MAKNA KAMBING DAN MERPATI DALAM RITUAL NYEWU PADA MASYARAKAT JAWA Oleh: Surono PENDAHULUAN Masyarakat Jawa dikenal sebagai masyarakat yang sangat religius, religius dalam arti mengakui ada kekuatan/kekuasaan lain di luar manusia. Lebih tepatnya kekuasaan alam transenden atau supra natural. Kepercayaan terhadap alam supranatural ini membuat masyarakat Jawa tampak sangat berhati-hati dalam bersikap dan berperliku dalam kehidupan sehari-hari (Suseno 1993). Masyarakat Jawa juga mempercayai pada kekuatan yang melebihi kekuatan manusia (Kodiran dalam Koentjaraningrat 1997:347) Sifat religiusitas tersebut misalnya tampak dalam ritual wiwit sebelum memanen padi, ritual ngubengi beteng ketika malam satu suro, dan ratusan bahkan ribuan ritual lainnya baik dalam lingkup yang luas maupun yang sempit. Demikian juga ketika masyarakat Jawa menyikapi kehidupan, mereka tidak lepaslepasnya berusaha untuk selalu berkomunikasi dengan kekuatan supranatural. Salah satu contohnya adalah ritual masyarakat Jawa dalam daur hidup. Sejak manusila lahir di dunia langsung disambut dengan ritual brokohan, kemudian dilanjutkan dengan upacara sepasaran, selapanan, dan sebagainya. Bahkan ketika manusia sudah meninggal pun, keluarganya tetap melakukan ritual selamatan. Mulai dari sur tanah, tiga hari, tujuh hari, sampai dengan nyewu. Ritual kematian orang Jawa tidak cukup dilakukan sehari atau sepekan namun dilakukan dalam dalam rentang waktu yang panjang. Mulai dari saat kematian (geblak), peringatan 3 hari, 7 hari, 40 hari, 100 hari, 1 tahun, 2 tahun, dan 1000 hari, bahkan sampai dengan kol-kolan. Setiap kegiatan mempunya makna sendirisendiri. (Zulfadli,2011; Subagya,2004). Khusus dalam ritual nyewu, masyarakat Jawa juga memiliki perlakuan khusus, dibanding dengan ritual-ritual yang berhubungan dengan kematian lainnya. Karena nyewu dianggap sebagai ritual perpisahan dari arwah seseorang yang sudah meninggal dengan kerabatnya yang masih hidup. Sehingga ritual tersebut harus dilakukan dengan semeriah mungkin. Salah satunya ditambahkannya kambing dan merpati dalam ritual tersebut. Demikian pentingnya
posisi nyewu ini, sampai–sampai banyak keluarga Jawa
yang rela untuk berhutang kepada orang lain demi acara nyewunya bisa terlaksana dengan baik. Ritual nyewu yang kita pandang demikian “sulit” dan “mahal” sebenarnya
merupakan salah satu bentuk penghormatan orang jawa terhadap orang lain. MagnisSuseno mengatakan bahwa prinsip hormat adalah ditunjukkan melalui cara bicara dan membawa diri terhadap orang lain sesuai dengan derajat dan kedudukannya (60:1993). Dalam paper ini penulis akan mencoba untuk melakukan analisis tentang makna kambing dan merpati dalam ritual nyewu tersebut. Hal ini dilakukan karena selama ini para ahli cenderung membahas permasalahan yang berkaitan dengan makna maupun fungsi ritual secara umum di dalam masyarakat. Sedangkan pada level unsur-unsur ritual belum banyak mendapatkan tempat.
I.
KAJIAN PUSTAKA Ritual nyewu termasuk salah satu bagian dari selamatan yang dilakukan oleh
masyarakat Jawa. Dimana selamatan sendiri didefinisikan sebagai suatu upacara makan bersama makanan yang telah diberi doa oleh modin (orang yang dianggap lebih menguasai ajaran Islam) sebelum dibagi-bagikan (Kodiran dalam Koentjaraningrat, 1999: 347 dalam Zulkarnaen, 2005). Seluruh proses ritual (slametan) kematian yang dilakukan oleh keluarga orang yang meninggal juga dimaksudkan agar orang yang meninggal memperoleh ketenangan di alam kelanggengan, sementara ahli waris yang ditinggalkan merasa ikhlas melepas kematiannya. Melalui ritus suasana duka ditinggalkan seseorang yang dikasihi agar tidak mengganggu aktifitas kehidupan seharihari (Subagya,2004). Pada masyarakat Jawa, ritual nyewu dilaksanakan untuk memperingati kematian manusia yang sudah meninggal, kecuali para bayi yang meninggal sebelum sempat dilahirkan (trek). Bagi bayi trek ini hanya dilakukan peringatan kematian sekali saja, yaitu surtanah tidak ada upacara lain selain itu (Zulkarnaen, 2005) Menurut Anonym, makna nyewu pada masyarakat Jawa setidaknya terkandung dua hal. Pertama sebagai syarat sebelum dipasangi batu nisan (kijing) agar mampu menahan beban berat batu nisan yang terbuat dari batu tatahan. Fungsi yang kedua, tradisi ini juga merupakan implementasi kepercayaan adanya siksa kubur dengan melihat posisi tulang-belulang yang terlihat berantakan seperti tengkorak kepala ada di kaki, hal itu merupakan siksa kubur yang diterimanya sebagai imbas dari perbuatan buruknya selagi hidup di dunia. Begitupun sebaliknya ketika mereka mendapati tulangbelulang dalam keadaan utuh seperti saat raga dikebumikan, mereka percaya bahwa semasa hidupnya almarhum orang yang baik. Kepercayaan mereka tentang adanya
2
siksa kubur versi tulang-belulang seringkali terbukti, karena durasi seribu hari adalah waktu yang singkat untuk membuktikannya. Tentunya kepercayaan ini akan lebih mengingatkan manusia bahwa suatu saat manusia pasti akan mengalami hal seperti itu, sehingga seseorang tersugesti untuk merefleksikan jalan hidupnya menjadi lebih baik. (Anonym, http://www.jurnalskripsi.net/tag/islam/page/8/). Berkaitan dengan hal ini penulis kurang sependapat terutama poin pertama, karena yang diutarakan tersebut barulah pada level yang kasat mata. Padahal untuk melihat makna sesuatu harus dilihat yang tidak tampak pada indera saja. Untuk melihat makna ritual nyewu secara utuh/murni nampaknya bukan pekerjaan yang mudah lagi. Karena pada saat ini berbagai tradisi yang ada dalam masyarakat Jawa hampir selalu sudah terkena pengaruh dari agama moneteis. Penulis sependapat dengan Suhardi yang mengatakan bahwa pengaruh agama monoteis sudah merasuk ke dalam seluruh sendi kehidupan manusia termasuk upacara daur hidup (Suhardi, 2009:28).
III. PROBLEMATIK Berdasarkan penjelasan tersebut di atas maka paper ini akan membahas permasalahan: 1. Bagaimana proses ritual nyewu pada masyarakat Jawa? 2. Apa makna kambing dan merpati bagi masyarakat Jawa dalam ritual nyewu? IV. PENDEKATAN TEORITIS Paper ini akan ditulis dengan menggunakan pendekatan hermeneutik. Dimana hermeneutik pada dasarnya adalah ilmu membaca dan memaknai simbol. Ilmu ini diilhami oleh para pendeta Nasrani yang bekerja dalam memahami teks-teks kitab suci. Makna yang dihasilkan dari pendekatan ini sering kali tidak jelas sama sekali, penuh teka-teki. Bukan hanya secara makna yang tidak jelas, tapi juga asal usul dan proses penciptaannya. Oleh karena itu, cara yang ditempuh dalam menghadapi ketidakjelasan ini adalah dengan menafsir atau menginterpretasi (dikutip dari Surono, 2011) Proses awal dalam melakukan kajian simbolik adalah memperhatikan pandangan masyarakat pemilik kebudayaan tersebut. Suatu tafsir terhadap simbol-simbol tidak akan lengkap tanpa memperhatikan pandangan atau tafsir yang diberikan oleh pemilik atau
3
pembuat
simbol
itu
sendiri.
(Ahimsa
dalam
http://roythaniago.wordpress.com/2010/07/27/paradigma-antropologi-budaya/) Pendekatan Hemeneutik, sering juga disebut pendekatan Interpretif, Semantik, Simbolik, Semiotik. Pendekatan ini mewakili perkembangan dan reaksi terhadap pendekatan Sosiologis dalam studi agama, terutama teori Fungsionalisme-Struktural. Hemeneutik menempatkan agama sebagai suatu budaya atau sistem simbolis yang pada dasarnya adalah sistem makna yang mengekspresikan dan membentuk realitas sosial. juga sebagai penempatan dan rasa identitas sekelompok orang. Pendekatan simbolik atau hermeneutik cenderung menolak analisis komparatif dan keilmiahan masyarakat dan menekankan pada metafisik idealis. (Suhardi, dalam Surono 2011). Geertz mengatakan bahwa melalui simbol, ide, ritual, dan adat kebiasaan dapat ditemukan pengaruh agama dalam setiap relung kehidupan masyarakat Jawa. Setiap gerak dan tingkah laku manusia Jawa tidak pernah terlepas dari agama. Sehingga Geertz berani mengatakan bahwa agama merupakan sistem budaya (Geertz dalam Pals :413:2001). Sedangkan Turner mengatakan, bahwa kita dapat menemukan dengan mudah berbagai simbol yang digunakan oleh manusia di dalam ritus-ritus suatu masyarakat (1967). Makna sebuah simbol jauh melampaui bentuk lahiriahnya yang terlihat, yang secara arbitrer yang mengacu pada sebuah konsepsi yang abstrak, nilainya yang tinggi terletak dalam suatu substansi bersama dengan ide yang disajikan. Menurut Louis Macneice, sebuah simbol pada satu tataran adalah suatu „tanda tangan imanensi Tuhan‟. Tampilan simbolis banyak terdapat dalam interaksi sosial, persitiwa seremonial dan ritualistik. Dengan demikian konsepsi simbol mengacu pada makna-makna intelektual di dunia mondial maupun mistis di alam transendental (Suhardi, 2012)
V. PENDEKATAN METODOLOGIS Paper ini ditulis berdasarkan penelitian lapangan dan pustaka. Untuk mendapatkan data yang komprehensif maka peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif. Pengumpulan datanya menggunakan metode wawancara dan observasi. Wawancara dilakukan terhadap beberapa orang di wilayah Bantul Yogyakarta. Sedangkan observasi dilakukan di Jetis Klaten dan Bragasan Sleman. Selain itu pengumpulan data juga dilakukan dengan memanfaatkan jejaring sosial Facebook.
4
Sesuai dengan jenis datanya, maka untuk analisis data dilakukan dengan analisis deskriptif. Untuk memperdalam dan memperoleh hasil analisis yang komprehensif maka dalam analisis data penelitian ini juga didukung dengan studi pustaka yang relevan dengan tema penelitian. VI.
DESKRIPSI FAKTUAL DAN ANALISIS Kematian bagi masyarakat Jawa adalah paradoks kehidupan. Kematian bukan
merupakan titik akhir, melainkan awal perjalanan hidup yang lebih kekal. Masyarakat Jawa mempercayai adanya dunia lain sesudah mati (Zulfadli, 2011). Sehingga setiap orang Jawa diwajibkan untuk mempersiapkan kematian dengan baik. Toh jika pun tidak bisa menyiapkan kematian dengan baik maka menjadi kewajiban keluarga agar setelah kematian salah seorang kerabatnya memperlakukan arwah dengan baik. Harapannya adalah akan diperoleh kehidupan untuk arwah kerabat yang baik sampai arwah tersebut mencapai alam kelanggengan. Untuk mencapai itu semua maka salah satu upayanya adalah melakukan ritual nyewu bagi arwah-arwah kerabat mereka ketika sudah menginjak usia kematian seribu hari.
Berbeda
dengan
selamatan/
ritual-ritual memperingati kematian
lainnya,
ritual/Selamatan nyewu dina ini dilakukan besar-besaran karena dianggap sebagai ritual yang terakhir kalinya bagi kerabat orang yang telah meninggal. Oleh karena itu materi atau perlengkapan atau unsur selamatannya selain beberapa unsur yang sama dengan beberapa peringatan sebelumnya (sur tanah sampai dengan mendhak pindho) ditambah pula dengan memotong seekor kambing dan melepaskan sepasang merpati. Disamping itu pada akhir rangkaian nyewu ini juga dilakukan adat ngijing atau nyandhi, yaitu mengganti/memasang kijing di kuburan orang yang meninggal. Berkaitan dengan hal ini maka nyewu juga dikenal dengan upacara ngijing. Dalam upacara nyewu, penulis mencoba membaginya ke dalam beberapa rangkaian kegiatan utama:
1. Menyembelih kambing Penyembelihan kambing merupakan salah satu prosesi utama dalam ritual nyewu, biasanya dilaksanakan pada siang hari. Sebelum kambing disembelih, kambing dimandikan dengan air bunga setaman, dikeramasi dengan air lada atau mangir, diselimuti kain kafan bada bagian badannya, dikalungi rangkaian bunga, dan diberi makan daun sirih (Zulkarnaen, 2005). Berdasarkan hasil pengamatan penulis,
5
biasanya kambing yang disembelih adalah kambing Jawa jantan, memiliki warna rambut polos, dan memiliki tanduk yang panjang. Proses penyembelihannya pun juga dilakukan dengan khusus, yakni dengan menidurkan kambing menghadap ke arah Barat dengan membujurkan badan kambing ke arah Utara (kepala kambing di sebelah utara). Setelah disembelih dan dikeleti (dipisahkan kulit dengan badannya), daging kambing kemudian dimasak becek. Hasil masakan ini akan dimakan bersama-sama oleh orang-orang yang melakukan tahlilan pada malam harinya. Biasanya, masakan daging kambing tersebut sebagian dimakan bersama-sama ketika tahlilan dan sebagian kecil di letakkan di sebuah takir kecil untuk dibawa pulang bersama-sama dengan nasi berkat yang diletakkan dalam sebuah besek. Pada perkembangan saat ini (terutama di wilayah perkotaan) masakan daging kambing tidak lagi dibawa pulang oleh para tamu undangan yang menghadiri acara tahlilan. Akan tetapi dimakan bersama-sama di tempat tahlilan setelah acara tahlilan selesai1. Kebiasaan ini disebabkan oleh tidak adanya lagi nasi berkat (besekan) yang di bawakan pulang untuk para peserta tahlilan. Nasi berkat saat ini sudah diganti dengan bahan-bahan makanan pokok yang masih mentah. Seperti beras satu kilogram, gula setengah kilogram, mie instan, telur ayam mentah satu butir, dan satu kotak the, dan sebagainya. 2. Tahlilan dan Melepaskan burung merpati Tahllilan dan pelepasan sepasang burung merpati merupakan dua hal yang tidak dapat terpisahkan. Pada umumnya masayarakat Jawa yang beragama Islam (di perkotaan maupun perdesaan) melaksanakan acara tahlilan pada malam hari selepas sholat Isya. Sekitar 30 sampai 60 orang berkumpul di rumah seseorang yang memiliki hajat nyewu, kemudian mereka duduk membentuk formasi kotak dalam beberapa kelompok, tergantung banyaknya tamu yang hadir. Yang menarik adalah semua tamu yang melaksanakan tahlilan adalah laki-laki. Sedangkan para wanita sibuk menyiapkan konsumsi di dapur. Acara dimulai dengan pengucapan ujub atau permohonan tuan rumah atau yang mewakili kepada modin untuk mendoakan anggota keluarga mereka yang telah meninggal genap seribu hari. Ritual ini diakhiri dengan pembacaan doa oleh modin. 1
Tahlilan hanya dilaksanakan untuk mereka yang menganut agama Islam, sedangkan yang non Islam penulis tidak tahu persis apa yang mereka lakukan.
6
Pada saat tahlilan tersebut biasanya para anggota tahlilan terlihat serius dalam melaksanakannya. Acara tahlilan ini kurang lebih berlangsung selama satu jam. Setelah acara tahlilan selesai, tepatnya setelah modin membacakan doa, maka dilakukan pelepasan burung merpati oleh pihak keluarga arwah yang meninggal. Berdasarkan hasil pengamatan, sebelum dilepas sepasang burung merpati ini dimandikan, diberi rangkaian bunga di lehernya. Pada kaki burung merpati ini ditalikan selembar uang kertas yang nominalnya bervariasi. Pada saat pelepasan ini juga disertakan uang udik-udik, yaitu berupa sejumlah uang koin. Uang koin tersebut dicampur dengan beras, kunir yang diiris kecil-kecil dan diletakkan pada sebuah piring. Setelah melepaskan burung merpati maka secara bertahap uang udik-udik ini juga dilempar-lemparkan. Pada saat pelemparan uang udi-udik inilah merupakan saat yang ditunggu-tunggu oleh anak-anak. Karena mereka akan berebutan uang yang bisa untuk jajan. 3. Ngijing atau nyandhi Rangkaian terakhir dari ritual nyewu
adalah ngijing/ nyandhi. Acara ini
biasanya dilaksanakan pagi hari setelah pihak keluarga selesai melaksanakan tahlilan. Ngijing adalah proses penggantian kuburan tanah menjadi kuburan batu (kijing/maejan). Lamanya pembangunannya tergantung dari jenis kijing apa yang hendak dibangun. Untuk bangunan yang sederhana biasanya hanya memerlukan waktu satu hari sedangkan untuk bangunan yang agak mewah memerlukan beberapa hari untuk menyelesaikannya2.
VII. MAKNA KAMBING DAN MERPATI PADA RITUAL NYEWU Dalam ritual nyewu di kalangan masyarakat Jawa, terdapat dua unsur penting yang tidak bisa diabaikan yaitu kambing dan merpati. Penggunaan dua binatang dalam ritual yang penting ini tentunya mengandung pesan tertentu. Tidak mungkin masyarakat Jawa menggunakan dua binatang ini hanya karena kebetulan. Seperti kata Geertz, bahwa setiap tindakan manusia merupakan sebuah upaya untuk menebarkan jaring2
Jaman dahulu kijing dibuat secara manual/langsung di atas kuburan tetapi saat ini kijing yang siap pakai mudah ditemukan di mana-mana. Bagi keluarga yang mampu biasanya mereka akan membangun kijing dengan cukup mewah. Sedangkan mereka yang kurang mampu seringkali hanya menambahkan batu bata saja pada kuburan tersebut.
7
jaring makna ke sekelilingnya, sehingga setiap tindakannya selalu memiliki makna tertentu (Geertz, 1992). Sehingga Turner (1967) pun mengatakan, ketika memasuki masyarakat maka kita seperti memasuki hutan yang penuh dengan pohon-pohon simbol. Tugas kita adalah memaknai simbol-simbole tersebut a. Kambing Kambing merupakan komponen yang sangat penting dalam ritual nyewu. Sebagai perlengkapan nyewu, kambing selalu dipilih yang jantan dan terbaik. Pemilihan ini disebabkan para kerabat orang yang telah meninggal tidak menginginkan arwah kerabat mereka terlunta-lunta di alam sana. Dengan memberikan yang terbaik maka arwah juga akan merasa puas, sehingga diharapkan bisa terus memberikan bantuan kepada kerabatnya yang masih hidup. Masyarakat menganggap bahwa kambing sembelihan pada acara nyewu diyakini akan berfungsi sebagai kendaraan/tunggangan arwah untuk menghadap Tuhan setelah selama seribu hari masih berada di alam ”dunia”. Karena berfungsi untuk menghadap Tuhan selama-lamanya maka kambing yang di pilihpun tidak sembarangan. Masyarakat Jawa memiliki beberapa kriteria kambing yang layak sebagai tunggangan arwah menghadap Tuhan: 1) Kambing Jantan: pada hampir semua sisi kehidupan masyarakat Jawa, jantan dianggap lebih baik daripada betina. Salah satunya misalnya tampak pada kebanggaan dalam kepemilikan anak di dalam keluarga. Anak lelaki dianggap memiliki keunggulan dibanding anak perempuan. Dalam berbagai upacara adat, posisi laki-laki selalu di kanan atau di depan. Di dalam kisah-kisah pewayangan, tokoh/pahlawan selalu di tampilkan sebagai sosok laki-laki, dan sebagainya. Dalam hal ini jantan dimaknai sebagai sebuah kemuliaan. 2) Bulu mulus/polos: Kambing untuk keperluan nyewu selalu dipilih yang memiliki warna bulu tubuh mulus/polos, artinya bulu-bulu kambing tidak memiliki pola tertentu. Kemulusan warna kambing ini di akui masyarakat Jawa melambangkan ketulusan dan kepolosan hati. Untuk menghadap kepada Tuhan harus dengan keihklasan jiwa. Mereka sangat menghindari kambing yang memiliki pola, akan tetapi ketika tidak ditemukan kambing polos maka yang kambing yang berpola pun boleh digunakan.
8
3) Tanduk panjang: melambangkan kekuatan. Sebagai sebuah hewan tunggangan arwah tentunya dibutuhkan tunggangan yang kuat. Karena jika lemah maka akan berpengaruh terhadap kedatangan arwah ke hadapan Tuhan. Jika kita mencermati dalam pemilihan kambing dalam ritual nyewu, penulis menganggap bahwa hal ini karena adanya pengaruh Islam. Terutama ajaran qurban yang juga menggunakan sarana/ hewan kurban berupa kambing. Para penyebar Islam jaman dahulu (wali songo) memiliki misi tersembunyi agar masyarakat Jawa terbiasa untuk memberikan sesuatu yang berharga untuk kepentingan masyarakat, minimal sekali sumur hidup. Dari sinilah kemudian muncul binatang kambing yang termasuk salah satu rajakaya yang sangat dicintai masyarakat Jawa
b. Merpati Burung Merpati merupakan simbol dari arwah kerabat mereka yang dilepas. Pelepasan sepasang merpati ini menyimbolkan bahwa kerabat arwah yang sudah meninggal dengan tulus iklas melepaskan kepergiannya untuk selama-lamanya. Pada kaki burung ini juga diikatkan selembar uang dimaksudkan untuk bekal perjalanan selama arwah tersebut terbang menuju Tuhan. Masyarakat Jawa meyakini bahwa perjalanan menuju ke hadapan Tuhan bukanlah perjalanan yang pendek, tetapi perjalanan yang sangat panjang. Bukan mustahil para arwah tersebut di tengah jalan membutuhkan biaya untuk melanjutkan perjalanannya. Disamping itu ada pula pandangan dari sebagian masyarakat bahwa pelepasan burung merpati sebagai bentuk perpisahan selama-lamanya antara arwah dengan kerabat yang masih hidup. Kerabat yang masih hidup dengan lega lila (ikhlas) melepaskan kepergian arwah kerabat mereka yang sudah meninggal untuk selamalamanya. Sehingga hubungan antara arwah dengan kerabatnya juga “lepas” karena arwah akan kembali berdiam di asalnya. Menurut penulis, pemilihan burung merpati sebagai salah satu perlengkapan pokok ritual nyewu lebih disebabkan karena mudahnya mendapatkan burung merpati dibandingan dengan burung-burung yang lain. Bahkan jika terpaksa harus membelipun harganya tidak terlalu mahal seperti halnya burung-burung lain seperti (kutilang, jalak, apalagi perkutut). Di samping itu, pemilihan ini menurut penulis juga dilandasi oleh kemampuan terbang merpati yang jauh lebih unggul dibanding burung piaraan lainnya.
9
Dengan demikian ketahanan terbang ini dianggap akan semakin meyakinkan masyarakat bahwa arwah kerabat mereka akan sampai dengan selamat. VIII. KESIMPULAN Dari penjelasan paper di atas kita bisa menarik kesimpulan bahwa: 1. Nyewu merupakan satu-satunya slametan memperingati kematian seseorang yang dilaksanakan paling meriah dibandingkan dengan ritual lainnya.dan pada saat ini pelaksanaan ritual nyewu tidak lagi serumit dulu, karena sudah mengalami berbagai modifikasi
dan
penyederhanaan
baik
dalam
proses
maupun
dari
segi
perlengkapannya. 2. Kambing dan merpati merupakan dua komponen yang paling penting dalam pelaksanaan ritual nyewu. Berbagai modifikasi maupun penyederhanaan dalam pelaksanaan nyewu tidak berpengaruh terhadap keberadaan kambing dan merpati dalam ritual ini. 3. Latar belakang pemilihan kambing dan merpati selain menyimbolkan makna tertentu juga sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial budaya masyarakat jaman dahulu
10
Referensi
Geertz, Clifford. 1992. Tafsir Kebudayaan. Penetbit Kanisius. Yogyakarta Koentjaraningrat. 1997. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia Penerbit Djambatan. Jakarta. Lokesywara, Zulkarnaen Syri (2005) „Memahami Essential Messages Upacara Tradisional Melalui Pembelajaran Antropologi lntegratif‟, Jurnal Pendidikan dan Kebudnyaan, No. 056. Tahun Ke-11, September 2005 Magnis-Suseno, Franz, 1993, Etika Jawa Sebuah Analisis Falsafi Kebijaksanaan Hidup Jawa, Gramedia Pustaka Utama Jakarta.
tentang
Pals, Daniel L, 2001, Seven Theories of Religion, Penerbit Qalam, Yogyakarta Subagya, Y. Tri. (2004) Menemui Ajal. Etnografi Jawa tentang Kematian, Kepel Press, Yogyakarta Suhardi, 2012. Silabus Mata Kuliah “Tafsir Kebudayaan/teori Simbol” Program S2 Antropologi UGM (tidak diterbitkan). -------------- 2009, Alam-Religi Solidaritas Sosial di Papua dan Jawa Terawang Antropologi, Kerjasama Scholarship for Intercultural Studies Program, PSAP UGM, Yogyakarta Surono, 2011, “Upacara Mendhem Ari-Ari:Sebuah Harapan Masyarakat Jawa Untuk Keharmonisan”, Makalah Tugas akhir Mata Kuliah AGAMA DAN DINAMIKA MASYARAKAT, program S2 Antropologi UGM (tidak diterbitkan) Suseno,
Franz Magnis, 1993, Etika Jawa Sebuah Analisis Falsafi Kebijaksanaan Hidup Jawa, Gramedia Pustaka Utama Jakarta.
tentang
Turner, Victor. 1967, The forest of symbols: aspects of Ndembu ritual, Ithaca, N.Y. Cornell University Press. Online: (Anonym, Nilai-Nilai Islam Dalam Tradisi Ngijiring Pada Upacara Selam, dalam http://www.jurnalskripsi.net/tag/islam/page/8/) Muhammad Zulfadli,2011,”Budaya http://sosbud.kompasiana.com/2011/04/22/budaya-kematian/
Kematian”
http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2010/10/22/127653/Hujan-TakSurutkan-Warga-Ikut-Tahlilan http://roythaniago.wordpress.com/2010/07/27/paradigma-antropologi-budaya/
11