NILAI-NILAI PENDIDIKAN ISLAM DALAM RITUAL TINGKEPAN DI DUSUN GINTUNGAN DESA BUTUH KEC. TENGARAN KAB. SEMARANG TAHUN 2011 SKRIPSI Diajukan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Islam
Oleh : MUNAFIAH NIM. 11107040 JURUSAN TARBIYAH PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA TAHUN 2011
i
ii
iii
iv
v
MOTTO
Begitu sulit untuk meraih cita-cita, tapi kita sadar apa yang kita lakukan terkadang jauh apa yang diharapkan. Maka dari itu tidak mudah putus asa adalah kuncinya. Dan berfikirlah bahwa hari esok jauh lebih baik dari hari ini
vi
PERSEMBAHAN
Skripsi ini penulis persembahkan kepada: Tuhan Yang Maha Esa Untuk Bapak dan Ibuku Nurhadi dan Jumiah yang slalu memberikan do’a Adikku Muhammad mahfudz Suamiku tercinta Subhan Sabigh yang selalu memotifasi dan menemaniku Buah hatiku tercinta Muhammad Zidan Ardiansyah Dosen pembimbingku Drs. Djuz’an, M.Hum Sahabat-sahabatku yang selalu memotifasiku: Ida, Hidayah dan Tri Ningsih Sahabatku di Bendosari: Mas Eko, Mbak Umi dan si kecil Zahra
vii
KATA PENGANTAR
Bismillahir rahmanir rahim Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan semesta alam pencipta langit dan bumi beserta isinya yang telah memberikan segala rahmat, taufik dan hidayah-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Shalawat serta salam penulis sampaikan kepada pemimpin umat dan penutup para Rasul, Muhammad SAW yang telah membimbing dan mendidik manusia dari masa kegelapan menuju masa yang sangat terang benderang dengan syariatnya yang lurus. Skripsi yang berjudul “Nilai-nilai Pendidikan Islam dalam Ritual Tingkepan di Dusun Gintungan Desa Butuh Kecamatan Tengaran Kabupaten Semarang Tahun 2011” ini, diajukan untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Islam( S.PdI ) pada Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri ( STAIN ) Salatiga. Dalam skripsi ini, penulis akan memaparkan Bagaimana ritual tingkepan yang ada di Dusun Gintungan Desa Butuh, Kec. Tengaran, Kab. Semarang dan Bagaimana nilai-nilai pendidikan Islam dalam ritual tingkepan di masyarakat Dusun Gintungan Desa Butuh, Kec. Tengaran, Kab. Semarang. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Yang terhormat Ketua STAIN Salatiga Bpk. DR.Imam Sutomo, M.Ag 2. Yang terhormat Bpk. Drs. Djuz’an, M.Hum selaku Dosen Pembimbing yang telah berkenan membimbing penulis dalam penulisan skripsi ini. 3. Bapak dan Ibuku Nurhadi dan Jumiah yang slalu memberikan do’a yang telah mengasuh, mendidik, membimbing serta memotivasi kepada penulis, baik moral maupun spiritual 4. Suamiku tercinta Subhan Sabigh, Adikku Muhammad mahfudz dan Putraku tercinta Muhammad Zidan Ardiansyah atas inspirasinya
viii
5. Mas Eko Haryanto atas Bimbingan dan arahan dalam penulisan skripsi ini, 6. Pihak-pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini, khususnya Mbak Umi Hani’ah dan si kecil Zahra, Ida, Hidayah dan Tri Ningsih serta Teman-teman seperjuangan yang tidak tersebut namanya satu persatu. Semoga segala amal yang telah diperbuat akan menjadi amal saleh, yang akan mendaptakan pahala yang setimpal dari Allah SWT, kelak dikemudian hari. Akhirnya, penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat.Amin.ya rabbal ‘alamin
Salatiga, 16 September 2011 Penulis
Munafiah NIM 11107040
ix
ABSTRAKSI
Munafiah .2011. Nilai-nilai Pendidikan Islam dalam Ritual Tingkepan di Dusun Gintungan Desa Butuh Kecamatan Tengaran Kabupaten Semarang. Skripsi. Jurusan Tarbiyah. Program Studi Pendidikan Agama Islam. Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Salatiga. Kata kunci: Nilai-nilai Pendidikan Islam dalam Ritual Tingkepan Penelitian ini membahas tentang Nilai-nilai Pendidikan Islam dalam Ritual Tingkepan di Dusun Gintungan Desa Butuh Kecamatan Tengaran Kabupaten Semarang. Rumusan masalah yang dikaji dalam penelitian ini adalah Bagaimana ritual tingkepan yang ada di lingkungan masyarakat di Dusun Gintungan Desa Butuh, Tengaran-Semarang dan Bagaimana nilai-nilai pendidikan Islam dalam ritual tingkepan di Dusun Gintungan Desa Butuh, Tengaran, Semarang. Kehadiran peneliti di lapangan sangat penting sekali mengingat skripsi ini adalah kualitatif. peneliti bertindak langsung sebagai instrumen lengsung dan sebagai pengumpul data dari hasil observasi yang mendalam serta terlibat aktif dalam penelitian. Data yang berbentuk kata-kata diambil dari para informan / responden pada waktu mereka diwawancarai. Dengan kata lain data-data tersebut berupa keterangan dari para informan, sedangkan data tambahan berupa dokumen. Keseluruhan data tersebut selain wawancara diperoleh dari observasi dan dokumentasi. Analisa data dilakukan dengan cara menelaah data yang ada, lalu mengadakan reduksi data, penyajian data, menarik kesimpulan dan tahap akhir dari ananlisa data ini adalah mengadakan keabsahan data dengan menggunakan ketekunan pengamatan triangulasi. Dari penelitian yang dilaksanakan diperoleh hasil penelitian sebagai berikut: Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemahaman masyarakat terhadap tradisi Tingkepan di Dusun Gintungan Desa Butuh relatif normal, dengan adanya kesadaran yang tinggi dan keyakinan mereka semua atau pemahaman masyarakat. Tradisi Tinkepan menurut warga masyarakat Butuh banyak sekali berkah dan manfaatnya bagi perubahan hidup masyarakat juga merupakan sarana untuk bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas karunia, rejeki dan keselamatan kepada masyarakat. Nilai pendidikan dalam tradisi Tingkepan adalah Sebagai sarana mutlak agar bakal bayi dan ibu yang hamil senantiasa terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan dengan harapan sehat dan selamat serta Mendoa’akan si bayi agar lahir dengan sehat tanpa cacat dan agar mempunyai masa depan yang baik. Nilai sosial pada Ritual Tingkepan adalah tradisi tersebut akan mendatangkan suatu pengaruh yang kuat berkenaan dengan kehidupan sosial budaya serta Pengenalan kegenerasi muda yang akan mengalami kehamilan agar hidup sesuai dengan norma dan
x
nilai-nilai yang berlaku seperti tidak menyakiti binatang pada waktu hamil dan menghindari pantangan-pantangan untuk ibu hamil Nilai religius pada tradisi Tingkepan adalah untuk lebih meningkatkan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan pengucapan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena telah diiberi berkah serta pertolongan di masa sekarang dan akan datang. Dampak dalam bidang ekonomi pengucapan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena telah diberi berkah dan pertolongan. Dampak dalam bidang sosial budaya yaitu adanya kebersamaan dalam memberikan simpatinya dalam menyelenggarakan tradisi Tingkepan ini dapat mempersatukan kelompok-kelompok dalam ikatan yang paling erat untuk hidup bersama dalam kerukunan. Semua ini merupakan gambaran pola hidup gotong royong yang sangat kental bagi masyarakat Indonesia. Dampak dalam bidang religius yaitu pemahaman masyarakat terhadap tradisi Tingkepan, merupakan ajaran turun temurun dari para leluhur dalam rangka mensyukuri karunia Tuhan Yang Maha Esa.
xi
DAFTAR INFORMAN
1. Bapak Subadi Kepala Desa Butuh 2. Bapak Semo Tokoh Pendidikan 3. Bapak Minto Tokoh Pendidikan 4. Bapak Damsuri Tokoh Agama 5. Bapak Subadi Tokoh Agama 6. Bapak Wiryotondo Tokoh Pendidikan 7. Bapak Warno Tokoh Agama 8. Bapak H. Jumeri Tokoh Agama 9. Bapak Nurhadi tokoh Pendidikan 10. Ibu Rif’ah tokoh Pendidikan 11. Bapak Jamsuri Kaurs Kesra 12. Bapak Sumarno Tokoh spiritual serta tokoh Pendidikan 13. Muhammad As’ad Tokoh Agama
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...........................................................................................
i
LEMBAR BERLOGO .........................................................................................
ii
HALAMAN PERSETUJUAN .............................................................................
iii
HALAMAN PENGESAHAN ..............................................................................
iv
HALAMAN PERNYATAAN ..............................................................................
v
HALAMAN MOTTO ...........................................................................................
vi
HALAMAN PERSEMBAHAN ............................................................................ vii KATA PENGANTAR ........................................................................................... viii ABSTRAK ............................................................................................................. x DAFTAR INFORMAN ......................................................................................... xii DAFTAR ISI .......................................................................................................... xiii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ................................................................. 1 B. Rumusan Masalah ........................................................................... 6 C. Tujuan Penelitian ............................................................................ 6 D. Kegunaan Penelitian ....................................................................... 7 E. Penegasan Istilah ............................................................................ 7 F. Metode Penelitian ........................................................................... 8
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian ............................................... 8 2. Kehadiran Peneliti .................................................................... 9 3. Lokasi Penelitian ...................................................................... 10 4. Sumber Data ............................................................................. 10 5. Prosedur Pengumpulan Data ..................................................... 11 6. Analisis Data ............................................................................. 13 7. Pengecekan Keabsahan Data ..................................................... 15 xiii
8. Tahap-tahap Penelitian .............................................................. 15 G. Sistematika Penulisan ...................................................................... 16
BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Korelasi Budaya Jawa dan Agama Islam 1. Islam dalam Budaya Jawa ………………………………………18 2. Proses Akulturasi Budaya jawa dan Islam …………………. …..20 3. Interelasi Nilai Budaya Jawa dan Islam dalam aspek kepercayaan dan ritual ………………………………………. ……………….25 B. Tradisi Tingkeban Dalam Masyarakat Jawa 1. Tradisi Tingkepan Sebagai Slametan Upacara Kandungan……...28 a. Deskripsi Slametan ……………………………………….....28 b. Pengertian Tradisi Tingkepan ………………………….........30 c. Waktu Penyelenggaraan Tradisi Tingkepan ………………...31 d. Perlengkapan Tradisi Tingkepan ……………………………32 e. Rangkaian Upacara Tingkepan ……………………………...34 2. Makna Tradisi Tingkepan Perspektif Masyarakat Jawa a. Tujuan Pelaksanaan Tradisi Tingkepan ………………. ……36 b. Tradisi Tingkepan merupakan suatu upacara ritual adat Jawa …………………………………………………… 37 c. Tradisi Tingkepan Sebagai Upacara Menyongsong Lahirnya Generasi Penerus…………………………………………….38 C. Pendidikan Islam 1.
Pengertian Pendidikan Islam…………………………………... 40
xiv
2.
Batasan Pendidikan Islam…………………………………....... 41
3.
Tujuan Pendidikan Islam…………………………………….... 42
4.
Unsur-unsur Pendidikan Islam………………………………… 42
BAB III PAPARAN DATA DAN TEMUAN PENELITIAN A. Paparan Data Gambaran Umum Lokasi …………………………... 45 B. Temuan Penelitian 1. Deskripsi Slametan ………..……………………....................... 47 2. Pengertian Tradisi Tingkepan …………………………………..48 3. Waktu Penyelenggaraan Tradisi Tingkepan …………………… 49 4. Perlengkapan Tradisi Tingkepan ………………………………. 49 5. Rangkaian Upacara Tingkepan ……………………………….....52 6. Makna Tradisi Tingkepan Perspektif Masyarakat Jawa ……….. 57 BAB IV PEMBAHASAN …………………………………………………..60 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ……………………………………………………….. 77 B. Saran ………………………………………………………………. 81 DAFTAR PUSTAKA DAFTAR RIWAYAT HIDUP LAMPIRAN
xv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Masyarakat jawa mempunyai beberapa aturan yang berkenaan dengan masalah kekeluargaan dalam rangka menyongsong lahirnya generasi penerus. Diantara aturan itu sedikit banyak mengikuti aturan yang diajarkan dalam Islam dan ajaran yang dibawa agama Hindu dan Budha. Hal itu wajar saja, karena jika kita tengok sejarah masyarakat jawa pada masa silam sebelum Islam datang ke pulau Jawa, masyarakat jawa telah terbiasa dalam kehidupan yang mengikuti ajaran-ajaran terdahulu, yaitu animisme dan dinamisme yang dibawa oleh agama Hindu dan Budha. Karena Islam datang setelah agama Hindu dan Budha, maka yang diterapkan oleh para wali yang membawa risalah tersebut lebih banyak mengikuti arus dari pada melawan arus. Pengislaman di Jawa terjadi secara damai karena metode yang dipakai oleh para wali dalam berdakwah menggunakan metode yang sangat akomodatif dan lentur, yakni dengan menggunakan unsur-unsur budaya lama (Hinduisme dan Budhisme), tetapi secara tidak langsung memasukkan nilai-nilai Islam ke dalam unsur-unsur lama itu. Para wali sangat tekun dan memahami kondisi sosiokultural masyarakat Jawa. Sebagai contoh dari cara kerja metode ini antara lain dalam bidang ritual, Seperti dikatakan oleh Ridin Sofwan (2004:5),
1
“Pembakaran kemenyan yang semula menjadi sarana dalam penyembahan terhadap para dewa, tetap dipakai oleh Sunan Kalijaga dengan pemahaman sebatas sebagai pengharum ruangan ketika seorang muslim berdoa sehingga doa akan bisa khusyuk, masih banyak lagi upaya mengambil unsur-unsur budaya lama dengan memasukkan nilai-nilai ajaran Islam”. Hasil yang dicapai oleh para wali, disamping mengislamkan masyarakat lapisan bawah, para tokoh masyarakat, juga tokoh penting lapisan atas yang kemudian diikuti oleh anak negeri yang ada dalam pengaruh kekuasaannya. Di antara faktor-faktor penyebab keberhasilan mereka, di samping keuletan, kejujuran dan sifat-sifat keutamaan lain yang mereka miliki adalah Islam merupakan agama yang mempunyai upacara agama yang lebih sederhana dibanding dengan agama Hindu yang lebih menekankan aspek sosial. Metode pengIslaman sangat mudah, yaitu orang hanya diminta untuk penyaksian dengan kalimat syahadat. Corak Islam yang dikembangkan di Jawa lebih mengarah pada pendekatan sufistik yang cenderung identik dengan paham mistik agama sebelumnya. Pada umumnya dapat dikatakan bahwa daerah-daerah yang paling sedikit diHindu-Budha kan, disitulah yang paling dapat di Islamkan secara mendalam. Demikian pula sebaliknya, di daerah-daerah yang paling meresap dan intensif ke- Hindu Budha-annya, maka paling dangkal corak keislamannya. Para wali justru berdakwah di pulau Jawa, satu masyarakat yang pengaruh Hindu-Budha-nya paling mendalam dan paling sulit berasimilasi. Karena itu, tidak mengherankan jika dalam dakwahnya, para
2
wali masih berupaya meninggalkan corak Islam yang sinkretis, kejawaan, ke-Hindu-Budha-an. Secara garis besar budaya memiliki ciri khas yang lentur dan terbuka. Walaupun suatu saat terpengaruh unsur kebudayaan lain, tetapi kebudayaan jawa masih dapat dipertahankan keasliannya. Dengan demikian inti budaya jawa tidak larut dalam Hinduisme dan budhisme, tetapi justru unsur dua budaya itu dapat “dijawakan” hal ini terjadi karena nilai budaya jawa pra Hindu yang animistis dan magis sejalan dengan Hinduisme dan budhisme yang bercorak religius magis. Namun suatu budaya jawa yang animistis magis bertemu dengan unsure budaya Islam yang monotheistis, terjadilah pergumulan yang menghasilkan jawa Islam. Di kalangan jawa Islam inilah tumbuh dan berkembangnya perpaduan budaya jawa Islam, yang memiliki bagian luar budaya itu menggunakan simbol Islam, tetapi ruh budayanya adalah jawa sinkretis (Islam digambarkan sebagai wadah, sedangkan isinya adalah jawa). Berbagai macam kesenian tradisional yang ada di Jawa pada umumnya menggambarkan sifat dan karakteristik penduduk dimana kesenian itu berada. Selain itu juga tentang upacara adat dalam menghadapi siklus kehidupan, mulai dari upacara kelahiran sampai pada upacara kematian, semua dilaksanakan dengan aturan-aturan yang sudah menjadi warisan dari nenek moyang mereka. Mengenai upacara kelahiran ini, sayangnya belum ada aturan-aturan yang pasti memuat secara kronologis tentang tata cara upacara untuk dijadikan pedoman dalam
3
setiap pelaksanaannya. Namun, di masyarakat Jawa banyak sekali yang melaksanakan upacara ini karena sudah menjadi suatu adat yang harus dilaksanakan dalam kehidupan yang dijalani. Menurut Sutrisno Sastro Utomo (2005:3), “Upacara sebelum kelahiran dalam masa mengandung tujuh bulan biasa disebut dengan “tingkepan”. Dan dalam tradisi Tingkepan ini masih ada perbedaan-perbedaan antara daerah yang satu dengan daerah yang lain karena intensitas pengaruh budaya luar antara daerah yang satu dengan daerah yang lain berbeda”.Pada zaman dahulu perbedaan itu tidak saja terlihat antar daerah tetapi juga antara kelompok masyarakat itu sendiri. Upacara Tingkepan merupakan tata nilai kehidupan didalam masyarakat jawa karena sebagai tindak lanjut dari upacara perkawinan adat jawa. Hampir setiap orang tua yang akan mempunyai seorang putra atau putri tidak terlepas dari upacara adat yang berlaku. Meskipun masyarakat berkali-kali menyaksikan upacara tingkepan, tetapi mereka masih kurang dapat memahami arti dan makna upacara tersebut, sehingga upacara tingkepan tidak lebih dari ritualitas yang terjadi dalam masyarakat untuk mengumumkan umur kandungan sebagai sambutan kelahiran anak. Pelaksanaan tata cara sebelum melahirkan anak dalam praktek upacara tingkepan ini diselingi dengan berbagai ajaran agama Hindu dan Budha serta kepercayaan-kepercayaan yang ada dalam masyarakat Jawa sendiri.
Adat merupakan suatu fenomena yang hidup dan ditaati oleh
4
masyarakat yang aman, tentram dan sejahtera. Sama halnya dengan tradisi Tingkepan yang merupakan bagian upacara adat jawa yang masih berlaku pada masyarakat Gintungan. Hal tersebut adalah salah satu contoh tradisi kebudayaan yang masih berlaku dan berkembang di tengah-tengah masyarakat. Mereka yakin dengan melakukan ritual atau tradisi ini akan terhindar dari celaka dan akan menciptakan sikap yang lebih lemah lembut, kehati-hatian dan salah satu media untuk mendekatkan diri pada Allah SWT dengan selalu bersyukur atas nikmat-Nya. Meskipun semua tindakan-tindakan masyarakat tersebut ada yang berdasarkan
nilai-nilai
ajaran
Islam
tetapi
kebiasaan
terhadap
penyelenggaraan upacara Tingkepan pada umumnya mempunyai tujuan baik secara religius, intelektual dan akhlaq. Dengan demikian peneliti menganggap itu merupakan suatu hal yang penting untuk dipahami, karena tata cara upacara Tingkepan yang biasa dilakukan oleh masyarakat Gintungan Kecamatan Tengaran kabupaten Semarang kadang-kadang tidak sesuai dengan hukum dalam ajaran Islam, padahal dilihat dari segi lain tidak menutup kemungkinan akan adanya relevansi yang erat terhadap ajaran nilai-nilai pendidikan Islam dalam proses pelaksanaannya.
5
Maka peneliti tertarik ingin mengetahui lebih jauh apa yang melatar belakangi kebiasaan atau tradisi Tingkepan sehingga dilakukan oleh masyarakat Gintungan, Sehingga peneliti mengambil judul: “ Nilai-nilai Pendidikan Islam Dalam Ritual Tingkepan di Dusun Gintungan Desa Butuh, Kec. Tengaran, Kab. Semarang Tahun 2011”
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang penulis kemukakan di atas maka yang menjadi topik permasalahan ini dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimana ritual tingkepan yang ada di Dusun Gintungan Desa Butuh, Kec. Tengaran, Kab. Semarang? 2. Bagaimana nilai-nilai pendidikan Islam dalam ritual tingkepan di masyarakat Dusun Gintungan Desa Butuh, Kec. Tengaran, Kab. Semarang?
C. Tujuan Penelitian Penelitian ini secara umum bertujuan sebagai berikut: 1
Untuk mengetahui bentuk ritual tingkepan yang ada di masyarakat Dusun Gintungan Desa Butuh, Kec. Tengaran, Kab. Semarang
2
Untuk mengetahui nilai-nilai pendidikan Islam dalam ritual tingkepan di masyarakat Dusun Gintungan Desa Butuh, Kec. Tengaran, Kab. Semarang
6
D. Kegunaan Penelitian Dari hasil penelitian, diharapkan nantinya dapat berguna yaitu sebagai berikut: 1. Bagi pemerintah, hasil penelitian ini dapat berguna untuk melestarikan nilai-nilai budaya yang terdapat di Indonesia. 2. Untuk masyarakat, sebagai sumbangan informasi bagi semua lapisan masyarkat agar tetap menjaga tradisi dan adat istiadat peninggalan orang-orang Jawa yang ada sampai saat ini. 3. Bagi STAIN Salatiga, untuk memperkaya perbendaharaan perpustakan di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga. 4. Bagi peneliti, sebagai bahan masukan untuk mengembangkan wawasan dan bahan dokumentasi untuk penelitian lebih lanjut. E. Penegasan Istilah Untuk menghindari kesalahpahaman, penulis akan mengartikan beberapa kata yaitu: 1. Nilai adalah sifat-sifat (hal-hal) yg penting atau berguna bagi kemanusiaan 2. Pendidikan berarti usaha yang dijalankan oleh seseorang atau sekelompok orang untuk mempengaruhi seseorang atau sekelompok orang lain agar menjadi dewasa atau mencapai tingkat hidup dan penghidupan yang lebih tinggi dalam arti mental (Sudirman Dkk,1991:04).
Sedangkan
menurut
Abu
Ahmadi
(2001:69),
“Pendidikan adalah usaha yang sengaja diadakan baik langsung
7
maupun tidak langsung untuk membantu anak dalam perkembanganya untuk mencapai kedewasaanya”. 3. Tingkepan adalah diselenggarakanya upacara slametan pada masa kehamilan seorang ibu hamil pada usia tujuh bulan (Cliford Geertz,1981:48) Jadi yang di maksud Nilai-nilai Pendidikan Islam dalam ritual tingkepan adalah nilai-nilai Pendidikan yang Islami yang terkandung dalam tingkepan. Tingkepan itu sendiri seorang ibu akan merasa tenang dan bahagia menunggu si jabang bayi lahir tanpa rasa takut, was-was dan gelisah. F. Metode Penelitian Metode penelitian di bagi menjadi tujuh tahap, yaitu: 1. Pendekatan dan Jenis Penelitian Pada penelitian ini penulis menitikberatkan pada “Nilai-nilai pendidikan Islam dalam ritual tingkepan di masyarakat Dusun Gintungan Desa Butuh, Kec. Tengaran, Kab. Semarang”, dengan menggunakan
jenis
pendekatan
kualitatif.
Dengan
demikian,
“Pendekatan kualitatif adalah jenis penelitian yang menghasilkan penemuan-penemuan
yang
tidak
dicapai
(diperoleh)
dengan
menggunakan prosedur-prosedur statistik atau dengan cara-cara lain dari kualifikasi (pengukuran)”(Djuanidi Ghani,1997:11). Untuk memperoleh data tentang “ Nilai-nilai pendidikan Islam dalam ritual tingkepan di masyarakat Dusun Gintungan Desa Butuh,
8
Kec. Tengaran, Kab. Semarang” diperlukan pengamatan yang mendalam. Oleh karena itu, kegiatan tersebut melalui pendekatan kualitatif. Adapun jenis penelitian yang digunakan oleh penulis adalah deskriptif. Menurut sumadi Suryabrata (1998:19), ” Penelitian deskriptif adalah penelitian yang bermaksud untuk membuat pencandraan (uraian, paparan) mengenai situasi kejadian-kejadian”. Sedangkan tujuan penelitian deskriptif
menurut Husain Umar
(1999:29), ” Tujuan penelitian deskriptif adalah untuk menggambarkan sifat sesuatu yang tengah berlangsung pada saat researh dilakukan dan untuk memeriksa sebab-sebab dari sesuatu gejala tertentu”. Berdasarkan
pendapat
diatas,
pendekatan
kaulitatif
ini
dimaksudkan untuk menjelaskan peristiwa atau kejadian yang ada pada saat penelitian berlangsung, yaitu tentang ” Nilai-nilai pendidikan Islam dalam ritual tingkepan di masyarakat Dusun Gintungan Desa Butuh, Kec. Tengaran, Kab. Semarang”. 2. Kehadiran Peneliti Semua fakta berupa kata-kata maupun tulisan dari sumber data manusia yang telah diamati dan dokumen yang terkait disajikan dan digambarkan apa adanya untuk selanjutnya ditelaah guna menemukan makna. Oleh karena itu, kehadiran peneliti di lapangan sangat penting sekali mengingat peneliti bertindak langsung sebagai instrumen langsung dan sebagai pengumpul data dari hasil observasi yang mendalam serta terlibat aktif dalam penelitian.
9
3. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Dusun Gintungan Desa Butuh, Kecamatan Tengaran, Kab. Semarang, Jawa Tengah, Sebuah desa yang sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai petani dan pedagang. Uniknya para warga masih melestarikan adat Jawa, hal ini juga menjadi alasan penulis untuk mengadakan penelitian di desa tersebut. 4. Sumber Data Menurut Lofland yang dikutip oleh Lexy Moleong (2000:112), ” Sumber data dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain”. Data dalam penelitian ini adalah semua data atau informasi yang diperoleh dari informan yang dianggap penting, selain itu data juga dihasilkan dari dokumentasi yang menunjang. Adapun yang digunakan dalam penelitian ini adalah: a. Kata-kata atau Tindakan Data yang berbentuk kata-kata diambil dari para informan / responden pada waktu mereka diwawancarai. Dengan kata lain data-data tersebut berupa keterangan dari para informan dari beberapa pihak diantaranya: Pejabat desa, Tokoh Agama dan masyarkat yang penulis anggap mampu untuk memberikan keterangan yang relevan. b. Data Tertulis (Dokumentasi)
10
Data yang berbentuk tulisan diperoleh dari pejabat desa dan dokumen-dokumen lain yang tentunya masih berkaitan dengan subjek penelitian. c. Foto Dalam penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti diperoleh beberapa foto tentang ” Ritual tingkepan di masyarakat Dusun Gintungan Desa Butuh, Kec. Tengaran, Kab. Semarang”. 5. Prosedur Pengumpulan Data Dalam rangka agar sebuah kajian ilmiah dapat disajikan secara sistematis, maka langkah pertama yang perlu dilakukan adalah penentuan seperangkat metode yang sesuai dengan objek dan karakteristik materal yang diangkat. Hal ini dimaksudkan agar sebuah metode penelitian rasional dan terarah maka peneliti menggunakan teknik-teknik pengumpulan data seperti yang tersebut di bawah ini: a. Observasi Observasi adalah pengamatan dan pencatatan secara sistematik terhadap gejala yang tampak pada obyek penelitian. Dalam hal ini observasi yang digunakan adalah observasi tak langsung yaitu teknik pengumpulan data dimana penyelidikan (peneliti) mengadakan pengamatan terhadap gejala-gejala subyek yang diteliti dengan perantaraan sebuah alat, baik alat yang sudah ada (yang semula tidak khusus dibuat untuk keperluan tersebut), maupun yang sengaja dibuat untuk keperluan yang khusus itu.
11
Menurut Hadari Nawawi (1990:100), “Observasi biasa diartikan sebagai pengamatan dan percatatan secara sisitematik terhadap gejala yang tampak pada obyek penelitian”. Penulis berusaha mengamati dan mendengarkan dalam rangka memahami, mencari Jawab, mencari bukti terhadap fenomena sosial-keagamaan (perilaku, kejadian-kejadian, keadaan, benda dan simbol-simbol tertentu) selama beberapa waktu tanpa mempengaruhi fenomena yang diobservasi dengan mencatat, merekam, memotret fenomena tersebut guna penemuan data analisis. Metode observasi digunakan untuk mengamati Nilai-nilai pendidikan Islam dalam ritual tingkepan di masyarakat Dusun Gintungan Desa Butuh, Kec. Tengaran, Kab. Semarang. b. Wawancara atau Interview Dapat diartikan sebagai teknik memperoleh data (informasi) yang dilakukan dengan cara tanya jawab antara peneliti dan responden secara langsung. Wawancara ini dimaksudkan untuk memperoleh kelengkapan data yang berkualitas. Wawancara identik dengan pengumpulan data dengan bertanya langsung, lisan maupun tertulis kepada nara sumber. Jadi, “Interview adalah usaha mengumpulkan informasi dengan mengajukan pertanyaan secara lisan, untuk dijawab secara lisan pula” (Hadari Nawawi, 1990:111). Ciri utamanya adalah kontak langsung dengan tatap muka antara penulis dengan sumber informasi. Metode wawancara
12
digunakan untuk menggali informasi tentang Nilai-nilai pendidikan Islam dalam ritual tingkepan di masyarakat Dusun Gintungan Desa Butuh, Kec. Tengaran, Kab. Semarang dari peneliti terhadap perangkat desa, para sesepuh dan masyarakat setempat c. Dokumen Dokumen terdiri dari kata-kata dan gambar yang telah direkam tanpa campur tangan pihak peneliti. Dokumen tersebut tersedia dalam bentuk tulisan, catatan, suara dan gambar (Cristine daymon,2008:344) Metode ini digunakan untuk lebih memperluas pengamatan dan pengumpulan data terhadap sesuatu yang diselidiki oleh peneliti. 6. Analisis Data Menurut Imam Suprayogo dan Tobroni (2001:192), “Kegiatan analisis data selama pengumpulan data dapat dimulai setelah peneliti memahami fenomena sosial yang sedang diteliti dan setelah mengumpulkan data yang dapat dianalisis”. Kegiatan-kegiatan analisis selama penulis mengumpulkan data meliputi: a. Menetapkan fokus penelitian b. Penyusunan temuan-temuan sementara berdasarkan data yang telah terkumpul c. Pembuatan rencana pengumpulan data berikutnya berdasarkan temuan-temuan pengumpulan data sebelumnya
13
d. Pengembangan pertanyaan-pertanyaan analitik dalam rangka pengumpulan data berikutnya; dan e. Penetapan sasaran-sasaran pengumpulan data berikutnya. Sedangkan Menurut Noeng Muhadjir (1996:104) mengatakan: “Analisis data merupakan upaya untuk mencapai dan menata secara sistematis catatan hasil observasi, wawancara dan lainya. Untuk meningkatkan pemahaman penelitian tentang kasus yang diteliti dan menyajikanya sebagi temuan bagi orang lain. Sedangkan untuk meningkatkan pemahaman tersebut, analisis perlu dilanjutkan dengan berupaya mancari makna”. Setelah data terkumpul maka selanjutnya adalah tahap menganalisis data, sebagai tahap akhir suatu penelitian maka penulis menggunakan metode deskriptif yaitu dengan cara data yang dikumpulkan berupa kata-kata, gambar dan bukan angka-angka, hal ini disebabkan oleh adanya penerapan metode kualitatif. Selain itu, semua yang dikumpulkan berkemungkinan menjadi kunci terhadap apa yang sudah diteliti. Jadi, ” Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah reduksi data, penyajian data serta menarik kesimpulan (verifikasi)” (Milles, 1992:16-18). Dengan
demikian,
penulis
akan
menunjukkan
laporan
penelitian akan berisi kutipan-kutipan data untuk memberikan gambaran penyajian laporan tersebut. Data yang penulis mungkin berasal dari naskah wawancara, catatan lapangan, foto, dokumen pribadi, dan sebagainya.
14
7. Pengecekan Keabsahan Data Untuk Keabsahan data dalam penelitian ini ditentukan dalam menggunakan Kriteria kreadibilitas. Hal ini dimaksudkan untuk membuktikan bahwa apa yang berhasil dikumpulkan sesuai dengan kenyataan yang ada dalam latar penelitian. 8. Tahap-tahap Penelitian Menurut Lexy J. Moloeng (2009:127-151) Tahap-tahap penelitian yang digunakan oleh peneliti sebagai berikut: a. Tahap pra lapangan 1) Mengajukan judul penelitian 2) Menyusun proposal penelitian 3) Konsultasi penelitian kepada pembimbing b. Tahap pekerjaan lapangan, yang meliputi: 1) Persiapan diri untuk memasuki lapangan penelitian 2) Pengumpulan data atau informasi yang terkait dengan fokus penelitian 3) Pencatatan data yang telah dikumpulkan c. Tahap analisis data, meliputi kegiatan: 1) Penemuan hal-hal yang penting dari data penelitian 2) Pengecekan keabsahan data
15
G. Sistematika Penulisan Dalam
sistem
pembahasan
penulisan
skripsi
ini,
penulis
mengajukan pembahasan dari beberapa bab yang berisi tentang keterkaitan tentang studi kasus yang penulis teliti, penulis memberikan gambaran sebagai berikut: Adapun pembahasan dalam skripsi ini: Pada BAB I berisi Pendahuluan, yang memuat: Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Kegunaan Penelitian, Penegasan Istilah dan Metode Penelitian. Metode penelitian berisi: Pendekatan dan Jenis Penelitian, Kehadiran
Peneliti,
Lokasi
Penelitian,
Sumber
Data,
Prosedur
Pengumpulan Data, Analisis Data, Pengecekan Keabsahan Data, Tahaptahap Penelitian dan Sistematika Penulisan. Pada BAB II berisi Kajian Pustaka, yang memuat: yang pertama adalah
Tingkepan,
Tingkepan
itu
sendiri
mencakup:
Pengertian
Tingkepan, Bentuk –bentuk ritual Tingkepan dan Tujuan pelaksanaan ritual Tingkepan, yang kedua adalah Pendidikan Islam, pendidikan Islam itu sendiri mencakup: Pengertian Pendidikan Islam, Batasan Pendidikan Islam, Tujuan Pendidikan Islam, Unsur-unsur Pendidikan Islam, Bentukbentuk Pendidikan Islam dan Nilai-nilai pendidikan Islam dalam ritual Tingkepan Pada BAB III berisi Paparan Data dan Temuan Penelitian yang mencakup: Paparan Data berisi Gambaran Umum Lokasi dan Latar Belakang adanya ritual Tingkepan yang ada di Dusun Gintungan Desa
16
Butuh, Tengaran, Semarang dan Temuan Penelitian berisi Bentuk-bentuk ritual Tingkepan di Dusun Gintungan Desa Butuh, Tengaran, Semarang dan Faktor pendukung dan penghambat adanya ritual Tingkepan Dusun Gintungan Desa Butuh, Tengaran Sedangkan BAB IV berisi Pembahasan, BAB V berisi Penutup yang mencakup: Kesimpulan dan Saran.
17
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Korelasi Budaya Jawa dan Agama Islam 1. Islam dalam Budaya Jawa Sikap hidup masyarakat Jawa ialah menempatkan dirinya sebagai sosok yang mampu menjaga keseimbangan hidup secara harmoni antara kehendak individu dengan kejadian obyektif yang dihadapinya. Sikap hidup itu muncul dari kesadaran bahwa manusia hanya dianjurkan untuk berusaha. Dijelaskan oleh Hardjowirogo Marbangun (1995:29), “Sikap itu semakin kental ketika mereka menghadap persoalanpersoalan hidup yang tidak mampu diatasi lagi, seperti ketika menghadapi anggota keluarganya yang menderita sakit keras dan sulit disembuhkan secara medis, baik modern maupun tradisional. Disamping itu, nasib seseorang - bahagia atau menderita -telah diatur oleh Tuhan dan manusia dituntut untuk menerima dengan ikhlas dengan dilandasi sikap pasrah sarta sumarah (berserah diri). Kedua sikap religius tersebut tampak nyata dalam ungkapan manungso mung wenang mbudidoyo Gusti kang wenang nemtoake ‘manusia hanya berhak berusaha dan Tuhan yang berhak menentukan”. Sikap religius manusia Jawa tersebut meliputi segala aspek kehidupan yang tidak terlepas dari semua pemikiran Jawa. Semua perilaku orang Jawa selalu bertumpu pada keyakinan yang bersifat religius. Rasa religius itu dapat dilihat dalam tradisi Jawa yang berhubungan dengan kelahiran, kematian atau dalam kehidupan keseharian seperti bercocok tanam, mendirikan bangunan rumah,
18
memulai suatu kerja penting dan sebagainya. Menurut Dhanu Priyo Prabowo (2003:30): “Dalam keadaan seperti itu, orang Jawa selalu melakukannya dengan dasar perhitungan yang cermat dengan landasan keyakinan supranatural sejalan dengan perkembangan dan perjalanan paham ketuhanan masyarakat Jawa (sejak zaman animisme, Hindu, Budha, Islam dan sebagainya, hingga berkembang menjadi kepercayaan yang dinamakan Kejawen”. Budaya jawa selalu berdiri diatas nilai-nilai keseimbangan antara individu dan sosial, antara dunia dan akhirat, antara hal-hal yang bersifat objektif dengan hal-hal yang bersifat religius, bahkan semua perilaku manusia Jawa selalu diukur dengan tujuan hidup manusia jawa itu sendiri, yakni manunggaling kawula-gusti. Jadi, “ Tujuan itu hanya dapat dicapai apabila seseorang mampu menjadikan sosok dirinya luhur. Salah satu upaya untuk mencapai derajat budi luhur dibutuhkan kemampuan seseorang dalam memerankan dirinya dalam melakukan kewajiban dan menuntut hak-sesuai kodratnya sebagai makhluk individu , makhluk sosial, dan makhluk ciptaan Tuhan”(Niels Mulder, 1984:54). Sementara itu, dalam penyebaran agama Islam memiliki sikap toleran dan akomodatif terhadap kebudayaan Jawa. Menurut M. Imaduddin Rachmat (2003:207), “Islam sudah memandang dirinya sebagai agama yang membuka diri dengan agamaagama lain dengan produk-produk kebudayaan masyarakat yang lain. Karena memang kita diciptakan bersuku-suku dan berbangsa-bangsa, maka Islam praktis tidak bisa menutupi diri dari bayang-bayang produk-produk kebudayaan manusia lainnya”.
19
Islam datang dan berkembang di jawa dipengaruhi oleh kultur atau budaya jawa. Pada sisi yang lain, budaya jawa makin di perkaya oleh khazanah Islam. ditambahkan oleh Dhanu Priyo Prabowo (2003:9-10): “Perpaduan antara keduanya menampakkan atau melahirkan ciri yang khas sebagai budaya yang sinkretis, yakni Islam Kejawen (agama Islam yang bercorak kejawen). Pada titik inilah terjadi semacam ”simbiosis mutualisme” antara Islam dan budaya Jawa. Keduanya (yang kemudian bergabung menjadi satu) dapat berkembang dan diterima oleh masyarakat Jawa tanpa menimbulkan friksi dan ketegangan. Padahal, antara keduanya sesungguhnya terdapat beberapa celah yang sangat memungkinkan untuk saling berkronfontasi”. Dalam
hidup
keberagamaan,
kecenderungan
untuk
mengakomodasikan Islam dengan budaya Jawa setempat telah melahirkan kepercayaan-kepercayaan serta upacara-upacara ritual sebagaimana akan di uraikan pada bagian berikutnya. Adapun yang dimaksud budaya Jawa disini adalah budaya sebelum Islam tersebar di Jawa, yakni budaya yang bersumberkan dari ajaran-ajaran agama Hindu dan budha yang bercampur aduk dengan kepercayaan animisme dan dinamisme”(Ridin Sofwan dkk, 2004:121). 2. Proses Akulturasi Budaya jawa dan Islam Pada dasarnya, pengertian budaya adalah semua tindakan manusia dalam mengatasi persoalan-persoalan yang berkaitan dengan hidup dan kehidupan. Masyarakat Jawa memiliki karakteristik budaya yang khas sesuai dengan kondisi masyarakatnya. Pada garis besarnya, budaya jawa dapat dibedakan menjadi dua bagian, yakni budaya lahir
20
dan batin. Budaya lahir terlihat dalam simbolisasi nilai-nilai etika yang menjadi pedoman bagi masyarakat Jawa dalam bertindak sesuai kodratnya, baik selaku makhluk individu maupun makhluk sosial, sedangkan
budaya
batin
yang
dalam
klasifikasi
menurut
Koentjaraningrat (1984:2) dapat dimasukkan pada sistem religi atau keagamaan Jawa tersimbolkan dengan manunggaling kawula-Gusti dalam pandangan keagamaan Jawa. Derajat kesinkretisan dalam beragama itu akan sejalan dengan seberapa jauh sikap akomodatif dalam berdakwah terhadap pemangku budaya lama. Dari rentangan sikap da`i terhadap upacara-upacara lama itu akan sejalan dengan metode dakwah yang dipakai. Rentangan itu berada di antara sikap menerima (receptive) dan sikap penolakan (resistance). Menerima budaya lama berarti terdapat sinkretisme dan menolak budaya lama berarti tidak ada unsure sinkretisme. Di antara kedua sikap positif dan negatif itu terdapat seperangkat metode dakwah yang berjenjang, sekaligus juga menggambarkan tingkat kesinkretisan. Adapun caracara yang dipakai para wali dalam menghadapi budaya lama (Hindu) itu menurut Ridin Sofwan dkk (2004:11-12) adalah: a. Menjaga dan memelihara (keeping) upacara-upacara atau tradisitradisi lama, contoh menerima upacara Tingkepan dan mitoni. b. Menambah (addition) upacara-upacara, tradisi-tradisi lama dengan tradisi baru, contoh menambah perkawinan jawa dengan akad nikah secara Islam.
21
c. Mengintegrasikan tradisi lama ke arah pengertian yang baru atau menambah fungsi baru (modification) terhadap budaya lama, contoh wayang disamping sebagai sarana hiburan juga sebagai sarana pendidikan. d. Menurunkan tingkatan status atau kondisi sesuatu (devaluation) dari budaya lama, contoh status dewa dalam wayang diturunkan derajatnya dan diganti dengan Allah. e. Mengganti (exchange) sebagian unsur lama dalam suatu tradisi dengan unsure baru, contoh slametan atau kenduren motifasinya diganti. f. Mengganti secara keseluruhan (subtitution) tradisi lama dengan tradisi baru, contoh sembahyang di kuil diganti dengan sembahyang di masjid sehingga tidak ada unsur pengaruh Hindu di masjid. g. Menciptakan tradisi, upacara baru (creation of new ritual) dengan menggunakan unsur lama, contoh penciptaan gamelan dan upacara sekaten. h. Menolak (negation) tradisi lama, contoh penghancuran patungpatung Budha di candi-candi sebagai penolakan terhadap penyembahan patung”. Dalam proses penyebaran Islam di Jawa terdapat dua pendekatan tentang bagaimana cara yang ditempuh agar nilai-nilai Islam diserap menjadi bagian dari budaya jawa. Pendekatan yang
22
pertama disebut Islamisasi Kultur Jawa. Melalui pendekatan ini budaya jawa di upayakan agar tampak bercorak Islam, baik secara formal maupun secara subtansial. Upaya ini ditandai dengan penggunaan istilah-istilah Islam, nama-nama Islam, pengambilan peran tokoh Islam pada berbagai cerita lama, sampai kepada penerapanpenerapan hukum-hukum, norma-norma Islam dalam berbagai aspek kehidupan. Adapun pendekatan yang kedua disebut Jawanisasi Islam, yang diartikan sebagai upaya penginternalisasian nilai-nilai Islam melalui cara penyusupan ke dalam budaya Jawa. Ditambahkan oleh Darori Amin (2002:120), “Melalui cara pertama, Islamisasi dimulai dari aspek formal terlebih dahulu sehingga simbol-simbol ke Islaman nampak secara nyata dalam budaya Jawa, sedangkan pada cara kedua, meskipun istilah-istilah dan nama-nama Jawa tetap dipakai, tetapi nilai yang dikandungnya adalah nilai-nilai Islam sehingga Islam menjadi men-Jawa”. Berbagai kenyataan menunjukkan bahwa produk-produk budaya orang Jawa yang beragama Islam cenderung mengarah kepada polarisasi Islam kejawaan atau jawa yang keIslaman sehingga timbul istilah Islam Jawa atau Islam Kejawen. Sebagai contoh pada namanama orang banyak dipakai nama Abdul Rahman, Abdul Razak, meskipun orang jawa menyebutnya Durahman, Durajak, dan lain-lain. Begitu juga penggunaan sebutan Jawa narimo ing pandum yang pada hakekatnya adalah penterjemahan dari tawakkal sebagai konsep
23
sufistik. Dalam fiqih terdapat konsep sepikul-segendongan sebagai bentuk pembagian harta waris dari konsep Islam, perbandingan 2:1 bagi anak laki-laki dengan anak perempuan. “Demikian juga bentuk fisik tempat ibadah Islam (masjid) masih mengacu kepada bangunan tempat ibadah agama terdahulu (Hindu), dan masih banyak contoh yang lain”(Rahmat Subagya, 1981:64) Sebagai suatu cara pendekatan dalam proses akulturasi, kedua kecenderungan itu merupakan strategi yang sering diambil ketika dua kebudayaan saling bertemu. Apalagi pendekatan itu sesuai dengan watak orang Jawa yang cenderung bersikap menjadi bahan perbincangan di kalangan para pengamat adalah makna yang terkandung dari percampuran kedua budaya tersebut. Mereka memiliki penilaian yang berbeda ketika dimensi keberagamaan orang Islam Jawa termanifestasikan dalam kehidupan sehari-hari. Sebagian mereka menilai bahwa percampuran itu masih sebatas pada segi-segi lahiriah sehingga Islam seakan hanya sebagai kulitnya saja, sebagian yang lain menilai sebaliknya, dalam arti nilai Islam telah menjadi semacam ruh dari penampakan budaya jawa kendatipun tidak secara konkret berlabel Islam. Dijelaskan oleh Darori Amin (2002:121): “ Upaya untuk menyelaraskan antara Islam dan budaya Jawa ini telah berlangsung sejak awal perkembangan Islam di Jawa. Beberapa literatur karya sastra pujangga Jawa pada pertengahan abad 19 seperti Dewa Ruci karya R.Ng. Yasadipura, Serat Wirid Hidayat Jati karya R.NG. Ranggawarsita, Wedhatama karya Mangkunegara IV, dan lainlain juga tampak mencerminkan upaya-upaya seperti itu. Sehingga dalam kehidupan keberagamaan, kecenderungan untuk mengakomodasikan Islam dengan budaya jawa setempat telah melahirkan kepercayaan-kepercayaan serta upacaraupacara ritual”.
24
3. Interelasi Nilai Budaya Jawa dan Islam dalam aspek kepercayaan dan ritual. Agama dan masyarakat secara inherent mempunyai jalinan yang erat dan saling mempengaruhi satu sama lain. Agama merupakan sumber nilai dan norma yang bersifat universal sehingga dapat membentuk sikap dan perilaku manusia dalam menjawab tantangan kehidupan. Bahkan dikatakan oleh Nielsen bahwa manusia sebagai makhluk
sosial
belum
menjadi
manusia
sepenuhnya
tanpa
agama”(Suyuthi Pulungan, 2002:145). Dalam konteks ini agama sebagai sumber nilai dan pandangan hidup manusia dapat diperankan dalam kehidupan bermasyarakat, khususnya pembangunan dalam bangsa. Setiap agama dalam arti seluas-luasnya tentu memiliki aspek fundamental, yakni aspek kepercayaan atau keyakinan, terutama kepercayaan terhadap sesuatu yang sakral, yaitu suci atau yang gaib. Dalam agama Islam aspek fundamental itu terumuskan dalam istilah akidah atau keimanan sehingga terdapatlah rukun iman, yang di dalamnya terangkum hal-hal yang harus dipercayai atau diimani oleh muslim. Menurut Suyuthi Pulungan (2002:42), “Pengertian dasar iman adalah sikap percaya adanya Allah, manusia yang beriman mempunyai sikap hidup dan hanya mengabdi kepada-Nya, sedangkan tauhid adalah keyakinan yang mengesakan Allah dengan diformulasikan dalam kalimat thoyyibah: la ilaha illa Allah, tiada Tuhan yang disembah selain Allah sebagai pencipta dan sumber segala kehidupan.
25
Dengan demikian iman-tauhid adalah percaya kepada Allah dan mengesakan-Nya, inilah aspek lahir akidah”. Sementara
itu,
dalam
budaya
Jawa
pra
Islam
yang
bersumberkan ajaran agama Hindu terdapat kepercayaan tentang adanya para dewata, kitab-kitab suci, orang suci, roh-roh jahat, lingkaran penderitaan, hukum karma dan hidup bahagia abadi. Pada agama Budha terdapat kepercayaan tentang empat kasunyatan (kebenaran abadi), yaitu dukha (penderitaan), samudaya (sebab penderitaan), nirodha (pemadaman keinginan) dan marga (jalan kelepasan). Menurut Darori Amin (2002:122), “Adapun pada agama primitif sebagai agama orang jawa sebelum kedatangan agama Hindu ataupun Budha, inti kepercayaanannya adalah percaya kepada dayadaya kekuatan ghaib yang menempati pada setiap benda (dinamisme), serta percaya roh-roh ataupun makhluk halus yang menempati pada suatu benda ataupun berpindah-pindah dari suatu tempat lain, baik benda
hidup
maupun
benda
mati
(animisme).
Kepercayaan
kepercayaan dari agama Hindu, Budha maupun kepercayaan dinamisme dan animisme itulah yang dalam proses perkembangan Islam berinterelasi dengan kepercayaan dalam Islam”. Agama Islam mengajarakan para pemeluknya melakukan kegiatan-kegiatan ritualistik tertentu. Yang dimaksud dengan kegiatan ritualistik itu adalah meliputi berbagai bentuk ibadah sebagaimana yang tersimpul dalam rukun Islam, yakni syahadat, shalat, puasa, zakat
26
dan haji. Khusus mengenai shalat dan puasa wajib di bulan ramadhan, terdapat pula shalat-shalat dan puasa-puasa sunnah. Intisari dari shalat adalah doa, oleh karena arti harfiah shalat juga doa yang ditujukan kepada
Allah
SWT,
sedangkan
puasa
adalah
suatu
bentuk
pengendalian nafsu dalam rangka penyucian rohani. Aspek doa dan puasa tampak mempunyai pengaruh yang sangat luas, mewarnai berbagai bentuk upacara tradisional orang Jawa. Secara luwes Islam memberikan warna baru pada upacara-upacara itu dengan sebutan kenduren atau slametan. Di dalam upacara slametan ini yang pokok adalah pembacaan doa (donga) yang dipimpin oleh orang yang dipandang memiliki pengetahuan tentang Islam, apakah seorang modin, kaum, lebe, atau kiai. Selain itu, terdapat seperangkat makanan yang dihidangkan bagi para peserta selamatan, serta makanan yang dibawa pulang ke rumah masing-masing peserta slametan yang disebut dengan berkat. Dengan inilah nilai-nilai Islam telah memasuki pelaksanaan upacara slametan dalam berbagai bentuknya, seperti upacara Tingkepan atau mitoni, upacara kelahiran, upacara sunatan, upacara
perkawinan,
dan
upacara
kematian.
Ibadah
puasa
sebagaimana yang disyariatkan Islam telah mewarnai pula perilaku orang jawa, yakni sebagai bentuk penyucian rohani untuk melengkapi doa-doa yang dipanjatkan kepada Tuhan. Puasa dalam Islam disebut dengan istilah shaum atau syiam, dan kata siyam ini juga dipakai dalam ungkapan bahasa jawa halus
27
ketika orang jawa meng-krama-kan puasa. Dalam keadaan tertentu ketika seseorang mempunyai suatu cita-cita, agar cita-cita itu terwujud, maka di samping berdoa ia juga melakukan puasa. Terdapat kebiasaan di antara orang Jawa untuk melakukan puasa pada hari senin dan kamis, serta puasa sunah lain, kendatipun mungkin kewajibankewajiban lain seperti shalat lima waktu tidak dikerjakan. Menurut Rahmat Subagya (1981:136): “Puasa ini sering juga disebut dengan tirakat, yakni meninggalkan makan dan minum pada hari-hari tertentu, bahkan juga tirakat diartikan sebagai tidak tidur (jaga) semalam suntuk. Meskipun demikian jika dilihat dari segi arti harfiah tirakat ini sesungguhnya dari konsep Islam, yakni taraka, yang berarti meninggalkan. Dalam konteks puasa maka taraka mempunyai pengertian yang tidak berbeda dengan apa yang disebut dengan siyam atau shaum”. Nilai budaya Jawa dan Islam yang religius magis itu telah tertanam begitu kuat dalam jiwa masyarakat yang menganut budaya tersebut. Melalui pewarisan yang turun-temurun di lingkungan keluarga dan masyarakat, nilai itu menghujam masuk dalam wilayah emosional seseorang karena sejak kecil telah dibiasakan dengan adatistiadat Jawa Islam yang tumbuh dalam keluarga maupun masyarakatnya. Oleh karena itu, menurut Koentjaraningrat (1984:42), “Upaya mengganti nilai budaya yang sudah mapan dengan nilai budaya lain memerlukan waktu yang lama”. B. Tradisi Tingkepan Dalam Masyarakat Jawa 1. Tradisi Tingkepan Sebagai Slametan Upacara Kandungan a. Deskripsi Slametan
28
Dalam keyakinan orang Jawa, kehidupan dipandang telah mengikuti suatu pola yang teratur dan terkoordinasi yang harus diterima. Dengan demikian mereka harus menyelaraskan diri dengan apa yang lebih agung dari diri mereka sendiri serta berusaha agar mereka tetap dalam keadaan damai dan tenteram (slamet). Menurut M. Murtadho (2002:16), “Maksud utama praktek sosio religius orang Jawa tidak lain kecuali mendapatkan keslametan di dunia ini”. Berangkat bahwa tujuan hidup adalah untuk mendapatkan keslametan, maka upacara keagamaan yang pokok adalah slametan. Upacara ini diselenggarakan bertepatan dengan waktu-waktu tertentu, seperti kelahiran, perkawinan, kematian, dan momentum-momentum yang dianggap perlu Slametan adalah suatu upacara yang biasanya diadakan di rumah suatu keluarga dan dihadiri oleh anggota-anggota keluarga, tetangga-tetangga dekat, kenalan-kenalan yang tinggal tidak jauh, dan termasuk juga orang-orang yang mempunyai hubungan dagang.
Dalam
bukunya
Darori
Amin
(2002:160-161)
menjelaskan: “Keputusan untuk mengadakan upacara slametan kadangkadang diambil berdasarkan keyakinan keagamaan yang murni, dan adanya suatu perasaan kuatir akan hal-hal yang tidak diinginkan atau akan datangnya malapetaka, tetapi kadang-kadang juga hanya merupakan suatu kebiasaan rutin saja yang dijalankan sesuai dengan adat keagamaan”.
29
Secara umum, tujuan slametan adalah untuk menciptakan keadaan sejahtera, aman dan bebas dari gangguan makhluk yang nyata maupun halus-suatu keadaan yang disebut slamet. b. Pengertian Tradisi Tingkepan Upacara-upacara daur hidup dalam masa kehamilan hakekatnya ialah upacara peralihan sebagai sarana menghilangkan petaka. Jadi semacam inisiasi yang menunjukkan bahwa upacaraupacara itu merupakan penghayatan unsur-unsur kepercayaan lama. Pada umumnya upacara kehamilan diadakan selamatan. Mulai kandungan seorang wanita berumur satu bulan sampai sembilan bulan. Dengan harapan agar selama mengandung mendapat keselamatan, tidak ada kesulitan. Menurut Purwadi (2005:130): “Sapta Kawasa Jati adalah citra kehamilan pada bulan ketujuh dalam pandangan dunia Jawa, ketika bayi berada dalam kandungan ibu. Sapta berarti tujuh, Kawasa berarti kekuasaan, Jati berarti nyata. Pengertian secara bebas adalah jika kodrat yang maha kuasa menghendaki, dapat saja pada bulan ini lahir bayi dengan sehat dan sempurna”. Orang jawa menyebut bayi yang lahir pada bulan ketujuh sudah dianggap matang atau tua. Namun jika pada bulan ini bayi belum lahir, calon orang tua atau calon neneknya membuat selamatan yang disebut dengan Mitoni atau Tingkepan”. Mitoni berasal dari kata pitu yang artinya tujuh. Semua sarana yang disajikan dalam selamatan dibuat masing-masing sebanyak tujuh buah, bahkan orang yang memandikan pun dipilih
30
sebanyak
tujuh
orang.
Maksud
upacara
ini
memberikan
pengumuman kepada keluarga dan para tetangga bahwa kehamilan telah menginjak masa tujuh bulan. Menurut Sutrisno Sastro Utomo (2005:7): “Kata pitu juga mengandung doa dan harapan, semoga kehamilan ini mendapat pitulungan atau pertolongan dari Yang Maha Kuasa, agar baik bayi yang dikandung maupun calon ibu yang mengandung tetap diberikan kesehatan dan keselamatan. Mitoni juga disebut Tingkepan, karena acara ini berasal dari kisah sepasang suami isteri bernama Ki Sedya dan Ni Satingkeb, yang menjalankan laku prihatin (brata) sampai permohonannya dikabulkan oleh Yang Maha Kuasa. Laku prihatin tersebut sampai sekarang dilestarikan menjadi acara yang sekarang kita sebut Tingkepan atau mitoni ini”. c. Waktu Penyelenggaraan Tradisi Tingkepan Penyelenggaraan upacara dapat dilaksanakan menurut keinginan yang mempunyai hajat, kecuali harti Jum’at. Karena hari Jum’at merupakan pantangan untuk menyelenggarakan upacara tradisional. Menurut Purwadi (2005:134-135): “Untuk upacara tujuh bulan yang disebut dengan Mitoni atau ningkebi, penyelenggaraannya harus menurut peraturan adat yang berlaku, yaitu pada hari selasa atau sabtu dan jatuh pada tanggal gasal. Seyogyanya tanggal tujuh, sebelum tanggal 15 menurut kalender Jawa. Pemilihan tanggal gasal itu, melambangkan umur kehamilan (tujuh bulan) yang hitungannya adalah gasal. Dilaksanakan pada siang hari, biasanya mulai jam 11 siang, karena menurut tradisi Jawa, pada saat itulah para bidadari turun dari kayangan untuk mandi”.
31
d. Perlengkapan Tradisi Tingkepan Mitoni atau Tingkepan dilakukan setelah kehamilan seorang ibu genap usia 7 bulan atau lebih. Dilaksanakan tidak boleh kurang dari 7 bulan, sekalipun kurang sehari. Menurut Clifford Geertz (1981:48-49), “Upacara tingkepan merupakan upacara paling utama sehingga seringkali dibuat besar-besaran terutama bagi kehamilan pertama”. Untuk kandungan berumur tujuh bulan, persiapan dan perlengkapan upacara kandungan berumur tujuh bulan (mitoni atau Tingkepan) terdiri dari sajen siraman, kenduri, persiapan di tempat mandi, persiapan di muka pasren, patanen, atau senthong tengah. Sajen siraman, tumpeng robyong, nasi yang dibentuk kerucut seperti gunung ditempatkan di bakul nasi dari bambu diberi lauk pauk: telor, daging, terasi, bawang merah, cabe merah, ditancapkan di ujung nasi yag berbentuk kerucut tadi. Ditambahkan oleh Purwadi (2005:134-135): “Di kiri kanan ditancapi ikan asin (gereh), kerupuk, sayur mayur, kacang, kobis dan sebagainya, jajan pasar, tumpeng gundul (nasi tumpeng tanpa sayuran), nasi asrep-asrepan, makanan tanpa garam. Jlupak (lampu yang sumbunya terbuat dari kapas, dengan minyak kelapa), seekor ayam kecil yang masih hidup. Sebutir kelapa yang dibuang sabutnya. Lima macam bubur (bubur baro-baro, bubur merah, merah putih, bubur putih dan bubur palang). Kembang setaman, aneka macam bunga-bungaan, mawar, kenanga, melati”.
32
Dijelaskan oleh (Purwadi 2005:139-144), “Persiapan dan perlengkapan di tempat mandi: air bunga, yaitu air yang berasal dari tujuh mata air diberi aneka bunga-bungaan ditempatkan di bak mandi. Kelapa tabonan, yaitu dua buah kelapa biasa yang sedang (tidak tua), diikat jadi satu dengan cara diambilkan sedikit sabut dari keduanya. Dua buah kelapa yang masih utuh ini dimasukkan ke dalam bak mandi. Pengambil air yang terbuat dari tempurung kelapa yang masih ada kelapanya dan berlubang (gayung). Air asam dan londho merang untuk mencuci rambut (keramas). Londho merang adalah bahan pencuci rambut (shampo) tradisional terbuat dari tangkai padi yang sudah dibakar direndam air. Air rendaman itulah yang dipakai sebagai pencuci rambut. Klenthing, tempayan air terbuat dari tanah. Air dalam klenthing itu sudah diberi mantera. Bobok lulur, yaitu semacam bedak dingin terbuat dari tepung berwarna tujuh macam dicampur mangir, daun pandan wangi, daun kemuning. Dhingklik, yaitu tempat duduk tradisional dari kayu yang dipergunakan sewaktu mandi. Di atas dhingklik diberi bermacam-macam daundaunan, yaitu daun apa-apa, daun kluwih, daun dadap serep, daun ilalang, daun kara. Di atas dedaunan dibentangkan tikar yang di atasnya diberi beraneka macam lawe (semacam benang tenun). Di atasnya lagi diberi alas kain tujuh macam motif yaitu letrek, warna hijau ditengahnya putih, jingga, warna kuning biru di tengahnya putih. Sindur, warna merah di tengahnya puith. Kain lurik puluh watu. Kain lurik yuyu sekandhang. Diatasnya lagi diberi alas mori putih (lawon). keris, cengkir gadhing, kelapa kuning dan buah. Sampora, terbuat dari cairan tepung beras diberi santan kemudian dibentuk seperti tempurung tengkurap di dalamnya diberi gula dimasak. Pring sedapur, terbuat dari cairan tepung beras dibentuk kerucut kecil (tumpeng) berjumlah 18 buah atau 9 pasang. Pada tumpeng-tumpeng kecil tersebut ditancapkan aneka macam warna bulat-bulatan kecil dari tepung beras. Persiapan dan perlengkapan di muka pasren atau patapen atau senthong tengah. Persiapan di muka pasren, senthong tengah dimaksudkan untuk upacara ganti busana atau ganti kain. Adapun persiapan dan perlengkapan di muka pasren, ialah senthong tengah atau di tempat mandi bagi yang melaksanakan di tempat tersebut ialah: kain dan kemben (penutup dada wanita) sebanyak tujuh motif. Motif-motif tersebut dipilihkan motif yang mempunyai arti,
33
lambang baik. Misalnya kain-kain yang bermotif truntum, sidoluhur, sidomukti,grompol, panangkusuma dan lasem”. e. Rangkaian Upacara Tingkepan Ada tiga tahap pelaksanaan upacara mitoni (Tingkepan), yang pertama siraman, dilanjutkan dengan brojolan dan yang ketiga pemakaian busana. Siraman dilakukan di kamar mandi atau tempat yang dibuat secara khusus (disebut krobongan) dengan hiasan yang indah. Siraman artinya memandikan. Ditambahkan oleh Sutrisno Sastro Utomo (2005:7-8), “Air yang dipergunkan untuk memandikan diambil dari tujuh sumber, lalu ditaruh di jambangan (sejenis ember dari tanah liat atau tembaga) dan ditambahi dengan bunga talon (tiga), seperti bunga setaman atau sritaman, yaitu mawar, melati, kantil dan kenanga”. Memandikan dipilih tujuh orang yang sudah berumah tangga, yang bisa dijadikan teladan bagi calon ibu yang akan dimandikan. Gayung untuk memandikan dibuat dari batok kelapa yang masih ada lapisan dagingnya. Dengan mengenakan kain batik (lilitan jarit) dan tidak diperkenankan mengenakan segala jenis perhiasan, calon ibu dibawa ke tempat siraman oleh seorang ibu (biasanya dukun wanita) yang telah ditugasi. Pelaksanaan siraman diawali oleh calon kakeknya dan dilanjutkan oleh calon neneknya yang selanjutnya diteruskan oleh ibu-ibu yang telah dipilih tadi.
34
Seperti dijelaskan oleh Sutrisno Sastro Utomo (2005:7-10) sebagai berikut: “Siraman dilakukan dengan menuangkan air yang telah diberi bunga tadi ke tubuh calon ibu. Setelah selesai memandikan, dukun yang ditugasi tadi memberikan air terakhir untuk membersihkan diri dari kendhi (sejenis teko dari tembikar) yang telah diberi mantra-mantra. Selesai membersihkan diri, kendhi lalu dibanting oleh calon ibu. Setelah dikeringkan dengan handuk, calon ibu diberi busana dengan lilitan kain (jarik) yang diikat (secara longgar) dengan letrek (sejenis benang berwarna merah, putih dan hitam). Calon nenek lalu memasukkan tropong (alat tenun) ke dalam lilitan kain tadi, kemudian dijatuhkan ke bawah. Sementara itu acara dilanjutkan dengan memasukkan dua buah kelapa gading yang telah digambari (lewat lilitan jarit yang dikenakan ibu). Gambarnya bisa memilih Kamajaya dan Dewi Ratih atau Harjuna dan Sembrada, bisa juga Panji Asmara Bangun dengan Galuh Candra Kirana. Acara ini disebut brojolan yang merupakan visualisasi doa orang Jawa agar kelahirannya nanti jika laki-laki bisa setampan Kamajaya, Harjuna atau Panji Asmara Bangun, dan jika perempuan secantik Dewi Ratih, Sembrada atau Galuh Candra Kirana. Upacara brojolan yang meluncurkan tropong dan kelapa kadang-kadang tanpa tropong, hanya dengan dua buah kelapa saja. Tugas calon bapak adalah memotong letrek yang mengikat calon ibu dengan menggunakan keris yang ujungnya ditutupi kunyit atau dapat juga dengan menggunakan parang yang telah diberi untaian bunga melati. Apa yang dikerjakan calon bapak adalah menggambarkan kewajiban suami untuk memutuskan segala rintangan dalam kehidupan sekeluarga nanti. Calon bapak melanjutkan tugasnya dengan memecah buah kelapa yang telah digambarti tadi, dengan sekali tebas. Jika buah kelapa bisa terbelah menjadi dua bagian, maka seluruh hadirin akan berteriak:” perempuan”!. Namun jika tidak terbelah dan hanya menyemburkan air isinya saja, maka hadirin akan berteriak:”laki-laki”!. Setelah dikeringkan dengan handuk, calon ibu dibawa ke ruang tengah untuk diberi busana dengan menggunakan Jarik berbagai motif. Di wilayah Yogyakarta sering memakai motif Sidaluhur, Sida Asih, Sida Mukti, Gandasuli, Semen Raja, Parang dan terakhir Lurik dengan
35
motif Lasem. Motif Lurik Lasem melambangkan cinta kasih antara calon bapak dan ibunya. Sedangkan di wilayah Surakarta dan sekitarnya memakai motif Bango Tulak, Pudak Mekar, Pare, Puluh Watu, Yuyu Sekandhang, Sindhur dan Wono Bodro. Setiap diganti dengan satu kain tersebut, ibu petugas menanyakan kepada tamu yang hadir. Petugas: “sudah pantas belum ibu-ibu?” Hadirin: (serentak menjawab) “belum!!!” Begitu juga seterusnya sampai pada kain yang keenam. Ketika diganti kain yang ketujuh atau yang terakhir, serentak ibu-ibu hadirin menjawab: “sudah!!!”. Keenam kain yang dianggap kurang pantas tadi akhirnya menumpuk di bawah ibu yang hamil, lalu dijadikan alas untuk duduk calon ibu dan calon bapaknya. Acara ini disebut angreman karena menggambarkan seperti ayam yang mengerami telurnya. Calon orang tua bayi duduk bersama di tumpukan kain tadi”. Ditambahkan oleh Purwadi (2005:147-150), “Maka selesailah sudah keseluruhan upacara Tingkepan, ditandai dengan upacara doa oleh kaum yang mengelilingi selamatan. Kemudian sesajian selamatan itu disantap sedikit dan sebagian dibawa pulang (mberkat)”. 2. Makna Tradisi Tingkepan Perspektif Masyarakat Jawa a. Tujuan Pelaksanaan Tradisi Tingkepan Kiranya dapat dikatakan bahwa maksud penyelenggaraan rangkaian upacara kehamilan ialah agar embrio yang ada di dalam kandungan dan ibu yang mengandung, senantiasa memperoleh keselamatan. Namun ada motivasi yang mendorong dilakukannya penyelenggaraan rangkaian upacara kehamilan ini, yaitu aspek tradisi kepercayaan lama dan aspek primordial. Adapun aspek tradisi kepercayaan lama, sangat diyakini untuk melakukan ritus-
36
ritus sebagai sarana mutlak agar bakal bayi dan ibu yang hamil terhindar dari malapetaka Adapun aspek solidaritas primordial, terutama adat-istiadat yang secara turun temurun dilestarikan oleh kelompok sosialnya. Adat-istiadat yang berkaitan dengan masa kehamilan juga mencerminkan salah satu etik status sosial kelompoknya. Mengabaikan adat-istiadat yang mencerminkan salah satu etik itu, dapat dinilai sebagai suatu ulah yang tidak memperlihatkan watak golongan bangsawan, tidak menunjukkan solidaritas primordial golongan bangsawan tidak disenangi. Menurut Purwadi (2005:133134): ”Mengabaikan adat-istiadat mengakibatkan celaan dan nama buruk bagi keluarga yang bersangkutan di mata kelompok sosialnya. Karena ulahnya itu, bukan saja dinilai tidak sesuai dengan etik status sosial golongan bangsawan, tidak menghormati pranatan dan leluhur, melainkan juga dapat merusak keseimbangan tata hidup kelompok sosialnya”. b. Tradisi Tingkepan merupakan suatu upacara ritual adat Jawa Upacara ritual daur hidup dalam masa kehamilan hakekatnya ialah upacara peralihan sebagai sarana menghilangkan petaka. Jadi semacam inisiasi yang menunjukkan bahwa upacara itu merupakan penghayatan unsur kepercayaan lama. Pada tradisi Tingkepan diadakan slametan, dengan harapan agar ibu yang mengandung dan juga bayi yang akan dilahirkan memperoleh keselamatan dan tidak ada kesulitan.
37
Peserta slametan memandangnya sebagai bagian integral dari kehidupan mereka sebagai makhluk sosial dan dalam pemahaman mengenai diri mereka sendiri sebagai orang Jawa; mereka memandangnya sebagai ringkasan tradisi lokal. Tradisi Tingkepan telah tertanam begitu kuat dalam masyarakat yang menganut budaya tersebut. Melalui pewarisan yang turun temurun di lingkungan keluarga dan masyarakat, nilai itu menghujam masuk dalam wilayah emosional seseorang karena sejak kecil telah dibiasakan dengan adat istiadat Jawa yang tumbuh dalam keluarga maupun masyarakatnya. Oleh karena itu, dalam masyarakat Jawa menganggap bahwa tradisi Tingkepan merupakan suatu upacara ritual adat Jawa yang harus dilaksanakan apabila mengalami sebabsebab untuk melakukan tradisi Tingkepan tersebut. c. Tradisi Tingkepan Sebagai Upacara Menyongsong Lahirnya Generasi Penerus. Selama masa kehamilan, seorang wanita yang mengandung sangat memperhatikan pantangan-pantangan. Pantangan-pantangan ini juga berlaku bagi suami atau ayah bayi yang sedang dikandung. Misalnya makan sesuatu yang mempunyai akibat buruk, yaitu buah yang melintang bijinya. Pantangan tersebut diartikan agar anak yang sedang dikandung posisinya tidak melintang. Seorang lakilaki yang isterinya sedang mengandung dilarang menyakiti binatang atau membunuhnya. Karena mereka beranggapan bahwa anaknya
38
akan menyerupai binatang itu. Demikian masih banyak contoh lain yang dianggap oleh masyarakat Jawa sebagai kepercayaankepercayaan yang diturunkan nenek moyang mereka. Kalau seorang calon ibu ada tanda-tanda nyidam, biasanya ingin sesuatu yang spesifik. Misalnya ingin sekali makan buah-buahan tertentu yang masih muda dan rasanya masih asam. Mungkin itulah sebab buah-buahan yang masih muda disebut nyidam. Ditegaskan oleh Purwadi (2005:131): “Kalau permintaan wanita tersebut tidak dituruti, orang Jawa beranggapan bahwa kelak kalau bayinya sudah lahir akan menimbulkan ekses kurang baik. Misalnya anak itu akan selalu mengeluarkan air liur (ngiler). Keinginan sesuatu bagi seorang wanita yang sedang hamil tidak terbatas pada buah-buahan saja, akan tetapi ada juga yang mempunyai keinginan lain yang harus dituruti”. Rangkaian upacara masa kehamilan diselenggarakan mulai diketahui bahwa seorang wanita hamil, selama masa kehamilan maka tiap bulan diselamati. Yaitu mulai kandungan berumur satu, dua bulan, tiga bulan dan seterusnya pada tiap-tiap bulan. Pada bulan ketiga, ia sudah nampak kehamilannya dan wajib bagi calon orang tua mentaati berbagai pantangan dengan harapan agar kelak bayi yang dilahirkan tidak mengalami cacat fisik atau mental dan dengan harapan agar kelak anak yang dilahirkan mempunyai masa depan yang bagus. Harapan akan masa depan yang baik bagi seorang manusia yang akan terlahir di muka bumi merupakan sesuatu yang memang seharusnya karena calon anak yang akan
39
lahir tersebut merupakan generasi penerus, sehingga jika generasi penerus itu baik akan membawa kebaikan bagi manusia secara keseluruhan. C. Pendidikan Islam 1. Pengertian pendidikan Islam Pendidikan merupakan sebagai Proses Transformasi Budaya yang diartikan sebagai kegiatan pewarisan budaya dari satu generasi ke generasi yang lain. Nilai-nilai kebudayaan tersebut mengalami proses transformasi dari generasi tua ke generasi muda. Pendidikan juga diartikan sebagai suatu kegiatan yang sistematis dan sistemik terarah kepada terbentuknya kepribadian peserta didik. Sistematis oleh karena proses pendidikan berlangsung melalui tahap-tahap bersinambungan (prosedural) dan sistemik oleh karena berlangsung dalam semua situasi kondisi, di semua lingkungan yang saling mengisi (lingkungan rumah, sekolah, masyarakat). Menurut Fuad Hasan (2003:11-12), ”Pendidikan berarti Mendidik. memberikan pertolongan secara sadar dan sengaja kepada seseorang anak(yang belum dewasa) dalam pertumbuhannya menuju kearah kedewasaan dalam arti dapat berdiri sendiri dan bertanggung jawab”. Pendidikan juga mengarah kepada penyampain informasi halhal baru kepada seseorang dan proses transformasi itu akan terbentuk dalam Ilmu pengetahuan sehingga akan menjadikan manusia itu berwawasan luas. Jadi Pendidikan Islam adalah memberikan informasi
40
dan mengajarkan manusia menuju kedewasaan sehingga dia dapat bertanggungjawab atas dirinya sesuai ajaran Islam 2. Batasan pendidkan Islam Dibawah ini penulis kemukakan beberapa batasan pendidikan: a. Pendidikan sebagai Proses transformasi Budaya Sebagai proses transformasi budaya, pendidikan diartikan sebagai kegiatan pewarisan budaya dari satu generasi ke generasi yang
lain.
Nilai-nilai
budaya
tersebut
mengalami
proses
transformasi dari generasi tua ke generasi muda. Ada tiga bentuk transformasi yaitu nilai-nilai yang masih cocok diteruskan misalnya nilai-nilai kejujuran, rasa tanggung jawab, dan lain-lain. b. Pendidikan sebagai Proses Pembentukan Pribadi Sebagai proses pembentukan pribadi, pendidikan diartikan sebagi suatu kegiatan yang sistematis dan sistemik terarah kepada terbentuknya kepribadian peserta didik. Proses pembentukan pribadi melalui 2 sasaran yaitu pembentukan pribadi bagi mereka yang belum dewasa oleh mereka yang sudah dewasa dan bagi mereka yang sudah dewasa atas usaha sendiri. c. Pendidikan sebagai Proses Penyiapan Warganegara Pendidikan sebagai penyiapan warganegara diartikan sebagai suatu kegiatan yang terencana untuk membekali peserta didik agar menjadi warga negara yang baik.
41
d. Pendidikan sebagai Penyiapan Tenaga Kerja Pendidikan sebagai penyimpanan tenaga kerja diartikan sebagai kegiatan membimbing peserta didik sehingga memiliki bekal dasar utuk bekerja. Pembekalan dasar berupa pembentukan sikap, pengetahuan, dan keterampilan kerja pada calon luaran. Ini menjadi misi penting dari pendidikan karena bekerja menjadi kebutuhan pokok dalam kehidupan manusia. 3. Tujuan pendidikan Islam Kohsntamm seorang ahli pendidikan menyebutkan bahwa tujuan pendidikan ialah membantu seseorang dalam upaya proses pemanusiaan-diri sendiri untuk mencapai ketentraman batin yang paling dalam, tanpa mengganggu atau tanpa membebani orang lain”(Kartini Kartono,1992:219). Namun secara garis besar Tujuan pendidikan memuat gambaran tentang nilai-nilai yang baik, luhur, pantas, benar, dan indah untuk kehidupan. Pendidikan memiliki dua fungsi yaitu memberikan arah kepada segenap kegiatan pendidikan dan merupakan sesuatu yang ingin dicapai oleh segenap kegiatan pendidikan.
4. Unsur-unsur pendidikan Islam Proses pendidikan melibatkan banyak hal yaitu: a. Subjek yang dibimbing (peserta didik). Menurut pengertian secara khusus, peserta didik dapat di artikan
42
orang yang belum dewasa atau orang yang masih menjadi tanggungjawab pendidik (Sutari Imam Barnadib, 1982:39). Dalam hal ini Peserta didik berstatus sebagai subjek didik. Ciri khas peserta didik yang perlu dipahami oleh pendidik ialah: 1) Individu yang memiliki potensi fisik dan psikis yang khas, sehingga merupakan insan yang unik. 2) Individu yang sedang berkembang. 3) Individu yang membutuhkan bimbingan individual dan perlakuan manusiawi. 4) Individu yang memiliki kemampuan untuk mandiri b. Orang yang membimbing (pendidik) Pendidik adalah tiap orang yang dengan sengaja mempengaruhi orang lain untuk mencapai tingkat kemanusiaan yang lebih tinggi (Sutari Imam Barnadib, 1982:38). Disisi lain Yang dimaksud pendidik adalah orang yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pendidikan dengan sasaran peserta didik. Peserta didik mengalami pendidikannya dalam tiga lingkungan yaitu lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan masayarakat. Sebab itu yang bertanggung jawab terhadap pendidikan ialah orang tua, guru, pemimpin program pembelajaran, latihan, dan masyarakat.
c. Interaksi antara peserta didik dengan pendidik (interaksi edukatif)
43
Interaksi edukatif pada dasarnya adalah komunikasi timbal balik antara peserta didik dengan pendidik yang terarah kepada tujuan pendidikan. Pencapaian tujuan pendidikan secara optimal ditempuh melalui proses berkomunikasi intensif dengan manipulasi isi, metode, serta alat-alat pendidikan. d. Ke arah mana bimbingan ditujukan (tujuan pendidikan) e. Pengaruh yang diberikan dalam bimbingan (materi pendidikan) f. Cara yang digunakan dalam bimbingan (alat dan metode) g. Tempat dimana peristiwa bimbingan berlangsung (lingkungan pendidikan)
44
BAB III PAPARAN DATA DAN TEMUAN PENELITIAN
A. Gambaran Umum Lokasi penelitian Dusun Gintungan merupakan dalam wilayah Desa Butuh kec. Tengaran kab. Semarang dan merupakan daerah pedesaan dengan Masyarakat hidup dari pertanian dengan kondisi tanah tadah hujan yang sangat luas dan mencukupi untuk kebutuhan sehari-hari. Tidak sedikit pula para warganya juga beralih profesi ke arah wirausaha, pedagang dan bagi yang tidak memiliki ladang mereka bekerja sebagai buruh tani. Dijelaskan oleh bapak kepala Desa Bapak Subadi wawancara pada tanggal 09 Juli 2011 jam 10.00 Wib, ”Pada Tahun 2010 jumlah penduduk desa Butuh mencapai 3.382 jiwa terdiri dari 1.699 jumlah laki-laki dan 1.683 jumlah perempuan yang tersebar di 9 dusun di antaranya dusun Kemploko, Rejosari, Godean, Butuh kidul, Butuh krajan, Pongge, Tluko, Banaran dan Gintungan. Infra struktur rumah warga 60% terbuat dari kayu berlantai tanah sedangkan sekitar 40% bangunan terbuat dari bahan material. Diantara bangunan penting di dusun Gintungan terbuat dari tembok misalkan: Sekolahan, Kantor Kelurahan, Puskesmas dan Masjid”. Adapun jumlah warga yang bermata pencaharian sebagai petani sekitar 60% dan untuk 40% dibagi atas buruh, merantau dan berdagang. Secara geografis wilayah desa Butuh dibatasi oleh:
45
a. Desa Karang duren sebelah utara b. Desa Klero sebelah timur c. Desa Patemon sebelah barat d. Desa Ngadirejo Kec. Ampel sebelah selatan Untuk jarak dusun Gintungan ke Balai desa Butuh sejauh 1 km sedangkan kearah kantor kecamatan Tengaran jaraknya 2 km. Desa dialiri listrik dimulai pada tahun 1985. Kondisi fisik jalan raya di desa itu telah di aspal walaupun terdapat titik-titik kerusakan akibat tidak adanya perawatan berkala dari pemerintah daerah setempat. Jadi saat terjadi musim penghujan kondisi jalan raya sangat becek dan banyak terdapat lubang serta terdapat genangan air ditengah-tengah badan jalan sehingga mengganggu aktifitas. Tidak ada kasus sosial dari tahun ketahun. Pendidikan formal warga sebagai berikut:
Di desa ini memiliki sarana pendidikan sebagai berikut:
46
serta memiliki beberapa sarana peribadatan umat Islam karena mayoritas agama masyarakat desa Butuh dusun Gintungan adalah Islam maka disitu terdapat 9 buah Masjid. Masyarakat juga rutin melakukan kegiatan yang bernuansa Islami seperti Tahlilan, Pengajian dan Yasinan. Untuk jadwal yasinan disetiap RT yaitu kelompok Ibu-ibu di laksanakan pada hari senin malam atau malam selasa di rumah
warga secara
bergiliran dari rumah ke rumah dengan di pimpin oleh seorang ustadz yang bertugas sebagai pembawa do’a. Isi dari kegiatan itu adalah tahlilan, membaca surat Yasin, pengajian dan pembacaan do’a. Kegiatan religi lainya adalah tahlilan oleh bapak-bapak kegiatan untuk laki-laki ini dilaksanakan pada kamis malam ba’da magrib yang inti kegiatanya sama dengan yasinan. B. Temuan Penelitian 1. Deskripsi Slametan Orang Jawa harus menyelaraskan diri dengan apa yang lebih agung dari diri sendiri serta berusaha agar tetap dalam keadaan damai dan tenteram (slamet). Dalam keyakinan orang Jawa, kehidupan dipandang telah mengikuti suatu pola agung yang teratur dan terkoordinasi yang harus diterima oleh mereka. Menurut Semo wawancara pada tanggal 11 Juli 2011 jam 09.00 Wib, “ Upacara slametan diselenggarakan bertepatan dengan waktu-waktu tertentu, seperti kelahiran, perkawinan, kematian, dan momentum-momentum lainya” ditambahkan oleh Minto wawancara pada tanggal 11 Juli 2011
47
jam 09.30 Wib bahwa, “ Slametan adalah suatu upacara yang biasanya diadakan di rumah suatu keluarga dan dihadiri oleh anggota-anggota keluarga, tetangga-tetangga dekat, kenalan-kenalan yang tinggal tidak jauh”. Secara umum digambarkan oleh Wiryotondo wawancara pada tanggal 11 Juli 2011 jam 10.30 Wib, “Tujuan slametan adalah untuk menciptakan keadaan sejahtera, aman dan bebas dari gangguan makhluk yang nyata maupun halus”. 2. Pengertian Tradisi Tingkepan Menurut Rif’ah wawancara pada tanggal 11 Juli 2011 jam 11.30 Wib, “Tingkepan dilakukan setelah kehamilan seorang ibu genap usia 7 bulan”. Upacara dalam masa kehamilan hakekatnya ialah upacara peralihan sebagai sarana menghilangkan was-was. Jadi semacam inisiasi yang menunjukkan bahwa upacara-upacara itu merupakan penghayatan dan memberikan semangat kepada seorang calon Ibu. Menurut Subadi wawancara pada tanggal 11 Juli 2011 jam 13.00 Wib, “Mulai kandungan seorang wanita berumur satu bulan sampai sembilan bulan sering dilakukan slametan. Dengan harapan agar selama mengandung mendapat keselamatan, tidak ada kesulitan”. Orang jawa menyebut bayi yang lahir pada bulan ketujuh sudah dianggap matang atau tua. Namun jika pada bulan ini bayi belum lahir, calon orang tua atau calon neneknya membuat selamatan yang disebut dengan Mitoni atau Tingkeban.
48
Menurut Jumi’ah wawancara pada tanggal 11 Juli 2011 jam 15.00 Wib, “Mitoni berasal dari kata pitu yang artinya tujuh. Semua sarana yang disajikan dalam selamatan dibuat masing-masing sebanyak tujuh buah, orang yang memandikan pun dipilih sebanyak tujuh orang”. Ditegaskan oleh Nurhadi wawancara pada tanggal 11 Juli 2011 jam 14.00 Wib, “Maksud upacara ini memberikan pengumuman kepada keluarga dan para tetangga bahwa kehamilan telah menginjak masa tujuh bulan”. 3. Waktu Penyelenggaraan Tradisi Tingkeban Penyelenggaraan upacara dapat dilaksanakan menurut keinginan yang mempunyai hajat, kecuali harti Jum’at. Karena hari jum’at merupakan pantangan untuk menyelenggarakan upacara tradisional. Menurut Istianah wawancara pada tanggal 13 Juli 2011 jam 10.00 Wib, “Untuk upacara tujuh bulan penyelenggaraannya harus menurut peraturan adat yang berlaku, yaitu pada hari selasa atau sabtu dan jatuh pada tanggal gasal. Pemilihan tanggal gasal itu, melambangkan umur kehamilan (tujuh bulan) yang hitungannya adalah gasal”. Ditambahkan oleh H. Jumeri wawancara pada tanggal 13 Juli 2011 jam 11.10 Wib, “Tingkepan Dilaksanakan pada siang hari, biasanya mulai jam 11 siang, konon menurut cerita pada saat itulah para bidadari turun dari kayangan untuk mandi”.
49
4. Perlengkapan Tradisi Tingkeban
Perlengkapan upacara kandungan yang berumur tujuh bulan (mitoni atau tingkeban) terdiri dari sajen siraman, kenduri, persiapan di tempat mandi, persiapan di muka pasren, patanen, atau senthong tengah. Sajen siraman, tumpeng robyong, nasi yang dibentuk kerucut seperti gunung ditempatkan di bakul nasi dari bambu diberi lauk pauk: telor, daging, terasi, bawang merah, cabe merah, ditancapkan di ujung nasi yag berbentuk kerucut tadi. Menurut Damsuri wawancara pada tanggal 13 Juli 2011 jam 14.15 Wib, “Sesaji sangat penting didalam setiap upacara tradisonal. Sebenarnya maksud dan tujuan sesaji adalah seperti sebuah doa. Kalau doa diucapkan dengan kata-kata, sedangkan sesaji diungkapkan melalui sesaji yang berupa berbagai bunga, dedaunan dan hasil bumi yang lain. ditambahkan oleh Janari wawancara pada tanggal 13 Juli 2011 jam 13.40 Wib, “Tujuan sesaji adalah : Mengagungkan asma Gusti, Tuhan dan merupakan permohonan tulus kepada Gusti supaya memberikan berkah dan perlindungan. Mengingat dan menghormati para pinisepuh, supaya mendapat tempat tentram dialam keabadian. Supaya upacara berjalan lancar dan sukses, tidak diganggu oleh apapun”. Menurut Warno wawancara pada tanggal 14 Juli 2011 jam 10.00 Wib, ada beberapa perlengkapan saat Tingkepan:
50
a. Perlengkapan di tempat mandi: air bunga, yaitu air yang berasal dari tujuh mata air diberi aneka bunga-bungaan ditempatkan di bak mandi. b. Kelapa tabonan, yaitu dua buah kelapa biasa yang sedang (tidak tua), diikat jadi satu dengan cara diambilkan sedikit sabut dari keduanya. Dua buah kelapa yang masih utuh ini dimasukkan ke dalam bak mandi. Pengambil air yang terbuat dari tempurung kelapa yang masih ada kelapanya dan berlubang (gayung). Air asam dan londho merang untuk mencuci rambut (keramas). c. Londho merang adalah bahan pencuci rambut terbuat dari tangkai padi yang sudah dibakar direndam air. Air rendaman itulah yang dipakai sebagai pencuci rambut. Klenthing, tempayan air terbuat dari tanah. d. Bobok lulur, yaitu semacam bedak dingin terbuat dari tepung berwarna tujuh macam dicampur mangir, daun pandan wangi dan daun kemuning. e. Dhingklik, yaitu tempat duduk tradisional dari kayu yang dipergunakan sewaktu mandi. Di atas dhingklik diberi bermacammacam daun-daunan, yaitu daun apa-apa, daun kluwih, daun dadap serep, daun ilalang, daun kara. Di atas dedaunan dibentangkan tikar yang di atasnya diberi beraneka macam lawe (semacam benang tenun). Di atasnya lagi diberi alas kain tujuh macam motif yaitu letrek, warna hijau ditengahnya putih, jingga, warna kuning biru di
51
tengahnya putih. Sindur, warna merah di tengahnya putih. Kain lurik puluh watu. Kain lurik yuyu sekandhang. f. cengkir gadhing, kelapa kuning dan buah. Sampora, terbuat dari cairan tepung beras diberi santan kemudian dibentuk seperti tempurung tengkurap di dalamnya diberi gula dimasak. Pring sedhapur, terbuat dari cairan tepung beras dibentuk kerucut kecil (tumpeng) berjumlah 18 buah atau 9 pasang. Pada tumpengtumpeng kecil tersebut ditancapkan aneka macam warna bulatbulatan kecil dari tepung beras”. 5. Rangkaian Upacara Tingkeban Dijelaskan Wirtyotondo wawancara pada tanggal 14 Juli 2011 jam 12.00 Wib.Rangkaian acara dari Tingkepan sebagai berikut : a. Siraman calon ibu. Upacara Siraman dilakukan oleh sesepuh sebanyak tujuh orang. Bermakna mohon doa restu, supaya suci lahir dan batin. Setelah upacara siraman selesai, air kendi tujuh mata air dipergunakan untuk mencuci muka, setelah air dalam kendi habis, kendi dipecah. Mula-mula disiapkan air yang di dalamnya sudah diisi dengan kembang setaman . Calon ibu memakai kain batik yang dililitkan (kemben ) pada tubuhnya. Dalam posisi duduk, calon ibu mulamula disirami oleh suaminya, lalu oleh orang tua dan sesepuh lainnya. Maksud upacara ini adalah untuk mencuci semua kotoran, dan hal-hal negatif lainnya.
52
b. Memasukkan telur ayam kampung Setelah siraman, calon ayah memasukkan telur ayam kampung di bagian dada dari kain yang dikenakan calon ibu, lalu mengurutkannya ke bawah, sampai ke luar. Ini melambangkan permohonan, agar bayi lahir dengan lancar dan selamat. c. Santun busono atau Salin rasukan Santun berarti berganti, busono adalah pakaian. Calon ibu secara bergantian memakai (melilitkan pada tubuh) 7 (tujuh) kain batik, yang berbeda coraknya. Ini melambangkan, bahwa ibu calon bayi sadar, bahwa dalam membesarkan dan mendidik anak nantinya, akan dijumpai berbagai corak kehidupan. Corak batik yang dipakai urut, mulai dari yang terbaik sampai terjelek, yaitu: a. Sidoluhur, Maknanya agar anak menjadi orang yang sopan dan berbudi pekerti luhur b.Sidomukti, Maknanya agar bayi yang akan lahir menjadi orang yang mukti wibawa, yaitu berbahagia dan disegani karena kewibawaannya. c.Truntum, Maknanya agar keluhuran budi orangtuanya menurun (tumaruntum) pada sang bayi.
53
d.Wahyu tumurun, Maknanya agar bayi yang akan lahir menjadi orang yang senantiasa mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa dan selalu mendapat petunjuk dan perlindungan dari Nya e.Udan riris, Maknanya agar anak dapat membuat situasi yang menyegarkan, enak dipandang, dan menyenangkan siapa saja yang bergaul dengannya. f.Sido asih, Maknanya agar bayi yang akan lahir menjadi orang yang selalu di cintai dan dikasihi oleh sesama serta mempunyai sifat belas kasih g.Lasem. Bermotif garis vertikal, bermakna semoga anak senantiasa bertakwa pada Tuhan YME. Setiap memakai corak kain, si calon ibu berlaku seperti peragawati di depan para tamu. Pada saat memakai sidomukti sampai sido asih, para tamu mengatakan “Bagus, tapi tidak cocok”, atau “Mahal tapi tidak serasi”, tetapi pada saat memaki corak yang paling sederhana, yaitu lasem, para tamu mengatakan:” Sederhana, tapi cocok”, “Biasa-biasa, tapi karena yang memakai cantik, ya serasi”. Ini melambangkan, doa agar si bayi nantinya menjadi
54
orang yang sederhana. Angka 7 melambangkan 7 lubang tubuh (2 di mata, 2 di telinga, 1 di mulut, 1 di dubur, dan 1 di alat kelamin), yang harus selalu dijaga kesucian dan kebersihannya. Ada pengertian lain dari angka 7 ini yang disebut keratabasa . Angka 7, dalam Basa Jawa disebut pitu , keratabasa dari pitu-lungan (pertolongan). d. Membelah kelapa gading Selanjutnya, ibu dari si calon ibu menyerahkan kepada si calon ibu, dua butir kelapa gading, yang masing-masing telah digambari Dewa Kamajaya dan Dewi Ratih, atau Arjuna dan Sembodro. Gambar tokoh wayang melambangkan doa, agar nantinya si bayi jika laki-laki akan setampan Dewa Kamajaya atau Arjuna, dan jika wanita secantik Dewi Ratih atau Sembodro. Kedua dewa dan dewi ini merupakan lambang kasih sayang sejati. Oleh si calon ibu, kedua butir kelapa diserahkan pada suaminya (calon bapak), yang akan membelah kedua butir kelapa gading menjadi dua bagian dengan bendo . Ini melambangkan, bahwa jenis kelamin apa pun, nantinya, terserah pada kekuasaan Allah. e. Dodol dawet lan rujak Pada awal upacara, para tamu diberi duwit kreweng . Kreweng adalah genting yang dipecah. Sekarang, ada duwit kreweng yang dibuat khusus yang
ornamennya, yang dijual di pasar-pasar
55
tradisional. Beberapa perias penganten juga menyediakan uang kreweng ini. Kemudian, para tamu membeli dawet dan rujak , yang melayani (menjual) adalah si calon ibu dan calon ayah. Si calon ibu melayani pembelinya, sedang si ayah menerima uang untuk disimpan. Jual beli dawet dengan duwit kreweng , melambangkan doa agar lancarlah rejeki yang akan diterima, dan niat calon ibu dan ayah untuk bersama-sama menyimpan kekayaan. f. Kembul bujana Kembul adalah bersama-sama, sedang bujana adalah makan, maksudnya makan bersama. Lazimnya disediakan nasi tumpeng. Ini merupakan acara akhir dari tingkeban”. g. Selamatan Selamatan dilaksanakan pada malam hari setelah melalui beberapa ritual yang disebutkan diatas. Bentuk selamatan disini tuan rumah mengundang para warga khususnya para Bapak dan mengundang Bapak Kyai atau ustadz untuk datang kerumah pada jam yang telah ditentukan. Acaranya meliputi pembacaan tahlil dzikir, istirahat, ceramah oleh bapak ustadz, dan do’a memohon keselamatan untuk calon bayi dan ibu. Setelah acara selesai para warga diberikan berkat (nasi dan lauk pauk yang di bungkus dengan besek) oleh tuan rumah dengan tujuan pengharapan do’a restu dari para warga agar calon bayi
56
kelak
lahir
dengan
selamat
dan
menjadi
anak
yang
soleh/solehah serta agar si ibu selamat 6. Makna Tradisi Tingkeban Perspektif Masyarakat Jawa a.Tujuan Pelaksanaan Tradisi Tingkeban Masyarakat Jawa pada umumnya mempunyai maksud dalam penyelenggaraan rangkaian upacara kehamilan ialah agar embrio yang ada di dalam kandungan dan ibu yang mengandung, senantiasa
memperoleh
keselamatan.
Menurut
Sumarno
wawancara pada tanggal 14 Juli 2011 jam 15.00 Wib, motivasi
yang
mendorong
dilakukannya
“Ada
penyelenggaraan
rangkaian upacara kehamilan ini, para warga meyakini bahwa melakukan tradisi itu khususnya tingkepan sebagai sarana agar bakal bayi dan ibu yang hamil senantiasa terhindar dari malapetaka yang ditimbulkan oleh berbagai macam
makhluk halus”.
Ditambahkan oleh Maryoto wawancara pada tanggal 18 Juli 2011 jam 12.00 Wib, “Untuk sang suami berkewajiban untuk mematuhi beberapa pantangan selama masa kehamilan isterinya. Pelanggaran terhadap pantangan yang dilakukan oleh sang ibu dan bapaknya akan berakibat cacatnya bayi, cacat fisik atau mental atau keduaduanya. Contoh: Tidak boleh memancing saat isterinya hamil, tidak boleh menyakiti binatang dsb”.
57
b.Tradisi Tingkeban merupakan suatu upacara ritual adat Jawa Upacara Tingkepan oleh masyarakat Gintungan adalah merupakan penghayatan jiwa raga dalam mendekatkan diri kepada Tuhan. Hal ini tercermin saat tradisi Tingkeban diadakan slametan, dengan harapan agar ibu yang mengandung dan juga bayi yang akan dilahirkan memperoleh keselamatan dan tidak ada kesulitan. Demikian penjelasan dari Heri, wawancara pada tanggal 18 Juli 2011 jam 15.00 Wib. Tradisi Tingkeban telah tertanam begitu kuat dalam masyarakat yang menganut budaya tersebut. Melalui pewarisan yang turun temurun di lingkungan keluarga dan masyarakat, nilai itu menghujam masuk dalam wilayah emosional seseorang karena sejak kecil telah dibiasakan dengan adat istiadat Jawa yang tumbuh dalam keluarga maupun masyarakatnya. Oleh karena itu menurut Indah wawancara pada tanggal 20 Juli 2011 jam 11.00 Wib, “Masyarakat merupakan
Jawa suatu
menganggap upacara
ritual
bahwa adat
tradisi Jawa
tingkeban
yang
harus
dilaksanakan”. c. Tradisi Tingkepan Sebagai Upacara Menyongsong Lahirnya Generasi Penerus. Seorang wanita yang mengandung harus memperhatikan pantangan-pantangan. Pantangan-pantangan ini juga berlaku bagi suami atau ayah bayi yang sedang dikandung. Pantangan-
58
pantangan itu seperti dicontohkan oleh Suratno wawancara pada tanggal 18 Juli 2011 jam 14.00 Wib, “Memakan buah yang melintang bijinya. Pantangan tersebut diartikan agar anak yang sedang dikandung posisinya tidak melintang. Seorang laki-laki yang isterinya sedang mengandung dilarang menyakiti binatang atau membunuhnya. Karena mereka beranggapan bahwa anaknya akan menyerupai binatang itu. Pandangan masyarakat desa Gintungan kalau seorang calon ibu ada tanda-tanda nyidam, biasanya ingin sesuatu yang spesifik. Misalnya ingin sekali makan buah-buahan tertentu yang masih muda dan rasanya masih asam. Kalau permintaan wanita tersebut tidak dituruti mereka beranggapan bahwa kelak kalau bayinya sudah lahir akan menimbulkan ekses kurang baik. Mislanya anak itu akan selalu mengeluarkan air liur (ngiler)”. Menurut Rusmin wawancara pada tanggal 21 Juli 2011 jam 15.00 Wib, “Rangkaian upacara wanita hamil, Yaitu mulai kandungan berumur satu, dua bulan, tiga bulan dan seterusnya pada tiap-tiap bulan. Pada bulan ketiga, ia sudah nampak kehamilannya dan wajib bagi calon orang tua mentaati berbagai pantangan dengan harapan agar kelak bayi yang dilahirkan tidak mengalami cacat fisik atau mental”.
59
BAB IV PEMBAHASAN
Mengacu pada fokus penelitian dalam skripsi ini, maka penulis akan menganalisa dan
menyajikanya
secara sistematis
tentang
Nilai-nilai
pendidikan Islam dalam prosesi Tingkepan di desa Butuh, Tengaran, Semarang. Dalam penelitian yang bersumber wawancara Pejabat desa, Tokoh Agama dan masyarkat yang penulis anggap mampu untuk memberikan keterangan yang relevan, dilengkapi dengan dokumen yang ada, Penulis menemukan
Nilai-nilai
pendidikan
Islam
dalam
prosesi
Tingkepan
dihubungkan dengan kajian teori, maka hasilnya sebagai berikut: A.Tradisi Tingkepan Dalam Masyarakat Jawa 1. Tradisi Tingkepan Sebagai Slametan Upacara Kandungan 7Bulan a. Deskripsi Slametan Dalam keyakinan orang Jawa, kehidupan dipandang telah mengikuti suatu pola agung yang teratur dan terkoordinasi yang harus diterima oleh mereka. Dengan demikian mereka harus menyelaraskan diri dengan apa yang lebih agung dari diri mereka sendiri serta berusaha agar mereka tetap dalam keadaan damai dan tenteram (slamet). Menurut M. Murtadho (2002:16): “Maksud utama praktek sosio religius orang Jawa tidak lain kecuali mendapatkan keslametan di dunia ini. Berangkat bahwa tujuan hidup adalah untuk mendapatkan keslametan, maka upacara keagamaan yang pokok adalah slametan. Upacara ini diselenggarakan bertepatan dengan waktu-waktu tertentu, seperti kelahiran, perkawinan, kematian, dan momentum-momentum yang dianggap perlu”.
60
Sedangkan menurut Semo wawancara pada tanggal 11 Juli 2011 jam 09.00 Wib,“ Upacara slametan diselenggarakan bertepatan dengan waktu-waktu tertentu, seperti kelahiran, perkawinan, kematian, dan momentum-momentum lainya”. Slametan adalah suatu upacara yang biasanya diadakan di rumah suatu keluarga dan dihadiri oleh anggota-anggota keluarga, tetangga-tetangga dekat, kenalan-kenalan yang tinggal tidak jauh, dan termasuk juga orang-orang yang mempunyai hubungan dagang.
Dalam
bukunya
Darori
Amin
(2002:160-161)
menjelaskan: “Keputusan untuk mengadakan upacara slametan kadangkadang diambil berdasarkan keyakinan keagamaan yang murni, dan adanya suatu perasaan kuatir akan hal-hal yang tidak diinginkan atau akan datangnya malapetaka, tetapi kadang-kadang juga hanya merupakan suatu kebiasaan rutin saja yang dijalankan sesuai dengan adat keagamaan”. Ditambahkan oleh Minto wawancara pada tanggal 11 Juli 2011 jam 09.30 Wib Bahwa, “ Slametan adalah suatu upacara yang biasanya diadakan di rumah suatu keluarga dan dihadiri oleh anggota-anggota keluarga, tetangga-tetangga dekat, kenalankenalan yang tinggal tidak jauh”. Secara umum digambarkan oleh Wiryotondo wawancara pada tanggal 11 Juli 2011 jam 10.30 Wib, “Tujuan slametan adalah untuk menciptakan keadaan sejahtera, aman dan bebas dari gangguan makhluk yang nyata maupun halus”.
61
b.Pengertian Tradisi Tingkepan Pada umumnya upacara kehamilan diadakan selamatan. Mulai kandungan seorang wanita berumur satu bulan sampai sembilan bulan. Dengan harapan agar selama mengandung mendapat keselamatan, tidak ada kesulitan. Menurut Purwadi (2005:130): “Sapta Kawasa Jati adalah citra kehamilan pada bulan ketujuh dalam pandangan dunia Jawa, ketika bayi berada dalam kandungan ibu. Sapta berarti tujuh, Kawasa berarti kekuasaan, Jati berarti nyata. Pengertian secara bebas adalah jika kodrat yang maha kuasa menghendaki, dapat saja pada bulan ini lahir bayi dengan sehat dan sempurna”. Sedangkan Menurut Rifa’ah wawancara pada tanggal 11 Juli 2011 jam 11.30 Wib, “Tingkepan dilakukan setelah kehamilan seorang ibu genap usia 7 bulan”. Orang jawa menyebut bayi yang lahir pada bulan ketujuh sudah dianggap matang atau tua. Namun jika pada bulan ini bayi belum lahir, calon orang tua atau calon neneknya membuat selamatan
yang
disebut
dengan
Mitoni
atau
Tingkepan”.
Sedangkan menurut Subadi wawancara pada tanggal 11 Juli 2011 jam 13.00 Wib, “Mulai kandungan seorang wanita berumur satu bulan sampai sembilan bulan sering dilakukan slametan. Dengan harapan agar selama mengandung mendapat keselamatan, tidak ada kesulitan”.
62
Menurut Sutrisno Sastro Utomo (2005:7): “Kata pitu juga mengandung doa dan harapan, semoga kehamilan ini mendapat pitulungan atau pertolongan dari Yang Maha Kuasa, agar baik bayi yang dikandung maupun calon ibu yang mengandung tetap diberikan kesehatan dan keselamatan. Mitoni juga disebut Tingkepan, karena acara ini berasal dari kisah sepasang suami isteri bernama Ki Sedya dan Ni satingkeb, yang menjalankan laku prihatin (brata) sampai permohonannya dikabulkan oleh Yang Maha Kuasa. Laku prihatin tersebut sampai sekarang dilestarikan menjadi acara yang sekarang kita sebut Tingkepan atau mitoni ini”. Sedangkan Menurut Jumi’ah wawancara pada tanggal 11 Juli 2011 jam 15.00 Wib, “Mitoni berasal dari kata pitu yang artinya tujuh. Semua sarana yang disajikan dalam selamatan dibuat masing-masing sebanyak tujuh buah, orang yang memandikan pun dipilih
sebanyak
tujuh
orang”.
Ditegaskan
oleh
Nurhadi
wawancara pada tanggal 11 Juli 2011 jam 14.00 Wib, “Maksud upacara ini memberikan pengumuman kepada keluarga dan para tetangga bahwa kehamilan telah menginjak masa tujuh bulan”. c.Waktu Penyelenggaraan Tradisi Tingkepan Menurut Purwadi (2005:134-135): “Untuk upacara tujuh bulan yang disebut dengan Mitoni atau ningkebi, penyelenggaraannya harus menurut peraturan adat yang berlaku, yaitu pada hari selasa atau sabtu dan jatuh pada tanggal gasal. Seyogyanya tanggal tujuh, sebelum tanggal 15 menurut kalender jawa. Pemilihan tanggal gasal itu, melambangkan umur kehamilan (tujuh bulan) yang hitungannya adalah gasal. Dilaksanakan pada siang hari, biasanya mulai jam 11 siang, karena menurut tradisi jawa, pada saat itulah para bidadari turun dari kayangan untuk mandi”.
63
Sedangkan Menurut Istianah wawancara pada tanggal 13 Juli 2011 jam 10.00 Wib, “Untuk upacara tujuh bulan penyelenggaraannya harus menurut peraturan adat yang berlaku, yaitu pada hari selasa atau sabtu dan jatuh pada tanggal gasal. Pemilihan tanggal gasal itu, melambangkan umur kehamilan (tujuh bulan) yang hitungannya adalah gasal”. Ditambahkan oleh H. Jumeri wawancara pada tanggal 13 Juli 2011 jam 11.10 Wib, “Tingkepan Dilaksanakan pada siang hari, biasanya mulai jam 11 siang, konon menurut cerita pada saat itulah para bidadari turun dari kayangan untuk mandi”. Jadi, temuan dilapangan dengan kajian teori letak persamaanya pada waktu pelaksanaan dari Tingkepan. d.Perlengkapan Tradisi Tingkepan Mitoni atau Tingkepan dilakukan setelah kehamilan seorang ibu genap usia 7 bulan atau lebih. Dilaksanakan tidak boleh kurang dari 7 bulan, sekalipun kurang sehari. Menurut Clifford Geertz (1981:48-49), “Upacara tingkepan merupakan upacara paling utama sehingga seringkali dibuat besar-besaran terutama bagi kehamilan pertama”. Ditambahkan oleh Purwadi (2005:134-135): “Di kiri kanan ditancapi ikan asin (gereh), kerupuk, sayur mayur, kacang, kobis dan sebagainya, jajan pasar, tumpeng gundul (nasi tumpeng tanpa sayuran), nasi asrep-asrepan, makanan tanpa garam. Jlupak (lampu yang sumbunya terbuat dari kapas, dengan minyak kelapa), seekor ayam kecil yang masih hidup. Sebutir kelapa yang dibuang sabutnya. Lima macam bubur (bubur baro-baro, bubur merah, merah putih, bubur putih dan bubur palang). Kembang setaman, aneka macam bungabungaan, mawar, kenanga, melati”.
64
Sedangkan Menurut Warno wawancara pada tanggal 14 Juli 2011 jam 10.00 Wib, ada beberapa perlengkapan saat Tingkepan: a. Perlengkapan di tempat mandi: air bunga, yaitu air yang berasal dari tujuh mata air diberi aneka bunga-bungaan ditempatkan di bak mandi. b. Kelapa tabonan, yaitu dua buah kelapa biasa yang sedang (tidak tua), diikat jadi satu dengan cara diambilkan sedikit sabut dari keduanya. Dua buah kelapa yang masih utuh ini dimasukkan ke dalam bak mandi. Pengambil air yang terbuat dari tempurung kelapa yang masih ada kelapanya dan berlubang (gayung). Air asam dan londho merang untuk mencuci rambut (keramas). c. Londho merang adalah bahan pencuci rambut terbuat dari tangkai padi yang sudah dibakar direndam air. Air rendaman itulah yang dipakai sebagai pencuci rambut. Klenthing, tempayan air terbuat dari tanah. d. Bobok lulur, yaitu semacam bedak dingin terbuat dari tepung berwarna tujuh macam dicampur mangir, daun pandan wangi dan daun kemuning. e. Dhingklik, yaitu tempat duduk tradisional dari kayu yang dipergunakan sewaktu mandi. Di atas dhingklik diberi bermacam-macam daun-daunan, yaitu daun apa-apa, daun
65
kluwih, daun dadap serep, daun ilalang, daun kara. Di atas dedaunan dibentangkan tikar yang di atasnya diberi beraneka macam lawe (semacam benang tenun). Di atasnya lagi diberi alas kain tujuh macam motif yaitu letrek, warna hijau ditengahnya putih, jingga, warna kuning biru di tengahnya putih. Sindur, warna merah di tengahnya puith. Kain lurik puluh watu. Kain lurik yuyu sekandhang. f. Cengkir gadhing, kelapa kuning dan buah. Sampora, terbuat dari cairan tepung beras diberi santan kemudian dibentuk seperti tempurung tengkurap di dalamnya diberi gula dimasak. Pring sedhapur, terbuat dari cairan tepung beras dibentuk kerucut kecil (tumpeng) berjumlah 18 buah atau 9 pasang. Pada tumpeng-tumpeng kecil tersebut ditancapkan aneka macam warna bulat-bulatan kecil dari tepung beras”. e.Rangkaian Upacara Tingkepan Ada tiga tahap pelaksanaan upacara mitoni (Tingkepan), yang pertama siraman, dilanjutkan dengan brojolan dan yang ketiga pemakaian busana. Siraman dilakukan di kamar mandi atau tempat yang dibuat secara khusus (disebut krobongan) dengan hiasan yang indah. Siraman artinya memandikan. Ditambahkan oleh Sutrisno Sastro Utomo (2005:7-8), “Air yang dipergunkan untuk memandikan diambil dari tujuh sumber, lalu ditaruh di jambangan (sejenis ember dari tanah liat atau tembaga) dan
66
ditambahi dengan bunga talon (tiga), seperti bunga setaman atau sritaman, yaitu mawar, melati, kantil dan kenanga”. Seperti dijelaskan oleh Sutrisno Sastro Utomo (2005:7-10) sebagai berikut: “Siraman dilakukan dengan menuangkan air yang telah diberi bunga tadi ke tubuh calon ibu. Setelah selesai memandikan, dukun yang ditugasi tadi memberikan air terakhir untuk membersihkan diri dari kendhi (sejenis teko dari tembikar) yang telah diberi mantra-mantra. Selesai membersihkan diri, kendhi lalu dibanting oleh calon ibu. Setelah dikeringkan dengan handuk, calon ibu diberi busana dengan lilitan kain (jarik) yang diikat (secara longgar) dengan letrek (sejenis benang berwarna merah, putih dan hitam). Calon nenek lalu memasukkan tropong (alat tenun) ke dalam lilitan kain tadi, kemudian dijatuhkan ke bawah. Sementara itu acara dilanjutkan dengan memasukkan dua buah kelapa gading yang telah digambari (lewat lilitan jarit yang dikenakan ibu). Gambarnya bisa memilih Kamajaya dan Dewi Ratih atau Harjuna dan Sembrada, bisa juga Panji Asmara Bangun dengan Galuh Candra Kirana. Acara ini disebut brojolan yang merupakan visualisasi doa orang Jawa agar kelahirannya nanti jika laki-laki bisa setampan Kamajaya, Harjuna atau Panji Asmara Bangun, dan jika perempuan secantik Dewi Ratih, Sembrada atau Galuh Candra Kirana. Upacara brojolan yang meluncurkan tropong dan kelapa kadang-kadang tanpa tropong, hanya dengan dua buah kelapa saja. Tugas calon bapak adalah memotong letrek yang mengikat calon ibu dengan menggunakan keris yang ujungnya ditutupi kunyit atau dapat juga dengan menggunakan parang yang telah diberi untaian bunga melati. Apa yang dikerjakan calon bapak adalah menggambarkan kewajiban suami untuk memutuskan segala rintangan dalam kehidupan sekeluarga nanti. Calon bapak melanjutkan tugasnya dengan memecah buah kelapa yang telah digambarti tadi, dengan sekali tebas. Jika buah kelapa bisa terbelah menjadi dua bagian, maka seluruh hadirin akan berteriak:” perempuan”!. Namun jika tidak terbelah dan hanya menyemburkan air isinya saja, maka hadirin akan berteriak:”laki-laki”!. Sedangkan menurut Wirtyotondo wawancara pada tanggal 14 Juli 2011 jam 12.00 Wib Rangkaian acara dari Tingkepan adalah sebagai berikut :
67
a.Siraman calon ibu. Upacara Siraman dilakukan oleh sesepuh sebanyak tujuh orang. Bermakna mohon doa restu, supaya suci lahir dan batin. Setelah upacara siraman selesai, air kendi tujuh mata air dipergunakan untuk mencuci muka, setelah air dalam kendi habis, kendi dipecah. Mula-mula disiapkan air yang di dalamnya sudah diisi dengan kembang setaman . Calon ibu memakai kain batik yang dililitkan (kemben ) pada tubuhnya. Dalam posisi duduk, calon ibu mulamula disirami oleh suaminya, lalu oleh orang tua dan sesepuh lainnya. Maksud upacara ini adalah untuk mencuci semua kotoran, dan hal-hal negatif lainnya. b.Memasukkan telur ayam kampung Setelah siraman, calon ayah memasukkan telur ayam kampung di bagian dada dari kain yang dikenakan calon ibu, lalu mengurutkannya ke bawah, sampai ke luar. Ini melambangkan permohonan, agar bayi lahir dengan lancar dan selamat. c.Santun busono atau Salin rasukan Santun berarti berganti, busono adalah pakaian. Calon ibu secara bergantian memakai (melilitkan pada tubuh) 7 (tujuh) kain batik, yang berbeda coraknya. Ini melambangkan, bahwa ibu calon bayi sadar, bahwa dalam membesarkan dan mendidik anak nantinya, akan dijumpai berbagai corak kehidupan. Corak batik
68
yang dipakai urut, mulai dari yang terbaik sampai terjelek, yaitu: a.Sidoluhur, Maknanya agar anak menjadi orang yang sopan dan berbudi pekerti luhur terutama pada orang tuanya. Hal ini meupakan keinginan orang tua agar anaknya mempunyai sifat birrul walidain. Allah berfirman agar anak selalu berbakti pada orangtua dalam surat An Nisa : 36:
Artinya: “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, Ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri” b. Sidomukti, Maknanya agar bayi yang akan lahir menjadi orang yang mukti wibawa, yaitu berbahagia dan disegani karena kewibawaannya. c. Truntum, Maknanya agar keluhuran budi orang tuanya menurun (tumaruntum) pada sang bayi.
69
d. Wahyu tumurun, Maknanya agar bayi yang akan lahir menjadi orang yang senantiasa mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa dan selalu mendapat petunjuk dan perlindungan dari Nya. e. Udan riris, Maknanya
agar
anak
dapat
membuat
situasi
yang
menyegarkan, enak dipandang, dan menyenangkan siapa saja yang bergaul dengannya. f. Sido asih, Maknanya agar bayi yang akan lahir menjadi orang yang selalu di cintai dan dikasihi oleh sesama serta mempunyai sifat belas kasih g. Lasem. Bermotif garis vertikal, bermakna semoga anak senantiasa bertakwa pada Tuhan YME. Setiap memakai corak kain, si calon ibu berlaku seperti peragawati di depan para tamu. Pada saat memakai sidomukti sampai sido asih, para tamu mengatakan “Bagus, tapi tidak cocok”, atau “Mahal tapi tidak serasi”, tetapi pada saat memaki corak yang paling sederhana, yaitu lasem, para tamu mengatakan:” Sederhana, tapi cocok”, “Biasa-biasa, tapi karena yang memakai cantik, ya serasi”. Ini melambangkan, doa agar si bayi nantinya menjadi orang yang sederhana.
70
Angka 7 melambangkan 7 lubang tubuh (2 di mata, 2 di telinga, 1 di mulut, 1 di dubur, dan 1 di alat kelamin), yang harus selalu dijaga kesucian dan kebersihannya. Ada pengertian lain dari angka 7 ini yang disebut keratabasa . Angka 7, dalam Basa Jawa disebut pitu , keratabasa dari pitu-lungan (pertolongan). d.Membelah kelapa gading Selanjutnya, ibu dari si calon ibu menyerahkan kepada si calon ibu, dua butir kelapa gading, yang masing-masing telah digambari Dewa Kamajaya dan Dewi Ratih, atau Arjuna dan Sembodro. Gambar tokoh wayang melambangkan doa, agar nantinya si bayi jika laki-laki akan setampan Dewa Kamajaya atau Arjuna, dan jika wanita secantik Dewi Ratih atau Sembodro. Kedua dewa dan dewi ini merupakan lambang kasih sayang sejati. Oleh si calon ibu, kedua butir kelapa diserahkan pada suaminya (calon bapak), yang akan membelah kedua butir kelapa gading menjadi dua bagian dengan bendo . Ini melambangkan, bahwa jenis kelamin apa pun, nantinya, terserah pada kekuasaan Allah. e. Dodol dawet lan rujak Pada awal upacara, para tamu diberi duwit kreweng . Kreweng adalah genting yang dipecah. Sekarang, ada duwit kreweng yang dibuat khusus yang
ornamennya, yang dijual di pasar-pasar
tradisional. Beberapa perias penganten juga menyediakan uang
71
kreweng ini. Kemudian, para tamu membeli dawet dan rujak , yang melayani (menjual) adalah si calon ibu dan calon ayah. Si calon ibu melayani pembelinya, sedang si ayah menerima uang untuk disimpan. Jual beli dawet dengan duwit kreweng , melambangkan doa agar lancarlah rejeki yang akan diterima, dan niat calon ibu dan ayah untuk bersama-sama menyimpan kekayaan. f. Kembul bujana Kembul adalah bersama-sama, sedang bujana adalah makan, maksudnya makan bersama. Lazimnya disediakan nasi tumpeng. Ini merupakan acara akhir dari Tingkepan”. 2. Makna Tradisi Tingkepan Perspektif Masyarakat Jawa a. Tujuan Pelaksanaan Tradisi Tingkepan Di desa Butuh Maksud penyelenggaraan rangkaian upacara kehamilan ialah agar embrio yang ada di dalam kandungan dan ibu yang mengandung, senantiasa memperoleh keselamatan. Namun ada motivasi yang mendorong dilakukannya penyelenggaraan rangkaian upacara kehamilan ini. Sang ibu harus mematuhi berbagai pantangan (pemali), begitu pula sang suami berkewajiban untuk mematuhi beberapa pantangan selama masa kehamilan isterinya. Pelanggaran terhadap pantangan yang dilakukan oleh sang ibu dan bapaknya akan berakibat cacatnya bayi, cacat fisik atau mental atau kedua-duanya. Menurut Sumarno wawancara pada tanggal 14 Juli 2011 jam 15.00 Wib, “Ada motivasi yang
72
mendorong dilakukannya penyelenggaraan rangkaian upacara kehamilan ini, para warga meyakini bahwa melakukan tradisi itu khususnya tingkepan sebagai sarana agar bakal bayi dan ibu yang hamil senantiasa terhindar dari malapetaka yang ditimbulkan oleh berbagai macam makhluk halus Menurut Purwadi (2005:133-134): ”Mengabaikan adat-istiadat mengakibatkan celaan dan nama buruk bagi keluarga yang bersangkutan di mata kelompok sosialnya. Karena ulahnya itu, bukan saja dinilai tidak sesuai dengan etik status sosial golongan bangsawan, tidak menghormati pranatan dan leluhur, melainkan juga dapat merusak keseimbangan tata hidup kelompok sosialnya”. Menurut Maryoto wawancara pada tanggal 18 Juli 2011 jam 12.00 Wib, “Untuk sang suami berkewajiban untuk mematuhi beberapa pantangan selama masa kehamilan isterinya. Pelanggaran terhadap pantangan yang dilakukan oleh sang ibu dan bapaknya akan berakibat cacatnya bayi, cacat fisik atau mental atau keduaduanya. Contoh: Tidak boleh memancing saat isterinya hamil, tidak boleh menyakiti binatang dsb”. b.Tradisi Tingkepan merupakan suatu upacara ritual adat Jawa Upacara Tingkepan oleh masyarakat Gintungan adalah merupakan penghayatan jiwa raga dalam mendekatkan diri kepada Tuhan. Hal ini tercermin saat tradisi Tingkepan diadakan slametan, dengan harapan agar ibu yang mengandung dan juga bayi yang akan dilahirkan memperoleh keselamatan dan tidak ada kesulitan.
73
Demikian penjelasan dari Heri, wawancara pada tanggal 18 Juli 2011 jam 15.00 Wib. Tradisi Tingkepan telah tertanam begitu kuat dalam masyarakat yang menganut budaya tersebut. Melalui pewarisan yang turun temurun di lingkungan keluarga dan masyarakat, nilai itu menghujam masuk dalam wilayah emosional seseorang karena sejak kecil telah dibiasakan dengan adat istiadat Jawa yang tumbuh dalam keluarga maupun masyarakatnya. Oleh karena itu menurut Indah wawancara pada tanggal 20 Juli 2011 jam 11.00 Wib, “Masyarakat merupakan
Jawa suatu
menganggap upacara
ritual
bahwa adat
tradisi Jawa
Tingkepan yang
harus
dilaksanakan”. c.Tradisi Tingkepan Sebagai Upacara Menyongsong Lahirnya Generasi Penerus. Seorang wanita yang mengandung harus memperhatikan pantangan-pantangan. Pantangan-pantangan ini juga berlaku bagi suami atau ayah bayi yang sedang dikandung. Pantanganpantangan itu seperti dicontohkan oleh Suratno wawancara pada tanggal 18 Juli 2011 jam 14.00 Wib, “Memakan buah yang melintang bijinya. Pantangan tersebut diartikan agar anak yang sedang dikandung posisinya tidak melintang. Seorang lakilaki yang isterinya sedang mengandung dilarang menyakiti binatang atau
74
membunuhnya. Karena mereka beranggapan bahwa anaknya akan menyerupai binatang itu. Ditegaskan oleh Purwadi (2005:131): “Kalau permintaan wanita tersebut tidak dituruti, orang Jawa beranggapan bahwa kelak kalau bayinya sudah lahir akan menimbulkan ekses kurang baik. Mislnya anak itu akan selalu mengeluarkan air liur (ngiler). Keinginan sesuatu bagi seorang wanita yang sedang hamil tidak terbatas pada buah-buahan saja, akan tetapi ada juga yang mempunyai keinginan lain yang harus dituruti”. Rangkaian upacara masa kehamilan diselenggarakan mulai diketahui bahwa seorang wanita hamil, selama masa kehamilan maka tiap bulan diselamati. Yaitu mulai kandungan berumur satu, dua bulan, tiga bulan dan seterusnya pada tiap-tiap bulan. Pada bulan ketiga, ia sudah nampak kehamilannya dan wajib bagi calon orang tua mentaati berbagai pantangan dengan harapan agar kelak bayi yang dilahirkan tidak mengalami cacat fisik atau mental dan dengan harapan agar kelak anak yang dilahirkan mempunyai masa depan yang bagus. Harapan akan masa depan yang baik bagi seorang manusia yang akan terlahir di muka bumi merupakan sesuatu yang memang seharusnya karena calon anak yang akan lahir tersebut merupakan generasi penerus, sehingga jika generasi penerus itu baik akan membawa kebaikan bagi manusia secara keseluruhan”.
75
B.Nilai-nilai pendidikan Islam dalam ritual Tingkepan Hubungan antara ritual Tingkepan dengan Pendidikan Islam sebagai berikut: 1. Upacara peralihan sebagai sarana menghilangkan rasa was-was menjelang kelahiran bayi. Tentunya calon ibu tidak akan merasa tegang. 2. Dengan adanya ritual seperti ini calon ibu dan ayah dapat menahan emosional, mereka percaya jika dalam pantangan tersebut dilanggar akan berakibat buruk pada si bayi. 3. Sebagai sarana mutlak agar bakal bayi dan ibu yang hamil senantiasa terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan dengan harapan sehat dan selamat. 4. Pengenalan kegenerasi muda yang akan mengalami kehamilan agar hidup sesuai dengan norma dan nilai-nilai yang berlaku seperti tidak menyakiti binatang pada waktu hamil dan menghindari pantanganpantangan untuk ibu hamil 5. Ritual Tingkepan dapat dimanifestasikan sebagai salah satu sarana sosialisasi antar masyarakat sehingga tercipta kerukunan dan kenyamanan. 6. Melindungi calon Ibu dan Bayi dari rasa ragu dan bahaya dengan mengantisipasikan dan mengatasi secara simbolik. 7. Mendoa’akan si bayi agar lahir dengan sehat tanpa cacat dan agar mempunyai masa depan yang baik 8. Upaya untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT .
76
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Berdasarkan
hasil
penelitian
diatas,
maka
penulis
dapat
menyimpulkan tentang Nilai-nilai pendidikan Islam dalam Tingkepan di desa Butuh, Tengaran, Semarang beserta nilai-nilai pendidikan Islam yang terkandung dalam Tingkepan tersebut diantaranya: 1. Slametan Tujuan diadakanya slametan adalah untuk menciptakan keadaan sejahtera, aman dan bebas dari gangguan makhluk yang nyata maupun halus. Serta agar bakal bayi dan ibu yang hamil senantiasa terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan dengan harapan sehat dan selamat. 2. Tradisi Tingkepan Tingkepan
merupakan
Upacara peralihan
sebagai
sarana
menghilangkan rasa was-was menjelang kelahiran bayi. Tentunya calon ibu tidak akan merasa tegang. Dengan adanya ritual seperti ini calon ibu dan ayah dapat menahan emosional, mereka percaya jika dalam pantangan tersebut dilanggar akan berakibat buruk pada si bayi. 3. Rangkaian Upacara Tingkepan a. Siraman calon ibu. Bermakna mohon doa restu, supaya suci lahir dan batin.
77
b.Memasukkan telur ayam kampung Memasukkan
telur
ayam
kampung
melambangkan
permohonan, agar bayi lahir dengan lancar dan selamat. c.Santun busono atau Salin rasukan 1) Sidoluhur, Maknanya agar anak menjadi orang yang sopan dan berbudi pekerti luhur 2) Sidomukti, Maknanya agar bayi yang akan lahir menjadi orang yang mukti wibawa, yaitu berbahagia dan disegani karena kewibawaannya. 3) Truntum, Maknanya
agar
keluhuran
budi
orangtuanya
menurun
(tumaruntum) pada sang bayi. 4) Wahyu tumurun, Maknanya agar bayi yang akan lahir menjadi orang yang senantiasa mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa dan selalu mendapat petunjuk dan perlindungan dari Nya 5) Udan riris, Maknanya
agar
anak
dapat
membuat
situasi
yang
menyegarkan, enak dipandang, dan menyenangkan siapa saja yang bergaul dengannya.
78
6) Sido asih, Maknanya agar bayi yang akan lahir menjadi orang yang selalu di cintai dan dikasihi oleh sesama serta mempunyai sifat belas kasih 7) Lasem. Maknanya semoga anak senantiasa bertakwa pada Tuhan YME. d.Membelah kelapa gading Membelah kelapa gading melambangkan bahwa jenis kelamin apa pun, nantinya, terserah pada kekuasaan Allah. e.Dodol dawet lan rujak Jual beli dawet dengan duwit kreweng melambangkan doa agar lancarlah rejeki yang akan diterima, dan niat calon ibu dan ayah untuk bersama-sama menyimpan kekayaan.. f.Kembul bujana Bermakna Puji syukur atas nikmat yang diberikan Tuhan. Akan tetapi, dalam ritual tingkepan ini di Dusun Gintungan tidak semua masyarakat melaksanakan ritual ini. Hanya sekitar 45% yang melaksanakannya. Meskipun mereka tidak melakukan ritual tingkepan ini, ketika mereka diundang untuk menghadiri acara
tersebut
menghadirinya.
warga Karena
79
masyarakat untuk
tetap
memenuhi
datang undangan
untuk dan
menghormati tuan rumah yang telah mempunyai hajat, serta sebagai wujud mempunyai hubungan sosial yang baik. B. Nilai-nilai pendidikan Islam dalam ritual Tingkepan Hubungan antara ritual Tingkepan dengan Pendidikan Islam sebagai berikut: 1. Upacara peralihan sebagai sarana menghilangkan rasa was-was menjelang kelahiran bayi. Tentunya calon ibu tidak akan merasa tegang. 2. Dengan adanya ritual seperti ini calon ibu dan ayah dapat menahan emosional, mereka percaya jika dalam pantangan tersebut dilanggar akan berakibat buruk pada si bayi. 3. Sebagai sarana mutlak agar bakal bayi dan ibu yang hamil senantiasa terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan dengan harapan sehat dan selamat. 4. Pengenalan kegenerasi muda yang akan mengalami kehamilan agar hidup sesuai dengan norma dan nilai-nilai yang berlaku seperti tidak menyakiti binatang pada waktu hamil dan menghindari pantangan-pantangan untuk ibu hamil 5. Ritual Tingkepan dapat dimanifestasikan sebagai salah satu sarana sosialisasi antar masyarakat sehingga tercipta kerukunan dan kenyamanan. 6. Melindungi calon Ibu dan Bayi dari rasa ragu dan bahaya dengan mengantisipasikan dan mengatasi secara simbolik.
80
7. Mendoa’akan si bayi agar lahir dengan sehat tanpa cacat dan agar mempunyai masa depan yang baik 8. Upaya untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT . C. Saran Diharapkan studi tentang Nilai-nilai pendidikan Islam dalam Tingkepan didesa Butuh, Tengaran, Semarang ini, dapat disempurnakan dengan mengadakan penelitian lebih lanjut dari segi lain, sehingga dapat memberikan gambaran yang lengkap pada Nilai-nilai pendidikan Islam dalam Tingkepan yang berupa Nilai-nilai Pendidikan Islam yang terkandung dalam Tingkepan. Untuk itu pengharapan penulis sebagai berikut: 1. Pemerintah daerah bersama warga masyarakat diharapkan terus melestarikan budaya orang-orang tua yang sudah turun-temurun sebagai sarana yang efektif bagi penduduknya untuk berinteraksi dan berkomunikasi sehingga menimbulkan kesatuan. 2. Pelaksanaan bentuk tradisi yang ada di Desa Butuh, Tengaran, Semarang bukan dilaksanakan guna menyimpang dari syariat Islam, melainkan sebagai sarana untuk pelestarian budaya adat istiadat. Oleh karena itu warga masyarakat desa Butuh diharapkan mampu mengambil nilai-nilai positif yang terdapat dalam setiap tradisi. 3. Kewajiban bagi setiap generasi adalah untuk mempersiapkan generasi penerus lebih berkualitas, dan pada saatnya nanti generasi penerus benar-benar siap mengambil alih dan meneruskan tugas serta peranan
81
generasi sebelumnya 4. Saran kepada peneliti lain yang hendak meneliti obyek yang sama yaitu nilai-nilai pendidikan dalam Prosesi pernikahan adat Jawa supaya mengambil tema yang lain agar lebih inovatif sekaligus menambah khasanah wawasan dan pengetahuan bagi masyarakat.
82
DAFTAR PUSTAKA
Amin, Darori. 2002. Islam dan Kebudayaan Jawa, Yogyakarta: Gama Gramedia Barnadib, Sutari Imam. 1986. Pengantar Ilmu Pendidikan Sistematis. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP)-IKIP. Chafidh, Muhammad Afnan dan A. Ma’ruf Asrori. 2006. Tradisi Islami Panduan Prosesi Kelahiran, Perkawinan dan Kematian. Surabaya: Khalista Ghani, Djunaidi. 1997. Dasar-dasar Pendidikan Kualitatif: prosedur, tehnik dan teori. Surabaya: PT.Bila Ilmu Geertz, Clifford. 1981. Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyartakat Jawa. Jakarta: Pustaka Jaya Hasan, Fuad. 2003. Dasar-dasar kependidikan .Jakarta:PT.Asdi Mahasatya Hariwijaya, Muhammad. 2004. Tata Cara Penyelenggaraan Perkawinan Adat Jawa. Yogyakarta: Hanggar Kreator Kartono, Kartini. 1992. Pengantar Ilmu Mendidik Teoritis. Bandung: Mandar Maju Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan jawa. Jakarta: Nalai pustaka Marbangun, Hardjowirogo. 1995. Manusia Jawa. Jakarta: PT. Toko Gunung Agung. Milles, Mattew B. dkk. 1992. Analisis data Kualitatif. Jakarta: PT. UI Press Moleong, Lely J. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT.Remaja Rosdakarya Muhadjir, Noeng.
1996. Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Rake
Sarasin. Mulder, Niels. 1984. kebatinan dan hidup sehari-hari orang Jawa. Jakarta: Gramedia, Nawawi, Hadari. 1990. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gajah Mada University Press
83
Partokusumo, Karkono Kamajaya. 1995. Kebudayaan Jawa Perpaduanya dengan Islam. Yogyakarta: Ikatan Penerbit Indonesia Prabowo, Dhanu Priyo, 2003. Pengaruh Islam.Yogyakarta: Narasi Pulungan, Suyuthi. 2002. Universalisme Islam .Jakarta: Moyo Segoro Agung, Purwadi. 2005.Upacara Tradisional Jawa. Yogyakarta:Pustaka Pelajar Rachmat, M. Imaduddin, 2003. Islam Pribumi: Mendialogkan Agama dengan membaca Realitas . Jakarta:Erlangga Sastro Utomo, Sutrisno. 2005. Upacara Daur Hidup Adat Jawa. Semarang:Effhar Offset Sofwan, Ridin dkk. 2004. Merumuskan Kembali Interelasi Islam-Jawa Yogyakarta: Gama Media. Susetya, Wawan. 2007. Ular-Ular Manten: Wejangan Perkawinan Adat Jawa.Yogyakarta: Narasi Suprayogo, Imam dan Tobroni. 2001. Metode Penelitian Sosial Agama. Subagya, Rahmat. 1981. Agama Asli Indonesia. Jakarta: Sinar Harapan Tim Penyusun FIP. 1998. Pengantar Dasar-dasar Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional. Tim penyusun. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi ke Tiga. Jakarta: Balai Pustaka Umar , Husain. 1999. Metodologi Penelitian Aplikasi dalam Pemasaran. Jakarta:PT. Gramedia Pustaka Utama.
84
RIWAYAT HIDUP
Nama
: Munafiah
NIM
: 11107040
Tempat/Tgl.lahir
: Kab. Semarang, 12 April 1985
Alamat
: Jl. Ponpes Al Irsyad RT 20/11 Butuh, Tengaran-Semarang
Pendidikan
:
1. TK Tarbiyatul Banin (1991-1992) 2. Sekolah Dasar di SD Negeri 1 Karangduren (19921997). 3. MTs Negeri Salatiga (1997-2000). 4. MA Negeri Salatiga (2000-2003)
x