IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERHADAP PROSES LEGISLASI DI INDONESIA
OLEH : Dr. MUALIMIN ABDI,S.H.MH
DIREKTUR LITIGASI PERUNDANG-UNDANGAN
DISAMPAIKAN PADA CERAMAH PENINGKATAN PENGETAHUAN PERANCANG PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN JAKARTA,3 DESEMBER 2010
1
www.djpp.depkumham.go.id
MAHKAMAH KONSTITUSI Pasal 24A (2) UUD 1945 : Kekuasaan kehakiman : Ø Sebuah MAHKAMAH AGUNG dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan Ø Sebuah MAHKAMAH KONSTITUSI . Pasal 24C (1) : Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final : Ø untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, Ø memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, Ø memutus pembubaran partai politik, dan Ø memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Pasal 24C (2) : Mahkamah Konstitusi wajib Ø memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar .
2
www.djpp.depkumham.go.id
HUKUM ACARA PENGUJIAN UNDANG-UNDANG DASAR : v v
UU No. 24 Tahun 2003 (UUMK) Pasal 50 sd Pasal 60 Peraturan MK (PMK) No.06/PMK/2005 tgl. 27 Juni 2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (sebagai pelaksanaan Pasal 86 UUMK)
OBYEK PENGUJIAN :
Pasal 50 UUMK : Undang-undang yang dapat diuji adalah undang-undang yang diundangkan setelah perubahan UUD. Penjelasan : yang dimaksudkan dengan setelah perubahan UUD adalah perubahan pertama tanggal 19 Oktober 1999, tetapi sejak tanggal 12 April 2005, pasal ini tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat. Sehingga obyek gugatan meliputi seluruh Undang-Undang yang berlaku di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia . 3
www.djpp.depkumham.go.id
PRODUK HUKUM MK Ò Ò
UUMK : putusan PMK : putusan dan ketetapan
UUMK (Pasal 56-57) Ò Permohonan tidak dapat diterima, dalam hal pemohon dan/atau permohonan tidak memenuhi Pasal 50 dan Pasal 51; Ò Permohonan dikabulkan, dalam hal permohonan beralasan atau pembentukannya tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang; Ò Permohonan ditolak, dalam hal undang-undang tidak bertentangan dengan UUD.
4
www.djpp.depkumham.go.id
PMK (Pasal 36 dan Pasal 43) Pasal 36 : idem UUMK Pasal 43 :Mahkamah mengeluarkan ketetapan
dalam hal :
Ò
Permohonan bukan kewenangan Mahkamah : perkara No.015/PUUI/2003, atas Permohonan verifikasi Partai Persatuan Nasional Indonesia (PPNI), ditetapkan tgl. 22 Desember 2003 dan perkara No.016/PUUI/2003 atas Permohonan agar putusan peninjauan kembali Mahkamah Agung RI Nomor 179 PK/PDT/1998 tanggal 7 September 2001 dinyatakan batal, ditetapkan tgl. 22 Desember 2003.
Ò
Pemohon menarik kembali permohonannya, contoh : perkara No.9/PUUV/2007 atas Pengujian Pasal 58 f Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah, pemohon H. Nur Ismanto, SH MSi dkk (4 pemohon), ditetapkan tgl. 1 Mei 2007. .
5
www.djpp.depkumham.go.id
SIFAT DAN JENIS PUTUSAN MK Ò Ò Ò Ò Ò
Ò
Final dan mengikat. Berlaku sejak diucapkan pada sidang terbuka. Declaratoir. A negative legislator : kewenangan mengenyampingkan dan membatalkan undang-undang yang bertentangan dengan konstitusi. A positive legislator : hakim MK tidak dipilih oleh rakyat secara langsung, tetapi berwenang mengabaikan kehendak mayoritas rakyat. Contoh : kembalinya hak eks anggota PKI sebagai calon anggota legislatif pada Pemilu 2004 (Putusan MK No.011/PUU-I/2003 dan No.017/PUU-I/2003 atas Pengujian Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD, diputus tgl. 24 Pebruari 2004, amar : Menyatakan pasal 60 huruf g Undangundang Nomor 12 Tahun 2003 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat). Faktor pengubah hukum : putusan/pertimbangan hukum MK merupakan acuan dalam pembentukan hukum (beberapa putusan memberi “saran” kepada pembentuk undang-undang).
6
www.djpp.depkumham.go.id
LANJUTAN SIFAT DAN JENIS PUTUSAN Berdasarkan pelaksanaan putusan Mahkamah Konstitusi, maka putusan dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu : Ò Putusan Mahkamah Konstitusi yang langsung dapat dilaksanakan “executable” Ò Putusan Mahkamah Konstitusi yang memerlukan tindak lanjut dengan pembentukan undangundang atas perubahan undang-undang yang bersangkutan.
7
www.djpp.depkumham.go.id
CONTOH PUTUSAN YANG “EXECUTABLE” : 1. Perkara No 11/PUU-VIII/2010;
Ò Ò
Pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, diputus tanggal 18 Maret 2010, amar: Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian; Menyatakan kata, “Calon”, dan frasa, “... diusulkan oleh KPU Provinsi kepada Bawaslu sebanyak 6 (enam) orang untuk selanjutnya ....” dalam Pasal 93; kata,“Calon” serta frasa “...
8
www.djpp.depkumham.go.id
diusulkan oleh KPU Kabupaten/Kota kepada Panwaslu Provinsi sebanyak 6 (enam) orang untuk selanjutnya ....” dalam Pasal 94 ayat (1) dan ayat (2); kata, “Calon” dan frasa, “... diusulkan oleh KPU Kabupaten/Kota kepada Panwaslu Kabupaten/Kota sebanyak 6 (enam) orang untuk selanjutnya ....” dalam Pasal 95 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4721) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sehingga menjadi:
9
www.djpp.depkumham.go.id
Pasal 93 Anggota Panwaslu Provinsi ditetapkan dengan keputusan Bawaslu sebanyak 3 (tiga) orang sebagai anggota Panwaslu Provinsi terpilih setelah melalui uji kelayakan dan kepatutan. Pasal 94 (1) Anggota Panwaslu Kabupaten/Kota untuk Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, serta Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Provinsi dipilih sebanyak 3 (tiga) orang sebagai anggota Panwaslu Kabupaten/Kota setelah melalui uji kelayakan dan kepatutan dan ditetapkan dengan keputusan Bawaslu.
10
www.djpp.depkumham.go.id
(2) Anggota Panwaslu Kabupaten/Kota untuk Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten/Kota dipilih sebanyak 3 (tiga) orang sebagai anggota Panwaslu Kabupaten/Kota setelah melalui uji kelayakan dan kepatutan dan ditetapkan dengan keputusan Bawaslu. É Pasal 95 Anggota Panwaslu Kecamatan dipilih sebanyak 3 (tiga) orang sebagai anggota Panwaslu Kecamatan dan ditetapkan dengan keputusan Panwaslu Kabupaten/Kota. Ò Menyatakan kata, “Calon”, dan frasa, “... diusulkan oleh KPU Provinsi kepada Bawaslu sebanyak 6 (enam) orang untuk selanjutnya ....” dalam Pasal 93; kata, “Calon” serta frasa “... diusulkan oleh KPU Kabupaten/Kota kepada Panwaslu Provinsi sebanyak 6 (enam) orang untuk selanjutnya ....” dalam Pasal 94 ayat (1) dan ayat (2);
11
www.djpp.depkumham.go.id
Ò
Ò
Ò
kata, “Calon” dan frasa, “... diusulkan oleh KPU Kabupaten/Kota kepada Panwaslu Kabupaten/Kota sebanyak 6 (enam) orang untuk selanjutnya ....” dalam Pasal 95 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4721) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; Menyatakan 192 Panitia Pengawas Pemilu yang sudah dibentuk adalah sah dan dapat melaksanakan tugas, fungsi, dan wewenang masing-masing sesuai dengan Undang-Undang; Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya;
12
www.djpp.depkumham.go.id
2. Perkara No 27/PUU-VIII/2010; Pengujian Pasal 218 ayat (3) UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD, diputus tanggal 3 September 2010, amar: É Menyatakan mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian;
13
www.djpp.depkumham.go.id
Ò
Menyatakan Pasal 218 ayat (3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4836) sepanjang frasa “Daftar Calon Tetap” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara bersyarat (conditionally unconstitutional), yakni sepanjang pengertiannya tidak mencakup calon pengganti yang diajukan oleh partai politik yang memiliki kursi di Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota dalam hal tidak terdapat lagi calon yang terdaftar dalam Daftar Calon Tetap (DCT);
14
www.djpp.depkumham.go.id
Ò
Ò
Menyatakan Pasal 218 ayat (3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4836) sepanjang frasa “Daftar Calon Tetap” tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat (conditionally), yakni sepanjang pengertiannya tidak mencakup calon pengganti yang diajukan oleh partai politik yang memiliki kursi di Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota dalam hal tidak terdapat lagi calon yang terdaftar dalam Daftar Calon Tetap (DCT); Menyatakan menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya.
15
www.djpp.depkumham.go.id
CONTOH: PUT YANG MEMERLUKAN TINDAK LANJUT: 1.Perkara No. 5/PUU-VI/2007;Pengujian Pasal 59 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5) huruf a dan ayat (5) huruf C, sepanjang mengenai anak kalimat “… partai politik atau gabungan partai politik.”, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. diputus tgl. 23 Juli 2007, amar : permohonan pemohon dikabulkan. Ò Implikasi: terbukanya kesempatan calon perseorangan (tanpa melalui partai politik) sebagai calon kepala daerah). Ò Tindak lanjut put: pembentukan UU. No. 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Atas UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
16
www.djpp.depkumham.go.id
LANJUTAN CONTOH……………. 2.Putusan MK No.001-021-022/PUU-I/2003 tgl 1 Desember 2004 atas Pengujian Undang-undang No. 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan, dengan amar : Menyatakan UU No. 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Ò Implikasi UU No. 15 Tahun Ketenagalistrikan berlaku kembali;
1985
tentang
Ò Tindak lanjut : Penyusunan UU. No. 30 Tahun 2009 Tentang Ketenagalistrikan
17
www.djpp.depkumham.go.id
3. Putusan MK No. 012,016,019/PUU-IV/2006, tgl 19 Desember 2006 atas Pengujian Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) , dengan amar :
Ø
Menyatakan Pasal 53 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Menyatakan Pasal 53 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat sampai diadakan perubahan paling lambat 3 (tiga) tahun terhitung sejak putusan ini diucapkan.
q
Implikasi : Pembentukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
q
Tindak Lanjut :Pembentukan UU. No. 46 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
Ø
18
www.djpp.depkumham.go.id
IMPLIKASI PUTUSAN TERHADAP PROSES LEGISLASI
Putusan Yang Memerlukan Tindak Lanjut Dasar Hukum: Pasal 17 ayat (3) UU. No. 10/2004: “Dalam keadaan tertentu, Dewan Perwakilan Rakyat, atau Presiden dapat mengajukan rancangan undang-undang diluar Program Legislasi Nasional”. Ò Pasal 3 PerPres No. 68 Tahun 2005 ttg Tata Cara mempersiapkan Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Peraturan Presiden: Ò
19
www.djpp.depkumham.go.id
LANJUTAN DASAR HUKUM…………… (1)“Dalam keadaan tertentu, Pemrakarsa dapat menyusun Rancangan Undang-Undang diluar prolegnas setelah terlebih dahulu mengajukan permohonan izin prakarsa kepada Presiden…” dengan disertai penjelasan mengenai konsep pengaturan Rancangan UndangUndang yang meliputi : Ò Urgensi dan tujuan penyusunan; Ò Sasaran yang ingin diwujudkan; Ò Pokok pikiran, lingkup, atau obyek yang akan diatur; dan Ò Jangkauan serta arah pengaturan. (2)Keadaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah : a. Untuk menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang menjadi Undang-Undang; b. Untuk meratifikasi konvensi atau perjanjian internasional; c. Untuk melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi;
20
www.djpp.depkumham.go.id
SIFAT PEMBENTUKAN PUTUSAN Ò
Ò
UU
TINDAK
LANJUT
Mendesak (harus segera ditindak lanjuti) apabila : dalam putusannya MK telah menentukan secara limitatif pembentukan UU tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum, kekosongan hukum, mempengaruhi hajad hidup orang banyak. Tidak mendesak (tidak serta merta harus ditindak lanjuti)
21
www.djpp.depkumham.go.id
PUTUSAN MK DALAM PERSPEKTIF PEMBENTUKAN UNDANGUNDANG-UNDANG Hak /Kewenangan konstitusional
Legislator: orientasi rujukan
Prolegnas
Amandemen UUD1945
Mahkamah Konstitusi
(Pasal 24 ayat (2) UUD 1945)
Non Prolegnas
Pengujian UU terhadap UUD
Putusan MK 22
www.djpp.depkumham.go.id
KESIMPULAN Ò Ò
Ò
Ò
Ò
Sifat putusan MK : final dan mengikat Jenis putusan : executable dan memerlukan tindak lanjut. Putusan Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu faktor pengubah hukum. Pembentukan UU sebagai tindak lanjut Putusan MK harus memperhatikan pertimbangan hukum dalam putusan Urgensi pembentukan UU sebagai implikasi putusan MK: ditentukan secara limitatif atau diserahkan kepada pembentuk UU. 23
www.djpp.depkumham.go.id
24
www.djpp.depkumham.go.id