor intrinsik inilah yang dalam terminologi Islam disebut sebagai istiqomah (konsisten dengan ajaran Tuhan). (2). Social skill (kemampuan bersosialisasi); yaitu mempunyai kepekaan sosial yang tinggi sehingga mampu mengutamakan kepentingan orang lain. Hal ini ditunjukkan dengan hubungan sosialnya yang harmonis. Setiap nilai atau aturan universal tentunya akan mengarahkan manusia untuk menjaga hubungan baik dengan orang lain dengan mengutamakan kepentingan orang banyak. Contohnya, individu yang religius pasti akan berbuat baik untuk orang lain atau mengutamakan kepentingan ummat. Orang yang mempunyai moralitas yang baik tentunya tidak akan egois, narsistik dan memperkaya diri sendiri dengan perilaku yang amoral seperti korupsi-manipulasi dan praktek mafia birokrasi. Dia akan lebih mengutamakan kepentingan dan kesejahteraan orang lain maupun kepentingan generasi berikutnya. Orang yang bermoral cenderung akan mencari lingkungan sosial yang baik bagi perkembangan moralitasnya. Bahkan ketika ia berada di lingkungan sosial yang kurang bermoral maka moralitasnya tetap terjaga dan bersinar karena internalisasi nilai-nilai intrinsiknya tersebut. Dalam mengambil keputusan untuk kepentingan orang lain pun ia akan merujuk kepada nilai-nilai intrinsik tersebut. Inilah yang menyebabkan ia mampu mewarnai lingkungan sosialnya dengan sinaran moralitas dirinya. Dalam konteks Islam, faktor ini disebut sebagai muamallah (hubungan sosial yang baik).
(3)Comprehensive problem solving (solusi yang kompleks); yaitu sejauhmana individu dapat mengatasi konflik dilematis antara pengaruh lingkungan sosial yang tidak sesuai dengan nilai atau aturan dengan integritas pribadinya terhadap nilai atau aturan tersebut. Dalam arti, individu mempunyai pemahaman terhadap tindakan orang lain (perspektif lain) yang menyimpang tetapi individu tersebut tetap mendasarkan keputusan, sikap dan tindakannya kepada nilai atau aturan yang telah diinternalisasikan dalam dirinya. Sebagai contoh, seseorang tidak mau mengikuti lingkungan sosialnya untuk korupsi karena ia tetap menjunjung tinggi nilai atau aturan yang
3/5
PEMIMPIN BERMORAL OTONOM Kamis, 06 Agustus 2015 09:04
berlaku (kejujuran). Meskipun sebenarnya ia mampu memahami penyebab perilaku orang lain yang korupsi. Keluwesan dalam berfikir dan memahami inilah dibutuhkan untuk menilai suatu perbuatan tersebut benar atau salah. Konsep ini yang disebut dalam terminologi Islam sebagai hikmah (mengambil pelajaran yang berharga dari perspektif yang berbeda). [2]
Dari tiga ciri di atas dapat dipahami bahwa sosok pemimpin yang bermoral adalah pemimpin yang mampu menjunjung tinggi nilai-nilai ketakwaannya dalam setiap pemikiran dan pengambilan keputusannya untuk kepentingan publik. Jika seorang pemimpin mengaku bermoral maka segala tindakannya diarahkan untuk kepentingan dan kesejahteraan sosial. Apabila kesejahteraan sosial menjadi tujuan utama pemimpin maka sang pemimpin tidak perlu lagi memoles diri dan bibirnya dengan urusan politik pencitraan. Sebab seorang pemimpin yang bermoral otonom dan mengutamakan kepentingan sosial secara otomatis akan terangkat citranya di mata masyarakat dan dihadapan Tuhannya. Citra seorang pemimpin akan lebih terangkat lagi ketika ia mampu mengambil hikmah dari fenomena-fenomena amoral yang ditemui di masyarakat. Citra seorang pemimpin akan meningkat ketika ia mampu mengambil solusi yang tegas dalam menerapkan aturan untuk menentukan benar atau salah. Dengan demikian, secara tidak langsung moralitas pemimpin menjadi amunisi yang kuat untuk mendorong keberaniannya dalam menegakkan aturan dan tatanan nilai yang ada. Tentunya, seorang pemimpin akan berani menegakkan aturan ketika ia sendiri tidak melanggar aturan yang telah disepakati bersama. Hal inilah yang menjadikan seorang pemimpin wajib menjadi rol e model dalam penegakan aturan.
Akhirnya patut direnungkan bagi pemimpin dan calon pemimpin adalah, “Sudahkah Anda mempunyai ketiga indikator pemimpin yang bermoral otonom tersebut?” Dan refleksi bagi masyarakat adalah, “Sudahkan Anda memilih pemimpin yang bermoral otonom?” Serta yang terakhir bagi semua, “Adakah pemimpin yang bermoral otonom saat ini?” Padahal dalam degradasi moral saat ini, kita tidak lagi membutuhkan pemimpin yang pintar dan kaya tetapi kita lebih membutuhkan pemimpin yang bermoral otonom. Asli, orisinil tidak imitasi dan pencitraan. Selamat memilih pemimpin bermoral otonom. Ds. 05082015.
[1] S.P. Lili Tjahjadi. 1991, Hukum dan Moral: Ajaran Immanuel Kant tentang Etika dan Imperatif Kategoris, Yogyakarta: BPK Gunung Mulia-Kanisius, hlm. 47.
[2] Dr. M. Ghazali Bagus Ani Putra, psi*. Dicari Pemimpin Bermoral, Penulis adalah kader
4/5
PEMIMPIN BERMORAL OTONOM Kamis, 06 Agustus 2015 09:04
Muhammadiyah dan Pendidik di Fakultas Psikologi Universitas Airlangga Surabaya.
5/5