NILAI-NILAI PENDIDIKAN DALAM RITUAL ADAT KEMATIAN PADA MASYARAKAT JAWA (Studi di Desa Kebondowo Kec. Banyubiru Kab. Semarang)
SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Guna Mendapatkan Gelar Sarjana Pendidikan Islam Program Studi Pendidikan Agama Islam
Oleh MUHAMMAD TAUFIQ NIM. 11109021
JURUSAN TARBIYAH PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA TAHUN 2013
i
MOTTO
JANGAN SAMPAI MENJADI MAYAT YANG DITANGISI RUHNYA KARENA DOSA YANG PERNAH DILAKUKAN DULU KETIKA MASIH BERSATU
v
PERSEMBAHAN
Skripsi ini penulis persembahkan kepada: 1.
Bapak Rohmat dan Ibu Eko Suyanti tercinta yang menjadi pendidik pertama dan selamanya bagi saya dengan segala pengorbanan serta do’a yang selalu dipanjatkan untuk keberhasilan putranya, semoga Allah senantiasa meridhoi.
2.
Adik-adikku tercinta yang selalu memberi semangat dengan canda tawanya, semoga adik-adikku selamanya disayangi semua orang karna kebaikannya.
3.
Keluarga besar Mbah Toekijem yang sepenuhnya mendukung pendidikan saya. Smoga keluarga besar tetap harmonis dan dalam kasih sayang-Nya.
4.
Keluarga besar Mbah Soetomo yang tak pernah lelah memberi semangat dan nasehat.
5.
Anggita Friandani Putri, S.Pd. yang telah menjadi pembimbing pribadi, memberi perhatian serta kasih sayangnya kepada saya, semoga kesabarannya diberikan balasan kebahagiaan yang berlipat dari Allah.
6.
Komunitas Fata Smart (PAI A 2009), teman seperjuangan sejak saya menginjakkan kaki di STAIN Salatiga sampai pendidikan ini selesai. Semoga kita selalu menjadi keluarga bahagia dan sukses.
7.
Teman-teman PPL, Syamsul Arifin, Adi Purnomo, Inggit Sekti Oktavia, Rahmawati Purwandari, Maria Ulfa, Anawati, Jeni Widi Sumantri, Mirat Ujiyatmi, semoga menjadi orang-orang yang sukses.
vi
8.
Keluarga kecil KKN, Erlina Nofitasari, Yazida Asri Duk Aningsih, Wahyu Resti Astuti, Najib Syaifullah, Sukma Arif Ibrahim, Prabowo Putra Awaludin, Umar, Nurhayati, semoga menjadi orang-orang yang sukses.
9.
Teman-teman yang telah membantu saya dalam pembuatan skripsi ini yaitu: Erlina Nofitasari, Muhammad Fahrurrozi, Najib Syaifullah, semoga mendapat balasan Surga-Nya.
vii
KATA PENGANTAR
Keselamatan, kasih sayang, berkah serta anugerah dari Sang Maha Pemurah semoga tercurah dalam setiap langkah kehidupan kita. Sepantasnya rasa syukur kita panjatkan kepada-Nya yang telah maneteskan berjuta kemudahan sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi berjudul “NILAINILAI PENDIDIKAN DALAM RITUAL ADAT KEMATIAN PADA MASYARAKAT JAWA (Studi di Desa Kebondowo Kec. Banyubiru Kab. Semarang)”. Selain sebagai tugas wajib, skripsi ini dibuat dengan tujuan dapat membantu memudarkan masalah yang sering terjadi yaitu konflik antara budaya, agama, dan pendidikan. Besar harapan penulis sehingga skripsi ini bermanfaat bagi masyarakat dan budaya Jawa khususnya serta masyarakat dan budaya Indonesia pada umumnya. Sembah bakti di iringi rasa hormat penulis haturkan kepada pihakpihak yang telah membimbing dan membantu dalam pembuatan skripsi ini. Terimakasih serta penghargaan yang setinggi-tingginya terucap untuk: 1. Bapak Dr. Imam Sutomo, M.Ag, selaku ketua STAIN Salatiga. 2. Bapak Suwardi, S.Pd, M.Pd, selaku ketua jurusan tarbiyah. 3. Ibu Dra. Siti Asdiqoh, M.Si, salaku ketua program studi PAI. 4. Bapak Dr. M. Zulfa, M.Ag, selaku pembimbing akademik. 5. Bapak Drs. Juz’an, M.Hum, selaku pembimbing skripsi.
viii
6. Bapak Rohmat dan Ibu Eko Suyanti, selaku orangtua. 7. Komunitas Fata Smart, PPL SMP N 3 tahun 2012, KKN (Kudusan, Tirto, Grabag, Magelang) tahun 2013 selaku teman, sahabat, saudara, dan keluarga selama menuntut ilmu di STAIN Salatiga. Semoga Allah memberikan pahala surga sebagai balasan atas uluran tangan semua pihak kepada penulis. Banyak kekurangan dan keterbatasan dalam pembuatan skripsi ini penulis menundukkan kepala sebagai ungkapan maaf yang sangat mendalam. Kritik dan saran untuk keindahan masa depan sangat penulis harapkan.
Salatiga, 25 Desember 2013 Penulis
Muhammad Taufiq NIM. 11109021
ix
ABSTRAK Taufiq, Muhammad. 2013. Nilai-nilai Pendiikan dalam Ritual Adat Kematian pada Masyarakat Jawa (Studi di Desa Kebondowo Kec. Banyubiru Kab. Semarang). Jurusan Tarbiyah. Program Studi Pendidikan Agama Islam. Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Salatiga. Dosen Pembimbing Drs. Juz’an, M.Hum. Kata kunci: Nilai, Pendidikan, Ritual Adat Kematian. Penelitian ini membahas tentang Nilai-nilai Pendidikan dalam Ritual Adat Kematian pada Masyarakat Jawa di Desa Kebondowo Kecamatan Banyubiru Kabupaten Semarang. Rumusan masalah yang dikaji dalam penelitian ini adalah Apa saja prosesi (tahapan) dalam ritual kematian adat Jawa, Bagaimana persepsi masyarakat tentang ritual kematian adat Jawa, dan Apakah nilai pendidikan yang terkandung dalam ritual kematian adat Jawa di Desa Kebondowo Kecamatan Banyubiru Kabupaten Semarang. Rumusan tersebut bertujuan untuk mengetahui bagaimana prosesi kematian, persepsi masyarakat tentang prosesi kematian, dan apa nilai pendidikan yang terkandung dalam prosesi kematian di Desa Kebondowo. Kehadiran peneliti di lapangan sangat penting mengingat skripsi ini adalah kualitatif. Peneliti bertindak langsung sebagai instrumen langsung dan sebagai pengumpul data dari hasil obserfasi yang mendalam serta terlibat aktif dalam penelitian. Data yang berbentuk kata-kata diambil dari para informan atau responden pada waktu mereka diwawancarai. Dengan kata lain data-data tersebut berupa keterangan dari para informan, sedangkan data tambahan berupa dokumen. Keseluruhan data tersebut selain diperoleh dari wawancara, juga didapatkan dari observasi dan dokumentasi. Analisa data dilakukan dengan cara menelaah data yang ada, lalu mengadakan reduksi data, penyajian data, menarik kesimpulan dan tahap akhir dari analisa data ini adalah mengadakan keabsahan data dengan menggunakan ketekunan pengamatan triangulasi. Dari penelitian yang dilaksanakan diperoleh hasil penelitian sebagai berikut: Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemahaman masyarakat tentang ritual adat kematian di Kebondowo relatif kurang, hanya rasa menghargai serta menjunjung tinggi budaya adat peninggalan nenek moyang. Ritual adat kematian merupakan tradisi yang dilaksanakan dan menurut warga masyarakat Kebondowo ritual kematian memiliki manfaat bagi orang yang meninggal dan keluarga yang mengadakannya. Ritual kematian adalah wadah atau media penyampaian pendidikan kepada masyarakat. Nilai sosial pada ritual adat kematian adalah mendatangkan suatu pengaruh yang kuat berkenaan dengan kehidupan sosial buadaya, diantaranya menyatukan masyarakat untuk bergotong-royong dan saling tolong-menolong sehingga menumbuhkan rasa solidaritas. Nilai religius dalam ritual adat kematian adalah meningkatkan keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta menumbuhkan kesadaran untuk menjaga dan memperbaiki akhlak sehingga memberi semangat untuk beribadah.
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL........................................................................................ ............ i HALAMAN PERSETUJUAN ......................................................................... ........... ii HALAMAN PENGESAHAN .......................................................................... .......... iii HALAMAN PERNYATAAN ......................................................................... .......... iv HALAMAN MOTTO ...................................................................................... ........... v HALAMAN PERSEMBAHAN ...................................................................... .......... vi KATA PENGANTAR ..................................................................................... ........ viii ABSTRAK ....................................................................................................... ........... x DAFTAR ISI .................................................................................................... .......... xi BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Masalah ....................................................................... ........... 1 B. Fokus Penelitian ................................................................................... ........... 5 C. Tujuan Penelitian ................................................................................. ........... 5 D. Manfaat Penelitian ............................................................................... ........... 6 E. Penegasan Istilah .................................................................................. ........... 7 F. Metode Penelitian................................................................................. ........... 9 G. Sistematika Penulisan .......................................................................... ......... 15 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Definisi Nilai ........................................................................................ ......... 17 B. Pendidikan ............................................................................................ ......... 22 1. Pengertian Pendidikan .................................................................... ......... 22
xi
2. Jenis Pendidikan ............................................................................. ......... 23 3. Tujuan Pendidikan ......................................................................... ......... 23 4. Unsur-unsur Pendidikan ................................................................. ......... 25 C. Ritual Adat Kematian dalam Masyarakat Jawa ................................... ......... 27 1. Deskripsi Slametan......................................................................... ......... 27 2. Dasar Ritual Kematian ................................................................... ......... 28 3. Pengertian Ritual Kematian ........................................................... ......... 29 4. Waktu Penyelenggaraan Ritual ...................................................... ......... 31 5. Perlengkapan Ritual Kematian ....................................................... ......... 33 6. Rangkaian Ritual Kematian ........................................................... ......... 36 D. Pesepsi Masyarakat tentang Ritual Kematian Adat Jawa .................... ......... 49 1. Pengertian Persepsi ........................................................................ ......... 49 2. Sejarah Singkat dan Perbedaan Pendapat tentang Ritual Kematian Adat Jawa ................................................................................................ ......... 50 3. Persepsi Masyarakat Moderen tentang Ritual Kematian Adat Jawa ....... 57 E. Nilai Pendidikan dalam Ritual Adat Kematian di Jawa ....................... ......... 59 1. Nilai Pendidikan Sosial .................................................................. ......... 60 2. Nilai Pendidikan Agama ................................................................ ......... 63 BAB III PAPARAN DATA DAN TEMUAN PENELITIAN A. Gambaran Lokasi Penelitian Berdasarkan Data Monografi................. ......... 65 1. Luas Wilayah dan Kondisi Geografis ............................................ ......... 65 2. Penduduk ........................................................................................ ......... 66 B. Kondisi Lokasi Penelitian .................................................................... ......... 68
xii
1. Kondisi Sosial Kemasyarakatan Desa Kebondowo ....................... ......... 68 2. Kondisi Sosial Pendidikan Masyarakat Kebondowo ..................... ......... 70 3. Kondisi Sosial Keagamaan Desa Kebondowo ............................... ......... 71 4. Kondisi Budaya Masyarakat Desa Kebondowo ............................. ......... 71 C. Proses Pelaksanaan Ritual Adat Kematian di Desa Kebondowo ......... ......... 73 1. Latar belakang Ritual Adat Kematian di Desa Kebondowo .......... ......... 73 2. Bentuk-bentuk Ritual Adat Kematian di Desa Kebondowo .......... ......... 74 3. Kisaran Biaya yang Dibutuhkan dalam Ritual Adat Kematian di Desa Kebondowo .................................................................................... ......... 91 D. Pemahaman Masyarakat Desa Kebondowo terhadap Ritual Adat Kematian 92 BAB IV PEMBAHASAN A. Prosesi dan Tahapan Ritual Adat Kematian pada Masyarakat Desa Kebondowo Kecamatan Banyubiru Kabupaten Semarang .................. ....... 101 B. Persepsi Masyarakat Desa Kebondowo Kecamatan Banyubiru Kabupaten Semarang terhadap Ritual Kematian ................................................... ....... 115 C. Nilai-nilai Pendidikan dalam Ritual Adat Kematian pada Masyarakat Desa Kebondowo .......................................................................................... ....... 117 1. Nilai Pendidikan Sosial .................................................................. ....... 118 2. Nilai Pendidikan Agama ................................................................ ....... 122 D. Nilai Negatif dalam Ritual Kematian di Desa Kebondowo ................. ....... 127 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan .......................................................................................... ....... 129 1. Prosesi dalam Ritual Adat Kematian ............................................. ....... 129
xiii
2. Persepsi Masyarakat tentang Ritual Kematian ............................... ....... 130 3. Nilai Pendidikan yang Terkandung dalam Ritual Adat Kematian . ....... 130 B. Saran ..................................................................................................... ....... 131 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN
xiv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Bangsa Indonesia sangat kaya akan budaya yang tersebar disetiap pulau,
provinsi,
suku,
wilayah-wilayah,
bahkan
pelosok-pelosok
perkampungan. Merupakan kebanggan tersendiri bahwa nenek moyang kita bangsa Indonesia telah mewarisakan budaya yang adi luhung. Dalam kehidupan sosial, budaya mempengaruhi beberapa hal. Diantaranya dalam tata hukum adat, kesenian, arsitektur bangunan, model pakaian, bahasa, cara bergaul, dan yang paling penting adalah pengaruhnya pada kepercayaan serta ritual ibadahnya (Any, 1983: 1). Dalam pembicaraan sehari-hari mengenai perspektif identitas orang Jawa dikenal memiliki warisan dari leluhur Jawa yang sinkron dengan identitas kejawaannya. Di zaman sekarang mulai digalakkan pelestarian peninggalan kejawen misalnya dalam acara reuni keluarga jawa, perkumpulan paguyuban kaum kebatinan (kejawen), upacara peringatan 7, 40, 100, 1000 hari kematian, resepsi pernikahan, dan sebagainya. Nampaknya, para leluhur atau nenek moyang Jawa yang meninggalkan warisan identitas budaya tersebut bukan saja patut dibanggakan, tetapi juga memiliki simbol-simbol yang sarat akan nilai-nilai hidup dan kehidupan secara esensial. Bahkan, identitas budaya Jawa juga memiliki kegunaan (pragmatis),
1
2
tujuan, dan simbolisasi filosofinya, disamping nilai etika dan estetikanya (Susetya, 2007: 8). Belakangan ini beberapa aliran atau kelompok tertentu dengan mudahnya menyalahkan dan menganggap buruk bahkan berdosa terhadap aktifitas praktik kebudayaan. Mereka menafsirkan mentah-mentah atas apa yang dilihat tanpa mempertimbangkan dari segi sejarah dan manfaatnya. Apa lagi ketika kebudayaan itu berjalan beriringan dengan agama misalnya ritual kematian, mereka akan mengecam dengan mengatakan hal itu bid’ah dan dosa besar. Padahal jika mau perpikir lebih panjang tentunya mereka akan menemukan beberapa dampak positif dari hal tersebut. Ketika dilihat dari sisi sejarah terjadinya upacara kematian, kita tahu bahwa sebelum Islam masuk, di Indonesia mayoritas penduduknya beragama Budha, Hindu dan kepercayaan animisme dinamisme. Mereka sangat menjunjung tinggi ajaran agama dan budaya dari nenek moyang mereka. Kedatangan wali songo untuk mengajarkan agama Islam sangatlah sulit dan terhalang oleh kepercayaan & budaya yang sudah ada. Akhirnya para wali pun mencoba mengubah budaya yang sudah ada untuk dialihmaknakan kedalam ajaran Islam. Jadi masyarakat tidak perlu meninggalkan budaya yang ada namun tetap menjalankan ajaran Islam. Cara ini ternyata mampu diterapkan kepada masyarakat Indonesia terutama di Jawa. Salah satu adat yang ikut dialihmaknakan adalah upacara adat kematian. Upacara ini pada awalnya adalah upacara “Pinda Pitre Yajna”, ada suatu keyakinan bahwa manusia setelah mati, sebelum memasuki karma, yakni
3
menjelma lahir kembali kedunia ada yang menjadi dewa, manusia, binatang dan bahkan menjelma menjadi batu, tumbuh-tumbuhan dan lain-lain sesuai dengan amal perbuatannya selama hidup, pada hari 1-7 roh tersebut masih berada dilingkungan rumah keluarganya. Pada hari ke 40, 100, 1000 dari kematiannya, roh tersebut datang lagi ke rumah keluarganya. Maka dari itu, pada hari-hari tersebut harus diadakan upacara saji-sajian dan bacaan mantera-mantera serta nyanyian suci untuk memohon kepada dewa-dewa agar sang arwah yang menjalani karma menjadi manusia yang baik, jangan menjadi yang lainnya (Sumber: blog.unikom.ac.id/ di akses pada 18 Maret 2013). Wali songo merubah bacaan-bacaan mantera di upacara ini dengan bacaan ayat Al-qur’an dan doa kepada Allah yang terrangkai dalam tahlil. Bukan lagi untuk memuja dan memberi saji-sajian kepada roh, namun untuk memohon kepada Tuhan agar arwah yang meninggal diberikan jalan terbaik di akhirat. Beberapa manfaat ritual kematian dari segi sosiologi, antropologi, ibadah, pendidikan, dll. Diantaranya terjalin kebersamaan dengan orang lain, melakukan hubungan sosial dengan para tetangga. Ketika tetangga kita sedang berduka atas kematian keluarganya kita datangi rumah mereka dengan maksud menghibur dan menemani. Membaca ayat-ayat Allah (tahlilan) untuk mendoakan saudara yang telah meninggal tersebut. Secara pribadi kita juga mendapatkan pendidikan yaitu teringat pada kematian, semua yang hidup pasti kelak akan mati. Cepat atau lambat, tua atau
4
muda manusia pasti akan mengalami mati. Dengan mengingatnya kita akan semakin giat mempersiapkan diri untuk menghadapi kematian. Tentu kita harus percaya bahwa kita akan menemui alam setelah kita mati yaitu alam akhirat, dimana perbuatan baik dan buruk kita selama hidup di dunia harus dipertanggungjawabkan. Dari beberapa fakta di atas berarti banyak manfaat dalam ritual kematian, namun kita juga harus memaklumi pendapat orang-orang yang menentangnya. Karena mereka juga mempunyai dasar dan ternyata memang terjadi kesalahan dalam praktiknya. Keadaan ekonomi keluarga si mayit yang tidak tentu, dan ditambah lagi jika si mayit sempat sakit cukup lama dan menghabiskan banyak biaya untuk berobat, keadaan ini terkadang memaksa keluarga untuk berhutang demi dapat mengadakan ritual selametan (kenduri). Bapak modin yang bertugas memimpin jalannya tahlilan juga sering kali keliru berbicara, misalnya “mari kita bacakan dzikir tahlil dan kita kirimkan kepada arwah, agar dia di sana mendapat kebahagiaan”. Penggalan kalimat ini salah, karena kita membaca dzikir tahlil untuk memohon kepada Allah, bukan untuk dikirimkan kapada arwah. Yang lebih parah lagi ketika pemimpin tahlilnya menyebut roh-roh leluhur (sing mbaureksa), danyang-danyang, cikal bakal, dll. Kesalahan-kesalahan seperti ini yang akhirnya semakin menyesatkan pemahaman dan semakin menjauhkan pendidikan yang terkandung dalam ritual tersebut dari masyarakat awam tentang maksud upacara kematian. Ajaran Islam bisa dinyatakan telah kuat jika sudah mentradisi di tengah masyarakat muslim, sehingga tradisi menjadi sangat menentukan dalam
5
keberlangsungan ajaran disaat tradisi itu telah menyatu dengan ajaran. Karena tradisi merupakan darah daging dalam tubuh masyarakat, sementara mengubahnya adalah sesuatu yang sangat sulit, maka satu langkah bijak ketika tradisi itu tidak diposisikan berhadapan dengan ajaran, tetapi justru tradisi sebagai pintu masuk ajaran (Afnan, 2006). Berdasarkan paparan di atas, penulis tertarik untuk mengungkap “NILAI-NILAI PENDIDIKAN DALAM RITUAL ADAT KEMATIAN PADA MASYARAKAT JAWA (Studi di Desa Kebondowo Kec. Banyubiru Kab. Semarang)”.
B. Fokus Penelitian Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan beberapa permasalahan yang menjadi pembahasan diantaranya: 1. Apa saja prosesi (tahapan) dalam ritual kematian adat Jawa? 2. Bagaimana persepsi masyarakat tentang ritual kematian adat Jawa? 3. Apakah nilai pendidikan yang terkandung dalam ritual kematian adat Jawa?
C. Tujuan Penelitian Tujuan dari skripsi ini adalah: 1. Untuk mengetahui apa saja prosesi (tahapan) dalam ritual kematian adat Jawa. 2. Untuk mengetahui persepsi masyarakat tentang ritual kematian adat Jawa.
6
3. Untuk megungkap nilai pendidikan yang terkandung dalam ritual adat kematian Jawa.
D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat baik untuk peneliti sendiri maupun untuk budaya dan masyarakat Jawa. Secara lebih rinci manfaat penelitian ini adalah sebagai beriku: 1. Manfaat Praktis a. Dapat membantu menyampaikan nilai pendidikan agama yang terkandung dalam budaya adat ritual kematian di Jawa. b. Dapat membantu para tokoh masyarakat untuk menyampaikan nilainilai pendidikan yang terkandung dalam ritual adat kematian di Jawa. c. Dapat menyatukan pendapat antara para fanatik budaya dan para fanatik agama. d. Untuk meluruskan kesalahan penafsiran kepada ritual adat kematian di Jawa. e. Untuk menjaga dan membentengi kemurnian keimanan umat Islam yang masih belum bisa meninggalkan budaya ritual adat kematian agar tidak terjerumus kedalam pengartian secara musyrik. 2. Manfaat Teoritis Menambah khasanah keilmuan dalam ranah pendidikan dan kebudayaan Jawa.
7
E. Penegasan Istilah 1. Nilai Nilai adalah kemampuan yang dipercayai yang ada pada suatu benda atau hal untuk memuaskan manusia (Surayin, 2007: 374). Nilai juga diartikan kualitas suatu hal yang menjadikan hal itu dapat disukai, diinginkan, berguna, dihargai, dan dapat menjadi objek kepentingan (Sjarkawi, 2009: 29) Kata “nilai” dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia berarti 1 harga (dl arti taksiran harga); 2 harga sesuatu (uang misalnya) jika diukur atau ditukarkan dengan yang lain; 3 angka kepandaian; ponten; 4 kadar; mutu; banyak sedikitnya isi; 5 sifat-sifat (hal-hal) yang penting atau berguna bagi kemanusiaan. Menilai(kan): 1 menghargai, mengira-ngirakan nilainya; 2 memberi angka (ponten). Nilaian: taksiran. Penilaian juru taksir. Pe(r)nilaian: perbuatan (hal dsb) menilai. 2. Pendidikan Pendidikan menurut Hamalik (2003: 79) didefinisikan sebagai proses pengubahan tingkah laku seseorang melalui serangkaian proses. Pendidikan merupakan daya upaya untuk memajukan budi pekerti (kekuatan pikiran), pikiran (intellect), dan jasmani anak selaras dengan alam dan masyarakatnya. Secara umum pendidikan adalah usaha untuk membantu seseorang yang pada umumnya belum dewasa untuk mencapai kedewasaan melalui suatu proses, suatu interaksi antara manusia yang berlangsung pada kancah hubungan manusia, atau bisa disebut sebagai
8
pergaulan, dengan tujuan agar manusia tersebut kelak dapat melaksanakan hidup dan tugas hidupnya sebagai manusia secara mandiri dan bertanggung jawab (Syaifullah, 2005:44). 3. Ritual Ritual secara etimologi berarti perayaan yang berhubungan dengan kepercayaan tertentu dalam masyarakat, secara terminologi ritual merupakan ikatan kepercayaan antar orang yang diwujudkan dalam bentuk nilai bahkan dalam bentuk tatanan sosial (sumber http//id shvoong com/social-sciences/counseling/2206664-pengertian-makna-ritualbudaya/#IXZZ1hjlAAsd, diakses 19 Maret 2013). Ritual adalah serangkaian kegiatan yang dilaksanakan terutama untuk tujuan simbolis. Ritual dilaksanakan berdasarkan suatu agama atau bisa juga berdasarkan tradisi dari suatu komunitas tertentu. Kegiatankegiatan dalam ritual biasanya sudah diatur dan ditentukan, dan tidak dapat dilaksanakan secara sembarangan. 4. Kematian Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia kata “mati” bermakna: sudah hilang nyawanya, tidak hidup lagi. Sedangkan kematian adalah: 1 perihal mati; perkumpulan yang mengurus, memberi bantuan dan sebagainya apabila ada anggota atau keluarga anggota yang meninggal; 2 menderita karena sesuatu yang mati.
9
5. Adat Kata “adat” dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia berarti: 1 aturan (perbuatan dsb) yang lazim dituruti atau dilakukan sejak dahulu kala; 2 kebiasaan; cara (kelakuan dsb) yang sudah menjadi kebiasaan. Dari beberapa arti kata di atas dapat di ambil kesimpulan bahwa “nilai-nilai pendidikan dalam ritual kematian adat Jawa” bermakna: sesuatu berharga dan diinginkan yang didapatkan dengan proses pengubahan pikiran seseorang tentang serangkaian kegiatan yang sudah menjadi tradisi, berupa kebiasaan masyarakat jawa memperlakukan dan mengurus anggota (saudara) atau keluarga anggota (tetangga, teman, masyarakat, dll) yang meninggal dunia.
F. Metode Penelitian Metode adalah cara kerja untuk dapat memahami obyek penelitian. Metode sebagai contoh dinyatakan dalam bentuk-bentuk penelitian, antara lain metode survey, metode kasus (sering disebut studi kasus), metode sejarah dan metode eksperimen, dan sebagainya (Subyantoro, 2006: 65). Untuk mempermudah penelitian dalam pengumpulan data dan menganalisis data, maka penulis menggunakan metode dan pendekatan sebagai berikut: 1. Pendekatan dan jenis penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan lapangan (field research), dimaksudkan untuk mengetahui data responden secara langsung di lapangan, yakni suatu penelitian yang bertujuan mengenai studi yang
10
mendalam mengenai suatu unit sosial sedemikian rupa sehingga menghasilkan gambaran yang terorganisir dengan baik mengenai unit sosial tersebut. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif menurut Rusdi Pohan yaitu penelitian terhadap suatu proses, peristiwa atau perkembangan dimana bahan-bahan atau data yang dikumpulkan adalah berupa keteranganketerangan kualitatif. Metode kualitatif dipandang sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orangorang dan perilaku ini dapat diamati terhadap fakta-fakta yang ada saat sekarang dan melaporkannya seperti apa yang akan terjadi. Pendekatan kualitatif ini berkaitan erat dengan sifat unik dari realitas sosial dan dunia tingkah laku manusia itu sendiri, terlebih objek penelitiannya adalah masyarakat jawa yang kental akan unsur budaya dan agama. 2. Kehadiran Peneliti Kehadiran peneliti dalam penelitian ini bertindak sebagai instrumen sekaligus pengumpul data. Hal ini dimaksudkan untuk mempertegas peran peneliti sebagai pengamat penuh. Kehadiran peneliti di ritual kematian adat jawa berperan sebagai subjek atau informan. Dimaksudkan untuk mempermudah dan mengawal jalannya proses penelitian lapangan. Penelitian kualitatif perhatiannya lebih banyak ditujukan pada pembentukan teori substantif berdasarkan konsep-konsep yang timbul dari
11
data empiris. Dalam penelitian kualitatif peneliti merasa “tidak tahu apa yang tidak diketahui”, sehingga desain penelitian yang dikembangkan selalu merupakan kemungkinan yang terbuka akan berbagai perubahan yang diperlukan dan lentur terhadap kondisi yang ada di lapangan pengamatannya (Zuriah, 2007: 91). 3. Lokasi dan waktu penelitian Kapan dan dimana wawancara itu akan diselenggarakan, perlu disepakati oleh interviewee. Artinya kita perlu membuat janji terlebih dahulu dengan interviewee. Dalam penjadwalan tersebut, ada baiknya jika kita mengikuti kemauan interviewee. Pembuatan janji terlebih dahulu bukan tanpa alasan. Wawancara yang diadakan secara mendadak mungkin tidak akan baik, berkaitan dengan kemungkinan data/informasi yang akan diperoleh menjadi tidak obyektif atau tidak akurat (Subyantoro, 2006: 99). a. Lokasi penelitian Tempat penelitian di Desa Kebondowo, Kecamatan Banyubiru, Kabupaten
Semarang.
Pertimbangan
pemilihan
lokasi
penelitian
diantaranya: 1) Daerah dengan kondisi sosial yang bagus 2) Masyarakat yang mempunyai mutu pendidikan baik 3) Salah satu kawasan Jawa Tengah yang masih kental akan budaya Jawa b. Waktu penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret-April 2013.
12
4. Sumber data Sumber data dalam penelitian ini diperoleh melalui sumber lapangan. Sumber informasi lapangan ialah keluarga orang yang meninggal (orang tua, suami/istri, anak, dll), beberapa tetangga, tokoh masyarakat, tokoh budaya dan tokoh agama. 5. Prosedur pengumpulan data Untuk memperoleh data akurat serta memperhatikan relevansi data dengan
tujuan
yang
dimaksud,
maka
dalam
pengumpulan
data
menggunakan beberapa teknik yaitu: a. Dokumentasi Dokumentasi adalah metode penelitian ditujukan pada penguraian dan penjelasan apa yang telah lalu melalui sumber-sumber dokumen. Metode ini dimaksudkan untuk mencari data berupa foto-foto. b. Pengamatan (Observasi) Sebagai
metode
ilmiah,
observasi
bisa
diartikan
sebagai
pengamatan dan pencatatan dan sistematik fenomena-fenomena yang diselidiki. Secara luas, observasi atau pengamatan berarti setiap kegiatan untuk melakukan pengukuran. Akan tetapi observasi atau pengamatan di sini diartikan lebih sempit, yaitu pengamatan dengan menggunakan indera pengihatan yang berarti tidak mengajukan pertanyaan-pertanyaan (Soehartono, 1995: 69). Metode ini digunakan peneliti secara pengamatan langsung untuk mengetahui cara penyampaian nilai pendidikan di dalam upacara adat kematian.
13
c. Wawancara Teknik pengumpulan data penelitian ini adalah wawancara mendalam dan pengamatan. Pengamatan dilakukan untuk mengumpulkan data atau informasi berkenaan dengan pandangan, latar belakang pendidikan. Wawancara dilakukan dalam bentuk percakapan informal dengan menggunakan lembaran berisi garis besar tentang apa-apa yang akan ditanyakan. 6. Analisis data Data dalam penelitian kualitatif menggunakan wawancara, gambar maupun foto. Analisis data adalah proses menyusun data agar dapat ditafsirkan. Menyusun data berarti menggolongkan ke dalam pola, tema, atau kategori tafsiran atau interpretasi artinya memberikan makna kepada analisis, menjelaskan pola atau kategori, mencari hubungan antara berbagai konsep. Data yang diperoleh di lapangan ditulis dalam bentuk uraian yang sangat lengkap. Data tersebut direduksi, dirangkum, dipilih hal-hal pokok, difokuskan kepada hal-hal yang penting dan berkaitan dengan masalah, sehingga memberi gambaran yang lebih tajam tentang hasil wawancara. Reduksi dapat membantu dalam memberikan kode kepada aspek-aspek yang dibutuhkan. Misalnya mempermudah dalam mencari berkenaan dengan nilai pendidikan di dalam ritual adat kematian di Jawa.
14
7. Pengecekan keabsahan temuan Teknik pemeriksaan data dalam penelitian dilaksanakan berdasarkan beberapa kriteria tertentu, yang dibagi menjadi empat kriteria yang digunakan untuk melakukan pemeriksaan keabsahan data kualitatif, yaitu: a.
Derajat kepercayaan (credibility) Kredibilitas ini merupakan konsep pengganti dari konsep validitas internal dalam penelitian kuantitatif. Kriteria kredibilitas ini berfungsi untuk melaksanakan penelaahan data secara akurat agar tingkat kepercayaan
penemuan
dapat
dicapai.
Adapun
teknik
dalam
menentukan kredibilitas ini adalah memperpanjang masa observasi, menganalisis
kasus
negatif,
menggunakan
bahan
referensi,
membicarakan dengan orang lain serta mengadakan member check. Hal ini dimaksudkan jika dalam memberikan pertanyaan dalam wawancara masih ada materi yang belum terjawab, maka akan dilakukan perpanjangan
wawancara
sampai
peneliti
merasa
cukup
diinformasikannya. b.
Kebergantungan (dependability) Konsep ini merupakan konsep pengganti dari konsep reability dalam penelitian kuantitatif. Reability tercapai bila alat ukur yang digunakan secara berulang-ulang dan hasilnya sama. Dalam penelitian kualitatif, alat ukur bukan benda melainkan manusia atau peneliti itu sendiri. Lain dari pada itu, rancangan penelitian terus berkembang. Yang dapat dilakukan dalam penelitian kualitatif adalah pengumpulan
15
data sebanyak mungkin selama penelitian. Teknik yang digunakan untuk mengukur kebergantungan adalah auditing, yaitu pemeriksaan data yang sudah dipolakan. Responding dengan pertanyaan yang sama, dan akan menghasilkan jawaban yang sejenis juga. c.
Kepastian (confirmability) Konsep ini merupakan konsep pengganti dari konsep “objektivitas” pada penelitian kuantitatif, objektivitas itu diukur melalui orangnya atau penelitiannya. Diakui bahwa peneliti memiliki pengalaman subjektif. Namun, bila pengamatan tersebut dapat disepakati oleh beberapa orang, maka pengalaman peneliti itu bisa dipandang objektif. Jadi persoalan objektifitas dan subjektifitas dalam penelitian kualitatif sangat ditentukan oleh seseorang.
G. Sistematika Penulisan Untuk mendapatkan gambaran yang jelas dan menyeluruh serta memudahkan pemahaman terhadap penulisan skripsi ini menjadi 5 bab, antara bab satu dengan bab yang lainnya saling berhubungan. Bab I, bagian ini merupakan pendahuluan yang dikemukakan dalam bab ini merupakan pengantar dari keseluruhan isi pembahasan. pada bagian pertama ini akan dibahas beberapa sub bahasan, yaitu; latar belakang masalah, fokus penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, penegasan istilah, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
16
Bab II, berisi kajian pustaka dari penelitian. pada bagian ini dikemukakan teori-teori yang telah di uji kebenarannya yang berkaitan dengan obyek formal penelitian. Sesuai dengan judul skripsi maka pembahasan pada bab ini berisi: definisi nilai, definisi pendidikan, susunan prosesi ritual kematian adat Jawa beserta arti seluruh prosesi, dan nilai pendidikan yang terkandung di dalam ritual adat kematian. Bab III, penulis menyajikan hasil penelitian tentang gambaran lokasi penelitian, kondisi lokasi penelitian, temuan penelitian tentang ritual adat kematian, dan pemahaman masyarakat, tokoh masyarakat, & tokoh agama. Bab IV, terdiri dari nilai-nilai pendidikan dan nilai negatif dalam ritual adat kematian. Bab V, merupakan kajian yang paling akhir dari skripsi ini, yang mana pada bagian ini berisi, kesimpulan penulis dari pembahasan skripsi dan saran dari penulis.
17
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Definisi Nilai Nilai diartikan sebagai sesuatu yang berharga, yang dianggap bernilai, baik dan indah serta menjadi pedoman atau pegangan diri (Darmadi, 2009: 27). Nilai juga diartikan sebagai suatu sasaran sosial atau tujuan sosial yang dianggap pantas dan berharga untuk dicapai (Sagala, 2006: 237). Adapun nilai yang dimaksud adalah norma yang berlaku dalam masyarakat ataupun tuntunan agama yang ada dalam masyarakat. Nilai merupakan esensi yang melekat pada sesuatu yang sangat berarti bagi kehidupan manusia. Esensi belum berarti sebelum dibutuhkan oleh manusia, tetapi tidak berarti adanya esensi karena adanya manusia yang membutuhkan. Hanya saja kebermaknaan esensi tersebut semakin meningkat sesuai dengan peningkatan daya tangkap dan pemaknaan manusia sendiri. Hakikat
kehidupan
sosial
kemasyarakatan
adalah
untuk
perdamaian, perdamaian hidup merupakan esensi kehidupan manusia. Esensi itu tidak hilang walaupun kenyataannya banyak bangsa yang berperang. Nilai perdamaian semakin tinggi selama manusia mampu memberikan makna terhadap perdamaian, dan nilai perdamaian juga berkembang sesuai dengan daya tangkap manusia tentang hakekat perdamaian.
18
Sifat-sifat nilai menurut Sjarkawi (2009: 31) adalah sebagai berikut: 1. Nilai itu suatu realitas abstrak dan ada dalam kehidupan manusia. Nilai yang bersifat abstrak tidak dapat diindra. Hal yang dapat diamati hanyalah objek yang bernilai itu. Misalnya, orang yang memiliki kejujuran. Kejujuran adalah nilai, tetapi kita tidak bisa mengindra kejujuran itu. Yang dapat kita indra adalah kejujuran itu. 2. Nilai memiliki sifat normatif, artinya nilai mengandung harapan, citacita, dan suatu keharusan sehingga nilai memiliki sifat ideal (das sollen). Nilai diwujudkan dalam bentuk norma sebagai landasan manusia dalam bertindak. Misalnya, nilai keadilan. Semua orang berharap mendapatkan berperilaku yang mencerminkan nilai keadilan. 3. Nilai berfungsi sebagai daya dorong/motivator dan manusia adalah pendukung nilai. Manusia bertindak berdasar dan didorong oleh nilai yang diyakininya. Misalnya, nilai ketakwaan. Adanya nilai ini menjadikan semua orang terdorong untuk bisa mencapai derajat ketakwaan. Nilai dapat dilihat dari berbagai sudut pandangan, yang menyebabkan terdapat bermacam-macam nilai, antara lain: 1. Dilihat dari segi kebutuhan hidup manusia, nilai menurut Sjarkawi (2009: 29) adalah: a. Nilai moral b. Nilai sosial
19
c. Nilai undang-undang d. Nilai agama Keempat nilai tersebut berkembang sesuai dengan tuntutan kebutuhan. Dari kebutuhan yang paling sederhana, yakni kebutuhan akan tuntutan fisik biologis, keamanan, cinta kasih, harga diri dan yang terakhir kebutuhan jati diri. Apabila kebutuhan dikaitkan dengan nilainilai agama, akan menimbulkan penafsiran yang keliru. Apakah untuk menemukan jati diri sebagai orang muslim dan mukmin yang baik itu baru dapat terwujud setelah kebutuhan yang lebih rendah tercukupi lebih dahulu? Misalnya makan cukup, tidak ada yang merongrong dalam beragama, dicintai dan dihormati kemudian orang itu baru dapat beriman dengan baik, tentunya tidak. Nilai keimanan dan ketaqwaan tidak tergantung pada kondisi ekonomi maupun sosial budaya, tidak terpengaruh oleh dimensi ruang dan waktu. 2. Dilihat dari kemampuan jiwa manusia untuk menangkap dan mengembangkan, nilai dapat dibedakan menjadi dua yakni: a. Nilai yang statik, seperti kognisi, emosi, dan psikomotor. b. Nilai yang bersifat dinamis, seperti motivasi berprestasi, motivasi berafiliasi, motivasi berkuasa. 3. Pendekatan proses budaya, nilai dapat dikelompokkan dalam tujuh jenis (Darmadi, 2006: 44) yakni: a. Nilai ilmu pengetahuan b. Nilai ekonomi
20
c. Nilai keindahan d. Nilai politik e. Nilai keagamaan f. Nilai kekeluargaan g. Nilai kejasmanian Pembagian nilai-nilai dari segi ruang lingkup hidup manusia sudah memadai sebab mencakup hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia, dan hubungan manusia dengan dirinya sendiri, karena itu nilai ini juga mencakup nilai-nilai ilahiyah (ke-Tuhanan) dan nilai-nilai insaniyah (kemanusiaan). 1.
Pembagian nilai didasarkan atas sifat nilai itu dapat dibagi ke dalam (1) nilai-nilai subjektif, (2) nilai-nilai objektif rasional, dan (3) nilainilai objektif metafisik. Nilai subyektif adalah nilai yang merupakan reaksi subjek terhadap objek, hal ini sangat tergantung kepada masingmasing pengalaman subjek tersebut. Nilai subjektif rasional (logis) yakni nilai-nilai yang merupakan esensi dari objek secara logis yang dapat diketahui melalui akal sehat. Seperti nilai kemerdekaan, setiap orang memiliki hak untuk merdeka, nilai kesehatan, nilai keselamatan badan dan jiwa, nilai perdamaian dan sebagainya. Sedangkan nilai yang bersifat objektif metafisik yakni nilai-nilai yang ternyata mampu menyusun kenyataan objektif, seperti nilai-nilai agama.
2.
Nilai bila dilihat dari sumbernya terdapat (1) nilai illahiyah (ubudiyah dan muamalah), (2) nilai insaniyah. Nilai ilahiyah adalah nilai yang
21
bersumber dari agama (wahyu Allah), sedangkan nilai insaniyah adalah nilai yang diciptakan oleh manusia atas dasar kriteria yang diciptakan oleh manusia pula. 3.
Dilihat dari segi ruang lingkup dan keberlakuannya nilai dapat dibagi menjadi (1) nilai-nilai universal dan (2) nilai-nilai lokal. Tidak tentu semua nilai-nilai agama itu universal, demikian pula ada nilai-nilai insaniyah yang bersifat universal. Dari segi keberlakuan masanya dapat dibagi menjadi (1) nilai-nilai abadi, (2) nilai pasang surut dan (3) nilai temporal.
4.
Ditinjau dari segi hakekatnya nilai dapat dibagi menjadi (1) nilai hakiki (root values) dan (2) nilai instrumental. Nilai-nilai yang hakiki itu bersifat universal dan abadi, sedangkan nilai-nilai instrumental dapat bersifat lokal, pasang-surut, dan temporal. Perbedaan macam-macam nilai ini mengakibatkan menjadikan
perbedaan dalam menentukan tujuan pendidikan nilai, perbedaan strategi yang akan dikembangkan dalam pendidikan nilai, perbedaan metode dan teknik dalam pendidikan Islam. Di samping perbedaan nilai tersebut di atas yang ditinjau dari sudut objek, lapangan, sumber dan kualitas/serta masa keberlakuannya, nilai dapat berbeda dari segi tata strukturnya. Tentu hal ini lebih ditentukan dari segi sumber, sifat dan hakekat nilai itu.
22
B. Pendidikan 1.
Pengertian pendidikan Pendidikan merupakan sebagai proses transformasi budaya yang diartikan sebagai kegiatan pewarisan budaya dari satu generasi ke generasi yang lain. Nilai-nilai kebudayaan tersebut mengalami proses transformasi dari generasi tua ke generasi muda. Pendidikan juga diartikan suatu kegitan yang sistematis dan sistemik terarah kepada terbentuknya kepribadian peserta didik. Sisitematis oleh karena proses pendidikan berlangsung melalui tahap-tahap berkesinambungan (prosedural) dan sisitemik oleh karena berlangsung dalam semua situasi dan kondisi, di semua lingkungan yang saling mengisi (lingkungan rumah, sekolah, masyarakat). Menurut Fuad Ihsan (2003: 11-12), pendidikan berarti mendidik, memberikan pertolongan secara sadar dan sengajak kepada seseorang anak (yang belum dewasa) dalam pertumbuhan menuju kearah kedewasaan dalam arti dapat berdiri sendiri dan bertanggung jawab. Pendidikan juga mengarah kepada penyampaian informasi hal-hal baru kepada seseorang dan proses transformasi itu akan terbentuk dalam ilmu pengetahuan sehingga akan menjadikan manusia itu berwawasan luas. Jadi pendidikan adalah memberikan informasi dan mengajarkan manusia menuju kedewasaan sehingga dia dapat bertanggung jawab atas dirinya sendiri.
23
2. Jenis Pendidikan a. Pendidikan Formal Selalu dibagi atas jenjang yang memiliki hierarkis, waktu penyampaian diprogram lebih panjang atau lebih lama,usia sisiwa di satu jenjang relatif lebih homogen khususnya pada jenjang-jenjang permulaan, para siswa umumnya berorientasi studi untuk jangka waktu yang relatif lama, materi pelajaran pada umumnya bersifat akademis dan umum, merupakan respon dari kebutuhan umum dan relatif jangka panjang, credentials (ijazah dan sebagainya) berperan penting pada penerimaan siswa. b. Pendidikan Nonformal Pada umumnya tidak dibagi atas jenjang, waktu penyampaian diprogram lebih pendek, usia siswa di sesuatu kursus tidak perlu sama, berorientasi studi jangka pendek agar segera mendapatkan hasil pendidikannya dalam praktek kerja, materi pelajaran lebih banyak yang bersifat praktis dan khusus, merupakan respon daripada kebutuhan khusus yang mendesak, credentials umunya kurang berperan. 3. Tujuan Pendidikan Tujuan pendidikan adalah membantu seseorang dalam upaya
proses
pemanusiaan
diri
sendiri
untuk
mencapai
ketenteraman batin yang paling dalam, tanpa mengganggu atau
24
tanpa membebani orang lain (Kartini Kartono, 1992: 219). Namun secara garis besar tujuan pendidikan memuat gambaran tentang nilai-nilai yang baik, luhur, pantas, benar, dan indah untuk kehidupan. Pendidikan memiliki dua fungsi yaitu memberikan arah kepada segenap kegiatan pendidikan dan merupakan sesuatu yang ingin dicapai oleh segenap kegiatan pendidikan. a. Pendidikan sebagai proses transformasi budaya Sebagai proses transformasi budaya pendidikan diartikan sebagai kegiatan pewarisan budaya dari satu generasi ke generasi yang
lain.
Nilai-nilai
budaya
tersebut
mengalami
proses
transformasi dari generasi tua ke generasi muda. Ada tiga bentuk transformasi yaitu nilai-nilai yang masih cocok diteruskan misalnya nilai-nilai kejujuran, rasa tanggung jawab, dan lain-lain. b. Pendidikan sebagai proses pembentukan pribadi Sebagai pembentukan pribadi pendidikan diartikan sebagai suatu kegiatan yang sistematis dan sisitemik terarah kepada terbentuknya kepribadian peserta didik. Proses pembentukan pribadi melalui dua sasaran yaitu pembentukan pribadi bagi mereka yang belum dewasa oleh mereka yang sudah dewasa dan bagi mereka yang sudah dewasa atas usaha sendiri.
25
c. Pendidikan sebagai proses penyiapan warga Negara Pendidikan sebagai proses penyiapan warga negara diartikan sebagai suatu kegiatan yang terencana untuk membekali peserta didik agar menjadi warga negara yang baik. d. Pendidikan sebagai penyiapan generasi baru untuk menjalani tugas dan peranannya. Pendidikan
sebagai
penyiapan
generasi
baru
untuk
menjalani tugas dan peranannya diartikan sebagai kegiatan membimbing peserta didik sehingga memiliki bekal untuk menjalankan
tugas
dan
peranannya
dalam
kehidupan
bermasyarakat. 4. Unsur-unsur Pendidikan Proses pendidikan melibatkan banyak hal yaitu: a. Subjek yang dibimbing (peserta didik) Menurut pengertian secara khusus, peserta didik dapat diartikan orang yang belum dewasa atau orang yang masih menjadi tanggung jawab pendidik (Sutari Imam Barnadi, 1982: 39). Dalam hal ini peserta didik berstatus sebagai subjek didik. Ciri khas peserta didik yang perlu dipahami oleh pendidik ialah: 1.
Individu yang memiliki potensi fisik dan psikis yang khas, sehingga merupakan insan yang unik.
2.
Individu yang sedang berkembang.
26
3.
Individu yang membutuhkan bimbingan individual dan perlakuan manusiawi.
4.
Individu yang memiliki kemampuan untuk mandiri.
b. Orang yang mendidik (pendidik) Pendidik adalah tiap orang yang dengan sengaja mempengaruhi orang lain untuk mencapai tingkat kemanusiaan yang lebih tinggi (Sutari Imam Barnadi, 1982: 38). Disisi lain yang dimaksud pendidik adalah orang yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pendidikan dengan sasaran peserta didik. Peserta didik mengalami pendidikannya dalam tiga lingkungan yaitu lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Oleh karena itu yang bertanggung jawab terhadap pendidikan ialah orang tua, guru, pemimpin program pembelajaran, dan masyarakat. c. Interaksi antara peserta didik dengan pendidik Intraksi edukatif pada dasarnya adalah komunikasi timbal-balik antara peserta didik dengan pendidik yang terarah kepada tujuan pendidikan. Pencapaian tujuan pendidikan secara optimal ditempuh melalui proses berkomunikasi intensif dengan manipulasi isi, metode, serta alat-alat pendidikan. d. Ke arah mana pendidikan ditujukan (tujuan pendidikan) e. Pengaruh yang diberikan dalam pendidikan (materi) f. Cara yang digunakan dalam pendidikan (alat & metode)
27
g. Tempat dimana peristiwa pendidikan berlangsung (lingkungan pendidikan)
C. Ritual Adat Kematian dalam Masyarakat Jawa 1.
Deskripsi Slametan Dalam keyakinan orang Jawa, kehidupan dipandang telah mengikuti suatu pola yang teratur dan terkoordinasi yang harus diterima. Dengan demikian mereka harus menyelaraskan diri dengan apa yang lebih agung dari diri mereka sendiri serta berusaha agar mereka tetap dalam keadaan damai dan tentram (slamet). Menurut M. Murtadho (2002: 16), maksud utama praktik sosio religius orang Jawa tidak lain kecuali mendapatkan keslametan di dunia ini. Berangkat bahwa tujuan hidup adalah untuk mendapatkan keselamatan, maka upacara keagamaan yang pokok adalah slametan. Upacara ini diselenggarakan bertepatan dengan waktu-waktu tertentu, seperti kematian (7, 40, 100, 1000 hari), kelahiran, perkawinan, dan momentum-momentum yang dianggap perlu. Slametan adalah suatu upacara yang biasanya diadakan di rumah suatu keluarga dan dihadiri oleh anggota-anggota keluarga, tetangga-tetangga dekat, kenalan-kenalan yang tinggal tidak jauh, termasuk juga orang-orang yang mempunyai hubungan kerja. Darori Amin (2002: 160-161) menjelaskan: keputusan untuk mengadakan upacara salmetan kadang diambil berdasarkan keyakinan
28
keagamaan yang murni, dan adanya suatu perasaan kuatir akan hal-hal yang tudak diinginkan atau akan datangnya malapetaka, tetapi kadang-kadang juga hanya merupakan suatu kebiasaan rutin saja yang dijalankan sesuai dengan adat keagamaan. Secara umum tujuan slametan adalah untuk menciptakan keadaan sejahtera, aman dan bebas dari gangguan makhluk yang nyata maupun makhluk halus, itulah keadaan yang disebut slamet. 2. Dasar Ritual Kematian
Artinya: Dan orang-orang yang datang setelah mereka, berkata: Ya Tuhan kami, ampunilah kami dan ampunilah saudara-saudara kami yang telah mendahului kami dengan beriman. (QS Al-Hasyr 59: 10) Dalam hal ini hubungan orang mu’min dengan orang mu’min tidak putus dari Dunia sampai Akherat.
Artinya: Dan mintalah engkau ampun (Muhammad) untuk dosamu dan dosa-dosa mu’min laki dan perempuan. (QS Muhammad 47: 19)
Artinya: Bertanya seorang laki-laki kepada Nabi SAW; Ya Rasulullah sesungguhnya ibu saya telah mati, apakah berguna bagi saya, seandainya saya bersedekah untuknya? Rasulullah menjawab; yaa berguna untuk ibumu. (HR Abu Dawud) Imam Ahmad bin Hanbal berkata : “ Sampai kepada mayyit (pahala) tiap-tiap kebajikan karena ada nash-nash yang datang padanya dan juga karena kaum muslimin (zaman tabi’in dan
29
tabiuttabi’in) pada berkumpul disetiap negeri, mereka membaca alqur’an dan menghadiahkan (pahalanya) kepada mereka yang sudah meninggal, maka jadialah ia ijma . (Ahmad syarbasy, 1997:423) Dari ayat Al-Quran, hadist, dan ijma di atas akhirnya dijadikan dasar bahwa mendoakan dan memintakan ampunan kepada Allah untuk orang yang sudah meninggal adalah sesuatu yang bermanfaat dan baik bagi orang yang memintakan maupun yang dimintakan. Dalam masyarakat Jawa, mendoakan orang yang sudah meninggal dirangkai dalam sebuah acara yang dinamakan ritual kematian. 3. Pengertian Ritual Kematian Ritual kematian diadakan jika ada salah satu warga meninggal dunia atau diadakan untuk memperingati berapa harinya warga yang telah meninggal tersebut. Seperti orang jawa pada umumnya, pemakaman dilakukan secepatnya. Jika ada salah satu warga yang meninggal dunia, salah satu warga langsung mengumumkan berita kematian itu kepada para warga di masjid, tujuannya agar para warga membantu keluarga yang di tinggalkan dalam berbagai hal dan sebagai tanda jika ada warga yang meninggal di pasangkan bendera putih. Semua urusan dan ritual slametan kematian berpedoman pada ajaran-ajaran agama (islam). Konteks kematian pada hal ini bukan suatu kehidupan yang telah mati dan mayatnya harus dimakamkan, melainkan masyarakat setempat beranggapan dalam kematian seseorang terdapat beberapa
30
proses, dari orang itu mati sampai siap untuk dimakamkan, umumnya setiap orang yang mati harus di bersihkan dari berbagai permasalahan duniawi, membersihkan seluruh tubuh orang yang mati, sebagai persiapan untuk bertemu dengan Sang Pencipta di alam baka (menurut ajaran islam).
Jiwa seorang mukmin terikat dengan hutangnya hingga dilunasi. [HR Ahmad, At Tirmidzi, dan beliau menghasankannya]
Dalam ritual slametan dan masalah pemakaman kematian ada seseorang yang biasa memimpin ritual tersebut, biasanya oleh salah seorang ustad atau ahli agama (yang mengerti masalah kematian). Setelah urusan pemakaman selesai, para warga mengadakan ritual slametan kematian (menurut ajaran islam). Dalam persiapan ritual slametan di bantu oleh masyarakat sekitar, ritual slametan biasanya diadakan pengajian di rumah salah satu warga yang di tinggalkan. Para warga berkumpul bersama dan mendo’akan warga yang meninggal, yang bertujuan agar arwahnya di terima di sisi Tuhan Yang Maha Esa, di ampuni segala dosa yang telah di perbuat di dunia, dan berbagai tujuan.
Sesungguhnya ruh apabila telah dicabut, akan diikuti oleh pandangan mata, maka janganlah kalian berkata kecuali dengan perkataan yang baik, karena malaikat akan mengamini dari apa yang kalian ucapkan. [HR Muslim].
31
Para warga yang telah mendo’akan warga yang meninggal, tuan rumah atau keluarga yang di tinggalkan akan menyediakan makanan dan minuman ala kadarnya. Ritual slametan ini bertujuan sebagai perwujudan dari kepercayaan dan sikap masyarakat setempat akan kehidupan di alam akhirat dan arwah yang bergentanyangan atau makhluk halus, seperti yang di ajarkan oleh agama islam bahwa manusia yang mati akan masuk neraka atau surga tergantung amal perbuatannya di dunia, yang menjadi asumsi dasar masyarakat dalam ritual slametan. 4. Waktu Penyelenggaraan Ritual Kematian a. Serangkaian upacara sebelum jenazah dimakamkan
Hal ini meliputi memandikan, mengkafani, menyolatkan, pamitan, brobasan. Dilakukan sebelum jenazah dibawa ke makam. b. Upacara Ngesur Tanah (geblag)
Upacara
ngesur
tanah
merupakan
upacara
yang
diselenggarakan pada saat hari meninggalnya seseorang. Upacara ini diselenggarakan pada sore hari setelah jenazah dikuburkan. c. Upacara Tigang Dinten (tiga hari)
Upacara
ini
merupakan
upacara
kematian
yang
diselenggarakan untuk memperingati tiga hari meninggalnya seseorang. d. Upacara Pitung Dinten (tujuh hari)
32
Upacara ini untuk memperingati tujuh hari meninggalnya seseorang. e. Upacara Matangpuluh (empat puluh hari)
Upacara
ini
untuk
memperingati
empat
puluh
hari
meninggalnya seseorang.
f. Upacara Nyatus (seratus hari)
Upacara ini untuk memperingati seratus hari meninggalnya seseorang. g. Upacara Mendhak Pisan (satu tahun)
Upacara
mendhak
pisan
merupakan
upacara
yang
diselenggarakan ketika orang meninggal pada setahun pertama. h. Upacara Mendhak Pindho (dua tahun)
Upacara
mendhak
pindho
merupakan
upacara
yang
dilaksanakan setelah dua tahun meninggalnya seseorang. i. Upacara Nyewu (seribu hari)
Upacara ini untuk memperingati seribu hari meninggalnya seseorang. Praktik di masyarakat, upacara nyewu ini dilaksanakan pada tiga tahun meninggalnya seseorang atau istilah nyewu ini dapat dikatakan ukuran kurang lebih. j. Punggahan & Pudhunan
Punggahan besaral dari kata “munggah” yang berarti “naik”. Sebagian besar orang jawa mempercayai punggahan adalah tradisi
33
untuk memperingati naiknya arwah leluhur kehadapan Tuhan. Maka diadakannya upacara ini untuk mendoakan agar arwah mendapat perlakuan yang baik di sana. Pudhunan berasal dari kata “mudhun” yang berarti “turun”. Sebagian orang jawa mempercayai tradisi pudhunan untuk memperingati turunnya atau kembalinya arwah leluhur. k. Nyadran
Nyadran
adalah
hari
berkunjung
ke
makam
para
leluhur/kerabat yang telah mendahului. Nyadran ini dilakukan pada bulan Ruwah/Sya’ban atau bertepatan dengan saat menjelang puasa bagi umat Islam. 5. Perlengkapan Ritual Kematian 1. Upacara Ngesur Tanah (geblag) Bahan yang digunakan untuk kenduri terdiri atas: Nasi gurih (sekul wuduk), Ingkung (ayam dimasak utuh), Urap (gudhangan dengan kelengkapannya), Cabai merah utuh, Krupuk rambak, Kedelai hitam, Bawang merah yang telah dikupas kulitnya, Bunga kenanga, Garam
yang telah
dihaluskan, Tumpeng yang dibelah dan diletakkan dengan saling membelakangi (tumpeng ungkur-ungkuran). 2. Upacara Tigang Dinten (tiga hari) Takir pontang yang berisi nasi putih dan nasi kuning, dilengkapi dengan sudi-sudi yang berisi kecambah, kacang
34
panjang yang telah dipotongi, bawang merah yang telah diiris, garam yang telah digerus (dihaluskan), kue apem putih, uang, gantal dua buah. Nasi asahan tiga tampah, daging lembu yang telah digoreng, lauk-pauk kering, sambal santan, sayur menir, jenang merah. 3. Upacara Pitung Dinten (tujuh hari) Kue apem yang di dalamnya diberi uang logam, ketan, kolak (semuanya diletakkan dalam satu takir) Nasi asahan tiga tampah, daging goreng, pindang merah yang dicampur dengan kacang panjang yang diikat kecil-kecil, dan daging jeroan yang ditempatkan dalam wadah berbentuk kerucut (conthong), serta pindang putih. 4. Upacara Matangpuluh (empat puluh hari) Bahan untuk kenduri biasanya sama dengan kenduri pada saat memperingati tujuh hari meninggalnya, namun ada tambahan sebagai berikut: Nasi wuduk, Ingkung, Kedelai hitam, Cabai merah utuh, Rambak kulit, Bawang merah yang telah dikupas kulitnya, Garam, Bunga kenanga. 5. Upacara Nyatus (seratus hari) Bahan yang digunakan untuk memperingati seratus hari meninggalnya pada dasarnya sama dengan ketika melakukan peringatan empat puluh hari. 6. Upacara Mendhak Pisan (satu tahun)
35
Bahan yang digunakan untuk memperingati satu tahun meninggalnya pada dasarnya sama dengan ketika melakukan peringatan seratus hari. 7. Upacara Mendhak Pindho (dua tahun) Bahan yang digunakan untuk memperingati dua tahun meninggalnya pada dasarnya sama dengan ketika melakukan peringatan mendhak pisan. 8. Upacara Nyewu (seribu hari) Bahan yang digunakan untuk kenduri sama dengan bahan yang digunakan pada peringatan empat puluh hari. Ditambah dengan: daging kambing/domba becek. Sebelum dimasak becek, seekor domba disiram dengan bunga setaman, lalu dicuci bulunya, diselimuti dengan mori selebar sapu tangan, diberi kalung bunga yang telah dirangkai, diberi makan daun sirih. Keesokan harinya domba diikat kakinya lalu ditidurkan di tanah. Badan domba seutuhnya digambar pola dengan menggunakan ujung pisau. Hal ini dimaksudkan untuk mengirim tunggangan bagi arwah yang mati supaya lekas sampai surga. Setelah itu domba disembelih dan kemudian dimasak becek. Sepasang burung merpati dikurung dan diberi rangkaian bunga. Setelah doa selesai dilakukan, burung merpati dilepas dan diterbangkan. Maksud tata cara ini adalah
36
juga untuk mengirim tunggangan bagi arwah agar dapat cepat kembali pada Tuhan dalam keadaan suci bersih tanpa beban. Sesaji, terdiri atas tikar bangka, benang lawe empat puluh helai, jodhog, clupak berisi minyak kelapa dan ucenguceng (sumbu lampu), minyak kelapa satu botol, sisir, serit, cepuk berisi minyak tua, kaca/cermin, kapuk, kemenyan, pisang raja setangkep, gula kelapa setangkep, kelapa utuh satu butir, beras satu takir, sirih dengan kelengkapan untuk menginang, bunga boreh. Semuanya diletakkan di atas tampah dan diletakkan di tempat orang berkenduri untuk melakukan doa. 9. Nyadran Nyadran merupakan ritual yang di laksanakan langsung di makam menjelang hari raya. Perlengkapan yang ada diletakkan di atas makam atau di samping batu nisan diantaranya: Kelapa muda, payung, kembang setaman.(masharjo’s web hamemayu hayuning bawana) 6. Rangkaian Ritual Kematian 1. Beberapa prosesi sebelum jenazah dibawa ke makam a. Pemberitahuan atau Pemberitaan Lelayu Hal yang pertama kali dilakukan dalam masyarakat Jawa ketika ada orang meninggal adalah memberi
37
penghiburan kepada keluarga bahwa semua ciptaan akan kembali kepada Tuhan Yang Maha Esa. Apabila keadaan keluarga sudah reda, perhatian segera dialihkan ke jenazah. Jenazah yang baru saja meninggal dunia segera ditidurkan secara membujur, menelentang, dengan kepala di sebelah utara dan menghadap ke atas. Selanjutnya mayat ditutup dengan kain batik yang masih baru. Kaki dipan tempat mayat itu ditidurkan perlu direndam dengan air, maksudnya agar dipan itu tidak dikerumuni semut atau binatang kecil lainnya. Tikar sebagai alas tempat jenazah dibaringkan perlu diberi garis tebal dari kunyit dengan maksud agar binatang kecil tidak mengerumuni mayat. Terakhir adalah memberi wangi-wangian seperti parfum dan kapur barus untuk menyamarkan bau yang kurang sedap. Beberapa orang terdekat bertugas memanggil seorang modin dan mengumumkan kematian itu kepada para sanak saudara dan tetangga. Pemberitaan juga dilakukan dengan bantuan pengeras suara dari masjid terdekat. Setelah kabar tersiar mereka yang mendengar akan berusaha segera datang ketempat itu untuk membantu menyiapkan pemakaman. b.
Perawatan Jenazah
38
Tetangga terdekat yang telah mendatangi rumah jenazah segera menghibur dan menenangkan hati keluarga yang ditinggal pergi. Sebagian lainnya membersihkan dan membereskan rumah sebelum semakin banyak orang yang datang. Beberapa orang juga segera mempersiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan untuk perawatan jenazah. Yang pertama adalah menyiapkan ember sebagai tempat air untuk memandikan jenazah. Ember berjumlah tujuh buah dan masing-masing diisi daun dadap (atau daun sirih) dan uang koin dengan diisi air yang tidak terlalu penuh. Fungsi dari daun tersebut adalah sebagai pengharum. Gayung yang digunakan juga harus berjumlah tujuh, sesuai dengan jumlah ember. Kemudian dipersiapkan juga bangku untuk tempat duduk orang yang bertugas memandikan mayat yang diatur sedemikian rupa
supaya memperlancar
pekerjaan. Lalu meja kecil untuk meletakkan mangkok berisi bakaran merang atau tangkai padi, sabun mandi yang terpotong-potong secukupnya kemudian dibungkus mori (kain putih) berjumlah lima bungkus, diletakkan di piring kecil (lepek). Tangkai padi kering yang dipotong-potong digunakan untuk membersihkan kuku. Sedangkan sobekan mori untuk membersihkan gigi. Selain itu dibutuhkan juga beberapa potong kain penutup yang sama panjangnya
39
(biasanya menggunakan kain batik), agar jenazah tidak dilihat oleh orang yang tidak berkepentingan selama pemandian berlangsung. Memandikan
jenazah
dilaksanakan
sesegera
mungkin untuk menghindari perubahan dari tubuh jenazah. Hal ini berdasarkan pada hadits Nabi:
Artinya: “Tidak pantas bagi mayat seorang muslim untuk ditahan diantara keluarganya” (HR. Abu Dawud). Dalam persiapan memandikan jenazah tugas yang umumnya dilakukan para pria adalah memasang tenda sebagai tempat mensucikan jenazah (dimandikan) agar tidak terlihat dari atas. Dan juga mencari tujuh buah batang pisang yang masing-masing panjangnya kira-kira satu meter, dan disusun rapat berdempetan. Setelah itu memanggil ahli waris yang terdekat sejumlah tiga orang untuk menggotong jenazah dari dalam rumah menuju ke tempat penyucian atau pemandian mayat. Urut-urutan dimulai dari yang tertua di depan dan yang termuda di belakang, begitu pula pada waktu selesai dimandikan digotong dari tempat memandikan ke dalam rumah. Posisi menggotong jenazah adalah: tangan kiri menyanggah sedangkan tangan kanan merangkul dengan
40
penuh hati-hati jangan sampai penutup kain jenazah berubah
atau
bergeser.
Setelah
sampai
di
tempat
memandikan, jenazah dibaringkan diatas tujuh buah batang pisang yang telah disiapkan sebelumnya. Setelah teratur rapi kemudian mulai dimandikan yaitu lima orang mengguyur air dan tiga orang membersihkan dengan sabun. Cara mengguyur air perlahan-lahan dan terus-menerus jangan sampai terputus. dengan disaksikan oleh para anggota keluarga orang yang meninggal. Setelah selesai dimandikan jenazah diserahkan kepada modin untuk didandani dan disembahyangkan. Perlu diketahui bahwa petugas (modin) yang melakukan perawatan jenazah ini harus berjenis kelamin sama dengan jenazah. Kemudian yang dilakukan modin selanjutnya adalah menutup alat kelamin jenazah dengan sepotong daun pisang dan segala lubang pada tubuh diisi dengan kapas. Setelah wajahnya dirias sedikit, jenazah dibungkus dalam kain putih yang kemudian diikat di kaki, pinggang, leher, dan di atas kepalanya. Kegiatan ini merupakan tradisi khusus untuk orang yang beragama Islam, yaitu dipocong.
41
Apabila salah seorang diantara kalian mengkafani saudaranya, maka hendaklah memperbagus kafannya. [HR Muslim] Apabila jenazah bukan beragama Islam, umumnya hanya ditangani oleh keluarga dan kerabat jenazah. Jenazah yang sudah dibungkus rapi kemudian diletakkan diruangan tengah dari rumah, diatas usungan yang terbuat dari bambu bernama “bandhusa”. Dengan kepala menghadap kearah utara. c.
Persiapan Pemberangkatan Jenazah Bagian ketiga ini merupakan kegiatan
yang
dilakukan sebelum jenazah diberangkatkan ke pemakaman. Beberapa hal kecil namun sangat besar artinya karena apabila tidak dilakukan akan mengurangi sahnya sebuah makna kematian. Seperti yang dilakukan kaum wanita yang datang
melayat
ketempat
itu,
mereka
membantu
mengerjakan hal-hal kecil seperti menjahit bahan yang akan dipakai untuk menutup keranda, merangkai bunga-bunga yang
akan
dipakai
untuk
menghias
keranda,
dan
sebagainya. Sedangkan para kerabat pria mengurus suratsurat yang diperlukan untuk pemakaman jenazah, membeli tanah makam, dan membuat papan kayu (pathok), dimana dituliskan nama orang yang meninggal, tanggal lahir dan tanggal meninggalnya. Hal-hal tersebut mereka kerjakan
42
tanpa ada perintah dan paksaan. Semua berjalan diiringi rasa solidaritas dan kemanusiaan yang tinggi. d. Upacara Pemberangkatan Jenazah Selanjut setelah persiapan selesai, maka jenazah pun diberangkatkan ke pemakaman yang diiringi oleh para handai taulan serta tetangga yang telah hadir sejak awal maupun yang baru saja tiba setelah kantor selesai. Dalam hal ini orang Jawa tidak diperbolehkan menangisi kematian seorang anggota keluarga secara berlebihan.
Sesungguhnya Hafshah menangisi kematian Umar.” Beliau berkata,”Sabarlah, wahai saudariku. Tidakkah engkau mengetahui bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,’Sesungguhnya seorang mayit akan disiksa karena tangisan keluarganya’.” [HR Muslim] Sebaliknya
harus
bersikap
ikhlas
melepas
kepergiannya dan menerima nasibnya dengan tawakal. Sebelum jenazah diberangkatkan ke makam dilakukan suatu upacara yang disebut dengan “upacara brobosan”. Upacara brobosan ini bertujuan untuk menunjukkan penghormatan dari sanak keluarga kepada orang tua atau keluarga mereka (jenazah) yang telah meninggal dunia. Upacara brobosan diselenggarakan di halaman rumah orang yang meninggal sebelum dimakamkan dan dipimpin
43
oleh anggota keluarga yang paling tua. Namun sebelum upacara dilakukan, biasanya diawali dengan beberapa sambutan dan ucapan belasungkawa oleh beberapa pamong desa. Dan semua yang hadir ditempat itu harus berdiri hingga jenazah benar-benar diberangkatkan. Upacara brobosan tersebut dilangsungkan dengan tata cara sebagai berikut: 1) Peti mati dibawa keluar menuju ke halaman rumah dan dijunjung tinggi ke atas setelah upacara doa kematian selesai. 2) Anak laki-laki tertua, anak perempuan, cucu laki-laki dan cucu perempuan, berjalan berurutan melewati peti mati yang berada di atas mereka (mrobos) selama tiga kali dan searah jarum jam. 3)
Urutan selalu diawali dari anak laki-laki tertua dan
keluarga inti berada di urutan pertama; anak yang lebih muda beserta keluarganya mengikuti di belakang. Setelah itu jenazah diberangkatkan dengan keranda yang diangkat oleh anak-anaknya yang sudah dewasa bersama dengan anggota keluarga pria lainnya, sedangkan seorang memegang payung untuk menaungi bagian dimana kepala jenazah berada.
44
Barangsiapa yang mengikuti jenazah, maka hendaklah dia mengangkat dari seluruh sudut keranda, karena hal itu merupakan Sunnah. Apabila dia mau, maka hendaknya mengangkat hingga selesai. Dan kalau dia tidak mau, hendaknya dia tinggalkan. [HR Ibnu Majah]. Adapun urutan untuk melakukan perjalanan ke pemakaman juga diatur. Yang berada diurutan paling depan adalah penabur sawur (terdiri dari beras kuning dan mata uang), kemudian penabur bunga dan pembawa bunga, pembawa kendi, pembawa foto jenazah, keranda jenazah, barulah dibagian paling belakang adalah keluarga maupun kerabat yang turut menghantarkan. Banyaknya pengantar jenazah sampai ke kubur ini karena terdapat hadits nabi:
( Artinya: “Barang siapa yang menyaksikan jenazah hingga dishalatkan, maka dia memperoleh satu qirath. Dan barang siapa yang menyaksikan hingga dikuburkan, maka dia memperoleh dua qirath”, kemudian Beliau ditanya: “Apakah yang dimaksud dengan dua qirath?”, Beliau menjawab: “seperti dua gunung yang besar” (HR. Muslim). Namun dalam keyakinan orang Jawa, seorang wanita
tidak
diperkenankan
untuk
memasuki
area
pemakaman. Jadi mereka hanya boleh menghantarkan
45
sampai didepan pintu pemakaman saja. Dan mereka yang masuk hanyalah kaum pria tanpa memakai alas kaki. e. Pemakaman Jenazah Setiba di pemakaman, jenazah dikeluarkan dari keranda dan diturunkan kedalam liang kubur dengan bantuan para pekerja pemakaman. Luas sebuah liang untuk orang dewasa adalah kira-kira 1 x 2½ meter, dengan kedalaman kira-kira 2½ meter, dan digali memanjang dari arah utara ke selatan. Sepanjang salah satu sisinya, kurang lebih 2 meter dibawah permukaan tanah, dibuat sebuah lubang yang cukup untuk meletakkan jenazah dalam posisi miring, dengan kepalanya disebelah utara, dan menghadap ke arah barat, ke Mekah (majeng kiblat). Untuk menjaga agar jenazah tidak bergeser tempat, maka dikedua sisinya diletakkan bola-bola dari tanah yang disebut gelu, besarnya kira-kira sama dengan kepalan tangan dewasa. Apabila jenazah sudah selesai dibaringkan, maka modin turun ke dalam liang dan membuka tali-tali pengikat kepala untuk menampakkan pipi dan telinga jenazah, dan melantunkan kalimat azan serta kalimat syahadat berkalikali ke dalam telinganya. Setelah itu modin tadi naik keatas lagi dan lubang ditutup dengan papan-papan, yang disusul dengan penutupan seluruh lubang kuburan dengan tanah.
46
Pada saat itu secara simbolik, para sanak saudara memasukkan beberapa gumpal tanah pula. Apabila lubang sudah tertutup, dan tanah di atasnya telah membentuk suatu bukit
kecil,
maka
papan-papan
nisan
yang
sudah
dipersiapkan sebelumnya, ditanam pada kedua ujungnya, yaitu ujung kepala dan ujung kaki.
Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menggali liang lahad dan menancapkan batu bata dan meninggikan kuburan sekadar satu jengkal. [HR Ibnu Hibban dan Al Baihaqi, dan dihasankan oleh Syaikh Al Albani]. Selanjutnya di atas bukit kecil itu ditaburkan bunga-bunga (yang dibawa tadi), hal ini berdasar hadits:
Artinya: “Dari Ibnu Umar ia Berkata, “Suatu ketika Nabi SAW. melewati sebuah kebun di Makkah atau di Madinah. Lalu Nabi mendengar suara dua orang yang sedang disiksa di kuburnya. Nabi bersabda kepada para sahabat, “Kedua orang (yang ada dikubur ini) sedang disiksa. Keduanya disiksa bukan karena telah melakukan dosa besar. Yang satu disiksa karena tidak memakai penutup ketika kencing. Sedang yang lainnya lagi disiksa karena sering mengadu domba. Rasul kemudian menyuruh sahabat untuk
47
mengambil pelepah kurma, kemudian membelahnya menjadi dua bagian dan meletakkannya pada masingmasing kuburan tersebut. Para sahabat lalu bertanya “Kenapa engkau melakukan hal ini ya Rasul?” Rasul menjawab “Semoga Allah SWT. mengampuni kedua orang tersebut selama dua pelepah kurma ini belum kering” (HR. Bukhari). Dan pada akhir upacara pemakaman terdapat satu ritual yaitu para pelayat melemparkan sejimpit tanah sebanyak tiga kali ke arah bukit kecil tersebut.
Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu menyalatkan jenazah, kemudian Beliau melemparkan tanah dari arah kepalanya tiga kali. [HR Ibnu Majah]. Hal itu dilakukan dengan maksud mengungkapkan bahwa manusia tercipta dari tanah, dan akan kembali lagi menjadi tanah. Setelah itu semua orang pulang kerumah masing-masing. (http://ulinareswari.blogspot.com/2011/01/upacarakematian-dalam-tradisi-jawa.html, diunggah 28/03/2013) 2. Beberapa ritual setelah jenazah dimakamkan a. Ngesur tanah b. Tigang dinten (tiga hari) c. Mitung dinten (tujuh hari) d. Matang puluh (empat puluh hari)
pada
48
e. Nyatus (seratus hari) f. Mendhak pisan (satu tahun) g. Mendhak pindho (dua tahun) h. Nyewu (seribu hari) i. Punggahan & pudhunan j. Nyadran Beberapa ritual yang sudah tersebut di atas memiliki cara atau rangkaian ritual yang kurang lebih sama. Yaitu dengan kenduri atau genduren. Keluarga menyerahkan catatan siapa saja yang diundang dalam acara kenduran kepada salah seorang (biasanya laki-laki) yang diutus mengundang para tetangga, saudara dan teman. Kenduren kebanyakan dilaksanakan setelah magrib (ba’da magrib) di rumah keluarga jenazah. Ritual ini dipimpin oleh seorang tokoh agama atau tokoh masyarakat. Di dalam kenduri para hadirin diminta bersama-sama membaca ayat Al-qur’an dan doa yang dikhususkan untuk orang yang meninggal tersebut. Setelah acara selesai, sebagai imbalan para hadirin diberikan bingkisan (berkat) yang berisi makanan untuk dibawa pulang kerumah masing-masing. D. Persepsi Masyarakat tentang Ritual Kematian Adat Jawa 1. Pengertian Persepsi
49
Persepsi merupakan
suatu
proses
yang
didahului
oleh
penginderaan, yaitu suatu stimulus yang diterima oleh individu melalui alat reseptor yaitu indera. Alat indera merupakan penghubung antara individu dengan dunia luarnya. Persepsi merupakan stimulus yang diindera oleh individu, diorganisasikan kemudian diinterpretasikan sehingga individu menyadari dan mengerti tentang apa yang diindera. Dengan kata lain persepsi adalah proses
yang menyangkut
masuknya pesan atau informasi kedalam otak manusia. Persepsi merupakan keadaan integrated dari individu terhadap stimulus yang diterimanya. Apa yang ada dalam diri individu, pikiran, perasaan, pengalaman-pengalaman individu akan ikut aktif berpengaruh dalam proses persepsi. Definisi persepsi adalah proses kognitif yang dipergunakan oleh individu untuk menafsirkan dan memahami dunia sekitarnya (terhadap obyek).
Persepsi
merupakan
proses
pemberian
arti
terhadap
lingkungan oleh individu. Oleh karena itu, setiap individu memberikan arti kepada stimulus secara berbeda meskipun objeknya sama. Cara individu melihat situasi seringkali lebih penting daripada situasi itu sendiri. Dari pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa pengertian persepsi merupakan suatu proses penginderaan, stimulus yang diterima oleh individu melalui alat indera yang kemudian diinterpretasikan sehingga individu dapat memahami dan mengerti tentang stimulus
50
yang diterimanya tersebut. Proses menginterpretasikan stimulus ini biasanya dipengaruhi pula oleh pengalaman dan proses belajar individu. (Gibson, 1989:96) 2. Sejarah Singkat dan Perbedaan Pendapat tentang Ritual Kematian Adat Jawa Perintis,
pelopor
dan
pembuka
pertama
penyiaran
serta
pengembangan Islam di pulau jawa adalah para ulama yang berjumlah sembilan, yang popular dengan sebuatan wali songo. Atas perjuangan
mereka, berhasil mendirikan sebuah kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa yang berpusat di Demak Jawa Tengah.
Para ulama yang sembilan dalam menyiarkan dan mengembangkan Islam di tanah Jawa yang mayoritas penduduknya beragama Hindu dan Budha mendapat kesulitan dalam membuang adat istiadat upacara keagamaan lama bagi mereka yang telah masuk Islam. Para ulama yang sembilan dalam menanggulangi masalah adat istiadat lama bagi mereka
yang telah masuk Islam terbagi menjadi dua aliran yaitu Aliran Giri dan Aliran Tuban. Aliran Giri adalah suatu aliran yang dipimpin oleh Raden Paku (Sunan Giri) dengan para pendukung Raden Rahmat (Sunan Ampel), Syarifuddin (Sunan Drajat) dan lain-lain. Aliran ini dalam masalah ibadah sama sekali tidak mengenal kompromi dengan ajaran Budha, Hindu, keyakinan animisme dan dinamisme. Orang yang dengan suka rela masuk Islam lewat aliran ini, harus mau membuang jauh-jauh segala adat istiadat lama yang
51
bertentangan dengan syari’at Islam. Karena murninya aliran dalam menyiarkan dan mengembangkan Islam, maka aliran ini disebut Islam Putih. Adapun Aliran Tuban adalah suatu aliran yang dipimpin oleh
R.M. Syahid (Sunan Kalijaga) yang didukung oleh Sunan Bonang, Sunan Muria, Sunan Kudus, dan Sunan Gunung Djati. Aliran ini sangat moderat, mereka membiarkan dahulu terhadap pengikutnya yang mengerjakan adat istiadat upacara keagamaan lama yang sudah mendarah daging sulit dibuang, yang penting mereka mau memeluk Islam. Agar mereka jangan terlalu jauh menyimpang dari syari’at Islam. Maka para wali aliran Tuban berusaha adat istiadat Budha, Hindu, animisme dan dinamisme diwarnai keislaman. Karena moderatnya aliran ini maka pengikutnya jauh lebih banyak dibandingkan dengan pengikut
aliran Giri yang “radikal”. aliran ini sangat disorot oleh aliran Giri karena dituduh mencampur adukan syari’at Islam dengan agama lain. Maka aliran ini dicap sebagai aliran Islam abangan.
Dengan ajarah agama Hindu yang terdapat dalam kitab Brahmana. Sebuah kitab yang isinya mengatur tata cara pelaksanaan kurban, sajiansajian untuk menyembah dewa-dewa dan upacara menghormati roh-roh untuk menghormati orang yang telah mati (nenek moyang) ada aturan yang disebut Yajna besar dan Yajna kecil.
Yajna besar dibagi menjadi dua bagian yaitu Hafiryayajn a dan Somayjna. Somayajna adalah upacara khusus untuk orang-orang tertentu.
52
Adapun Hafiryayajna untuk semua orang. Hafiryayajna terbagi menjadi
empat bagian yaitu : Aghnidheya, Pinda Pitre Yajna, Catur masya, dan Aghrain. Dari empat macam tersebut ada satu yang sangat berat dibuang sampai sekarang bagi orang yang sudah masuk Islam adalah upacara Pinda Pitre Yajna yaitu suatu upacara menghormati roh-roh orang yang sudah mati. Dalam upacara Pinda Pitre Yajna, ada suatu keyakinan bahwa manusia setelah mati, sebelum memasuki karma , yakni menjelma lahir kembali kedunia ada yang menjadi dewa, manusia, binatang dan bahkan menjelma menjadi batu, tumbuh-tumbuhan dan lain-lain sesuai dengan amal perbuatannya selama hidup, dari 1-7 hari roh tersebut masih
berada dilingkungan rumah keluarganya. Pada hari ke 40, 100, 1000 dari kematiannya, roh tersebut datang lagi ke rumah keluarganya. Maka dari itu, pada hari-hari tersebut harus diadakan upacara saji-sajian dan bacaan
mantera-mantera serta nyanyian suci untuk memohon kepada dewa-dewa agar rohnya si pulan menjalani karma menjadi manusia yang baik, jangan menjadi yang lainnya. Pelaksanaan upacara tersebut diawali dengana ghnideya, yaitu menyalakan api suci (membakar kemenyan) untuk kontak dengan para
dewa dan roh si pulan yang dituju. Selanjutnya diteruskan dengan menghidangkan saji-sajian berupa makanan, minuman dan lain-lain untuk dipersembahkan ke para dewa, kemudian dilanjutkan dengan bacaan
53
mantra-mantra dan nyanyian-nyanyian suci oleh para pendeta agar
permohonannya dikabulkan. Pada masa para wali dibawah pimpinan Sunan Ampel, pernah diadakan musyawarah antara para wali untuk memecahkan adat istiadat lama bagi orang yang telah masuk Islam. Dalam musyawarah tersebut
Sunan Kali Jaga selaku Ketua aliran Tuban mengusulkan kepada majlis musyawarah agar adat istiadat lama yang sulit dibuang, termasuk didalamnya upacara Pinda Pitre Yajna dimasuki unsur keislaman. Usulan tersebut menjadi masalah yang serius pada waktu itu sebab para ulama (wali) tahu benar bahwa upacara kematian adat lama dan lainlainnya sangat menyimpang dengan ajaran Islam yang sebenarnya.
Mendengar usulan Sunan Kali Jaga yang penuh diplomatis itu, Sunan Ampel selaku penghulu para wali pada waktu itu dan sekaligus menjadi ketua sidang/musyawarah mengajukan pertanyaan sebagai berikut :
“Apakah tidak dikhawatirkan dikemudian hari?, bahwa adat istiadat lama itu nanti akan dianggap sebagai ajaran Islam, sehingga kalau demikian nanti apakah hal ini tidak akan menjadikan bid’ah”.
Pertanyaan Sunan Ampel tersebut kemudian dijawab oleh Sunan Kudus sebagai berikut : “Saya sangat dengan pendapat Sunan Kali
Jaga”. Sekalipun Sunan Ampel, Sunan Giri, dan Sunan Drajat sangat tidak menyetujui, akan tetapi mayoritas anggota musyawarah menyetujui usulan Sunan Kali Jaga, maka hal tersebut berjalan sesuai
54
dengan keinginannya. Mulai saat itulah secara resmi berdasarkan hasil musyawarah, upacara dalam agama Hindu yang bernama Pinda Pitre Yajna dilestarikan oleh orang-orang Islam aliran Tuban yang kemudian dikenal dengan nama nelu dino, mitung dina, matang puluh, nyatus, dan nyewu. Dari akibat lunaknya aliran Tuban, maka bukan saja upacara seperti itu yang berkembang subur, akan tetapi keyakinan animisme dan dinamisme serta upacara-upacara adat lain ikut berkembang subur. Pada masa kerajaan Islam di Jawa, dibawah pimpinan raja Amangkurat I, para ulama yang berusaha mempengaruhi keraton dan masyarakat, mereka ditangkapi dan dibunuh/dibrondong di lapangan Surakarta sebanyak 7.000 orang ulama. Melihat tindakan yang sewenangwenang terhadap ulama aliran Giri itu, maka Trunojoyo Santri Giri
berusaha menyusun kekuatan untuk menyerang Amangkurat I yang keparat itu. Pada masa kerajaan dipegang oleh Amangkurat II sebagai pengganti ayahnya, ia membela, dendam terhadap Truno Joyo yang menyerang pemerintahan ayahnya. Ia bekerja sama dengan VOC menyerang Giri Kedaton dan semua upala serta santri aliran Giri dibunuh habis-habisan, bahkan semua keturunan Sunan Giri dihabisi pula. Dengan demikian lenyaplah sudah ulama-ulama penegak Islam yang konsekwen. Ulama-ulama yang boleh hidup dimasa itu adalah ulama-ulama yang lunak (moderat) yang mau menyesuaikan diri
55
dengan keadaan masyarakat yang ada. maka bertambah suburlah adatistiadat lama yang melekat pada orang-orang Islam, terutama upacara adat Pinde Pitre Yajna dalam upacara kematian. Sekalipun Sunan Ampel, Sunan Giri, dan Sunan Drajat sangat tidak menyetujui, akan tetapi mayoritas anggota musyawarah menyetujui usulan Sunan Kali Jaga, maka hal tersebut berjalan sesuai dengan keinginannya. Mulai saat itulah secara resmi berdasarkan hasil musyawarah, upacara dalam agama Hindu yang bernama Pinda Pitre Yajna dilestarikan oleh orang-orang Islam aliran Tuban yang kemudian dikenal dengan nama nelung dino, mitung dina, matang puluh, nyatus, dan nyewu. Keadaan yang demikian terus berjalan berabad-abad tanpa ada seorang ulamapun yang muncul untuk mengikis habis adat-istiadat lama yang melekat pada Islam terutama Pinda Pitre Yajna. Baru pada tahun 1912 M, muncul seorang ulama di Yogyakarta bernama K.H. Ahmad
Dahlan
yang
berusaha
sekuat
kemampuannya
untuk
mengembalikan Islam dari sumbernya yaitu Al Qur’an dan As Sunnah, karena beliau telah memandang bahwa Islam dalam masyarakat Indonesia telah banyak dicampuri berbagai ajaran yang tidak berasal dari Al Qur’an dan Al Hadits, dimana-mana merajalela perbuatan khurafat dan bid’ah sehingga umat Islam hidup dalam keadaan konservatif dan tradisional. Munculnya K.H. Ahmad Dahlan bukan saja berusaha mengikis habis segala adat istiadat Budha, Hindu, animisme, dinamisme yang melekat
56
pada Islam, akan tetapi juga menyebarkan fikiran-fikiran pembaharuan
dalam Islam, agar umat Islam menjadi umat yang maju seperti umatumat lain. Akan tetapi aneh, kemunculan beliau tersebut disambut negatif oleh sebagian ulama itu sendiri, yang ternyata ulama-ulama tersebut adalah ulama-ulama yang tidak setuju untuk membuang beberapa adat istiadat Budha dan Hindu yang telah diwarnai keislaman yang telah dilestarikan oleh ulama-ulama aliran Tuban dahulu, yang antara lain upacara Pinda Pitre Yajna yang diisi nafas Islam, yang terkenal dengan nama upacara nelung dina, mitung dina, matang dina, nyatus, dan nyewu. Pada tahun 1926 para ulama
Indonesia bangkit
dengan
didirikannya organisasi yang diberi nama “Nahdhotul Ulama” yang disingkat NU. Pada muktamarnya di Makasar NU mengeluarkan suatu
keputusan yang antara lain : “Setiap acara yang bersifat keagamaan harus diawali dengan bacaan tahlil yang sistimatikanya seperti yang kita kenal sekarang di masyarakat”. Keputusan ini nampaknya benar-benar
dilaksanakan oleh orang NU. Sehingga semua acara yang bersifat keagamaan diawali dengan bacaan tahlil, termasuk acara kematian. Mulai saat itulah secara lambat laun upacara Pinda Pitre Yajna yang diwarnai keislaman
berubah
nama
menjadi
tahlilan
sampai
sekarang.
(blog.unicom.ac,id) 3. Persepsi Masyarakat Moderen tentang Ritual Kematian Adat Jawa
57
Seperti telah menjadi kesadaran kebanyakan orang Muslim, antara agama dan budaya tidak dapat dipisahkan. Tetapi juga sebagaimana diinsafi oleh banyak ahli, agama dan budaya itu, meskipun tidak dapat dipisahkan namun dapat dibedakan, dan tidaklah dibenarkan mencampur aduk antara keduanya. Agama bernilai mutlak, tidak berubah menurut perubahan waktu dan tempat. Tetapi budaya, sekalipun yang berdasarkan agama, namun tidak terjadi sebaliknya, yaitu agama berdasarkan budaya. Sekurangnya begitulah menurut keyakinan berdasarkan kebenaran wahyu Tuhan kepada para Nabi dan para Rasul. Oleh karena itu agama adalah primer, dan budaya adalah sekunder. Budaya dapat merupakan ekspresi hidup keagamaan. Maka sementara agama adalah absolut, berlaku untuk setiap ruang dan waktu, budaya adalah relatif, terbatasi oleh ruang dan waktu. (Abdullah, 1993:171) Suatu kasus sederhana di Jawa tentang ritual adat kematian. Sebelum Islam menjadi agama mayoritas di Indonesia, Hindu dan Budha adalah agama yang terlebih dahulu masuk dan sudah melekat dalam jiwa masyarakat Indonesia. Kedatangan wali songo untuk mengajarkan agama Islam sangatlah sulit dan terhalang oleh kepercayaan & budaya yang sudah ada. Akhirnya para wali pun mencoba mengubah budaya yang sudah ada untuk dialihmaknakan kedalam ajaran Islam. Jadi masyarakat tidak perlu meninggalkan budaya yang ada namun tetap menjalankan ajaran Islam. Cara ini
58
ternyata mampu diterapkan kepada masyarakat Indonesia terutama di Jawa. Salah satu adat yang ikut dialihmaknakan adalah upacara adat kematian. Upacara ini pada awalnya adalah upacara “Pinda Pitre Yajna”, ada suatu keyakinan bahwa manusia setelah mati, sebelum memasuki karma, yakni menjelma lahir kembali kedunia ada yang menjadi dewa, manusia, binatang dan bahkan menjelma menjadi batu, tumbuh-tumbuhan dan lain-lain sesuai dengan amal perbuatannya selama hidup, pada hari 1-7 roh tersebut masih berada dilingkungan rumah
keluarganya.
Pada
hari
ke
40,
100,
1000
dari
kematiannya, roh tersebut datang lagi ke rumah keluarganya. Maka dari itu, pada hari-hari tersebut harus diadakan upacara saji-sajian dan bacaan mantera-mantera serta nyanyian suci untuk memohon kepada dewa-dewa agar sang arwah yang menjalani karma menjadi manusia yang baik, jangan menjadi yang lainnya Wali songo merubah bacaan-bacaan mantera di upacara ini dengan bacaan ayat Al-qur’an dan doa kepada Allah yang terrangkai dalam tahlil. Bukan lagi untuk memuja dan memberi saji-sajian kepada roh, namun untuk memohon kepada Tuhan agar arwah yang meninggal diberikan jalan terbaik di akhirat. Al-Muhafadah ‘ala al-Qadim as-Shalih wa al-Akhz bi al-Jadid alAslah (mempertahankan yang lama yang baik, dan mengambil yang baru yang lebih baik), hal inilah yang menggambarkan pemikiran
59
masyarakat moderen saat ini. Sehingga mengenai ritual adat kematian, masyarakat mulai memadukan antara sejarah, manfaat, dan logika yang mereka ketahui. Sangatlah wajar jika sekarang terjadi perbedaan pendapat antara satu kelompok dengan kelompok yang lain, mereka yang pro dan mereka yang kontra. Masing-masing pendapat mereka memiliki dasar dan alasan yang benar. E. Nilai Pendidikan dalam Ritual Adat Kematian di Jawa Kontinuitas
budaya
akan
memungkinkan
jika
pendidikan
memelihara warisan ini dengan meneruskan kebenaran-kebenaran yang telah dihasilkan pada masa lampau ke generasi baru, mengembangkan suatu latar belakang dan loyalitas kultural (Widodo, 2007: 21). Penegasan akan pentingnya penanaman warisan budaya dibentuk oleh kesadaran dan peran pengalaman baru dan perubahan tertentu. Setiap kebudayaan dalam masyarakat yang terus berkembang memiliki nilai-nilai yang luhur, mengingat secara turun temurun diwariskan dan dilestarikan oleh masyarakat. Meskipun mengalami berbagai modifikasi atau perubahan yang disesuaikan dengan nilai-nilai agama, sosial dan perubahan budaya, namun kesemuanya masih mendasarkan pada nilai-nilai luhur yang ada. Demikian halnya dengan ritual kematian, sebagai warisan kebudayaan masyarakat yang sampai sekarang masih berlaku dalam masyarakat tentu mendasarkan pada nilai luhur yang ada di dalamnya.
60
Nilai-nilai pendidikan yang terdapat dalam ritual kematian diantaranya adalah: 1. Nilai Pendidikan Sosial a. Gotong royong Bergotong royong adalah satu kegiatan sosial yang sangat mulia tanpa pamrih untuk mencapai suatu tujuan bersama. Gotong royong ini menjadi kebudayaan bangsa Indoneisa. Gotong royong merupakan suatu istilah asli Indonesia yang berarti bekerja bersamasama untuk mencapai suatu hasil yang didambakan. Dalam ritual kematian secara otomatis masyarakat bergotong royong mengerjakan segala keperluan yang dibutuhkan, mereka saling mengisi dan melengkapi sesuai kemampuan dibidang masing-masing. Misalnya seseorang yang memiliki ilmu dibidang listrik segera memasang lampu,
seseorang
yang
mempunyai
kemampuan
dibidang
pertukangan segera membuat nisan dan gladak (papan penutup liang), dan lain sebagainya. b. Tolong menolong Dalam hal tolong-menolong pada peristiwa kematian, biasanya dilakukan oleh seseorang dengan sangat rela, tanpa perhitungan akan mendapat pertolongan kembali, karena menolong orang yang mendapat musibah itu rupa-rupanya berdasarkan rasa bela sungkawa yang universal dalam jiwa makhluk manusia. Dan
61
dasar dari tolong-menolong juga rupa-rupanya perasaan saling butuh membutuhkan, yang ada dalam jiwa warga masyarakat. Nilai
tolong-menolong
dalam
ritual
kematian
pada
masyarakat terlihat dalam pelaksanaan atau penyelenggaraannya. Misalnya dalam hidangan, selama tujuh hari berturut-turut para ibuibu (para tetangga dan kerabat dekat di almarhum) membantu dalam persiapan hidangan (makan, minuman) undangan, karena dalam selamatan kematian tidak sedikit yang hadir kadang-kadang 100-150 orang (sesuai dengan relasi seseorang dalam bermasyarakat). Bahkan pada saat pelaksanaan kematian selesai, mereka bersama-sama membersihkan tempat-tempat yang telah digunakan. Dalam
tolong
menolong
terdapat
hubungan
saling
ketergantungan sebagai akibat dari adanya proses pertukaran yang saling memberikan balasan atas jasa yang diberikan orang lain kepada dirinya. Tolong-menolong dalam selamatan kematian terjadi secara spontan dan rela, tetapi juga ada yang didasarkan oleh perasaan saling membutuhkan yang ada dalam jiwa masyarakat tersebut. Kegiatan tolong menolong ini diartikan sebagai suatu kegiatan kerja yang melibatkan tenaga kerja dengan tujuan membantu si punya hajat dan mereka tidak menerima imbalan berupa upah (tolong-menolong pada situasi kematian musibah cenderung rela). c. Solidaritas
62
Pengertian solidaritas dalam ilmu sosial Yaitu menunjuk pada satu keadaan hubungan antara individu dan atau kelompok yang berdasarkan pada perasaan moral dan kepercayaan yang dianut bersama yang diperkuat oleh pengalaman emosional bersama. Ikatan solidaritas sosial lebih mendasar daripada hubungan kontraktual yang dibuat atas persetujuan rasional, Suatu ciri khas masyarakat dalam menghadapi keluarga yang berduka cita adalah bertakziyah. Mereka mendatangi keluarga jenazah untuk menunjukkan rasa turut berduka cita dengan membawa bawaan untuk diberikan kepada keluarga si mayat, dengan harapan dapat membantu meringankan penderitaan mereka selama waktu berduka cita. Bentuk bawaan menurut kebiasaan dapat berupa beras, gula, uang dan lain sebagainya. Tradisi nyumbang merupakan wujud solidaritas seorang anggota masyarakat terhadap saudara, anggota, rekan kerja atau anggota masyarakat lainnya yang sedang memiliki hajatan. Menurut Malinowsky dalam kutipan Koentjaraningrat sistem menyumbang untuk menimbulkan kewajiban membalas merupakan suatu prinsip dari kehidupan masyarakat kecil yang disebut “principle of reciprocity” (prinsip timbal balik). Maksudnya, orang memberi sumbangan dan membantu sesamanya tidak selalu dengan rela atau spontan karena terpaksa oleh suatu jasa yang pernah diberikan kepadanya dan ia menyumbang untuk mendapat
63
pertolongan lagi di kemudian hari, malahan dalam berbagai hal orang desa sering memperhitungkan dengan tajam tiap jasa yang pernah disumbangkan kepada sesamanya itu dengan harapan bahwa jasa-jasanya akan dikembalikan dengan tepat pula. Tetapi dalam tradisi selamatan kematian prinsip ini tidak ditemukan karena mereka menyumbang penuh dengan kerelaan dan keikhlasan. Dalam konteks sosiologi, ritual selamatan kematian sebagai alat
memperkuat
solidaritas
sosial,
maksudnya
alat
untuk
memperkuat keseimbangan masyarakat yakni menciptakan situasi rukun, toleransi di kalangan partisipan, serta juga tolong-menolong bergantian untuk memberikan berkah (do’a) yang akan ditujukan pada keluarga yang sudah meninggal. 2. Nilai Pendidikan Agama a. Ta’ziyah Ta’ziyah artinya menyabarkan dan menghibur orang yang ditimpa musibah. Yang dimaksud ta’ziyah disini adalah pernyataan berduka cita, berbela sungkawa yang disampaikan kepada keluarga yang ditinggalkan salah seorang keluarganya untuk selama-lamanya. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk menguatkan mental keluarga jenazah. b. Tasliah Tasliah artinya menghibur. Dalam hal ini dapat diambil makna bahwa kedatangan tetangga dan saudara ke rumah duka
64
bertujuan untuk menghibur keluarga jenazah agar beban kesedihan atas meninggalnya anggota keluarganya dapat berkurang. c. Doa anak sholeh Salah satu amal yang tidak terputus meskipun orang itu telah meninggal adalah anak sholeh yang mendoakan. Kehadiran saudara dan tetangga juga bertujuan membantu mendoakan orang yang meninggal tersebut. d. Mengingatkan alam akhirat Orang yang menghadiri ritual kematian akan teringat bahwa suatu saat dia juga akan mati. Ini adalah hal positif yang akan memberi
pendidikan
untuk
semakin
memperbaiki
mempersiapkan kematian dan kehidupan di akhirat.
diri
65
BAB III PAPARAN DATA DAN TEMUAN PENELITIAN
A. Gambaran Lokasi Penelitian Berdasarkan Data Monografi Bagaimana kondisi dan keadaan lokasi objek penelitian sehingga terwujud akan adanya kesesuaian realitas sosial dengan data yang menggambarkan tentang kondisi yang terjadi dilapangan, maka perlu untuk dideskripsikan profil objek penelitian berdasarkan data monografi desa Kebondowo kecamatan Banyubiru kabupaten Semarang tahun 2013 sebagai berikut: 1. Luas Wilayah dan Kondisi Geografis Luas wilayah keseluruhan desa Kebondowa adalah 691.602 Ha. Terdiri dari sawah atau tanah persawahan, tegalan dan tanah pekarangan. Desa Kebondowo dibagi menjadi 7 dusun yaitu dusun Jrakah, Pundan, Kebondowo, Kebonbawang, Kebonsari, Jambon, dan dusun Kauman. 1500 M diatas permukaan laut dan dikelilingi perbukitan membuat tanah di desa Kebondowo sangat subur, apalagi desa Kebondowo terletak di pinggir selatan danau Rawa Pening bertepatan di lereng gunung Telomoyo yang membuat udara sejuk dan pemandangan yang indah.
66
2. Penduduk Jumlah keseluruhan penduduk desa Kebondowo bulan Juni 2013 adalah 1.597 kepala keluarga dengan komposisi menurut kelompok umur sebagai berikut: a. Menurut jenis kelamin 1. Laki-laki
: 5.122 orang
2. Perempuan
: 5.310 orang
Jumlah
: 10.432 orang
b. Menurut kelompok umur 1. Kelompok pendidikan a. 04 – 06 tahun
: 842 orang
b. 07 – 12 tahun
: 1.782 orang
c. 13 – 15 tahun
: 1.751 orang
2. Kelompok tenaga kerja a. 20 – 26 tahun
: 1.765 orang
b. 27 – 40 tahun
: 1.915 orang
c. 50 – 60 tahun
: 1.123 orang
c. Jenis pekerjaan Tabel 3.1 Jenis Pekerjaan NO Jenis Pekerjaan
Jumlah
1
Karyawan
1.213
2
Wiraswasta
490
67
3
Petani
1.402
4
Pertukangan
342
5
Buruh tani
1.035
6
Pensiunan
801
7
Nelayan
477
8
Pemulung
9
9
Kerajinan enceng gondok
998
10
Lain-lain
725
d. Sarana Pendidikan umum Tabel 3.2 Sarana Pendidikan NO Jenis pendidikan Gedung
Guru
murid
1
PAUD
2
8
114
2
TK
3
20
419
3
SD
3
30
821
4
SLTP
-
-
-
5
SLTA
1
24
409
e. Sarana ibadah 1. Masjid
: 13 buah
2. Mushola
: 12 buah
3. Gereja
: 4 buah
68
f. Jumlah penduduk berdasarkan agama Tabel 3.3 Jumlah Penduduk Berdasarkan Agama No
Agama
Pemeluk
1
Islam
9.288
2
Protestan
498
3
Katolik
637
4
Hindu
6
5
Budha
3
B. Kondisi Lokasi Penelitian 1. Kondisi Sosial Kemasyarakatan Desa Kebondowo Dalam
sisitem
budaya
Jawa,
terdapat
tuntutan
untuk
meminimalisasi kepentingan-kepentingan yang bersifat individu, hal ini sesuai dengan sistem budaya Jawa yang didasarkan pada semangat komunal atau kebersamaan. Harga seseorang sangat ditentukan oleh keberadaan dan sumbangannya pada kepentingan-kepentingan sosial, atau keterlibatannya dalam menciptakan harmoni sosial. Begitu juga dalam masyarakat Kebondowo sebagai masyarakat Jawa, sangat memperhatikan kepentingan bersama daripada kepentingan individu dengan mewujudkan hidup yang rukun, saling tolong-menolong dan saling menghormati sehingga tercipta suasana yang sejahtera dan hidup harmoni. Orientasi pada kondisi rukun tersebut sebagai bagian
69
penting dalam sendi budaya Jawa, oleh sebab itu masyarakat Kebondowo menganggap seseorang yang tidak rukun dengan lingkungan sosialnya disebut sebagai wong ora lumrah (orang tidak normal). Selain pentingnya sikap hormat, masyarakat Kebondowo juga sangat memperhatikan konsep tulung-tinulung (saling menolong) sehingga dikenal adanya ungkapan
utang budi atau berhutang
kebaikan. Penilaian utang budi tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan hutang materi. Oleh sebab itu, utang budi menjadi dorongan bagi orang Jawa sedapat mungkin membalas kebaikan seseorang yang telah berbuat baik kepadanya. Disamping itu kondisi sosial masyarakat Kebondowo sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai ajaran agama Islam yang disampaikan oleh tokoh agama setempat. Hal ini terbukti dengan adanya implementasi nilai-nilai ajaran Islam dalam menjalani kehidupan mereka. Seperti diadakannya yasinan bapak-bapak pada malam jum’at, yasinan ibu-ibu pada jum’at siang, yasinan anak-anak dan remaja pada malam minggu, dan yasinan bersama di masjid setiap malam jum’at kliwon. Kegiatan-kegiatan
tersebut
merupakan
wujud
dari
rasa
kebersamaan dalam sosial kemasyarakatan, sehingga dalam kehidupan mereka yang memang hakikatnya sebagai orang Jawa dengan sikap yang terbuka juga malaksanakan nilai-nilai religius keagamaan dengan tujuan terciptanya suasana sosial yang harmonis.
70
2. Kondisi Sosial Pendidikan Masyarakat Kebondowo Pendidikan merupakan kegiatan yang bersifat dinamis dalam pengembangan kehidupan masyarakat atau suatu bangsa, disamping itu pendidikan juga bisa mempengaruhi setiap pola pikir individu untuk mengembangkan kemampuan mental, fisik, emosi, sosial dan etikanya. Dengan kata lain pendidikan sebagai kegiatan dinamis yang bisa mempengaruhi seluruh aspek kepribadian dan kehidupan individu seseorang. Pendidikan
mengandung
tujuan
untuk
mengembangkan
kemampuan sehingga bermanfaat untuk kepentingan hidupnya sebagai warga masyarakat atau warga negara. Kegiatan pendidikan merupakan bagian integral dari kebudayaan, kemasyarakatan dan peradaban manusia diseluruh dunia. Kebutuhan akan pendidikan diera teknologi dan informasi merupakan suatu keharusan yang selalu ingin dipenuhi oleh setiap masyarakat. Dalam hal pendidikan inipun masyarakat Kebondowo juga merespon secara aktif, hal ini dibuktikan dengan kesadaran mereka untuk tidak tertinggal dalam memenuhi akan kebutuhan pendidikan. Mereka sadar bahwa pendidikan merupakan bekal berharga dalam mengarungi kehidupan untuk selalu lebih baik. Dari data yang didapatkan berdasarkan buku dasar profil desa Kebondowo tahun 2012, peneliti dapat menyimpulkan bahwa masyarakat Kebondowo secara kuantitas tergolong masyarakat yang
71
masih dalam tahap perkembangan terhadap pendidikan, jadi tidak bisa dikatakan maju atau mundur akan tetapi dalam posisi yang sedang dalam proses pendidikan 3. Kondisi Sosial Keagamaan Desa Kebondowo Sebagaimana desa-desa yang ada di pulau Jawa pada umumnya, desa Kebondowo adalah desa yang penduduknya mayoritas menganut agama Islam. Dari data yang diperoleh bahwa masyarakat yang memeluk agam Islam sebanyak 6.791 orang, masyarakat yang memeluk agama Kristen 198 orang, masyarakat yang memeluk agama Katolik 337 orang, masyarakat yang memeluk agama Hindu 6 orang, dan yang memeluk agama Budha 3 orang. Sebagai masyarakat yang mayoritas beragama Islam maka wajar apabila kegiatan kemasyarakatan diwarnai dengan kegiatan-kegiatan keagamaan seperti yasinan, tahlilan, berjanji, pengajian, sholawatan, dan lain-lain. Mereka melaksanakan kegiatan-kegiatan tersebut tidak selalu di masjid atau mushola, namun lebih sering bergantian di rumah-rumah penduduk, hal ini juga sangat mendukung eratnya hubungan sosial antar penduduk. 4. Kondisi Budaya Masyarakat Desa Kebondowo Dengan memegang teguh rasa persaudaraan di desa Kebondowo para warga masih melaksanakan beberapa adat istiadat Jawa yang telah turun temurun. Mereka meyakini hal itu akan dapat mendekatkan setiap komponen masyarakat tanpa membedakan status sosialnya dan
72
juga sebagai simbolik agar kita selalu dapat mendekatkan diri pada tuhan semesta alam. Salah satu adat jawa yang masih lestari di desa Kebondowo adalah upacara kematian beserta beberapa prosesi setelah kematian. Orang jawa beranggapan bahwa budaya dan adat yang ditinggalkan oleh nenek moyang bukan tanpa alasan dan dasar, semua yang ada dalam budaya pasti memiliki arti dan sejarah tertentu, itulah sebabnya mereka sangat menjaga bahkan tidak mau meninggalkan budayabudaya tersebut. Sayangnya semakin waktu berlalu arti-arti yang dihinggapkan disetiap jengkal budaya dan adat istiadat semakin pudar dan hilang dari masyarakat. Seakan-akan masyarat melakukan aktifitas budaya, melestarikan, bahkan menjaganya namun tidak mengetahui arti dan maksud apa yang sebenarnya ada dalam budaya tersebut. Hanya orangorang tertentu saja yang mengetahui arti dan maksud dari budayabudaya itu, mereka adalah kalangan seniman dan budayawan yang umumnya sudah sangat tua dan jumlahnya semakin sedikit. Melihat kondisi ini masyarakat seakan memang tidak mau mencari tahu bahkan masa bodoh dengan maksud budaya yang ada, lebih parahnya lagi khususnya di desa Kebondowo justru banyak kesalahan pengartian kebudayaan-kebudayaan yang ada.
73
C. Proses Pelaksanaan Ritual Adat Kematian di Desa Kebondowo 1. Latar Belakang Ritual Adat Kematian di Desa Kebondowo Salah satu kebudayaan daerah yang cukup berpengaruh di Indonesia adalah kebudayaan jawa. Kebudayaan asli jawa telah ada sejak zaman prasejarah. Dengan datangnya bangsa Hindu dengan kebudayaannya di jawa berkembanglah kebudayaan Hindu-Jawa, demikian pun dengan masuknya Islam. Dalam dakwahnya para wali memiliki kebijakan khusus yaitu tidak memaksakan Islam kepada masyarakat, melainkan memilih jalan perpaduan antara Hindu-Jawa dengan Islam. Maka dalam kebudayaan jawa terkandung unsur-unsur asli jawa, Hindu dan Islam. Hampir pandangan hidup orang jawa sama disetiap daerah wilayah Jawa Tengah, yaitu menekankan ketenteraman batin, keselarasan dan keseimbangan, sikap menerima terhadap segala peristiwa yang terjadi sambil menempatkan individu di bawah masyarakat dan masyarakat di bawah semesta alam. Pandangan tersebut memiliki gagasan mengenai sifat dasar manusia dan masyarakat yang pada gilirannya menerangkan etika, tradisi, dan gaya Jawa. Singkatnya hal itu memberikan suatu pemikiran secara umum sebagai
suatu
badan
pengetahuan
yang
menyeluruh,
yang
dipergunakan untuk menafsirkan kehidupan sebagaimana adanya dan rupanya. Jadi ritual adat kematian bukanlah suatu kategori keagamaan, tetapi menunjukkan kepada suatu etika dan gaya hidup. Orang jawa
74
juga menganggap bahwa pokok kehidupan dan status dirinya sudah ditetapkan, nasibnya sudah ditentukan sebelumnya, jadi mereka harus menanggung kesulitan hidupnya dengan sabar. Anggapan-anggapan mereka itu berhubungan erat dengan kepercayaan mereka pada bimbingan dari Tuhan sehingga menimbulkan perasaan keagamaan dan rasa aman. Ritual adat kematian dapat dilaksanakan dengan baik oleh masyarakat yang mengerti tenteng rahasia kebudayaan Jawa. Kesadaran akan budaya ini seringkali mereka tetapkan sebagai sumber kebanggaan
dan
identitas
kultural.
Orang-orang
inilah
yang
memelihara kebudayaan jawa secara mendalam sebagai tradisi yang dibawa oleh nenek moyang mereka. Tetapi pemahaman orang jawa terhadap ritual adat kematian juga ditentukan oleh kepercayaan mereka sendiri. Karna ada yang mempercayai dan ada juga yang tidak percaya dengan hal-hal seperti sesaji dan sebagainya. 2. Bentuk-bentuk Ritual Adat Kematian di Desa Kebondowo Setelah melakukan penelitian langsung di desa Kebondowo kecamatan Banyubiru kabupaten Semarang, penulis menemukan bentuk-bentuk ritual kematian sebagai berikut: Ketika seseorang meninggal dunia, pihak keluarga akan mengadakan ritual kematian yang diwujudkan dengan serangkaian cara khusus merawat jenazah dan upacara pemberangkatan jenazah menuju makam, kemudian beberapa hal yang dilakukan ketika
75
memakamkan jenazah, dilanjutkan dengan tahlilan yang dilakukan pada hari-hari tertentu, serta ritual yang dilakukan di makam oleh keluarga secara turun-temurun. Berikut ini peneliti memberikan penjelasan tentang hasil pengamatan di lapangan secara lebih lengkap: 1. Ritual sesaat setelah seseorang meninggal sampai di kuburkan Di desa Kebondowo jika ada salah satu warga yang meninggal dunia, maka orang yang mengetahui dan mampu melakukan langsung mengkondisikan jenazah yaitu memejamkan mata jenazah jika belum terpejam, menutup mulut jenazah jika masih terbuka, dan menutup seluruh tubuh jenazah menggunakan kain. Salah seorang memukul kentongan satu rambahan kemudian diumumkan berita kematian itu kepada para warga menggunakan pengeras suara masjid, tujuannya agar para warga membantu keluarga yang di tinggalkan dalam berbagai hal. Sebagai tanda jika ada warga yang meninggal dipasangkan bendera lelayu di gapura gang masuk rumah duka. Beberapa orang bergegas ke area pemakaman untuk menyiapkan tempat mengubur jenazah. Beberapa orang langsung mengambil perlengkapan merawat jenazah yang disimpan di gudang lingkungan. Perlengkapan tersebut diantaranya genthong (tempat air besar), ember, gayung, kendi, selang air, meja, kelambu
76
(tabir), kotak amal dan bendera lelayu. Ada pula perlengkapan yang disimpan di rumah ketua jama’ah pengajian berupa kain kafan, kapas, minyak wangi, bedak, sabun dan kapur barus. Setelah semua perlengkapan siap, salah satu keluarga jenazah akan menghubungi modin. Sambil menunggu kedatangan modin, ibu-ibu berembuk tentang apa yang akan dibeli di pasar untuk menyuguhi pelayat dan orang-orang yang hadir dalam acara tahlilan selama tiga hari, lebih utama lagi membahas bahan masakan untuk slametan ngesur tanah. Ada juga orang yang menghidupkan kaset pembaca Al-Qur’an di teras rumah duka. Setelah modin datang, semua perhatian akan tertuju ke jenazah. Peran modin lebih besarnya adalah sebagai pemberi pengarahan. Tiga orang mengangkat jenazah dan dibawa ke tempat memandikan yang sudah disiapkan biasanya di luar rumah entah itu di depan, di belakang, atau di samping rumah. Tempat memandikan ini di kelilingi kain kelambu sebagai tabir penutup, disitu terdapat tiga kursi yang berjejeran, disampingnya diletakkan gentong yang sudah diisi air penuh. Tiga orang tadi duduk dikursi tersebut dan posisi jenazah ada di pangkuan mereka. Kepala jenazah selalu diposisikan di sebelah utara. Pakaian yang masih dikenakan jenazah saat itu langsung dilucuti, jika sulit dilepas maka akan digunting dan untuk menutupi aurat jenazah biasanya digunakan sarung atau kain. Kemudian
77
sebelum jenazah disiram terlebih dahulu dibersihkan dulu kotorankotoran yang keluar dari dalam tubuhnya. Biasanya jika jenazah sempat sakit sebelum meninggal maka kotoran yang keluar adalah tinja, namun jika jenazah meninggal mendadak seperti kecelakaan atau bunuh diri maka yang keluar adalah sperma. Setelah kotoran dibersihkan baru dimulai proses memandikan jenazah. Menyiram jenazah dimulai dari bagian kepala kemudian bagian tubuh sebelah kanan lalu bagian tubuh sebelah kiri. Perlahan-lahan seluruh tubuh jenazah disabun kemudian dibilas lagi dengan air dan terahir jenazah diwudhukan. Yang berhak memandikan jenazah hanyalah keluarganya dan sesama laki-laki jika jenazah itu laki-laki, atau sesama perempuan jika itu jenazah perempuan. Selama proses memandikan jenazah berlangsung, beberapa orang memotong-motong kain kafan dan disiapkan di atas meja yang sudah disediakan dan setelah proses memandikan selesai. Jenazah di letakkan di meja tersebut. Proses mengafani jenazah diiringi dengan sholawat (maulaya sholli wasallim daiman abadan ‘ala habibika khoiril kholqi kulli himmi). Sholawat ini dilantunkan dengan tujuan untuk mengurangi rasa takut orang-orang yang sedang merawat jenazah. Begitu terus diulang hingga proses mengafani seslesai termasuk menutup lubang-lubang dengan kapas, bemberi bedak, dan memberi minyak wangi pada jenazah.
78
Apabila kalian memberi wewangian kepada mayit, maka berikanlah tiga kali.[HR Ahmad] Setelah selesai mengafani, bapak modin menyuruh orangorang yang akan ikut menyolatkan jenazah agar segera mengambil air wudhu. Sholat jenazah di desa Kebondowo dapat dilakukan di rumah duka atau di masjid, hal itu tergantung permintaan keluarga jenazah dan dipertimbangkan jarak rumah duka dengan masjid. Sholat jenazah dipimpin langsung oleh bapak modin. selama proses merawat jenazah berlangsung, sebagian ibu-ibu merangkai bunga untuk menghias keranda dan sebaian lagi diletakkan diatas makam. Selesai disholatkan jenazah dimasukkan ke dalam keranda lalu diupacarakan di depan rumah sudah dalam keadaan dipikul. Diawali dengan perwakilan keluarga yang berbicara di depan para pelayat untuk memintakan maaf atas kesalahan jenazah dimasa hidupnya juga mengucapkan terimakasih atas semua yang sudah dilakukan masyarakat untuk membantu keluarganya, dan berpesan kepada masyarakat agar segera menghubungi keluarga jika si jenazah masih mempunyai tanggungan seperti pinjam-meminjam, utang-piutang, dan sebagainya. Kemudian perwakilan tokoh masyarakat mewakili warganya menyatakan sudah memaafkan dan mengatakan bahwa jenazah adalah orang yang baik selama hidupnya.
79
Dilanjutkan dengan upacara brobosan, kemudian pemikul keranda mulai berjalan satu langkah lalu berhenti sejenak untuk membaca surat Al-Fatihah, demikian diulang tiga kali baru kemudian mereka berjalan dengan cepat diikuti para pelayat. Dua orang perempuan berjalan didepan keranda bertugas menaburkan bunga sepanjang perjalanan, pelayat yang lain dibelakang keranda sambil melantunkan kalimat tauhid (lailaha illallah) hingga tiba di tempat pemakaman. Sesampainya di lokasi yang sudah disiapkan, jenazah segara dimasukkan ke liang. Bapak modin membaca doa sambil memegang gelu (tanah dibentuk bola digunakan untuk ganjal jenazah). Salah satu orang masih tetap di dalam liang untuk memposisikan jenazah membujur ke utara dan menghadap kiblat. Satu-persatu tali kafan dilepas kemudian salah satu orang ditugaskan untuk melantunkan azan dan iqomah di dalam liang. Setelah itu liang mulai ditutup dan dikubur dengan tanah. Setelah membacakan
jenazah talkin.
terkubur Di
desa
sempurna
bapak
modin
kebondowo
talkin
dibaca
menggunakan bahasa arab, berikut ini talkin yang dibacakan:
80
81
Kemudian dilanjutkan dengan membaca tahlil dan doa bersama. Selesailah semua upacara pemakaman jenazah, para pelayat meninggalkan area pemakaman dengan melemparkan tanah sebanyak tiga kali ke arah makam baru tersebut dengan berkata di dalam hati “dari tanah kami diciptakan, kedalam tanah kami akan kembali, dan dari tanah suatu saat kami dikeluarkan lagi”. Kemudian para pelayat langsung pulang kerumah masing-masing. Anggota keluarga jenazah biasanya tinggal sejanak di makam untuk kembali membacakan tahlil dan doa. Sebelum para pelayat sampai dirumah, mereka mencuci tangan, kaki, dan mengambil air wudhu. Hal ini dimaksudkan untuk membersihkan sawan (hal ghaib pengganggu yang mengikuti
mereka)
yang dapat
mengakibatkan
keburukan.
Contohnya bila seseorang pulang dari makam belum berwudhu langsung menyentuh anak kecil, maka anak itu akan terus-menerus menangis, merengek, bahkan menjadi sakit. Ternyata hal ini sesuai dengan hadits Nabi:
Artinya: “Barangsiapa yang memandikan mayit, maka hendaklah dia mandi. Dan barangsiapa yang mengangkatnya, maka hendaklah dia berwudhu” (HR Abu Dawud, At Tirmidzi).
2. Ritual setelah jenazah dikuburkan
82
Pulang dari memakamkan jenazah kebanyakan orang bergegas mandi. Selain karna kondisi fisik yang kotor mereka juga percaya bahwa mandi akan menghilangkan pengganggu ghaib yang mungkin terbawa dari makam. Ternyata kebiasaan ini semakin tepat berkaitan dengan adanya ritual sur tanah. Karena ritual
sur
tanah
diadakan
sesaat
setelah
jenazah
selasai
dimakamkan. Beberapa orang akan didatangi satu persatu oleh seseorang yang diutus oleh keluarga jenazah dengan maksud mengundang dalam acara ritual sur tanah saat itu juga. Sangat tepat jika orang yang diundang sudah dalam keadaan bersih setelah mandi. a. Upacara ngesur tanah Upacara
ngesur
tanah
merupakan
upacara
yang
diselenggarakan pada saat hari meninggalnya seseorang. Upacara ini diselenggarakan pada sore hari setelah jenazah dikuburkan. Beberapa tetangga terdekat diundang secara langsung untuk datang saat itu juga. Di desa Kebondowo upacara ngesur tanah biasanya dihadiri sekitar 20 orang. Jumlah yang memang sedikit jika dibandingkan dengan ritual-ritual yang lain. Hal ini dikarenakan keterbatasan tuan rumah dalam memasak berkat kenduri. Waktu untuk menyiapkan masakan ini sangat singkat. Setelah mengetahui ada orang meninggal pun mereka harus berembuk
83
dan berbelanja dahulu, baru kemudian mulai memasak. Masakan harus
sudah
siap
saat
jenazah
selesai
dimakamkan.
Perlengkapan yang selalu ada dalam ritual ngesur tanah adalah tumpeng ungkur-ungkuran. Ibu Klimah (12, 09, 2013) salah satu warga desa Kebondowo mengartikan tumpeng ungkur-ungkuran ini sebagai lambang bahwa jika sudah berbeda alam seakanakan saling membelakangi dan meninggalkan. Ritual ngesur tanah biasanya dilaksanakan pada sore hari sekitar pukul 16.30, hal ini dikarenakan pada malam harinya ada acara tahlilan. Karena ritual ngesur tanah diadakan pada sore hari, maka ketika ada orang yang meninggal pada malam hari biasanya tidak diadakan ritual ngesur tanah. b. Tahlilan setiap malam hingga tiga hari setelah kematian Desa Kebondowo memiliki beberapa kelompok yasinan. Mereka berkelompok-kelompok dikarenakan letak kampung yang satu dengan kampung yang lain dipisahkan dengan area perkebunan atau hutan sehingga untuk menjadi satu kelompok akan kesulitan dari segi jarak tempuh lokasi. Dalam setiap kampung mempunyai kelompok yasinan bapak-bapak dan kelompok yasinan ibu-ibu. Khusus dalam acara menahlilkan orang mati kelompokkelompok yasinan terebut berkumpul menjadi satu di rumah duka. Ibu-ibu melaksanakan tahlilan setelah magrib kurang-
84
lebih pukul 18.30 dan akan selesai sekitar pukul 19.30. Sedangkan untuk bapak-bapak acara tahlilan dimulai pukul 20.00 dan akan selesai kurang-lebih pukul 21.30. Untuk acara ini tuan rumah menyediakan roti, permen, dan teh sebagai suguhan para hadirin. Khusus untuk bapak-bapak disediakan rokok juga. Acara seperti ini dilakukan setiap malam hingga hari ketiga. c.
Beberapa ritual selanjutnya -
Upacara Pitung Dinten (tujuh hari) Upacara
ini
untuk
memperingati
tujuh
hari
meninggalnya seseorang. -
Upacara Matangpuluh (empat puluh hari) Upacara ini untuk memperingati empat puluh hari meninggalnya seseorang.
-
Upacara Nyatus (seratus hari) Upacara
ini
untuk
memperingati
seratus
hari
meninggalnya seseorang. -
Upacara Mendhak Pisan (satu tahun) Upacara mendhak pisan merupakan upacara yang diselenggarakan ketika orang meninggal pada setahun pertama.
85
-
Upacara Mendhak Pindho (dua tahun) Upacara mendhak pindho merupakan upacara yang dilaksanakan
setelah
dua
tahun
meninggalnya
seseorang. -
Upacara Nyewu (seribu hari) Upacara
ini
meninggalnya
untuk
memperingati
seseorang.
Praktik
di
seribu
hari
masyarakat,
upacara nyewu ini dilaksanakan pada tiga tahun meninggalnya seseorang atau istilah nyewu ini dapat dikatakan ukuran kurang lebih. Dalam acar-acara tersebut di atas, cara pelaksanaannya sama. Acara ini disebut dengan kenduri atau masyarakat Kebondowo menyebutnya genduren. Tuan rumah mengutus dua sampai dengan lima orang untuk berkeliling mengundang orangorang yang namanya sudah didaftar. Jumlah utusan ini tergantung jumlah orang yang akan diundang. Mereka mendatangi satu-persatu orang yang diundang. Perkataan mereka dalam mengundang pun seperti sudah menjadi sebuah patokan, jadi selalu sama. “kula sepindhah silaturahim, kaping kalihipun kula
diutus bapak A kagem nyuwun rawuh
panjenengan mangkih ba’da magrib/isa’ saperlu mitung dinten/matang puluh/nyatus/lsp almarhum B” yang artinya “pertama saya silaturahim, yang kedua saya diutus bapak A
86
untuk mengundang dan mengharap kehadiran saudara nanti setelah magrib/isa’ dalam memperingati tujuh hari/empat puluh hari/seratus hari/dst almarhum B. Seperti itu di lakukan satupersatu dari rumah-kerumah. Sebagai imbalan, para utusan diberi rokok. Para utusan juga menjadi pendaftar siapa saja undangan yang tidak hadir dalam acara. Untuk melakukan tugas ini biasanya mereka berdiri disamping among tamu sambil mencocokkan hadirin yang datang dengan daftar yang dia bawa. Ketika dia tahu ada undangan yang tidak datang maka dia akan menitipkan satu berkat (bingkisan makanan) kepada tetangga terdekat orang yang tidak hadir tersebut. Ritual peringatan meninggalnya seseorang ini dimulai dengan
sambutan
wakil
keluarga
yang
mengucapkan
terimakasih atas kehadiran para undangan, kemudian dilanjutkan dengan membaca doa dan tahlil bersama yang dipimpin oleh tokoh agama di lingkungan sekitar. Masing-masing tokoh agama berbeda dalam memimpin acara ini, ada yang hanya apa adanya membaca doa dan tahlil, namun ada juga yang masih menyebut arwah leluhur, danyang-danyang, sing mbaurekso,dll. Kebanyakan hadirin dalam keadaan yang tidak konsentrasi dengan acara. Ada yang asik berbincang-bincang dengan sampingnya, ada yang asik merokok, dan ada juga yang ngantuk
87
bahkan tidur. Bapak Rohmat (08, 09, 2013) sebagai pemimpin kenduri berkata bahwa sebagian besar keberangkatan undangan hanya untuk partisipasi sosial saja, bukan berniat mendoakan. Disela-sela membaca doa dan tahlil mereka disuguhi teh dan roti, kemudian diberi berkat untuk dibawa pulang. Di Kebondowo dalam peringatan meninggalnya seseorang berkat yang diberikan berupa bahan mentah yaitu beras, mie instan, gula pasir, teh dan telur. Ini bukan hanya karena menghindari kerepotan memasak, namun juga karena ada beberapa orang yang tidak mau memakan masakan dalam acara peringatan orang mati. Jika dipaksa memakan atau tidak sengaja makan karna tidak tahu mereka akan muntah. Sampai sekarang hal ini belum diketahui penyebabnya. Dikatakan oleh ibu Toekijem (05, 09, 2013) selaku orang tua yang berumur 87 tahun, beliau menceritakan orang tuanya dahulu berkata bahwa pada 40 hari meninggalnya seseorang perut janazah didalam kubur pecah, dan pecahannya mengenai nasi yang dimasak untuk acara kenduri. Mungkin ini yang menyebabkan masakan dalam acara peringatan meninggalnya seseorang menjadi terasa aneh sampai ada yang sama sekali tidak mau memakannya. Mutik (12, 09, 2013) salah satu warga desa Kebondowo yang tidak mau makan makanan dari acara ritual kematian mengatakan bahwa makanan tersebut beraroma
88
amis, sebenarnya tetap bisa jika dipaksa makan, tapi setelah itu pasti muntah. Tuturnya perbedaan rasa makanan itu menurut waktu pelaksanaan ritual, dalam ritual tujuh hari, empat puluh hari dan seratus hari aroma amis sangat terasa, namun jika ritual itu sudah jauh dari hari meninggalnya seseorang aroma amis semakin hilang. Meski berkat berupa bahan mentah, namun tetap ada bagian yang matang yaitu sega gurih atau nasi gurih. Nasi ini hanya sedikit, ditempatkan dalam wadah yang terbuat dari daun pisang yang disebut takir. Didalamnya disertai lauk yang berupa sambal goreng tahu dan kentang, mie, pergedel, sesuwir daging ingkung dan potongan bawang merah dan cabai mentah. Ada juga makanan matang lainnya yang berupa pasung, apem, pisang, wajik, jadah dan jenang atau dodol. Ada satu hal yang tidak pernah lupa disertakan dalam berkat peringatan kematian seseorang yaitu uang. Besarnya nilai uang ini ternyata mengikuti perkembangan jaman. Saat ini nilainya sudah mencapai seribu rupiah. Dalam acara kenduri untuk memperingati meninggalnya seseorang ini juga ada jajan pasar yang ditempatkan dalam tampah. Jajan pasar ini antara lain adalah bengkuang, pisang, tebu, cabai merah, timun, jeruk, bawang merah, tape, cethot, dll.
89
Para hadirin boleh mengambil apa saja yang dia sukai dari jajan pasar yang disediakan. -
Punggahan & Pudhunan Punggahan besaral dari kata “munggah” yang berarti
“naik”.
Sebagian
besar
orang
Kebondowo
mengartikan punggahan adalah tradisi untuk memperingati naiknya
arwah
leluhur
kehadapan
Tuhan.
Maka
diadakannya upacara ini untuk mendoakan agar arwah mendapat perlakuan yang baik di sana. Pudhunan berasal dari kata “mudhun” yang berarti “turun”.
Sebagian
orang
jawa
mempercayai
tradisi
pudhunan untuk memperingati turunnya atau kembalinya arwah leluhur. Di desa Kebondowo, upacara punggahan diadakan sebelum bulan puasa. Acara ini juga sering disebut ruwahan, karna diadakan di bulan ruwah (salah satu nama bulan
jawa)/Sya’ban.
Sudah
terjadi
perubahan
cara
pelaksanaan dari ritual adat jawa menjadi acara agama. Oleh karena itu di Kebondowo punggahan diadakan di masjid. Bapak Rohmat (08, 09, 2013) pimpinan jamaah yasinan di desa Kebondowo mengatakan bahwa sangatlah sulit mengajak masyarakat berfikir lebih maju agar merubah
90
cara ritual adat yang sudah ada dan merupakan peninggalan nenek moyang. Bukan hanya menolak, masyarakat bahkan melawan setiap orang yang memberikan pendapat mengenai cara yang lebih baik dalam melaksanakan ritual. Padahal sangat
jelas
cara
sebelumnya
mempunyai
banyak
kekurangan. Sedekah yang dulunya berupa makanan diganti dengan uang. Jumlah uang tidak ditentukan, masing-masing orang memberikan uang menurut kemampuan mereka. Uang dimasukkan ke dalam amplop, dan di luar amplop ditulis nama-nama arwah yang akan dikirim doa. Semua nama yang ditulis akan dibacakan oleh pemimpin tahlil, dan tahlilan dibaca bersama-sama. Semua uang yang terkumpul dimasukkan kas masjid. Upacara pudunan juga demikian caranya, hanya berbeda waktu. Pudunan dilaksanankan sekitar sepuluh hari terahir bulan puasa. Upacara ini dilaksanakan bersamaan dengan peringatan nuzulul qur’an dan lailatul qadar.
91
-
Nyadran Nyadran adalah hari berkunjung ke makam para leluhur/kerabat yang telah mendahului. Nyadran ini dilakukan pada bulan Ruwah/Sya’ban atau bertepatan dengan saat menjelang puasa bagi umat Islam. Orang-orang mengujungi
makam
keluarga
masing-masing
untuk
membersihkannya sekaligus membaca doa di situ.
3. Kisaran Biaya yang Dibutuhkan dalam Ritual Kematian di Desa. Kebondowo Kec. Banyubiru Kab. Semarang Di desa Kebondowo terdapat dua jenis berkat yang dibagikan dalam ritual kematian, yaitu; 1. Berkat yang berupa masakan. Diadakan masak besar untuk melaksanakan acara ini. Masing-masing hadirin diberikan satu bungkus berkat yang isinya nasi, lauk pauk, nasi gurih, makanan (apem, pasung, wajik, dodol, pisang, dll). Satu bungkus berkat yang berisi makanan matang tersebut kurang lebih senilai Rp 22.000,-. 2. Berkat yang berupa bahan mentah. Diantaranya adalah beras, mie instan, gula pasir, teh dan telur. Tetap juga disertakan nasi gurih dan makanan (apem, pasung, wajik, dodol, pisang, dll). Barkat ini satu bungkus kurang lebih senilai Rp 25.000,-.
92
Di desa Kebondowo ketika ada seseorang yang mengadakan kenduri ritual kematian minimal akan mengundang 50 orang, rata-rata mengundang 100 orang, maksimal mengundang 400 orang. Dapat diperkirakan biaya yang dibutuhkan untuk mengadakan kenduri kecilkecilan dengan mengundang 50 orang membutuhkan biaya Rp 1.100.000,- untuk jenis berkat matang dan Rp 1.250.000,- untuk jenis berkat mentah. Jika rata-rata acara ritual ini mengundang 100 orang berarti membutuhkan biaya Rp 2.200.000,- untuk jenis berkat matang dan Rp 2.500.000,- untuk jenis berkat mentah. Jika acara ini diadakan besar-besaran dengan mengundang sekitar 400 orang berarti harus mengeluarkan biaya Rp 8.800.000,- untuk jenis berkat matang dan Rp 10.000.000,- untuk jenis berkat mentah. Biaya tersebut di atas adalah biaya untuk menyediakan berkat saja. Masih banyak yang harus disediakan untuk mengadakan ritual kematian diantaranya untuk menyewa kursi atau tikar, menyewa tenda, menyewa lampu, membeli jajan pasar, membeli rokok, membeli snack, menyediakan air minum, dan sebagainya.
D. Pemahaman Masyarakat Desa. Kebondowo Kec. Banyubiru Kab. Semarang terhadap Ritual Kematian Berikut ini adalah hasil wawancara dengan beberapa warga masyarakat desa Kebondowo
93
1.
Ibu Toekijem (05, 09, 2013) merupakan salah satu orang tua di Kebondowo, usianya 87 tahun. Mengatakan bahwa beliau tidak mengetahui asal-usul penentuan hari untuk mengadakan ritual kematian, beliau hanya pernah mendengar dari orang yang lebih tua bahwa orang begitu meninggal arwahnya belum pergi dari rumahnya. Arwah itu akan pergi meninggalkan rumah setelah tujuh hari. Pada empat puluh hari jenazah dikubur perutnya akan pecah dan pecahannya mengenai masakan kenduri, maka dari itu ada orang yang tidak mau makan masakan kenduri ritual kematian. Ada yang percaya bahwa di waktu tertentu arwah akan pulang, maka di rumah disediakan makanan untuknya. Makanan itu berupa jenis makanan yang dia sukai semasa hidup. Jaman dahulu ketika belum ada kantong plastik, tempat berkat berupa anyaman daun kelapa yang disebut katho’an. Ketika isi berkat sudah dimakan, katho’an dan takir diletakkan di depan rumah, mereka bermaksud memberikan kembali katho’an dan takir itu kepada arwah. Ibu Toekijem menjelaskan mengenai air bunga yang disiramkan di atas kuburan agar sejuk, dan ketika membeli bunga tidak boleh ditawar harganya. Bunga atau kembang yang disebarkan di atas makam adalah sebuah ungkapan secara tidak langsung. Kembang adalah singkatan dari ndekem karo ngumbang. Ndekem artinya jongkok atau duduk dalam jangka waktu relatif lama. Sedangkan ngumbang berasal dari kata kumbang (nama hewan). Kumbang adalah hewan yang selalu mengeluarkan suara
94
dengungan. Jadi maksud ndekem karo ngumbang adalah duduk berdoa dan berdzikir di atas kuburan. Mendoakan yang telah meninggal dan mengingat bahwa kelak dirinya juga akan mati.
Mengenai
melemparkan tanah tiga kali ketika akan pulang dari memakamkan seseorang ibu Toekijem menjelaskan bahwa melempar tanah itu sambil berkata “aku suk neh yo koyo kowe” artinya “aku kelak juga sepertimu”. Selain itu ibu Toekijem bercerita tentang seseorang yang sakit keras menjelang ajalnya. Orang itu beragama Kebatinan. Namun melihat orang itu tersiksa oleh rasa sakit, anaknya membacakannya surat yasin. Orang itu terlihat nyaman dan menikmati bacaan surat yasin, bahkan ketika surat yasin selesai dibaca, dia minta untuk dibacakan lagi. Ibu Toekijem menggambarkan bahwa orang mati bagaikan orang sedang berenang yang mengharapkan pertolongan berupa pelampung. Pelampung itu adalah doa yang dibacakan oleh orang yang masih hidup. 2.
Ibu Klimah 62 tahun, salah satu warga desa Kebondowo (12, 09, 2013) mengatakan bahwa beliau tidak mengetahui asal-usul diadakannya ritual-ritual kematian. Sehingga dapat dikatakan selama ini hanya mengikuti tradisi yang ada. Namun beliau menyatakan bahwa kenduri adalah acara yang kurang bermanfaat. Lebih baik uang disedekahkan untuk masjid dengan niat mempersembahkan pahala sedekah kepada arwah, kemudian dimintakan bacaan tahlil kepada jamaah sholat di masjid. Itu adalah cara yang belum lama berkembang
95
di desa Kebondowo. Namun beliau juga berpendapat bahwa jika keluarga itu mampu dalam hal materi maka acara kenduri harus diadakan. Uang dari sumbangan masyarakat seharusnya digunakan untuk acara ritual tersebut, bukan untuk keperluan keluarga yang lain. Sehingga dapat disimpulkan bahwa cara mengadakan ritual ini disesuaikan dengan keadaan, terutama dalam hal materi. Sangat tidak baik mengadakan kenduri yang biayanya hutang. Dalam menjelaskan hal ini ibu Klimah bercerita tentang mimpi yang dialami mbah S, keluarga mbah S adalah keluarga yang kurang mampu dari segi perekonomian. Suatu ketika cucu mbah S meninggal dunia. Keluarga mbah S selalu mengadakan ritual kematian besar-besaran atau dapat dikatakan mewah. Namun semua itu dibiayai dari hasil hutang. Suatu malam mbah S bermimpi didatangi cucunya yang sudah meninggal tersebut. Dalam mimpi itu cucunya menangis dan berkata bahwa disana dia diejek oleh teman-temannya karena bekalnya berupa makanan basi. Sedangkan teman-temannya berbekal uang yang selalu bertambah. Beberapa hari kemudian mbah S bercerita kepada ibu Klimah dan disarankan untuk menyedekahkan uang semampunya saja untuk masjid. Dalam hal tahlilan tiga hari, ibu Klimah berpendapat bahwa motivasi yang beliau dapatkan berasal dari pikirannya sendiri. Apalagi yang meninggal itu temannya dan sesama orang Islam, maka beliau akan sangat ikhlas menghadiri acara tahlilan meski dalam keadaan lelah atau bahkan harus meninggalkan pekerjaannya. Ibu
96
Klimah termasuk orang yang tidak mau memakan makanan dari berkat ritual kematian, kata beliau makanan ini aromanya amis. Ini berlaku untuk semua orang meninggal, tidak memandang yang meninggal itu orang baik atau orang jahat. Jika tetap dipaksakan makan, maka akan muntah. Beliau juga sedikit bercerita tentang kepercayaan orang jaman dahulu bahwa jika ada anak kecil meminta makanan di acara ritual kematian maka harus dituruti apapun itu bentuk dan resikonya. Orang dahulu percaya bahwa arwah yang meninggal ingin meminta makanan melalui anak kecil tersebut. 3.
Ibu Yanti (12, 09, 2013) merupakan salah satu warga desa Kebondowo, mengatakan bahwa ritual kematian yang ada hanyalah tradisi peninggalan nenek moyang, sehingga untuk jaman sekarang tidak harus seperti itu caranya, yang penting membacakan doa untuk arwah. Beliau juga tidak tahu tentang jenis makanan yang selalu itu (apem, pasung, pisang, ketan, dll), bahkan beliau berpendapat akan lebih baik jika makanan itu diganti dengan roti atau buah-buahan, karenan roti dan buah-buahan lebih disukai orang jaman sekarang dibandingkan apem, ketan dan pasung. Mengadakan ritual kematian memang harus, namun perlu mempertimbangkan biaya. Biaya yang dikeluarkan harus diniatkan untuk sedekah, oleh karena itu tidak boleh dari hasil hutang. Dan yang lebih penting lagi adalah doa yang dipanjatkan. Menurut ibu Yanti, acara kenduri sangat tidak efektif, karena seringkali orang yang datang hanya berniat sekedar berkumpul
97
dan bermasyarakat saja, bukan berniat ingin mendoakan. Namun untuk acara tahlilan tiga hari sangat bagus, kemungkinan besar hadirin datang dengan ikhlas ingin mendoakan, karena dalam acara ini tidak ada undangan. 4.
Bapak Soetomo 73 tahun (12, 09, 2013) mengatakan bahwa selama tujuh hari kematian seseorang, arwahnya masih berada di rumah. Yaitu berada di tempat pembuangan air atau orang jawa sering menyebut peceren. Arwah dapat pergi dari tempat itu jika dibantu dengan doa oleh keluarganya. Maka diadakanlah tahlilan. Beliau bercerita tentang arwah anaknya yang masuk dalam mimpinya ketika beliau lupa mendoakan. Dalam mimpi anaknya seakan-akan kehausan dan minta diberikan air minum. Untuk masalah kenduri sebagai sedekah, beliau lebih sering memberikan uangnya untuk masjid dari pada untuk melakukan kenduri. Menurut beliau kenduri hanya naluri yang turun temurun untuk mendoakan arwah, sehingga jika tujuannya mendoakan maka caranya tidak harus dengan kenduri.
5.
Ibu Sopiyah 60 tahun, merupakan salah satu warga Kebondowo (12, 09, 2013) mengatakan bahwa ritual kematian hanya naluri, dan yang diberikan oleh keluarga baik berupa makanan atau uang itu adalah sedekah. Diadakannya acara tahlilan bukan sekedar mendoakan arwah, namun juga untuk menemani keluarga yang ditinggalkan dalam beberapa hari awal. Berkat merupakan sedekah sekaligus tanda ucapan terimakasih kepada orang-orang yang sudah membantu
98
mendoakan keluarganya yang telah meninggal. Untuk mengadakan acara kenduri disesuaikan keadaan, semampunya namun dipaksakan. Intinya ini adalah sedekah yang pahalanya dikususkan untuk arwah yang dikirim. 6.
Berdasarkan wawancara dengan beberapa tokoh masyarakat: a. Kepala dusun Kebondowo, bapak Sukamto (12, 09, 2013) mengatakan bahwa sebenarnya ritual kematian ini adalah pengaruh Hindu yang dibaurkan dengan Islam pada jaman dulu. Untuk saat ini cara melakukan ritual tidak harus dengan kenduri, bisa disikapi dengan sedekah yang lain. Masyarakat sebenarnya juga tidak mengetahui tentang asal-usul dan nilai apa saja yang ada dalam ritual tersebut. Beberapa tahun yang lalu para pelayat dan penggali makam harus dijamu dengan nasi. Sebelum mereka diberi jamuan nasi jenazah belum diberangkatkan. Sejak jaman itu sampai saat ini proses perubahan cara juga menuai banyak pertentangan, namun semua ini hanya masalah waktu. Perlahan masyarakat akan berfikir bahwa acara kenduri tidaklah efektif. Bahkan seringkali harus mengada-adakan yang sebenarnya tidak ada. Masyarakat hanya mempertimbangkan nilai gengsi dan merasa hutang jika pernah diundang kenduri oleh orang lain. Namun perubahan cara berfikir masyarakat Kebondowo saat ini sudah semakin meningkat dan menimbulkan perubahan yang sangat bagus dalam ritual kematian. Orang yang masih fanatik dan tidak mau meninggalkan tradisi
99
nenek moyang mungkin tinggal 25%. Pada jaman dulu anak-anak menanti bapaknya pulang dari kenduri terkadang sampai tertidur, dan ketika bapaknya pulang kenduri anak itu dibangunkan kemudian segera makan berkat. Ini menjadi makanan yang spesial karna keadaan pada saat itu memang mayoritas orang hidup kekurangan. Pastinya hal itu sangat berbeda dengan keadaan sekarang. Oleh karena itu lebih baik cara seperti itu dirubah dengan hal yang lebih bermanfaat. Mengenai danyang-danyang yang terkadang masih disebutkan, bapak kepala dusun berpendapat bahwa itu dalah hal yang tidak baik. Kebanyakan masyarakat tidak menerimanya. Namun mereka hanya diam, bukan berarti menerima, tetapi hanya sebatas menghormati. Bapak Sukamto sendiri mempercayai bahwa sampainya doa yang dikirimkan kepada arwah bukan dari cara ritualnya, namun tergantung dari kekhusyu’an orang yang berdoa. Tentang orang yang tidak mau makan makanan dari ritual kematian, orang nomor satu di dusun Kebondowo ini membedakannya menjadi dua macam. Yang pertama adalah orang yang memang mempunyai sugesti bahwa makanan dalam ritual kematian memiliki rasa berbeda. Yang kedua adalah orang yang mempunyai semacam kesaktian atau kekebalan yang jika dia makan makanan ritual kematian kesaktian atau kekebalannya akan hilang.
100
b. Bapak Slamet (12, 09, 2013) salah satu ketua RT di desa Kebondowo mengatakan bahwa ritual kematian adalah perpaduan antara adat dan agama. Ritual ini diadakan untuk mempermudah mengajak orang berdoa dan silaturahim. Mengenai efektif atau tidaknya acara ini tergantung dilihat dari segi apa. Jika dipandang dari segi tujuan mengirim doa jelas tidak efektif. Namun ketika dilihat dari segi budaya dan sosial kemasyarakatan hal ini sangat efektif. Menurut bapak Slamet, orang yang sekarang masih fanatik dengan budaya adat ritual kematian hanyalah segelintir. Orang yang menjadi minoritas ini akan bergunjing ketika mengetahui ada seseorang yang mengirim doa kepada keluarganya yang sudah meninggal tidak menggunakan ritual adat, namun ini bersifat sesaat.
101
BAB IV PEMBAHASAN
A. Prosesi dan Tahapan Ritual Adat Kematian pada Masyarakat Desa
Kebondowo Kecamatan Banyubiru Kabupaten Semarang Ketika
seseorang
meninggal
dunia,
pihak
keluarga
akan
mengadakan ritual kematian yang diwujudkan dengan serangkaian cara khusus merawat jenazah dan upacara pemberangkatan jenazah menuju makam, kemudian beberapa hal yang dilakukan ketika memakamkan jenazah, dilanjutkan dengan tahlilan yang dilakukan pada hari-hari tertentu, serta ritual yang dilakukan di makam oleh keluarga secara turuntemurun. 1. Ritual sesaat setelah seseorang meninggal sampai di kuburkan Jika ada salah satu warga yang meninggal dunia, maka orang yang mengetahui dan mampu melakukan langsung mengkondisikan jenazah yaitu memejamkan mata jenazah jika belum terpejam, menutup mulut jenazah jika masih terbuka, dan menutup seluruh tubuh jenazah menggunakan kain. Salah seorang memukul kentongan satu rambahan kemudian diumumkan berita kematian itu kepada para warga menggunakan pengeras suara masjid, tujuannya agar para warga membantu keluarga yang di tinggalkan dalam berbagai hal.
102
Sebagai tanda jika ada warga yang meninggal dipasangkan bendera lelayu di gapura gang masuk rumah duka. Mereka berusaha agar jenazah dapat segera dimakamkan. Hal ini sesuai dengan hadist:
Artinya: “Tidak pantas bagi mayat seorang muslim untuk ditahan diantara keluarganya” (HR. Abu Dawud). Beberapa orang bergegas ke area pemakaman untuk menyiapkan tempat mengubur jenazah. Beberapa orang langsung mengambil perlengkapan merawat jenazah yang disimpan di gudang lingkungan. Ada pula perlengkapan yang disimpan di rumah ketua jama’ah pengajian. Tiga orang mengangkat jenazah dan dibawa ke tempat memandikan yang sudah disiapkan biasanya di luar rumah entah itu di depan, di belakang, atau di samping rumah. Tempat memandikan ini di kelilingi kain kelambu sebagai tabir penutup, disitu terdapat tiga kursi yang berjejeran, disampingnya diletakkan gentong yang sudah diisi air penuh. Tiga orang tadi duduk dikursi tersebut dan posisi jenazah ada di pangkuan mereka. Kepala jenazah selalu diposisikan di sebelah utara. Pakaian yang masih dikenakan jenazah saat itu langsung dilucuti, jika sulit dilepas maka akan digunting dan untuk menutupi aurat jenazah biasanya digunakan sarung atau kain. Kemudian sebelum jenazah disiram terlebih dahulu dibersihkan dulu kotoran-
103
kotoran yang keluar dari dalam tubuhnya. Biasanya jika jenazah sempat sakit sebelum meninggal maka kotoran yang keluar adalah tinja, namun jika jenazah meninggal mendadak seperti kecelakaan atau bunuh diri maka yang keluar adalah sperma. Setelah kotoran dibersihkan baru dimulai proses memandikan jenazah. Menyiram jenazah dimulai dari bagian kepala kemudian bagian tubuh sebelah kanan lalu bagian tubuh sebelah kiri. Perlahan-lahan seluruh tubuh jenazah disabun kemudian dibilas lagi dengan air dan terahir jenazah diwudhukan. Yang berhak memandikan jenazah hanyalah keluarganya dan sesama laki-laki jika jenazah itu laki-laki, atau sesama perempuan jika itu jenazah perempuan. Selama proses memandikan jenazah berlangsung, beberapa orang memotong-motong kain kafan dan disiapkan di atas meja yang sudah disediakan dan setelah proses memandikan selesai. Jenazah di letakkan di meja tersebut. Proses mengafani dilaksanakan termasuk menutup lubang-lubang dengan kapas, bemberi bedak, dan memberi minyak wangi pada jenazah.
Apabila kalian memberi wewangian kepada mayit, maka berikanlah tiga kali.[HR Ahmad] Setelah selesai mengafani, bapak modin menyuruh orangorang yang akan ikut menyolatkan jenazah agar segera mengambil air wudhu. Sholat jenazah dapat dilakukan di rumah duka atau di masjid, hal itu tergantung permintaan keluarga jenazah dan
104
dipertimbangkan jarak rumah duka dengan masjid. Sholat jenazah dipimpin langsung oleh bapak modin. selama proses merawat jenazah berlangsung, sebagian ibu-ibu merangkai bunga untuk menghias keranda dan sebaian lagi diletakkan diatas makam. Selesai disholatkan jenazah dimasukkan ke dalam keranda lalu diupacarakan di depan rumah sudah dalam keadaan dipikul.
Barangsiapa yang mengikuti jenazah, maka hendaklah dia mengangkat dari seluruh sudut keranda, karena hal itu merupakan Sunnah. Apabila dia mau, maka hendaknya mengangkat hingga selesai. Dan kalau dia tidak mau, hendaknya dia tinggalkan. [HR Ibnu Majah]. Diawali dengan perwakilan keluarga yang berbicara di depan para pelayat untuk memintakan maaf atas kesalahan jenazah dimasa hidupnya juga mengucapkan terimakasih atas semua yang sudah dilakukan masyarakat untuk membantu keluarganya, dan berpesan kepada masyarakat agar segera menghubungi keluarga jika si jenazah masih mempunyai tanggungan seperti pinjammeminjam, utang-piutang, dan sebagainya. Kemudian perwakilan tokoh
masyarakat
mewakili
warganya
menyatakan
sudah
memaafkan dan mengatakan bahwa jenazah adalah orang yang baik selama hidupnya. Dilanjutkan dengan upacara brobosan, kemudian pemikul keranda mulai berjalan satu langkah lalu berhenti sejenak untuk
105
membaca surat Al-Fatihah, demikian diulang tiga kali baru kemudian mereka berjalan dengan cepat diikuti para pelayat. Dua orang perempuan berjalan didepan keranda bertugas menaburkan bunga sepanjang perjalanan, pelayat yang lain dibelakang keranda sambil melantunkan kalimat tauhid (lailaha illallah) hingga tiba di tempat pemakaman. Sesampainya di lokasi yang sudah disiapkan, jenazah segara dimasukkan ke liang. Bapak modin membaca doa sambil memegang gelu (tanah dibentuk bola digunakan untuk ganjal jenazah). Salah satu orang masih tetap di dalam liang untuk memposisikan jenazah membujur ke utara dan menghadap kiblat. Satu-persatu tali kafan dilepas kemudian salah satu orang ditugaskan untuk melantunkan azan dan iqomah di dalam liang. Setelah itu liang mulai ditutup dan dikubur dengan tanah. Setelah membacakan
jenazah talkin.
terkubur Di
desa
sempurna
bapak
modin
kebondowo
talkin
dibaca
menggunakan bahasa arab, berikut ini talkin yang dibacakan:
106
Kemudian dilanjutkan dengan membaca tahlil dan doa bersama. Selesailah semua upacara pemakaman jenazah, para
107
pelayat meninggalkan area pemakaman dengan melemparkan tanah sebanyak tiga kali ke arah makam baru tersebut dengan berkata di dalam hati “dari tanah kami diciptakan, kedalam tanah kami akan kembali, dan dari tanah suatu saat kami dikeluarkan lagi”. Kemudian para pelayat langsung pulang kerumah masing-masing. Anggota keluarga jenazah biasanya tinggal sejanak di makam untuk kembali membacakan tahlil dan doa. Sebelum para pelayat sampai dirumah, mereka mencuci tangan, kaki, dan mengambil air wudhu. Hal ini dimaksudkan untuk membersihkan sawan (hal ghaib pengganggu yang mengikuti
mereka)
yang dapat
mengakibatkan
keburukan.
Contohnya bila seseorang pulang dari makam belum berwudhu langsung menyentuh anak kecil, maka anak itu akan terus-menerus menangis, merengek, bahkan menjadi sakit. Ternyata hal ini sesuai dengan hadits Nabi:
Artinya: “Barangsiapa yang memandikan mayit, maka hendaklah dia mandi. Dan barangsiapa yang mengangkatnya, maka hendaklah dia berwudhu” (HR Abu Dawud, At Tirmidzi). 2. Ritual setelah jenazah dikuburkan Pulang dari memakamkan jenazah kebanyakan orang bergegas mandi. Selain karna kondisi fisik yang kotor mereka juga percaya bahwa mandi akan menghilangkan pengganggu ghaib yang mungkin terbawa dari makam. Ternyata kebiasaan ini
108
semakin tepat berkaitan dengan adanya ritual sur tanah. Karena ritual
sur
tanah
diadakan
sesaat
setelah
jenazah
selasai
dimakamkan. Beberapa orang akan didatangi satu persatu oleh seseorang yang diutus oleh keluarga jenazah dengan maksud mengundang dalam acara ritual sur tanah saat itu juga. Sangat tepat jika orang yang diundang sudah dalam keadaan bersih setelah mandi. a. Upacara ngesur tanah Upacara
ngesur
tanah
merupakan
upacara
yang
diselenggarakan pada saat hari meninggalnya seseorang. Upacara ini diselenggarakan pada sore hari setelah jenazah dikuburkan. Beberapa tetangga terdekat diundang secara langsung untuk datang saat itu juga. Di desa Kebondowo upacara ngesur tanah biasanya dihadiri sekitar 20 orang. Jumlah yang memang sedikit jika dibandingkan dengan ritual-ritual yang lain. Hal ini dikarenakan keterbatasan tuan rumah dalam memasak berkat kenduri. Waktu untuk menyiapkan masakan ini sangat singkat. Setelah mengetahui ada orang meninggal pun mereka harus berembuk dan berbelanja dahulu, baru kemudian mulai memasak. Masakan harus
sudah
siap
saat
jenazah
selesai
dimakamkan.
Perlengkapan yang selalu ada dalam ritual ngesur tanah adalah tumpeng ungkur-ungkuran.
109
Ritual ngesur tanah biasanya dilaksanakan pada sore hari sekitar pukul 16.30, hal ini dikarenakan pada malam harinya ada acara tahlilan. Karena ritual ngesur tanah diadakan pada sore hari, maka ketika ada orang yang meninggal pada malam hari biasanya tidak diadakan ritual ngesur tanah. b. Tahlilan setiap malam hingga tiga hari setelah kematian Desa Kebondowo memiliki beberapa kelompok yasinan. Mereka berkelompok-kelompok dikarenakan letak kampung yang satu dengan kampung yang lain dipisahkan dengan area perkebunan atau hutan sehingga untuk menjadi satu kelompok akan kesulitan dari segi jarak tempuh lokasi. Dalam setiap kampung mempunyai kelompok yasinan bapak-bapak dan kelompok yasinan ibu-ibu. Khusus dalam acara menahlilkan orang mati kelompokkelompok yasinan terebut berkumpul menjadi satu di rumah duka. Ibu-ibu melaksanakan tahlilan setelah magrib kuranglebih pukul 18.30 dan akan selesai sekitar pukul 19.30. Sedangkan untuk bapak-bapak acara tahlilan dimulai pukul 20.00 dan akan selesai kurang-lebih pukul 21.30. Untuk acara ini tuan rumah menyediakan roti, permen, dan teh sebagai suguhan para hadirin. Khusus untuk bapak-bapak disediakan rokok juga. Acara seperti ini dilakukan setiap malam hingga hari ketiga.
110
c.
Beberapa ritual selanjutnya -
Upacara Pitung Dinten (tujuh hari) Upacara
ini
untuk
memperingati
tujuh
hari
meninggalnya seseorang. -
Upacara Matangpuluh (empat puluh hari) Upacara ini untuk memperingati empat puluh hari meninggalnya seseorang.
-
Upacara Nyatus (seratus hari) Upacara
ini
untuk
memperingati
seratus
hari
meninggalnya seseorang. -
Upacara Mendhak Pisan (satu tahun) Upacara mendhak pisan merupakan upacara yang diselenggarakan ketika orang meninggal pada setahun pertama.
-
Upacara Mendhak Pindho (dua tahun) Upacara mendhak pindho merupakan upacara yang dilaksanakan
setelah
dua
tahun
meninggalnya
seseorang. -
Upacara Nyewu (seribu hari) Upacara
ini
meninggalnya
untuk
memperingati
seseorang.
Praktik
di
seribu
hari
masyarakat,
upacara nyewu ini dilaksanakan pada tiga tahun
111
meninggalnya seseorang atau istilah nyewu ini dapat dikatakan ukuran kurang lebih. Dalam acar-acara tersebut di atas, cara pelaksanaannya sama. Acara ini disebut dengan kenduri atau masyarakat Kebondowo menyebutnya genduren. Tuan rumah mengutus dua sampai dengan lima orang untuk berkeliling mengundang orangorang yang namanya sudah didaftar. Jumlah utusan ini tergantung jumlah orang yang akan diundang. Mereka mendatangi satu-persatu orang yang diundang. Sebagai imbalan, para utusan diberi rokok. Para utusan juga menjadi pendaftar siapa saja undangan yang tidak hadir dalam acara. Untuk melakukan tugas ini biasanya mereka berdiri disamping among tamu sambil mencocokkan hadirin yang datang dengan daftar yang dia bawa. Ketika dia tahu ada undangan yang tidak datang maka dia akan menitipkan satu berkat (bingkisan makanan) kepada tetangga terdekat orang yang tidak hadir tersebut. Ritual peringatan meninggalnya seseorang ini dimulai dengan
sambutan
wakil
keluarga
yang
mengucapkan
terimakasih atas kehadiran para undangan, kemudian dilanjutkan dengan membaca doa dan tahlil bersama yang dipimpin oleh tokoh agama di lingkungan sekitar. Masing-masing tokoh agama berbeda dalam memimpin acara ini, ada yang hanya apa adanya
112
membaca doa dan tahlil, namun ada juga yang masih menyebut arwah leluhur, danyang-danyang, sing mbaurekso,dll. Kebanyakan hadirin dalam keadaan yang tidak konsentrasi dengan acara. Ada yang asik berbincang-bincang dengan sampingnya, ada yang asik merokok, dan ada juga yang ngantuk bahkan tidur. Disela-sela membaca doa dan tahlil mereka disuguhi teh dan roti, kemudian diberi berkat untuk dibawa pulang. Di Kebondowo dalam peringatan meninggalnya seseorang berkat yang diberikan berupa bahan mentah yaitu beras, mie instan, gula pasir, teh dan telur. Ini bukan hanya karena menghindari kerepotan memasak, namun juga karena ada beberapa orang yang tidak mau memakan masakan dalam acara peringatan orang mati. Jika dipaksa memakan atau tidak sengaja makan karna tidak tahu mereka akan muntah. Sampai sekarang hal ini belum diketahui penyebabnya. Meski berkat berupa bahan mentah, namun tetap ada bagian yang matang yaitu sega gurih atau nasi gurih. Nasi ini hanya sedikit, ditempatkan dalam wadah yang terbuat dari daun pisang yang disebut takir. Didalamnya disertai lauk yang berupa sambal goreng tahu dan kentang, mie, pergedel, sesuwir daging ingkung dan potongan bawang merah dan cabai mentah. Ada juga makanan matang lainnya yang berupa pasung, apem, pisang, wajik, jadah dan jenang atau dodol. Ada satu hal yang
113
tidak pernah lupa disertakan dalam berkat peringatan kematian seseorang yaitu uang. Besarnya nilai uang ini ternyata mengikuti perkembangan jaman. Saat ini nilainya sudah mencapai seribu rupiah. Dalam acara kenduri untuk memperingati meninggalnya seseorang ini juga ada jajan pasar yang ditempatkan dalam tampah. Jajan pasar ini antara lain adalah bengkuang, pisang, tebu, cabai merah, timun, jeruk, bawang merah, tape, cethot, dll. Para hadirin boleh mengambil apa saja yang dia sukai dari jajan pasar yang disediakan. -
Punggahan & Pudhunan Punggahan besaral dari kata “munggah” yang berarti
“naik”.
Sebagian
besar
orang
Kebondowo
mengartikan punggahan adalah tradisi untuk memperingati naiknya
arwah
leluhur
kehadapan
Tuhan.
Maka
diadakannya upacara ini untuk mendoakan agar arwah mendapat perlakuan yang baik di sana. Pudhunan berasal dari kata “mudhun” yang berarti “turun”.
Sebagian
orang
jawa
mempercayai
tradisi
pudhunan untuk memperingati turunnya atau kembalinya arwah leluhur.
114
Pimpinan jamaah yasinan di desa Kebondowo mengatakan bahwa sangatlah sulit mengajak masyarakat berfikir lebih maju agar merubah cara ritual adat yang sudah ada dan merupakan peninggalan nenek moyang. Bukan hanya menolak, masyarakat bahkan melawan setiap orang yang memberikan pendapat mengenai cara yang lebih baik dalam melaksanakan ritual. Padahal sangat jelas cara sebelumnya mempunyai banyak kekurangan. Sedekah yang dulunya berupa makanan diganti dengan uang. Jumlah uang tidak ditentukan, masing-masing orang memberikan uang menurut kemampuan mereka. Uang dimasukkan ke dalam amplop, dan di luar amplop ditulis nama-nama arwah yang akan dikirim doa. Semua nama yang ditulis akan dibacakan oleh pemimpin tahlil, dan tahlilan dibaca bersama-sama. Semua uang yang terkumpul dimasukkan kas masjid. Upacara pudunan juga demikian caranya, hanya berbeda waktu. Pudunan dilaksanankan sekitar sepuluh hari terahir bulan puasa. Upacara ini dilaksanakan bersamaan dengan peringatan nuzulul qur’an dan lailatul qadar. -
Nyadran Nyadran adalah hari berkunjung ke makam para leluhur/kerabat yang telah mendahului. Nyadran ini
115
dilakukan pada bulan Ruwah/Sya’ban atau bertepatan dengan saat menjelang puasa bagi umat Islam. Orang-orang mengujungi
makam
keluarga
masing-masing
untuk
membersihkannya sekaligus membaca doa di situ.
B. Persepsi Masyarakat Desa Kebondowo Kecamatan Banyubiru
Kabupaten Semarang terhadap Ritual Kematian Ritual kematian ini adalah pengaruh Hindu yang dibaurkan dengan Islam pada jaman dulu. Untuk saat ini cara melakukan ritual tidak harus dengan kenduri, bisa disikapi dengan sedekah yang lain. Masyarakat sebenarnya juga tidak mengetahui tentang asal-usul dan nilai apa saja yang ada dalam ritual tersebut namun mereka tetap melaksanakan dengan dasar menghormati dan menjaga budaya leluhur. Masyarakat juga merasakan kepuasan tersendiri ketika mampu mengadakan ritual kematian. Mayoritas warga Desa Kebondowo, mengatakan bahwa ritual kematian yang ada hanyalah tradisi peninggalan nenek moyang, sehingga untuk jaman sekarang tidak harus seperti itu caranya, yang penting membacakan doa untuk arwah. Mereka juga tidak tahu tentang jenis makanan yang selalu itu (apem, pasung, pisang, ketan, dll), bahkan kebanyakan masyarakat Kebondowo berpendapat akan lebih baik jika makanan itu diganti dengan roti atau buah-buahan, karenan roti dan buah-buahan lebih disukai orang jaman sekarang dibandingkan apem, ketan dan pasung. Namun masih ada
116
segelintir orang yang mengetahui makna dari jenis makanan yang disajikan dalam ritual kematian, dan segelintir orang tersebut sudah berumur sangat tua. Mereka mengaku mendapat penjelasan dari orang tuanya dulu. Mereka mengatakan bahwa apem melambangkan payung untuk melindungi diri dari panas dan hujan, sedangkan pisang adalah pegangan payung itu. Pasung melambangkan tongkat (teken) untuk memperkuat dan menemani perjalanan hidup seseorang. Sedangkan ketan adalah lambang bumi tempat manusia berpijak. Ritual kematian adalah perpaduan antara adat dan agama. Ritual ini diadakan untuk mempermudah mengajak orang berdoa dan silaturahim. Mengenai efektif atau tidaknya acara ini tergantung dilihat dari segi apa. Jika dipandang dari segi tujuan mengirim doa jelas tidak efektif. Namun ketika dilihat dari segi budaya dan sosial kemasyarakatan hal ini sangat efektif. Orang yang sekarang masih fanatik dengan budaya adat ritual kematian hanyalah segelintir. Orang yang menjadi minoritas ini akan bergunjing ketika mengetahui ada seseorang yang mengirim doa kepada keluarganya yang sudah meninggal tidak menggunakan ritual adat, namun ini bersifat sesaat. Mengadakan ritual kematian memang harus, namun perlu mempertimbangkan biaya. Biaya yang dikeluarkan harus diniatkan untuk sedekah, oleh karena itu tidak boleh dari hasil hutang. Dan yang lebih penting lagi adalah doa yang dipanjatkan. Beberapa orang berpendapat acara kenduri sangat tidak efektif, karena seringkali orang yang datang
117
hanya berniat sekedar berkumpul dan bermasyarakat saja, bukan berniat ingin mendoakan. Namun untuk acara tahlilan tiga hari sangat bagus, kemungkinan besar hadirin datang dengan ikhlas ingin mendoakan, karena dalam acara ini tidak ada undangan. Dapat diambil kesimpulan bahwa masyarakat Kebondowo sudah mulai berfikir moderen, mereka tidak lagi memandang budaya dengan cara fanatik, namun mereka berfikir fleksibel pada budaya yang ada. Mereka lebih mengutamakan manfaat namun tidak menghilangkan budaya yang ada. Hal ini sesuai dengan hikmah yang terkandung dalam “Al-Muhafadah ‘ala
al-Qadim
as-Shalih
wa
al-Akhz
bi
al-Jadid
al-Aslah
(mempertahankan yang lama yang baik, dan mengambil yang baru yang lebih baik)”. C. Nilai-nilai Pendidikan dalam Ritual Adat Kematian pada Masyarakat
Desa Kebondowo Kecamatan Banyubiru Kabupaten Semarang 1. Nilai Pendidikan dalam Ritual Adat Kematian di Desa Kebondowo, Kecamatan Banyubiru, Kabupaten Semarang Sudah menjadi hal yang seakan diwajibkan dalam lingkungan masyarakat jawa untuk mengadakan ritual kematian ketika ada salah seorang anggota keluarga yang meninggal dunia. Akan menjadi perbincangan tetangga jika ritual ini tidak diadakan. Ini disebabkan masyarakat jawa sangat menghormati nenek moyang dan menghargai adat yang diwariskannya.
118
Ternyata ritual ini mempunyai manfaat yang besar, diantaranya sebagai penghiburan untuk keluarga jenazah, mendoakan jenazah, dan sebagai media untuk menyampaikan pendidikan. Jaman dulu orang membuat ritual dengan segala hal yang ada di dalamnya bukan tanpa makna, sangat banyak prosesi dan benda-benda perlengkapan ritual yang dijadikan lambang untuk pesan pendidikan yang ingin disampaikan. Faktanya meski ritual itu masih lestari hingga sekarang tetapi nilai pendidikan yang terkandung di dalamnya semakin hilang. Kini masyarakat hanya sekedar menjalankan tradisi yang turun temurun tanpa mengetahui maksud yang terkandung. Beberapa nilai pendidikan yang terkandung dalam ritual kematian diantaranya sebagai berikut: a. Nilai Pendidikan Sosial 1. Gotong royong Nilai ukhwah islamiyah dalam tradisi selamatan kematian pada masyarakat Jawa terdapat pada perkumpulan pada saat peringatan kematian. Dalam masyarakat Jawa, selamatan kematian yang memberikan kesempatan berkumpulnya sekelompok orang berdo’a bersama, makan bersama (selamatan) secara sederhana, merupakan suatu sikap sosial yang mempunyai makna turut berduka cita terhadap keluarga si mayat atas musibah yang menimpanya, yaitu meninggalnya salah seorang anggota keluarganya. Disamping
119
itu, juga barmakna mengadakan silaturrahmi serta memupuk ikatan persaudaraan antara mereka. Perkumpulan berduka cita yang disertai dengan bertahlil bersama pada kehidupan masyarakat menurut kebiasaan yang selama ini berjalan dilaksanakan pada sore atau malam hari. Masyarakat
yang
kehidupan
sehari-harinya
senantiasa
ditandai oleh kebersamaan, kegiatan yang akan dilaksanakan selalu dipertimbangkan secara matang sehingga tidak merasa mengganggu orang lain dalam bekerja mencari nafkah untuk menghidupi keluarganya, meskipun pada dasarnya jika kegiatan tersebut dilaksanakan pada pagi atau siang hari orang-orang akan rela meninggalkan pekerjaannya tanpa mempertimbangkan keuntungan materi. Perkumpulan di rumah si mayat tidak lain untuk mengadakan do’a bersama untuk dihadiahkan kepada si mayat atau setidaknya dengan suatu harapan pahala kebaikan yang dilakukan orang banyak itu mampu menghapus siksa yang akan menimpa si mayat, atau setidaknya bisa mengurangi siksaannya. Mereka menghadiahkan kepada si mayat karena meyakini bahwa pahala yang ditujukan kepada si mayat akan sampai kepadanya. 2. Tolong menolong Dalam hal tolong-menolong pada peristiwa kematian, biasanya dilakukan oleh seseorang dengan sangat rela, tanpa perhitungan akan mendapat pertolongan kembali, karena menolong
120
orang yang mendapat musibah itu rupa-rupanya berdasarkan rasa bela sungkawa yang universal dalam jiwa makhluk manusia. Dan dasar dari tolong-menolong juga rupa-rupanya perasaan saling butuh membutuhkan, yang ada dalam jiwa warga masyarakat. Nilai tolongmenolong dalam tradisi selamatan kematian pada masyarakat terlihat dalam pelaksanaan atau penyelenggaraannya. Misalnya dalam hidangan, selama tujuh hari berturut-turut para ibu-ibu (para tetangga dan kerabat dekat almarhum) membantu dalam persiapan hidangan (makan, minuman) undangan, karena dalam selamatan kematian tidak sedikit yang hadir kadang-kadang 100-150 orang (sesuai dengan relasi seseorang dalam bermasyarakat). Bahkan pada saat pelaksanaan kematian selesai, mereka bersama-sama membersihkan tempat-tempat yang telah digunakan. Dalam tolong menolong terdapat hubungan saling ketergantungan sebagai akibat dari adanya proses pertukaran yang saling memberikan balasan atas jasa yang diberikan orang lain kepada dirinya. Tolong-menolong dalam selamatan kematian terjadi secara spontan dan rela, tetapi juga ada yang didasarkan oleh perasaan saling membutuhkan yang ada dalam jiwa masyarakat tersebut. Kegiatan tolong menolong ini diartikan sebagai suatu kegiatan kerja yang melibatkan tenaga kerja dengan tujuan membantu si punya hajat dan mereka tidak menerima imbalan berupa upah (tolong-menolong pada situasi kematian musibah cenderung rela).
121
3. Solidaritas Suatu ciri khas masyarakat dalam menghadapi keluarga yang berduka cita adalah bertakziyah dengan membawa bawaan untuk diberikan kepada keluarga si mayat, dengan harapan dapat membantu meringankan penderitaan mereka selama waktu berduka cita. Bentuk bawaan menurut kebiasaan dapat berupa beras, gula, uang dan lain sebagainya. Tradisi nyumbang merupakan wujud solidaritas seorang anggota masyarakat terhadap saudara, anggota, rekan kerja atau anggota masyarakat lainnya yang sedang memiliki hajatan. Menurut Malinowsky dalam kutipan Koentjaraningrat sistem menyumbang untuk menimbulkan kewajiban membalas merupakan suatu prinsip dari kehidupan masyarakat kecil yang disebut “principle of reciprocity” (prinsip timbal balik). Maksudnya, orang memberi sumbangan dan membantu sesamanya tidak selalu dengan rela atau spontan karena terpaksa oleh suatu jasa yang pernah diberikan kepadanya dan ia menyumbang
untuk mendapat
pertolongan lagi di kemudian hari, malahan dalam berbagai hal orang desa sering memperhitungkan dengan tajam tiap jasa yang pernah disumbangkan kepada sesamanya itu dengan harapan bahwa jasa-jasanya akan dikembalikan dengan tepat pula. Tetapi dalam tradisi selamatan kematian prinsip ini tidak ditemukan karena mereka menyumbang penuh dengan kerelaan dan keikhlasan.
122
Dalam konteks sosiologis, ritual selamatan kematian sebagai alat
memperkuat
solidaritas
sosial,
maksudnya
alat
untuk
memperkuat keseimbangan masyarakat yakni menciptakan situasi rukun, toleransi di kalangan partisipan, serta juga tolong-menolong bergantian untuk memberikan berkah (do’a) yang akan ditujukan pada keluarga yang sudah meninggal b. Nilai Pendidikan Agama 1. Pendidikan iman dan tauhid Beberapa prosesi dalam ritual kematian yang mengajarkan untuk beriman diantaranya: a) Talqin Talqin itu tidak lain adalah mengingatkan orang akan jawaban
dari
pertanyaan-pertanyaan
yang
diajukan
oleh
sipenanya. Jika yang ditanya itu adalah orang yang sudah mati di dalam kubur, tentu yang menanyainya adalah malaikat Munkar dan Nakir sehingga yang diingatkan diantaranya bahwa Allah adalah Tuhan Yang Maha Esa, Muhammad adalah Rasulullah, Islam adalah agama yang diridhoi Allah. Ini dapat diartikan bahwa talqin bertujuan mengingatkan seseorang pada kunci Islam yaitu kalimat syahadat “saya bersaksi tiada Tuhan selain Allah, dan saya bersaksi Muhammad utusan Allah”. b) Zikir
123
Zikir artinya ingat. Sedangkan dzikir menurut pengertia syariat adalah mengingat Allah SWT dengan maksud untuk mendekatkan diri kepadaNya. Kita diperintahkan untuk berdzikir kepada Allah untuk selalu mengingat akan kekuasaan dan kebesaranNya sehingga kita bisa terhindar dari penyakit sombong dan takabbur. Zikir dapat dilakukan dengan bertafakur, memikirkan ciptaan Allah. Ritual kematian akan membuat orang berfikir tentang ciptaan Allah dan kekuasaan-Nya mengambil apa yang telah Dia ciptakan. Contohnya dalam prosesi melempar sejimpit tanah tiga kali di makam. Ketika melakukan prosesi ini dalam hati seseorang berkata “dari tanah kami diciptakan, kedalam tanah kami akan kembali, dan dari tanah suatu saat kami dikeluarkan lagi”. Dapat juga berzikir dengan mengucapkan lafazh-lafazh yang di dalamnya mengandung asma Allah dan membaca ayatayat Allah. Dalam ritual kematian terdapat prosesi berdoa bersama dan membaca surat Yasin. Dan
zikir
juga
dapat
dilakukan dengan perbuatan, yaitu menjauhi larangan-Nya serta menjalankan perintah-Nya. 2. Pendidikan akhlaq a) Sopan santun
124
Dalam merawat jenazah harus tulus dan hati-hati, misalnya dalam cara mengangkatnya dan juga dalam memandikannya. Tempat memandikan jenazah harus tertutup agar aurat jenazah tetap terjaga. b) Sikap menghormati Terdapat ritual brobosan yang dimaksudkan sebagai wujud penghormatan terakhir dari keluarga, terutama penghormatan anak cucu kepada jenazah. Sikap hormat juga diberikan oleh masyarakat kepada bapak modin sebagai imam mereka. c) Maaf-memaafkan Pihak keluarga berbicara untuk memintakan maaf atas kesalahan jenazah semasa hidupnya. d) Sikap tulus dan ikhlas Semua yang dilakukan masyarakat untuk membantu keluarga jenazah adalah bantuan yang tanpa pamrih. e) Menjalin silaturahim Berkumpulnya
masyarakat
dalam
ritual
kematian
merupakan salah satu aktifitas yang memupuk eratnya tali silaturahmi. f) Nasehat mulia Dalam ritual kematian sangat banyak nasehat yang tersirat di dalamnya, diantaranya agar anak mendoakan orang tuanya,
125
nasehat untuk mengingat bahwa semua yang hidup pasti akan mati, dan lain-lain. g) Menghibur orang lain Meninggalnya seseorang akan menimbulkan kesedihan atas keluarga dan saudara yang ditinggalkan. Maka dari itu kita datangi rumah duka terutama pada malam hari selain untuk mendoakan yang meninggal juga untuk menemani serta menghibur keluarga yang ditinggalkan. 3. Pendidikan syariat a) Merawat jenazah Merawat jenazah merupakan ibadah yang hukumnya fardu kifayah. b) Berdoa Berdoa
merupakan
cara
manusia
meminta
kepada
Tuhannya, bukan hanya untuk dirinya sendiri tetapi dapat juga doa dipersembahkan untuk orang lain termasuk orang yang sudah meninggal. c) Berzikir Mengingat Allah adalah ibadah dan mengingat kematian akan membuat seseorang selalu menjaga dirinya dari perbuatan yang tidak baik. d) Bersedekah
126
Ritual kenduri mengandung unsur sedekah yang besar, biasanya sedekah berupa makanan. Dalam ritual kematian pahala sedekah
kenduri
dipersembahkan
kepada
arwah.
Prosesi
melempar uang receh dan beras kuning juga dapat diambil makna yang mengajarkan untuk bersedekah. e) Membaca Al-Quran Zikir dan tahlil adalah serangkaian bacaan yang berasal dari penggalan-penggalan ayat Al-Quran diantaranya surat Al-Fatihah, Al-Ikhlas, An-Nas, Al-Falaq, ayat kursi, dan lain-lain. Untuk mendoakan orang yang sudah meninggal sering juga dibacakan surat Yasin. Dengan mengamati berbagai kegiatan yang ada pada acara ritual adat kematian di Dusun Kebondowo tersebut kiranya dapat kita ambil hikmahnya: 1. Mengingatkan alam akhirat Bahwa kelak di alam akhirat, manusia dibangunkan (dihidupkan) kembali oleh Allah SWT. Untuk menerima keadilan dan balasan atas segala amal perbuatan manusia semasa hidup di dunia, baik itu amal yang baik (saleh) yang dibalas dengan pahala, maupun amal yang buruk (jelek) yang akan dibalas dengan siksa (neraka), semuanya akan mendapat pembalasan yang seadil-adilnya. 2. Untuk dapat berzuhud terhadap dunia
127
Zuhud terhadap dunia yaitu meninggalkan dunia untuk berbakti kepada Allah SWT., artinya orang jangan sampai terpikat hati dan pikirannya dengan tipu muslihat dunia, tetapi ia dapat menyalurkan harta benda yang diperolehnya dengan jalan yang halal untuk beramal saleh yang diridhai oleh Allah SWT, seperti sedekah, infaq dan zakat. Sebab harta yang kita sedekah, infaq dan zakatkan tersebut itulah harta kita yang hakiki dan abadi, yang akan dapat kita ambil manfaatnya kelak di akhirat, sedang harta selain itu hanya titipan dan tidak akan kita bawa saat ajal menjemput kita. Nilai ini terkandung dalam prosesi pelemparan uang receh dan beras yang mengandung pesan bahwa orang mati tidak lagi membutuhkan materi. Semua materi hanya sementara dan akan ditinggalkan di dunia. 3. Untuk diambil suri tauladan Setiap menusia pasti akan mengalami kematian, yang waktunya tiada seorang pun yang mengetahui kecuali Allah SWT. Oleh karena datangnya ajal yang tiada terduga tersebut, maka seharusnya kita menyiapkan sejak dini bekal yang akan kita bawa bila ajal menjemput, bukan harta yang akan kita bawa, tetapi amal-amal soleh yang akan dapat menolong. 2. Nilai Negatif dalam Ritual Kematian di Desa Kebondowo, Kecamatan Banyubiru, Kabupaten Semarang
128
Tidak dapat dipungkiri bahwa di dalam ritual kematian juga terdapat nilai negatif. Beberapa nilai negatif yang terdapat dalam ritual kematian adalah: a. Mubadzir Kenduri yang dilaksanakan pada malam hari menyebabkan mubadzirnya makanan. Karena pada malam hari kebanyakan orang tidak lagi mempunyai nafsu makan dan memang sudah makan pada sore hari. Biasanya makanan kenduri dibuang saat pagi hari karena sudah basi. b. Memaksakan kemampuan Perasaan gengsi akhirnya membuat seseorang memaksakan kemampuan untuk mengadakan acara kenduri secara besar-besaran. Terkadang dia harus hutang untuk membiayai acara ini. c. Niat yang salah Ketidaktahuan masyarakat jaman sekarang atas hal-hal yang terdapat dalam ritual kematian mengakibatkan hilang nya maksud dari ritual tersebut. Niat mereka mengadakan acara ritual kematian hanya sejauh mengikuti tradisi peninggalan nenek moyang. Kebanyakan orang berangkat kenduri hanya untuk menjalin hubungan sosial, bukan berniat mendoakan orang yang sudah meninggal.
129
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh penulis di Desa Kebondowo Kecamatan Banyubiru Kabupaten Semarang tentang “NILAINILAI PENDIDIKAN DALAM RITUAL ADAT KEMATIAN PADA MASYARAKAT JAWA” dapat disimpulkan bahwa ritual adat kematian berfungsi sebagai wadah atau media penyampaian pendidikan kepada masyarakat. Nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam ritual adat kematian diantaranya: 1. Prosesi dalam ritual adat kematian Ritual
setelah
seseorang
meninggal
sampai
di
kuburkan
diantaranya diumumkan kepada warga, menyiapkan liang kubur, mengambil perlengkapan untuk merawat jenazah, memandikan jenazah, mengkafani jenazah, menshalati jenazah, mengupacarakan jenazah, jenazah diberangkatkan ke makam, dikuburkan, ditalqin. Ritual setelah jenazah dikuburkan diantaranya sur tanah, tahlilan selama tiga hari, kenduri pada tujuh hari, empat puluh hari, seratus hari, satu tahun, dua tahun, seribu hari, punggahan & pudunan, nyadran.
130
2. Persepsi masyarakat tentang ritual kematian Masyarakat sebenarnya tidak mengetahui tentang asal-usul dan nilai apa saja yang terdapat dalam ritual kematian namun mereka tetap melaksanakan dengan dasar menghormati dan menjaga budaya leluhur. Masyarakat juga merasakan kepuasan tersendiri ketika mampu mengadakan ritual kematian. 3. Nilai pendidikan yang terkandung dalam ritual adat kematian Terdapat beberapa nilai pendidikan sosial diantaranya berupa kegiatan gotong-royong, yaitu masyarakat bersatu membantu keluarga jenazah dalam mengurus segala kebutuhan ritual kematian sejak awal hingga akhir, nilai pendidikan sosial yang lainnya juga terdapat pada jiwa solidaritas yaitu ungkapan rasa turut berduka cita, masyarakat juga saling tolong-menolong untuk memberi bantuan karena suatu saat mereka juga akan membutuhkan pertolongan dari orang lain. Sedangkan nilai pendidikan agama dalam ritual adat kematian yaitu; pendidikan iman dan tauhid diantaranya talqin, tahlil, dan zikir. pendidikan akhlaq diantaranya bersabar, sopan santun, sikap menghormati, maaf-memaafkan, sikap tulus dan ikhlas,
menjalin
silaturahim, nasehat, menghibur orang lain, menguatkan mental, dan mengingatkan kepada kematian. pendidikan syariat diantaranya merawat jenazah, berdoa, berzikir, bertawakal, bersedekah, dan membaca Al-Quran.
131
B. Saran Pada akhir penulisan ini penulis memberikan saran yang mungkin dapat membantu dan bermanfaat bagi para pembaca pada umunya dan orang lain: 1. Tokoh masyarakat Desa Kebondowo sangat perlu menyampaikan dan
mengajarkan kandungan nilai pendidikan yang terdapat dalam ritualritual adat yang ada, sehingga masyarakat dapat menerima pesan yang dikandung dalam ritual tersebut dan tidak terjadi salah pengartian. 2. Perlunya masyarakat untuk lebih teliti atas apa yang dilakukannya
sehingga mau mencari tahu tentang sesuatu yang belum diketahui.
DAFTAR PUSTAKA
Amin, Darori. 2002. Islam dan Budaya Jawa. Yogyakarta: Gama Media Any, Anjar. 1983. Menyingkap Serat Wedotomo. Semarang: Aneka Ilmu. Asy-Syarbashi, Ahmad. 1997. YAS’ALUNAKA Tanya Jawab tentang Agama dan Kehidupan. Cairo: Lentera Barnadib, Sutari Imam. 1986. Pengantar Ilmu Pendidikan Sistematis. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) IKIP. Chafidh, M. Afnan, Asrori, A.Ma’ruf. 2006. Tradisi Islami Panduan Prosesi Kelahiran-Perkawinan-Kematian. Surabaya: Khalista. Darmadi, Hamid. 2009. Dasar Konsep Pendidikan Moral. Bandung: Alfabeta. Hamalik, Oemar. 2003. Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Remaja Rosda Karya. Ihsan, Fuad. 2003. Dasar-dasar Kependidikan. Jakarta: PT. Asdi Mahasatya. Kartono, Kartini. 1992. Pengantar Ilmu Mendidik Teoritis: Apakah Masih Diperlukan?. Bandung: CV Mandar Maju. Koentjaraningrat. 1994. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka Murtadho, M. 2002. Islam Jawa Keluar dari Kemelut Santri Vs Abangan. Yogyakarta: Lappera Pustaka Utama. Saebani, Beni Ahmad. 2009. Ilmu Pendidikan Islam. Bandung: Pustaka Setia. Sagala, Syaiful. 2006. Manajemen Berbasis Sekolah dan Masyarakat. Jakarta: Nimas Multima. Saridjo, Marwan. 1996. Bunga Rampai Pendidikan Agama Islam, Jakarta: CV Amissco. Sjarkawi. 2009. Pembentukan Kepribadian Anak. Jakarta: Bumi Aksara.
Soehartono, Irawan. 1995. Metode Penelitian Sosial. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Soelaiman Joesoef. 1986. Kosep Dasar Pendidikan Luar Sekolah, Surabaya: Bumi Aksara. Subyantoro, Arif. FX. Suwarto. 2006. Metode dan Teknik Penelitian Sosial. Yogyakarta: Penerbit Andi. SM, Ismail (Ed.). 2000. Mukti Abdul. Pendidikan Islam, Demokratisasi dan Masyarakat Madani, Semarang: Pustaka Pelajar. Surayin. 2007. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Yogyakarta: Yrama Widya. Susetya, Wawan. 2007. Ular-Ular Manten. Yogyakarta: Narasi. Syaifullah. 2005. Muhammad Qutb dan Sistem Pendidikan Non Dikotomik. Yogyakarta: Suluh Press. Thoha, Cabib. 1996. HM. Kapita Selekta Pendidikan Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Widodo, Sembodo Ari. 2007. Pendidikan Islam dan Barat. Jakarta: PT. Raja Grafinda Persada. Yunus, Mahmud. 1983. Metodik Khusus Pendidikan Agama. Jakarta: PT.Hadikarya Agung. Zuriah, Nurul. 2007. Metodologi Penelitian Sosial dan Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. http//id.shvoong.com/social-sciences/counseling/2206664: Pengertian Makna Ritual Budaya. /#IXZZ1hjlAAsd. diakses 19 Maret 2013. http//blog.unikom.ac.id/. diakses pada 18 Maret 2013
http//ulinareswari.blogspot.com/2011/01/: Upacara Kematian Tradisi Jawa.html, diunggah pada 28/03/2013.
Dalam
http//id.masharjo’s.com/2010/12: Hamemayu Hayuning Bawana.html, diunggah pada 28 Maret 2013.