PELANGGARAN MASA IDDAH DI MASYARAKAT (Studi Kasus di Dusun Gilang, Desa Tegaron, Kec. Banyubiru)
SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam
Oleh : Ita Nurul Asna NIM 21110007
JURUSAN AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH FAKULTAS SYARI’AH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA 2015
i
NOTA PERSETUJUAN PEMBIMBING Lamp : 4 (empat) eksemplar Hal : Pengajuan Naskah Skripsi Kepada Yth. Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Salatiga Di Salatiga Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Disampaikan dengan hormat, setelah dilaksanakan bimbingan, arahan dan koreksi, maka naskah skripsi mahasiswa: Nama
: ITA NURUL ASNA
Nim
: 21110007
Jurusan
: Syari’ah
Program Studi
: Ahwal Al-Syakhsiyyah
Judul
: PELANGGARAN MASA IDDAH DI MASYARAKAT (Studi Kasus di Dusun Gilang, Desa Tegaron, Kec. Banyubiru).
Dapat diajukan kepada Fakultas Syari’ah IAIN Salatiga untuk diujikan dalam sidang munaqasyah. Demikian nota pembimbing ini dibuat, untuk menjadi perhatian dan digunakan sebagaimana mestinya. Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Salatiga, 16 April 2015 Pembimbing Farkhani, S.H,. S.HI,. MH NIP.197605242006041002
ii
KEMENTERIAN AGAMA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA FAKULTAS SYARI’AH Jl. NakulaSadewa 5 No. 9 Telp. (0298) 3419400 Faks. 323433 Salatiga 50722 http://www.iainsalatiga.ac.id e-mail:
[email protected]
PENGESAHAN
PELANGGARAN MASA IDDAH DI MASYARAKAT (Studi Kasus di Dusun Gilang, Desa Tegaron, Kec. Banyubiru)
OLEH ITA NURUL ASNA NIM :21110007 Telah dipertahankan di depan Sidang Munaqosyah Skripsi Fakultas Syari’ah, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga, pada hari Rabu tanggal 18 April 2015 dan telah dinyatakan memenuhi syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam
Dewan Sidang Munaqasyah Ketua Penguji
: Dra. Siti Zumrotun, M.Ag
______________
Sekretaris Penguji
: Farkhani, S.H, S.HI,.MH
______________
Penguji I
: Lutfiana Zahriani, S.H., MH
______________
Penguji II
: Haryo Aji Nugroho, S.sos,. MA
______________
Salatiga, 18 April 2015 Dekan Fakultas Syari’ah
iii
Dra. Siti Zumrotun, M.Ag NIP. 19670115 199803 2 002 N I P .
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN Yang bertandatangan dibawah ini; Nama
: ITA NURUL ASNA
Nim
: 21110007
Jurusan
: Ahwal Al- Syakhsiyyah
Fakultas
: Syari’ah
Judul Skripsi
: PELANGGARAN IDDAH PADA MASYARAKAT (Studi Kasus di Dusun Gilang, Desa Tegaron, Kec. Banyubiru)
Menyatakan bahwa skripsi yang saya tulis ini benar-benar merupakan
hasil karya
saya sendiri bukan jiplakan dari karya tulis orang lain. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah Salatiga, 18 April 2015 Yang menyatakan
ITA NURUL ASNA NIM: 21110007
iv
MOTTO
Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran. (Al-ashr (103) : 2-3)
karena Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, (Al-insyiroh :5)
v
PERSEMBAHAN
Segalanya hanya kupersembahkan padamu Ya Allah Yang maha pengasih lagi maha penyayang serta maha adil dan bijak sana Ayahanda MUHAMMAD AMIN Dan ibunda tercinta SITI IMROATUN serta keluarga tercinta Suamiku tercinta M AULIA ROHMAN yang tak terhenti menemaniku Buah hatiku AQILA NADA RAHMAN Teman dan sahabatku yang selalu memotifasi dan akan selalu ku ingat Almamaterku tercinta IAIN Salatiga
vi
KATA PENGANTAR
Segala Puji syukur Alhamdulillah selalu dipanjatkan kehadirat Allah SWT, yang melimpahkan rahmat, taufiq dan hidayah-Nya kepada kita semua. Dialah sebaik-baik pencipta hukum, hakim Maha adil, Maha bijak dan Maha segalanya, sehingga penyusun mampu menyelesaikan sebagian tugas akademik sebagai syarat menempuh jenjang Sarjana S-1 Syari’ah ini. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada junjungan kita, pemimpin orang-orang yang bertaqwa, dan penempuh jalan kebenaran, Rasulullah Muhammad SAW, para sahabatnya dan para pengikutnya yang senantiasa istiqomah dalam menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam. Dalam skripsi yang berjudul Pelanggaran Masa Iddah Di Masyarakat (Studi Kasus Di Dusun Gilang, Desa Tegaron, Kec. Banyubiru). penulis menjelaskan bahwa penerapan Iddah cerai gugat di masyarakat Dusun Gilang masih banyak yang belum mengerti tentang iddah, sehingga perempuan yang mengajukan cerai gugat tidak menerapkan masa iddahnya.
vii
Keberhasilan penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan partisipasi dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Bapak Dr. H Rahmat Hariyadi, M.Pd Selaku Rektor Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga. 2.
Ibu Dra. Siti Zumrotun, M.Ag selaku Dekan Fakultas Syari’ah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga.
3. Bapak Sukron Makmun, M.Si. selaku Ketua program studi Ahwal alSyakhshiyyah. 4. Bapak Illya Muhsin S.HI., M.Si.M.Ag. Selaku dosen pembimbing akademik. 5. Bapak Farkhani, S.H,. S.HI,. M.H. selaku dosen pembimbing skripsi 6. Bapak dan Ibu Dosen serta karyawan perpustakaan dan bagian administrasi yang telah membantu proses penyusunan skripsi. 7. Teman-Teman FAI/Syari'ah angkatan ’10 (Ulya, Via, Rita, Ari, Ulin, Leni, Risa, Fariul, Hasan, Alfin, Danang, Zainul, Coe, Umam, Kusen, Sulhi, Arya, Rizaq, Yusuf, Hanif ) kalian semua adalah sahabat yang tidak akan pernah terlupakan. 8. Teman-teman seperjuangan di Nahdlotul Fata, yang menumbuhkan kedewasaan dalam bersikap. 9. Teman-teman seperjuangan di IAIN Salatiga 10. Almamaterku tercinta
viii
Penulis juga menyampaikan ucapan terimakasih kepada pihak-pihak yang tidak dapat disebutkan. Berkat bantuan, arahan, dan bimbingan dari berbagai pihak sehingga tulisan yang berjudul: ”Pelanggaran Masa Iddah Pada Masyarakat (Studi Kasus di Dusun Gilang, Desa Tegaron, Kec. Banyubiru)”, dapat diselesaikan. Akhirnya hanya kepada Allah penulis memohon, dan penulis menyadari bahwa kesempurnaan hanyalah milik Allah, semoga tulisan sederhana ini bermanfaat dan dapat menambah khazanah ilmu pengetahuan kita, sehingga kita menjadi umat yang berilmu dan dimuliakan oleh Allah SWT. Amin Salatiga, 15 April 2015 Penulis
Ita Nurul Asna
ix
ABSTRAK
Asna, Ita Nurul. 2015. Pelanggaran Iddah Di Masyarakat (Studi Kasus di Dusun Gilang Desa Tegaron Kecamatan Banyubiru). Skripsi Jurusan Syariah. Program studi Ahwal Al-Syakhshiyyah. Institut Agama Islam Negri Salatiga. Pembimbing: Farkhani, S.H., S.HI., MH. Kata kunci: masa iddah. Penelitian ini merupakan upaya untuk mengetahui pelanggaran-pelanggaran masa iddah pada masyarakat Dusun Gilang. Pertanyaan yang paling mendasar yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah (1) Bentuk pelanggaran masa iddah yang terjadi di Dusun Gilang, Desa Tegaron, Kec.Banyubiru? (2) apa faktor-faktor yang menyebabkan tidak melaksanakan iddah?. Guna Penelitian ini berusaha memahami permasalahan iddah bagi wanita yang mengajukan cerai gugat yang terjadi di masyakat Dusun Gilang, dengan menggunakan metode penelitian wawancara mendalam untuk mendapatkan data sebanyak banyaknya dengan terjun langsung ke lapangan. Pelanggaran masa iddah banyak dilakukan oleh perempuan yang mengajukan cerai gugat di Dusun Gilang, penelitian yang dilakukan dengan mewawancarai 9 perempuan yang pernah mengajukan cerai gugat. Kasus cerai gugat sangat menonjol di Dusun Gilang, umumnya penyebab terjadinya cerai gugat dilatarbelakangi oleh beberapa faktor yaitu, pendidikan masyarakat yang rendah, keadaan ekonomi, pertengkaran, perselingkuhan, dan kekerasan dalam rumah tangga. Penelitian ini menghasilkan temuan pelanggaran yang disebabkan ketidaktahuan mereka pada dasar hukum syariat yang mengatur masa tenggang iddah, sedangkan faktor-faktor penyebab pelanggaran tersebut dipengaruhi oleh tingkat pendidikan yang rata-rata hanya tamat SD sampai SLTP, kurangnya pengetahuan tentang hukum Islam dan hukum positif serta tokoh agama yang kurang berperan dalam membimbing masyarakat.
x
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL........................................................................................ NOTA PERSETUJUAN PEMBIMBING........................................................
i
LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................
ii
PERNNYATAAN KEASLIAN TULISAN .....................................................
iii
MOTTO............................................................................................................
iv
PERSEMBAHAN ...........................................................................................
v
KATA PENGANTAR .....................................................................................
viii
ABSTRAK ......................................................................................................
ix
Daftar isi ...........................................................................................................
x
BAB I
PENDAHULUAN .......................................................................
1
A. Latar belakang ........................................................................
1
B. Rumusan masalah ..................................................................
6
C. Tujuan penelitian....................................................................
7
D. Kegunaan penelitian ..............................................................
7
E. Penegasan istilah ....................................................................
8
F.
Metode penelitian ..................................................................
9
G. Telaah pustaka ........................................................................
12
H. Sistematika penulisan ............................................................
14
BAB II
LANDASAN TEORI CERAI GUGAT ATAU KHULU’ DAN MASA IDDAH PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
xi
BAB III
DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM (KHI) DI INDONESIA ............................................................................... A. Cerai Gugat Atau Khulu’ Dalam Hukum Islam .....................
16 16
1.
Pengertian Khulu’ ...........................................................
16
2.
Dasar Khulu’ ...................................................................
17
3.
Rukun Khulu’ ..................................................................
22
4.
Syarat Wanita Yang Mengajukan Cerai Gugat ...............
24
B. Iddah Dalam Hukum Islam ....................................................
24
1.
Pengertian Iddah .............................................................
25
2.
Berdasarkan Sebab Perceraian ........................................
28
3.
Dasar Hukum Iddah ........................................................
28
4.
Pergantian Iddah .............................................................
35
5.
Tujuan Iddah ...................................................................
36
C. IDDAH MENURUT KHI ......................................................
37
1.
Dasar Hukum Iddah ........................................................
37
2.
Macam-macam Waktu Perhitungan dan Waktu Tunggu
38
D. HIKMAH IDDAH .................................................................
44
HASIL PENELITIAN ................................................................
46
A. Gambaran Umum Dusun Gilang Desa Tegaron Kec. Banyubiru ...............................................................................
46
1.
Kondisi Geografis ...........................................................
46
2.
Kondisi Penduduk ...........................................................
47
xii
3.
Kondisi ekonomi .............................................................
48
4.
Kondisi Sosial Keagamaan .............................................
50
5.
Kondisi Pendidikan .........................................................
53
6.
Sarana Prasarana umum ..................................................
55
B. Profil Pelaku Cerai Gugat dan Pelanggar Iddah di Dusun Gilang Desa Tegaron Kecamatan Banyubiru ......................... BAB IV
56
ANALISIS PELANGGARAN MASA IDDAH DI MASYARAKAT MENURUT FIKIH .......................................
75
A. Khulu’ Pada Kasus Perceraian di Dusun Gilang, Desa Tegaron, Kec. Banyubiru 76 ..................................................
76
B. Iddah Pada Kasus Khulu’ di Dusun Gilang, Desa Tegaron, Kec. Banyubiru ......................................................................
79
C. Analisis terhadap pelanggaran masa iddah ...........................
81
D. Iwadh Pada Kasus Khulu’ di Dusun Gilang, Desa Tegaron. ................................................................................. BAB V
85
PENUTUP ........................................................................................ 87 A. Kesimpulan ............................................................................... 87 B. Saran ......................................................................................... 88
LAMPIRAN-LAMPIRAN
xiii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang Masalah Sesuai dengan prinsip perkawinan, tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami istri perlu saling membantu dan saling melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadian untuk mencapai kesejahteraan spiritual dan material. Perkawinan sangat penting dalam kehidupan manusia, perseorangan maupun kelompok. Dengan jalan perkawinan yang sah, pergaulan laki-laki dan perempuan terjadi secara terhormat sesuai dengan kedudukan
manusia
sebagai makhluk yang berkehormatan.
Pergaulan hidup berumah tangga dibina dalam suasana damai, tenteram dan rasa kasih sayang antara suami dan istri. Anak keturunan dari hasil perkawinan yang sah menghiasi kehidupan keluarga dan sekaligus merupakan kelangsungan hidup manusia secara bersih dan berkehormatan. Islam mengatur masalah perkawinan dengan sangat teliti dan terperinci, untuk membawa umat manusia hidup berkehormatan, sesuai kedudukan yang sangat mulia di tengah-tengah makhluk Allah yang lain. Hubungan manusia laki laki dan perempuan ditentukan atas rasa pengabdian kepada Allah sebagai sang
1
Penciptanya dan kebaktian kepada
manusia guna melangsungkan kehidupan
jenisnya. Perkawinan dalam Islam tidak sematamata sebagai hubungan atau kontrak keperdataan biasa, akan tetapi ia mempunyai nialai ibadah. Maka amatlah tepat jika Kompilasi Hukum
Islam menegaskan sebagai akad yang sangat kuat
(mistaqon gholiidan). Firman Allah surat ar-Rum : 21
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dand ijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”. Syekh Al-Azhar menegaskan bahwa akad nikah apabila telah dilaksanakan dengan rukun dan syarat nikah seperti diatur dalam syariat Islam, adalah sah, dan mempunyai pengaruh hukum, seperti pergaulan suami-istri, hak saling mewarisi dan keabsahan keturunannya (Anshary, 2010: 17). Melihat tujuan dari perkawinan yang sangat mulia, maka setiap orang senantiasa mendambakan suasana lingkungan yang kondusif, penuh kedamaian kesejukan dan ketenangan lahir batin dalam lingkungan dimana ia berdomisili. Tetapi hal yang selalu terlupakan untuk menciptakan kondisi yang demikian
2
adalah yang bagaimana menjaga dan melestarikan
iklim tersebut agar tetap
harmonis walau saat itu dirundung oleh berbagai riak-riak kehidupan. Tidak terkecuali dalam kehidupan berumahtangga, baik suami istri dan anak dituntut untuk
menciptakan kondisi keluarga yang harmonis, sakinah,
mawadah, warohmah. Untuk menciptakan kondisi yang demikian, tidak hanya berada dipundak sang istri sebagai ibu rumah tangga atau bersandar di pundak sang suami sebagai kepala rumah tangga semata, tetapi secara bersama-sama dan berkesinambungan membangun dan mempertahankan keutuhan perkawinan, karena perkawinan merupakan gerbang untuk membentuk keluarga bahagia. Hal ini telah dituangkan dalam Undang undang No 1 tahun 1974: “ perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga ( rumah tangga ) yang bahagia, kekal berdasarkan ketuhanan yang maha esa”. Jika hak dan kewajiban suami istri dapat dilakukan secara makruf, dengan menyadari kelebihan dan kekurangan masing-masing, niscaya hubungan antara pasangan akan tetap terjaga dengan baik sehingga kelangsungannya dapat dicapai. Namun demikian, kehidupan perkawinan tidak selamanya berjalan harmonis. Riak riak kecil sebagai adanya tanda konflik setiap saat juga bisa muncul, pada kondisi-kondisi tertentu yang telah memaksa suami istri untuk bertengkar dan akhirnya sampai pada satu titik dimana keduanya tidak menemukan satu kata sepakat untuk mempertahankan rumah tangga.
3
Kelangsungan yang semula menjadi tujuan hidup bersama menjadi terkoyak dan tidak mampu dipertahankan. Ketika konflik harus berlanjut, masing masing pihak tetap bersikeras pada pendiriannya untuk berpisah dan upaya upaya perdamain selalu gagal ditempuh. Maka perceraianpun tidak dapat dihindari sebagai jalan terakhir. Dalam keadaan seperti ini Islam berpesan agar bersabar dan sanggup menahan diri dan menasehati dengan obat penawar yang dapat menghilangkan sebab-sebab timbulnya rasa kebencian. Firman Allah : ( An-nisa’ : 19)
ُفَب ِ ٌْ َك ِر ْْخُ ًً ُْْٕ ٍَّ فَ َع َطي اَ ٌْ حَ ْك َر ُْ ْٕا َش ْيئًب َّٔ َيجْ َع َم هللا,ف ِ ُْٔ َٔ َعب ِش ُر ُْْٔ ٍَّ ِب ْبن ًَ ْعر فِ ِّ َخ ْيرًا َكثِ ْيرًا “Dan pergaulilah mereka (istri-istri) dengan baik. Jika kamu benci kepada mereka, boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal justru disitu Allah jadikan banyak sekali kebaikan-Nya.” Kebencian itu terkadang semakin membesar, perpecahan semakin terjadi, penyelesaiannya semakin sulit, kesabaran menjadi hilang, dan lenyap ketenangan. Kasih sayang dan kemauan menunaikan kewajiban yang menjadi sendi-sendi kehidupan keluarga menjadi hilang, sehingga kehidupan suami istri akhirnya tak bisa berdamai lagi. Maka pada saat-saat seperti ini, islam membolehkan penyelesaiannya satu-satunya yang terpaksa harus ditempuh
4
dengan jalan cerai. Jika kebencian adanya pada pihak suami maka tangannya terletak talak yang merupakan haknya. Jika kebencian adanya pada pihak istri maka Islam membolehkan dirinya dengan jalan Khulu’ yaitu mengembalikan mahar kepada suaminya guna mengakhiri ikatan sebagai suami istri. Bagi seorang istri yang putus perkawinannya berlaku baginya waktu tunggu atau masa iddah, kecuali apabila seorang istri dicerai suaminya sebelum ia berhubungan (qobla dukhul). Baik karena kematian, perceraian atau putusan pengadilan. Dalam Undang Undang No 1 Tahun 1974 dituangkan dalam pasal 11: (1) Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu. (2) Tenggang waktu tunggu tersebut ayat (1) akan diatur dalam peraturan pemerintah selanjutnya (Rofiq, 1998: 310). Firman Allah surat Al-Baqoroh : 228
ُ ََٔ ْان ًُطَهَّق ج يَخَ َر بَظْ ٍَ بِب َ َْفُ ِط ِٓ ٍَ ثَهَثَتَ قُر ُْٔ ء “Dan perempuan yang tertalak hendaklah dia menahan diri tiga kali quru‟” Sebagai mana telah dikemukakan
diatas bahwa salah satu prinsip
perkawinan Islam di Indonesia adalah mempersulit perceraian, maka perceraian hanya dapat dilaksanakan di hadapan sidang Pengadilan Agama. Oleh karena itu
5
tenggang waktu tunggu dihitung sejak putusan pengadilan. Masa iddah sangatlah penting bagi perempuan selain untuk
mengetahui keadaan rahim, demi
menentukan hubungan nasab anak, mamberi alokasi waktu yang cukup untuk merenungkan tindakan perceraian. Di wilayah Dusun Gilang Desa Tegaron Kecamatan Banyubiru Kabupaten semarang, ada beberapa perempuan yang mengajukan cerai gugat, disini peneliti mengambil sembilan sempel perempuan untuk di teliti. Mereka belum menyelesaikan masa iddah sudah dapat melaksanakan perkawinan dengan lakilaki lain, melihat pentingnya masa iddah bagi perempuan membuat peneliti tertarik untuk meneliti kasus tentang pelanggaran masa iddah di wilayah Kecamatan Banyubiru. Disini peneliti sangat tertarik dengan kasus yang terjadi di wilayah Kecamatan Banyubiru tentang “PELANGGARAN MASA IDDAH DI MASYARAKAT (Studi Kasus di Dusun Gilang, Desa Tegaron, Kecamatan Banyubiru).
B. Rumusan Masalah Problem studi penelitian ini adalah: 1.
Bentuk pelanggaran masa iddah apa sajakah yang dilakukan oleh perempuan di Dusun Gilang, Desa Tegaron, Kec. Banyubiru?
2.
Faktor-faktor yang menyebabkan masa iddah tidak dilaksanakan dengan benar?
6
C. Tujuan Penelitian Setiap kegiatan penelitian tentu mempunyai arah dan tujuan tertentu, demikian pula halnya dalam menyusun skripsi ini berdasarkan pada rumusan masalah diatas, maka tujuan yang hendak dicapai penulis diantaranya adalah: 1. Menmgetahui bentuk pelanggaran masa iddah yang dilakukan oleh perempuan yang mengajukan cerai gugat di Dusun Gilang. 2. Mengetahui faktor-faktor penyebab pelanggaran masa iddah di Dusun Gilang, Desa Tegaron, Kec. Banyubiru.
D. Kegunaan Penelitian Adapun kegunaan dari penelitian ini diantaranya adalah sebagi berikut: 1.
Manfaat Teoritis Diharapkan dengan adanya penelitan ini dapat pengetahuan tentang kasus pelanggaran masa iddah di masyarakat. Selain itu penelitian ini juga diharapkan sebagai bahan pustaka bagi Institut Agama Islam Negeri Salatiga (IAIN).
2.
Manfaat Praktis Selain memberikan manfaat teoritis penelitian ini juga mempunyai manfaat praktis dan akademis.
7
a.
Sebagai sumbangan referensi kepada para pihak yang terkait yaitu tokoh masyarakat setempat, tokoh agama dalam menanggulangi pelanggar masa iddah.
b. Penelitian ini dapat menjadi referensi berkaitan dengan masa iddah. E. Penegasan Istilah Untuk memudahkan dalam memahami judul skripsi ini, serta untuk menghindari adanya kesalahan pemahaman dalam memahami judul. Adapun judul tersebut adalah tentang “ PELANGGARAN
MASA IDDAH DI
MASYARAKAT ( Studi Kasus di Dusun Gilang Desa Tegaron Kecamatan Banyubiru ). Secara umum judul ini sangat mudah untuk dipahami. Apa dan bagaimana maksud yang terkandung didalamnya, namun karena sebab-sebab tertentu dan adanya penggunaan istilah dalam judul penelitian ini, bisa saja seorang mendapatkan kesulitan dalam pemahaman yang berbeda dengan yang dimaksud oleh penulis. Maka penelitian ini perlu memberikan penegasan seperlunya terhadap penelitian ini. Penegasan ini di harapkan mampu memberikan gambaran kerangka berfikir yang dapat memudahkan pembaca dalam memahami hasil penelitian ini. Menurut bahasa iddah adalah masa tunggu bagi wanita yang ditinggal mati atau bercerai dari suaminya untuk memungkinkan melakukan perkawinan lagi dengan laki-laki lain (Azhar, 1999: 94).
8
F. Metode penelitian Dalam penelitian ini digunakan metode penelitian kualitatif yang meliputi: 1.
Jenis penelitian Penelitian ini juga termasuk dalam jenis penelitian lapangan (fieldresearch)
dalam
pelaksanaannya
menggunakan
metode
pendekatan kualitatif, yang umumnya menggunakan teknik multi metode yaitu, wawancara kepada responden, pengamatan, serta menelaah dokumen antara yang satu dengan yang lain yang saling melengkapi, memperkuat, dan saling menyempurnakan (Sukmadinata, 2005:108). Dengan demikian masalah ini diteliti menggunakan jenis penelitian lapangan untuk mendapatkan data-datanya melalui teknik wawancara kepada informan dan menelaah dokumen akta cerai dari para pelaku. 2.
Sumber Data a.
Data primer Data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari sumbernya melalui wawancara kepada pelaku pelanggaran masa iddah, guna memperoleh data yang sebanyak-banyaknya dari pelaku pelanggar masa iddah.
b.
Data sekunder Selain
menggunakan
refrensi
utama,
penulis
juga
menggunakan refrensi penunjang sebagai tambahan untuk 9
memperjelas dalam melakukan penelitian ini diantaranya tokoh masyarakat setempat, buku refrensi yang memuat lebik spesifik mengenai masalah iddah, dan data yang terdapat disitus internet yang dijadikan sebagai pendukung. 3.
Prosedur Pengumpulan Data Metode-metode yang digunakan dalam pengumpulan data yang diperlukan yaitu: a.
Metode wawancara mendalam (depth interview) Dalam metode ini penulis menggunakan teknik interview guide yaitu, cara mengumpulkan data dengan menyampaikan secara langsung daftar pertanyaan yang disusun sebelumnya guna memperoleh jawaban langsung pula dari para responden (Koentjaraningrat, 1986: 136). Dalam metode wawancara ini yang di wawancarai langsung yaitu moden setempat dan pelaku yang melanggar iddah untuk mendapatkan data yang peneliti perlukan.
b.
Metode Dokumentasi Metode dokumentasi adalah cara mengumpulan melalui pengumpulan data melalui peninggalan tertulis, terutama berupa arsip akta cerai dan termasuk buku-buku tentang pendapat, teori, dalil atau hukum dan lain-lain yang berhubungan dengan masalah penyelidikan (Hardawi, 1990:133). Dokumen-dokumen yang diperlukan adalah akta cerai dari pelaku pelanggar iddah dan 10
putusan dari pengadilan untuk mendapatkan data mengenai kronologi sebab cerai, tahun cerai dan tanggal cerai. c.
Metode Observasi Metode observasi adalah metode pengumpulan data dengan jalan pengamatan dan pencatatan langsung dengan sistematis terhadap fenomena-fenomena yang diselidiki. Sedangkan teknik observasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah datang langsung ke rumah pelaku pelanggaran iddah di Dusun Gilang, Desa Tegaron, Kec. Banyubiru. kegiatan pengamatan ini di gunakan untuk mendapatkan data-data yang diperlukan oleh peneliti sebagai bahan penyusunan sripsi.
4.
Analisis Data Setelah data yang terkait dan data yang dibutuhkan diperoleh, maka penulis akan menganalisa data tersebut untuk memecahkan atau menjelaskan masalah yang ditemukan. Sedangkan analisis yang digunakan penulis dalam pembahasan ini adalah data kualitatif dengan menggunakan metode berfikir induksi dan deduksi. a.
Induksi yaitu, analisa dari data-data yang bersifat khusus, kemudian ditarik konklusinya yang dapat digeneralisasikan menjadi kesimpulan yang bersifat umum.
b. Deduksi yaitu, analisa dari data-data yang bersifat umum, kemudian diambil kesimpulan yang bersifat khusus. 11
5.
Pengecekan Keabsahan Data Dalam menguji keabsahan data peneliti menggunakan teknik trianggulasi, yaitu memeriksa keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data tersebut, dan teknik trianggulasi yang paling banyak digunakan adalah dengan pemeriksaan melalui sumber yang lain (Moloeng, 2007: 330). Menurut Denzin (dalam moloeng, 2007: 330), membedakan empat macam trianggulasi sebagai teknik pemeriksaan yang memanfaatkan penggunaan sumber data, metode, penyidik, dan teori. Trianggulasi dilakukan melalui wawancara, observasi langsung dan observasi tidak langsung ini dimaksudkan dalam bentuk pengamatan atas beberapa kelakuan dan kejadian yang kemudian diambil kesimpulannya yang menghubungkan diantara keduanya.
G. Telaah Pustaka Dalam penelitian ini, penulis mengacu pada penelitian yang mendekati dengan penelitian yang pernah dilakukan terlebih dahulu, dimaksud untuk memudahkan pembaca untuk membandingkan hasil kesimpulan oleh penulis dengan peneliti lain. Penelitian tentang iddah, yang sebelumnya pernah dilakukan oleh beberapa peneliti. Beberapa studi relevan diantaranya Fahmi (2013) dan Mardiono.
12
Fahmi dengan Judul Skripsinya Penentuan Awal masa iddah menurut Fiqh munakahat dan KHI. Penelitian ini meneliti tentang konsep iddah menurut Fiqh Munakahat dan KHI, penelitian ini mengkhususkan pada permasalahan penetapan penentuan awal masa iddah. Dalam permasalahan ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan landasan berfikir yuridis empiris. Pengumpulan datanya dengan metode dokumentasi dengan mencari literature-literatur tentang masa iddah dan metode observasi dengan wawancara kepada hakim Pengadilan Agama dan Ketua KUA. Dari hasil penelitian ini menghasilkan kesimpulan bahwa awal masa iddah dimulai sejak jatuhnya kata talak ini menurut Fiqh, sedangkan menurut KHI setelah penetapan perceraian oleh Hakim Pengadilan Agama, sedangkan oleh KUA menurut tanggal akta cerai. Mardiono1 dalam penelitiannya dengan judul Tanggal Menjadi Janda. Penelitian ini menggunakan tiga pendekatan, pertama aspek gramatikal adalah pengkajian permasalahan dengan cara menganlisis tatabahasa, jenis dan susunan kalimat yang digunakan dalam akta cerai. Yang kedua aspek format kata yaitu penelaahan permasalahan dengan cara menganalisa bentuk dan format kata. Dengan pendekatan ini akan diketahui kedudukan beberapa tanggal yang tercantum dalam berbgi bagian akta yang ketiga aspek yuridis formal adalah menganalisis suatu masalah dengan cara merujuk kembali kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pada kesimpulan diterangkan bahwa iddah dihitung sejak tanggal keluarnya akta. 1
http://ekomardion.blogspot.com 13
Perbedaan kedua penelitian diatas dengan riset ini adalah, peneliti menitikberatkan pada pelaksanaan iddah cerai gugat yang dilakukan sebagian perempuan diwilayah Dusun Gilang yang pada kenyataannya terjadi pelanggaran masa iddah.
H. Sistematika Penulisan Untuk memudahkan pemahaman isi penelitian ini, maka sistematika pembahasan dibagi menjadi lima bab, diantaranya : Bab I:
Pendahuluan memuat:
latar belakang masalah, rumusan masalah,
tujuan, kegunaan penelitian, penegasan istilah, telaah pustaka, metode penelitian, sistematika penulisan. Bab II: Landasan Teori Cerai Gugat atau khulu‟ dan Masa Iddah Perspektif Hukum Islam dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia. Memuat: pengertian khulu‟, dasar Hukum khulu‟, rukun khulu‟, syarat khulu‟. pengertian iddah, sebab iddah, dasar hukum iddah, pergantian iddah, tujuan iddah dan hikmah iddah. Bab III: Memuat tentang laporan penelitian meliputi letak geografis, kondisi sosial keagamaan, gambaran penduduk Dusun gilang Desa Tegaron Kecamatan Banyubiru, kehidupan beragama, profil perempuan yang tidak menerapkan iddah. Bab IV: Memuat tentang Analisa terhadap penetapan masa iddah cerai gugat serta penerapannya didalam masyarakat Kecamatan Banyubiru . 14
Bab V: Memuat tentang Kesimpulan dan Saran yang diberikan kepada pihakpihak yang terkait.
15
BAB II LANDASAN TEORI CERAI GUGAT ATAU KHULU’ DAN MASA IDDAH PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM (KHI) DI INDONESIA
A. Cerai Gugat/ Khulu’ Dalam Hukum Islam 1.
Pengertian khulu’ Pengertian khulu‟menurut bahasa, kata khulu‟ dibaca dhammah huruf kha yang bertitik dan sukun lam dari kata khila‟ dengan dibaca fathah artinya naza‟(mencabut), karena masing-masing dari suami istri mencabut pakaiannya yang lain seperti firman Allah dalam Al-Quran surat al-Baqoroh (2): 187.
“mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka”.
Titik temu persamaannya antara pakaian dan laki-laki serta perempuan masing-masing bertemu dengan pasangannya mengandung makna memeluk dan tidur bersama. Demikian juga selimut atau pakaian bertemu pada pemiliknya dan mengandung perlakuan yang sama. Sebagian pendapat mengatakan, sebab pernikahan masing-masing menutup teman pasangannya
16
dari perbuatan yang jahat yang dibenci, sebagaimana pakaian menutup aurat. Pakaian dalam arti yang pertama menutupi secara materi, sedangkan makna kedua secara maknawi. Istilah Khulu‟ itu berasal dari kata “ khala‟a tsauba” yang artinya menanggalkan/ melepaskan pakaian. Sedang menurut istilah Fiqih, khulu’ ialah tuntutan cerai yang diajukan oleh seorang istri dengan pembayaran ganti rugi dari padanya. Atau dengan kata lain “ istri memisahkan diri dari suaminya dengan ganti rugi kepadanya”. Khulu’ dinamakan juga tebusan. Karena istri menebus dirinya dari suaminya dengan cara mengembalikan apa yang pernah diterima atau mahar kepada istrinya. Pengertian khulu‟ menurut syara’ adalah sebagai mana yang ditemukan Asy-Sarbini dan Al-Khatib adalah “pemisahan antara suami istri dengan penggantian yang dimaksud (iwadh) yang kembali kearah suami dengan lafal talak atau khulu‟ ( Azzam, 2009: 297).
2. Dasar khulu’ Khulu‟ diperbolehkan jika ada sebab yang menuntut, seperti suami cacat fisik atau cacat sedikit pada fisik atau suami tidak dapat memenuhi hak istri atau wanita khawatir tidak dapat melaksanakan kewajiban hukumhukum Allah, seperti persahabatan yang baik dan dalam segala pergaulan.
17
Jika tidak ada sebab yang menuntut khulu‟ maka terlarang hukumnya. Dalam al-Quran Allah berfirman surat al-Baqarah (2): 229.
'
“ Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya”. Abu Bakar bin Abdullah Seorang Tabi’i menduga bahwa ayat diatas di nasakh dengan firman Allah Surat an-Nisa (4): 20.
“Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, Maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun”.
Maksudnya adalah menceraikan isteri yang tidak disenangi dan kawin dengan isteri yang baru. Sekalipun ia menceraikan isteri yang lama itu bukan tujuan untuk kawin, namun meminta kembali pemberian-pemberian itu tidak dibolehkan ( Azzam, 2009: 299).
18
Dasar hukum dari al-Hadist, sebagaimana yang dikemukakan oleh alShon’ani, bahwa istri Tsabit bin Qais bin Syam mengadukan kepada dirinya sehubungan dengan suaminya, sebagai berikut:
ُ ِيب َ َر ض ُْٕ َل ا نهه ِّ ثب َ ب ج بِ ٍْ قَيْص يب أَ ِعيبُ َعهَ ْي ِّ فَى ُخهُق َٔالَ ِدي ٍَْ َٔن ِك ٍْ أ ْك َرُِ ا ْن ُك ْف َر فِى ْاال ِء ْضالَ ِو “Ya Rasulallah, terhadap Tsabit bin Qois saya tidak mencela tentang budi pekertinya dan Agamanya, namun saya membenci kekufuran (terhadap suami) dalam Islam”. Terhadap pengaduan Jamilah ini Rasulullah bersabda kepadanya:
َُّأَ حُ َر ِد ي ٍَْ َعهَ ْي ِّ َح ِد ْيقَخ “Bersedialah engkau mengembalikan kepadanya kebunya?” jamilah menjawab: ya (bersedia)”.
(Tsabit)
Lalu Rasulullah memanggil Tsabit, bersabda kepadanya:
ْ ِأ ْقبَ ِم اَ ْن َح ِد ْيقَتُ َٔ طَ ِه ْقٓب َ ح ًَط ِه ْيقَت “Terimalah kebun itu dan ceraikanlah dia (istrimu) dengan satu talaq”.
Firman Allah dan Hadist Rasulullah tersebut menjadi disyariatkan khulu‟dan syahnya terjadi khulu‟ antara suami istri (Departemen Agama, 1983: 252). Dalam hadist ini dinyatakan bahwa Tsabit suka memakai sifat kekafirannya, sedang istrinya baru masuk Islam. Lalu dia mengadukan
19
kepada Rasulallah supaya diceraikan oleh Tsabit. Nama istrinya itu adalah Jamilah binti Abi Salul. Khulu‟ dibolehkan jika ada sebab syar’i. Para fuqoha berselesih pendapat tentang apakah untuk sahnya khulu‟ istri harus nuyus atau tidak, menurut Zahir hadist, demikian pula golongan Zahiria dan penadapat Ibnu Mundzir, bahwa untuk sahnya khulu‟ haruslah istri nusyus. Menurut pendapat Al-Syafi’i, Abu Hanifah dan kebanyakan ahli ilmu fikih berpendapat bahwa khulu‟ itu sah dilakukan meski istri tidak dalam keadaan nusyus, dan khulu‟ itu sah dengan saling kerelaan antara suami dan istri (Ghozali, 2003: 223). Menurut Khattabi, khulu‟, adalah fasakh, bukan talak, dengan alasan jika talak, tentu terkehendak pada syarat-syarat talak, yakni perceraian datang dari pihak suami tanpa memandang istri rela atau tidak, dan jatuhnya talak dalam keadaan suci, sedang khulu‟ boleh dilakukan di sembarang waktu. Iddah khulu‟ hanya satu kali haid, sedangkan iddah talak tiga kali haid. Bila khulu‟ itu talak, tentu ada talak empat kali. Pendapat ini sesuai dengan madzhab Syafi’i yang mengatakan bahwa khulu‟ adalah fasakh bukan talak. Khulu‟ tidak boleh dirujuk, sebab perceraiannya sudah ba’in (putus). Jika suami akan menikahi bekas istrinya maka suami harus mengembalikan iwadh yang diberikan oleh istri kepada suami dan memperbarui akad nikah baru dengan rukun dan sarat sebagai lazimnya akad nikah baru (Mas’ud, 2007: 387). 20
khulu’ telah diatur dalam KHI dalam pasal 124 KHI dinyatakan bahwa khulu‟ harus berdasarkan atas alasan perceraian sesuai ketentuan pasal 116 yaitu: a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan; b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2(dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya; c. Salah satu pihak mendapat hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung; d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain; e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri; f. Antara suami dan istri terus menrus teradi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. g. Suami melanggar taklik-talak; h. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga.
21
3. Rukun Khulu’ Rukun khulu‟ ada lima, yaitu: a. Suami sah talaknya Syarat suami sah talaknya yaitu baligh, berakal, dan pilihan sendiri sebagaimana keterangan dalam talak. Khulu‟ tidak sah dari seorang suami yang masih kecil, suami gila, dan terpaksa. b. Akad pernikahan. Akad pernikahan adalah perikatan hubungan perkawinan antara mempelai laki-laki dan mempelai perempuan yang dilakukan di depan dua orang saksi laki-laki dengan menggunakan kata-kata ijab qobul (Azhar, 1999: 25). c. Keharusan menerima iwadh. Agar khulu‟ dari istri sah, syarat pertama khulu’ haruslah orang yang sah mentasarufkan harta secara mutlak karena menerima khulu’, berari keharusan menerima harta. Oleh karena itu harus balig, berakal sehat, dan tidak terhalang mentasarufkan harta. Barang yang dapat dijadikan ganti rugi menurut golongan Syafi’i adalah semua maharnya atau sebagian dari mahar yang pernah diberikan kepada istri baik berupa uang tunai, hutang dan jasa, tegasnya segala barang yang dijadikan mahar boleh dijadikan ganti rugi dalam khulu‟(Syabiq, 1980: 103). Berdasarkan firman Allah alBaqarah: 229,
22
“maka tidaklah salah bagi mereka berdua (suami istri) tentang apa yang dijadikan tebusan”. d. Penggantian Khulu‟( Iwadh). Imbalan ini bagian yang pokok dari makna khulu‟. Jika tidak dicapai pengganti maka tidak dicapai pula khulu‟. Sebab khulu‟ adalah akad (perjanjian) ganti rugi. e. Shighat. Rukun khulu‟ yang terahir adalah shighat. Lafal khulu‟ dibagi menjadi dua, yaitu dengan lafal jelas (sharih) dan sindiran (kinayah). Khulu‟ sharih ada tiga lafal yaitu: Pertama, menggunakan lafal khulu‟. Seperti ”Aku khulu‟ padamu” tidak perlu niat karena ia berulang kali dikandung syara’ berarti hendak berpisah. Kedua, menggunakan lafal tebusan, seperti “Aku tebus engkau dengan (barang apa yang digunakan untuk iwad). Ketiga, menggunakan lafal fasakh (merusak) seperti“Aku fasakh nikah ini “(Azzam, 2009: 300). Imamiyah
mengatakan:
khulu‟
tidak
dipandang
jatuh
dengan
menggunakan redaksi kiasan (kinayah) dan tidak pula sah dengan menggunakan lafal-lafal apapun kecuali kedua ini khulu‟ dan talak , atau menggunakan salah satu diantaranya. Misalnya istri mengatakan,” aku
23
khulu‟ engkau dengan tebusan tersebut. Redaksi ini merupakan redaksi yang dipandang paling baik dikalangan seluruh mazhab(Mughniyah, 1991: 190).
4. Syarat wanita yang mengajukan cerai gugat/ khulu’. para ulama mazhab sepakat bahwa istri yang mengajukan khulu‟ kepada suaminya wajib sudah baligh, dan berakal sehat. Syafi’i dan Hambali mengatakan, khulu‟ yang diajukan oleh wanita gila dan safih (idiot) sama sekali tidak sah, baik dengan izin dari walinya, Syafi’i hanya memberikan satu pengecualian, yaitu bila walinya khawatir suaminya akan menguasai hartanya. Imamiyah menetukan syarat bagi wanita yang mengajukan khulu‟, halhal yang mereka persyaratkan dalam talak, misalnya wanita dalam keadaan suci dan tidak dicampuri menjelang khulu‟ manakala dia sudah dicampuri dan bukan wanita yang sedang memasuki masa menopaus dan hamil atau berusia dibawah Sembilan tahun. Mereka juga mesyaratkan agar ada dua saksi laki-laki yang adil (Mughniyah, 1991: 188).
B. Iddah Dalam Hukum Islam Bagi istri yang putus hubungan perkawinan dengan suaminya karena cerai talak, cerai gugat, atau karena ditinggal mati suaminya, mempunyai akibat hukum yaitu melaksanakan iddah. Keharusan menjalankan iddah merupakan 24
perintah Allah yang dibebankan oleh bekas istri yang telah dicerai. Untuk memudahkan pembahasan kita mengenai iddah, maka akan di paparkan sebagai berikut. 1.
Pengertian Iddah. a. Secara Etimologi Jika dikaji secara etimologi, kata iddah berasal dari kata kerja „adda-ya‟ uddu yang artinya menghitung sesuatu ( ihsha‟u asy-syay‟i). Adapun kata iddah memiliki arti seperti kata al-„adad yaitu ukuran sesuatu yang dihitung
atau
jumlahnya. Jika kata iddah tersebut
dihubungkan dengan kata al-mar‟ah (perempuan) maka artinya harihari haid/ sucinya, atau hari-hari ihdadnya terhadap pasangannya atau hari-hari menahan diri dari memakai perhiasan baik berdasarkan bulan, haid/ suci, atau melahirkan. Wahbah Zuhaili mengemukakan, iddah secara bahasa adalah menahan, terambil dari kata Adad (bilangan) karena mencakup atas bilangan dari beberapa quru‟ dan beberapa bulan menurut kebiasaan (Syarifudin, 2006: 303). Menurut Syabiq, yang dinamaksud iddah dari bahasa adalah menghitung hari-hari dan masa bersih seorang perempuan. Adapun menurut al-Jaziri kata iddah mutlak digunakan untuk menyebut hari-hari haid perempuan atau hari-hari sucinya (Wahyudi, 2009: 75).
25
Dari beberapa pendapat yang dikemukakan oleh para ahli fiqih tersebut dapat dipahami bahwa pengertian iddah
dari segi bahasa
berasal dari kata „adda yang artinya bilangan, menghitung, dan menahan. Maksudnya perempuan menghitung hari-harinya dan masa bersihnya setelah cerai dari suaminya. b.
Secara Terminologi Dari sisi terminologi, para ahli fiqih telah merumuskan definisi iddah dengan berbagai ungkapan. Meskipun dalam redaksinya yang berbeda, berbagai ungkapan tersebut memiliki kesamaan secara garis besarnya. Menurut al-Jaziri, „iddah secara syar’i memiliki makna yang lebih luas daripada makna bahasa, yaitu masa tunggu perempuan yang tidak hanya didasarkan pada bulan atau ditandai dengan melahirkan dan selama masa tersebut seorang perempuan dilarang untuk menikah dengan laki-laki lain (Wahyudi, 2009: 74). Iddah merupakan sebuah nama bagi masa lamanya perempuan (istri) menunggu tidak boleh kawin setelah kematian suaminya atau setelah berpisah dengan suaminya (Sabiq, 1980: 150). Ashon’ani memberikan definisi iddah adalah sebagai berikut:
زٔ ِجَٓب ْ ْج بَ ْع َد َٔفَب ِة ِ اِ ْض ُى نِ ًً َد ِة حَخَ َر بَضُ بَِٓب اَ ْن ًَرْ أَةُ َع ٍِ انخَ ْس ِٔي َٔفِ َرا قِ ِّ نََٓب اِيب َ بِب ْن ِٕآل َد ِة أَ ِٔألَ ْق َرا ِءأَ ِٔأالَ ْشٓ ُِر
26
Iddah ialah suatu nama bagi suatu masa tunggu yang wajib dilakukan oleh wanita untuk tidak melakukan perkawinan setelah kematian suaminya itu, baik dengan melahirkan anaknya , atau beberapa kali suci / haid, atau beberapa bulan tertentu (Departemen Agama, 1983: 274).
Abu Yahya Zakaria al-Ansari memberikan definisi Iddah sebagai masa tunggu perempuan untuk mengetahui kesucian rahim untuk beribadah (ta‟abud), atau untuk berkabung (tafajju‟) atas kematian suaminya. Definisi yang dikemukakan oleh Abu Yahya Zakaria alAnsari lebih mengutamakan tujuan iddah (Wahyudi, 2009: 10). Menurut Sayuti Thalib, pengertian kata iddah dapat dilihat dari dua sudut pandang: Pertama, dilihat dari segi kemungkinan keutuhan perkawinan yang telah ada, suami dapat rujuk kepada istri. Dengan demikian, kata iddah dimaksudkan sebagai suatu istilah hukum yang mempunyai arti tenggang waktu sesudah jatuah talak, dalam waktu mana pihak suami dapat rujuk kepada istrinya. Kedua, masa iddah itu adalah suatu tenggang waktu dalam waktu mana istri belum dapat melangsungkan perkawinan dengan pihak lakilaki lain (Nurudin, 2004: 241). Menurut ulama Hanafiah, iddah diwajibkan karena putusnya suatu perkawinan secara sah atau subhat dengan syarat telah terjadi hubungan suami istri (dukhul).
27
Dari beberapa definisi iddah yang dipaparkan oleh para ulama tersebut dapat disimpulkan bahwa iddah menurut syariat Islam ialah masa tunggu bagi seorang perempuan yang pada masa tersebut dilarang kawin dengan laki-laki lain. Masa tunggu ini dijalani karena ada sebab, yaitu istri yang ditalak oleh suaminya atau istri yang ditinggal mati suaminya.
2.
Berdasarkan Sebab Perceraian Jika ditinjau dari sebab perceraian maka perceraian dapat dibedakan menjadi dua: cerai hidup yaitu cerai karena talak suami, karena khulu‟, fasakh dan li‟an dan cerai karena suami meninggal dunia/ cerai mati. Oleh karena itu, terdapat dua kategori perempuan yang ber iddah (al-mu‟tadah). Perempuan yang ditingal mati oleh suaminya (al-mutawaffa‟anha zaujuha) ,dan perempuan yang ber iddah bukan karena ditinggal mati oleh suaminya (ghair al-mutawaffa „anha zaujaha).
3.
Dasar Hukum Iddah Kewajiban menjalankan Iddah bagi seorang perempuan setelah berpisah dengan suaminya baik karena talak ataupun kematian suaminya, didasarkan pada al-Quran, hadis, maupun ijma’. a.
Ayat-ayat al-Quran yang menjadi dasar hukum Iddah adalah sebagai berikut: 28
1) iddah perempuan karena talak Istri yang bercerai dari suaminya padahal ia termasuk wanita yang masih berhaidh ( masih bisa datang bulan atau menstruasi ), maka iddahnya ialah tiga kali quru‟, yakni tiga kali haidh. Ketetapan ini bersadarkan Qur’an surat al-baqarah (2): 228 adalah sebagai berikut:
“wanita-wanita yang ditalak menunggu) tiga kali quru‟.
hendaklah
menahan
diri(
Terdapat perbedaan diantara ulama tentang maksud dari tiga quru’, apakah tiga kali suci atau tiga kali haid. Ulama Hanafiyah dan Imam ahmad berpendapat bahwa lafadz quru‟ berarti haidh. 2). iddah wanita yang ditinggal mati suaminya Para ulama mazhab sepakat bahwa
iddah wanita yang
ditinggal mati suaminya, sedangkan dia tidak hamil, iddah nya empat bulan sepuluh hari, baik wanita tersebut sudah dewasa maupun masih anak-anak, dalam usia menopaus atau tidak. Didasarkan atas firman Allah (QS. Al-baqarah (2): 234).
29
“ Orang –orang yang yang meninggal dunia di antaramu yang meninggalka istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (ber iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian jika habis iddahnya tiada dosa bgimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut Allah mengetahui apa yang kamu perbuat. Ayat ini secara tegas dan umum mengatakan keharusan istri yang ditinggal mati suaminya atau cerai karena mati wajib menjalani iddah selama empat bulan sepuluh hari. 3). Iddah wanita yang belum dicampuri suaminya. Bila suami belum bergaul dengan istrinya, maka istri tidak memenuhi syarat untuk dikenai kewajiban ber iddah. Dasar hukum iddah, perempuan yang belum dicampuri oleh suaminya QS. alAhzab (33): 49
30
“Hai orang orang yang beriman apabila kamu menikahi
perempuan perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya, maka sekali kali tidak wajib bagi mereka iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut‟ah dan lepaskan mereka itu dengan cara sebaik –baiknya” Para ulama mazhab sepakat bahwa wanita yang ditalak sebelum dan sesudah berkhalwat, tidak ber-iddah. Namun terdapat perbedaan pendapat pada wanita yang telah berkhalwat yang belum dicampuri, sebagian mengatakan wajib ber-iddah dan sebagian lagi mengatakan tidak wajib untuk ber-iddah. Hanafi, Maliki dan Hambali berpendapat, apabila suami telah berkhalwat dengannya tetapi tidak sampai dicampuri kemudian ditalak, maka istritersebut wajib ber-iddah. Iddah nya sama dengan istri yang telah dicampuri. Imamiyah
dan
Syafi’i
berpendapat,khalwat
tidak
mengakibatkan apapun. Oleh karena itu perempuan yang telah berkhalwat namun belum dicampuri tidak memiliki iddah (Mughniyah, 1991: 191). 4). Iddah wanita hamil Iddah wanita hamil adalah sampai melahirkan bayinya, sekalipun hanya beberapasaat sesudah ditinggal mati oleh suaminya itu, dimana wanita tersebut sudah boleh kawin lagi
31
sesudah melahirkan. berdasarkan firman Allah (QS. at-Talaq (65): 4
Artinya: dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. dan barang siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya. Jumhur ulama berpendapat bahwa perempuan tersebut menjalani masa idah sampai melahirkan anak yang dikandungnya, meski dia juga dalam keadaan iddah cerai mati. Pendapat lain dikemukakan Ibnu Abas dan diriwayatkan oleh Ali bin Abi Thalib yang berpendapat bahwa iddah wanita hamil dalam keadaan cerai mati adalah masa terpanjang antara melahirkan dan empat bulan sepuluh hari. 5). Iddah wanita khulu‟ Dalam sunnah dijelaskan bahwa iddah wanita ter-khulu‟ adalah satu kali haidh. Dalam kisah Tsabit bahwa Nabi bersabda kepadanya “ ambilah sesuatu yang ada bagi wanita atasmu dan lepaskan jalannya.” Ia menjawab: “ya”. Kemudian Rasulullah perintahkan kepadanya untuk ber iddah sekali haidh dan kembali 32
kepada ahlinya (HR. An-nasa’i dengan isnad yang shahih). (Azzam dan Aziz, 2009: 314). Ibnu
umar
berkata: “Ustman
telah
memilihkan dan
memberitahu kepada kita”. Dan dinukil dari Abi Ja’far An-nuhas dalam kitab An-Nasikh wa Al-Mansukh bahwa ini adalah Ijma dari sahabat. Sedangkan iddah wanita khulu‟ masa iddahnya adalah tiga kali haidh jika ia masih haidh.
b.
Adapun diantara hadis Nabi Muhammad Saw. Yang menjadi dasar hukum iddah adalah sebai berikut:
اانُبي طهى هللا عهيّ ٔضهى بريرة أٌ حعخد بثالد حيض Artinya: Nabi saw. Menyuruh baurairah untuk beriddah selama tiga kali haid. Hadist lain yang berkaitan dengan iddah ini dapat dilihat dalam sabda Nabi Muhammad SAW yang suaminya mauquf, yaitu:
ٔ عٍ عًر رضي هللا عُّ في اير اة انًفقٕ د حر بض اربع ضُيٍ ثى حعخد اربعت اشٓر ٔعشرا Artinya: dari umar ra berkat: bagi perempuan yang kehilangan suaminya dan tidak mengetahui dimana suaminya berada, sesungguhnya perempuan itu wajib menunggu empat tahun,
33
kemudian hendaklah ia beridah empat bulan sepuluh hari. (hadist riwayat Malik) Hadist diatas mengisahkan seorang istri yang kehilangan suaminya. Dalam kisah tersebut dinyatakan bahwa suamiya hilang disembunyikan jin selama empat tahun. Setelah siistri mengetahui suamiya hilang, dia pergi menghadap Umar bin Khattab dan Umar menyuruh perempuan itu menunggu selama empat tahun, sesudah berlalu empat tahun, Umar memanggil wali si suami dan memerintahkan untuk menceraikan perempuan itu sebagai wali dari suaminya. Kepada perempuan itu Umar memerintahkan agar ber-iddah empat bulan sepuluh hari.
c.
Dasar hukum dari Ijmak Para fuqoha sepakat bahwa perempuan muslim yang bercerai dengan suaminya baik cerai mati maupun cerai talak wajib menjalankan iddah. Dengan landasan hukum dari Firman Allah dan dari Hadis Nabi Muhammad SAW. Kewajiban iddah ini tidak berlaku bagi laki-laki berdasarkan makna iddah menurut istilah, sehingga dibolehkan bagi laki laki untuk menikah secar langsung dengan perempuan lain setelah
34
perceraian selama tidak ada larangan syara’( Wahyudi, 2009: 81).
4.
Pergantian Iddah Berdasarkan kondisi seorang perempuan yang kadang mengalami haid, tidak mengalami haid, hamil, menyusui, ataupun karena kematian suaminya ketika dalam masa iddah, maka terjadi pergantian iddah yang harus dijalani seorang perempuan. Masalah pergantian iddah ini juga dibahas dalam berbagai kitab fikih yaitu: a. Pergantian iddah berdasarkan haid menjadi iddah berdasarkan hitungan bulan, yaitu laki-laki yang menceraikan istrinya, sementara istri masih mengalami haid, kemudian laki-laki itu meninggal sementara istri dalam masa iddah. Jika perceraian tersebut merupakan talak raj‟i, maka istri harus mengganti dengan iddah wafat yaitu empat bulan sepuluh hari. Akan tetapi jika yang terjadi adalah talak ba‟in, maka perempuan itu cukup menyempurnakan iddah talak berdasarkan haid dan tidak iddahnya tidak berubah menjadi iddah wafat. Jika perempuan yang menjalankan iddah dengan haid hanya mendapati haid sekali atau dua kali, kemudian tidak lagi haid. Maka iddah tersebut berubah dari berdasarkan haid menjadi berdasarkan bulan. 35
b. Pergantian iddah berdasarkan hitungan bulan menjadi iddah berdasarkan haid, jika perempuan yang menjalankan iddah berdasarkan bulan karena belum mengalami haid, kemudian mengalami haid. Jika ini terjadi, perempuan itu wajib berganti kepada iddah berdasarkan haid. Akan tetapi jika iddah berdasarkan bulan telah selesai, kemudian perempuan itu mengalami
haid,
tidak
wajib
baginya
berganti
iddah
berdasarkan haid. c. Iddah berdasarkan haid atau bulan berubah menjadi iddah melahirkan, jika perempuan itu yang pada awalnya menjalankan iddah berdasarkan bulan atau haid, kemudian tampak ada tanda kehamilan, maka iddahnya berubah menjadi sampai melahirkan (Wahyudi, 2009: 101)
5.
Tujuan Iddah Setiap perintah Allah pasti memiliki tujuan, begitu juga dengan iddah. Adapun tujuan diadakannya iddah sebagai berikut: a.
Bagi perceraian antara suami istri yang telah bercampur, Iddah diadakan dengan maksud mengetahui kekosongan rahim, untuk menjaga agar jangan sampai terjadi percampuran/ kekacauan nasab bagi anak yang dilahirkannya.
36
b.
Untuk mewujudkan betapa pentingnya masalah perkawinan dalam kehidupan manusia dan merupakan jalan yang sah untuk memenuhi hasrat naluri hidup serta dalam waktu sama merupakan salah satu macam beribadah kepada Allah itu jangan sampai mudah untuk diputuskan. Oleh karenanya, perkawinan merupakan peristiwa dalam hidup manusia yang harus dilaksanakan dengan cara dewasa, dipikirkan sebelum dilaksanakan dan dipikirkan masak-masak pula apabila terpaksa harus bercerai.
c.
Peristiwa perkawinan yang demikian penting dalam hidup manusia itu harus diuasahakan agar kekal. Dalam hal terpaksa terjadi perceraianpun, kekekalan perkawinan masih diinginkan. Iddah diadakan untuk member kesempatan suami istri untuk kembali lagi hidup berumah tangga, tanpa akad nikah baru.
d.
Dalam perceraian ditinggal mati, iddah diadakan untuk menunjukkan rasa berkabungatas kematian suami bersamasama dengan keluarga suami (Basyir, 1999: 95).
C. Iddah Menurut KHI Dalam KHI iddah disebut waktu tunggu. Konsep-konsep mengenai waktu tunggu yang terdapat pada KHI diambil dari fiqih. Berikut akan diterangkan
37
tentang dasar hukum dan macam-macam serta perhitungan waktu tunggu menurut KHI. 1.
Dasar hukum iddah Bagi seorang istri yang putus perkawinan dari suaminya, berlaku baginya waktu tunggu (masa iddah), kecuali apabila seorang istri dicerai suaminya sebelum berhubungan ( qobla al-dukhul ), baik karena kematian, perceraian, atau atas putusan pengadilan. Dalam Kompilasi Hukum Islam dijelaskan pada pasal 153, 154, 155 ( Rofiq, 2013: 2013). Pasal 153 yang berbunyi: (1) kompilasi Hukum Islam menyatakan : Bagi seorang istri yang putus perkawinannya berlaku waktu tunggu atau iddah. Kecuali qabla al-dukhul dan perkawinannya putus bukan karena kematian suami. (2) Waktu tunggu bagi seorang janda ditentukan sebagai berikut: a. Apabila perkawinan putus karena kematian walaupun qobla al-dhukhul, waktu tungu ditetapkan 130 (seratus tigapuluh hari). b. Apabila perkawinan putus karena perceraian. Waktu tunggu yang masih berdatang bulan ditetapkan 3 (tiga ) kali suci dengan sekurang- kurangnya 90 (Sembilan puluh) hari, dan janda yang tidak haid ditetapkan 90 (Sembilan puluh) hari;
38
c. Apabila perkawinan putus sedang janda tersebut dalam keadaan
hamil,
waktu
tunggu
ditetapkan
sampai
mealahirkan. d. Apabila perkawinan putus karena kematian, sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan. (3) Tidak ada waktu tunggu bagi yang putus perkawinan karena perceraian sedang antara janda tersebut dengan bekas suaminya qobla al-dhukhul. (4) Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang mempunyai kekuatan hukum tetap, sedangkan bagi perkawinan yang putus karena kematian, tenggang waktu ihitung sejak kematian suami; (5) Waktu tunggu bagi istri yang pernah haid sedang pada waktu menjalani iddah tidak haid karena menyusui, maka iddahnya tiga kali waktu suci; (6) Dalam hal keadaan ayat (5) bukan karena menyusui, maka iddah selama satu tahun, akan tetapi dalam waktu satu tahun trsebut ia kembali berhaid lagi , maka iddahnya kembali menjadi tiga kali suci ( KHI, 2007: 282).
39
Dasarnya, firman Allah surat Al-Ahzab ayat 49:
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan- perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya Maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut'ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaikbaiknya.
Pada pasal 154 Kompilasi Hukim Islam menyatakan: “ apabila istri tertalak roj‟i kemudian dalam waktu iddah sebagai dimaksud ayat (2) pasal huru b, ayat (5) dan (6) pasal 153, ditinggal mati oleh suaminya maka iddahnya berubah menjadi empat bulan sepuluh hari, terhitung saat bekas suaminya. Pasal 155 Kompilasi Hukum Islam menyatakan: “iddah bagi janda yang putus perkawinannya karena khulu‟, fasakh dan li‟an berlaku iddah talak (Nurudin, 2004: 254).
2.
Macam-macam Waktu Perhitungan dan Waktu Tunggu a.
Putus perkawinan karena talak maupun kematian
40
Adapun macam- macam masa iddah
dijelaskan pada pasal 153
ayat (2) KHI huruf a, yang berbunyi: “Apabila perkawinan putus karena kematian berlaku waktu tunggu atau iddah, kecuali qobla al dhukhul waktu tunggu ditetapkan seratus tiga puluh hari”. Dan perkawinan putus karena kematian suami. Waktu tunggu ditetapkan 130 hari. Berdasarkan pada firman Allah al-Baqarah ayat 234
“orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari”. Ketentuan ini berlaku bagi istri yang ditinggal mati suaminya dalam keadaan tidak hamil. Apabila istri dalam keadaan hamil, maka waktu tunggunya sampai melahirkan”. Ketentuan ini tertera pada pasal 153 ayat (2) huruf d KHI yang bunyinya: “Apabila perkawinan putus karena kematian, sedangkan janda tersebut dalam keadaan hamil, maka waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan”. Ini berdasarkan pada firman Allah surat at- Thalaq ayat 4.
41
“dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), Maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. dan perempuanperempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. dan barang -siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya”.
b.
Putus perkawinan karena perceraian Seorang
istri
yang
diceraikan
oleh
suaminya,
maka
memungkinkan mempunyai beberapa waktu tunggu, yaitu sebagai berikut. 1) Dalam keadaan hamil Apabila seorang istri diceraikan oleh suaminya dalam keadaan hamil maka iddah nya sampai ia melahirkan kandungannya (Zainudin, 2006: 89) 2) Dalam keadaan tidak hamil a.
Apabila seorang istri diceraikan oleh suaminya sebelum terjadi hubungan kelamin maka tidak berlaku baginya iddah, pasal 153 ayat (1)
42
b.
Apabila seorang istri diceraikan oleh suaminya setelah terjadi hubungan kelamin (dhukhul): i.
Bagi seorang istri yang masih datang bulan (haid), waktu tunggunya berlaku ketentuan 3 (tiga) kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 hari.
ii.
Bagi seorang istri yang tidak datang bulan (tidak haid ) masa iddah nya tiga bulan atau 90 hari.
iii. Bagi seorang istri yang pernah haid. Namun, ketika menjalani masa iddah ia tidak haid karena menyusui, maka iddah nya tiga kali waktu suci. iv. Dalam keadaan yang disebut pada ayat (5) KHI bukan karena menyusui, maka iddah nya selama satu tahun, akan tetapi bila dalam waktu satu tahun dimaksud ia berhaid kembali, maka iddah nya menjadi tiga kali suci. 3) Putus Perkawinan karena Khulu‟, Fasakh, dan Li’an Masa iddah bagi janda yang putus perkawinannya karena Khulu‟ (cerai gugat atas dasar tebusan atau iwad dari istri), fasakh ( putus ikatan perkawinan karena salah satu diantara suami atau istri murtad atau sebab lain yang seharusnya dia tidak dibenarkan kawin), atau li‟an, maka waktu tunggu berlaku iddah talak. 43
4) Istri ditalak Raj’I kemudian Ditinggal Mati Suami Apabila seorang istri tertalak raj‟I kemudian didalam menjalani masa iddah sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (2) huruf b, ayat (5), dan ayat (6) pasal 153 KHI ditinggal mati oleh suaminya, maka iddah nya berubah menjadi empat bulan sepuluh hari atau 130 hari yang mualai perhitungannya pada saat matinya bekas suaminya. Adapun masa iddah yang telah dilalui pada saat suami masih hidup tidak dihitung, tetapi dihitung dari saat kematian. Sebab, keberadaan istri yang dicerai selama menjalani masa iddah, dianggap masih terikat dalam perkawinan karena sang suami masih berhak merujukinya,selama dalam masa iddah (Al-baqarah: 228) (Zainudin, 2006: 90).
D.
HIKMAH IDDAH Ditetapkkannya iddah bagi istri yang putus perkawinannya mengandung hikmah, antara lain sebagai berikut: 1.
Mengetahui kebebasan rahim dari percampuran nasab.
2.
Memberikan kesempatan kepada suami agar dapat intropeksi diri dan kembali kepada istri yang tercerai.
3.
Berkabungnya wanita yang ditinggal mati oleh suaminya untuk memenuhi dan menghormati perasaan keluarga suami. 44
4.
Mengagungkan perkawinan, karena tidak sempurna kecuali dengan terkumpulnya kaum laki-laki dan tidak melepas kecuali dengan penantian yang lama (Azam, 2009: 320).
Penentuan masa iddah
menurut Hukum Islam ditetapkan dengan
memperhatikan keadaan istri pada saat terjadi putusnya perkawinan dimaksud, yakni antara suami dan istri telah berkumpul atau belum berkumpul, putusnya perkawinankarena suami meninggal dunia atau bercerai dalam keadaan hidup, apakah pada saat putus perkawinan istri dalam keadaan hamil atau tidak hamil, serta pada saat putus perkawinan istri belum pernah menstruasi, masih berhaidh, ataukah sudah lepas haidh (Departemen Agama: 1985: 277)
45
BAB III HASIL PENELITAN
A. 1.
Gambara Umum Dusun Gilang Desa Tegaron Kecamatan Banyubiru Kondisi Geografis Dusun Gilang Desa Tegaron Kecamatan Banyubiru merupakan salah satu dusun yang berada di wilayah Kabupaten Semarang. Wilayah tersebut berada pada jarak 6 Km dari Kecamatan Banyubiru, terletak 30 Km dari pusat Kabupaten. Mata pencaharian penduduk setempat adalah berkebun dan bertani. Perekonomian di dusun Gilang ini tidak ada yang mencolok, karena pekerjaan sebagian besar penduduknya adalah petani biasa. Di dusun ini ada satu Sekolah Dasar Negeri dan satu Sekolah Menengah Pertama Swasta, meskipun di dusun ini ada sekolah SD dan SMP namun para penduduk dusun ini kurang berminat sekolah yang tersedia di dusun, mereka memilih untuk sekolah di luar dusun. Dalam Agama penduduk dusun Gilang sangat kental dengan suasana agamisnya, terbukti dari setiap RT yang ada di dusun Gilang ada musola untuk beribadah dan menimba ilmu Agama. Rasa sosial di dusun Gilang seperti halnya masyarakat dusun lainnya, kegotong royongan di Dusun ini masih terjaga dengan baik. Luas wilayah dusun Gilang sekitar 255.200 Ha. Adapun luas tanah yang dimanfaatkan untuk berbagai kebutuhan penduduk seperti jalan 9.3 Km, persawahan 250 Ha. Bangunan umum 85 Ha, pemukiman penduduk 39.70 46
Ha. Iklim dusun Gilang termasuk iklim yang tropis dengan curah hujan ratarata 2500 mm pertahun, dusun Gilang termasuk tergolong dusun yang sejuk dengan suhu udara rata-rata 250-270 C, sedangkan topografi dusun Gilang termasuk kedalam kategori dataran tinggi karena letaknya diperbukitan (wawancara kepada kepala dusun tanggal 8 januari 2015). Adapun batas-batas wilayah dusun Gilang adalah: a.
Sebelah utara berbatasan dengan Dusun Sukadana
Desa
Kebumen. b.
Sebelah selatan berbatasan dengan Dusun Tigorejo Desa Tegaron.
2.
c.
Sebelah timur berbatasan dengan Desa Tegaron wetan.
d.
Sebelah barat berbatasan dengan Dusun Krajan I Desa tegaron.
Kondisi penduduk Pemerintahan dusun Gilang dipimpin oleh kepala Dusun yang dibantu oleh para ketua RT. Jumlah RT yang ada di dusun Gilang adalah 8 RT dengan jumlah penduduk 320 kepala keluarga, 1111 jiwa yang terdiri dari 541 perempuan dan 570 laki-laki. Untuk lebih jelas dan lebih rinci diklarifikasi jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin dan berdasarkan umur dengan tabel berikut: Tabel 3.1
47
Penduduk kelamin
Dusun Gilang Kecamatan Banyubiru berdasarkan jenis
No
Jenis kelamin
Jumlah
1
Laki-laki
570
2
Perempuan
541
Jumlah
1111
Tabel 3. 2. Jumlah penduduk berdasarkan umur No
Umur (tahun)
Jumlah
1
00-01
43
2
01-05
66
3
05-07
167
4
07-18
205
5
18-56
396
6
Usia 56 keatas
234
Jumlah
1111
Sumber: Data monografi kependudukan Dusun Gilang Desa Tegaron Kecamatan Banyubiru, November 2014.
3. Kondisi ekonomi Letak Dusun Gilang yang berada di perbukitan tanahnya cocok sebagi lahan pertanian dan perkebunan, maka sebagian besar penduduk dusun Gilang adalah petani dan sebagai hasil sampingan mereka memelihara sapi, kambing, dan ayam kampung sebagai hasil tambahan mereka. Mereka
48
menggantungkan kehidupannya pada hasil bumi dan hasil ternak seperti padi, jagung, ketela dan sayur-sayuran. Selain bekerja sebagai petani sebagian ada yang bekerja sebagai karyawan pabrik, buruh dan wiraswata. Adapun jumlah penduduk menurut mata pencaharian dapat dilihat pada table dibawah ini. Tabel 3. 3 Jumlah penduduk berdasarkan mata pencaharian No
Jenis Pekerjaan
Jumlah
1
PNS
8
2
TNI
2
3
Polri
-
4
Pegawai swasta
198
5
Pensiunan
11
6
Pengusaha
2
7
Buruh tani dan industry
200
8
Petani
370
9
Nelayan
2
10
Pedagang
93
11
Peternak
1
13
Pengrajin
1
14
Lain-lain 888
Jumlah
Sumber: Data monografi kependudukan Dusun Gilang Desa Tegaron Kecamatan banyubiru, November 2014.
49
Dari tabel di atas penduduk Dusun Gilang yang belum atau tidak bekerja sejumlah 223 yang terdiri dari balita, anak-anak dan sisanya usia lansia.
4.
Kondisi Sosial Keagamaan Dusun Gilang Desa Tegaron Kecamatan Banyubiru Masyarakat Dusun Gilang Desa Tegaron Kecamatan Banyubiru seluruhnya beragama Islam. Hal ini terbukti dari jumlah penganut Agama Islam yang terdapat pada tabel data pemeluk Agama di Dusun Gilang adalah sebagai berikut Tabel 3. 4 Jumlah penduduk berdasarkan pemeluk agama. No
Agama
Laki-laki
Perempuan
Jumlah
1
Islam
570
541
1111
2
Kristen
-
-
-
3
Katolik
-
-
-
4
Hindu
-
-
-
5
Budha
-
-
-
6
Konghucu
-
-
-
Jumlah keseluruhan
1111
Sumber: Data monografi kependudukan Dusun Gilang Desa Tegaron Kecamatan Banyubiru, November 2014.
50
Dari tabel diatas terlihat bahwa seluruh masyarakat Dusun Gilang adalah Islam, dan Agama satu-satunya yang dianut oleh masyarakat. Kehidupan beragama masyarakat Dusun Gilang sangat baik, masyarakat memperhatikan dan menjalankan perintah Agama dengan sebaik-baiknya dalam segala aspek kehidupan. Dalam kehidupan sehari-hari mereka sangat menekankan pada etika Agama, seperti dalam bergaul dan dalam berpakaian. Pengaruh tokoh agama / kiai sangat kuat sekali dalam mengatur Dusun Gilang, bahkan melebihi pengaruh kepala Dusun, jika ada masalah maka penyelesaiannya lewat kiai, bagi masyarakat Dusun gilang keputusan seorang kiai lebih berbobot daripada seorang kepala Dusun. Dalam berbagai kegiatan baik bersifat Agama maupun sosial, masyarakat lebih suka mempercayakan kepada kiai. Bagi mereka kiai adalah pembimbing dalam segala hal, sedang kepala dusun hanya sebagai simbol pelengkap pemerintahan saja. Kegiatan-kegiatan keagamaan di Dusun Gilang sangat maju, hal ini dapat dijumpai dengan banyaknya kegiatan yang bernuansa Islam pada malam hari, mulai dari pemuda karang taruna, bapak-bapak, ibu-ibu semuanya mempunyai kegiatan. Adapun kegiatan di Dusun Gilang dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
51
Tabel 3.5 Jenis kegiatan yang ada di Dusun Gilang No
Jenis kegiatan
Hari kegiatan
1
Yasinan setiap RT Ibu-ibu
Kamis malam
2
Manakiban karang taruna
Kamis malam
3
Tadarus al-Quran Ibu-ibu
Jum’at malam
4
Dibak an Ibu-ibu
Sabtu malam
5
Tafsir al-Quran umum
Minggu malam
6
Istighosah
Senin malam
7
Pengajian rutin selapan
Kamis malam
Sumber: wawancara kepada tokoh masyarakat. Selain kegiatan bapak-bapak dan ibu-ibu di dusun gilang juga ada Tempat Pendidikan al-Quran sebagi sarana menimba ilmu Agama bagi anakanak, kegiatan TPA ini dilaksanakan setiap sore hari yang berpusat di masjid besar Dusun Gilang. Kegiatan TPA ini diasuh oleh lima ustadz dan ustadhah dengan jumlah santri sekitar 50 anak, adapun kegiatan TPA adalah sebagai berikut: Tabel 3. 6 Kegiatan TPA di Dusun Gilang No
Jenis kegiatan
Hari kegiatan
1.
Ngaji iqro’ dan al-Quran
Senin, selasa, rabu,
2
Tajwid
Kamis
52
3
Pasolatan
Sabtu
4
Tarikh
Minggu
Sumber: wawancara kepada pengasuh TPA
5.
Kondisi Pendidikan Kondisi pendidikan
masyarakat Dusun Gilang ditunjukkan masih
rendahnya kualitas SDM masyarakat serta cenderung masih kuatnya budaya tradisional. Meski demikian pola budaya seperti ini dapat dikembangkan sebagai kekuatan dalam pembangunan yang bersifat umum. Disamping itu masyarakat dusun Gilang yang cenderung agamis dan terbuka dapat dimanfaatkan sebagai pendorong budaya transparansi dalam setiap penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Munculnya masalah kemiskinan, ketenagakerjaan dan perburuhan menyangkut pendapatan, status, pemanfaatan lahan pada fasilitas umum menunjukkan masih rendahnya pendidikan dan tingkat kesadaran hukum yang masih kurang. Hal tersebut sebagai akibat dari tidak meratanya tingkat pendidikan yang diperoleh masyarakat. Adapun jumlah pendudukan berdasarkan tingkat pendidikan dapat dilihat pada tabel dibawah ini:
53
Tabel 3.7 Jumlah penduduk berdasarkan tingkat pendidikan No
Pendidikan
Jumlah
1
SD
103
2
SMP
156
3
SMA/SMK
89
4
D1
-
5
D2
-
6
D3
3
7
S1
15
8
S1 keatas
3
9
Tidak sekolah
-
10
TK
47
11
Paud
25
Jumlah
441
Sumber: Data monografi kependudukan Dusun Gilang Desa Tegaron Kecamatan Banyubiru, November 2014.
Dari tabel tingkat pendidikan Penduduk di Dusun Gilang yang paling banyak adalah penduduk berpendidikan tamat SMP/Sederajad. Sarana pendidikan formal di Dusun Gilang cukup memadai. Dalam rangka meningkatkan kualitas peserta didik, Pemerintah Desa beserta warga masyarakat sedang melakukan peningkatan sarana pendidikan. Sarana pendidikan seperti terlihat dalam tabel 8 berikut:
54
Tabel 3. 8 Sarana pendidikan di Dusun Gilang No
Sarana Pendidikan
Jumlah (Buah)
1
Taman Kanak-Kanak
1
2
SD
1
3
SMP
1
4
Pondok Pesantren
1
Jumlah
4
Sumber: Data monografi kependudukan Dusun Gilang Desa Tegaron Kecamatan Banyubiru, November 2014.
6.
Sarana Prasarana Umum Selain sarana prasarana pendidikan di Dusun Gilang juga terdapat sarana prasarana umum lainnya sebagai penunjang kegiatan masyarakat, seperti dalam tabel dibawah ini: Tabel 3. 9 Sara prasarana umum yang ada di Dusun Gilang No
Jenis sarana
Jumlah
1
Pasar
1
2
Puskesmas
1
3
Posyandu
1
Jumlah
3
55
Sumber: Data monografi kependudukan Dusun Gilang Desa Tegaron Kecamatan Banyubiru, November 2014
B.
Profil Pelaku Cerai Gugat dan Pelanggar Iddah di Dusun Gilang Desa Tegaron Kecamatan Banyubiru. Dari observasi yang dilakukan oleh penulis di Dusun Gilang ada banyak perempuan yang mengajukan cerai gugat, akan tetapi penulis hanya mengambil 9 perempuan dalam kurun waktu lima tahun dari tahun 20102014. Dari 9 perempuan yang mengajukan cerai gugat tersebut, ada yang melaskasnan masa iddah sesuai dengan prosedur yang ditetapkan oleh Hukum Islam dan Kompilasi Hukum Islam dan ada yang tidak melaksanakan masa iddah. Berikut data dari tahun 2010-2014 perempuan yang mengajukan cerai gugat di Dusun Gilang. Tabel 3. 10 Data perempua yang mengajukan cerai gugat tahun 2010-2014 di Dusun Gilang No
Tahun bercerai
Banyaknya
1
2010
2
2
2011
3
3
2012
2
4
2013
1
5
2014
1
Jumlah 9 Sumber: Wawancara kepada ketua RT di Dusun Gilang
56
Dari data diatas dapat diambil kesimpulan, bahwa dalam kurun waktu lima tahun setiap tahunnya di Dusun Gilang ada perempuan yang mengajukan cerai gugat, hal ini menunjukkan bahwa cerai gugat di Dusun Gilang bukan hal yang aneh, meskipun mereka melakukannya dengan sangat berat. Dalam menyusun skripsi ini penulis menggunakan sembilan orang yang penulis anggap sudah mewakili perempuan yang lain. Jika dilihat dari gambaran umum Dusun Gilang dapat dilihat bahwa sebenarnya masyarakat Dusun Gilang hidup berkecukupan meskipun mereka hanya bekerja sebagai petani, buruh tani dan buruh pabrik. Namun ada beberapa faktor yang menyebabkan perempuan di dusun Gilang mengajukan cerai gugat. Penulis memperoleh data dari hasil wawancara langsung kepada subyek dan dari informan yaitu pelaku sendiri dan tetangga dekat mereka. Penulis sengaja tidak menggunakan nama asli dari mereka, karena untuk melindungi privasi mereka, adapun pelaku dapat dilihat ditabel sebagai berikut.
57
Tabel 3. 11 Pelaku cerai gugat dan pelanggaran iddah No
Nama
Umur
Tahun bercerai
1
Dina
45
2010
2
Rukini
55
2010
3
Wati
41
2011
4
Ika
28
2011
5
Desi
36
2011
6
Umi
27
2012
7
Nita
35
2012
8
Sari
48
2013
9
Fina
18
2014
1. Dina binti Muhyidi. Dina umur 45 tahun, pekerjaan sebagai ibu rumah tangga, alamat Rt 04 Dusun Gilang, Desa Tegaron, Kecamatan Babyubiru. Agama Islam, pendidikan terakhir SD. Menikah dengan Susanto, pekerjaan karwayan swasta. setelah menikah Dina dan Susanto tinggal serumah selama kurang lebih sembilan tahun, rumah yang di diami adalah rumah milik bersama. Selama Sembilan tahun perkawinannya di karunia seorang anak yang bernama Septiyanti.
58
Pada awalnya rumah tangga Dina berjalan dengan baik dan bahagia, akan tetapi pada tahun yang ke sepuluh perkawinannya rumah tangga mereka mulai retak karena Susanto di PHK dari tempat bekerjanya. Dina dan Susanto sering bertengkar karena masalah ekonomi. Setelah di PHK dari tempat kerjanya Susanto tidak sungguh-sungguh dalam mencari pekerjaan yang baru bahkan Susanto sering pergi tanpa tujuan untuk beberapa hari lamanya dan apabila mendapat uang
Suanto hanya untuk kepentingan
pribadinya seperti untuk membeli rokok dan untuk membeli kopi, bukan untuk kepentingan keluarganya, Susanto sering marah-marah tanpa sebab yang jelas bahkan menganiaya Dina. Sebagai seorang istri Dina sudah mengigatkan agar mengubah kebiasaan suaminya itu, akan tetapi usaha Dina tidak berhasil mengubah kebiasaan Susanto, justru timbul perselisihan dan pertengkaran. Akibat pertengkaran yang terus menerus membuat Dina tidak kuat untuk mempertahankan keutuhan rumah tangga mereka sampai akhirnya Dina memutuskan untuk mengajukan cerai gugat di Pengadilan Agama. Sebenarnya Susanto tidak mau bercerai dengan Dina karena Susanto kasihan dengan anak semata wayangnya (Septiyanti), akan tetapi Dina tetap ingin bercerai dengan Susanto. Dina memberikan uang tebusan kepada Susanto sebesar empat ratus ribu rupiah. Dari pengakuan Dina, Dina memberiakan uang empat ratus ribu rupiah sebagai kenang-kenangan. Dahulu Susanto
59
memberikan mahar kepada Dina sebesar seratus tujuh puluh lima ribu rupiah dan seperangkat alat solat. Setelah bercerai dengan Susanto, tak berapa lama Dina kawin lagi dengan laki-laki yang bernama Rohmat (nama samaran) bekerja sebagai penebas kayu. Perkawinan yang kedua ini tidak di catatkan di Kantor Urusan Agama, karena masa iddah Dina belum selesai. Dari pengakuan Dina jarak antara perceraian dengan perkawinan yang kedua hanya selapan (35 hari). Alasan Dina segera menikah lagi sebelum masa iddahnya selesai, karena sudah terlanjur menerima lamaran dari Rohmat, dan Rohmat pun ingin segera hidup bersama dengan Dina. Alasan Dina yang ke dua masalah ekonomi, Dina tidak mau bekerja sendiri untuk menghidupi dirinya dan anaknya. Dina mengaku tidak mengerti iddah dan perhitungan iddah, suami yang ke duapun juga tidak mengetahui perhitungan iddah. Pernikahan yang kedua ini dinikahkan oleh Kiyai setempat atau pernikahan siri (wawancara kepada Dina tanggal, 2 November 2014). 2. Wawancara kepada Rukini pada tanggal 13 november 2014. Saat ini usia Rukini menginjak usia 55 tahun, beliau tinggal di Dusun Gilang RT 03 / RW 01, Agama Islam, pekerjaan sebagi Ibu rumah tangga. Latar belakang pendidikan Rukini tidaklah tinggi, mereka hanya lulus sekolah dasar saja. Hal ini dikarenakan orang tua mereka tidak mempunyai biaya untuk pendidikan, mereka juga beranggapan bahwa pendidikan bukanlah suatu hal yang perlu diprerioritaskan terutama bagi seorang anak 60
perempuan, dalam hal pendidikan Agamapun mereka sangat minim. Hal tersebut dikarenakan lingkungan dan keluarga yang kurang memperhatikan pendidikan Agama. Rukini menikah dengan Kabul pada tahun 1982, dengan maskawin seperangkat alat solat dan uang sebesar tujuh puluh lima ribu rupiah. Setelah menikah ke duanya hidup bersama di rumah orang tua Kabul selama tiga tahun, setelah tiga tahun tinggal bersama orang tua Kabul beliau pindah di rumahnya sendiri yang tidak jauh dari rumah orang tua Kabul. Beliau dikaruniai tiga orang anak, dua orang perempuan (Rani dan Dewi) dan satu orang anak laki-laki (Miftah). Pada mulanya kehidupan ruamah tangga
Rukini sangat harmonis,
namun pada pernikahan yang ke 22 tahun, rumah tangga beliau sudah tidak harmonis pertengkaran sering terjadi, saat Rukini bekerja sebagai penyalur Tenaga Kerja Wanita. Rukini sering pergi dengan laki-laki lain, bahkan Rukini
tidak
pulang,
dengan
alasan
mengantarkan
calon
TKW.
perselingkuhan itu terungkap oleh Kabul ketika Rukini pergi dengan laki-laki lain yang katanya bosnya Rukini. Pertengkaran yang terjadi setiap hari membuat Rukini menjadi tidak betah di rumah, Rukini pergi kerumah orang tuanya untuk menhindari pertengkaran yang setiap hari terjadi, akan tetapi Rukini malah diancam oleh suaminya akan dibunuh jika ia akan pergi kerumah orang tuanya.
61
Rukini memutuskan untuk mengahiri rumah tangganya dengan Kabul. Rukini mengajukan cerai gugat di Pengadilan Agama. Rukini memberikan uang kepada Kabul sebesar satujuta lima puluh ribu rupiah. Karena Kabul meminta mahar yang dulu diberikan kepada Rukini untuk dikembalikan. Perceraian berlangsung selama empat bulan dengan tiga kali sidang, setelah persidangan selesai dan dikabulkan gugatannya Rukini langsung serumah dengan laki-laki yang kata tetangga Rukini itu bosnya. Pernikahan Rukini dengan bosnya (Mahmud) itu tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA) dengan alasan iddah yang belum selesai. Dari wawancara yang dilakukan oleh peneliti kepada Rukini bahwa beliau tidak faham apa itu iddah menurut ajaran Agama dan menurut undang-undang. Rukini berkata: “aku ki agomone Islam, nanging aku urung tau reti sing jenenge iddah, mung krungu seko pak hakim wektu aku pegatan kae, karo reti seko wong liyo. Aku seko cilik ora tau ngaji, wong tuo ku ora tau kek i reti babagan iddah”. “ walaupun kami beraga islam tapi saya tidak tahu tentang iddah yang diajarkan islam, karena dari kecil saya tidak pernah mengaji dan tidak pernah diberi tahu tentang iddah oleh orang tua saya”. Dari pengakuan suami yang kedua Rukini tentang iddah “ aku ora reti iddah, sing penting aku nikah karo rukini, rukini gelem tur rukini wes resik ora dadi bojone Kabul, pas tak nikahi Rukini yo ora meteng karo Kabul”. “saya tidak tahu batasan Iddah , yang penting saya kawin dengan Rukini, Rukini mau, sudah bersih dari suami yang bernama Kabul, waktu melangsungkan pernikahan tidak hamil dengan Kabul”.
62
Alasan Rukini cepat-cepat menikah dengan Mahmud karena sakit hati. Karena Kabul setelah cerai dengan Rukini langsung menikah dengan wanita lain, Rukini tidak menunggu masa iddah nya selesai. Dari pengakuan beliau jarak antara selesai sidang perceraian dengan perkawinan yang kedua secara siri hanya satu bulan. Pernikahan beliau yang kedua dilakukan dengan siri yang dinikahkan oleh kiyai setempat.
3. Wati binti Yasmad Wati Agama Islam, umur 41 tahun, tempat tinggal di Dusun Gilang RT 08 / RW 01 Desa Tegaron Kecamatan Banyubiru, pekerjaan sebagai ibu rumah tangga. Menikah dengan Bayu pada tahun 1991 dengan maskawin seperangkat alat solat beserta uang dua ratus lima puluh ribu rupiah. Setelah menikah mereka tinggal serumah dan dikarunia seorang anak perempuan sekarang berumur 21 tahun bekerja sebagai karyawan pabrik textile. Latar belakang pasangan suami istri ini tidaklah tinggi, mereka hanya lulusan Sekolah Dasar saja. Beliau beranggapan bahwa pendidikan bukanlah suatu hal yang harus diutamakan, terutama bagi seorang wanita. Dan dalam hal pendidikan Agamapun Wati tergolong orang yang biasa-biasa saja. Setelah Wati menikah dengan Bayu mereka tinggal di rumah orang tua Bayu. Namun setelah mereka berumah tangga selama satu tahun mereka menepati rumah sendiri. Pada awal perkawinan kehidupan mereka sangat harmonis, rumah tangga mereka bertahan sampai 20 tahun. Memasuki usia 63
perkawinan yang ke 21 tahun sering diwarnai pertengkaran. Masalah ekonomi yang membuat mereka bertengkar, pekerjaan Bayu sebagai petani tidak cukup untuk mencukupi kebutuhan sehari-harinya, akan tetapi Bayu selalu menuntut Wati untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari dengan makanan yang serba enak-enak. Terkadang hanya masalah kecil sering diperdebatkan menjadi masalah besar, setiap ada masalah dalam keluarganya orang tua Bayu selalu ikut campur dan Wati yang selalu disalahkan oleh orang tua Bayu. Hal tersebut membuat hubungan merka tidak harmonis lagi, pada akhir tahun 2010 Wati memutuskan untuk kembali ke rumah orang tuanya, karena Wati sudah kesal bertengkar setiap hari dengan suaminya karena masalah ekonomi. Setiap mereka bertengkar Bayu selalu kasar dengan Wati, hal yang lebih parah lagi ternyata Bayu sudah mempunyai perempuan lain / selingkuh dengan permpuan lain. Hal ini membuat hati Wati tambah kesal dan sakit hati, rumah tangga Wati sudah tidak bisa dilanjutkan lagi, pada akhirnya wati memutuskan untuk mengajukan cerai gugat di Pengadilan Agama. Wati memberikan uang kepada Bayu sebesar satu juta rupiah dan sepeda motor yang dibeli Wati. Setelah Wati cerai dengan suaminya (Bayu), ada seorang duda yang ingin menjadikan Wati sebagai istri, tanpa bepikir panjang Wati mau untuk dijadikan istri, akan tetapi pernikahan Wati yang kedua ini secara siri tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama. Waktu antara bercerai dengan 64
pernikahan Wati yang kedua tidaklah lama hanya dalam waktu satu bulan setengah Wati sudah menikah lagi dengan Eko. Alasan Wati menerima pinangan dari Eko sebelum masa iddah selesai, Wati tidak mau bekerja sendiri sebagai tulang punggung keluarganya. Menurut keterangan dari Wati, Wati tidak mengetahui apa itu iddah. Wati berkata tidak ada yang memberi tahu tentang masalah perhitungan iddah kepadanya, hanya saja pada waktu Wati akan mencatatkan perkawinannya di KUA, KUA menolaknya karena masalah iddah yang belum selesai, sampai sekarang pernikahan Wati dengan Eko belum dicatatkan di KUA, mereka masih menikah siri (wawancara kepada Wati, tanggal 16 November 2014).
4. Ika binti Sugino Ika umur 28 tahun, Agama Islam, pekerjaan karyawan pabrik tekstil, tempat tinggal di dusun Gilang RT 03/ RW 01 Kecamatan Banyubiru, Kabupaten Semarang. Pendidikan terakhir Madrasah Aliyah. Menikah dengan Ali pada tahun 2005 dengan mahar satu juta tujuh ratus lima puluh ribu rupiah serta seperangkat alat sholat. Setelah Ika menikah dengan Ali, Ika mengikuti Ali ke Jakarta mereka tinggal di kontrakan kecil, pada tahun 2006 mereka dikaruniai seorang anak laki-laki bernama Akbar, kehidupan rumah tangga mereka berjalan sangat harmonis, akan tetapi paada pertengahan tahun 2011 rumah tangga mereka 65
mulai retak karena pertengkaran, pertengkaran mereka dipicu karena kecurigaan Ika terhadap suaminya yang sering pulang kerja larut malam dengan alasan lembur, bahkan Ali pernah tidak pulang dengan alasan yang sama. Kecurigaan Ika terungkap ketika Ika membaca SMS dari seorang teman perempuan Ali bahwa temanya minta untuk dijemput di tempat kerjanya. Ika sakit hati, pertengkaran semakin menjadi, rumah tangga mereka tidak bisa dipertahankan karena Ika minta untuk diceraikan. Ika memberikan uang kepada Ali sejumlah tiga juta rupiah. Setelah Ika bercerai dari Ali, Ika dan anaknya tinggal serumah dengan orang tua Ika. Setahun kemudian Ika menikah lagi dengan Yeni. Ika melaksanakan iddah selama tiga bulan sesuai dengan keputusan pengadilan. Ika mengaku faham dengan masalah perhitungan iddah karena waktu ika masih remaja Ika pernah mengaji di pesantren, latar belakang orang tua Ika juga kental dengan Agamanya (wawancara kepada Ika tanggal 21 November 2014).
5. Desi binti Salim Desi umur 36 tahun, Agama Islam, pekerjaan wiraswasta, tempat tinggal dusun Gilang RT 02/RW 01, desa Tegaron. Pendidikan terahir SMA. Menikah dengan Arif pada tahun 2005, dengan mahar tujuh ratus lima puluh ribu rupiah. 66
Setelah menikah pasangan ini masih tinggal di rumah orang tua Arif. Namun setelah mempunyai seorang anak mereka baru menempati rumah sendiri. Pada awal perkawinan, kehidupan rumah tangga Desi dan Arif dalam keadaan rukun dan tentram. Akan tetapi setelah usia perkawinan menginjak ke 4 tahun, kehidupan rumah tangga mereka sering diwarnai pertengkaran. Terkadang hanya masalah kecil yang sering diperdebatkan hingga berakhir dengan pertengkaran. Hal tersebut membuat hubungan mereka menjadi renggang, pada pertengahan 2011 Desi memutuskan untuk pergi dari rumah dan kembali ke rumah orang tuanya. Menurut hasil wawancara yang dilakukan dengan Desi, latar belakang terjadinya pertengkaran mereka adalah permasalahan ekonomi. Desi merasa kesal dengan perilaku Arif yang jarang memberikan uang belanja, dan kalaupun Arif memberikan uang Belanja kepada Desi itupun tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Setiap bertengkar Arif selalu bersikap kasar kepada Desi, hal ini dikuatkan dengan keterangan dari kakak Desi yang tinggalnya tidak jauh dari rumah Desi, bahwa mereka sering bertengkar dengan istrinya dan suara teriakan sering terdengar dari rumah tetangga-tetangga dekatnya. Desi memilih untuk meninggalkan Arif dengan alasan sudah tidak kuat lagi hidup berumah tangga dengan Arif. Desi mengajukan cerai gugat di Pengadilan Agama. Setelah beberapa kali sidang pengadilan Agama memutuskan bahwa perkawinan mereka telah putus menurut syari’at Islam 67
dan menurut undang-undang perkawinan. Desi tidak memberikan tebusan kepada Arif, karena Arif tidak meminta apapun dari Desi. Perpisahan Desi dan Arif sudah berjalan selama satu tahun, kemudian Desi baru menikah dengan laki-laki lain, menurut keterangan Desi, Desi menikah setelah masa iddah
Desi sudah selesai. Desi mengaku paham
dengan perhitungan iddah yang di syariatkan oleh Agama (wawancara kepada Desi tanggal 30, November 2014). 6. Umi binti Hadiyono Umi umur 27 tahun, berasal dari Dusun Gilang, Desa Tegaron RT 06 RW 01. Bersal dari keluarga yang taat beragama yang kuat beribadah. Pendidikan terahir SMP. Pernah belajar dipesantren, pekerjaan sebagai karyawan pabrik. Menikah dengan Bagas dengan maskawin seperangkat alat solat dan perhiasan emas, berasal dari keluarga petani, dari segi ekonomi mereka merupakan keluarga yang sederhana. Dalam hal agama suami Umi tergolongan orang yang biasa-biasa saja. Pasangan ini menikah pada tahun 2005, pada awal pernikahan mereka harmonis namun pada usia perkawinannya yang ke 6 tahun hubungan mereka sering diwarnai pertengkaran karena perbedaan pendapat. Umi merasa kesal dengan Bagas yang sering berkata kasar dan sering menghina keluarga Umi, karena keluarga Umi keluarga yang sangat sederhana. Puncak pertengkaran terjadi pada tahun 2012 yakni ketika kesabaran Umi sudah mulai hilang karena hinaan dari keluarga Bagas. Umi akhirnya 68
minta cerai dari Bagas. Bagas tidak mengiyakan permintaan Umi, karena menurut Bagas masalah di rumah tangganya adalah masalah yang sepele, akan tetapi Umi tetap meminta untuk berpisah dengan Bagas. Pada akhirnya Bagas mengiyakan permintaan istrinya dengan syarat Umi memberikan sepeda motor yang dibeli Umi diserahkan kepada Bagas. Setelah
tujuh
bulan
mereka
bercerai,
Umi
melangsungkan
pernikahannya dengan Joko. Ketika wawancara dilakukan, Umi mengatakan telah melaksanakan iddahnya selama 90 hari sesuai dengan apa yang ia ketahui (wawancara kepada Umi, tanggal 7 Desember 2014).
7. Nita binti Slamet Nita umur 35 tahun, agama Islam, pekerjaan ibu rumah tangga, tempat tinggal dusun Gilang RT 03 RW01. Pendidikan terakhir SD. Menikah dengan Ahmad pada tahun 2006 dengan mahar seperangkat alat solat. Nita adalah perempuan yang usianya sekitar 35 tahun, semasa kecil hidupnya dihabiskan untuk membantu ibunya berjualan di pasar dan membantu ayahnya di sawah. Keluarga Nita adalah keluarga yang ekonominya sangat sederhana, ia hanya mengenyam pendidikan SD sehingga pengetahuannya hanya sebatas saja begitu pula dengan pengetahuan agamanya. Orang tua Nita tidak memperhatikan pendidikan anak-anaknyan karena terlalu sibuk mencari nafah untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.
69
Begitu juga latar belakang pendidikan suami Nita yang hanya pendidikan SD. Nita dan Ahmad menikah karena di jodohkan oleh orang tua mereka. Setelah menikah, Nita dan Ahmad masih tinggal dirumah orang tua Nita di Dusun Gilang. Pada saat usia pernikahan mereka satu tahun mereka memutuskan untuk tinggal sendiri di rumah yang dibuatkan orang tua Ahmad. Mereka dikaruniai satu orang anak laki-laki sekarang usianya 7 tahun. Setelah perkawinan mereka berusia lima tahun, rumah tangga mereka sering diwarnai pertengkaran karena penghasilan mereka yang tidak menentu. Maklum saja, Ahmad yang bekerja sebagai petani biasa yang mengandalkan hasil panen padi setiap setengah tahun sekali, kadang hasil panen mereka tidak tetap, kadang banyak dan kadang gagal panen karena diserang hama tikus. Dari hasil panen padi itu dijual untuk membayar hutang-hutang untuk kebutuhan sehari-hari. Hal inilah yang sering memicu pertengkaran. Setiap pertengkaran, Nita selalu ingin pergi dari rumah untuk bekerja di luar kota, karena menurut Nita suaminya tidak dapat menafkahi keluarganya. Dengan keadaan yang terus menerus bertengkar, Nita tidak tahan di rumah, akhirnya Nita memutuskan untuk bercerai dari Ahmad. Nita tidak memberikan tebusan apapun untuk Ahmad, karena menurut Nita tidak ada yang akan diberikan kepada Ahmad, Ahmadpun tidak menuntut apa-apa dari Nita. 70
Belum genap tiga bulan dari perceraiannya, Nita sudah menikah dengan Yanto. Alasan Nita segera menikah dengan Yanto, karena sudah sama-sama suka dari dulu sebelum Nita menikah dengan Ahmad. Pernikahan Nita yang kedua ini tidak dilaporkan ke kantor urusan Agama. Karena jika pernikahan mereka ingin di catatkan di KUA Nita harus menjalankan masa iddah terlebih dahulu, menurut pengakuan Nita saat wawancara kepadanya: “ iddah niku nopo to mbak? Sing pripun, kulo mboten nate retos iddah? Nek kulo mpun pegatan kaleh Ahmad, nggeh mpun kulo mboten gadah urusan nopo-nopo kaleh Ahmad, naming anak niku sing dadi urusane kulo kaleh Ahmad. Nek kulo ajeng rabi maleh, niku mpun urusane kulo.nek kulo ken iddah kesuen mbak, malah kulo mangkeh dosa, nek mung ubyang-ubyung kaleh yanto,nek sirri lak wes sah to mbak.” “iddah itu apa mbak? Yang bagaimana, saya belum pernah tahu tentang iddah? Kalo saya sudah bercerai dengan Ahmad, ya sudah saya tidak mempunyai urusan apa-apa dengan Ahmad, yang jadi urusan saya dengan Ahmad hanya anak. Jika saya mau menikah lagi, itu sudah urusan saya. Kalo saya suruh menunggu iddah kelamaan mbak, nanti saya dosa karena sudah kesana-kemari dengan yanto, kalo nikah sirri dahulu sudah sah menjadi suami istri.
8. Sari binti Ngatimin Sari umur 48 tahun, Agama Islam, tempat tinggal dusun Gilang RT 07 RW 01, pendidikan terakhir SMP. Pekerjaan petani, menikah dengan Fani pada tahun 1987 dengan mahar seperangkat alat solat. Setelah menikah keduanya hidup bersama di rumah milik Fani, setelah menikah mereka hidup rukun dan tentram. Fani dan Sari dikaruniai 2 orang
71
anak laki-laki bernama Zaki (23) dan Fajar (18). Fani bekerja sebagai tukang bangunan yang sering merantau ke Jakarta, pulang kerumah setiap 3 bulan sekali. Sejak tahun 2012 rumah tangga mereka mulai renggang karena Fani jarang pulang dan tidak memberi kabar, yang dahulu pulang setiap 3 bulan sekali kini selama setahun Fani tidak pulang dan juga tidak memberi nafkah kepada anak dan istrinya. Sari sudah berusaha mencari ke Jakarta tempat Fani bekerja akan tetapi menurut teman Fani, Fani sudah pindah proyek ke Kalimantan sejak 6 bulan yang lalu. Sari bersama anak laki-laki yang pertama mencarinya ke Kalimantan. Ternyata diKalimantan Fani sudah mempunyai istri lagi. Sari sakit hati, Sari memutuskan untuk bercerai dengan Fani. Sari tidak memberikan tebusan apapun untuk Fani karena Fani tidak meminta tebusan apapun dari Sari. Dari wawancara kepada Sari, Sari mengetahui tentang iddah. Sari menjalankan iddah selama tiga bulan. Pengakuan Sari tentang iddah: “ aku nglakoni iddah suwene telung sasi mbak, oraketung sitik aku mbiyen wes tau ngaji bab iddah, aku yo dikandani pak hakim nek bar pegatan ki kon iddah disik, nek wes rampunng iddahe, nembe oleh rabi meneh, nanging aku tekan sprene ora arep rabi mbak, wes tuo anak e wes gede”. “ saya menjalankan iddah lamanya tiga bulan mbak, saya tahu sedikit tentang iddah, saya juga diberi tahu tentang iddah oleh pak hakim kalo sehabis bercerai dengan suaminya harus menjalani iddah terlebih dahulu, jika sudah selesai iddahnya, boleh menikah lagi dengan laki-laki lain. Tapi saya tidak akan menikah lagi, karena anak-anak saya sudah besar dan saya sudah tua”(wawancara kepada Sari, pada tanggal 21 Desember 2014) .
72
9. Fina binti Yono Fina binti Yono umur 18 tahun, Agama Islam, pekerjaan karyawan pabrik, tempat tinggal di dusun Gilang, desa Tegaron
RT 05 RW01.
Pendidikan terakhir SMP. Menikah dengan Arifin umur 28 tahun, Agama Islam, pekerjaan sebagai karyawan swasta. Menikah pada bulan Mei 2012 dengan maskawin seperangkat alat solat dan uang tunai sebesar duajuta limaratus ribu rupiah. Setelah menikah mereka hidup bersama di rumah orang tua Fina selama kurang lebih dua tahun lamanya, pada awalnya kehidupan rumah tangga mereka kelihatan harmonis, Arifin bekerja sebagai karyawan swasta dan Fina pada waktu itu belum bekerja karena umur Fina masih 16 tahun. Fina tinggal bersama kedua orang kakaknya yang belum menikah, orang tua Fina hanya sebagai buruh di rumah tetangganya sebagai pengemas makanan kecil, pendapatan orang tua Fina yang tidak menentu membuat Arifin yang menjadi tulang pungung keluarga Fina. Semua kebutuhan Rumah tangga Fina dibebankan oleh Arifin (menurut keterangan tetangga Fina). Pada pertengahan tahun 2014 rumah tangga mereka mulai retak dikarenakan Arifin bekerja diluar kota sering tidak pulang, setiap pulang kerumah Fina dituduh selingkuh dengan laki-laki lain, Arifin sering curiga dengan Fina dengan menuduh Fina yang tidak sebenarnya. Selama enam bulan Fina tidak diberi uang/ nafkah dari Arifin. Fina mencoba 73
mempertahankan keutuhan rumah tangganya dengan mengikuti Arifin bekerja keluar kota dan tinggal dirumah kontrakan, akan tetapi Arifin malah semakin menjadi, Arifin sering memukul Fina di rumah kontrakannya, sering membawa pulang teman perempuan, dengan keadaan seperti ini Fina semakin tidak kuat. Fina kembali kerumah orang tuanya dan bekerja dipabrik textile, orang tua Fina dan Arifin mencoba untuk menyatukan mereka akan tetapi usaha kedua orang tua mereka tidak berhasil untuk menyatukan Fina, Fina tetap berkeinginan untuk bercerai dengan Arifin. Menurut keterangan dari tetangga Fina, belum ada satu bulan, bahkan surat cerai belum keluar Fina sudah dilamar laki-laki lain. Pengakuan dari Fina, Fina menikah lagi dengan Bagus(suami yang kedua) iddah nya belum selesai, karena Fina tidak mengetahui tentang iddah. Dari pengakuan Fina. “ iddah sing kepiye to mbak? Aku ora mudeng iddah”. perkawinan Fina yang kedua ini adalah pernikahan siri dengan dinikahkan oleh pak modin. Alasan Fina cepat-cepat untuk menikah adalah fina tidak mau menjadi tulang punggung di keluarganya, meski Fina tinggal satu rumah dengan orang tuanya akan tetapi kebutuhan rumah tangga Fina yang mencukupinya. Besar tebusan yang diberikan oleh fina untuk Arifin adalah sepeda motor, karena Arifin meminta sepeda motor yang dimiliki oleh keluarga Fina. Kisaran sepeda motor itu seharga tujuh juta limaratus ribu rupiah (wawancara kepada Fina, tanggal 28 Desember 2014).
74
BAB IV ANALISA PELANGGARAN MASA IDDAH DIMASYARAKAT MENURUT FIQIH DAN KHI
Khulu’ adalah perceraian yang diminta oleh istri dengan memberikan imbalan kepada suami. Khulu‟ dibolehkan apabila keduanya sama-sama khawatir tidak dapat menjalankan perintah Allah. Istri khawatir membuat kedurhakaan karena perbuatan suaminya, seperti suami tidak dapat menjalankan perintah Allah, suami tidak mau menjalankan solat, menjadi penjudi, pemabuk, sering menganiaya istri karena hal-hal kecil, atau sebaliknya suami khawatir istri tidak dapat menjalankan perintah Allah, atau istri membagkang. Dalam keaadan ini istri boleh melakukan khulu‟ terhadap suaminya karena jika rumah tangganya dipertahankan dapat membahayakan salah satu pihak dan apabila istri menebus maka suami halal menerimanya. Jika suatu perkawinan putus, maka sebagai akibat hukumnya melaksanakan iddah sesuai dengan ketetapan fiqih dan KHI. Iddah artinya suatu masa yang mengharuskan perempuan-perempuan yang telah cerai dari suaminya, baik cerai mati maupun cerai hidup, untuk menunggu sehingga dapat diyakinkan bahwa rahimnya telah berisi atau kosong dari kandungan. Bila rahim perempuan itu telah berisi sel yang akan menjadi anak, dalam
75
waktu beriddah itu akan kelihatan tandanya. Itulah sebabnya ia diharuskan menunggu dalam masa yang ditetapkan (Mas’ud, 2007: 372).
A. Khulu’ Pada Kasus Perceraian di Dusun Gilang, Desa Tegaron, Kec. Banyubiru Khulu‟
dibolehkan
jika
keduanya
khawatir
tidak
dapat
melaksanakan hukum-hukum Allah sesuai dengan ketentuan pada syariat. Dalam Al-Quran Allah berfirman surat al-Baqorah (2): 229.
'
“ tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya”. Dalam masalah cerai gugat/ khulu‟ jelas hukumnya jika tidak ada sebab-sebab yang terlarang untuk melakukan khulu‟ maka istri tidak boleh melakukan khulu‟. Sebagaimana hadist Rasulullah SAW.
ْ َ فَقَبن.ص َو ْ َجب َء ج َ هللا ِ بش ِانَي َرض ُْٕ ِل ِ ث ِا ْي َر َءةُ ثَب ِب ِ ًَّ ج ب ٍِْ قَيْص ب ٍِْ َش برض ُْٕ َل هللاِ َيب اَ ْعخَبُ َعهَ ْي ِّ ِف ْي ُخهُق َٔالَ ِديٍْ َٔنَ ِك ٍْ اَ ْك َرُِ ان ُك ْف ُر فِ ْي َ َ ي:
76
ْ َِّيٍ َعهَ ْي ِّ َح ِد ْيقَخَُّ؟ قَبن : هللا َ اَحُ ِرد. بل َرض ُْٕ ُل َ َ فَق.ْالو ِ فَقَب َل َرض ُْٕ ُل,ََ َع ْى: ج ِ ان ِ الض ْ انح ِد ْيقَتَ َٔ طَهِّقَْٓب ح ًَطهِ ْيقَت َ اِ ْقبَ ِم “istri Tsabit bin Qois bin Syam datang kepada rosulullah saw. Sambil berkata: “hai Rasul ! saya tidak mencela akhlak dan agamanya, tapi aku tidak ingin mengingakri ajaran Islam.” Maka jawab rasulullah saw.:” maukah kamu mengembalikan kebunnya ( Tsabit, suaminya)?” Jawabnya : “mau.” Maka Rasulullah saw bersabda: “ Terimalah kebun itu dan talaklah ia satukali.” (Syabiq, 1987: 101). Dalam hadis ini dinyatakan bahwa Sabit suka memakai sifat kekafiran sedangkan istrinya baru masuk Islam. Lalu dia mengadukannya kepada Rasulullah supaya diceraikan Sabit. Keterangan lain menyatakan pula bahwa Sabit pernah memukul istrinya. Lalu istri Sabit datang kepada Rasulullah SAW untuk mengadu, supaya ia diceraikan oleh Sabit. Cerai gugat atau khulu‟ yang ada sebabnya di bolehkan oleh hukum Islam, seperti kasus cerai gugat pada perempuan di Dusun Gilang, Desa Tegaron, Kec. Banyubiru mereka mengajukan cerai gugat karena alasanalasan yang membahayan pihak istri, seperti masalah ekonomi yang berujung pada pertengkaran terus menerus, perselingkuhan, dan penganiayaan. Keadaan yang seperti itu sudah dipertegas pada Al-Quran dan Hadis diatas bahwa cerai gugat atau khulu‟
itu sah hukumnya
menurut hukum Islam jika ada sebabnya. Khulu‟ di dasarkan pada KHI terdapat dalam pasal 124, khulu‟ dapat dilakukan berdasarkan atas alasan pada pasal 116 KHI, dengan alasanalasan (a) salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat,
77
penjudi dan lain sebagainya yang sukar di sembuhkan. (b) salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin dari pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya. (c) salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung. (d) salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain. (e)salah satu pihak mendapatkan cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami istri. (f) antara suami istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga. (g) suami melanggar ta’lik talak. (h) peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga. Semua perempuan di Dusun Gilang yang mengajukan cerai gugat di pengadilan agama berdasarkan pada alasan-alasan yang tertera di pasal 116 KHI. Meskipun tidak semua dalam pasal 116 dialami oleh perempuan yang mengajukan cerai gugat atau khulu‟,
hanya pada huruf-huruf
tertentu yang dijadikan alasan untuk mengajukan cerai gugat atau khulu‟ di pengadilan agama, seperti kebanyakan perempuan yang mengajukan cerai gugat di Dusun Gilang, Desa Tegaron dengan memakai alasan pada huruf (a), (b), (d), dan (f), berdasarkan huruf-huruf yang dimaksud pada pasal 116 maka cerai gugat atau khulu‟ yang diajukan kepada pengadilan agama di kabulkan oleh hakim. 78
B. Iddah Pada Kasus Khulu’ di Dusun Gilang, Desa Tegaron, Kec. Banyubiru Dalam fiqih iddah dimulai sejak jatuhnya talak atau sejak diucapkannya talak oleh suami. Terdapat perbedaan pendapat mengenai sahnya menjatuhkan talak, menurut ulama sunni talak sah tanpa adanya saksi. Ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu majah yang berbunyi: “ tiga perkara yang serius dan bercandanya sama-sama dianggap serius: nikah, talak, dan rujuk”. Sedangkan ulama Syi’ah berpendapat bahwa talak sah apabila ada dua saksi ini di dasarkan pada al-Quran surat at-Thalaq yang berbunyi:
Artinya: persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah. Dasar hukum iddah adalah surat al-Baqarah ayat 228:
Artinya: wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. Penetapan awal iddah bagi wanita yang telah bercerai dari suaminya dihitung mulai suami mengucapkan kata talaq kepada istri,
79
begitu juga dengan iddah khulu‟ juga dimulai sejak di ikrarkannya kata talaq oleh suami. Perhitungan iddah di hitung dengan quru’ atau masa suci istri. Berbeda dengan perhitungan iddah yang di hitung dengan bulan atau hari. Masa suci adalah dimana masa terlepasnya wanita dari haid sampai hari sebelum hari pertama haid berikutnya. Masa suci dalam iddah adalah masa dimana pada masa itu tidak terjadi pergaulan. Berdasrkan perhitungan masa suci maka iddah di hitung sejak masa suci pertama setelah jatuhnya talak. Namun jika talak jatuh pada saat haid maka iddah di hitung pada masa suci berikutnya.
Sedangkan dalam Undang-undang perkawinan masa iddah diatur dalam bab VII pasal 39 Undang-Undang No.1 tahun 1974 dan pasal 153 tentang penetapan masa iddah. Masa iddah dimulai sejak ditetapkan oleh Pengadilan Agama yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Penetapan yang diakui di Indonesia adalah perceraian yang dilakukan dihapan sidang Pengadilan Agama. Jadi perceraian dalam bentuk apapun yang dilakukan diluar pengadilan dianggap tidak pernah ada, ini sesuai dengan pasal 115 KHI ( Rofiq, 2013: 2013). Pasal 153 ayat (1) kompilasi Hukum Islam menyatakan : “Bagi seorang istri yang putus perkawinannya berlaku waktu tunggu atau iddah. Kecuali qabla al-dukhul dan perkawinannya putus bukan karena kematian suami”.
80
Dalam pasal 153 ayat (4) KHI iddah dihitung sejak perceraian ditetapkan dan telah
mempunyai kekuatan hukum.
Pasal
ini
menunjukkan perceraian terjadi seara formal setelah mempunyai kekuatan hukum. Jika demikian awal pelaksanaan iddah secara hakikat dan secara formal yang menyebabkan cara penyelesaiannya berbeda. Menjadi permasalahan jika laki-laki akan merujuk istrinya atau istri akan menikah lagi dengan laki-laki lain ketika sudah melakukan iddah menurut fiqih sudah habis iddahnya akan tetapi secara formal belum habis maka rujuk atau nikahnya tidak sah.
C. Analisis Terhadap Pelanggaran Masa Iddah Dalam penelitian yang dilakukan di Dusun Gilang, Desa Tegaron, Kec. Banyubiru. di temukan kasus-kasus perempuan yang tidak melaksanakan iddah sesuai dengan ketentuan Fiqih dan KHI, dalam KHI pelaksanaan iddah diatur dalam pasal 153. Berikut ini nama-nama yang melanggar masa iddah. 1. Dina perempuan berumur 45 tahun, cerai dengan suaminya pada tahun 2010. Dina cerai dengan suaminya karena masalah ekonomi yang berujung pada peretengkaran yang terus menerus, selain permasalahan ekonomi, dalam rumah tangga Dina sering terjadi kekerasan dalam rumah tangga, sehingga Dina tidak bisa mempertahankan keutuhan rumah tangganya, perceraian salah satu 81
jalan untuk menyelesaikan permasalahan rumah tangga Dina. Karena Dina tidak mengerti tentang iddah, maka Dina menerima pinagan dari Rohmat, alasan kedua Dina menerima pingan dari Rohmat karena setelah bercerai dari suaminya Dina tidak mau hidup sendiri sebagi tulangpunggung dari keluarga Dina. Jarak antara putusan pengadilan dengan pernikahan yang kedua tiga puluh lima hari. 2. Rukini perempuan berumur 55 tahun, cerai dengan suaminya pada tahun 2010. Rukini cerai dengan suaminya karena Rukini selingkuh dengan bosnya, di dalam rumah tangga Rukini sering di warnai pertengkaran dan kekerasan dalam rumah tangga, dengan keadaan yang terus menerus bertengkar maka Rukini memutuskan untuk bercerai dengan Kabul. Rukini tidak mengetahui iddah sama sekali sehingga Rukini menikah siri dalam masa iddah. Jarak antara putusan pengadilan dengan pernikahan yang kedua satu bulan. 3. Wati perempuan berumur 41 tahun. Cerai dengan suaminya pada tahun 2011. Penyebab runtuhnya rumah tangga Wati karena masalah ekonomi yang berujung pada pertengakarn yang terus menerus dan kekerasan dalam rumah tangga. Wati tidak mengetahui tentang iddah, sehingga Wati tidak melaksanakan iddah sesuai dengan yang di tetapkan oleh undang-undang. Wati 82
menikah siri dengan Eko, jarak perkawinan yang kedua dengan putusan pengadilan hanya empat puluh lima hari. 4. Nita perempuan berumur 35 tahun, cerai dengan suaminya karena masalah ekonomi yang berujung pada pertengkaran. Karena pendidikan dan pengetahuan yang rendah sehingga Nita tidak paham dan tidak mengerti iddah. pernikahan Nita yang kedua ini dilakukan dengan siri yang dinikahkan oleh moden setempat. 5. Fina, umur 18 tahun, cerai dengan suaminya karena dalam rumah tangganya sering diwarnai pertengkaran dan kekerasan dalam rumah tangga. Karena pendidikan dan pengetahuan agama yang rendah, sehingga Fina tidak mengetahui iddah dan tidak mengerti tentang pelaksanaan iddah. Fina menikah lagi sebelum masa iddah habis, pernikahan Fina yang kedua dilakukan dengan siri.
Dari kasus diatas, dapat ditarik kesimpula bahwa ketidak patuhan terhadap hukum perkawinan bukan niat dari individu untuk bertindak diluar rambu-rambu hukum yang ada. Pendidikan dan pengetahuan yang minim sehingga tidak memahami makna, hikmah dan perlunya menjalankan iddah sesuai dengan ketentuan dalam KHI, mereka hanya tahu dari pemberitahuan Pengadilan Agama ketika memutuskan dan mengesahkan akta cerai dari pihak yang bersangkutan. Karena ketidak tahuan mereka menganggap iddah tidak penting, anggapan mereka jika sudah bercerai dengan suaminya 83
permasalahannya sudah selesai, mereka tidak tahu akibat hukum selanjutnya sebelum melakukan pernikahan yang kedua. Semua perempuan yang tidak melaksanakan Iddah
melakukan pernikahan kedua dengan siri yang
dinikahkan oleh moden setempat. Menurut keterangan moden di Dusun Gilang, pernikahan secara siri merupakan pernikahan sah menurut agama karena sudah terpenuhinya rukun dan syaratnya. Moden setempat tidak memperhatikan keadaan wanita yang akan menikah secara siri. Moden tidak menanyakan status janda tersebut, apakah janda tersebut masih dalam iddah atau sudah usai melaksanakan iddah. Anggapan moden lebih baik menikah secara siri dari pada mereka berbuat zina atau dalam bahasa lokalnya kumpul kebo. Menurut salah satu ketua RT di Dusun Gilang, iddah itu merupakan ibadah langsung kepada Allah yang mana orang di sekelilingnya tidak mengetahui jika janda tersebut melaksanakan atau melanggar ketentuan iddah, akan tetapi lebih baiknya jika setelah bercerai dari suaminya melaksanakan iddah sesuai dengan yang di tetapkan oleh al-Quran, karena jika mereka menikah dalam masa iddah nikahnya tidak sah. Sebaiknya moden yang akan menikahkan janda di telusuri terlebih dahulu statusnya, apakah janda yang akan menikah masih dalam iddah atau sudah selesai iddahnya.
84
D. Iwadh Pada Kasus Khulu’ di Dusun Gilang, Desa Tegaron. Menurut fiqih agar khulu‟ dari istri sah, syarat pertama khulu’ adalah memberikan iwadh kepada suami. Barang yang dapat dijadikan ganti rugi menurut golongan Syafi’i adalah semua maharnya atau sebagian dari mahar yang pernah diberikan kepada istri baik berupa uang tunai, hutang dan jasa, tegasnya
segala barang yang dijadikan mahar boleh
dijadikan ganti rugi dalam khulu‟(Syabiq, 1980: 103). Juga berdasarkan hadis Rasulullah tentang Sabit bin Qois yang menerima kebun yang dahulu mahar untuk istrinya. Akan tetapi dalam kasus cerai gugat di Dusun Gilang, Desa Tegaron enam dari sembilan perempuan yang mengajukan cerai gugat memberikan iwadh kepada mantan suami lebih banyak dari mahar yang dahulu diterima mantan istri. Alasan mantan suami meminta tebusan atau iwadh lebih banyak dari mahar, mereka menghitungnya berdasarkan tingginya nilai rupiah sekarang, Bukan berdasarkan mahar yang diberikan dahulu. Menurut Imam Syafi’i pemberian iwadh kepada mantan suami yang melebihi mahar maka khulu‟ tersebut tidak sah karena menganggap bahwa perbuatan tersebut termasuk pengambilan harta tanpa hak. Masyarakat Dusun Gilang khususnya perempuan yang mengajukan cerai gugat kurang begitu faham tentang iwadh pemahaman mereka tentang 85
iwadh adalah pemberian barang yang diminta mantan suami sebagai kenangkenangan dari mantan istri untuk disimpan atau digunnakan sebaik-baiknya. Meskipun mereka memberikannya dengan cara terpaksa, iwadh atau dalam bahasa mereka kenang-kenagan di berikan kepada mantan suami sebelum mereka mengajukan cerai gugat atau khulu‟ kepada pengadilan agama.
86
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Dari observasi yang dilakukan oleh penulis di Dusun Gilang ada banyak perempuan yang mengajukan cerai gugat, akan tetapi penulis hanya mengambil 9 perempuan dalam kurun waktu lima tahun dari tahun 20102014. Dari 9 perempuan yang mengajukan cerai gugat tersebut, lima dari sembilan tersebut melanggar ketentuan iddah, mereka tidak menjalankan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Hukum Islam dan Kompilasi Hukum Islam.
Berdasarkan hasil penelitian tentang pelanggaran masa iddah, menghasilkan kesimpulan diantaranya adalah: 1. Perempuan pelaku cerai gugat melakukan pelanggaran masa iddah pada umumnya disebabkan karena ketidak-tahuan mereka pada dasar syariat yang mengatur tentang iddah sehingga mereka menerima pinangan dari laki-laki lain dan menikah secara siri dalam masa iddahnya. 2. Faktor yang menyebabkan pelanggaran masa iddah yaitu ketidaktahuan mereka tarhadap batasan waktu iddah dipengaruhi oleh:
87
tingkat pendidikan yang rendah, rata-rata mereka hanya lulus sekolah dasar dan menengah pertama, kurangnya pengetahuan tantang hukum islam dan hukum positif serta tokoh agama yang kurang berperan dalam membimbing masyarakat.
B. Saran 1. Untuk tokoh agama agar bisa menyampaikan ajaran-ajaran Islam yang lebih mendalam lagi kepada masyarakat desa khususnya bagi perempuanperempuan mengenai
hukum perkawinan dan hukum melaksanakan
iddah. 2. Untuk P3N kec. Banyubiru, agar memberikan penyuluhan mengenai masalah munakahat, minimal satu bulan satu kali untuk setiap dusun yang ada di Desa Tegaron.
88
DAFTAR PUSTAKA
Ahnan, Mahtuf. Risalah fiqih wanita. Surabaya: Terbit terang. Ali, Zainudin, 2006. Hukum Perdata Islam. Jakarta: Sinar grafika. Aminurdin dan Azhari akmal, 2004. Hukum Perdata Indonesia. Jakarta: kencana. Amir, syarifudin, 2006. Hukum Perkawinan Islam (antara fikih dan UU Perkawinan).Jakarta: Kencana. Anshary, Muhammad, 2010. Hukum Perkawinan di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Arikunto, Suharsimi. 1998. Prosedur penelitian. Jakarta: Rineka Cipta. Azzam, Abdul Aziz Muhammad. 2009. Fiqih munakahat. Jakarta: pustaka Alawiayah.. Basyir, Azhar. 1999. Hukum perkawinan Islam. Yogyakarta: UII Press. Departemen Agama, 1985. Ilmu Fiqih. Jakarta: Departemen Agama. Departemen pendidikan, 1993. Kamus besar bahasa Indonesia. Jakarta: Balai pustaka Emzul dan Ratu aprilia, 2005. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Jakarta: Difa publisher Fahmi, Rois Muhammad. 2013. Penentuan Awal Masa Iddah Menurut Fiqih munakahat dan KHI. Skripsi tidak diterbitkan. Salatiga: Jurusan Syariah STAIN Salatiga. Ghazali, Abdurahman. 2006. Fiqih munakahat. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Jawad, Muhammad Mughnia. 1991. Fiqih Lima mazhab. Jakarta: Kencana.
Koenjaraningrat. 1997. Metode-metode penelitian masyarakat. Jakarta:
Gramedia. Kompilasi Hukum Islam. 2007. Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. Bandung: citra umbara. Mas’ud, Ibnu, 2007. Fiqih Madzhab Syafi‟i. Bandung: Pustaka setia. Moloeng, lexy j. 1987. Metode penelitian kualitatif. Bandung : Remaja karya. Nadzir, Muh, 1998. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UII Press Nurudin, Amiur dan akmal. 2004. Hukum perdata Islam di Indonesia. Jakarta: kencana. Rofiq, Ahmad, 1998. Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Rajawali Press Rofiq, Ahmad. 2013. Hukum perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Rajawali pers. Sabiq, sayyid. 1987. Fiqih Sunah Jilid 8 diterjemahkan oleh Thalib. Bandung: Al Ma’arif. Syarifuddin, Amir. 2006. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (antara fiqih dan UU perkawinan). Jakarta: Kencana. Wahyudi, Muhammad Isna. 2009. Fiqih Idah klasik dan kontemporer. Yogyakarta: Pustaka pesantern. https://muhandisun.wordpress.com (akses: 08-03-2015) http://ekomardion.blogspot.com