TRADISI KAWIN BOYONG DALAM PERKAWINAN ADAT MASYARAKAT GESIKAN ( Studi Kasus di Desa Gesikan Kec. Grabagan Kab. Tuban )
SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai gelar Sarjana Hukum Islam (S. Hi)
Oleh: Moh. Mus’id Adnan NIM 03210085
JURUSAN AL-AHWAL ASY-SYAKHSIYYAH FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) MALANG 2008
i
TRADISI KAWIN BOYONG DALAM PERKAWINAN ADAT MASYARAKAT GESIKAN ( Studi Kasus di Desa Gesikan Kec. Grabagan Kab. Tuban )
SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai gelar Sarjana Hukum Islam (S. Hi)
Oleh: Moh. Mus’id Adnan NIM 03210085
JURUSAN AL-AHWAL ASY-SYAKHSIYYAH FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) MALANG 2008
ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Pembimbing penulisan skripsi saudara Moh. Mus’id Adnan, NIM 03210085, mahasiswa Fakultas Syari’ah Universitas Islam Negeri (UIN) Malang, setelah membaca, mengamati kembali berbagai data yang ada di dalamnya, dan mengoreksi, maka skripsi yang bersangkutan dengan judul:
TRADISI KAWIN BOYONG DALAM PERKAWINAN ADAT MASYARAKAT GESIKAN ( Studi Kasus di Desa Gesikan Kec. Grabagan Kab. Tuban )
Telah dianggap memenuhi syarat-syarat ilmiah untuk disetujui dan diajukan pada majelis dewan penguji.
Malang, 22 Maret 2008 Pembimbing,
Dra. Hj. Mufidah CH, M.Ag NIP. 150 240 393
iii
PENGESAHAN SKRIPSI Dewan penguji skripsi saudara Moh. Mus’id Adnan, NIM 03210085, mahasiswa Fakultas Syari’ah angkatan tahun 2003, dengan judul TRADISI KAWIN BOYONG DALAM PERKAWINAN ADAT MASYARAKAT GESIKAN ( Studi Kasus di Desa Gesikan Kec. Grabagan Kab. Tuban ) Telah dinyatakan LULUS dan dipertahankan didepan Dewan Penguji serta berhak menyandang Gelar Sarjana Hukum Islam (S.HI) Dengan Penguji: 1. Dr. Saifullah, S.H, M.Hum NIP. 150 303 048
(...………………..............) Penguji Utama
2. Musleh Herry, S.H., M.Hum NIP. 150 295 152
(...............………………..) Ketua Penguji
3. Dra. Hj. Mufidah Ch, M.Ag NIP : 150 240 393
(...............………………..) Sekretaris
Malang, 29 Maret 2008 Dekan,
Drs. H. Dahlan Tamrin, M.Ag NIP : 150 216 425
iv
PERSEMBAHAN
Karya ini kupersembahkan untuk Orang-orang yang paling berjasa dalam hidupku Yang telah memberikan arti bagi kehidupanku 1. Kepada orang tuaku H.Maksum Adnan dan Hj.Zumroh (Almh) terima kasih selama ini telah membimbing ananda hingga kini, serta telah memberikan ketulusan kasih sayang, motivasi semangat yang begitu besar dan do’a yang tiada henti dalam menjalani kehidupan ini. 2. Kepada guru-guruku yang telah memberikan ilmunya kepadaku. 3. Keluargaku semuanya yang turut serta memberikan do’a dan semangat selama ini, menjadikan hidupku begitu indah dan bermakna. 4. Sahabat-sahabat terbaikku Sholeh Thohari, Anshory, Rid-one, Abdurrahman (nanang) terima kasih kalian selama ini telah memberi banyak motivasi semangat ketika aku sedang terpuruk, memberi pengetahuan serta ilmu yang InsyaAllah bermanfaat. 5. Teman-teman di UKM UNIOR khususnya PB (Persatuan Bulutangkis) yang membuatku merasa berarti ketika bersama kalian. ‘Sport will never die’ Kupersembahkan karya yang sederhana ini kepada kalian semua, doaku; “Semoga Allah SWT. memberikan kekuatan dan kemampuan kepadaku untuk bisa mewujudkan apa yang kalian titipkan selama ini Dan semoga aku bisa membahagiakan kalian semua” Amin Ya Robbal Alamin.
v
MOTTO
ﱠﻞﻗﺎﻝ ﻟﻨﺎ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻ: ﺍﻟﱠﻠﻪِ ﺑﻦ ﻣﺴﻌﻮﺩ ﺭﺿﻰ ﺍﷲ ﻋﻨﻪ ﻗﹶﺎﻝﹶﺒﺪ ﻋﻦ ﻋ ﺝ ﻭ ﺰﺘﺎﺀَﺓﹶ ﻓﹶ ﹾﻠﻴﻢ ﺍ ﹾﻟﺒ ﻨﻜﹸ ِ ﻣﻄﹶﺎﻉﺳﺘ ﻦ ﺍ ﺎﺏِ ﻣﺸﺒ ﺍﻟﺮﻌﺸ ﺎ ﻣﻳ: ﱠﻠﻢﺳﻴﻪِ ﻭ ﻠﹶ ﻋﺍﻟﱠﻠﻪ .ﺎٌﺀ ﻭِﺟ ﻟﹶﻪﻧﻪِﻮﻡِ ﻓﹶﺈ ﺼ ﻴﻪِ ﺑِﺎﻟ ﻠﹶﻊ ﻓﹶﻌ ِﻄﺴﺘ ﻢ ﻳ ﻦ ﻟﹶ ﻣﻭ Dari Abdullah bin Mas’ud r.a berkata, Rasulullah Saw bersabda: “Wahai para pemuda barang siapa yang telah mampu hendaknya menikah, Sebab menikah akan lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kehormatan, Kalau belum mampu maka berpuasalah, karena puasa Akan menjadi perisai baginya.” (Muttafakun 'alaihi)
Takhrijul Hadits, Kutubuttis’ah, Shohihul Bukhori, An-Nikah, No Hadits 4677
vi
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI
Demi Allah, Dengan kesadaran dan rasa tanggung jawab terhadap terhadap pengembangan keilmuan, penulis menyatakan bahwa skripsi dengan judul:
TRADISI KAWIN BOYONG DALAM PERKAWINAN ADAT MASYARAKAT GESIKAN ( Studi Kasus di Desa Gesikan Kec. Grabagan Kab. Tuban )
Benar-benar merupakan karya ilmiah yang disusun sendiri, bukan duplikat atau memindah data milik orang lain. Jika dikemudian hari terbukti bahwa skripsi ini ada kesamaan, baik isi, logika maupun datanya, secara keseluruhan atau sebagian, maka skripsi dan gelar sarjana yang diperoleh karenanya secara otomatis batal demi hukum.
Malang, 22 Maret 2008 Penulis,
Moh. Mus’id Adnan NIM. 03210085
vii
KATA PENGANTAR Bismillahirrahmannirrohim Dengan memanjatkan puja dan puji syukur kehadirat Allah swt. dimana atas limpahan rahmat, taufiq dan hidayah-Nya yang dilimpahkan serta dengan dibekali kesehatan lahir dan batin, sehingga penulis dapat menyusun sebuah skripsi dengan judul: “Tradisi Kawin Boyong Dalam Perkawinan Adat Masyarakat Gesikan (Studi Kasus di Desa Gesikan Kec. Grabagan Kab. Tuban”, yang masih jauh dari kesempurnaan dan akan dijadikan persyaratan untuk memperoleh gelar SHi (Sarjana Hukum Islam). Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita baginda Nabi Muhammad SAW, para keluarga, shahabat dan para pengikutnya, yang telah membawa petunjuk kebenaran bagi seluruh umat manusia yaitu Ad-Dinul Islam dan yang kita harapkan safa’atnya di dunia dan di akhirat. Dalam penulisan skripsi ini banyak yang telah membantu penulis menyelesaikan dan menjadikan sebuah karya ilmiah, oleh karena itu sudah sewajarnya jika penulis mengucapkan terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada: 1. Bapak Prof. Dr. H. Imam Suprayogo selaku Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Malang. 2. Bapak Drs. H. Dahlan Tamrin, M.Ag selaku Dekan Fakultas Syari’ah Universitas Islam Negeri Malang (UIN). 3. Ibu Dra. Hj. Mufidah Ch, M.Ag. selaku dosen pembimbing, yang telah meluangkan waktunya dengan sabar untuk memberikan bimbingan, kritikan, pengarahan dan motivasi dalam penulisan skripsi ini. 4. Bapak Drs. Suwandi, selaku Dosen wali yang telah membimbing semenjak perkuliahan hingga terselesainya penelitian ini, beserta para dosen di Fakultas Syari’ah Universitas Islam Negeri (UIN) Malang. 5. Ayahanda dan ibunda tercinta, H. Maksum Adnan dan Hj. Zumroh (Almh) yang telah memberikan dorongan moral maupun spiritual dengan curahan kasih sayang dan do’anya kepada peneliti dalam menuntut ilmu. Serta kakak-kakakku Mbak Umi, Mas Huda, Mas Izen, Mbak Iis dan Adikku Miftah, dan kakak-kakak iparku Kak Mad, Mbak Anik, Mbak Ifa dan Mas Hanafi, serta Mas Hamam yang banyak memberikan
viii
bantuan selama proses skripsi ini berjalan. Keponakan2ku Ella, Zaka, Adi, A’ung yang telah memberi keceriaan di saat melihat kalian. 6. Pejabat daerah penelitian setempat yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengadakan penelitian di lingkungannya. 7. Sahabat-sahabat sejatiku di Fakultas Syari’ah Syaifuddin (cimot), ca’Vulka (thanx’s brother), Aminah, ‘Trio Kwek-Kwek’(Dina, Ri2n ma’nyak, Silvy ayo semangat), kang Afif (terima kasih telah memberi semangat pada waktu PKLI), Arif prof, Abduh, Ratna, Afifah, Sony, Sofyan, Badrun, Qomari. Lalu teman-teman kos Joyosuko Fatra 60B serta kos baruku metro. Serta kepada sepeda onthelku yang selalu setia menemani kemanapun aku pergi.
.
8. Teman-teman Atlit PB (Persatuan Bulutangkis) Oyi’, Jaul, Ri2n, Ima, Elok, serta sesepuh2 PB mbak Li2x’s, mbak Afif, mas Imam, mas Muslim & mbak Lely, mas Jimmy, mbak Melda, mas Bagus, mas Nafik, Welly, yang telah mengajariku arti sebuah sportivitas (kapan Q-ta bisa latihan lagi?), dan adik2 PB, tetap semangat, tingkatkan prestasi dan jagalah nama baik PB UIN. 9. Semua teman-temanku Jama’ah Habsyi al-Muhibbin (sebagai penyemangat spiritual), yang selalu dapat membuatku tersenyum dikala hati dan fikirku sudah mencapai puncak keletihan. 10. Mahasiswa UIN Malang Fakultas Syari’ah, khususnya angkatan 2003 yang telah banyak menyumbangkan ide-idenya untuk penulisan skripsi ini. 11. Semua keluarga dan pihak yang telah turut serta dalam membantu terselesainya skripsi ini. Tiada balasan yang dapat penulis haturkan, selain untaian do’a semoga amal baik mereka semua diterima Allah SWT dan dicatat sebagai amal yang soleh. Amin.
Malang, 22 Maret 2008
Penulis
ix
TRADISI KAWIN BOYONG DALAM PERKAWINAN ADAT MASYARAKAT GESIKAN (Studi Kasus di Desa Gesikan Kecamatan Grabagan Kabupaten Tuban)
SKRIPSI
Nama
: Moh. Mus’id Adnan
NIM
: 03210085
Jurusan
: Al-Ahwal Al-Syakhsiyyah
Fakultas
: Syari’ah
Tanggal, 22 Maret 2008 Yang mengajukan
Moh. Mus’id Adnan 03210085/S-1 Telah disetujui oleh: Pembimbing
Dra. Mufidah CH, M.Ag NIP. 150 240 393
Mengetahui, Dekan
Drs. H. Dahlan Tamrin, M. Ag. NIP. 150 216
x
TRANSLITERASI Di dalam naskah ini banyak di jumpai nama dan istilah teknis yang berasal dari bahasa Arab dengan huruf Latin. Pedoman yang digunakan untuk penulisan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Konsonan Arab
Arab
ﺍ
Latin Tidak dilambangkan
ﻁ
Latin th
ﺏ
b
ﻅ
dh
ﺕ
t
ﻉ
‘ (koma terbalik)
ﺙ
ts
ﻍ
gh
ﺝ
j
ﻑ
f
ﺡ
h
ﻕ
q
ﺥ
kh
ﻙ
k
ﺩ
d
ﻝ
l
ﺫ
dz
ﻡ
m
ﺭ
r
ﻥ
n
ﺯ
z
ﻭ
w
ﺱ
s
ﻩ
h
ﺵ
sy
ﻱ
y
ﺹ
sh
ﺓ
t (bila ditengah kalimat), h (bila diakhir kalimat)
ﺽ
dl
ء/ا
= Apabila terletak diawal mengikuti vokal, tapi apabila terletak ditengah atau diakhir kata maka dilambangkan dengan tanda koma diatas (’), berbalik dengan koma (‘) pengganti lambang “”ﻉ.
xi
2. Vokal, Panjang Dan Diftong Vokal
Panjang
Diftong (misal)
a
= Fathah
â
= a panjang
ـَـ
= aw
i
= Kasrah
î
= i panjang
ـَـــ
= ay
u
= Dlommah
û
= u panjang
xii
DAFTAR ISI Halaman Judul ................................................................................................. i Pernyataan Keaslian Skripsi ............................................................................ ii Halaman Persetujuan Pembimbing .................................................................. iii Halaman Persetujuan ...................................................................................... iv Halaman Pengesahan ....................................................................................... v Halaman Persembahan..................................................................................... vi Motto................................................................................................................ vii Kata Pengantar ................................................................................................. viii Daftar Isi ......................................................................................................... x Daftar Transliterasi .......................................................................................... xiii Abstrak............................................................................................................. xv
BAB I: PENDAHULUAN ........................................................................... 1 A. Latar Belakang ............................................................................ 1 B. Rumusan Masalah....................................................................... 6 C. Tujuan Penelitian ........................................................................ 6 D. Manfaat Penelitian ...................................................................... 7 E. Definisi Operasional ................................................................... 7 F. Sistematika Pembahasan............................................................. 8
BAB II: KAJIAN PUSTAKA ....................................................................... 9 A. Penelitian Terdahulu ................................................................ 9 B. Perkawinan................................................................................ 13 1. Pengertian Perkawinan.......................................................... 13 2. Macam-Macam Perkawinan ................................................. 17 3. Hak dan Kewajiban Suami-Istri............................................ 22 4. Hikmah Perkawinan.............................................................. 26
C. Tradisi Dalam Perkawinan ...................................................... 27 1. Pengertian Tradisi Perkawinan ............................................. 27
xiii
2. Ruang Lingkup Tradisi Perkawinan ..................................... 28 3. Macam-Macam Tradisi Perkawinan ..................................... 32 D. Tradisi Perkawinan Ditinjau Dari Fiqih Syafi’iyah...............36 1. Tradisi Perkawinan Yang Sesuai Fiqih Syafi’iyah..............................................................................44 2. Tradisi Perkawinan Yang Tidak Sesuai Fiqih Syafi’iyah..............................................................................47
BAB III:
METODE PENELITIAN.......................................................... 51 A. Paradigma Penelitian ............................................................ 51 B. Jenis dan Pendekatan Penelitian ........................................... 53 C. Sumber Data.......................................................................... 54 D. Teknik Pengumpulan Data.................................................... 55 E. Teknik Analisis Data............................................................ 56 F. Teknik Pengolahan Data ....................................................... 57
BAB IV:
PAPARAN DAN ANALISIS DATA ........................................ 61
A. Kondisi Objektif Masyarakat Gesikan ................................... 61 1. Deskripsi Desa Gesikan ........................................................ 61 2. Penduduk dan Jenis Pekerjaan/Mata Pencaharian ................ 62 3. Kondisi Sosial Keagamaan ................................................... 64 4. Kondisi Pendidikan............................................................... 66 5. Kondisi Sosial Kultural Masyarakat ..................................... 68 6. B. Tradisi Kawin Boyong Dalam Perkawinan Adat Masyarakat Gesikan Tuban......................................................................... 69 1. Bagaimana Pandangan Masyarakat Gesikan Tentang Tradisi Kawin Boyong....................................................................... 69 2. Bagaimana Tradisi Kawin Boyong Ditinjau Dari Fiqih Syafi’iyah.............................................................................. 82
xiv
C. Analisis Data.............................................................................. 88 1. Bagaimana Pandangan Masyarakat Gesikan Tentang Tradisi Kawin Boyong...................................................................... 89 2. Bagaimana Tradisi Kawin Boyong Ditinjau Dari Fiqih Syafi’iyah............................................................................. 96 3. Tradisi Kawin Boyong Dalam Perspektif ‘Urf……………….98
BAB V:
KESIMPULAN DAN SARAN .............................................. 102 A. Kesimpulan................................................................................ 102 B. Saran-saran ............................................................................... 104
DAFTAR PUSTAKA
xv
ABSTRAK Adnan, Mus’id 2008. Tradisi Kawin Boyong Dalam Perkawinan Adat Masyarakat Gesikan (Studi Kasus di Desa Gesikan Kecamatan Grabagan Kabupaten Tuban) Skripsi. Jurusan Al-Ahwal Al-Syakhsiyyah. Fakultas Syari’ah. Universitas Islam Negeri (UIN) Malang. Dosen Pembimbing: Dra. Hj. Mufidah Ch, M.Ag. Kata Kunci: Tradisi, Kawin Boyong, Perkawinan Adat Jawa Pernikahan adalah suatu tahapan dalam suatu kehidupan, dimana setiap orang pasti ingin melewati tahapan tersebut. Selain itu dalam agama juga terdapat perintah dan anjuran untuk melaksanakan pernikahan, sebagai salah satu pelaksanaan ibadah yakni sunnah Rasul. Namun perintah tersebut ditujukan kepada seorang hamba yang dipandang telah siap dan mampu secara lahir dan batin untuk melaksanakannya. Ini dilakukan demi kebaikan dan untuk lebih menjaga kehormatan kedua belah pihak dari perbuatan zina. Namun dalam tradisi Kawin Boyong sendiri yaitu ketika seseorang akan melakukan perkawinan, dalam hal ini sebelum calon mempelai akan melakukan ritual Ijab Qabul, terlebih dahulu calon suami tinggal dalam satu rumah dengan calon istri (calon suami boyongan kerumah keluarga calon istri). Tinggal bersama dalam satu rumah ini tergantung dari kesepakatan kedua belah pihak, yakni ada yang hanya satu minggu, satu bulan atau bahkan sampai tiga bulan Menariknya dari tradisi ini adalah ketika kedua calon mempelai ini sudah tinggal dalam satu rumah, kemungkinan terjadi hubungan badan diluar nikah sangat besar, meskipun tidak semua pasangan melakukannya sebelum ada ikatan yang sah menurut islam. Istilah dalam kasus hubungan diluar nikah ini adalah “Ambruk” yaitu dimana calon istri sudah disetubuhi terlebih dulu sebelum ada ikatan resmi menurut Islam. Untuk itu penulis merumuskan masalahnya yaitu bagaimana pemahaman masyarakat Gesikan sendiri terhadap tradisi Kawin Boyong serta bagaimana tradisi Kawin Boyong bila ditinjau dari Fiqih Syafi’iyah. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan alasan terjadinya pernikahan dan pandangan masyarakat Gesikan tentang tradisi Kawin Boyong dalam perkawinan adat, serta bila tradisi ini ditinjau dari Fiqih Syafi’iyah. Penelitian ini menggunakan pendekatan sosiologis dengan jenis penelitian deskriptif kualitatif. Dalam pengumpulan data yang diperoleh tersebut akan dianalisis oleh penulis secara induktif (metode analisis yang tertumpu dari kaidah khusus ke umum). Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa memang dari awal tradisi Kawin Boyong ini mempunyai tujuan yang baik yaitu lebih saling mengakrabkan antara calon suami dengan keluarga calon istri dengan jalan tinggal dalam satu rumah bersama keluarga calon istri. Akan tetapi, melihat fenomena yang terjadi, tradisi ini ada yang menyelewengkan dengan melakukan hubungan diluar nikah terlebih dahulu, meskipun kebanyakan tidak melakukan seperti itu. Tradisi ini bisa menjadi citra yang tidak baik bagi masyarakat diluar Gesikan yang mengetahui adanya tradisi tersebut.
xvi
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Ikatan perkawinan adalah suatu ikatan erat yang menyatukan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan. Dalam ikatan perkawinan, suami dan istri diikat dengan komitmen untuk saling memenuhi berbagai hak dan kewajiban yang telah ditetapkan.1 Pernikahan adalah awal terbentuknya sebuah keluarga baru yang didambakan akan membawa pasangan suami istri untuk mengarungi kebahagiaan, cinta dan kasih sayang. Sebuah keluarga merupakan komunitas masyarakat terkecil dan sebuah keluarga diharapkan akan menjadi sumber mata air kebahagiaan, cinta dan kasih sayang seluruh anggota keluarga. Salah satu tujuan utama dari pernikahan adalah untuk
1
Syamsuddin Arif, dkk, Wanita Dan Keluarga Citra Sebuah Peradaban (Jakarta: Lembaga Kajian dan Pengembangan Al-Insan, 2006), 17.
1
2
menciptakan sakinah (ketentraman hidup), mawaddah (rasa cinta), rahmah (kasih sayang), memiliki keturunan, tolong-menolong dan mempererat silaturahim. Ketentraman hidup dapat diperoleh seseorang, manakala orang itu dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, baik itu kebutuhan lahiriah maupun kebutuhan batiniah. Kebutuhan hidup yang diperoleh melalui pernikahan ada beberapa macam: kebutuhan biologis (syahwat), kebutuhan materi (kebendaan), kebutuhan psikologis (kejiwaan), kebutuhan keturunan, kebutuhan ibadah dan pahala, kebutuhan amar ma’ruf dan nahi mungkar.2 Dalam membentuk sebuah keluarga tentu tidak terlepas dari yang namanya tanggung jawab, baik itu tanggung jawab suami terhadap istrinya maupun sebaliknya. Yang pertama adalah tanggung jawab suami terhadap istri, baik tanggung jawab secara moril maupun material. Seorang suami berkewajiban pula menggauli istrinya dengan baik dan layak. Jadi, seorang suami wajib menggauli istrinya dengan baik, penuh kasih sayang, memberi nafkah lahiriah dan batiniah secara baik dan layak, serta selalu lemah lembut dalam berbicara. Kaum lelaki tidak berhak melakukan sesuatu apapun kepada istri, kecuali hal-hal yang baik. Mereka baru diperbolehkan berbuat sesuatu apabila sang istri melakukan perbuatan maksiat. Misalnya, kembali kerumah orang tua tanpa sepengetahuan suami atau melakukan pembangkangan terhadap suami secara terangterangan. Kedua kewajiban istri. Seorang istri mempunyai kewajiban yang harus dipenuhi terhadap suami ditengah kehidupan berumah tangga. Didalam Al-Qur’an Allah telah
2
Umay M.Dja’far Shiddieq, Indahnya Keluarga Sakinah Dalam Naungan Al-Qur’an Dan Sunnah (Yogyakarta: Zakia Press, 2004), 7-23.
3
menegaskan: “Kaum lelaki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita. Oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (lelaki) atas sebagian yang lain (wanita). Dan karena mereka (lelaki) telah menafkahkan sebagian harta mereka. Sebab itu maka wanita yang shalihah adalah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri dibalik “pembelakangan” suaminya (ketika suaminya tidak ada), oleh karena Allah telah memelihara mereka. ”Wanita-wanita yang dikhawatiri nusyuznya, maka nasehatilah mereka, pisahkanlah diri dari tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi Lagi Maha Besar.” (QS. An-Nisa’: 34).3 Setelah suami-istri memahami hak dan kewajibannya, kedua belah pihak masih harus melakukan berbagai upaya yang dapat mendorong kearah terciptanya cita-cita mewujudkan keluarga sakinah. yaitu: 1. Mewujudkan harmonisasi hubungan antara suami-istri. 2. Membina hubungan antara anggota keluarga dan lingkungan. 3. Melaksanakan pembinaan kesejahteraan keluarga. 4. Membina kehidupan beragama dalam keluarga.4 Pada dasarnya masyarakat adalah sekumpulan manusia yang dimana satu sama lain saling membutuhkan, karena manusia memiliki sifat social yang tidak pernah lepas dari peran orang lain di dalam kehidupan sehari-harinya.
Pola-pola perilaku ini
merupakan salah satu cara masyarakat bertindak atau berkelakuan yang sama dan harus diikuti oleh anggota masyarakat yang kemudian diakui dan mungkin juga diikuti oleh orang lain. Kebisaan dan budaya memang tidak pernah lepas dari kehidupan masyarakat
3 4
Nadhirah Mudjab, Merawat Mahligai Rumah Tangga (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2000), 31-53. Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, 2003, 25.
4
didalam hubungannya dengan orang lain, masyarakat berhubungan erat dengan namanya budaya dan adat istiadat, hubungan ini tidak mungkin dapat dipisahkan karena didalam masyarakat tumbuh dan berkembang yang namanya budaya. Tiap masyarakat tentu ada budayanya dan tiap budaya tentu ada masyarakatnya, karena keduanya satu kesatuan, dua diantara yang satu dari tunggal membentuk sosial budaya masyarakat.5 Budaya atau kebudayaan merupakan tata melakukan dan hasil kelakuan masyarakat, sedangkan masyarakat merupakan tempat manusia melakukan tindakan atau perbuatan-perbuatan. Oleh karena itu, perbuatan atau prilaku masyarakat tersebut tidak lepas dari sebuah aturan atau norma yang berlaku di dalam masyarakat itu sendiri. Dalam setiap masyarakat disamping terdapat pola-pola budaya yang nyata-nyata merupakan kebiasaan, juga terdapat pola-pola budaya ideal, yaitu hal-hal yang menurut warga masyarakat harus dilakukan, atau norma-norma. Dalam kenyataannya norma dalam banyak hal tidak sesuai dengan prilaku aktual6 Setiap daerah memilki keunikan kreasi dan budaya yang mengkristal menjadi sebuah tradisi, salah satu tradisi khusus yang masih sering dipraktekan di Indonesia adalah perkawinan adat. Hal ini pun yang terjadi dikalangan masyarakat Gesikan Kec.Grabagan Kab.Tuban yang masih kental memegang tradisi dalam hal proses pernikahan. Secara kultur masyarakat Jawa pada umumnya dan masyarakat Tuban khususnya masih memegang adat tradisi nenek moyang mereka yang mereka anggap sebagai peninggalan tradisi secara turun-temurun yang harus mereka lestarikan dan
5 6
Wahyu Ms, Wawasan Ilmu Sosial Dasar (Surabaya : Usaha Nasional, 1986), 61 T.O. Ihromi. (Ed), Pokok-Pokok Antropologi Budaya (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2006), 13
5
tidak boleh ditinggalkan apalagi dihapus. Meskipun secara kondisi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat Tuban sekarang pada umumnya mengalami perkembangan yang cukup signifikan seiring dengan kemajuan zaman, akan tetapi didaerah pelosok desa, khususnya di desa Gesikan peneliti menemukan satu tradisi yang masih dipegang teguh oleh masyarakat sekitar daerah tersebut dan masih dilaksanakan hingga sekarang yaitu dalam hal perkawinan yang dalam tradisinya disebut kawin boyong. Tradisi kawin boyong yaitu ketika seseorang akan melakukan perkawinan, dalam hal ini sebelum calon mempelai akan melakukan ritual Ijab Qabul, terlebih dahulu calon suami tinggal dalam satu rumah dengan calon istri (calon suami boyongan kerumah keluarga calon istri). Tinggal bersama dalam satu rumah ini tergantung dari kesepakatan kedua belah pihak, yakni ada yang hanya satu minggu, satu bulan atau bahkan sampai tiga bulan. Tujuan dari ritual boyongan ini adalah: 1. Untuk menghindari ”sial” diantara calon suami, calon istri atau dari pihak wali. 2. Saling mengenal dan beradaptasi dengan keluarga calon mempelai perempuan. 3. Menentukan hari perkawinan antara calon mempelai laki-laki dengan wali calon mempelai perempuan. Akibat dari tidak dilaksanakan ritual boyongan ini, menurut kepercayaan masyarakat sana, adalah puncaknya bisa berakibat kematian. Menariknya dari tradisi ini adalah ketika kedua calon mempelai ini sudah tinggal dalam satu rumah, kemungkinan terjadi hubungan badan diluar nikah sangat besar, meskipun tidak semua pasangan melakukannya sebelum ada ikatan yang sah menurut islam. Istilah dalam kasus hubungan diluar nikah ini adalah “Ambruk” yaitu dimana calon istri sudah disetubuhi
6
terlebih dulu sebelum ada ikatan resmi menurut Islam. Selain dari si calon istri sudah tidak perawan lagi, lebih menyedihkan lagi ada yang bahkan sampai ditinggal oleh calon suami sebelum mereka melakukan ritual Ijab dan Qabul. Dari uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa tradisi kawin boyong secara kultur masyarakat disana masih dianggap sebagai sesuatu yang sakral yang harus dijalankan sebagai suatu proses orang yang akan menjalani perkawinan, karena kalau tidak dijalankan ritual ini bisa berakibat buruk, tidak hanya bagi kedua mempelai, akan tetapi juga bagi keluarga kedua mempelai. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang permasalahan sebagaimana yang telah dipaparkan di atas dapat diindentifikasikan pokok permasalahan yang dijadikan sebagai rumusan masalah adalah sebagai berikut : a) Bagaimana pandangan masyarakat Gesikan tentang tradisi Kawin Boyong? b) Bagaimana tradisi Kawin Boyong ditinjau dari Fiqih Syafi’iyah? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan di atas maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk mendeskripsikan pandangan masyarakat Gesikan tentang tradisi Kawin Boyong dalam perkawinan adat masyarakat Gesikan kec.Grabagan kab.Tuban. 2. Untuk mendeskripsikan tradisi Kawin Boyong bila ditinjau dari Fiqih Syafi’iyah.
7
D. Manfaat Penelitian Adapun manfaat dari penelitian ini adalah: 1. Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan konstribusi dalam rangka mengembangkan wacana keilmuan, khususnya yang berkaitan dengan tradisi perkawinan di Indonesia. 2.
Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan penilaian sosial (social value) yang sifatnya informatif kepada masyarakat Jawa khususnya, dan masyarakat (bangsa) Indonesia umumnya, tentang tradisi Kawin Boyong Dalam Perkawinan Adat Masyarakat Gesikan.
E. Definisi Operasional Untuk memperjelas maksud dan tujuan dari penelitian ini maka perlu adanya defenisi operasional sebagai berikut: 1
Fenomena adalah penampakan realitas dalam kesadaran manusia, suatu fakta dan gejala-gejala, peristiwa adat serta bentuk keadaan yang dapat diamati dan dinilai lewat kaca mata ilmiah.7
2
Tradisi adalah kebiasaan turun temurun atau prilaku yang telah mengakar kuat yang ada dalam suatu kelompok tertentu baik itu masyarakat atau individu8.
3
Kawin Boyong adalah si calon suami terlebih dahulu boyongan kerumah calon istri sebelum Ijab Qabul dengan batas waktu yang telah disepakati kedua belah pihak.
4
Perkawinan adalah terciptanya kelestarian dan kesinambungan kehidupan manusia, serta tumbuhnya rasa cinta dan kasih sayang diantara suami istri9.
7
Pius A Partanto, M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer (Surabaya : Arkola, 1994), 175 Ibid., 756. 9 Umay M.Dja’far Shiddieq, Op. Cit., 8. 8
8
F. SISTEMATIKA PEMBAHASAN Sistematika pembahasan merupakan rangkaian urutan dari beberapa uraian suatu sistem pembahasan dalam suatu karangan ilmiah. Dalam kaitannya dengan penulisan ini secara keseluruhan terdiri empat bab, yang disusun secara sistematis sebagai berikut : BAB I : Merupakan bab pendahuluan yang didalamnya memuat tentang latar belakang, rumusan masalah, definisi operasional, penelitian terdahulu, tujuan penelitian, manfaat penelitian, serta sistematika pembahasan. BAB II : Merupakan kajian pustaka yang didalamnya memuat tentang pengertian perkawinan, macam-macam perkawinan, hak dan kewajiban suami-istri, serta hikmah perkawinan Dan juga memuat tentang pengertian tradisi perkawinan, ruang lingkup tradisi perkawinan, macam-macam tradisi perkawinan. serta diakhiri dengan tradisi perkawinan ditinjau dari Fiqih Syafi’iyah. BAB III : Merupakan metode penelitian yang didalamnya memuat tentang paradigma penelitian, pendekatan penelitian, sumber data dan tekhnik pengumpulan data, dan diakhiri dengan bagaimana teknik analisis data. BAB IV : Merupakan paparan data dan analisis data yang memuat bagaimana tradisi Kawin Boyong dalam perkawinan adat masyarakat Gesikan serta bagaimana hubungannya dengan Fiqih Syafi’iyah. BAB V : Penutup, penulis akan mengakhiri seluruh penelitian ini dengan suatu kesimpulan dan tidak lupa untuk menyertakan saran.
.
9
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Penelitian Terdahulu Judul yang peneliti angkat pada penelitian kali ini, yakni “Tradisi Kawin Boyong Dalam Perkawinan Adat Ditinjau Dari Fiqih Syafi’iyah”. Sesungguhnya mengandung variabel yang menarik untuk ditelaah apakah tema atau topik yang sama sudah pernah diteliti sebelumnya. Dari hasil pengamatan ini, sejauh ini belum ditemukan topik yang sama dengan topik yang peneliti angkat sekarang. Namun ada beberapa judul skripsi yang memiliki tema yang tidak jauh berbeda ketika kita melihat pada variabel di atas, yakni sistem perkawinan adat menurut suatu tata cara aturan daerah tersebut. Berikut peneliti paparkan beberapa hasil penelitian yang berkorelasi dengan judul di atas : 9
10
1. Abdul Wasid, 2005 dengan judul “Prosesi Perkawinan Adat Sunda Perspektif Fiqih (Studi di kel. Karang Mekar kec. Cimahi Tengah kab. Bandung)” dalam penelitian ini Abdul Wasid memaparkan mulai dari awal yaitu prosesi peminangan sampai acara pestanya semua menggunakan adat Sunda. Disini ada sembilan tahapan yang harus dilalui dalam prosesi ini: a. Nanyaan. Tahap awal yang mana pihak laki-laki berkunjung kepihak perempuan untuk menanyakan statusnya. b. Neudeun Omong. Tahap musyawarah antara kedua pihak setelah mengetahui bahwa gadis yang ditanyakan tidak dalam pinangan orang lain. c. Nyeureuha atau Ngalamar. Kepastian bahwa si gadis akan dipinang. d. Seserahan. Merupakan acara pemberitahuan mahar yang akan diberikan serta penentuan hari dan tanggal pernikahan. e. Ngeuyeuk Seureuh. Suatu acara pemberian wejangan dan petuah dari kedua orang tua calon penganten. f. Ijab Qabul. Merupakan acara peresmian sebagai suami istri. g. Panggih. Acara sungkem kepada kedua orang tua penganten. h. Huap Lingkung. Merupakan acara hiburan dan ramah tamah bagi para tamu. i. Ngunduh Mantu. Perkenalan antara kedua keluarga mempelai. 2.
Usriah, 2007 dengan judul “Tradisi Kelakat Dalam Perkawinan (Studi Pada
Masyarakat kel. Loloan Timur kec. Negara kab. Jembrana Bali” dalam penelitian ini Usriah lebih memaparkan tentang kepercayaan masyarakat terhadap para leluhur mereka dalam melakukan acara perkawinan, agar acaranya dapat berjalan dengan lancar serta menghilangkan hal-hal yang dapat mencelakakan keluarga mereka. Berdasarkan pemahaman masyarakat muslim Loloan Timur, bahwa para roh leluhur yang telah mati
11
akan selalu memberikan pengawasan kepada para penerusnya dan berharap untuk diundang dalam suatu acara perkawinan. Dalam ritual tersebut terdapat sesajen (aci-aci) dan santun yang masing-masing simbol memiliki makna tersendiri dalam rangka meminta perlindungan dan keselamatan kepada arwah para leluhur yang telah lebih dulu meninggal dunia. 3. Muhammad Subhan, 2004 dengan judul “Tradisi Perkawinan Masyarakat Jawa Di Tinjau dari Hukum Islam (Kasus di Kelurahan Kauman Kec. Mojosari Kab. Mojokerto)” adat yang diteliti adalah Petungan/ petung bulan untuk mantu yaitu pemilihan bulan untuk menentukan bulan tertentu untuk melangsungkan pernikahan. Adapun hasil penelitian ini adalah: Bagi sebagian masyarakat Jawa yang mempunyai hajat perkawinan tidak hanya melakukan perkawinan begitu saja, tetapi ada proses yang sangat menarik yaitu proses pemilihan bulan yang diharapkan akan membawa keberuntungan dan keselamatan dari mara-bahaya, juga hidup kekal dan bahagia bersama pasangannya. Karena sebagian masyarakat percaya bahwa semua yang diawali dengan kebaikan, maka yang akan didapatkan pun baik. Pemilihan bulan yang disandarkan pada “petungan” sebenarnya tidak bertentangan dengan syari’at Islam karena sebagian sudah diatur dalam Al-Qur’an dan Hadits. 4. Penelitian yang dilakukan oleh Choirul dengan judul "Hukum Perkawinan Adat Di Tinjau Dari Sudut Hukum Islam (Studi Kasus Di Daerah Samin Desa Jipang Kecamatan Cepu Kabupaten Blora)”. Dalam penelitian ini penulis ingin meneliti tentang hukum perkawinan adat khususnya pada masyarakat Samin Desa Jipang Kecamatan Cepu Kabupaten Blora, yang mana dalam melakukan perkawinan mereka memiliki adat dan ketentuan-ketentuan yang harus dilakukan. Dan dari situ penulis ingin meneliti apakah peraturan-peraturan perkawinan adat di daerah Samin tersebut
12
dapat diakui sebagai suatu hukum. Selain itu juga meneliti tentang faktor-faktor yang menghambat dalam pelaksanaan perkawinan menurut hukum Islam, serta proses pelaksanaan perkawinannya. Metode pengumpulan data yang digunakan penulis adalah metode wawancara, observasi dan dokumenter. Penulis melakukan penelitian dengan bentuk studi kasus, lapangan dengan berpedoman pada metode deduksi, induksi, komparasi dan dokumenter. Dan menggunakan pendekatan perspektif dengan melalui konsep-konsep yang bersumber dari petunjuk ajaran agama Islam. Dalam penelitian terdahulu ini, kenapa peneliti memilih judul diatas. karena menurut pengamatan peneliti ada semacam korelasi keduanya, yaitu terletak pada bagaimana Abdul Wasid memaparkan tradisi dari mulai sebelum ijab qabul sampai ke acara peresmian yang memang tradisinya cukup unik, apalagi penamaan dari setiap prosesi yang harus dilewati, serta dari Usriah menjelaskan masih kentalnya kepercayaan masyarakat terhadap arwah nenek moyang jika akan melangsungkan suatu acara, termasuk perkawinan yang dimana menghindari kesialan dikemudian hari kelak. Lalu Muhammad Subhan yaitu proses yang sangat menarik yaitu proses pemilihan bulan yang diharapkan akan membawa keberuntungan dan keselamatan dari mara-bahaya, juga hidup kekal dan bahagia bersama pasangannya. Dan yang terakhir dari Choirul menjelaskan, penulis ingin meneliti apakah peraturan-peraturan perkawinan adat di daerah Samin tersebut dapat diakui sebagai suatu hukum. Selain itu juga meneliti tentang faktor-faktor yang menghambat dalam pelaksanaan perkawinan menurut hukum Islam, serta proses pelaksanaan perkawinannya. Korelasi ke semuanya dengan judul peneliti adalah bagaimana suatu daerah masih memegang teguh tradisi nenek moyang mereka serta ritual sebelum ijab qabul yang mereka harus jalani yang menurut saya sangat menarik dan unik
13
B. Perkawinan 1. Pengertian Perkawinan Ikatan perkawinan adalah suatu ikatan erat yang menyatukan antara seorang lakilaki dengan seorang perempuan. Dalam ikatan perkawinan, suami dan istri diikat dengan komitmen untuk saling memenuhi berbagai hak dan kewajiban yang telah ditetapkan.10 Perkawinan adalah awal terbentuknya sebuah keluarga baru yang didambakan akan membawa pasangan suami istri untuk mengarungi kebahagiaan, cinta dan kasih sayang. Sebuah keluarga merupakan komunitas masyarakat terkecil dan sebuah keluarga diharapkan akan menjadi sumber mata air kebahagiaan, cinta dan kasih sayang seluruh anggota keluarga. Salah satu tujuan utama dari perkawinan adalah untuk menciptakan sakinah (ketentraman hidup), mawaddah (rasa cinta), rahmah (kasih sayang),
memiliki
keturunan,
tolong-menolong
dan
mempererat
silaturahim.
Sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Qur’an :
ZοŠ¨ θu Β¨ Ν6 à Ζu ÷ /t ≅ Ÿ èy _ y ρu $γ y Šø 9s )Î #( θþ Ζã 3 ä ¡ ó Ft 9jÏ %` [ ≡ρu —ø &r Ν ö 3 ä ¡ Å à Ρ&r ô ΒiÏ /3 ä 9s , t =n { y β ÷ &r ÿ µÏ GÏ ≈ƒt #u ô ΒÏ ρu ∩⊄⊇∪ β t ρã 3 © x Gt ƒt Θ 5 θö ) s 9jÏ M ; ≈ƒt ψ U 7 y 9Ï ≡Œs ’ûÎ β ¨ )Î 4 πº ϑ y m ô ‘u ρu Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS. Ar-Rum: 21) Sedangkan menurut hukum Islam, definisi perkawinan adalah suatu perjanjian untuk mensahkan hubungan kelamin dan untuk melanjutkan keturunan. Tujuan perkawinan ialah suatu lembaga yang dibentuk untuk melindungi masyarakat, agar umat manusia menjaga dirinya dari kejahatan dan zina. Untuk melancarkan penghidupan kekeluargaan 10
Syamsuddin Arif, dkk, Wanita Dan Keluarga Citra Sebuah Peradaban (Jakarta: Lembaga Kajian dan Pengembangan Al-Insan, 2006), 17.
14
dan pensahan keturunan. Menurut arti bahasa, nikah itu ialah berkumpul. Menurut ahli ushul golongan Syafi’i, nikah ialah aqad yang dengannya menjadi halal hubungan kelamin antara pria dan wanita. Menurut arti majazi ialah bersetubuh. Golongan ulama Syafi’i memandang bahwa aqad nikah adalah aqad ibahah yaitu membolehkan suami menyetubuhi istrinya. Bukanlah untuk memberikan kepada pria saja hak memiliki penggunaan kenikmatan tetapi hak tersebut diberikan pula kepada kedua belah pihak. Suami berhak menginginkan persetubuhan kedua belah pihak. Suami berhak menginginkan persetubuhan dari istrinya dan si istri berhak menuntut persetubuhan dari suaminya dan si suami berkewajiban memenuhinya. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan pada pasal 1 menyebutkan bahwa perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sebagai negara yang berdasarkan Pancasila, dimana sila yang pertamanya ialah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama/kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir/jasmani saja, tetapi juga unsur bathin/rohani yang memegang peranan yang penting dalam perkawinan. Guna membentuk keluarga yang bahagia rapat hubungannya dengan keturunan.11 Berdasarkan pendapat diatas, maka tujuan perkawinan adalah sebagai berikut: a. Memperoleh Ketenangan Keadaan jasmani, rohani, dan pola pikir seseorang akan mengalami perubahan ketika mencapai usia baligh. Dan semua itu memunculkan kebutuhan terhadap 11
A.Fahri, Perkawinan, Sex dan Hukum (Pekalongan: TB.Bahagia, 1986). 61-62.
15
perkawinan. Pada fase ini, hendaklah seseorang memenuhi kebutuhan alamiahnya. Pengabaian terhadapnya hanya akan menimbulkan guncangan jiwa yang tak kunjung reda. Kecuali jika orang yang dimaksud mendapatkan teman hidup yang sesuai. Pada saat itu ia akan merasakan ketenangan dan kedamaian. Jadi, salah satu tujuan perkawinan adalah memperoleh ketenangan jiwa, fisik, pikiran dan akhlaq. Dalam kehidupan bersama, hendaklah pasangan suami-istri selalu berusaha meneguhkan keadaan tersebut, sehingga memungkinkan keduanya tumbuh sempurna. Sejumlah penelitian membuktikan bahwa tatkala badai kehidupan membesar dan mengancam kehidupan pasangan suami-istri, masing-masing pihak (suami-istri) akan saling berlindung satu sama lain demi memperoleh rasa aman dan menjalin kekuatan untuk terus melanjutkan kehidupannya. Karena itu, hendaklah setiap perkawinan yang dibangun ditujukan demi meraih ketenangan hidup. Jika tidak, kehidupan yang diarungi bersama akan menjelma menjadi kobaran jahanam yang tak terperikan. b. Saling Mengisi Tatkala mencapai usia baligh, para jejaka dan gadis pasti merasakan adanya kekurangan. Perasaan semacam ini akan lenyap sewaktu mereka menikah, membina kehidupan bersama, dan saling mengisi satu sama lain. Semua itu mencapai puncaknya ketika anak pertama dari pasangan suami-istri terlahir kedunia ini. Perkawinan memberikan pengaruh yang sangat besar dan penting terhadap perilaku seseorang. Sejak itu, dimulailah fase kematangan dan kesempurnaan yang mampu menutupi ketidakharmonisan dalam beraktivitas dan bergaul (dimana masing-masing pihak berusaha merelakan, meluruskan, dan menasehati satu sama lain). Dengannya, niscaya
16
akan tercipta hubungan kemanusiaan nan mulia yang pada gilirannya akan mendorong pasangan suami-istri melangkah menuju kesempurnaan yang didamba. c. Memelihara Agama Lantaran mengikuti dorongan hawa nafsu, banyak kaum muda yang kehilangan akidah sucinya untuk kemudian terjerembab ke kubangan dosa. Dalam hal ini, mahligai perkawinan akan menjauhkan seseorang dari bibir jurang kegelapan yang sungguh berbahaya dan mematikan. Perkawinan tidak hanya menyelamatkan seseorang dari kejatuhan (ke lembah dosa). Lebih dari itu, memungkinkan dirinya menghadap dan beribadah kepada Allah SWT. Selain pula akan memuaskan nalurinya secara wajar sehingga menjadikan jiwanya tentram dan damai. Semua itu tentu sangat dimungkinkan dalam kehidupan beragama. Adapun perkawinan yang berbahaya bagi keberagaman seseorang adalah perkawinan yang menghindarkan seseorang dari pusaran instink seksual lalu menjatuhkannya ke dalam pusaran lain, seperti kebohongan, pengkhianatan, dan kebiasaan dengan hal-hal yang diharamkan. Hal itu bukanlah perkawinan, melainkan tak lebih dari perangkap penderitaan baru. Perkawinan semacam itu hanya akan mendatangkan masalah pertengkaran yang melukai hati masing-masing dari pasangan suami-istri. d. Kelangsungan Keturunan Allah SWT telah menumbuhkan keinginan dalam diri seseorang untuk melanjutkan keturunan. Namun, bagi sebagian pasangan suami-istri yang hanya bermaksud mencari kelezatan dan kesenangan hidup semata, kelahiran anak yang merupakan buah perkawinan dipandang sebagai menyusahkan dan sama sekali tidak diinginkan. Karenanya, dimensi spiritual dari perkawinan hendaknya dijadikan
17
pegangan hidup. Pada gilirannya, semua itu akan mendorong masing-masing pihak (suami-istri) untuk mau saling mengisi dan melangkahkan kaki di jalan kesempurnaan. Betapa banyak perkawinan yang berakhir dengan kegagalan disebabkan keringnya dimensi spiritual yang seharusnya terkandung didalamnya.12 Ketentraman hidup dapat diperoleh seseorang, manakala orang itu dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, baik itu kebutuhan lahiriah maupun kebutuhan batiniah. Kebutuhan hidup yang diperoleh melalui perkawinan ada beberapa macam: kebutuhan biologis (syahwat), kebutuhan materi (kebendaan), kebutuhan psikologis (kejiwaan), kebutuhan keturunan, kebutuhan ibadah dan pahala, kebutuhan amar ma’ruf dan nahi mungkar.13 2. Macam-Macam Perkawinan Macam-macam perkawinan yang dilarang oleh Islam diantaranya, yaitu: a. Nikah Syighar (Pertukaran) Kata-kata syighar yang berasal dari bahasa Arab secara arti kata berarti mengangkat kaki dalam konotasi yang tidak baik, seperti anjing mengangkat kakinya waktu kencing. Bila dihubungkan kepada kata “nikah” dan disebut nikah syighar mengandung arti yang tidak baik, sebagaimana tidak baiknya pandangan terhadap anjing yang mengangkat kakinya waktu kencing itu. Dalam arti definitif ditemukan artinya dalam hadis Nabi dari Nafi’ bin Ibnu Umar muttafaq alaih yang dikutip alShan’aniy dalam kitabnya Subul al-Salam: “seorang laki-laki mengawinkan anak
12
Ali Qaimi, Singgasana Para Pengantin (Bogor: Cahaya, 2002), 10-13. Umay M.Dja’far Shiddieq, Indahnya Keluarga Sakinah Dalam Naungan Al-Qur’an Dan Sunnah (Yogyakarta: Zakia Press, 2004), 7-23. 13
18
perempuannya dengan ketentuan laki-laki lain itu mengawinkan pula anak perempuannya kepadanya dan tidak ada di antara keduanya mahar”.14 Dalam kitab "Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid" Ibnu Rusyd menjelaskan bahwa Fuqaha sependapat bahwasanya nikah syighar ialah apabila seorang laki-laki mengawinkan orang perempuan yang dibawah kekuasaannya (anaknya) dengan seorang laki-laki lain dengan syarat bahwa laki-laki lain ini juga mengawinkan orang perempuan yang dibawah kekuasaannya (anaknya) dengan lakilaki pertama tanpa ada maskawin (mahar) pada kedua perkawinan tersebut. Maskawinnya hanya alat kelamin perempuan tersebut menjadi imbalan bagi alat kelamin perempuan lainnya. Fuqaha telah sependapat pula bahwa perkawinan syighar ini tidak diperbolehkan, karena larangan yang berkenaan dengan perkawinan tersebut. Diriwayatkan dalam hadis shahih.15 Diantaranya
sebagaimana hadis yang telah
diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari berikut:
ِ ن َرُـْ َل ا
ََُْـ َأ ُ ا َ ِ َُ َ َر ِ ْ ا ِ َ ٍ َِ َْ ٌِ َ! ََ َ"ْ# َأ$ َ ُُْ% ُ ْ ِ (َ &'ََ َ"ْ ُ& ا ُ َ#9َـ ُ) ا, ِّو0َ ُ% ْ َأن3َ5َ )ُ َ*َْ ِا+ُ ُ, ج ا َ ِّو0َ ُ% َْـ ُر َأن1ِ2 ّ َـ ِر وَا1ِ2 ّ ا ِ َ 3ََ ـ4َ 5َـْ ِ) َو6َ5َ ُ ا375َ8 (َـ&َاقٌ )روا? ا ">ري8 ََُْـ6َ ; َ ْ6َ )ُ َ*َِْا Artinya: ”Diceritakan ‘Abdullah bin Yusuf dikhabarkan pada kita Malik dari Nafi’ dari Ibnu Umar r.a, ia berkata: Bahwasanya Rasulullah SAW telah melarang perbuatan syighar, (kemudian dijelaskan dengan perkataannya) dan syighar ialah seorang laki-laki mengawinkan anak perempuannya dengan imbalan dia dikawinkan kepada anak perempuan dari laki-laki yang mengawini anaknya tersebut, dan keduanya tanpa memberikan maskawin" (H.R. Bukhari).16
14
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan UndangUndang Perkawinan (Jakarta: Prenada Media, 2006), 107. 15 Abul Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad Ibnu Rusyd, "Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid", diterjemahkan Imam Ghazali Said dan Achmad Zaidun, Bidayatul Mujtahid Analisa Fiqih Para Mujtahid (Cet. II; Jakarta: Pustaka Amani, 2002), 528. 16 Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah, Shahih al-Bukhari, Hadis 4720.
19
b. Hubungan Persusuan (radha’) Seorang wanita yang menyusui seorang bayi yang berumur dua tahun ke bawah dengan sekurang-kurangnya lima kali susuan, anak tersebut dinamakan anak susuan. Sedangkan wanita yang menyusui dan suaminya disebut ibu dan ayah susuan. Larangan nikah karena persusuan sama dengan larangan nikah karena hubungan darah terdekat. Ini adalah pendapat dari Imam Syafi’i.17 c. Nikah Mut’ah Kata mut’ah adalah term bahasa Arab yang berasal dari kata ma-ta-‘a yang secara etimologi mengandung beberapa arti, diantaranya ialah: kesenangan, alat perlengkapan, dan pemberian. Sedangkan dalam istilah hukum, nikah ini biasa disebut dengan “perkawinan untuk masa tertentu”, dalam arti pada waktu akad dinyatakan berlaku ikatan perkawinan sampai masa tertentu yang bila masa itu telah datang, perkawinan terputus dengan sendirinya tanpa melalui proses perceraian. Nikah mut’ah ini disebut juga dengan nikah munqati’.18 Menurut H.S.A. Al-Hamdani dalam bukunya “Risalah Nikah”, nikah Mut’ah atau nikah Muaqqat adalah nikah untuk waktu tertentu yaitu seorang laki-laki menikahi perempuan untuk beberapa hari, seminggu atau sebulan, karena akadnya hanya untuk bersenang-senang antara laki-laki dan perempuan untuk memuaskan nafsu, bukan untuk bergaul sebagai suami istri. Perkawinan ini haram menurut kesepakatan madzhab di kalangan Ahli Sunnah Wal Jama’ah. Madzhab Syi’ah memperbolehkan nikah mut’ah meskipun hadits-hadits menunjukkan haramnya nikah mut’ah.19
17
Pedoman Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (Jakarta: Badan Kesejahteraan Masjid (BKM) Pusat, 1992/1993). 22-28. 18 Amir Syarifuddin, Op. Cit., 100. 19 H.S.A. Al Hamdani, Risalah Nikah (Jakarta: Pustaka Amani, 2002), 44.
20
Salah seorang ulama terkemuka, Ibnu Hazm, menyebutkan bahwa nikah mut’ah adalah nikah dengan batasan waktu tertentu dan dilarang dalam agama. Nikah ini pernah diperbolehkan pada masa Rasulullah Saw, namun kemudian Allah SWT menghapus atau melarangnya.20 Seperti yang tertera dalam sebuah hadits berikut ini:
ََ'& َ( ٌْ6ََـ َل ُزهI Fَ َْ6َ6ُ ِ ْ ا ِ َ ًـBْ6َِ, ب ٍ َْ( ُ ْ ٌْ6َْ ٍ َو ُزه6َُ ُ ْ وَاFَ َ"ْ6َG ِْ َأ ُ ْ ٍ ْH(َ &'ََ َأُْ َـ J ِ5َ َْ َِْـ6ِ َْ َأ J ِ5َ ِ ْ &ٍ َ ـKُ! َْْ ا ِ َوَ"ْـ ِ& ا ِ َLَKْ ا ِ َ هْـِي0M َِ اFَ َْ6َ6ُ ُ ْ ن ُ َ6ْNُـ F ـ6ِ5َْهPْ ُُ ِ اKْ ُْ ِم اKْ"َ َ َوَْ ُـ6َ# َْ َم% Fِ َBْ*ُح ا ْـ ِ َH َْ ِـ3َ َـ4َ 5َْـ ِ) َو6َ5َ ُ ا3
5َ8
ِ" ن ا
َأ (45L! ?)روا Artinya: ”Diceritakan Abu Bakar bin Abi Syaibah dan Ibnu Numair dan Zuhair bin Harbi keseluruhannya dari Ibnu ‘Uyainah berkata, Zuhair diceritakan Sufyan bin ‘Uyainah dari Zuhri dari Hasan dan Abdillah bin Muhammad bin Ali dari ayahnya dari Ali r.a, ia berkata: Bahwasanya Rasulullah SAW telah melarang nikah mut’ah dan makan daging khimar (keledai) pada zaman khaibar (H.R. Muslim)”.21 d. Nikah Tahlil Nikah Tahlil yaitu perkawinan seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang telah diceraikan suaminya sampai tiga kali. Setelah habis iddahnya perempuan itu diceraikan supaya halal dikawin oleh bekas suaminya yang telah menthalaqnya tiga kali. Nikah ini hukumnya haram bahkan termasuk dosa besar yang dikutuk Allah Ta’ala.22 Dalam membentuk sebuah keluarga tentu tidak terlepas dari yang namanya tanggung jawab, baik itu tanggung jawab suami terhadap istrinya maupun sebaliknya. Yang pertama adalah tanggung jawab suami terhadap istri, baik tanggung jawab secara moril maupun material. Seorang suami berkewajiban pula menggauli istrinya dengan baik dan layak. Dalam Al-Qur’an Allah telah menegaskan surat An-Nisa’:19:
20
Rahmad Hakim, Hukum Perkawinan Islam (Bandung: Pustaka setia, 2000), 32. Muslim bin al-Hujjaj bin Muslim bin Warad, Shahih Muslim, Hadis 2511. 22 H.S.A. Al Hamdani, Op. Cit., 44-46. 21
21
ÇÙè÷ 7t /Î #( θ7ç δ y ‹ õ Gt 9Ï £ δ è θ=è Ò à è÷ ?s ω Ÿ ρu ( $δ \ ö .x u $! ¡ | ΨiÏ 9#$ #( θOè Ì ?s β&r Ν ö 3 ä 9s ≅ ‘ tÏ † s ω Ÿ #( θΨã Βt #u z ƒ% Ï !© #$ $γ y ƒ• 'r ≈‾ ƒt £δ è θϑ ß Fç δ ÷ Ì .x β*Î ùs 4 ∃ Å ρã è÷ ϑ y 9ø $$ /Î £ δ è ρç ° Å $ã t ρu 4 π7 Ψo iÉ 6t Β• π7 ± t s Å ≈ x /Î t ?Ï 'ù ƒt β&r ω H )Î £ δ è θϑ ß Fç ÷ ?s #u $! Βt ∩⊇∪ #Z WÏ 2 Ÿ #Z ö z y µÏ ŠùÏ ! ª #$ ≅ Ÿ èy gø † s ρu $↔\ ‹ø © x #( θδ è t 3 õ ?s β&r # ¤ | èy ùs Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. dan bergaullah dengan mereka secara patut. kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS. An-Nisa’: 19).
Penjelasan dari ayat ini adalah tidak menunjukkan bahwa mewariskan wanita tidak dengan jalan paksa dibolehkan. menurut adat sebahagian Arab Jahiliyah apabila seorang meninggal dunia. Maka anaknya yang tertua atau anggota keluarganya yang lain mewarisi janda itu, janda tersebut boleh dikawini sendiri atau dikawinkan dengan orang lain yang maharnya diambil oleh pewaris atau tidak dibolehkan kawin lagi. Rasulullah SAW bersabda:
ِ ْ +ٍ ْ%0َ ُ; َْ ه ٍ ْ6َI ِْن َْ َأ ُ َ6ْNْ ِيْ (َ &'ََ ُـ6َ0M نَ (َ &'ََ َأُْ َأ(َْـ َ& َاR َ ْـ6َS ُ ْ ٌُْْدKَ! ََ'& َ( +َ 5َK َواْ ُـ+ ِK َا ُْـ4َ 5َْـ ِ) َو6َ5َ ُ ا3 5َ8 ِ َرُـْ ُل ا َ َB َـ: َـ َلI ُْ ٍدBْLَ! ِ ْ ِ َْ َ"ْـ ِ& ا+َ ْ6ِ"َ(َْG (يVَ ُ) )روا? ا *!ـ Artinya: “Diceritakan Mahmud bin Ghailan, diceritakan Abu Ahmad Az-Zubairi, diceritakan dari Sufyan dari Abi Qais dari Huzail bin Syarhabil dari Abdullah bin Mas'ud r.a, ia berkata: Rasulullah SAW melaknat muhilla dan muhallal lahu.” (H.R. atTirmidzi).23 Menurut hukum Islam seorang isteri yang telah ditalak tiga oleh suaminya, tidak diperbolehkan kawin kembali dengan bekas suaminya kecuali setelah memenuhi 5 (lima) syarat, yaitu:24
23
Muhammad bin Isa bin Surah bin Musa ad-Dhahak, Sunan at-Tirmidzi, Hadis 1039. Muhammad bin Qasim al-Ghazzi as-Syafi’i, “Fathul Qarib”, diterjemahkan Imron Abu Umar, Fathul Qarib (Cet. I; Kudus: Menara Kudus, 1983), 69-70.
24
22
a) Sudah habis masa iddah sang perempuan dari suami yang mentalaknya. b) Perempuan itu sudah kawin lagi dengan laki-laki selain suami yang mentalaknya dengan perkawinan yang sah. c) Perempuan itu sudah melakukan hubungan suami-istri dengan suami yang baru. d) Perempuan itu sudah ditalak bain oleh suaminya yang baru. e) Telah habis masa iddah perempuan itu dari suaminya yang baru. 3. Hak dan Kewajiban Suami-Istri Jadi, seorang suami wajib menggauli istrinya dengan baik, penuh kasih sayang, memberi nafkah lahiriah dan batiniah secara baik dan layak, serta selalu lemah lembut dalam berbicara. Kaum lelaki tidak berhak melakukan sesuatu apapun kepada istri, kecuali hal-hal yang baik. Mereka baru diperbolehkan berbuat sesuatu apabila sang istri melakukan perbuatan maksiat. Maksudnya ketika si istri melakukan nusyuz yaitu tindakan atau perilaku seorang istri yang tidak bersahabat pada suaminya, maka suami boleh berbuat sesuatu yaitu dengan cara menasehati, jika tidak bisa, dipisahkan dari tempat tidur dan puncaknya boleh dipukul.25 Sebenarnya ajaran Islam tidak membolehkan suami memukul istri. Meskipun didalam Al-Qur’an ada sebuah ayat yang membolehkan seorang suami memukul istrinya, yaitu dalam surat An-Nisa’: 34 yang berbunyi:
ôΒÏ #( θ) à x Ρ&r $! ϑ y /Î ρu Ù < è÷ /t ’ 4 ?n ã t Ο ó γ ß Ò Ÿ è÷ /t ! ª #$ ≅ Ÿ Ò ā ùs $ϑ y /Î Ï $! ¡ | ΨiÏ 9#$ ’?n ã t χ š θΒã ≡θ§ %s Α ã %` y hÌ 9#$ tβθùè $ƒs B r LÉ ≈9© #$ ρu 4 ! ª #$ á x Ï m y $ϑ y /Î = É ‹ø ót =ù 9jÏ M × ≈à s Ï ≈m y M ì ≈Gt ΖÏ ≈%s M à ≈s y =Î ≈Á ¢ 9$$ ùs 4 Ν ö γ Î 9Ï ≡θu Βø &r
25
Nadhirah Mudjab, Merawat Mahligai Rumah Tangga (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2000), 31-53
23
Ÿξùs Ν ö 6 à Ζu è÷ Û s &r β ÷ *Î ùs ( £ δ è θ/ç Î Ñ ô #$ ρu ì Æ _ Å $Ò Ÿ ϑ y 9ø #$ ’ûÎ £ δ è ρã f à δ ÷ #$ ρu ∅ è θà δ Ý èÏ ùs ∅ è —y θ± δ à Σè ∩⊂⊆∪ #Z 6Î 2 Ÿ $Šw =Î ã t χ š %.x ! © #$ β ¨ )Î 3 ξ ¸ ‹6Î ™ y £ κÍ ö =n ã t #( θóä 7ö ?s Artinya : ”Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). wanitawanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar QS. An-nisa’: 34). Jadi seorang suami diperbolehkan untuk memukul istrinya yang telah terlihat tandatanda nusyuz. Istri yang nusyuz adalah istri yang tidak lagi menghormati, mencintai, menjaga dan memuliakan suaminya. Istri yang tidak lagi komitmen pada ikatan suci perkawinan. Yang sering tidak dipahami banyak orang kata ‘pukullah’ diartikan boleh memukul istri dengan seenaknya, padahal menurut ayat diatas setelah dua cara sebelumnya dianggap gagal untuk menyadarkan si istri, baru boleh dipukul, itupun tidak boleh sembarangan. Suami boleh memukul dengan syarat: pertama, telah menggunakan dua cara sebelumnya namun tidak mempan. Tidak diperbolehkan langsung main pukul. Istri salah sedikit main pukul, Islam melarang hal semacam ini. Kedua, tidak boleh memukul muka, sebab muka seseorang adalah segalanya bagi manusia. Rasulullah melarang memukul muka.26 Ketiga, tidak boleh menyakitkan. Para ulama ahli fiqih dan ulama tafsir menjelaskan kriteria ‘ghairu mubrah’ atau ‘tidak menyakitkan’ yaitu tidak sampai meninggalkan bekas, tidak sampai membuat tulang retak, dan tidak di bagian tubuh yang berbahaya jika kena pukulan.27
26
Forum Kajian Kitab Kuning, Kembang Setaman Perkawinan Analisis Kritis Kitab ‘Uqud Al-Lujjayn (Jakarta: Buku Kompas, 2005), 141-145. 27 Hussein Hadi As-Syamiy, Karena Kita Diciptakan Berpasangan Mencapai Kebahagiaan Perkawinan (Yogyakarta: Bintang Cemerlang, 2000), 73-74.
24
Menurut Sofjan S Siregar, Dosen Islamic University of Europe Rotterdam, Ketua ICMI Orwil Eropa, dalam menafsirkan surat An-Nisa’: 34, yaitu kata dhorb dalam surat An-Nisa: 34, tidak bisa dijadikan rujukan dan diterjemahkan secara harfiah dengan memukul, tapi harus diterjemahkan sesuai dengan penjelasan ayat dan hadis secara komprehensif sesuai norma maqasid al-syari’ah (tujuan syariah). Karena dalam persepsi Islam, maksud dari institusi perkawinan dalam bentuk rumah tangga sangatlah mulia. Selain mengikuti Sunah Nabi dan mengembangbiakkan keturunan, juga untuk membina keluarga sakinah, mawaddah, wa rahmah. Maka dari itu, menghina, menganiaya atau memukul istri bukan hanya bertentangan dengan tujuan perkawinan, tapi juga melanggar prinsip dasar HAM. Demikian pula sang istri juga tidak perlu memukul suami atau melakukan tindakan kekerasan lain. Istri bisa dan boleh keluar dari lembaga perkawinan dengan mengambil inisiatif untuk cerai dari suami dengan membayar ta’widh. Tidak satu hadispun yang membolehkan memukul istri. Dalam AlQuran juga tidak ditemukan ayat yang membolehkan memukul istri. Adapun ayat 34 surat An-Nisa yang selalu dijadikan rujukan oleh sebagian orang, perlu di terjemahkan secara akurat sesuai dengan norma dan prinsip tafsir. Menerjemahkan kata dhorb dalam ayat tersebut dengan memukul adalah hal yang perlu penjelasan lanjutan. Karena petunjuk Al-Qur’an sangat jelas bahwa untuk memukul atau mencambuk selalu dipakai kata jild seperti hukuman bagi orang yang menuduh berzina tanpa adanya empat saksi dicambuk 80 kali. Kata kerja dhorb mencakup multimakna yang harus disesuaikan dengan ayat dan dalil naqli yang terkait secara utuh. Ada 18 bentuk pemakaian kata dhorb dalam Al-Qur’an, semuanya bermakna i’tizal (mengasingkan/isolasi diri), al-mufaraqah (memisahkan), dan at-tark (meninggalkan). Kita ambil contoh dalam surat An Nisa ayat 101, “Wa iza dhorobtum fil ardhi falaisa
25
‘alaikum junahun an taqsuru minas sholati (Dan apabila kamu bepergian (dharabtum) di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu meng-qashar shalatmu). Kata dhorobtum tidak mungkin diterjemahkan memukul di bumi. Karena adanya konsep khulu’ (perceraian yang inisiatifnya muncul dari sang istri) dalam lembaga perkawinan, maka menerjemahkan dhorb dengan memukul semakin kurang relevan dalam ayat 34 Surat An-Nisa untuk menyelesaikan cekcok rumah tangga. Masing-masing pihak punya hak untuk tetap lanjut bersama atau pisah dari kehidupan rumah tangga.28 Kewajiban istri. Seorang istri mempunyai kewajiban yang harus dipenuhi terhadap suami ditengah kehidupan berumah tangga, yaitu: melayani suami dalam hal kebutuhan biologis, pergi dengan atas izin dari suami, kepatuhan (taat) pada perintah suami, asalkan tidak menyuruh kepada hal-hal yang dilarang oleh Islam, menjaga diri dan harta suami, dan lain-lain.29 Sedangkan hak-hak dari keduanya yaitu: a. Hak suami terhadap istrinya Adapun hak-hak suami atas istrinya sesuai dengan tuntunan yang dibolehkan oleh Islam adalah sebagai berikut:30 1. Ketaatan istri terhadapnya sewaktu ia memanggil ke ranjang. Apabila ia enggan untuk memenuhi kehendak suaminya, maka ia telah bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya. 2. Supaya menjaga kekayaan suaminya, dan menjaga dirinya apabila suaminya tidak ada. Adapun maksud daripada menjaga kekayaannya, adalah menjaga
28
Sofjan S Siregar, Fikih Mawaddah http://kajianislam.wordpress.com/2007/07/14/ diakses tanggal 27 Januari 2008. 29 M.Afnan Chafidh, A.Ma’ruf Asrori, Tradisi Islami Panduan Prosesi Kelahiran-Perkawinan-Kematian (Surabaya: Khalista, 2007), 168-172. 30 Bahay Al Khauly, Islam dan Persoalan Wanita Modern (Solo: Ramadhani, 1988), 86-87.
26
semua harta yang diserahkan kepadanya dan yang berada dalam wewenang kekuasaannya. b. Hak istri terhadap suaminya Wajib bagi suami memberikan nafkah kepada istrinya didalam kebutuhannya setara dengan kemampuannya, berupa rumah, makanan, minuman, pakaian dan selain itu yang termasuk kebutuhan badan dan bathin. Jika istrinya seorang yang kaya maka tidak dipersyaratkan kebutuhannya. Jika istri tidak mentaati suaminya di dalam perkaraperkara yang diwajibkan kepadanya dan dia memilih jalan lari dari suaminya, maka dia tidak berhak meminta nafkah. Keadaan tersebut dipahami dengan pemahaman nusyuz (perempuan yang meminta cerai). Suami juga harus berlaku sabar bila ada pelayanan istrinya yang kurang menyenangkan. Juga suami harus berlaku jujur dalam rumah tangga, menjaga keselamatan istri dan anak-anak, membimbing akhlaq istri dan memberi teladan kepada istri. Wajib atas suami mempergauli istrinya dengan baik. Tidak boleh bermuka masam, tidak boleh menyakitinya dengan lisan dan tangan, tidak boleh mencela orang tuanya serta keluarganya yang lain.31 4. Hikmah Perkawinan Hikmah dari perkawinan ini sendiri antara lain: a. Perkawinan merupakan wadah untuk menyalurkan rasa kasih sayang, termasuk kebutuhan seksualitas dan keinginan mempunyai keturunan. b. Perkawinan adalah wadah untuk menuai kebahagiaan dan ketentraman sebagaimana firman Allah SWT, Q.S Ar-Rum ayat:21.
31
M.Afnan Chafidh, A.Ma’ruf Asrori, Op. Cit., 161-167.
27
ZοŠ¨ θu Β¨ Ν6 à Ζu ÷ /t ≅ Ÿ èy _ y ρu $γ y Šø 9s )Î #( θþ Ζã 3 ä ¡ ó Ft 9jÏ %` [ ≡ρu —ø &r Ν ö 3 ä ¡ Å à Ρ&r ô ΒiÏ /3 ä 9s , t =n { y β ÷ &r ÿ µÏ GÏ ≈ƒt #u ô ΒÏ ρu ∩⊄⊇∪ β t ρã 3 © x Gt ƒt Θ 5 θö ) s 9jÏ M ; ≈ƒt ψ U 7 y 9Ï ≡Œs ’ûÎ β ¨ )Î 4 πº ϑ y m ô ‘u ρu Artinya: ”Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram (bahagia) kepadanya, dan dijadikan-Nya diantara kamu rasa kasih (mawaddah) dan sayang (rahmah). Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tandatanda bagi kaum yang berpikir”.(Ar-Rum, 30:21).32
c. Menerima pasangan dengan segala kelebihan dan kekurangannya, membantu suami-istri menumbuhkan penghargaan dalam bentuk sikap jiwa yang memantul ke segala aspek kehidupan sehari-hari.33 d. Perkawinan adalah hubungan yang kuat bukan hanya menyangkut suami-istri, melainkan juga dua keluarga suami-istri hingga menjadi lingkaran luas dalam rangkaian persatuan bangsa-bangsa.34 C. Tradisi Dalam Perkawinan 1. Pengertian Tradisi Perkawinan Tidak bisa dipungkiri bahwa prosesi atau pelaksanaan upacara dalam masyarakat Indonesia tidak terlepas dari hukum adat. Yang dimaksud dengan hukum adat sendiri adalah hukum asli atau hukum kebiasaan yang tidak tertulis, yang berdasarkan kebudayaan dan pandangan hidup bangsa Indonesia, yang memberi pedoman kepada sebagian besar orang-orang Indonesia dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Hazairin bahwa ”adat” itu adalah renapan (endapan) kesusilaan dalam masyarakat, yaitu bahwa kaidah-kaidah adat itu berupa kaidah-kaidah kesusilaan yang kebenarannya telah mendapat pengakuan umum dalam masyarakat itu. Menurut Soepomo memahamkan 32
Didik Komaidi, B-Love and D-Love Cinta Luhur dan Cinta Nista (Yogyakarta: Palem, 2004), 111-112. Aziz Mushoffa, Untaian Mutiara Buat Keluarga (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2001), 23. 34 Abdullah Hasan, M.S.Nasrulloh, Surga Bernama:Keluarga Membina Rumah Tangga Islami (Bandung: Pustaka Hidayah, 2003), 52. 33
28
hukum adat itu sebagai hukum yang tidak tertulis dalam arti yang luas, sebagaiman pada bagian yang lain karangannya tersebut, ia menyebut hukum adat dalam arti hukum kebiasaan yang tidak tertulis.35 Penyelidikan Van Vollenhoven dan sarjana-sarjana lain membuktikan bahwa wilayah hukum adat Indonesia itu tidak hanya terbatas pada daerah hukum Republik Indonesia, yaitu terbatas pada kepulauan Nusantara kita. Hukum adat Indonesia tidak hanya bersemayam dalam hati nurani orang Indonesia yang menjadi warga negara Republik Indonesia di segala penjuru Nusantara kita, tetapi tersebar luas sampai ke gugusan kepulauan Filipina dan Taiwan di sebelah Utara, di pulau Malagasi (Madagaskar) dan berbatas di sebelah Timur sampai di kepulauan Paska, dianut dan dipertahankan oleh orang Indonesia yang termasuk golongan orang Indonesia dalam arti etnik.36 Hal ini termasuk pula upacara perkawinan adat. Tiap-tiap daerah mempunyai upacara tersendiri sesuai dengan adat-istiadat setempat. Seperti negara kita yang terdiri dari berbagai suku bangsa dengan adat-istiadat dan upacara perkawinan yang berbeda dengan keunikan masing-masing. Dewasa ini upacara adat dalam perkawinan sering dilaksanakan meskipun dalam bentuk yang sangat sederhana sekali. Hampir setiap orang tua yang akan menikahkan putra-putrinya tidak lepas dengan upacara adat.37 2. Ruang Lingkup Tradisi Perkawinan Sedangkan perkawinan menurut tradisi hukum adat adalah perkawinan bagi masyarakat manusia bukan sekedar persetubuhan antara jenis kelamin yang berbeda sebagaimana makhluk lainnya, tetapi perkawinan bertujuan membentuk keluarga yang
35
Bushar Muhammad, Asas-Asas Hukum Adat Suatu Pengantar (Jakarta: PT.Pradnya Paramita, 1994), 712. 36 Iman Sudiyat, Asas-Asas Hukum Adat Bekal Pengantar (Yogyakarta: Liberty, 1991), 33. 37 Thomas Wiyasa Bratawidjaja, Upacara Perkawinan Adat Jawa (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1988), 13.
29
bahagia dan kekal, bahkan dalam pandangan masyarakat adat perkawinan bertujuan untuk membangun, membina dan memelihara hubungan kekerabatan yang rukun dan damai. Dikarenakan nilai-nilai hidup yang menyangkut tujuan perkawinan tersebut dan menyangkut pula kehormatan keluarga dan kerabat bersangkutan dalam pergaulan masyarakat, maka proses pelaksanaan perkawinan diatur dengan tata tertib adat, agar dapat terhindar dari penyimpangan dan pelanggaran yang memalukan yang akan menjatuhkan martabat kehormatan keluarga dan kerabat bersangkutan. Di kalangan masyarakat adat yang masih kuat prinsip kekerabatannya berdasarkan ikatan keturunan (genealogis), maka perkawinan merupakan suatu nilai hidup untuk dapat meneruskan keturunan, mempertahankan silsilah dan kedudukan sosial yang bersangkutan. Disamping itu adakalanya suatu perkawinan merupakan sarana untuk memperbaiki hubungan kekerabatan yang telah menjauh atau retak, ia merupakan sarana pendekatan dan perdamaian kerabat dan begitu pula perkawinan itu bersangkut paut dengan warisan kedudukan dan harta kekayaan.38 Menurut teori sosiologi bahwa pengaruh dan pertalian kebatinan yang terjadi dengan sendirinya disini menjadi unsur yang sine qua non (yang harus ada) bagi masyarakat. Masyarakat bukannya ada dengan hanya menjumlahkan adanya orang-orang saja, diantara mereka harus ada pertalian satu sama lain. Sedikitnya tiap anggota sadar akan adanya anggota lain, dan tidak mau ia memperhatikan adanya orang lain itu dalam tiap langkahnya. Kalau cara memperhatikan itu telah menjadi adat, tradisi atau lebih lagi menjadi lembaga, maka perhatian itu tetap dipelihara sekalipun tidak ada seseorang didekatnya. Umpamanya
38
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat Dengan Adat Istiadat Dan Upacara Adatnya (Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 2003), 22-23.
30
saja, karena memperhatikan adanya orang lain dan supaya berjalan tidak bentrokan dengan dia, maka orang berjalan disebelah kiri jalan. Kalau perhatian itu telah menjadi peraturan atau adat, maka orang akan tetap berjalan disebelah kiri jalan sekalipun tidak tampak adanya orang lain yang datang dari jurusan sebaliknya. Aristoteles berpendapat, bahwa manusia ini adalah zoon politicon, yaitu makhluk sosial yang hanya menyukai hidup bergolongan, atau sedikitnya mencari teman untuk hidup bersama, lebih suka daripada hidup tersendiri. Lain daripada Aristoteles, maka Bergson berpendapat, bahwa manusia ini hidup bersama bukan oleh karena persamaan, melainkan karena perbedaan yang terdapat dalam sifat, kedudukan dan sebagainya. Menurut Bergson, kenyataan hidup baru terasa dengan perbedaan antara manusia masing-masing itu dalam kehidupan bergolongan.39 Menurut teori antropologi kebudayaan, bila kita memperhatikan suatu masyarakat, maka dapat dilihat bahwa para warganya, walaupun mempunyai sifat-sifat individual yang berbeda, akan memberi reaksi yang sama pada gejala-gejala tertentu. Sebab dari reaksi yang sama itu adalah karena mereka memiliki sikap-sikap umum yang sama, nilai-nilai yang sama dan perilaku yang sama. Hal-hal yang dimiliki bersama itulah yang dalam antropologi budaya dinamakan kebudayaan. Kebudayaan menjadi milik manusia melalui proses belajar, bahwa kebudayaan adalah hal-hal yang dimiliki bersama dalam suatu masyarakat tertentu.40 Dalam setiap masyarakat disamping terdapat pola-pola budaya yang nyata-nyata merupakan kebiasaan, juga terdapat polapola budaya ideal, yaitu hal-hal yang menurut warga masyarakat harus dilakukan, atau
39 40
Hassan Shadily, Sosiologi Untuk Masyarakat Indonesia (Jakarta: Pustaka Sarjana, 1980), 31-34. T.O.Ihromi, Pokok-Pokok Antropologi Budaya (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006), 13.
31
norma-norma. Dalam kenyataannya norma dalam banyak hal tidak sesuai dengan perilaku aktual.41 Konsep daerah kebudayaan menurut teori antropologi adalah suatu daerah kebudayaan atau culture area merupakan suatu penggabungan atau penggolongan (yang dilakukan oleh ahli-ahli antropologi) dari suku-suku bangsa yang dalam masing-masing kebudayaannya yang beraneka warna mempunyai beberapa unsur dan ciri mencolok yang serupa.42 Sistem penggolongan daerah kebudayaan yang sebenarnya merupakan suatu sistem klasifikasi yang mengklasifikasikan beraneka warna suku bangsa yang terbesar disuatu daerah atau benua besar, ke dalam golongan berdasarkan atas beberapa persamaan unsur dalam kebudayaannya. Hal ini untuk memudahkan gambaran menyeluruh dalam hal penelitian analisa atau penelitian komperatif dari suku-suku bangsa di daerah atau benua yang bersangkutan.43 Melihat arti dan fungsi perkawinan menurut hukum adat adalah lebih luas dari perkawinan menurut hukum perundang-undangan, maka pelaksanaan perkawinan baik untuk pria dan wanita yang belum cukup dewasa maupun yang sudah dewasa dan mampu untuk mandiri, harus dicampuri oleh orang tua keluarga dan kerabat kedua pihak. Perkawinan yang dilakukan sendiri tanpa campur tangan orang tua, keluarga dan kerabat, menurut pandangan masyarakat adat adalah perkawinan yang bertentangan dengan hukum adat. Menurut hukum adat suatu ikatan perkawinan bukan saja berarti bahwa suami dan istri harus saling bantu-membantu dan melengkapi kehidupan rumah 41
TH.Fischer, Pengantar Antropologi Kebudayaan Indonesia (Jakarta: Pustaka Sarjana, 1980), 18. Abdurrahmat Fathoni, Antropologi Sosial Budaya Suatu Pengantar (Jakarta: PT.Rineka Cipta, 2006), 52-53. 43 Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi 1 (Jakarta: UI-Press, 1987), 110. 42
32
tangganya, tetapi juga berarti ikut sertanya orang tua, keluarga atau kerabat kedua pihak untuk menunjang kebahagaiaan dan kekekalan hidup rumah tangga mereka. Guna mengatur tata tertib perkawinan di kalangan masyarakat adat terdapat kaidahkaidah hukum yang tidak tertulis dalam bentuk perundang-undangan, yang pada masing-masing lingkungan masyarakat adat terdapat perbedaan prinsip dan asas-asas perkawinan yang berlaku. Pada masyarakat adat yang susunan kekerabatannya kebapak-an (patrilinial) berbeda dari masyarakat adat yang susunan kekerabatannya keibu-an (matrilinial), begitu pula terhadap masyarakat yang bersendi ke-ibu-bapak-an (parental) atau yang bersendi ke-bapak-an beralih-alih (alternerend). Bahkan di kalangan masyarakat adat yang selingkungan adat, yang hukum adatnya bersamaan, terdapat variasi-variasi yang berlainan. Selanjutnya dikarenakan keadaan lingkungan, waktu dan tempat yang mempengaruhi, maka perkembangan dan perubahan-perubahan yang terjadi antara masyarakat adat yang satu dan yang lain tidak seimbang. Perubahanperubahan yang begitu cepat dan cenderung ke arah penyederhanaan upacara adat berlaku di kota-kota.44 3. Macam-Macam Tradisi Perkawinan 3.1 Tradisi Perkawinan Dari Berbagai Daerah di Indonesia. Di lingkungan masyarakat adat Batak di bagian Utara yang sebagian besar menganut agama Kristen, masih tetap mempertahankan susunan kekerabatan yang sifatnya asyimmetrisch connubium, maka sistem perkawinan yang dianut adalah ”exogami”, dimana seorang pria harus mencari calon istri diluar marga (klen-patrilinial) dan dilarang kawin dengan wanita yang semarga. Perkawinan harus dilaksanakan ”manunduti” atau melakukan perkawinan berulang searah dari satu sumber bibit, pihak 44
Hilman Hadikusuma, Op. Cit., 23-24.
33
penerima dara (boru) dianjurkan dan dikehendaki untuk tetap mengambil dara dari pemberi dara (hula-hula). Adalah ideal sifatnya jika seorang pria dapat kawin dengan wanita anak paman saudara lelaki dari ibu (tulang). Keadaan serupa ini berlaku juga di Timor, tetapi tidak dibenarkan kawin antara anak bersaudara ibu.45 Sistem perkawinan ke luar marga ini sudah luntur didaerah Tapanuli Selatan, Minangkabau, Sumatera Selatan, Lampung, dan beberapa daerah lain seperti di Maluku, Buru dan Seram. Antara lain yang menjadi sebab adalah masuknya pengaruh ajaran hukum Islam. Ada kemungkinan di beberapa daerah masih terdapat sistem perkawinan ”endogami”, dimana seorang pria diharuskan mencari calon istri dalam lingkungan kerabat (suku, klen, famili) sendiri dan dilarang mencari ke luar dari lingkungan kerabat, yang di masa lampau nampaknya berlaku di daerah Toraja Sulawesi Tengah atau dikalangan masyarakat kasta di Bali. Dimasa sekarang nampak kecenderungan untuk tidak lagi mempertahankan sistem perkawinan exogami atau endogami, walaupun di sana-sini masih nampak adanya keinginan golongan tua untuk tidak menghilangkan sama sekali sistem demikian, walaupun tidak secara sempurna. Oleh karena hanya diperlakukan untuk kepentingan kekerabatan dan harta warisan, misalnya dikalangan orang Lampung yang menghendaki agar anak tunggal atau anak tertua lelaki tidak mencari calon istri atau calon suami dari bukan orang Lampung, bahkan dianjurkan mencari calon istri atau suami dari kalangan anggota kerabat terdekat. Dikalangan masyarakat adat Semendo anak wanita tertua atau salah satu dari anak wanita yang akan dijadikan ”tunggu tubang” diharuskan mencari calon suami dari anggota kerabat sendiri. Di tanah Batak peranan orang tua dalam mencarikan jodoh bagi anaknya atau menyetujui perkawinan anaknya, maka ia harus berunding dengan saudara-saudara 45
Ibid., 67-90.
34
semarga (”dongan tubu”, Batak; ”Adik Wari”, Lampung), saudara-saudara wanita dari ayah yang telah bersuami (”boru”, Batak; ”mirul dan mengian”, Lampung) dan lainlain. Di Minangkabau pria dan wanita yang masih satu suku dilarang melakukan perkawinan, demikian pula di Rejang oleh karena perbuatan demikian berakibat ”pecah suku”, atau di daerah Rasemah Sumatera selatan disebut ”merubuh sumbai”. Pelanggaran terhadap larangan ini dijatuhi hukuman denda adat yang harus dibayar kepada para prowatin adat, dan menyembelih ternak agar dapat terhindar dari kutuk arwah-arwah ghaib. Dikalangan masyarakat Lampung beradat pepadun, seorang pria dilarang melakukan perkawinan dengan anak saudara lelaki ibu (kelama), tetapi merupakan perbuatan mengembalikan bibit (ngulehken mulan) apabila seorang pria melakukan perkawinan dengan wanita anak dari saudara perempuan ayah (ngakuk menulung).46 3.2 . Tradisi Perkawinan Adat Jawa. Menurut Thomas Wiyasa Bratawidjaya dalam bukunya ”Upacara Perkawinan Adat Jawa”, Dalam tradisi Jawa terdapat istilah-istilah Upacara Adat, yaitu : a. Kawin Gantung Perkawinan antara si pemuda dan si pemudi sudah dilaksanakan, namun kehidupan bersama sebagai suami-istri belum dilaksanakan. Upacara adat perkawinan ini dianggap sah apabila kelak pihak orang tua gadis melaksanakan perkawinan yang sesungguhnya. b. Kawin Keris Hal ini dilaksanakan bila calon pengantin putra berhalangan datang karena sesuatu hal, maka dalam hal ini calon pengantin putra dapat diwakili oleh kerisnya. 46
Ibid., 91-101.
35
perkawinan dilakukan dihadapan penghulu antara calon pengantin putri dengan keris calon pengantin putra disertai dengan para keluarga dari kedua belah pihak sebagai saksi. Pada zaman dulu kawin keris ini dapat dilakukan juga oleh seorang bangsawan yang merasa terlalu tinggi untuk menikah dan duduk berdampingan dengan seorang gadis kebanyakan (bukan bangsawan). Dalam upacara ini gadis tersebut dikawinkan dengan keris yang dibawa oleh utusan disaksikan oleh keluarga gadis disertai oleh wakil dari bangsawan tersebut. c. Kawin Di Depan Peti Mati Apabila ayah seorang gadis meninggal dunia, selagi si gadis belum sempat melaksanakan Ijab Qabul dengan calon suaminya. Dalam hal ini Ijab Qabul dilaksanakan di depan peti mati orang tua gadis oleh penghulu. d. Ngarang Wulu Apabila seorang yang ditinggal mati istrinya, memperistri adik almarhumah istri (adik ipar sendiri). Istilah ini dipakai juga bila seorang ditinggal mati suaminya (adik atau kakak ipar). Hal ini adalah tindakan yang bijaksana demi masa depan anak-anak yang ditinggalkan.. e. Nglangkahi Nglangkahi termasuk larangan umum yang dilakukan oleh orang Jawa. Yang dimaksud dengan nglangkahi adalah bila adik entah perempuan entah laki-laki menikah mendahului kakak, baik kakak laki-laki maupun kakak perempuan. Bila hal ini terpaksa dilakukan harus diadakan upacara nglangkahi. Dalam pelaksanaannya calon pengantin akan mendatangi kakak untuk meminta persetujuannya dan keikhlasannya untuk menikah terlebih dahulu. Kalau kakaknya pria tidaklah begitu keberatan, tetapi bila kakaknya wanita, maka hal ini sungguh menyiksa. Upacara
36
langkahan ini dilaksanakan pada waktu malam midodareni. Bila kakak yang bersangkutan ada ditempat upacara langkahan ini dapat dilaksanakan dengan cara adiknya melakukan sungkeman. Bila kakak calon pengantin tidak ada ditempat upacara, dapat dilaksanakan dengan cara adik calon pengantin yang bersangkutan melangkahi tumpeng kecil yang khusus dibuat untuk upacara langkahan. f. Belum Pernah Mantu Apabila keluarga itu belum pernah mantu, maka pada keluarga itu dikenakan tatanan tertentu bila akad nikah dilangsungkan dirumah sendiri. Temu pengantin tidak boleh dilakukan didepan pintu masuk utama melainkan didepan pintu disebelah sisi kiri pintu utama. Demikian pula para tamu tidak boleh masuk melalui pintu utama, melainkan harus melalui pintu samping. Larangan tersebut tidak berlaku bila dilangsungkan dirumah lain. Ada cara lain yaitu ibu calon pengantin putri tidak diperbolehkan menerima sumbangan dan yang menerima sumbangan adalah calon pengantinnya sendiri.47 D. Tradisi Perkawinan Di Tinjau Dari Fiqih Syafi’iyah 1. Biografi Singkat Imam Syafi’i dan Syafi’iyah Nama lengkap Imam Syafi’i adalah Muhammad bin Idris bin Al-Abbas bin Utsman bin Syaafi’ bin As-Saai’b bin ‘Ubaid bin Abdu Yazid bin Hasyim bin Al- Muththalib bin Abdu Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ai. Nasab beliau bertemu dengan nasab Rasulullah SAW pada Abdu Manaf, sedangkan Al-Munthalib adalah saudaranya Hasyim (bapaknya Abdul Munthalib). Beliau dilahirkan di desa Gaza, masuk kota ‘Asqolan pada tahun 150 H. Saat beliau dilahirkan ke dunia oleh ibunya yang tercinta, bapaknya tidak sempat membuainya, karena ajal Allah telah 47
Thomas Wiyasa Bratawidjaya, Op. Cit., 151-153.
37
mendahuluinya dalam usia yang masih muda. Lalu setelah berumur dua tahun, paman dan ibunya membawa pindah ke kota kelahiran Nabi Muhammad SAW, Makkah Al Mukaramah. Syafi’iyah sendiri yaitu murid-murid beliau yang mengikuti, mengajarkan serta mengamalkan ajaran-ajaran Imam Syafi’i.48 Adapun murid-murid beliau yang terkenal adalah; a. Rabi’ bin Sulaiman bin Abdul Jabbar tokoh hadits dan fiqih, menjadi syaikh muazzin di masjid Fusthath. b. Abu Ibrahim Ismail bin Yahya bin Ismail bin Amr bin Muslim Al-Muzani AlMishri. c. Abu Yaqub Yusuf bin Yahya Al-Mishri Al-Buwaithi. Beliau juga bertemu dengan Imam Ahmad bin Hanbal dan saling mengambil ilmu antara keduanya. 2. Perkawinan Menurut Penganut Mazhab Syafi’i (Syafi’iyah) Ada dua pandangan penganut Mazhab Syafi'i (Syafi'iyah) didalam mendefinisikan perkawinan.
Pandangan pertama dari penganut mazhab Syafi’i, perkawinan
didefinisikan sebagai aqad tamlik (kontrak pemilikan), yakni bahwa dengan perkawinan seorang suami telah melakukan kontrak pembelian perangkat seks (budh’u) sebagai alat melanjutkan keturunan dari pihak perempuan yang dinikahinya. Dalam konsep perkawinan seperti ini pihak lelaki adalah pemilik dan sekaligus penguasa perangkat seks yang ada pada tubuh si istri, sekaligus pemilik anak yang dihasilkannya. oleh sebab itu, kapan, dimana dan bagaimana hubungan seks dilakukan, sepenuhnya tergantung pada pihak suami, dan istri tidak mempunyai pilihan lain kecuali melayani. 48
Manaaqib Asy-Syafi’i http://www.geocities.com/abu_amman/ (diakses tanggal 20 Januari 2008).
38
Sementara itu, penganut pandangan kedua berpendapat bahwa perkawinan bukanlah aqad tamlik melainkan hanya aqad ibahah (kontrak untuk membolehkan sesuatu, dalam hal ini alat seks yang semula di larang). artinya, dengan perkawinan itu alat seks perempuan tetap merupakan milik perempuan yang dinikahi, hanya saja kini alat itu sudah menjadi halal untuk dinikmati oleh seseorang yang menjadi suaminya. Dengan definisi ini, kapan hubungan seks dilaksanakan dengan cara bagaimana bukan sematamata urusan satu pihak, yakni suami, melainkan urusan mempelai berdua, suami istri, baik waktu maupun caranya.49 3. Prinsip Istinbath Imam Syafi’i Adapun Metode Istinbath yang dipergunakan Imam Syafi’I dalam menetapkan hukum adalah sebagai berikut: a.
Al-Qur’an Al-Syafi’I menegaskan bahwa Al-Qur’an membawa petunjuk, menerangkan
yang halal dan haram, menjanjikan balasan sorga bagi yang taat dan neraka bagi yang durhaka, serta memberikan perbandingan dengan kisah-kisah umat terdahulu. Semua yang diturunkan Allah dalam Al-Qur’an adalah hujjah (dalil, argumen) dan rahmat. Tingkat keilmuan seseorang erat terkait dengan pengetahuannya tentang isi Al-Qur’an. Orang yang berilmu adalah yang mengetahui Al-Qur’an, sedangkan yang jahil adalah yang tidak mengetahuinya. Oleh karena itu, setiap penuntut ilmu perlu berupaya keras untuk menguasai ilmu-ilmu Al-Qur’an, baik yang diperoleh dari nash (penegasan
49
Masdar F. Mas’udi, Islam dan Hak-Hak Reproduksi Perempuan (Bandung: Mizan, 1997), 107-108.
39
ungkapan) maupun melalui istinbath (penggalian hukum). Menurutnya, setiap kasus yang terjadi pada seseorang pasti mempunyai dalil dan petunjuk dalam Al-Qur’an.50 b.
Sunnah Al-Syafi’i menegaskan bahwa Sunnah merupakan hujjah yang wajib diikuti,
sama halnya dengan Al-Qur’an. Untuk mendukung pendapatnya, ia mengajukan beberapa dalil naqli (ayat-ayat Al-Qur’an) maupun dalil aqli (rasio). Al-Syafi’I mengemukakan bahwa Allah secara tegas mewajibkan manusia mentaati Rasulullah Saw.51 Pada beberapa ayat perintah itu disebutkan bersamaan dengan perintah mentaati Allah (surat An-Nisa’: 59), dan sebagiannya dikemukakan terpisah (surat An-Nisa: 65). Selain itu, ada ayat yang menyatakan bahwa taat kepada Rasulullah Saw pada hakikatnya adalah taat kepada Allah Swt (surat Al-Fath: 10)52, sehingga jelaslah bahwa menerima petunjuk Rasulullah Saw berarti menerimanya dari Allah Swt.53 Al-Syafi’I menegaskan, bila telah ada hadis yang sahih (tsabit) dari Rasulullah Saw, maka “dalildalil” berupa perkatan orang lain tidak diperlukan lagi. Al-Syafi’I menyatakan, ucapan lima (mengapa) dan kaifa (bagaimana) terhadap sunnah adalah keliru. Hal ini dikemukakan dengan alasan rasional. Jika hukum yang ditetapkan Sunnah masih dipertanyakan, dengan menggunakan qiyas dan rasio, maka tidak akan ada kata putus (al-qaul al-lazim) yang dapat dijadikan sebagai patokan, ini akan neruntuhkan kedudukan qiyas itu sendiri (sebagai dalil hukum).54
50
Al-Syafi’i, Al-Risalah (Beirut: Dar Al-Fikr, 1309 H), 17-20. Ibid., 79-85. 52 Lahmuddin Nasution, Pembaruan Hukum Islam Dalam Mazhab Syafi’i (Bandung: PT.Remaja Rosdakarya, 2001), 74. 53 Al-Syafi’i, Al-Umm Jilid VII (Beirut: Dar Al-Fikr, 1321 H), 301. 54 Ibid., 667. 51
40
c.
Ijma’ Dalam masalah-masalah yang tidak diatur secara tegas dalam Al-Qur’an ataupun
Sunnah, sehingga hukumnya harus dicari melalui ijtihad, jelas terbuka peluang untuk berbeda pendapat. Berkenaan dengan ini, para mujtahid diberi kebebasan, bahkan keharusan untuk bertindak atau berfatwa sesuai dengan hasil ijtihadnya masing-masing. Hal ini ditegaskan oleh Al-Syafi’I dengan katanya: “sesuatu yang tidak diatur dalam nash Kitab atau Sunnah, dan para mujtahid mencari hukumnya dengan ijtihad, maka mereka bebas untuk berbuat dan berkata sesuai dengan apa yang mereka anggap benar”.55 Lebih lanjut, fatwa-fatwa mereka itu tidak bersifat mengikat. Masalah-masalah tersebut tetap terbuka sebagai lapangan ijtihad bagi ulama yang datang kemudian dan orang awam bebas memilih untuk mengikuti salah satu dari pendapat yang ada. Akan tetapi, dalam kasus-kasus tertentu, setelah melakukan ijtihad sesuai dengan kemampuan masing-masing, seluruh ulama sampai pada kesimpulan yang sama sehingga terbentuklah suatu kesepakatan tentang hukumnya. Kesepakatan seperti itu disebut ijma’ dan dipandang sebagai hujjah yang mempunyai kekuatan mengikat, dan kajian terhadap masalah tersebut dianggap telah selesai.56 d.
Qiyas Menurut Al-Syafi’I, qiyas merupakan upaya menemukan sesuatu yang dicari
melalui dalil-dalil sesuai dengan kabar yang ada pada Kitab atau Sunnah. Ijtihad berarti mencari sesuatu yang telah ada, tetapi tidak tampak (‘ain qa’imah mugayyabah), sehingga
untuk
menemukannya
diperlukan
petunjuk
dalil-dalil,
atau
upaya
mempersamakan sesuatu dengan sesuatu yang ada. Dalam berbagai uraiannya, Al55 56
Ibid., 299. Lahmuddin Nasution, Op. Cit., 84-85.
41
Syafi’I menggunakan kata qiyas, dan ijtihad secara bergantian dan menegaskan bahwa kedua kata itu adalah dua nama bagi satu makna (ismani li ma’nan wahid).57 e. ‘Urf ‘Urf dikemukakan sebagai faktor peralihan fatwa Al-Syafi’I dari qaul qadim ke qaul jadid. Al-Syafi’I banyak membangun hukum dalam qaul jadid-nya atas dasar ‘urf masyarakat Mesir dan meniggalkannya hukum yang sebelumnya berdasarkan ‘urf masyarakat Iraq atau Hijaz. Betapa ‘urf mempengaruhi pertimbangan dalam penetapan hukum, jelas tampak dari penelusuran terhadap kitab-kitab fiqih. Pengaruh itu terutama berkenaan dengan makna yang harus diberikan pada ungkapan yang digunakan oleh para subyek hukum, contohnya, dalam perikatan, mu’amalat, munakahat, sumpah, nadzar, dan sebagainya harus diartikan menurut makna yang popular dalam ‘urf.58 Pengertian ‘Urf Fiqih Syafi’iyah ‘Urf dalam pandangan Fiqih Syafi’iyah adalah sesuatu yang telah biasa berlaku, diterima, dan dianggap baik oleh masyarakat yang didasarkan atas syara’ ataupun pertimbangan akal semata. ‘Urf menempati posisi penting dalam bangunan hukum Islam. Masalah yang terkait dan diatur berdasarkan ‘urf atau harus diselesaikan dengan mempertimbangkan ‘urf yang berlaku di tempat dan masa terjadinya masalah tersebut, cukup besar jumlahnya. Kadang-kadang ‘urf dikemukakan sebagai faktor peralihan fatwa Al-Syafi’i dari qaul qadim ke qaul jadid. Ali Hasballah, secara tegas, menyatakan bahwa Al-Syafi’i banyak membangun hukum dari qaul jadid-nya atas dasar ‘urf
57 58
Al-Risalah, Op. Cit., 501-477. Lahmuddin Nasution, Op. Cit., 150.
42
masyarakat Mesir dan meninggalkan hukum yang sebelumnya berdasarkan ‘urf masyarakat Iraq atau Hijaz.59 1.2 Macam-macam ‘Urf Dari segi objeknya, ‘urf dibagi kepada: a. Al-‘urf al-Lafzhi (kebiasaan yang menyangkut ungkapan), adalah kebiasaan masyarakat
dalam
mempergunakan
lafal/ungkapan
tertentu
dalam
mengungkapkan sesuatu, sehingga makna ungkapan itulah yang dipahami dan terlintas dalam pikiran masyarakat. Misalnya, ungkapan “daging” yang berarti daging sapi, padahal kata-kata “daging” mencakup seluruh daging yang ada. Apabila seseorang mendatangi penjual daging, sedangkan penjual daging itu memiliki bermacam-macam daging, lalu pembeli mengatakan “saya beli daging satu kilogram”, pedagang itu langsung mengambilkan daging sapi, karena kebiasaan masyarakat setempat telah mengkhususkan penggunaan kata daging pada daging sapi. b. Al-‘urf al-‘Amali (kebiasaan yang berbentuk perbuatan), adalah kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan perbuatan biasa atau mu’amalah keperdataan. Yang dimaksud “perbuatan biasa” adalah perbuatan masyarakat dalam masalah kehidupan mereka yang tidak terkait dengan kepentingan orang lain, seperti kebiasaan libur kerja pada hari-hari tertentu dalam satu minggu, kebiasaan masyarakat tertentu memakan makanan khusus atau meminum minuman tertentu dan kebiasaan masyarakat dalam memakai pakaian teretntu dalam acara-acara khusus. Adapun yang berkaitan dengan mu’amalah perdata adalah kebiasaan
59
Lahmuddin Nasution, Pembaruan Hukum Islam Dalam Mazhab Syafi’I (Bandung: PT.Remaja Rosdakarya, 2001), 150.
43
masyarakat dalam melakukan akad/transaksi dengan cara tertentu. Misalnya, kebiasaan masyarakat dalam berjual beli bahwa barang-barang yang di beli itu diantarkan di rumah pembeli oleh penjualnya, apabila yang di beli itu berat dan besar, seperti lemari es dan peralatan rumah tangga lainnya, tanpa dibebani biaya tambahan. Dari segi cakupannya, ‘urf terbagi dua, yaitu: a. Al-‘urf al-‘Am (kebiasaan yang bersifat umum), adalah kebiasaan tertentu yang berlaku secara luas di seluruh masyarakat dan di seluruh daerah. Misalnya, dalam jual beli mobil, seluruh alat yang diperlukan untuk memperbaiki mobil seperti kunci, tang, dongkrak, dan ban serep, termasuk dalam harga jual, tanpa akad sendiri dan biaya tambahan. b. Al-‘urf al-Khash (kebiasaan yang bersifat khusus), adalah kebiasaan yang berlaku di daerah dan masyarakat tertentu. Misalnya, di kalangan para pedagang, apabila terdapat cacat tertentu pada barang yang di beli dapat di kembalikan dan untuk cacat lainnya dalam barang itu, konsumen tidak dapat mengembalikan barang tersebut. Dari segi keabsahannya, ‘urf terbagi menjadi dua, yaitu: a. Al-‘urf al-Shahih (kebiasaan yang dianggap sah), adalah kebiasaan yang berlaku di tengah-tengah masyarakat yang tidak bertentangan dengan nash (ayat atau hadits), tidak menghilangkan kemaslahatan mereka, dan tidak pula membawa mudharat kepada mereka. Misalnya, dalam masa pertunangan pihak laki-laki memberikan hadiah kepada pihak wanita dan hadiah ini tidak dianggap sebagai mas kawin.
44
b. Al-‘urf al-Fasid (kebiasaan yang dianggap rusak), adalah kebiasaan yang bertentangan dengan dalil-dalil syara’ dan kaidah-kaidah dasar yang ada dalam syara’. Misalnya, kebiasaan yang berlaku di kalangan pedagang dalam menghalalkan riba, seperti peminjaman uang antara sesama pedagang. Uang yang di pinjam sebesar sepuluh juta rupiah dalam tempo satu bulan, harus di bayar sebanyak sebelas juta rupiah apabila jatuh tempo, dengan perhitungan bunganya 10%. Dilihat dari segi keuntungan yang diraih peminjam, penambahan utang sebesar 10% tidaklah memberatkan, karena keuntungan yang diraih dari sepuluh juta rupiah tersebut mungkin melebihi bunganya yang 10%. Akan tetapi, praktek seperti ini bukanlah kebiasaan yang bersifat tolong-menolong dalam pandangan syara’, karena pertukaran barang sejenis, menurut syara’ tidak boleh saling melebihkan, dan praktek seperti ini adalah praktek peminjaman yang berlaku di zaman Jahiliyah, yang dikenal dengan sebutan riba al-nasi’ah (riba yang muncul dari hutang-piutang).60 1. Tradisi Perkawinan Yang Sesuai Fiqih Syafi’iyah a. Tradisi Perkawinan Dari Berbagai Daerah di Indonesia Tradisi perkawinan dari berbagai daerah di Indonesia yang sesuai fiqih Syafi’iyah adalah dari daerah Tapanuli Selatan, Minangkabau, Sumatera Selatan, Lampung, dan beberapa daerah lain seperti di Maluku, Buru dan Seram yang tidak menganut asas exogami dan endogami seperti yang terjadi didaerah Batak yaitu mencari calon suami atau calon istri dalam lingkungan kerabat (suku, klan, famili), antara lain yang menjadi sebab adalah masuknya pengaruh ajaran hukum Islam. Alasannya menurut adat setempat dikhawatirkan keturunan mereka akan mengalami cacat mental, 60
Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1 (Jakarta: PT.Logos Wacana Ilmu, 1997), 139-141.
45
kelainan fisik dan lainnya yang bisa mengganggu keturunan mereka kelak. Contoh kongkritnya dari daerah Lampung. Di kalangan masyarakat Lampung beradat pepadun, seorang pria dilarang melakukan perkawinan dengan anak saudara lelaki ibu (kelama), tetapi merupakan perbuatan mengembalikan bibit (ngulehken mulan) apabila seorang pria melakukan perkawinan dengan wanita anak dari saudara perempuan ayah (ngakuk menulung). Setelah masuknya ajaran Islam, larangan kawin dengan wanita anak kelama (”tulang”, Batak) hanya dianggap perbuatan tercela. Apabila hal itu dilakukan, maka sebelum upacara perkawinan si wanita harus dinaikkan diatas langit-langit hubungan atap rumah karena takut ”tulah”, takut tidak direstui yang ghaib. Selain larangan ”ngakuk kelama” juga di Lampung dilarang mengambil wanita untuk kawin dari pihak ”lebu” (”kelama dari ayah”), karena hal ini juga dianggap perbuatan ”tulah”. Tetapi merupakan perbuatan yang baik apabila pria dan wanita anak-anak dari ibu bersaudara (”ngakuk nubi”) dikawinkan. Sebaliknya perkawinan antara anak-anak bersaudara ayah dianggap perbuatan yang kurang baik (”ngakuk bai, ”ngakuk warei” (Lampung). Lalu di Lampung orang yang tidak beragama Islam tidak dapat diterima menjadi anggota warga adat, oleh karenanya pria atau wanita yang beragama lain dari agama Islam yang akan melakukan perkawinan dengan pria dan wanita Lampung harus lebih dahulu memasuki agama Islam. Mereka yang tidak bersedia menganut agama Islam dan melakukan perkawinan menurut agama Islam, berarti harus keluar dari pergaulan adat kekerabatan orang Lampung, oleh karena menurut hukum adat, perkawinan yang tidak dilaksanakan menurut hukum agama Islam adalah tidak sah. Hal ini sejalan dengan ketentuan dalam pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan No.1 Tahun 1974. Contoh lain di Bali dilarang terjadi
46
perkawinan antara saudara wanita suami dengan saudara pria istri (makedengan ngad) karena perkawinan demikian akan mendatangkan bencana (panes). Lalu di Jawa tidak dibolehkan kawin antara pria dan wanita yang bersaudara kandung ayahnya, begitu pula dilarang kawin jika bersaudara misan dan dilarang kawin jika ibu yang pria lebih muda dari ibu yang wanita.61 b. Tradisi Perkawinan Adat Jawa Tradisi perkawinan adat Jawa yang sesuai Fiqih Syafi’iyah adalah istilah ngenger yaitu saat seorang pemuda yang sudah mempunyai pacar (pacangan), ikut tinggal dirumah calon istrinya. Dalam istilah ngenger ini mereka baru sah hidup berkeluarga apabila telah dilaksanakan Ijab Qabul, sehingga masih ada batas-batas yang tidak boleh dilanggar sebelum menjadi suami-istri, harus saling menjaga kesucian. Lalu istilah Kawin Gantung yaitu perkawinan antara si pemuda dan si pemudi sudah dilaksanakan , namun kehidupan bersama sebagai suami-istri belum dilaksanakan. Upacara adat perkawinan ini dianggap sah apabila kelak pihak orang tua gadis melaksanakan perkawinan yang sesungguhnya. Istilah lain yaitu, Nglangkahi termasuk larangan umum yang dilakukan oleh orang Jawa. Yang dimaksud dengan nglangkahi adalah bila adik entah perempuan entah laki-laki menikah mendahului kakak, baik kakak laki-laki maupun kakak perempuan. Bila hal ini terpaksa dilakukan harus diadakan upacara nglangkahi. Dalam pelaksanaannya calon pengantin akan mendatangi kakak untuk meminta persetujuannya dan keikhlasannya untuk menikah terlebih dahulu. Kalau kakaknya pria tidaklah begitu keberatan, tetapi bila kakaknya wanita, maka hal ini sungguh menyiksa. Upacara langkahan ini dilaksanakan pada waktu malam midodareni. Bila kakak yang bersangkutan ada ditempat upacara langkahan ini dapat 61
Hilman Hadikusuma, Op. Cit, 68-101.
47
dilaksanakan dengan cara adiknya melakukan sungkeman. Bila kakak calon pengantin tidak ada ditempat upacara, dapat dilaksanakan dengan cara adik calon pengantin yang bersangkutan melangkahi tumpeng kecil yang khusus dibuat untuk upacara langkahan, dan lain-lain.62. Korelasi keduanya dari tradisi yang sesuai Fiqih Syafi’iyah antara tradisi perkawinan di Indonesia dengan tradisi perkawinan adat Jawa adalah, melihat tradisi perkawinan yang ada di Indonesia bahwa masih sesuai dengan Fiqih Syafi’iyah, karena mereka sudah tidak menerapkan lagi asas exogami, yaitu dimana seorang pria harus mencari calon istri diluar marga (klen-patrilinial), atau masih ada hubungan saudara atau kekerabatan, dan dilarang mencari diluar hubungan kekerabatan tersebut, serta larangan menikah dengan yang beragama lain, mereka yang tidak bersedia menganut agama Islam dan melakukan perkawinan menurut agama Islam, berarti harus keluar dari pergaulan adat kekerabatan daerah tersebut, karena sudah masuknya ajaran Islam didaerah tersebut. Lalu dari tradisi adat Jawa sendiri juga masih sesuai dengan Fiqih Syafi’iyah, karena kebanyakan mereka sudah melakukan akad Ijab Qabul, meskipun belum tinggal satu rumah (kawin gantung), juga istilah ngenger yang dimana mereka baru sah hidup berkeluarga apabila telah dilaksanakan Ijab Qabul, sehingga masih ada batas-batas yang tidak boleh dilanggar sebelum menjadi suami-istri, harus saling menjaga kesucian. 2. Tradisi Perkawinan Yang Tidak Sesuai Fiqih Syafi’iyah a. Tradisi Perkawinan Dari Berbagai Daerah di Indonesia Tradisi perkawinan dari berbagai daerah di Indonesia yang tidak sesuai Fiqih Syafi’iyah adalah dari daerah Batak. Seperti yang sudah dijelaskan diatas bahwa 62
Thomas Wiyasa Bratawidjaya, Op. Cit., 151-153.
48
dilingkungan masyarakat adat Batak di bagian Utara yang sebagian besar menganut agama Kristen, masih tetap mempertahankan susunan kekerabatan yang sifatnya asyimmetrisch connubium, maka sistem perkawinan yang dianut adalah ”exogami”, dimana seorang pria harus mencari calon istri diluar marga (klen-patrilinial) dan dilarang kawin dengan wanita yang semarga. Perkawinan harus dilaksanakan ”manunduti” atau melakukan perkawinan berulang searah dari satu sumber bibit, pihak penerima dara (boru) dianjurkan dan dikehendaki untuk tetap mengambil dara dari pemberi dara (hula-hula). Adalah ideal sifatnya jika seseorang pria dapat kawin dengan wanita anak paman saudara lelaki dari ibu (tulang). Intinya yang diutamakan dari perkawinan adat Batak ini masih ada hubungan saudara atau kekerabatan, dan dilarang mencari
diluar
hubungan
kekerabatan
tersebut.
Alasannya
demi
menjaga
keberlangsungan keturunan diantara mereka yang dimana tidak bercampur keturunan dengan adat daerah lain. 63 b. Tradisi Perkawinan Adat Jawa Tradisi perkawinan adat Jawa yang tidak sesuai Fiqih Syafi’iyah adalah kawin keris yaitu hal ini dilaksanakan bila calon pengantin putra berhalangan datang karena sesuatu hal, maka dalam hal ini calon pengantin putra dapat diwakili oleh kerisnya. Pernikahan dilakukan dihadapan penghulu antara calon pengantin putri dengan keris calon pengantin putra disertai dengan para keluarga dari kedua belah pihak sebagai saksi. Pada zaman dulu kawin keris ini dapat dilakukan juga oleh seorang bangsawan yang merasa terlalu tinggi untuk menikah dan duduk berdampingan dengan seorang gadis kebanyakan (bukan bangsawan). Dalam upacara ini gadis tersebut dikawinkan dengan keris yang dibawa oleh utusan disaksikan oleh keluarga gadis disertai oleh wakil 63
Ibid., 67-100.
49
dari bangsawan tersebut. Istilah lain yang tidak diperbolehkan, kawin di depan peti mati yaitu apabila ayah seorang gadis meninggal dunia, selagi si gadis belum sempat melaksanakan ijab kabul dengan calon suaminya. Dalam hal ini ijab kabul dilaksanakan di depan peti mati orang tua gadis oleh penghulu. Contoh lain yaitu perkawinan dua saudara laki-laki dengan dua saudara perempuan, bila seorang suami mempunyai seorang saudara laki-laki dan seorang istri mempunyai saudara perempuan, ada kemungkinan bahwa adik suami akan dikawinkan dengan adik perempuan istrinya. Perkawinan ini dipantangkan dalam adat Jawa, sebaiknya hal ini dihindari. Perkawinan semacam ini banyak tidak membawa kebaikan dan banyak membawa sial (ketidakberuntungan).64 Korelasi keduanya dari tradisi yang tidak sesuai Fiqih Syafi’iyah antara tradisi perkawinan di Indonesia dengan tradisi perkawinan adat Jawa adalah, dari tradisi perkawinan yang ada di Indonesia sendiri, kebalikan dari tradisi yang sesuai Fiqih Syafi’iyah diatas, disini mereka masih menerapkan tradisi kawin dengan asas exogami yaitu dimana seorang pria harus mencari calon istri diluar marga (klen-patrilinial) dan dilarang kawin dengan wanita yang semarga. Intinya yang diutamakan dari perkawinan adat ini masih ada hubungan saudara atau kekerabatan, dan dilarang mencari diluar hubungan kekerabatan tersebut. Alasannya demi menjaga keberlangsungan keturunan diantara mereka yang dimana tidak bercampur keturunan dengan adat daerah lain. Lalu dari perkawinan adat Jawa sendiri, dari kawin keris yaitu bila calon pengantin putra berhalangan datang karena sesuatu hal, maka dalam hal ini calon pengantin putra dapat diwakili oleh kerisnya, contoh lain kawin didepan peti mati yaitu apabila ayah seorang gadis meninggal dunia, selagi si gadis belum sempat melaksanakan ijab kabul dengan 64
Ibid., 68-80..
50
calon suaminya, juga perkawinan dua saudara laki-laki dengan dua saudara perempuan, bila seorang suami mempunyai seorang saudara laki-laki dan seorang istri mempunyai saudara perempuan, ada kemungkinan bahwa adik suami akan dikawinkan dengan adik perempuan istrinya. Semua ini tidak sesuai dengan Islam dilihat dari sudut pandang fiqih Syafi’iyah.
51
BAB III METODE PENELITIAN
A. Paradigma Penelitian Menurut pendapat Lexy J. Moleong, paradigma merupakan pola atau model tentang bagaimana sesuatu distruktur (bagian dan hubungannya) atau bagaimana bagian-bagian berfungsi (perilaku yang didalamnya ada konteks khusus atau dimensi waktu). Menurut Harmon, paradigma adalah cara mendasar untuk mempersepsi, berfikir, menilai, dan melakukan yang berkaitan dengan sesuatu secara khusus tentang visi realitas.65 Menurut buku pedoman Syari’ah Paradigma ialah sebuah framework tak tertulis, berupa lensa mental atau peta kognitif dalam mengamati dan memahami sesuatu yang dapat mempertajam pandangan terhadap dan bagaimana memahami data.66
65
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif Cet.XXI (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2005), 49. 66 Fakultas Syari’ah Universitas Islam Negeri Malang, Buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah Cet.I (Malang: Fakultas Syari’ah, 2005),10.
51
52
Dari fenomena inilah dan untuk menjawab dari berbagai permasalahan yang ada, maka penelitian ini menggunakan paradigma interpretative fenomenologis, dimana paradigma ini digunakan pada penelitian kualitatif karena dalam penelitian ini mengarahkan peneliti untuk mengetahui bagaimana cara masuk kedalam dunia konseptual para subjek yang akan diteliti dengan sedemikian rupa. Sehingga, dapat memahami kehidupan sehari – hari khususnya saat berinteraksi dengan objek yang diteliti, serta menitikbertakan pada rasionalisme dan realita yang ada dilapangan, dan ini sesuai dengan penelitian permasalahan kawin boyong yang ada dikalangan masyarakat Gesikan yang memfokuskan pada pandangan masyarakat sebagai pemilik tradisi dan pelaku tradisi.Sedangkan menurut Filsuf Edmund Husserl dan Alfred Schultz dan pengaruh lainnya yang berasal dari Weber yang memberikan tekanan pada Verstehen, yaitu pengertian Interpretative terhadap pemahaman manusia maka, menurut kaum Fenomenologis penelitian ini ditekankan pada aspek subjektif dari prilaku seseorang, sehingga penelitian ini sifatnya atau hasilnya bisa berubah – rubah sesuai dengan keadaan pada saat penelitian.67 Metode kualitatif fenomenologi berasaskan dari empat kebenaran yaitu kebenaran emperik sensual, emperik logic, kebenaran emperik etik, kebenaran emperik transenden. Atas cara mencapai kebenaran permasalahan maka metode kualitatif fenomenologis menghendaki adanya kesatuan antara subjek peneliti dengan pendukung objek penelitian. Keterlibatan subyek peneliti di lapangan dan penghayatan fenomena yang dialami menjadi salah satu ciri utama. 68.
67
Lexy J. Moleong, Op. Cit., 17. Suwardi Endraswara, Metode, Teori, Teknik Penelitian Kebudayaan :Ideologi, Epistemologi, dan Aplikasi (Sleman: Pustaka Widyatama, 2006), 67.
68
53
Dalam pandangan Natanton, fenomenologis merupakan istilah generik yang merujuk kepada semua pandangan ilmu sosial yang menganggap bahwa kesadaran manusia dan makna subjektif sebagai fokus untuk memahami tindakan sosial69 karena hal ini sangat memungkinkan dalam kaitannya dengan penelitian budaya karena pandangan subjektif informan sangatlah diperlukan. B. Jenis dan Pendekatan Penelitian Disini peneliti menggunakan pendekatan kualitatif, yaitu pengamatan, wawancara, atau penelaahan dokumen.
70
Peneliti memilih jenis pendekatan ini karena dari adanya
pertimbangan yaitu menyesuaikan metode kualitatif lebih mudah jika berhadapan langsung dengan kenyataan yang ada, dengan pendekatan ini peneliti bisa menyajikan secara langsung hakikat hubungan antara peneliti dan responden, dan pendekatan ini juga lebih peka dan lebih dapat menyesuaikan diri dengan banyak penajaman pengaruh bersama terhadap pola-pola nilai yang dihadapi. Menurut Saifullah mendefinisikan penelitian kualitatif sebagai kemampuan untuk melakukan pengamatan secara cermat untuk mendapatkan data yang shahih dan handal serta kecakapan untuk berinteraksi dan beradaptasi
dengan
baik
dengan
komunitas
masyarakat
yang
diamati
dan
diwawancarai.71 Nasution mendeskripsikan penelitian kualitatif sebagai penelitian yang memiliki sejumlah karakter yang memungkinkan seorang peneliti memperoleh informasi dari observasi wawancara dan partisipasi langsung72 karena peneliti sendiri adalah instrument dengan tujuan memperoleh pemahaman yang mendalam terhadap suatu
69
Ibid., 66. Lexy J.Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001), 9 71 Saifullah, Metodologi Penelitian (Malang: Fakultas Syari’ah, 2006). 72 Soejono dan Abdurrahma, Metode Penelitian Suatu Pemikiran dan Penerapan (Jakarta : Rineka Cipta, 1999), 28 ; S. Nasution. Metode Reseach Penelitian Ilmiah (Bandung : Jemmers, 1982), 12-14 70
54
permasalahan berkaitan dengan fenomena tradisi kawin boyong yang ditemukan langsung oleh peneliti pada saat melakukan sendiri kegiatan penelitian di lapangan C. Sumber Data Sumber data dalam penelitian adalah subjek dari mana data tersebut diperoleh73 Sumber data dalam penelitian ini ada dua macam yaitu, sumber data primer dan sumber data sekunder. 1. Data Primer Data primer adalah sumber penelitian yang diperoleh secara langsung dari sumber asli (tidak melalui perantara). Data primer dapat berupa opini subjek (orang) secara individual dan kelompok. Hasil observasi terhadap suatu benda (fisik), kejadian atau kegiatan dan hasil penguji.74 Dalam penelitian ini, data primer diperoleh dengan menggunakan metode wawancara atau interview yang dilakukan dengan para tokoh masyarakat dan tokoh agama setempat yang terdiri dari kiai, ustadz, dan sesepuh desa/adat, dan informan pendukung yang terkait dengan masalah penelitian. 2. Data Sekunder Data sekunder adalah data yang bukan diusahakan sendiri pengumpulannya oleh peneliti, misalnya dari biro statistik, majalah, keterangan-keterangan atau publikasi lainnya.75 Jadi data sekunder berasal dari tangan kedua, ketiga, dan seterusnya, artinya melewati satu atau lebih pihak yang bukan peneliti sendiri. Berkaitan dengan hal ini maka data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini berupa literatur-literatur ilmiah, pendapat-pendapat pakar dan tidak lupa pula fatwa-fatwa ulama Islam dan
73
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan (Jakarta : Rineke Cipta, 2002), 107 Gabriel Amin Silalahi, Metode Penelitian dan Studi Kasus (Sidoarjo: CV. Citra Media, 2003), 57. 75 Marzuki, Metodologi Riset (Jogjakarta: PT. Prasetia Widya Pratama, 2002), 56. 74
55
cendekiawan muslim yang berkaitan dengan perkawinan dan aturan-aturannya yang berlaku, termasuk yang berkaitan dengan perkawinan Kawin Boyong D. Teknik Pengumpulan Data Adapun mengenai teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Wawancara atau Interview Wawancara merupakan suatu proses intraksi untuk mendapatkan informasi secara langsung dari informan, metode ini digunakan untuk menilai keadaan seseorang dan merupakan tulang punggung suatu penelitian survai, karena tanpa wawancara maka akan kehilangan informasi yang valid dari orang yang menjadi sumber data utama dalam penelitian.76 Sedangkan pedoman wawancara yang digunakan adalah wawancara bebas atau wawancara tak berstruktur yaitu wawancara yang tidak didasarkan atas suatu sistem dan daftar pertanyaan yang telah disediakan sebelumnya. Hal ini dilakukan guna mendapatkan hasil atau data yang lebih lengkap dan sistematis untuk mendapatkan data mengenai bagaimana tradisi kawin boyong. 2. Dokumentasi Dokumentasi dari asal kata dokumen yang artinya barang-barang tertulis seperti buku, majalah, catatan dan lain-lain yang berkaitan dengan permasalahan penelitian ini. Data yang diperoleh dari dokumentasi ini merupakan data sekunder sebagai pelengkap data primer.
76
Suharsimi Arikunto, Op.Cit., 106.
56
E. Teknik Analisis Data Tahap analisis data merupakan tahap yang paling menentukan, sebab pada tahap inilah seorang peneliti harus mampu menelaah semua data yang diperoleh baik data primer maupun data skunder. Analisa data ini berdasarkan pada data yang diperoleh yang telah terkumpul dari hasil penelitian yang diklarifikasikan sesuai dengan kebutuhan dan tujuan penelitian. Selain itu analisa data dapat diberi arti sebagai makna yang berguna dalam memecahkan masalah penelitian itu sendiri. Analisa data menurut Patton dalam Moleong adalah “Proses mengatur urutan data, mengorganisasikan kedalam suatu pola, kategori dan satuan uraian dasar.
Menurut Moloeng langkah-langkah atau proses
analisis data secara umum dapat digunakan sebagai berikut : “Proses analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber yaitu dari hasil wawancara, pengamatan yang sudah dituliskan dalam catatan lapangan, dokumentasi pribadi, dokumentasi resmi, gambar, foto-foto dan sebagainya. Langkah berikutnya adalah mengadakan reduksi data yang dilakukan dengan jalan membuat abstraksi. Abstraksi merupakan usaha membuat rangkuman yang inti, proses dan pernyataan yang perlu dijaga sehingga tetap berada didalamnya. Langkah selanjutnya menyusunnya dalam satuan-satuan kemudian dikategorisasikan pada langkah berikutnya. Kategori ini dilakukan sambil membuat koding. Tahap akhirnya adalah pemeriksaan keabsahan data, setelah selesai tahap ini, mulailah tahap penafsiran data dalam mengelola hasil sementara menjadi teori substantif dengan menggunakan beberapa metode tertentu.” 77
77
Lexy J.Moleong, Op. Cit., 248.
57
Sedangkan menurut Miles dan Huberman analisis data kualitatif terdiri dari 3 alur kegiatan yang tejadi secara bersamaan yaitu : 1. Reduksi Data, merupakan proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstraksian dan transformasi data. 2. Penyajian Data, merupakan suatu bentuk kumpulan informasi yang tersusun dan dapat memberikan kemungkinan adanya penarikan kesimpulan. 3. Penarikan Kesimpulan atau Verifikasi, yaitu data yang telah diperoleh di lapangan sedemikian rupa kemudian dilakukan analisis dan interprestasi terhadap data tersebut untuk memperoleh hasil yang sebenarnya.78 F. Teknik Pengolahan Data Tehnik pengolahan data yaitu menjelaskan langkah-langkah pengolahan data yang telah terkumpul, atau penelitian kembali dengan pengecekan validitas data, proses pengklasifikasian data dengan mencocokkan pada masalah yang ada, mencatat data secara sistematis dan konsisten dan dituangkan dalam rancangan konsep sebagai dasar utama analisis.79 Adapun tahapan pengolahan data dalam penelitian ini adalah: a. Editing Editing adalah pemeriksaan kembali semua data yang diperoleh terutama dari kelengkapannya, kejelasan makna, kesesuaian serta relevansinya dengan kelompok data lain.80 Hal ini bertujuan untuk mengecek kelengkapan, keakuratan dan keseragaman jawaban informan. Sehingga dalam penelitian ini, peneliti sesegera mungkin melakukan pemeriksaan kembali untuk mengetahui jawaban dari para 78
Suwardi Endraswara, Op. Cit., 174. Saifullah, Op.Cit., t.h. 80 Ibid. 79
58
informan yang belum diperoleh dan jawaban yang kurang jelas atau bahkan tidak sesuai dengan yang diharapkan oleh peneliti. b. Classifying Classifying adalah menyusun dan mensistematisasikan data-data yang diperoleh dari para informan ke dalam pola tertentu guna mempermudah pembahasan yang berkaitan dengan penelitian yang dilakukan. Data-data yang telah diperoleh diklasifikasi berdasarkan kategori tertentu, yaitu berdasarkan pertanyaan dalam rumusan masalah, sehingga data yang diperoleh benar-benar memuat informasi yang dibutuhkan dalam penelitian. Tujuan dari Classifying adalah dimana data hasil wawancara diklasifikan berdasakan kategori tertentu, yaitu berdasarkan pertanyaan dalam rumusan masalah, sehingga data yang diperoleh benar-benar memuat informasi yang dibutuhkan dalam penelitian.81 Dalam konteks ini, peneliti mengelompokkan data menjadi dua, yaitu: pernyataan para informan terkait dengan pelaksanaan tradisi ”kawin boyong”, dan pandangan tokoh masyarakat terhadap tradisi ”kawin boyong” di Desa Gesikan, Kecamatan Grabagan, Kabupaten Tuban. c. Verifying Verifying adalah Langkah dan kegiatan yang dilakukan pada penelitian ini untuk memperoleh data dan informasi dari lapangan harus di Cross-check kembali agar validitasnya dapat diakui oleh pembaca. 82 Dalam kontes ini dilakukan dengan cara menemui para informan yang terkait dengan tradisi ”kawin boyong”.
81
Lexy J. Moleong, Op. Cit., 104. Nana Sudjana dan Ahwal Kusumah, Proposal Penelitian di Perguruan Tinggi (Bandung: Sinar Baru Algasindo, 2000), 85.
82
59
d. Analysing Analisis data adalah proses penyederhanaan data ke dalam bentuk yang mudah dibaca dan diinterpretasikan.83 Sedangkan menurut Saifullah, analisis data adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milah menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, terakhir memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain.84 Adapun analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif kualitatif. Deskriptif kualitatif adalah salah satu metode analisis dengan cara menggambarkan keadaan atau status fenomena dengan kata-kata atau kalimat kemudian dipisahkan menurut kategori untuk memperoleh kesimpulan.85 Dalam analisis data ini, peneliti berusaha untuk menggambarkan tentang tradisi ”kawin boyong” yang ada di Desa Gesikan, Kecamatan Grabagan, Kabupaten Tuban. sehingga pada akhir penelitian ini dapat diperoleh gambaran yang jelas mengenai tradisi tradisi ”kawin boyong” yang ada di Desa Gesikan, Kecamatan Grabagan, Kabupaten Tuban. e. Concluding Concluding merupakan pengambilan kesimpulan dari suatu proses penulisan yang menghasilkan suatu jawaban.86 Pada tahap ini, peneliti membuat kesimpulan atau poin-poin penting yang kemudian menghasilkan gambaran secara jelas, 83
Masri Singaribun dan Sofian Efendi, Metode Penelitian Survai (Jakarta: Pustaka LP3ES, 1989), 263. Ibid., 280. 85 Lexy J Moleong, Op, Cit., 3-6. 86 Nana Sudjana dan Ahwal Kusumah, Op. Cit., 89. 84
60
ringkas, dan mudah dipahami tentang pelaksanaan tradisi “kawin boyong” dan pandangan tokoh masyarakat terhadap tradisi “kawin boyong” di Desa Gesikan, Kecamatan Grabagan, Kabupaten Tuban.
61
BAB IV Paparan dan Analisis Data A. Kondisi Objektif Masyarakat Gesikan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Desa Gesikan Kecamatan Grabagan Kabupaten Tuban. Oleh karenanya dalam mendeskripsikan lokasi penelitian ini, penulis membagi beberapa pemaparan yaitu: 1. Deskripsi Desa Gesikan Luas dari desa/kelurahan Gesikan secara keseluruhan adalah 977,100 Ha, lalu luas perbukitan / pegunungan 55 Ha. Sedangkan batas wilayah desa / kelurahan Gesikan adalah sebelah utara Hutan Negara, sebelah selatan Desa Grabagan, sebelah Barat Desa Waleran, sebelah Timur Desa Dermawu Harjo. sedangkan jarak Orbitasi (jarak dari pusat Pemerintahan Desa/Kelurahan) :
61 a. Jarak dari pusat Pemerintahan Kecamatan
: 1,5 Km
62
b. Jarak dari pusat Pemerintahan Kota Administratif
: 18
Km
c. Jarak dari Ibukota Kabupaten/Kotamadya
: 18
Km
d. Jarak dari Ibukota Propinsi
: 105 Km
Tingkat kesuburan tanahnya di Desa Gesikan sendiri masih tergolong subur dilihat dari data yang ada yaitu kesuburan tanahnya mencapai luas 455 Ha dari total keseluruhan luas daratan yaitu 977,100 Ha, sedangkan sangat subur -199 Ha, tidak subur/kritis 155 Ha.87 2. Penduduk dan Jenis Pekerjaan/Mata Pencaharian Desa Gesikan merupakan salah satu desa dari empat desa yang terletak di Kecamatan Grabagan Kabupaten Tuban dengan jumlah penduduk 4491 jiwa yang terdiri dari 2230 jiwa berjenis kelamin laki-laki dan 2261 jiwa berjenis kelamin perempuan. Berdasarkan data yang telah diperoleh, secara garis besar masyarakat Desa Gesikan merupakan masyarakat yang memiliki tingkat perekonomian menengah ke bawah. Hal ini terlihat dari ragam profesi yang digeluti oleh masyarakat desa tersebut, dimana sebagian besar atau sekitar 76,99 % dari keseluruhan jumlah penduduk masih tergantung pada kegiatan-kegiatan agraris sebagai petani. Aktifitas-aktifitas bidang pertanian ini tidak dapat berlangsung sepanjang tahun. Aktifitas menanam padi hanya dapat dilakukan pada musim penghujan, sedangkan pada musim kemarau lahan-lahan pertanian biasanya ditanami lombok, jagung, selain itu juga ditanami hasil buah-buahan seperti pisang, pepaya dan mangga serta hasil perkebunan kelapa. Berikut tabel selengkapnya.
87
Data Dasar Profil Desa/Kelurahan Kantor Kelurahan Gesikan Kecamatan Grabagan Kabupaten Tuban Tahun 2007.
63
Tabel 1.1 Hasil Pertanian dan Perkebunan No
Hasil Pertanian
Luas (Ha)
Hasil Panen (Ton)
01.
Padi
199 Ha
360 Ton
02.
Jagung
555 Ha
810 Ton
03.
Lombok
555 Ha
25 Ton
04.
Pisang
333 Ha
336 Ton
05.
Pepaya
333 Ha
230 Ton
06.
Mangga
333 Ha
210 Ton
07.
Kelapa
555 Ha
552 Ton
Disamping itu, ada sekitar 7,699 % dari keseluruhan jumlah penduduk yang berprofesi sebagai buruh-tani, 0,769 % berprofesi di bidang jasa, 5,774 % berprofesi di bidang pertukangan, 5,774 % berprofesi sebagai wiraswasta/pedagang, 0,769 % berprofesi sebagai pegawai negeri sipil (PNS), 0,481 % merupakan pensiunan, 1,732 % bekerja di bidang swasta.88 Berikut tabel selengkapnya.
Tabel 1.2 Jenis Pekerjaan/Mata Pencaharian Penduduk 88
Data Monografi Desa/Kelurahan Gesikan Kecamatan Grabagan Kabupaten Tuban Tahun 2007.
64
No
Jenis Pekerjaan
Jumlah
Prosentase
800 Orang
76,99 %
80 Orang
7,699 %
8 Orang
0,769 %
Pertukangan
60 Orang
5,774 %
05.
Wiraswasta/Pedagang
60 Orang
5,774 %
06.
Pegawai Negeri Sipil
8 Orang
0,769 %
07.
Pensiunan
5 Orang
0,481 %
08.
Swasta
18 Orang
1,732 %
1039 Orang
99,988 %
01.
Petani
02.
Buruh – Tani
03.
Jasa
04.
Jumlah Total
3. Kondisi Sosial Keagamaan Desa Gesikan dengan jumlah penduduk sebagaimana yang telah dipaparkan di atas, dapat dikategorikan sebagai desa yang agamis. Hal ini terlihat dari data yang telah diperoleh, bahwa sekitar 4450 orang dari keseluruhan jumlah penduduk menjadikan Islam sebagai agamanya. Sedangkan 41 orang lainnya menjadikan agama Kristen sebagai agamanya.89 Agama Islam di desa ini, meskipun mayoritas, akan tetapi banyak yang kurang memahami Islam itu sendiri. kenapa mereka sampai kurang memahami Islam sebagai agama yang diyakini oleh mayoritas penduduk desa ini? setelah melakukan konfirmasi ke pejabat desa dan tokoh desa setempat90, bahwa menurut pendapat mereka memang
89
Penduduk yang beragama Kristen disini adalah penduduk pendatang yang berasal dari luar wilayah Gesikan. Jadi, pada dasarnya Islam merupakan agama satu-satunya yang dipeluk oleh penduduk asli Desa Gesikan. 90 Nurhadi, Wawancara ( Gesikan 15 Desember 2007).
65
kebanyakan agama yang dianut masyarakat sini adalah Islam, akan tetapi pemahaman mereka terhadap Islam itu sendiri dirasa sangat kurang, karena kegiatan-kegiatan keagamaan seperti pengajian-pengajian, majelis ta’lim serta remaja masjid yang seharusnya dapat menambah pengetahuan tentang agama mereka sangat kurang, hanya ada sebagian kecil yang membentuk kelompok-kelompok pengajian di desa ini, itupun yang jadi anggota tetap hanya segelintir orang dan anggotanya juga dari penduduk yang sudah berumur (bapak-bapak/ibu-ibu), yang muda-muda masih belum ada kesadaran di dalam mengikuti kegiatan tersebut. Di lihat dari tempat peribadatan sendiri jumlah masjid yang ada di Desa Gesikan hanya ada 5 buah dan jumlah musholla ada 15 buah, sedangkan tempat peribadatan lain menurut data dari kantor kelurahan tidak ada. Di Desa Gesikan, simbol-simbol agama sering digunakan untuk menaikkan status sosial seseorang. Simbol agama Islam tertinggi yang dipakai sebagai patokan adalah kiai dan kemudian haji, yang sangat dihormati dan disegani oleh masyarakat di daerah ini. Seorang kiai biasanya dianggap memiliki kelebihan magis spiritual dan sangat dekat dengan Tuhan karena ketakwaan dan ketaatannya dalam menjalankan ibadah. Oleh karena itu ia dipatuhi dan dihormati lebih tinggi daripada orang lain. Peranan dan fungsi kiai, selain sebagai pembina umat atau disebut juga sebagai penerus para nabi, juga mengajarkan ilmu-ilmu agama Islam kepada para santri dalam suatu lembaga pondok pesantren.
4. Kondisi Pendidikan
66
Secara garis besar, kesadaran masyarakat Desa Gesikan belum paham tentang pentingnya arti sebuah pendidikan, karena melihat dari prosentase data yang ada yaitu pada masa usia sekolah dari Taman Kanak-Kanak sampai ke jenjang SMU/SLTA, jumlah dari masa usia sekolah yaitu usia 07-18 tahun menurut data yang ada berjumlah 1323 orang, perbedaannya masih jauh daripada data penduduk usia sekolah yang masih mau sekolah yaitu hanya sekitar 721 orang, itupun 11 orang masih melanjutkan ke Perguruan Tinggi. Lalu data yang lain menunjukkan lulusan dari jenjang satu ke jenjang berikutnya tidak ada setengah dari jenjang sebelumnya, maksudnya kebanyakan setelah menamatkan jenjang sebelumnya, contohnya dari jenjang Sekolah Dasar (SD) berjumlah 500 orang, lalu untuk menempuh ke jenjang berikutnya yaitu SMP/SLTP prosentasenya tidak ada setengah untuk mau melanjutkan yaitu hanya sekitar 150 orang. Yang mengalami peningkatan hanya dari jenjang Taman Kanak-Kanak (TK) ke jenjang Sekolah Dasar (SD). Sedangkan lulusan dari pendidikan non formal yaitu dari pondok pesantren hanya berjumlah 25 orang.91 Berikut table selengkapnya. Table 1.3 Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan NO Pendidikan Umum
91
Lulusan
1.
Taman Kanak-Kanak 10
Orang
2.
Sekolah Dasar
500
Orang
3.
SMP / SLTP
150
Orang
4.
SMU / SLTA
50
Orang
5.
Akademi / D1-D3
6
Orang
Data Monografi Desa/Kelurahan Gesikan, Op. Cit., 3-4.
67
6.
Sarjana ( S1-S3 )
5
Orang
Jumlah Total
721 Orang
Kenyataan ini bisa dimaklumi mengingat keberadaan fasilitas gedung sekolah yang ada di Desa Gesikan sendiri hanya ada 2 macam gedung yaitu gedung Taman Kanak-Kanak berjumlah 3 buah dengan jumlah guru 12 orang dan gedung Sekolah Dasar berjumlah 3 buah dengan jumlah guru 30 orang, sedangkan yang ingin melanjutkan ke jenjang berikutnya yakni SMP/SLTP dan seterusnya harus bersekolah di luar Desa Gesikan. Nah, kenyataan itu yang menyebabkan tingkat pendidikan disini sangat kurang karena kurangnya fasilitas yang tersedia. Kenyataan yang lain, yang menyebabkan tingkat pendidikan disini sangat kurang yaitu masalah ekonomi, dimana mayoritas masyarakat disini tergolong tidak mampu. Dengan keadaan seperti itulah, akhirnya orang tua banyak beranggapan pendidikan tidak penting, yang penting adalah bagaimana anak-anak mereka bisa hidup mapan dan enak yaitu dengan cara mereka bekerja92, dan tidak sedikit pula tidak memperoleh pekerjaan akhirnya sebagian dari mereka menjadi pengangguran yang dimana membuat mereka menjadi terlantar, tidak terurus yang akhirnya membuat masyarakat disekitar terganggu dengan keberadaan mereka yang tidak mempunyai tujuan yang jelas.
5. Kondisi Sosial Kultural Masyarakat 92
Amin, Wawancara ( Gesikan 15 Desember 2007).
68
Rasa peduli masyarakat terhadap tradisi setempat memberikan satu labelisasi bahwasannya masyarakat desa Gesikan masih dikatakan sebagai masyarakat tradisional, pada umumnya dalam mengamalkan tradisi lokalnya, masyarakat desa Gesikan kurang memperhatikan atau tidak tahu apakah tradisi tersebut sesuai dengan Islam atau tidak, ini disebabkan oleh tingkat pendidikan mereka yang sangat minim dan juga karena kurangnya perhatian dari beberapa tokoh agama dan dalam memberikan penyuluhan keagamaan yang berkorelasi dengan tradisi setempat. Disamping itu juga yang jadi penyebabnya adalah karena tingkat kepatuhan terhadap agama yang sangat minim sehingga dalam pengamalan tradisi lokalnya masyarakat desa Gesikan tidak mempersoalkan tradisi tersebut apakah sesuai dengan agama yang mereka yakini atau tidak. Dalam pengamalan tradisi, yang terpenting bagi mayarakat desa Gesikan adalah bisa menjalankan dan melestarikan tradisi nenek moyang yang didapat dalam mematuhi tradisi tersebut. Bagi masyarakat desa Gesikan, tradisi yang selama ini dilestarikannya adalah merupakan ciri khas dari daerah mereka yang tentunya memiliki nilai yang sangat positif dan merupakan kebanggaan tersendiri bagi mereka, karena dalam situasi yang sudah bisa dikatakan modern yang penuh dengan arus globalisasi ini, masyarakat desa Gesikan masih bisa dalam mempertahankan tradisi lokalnya. Masyarakat desa Gesikan sangat menjunjung tinggi nilai-nilai sosial, ini bisa dilihat dengan antusiasme mereka dalam bantu-membantu serta bahu-membahu saat para saudara kerabat, tetangga, sanak famili yang mempunyai hajatan baik pembangunan rumah dan perbaikannya maupun hajatan lainnya. Bantuan mereka tanpa diminta, akan tetapi jiwa-jiwa sosial mereka merasa terpanggil dengan sendirinya disaat yang lain membutuhkan. Menjunjung tinggi nilai-nilai sosial di kalangan masyarakat
69
sudah mengakar dan sudah tertanam sejak dahulu kala sehingga telah menjadi kebudayaan tersendiri dikalangan mereka. B. Tradisi Kawin Boyong Dalam Perkawinan Adat Masyarakat Gesikan Tuban 1. Bagaimana Pandangan Masyarakat Gesikan Tentang Tradisi Kawin Boyong Adapun pengertian dari ”Kawin Boyong” sebelumnya telah dijelaskan serta dipaparkan pada latar belakang masalah, namun agar kajian ini terbangun secara sistematis, maka saji ulang tentang pengertian tradisi perkawinan “Kawin Boyong” dianggap merupakan sesuatu yang sangat penting, agar tercipta pemahaman yang sempurna terkait permasalahan tersebut. Secara istilah “Kawin Boyong” berasal dari kata “Kawin Medok” atau “Kawin Ambruk”. Sebenarnya dari segi bahasa tidak ada hubungannya “Kawin Boyong” dengan “Kawin Medok” atau “Kawin Ambruk”. Akan tetapi, masyarakat di desa Gesikan sering mengistilahkan “Kawin Boyong” dengan “Kawin Medok” atau “Kawin Ambruk”. Tapi istilah pertama yang dipakai masyarakat desa Gesikan sebenarnya “Kawin Boyong”, namun setelah ada penyimpanganpenyimpangan yang dilakukan dalam tradisi ini, maka dinamailah “Kawin Medok” atau “Kawin Ambruk”. Pengertian dari “Kawin Boyong” sendiri adalah dimana calon suami hanya tinggal satu rumah dengan calon istri bersama keluarga calon istri sebelum acara Ijab Qabul tanpa melakukan hubungan diluar nikah terlebih dahulu (hanya boyongan), akan tetapi, tradisi itu banyak berubah yaitu ada yang melakukan tradisi ini dengan disertai hubungan diluar nikah terlebih dahulu (Boyongan sekalian Medok/Ambruk). Oleh karena itu, kenapa banyak masyarakat desa Gesikan sekarang mengistilahkan “Kawin Boyong” dengan “Kawin Medok” atau “Kawin Ambruk”. Tradisi ”Kawin Boyong” yaitu ketika seseorang akan melakukan perkawinan, dalam hal ini sebelum calon mempelai akan melakukan ritual Ijab Qabul, terlebih
70
dahulu calon suami tinggal dalam satu rumah dengan calon istri (calon suami boyongan ke rumah keluarga calon istri). Dalam tradisi ini, proses ”Kawin Boyong” sendiri tidak ada semacam prosesi yang mengiringi calon suami boyongan ke rumah calon istri, semisal contoh, arak-arakan atau yang lain, akan tetapi calon suami langsung boyongan ke rumah calon istri, bahkan bisa dikatakan diam-diam atau tidak banyak masyarakat sekitar yang tahu, hanya keluarga terdekat yang tahu. Namun boyongan ini sudah diketahui oleh calon kedua belah pihak mempelai. Ketika sudah tinggal satu rumah bersama calon istri dan keluarga calon istri, calon suami dipaksa untuk bisa beradaptasi dengan keluarga calon istri, yang dimana proses adaptasi ini tidak hanya bisa akrab dengan orang tua calon istri, akan tetapi calon suami harus bisa membantu tugas seharihari orang tua calon istri, serta bisa adaptasi dengan masyarakat sekitar. Sebenarnya tujuan dari boyongan sendiri ini terdiri dari tiga macam, diantaranya: 1) Untuk menghindari ”sial” diantara calon suami, calon istri atau dari pihak wali. 2) Saling mengenal dan beradaptasi dengan keluarga calon mempelai perempuan. 3) Menentukan hari perkawinan antara calon mempelai laki-laki dengan wali calon mempelai perempuan. Masalah tinggal satu rumah dengan keluarga calon istri sampai berapa lama adalah tergantung kedua belah pihak, akan tetapi, biasanya yang menentukan calon suami ini bisa tinggal sampai kapan adalah dari pihak orang tua calon istri. Tinggal satu rumah ini biasanya dilakukan ada yang hanya tiga hari, satu minggu, satu bulan, bahkan ada yang sampai tiga bulan. Setelah tujuan ritual boyongan ini terlaksana, maka baru diadakan ritual Ijab Qabul.
71
Dalam tradisi “Kawin Boyong” ini masyarakat Gesikan menginformasikan bahwasanya ada beberapa faktor yang sangat penting yang perlu diperhatikan hingga membuat masyarakat Gesikan masih melaksanakan atau mengamalkan tradisi yang ada di desa mereka hingga saat ini, adapun faktor-faktor tersebut secara umum ada dua yaitu: a. Faktor tradisi atau kebiasaan dari nenek moyang. b. Faktor persaudaraan dan kerukunan bagi kehidupan bermasyarakat. Sedangkan secara khusus juga ada dua faktor yang mempengaruhi masyarakat yaitu: a. Karena didasari rasa patuh dan taat terhadap orang tua dan nenek moyang (para leluhur mereka) hingga bagaimanapun mereka harus tetap melaksanakan tradisi tersebut. b. Karena adanya fakta (kejadian) yang mendukung, hal ini juga yang menjadikan masyarakat bisa mempercayai dan mentaati serta melaksanakan tradisi “Kawin Boyong”. Masyarakat desa Gesikan di dalam memberi suatu makna pengertian berbedabeda menurut pemahaman mereka, akan tetapi pada intinya sama. Bapak Imam (kepala desa) mengungkapkan: “Kawin Boyong” iku sa’durunge akad ijab qabul, pihak calon lanang tinggal sa’omah neng omahe calon mertuo seng wedok. Tujuane yoiku: 1. saling ngenal calon bojo lanang karo mertuo seng wedok. 2. nentukno dino pernikahan seng apik menurut penanggalan jowo. 3. Menghindari kesialan antarane calon bojo lanang, calon bojo wedok utowo teko kedua pihak wali diakibatno gak dilaksanakno ritual kawin boyong iki, selain ngindari ketidak cocokkan karo tanggal pernikahan. Biasane calon bojo lanang iki boyongan neng calon bojo wedok ono seng cuma tiga hari, seminggu, sebulan, ato bahkan iso luweh, tergantung kesepakatan antarane calon mertuo seng wedok karo calon mertuo seng lanang. Tapi yo biasane “Kawin Boyong” iki disertai hal seng diharamno neng Islam
72
yoiku nglakoni hubungan diluar nikah utowo zina sa’durunge nglakoni ijab qabul. Istilahe wong kene iku kawin boyong seng “Ambruk/Medok”. Tapi pemahaman masyarakat kene nglakoni “Ambruk/Medok” iku wes dadi kebiasaan, soale ono seng nglakoni, padahal penduduk mayoritas masyarakat kene agamane Islam. Kadang wong tuwo seng wedok ngerti nek anake karo calon mantune iku wes nglakoni “Ambruk/Medok”. Tapi menurut mereka (wong tuwo wedok) iku wes biasa. Bapak Imam mengatakan “Kawin Boyong” itu sebelum akad Ijab Qabul, pihak calon suami tinggal serumah di rumahnya calon mertua istri. Tujuannya yaitu: 1. saling mengenal calon suami dengan mertua calon istri. 2. menentukan hari pernikahan yang baik menurut penanggalan Jawa. 3. menghindari kesialan antara calon suami, calon istri atau dari kedua pihak wali diakibatkan tidak dilaksanakan ritual “Kawin Boyong” ini, selain menghindari ketidak cocokkan terhadap tanggal pernikahan. Biasanya calon suami ini boyongan ke calon istri ada yang hanya cuma tiga hari, seminggu, sebulan, atau bahkan bisa lebih, tergantung kesepakatan antara calon mertua istri dengan calon mertua suami. Tapi biasanya “Kawin Boyong” ini disertai hal yang diharamkan di Islam yaitu melakukan hubungan diluar nikah atau zina sebelum melakukan Ijab Qabul. Istilahnya orang sini itu “Kawin Boyong” yang “Ambruk/Medok”. Tapi pemahaman masyarakat sini melakukan “Ambruk/Medok” itu sudah jadi kebiasaan, soalnya ada yang melakukan, padahal penduduk mayoritas masyarakat sini agamanya Islam. Kadang orang tua perempuan tahu kalau anaknya dan calon mantunya itu sudah melakukan “Ambruk/Medok”. Tapi menurut mereka (orang tua perempuan) itu sudah biasa.
Bapak Nurhadi (sekretaris kepala desa) menjelaskan:
73
Menurutku “Kawin Boyong” iku mas, sa’durunge Ijab Qabul dilaksanakno, calon lanang boyongan neng omahe calon keluarga seng wedok. Tujuane: 1. calon lanang ben kenal disek lan iso akrab karo wong tuo lan dulur-dulure. 2. nentukno tanggal kawin menurut tanggalan Jowo. 3. ngindarno sial antarane calon lanang, calon wedok lan calon keluarga kedua mempelai. Boyongan iki waktune biasane cuma telu dino, seminggu, sa’wulan, malah ono seng telu wulan. Tapi biasane “Kawin Boyong” iki disertai hal seng diharamno neng Islam yoiku nglakoni hubungan diluar nikah utowo zino sa’durunge nglakoni ritual Ijab Qabul. Istilahe wong kene kawin boyong seng “Ambruk/Medok”. Mungkin iku pengertiane “Kawin Boyong”. Bapak Nurhadi menjelaskan “Kawin Boyong” itu mas, sebelum Ijab Qabul dilaksanakan, calon laki-laki boyong di rumahnya calon keluarga perempuan. Tujuannya: 1. calon laki-laki biar mengenal dulu dan bisa akrab dengan orang tua dan saudara-saudaranya (calon keluarga perempuan). 2. menentukan tanggal kawin menurut penanggalan Jawa. 3. menghindari sial antara calon laki-laki, calon perempuan dan calon keluarga kedua mempelai. Boyongan ini waktunya biasanya cuma tiga hari, satu minggu, satu bulan, malah ada yang sampai tiga bulan. Tapi biasanya “Kawin Boyong” ini disertai hal yang diharamkan dalam Islam, yaitu melakukan hubungan diluar nikah atau zina sebelum melakukan ritual Ijab Qabul. Istilahnya orang sini “Kawin Boyong” yang “Ambruk/Medok”. Mungkin itu pengertiannya “Kawin Boyong”. Bapak Dharmono (tokoh setempat) mengungkapkan: Pengertiane “Kawin Boyong” iku calon bojo lanang wes tinggal sa’omah neng omahe mertuo seng wedok. Iku kedadeane sa’durungu prosesi Ijab Qabul. Tujuane: 1. calon bojo lanang ben kenal karo keluarga seng wedok. 2. nentukno tanggal pernikahan. 3. ngindari kesialan nek sa’umpomone gak sido dilaksanakno “Kawin Boyong”. Boyongan iki waktune biasane cuma telu dino, seminggu, sa’wulan, malah ono seng telu wulan. Tapi ele’e iki, ono seng wes nglakoni zino disek, menowo seng lanang gak kuat nahan nafsune karo seng wedok. Istilahe wong kene iku “Ambruk/Medok” disek sa’durunge kawin. Sa’ngertiku “Ambruk/Medok” disek iku wes biasa, menowo memang pemahaman masalah agomo iku kurang sehinggo ora ngerti hukume iku haram opo gak, menowo maneh masyarakat sekitar iku ono seng ngerti,
74
tapi ora wani ngomong nek iku haram, soale wes dadi kebiasaan, kan nek wes kebiasaan iku angel dirubah. Bapak Dharmono mengungkapkan “Kawin Boyong” itu calon suami sudah tinggal satu rumah di rumah mertua calon istri. Itu kejadiannya sebelum prosesi Ijab Qabul. Tujuannya: 1. calon suami biar kenal sama keluarga calon istri. 2. menentukan tanggal pernikahan. 3. menghindari kesialan kalau misalnya tidak jadi dilaksanakan “Kawin Boyong”. Boyongan ini waktunya biasanya cuma tiga hari, satu minggu, satu bulan, bahkan ada yang tiga bulan. Tapi jeleknya ini, ada yang sudah melakukan zina duluan, mungkin yang laki-laki tidak kuat menahan nafsu sama si perempuan (calon istri). Istilahnya orang sini itu “Ambruk/Medok” duluan sebelum kawin. Sepengetahuan saya “Ambruk/Medok” duluan itu biasa, mungkin memang pemahaman masalah agama kurang sehingga tidak tahu hukumnya haram atau tidak, mungkin juga masyarakat sekitar itu ada yang tahu, tapi tidak berani ngomong kalau itu haram, soalnya sudah jadi kebiasaan, khan kalau sudah jadi kebiasaan sulit untuk dirubah. Bapak Tumijan (masyarakat setempat) menjelaskan: “Kawin Boyong” yoiku, sa’durunge Ijab Qabul calon lanang boyongan neng omahe calon keluarga seng wedok. Tujuane: 1. calon lanang ben kenal disek lan iso akrab karo wong tuo lan dulur-dulure. 2. nentukno tanggal kawin resmine menurut tanggal Jowo. 3. ngindarno sial antarane calon lanang, calon wedok lan calon keluarga kedua mempelai. Iki berarti wajib dilakoni bagi seng percoyo tradisi koyo ngene nek gak pengen kene’ sial, bagi seng gak percoyo gak ono masalah. Tinggal sa’omah iki ono seng telu dino, sa’minggu, sa’wulan lan iso luweh tergantung kesepakatane kedua belah pihak. Boyongan iki kadang sekalian “Ambruk/Medok” disek, yoiku nglakoni zino sa’durunge di akadno. Nek bagiku gak masalah nglakoni opo wae termasuk perbuatan koyo maeng, asal gak sampek ganggu ketentreman masyarakat, semisal koyo perbuatan kriminal.
75
Bapak Tumijan menjelaskan “Kawin Boyong” yaitu, sebelum Ijab Qabul calon laki-laki di rumahnya calon keluarga perempuan. Tujuannya: 1. calon laki-laki biar kenal dulu dan bisa akrab dengan orang tua dan saudara-saudaranya (keluarga perempuan). 2. menentukan tanggal nikah resminya menurut tanggal Jawa. 3. menghindarkan sial antara calon laki-laki, calon perempuan, dan calon keluarga kedua mempelai. Ini berarti wajib dilakukan bagi yang percaya tradisi seperti ini kalau tidak ingin kena sial, bagi yang tidak percaya tidak ada masalah. Tinggal satu rumah ini ada yang tiga hari, satu minggu, satu bulan dan bisa lebih, tergantung kesepakatan kedua belah pihak. Boyongan ini kadang sekalian “Ambruk/Medok” duluan, yaitu melakukan zina sebelum akad Ijab Qabul. Bagiku tidak masalah melakukan apa saja termasuk perbuatan seperti tadi, asal tidak sampai mengganggu ketentraman masyarakat, misalnya seperti perbuatan kriminal. Tradisi “Kawin Boyong” ini merupakan adat murni dari masyarakat Gesikan sendiri yang tidak ada di seluruh kawasan Tuban. Bapak Imam (kepala desa) mengungkapkan: Iso dikatakan wes termasuk adat murni masyarakat Gesikan, soale wes bener-bener mengakar neng masyarakat, angel dirubah opo maneh diilangi. Bapak Imam mengungkapkan, bisa dikatakan sudah termasuk adat murni masyarakat Gesikan, soalnya sudah benar-benar mengakar di masyarakat, sulit dirubah apalagi dihilangkan. Bapak Nurhadi (sekretaris kepala desa) menuturkan: Iyo, termasuk adate murni masyarakat Gesikan iki. Adat iki wes turuntemurun teko nenek moyang. Neng daerah-daerah liyo neng Tuban gak ono adat seng koyo ngene seng wes mengakar neng masyarakat.
76
Bapak Nurhadi menuturkan, iya, termasuk adatnya murni masyarakat Gesikan ini. Adat ini sudah turun-temurun dari nenek moyang. Di daerah-daerah lain di Tuban tidak ada adat yang seperti ini yang sudah mengakar dalam masyarakat. Bapak Nurcholis (tokoh setempat) menjelaskan: Iyo mas, “Kawin Boyong” termasuk adat murni masyarakat kene. Sa’ngertiku neng daerah liyo neng Tuban gak ono. Bapak Nurcholis menjelaskan, iya mas, “Kawin Boyong” termasuk adat murni masyarakat sini. Sepengetahuan saya di daerah lain di Tuban tidak ada. Bapak Amin (masyarakat setempat) mengungkapkan: Menurutku wes termasuk adate murni wong kene. Mungkin iku seng nggarahi wong kene akeh seng iseh nglakoni adat “Kawin Boyong”. Bapak Amin mengungkapkan, menurutku sudah termasuk adat murni orang sini. Mungkin itu yang menyebabkan orang sini banyak yang masih melakukan adat “Kawin Boyong”. Bahkan sebagian besar dari mereka tidak mengetahui sudah berapa lama tradisi ini sudah mengakar di masyarakat desa Gesikan. Bapak Imam (kepala desa) mengungkapkan: Pastine aku ora ngerti, soale wes dadi kebiasaan wong kene nek kate ngadakno hajatan nikah. Bahkan mungkin akehe seng nglakoni “Kawin Boyong” iku akeh seng ora ngerti wes kapan kebiasaan iku ono neng masyarakat kene. Bapak Imam mengungkapkan, pastinya saya tidak tahu, soalnya sudah jadi kebiasaan orang sini jika akan mengadakan hajatan nikah. Bahkan mungkin kebanyakan yang melakukan “Kawin Boyong” itu banyak yang tidak tahu sudah kapan kebiasaan itu ada di masyarakat sini.
77
Bapak Nurhadi (sekretaris kepala desa) menjelaskan: Tepate ora ngerti, soale wes biyen mas dadi kebiasaan wong kene nek arep hajatan nikah. Malah seng nglakoni “Kawin Boyong” iku akeh seng ora ngerti wes kapan kebiasaan iku ono neng masyarakat kene. Bapak Nurhadi menjelaskan, pastinya tidak tahu, soalnya sudah lama mas jadi kebiasaan orang sini kalau mau hajatan nikah. Bahkan yang melakukan “Kawin Boyong” itu banyak yang tidak tahu sudah kapan kebiasaan itu ada di masyarakat sini. Bapak Sumantri (tokoh setempat) menuturkan: Aku ora ngerti yo mas wes kapan tradisi iku ono neng kene, mungkin wes kebiasaane koyo ngono nek ono wong kate ngadakno hajatan nikah mesti boyongan disek, yo meskipun boyongane dewe iku masyarakat sekitar akeh seng ora ngerti, seng ngerti cuma keluargane dewe, istilahe meneng-menengan lah. Ambek yo paling seng nglakoni boyongan dewe iku ora ngerti wes sampek kapan tradisi koyo ngono ono neng kene. Bapak Sumantri menuturkan, aku tidak tahu ya mas sudah kapan tradisi itu ada disini, mungkin sudah kebiasaan seperti itu kalau ada orang mau mengadakan hajatan nikah mesti boyongan dulu, ya meskipun boyongannya sendiri itu masyarakat sekitar banyak yang tidak tahu, yang tahu cuma keluarganya sendiri (keluarga kedua pelaku “Kawin Boyong”), istilahnya diam-diam. Juga mungkin yang melakukan boyongan sendiri itu tidak tahu tradisi seperti itu sudah sampai kapan ada disini. Bapak Waji (masyarakat setempat) mengungkapkan: Aku sebenare yo ora ngerti mas “Kawin Boyong” awale teko ngendi, sa’ngertiku tradisi koyo ngene wes suwi ono neng kene. Menowo seng nglakoni “Kawin Boyong” dewe iku paling akeh seng ora ngerti, opo maneh aku seng ora termasuk nglakoni koyo ngono. Bapak Waji mengungkapkan, saya sebenarnya ya tidak tahu mas “Kawin Boyong” awalnya dari mana, sepengetahuan saya tradisi seperti itu sudah lama ada disini. Mungkin yang melakukan “Kawin Boyong” sendiri itu banyak yang tidak tahu, apalagi saya yang tidak termasuk melakukan seperti itu (“Kawin Boyong”).
78
Serta merujuk pada sumber nilai adatnya sendiri dari tradisi “Kawin Boyong” ini ada yang menganggapnya baik dan menganggapnya tidak baik. Bapak Imam (kepala desa) mengungkapkan: Menurutku sumber nilai adate “Kawin Boyong” iku ora ono seng apik, soale sa’durunge ijab qabul calon kedua mempelai iku wes tinggal sa’omah, bahkan gak sedikit seng nglakoni “Kawin Boyong” sekalian “Ambruk/Medok” neng kono. Nah, iku khan nyalahi aturan agomo Islam, padahal mayoritas agamane yo islam, tapi akeh seng ora ngerti hukum Islam iku haram dilakoni opo ora, soale pemahaman agama masyarakat kene kurang. Lagian adat iku wes dadi kebiasaan seng wes angel dirubah kebiasaane. Bapak Imam mengungkapkan, menurutku sumber nilai adat “Kawin Boyong” tidak ada yang baik, soalnya sebelum Ijab Qabul calon kedua mempelai sudah tinggal satu rumah, bahkan tidak sedikit yang melakukan “Kawin Boyong” sekalian “Ambruk/Medok” disana. Nah, itu khan menyalahi aturan agama Islam, padahal mayoritas agamanya Islam, tapi banyak yang tidak memahami hukum Islam itu haram dilaksanakan apa tidak, soalnya pemahaman agama mesyarakat sini kurang. Lagian adat itu sudah jadi kebiasaan yang sudah sulit dirubah kebiasaannya. Bapak Nurhadi (sekretaris kepala desa) menuturkan: Sumber nilai adat “Kawin Boyong” iku emang tujuan awale apik mas, yoiku kenal luweh cedak keluargane calon bojo wedok, istilahe neng Islam ta’aruf. Tapi tujuan apik seng koyo ngene ternyata disalah gunakno karo pelaku “Kawin Boyong” dewe, yoiku ono seng wes nglakoni hubungan disek sa’durunge Ijab Qabul (Ambruk/Medok), iku kan wes nyalahi aturan agomo. Bapak Nurhadi menuturkan, sumber nilai adat “Kawin Boyong” itu memang tujuan awalnya baik mas, yaitu kenal lebih dekat keluarga calon istri, istilahe neng Islam ta’aruf. Tapi tujuan baik yang seperti ini ternyata disalah gunakan oleh pelaku “Kawin Boyong” sendiri, yaitu ada yang sudah melakukan hubungan dulu sebelum Ijab Qabul (Ambruk/Medok), iku khan sudah menyalahi aturan agama.
79
Bapak Dharmono (tokoh setempat) menjelaskan: Sa’ngertiku mas, sumber nilai adat tradisi iki gak sesuai karo ajaran Islam, soale tradisi “Kawin Boyong” akeh seng diselewengno karo pelaku “Kawin Boyong” dewe, bahkan sebagai kesempatan gawe nglakoni maksiat yoiku zino. Jelas seng di untungno pihak lanang soale seng wedok durung di rabi, tapi seng lanang wes ngrasakno madune seng wedok. Iki jelas ora bener, hukume haram neng Islam, padahal yo mayoritas masyarakat kene Islam. Bapak Dharmono menjelaskan, sepengetahuanku mas, sumber nilai adat tradisi ini tidak sesuai dengan ajaran Islam, soalnya tradisi “Kawin Boyong” banyak yang diselewengkan oleh pelaku “Kawin Boyong” sendiri, bahkan sebagai kesempatan buat melakukan maksiat yaitu zina. Jelas yang di untungkan pihak laki-laki soalnya yang perempuan belum di nikah, tapi yang laki-laki sudah merasakan madunya perempuan. Ini jelas tidak benar, hukumnya haram dalam Islam, padahal mayoritas masyarakat sini Islam. Bapak Mahsun (masyarakat setempat) mengungkapkan: Sumber nilai adat “Kawin Boyong” menurutku gak ono masalah, soale wes biasa masyarakat kene nglakoni koyo ngono. Kan sebenare tujuane apik, yoiku ben luweh akrab karo keluarga calon istri. Memang seh ono seng beranggapan tradisi koyo ngene akeh negatife, tapi nek aku dewe gak ono masalah selama gak ganggu ketentreman masyarakat liyo. Selama iki pelaku “Kawin Boyong” dewe yo durung pernah ganggu ketentreman masyarakat, lan masyarakat dewe sa’ngertiku durung pernah ono seng protes karo tradisi iki. Bapak Mahsun mengungkapkan, sumber nilai adat “Kawin Boyong” menurutku tidak ada masalah, soalnya sudah biasa masyarakat sini melakukan seperti itu. Khan sebenarnya tujuannya baik, yaitu biar lebih akrab dengan keluarga calon istri. Memang sih, ada yang beranggapan tradisi seperti ini banyak negatifnya, tapi kalau saya sendiri tidak ada masalah selama tidak mengganggu ketentraman masyarakat lain. Selama ini
80
pelaku “Kawin Boyong” sendiri belum pernah mengganggu ketentraman, dan masyarakat sendiri sepengetahuanku belum pernah ada yang protes terhadap tradisi ini. Tradisi “Kawin Boyong” sendiri tidak terlepas dari pandangan masyarakat Gesikan yang dimana ada yang setuju dan juga ada yang tidak setuju. Bapak Imam (kepala desa) mengungkapkan: Pandangan masyarakat Gesikan dewe sebenare ono seng gak setuju karo anane kebiasaan “Kawin Boyong”, soale dikuatirno mesti kedadean ono seng “Ambruk/Medok” disek sa’durunge Ijab Qabul, iki bagi masyarakat seng pemahaman agamane apik, tapi bagi masyarakat seng pemahaman agamane apik iki mereka cuma iso pasrah karo anane kebiasaan seng koyo’ ngene, opo maneh aku sebagai kepala desa cuma iso pasrah, asal ora nglakoni perbuatan kriminal lan mengganggu ketentraman masyarakat. Bapak Imam mengungkapkan, pandangan masyarakat Gesikan sendiri sebenarnya ada yang tidak setuju dengan adanya kebiasaan “Kawin Boyong”, soalnya dikuatirkan pasti kejadian ada yang “Ambruk/Medok” duluan sebelum Ijab Qabul, ini bagi masyarakat yang pemahaman agamanya baik, tapi bagi masyarakat yang pemahaman agamanya baik ini, mereka cuma bisa pasrah dengan adanya kebiasaan yang seperti ini, apalagi saya sebagai kepala desa cuma bisa pasrah, asal tidak melakukan perbuatan kriminal dan mengganggu ketentraman masyarakat. Bapak Dharmono (tokoh setempat) menjelaskan: Nek pandangan masyarakat kene dewe ngganggep tradisi koyo ngene iki ono seng setuju lan ono seng ora setuju. Biasane seng setuju teko masyarakat seng pemahaman agomone kurang (masyarakat bawah), ngganggep nek tradisi koyo iki wes biasa, nek perlu dilestarikno sampek anak cucu. Kalangan seng ora setuju teko masyarakat seng pemahaman agomone apik, ngerti nek tradisi koyo ngene akeh mudharate, timbang maslahate. Kalangan iki biasane teko tokoh lan pejabat deso setempat, nek aku dewe yo ora setuju.
81
Bapak Dharmono menjelaskan, kalau pandangan masyarakat sini sendiri mengganggap tradisi seperti ini ada yang setuju dan ada yang tidak setuju. Biasanya yang setuju dari masyarakat yang pemahaman agamanya kurang (masyarakat bawah), menganggap kalau tradisi seperti ini sudah biasa, kalau perlu dilestarikan samapi anak cucu. Kalangan yang tidak setuju dari masyarakat yang pemahaman agamanya baik, tahu kalau tradisi seperti ini banyak mudharatnya, daripada maslahatnya. Kalangan ini biasanya dari tokoh dan pejabat desa setempat, kalau saya sendiri tidak setuju. Bapak Mahsun (masyarakat setempat) mengungkapkan: Pandangan masyarakat Gesikan dewe macem-macem mas, ono seng setuju lan ono seng ora setuju. Alasane jare seng setuju, tradisi koyo ngene wes turun-temurun teko nenek moyang, dadi mesti dilestarikno. Terus alasane seng ora setuju, tradisi iki akeh ele’e timbang api’e, soale ono seng wes nglakoni zino disek (Ambruk/Medok). Nek aku dewe setuju ae, soale seng nglakoni zino maeng yo gak akeh. Asline seng gawe rusak tradisi iki teko pelakune dewe, ora tradisine dewe. Bapak Mahsun mengungkapkan, pandangan masyarakat Gesikan sendiri macam-macam mas, ada yang setuju dan ada yang tidak setuju. Alasannya yang setuju, tradisi seperti ini sudah turun-temurun dari nenek moyang, jadi harus dilestarikan. Terus alasannya yang tidak setuju, tradisi ini banyak jeleknya daripada bagusnya, soalnya ada yang sudah melakukan zina duluan (Ambruk/Medok). Kalau aku sendiri setuju saja, soalnya yang melakukan zina tadi tidak banyak. Sebenarnya yang buat rusak tradisi ini dari pelakunya sendiri, bukan dari tradisinya sendiri. Bapak Warsito (masyarakat setempat) menuturkan: Pandangan lan pemaknaan masyarakat Gesikan iku ono seng negatif lan seng positif. Biasane seng mandang negatif teko tokoh, contone koyo kiai seng mandang tradisi iki perlu dirubah sesuai karo ajaran Islam. Seng mandang positif teko masyarakat setempat seng ngganggep gak ono masalah karo tradisi iki. Nek aku dewe mandang gak ono masalah tetep dilakoni, nek iku malah gawe rukun antarane masyarakat sekitar.
82
Bapak Warsito menuturkan, pandangan dan pemaknaan masyarakat Gesikan itu ada yang negatif dan yang positif. Biasanya yang memandang negatif dari tokoh, contohnya seperti kiai yang memandang tradisi ini perlu dirubah sesuai dengan ajaran Islam. Yang memandang positif dari masyarakat setempat yang mengganggap tidak ada masalah terhadap tradisi ini. Kalau saya sendiri memandang tidak ada masalah tetap dilakukan, kalau itu yang menyebabkan tambah rukun antara masyarakat sekitar. 2. Bagaimana Tradisi “Kawin Boyong” Ditinjau Dari Fiqih Syafi’iyah Masyarakat Gesikan sendiri didalam menjalankan tradisi “Kawin Boyong” sudah menganggap bahwa hal tesebut menjadi kebiasaan adat yang harus dilaksanakan dan dilestarikan keberadaannya. Masyarakat Gesikan masih mengamalkan adat lokal disamping mengamalkan ajaran Islam sebagai agama yang diyakini kebenarannya. Bapak Nurhadi (sekretaris kepala desa) mengungkapkan: Yoiku maeng jawabane mas, disamping wes dadi kebiasaan masyarakat Gesikan sa’durunge nggelar hajatan nikah iku mesti boyongan disek, utowo cuma bener-bener tinggal sa’omah disek, tanpo nglakoni hubungan diluar nikah sa’durunge Ijab Qabul. Bapak Nurhadi mengungkapkan, ya tadi jawabannya mas, disamping sudah jadi kebiasaan masyarakat Gesikan sebelum mengadakan hajatan nikah harus boyongan dulu, atau cuma benar-benar tinggal satu rumah dulu, tanpa melakukan hubungan diluar nikah sebelum Ijab Qabul. Bapak Nurcholis (tokoh setempat) menuturkan: Seng jenenge adat utowo tradisi iku angel dirubah opo maneh diilangi, meskipun kadang menurut Islam dewe gak sesuai. Termasuk adat “Kawin Boyong” iki wes dadi kebiasaan seng angel di tinggalno, meskipun menurutku tradisi iki yo akeh mudharate, tapi yo piye maneh.
83
Bapak Nurcholis menuturkan, yang namanya adat atau tradisi itu sulit dirubah apalagi dihilangkan, meskipun kadang menurut Islam sendiri tidak sesuai. Termasuk adat “Kawin Boyong” ini sudah jadi kebiasaan yang sulit untuk ditinggalkan, meskipun menurut saya tradisi ini banyak mudharatnya, tapi mau bagaimana lagi. Bapak Warsito (masyarakat setempat) mengungkapkan: Aku yo ora ngerti mas pasti kenopo adat “Kawin Boyong” iki luweh kuat diamalno ketimbang agomone dewe yoiku Islam. Padahal jare anggapane wong tradisi “Kawin Boyong” akeh ele’e. Tapi seng jelas, pelakune dewe angel nek dikon ninggalno ritual koyo ngene, soale wes dadi kebiasaan wong nek kate nggelar hajatan nikah. Bapak Warsito mengungkapkan, saya tidak tahu pasti mas kenapa adat “Kawin Boyong” ini lebih kuat diamalkan daripada agamanya sendiri yaitu Islam. Padahal ada orang beranggapan tradisi “Kawin Boyong” banyak jeleknya. Tapi yang jelas, pelakunya sendiri sulit kalau di suruh meninggalkan ritual seperti ini (Kawin Boyong), soalnya sudah jadi kebiasaan orang kalau mau mengadakan hajatan nikah. Bapak Waji (masyarakat setempat) menjelaskan: Disamping wes dadi kebiasaan masyarakat kene sa’durunge nggelar hajatan nikah iku mesti boyongan disek, utowo cuma bener-bener tinggal sa’omah disek, tanpo nglakoni hubungan diluar nikah sa’durunge ijab qabul. Mungkin iku seng nyebabno masyarakat iseh ngamalno adat lokal disamping ngamalno ajaran Islam. Bapak Waji menjelaskan, disamping sudah jadi kebiasaan masyarakat sini sebelum mengadakan hajatan nikah pasti boyongan dulu, atau cuma benar-benar tinggal satu rumah dulu, tanpa melakukan hubungan diluar nikah sebelum Ijab Qabul. Mungkin itu yang menyebabkan masyarakat masih mengamalkan adat lokal disamping mengamalkan ajaran Islam.
84
Melihat dari pemaknaan secara filosofisnya sendiri yaitu untuk menghindari halhal yang tidak diinginkan yang akan terjadi dari kedua belah pihak. Bapak Imam (kepala desa) mengungkapkan: Makna filosofis kenopo sampek dipertahano yoiku, menurut kepercayaan masyarakat Gesikan iso berakibat gak apik neng kedua calon mempelai sa’marine nikah, terus gak apik barang neng kedua keluarga mempelai, bahkan puncak’e iso berakibat kematian. Bapak Imam mengungkapkan, makna filosofis kenapa sampai dipertahankan yaitu, menurut kepercayaan masyarakat sini bisa berakibat tidak baik bagi kedua calon mempelai setelah nikah, terus tidak baik juga bagi kedua keluarga mempelai, bahkan puncaknya bisa berakibat kematian. Bapak Sumantri (tokoh setempat) menuturkan: Menurut pemahamanku, makna filosofise seng terkandung neng “Kawin Boyong” dewe, bagi seng percoyo lan seng nglakoni ritual iki wajib dilaksanakno nek kate nggelar hajatan nikah, kuatire mengko nek gak ono ritual koyo ngene menurut kepercayaan mereka akibate iso elek neng keluargane kedua mempelai. Bapak Sumantri menuturkan, menurut pemahaman saya, makna filosofisnya yang terkandung dalam “Kawin Boyong” sendiri, bagi yang percaya dan yang melakukan ritual ini wajib dilaksanakan kalau ingin mengadakan hajatan nikah, dikuatirkan nantinya kalau tidak ada ritual seperti ini menurut kepercayaan mereka akibatnya bisa jelek pada keluarga kedua mempelai. Bapak Amin (masyarakat setempat) mengungkapkan: Nek seng tak pahami mas, makna filosofis ritual “Kawin Boyong” iki seng terkandung mungkin ketakutan seng berlebih teko pelakune dewe nek gak nglakoni ritual iki, sebabe yoiku maeng iso akibat elek neng kedua calon mempelai sa’marine resmi nikah. Soale tradisi koyo ngene kan wes suwi lan turun-temurun teko nenek moyang.
85
Bapak Amin mengungkapkan, kalau yang saya pahami mas, makna filosofis ritual “Kawin Boyong” ini yang terkandung mungkin ketakutan yang berlebihan dari pelakunya sendiri jika tidak melakukan ritual ini, sebabnya ya itu tadi bisa akibat jelek dari kedua calon mempelai setelah resmi nikah. Soalnya tradisi seperti ini khan sudah lama dan turun-temurun dari nenek moyang. Bapak Tumijan (masyarakat setempat) mengungkapkan: Menurutku, makna filosofise sebenare cuma siji yoiku, kuatir kene’ bala’ teko leluhur biyen seng wes pernah nglakoni ritual koyo iki, sa’umpamane anak cucune gak nglakoni ritual koyo ngene. Berarti nek wes koyo ngene, gelem gak gelem masyarakat saiki seng iseh percoyo kudu ngelaksanakno tradisi iki nek kate nggelar hajatan nikah ben ora kene’ bala’. Bapak Tumijan mengungkapkan, menurutku, makna filosofisnya sebenarnya cuma satu yaitu, kuatir kena bala’/sial dari leluhur dahulu yang sudah pernah melakukan ritual seperti ini, seumpamanya anak cucunya tidak melaksanakan ritual seperti ini. Berarti kalau sudah seperti ini, mau tidak mau masyarakat sekarang yang masih percaya harus melaksanakan tradisi ini jika ingin mengadakan hajatan nikah biar tidak kena bala’/sial. Tradisi “Kawin Boyong” ini setidaknya mengandung dua sanksi bagi yang tidak melaksanakannya, yaitu sanksi moral dan sanksi sosial. Bapak Nurhadi (sekretaris kepala desa) mengungkapkan: Mungkin seng ono sanksi secara moral nek ora dilaksanakan “Kawin Boyong” iki yoiku sa’wise menikah ketentreman rumah tangga dadi terganggu, utowo punca’e iso berakibat kematian. Bapak Nurhadi mengungkapkan, mungkin yang ada sanksi secara moral jika tidak dilaksanakan ritual “Kawin Boyong” ini yaitu setelah menikah ketentraman rumah tangga menjadi terganggu, atau puncaknya bisa berakibat kematian.
86
Bapak Nurcholis (tokoh setempat) menuturkan Sa’ngertiku, seng ono sanksi moral lan sanksi sosial. Sanksi moral yoiku rumah tanggane gak tentrem, akibate iso pegatan, terus akibate merembet neng keluarga kedua mempelai. Sanksi sosial mungkin dikucilno teko masyarakat. Bapak Nurcholis menuturkan, sepengetahuan saya, yang ada sanksi moral dan sanksi sosial. Sanksi moral yaitu rumah tangganya tidak tentram, akibatnya bisa cerai, terus akibatnya menjalar ke keluarga kedua mempelai. Sanksi sosial mungkin dikucilkan dari masyarakat. Bapak Waji (masyarakat setempat) mengungkapkan: Cuman ono sanksi moral lan sanksi sosial. Sanksi morale wedi nek rumah tanggane gak rukun, terus dampak’e neng kedua keluarga mempelai. Puncak’e akibate salah sijine iso mati. Sanksi sosiale yoiku dikucilno masyarakat. Bapak Waji mengungkapkan, cuma ada sanksi moral dan sanksi sosial. Sanksi moralnya takutnya di rumah tangganya tidak rukun, terus dampaknya di kedua keluarga mempelai. Puncaknya akibatnya salah satunya (kedua mempelai) bisa meninggal. Sanksi sosialnya yaitu dikucilkan masyarakat. Bapak Amin (masyarakat setempat) menjelaskan: Menurutku mas, ono sanksi moral lan sanksi sosial. Sanksi morale wedi kene’ bala’ nek gak dilaksanakno tradisi koyo ngene. Terus sanksi sosiale iso adoh teko masyarakat. Bapak Amin menjelaskan, menurutku mas, ada sanksi moral dan sanksi sosial. Sanksi moralnya takut dapat bala’ (musibah) kalau tidak dilaksanakan tradisi seperti ini. Terus sanksi sosialnya bisa jauh dari masyarakat (dikucilkan dari masyarakat).
87
Dilihat dari sudut pandang Islam, ada yang mengatakan tidak setuju dan ada yang berpendapat tidak ada masalah dengan adanya tradisi ini. Bapak Imam (kepala desa) mengungkapkan: Menurutku “Kawin Boyong” iku ora sejalan karo Islam, soale wong seng durung sah dadi suami istri wes tinggal sa’omah, opo maneh sampek kedadean hubungan diluar nikah (Ambruk/Medok). Bapak Imam mengungkapkan, menurutku “Kawin Boyong” itu tidak sejalan dengan Islam, soalnya orang yang belum sah jadi suami istri sudah tinggal satu rumah, apalagi sampai kejadian hubungan diluar nikah (“Ambruk/Medok”). Bapak Sumantri (tokoh setempat) mengungkapkan: “Kawin Boyonge” asline gak nyimpang neng ajaran Islame dewe, tapi seng nggarahi nyimpang teko ajaran Islam iku ono seng wes nglakoni zino disek (“Ambruk/Medok”). Bapak
Sumantri
mengungkapkan,
“Kawin
Boyong”
sebenarnya
tidak
menyimpang dari ajaran Islamnya sendiri, tapi yang membuat menyimpang dari ajaran Islam itu ada yang sudah melakukan zina duluan (“Ambruk/Medok”). Bapak Tumijan (masyarakat setempat) mengungkapkan: Nek sa’ngertiku mas, “Kawin Boyong” iku ono seng ngomong gak sesuai karo Islam soale yo maeng, perkoro pelakune dewe nglakoni zino disek (“Ambruk/Medok”), tapi ono seng ngomong ora nyimpang neng Islam selama pelakune gak nglakoni zino. Bapak Tumijan mengungkapkan, kalau sepengetahuan saya mas, “Kawin Boyong” itu ada yang bilang tidak sesuai dengan Islam soalnya ya tadi, perkara pelakunya sendiri melakukan zina duluan (“Ambruk/Medok”), tapi ada yang bilang tidak menyimpang dari Islam selama pelakunya tidak melakukan zina. Bapak Mahsun (masyarakat setempat) mengungkapkan: Menurutku dewe, “Kawin Boyong” iku gak nyimpang teko ajaran Islam dewe, soale akeh seng nglakoni “Kawin Boyong” iku cuma tinggal
88
sa’omah. Tujuane kan apik, ngenal luweh cedak neng keluarga calon bojo wedok. Bapak Mahsun mengungkapkan, menurut saya sendiri, “Kawin Boyong” itu tidak menyimpang dari ajaran Islam sendiri, soalnya banyak yang melakukan “Kawin Boyong” itu cuma tinggal satu rumah. Tujuannya khan baik, mengenal lebih dekat dengan keluarga calon istri. Melaksanakan tradisi “Kawin Boyong” ini adalah merupakan satu kewajiban bagi masyarakat Gesikan yang dimana masih percaya dan telah turun-temurun melakukannya. Mereka mempercayai bahwa ketika tradisi ini tidak dijalankan atau lalai dalam melaksanakan, maka musibah atau bala’ akan menimpa salah satu dari mereka, baik secara langsung maupun tidak langsung. Mereka mempercayai hal seperti itu bukannya tanpa alasan, akan tetapi, sudah ada beberapa orang yang mendapat musibah ketika mereka tidak menjalankan tradisi “Kawin Boyong”. Oleh karena itu, kenapa mereka masih mengamalkan dan benar-benar menjaga agar tradisi “Kawin Boyong” tidak sampai hilang dan bisa terus melestarikan sampai ke anak cucu mereka. C. Analisis Data Analisis data merupakan tahap yang paling menentukan, sebab pada tahap inilah seorang peneliti harus mampu menelaah semua data yang diperoleh baik data primer maupun data sekunder. Analisa data ini berdasarkan pada data yang diperoleh yang telah terkumpul dari hasil penelitian yang diklarifikasikan sesuai dengan kebutuhan dan tujuan penelitian. Selain itu analisa data dapat diberi arti sebagai makna yang berguna dalam memecahkan masalah penelitian itu sendiri.93
93
Lexy J.Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001), 9
89
1. Bagaimana pandangan masyarakat Gesikan tentang tradisi “Kawin Boyong” Sebenarnya masyarakat Gesikan sendiri di dalam mengartikan tradisi “Kawin Boyong” adalah dimana sebelum melaksanakan acara Ijab Qabul diwajibkan calon suami boyongan terlebih dahulu ke rumah keluarga calon istri yang waktu tinggal tersebut terserah kesepakatan dari kedua belah pihak. Tradisi ini sesunguhnya hanya sebagai upaya kepatuhan mereka terhadap tradisi dari nenek moyang mereka yang sudah turun-temurun ada di desa mereka, yang dimana jika tidak dilaksanakan tradisi ini dikhawatirkan musibah akan menimpa mereka. Oleh karena itu, tradisi “Kawin Boyong” ini menimbulkan pro dan kontra diantara masyarakat desa Gesikan. a. Masyarakat yang tidak setuju dengan dilaksanakannya “Kawin Boyong” Kehidupan bermasyarakat adalah kehidupan dengan beragam permasalahan yang kompleks yang mengiringi kehidupan manusia. Begitu juga dengan suatu adat atau kebiasaan yang terjadi di suatu daerah, termasuk dengan berbagai macam ritual-ritual adat jika akan melaksanakan suatu acara. Meskipun ritualritual adat sudah ada sejak nenek moyang, masih ada masyarakat yang mengatakan tidak setuju jika itu akhirnya tidak sejalan dengan Islam. Dari tradisi “Kawin Boyong” sendiri, kelompok atau golongan yang mengatakan tidak setuju adalah dari para pejabat desa setempat yang pendidikannya lebih tinggi, serta dari pihak tokoh desa setempat, seperti, para kiai maupun tokoh yang mewakili sebuah organisasi Islam (seperti: NU, Muhammadiyah, dan lain-lain). Mereka beralasan, bahwa dengan dilaksanakannya “Kawin Boyong” ini akan menimbulkan celah untuk mereka berbuat maksiat (hubungan diluar nikah/zina), karena seperti diketahui, bahwa mereka (calon suami dan calon istri) belum sah menjadi suami istri, tapi sudah tinggal dalam satu rumah, meskipun tinggalnya
90
bersama keluarga calon istri. Menurut mereka, ini tidak sesuai dengan ajaran Islam yang mayoritas penduduk Gesikan percayai, meskipun sebagian besar dari pelaku “Kawin Boyong” sendiri tidak melakukan seperti itu (zina) b. Masyarakat yang setuju dengan dilaksanakannya “Kawin Boyong” Adapun alasan yang dikemukakan dari kelompok atau golongan yang mengatakan setuju adalah dari masyarakat awam yang tingkat pendidikannya masih rendah serta masih percaya dengan adat-adat budaya Jawa, yang berpendapat bahwa dengan dilaksanakannya tradisi “Kawin Boyong” ini, maka akan tercipta kerukunan serta persaudaraan diantara mereka, selain itu juga ikut melestarikan keunikan tradisi yang ada di daerah mereka. Akan tetapi, pada dasarnya mereka yang setuju ini menganggap kalau tradisi ini tidak sampai dilaksanakan atau lalai dijalankan, mereka takut musibah akan menimpa mereka dan keluarga mereka, karena sebelumnya sudah pernah ada yang tidak menjalankan tradisi ini, perkawinan mereka jadi berantakan dan akhirnya berujung pada perceraian, padahal belum ada satu tahun kedua mempelai ini menjalin kehidupan rumah tangga. Merujuk pada dua pendapat diatas, bahwa menarik untuk melihat latar belakang pendidikan serta tingkat keagamaan mereka secara keseluruhan, alasan apa yang membuat mereka mengatakan tidak setuju ataupun setuju dengan adanya tradisi “Kawin Boyong” ini. Kalau kita melihat dari latar belakang pendidikannya sendiri, seperti yang telah dikemukakan pada paparan diatas, bahwa sebagian besar dari mereka pendidikannya masih rendah, yang dimana kelulusan pendidikan rata-rata hanya mencapai enam tahun (hanya sampai lulus SD), hanya sebagian kecil dari mereka yang melanjutkan sampai ke tingkat selanjutnya (SLTP maupun SLTA), apalagi sampai ke
91
jenjang yang lebih tinggi (Perguruan Tinggi). Melihat dari latar belakang pendidikan penduduk Gesikan yang seperti ini, maka pemikiran mereka masih menggunakan pemikiran yang tradisionalis didalam melihat atau mengamati suatu objek. Termasuk dalam hal memandang tradisi yang terjadi di daerah Gesikan. Mereka langsung menerima dengan mentah-mentah lalu melaksanakan dan mengamalkan, tidak memikirkan baik-buruk kedepannya nanti. Bagi yang setuju, mereka beranggapan bahwa ini sudah tradisi yang sudah menjadi adat atau kebiasaan yang mau tidak mau harus dilaksanakan karena sudah turun-temurun dari nenek moyang, terlepas dari apakah tradisi ini sesuai dengan Islam sendiri atau tidak. Lalu melihat dari tingkat keagamaan yang meski mayoritas penduduk Gesikan adalah beragama Islam, akan tetapi, masih belum begitu kental atau belum diamalkan secara baik. Ini yang menyebabkan mereka belum mengetahui secara pasti hukum dari “Kawin Boyong” sendiri itu seperti apa (masyarakat yang berpendapat setuju). Sebenarnya dari pihak yang setuju, tujuan dari dilaksanakannya ritual “Kawin Boyong” ini mempunyai tiga tujuan utama, diantaranya: 1
Untuk menghindari ”sial” diantara calon suami, calon istri atau dari pihak wali. Yang pertama tujuan dari diadakannya ritual “Kawin boyong” ini adalah untuk
menghindari “sial” antara kedua calon mempelai laki-laki dan perempuan serta keluarga kedua belah pihak calon mempelai, baik itu akibatnya secara langsung maupun tidak langsung, disadari maupun tidak, jika seandainya mereka tidak melaksanakan tradisi ini. Akibatnya ada beberapa macam, diantaranya: perkawinan mereka menjadi tidak harmonis, sering terjadi perselisihan, bahkan bisa berakibat pada perceraian. Serta akibat lain yang ditimbulkan adalah imbasnya ke keluarga dari pihak istri dan pihak
92
suami yang menjadi tidak rukun yang menyebabkan jalinan komunikasi akan semakin jauh. Lalu akibat lain, dijauhi oleh masyarakat sekitar. 2. Saling mengenal dan beradaptasi dengan keluarga calon mempelai perempuan. Salah satu tujuan dari adanya ritual ”Kawin Boyong” ini saling mengenal dan beradaptasi dengan keluarga calon mempelai. Saling mengenal dan beradaptasi ini tidak hanya pada orang tua calon istri, akan tetapi seluruh anggota keluarga calon istri, baik itu saudara-saudaranya, paman, bibi, dan lain-lain. Jika si calon suami sudah tinggal satu rumah bersama keluarga calon istri, otomatis dia tidak boleh hanya berpangku tangan tanpa mengerjakan apapun yang menjadi kegiatan sehari-hari di rumah calon istri. Calon suami harus membantu kegiatan rutin dari tugas sehari-hari orang tuanya (calon istri), semisal jika orang tua dari calon istri pekerjaannya sehari-hari adalah sebagai seorang petani, maka calon suami juga harus ikut membantu dan terjun langsung sebagai petani. 3. Menentukan hari perkawinan antara calon mempelai laki-laki dengan wali calon mempelai perempuan. Selain dari dua tujuan utama diatas, tujuan yang lain adalah menentukan hari perkawinan antara calon mempelai laki-laki dengan wali calon mempelai perempuan. Dalam menentukan hari perkawinan, harus menurut penanggalan Jawa, serta kedua belah pihak harus sama-sama terlibat didalam mengambil keputusan. Akan tetapi, biasanya kebanyakan yang mempunyai prioritas didalam menentukan hari perkawinan ini adalah dari pihak wali calon perempuan, pihak laki-laki biasanya hanya manut (menurut) saja, selama itu demi kebaikan mereka berdua (pihak laki-laki dan pihak perempuan)..
93
Lalu dari golongan masyarakat yang berpendapat tidak setuju adalah yang masih mempunyai pemikiran untuk maju dan tidak terkekang oleh suatu tradisi, serta masih memikirkan baik-buruknya jika tradisi itu dilaksanakan. Meskipun golongan ini (pejabat desa) rata-rata hanya sampai jenjang wajib belajar dua belas tahun (tingkat SLTA), akan tetapi, membuat mereka (pejabat desa) memaksa untuk berhubungan dengan dunia luar yang lebih maju dan terbuka pemikirannya. Mereka menganggap sudah saatnya tradisi “Kawin Boyong” mengalami perubahan dalam hal kesopanan dan kepatutan serta dari segi agama, karena sudah tidak sesuai dengan norma adat ke-Timur-an yang mengedepankan sopan santun serta layak tidaknya suatu kebiasaan atau adat ini dilaksanakan. Lalu dari golongan tokoh desa setempat seperti para kiai dan tokoh sebuah organisasi Islam. Mereka (tokoh desa setempat) juga beranggapan bahwa dilihat dari aspek hukum Islamnya, ini sudah tidak sesuai lagi untuk diterapkan karena banyak yang sudah bertentangan dengan nilai-nilai ke-Islam-an itu sendiri. Akan tetapi mayoritas mereka (baik yang setuju maupun yang tidak setuju) beranggapan tradisi ini adalah adat murni dari masyarakat Gesikan sendiri dan sudah lama ada sejak dari nenek moyang. Pada dasarnya semua informan mengungkapkan, bahwasanya masyarakat desa Gesikan baik yang melakukan “Kawin Boyong” sendiri maupun yang tidak melakukan tidak mengetahui sudah sejak kapan tradisi ini sudah ada dan telah mengakar di masyarakat desa Gesikan. Mereka menganggap, mengetahui sudah berapa lama tradisi ini ada di daerah mereka, bagi mereka tidak penting, yang penting (bagi yang masih melakukan) ini harus dilakukan jika ingin mengadakan hajatan nikah, karena takut terkena bala’ atau musibah bagi yang melalaikannya. Mereka seakan tidak perduli atau
94
terpengaruh oleh pandangan orang dan perkembangan kebudayaan yang sudah maju seperti sekarang. Serta melihat dari sumber nilai adat “Kawin Boyong” sendiri menurut para informan yang tidak setuju berpendapat, sebelum Ijab Qabul calon kedua mempelai sudah tinggal satu rumah, bahkan ada yang melakukan “Kawin Boyong” sekalian “Ambruk/Medok” yaitu telah melakukan hubungan diluar nikah. Lalu dari pihak yang berpendapat setuju, mereka beralasan, sebenarnya tradisi ini tujuannya baik, yaitu biar lebih akrab dengan keluarga calon istri. Memang ada yang beranggapan tradisi seperti ini ada yang memandang negatif, tapi menurut mereka selama tidak mengganggu ketentraman masyarakat lain. Selama ini pelaku “Kawin Boyong” sendiri belum pernah mengganggu ketentraman, dan masyarakat sendiri belum pernah ada yang protes terhadap tradisi ini. Sumber nilai adat disuatu daerah menurut peneliti patut untuk di jaga, karena dengan adanya suatu tradisi adat menunjukkan simbol dan jati diri dari masyarakat suatu daerah yang mesti untuk dilestarikan, terlepas dari pandangan orang apakah tradisi tersebut layak atau tidak layak Pada dasarnya setiap perbuatan yang dilakukan oleh manusia sudah semestinya memiliki makna dan dasar mengapa perbuatan tersebut dilaksanakan dan dipatuhi, begitu juga seperti kepatuhan masyarakat Gesikan terhadap tradisi perkawinan ”Kawin Boyong” yang didasari oleh beberapa faktor. Secara umum ada dua faktor yang mempengaruhi yaitu: a. Faktor Tradisi Atau Kebiasaan Dari Nenek Moyang. Menurut Sutjipto Wirjosuparto, adanya warisan hukum adat menunjukkan bahwa nenek moyang suku bangsa Indonesia asli telah hidup dalam persekutuan-persekutuan desa yang teratur dan mungkin dibawah pemerintahan atau kepala adat desa, walaupun
95
masih dalam bentuk yang cukup sederhana. Religi animisme-dinamisme yang merupakan akar budaya asli Indonesia dan khususnya dalam masyarakat Jawa cukup mengakar dalam, sehingga punya kemampuan yang kenyal (elastis). Dengan demikian, dapat bertahan walaupun mendapat pengaruh dan berhadapan dengan kebudayaankebudayaan yang telah berkembang maju. Keadaan ini memancing timbulnya teori kekenyalan dan ketegaran kebudayaan asli pribumi dan Indonesia, khususnya kebudayaan Jawa. Sujtipto Wirjosuparto, dalam risalah kecilnya yang berjudul A Short Cultural History of Indonesia mengatakan sebagai berikut: “Althought the culture of Indonesia came into contact with other cultures nist if wich were considered to be on a higher level of development, such as the Indian culture, Moslem culture and Western culture with the result that the Indonesian culture became modified in the process it preserved its original Indonesian character. Even by contact with foreign culture the patterns of Indonesia’s culture.... The flexible nature of the culture of Indonesia enabled it to retain its special Indonesian character”. (“Sungguh pun kebudayaan Indonesia (asli) bergulat dengan kebudayaankebudayaan lain yang kebanyakan dipandang telah mengalami perkembangan ke tingkat lebih tinggi, semacam kebudayaan Hindu, kebudayaan asli dan kebudayaan Barat, yang mengakibatkan termodifikasinya kebudayaan Indonesia di dalam prosesnya, dia tetap mempertahankan karakter ke-Indonesiaan-nya.... Bahkan dalam bergulat dengan kebudayaan asing pola ke-Indonesiaan-nya tetap sama, lantaran unsur-unsur kebudayaan asing itu terhisap dalam pola keIndonesia-an”.94).
94
Ridin Sofwan, dkk, Merumuskan Kembali Interelasi Islam-Jawa (Yogyakarta: Gama Media, 2004), 1819.
96
b. Faktor hubungan persaudaraan dan kerukunan antara individu dan masyarakat. Menurut Abdulsyani, Hubungan individu dan masyarakat pada hakikatnya merupakan hubungan fungsional, artinya hubungan antar individu dalam suatu kolektivita merupakan kesatuan yang terbuka dan ketergantungan antara satu sama lainnya. Alasan pokok terjadinya kondisi ini adalah bahwa individu dalam hidupnya senantiasa menghubungkan kepentingan dan kepuasaannya pada orang lain. Oleh karena itu, hubungan persaudaraan dan kerukunan antara individu dan masyarakat sangatlah penting.95 2. Bagaimana Tradisi “Kawin Boyong” ditinjau dari Fiqih Syafi’iyah Menurut masyarakat desa Gesikan tradisi “Kawin Boyong” ini jika disesuaikan dengan Islam sendiri masih terjadi kontroversi diantara mereka (masyarakat desa Gesikan), ada yang mengatakan tidak sesuai dengan Islam dan ada yang berpendapat tidak apa-apa menurut Islam, asalkan tidak melakukan hubungan diluar nikah terlebih dahulu (zina). Dari golongan yang mengatakan tidak sesuai dengan Islam adalah dari pejabat setempat dan para tokoh setempat (kiai, tokoh organisasi, dll). Mereka mengatakan, bahwa seseorang yang belum resmi menjadi suami istri sudah tinggal dalam satu rumah itu sudah tidak sesuai dengan Islam, apalagi ada yang sampai melakukan “Ambruk/Medok”, yaitu melakukan hubungan diluar nikah, mereka mengatakan perbuatan tersebut sudah benar-benar haram menurut Islam. Lalu dari golongan yang berpendapat tidak masalah menurut Islam yaitu dari masyarakat setempat, yang mengatakan bahwa, tradisi tersebut tidak apa-apa dilakukan jika hanya tinggal dalam satu rumah meskipun belum sah jadi suami istri, asalkan tidak sampai melakukan hubungan diluar nikah. 95
Abdulsyani, Sosiologi, Skematika, Teori dan Terapan (Jakarta: PT.Bumi Aksara, 2007), 34.
97
Dilihat dari pengamalan masyarakat desa Gesikan sendiri terhadap tradisi ini, mengapa sampai dipertahankan dan diamalkan disamping ajaran Islam sebagai agama yang diyakini kebenarannya, menurut peneliti karena ketakutan yang berlebih terhadap tradisi ini jika tidak sampai diamalkan dan dipertahankan, yaitu dikhawatirkan terkena bala’ atau musibah. Makna filosofis dari sebuah ritual “Kawin Boyong” sendiri sudah menjadi adat atau kebiasaan yang sulit untuk dihilangkan karena sudah turun temurun dari nenek moyang, serta seperti yang sudah dijelaskan diatas adalah kekhawatiran yang berlebihan jika sampai tradisi ini tidak sampai dilaksanakan jika ingin menggelar hajatan nikah, yaitu takut terkena bala’/sial terhadap kedua calon mempelai sendiri maupun dari keluarga kedua calon mempelai. Sanksi yang didapat seseorang sebagai akibat tidak diamalkannya “Kawin Boyong” sebagai budaya lokal kebanyakan para informan mengatakan terjadi banyak musibah, diantaranya: dilihat dari sanksi moral yaitu, ketentraman rumah tangga setelah menikah menjadi terganggu, sehingga akhirnya bisa berakibat perceraian, serta akibat lain bisa menjalar pada hubungan keluarga kedua mempelai (hubungan mertua dan menantu atau orang tua laki-laki dengan orang tua perempuan) akan menjadi tidak harmonis dan puncaknya bisa berakibat kematian salah satu dari keluarga kedua belah pihak. Lalu dari sanksi sosialnya sendiri dijauhi oleh masyarakat. Dari penjelasan diatas bisa dikatakan bahwa maksud dan tujuan diamalkannya tradisi perkawinan “Kawin Boyong” adalah sebagai bentuk ketaatan masyarakat desa Gesikan terhadap tradisi peninggalan dari nenek moyang yang harus diamalkan dan dipertahankan keberadaannya, sekaligus menunjukkan identitas masyarakat desa Gesikan sendiri dengan daerah lain.
98
Setelah peneliti menguraikan beberapa permasalahan mengenai pengertian tradisi ”Kawin Boyong” sendiri, sampai sekarang kenapa masih dipertahankan pengamalannya sebagai tradisi budaya adat lokal disamping ajaran Islam yang diyakini kebenarannya, semua itu tidak terlepas dari masalah ’Urf atau sebagai sesuatu yang telah biasa dilakukan oleh masyarakat, dilihat dari Fiqih Syafi’iyah. 3. Tradisi ”Kawin Boyong” dalam perspektif ’Urf. Hubungan ‘Urf Fiqih Syafi’iyah Dengan Tradisi “Kawin Boyong” Didalam melihat suatu objek penelitian, terlebih dahulu harus dipahami tradisi mereka itu seperti apa, termasuk juga apakah tradisi tersebut layak tidak jika dikaitkan dengan hukum Islam sendiri. Sejalan dengan itu, maka peneliti menghubungkan tradisi “Kawin Boyong” ini dengan kajian ‘urf yang menurut pandangan Fiqih Syafi’iyah adalah sesuatu yang telah biasa berlaku, diterima, dan dianggap baik oleh masyarakat yang didasarkan atas syara’ ataupun pertimbangan akal semata. Seperti yang sudah dijelaskan diatas, bahwa ‘urf dibagi kedalam beberapa segi, yaitu dari segi objeknya ada dua yaitu: Al-‘urf al-Lafzhi (kebiasaan yang menyangkut ungkapan), Al-‘urf al-‘Amali (kebiasaan yang berbentuk perbuatan). Dari segi cakupannya yaitu: Al-‘urf al-‘Am (kebiasaan yang bersifat umum), Al-‘urf al-Khash (kebiasaan yang bersifat khusus). Dari segi keabsahannya juga ada dua: Al-‘urf alShahih (kebiasaan yang dianggap sah), Al-‘urf al-Fasid (kebiasaan yang dianggap rusak). Dari beberapa pembagian ‘urf kedalam beberapa segi ini, maka peneliti lebih melihat tradisi “Kawin Boyong” condong dari segi keabsahannya, yaitu al-‘Urf alFasid (kebiasaan yang dianggap rusak). Al-‘urf al-fasid menurut keterangan diatas adalah kebiasaan yang bertentangan dengan dalil-dalil syara’ dan kaidah-kaidah dasar
99
yang ada dalam syara’. Melihat dari pengertian al-‘urf al-fasid sendiri jika dihubungkan dengan tradisi “Kawin Boyong” adalah dimana tradisi ini sebenarnya menurut hukum Islam tidak diperbolehkan. Tidak diperbolehkannya tradisi “Kawin Boyong” ini, karena melihat dari ritual awalnya sendiri, mereka yang melakukan tradisi ini, calon mempelai laki-laki dan calon mempelai perempuan sudah tinggal dalam satu rumah meskipun tinggalnya bersama orang tua calon perempuan. Biasanya setelah mereka (calon lakilaki dan perempuan) tinggal dalam satu rumah, indikasi untuk terjadinya hubungan diluar nikah tetap ada, meskipun tidak banyak. Akan tetapi, mencegah kemudharatan atau hal-hal yang tidak diinginkan yang akan terjadi lebih baik daripada mengambil manfaat dari tradisi “Kawin Boyong” tersebut. Disini peneliti memakai contoh kaidah fiqih yang berbunyi:
W X اY5, 5 &مZ! & N د رء ا Artinya : kemaslahatan”.96
“Menolak
kemafsadatan
didahulukan
daripada
mengambil
Meskipun menurut pengakuan masyarakat Gesikan bahwasanya tradisi ini sebenarnya tujuannya baik, yaitu biar lebih akrab dan lebih mengenal keluarga calon perempuan. Disini peneliti bukan bermaksud untuk menjustifikasi dari sebuah tradisi ini, apakah tradisi ini hukumnya haram dalam Islam ataupun tidak, akan tetapi lebih merupakan menghubungkan tradisi ini jika dilihat dari segi ‘urf dan kaidah fiqh yang peneliti jadikan sandaran didalam meneliti tradisi “Kawin Boyong” jika dilihat dari sudut pandang Islam. Didalam Al-Qur’an sendiri, Allah SWT telah menjelaskan didalam surat An-Nuur: 30 yang berbunyi:
96
Rachmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqih (Bandung: CV.Pustaka Setia, 1998), 290.
100
77Î z y ! © #$ β ¨ )Î 3 Ν ö λç ;m ’ 4 1s —ø &r 7 y 9Ï ≡Œs 4 Ο ó γ ß _ y ρã ùè #( θà Ý x tø † s ρu Μ ô δ Ï Ì ≈Á | /ö &r ô ΒÏ #( θÒ ‘ óä ƒt š ΖÏ ΒÏ σ÷ ϑ ß =ù 9jÏ ≅%è ∩⊂⊃∪ β t θèã Ψo Á ó ƒt $ϑ y /Î Artinya: “Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat". Menahan pandangan berarti, memejamkan mata dari segala pandangan yang diharamkan. Perkataan 4رهX( اpandangan mereka) pada ayat ini menunjukkan bahwa pandangan pertama dimaafkan, sebab seseorang tidak diizinkan melihat sesuatu sesudah diketahuinya bahwa yang dilihatnya itu haram baginya. Setelah diketahuinya yang demikian itu, maka dipalingkannya muka atau dialihkannya pandangannya atau dipejamkan matanya. Ayat ini menjadi dalil atas haramnya melihat sesuatu yang diharamkan seperti melihat aurat orang lain, atau melihat perempuan bukan muhrimnya, begitu pula sebaliknya haram perempuan melihat laki-laki yang bukan muhrimnya. Memelihara kehormatan ialah memelihara faraj (kemaluan) dari segala yang diharamkan kepadanya dan termasuk didalamnya adalah menutupnya agar jangan dilihat oleh orang lain yang haram melihatnya.97 Jika ayat ini dihubungkan dengan tradisi “Kawin Boyong”, bahwa sudah jelas surat an-Nuur:30 haram melihat lawan jenis yang bukan muhrimnya, atau melihat aurat orang lain. Didalam tradisi “Kawin Boyong” sendiri, sebelum Ijab Qabul mereka (calon suami dan calon istri) sudah tinggal dalam satu rumah meskipun dengan orang tua calon istri, ini tidak diperbolehkan jika merujuk pada ayat diatas, karena mereka (calon suami dan calon istri) ini bukan muhrimnya atau belum sah jadi muhrim mereka masing-
97
Abdul Halim Hasan, Tafsir Al-Ahkam (Jakarta: Kencana, 2006), 538-539.
101
masing, apalagi ada yang sudah sampai melakukan hubungan diluar nikah terlebih dahulu. Didalam surat al-Isra’: 32, Allah berfirman:
∩⊂⊄∪ ξ W ‹6Î ™ y u $! ™ y ρu πZ ± t s Å ≈ùs β t %.x …µç Ρ‾ )Î ( ’ # Τo “hÌ 9#$ #( θ/ç t ) ø ?s ω Ÿ ρu Artinya: Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.
102
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan. Berdasarkan pemaparan hasil penelitian dan analisis sebagaimana telah disajikan pada Bab sebelumnya, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu: 1. Tradisi Kawin Boyong menurut sebagian besar masyarakat Gesikan merupakan warisan dari nenek moyang yang harus dilestarikan dan dilaksanakan. Sedangkan pihak yang tidak setuju dengan alasan karena tradisi tersebut menyimpang dari ajaran Islam. Ada beberapa faktor hingga tradisi ini masih tetap bertahan yaitu: faktor tradisi atau kebiasaan, kebersamaan dan kemaslahatan, adanya rasa patuh terhadap orang tua dan leluhur, adanya implikasi bagi yang tidak melaksanakan baik langsung ataupun tidak.
102
103
2. Sedangkan dari tinjauan ‘Urf bisa dikatakan bahwa Kawin Boyong ini bisa dikatakan sebagai tradisi, karena ia sudah dipercaya dan diamalkan bahkan telah diketahui oleh semua masyarakat Gesikan. Dari segi keabsahannya Kawin Boyong masuk pada al-‘Urf al-Fasid (kebiasaan yang dianggap rusak). B. Saran-saran. 1. Dalam pelaksanaan suatu tradisi, masyarakat hendaknya memperhatikan alur dari prosesinya dan memberikan kritik keagamaan agar terhindar dari hal-hal yang secara jelas dilarang oleh agama yang diyakini kebenaran doktrin-doktrinnya dengan atas nama melestarikan dan mengamalkan adat lokal. 2. Sebagai mahasiswa Fakultas Syari’ah yang mengerti tentang hukum-hukum Islam, hendaklah mempunyai pemikiran yang mendalam serta komprehensif untuk meneliti adat-adat yang berada ditengah-tengah masyarakat dan merumuskannya dengan Islam dengan jalan penetapan atau modifikasi agar berjalan sesuai dengan koridor Islam. 3. Masyarakat Desa Gesikan hendaklah mencermati dan memodifikasi kembali tradisi Kawin Boyong kepada hal-hal yang lebih bersifat adat kesopanan, seperti orang tua memberi batas antara calon suami dan istri jika dalam satu rumah serta memberi pengawasan yang ketat agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan yang akan merugikan diri mereka sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Abdulsyani, (2007) Sosiologi, Skematika, Teori dan Terapan, Jakarta: PT.Bumi Aksara. Ad-Dhahak, Muhammad bin Isa bin Surah bin Musa, Sunan at-Tirmidzi, Hadis 1039. Al-Hamdani., H.S.A, (2002) Risalah Nikah, Jakarta: Pustaka Amani. Al-Khauly, Bahay, (1988) Islam dan Persoalan Wanita Modern, Solo: Ramadhani. Al-Syafi’i, (1309 H) Al-Risalah, Beirut: Dar Al-Fikr. Al-Syafi’i, (1321 H) Al-Umm Jilid VII, Beirut: Dar Al-Fikr. Arif, Syamsuddin, dkk, (2006) Wanita Dan Keluarga Citra Sebuah Peradaban, Jakarta: Lembaga Kajian dan Pengembangan Al-Insan. Arikunto, Suharsimi, (2002) Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan, Jakarta : Rineke Cipta. As-Syafi’i, Muhammad bin Qasim al-Ghazzi, (1983) “Fathul Qarib”, diterjemahkan Imron Abu Umar, Fathul Qarib Cet. I, Kudus: Menara Kudus. As-Syamiy, Hussein Hadi, (2000) Karena Kita Diciptakan Berpasangan Mencapai Kebahagiaan Perkawinan, Yogyakarta: Bintang Cemerlang. Bin al-Mughirah, Muhammad bin Ismail bin Ibrahim, Shahih al-Bukhari, Hadis 4720 Bin Warad, Muslim bin al-Hujjaj bin Muslim, Shahih Muslim, Hadis 2511. Bratawidjaja, Thomas Wiyasa, (1988) Upacara Perkawinan Adat Jawa, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Chafidh, M.Afnan, A.Ma’ruf Asrori, (2007) Tradisi Islami Panduan Prosesi KelahiranPerkawinan-Kematian, Surabaya: Khalista. Dja’far Shiddieq, Umay.M, (2004) Indahnya Keluarga Sakinah Dalam Naungan AlQur’an Dan Sunnah, Yogyakarta: Zakia Press. Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, 2003. Endraswara, Suwardi (2006) Metode, Teori, Teknik Penelitian Kebudayaan :Ideologi, Epistemologi, dan Aplikasi, Sleman: Pustaka Widyatama. Fahri, A, (1986) Perkawinan, Sex dan Hukum, Pekalongan: TB.Bahagia.
Fakultas Syari’ah Universitas Islam Negeri Malang, (2005) Buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah Cet.I, Malang: Fakultas Syari’ah. Fathoni, Abdurrahmat, (2006) Antropologi Sosial Budaya Suatu Pengantar, Jakarta: PT.Rineka Cipta. Fischer, TH, (1980) Pengantar Antropologi Kebudayaan Indonesia, Jakarta: Pustaka Sarjana. Forum Kajian Kitab Kuning, (2005) Kembang Setaman Perkawinan Analisis Kritis Kitab ‘Uqud Al-Lujjayn, Jakarta: Buku Kompas. Hadikusuma, Hilman, (2003) Hukum Perkawinan Adat Dengan Adat Istiadat Dan Upacara Adatnya, Bandung: PT.Citra Aditya Bakti. Hakim, Rahmad, (2000) Hukum Perkawinan Islam, Bandung: Pustaka setia. Halim Hasan, Abdul, (2006) Tafsir Al-Ahkam, Jakarta: Kencana. Haroen, Nasrun, (1997) Ushul Fiqh 1, Jakarta: PT.Logos Wacana Ilmu. Hasan, Abdullah, M.S.Nasrulloh, (2003) Surga Bernama: Keluarga Membina Rumah Tangga Islami, Bandung: Pustaka Hidayah. Ihromi, T.O, (2006) Pokok-Pokok Antropologi Budaya, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia Ibnu Rusyd, Abul Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad, (2002) “Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid”, diterjemahkan Imam Ghazali Said dan Achmad Zaidun, Bidayatul Mujtahid Analisa Fiqih Para Mujtahid Cet. II, Jakarta: Pustaka Amani. Koentjaraningrat, (1987) Sejarah Teori Antropologi 1, Jakarta: UI-Press. Komaidi, Didik, (2004) B-Love and D-Love Cinta Luhur dan Cinta Nista, Yogyakarta: Palem. Manaaqib Asy-Syafi’i http://www.geocities.com/abu_amman/ (diakses tanggal 20 Januari 2008). Marzuki, (2002) Metodologi Riset, Jogjakarta: PT. Prasetia Widya Pratama. Mas'udi, Masdar F, (1997) Islam dan Hak-Hak Reproduksi Perempuan, Bandung: Mizan. Moleong, Lexy J, (2001) Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya.
Moleong, Lexy J, (2005) Metodologi Penelitian Kualitatif Remaja Rosdakarya.
Cet.XXI, Bandung: PT.
Ms, Wahyu, (1986) Wawasan Ilmu Sosial Dasar, Surabaya : Usaha Nasional. Mudjab, Nadhirah, (2000) Merawat Mahligai Rumah Tangga, Yogyakarta: Mitra Pustaka. Muhammad, Bushar, (1994) Asas-Asas Hukum Adat Suatu Pengantar, Jakarta: PT.Pradnya Paramita. Mushaffa, Aziz, (2001) Untaian Mutiara Buat Keluarga, Yogyakarta: Mitra Pustaka. Nasution, Lahmuddin, (2001) Pembaruan Hukum Islam Dalam Mazhab Syafi’I, Bandung: PT.Remaja Rosdakarya. Nasution, S, (1982) Metode Reseach Penelitian Ilmiah, Bandung : Jemmers. Partanto, Pius A, M. Dahlan Al Barry, (1994) Kamus Ilmiah Populer, Surabaya : Arkola. Pedoman Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (1992/1993), Jakarta: Badan Kesejahteraan Masjid (BKM) Pusat. Qaimi, Ali, (2002) Singgasana Para Pengantin, Bogor: Cahaya. Saifullah, (2006) Metodologi Penelitian, Malang: Fakultas Syari’ah. Shadily, Hassan, (1980) Sosiologi Untuk Masyarakat Indonesia, Jakarta: Pustaka Sarjana. Silalahi, Gabriel Amin, (2003) Metode Penelitian dan Studi Kasus, Sidoarjo: CV. Citra Media. Singaribun, Masri, Sofian Efendi, (1989) Metode Penelitian Survai, Jakarta: Pustaka LP3ES. Siregar, Sofjan S, “Fikih Mawaddah” http://kajianislam.wordpress.com/2007/07/14/. (diakses pada tanggal 27 Januari 2008). Soejono dan Abdurrahma, (1999) Metode Penelitian Suatu Pemikiran dan Penerapan, Jakarta : Rineka Cipta. Sudiyat, Iman, (1991) Asas-Asas Hukum Adat Bekal Pengantar, Yogyakarta: Liberty. Sudjana, Nana, Ahwal Kusumah, (2000) Proposal Penelitian di Perguruan Tinggi, Bandung: Sinar Baru Algasindo.
Syafe’I, Rachmat, (1998) Ilmu Ushul Fiqih, Bandung: CV.Pustaka Setia. Syarifuddin, Amir, (2006) Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, Jakarta: Prenada Media.
BUKTI KONSULTASI Nama NIM Pembimbing Judul
NO
: Moh. Mus’id Adenan : 03210085 : Dra. Mufidah CH, M.Ag :TRADISI KAWIN BOYONG DALAM PERKAWINAN ADAT MASYARAKAT GESIKAN (STUDI KASUS DI DESA GESIKAN KEC.GRABAGAN KAB.TUBAN)
TANGGAL
MATERI KONSULTASI
01.
24 Juni 2007
Konsultasi Proposal
02.
26 Juni 2007
ACC Proposal Skripsi
03.
11 November 2007
Konsultasi Bab I
04.
13 November 2007
Revisi Bab I
05.
12 Februari 2008
Konsultasi Bab II dan III
06.
10 Maret 2008
Revisi Bab II dan III
07.
17 Maret 2008
Konsultasi Bab IV dan V
08.
18 Maret 2008
Revisi Bab IV dan V
09.
22 Maret 2008
ACC Keseluruhan
TTD PEMBIMBING
Malang, 22 Maret 2008 Dekan,
Drs. H. Dahlan Tamrin, M. Ag NIP. 150 216 425