FAKTOR FAKTOR PENYEBAB PERCERAIAN (STUDI TERHADAP PERCERAIAN DI DESA BATUR KEC. GETASAN KAB. SEMARANG)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam
Oleh NURUL FADHLILAH NIM 21109020
JURUSAN SYARI’AH PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA 2013
FAKTOR FAKTOR PENYEBAB PERCERAIAN (STUDI TERHADAP PERCERAIAN DI DESA BATUR KEC. GETASAN KAB. SEMARANG)
SKRIPSI Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sarjana Hukum Islam
Oleh NURUL FADHLILAH NIM 21109020
JURUSAN SYARI’AH PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA
2013
MOTTO
ÇÎÈ #·Žô£ ç„ÎŽô£ ãèø9$#yì tB ¨b Î*sù ÇÍÈ x8 tø.ÏŒ y7 s9 $uZ÷èsùu‘ur “ DAN KAMI TINGGIKAN BAGIMU SEBUTANMU, KARENA SESUNGGUHNYA SESUDAH KESULITAN ITU, ADA KEMUDAHAN”(QS. ALAM NASYRAH, 94: 4-5) PERSEMBAHAN Ø
Untuk ayah handa (Muzamil) dan ibunda tercinta (Juariyah) yang tak hentihentinya mendoakan dan mendidik anak-anaknya dalam mencurahkan kasih sayang.
Ø
Kakak-kakak tersayang (Nur Wakidah dan Muhammad Arba’in) yang selalu memberikan motivasi.
Ø
Teman baikku Eva Yuni “Copenk” beserta keluarga yang selalu memberikan bantuan dalam penyelesaian skripsi ini.
Ø
Almamater Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga.
Ø
Teman-teman AHS angkatan 2009 yang tidak bisa penulis semua sebutkan satu-persatu.
Ø
Teman-teman kost Zaena Bordir Kembangarum Salatiga (Mbak Evi, Mbak Diah, Mbak Novi, Catur, Titis, Cuby, Siti, Rowiyah, Nimas dan Novi)
Ø
Sahabat-sahabatku yang telah memberikan motivasi dan semangat, khususnya dalam penyusunan skripsi yang tidak dapat penulis sebutkan satupersatu.
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim Alhamdulillah, puji syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan nikmat kepada semua hamba-Nya sehingga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan. Shalawat dan salam senantiasa tetap terlimpahkan kepangkuan beliau Nabi Muhammad SAW, keluarga, sahabatsahabatnya dan orang-orang mukmin yang senantiasa mengikutinya. Dengan segala kerendahan hati, penulis sampaikan bahwa skripsi ini tidak mungkin terselesaikan tanpa adanya dukungan dan bantuan dari semua pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Skripsi
yang
berjudul
“FAKTOR
FAKTOR
PENYEBAB
PERCERAIAN (Studi Terahadap Perceraian Di Desa Batur Kec. Getasan Kab. Semarang)” ini disusun untuk melengkapi syarat-syarat mencapai gelar Sarjana (S1) Hukum Islam pada Jurusan Syari’ah di STAIN Salatiga, meskipun bentuknya masih sederhana serta banyak kekurangan. Dengan selesainya skripsi ini, penulis mengucapkan banyak-banyak terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada : 1.
Yang terhormat, Dr. Imam Sutomo, M.Ag selaku Ketua STAIN Salatiga.
2.
Yang terhormat Bapak Drs. Mubasirun, M.Ag. selaku Ketua Jurusan Syariah
3.
Yang terhormat Bapak Ilya Muhsin, S.HI., M.Si. selaku ketua program studi Al-Ahwal Al-Syakhshiyyah STAIN Salatiga.
4.
Yang saya hormati Drs. Badwan M,Ag selaku pembimbing skripsi yang telah rela menyisihkan waktunya untuk membimbing dengan penuh kebijaksanaan dan
memberi
petunjuk-petunjuk
dan
dorongan-dorongan
dalam
menyelesaikan skripsi ini. 5.
Yang terhormat, Bapak/Ibu dosen yang telah mencurahkan pengetahuan dan bimbingan selama penulis kuliah sampai menyelesaikan skripsi ini.
6.
Yang terhormat, Kepala Desa Batur Bapak Radik Wahyu D beserta stafstafnya, yang berkenan memberikan izin pada penulis untuk melakukan penelitian di Desa Batur.
7.
Yang terhormat, Kepala KUA Getasan beserta staf-stafnya, yang berkenan memberikan izin pada penulis untuk melakukan penelitian di Desa Batur.
8.
Yang terhormat dan tercinta, Ayahanda Muzamil, Ibunda tercinta Juariyah, kakak-kakak tercinta Nur Wakidah dan M. Arba’in yang telah mencurahkan kasih sayang, memberikan motivasi dan tidak pernah bosan mendoakan penulis dalam menempuh studi dan mewujudkan cita-cita.
9.
Yang tercinta teman-teman serta semua pihak yang telah memberikan motivasi dan bantuan selama menempuh studi, khususnya dalam proses penyusunan proses skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu. Atas semua bantuan yang telah diberikan kepada penulis, mudah-mudahan
mendapat balasan yang berlipat ganda dari Allah SWT. Amien. Serta proses yang selama ini penulis alami semoga bermanfaat di kemudian hari sebagai bekal mengarungi kehidupan di alam nyata. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih perlu penyempurnaan baik dari isi maupun metodologi. Oleh karena itu, penulis mengharap kritik dan saran yang konstruktif dari semua pihak guna kesempurnaan skripsi ini.
Salatiga, 27 September 2013
Penulis
ABSTRAK
Fadhlilah, Nurul. 2013. Faktor Faktor Penyebab Perceraian (Studi terhadap perceraian di Desa Batur Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang). Skripsi Jurusan Syari’ah. Program Studi Al-Ahwal Al-Syakhshiyah. Sekolah Tinggi Agama IslamNegeri Salatiga. Bapak Pembimbing: Drs. Badwan, M.Ag. Kata Kunci: Perceraian Pernikahan adalah tiang keluarga yang teguh dan kokoh. Namun suatu perkawinan yang seharusnya merupakan tempat kebahagiaan dan kedamaian pasangan hidup pada kenyataannya tidak dapat menjamin kelanggengan rumah tangga. Karena dalam keadaan tertentu terdapat faktor-faktor yang menghendaki putusnya perkawinan. Jika suami istri dalam rumah tangga tersebut tidak mampu untuk menyikapi atau mengendalikan diri masing-masing tidak menutup kemungkinan akan terjadi percecokan dan keretakan dalam rumah tangga yang apabila tidak mungkin didamaikan, maka jalan terakhir adalah perceraian. Adapun tujuan yang hendak dicapai setelah penelitian ini selesai adalah mengetahui faktor-faktor penyebab perceraian dan dari faktor-faktor tersebuat faktor dominan apa yang menyebabkan perceraian di Desa Batur Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang. Penelitian ini merupakan studi kasus dengan metode deskriptif kualitatif, yaitu sebuah metode penelitian di mana peneliti menjelaskan kenyataan yang didapatka dari kasus-kasus di lapangan sekaligus berusaha untuk mengungkapakan hal-hal yang tidak nampak dari luar agar khayalak dapat mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Hasil penelitian yang diperoleh adalah pertama, faktor-faktor penyebab perceraian di Desa Batur yaitu faktor ekonomi, perselisihan, meninggalkan, gangguan pihak lain atau perselingkuhan, dan perjodohan. Kedua, dari faktorfaktor tersebut yang menjadi faktor dominan penyebab perceraian di Desa Batur adalah ekonomi dan perselisihan. Keadaan ekonomi yang tergolong dalam menengah ke bawah dapat disebabkan karena rendahnya tingkat pendidikan yang menjadikan mereka hanya berprofesi sebagai petani dan buruh. Responden yang bercerai rata-rata hanya berpendidikan tingkat SD. Sehingga sekilas dapat dikatakan bahwa tingkat pendidikan terkait dengan tingkat perceraian. Ekonomi yang kurang menyebabkan perselisihan yang terus menerus terjadi dan tidak lagi dapat terhindarkan. Dengan latar belakang ekonomi menengah ke bawah maka keluarga tersebut mengalami goncangan atau kesulitan ekonomi.
DAFTAR ISI SAMPUL JUDUL......................................................................................... . i LEMBAR BERLOGO .................................................................................. . ii JUDUL ........................................................................................................ . iii PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................................ . iv PENGESAHAN KELULUSAN ................................................................... . v PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN...................................................... . vi MOTTO ....................................................................................................... . vii PERSEMBAHAN ......................................................................................... . viii KATA PENGANTAR ................................................................................. . ix ABSTRAK .................................................................................................. .
x
DAFTAR ISI ............................................................................................... . xi BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah .......................................................... 1 B. Rumusan Masalah ................................................................... 5 C. Penegasan Penelitian ............................................................... 6 D. Tujuan Penelitian .................................................................... 6 E. Kegunaan Istilah ....................................................................... 6 F. Metode Penelitian .................................................................... 7 1. Jenis Penelitian .................................................................. 7 2. Sumber Data .................................................................... 7 3. Prosedur Pengumpulan Data ............................................. 8 4. Analisis Data .................................................................... 9 G. Sistematika Penulisan .............................................................. . 9
BAB II
Tinjauan Umum Tentang Perceraian .......................................... 12 A. Pengertian Dan Dasar Hukum Perceraian .................................. 12 B. Rukun Dan Syara-syarat Perceraian ........................................... 16
C. Sebab-sebab Dan Macam Perceraian ....................................... 18 D. Akibat Hukum Atas Putusnya Perkawinan ............................... 26 BAB III Paparan Hasil Penelitian ……………………………………….. 33 A. Gambaran umum Desa Batur Kec. Getasan Kab. Semarang...... 33 1. Letak geogfrafis Desa Batur ................................................. 35 2. Keadaan penduduk Desa Batur ............................................ 34 a. Keadaan penduduk berdasarkan mata pencaharian ........ 34 b. Keadaan penduduk berdasarkan keagamaan .................. 36 c. Keadaan penduduk berdasarkan tingkat pendidikan....... 37 3. Keadaan kelembagaan Desa Batur........................................ 38 B. Data penelitian.............................................................................. 40 1. Profil keluarga pelaku perceraian............................................41 C. Faktor-faktor Penyebab perceraian di Desa Batur .......................50 BAB IV Analisis Faktor Dominan Penyebab Perceraian …......................51 A. Faktor-faktor penyebab perceraian ..............................................51 a. Faktor ekonomi ......................................................................53 b. Faktor perselisihan .................................................................57 c. Faktor Pemabuk/pemandat dan penjudi ................................59 d. Faktor kekejaman atau penganiayaan ................................... 60 e. Faktor gangguan pihak lain.................................................... 63 f. Faktor perjodohan ..................................................................64 B. Analisis faktor dominan penyebab perceraian .............................66 BAB V PENUTUP ........................................................................................70
A. Kesimpulan ............................................................................... 70 B. Saran ..........................................................................................71 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 72 LAMPIRAN-LAMPIRAN
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran I.
Lembar konsultasi skripsi
Lampiran II
Nota pembimbing
Lampiran II.
Nilai SKK mahasiswa
Lampiran III.
Panduan wawancara
Lampiran IV.
Surat ijin penelitian
Lampiran V.
Riwayat hidup penulis
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia sebagai makhluk sosial yang diciptakan oleh Allah untuk hidup berpasang-pasangan, saling mengisi dan bekerja sama antara satu dan lainnya yang diwujudkan dalam pernikahan. Pernikahan merupakan sunnatullah yang umum dan berlaku pada semua makhluk-Nya, baik pada manusia, hewan, maupun tumbuh-tumbuhan. Perkawinan disyariatkan supaya manusia mempunyai keturunan dan keluarga yang sah menuju kehidupan bahagia di dunia dan di akhirat, di bawah naungan cinta kasih dan ridha Ilahi (Sosroatmodjo & Aulawi, 1981:33). Sebagaimana Firman Allah swt :
ô` ÏBur ÞÚ ö‘F{ $# àM Î7/Yè? $£J ÏB $yg¯=à2
yl ºurø—F{ $# t, n=y{ “ Ï%©!$# z` »ys ö6ß™ ÇÌÏÈ tb qßJ n=ôètƒ Ÿw $£J ÏBur óO ÎgÅ¡ àÿRr&
Arti : “Maha suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui” (Qs. Yasin : 36). Pada prinsipnya suatu perkawinan itu ditujukan untuk hidup selamanya dan kebahagiaan yang kekal (abadi) bagi pasangan suami istri. Keluarga kekal yang bahagia itulah yang dituju. Banyak perintah Tuhan dan Rosul yang bermaksud untuk ketentraman keluarga selama hidup tersebut. (Ramulyo, 1996:98)
Dalam pernikahan tentunya ada suatu tujuan yang akan dicapai salah satunya untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawadah dan warohmah. Selain itu dalam UU No. 1 Tahun 1974 dikatakan bahwa, “tujuan pernikahan adalah membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pernikahan adalah tiang keluarga yang teguh dan kokoh. Di dalamnya terdapat hak-hak dan kewajiban yang sakral dan relegius. Seseorang akan merasa adanya tali ikatan suci yang membuat tinggi sifat kemanusiaannya, yaitu ikatan rohani dan jiwa yang membuat ketinggian derajat manusia dan menjadi mulia dari pada tingkatan kebinatangan yang hanya menjalin cinta syahwat antara jantan dan betina. Bahkan hubungan pasangan suami istri sesungguhnya adalah ketenangan jiwa, kasih sayang dan memandang. (Azzam & Hawas, 2009:40) Seiring dengan perkembangan jaman yang diikuti oleh perubahan gaya hidup dan
pergeseran nilai moral dalam masyarakat saat ini,
bahwasanya suatu keluarga yang dibina oleh pasangan yang sudah berikrar dihadapan penghulu, dan berjanji hidup bersama-sama selamanya dan berkomitmen untuk mencapai tujuan perkawinan, yaitu kesempurnaan hidup, pada kenyataannya tidak dapat mempertahankan mahligai rumah tangganya dengan berbagai alasan. Dari kondisi yang demikian maka, dapat dinilai bahwa suatu perkawinan yang seharusnya merupakan tempat kebahagiaan dan kedamaian pasangan hidup pada kenyataannya tidak
dapat menjamin kelanggengan rumah tangga itu sendiri dengan berbagai alasan untuk mengakhiri mahligai rumah tangga. Islam sebagai suatu ajaran yang menjunjung tinggi nilai moral dan keadilan memberikan berbagai solusi dan alternatif atas segala permasalahan dalam rumah tangga. Islam mengarahkan mereka agar tetap bertahan dan sabar sampai dalam keadaan yang tidak ia sukai. Jika permasalahan
cinta
dan
tidak
cinta
sudah
dipindahkan
kepada
pembangkangan dan lari menjauh, langkah awal yang ditunjukkan Islam bukan talak. Akan tetapi, harus ada langkah usaha yang dilakukan pihak lain dan pertolongan yang dilakukan oleh orang baik-baik (Azzam & Hawas, 2009:253). Sebagaimana firman Allah
ô` ÏiB $VJ s3 ym ur ¾Ï&Î#÷d r& ô` ÏiB $VJ s3 ym (#qèWyèö/$sù $uKÍkÈ]÷t/ s- $s)Ï© óO çFøÿÅz ÷b Î)ur #ZŽÎ7yz $¸J ŠÎ=tã tb %x. ©! $# ¨b Î) 3!$yJ åks]øŠt/ ª! $# È, Ïjùuqム$[s »n=ô¹ Î) !#y‰ ƒÌムb Î) !$ygÎ=÷d r& ÇÌÎÈ Arti : “Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud Mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”. (QS. An-Nisa’ : 128) Namun dalam keadaan tertentu terdapat hal-hal yang menghendaki putusnya perkawinan yaitu dalam arti apabila hubungan perkawinan tetap dilanjutkan maka kemudaratan akan terjadi. Dalam hal ini Islam membolehkan perceraian sebagai langkah terakhir dari usaha yang telah
dilakukan semaksimal mungkin. Perceraian dengan begitu adalah jalan yang terbaik. Perlu diketahui bahwa perceraian merupak sesuatu yang halal namun dibenci oleh Allah. Kehidupan keluarga terjadi lewat perkawinan yang sah baik menurut agama atau ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Dari sini akan tercipta kehidupan yang harmonis, tentram, dan sejahtera lahir batin yang didambakan oleh setiap insan yang normal. Perceraian merupakan salah satu bentuk perkembangan di masyarakat yang dipandang tidak sejalan dengan tujuan perkawinan. Untuk menekan angka perceraian di Indonesia diberlakukan Undang-Undang perkawinan yakni Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan UndangUndang No. 1 Tahun 1974. Perceraian sendiri bukanlah hal yang patut untuk direncanakan, karena perceraian itu dapat terjadi pada siapapun dan dimanapun. Banyak faktor penyebab perceraian, salah satunya di Desa Batur yang secara geografis terletak di dataran tinggi tepatnya di lereng gunung Merbabu dengan jumlah penduduk mencapai 8241 Jiwa. Masyarakat Desa Batur memiliki beragam profesi petani, PNS, pejabat, buruh, pedagang dll. Dari latar belakang yang berbeda maka akan timbul kemajemukan dalam masyarakatnya yang punya sifat dan kepribadian yang berbeda, maka disitulah muncul banyak masalah perceraian. Banyak faktor yang menyebabkan perceraian diantaranya yaitu krisis moral, tidak ada
tanggung jawab, kecemburuan, penganiayaan atau kekerasan, kawin di bawah umur dan ekonomi tidak menentu. Setiap kehidupan rumah tangga pasti terdapat masalah-masalah yang akan timbul. Jika suami istri dalam rumah tangga tersebut tidak mampu untuk menyikapi atau mengendalikan diri masing-masing, tidak menutup kemungkinan akan terjadi percecokan dan keretakan dalam rumah tangga. Apabila percecokan dan keretakan dalam rumah tangga sudah tidak mungkin didamaikan, maka jalan terakhir yaitu perceraian. Perceraian merupakan solusi terakhir yang dapat ditempuh oleh suami istri dalam mengakhiri ikatan perkawinan setelah mengadakan perdamaian atau mediasi secara maksimal tetapi tidak membuahkan hasil. Berdasarkan uraian di atas penulis tertarik untuk meneliti tentang “Faktor Faktor Penyebab Perceraian (Studi Terhadap Perceraian di Desa Batur Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang)”. B. Fokus Penelitian Berdasarkan
latar
belakang
masalah
dapat
dirumuskan
permasalahan penelitian sebagai berikut : 1. Faktor-faktor apa penyebab perceraian di Desa Batur Kec. Getasan Kab. Semarang ? 2. Faktor dominan apa penyebab perceraian di Desa Batur Kec. Getasan Kab. Semarang ?
C. Penegasan Istilah Agar di dalam penelitian ini tidak terjadi penafsiran yang berbeda dengan maksud penulis, maka penulis akan menjelaskan istilah-istilah yang terkait dengan materi judul sebagai berikut: 1. Perceraian, menururt fiqh Islam talak (perceraian) menurut bahasa adalah “melepaskan ikatan”. Maksudnya adalah melepaskan ikatan pernikahan. D. Tujuan penelitian 1. Untuk mengetahui faktor-faktor yang penyebab perceraian di Desa Batur Kec. Getasan Kab. Semarang. 2. Untuk mengetahui faktor dominan penyebab perceraian di Desa Batur Kec. Getasan Kab. Semarang. E.
Kegunaan Penelitian Kegunaan atau manfaat dari penelitian ini diantarannya adalah sebagai berikut: a. Bagi Masyarakat Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan dan masukan pemikiran terhadap masyarakat tentang hukum pernikahan khususnya tentang perceraian, sehingga diharapkan masyarakat dapat menghindari perceraian b. Bagi akademik Diharapkan hasil penelitian ini dapat bermanfaat untuk memperkaya wacana keilmuan khususnya dalam bidang hukum Islam
dan juga menambah bahan pustaka bagi Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN). F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan studi kasus dengan metode deskriptif kualitatif, yaitu sebuah metode penelitian di mana peneliti menjelaskan kenyataan yang didapatka dari kasus-kasus di lapangan sekaligus berusaha untuk mengungkapakan hal-hal yang tidak nampak dari luar agar khayalak dapat mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. 2. Sumber Data Sumber data utama dalam penelitian kualitatif adalah observasi, wawancara, dokumen (dokumen resmi atau pribadi, dan foto). Sumber data dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu : a. Data primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari sumbernya melalui wawancara dengan informan pelaku perceraian yaitu sebanyak 3 pasang perceraian. Pengumpulan data ini dimaksudkan untuk mngetahui faktor-faktor penyebab perceraian di Desa Batur. b. Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari dokumen-dokumen resmi, buku-buku yang berhubungan dengan objek penelitian, hasil penelitian dalam bentuk laporan, skripsi, tesis, disertasi, dan peraturan perundang-undangan. (Ali, 2009:106)
3. Prosedur Pengumpulan Data Pengumpulan data adalah prosedur yang sistematik dan standar untuk memperoleh data yang diperlukan (Nazir, 1988:211). Teknik dalam penelitian ini adalah: a. Wawancara/Interview Dalam metode ini penulis menggunakan teknik wawancara atau interview yaitu suatu percakapan atau tanya jawab yang diarahkan pada suatu permasalahan tertentu yang dilakukan oleh dua
pihak,
yaitu
pewawancara
(orang
yang
mengajukan
pertanyaan) dan yang diwawancarai (yang memberi jawaban dari pertanyaan
pewawancara).
Data
dikumpulkan
dengan
mewawancarai pelaku perceraian. Wawancara ini dimaksudkan untuk mengetahui faktor-faktor penyebab perceraian di Desa Batur. b. Metode dokumentasi Metode dokumntasi adalah metode pengumpulan data dengan cara membaca dan mengutip dengan dokumen-dokumen yang ada dan dipandang relevan. Data tersebut berupa data kependudukan dan data perceraian di Desa Batur. Dalam melaksanakan metode dokumentasi, peneliti menyelidiki bendabenda tertulis seperti buku-buku, majalah, dokumen, peraturanperaturan dan sebagainya (Arikunto, 2010:201). Metode ini digunakan untuk memperoleh data sejarah Desa Batur Kecamatan
Getasan Kabupaten Semarang dan data-data serata informasi lain yang menunjang dalam penelitian ini. c. Metode Observasi atau Pengamatan Metode observasi adalah teknik pengumpulan data dengan pengamatan langsung kepada objek penelitian. Metode ini digunakan untuk mengetahui situasi dan kondisi lingkungan di Desa Batur, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang. Observasi ini dilakukan dengan melakukan serangkaian pengamatan dengan menggunakan alat indera pengliatan dan pendengaran secara langsung terhadap objek yang diteliti. 4. Analisis Data Analisis data adalah suatu proses menata, menytrukturkan, dan memaknai data yang tidak beraturan (Daymon & Holloway, 2008:368). Data yang berhasil dihimpun akan dianalisis secara kualitatif,
yaitu
menganalisa
dengan
cara
menguraikan
dan
mendeskripsikan kasus perceraian di Desa Batur sehingga didapat suatu kesimpulan yang objektif, logis, konsisten, dan sistematis sesuai dengan tujuan yang dilakukan penulis dalam penelitian ini. G. Sistematika penulisan Agar pembahasan penelitian ini tidak keluar dari pokok pikiran dan kerangka yang telah ditentukan, maka penulis menggunakan sistematika sebagai berikut: 1. BAB I: Merupakan pendahuluan yang menjelaskan :
A. Latar belakang masalah B. Fokus penelitian C. Penegasan Istilah D. Tujuan penelitian E. Kegunaan penelitian F. Metode penelitian yang terdiri dari : 1. Jenis penelitian 2. Sumber data 3. Prosedur pengumpulan data 4. Analisis data G. Sistematiaka penulisan. 2. BAB II: Tinjauan umum tentang perceraian E. Pengertian dan dasar hukum perceraian F. Rukun dan Syara-syarat perceraian G. Sebab-sebab dan macam perceraian H. Akibat Hukum Atas Putusnya Perkawinan 3. BAB III: Paparan Hasil Penelitian terdiri dari: A. Gambaran umum Desa Batur Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang 4. Letak geogfrafis Desa Batur 5. Keadaan penduduk Desa Batur d. Keadaan penduduk berdasarkan mata pencaharian e. Keadaan penduduk berdasarkan keagamaan
f. Keadaan penduduk berdasarkan tingkat pendidikan 6. Keadaan kelembagaan Desa Batur B. Data penelitian 1.
Profil
keluarga
yang
melakukan perceraian di Desa Batur Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang. C. Faktor-faktor yang menyebabkan perceraian di Desa Batur Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang 4. BAB IV: Pembahasan pokok permasalahaan dari data hasil temuantemuan mengenai: C. Analisis faktor-faktor penyebab perceraian D. Analisis faktor dominan penyebab perceraian 5. BAB V: Bab ini merupakan bab penutup atau bab akhir dari penyusunan skripsi yang penulis sususn. Dalam bab ini penulis mengemukakan kesimpulan dari seluruh hasil penelitian, saran-saran ataupun rekomendasi dalam rangka meningkatkan pengetahuan tentang hukum-hukum islam khususnya perceraian di Desa Batur Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang.
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERCERAIAN A. Pengertian dan Dasar Hukum Perceraian Allah menciptakan hubungan antara laki-laki dan perempuan dengan pernikahan sebagai jaminan kelestarian populasi manusia di muka bumi, sebagai motivasi dari tabiat dan syahwat manusia dan untuk menjaga kekekalan keturunan mereka. Secara sederhana, pernikahan bisa dimaknai seperangkat aturan yang bentuk konkretnya adalah kebersamaan laki-laki dan wanita di bawah atap yang sama, agar dengan kebersamaan ini keduanya mampu memenuhi sejumlah kebutuhan tertentu. Baik yang bersifat biologis, individu, sosial, ekonomi, dan budaya. (Abud, 2004 : 89) Tujuan pernikahan dalam Islam tidak hanya sekedar pada batasan pemenuhan nafsu biologis atau pelampiasan nafsu seksual, tetapi memiliki tujuan-tujuan penting yang berkaitan dengan sosial, psikologis, dan agama. Di antaranya yang terpenting adalah sebagai berikut: 1. Memelihara
gen
manusia,
pernikahan
sebagai
sarana
untuk
memelihara keberlangsungan gen manusia, alat reproduksi, dan regenerasai dari masa ke masa. Dengan pernikahan inilah manusia akan dapat memakmurkan hidup dan melaksanakan tugas sebagai khalifah dari Allah. 2. Pernikahan adalah tiang keluarga yang teguh dan kokoh. Di dalamnya terdapat hak-hak dan kewajiban yang sakral dan relegius. Seseorang akan merasa adanya tali ikatan suci yang membuat tinggi sifat
kemanusiaannya, yaitu ikatan rohani dan jiwa yang membuat ketinggian derajat manusia dan menjadi mulia dari pada tingkat kebinatangan yang hanya menjalin cinta syahwat antara jantan dan betina. Bahkan hubungan pasangan suami istri sesungguhnya adalah ketenangan jiwa, kasih sayang, dan memandang. 3. Nikah sebagai perisai diri manusia. Nikah dapat menjaga diri kemanusiaan dan menjauhkan dari pelanggaran-pelanggaran yang diharamkan dalam agama. 4. Melawan hawa nafsu. Nikah menyalurkan nafsu manusia menjadi terpelihara, melakukan maslahat orang lain dan melaksanakan hak-hak istri dan anak-anak dan mendidik mereka. Nikah juga melatih kesabaran terhadap akhlak istri dengan usaha yang optimal memperbaiki petunjuk jalan agama. (Azzam & Hawwas, 2009:39-41) Agama Islam adalah agama yang sangat toleran dalam menentukan suatu permasalahan yaitu berupa permasalahan dalam perkawinan. Pada dasarnya perkawinan itu dilakukan untuk waktu selamanya sampai matinya salah seorang suami dan istri, inilah yang sebenarnya dikehendaki oleh agama Islam. Namun dalam keadaan tertentu terdapat hal-hal yang menghendaki putus perkawinan dalam arti bila hubungan perkawinan tetap dilanjutkan, maka kemudaratan akan terjadi. Dalam hal ini Islam membenarkan putusnya perkawinan sebagai langkah terakhir dari usaha melanjutkan rumah tangga. Putusnya perkawinan dengan begitu adalah suatu jalan keluar yang baik.
Kata perceraian berasal dari kata “cerai” mendapat awalan “per” dan akhiran “an”, yang secara bahasa berarti melepas ikatan. Dalam ilmu fiqh (Depag, 1985:226) kata “thalaq” dalam bahasa Arab berasal dari kata “Thalaqa-Yathlaqu-Thalaqan” yang artinya melepas atau mengurai tali pengikat, baik tali pengikat itu bersifat kongrit seperti tali pengikat kuda maupun bersifat abstrak seperti tali pengikat perkawinan. Syayid Sabiq (1980:7) mendefinisikan, talak dengan sebuah upaya untuk melepaskan ikatan perkawinan dan selanjutnya mengakhiri hubungan perkawinan itu sendiri. Menurut hukum asalnya talak atau perceraian itu makruh, namun melihat keadaan tertentu dalam situasi tertentu, maka hukum talak itu ada empat : 1. Sunat yaitu dalam keadaan rumah tangga sudah tidak dapat dilanjutkan dan seandainya dipertahankan kemudaratan yang lebih banyak akan timbul. 2. Mubah atau boleh saja dilakukan bila memang perlu terjadi perceraian dan tidak ada pihak-pihak yang dirugikan dengan perceraian itu, sedangkan manfaatnya juga ada. 3. Wajib yaitu perceraian yang mesti dilakukan oleh hakim terhadap seorang yang telah bersumpah untuk tidak menggauli istrinya sampai masa tertentu, sedangkan ia tidak mau membayar kaffarah sumpah agar ia dapat bergaul dengan istrinya. Tindakannya itu memudaratkan istrinya.
4. Haram talak itu dilakukan tanpa alasan sedangkan istri dalam keadaan haid atau suci yang dalam masa itu ia telah digauli. (Syarifuddin, 2003:127) Perceraian dalam hukum Islam adalah sesuatu perbuatan halal yang mempunyai prinsip dilarang oleh Allah SWT. Berdasarkan hadis Nabi Muhammad saw, sebagai berikut :
( أَ ﺑْﻐَﺾُ ا ﻟْﺤَﻼَ لِ إِﻟﻰَ اﷲِ ﺗَﻌﺎَ لَ اﻟﻄَﻼَ قُ )رواه اﺑﻦ ﻣﺎ ﺟﮫ Artinya : Sesuatu perbuatan halal yang paling dibenci Allah adalah talak atau perceraian. (Riwayat Ibnu Majah, Juz 1). Berdasarkan hadis tersebut, menunjukkan bahwa perceraian merupakan alternatif terakhir (pintu darurat) yang dapat dilalui oleh suami istri bila ikatan perkawinan (rumah tangga) tidak dapat dipertahankan keutuhan dan kelanjutannya. Sifat alternatif terakhir dimaksud, berarti sudah ditempuh berbagai cara dan teknik untuk mencari kedamaian di antara kedua belah pihak, baik melalui hakam (arbitrator) dari kedua belah pihak maupun langkah-langkah dan teknik yang diajarkan oleh Al-qur’an dan Al- hadis. (Ali, 2006:73) Di dalam Al-qur’an banyak ayat yang berbicara tentang masalah perceraian. Diantaranya ayat-ayat yang menjadi landasan hukum perceraian adalah firman Allah SWT :
b Î*sù 3¼çnuŽöxî %¹` ÷ry— yx Å3 Ys? 4Ó®Lym ߉ ÷èt/ .` ÏB ¼ã&s! ‘@ ÏtrB Ÿx sù $ygs)¯=sÛ b Î*sù «! $# yŠr߉ ãn $yJ ŠÉ)ムb r& !$¨Zsß b Î) !$yèy_ #uŽtItƒ b r& !$yJ ÍköŽn=tæ y $uZã_ Ÿx sù $ygs)¯=sÛ ÇËÌÉÈ tb qßJ n=ôètƒ 5Q öqs)Ï9 $pkß]ÍhŠu;ム«! $#ߊr߉ ãn y7 ù=Ï?ur 3 Artinya : "kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga Dia kawin dengan suami yang lain. kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, Maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui". (Qs. Al-Baqarah ayat 230) B. Rukun dan Syarat Talak (Perceraian) Rukun talak ialah unsur pokok yang harus ada dalam talak dan terwujudnya talak bergantung ada dan lengkapnya unsur-unsur dimaksud. Rukun talak ada empat, yaitu : 1. Suami. Suami adalah yang memiliki hak talak dan yang berhak menjatuhkannya, selain suami tidak berhak menjatuhkannya. Oleh karena talak itu bersifat menghilangkan ikatan perkawinan, maka talak tidak mungkin terwujud kecuali setelah nyata adanya akad perkawinan yang sah. 2. Istri Masing-masing suami hanya berhak menjatuhkan talak terhadap istrinya sendiri, tidak dipandang jatuh talak yang dijatuhkan terhadap istri orang lain. Untuk sahnya talak, pada istri yang ditalak
disyaratkan kedudukan istri yang ditalak itu harus berdasarkan atas akad perkawinan yang sah dan istri itu masih tetap berada dalam perlindungan kekuasaan suami. Istri yang menjalani masa iddah talak raj’i dari suaminya oleh hukum islam dipandang masih berada dalam perlindungan kekuasaan suami, karenanya bila dalam masa itu suami menjatuhkan talak lagi, dipandang jatuh talaknya sehingga menambah jumlah talak yang dijatuhkan dan mengurangi hak talak yang dimiliki suami. 3. Shighat talak Shighat talak ialah kata-kata yang diucapkan oleh suami terhadap istrinya yang menunjukkan talak, baik yang sarih (jelas) maupun yang kinayah (sindiran), baik berupa ucapan lisan, tulisan, dan isyarat bagi suami tuna wicara. 4. Qashdu (kesengajaan) Artinya bahwa dengan ucapan talak itu memang dimaksudkan oleh yang mengucapkannya untuk talak, bukan untuk maksud lain (Ghazaly, 2003:201-204). Dalam ilmu fiqh (Depag, 1985:235) untuk sahnya talak, suami yang menjatuhkan talak disyaratkan : 1. Berakal, suami yang gila tidak sah menjatuhkan talak. Dimaksudkan dengan gila dalam hal ini ialah hilang akal atau rusak akal karena sakit. 2. Baligh, tidak dipandang jatuh talak yang dinyatakan oleh orang yang belum dewasa.
3. Atas kemauannya sendiri, dimaksudkan dengan atas kemauannya sendiri dalam hal ini ialah adanya kehendak pada diri suami untuk menjatuhkan talak itu dan dilakukan atas pilihan sendiri, bukan karena dipaksa orang lain. C. Sebab-sebab dan Macam Perceraian Perceraian dapat terjadi karena penyebab yang beragam, di antaranya adalah sebagaimana yang dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 113 disebutkan ada tiga hal yang menjadi sebab putusnya perkawinan, yaitu: 1. Kematian 2. Perceraian 3. Atas putusan pengadilan (Sudarsono, 2005:116) Dalam hal ini, penulis akan berusaha menguraiakan sebab-sebab putusnya perkawinan yaitu : 1. Kematian Kematian sebagai salah satu alasan sebab putusnya perkawinan adalah jika salah satu pihak baik suami atu istri meninggal dunia maka dengan sendirinya perkawinan akan putus (Nuruddin & Tarigan, 2006:216). Apabila pihak suami atau istri yang masih hidup ingin menikah lagi maka bisa saja, asalkan telah memenuhi segala persyaratan yang telah ditentukan dalam hukum Islam.
2. Perceraian Sebagai mana ketentuan dari Undang-Undang Perkawinan pasal 39 ayat 1 disebutkan bahwa “perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak” (Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Pasal 39 ayat 1). 3. Putusan pengadilan Dalam Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Pasal 39 dinyatakan bahwa : a. Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. b. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri. c. Tatacara perceraian di depan sidang pengadilan diatur dalam peraturan perundangan-undangan tersendiri. ( Ali, 2006:74) Berkaitan dengan pasal di atas maka selanjutnya dijelaskan mengenai penyebab terjadinya perceraian yakni pada Putusan Presiden No 9 Tahun 1975 Pasal 19 dinyatakan perceraian dapat terjadi karena alasan-alasan berikut : a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemandat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disebuhkan.
b. Salah satu pihak meninggalakan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya. c. Salah satu pihak mendapatkan hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung. d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain. e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami istri. f. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. (Muhammad, 1993:109-110) Selanjutnya dijelaskan pula dalam Kompilasi Hukum Islam mengenai sebab-sebab terjadinya perceraian yang termaktub dalam pasal 116 yang berbunyi : a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemandat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disebuhkan. b. Salah satu pihak meninggalakan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya. c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain. e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami istri. f. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. g.
Suami melanggar taklik talak
h. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga. (Nuruddin & Tarigan, 2006:221222) Macam Perceraian Putusnya perkawinan dalam hal ini berarti berakhirnya hubungan suami istri. Putusnya perkawinan itu ada dalam beberapa bentuk tergantung dari segi siapa sebenarnya yang berkehendak untuk putusnya perkawinan itu. Dalam hal ini ada empat kemungkinan : 1. Putusnya perkawinan atas kehendak Allah sendiri melalui matinya salah seorang suami istri. Dengan kematian itu dengan sendirinya berakhir pula hubungan perkawinan. 2. Putusnya perkawinan atas kehendak si suami oleh alasan tertentu dan dinyatakan kehendaknya itu dengan ucapan tertentu. Perceraian dalam bentuk ini disebut talak.
3. Putusnya perkawinan atas kehendak si istri karena si istri melihat sesuatu yang menghendaki putusnya perkawinan sedangkan si suami tidak berkehendak untuk itu. Kehendak untuk putusnya perkawinan yang disampaiakan si istri ini dengan membayar uang ganti rugi diterima oleh suami dan dilanjutkan dengan ucapanya untuk memutus perkawianan itu. Putusnya perkawinan dengan cara ini disebut khulu’. 4. Putusnya perkawinan atas kehendak hakim sebagai pihak ketiga setelah melihat adanya sesuatu pada suami atau pada istri yang mendadak tidak dapatnya hubungan perkawinan itu dilanjutkan. Putusnya
perkawinan
dalam
bentuk
ini
disebut
fasakh.
(Syarifuddin, 2006:197) Selain itu ada pula hal-hal yang menyebabkan hubungan suami istri tidak dapat dilakukan, namun tidak memutuskan hubungan perkawinan itu secara syara’. Terhentinya hubungan perkawianan dalam hal ini ada dalam tiga bentuk : 1.
Suami tidak boleh menggauli istrinya karena ia telah menyamakan istrinya dengan ibunya. Ia dapat meneruskan hubungan suami istri bila si suami telah membayar kafarah. Terhentinya perkawinan dalam bentuk ini disebut zhihar.
2.
Suami tidak boleh menggauli istrinya karena ia telah bersumpah untuk tidak menggauli istrinya dalam masa-masa tertentu, sebelum ia membayar khafarah atas sumpahnya itu,
namun perkawinan tetap utuh. Terhentinya hubungan perkawinan dalam bentuk ini disebut ila’. 3.
Suami tidak boleh menggauli istrinya karena ia telah menyatakan sumpah atas kebenaran tuduhannya terhadap istrinya yang berbuat zina, sampai selesai proses li’an dan perceraian di muka hakim. Terhentinya perkawinan dalam bentuk ini disebut li’an. (Syarifuddin, 2006:198) Dalam hal ini, perkawinan tidaklah putus namun yang terhenti
hanyalah hubungan suami istri. Namun ada satu pengecualian yaitu tentang masalah li’an setelah diputus oleh pengadilan maka perceraian akan putus untuk selama-lamanya. Ditinjau dari segi waktu dijatuhkan talak oleh suami, maka talak dibagi menjadi dua macam, yaitu: 1. Talak Sunni Talak sunni yaitu talak yang dalam pelaksanaannya sesuai dengan ketentuan agama, yaitu seseorang mentalak istrinya yang telah dicampurinya itu dengan sekali talak dimasa suci dan istrinya itu belum ia sentuh lagi selama masa suci itu. (Depag, 1985:227) 2. Talak Bid’i Talak bid’i yaitu talak yang dijatuhkan tidak sesuai atau bertentangan dengan agama. Maksudnya talak yang dijatuhkan pada waktu istri dalam keadaan suci, tetapi sudah dicampuri pada waktu suci tersebut.
3. Talak la sunni wala bid’i Talak la sunni wala bid’i yaitu talak yang tidak termasuk kategori talak sunni dan tidak pula termasuk kategori talak bid’i. Maksudnya, talak yang dijatuhkan terhadap istri yang belum pernah dikumpuli dan talak yang dijatuhkan terhadap istri yang belum pernah haid atau istri yang telah lepas haid serta talak yang dijatuhkan ketika istri sedang hamil. Ditinjau dari segi ucapan atau lafadz yang digunakan, talak terbagi dua macam : 1. Talak sharih Talak sharih yaitu talak dengan mempergunakan kata-kata yang jelas dan tegas. Maksudnya kata-kata yang keluar dari mulut suami itu tidak ragu-ragu lagi bahwa ucapanya itu untuk memutuskan hubungan perkawinannya. Misalnya, kata-kata suami: “engkau saya talak sekarang juga” atau “engkau saya lepas sekarang juga”. 2. Talak kinayah Talak kinayah yaitu talak dengan menggunakan kata-kata sindiran atau samar-samar. Talak dengan kata-kata kinayah bergantung pada niat suami, artinya jika suami dengan kata-kata tersebut bermaksud menjatuhkan talak maka jatuhlah talak yang dimaksud. Sebaliknya, jika suami dengan kata-kata kinayah tersebut tidak bermaksud menjatuhkan talak, maka talak tidak
dinyatakan jatuh. Misalnya, kata-kata suami: “pulanglah engkau ke rumah keluargamu” atau “pergilah dari sini”. (Rasjid, 1994:403) Ditinjau dari segi boleh atau tidaknya suami kembali lagi kepada mantan istrinya, talak terbagi menjadi dua macam : 1. Talak raj’i Talak raj’i yaitu talak yang masih boleh dirujuk. Artinya rujuk ialah kembali, artinya kembali mempunyai hubungan suami istri dengan tidak melalui proses perkawinan lagi, tetapi melalui proses yang lebih sederhana. Dengan kata lain, talak raj’i bisa juga diartikan dengan talak yang dijatuhkan suami kepada istrinya yang sudah digauli dan juga sebagai talak satu atau talak dua. Konsekuensinya, bila istri berstatus iddah talak raj’i, suami boleh rujuk kepada istrinya tanpa akad nikah yang baru, tanpa saksi dan mahar pula. Akan tetapi apabila iddahnya telah habis, maka suami tidak boleh merujuknya kembali kecuali dengan akad yang baru dan dengan membayar mahar pula. 2. Talak ba’in Talak ba’in yaitu talak yang tidak memberi hak merujuk bagi bekas suami terhadap bekas istrinya, untuk mengembalikan bekas istri kedalam ikatan perkawinan dengan bekas suami harus melalui akad nikah baru, lengkap dengan rukun dan syaratnya. Talak ba’in terbagi menjadi dua macam :
a. Talak ba’in sughra Yaitu talak ba’in yang menghilangkan pemilikan atas bekas suami terhadap bekas istri tetapi tidak menghilangkan kehalalan bekas suamim untuk menikah kembalidengan bekas istri, artinya bekas suami boleh mengadakan akad nikah baru dengan bekas istri baik dalam masa iddahnya maupun sesudah berakhir masa iddahnya. b. Talak ba’in kubra Yaitu talak ba’in yang menghilangkan pemilikan bekas suami terhadap bekas istri serta menghilangkan kehalalan bekas suami untuk kawin kembali dengan bekas istrinya kecuali setelah bekas istrinya itu menikah dengan laki-laki lain (muhalil). (Depag, 1985:232) D. Akibat Hukum Atas Putusnya Perkawinan Akibat hukum yang muncul ketika putus ikatan perkawinan antara seorang suami dengan seorang istri dapat dilihat beberapa garis hukum, baik yang tercantum dalam Undang-Undang Perkawinan maupun yang tertulis dalam KHI. Putusnya ikatan perkawinan dimaksud, dapat dikelompokkan menjadi 5 (lima) karakteristik, yaitu :
1. Akibat talak Ikatan perkawinan yang putus karena suami mentalak istrinya mempunyai beberapa akibat hukum berdasarkan pasal 149 Kompilasi Hukum Islam, yakni sebagai berikut: Pasal 149 KHI, bila perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib : a. Memberikan mut’ah (sesuatu) yang layak kepada bekas istrinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas istri tersebut qabla aldukhul; b. Memberi nafkah, makan dan kiswah (tempat tinggal dan pakaian) kepada bekas istri selama masa iddah, kecuali bekas istri telah dijatuhi talak ba’in atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil; c. Melunasi mahar yang masih terutang seluruhnya dan separuh apabila qabla al-dukhul; d. Memberi biaya hadlanah (pemeliharaan anak) untuk anak yang belum mencapai umur 21 tahun. 2. Akibat perceraian (cerai gugat) Cerai gugat yaitu seoarang istri menggugat suaminya untuk bercerai melalui pengadilan, yang kemudian pihak pengadilan mengabulkan gugatan dimaksud sehingga putus hubungan penggugat (istri) dengan tergugat (suami) perkawinan. (Ali, 2006:77). Pasal 156 KHI mengatur putusnya perkawinan sebagai akibat perceraian (cerai gugat), yaitu :
a. Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadanah dari ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya diganti oleh : 1. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibunya; 2. Ayah; 3. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah; 4. Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan; 5. Wanita-wanita dari kerabat sedarah menurut garis samping dari ibu; 6.
Wanita-wanita dari kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah.
b. Anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan hadanah dari ayah atau ibunya; c. Apabila pemegang hadanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadanah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan pengadilan dapat memindahkan hadanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadanah pula; d. Semua biaya hadanah dan nafkah anak menjadi tanggungan ayah menurut
kemampuannya,
sekurang-kurangnya
sampai
tersebut dewasa dan dapat mengurus diri sendiri (21 tahun);
anak
e. Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadanah dan nafkah anak, pengadilan agama memberikan putusannya berdasarkan huruf (a), (b), (c), dan (d); f. Pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang tidak turut padanya. 3.
Akibat khulu’ Perceraian yang terjadi akibat khulu’, yaitu suatu ikatan perkawinan yang putus karena pihak istri telah memberikan hartanya untuk membebaskan dirinya dari ikatan perkawinan. Selain itu khulu’ adalah perceraian yang terjadi atas permintaan istri dengan memberikan tebusan atau uang iwad kepada dan atas persetujuan suaminya. Oleh karena itu, khulu’ adalah perceraian yang terjadi dalam bentuk mengurangi jumlah talak dan tidak dapat dirujuk. Hal ini berdasarkan pasal 161 KHI yang berbunyi “perceraian dengan jalan khulu’ mengurangi jumlah talak dan tak dapat dirujuk”.
4. Akibat li’an Perceraian yang terjadi sebagai akibat li’an, yaitu ikatan perkawinan
yang
putus
selama-lamanya.
Dengan
putusnya
perkawinan yang dimaksud, anak yang dikandung oleh istri dinasabkan kepadanya (ibu anak) sebagai akibat li’an. Pasal 162 KHI
yang berbunyi “ bila mana li’an terjadi maka perkawinan ini putus untuk selamanya dan anak yang dikandung dinasabkan kepada ibunya, sedang suaminya terbebas dari kewajiban memberi nafkah”. 5. Akibat ditinggal mati suaminya Apabila ikatan perkawinan putus sebagai akibat meninggalnya suami, mak istri menjalani masa iddah dan bertanggung jawab terhadap pemeliharaan anak-anaknya serta mendapat bagian harta warisan dari suaminya. Hal tersebut dinyatakan dalam pasal 157 KHI yang
berbunyi
“harta
bersama
dibagi
menurut
ketentuan
sebagaimana tersebut daka pasal 96 dan 97”. Pasal 96 KHI (1) Apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama. (2) Pembagian harta bersama bagi seorang suami atau istri yang istri atau suaminya hilang, harus ditangguhkan sampai adanya kepastian matinya yang hakiki atau matinya secara hukum atas dasar putusan Pengadilan Agama. Pasal 97 KHI “Janda atau duda cerai masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan ”. Pasal 96 KHI tersebut, menjelaskan ikatan perkawinan yang putus karena salah seorang pasangan suami istri meninggal sehingga
pembagian harta bersama dilakukan oleh ahli waris berdasarkan proporsi, termasuk bagian pasangan yang masih hidup. Pembagian harta bersama dimaksud, dilakukan oleh ahli waris bila harta itu ada. Namun bila harta bersama belum ada karena kelangsungan ikatan perkawinan sangat singkat, maka pihak yang masih hidup tidak mendapat bagian. Sebaliknya, bila perkawinan itu putus sebagai akibat cerai hidup, maka pasal 97 KHI menjelaskan bahwa janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan. (Ali, 2006:79) Pasal 41 UUP juga membicarakan akibat yang ditimbulkan oleh perceraian. Adapun bunyi pasalnya sebagai berikut: Akibat putusnya perkawinan karena perceraian adalah : a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata mata berdasarkan kepentingan anak, bila mana ada perselisihan mengenai penguasaan anak, pengadilan memberi keputusannya. b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
c. Pengadilan dapat
mewajibkan kepada bekas suami untuk
memberikan biaya penghidupan dan atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri. Selain kewajiban nafkah oleh suami dan seoarang istri yang telah dicerai dari suamipun mempunyai kewajiban menjalani masa iddah sebagai akibat dari perceraian tersebut. Dimana hal tersebut telah dijelaskan dalam firman Allah Qs. Al-Baqarah ayat 228 :
.... 4&äÿrãè% spsW»n=rO £` ÎgÅ¡ àÿRr'Î/ šÆ
óÁ /uŽtItƒ àM »s)¯=sÜ ßJ ø9$#ur
Artinya : “wanita-wanita yang ditalak hendaklah (menunggu) tiga kali quru’ (haid/suci)”
menahan
diri
Adapun macam-macam iddah adalah : 1. Iddah istri yang berhaid, yaitu tiga kali haid. 2. Iddah istri yang mati (berhenti) haid, yaitu tiga bulan. 3. Iddah istri karena kematian suami, yaitu empat bulan sepuluh hari. 4. Iddah istri yang hamil, yaitu sampai melahirkan. (Sabiq, 1980:151)
BAB III PAPARAN HASIL PENELITIAN A. Gambaran Umum Desa Batur Kec. Getasan Kab. Semarang 1. Letak Geografis Desa Batur Desa Batur mempunyai luas wilayah 1081,750 Ha. Terletak di lereng gunung merbabu tepatnya di Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang. Adapun Desa Batur merupakan daerah perbukitan atau pegunungan dengan tinggi dari permukaan laut 1200 m2. Desa Batur ini termasuk desa yang beriklim dingin dengan suhu rata-rata 30°C. Desa Batur jarak tempuh ke Kecamatan Getasan 3 km, ke Kabupaten Semarang 30 km, ke Provinsi Jawa Tengah 35 km, ke Ibu Kota Jakarta 200 km, dengan mempunyai batas wilayah sebagai berikut : a. Utara
: Ds. Somo Gawe
b. Timur
: Ds. Tajuk
c. Selatan
: Gn. Merbabu
d. Barat
: Ds. Kopeng
Desa Batur terdiri dari 19 dusun 54 RT dan 19 RW, yaitu: Thekelan, Seloduwur, Nglelo, Tawang, Batur Kidul, Batur Wetan, Gondang, Dukuh, Selongisor, Kaliduren, Madu, Ngringin, Kalitengah, Sanggar, Diwak, Senden, Rejosari, Wonosari, Krangkeng.
2.
Keadaan Penduduk Desa Batur
Jumlah penduduk Desa Batur 8241 jiwa dengan jumlah lakilaki 4014 jiwa perempuan 4227 jiwa. untuk lebih jelasnya dan lebih rinci diklarifikasikan jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin dengan tabel berikut: Tabel 1 Penduduk Desa Batur Berdasarkan Jenis Kelamin NO
Jenis Kelamin
Jumlah
1
Laki laki
4014
2
Perempuan
4227
Total
8241
Sumber : Data monografi kependudukan Desa Batur Januari 2013 a.
Keadaan Penduduk Desa Batur Berdasarkan Mata Pecaharian Sesuai dengan letaknya Desa Batur yang jauh dari perkotaan dan terletak di daerah pegunungan maka mata pencaharian mereka sebagian besar mengandalakan perkebunan dan persawahan yang mereka miliki. Lahan tersebutlah menjadi sumber penghidupan di Desa Batur. Adapun jumlah penduduk menurut mata pencaharian mereka dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 2 Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian NO
Jenis Mata Pencaharian
Jumlah
%
1
TNI
1
0,01
2
POLRI
2
0,02
3
PNS
18
0,23
4
Pengusaha
27
0,35
5
Petani
3228
41,6
6
Pensiun
18
0,23
7
Buruh tani
1761
22,7
8
Buruh industri
983
12,66
9
Swasta
149
1,92
10
Peternak
127
1,64
11
Lain-lain
1447
18,64
7761
100
Total
Sumber : Data monografi Desa Batur, Januari 2013 Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa penduduk Desa Batur bermata pencaharian sebagai berikut: TNI (0,01%), POLRI
(0,02%), PNS (0,23%), pengusaha (0,35%), petani (41,6%), pensiun (0,23%), buruh tani (22,7%), buruh industri (12,66%), swasta (1,92%), peternak (1,64%), lain-lain (18,64%).
b.
Keadaan Penduduk Desa Batur Berdasarkan Keagamaan Berdasarka pengamatan awal, tampak masyarakat Desa Batur termasuk masyarakat yang mayoritas beragama Islam. Hal ini terlihat dari penduduk yang menganut agama islam memiliki pemeluk agama terbanyak. Hal tersebut dapat di lihat dari tabel di bawah ini: Tabel 3 Keadaan penduduk Desa Batur Berdasarkan keagamaan NO
Kelompok
Laki-laki
Perempuan
Jumlah
%
Agama 1
Isalam
3009
3141
6150
74,63
2
Kristen
785
878
1663
20,18
3
Katolik
2
2
4
0,05
4
Hindu
-
-
-
-
5
Budha
218
206
424
5,15
6
Konghucu Jumlah
-
-
-
-
4014
4227
8241
100
Sumber : Data monografi Desa Batur, Januari 2013 Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa mayoritas penduduk di Desa Batur beragama Islam dengan prosentase sebanyak 6150 jiwa (74,63%), kemudian agama kristen sebanyak 1663 jiwa (20,18%), agama katolik sebanyak 4 jiwa (0,05%), agama budha sebanyak 424 jiwa (5,15%) sedangkan agama hindu dan konghucu di Desa Batur tidak memiliki pemeluk. c.
Keadaan
Penduduk
Desa
Batur
Berdasarkan
Tingkat
Pendidikan Tingkat pendidikan masyarakat Desa Batur rata-rata memiliki tingkat pendidikan rendah. Hal tersebut terlihat dari tabel berikut: Tabel 4 Tingkat Pendidikan NO
Jenis Pendidikan
Jumlah
%
1
Tamat Perguruan Tinggi
82
1
2
Tamat SLTA
463
5,6
3
Tamat SLTP
1112
13,5
4
Tamat SD
4698
56,9
5
Belum Tamat SD
489
6
6
Tidak / Belum Sekolah
1397
17
8241
100
Jumlah
Sumber : Data monografi Desa Batur, Januari 2013 Dari tabel di atas dapat diketahui prosentase tingkat pendidikan penduduk di Desa Batur adalah pendidikan tingkat SD sebanyak 4698 (56,9%) jiwa, tidak atau belum sekolah sebanyak 1397 (17%) jiwa, SLTP sebanyak 1112 (13,5%) jiwa, SLTA sebanyak 463 (5,6%) jiwa, belum tamat SD sebanyak 489 (6%) jiwa, dan tamat perguruan tinggi 82 (1%) jiwa. Dari data tersebut diketahui tingkat pendidikan masyarakat di Desa Batur mayoritas berpendidikan rendah, yaitu mayoritas hanya
berpendidika
SD
(Sekolah
Dasar).
Hal
tersebut
kemungkinan disebabkan letak geografis yang terletak di lereng gunung Merbabu yang jauh dari perkotaan sehingga informasi yang mereka dapat sangatlah minim, disamping itu mayoritas masyarakatnya bermata pencaharian sebagai petani. Kurangnya sarana informasi dan penyuluhan menjadikan mereka tidak begitu mementingkan pendidikan, karena mereka berfikir akhirnya juga akan bekerja di ladang sebagai petani sayur. Hal tersebut juga dikarenakan tidak adanya saran transportasi
untuk menuju ke sekolah karena di Desa Batur tidak ada angkutan yang masuk sampai sana. 3. Kondisi Kelembagaan Pembangunan di Desa Batur lebih ditekankan kedalam bidang fisik seperti pembangunan balai desa, pembangunan sarana ibadah dan jalan-jalan menuju pedesaan. Di Desa Batur dibentuk suatu sistem kelembagaan yang terdiri dari BPD (Badan Perwakilan Desa) sebagai badan pengawasan penyelanggaran pemerintah desa, kepala desa, sekertaris desa, dan unsur-unsur yang berada di bawah naungannya.
Gambar 1 Struktur Perangkat Desa Batur Kecamatan Getasan
Badan Pengawas Desa (BPD)
KEPALA DESA Radik Wahyu D
Sekertaris DJASMAN
Kadus 1 Kadus 2 Kaur Pemerintahan Harun Arian K Yanto
Kadus 3 Jiyanti
Kasi Keuangan Mudi
Kasi Umum B. Susanto
Kaur Pembangunan Triyono
Kaur kemasyarakatan Slamet Bachtiar
Kadus 4
Kadus 5 Hadi R
Kadus 6 Suyanto
Kadus 7
Kadus 8 Slamet Kadus R 15 Supardi
Kadus 9 Choeru Kadus n 16 Isman
Kadus 10 Kadus 17 Supriyon
Kadus 11 Rameli Kadus 18 Harun
Kadus 12 Cipto Kadus J 19 Timin
Kadus 13 Munjam
Keterangan : : Garis koordinasi 1.
Kadus 1
: Dusun
Nggondang 2. 3.
Kadus 2 : Dusun Dukuh Kadus 3 : Dusun Ngringin
4. 5.
Kadus 4 Kadus 5
: Dusun Madu : Dusun Kali
Kadus 6
: Dusun Kali
Duren 6. Tengah 7. 8. 9. 10. 11.
Kadus 7 : Dusun Sanggar Kadus 8 : Dusun Diwak Kadus 9 : Dusun Senden Kadus 10 : Dusun Rejosari Kadus 11 : Dusun Wonosari
12.
Kadus
12
:
Dusun
Krangkeng 13.
Kadus 13
: Dusun Batur
Kadus 14
: Dusun Batur
Kadus 15
: Dusun Selo
Kadus 16
: Dusun Selo
Wetan 14. Kidul 15. Ngisor 16. Nduwur 17.
Kadus
17
:
Dusun
Thekelan 18. 19. Sumber : Data dokumentasi Desa Batur
Kadus 18 : Dusun Twang Kadus 19 : Dusun Nglelo
Kadus 14
B.
Data Penelitian 1. Profil keluarga pelaku perceraian di Desa Batur Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang. Dalam sub bab ini peneliti hanya akan mendeskripsikan tiga keluarga yang melakukan perceraian di Desa Batur Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang. Data ini diperoleh dari hasil wawancara langsung dengan para pelaku perceraian. Dalam hal ini peneliti sengaja menyamarkan nama asli untuk melindungi privasi keluarga tersebut.
a.
Profil Andik dan Nana (Nama samaran) Andik dan Nana beragama Islam, mereka merupakan penduduk asli Desa Batur keduanya sama-sama dibesarkan di desa tersebut. Rumah merekapun tetanggaan dan satu RT pula. Andik dan Nana menikah pada tahun 2002 yang di catatkan di Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Getasan. Prosesi perkawinan mereka diadakan di rumah kediaman orang tua Nana dengan meriah, seperti selayaknya perkawinan yang diadakan di desa merea. Mereka menikah ketika Andik berumur 20 tahun dan Nana berumur 20 tahun. Latar belakang pendidikan suami istri tersebut tidaklah tinggi, mereka hanya lulusan sekolah dasar saja. Hal ini dikarenakan orang tua mereka beranggapan bahwa pendidikan
bukanlah sesuatu yang perlu diprioritaskan, dan dalam hal pendidikan keagamaan pun mereka sangat minim. Hal tersebut dikarenakan
lingkungan
dan
keluarga
yang
kurang
memperhatikan pendidikan agama. Setelah menikah pasangan ini tinggal bersama di rumah orang tua suami (Andik) selama 2 tahun yaitu sampai tahun 2004. Walupun sudah menikah mereka belum dikaruniani seorang anak. Hal tersebut dikarenakan saat bercerai istri (Nana) masih dalam keadaan suci (qobla dukhul). Andik dan Nana hanya bekerja sebagai petani sayur. Setelah menikah mereka ikut menggarap (mengelola) tanah yang diberikan oleh orang tua suami. Setiap harinya mereka berkebun, tanaman sayur kulbis dan bobor menjadi tanaman mayoritasnya. Pada awal perkawinan, kehidupan rumah tangga Andik dan Nana memang tidaklah harmonis. Hal tersebut dikarenakan perkawinan mereka tidak didasari saling cinta mencintai tapi karena dijodohkan oleh kedua orang tua masing-masing. Semula pasangan tersebut menolak untuk menikah, namun karena ingin berbakti dan menyenangkan hati orang tua mereka bersedia untuk dinikahkan. Sehingga akibatnya dalam menjalani kehidupan rumah tangga sehari-hari suasananya terasa hambar. Rasa saling mencintai dan menghormati tidaklah tercipta dalam suasana rumah tangga yang mereka jalani. Istri (Nana) selalu menolak
untuk diajak berhubungan intim (sex) sebagaimana layaknya suami isteri, menghadapi sikap istrinya suami (Andik) akhirnya mengalah. Dalam kehidupan sehari-hari mereka tetap menjalani kehidupan rumah tangga walaupun tidak seperti layaknya pasangan suami istri yang sedang berbahagia dan menikmati indahnya berumah tangga. Diantar keduanya dalam kehidupan sehari-hari tidak terjadi komunikasi bila tidak ada hal yang penting untuk dibicarakan. Puncak ketidak harmonisan terjadi pada pertengahan tahun 2004 Nana meninggalkan rumah kediaman bersama tanpa ijin atau tanpa pamit suami pulang ke tempat kediaman orang tuanya dan tidak pernah kembali ke tempat kediaman bersama, meskipun Andik dan ayahnya telah menjemput dan mengajak pulang kembali sampai 3 (tiga) kali, namun Nana tidak mau dan menolaknya. Ketika Nana sudah tidak tinggal satu rumah dengan Andik, ia pernah meliaht beberapa kali Istrinya bercengkrama dengan seorang pria. Nana tidak mau kembali pulang ke tempat kediaman bersama di karenakan dia mungkin sudah mencintai laki-laki yang sering terlihat bersamanya, karena memang dari awal Nana dan Andik dalam menjalani rumah tangga tidaklah didasari rasa saling
mencintai. Maka hal tersebut yang menjadikan rumah tangga mereka dari awal perkawinan tidaklah harmonis. Bahwa atas dasar keadaan tersebut suami sudah mencoba untuk bersikap sabar, namun lama kelamaan sikap dan perbuatan istrinya tersebut membuat suami sudah tidak tahan dan merasa tidak dihormati sebagai seorang suami yang sah. Oleh karena itu sumai berpendapat bahwa istrinya tersebut sudah ingkar dan tidak patuh kepadanya sehingga mengajukan gugatan pada tahun 2009 di Pengadilan Agama Salatiga. Pada saat wawancara ini dilakukan Andik dan Nana
masing-masing
sudah
berkeluarga dan
wawancara ini dilakukan atas persetujuan pasangannya masingmasing, karena kebetuanl rumah mereka bersebelahan. Terjadinya perceraian antara Andik dan Nana lebih dikarenakan faktor perjodohan dan gangguan pihak ke tiga dari istri yang mempunyai pria yang dicintainya. b.
Profil Enji dan Ayu Enji dan Ayu merupakan pasangan suami istri yang menikah pada tahuan 2001 di Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Getasan. Mereka menikah ketika Enji berumur 20 tahun dan Ayu berumur 19 tahun. Setelah menikah mereka dikaruniani satu orang anak perempuan sebut saja namanya Raya berumur 9 tahun yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar kelas 3.
Enji dan Ayu merupakan seorang muslim keduanya beragama Islam. Latar belakang pendidikan mereka sama-sama hanya sampai Sekolah Dasar (SD). Enji dan Ayu merupakan anak dari seorang petani yang menjadikan mereka hanya bersekolah sampai tingkat SD. Hal tersebut dikarenakan bagi orang tua mereka pendidikan tidaklah begitu menjadi prioritas utama, apalagi bagi seorang anak perempuan. Mereka berfikir bahwa suatu saat nanti anak-anaknya juga akan menjadi seorang petani yang akan meneruskan tanah warisannnya, jadi menerut mereka pendidikan tidaklah begitu penting karena pada akhirnya juga akan menjadi petani, yang terpenting bagi mereka adalah anaknya sudah bisa baca dan menulis saja. Setelah menikah pasangan ini tinggal dirumah pemberian dari orang tua Enji. Dalam menjalani kehidupan sehari-hari Enji dan Ayu hanya berprofesi sebagai petani. Mereka bercocok tanam di ladang yang merupakan tanah pemberian dari masingmasing orang tua mereka. Pada awal perkawinan, kehidupan rumah tangga Enji dan Ayu dalam keadaan rukun dan tentram. Akan tetapi setelah usia perkawinan mereka menginjak 2 tahun tepatnya pada tahun 2003, kehidupan rumah tangga mereka mulai goyah dan diwarnai pertengkara. Terkadang hanya masalah yang kecil sering diperdebatkan, sehingga berakhir pada pertengkaran. Hal tersebut
membuat hubungan mereka renggang dan keharmonisan rumah tangga mereka menjadi kurang. Menurut hasil wawancara yang peneliti lakukan dengan Ayu, latar belakang terjadinya pertengkaran mereka adalah permasalahan ekonomi. Ayu merasa kesal dengan perilaku suaminya yang jarang memberikan uang belanja, meskipun Ayu telah meminta kepadanya karena kalau mengandalkan panen sayur saja tidaklah cukup. Hal tersebut yang selalu memicu pertengkaran dan peselisihan, tidak jarang setiap mereka bertengkar Enji selalu memukuli Ayu sampai dia merasa kesakitan dan memar-memar di tubuhnya. Enji juga sering bermain judi dan mabuk-mabukan. Enji sering pulang kerumah dalam keadaan mabuk dan sering pula dia minum-minuman keras di rumah dihadapan Ayu mauapun anaknya. Sejak suaminya sering bermain judi dan mabuk-mabukan mengakibatkan Enji tidak memberi nafkah kepada anak dan istrinya, Enji juga menghabiskan harta yang ada untuk bermain judi dan mabuk-mabukan. Perilaku Enji yang demikian itu terjadi mulai saat mereka punya anak, awal perkawinan sikap Enji baikbaik saja seperti selayaknya suami. Tetapi perilakunya mulai berubah setelah sering keluar malam bersama teman-temannya. Setiap kali Ayu bertanya dari mana Enji, dia selalu marah-marah dan berkata kalau itu bukan urusannya.
Perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus terjadi dengan masalah yang sama mengakibatkan Ayu tidak tahan lagi hidup berumah tangga bersama Suaminya yaitu pada puncaknya pada tahun 2010 Ayu pulang kerumah orang tuanya dengan membawa anaknya. Selama Ayu pulang ke rumah Enji tidak sekalipun mencoba untuk menjemputnya pulang kembali bersamanya. Berdasarkan keadaan tersebut Ayu merasa bahwa rumah tangganya tidak dapat diperthanakan lagi dan sudah tidak sanggup untuk menahan segala kekerasan yang dilakukan oleh suaminya. Akhirnya pada tahun 2011 Ayu mengajukan gugatan ceraia di Pengadilan Agama Salatiga. c.
Profil Rudi dan Soraya Rudi adalah seorang pemuda asli Desa Batur Kidul, dia hanya berasal dari sebuah keluarga yang orang tuanya berprofesi sebagai petani sayur. Setelah dia lulus sekolah setiap harinya dia selalu membantu orang tuanya di kebun. Kerena keluarga Rudi adalah sebuah keluarga yang keadaan ekonominya sangat sederhana, ia hanya mengenyam pendidikan samapi tingkat SD. Rudi tidak pernah mengenyam pendidikan pesantren karena dari keluarga dia memang minim pengetahuan agamanya. Sedangkan istrinya (Soraya) merupakan pemudi yang juga bearsal dari Desa Batur Kidul. Soraya juga hanya berpendidikan tingkat SD, karena ia juga hanya berasal dari
keluarga yang sederhana. Orang tuanya hanya berprofesi sebagai seorang petani. Sebelum mereka memutuskan untuk menikah, keduanya terlebih dahulu menjalin hubungan pacaran kurang lebih selama 1 tahun. Timbulnya benih-benih cinta diantara keduanya disebabkan karena sering bertemunya mereka, karena keduanya berasal dari satu Desa Batur, dan lama kelamaan di antara keduanya timbul rasa saling mencintai. Awal mula benih-benih cinta itu timbul ketika mereka sama-sama nonton dangdut yang diadakan di Desa mereka dalam rangka acara saparan. Saparan merupakan suatu adat yang selalu di jalankan setiap tahunnya oleh penduduk Desa Batur, setiap bulan sapar yaitu setahun sekali. Rudi dan Soraya menikah pada tahun 2002 yang di catatkan di Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Getasan. Prosesi pernikahan mereka di adakan di rumah yaitu di tempat tinggal orang tua Soraya (istri). Acara perkawinanpun diadakan secara meriah. Setelah menikah Rudi dan Soraya belum memiliki tempat kediaman sendiri, jadi keduanya sering tinggal di dumah orang tua Rudi maupun orang tua Soraya. Awal perkawinan rumah tangga mereka tentram dan bahagia, dan pada kahirnya mereka
dikaruniani seorang anak perempuan sebut saja namanya Alya yang berumur 8 tahun. Semula rumah tangga mereka dalam keadaan baik dan rukun, tetapi sejak tahun 2004 kehidupan rumash tangga mulai tidak harmonis, sering terjadi perselisihan dan pertengkaran yang disebabkan Rudi tidak dapat memenuhi kebutuhan ekonomi rumah tangga. Pekerjaan Rudi yang hanya buruh srabutan menjadikan dia terkadang mendapatkan nafkah tetapi kadang juga tidak. Hal tersebut yang selalu memicu keributan, yang awalnya terjadi hanya di sebabkan karena masalah spele seperti anak minta uang jajan ataupun istri meminta unag belanja. Keributan itu terus menerus terjadi dan dengan masalah yang selalu sama. Pada akhirnya Soraya merasa suaminya tidak dapat mmenuhi kebutuhan ekonomi rumah tanggganya dan pada puncaknya tahun 2005 Soraya memutuskan untuk pergi keluar Negeri sebagai TKW ke Negara Malaisya selama 2 tahun yaitu sampai tahun 2007. Kepergian Soraya ke luar negeri sebagai TKW juga atas dasar persetujuan suaminya. Selama Soraya pergi ke luar negeri anak semata wayang mereka dititipkan kepada neneknya (orang tua Soraya). Kemudian pada tahun 2007 Soraya pulang ke Indonesia, akan tetapi sambutan yang diberikan oleh suaminya sangatlah dingin dan suaminya terkesan mendiamkannya, dan pada akhirnya
Soraya memilih untuk tingggal bersama orang tuanya beserta anak semata wayangnya. Sedangkan suaminya tetap tingggal di rumah kediaman orang tuanya sendiri. Setelah kejadian tersebut tepatnya pada tahun 2007 awal selama itu pula Rudi tidak memberi nafkah wajib kepada istri maupun
anaknya dan terkesan tidak
memperdulikannya.
Kemudian pada puncaknya tahun 2008 Soraya mendaftarka gugatan perceraiannya di Pengadilan Agma Salatiga dengan bantuan seorang pengacara. Soraya mersa bahwa suaminya telah melanggar perjanjian perkawinan (sighat taklik talak) yang suami ucapakan setelah akad nikah dilangsungkan. Soraya merasa tidak terima dan mengajukan gugatan perceriana ke Pengadilan Agama, bahwa sumainya tidak memberi nafkah selama 3 bulan lamanya dan tidak memperdulikan pengggugat lebih dari 6 bulan. Faktor ekonomi menjadi pemicu putusnya ikatan perkawinan di antara keduanya. C. Faktor-faktor Penyebab Perceraian Dapat kita ketahui tingkat perceraian yang terjadi di Desa Batur berdasarkan data NTCR (Nikah Talak Cerai Rujuk) tahun 2008 sampai dengan 2012 terdapat 46 pasang perceraian. Dari 46 pasang perceraian penulis hanya mengambil 3 pasang perceraian. Hal tersebut dikarena penulis hanya mengambil pasangan yang bercerai yang memiliki tingkat pendidikan Sekolah Dasar.
Dari hasil wawancara terhadap 3 pasang pelaku perceraian dapat diketahu bahwa faktor faktor penyebab perceraian dapat disebabkan dari faktor internal maupun eksternal. Faktor penyebab perceraian di Desa batur yang merupakan faktor internal yaitu faktor ekonomi, peselisihan, faktor pemabuk atau penjudi, dan faktor kekerasan atau penganiayaan. Sedangkan
faktor
eksternal
perselingkuhan dan perjodohan.
penyebab
percerian
yaitu
faktor
BAB IV ANALISIS FAKTOR DOMINAN PENYEBAB PERCERAIAN DI DESA BATUR A. Analisis faktor-faktor penyebab perceraian di Desa Batur Perkawinan merupakan suatu hal yang sakral dan hanya terjadi yaitu sekali seumur hidup. Pada dasarnya suatu perkawinan pempunyai tujuan yang baik yaitu membentuk keluarga yang tentram, damai dan bahagia sepanjang masa. Akan tetapi semua tujuan yang baik tersebut tidak akan terlaksana atau terwujud jika tidak ada kesesuaian hati diantara mereka. Oleh karena itu tentunya harus ada hubungan timbal balik antara keduanya, yaitu suami dan istri guna mencapai cita-cita dalam rumah tangga bersama. Pasangan suami istri terkadang harus menghadapi masalah di dalam kehidupan rumah tangga mereka, munculnya masalah dalam rumah tangga dapat disebabkan banyak hal di antaranya karena faktor ekonomi, biologis, psikologis, perbedaan pandangan hidup dan lain sebagainya yang dapat menimbulkan krisis rumah tangga serta mengancam sendi-sendinya. Besar kecilnya persoalan yang dihadapi tergantung dari pandangan dan cara mereka menyelesaikan persoalan tersebut, tidak sedikit dari pasangan suami isteri merasa bahwa perkawinan mereka sudah tidak dapat dipertahankan lagi dan kemudian mereka memutuskan untuk mengakhiri masalah rumah tangga mereka dengan jalan perceraian.
Hukum Islam tidak melarang terjadinya perceraian apabila memang perceraian itu merupakan salah satu jalan yang dianggap paling baik untuk menyelesaiakan masalah yang ada. Timbulnya suatu permasalahan pasti ada sesuatu hal yang menyebabkannya, begitu juga tentang halnya suatu perceraian. Terjadinya perpisahan antara suami dan istri yang dulunya mengikat diri dalam suatu ikatan perkawinan yang suci dan sakral pasti ada dasar yang mendasari mengapa mereka ingin berpisah mengingat sucinya ikatan perkawinan itu sendiri. Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya perceraian pasangan suami istri di Desa Batur. Dari hasil wawancara terhadap 3 pasang pelaku perceraian dapat diketahu bahwa faktor faktor penyebab perceraian dapat disebabkan dari faktor internal maupun eksternal. Faktor penyebab perceraian di Desa batur yang merupakan faktor internal yaitu faktor ekonomi, peselisihan, faktor pemabuk atau penjudi, dan faktor kekerasan atau penganiayaan. Sedangkan
faktor
eksternal
penyebab
percerian
yaitu
faktor
perselingkuhan dan perjodohan. Dengan mengamati jawaban responden tersebut, maka tampak bahwa jawaban responden mengenai sebab perceraian tidaklah tunggal. Sebagian responden memberikan beberapa jawaban atas beberapa faktorfaktor penyebab perceraian yang mereka alami. Hal ini logis sebab masalah sosial sering terkait antara satu dengan yang lainnya. Permasalahan yang timbul dalam keluarga dapat disebabkan dari dalam maupun luar keluarga itu sendiri, misalnya sikap dan perilaku suami
atau istri yang tidak lagi sejalan dengan tuntutan agama dan norma-norma masyarakat, atau karena keadaan bilogis dan fisik pasangan yang memungkinkan tidak dapat lagi menjalankan fungsinya sebagai suami istri, atau sudah tidak merasa cocok lagi dengan pasangannya yang semua itu akan menyebabkan hilangnya rasa hormat menghormati dan rasa saling menghargai sebagai suami istri. Dari hasil penelitian awal yang sifatnya masih global, agar lebih jelasnya penulis akan menganalisis dari setiap poin jawaban responden, tapi penulis menganalisis faktor perceraian ini berangkat dari jawaban responden. 1. Faktor ekonomi Faktor ekonomi erat kaitannya dengan pendapatan yang dihasilkan oleh suatu keluarga. Keluarga dipandang sebagai unit yang mampu memberikan kepuasan lahir dan batin sebagi pemenuh segala kebutuhan tiap anggota keluarga tersebut. Alasan perceraian karena faktor ekonomi di Desa Batur memiliki jawaban terbanyak dari 3 pasang pelaku perceraian faktor ekonomi menjadi salah satu penyebabnya. Mayoritas responden bekerja sebagai petani, pengasilan yang diperoleh hanya cukup untuk makan setiap harinya, mendapatkan nafkah sehari untuk makan hari itu juga. Bahkan ada responden yang hanya bekerja srabutan dan penghasilannya tidak menentu terkadang mendapatkan nafkah tapi terkadang juga tidak.
Nafkah (nafaqah) merupakan suatu kewajiban suami terhadap istrinya dalam bentuk materi. Hukum membayar nafkah untuk istri, baik dalam bentuk perbelanjaan, pakaian adalah wajib. Kewajiban itu bukan disebabkan oleh karena istri membutuhkannya bagi kehidupan rumah tangga, tetapi kewajiban yang timbul dengan sendirinya tanpa melihat kepada keadaan istri. Bahkan di antara ulama Syi’ah menetapkan bahwa meskipun istri orang kaya dan tidak memerlukan bantuan bisa dari suami, namun suami tetap wajib membayar nafkah. (Syarifuddin, 166:2006) Dasar kewajiban tersebut terdapat dalam Al-Qur’an surat Albaqarah ayat 233 :
ë§ øÿtR ß# ¯=s3 è? Ÿw 4 Å$ rã÷èpRùQ$Î/ £` åkèEuqó¡ Ï.ur £` ßgè%ø—Í‘ ¼ã&s! ÏŠqä9öqpRùQ$# ’n?tã ur ... ¾ÍnÏ$s!uqÎ/ ¼çm©9 ׊qä9öqtB Ÿw ur $yd Ï$s!uqÎ/ 8ot$Î!ºur §‘!$ŸÒ è? Ÿw 4$ygyèó™ ãr žw Î) Artinya : “Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf, seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya, janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya”. Dalam kehidupan rumah tangga sudah ada kewajiban yang harus di jalankan oleh masing-masing pihak suami maupun istri. Seorang sumai sebagai kepala keluarga berkewajiban mencari nafkah dan sebaliknya kewajiban seorang istri itu mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan rumah tangga.
Menurut salah satu penuturan responden yang suaminnya tidak bekerja dan dia harus mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dia berkata : “bojone kulo niku mboten kerjo, kulo seng nggolek arto damel kebutuhan samben dinanipun, dadose nggeh penghasilane kirang damel nyukupi kebutuhan samben ndinane, kulo nggeh ngandelke panen sayur, cukup damel dahar mbendinane, nek kulo ngaken kerjo malah muring-muring” Artinya : suami saya tidak bekerja, saya yang mencari uang buat kebutuhan sehar-hari, jadi penghasilan yang didapat kurang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari hanya mengandalkan panen sayur, hanya cukup buat makan tiap harinya, kalau saya suruh kerja malah marah-marah. Kedaan keluarga yang terus menerus “menderita” mengakibatkan istri tidak kuat lagi hidup dengan suaminya, karena merasa segala kebutuhannya tidak tercukupi sehingga perselisihan dan pertengkaran sering terjadi dan mengakibatkan perceraian. Agama mewajibkan suami memberi nafkah kepada istrinya, oleh karena itu adanya ikatan perkawinan yang sah seorang istri menjadi terikat semata-mata kepada suaminya, dan tertahan sebagai miliknya. Tugas seorang istri dalam rumah tangga yaitu memelihara dan mendidik anak-anaknya, sebaliknya bagi suami ia berkewajiban memenuhi kebutuhannya, dan memberi uang belanja kepadanya, selama ikatan perkawinan masih berjalan. Apabila seorang suami yang harusnya memberi nafkah kepada keluarga tetapi tidak menjalankan sesuai apa yang menjadi kewajibannya membuat seorang istri harus mengganti peran menjadi pencari nafkah dalam keluargan. Karena tidak mempunyai kesadaran
bersama maka timbul perselisihan dan percecokan terus menerus yang tidak dapat terhindarkan. Hal tersebut dapat menunjukan bahwa tujuan hidup berumah tangga yang tentram dan damai sudah tidak sejalan lagi. Maka mereka akan menganggap bahwa sudah tidak akan lagi bisa hidup bersama, untuk itulah mereka memilih jalan perceraian untuk mengakhiri perkawinan. Menurut pendapat penulis seharusnya antara suami istri itu harus mengedepankan kebutuhan bersama dan harus menghilangkan ego masing-masing. Apabila terdapat masalah dalam rumah tangga harusnya dapat diselesaikan terlebih dahulu oleh anggota keluarga tersebut, karena setiap masalah pasti ada jalan keluarnya. Selain rasa kasih sayang yang harus dimiliki tiap anggota keluarga, ekonomi sebagai pemenuh kebutuhan keluarga juga harus tetap terpenuhi. Antara suami istri harusnya ada kerja sama untuk mewujudkan suatu rumah tangga yang bahagia dan tentram. Tugas suami mencari nafkah dan tugas istri mengurus segala kebutuhan rumah tangga. Besar kecilnya nafkah yang diperoleh suami, istri harus menerima dan mensyukurinya, hal tersebut agar tidak timbul lagi perselisihan karena ekonomi yang dapat berujung kepada perceraian.
2. Perselisihan (pertengkaran)
Faktor perselisihan ini juga menempati peringkat pertama sebagai faktor penyebab perceraian di Desa Batur sama dengan faktor ekonomi. Kebanyakan responden menjawab bahwa perselisihan yang terjadi diawali dengan hal yang spele, sebuah pertengkaranpertengkaran kecil seperti anak minta uang jajan, istri menasehati sumai agar bekerja dan anak minta unag saku. Pertengkaran yang awal mulanya dari hal kecil bisa berbuntut besar karena peretengkaran terus menerus terjadi. Dalam kehidupan rumah tangga tidak akan selalu berjalan mulus pasti terdapat masalah-masalah yang akan timbul, tinggal bagaimana antara pasangan suami istri tersebut dalam menyikapi segala masalah yang terjadi. Ketika suatu perkawinan sering diwarnai pertengkaran, merasa tidak bahagia atau masalah lainnya, seringkali dijadikan alasan untuk mengakhiri perkawinan tersebut, bercerai dengan pasangan hidup dianggap sebagai solusi terbaik. Agama
mengijinkan
keterlibatan
pihak
ketiga
dalam
penyelesaian masalah rumah tanggga yaitu dengan mendatangkan seorang hakam. Sebagaimana firman Allah :
ô` ÏiB $VJ s3 ym ur ¾Ï&Î#÷d r& ô` ÏiB $VJ s3 ym (#qèWyèö/$sù $uKÍkÈ]÷t/ s- $s)Ï© óO çFøÿÅz ÷b Î)ur $¸J ŠÎ=tã tb %x. ©! $# ¨b Î) 3!$yJ åks]øŠt/ ª! $# È, Ïjùuqム$[s »n=ô¹ Î) !#y‰ ƒÌムb Î) !$ygÎ=÷d r& ÇÌÎÈ #ZŽÎ7yz Arti :
“Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga lakilaki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha mengenal”. (QS. An-Nisa’ : 128) Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa bila perselisihan (percecokan) terjadi ada alternatif dalam penyelesaiannya yaitu perdamaian dikirimkan
dengan seorang hakam. Seorang hakam (hakim) untuk
mendamaikan
kedua
belah
pihak
dengan
mempertemukan mereka dan mencari solusi terbaik atas masalah rumah tangga mereka. Tugas seorang hakam adalah mendamaikan, hanya dalam keadaan terpaksa apabila sudah tidak ada solusi untuk mendamaikan rumah tangga pasangan yang berselisih maka hakam menggambil jalan yaitu menceraiakan antara suami dan istri. Dari hasil wawancara dengan responden di Desa Batur perselisihan yang terjadi lebih dikarenakan kedua belah pihak, misalnya oleh karena watak kedua belah pihak yang sukar untuk ditemukan. Antara suami istri bertahan dengan ego masing-masing maka menimbulkan ketidak nyamanan dan ketegangan-ketegangan dalam rumah tangga yang menyebabkan perceraian tidak dapat terhindarkan. Kebanyakan perselisihan yang timbul disebabkan oleh suami, misalnya perlakukan suami yang terlalu semena-mena terhadap istri. Hingga teramat berat bagi istri untuk bertahan sebagai istri.
Menurut pendapat penulis, perselisihan yang hanya disebabkan hal spele harusnya dapat di jadikan sebagai bumbu-bumbu dalam rumah tangga untuk mempererat rasa kasih sayang. Di dalam rumah tangga harus ada rasa saling menghormati. Seorang istri harus taat dan patuh kepada suami sebagai kepala rumah tannga. Akan tetapi walaupun seorang suami sebagai kepala rumah tangga juga harus menghormati istrinya dan tidak boleh bersikap semena-mena terhadap istri. Apabila selalu timbul perselisihan dalam rumah tangga ada baiknya suami istri harus mengintrospeksi diri agar dapat mengetahui kesalahan masing-masing. Dan dapat menemukukan solusi dari masalah yang diperselisihkan terus menerus. Sikap menghormati dan menyayangi itu perlu dalam rumah tangga karena hal tersebut dapat menghindarkan dari perselisihan yang bisa berujung pada perceraian. perbuatan yang menyakitkan hati dan menyengsarakan itu. 3. Pemabuk/pemandat dan penjudi Pemabuk atau pemandat dan penjudi merupakan perbuatan yang diharamkan oleh Islam dan wajib dijauhi oleh siapapun termasuk suami istri. Seorang pemabuk atau pemadat dan penjudi mempunyai jiwa yang tidak stabil. Judi menyebabkan berbuat tidak jujur sedangkan pemabuk berpengaruh buruk dalam kesehatan serta sebagai induk dari semua kejahatan. Kedua perbuatan tersebut dapat merusak kebahagiaan rumah tangga dan dapat dijadikan salah satu lasan peceraian. Pasal 116 KHI antara lain menjelaskan bahwa perceraian
dapat terjadi karena salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemandat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan. Pemabuk atau pemandat dan penjudi menjadi faktor penyebab perceraian di Desa Batur. Hal tersebut menjadi pemicu perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus terjadi di dalam rumah tangga. Yang mengakibatkan goyahnya suatu rumah tangga tersebut. Seorang suami yang sering mabuk menjadikan dia malas bekerja dan selalu bersikap tempramental. Banyak faktor yang menyebabkan sesorang itu mempunyai kebiasaan pemabuk atau penjudi antara lain karena krisis agama, faktor lingkungan dan pergaulan. Karena kebiasaan sumai yang suka mabuk dan bermain judi membuat istri tidak lagi merasa nyaman dan tentram dalam rumah tangga. Hal tersebut juga menjadikan seorang suami tidak lagi memberi nafkah wajib kepada keluarga. Kebiasaan suami yang sering mabuk dan berjudi membuat dia malas bekerja dan hanya menghabiskan harta benda yang ada. Apabila sudah tidak tercipta rasa tentram dan bahagia dalam rumah tangga maka akan membuat istri tidak tahan lagi hidup sebagai pasangan sumai istri. 4. Kekejaman / penganiayaan Perkawinan merupakan sebuah institusi yang telah ditentukan oleh Allah SWT yang menimbulkan kehalalan bagi seseorang untuk melakukan
hubungan
suami
istri,
sehingga
seseorang
dapat
meneruskan keturunannya dan melangsungkan kehidupannya, dengan kata lain perkawinan merupakan langkah awal bagi laki-laki maupun wanita untuk membentuk sebuah keluarga. Terwujudnya rumah tangga yang bahagia, kekal, sakinah, mawadah, dan warahmah adalah tujuan yang sebenarnya dari perkawinan. Hal inilah yang menjadikan perkawinan sebagai sebuah perjanjian sakral yang harus dijaga dan dipertahankan. Namun dalam kenyataannya tidak semua perkawinan dapat mewujudkan tujuan dari perkawinan itu sendiri, bahkan seringkali perkawinan harus putus di tengah jalan. Hal ini bisa disebabkan karena banyak faktor, antara lain ialah karena adanya kekejaman/kekerasan yang dilakukan oleh salah satu pihak (suami/istri) dalam sebuah perkawinan. Perilaku temramental (kasar) dalam rumah tangga atau sering disebut juga dengan kekerasan dalam rumah tangga sering ditemui di dalam sebuah perkawinan, dan tidak jarang pada akhirnya menjadi sebab terjadinya perceraian. Tindakan kekerasan dalam rumah tangga ini biasanya dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain adalah faktor ekonomi, lingkungan, psikologi, dan lain sebagainya. Kekejaman atau penganiayaan menjadi faktor penyebab perceraian di Desa Batur. Perilaku seorang suami yang suka melakukan penganiayaan terhadap istri membuat tekanan batin terhadap istri. Menurut salah satu penuturan responden, ia berkata :
“kulo kerep di ajar mbek bojoku, amargi kulo nggeh jengkel tiap wangsul mabuk nek kulo ilekke malah kulo di uni-uni, nggeh kerep nendangi kulo lan nampar”, Artinya saya kerap dipukuli sama suami saya, karena saya jengkel tiap pulang mabuk saya cuman mengingatkan tapi malah marah-marah, kerap ditendang dan ditampar. Penganiayaan terhadap istri sebenarnya tidak terbatas pada deraan yang bersifat badani seperti menampar, menggigit, memukul, menendang, melempar, membenturkan ke tembok, sampai membunuh. Ada bentuk-bentuk penganiayaan lainnya yang bersifat kejiwaan atau emosi. Penganiayaannya ini bisa dalam bentuk penanaman rasa takut melalui intimidasi, ancaman, hinaan, makian, sampai membatasi ruang geraknya. (Cieciek, 2005:31) Penulis berpendapat, kekerasan yang dilakukan oleh suami dapat berdampak pada istri maupun anaknya yang dapat menimbulkan ketraumaan, stres ataupun ketakutan. Perkembangan jiwa anak yang di besarkan dalam rumah tangga yang tidak harmonis mengakibatkan anak tersebut cenderung bersifat keras dan pemarah, karena dia tidak lagi merasa tentram dan tidak diperhatikan oleh orang tuanya. Sedangkan dampak terhadap seorang istri dapat memberikan rasa trauma yang berkepanjangan dan susah lagi untuk membina rumah tangga. Apabila dalam rumah tangga rasa aman dan perlindungan sudah tidak didapat lagi maka seorang istri dapat mengajukan perceraian. Oleh karena itu, dalam suatu perkawinan yang dijalani dengan adanya kekerasan dalam rumah tangga, terkadang perceraian
harus terjadi untuk menghindari kekerasan dalam rumah tangga tersebut. 5. Gangguan pihak lain Yang dimaksud gangguan pihak lain dalam hal ini adalah perselingkuhan. Dari hasil penelitian faktor penyebab perselingkuhan dalam perkawinan di Desa Batur. Banyak faktor yang menyebabkan pasangan suami istri memiliki wanita idaman dan pria idaman lain dari rumah tangganya, antara lain disebabkan karena faktor ekonomi dan krisis akhlak. Kurangnya pemahaman agama tentang hak dan kewajiban suami istri, membuat mereka tidak faham akan tujuan dari suatu perkawinan itu sendiri. Mereka hanya memandang bahwa tujuan perkawinan semata-mata untuk memenuhi kebutuhan biologis tanpa memperhatikan pada tujuan yang bersifat ibadah. Jika melihat alasan-alasan perceraian yang terdapat dalam UU No 1 tahun 1974, dikarenakan perselingkuhan dalam perkawinan tidak dicantumkan. Akan tetapi setelah perkara dibawa ke muka pengadilan konteks perselingkuhan dimasukkan ke dalam koridor hukum yang lain, misal perceraian itu karena tidak ada keharmonisan, adanya pihak ketiga, tidak ada tanggung jawab, krisis akhlak dan lain sebagainya. Menurut pendapat penulis dari analisis tersebut, memang perselingkuhan bukan merupakan hal yang tabu lagi, dan dapat terjadi di manapun. Tetapi alangkah baiknya mereka sadar perselingkuhan bukan sebagai jalan keluar dari ketegangan dalam rumah tangga, tetapi
akan membuat masalah baru. Ingin hati melepaskan kasih sayang kepada orang lain tetapi disisi lain ada yang merasa dirugikan dan tersiksa. Alangkah baiknya segala masalah yang terjadi di dalam rumah tangga diselesaikan dari hati ke hati, apa permasalahan yang terjadi hingga seperti ini. Kita buka hati kita untuk membenahi kekurangan dan kelebihan antara suami istri, hingga tercipta hasil yang kita harapkan yaitu hidup rukun dan tercipta kasih sayang sesuai dengan tujuan perkawinan itu sendiri. 6. Perjodohan Realita yang terjadi dizaman modern saat ini masih ada sebagian masyarakat yang menggunakan tradisi mengawinkan anaknya atau orang yang berada dibawah perwaliannya untuk dikawinkankan bukan kehendak orang yang berada dibawah perwaliannya akan tetapi kehendak orang yang menjadi walinya. Seolah-olah anak tidak mempuanyai hak untuk memilih pasangan yang mereka sukai. Dari hasil wawancara terhadap responden, perceraian dengan faktor perjodohan terdapat 1 jawaban. Perkawinan merupakan suatu perjanjian yang suci, kuat dan kokoh untuk hidup bersama secara sah antara seorang laki-laki dan seorang wanita membentuk keluarga yang kekal, santun menyantuni, kasih mengasihi, tentram dan bahagia. Akan tetapi perkawinan yang dialami responden tidaklah demikian,
dia
menikah karena dijodohkan. Tidak adanya rasa saling kasih mengasihi
menjadikan kehidupan rumah tangga menjadi tidak harmonis dan berujung kepada perceraian. Menurut hasil wawancara terhadap responden dia mau menikah tanpa memiliki rasa kasih sayang terhadap pasangannya lebih disebabkan karena dia ingin berbakti kepada orang tuanya. Dengan menuruti apa yang menjadi keinginan orang tuanya. Yang menjadikan kehidupan rumah tangganya tidak di liputi kebahagian, kasih mengasihi dan rasa sayang. Dalam madzhab Imam Syafi’i tepatnya dalam
hukum
pernikahan, suatu syarat bahwa gadis atau perempuan yang belum pernah menikah tidak dapat menikah tanpa izin walinya. Seorang yang masih perawan dan menikahnya seorang perempuan yang masih perawan tidak sah hukumnya apabila tanpa wali. Dalam realitas sosial hal tersebut cenderung dilakukan karena tiada hukum yang memberikan kewenangan dan pembelaan terhadap seorang gadis. Oleh karena itu perkawinan yang timbul cenderung mengarah pada pemaksaan kepada seorang gadis. Yang berhak memaksa gadis di bawah perwaliannya untuk dinikahkan dengan lakilaki tanpa izin gadis yang bersangkutan adalah wali, yang mempunyai hak memaksa itu disebut “wali mujbir”. Wali mujbir hanya terdiri dari ayah dan kakek (bapak dan seterusnya ke atas) yang dipandang paling besar kasih sayangnya kepada perempuan di bawah perwaliannya. (Basyir, 2000:42).
Menurut hemat penulis perceraian di Desa Batur yang di sebabkan karena faktor perjododohan merupakan suatu bentuk dari pemaksaan kepada anak. Sebagai orang tua harusnya memberikan hak kepada anaknya untuk memilih pasang hidupnya, walaupun orang tua juga tetap punya hak kepada anaknya dalam penentuan pasangan hidupnya. Akan tetapi bukan berarti orang tua dapat memaksakan pilihannya untuk dijodohkan dengan anaknya. Dan oarang tua wajib memberiakan kesempatan kepada anaknya
untuk memberikan
pernyataan setuju atau tidak atas pilihannya tersebut, dan dengan segala kerendahan dan tidak karena keterpaksaan. Walaupun tujuan orang tua menjdodohkan anaknya tersebut dengan maksud agar anaknya
hidup bahagia, tidaklah ada di dunia ini yang tidak
menginginkan anaknya bahagia begitupun seorang anak yang ingin berbakti dan membahagiakan orang tuanya. Apabila anak ingin di jodohkan harus benar-benar atas dasar persetujuan si anak dan tanpa tekanan dari orang tua. Karena dalam membina rumah tangga harus di dasari rasa ikhlas, kasih sayang dan saling memiliki. B. Analisis terhadap faktor dominan penyebab perceraian di Desa Batur Pada dasarnya tujuan perkawinan adalah membentuk rumah tangga yang tentram, damai dan bahagia sepanjang masa. Perkawinan tentunya harus ada hubungan timbal balik antara keduanya, yaitu suami dan istri guna mencapai suatu cita-cita bersama. Dalam menjalani maghligai rumah tangga bagaikan seorang yang sedang berlayar di lautan. Hantaman badai
dan gelombang selalu memberikan selingan dalam berlayar dan itu wajib diarungi guna mencapai tujuan yang diharapkan. Dalam kehidupan rumah tangga tentunya banyak masalah-masalah yang akan timbul, dan saat itulah kekohohan rumah tangga sedang diuji. Tinggal seberapa kuat pasangan suami istri dalam menghadapi cobaancobaan rumah tangga tersebut. Dimana dalam kehidupan rumah tangga masalah kecil akan menjadi besar jika tidak disikapi dengan bijaksana, maka pintu perceraianpun akan terbuka lebar. Peramasalah yang timbul dalam rumah tangga dapat disebabkan karena adanya tekanan-tekakan dari pihak ketiga baik itu dari pihak keluarga istri atau suami, bisa juga dari pihak di luar hubungan keluarga ke duanya yang menyebabkan ketidak harmonisan di antara keduanya. Perselisihan dan kesalah pahaman di antara pasangan suami istri yang kerap terjadi dapat berdampak terhadap kelanggengan rumah tangga. Dari hasil wawancara terhadap 3 pasang pelaku perceraian dapat diketahu bahwa faktor perceraian dapat disebabkan dari faktor internal maupun eksternal. Yang merupakan faktor penyebab perceraian di Desa batur yang berasal dari dalam kelarga itu (internal) yaitu faktor ekonomi, peselisihan terus menerus, faktor pemabuk atau penjudi, dan faktor kekerasan atau penganiayaan. Sedangkan faktor eksternal penyebab percerian yaitu faktor perselingkuhan dan perjodohan. Dari faktor-faktor tersebut faktor ekonomi dan perselisihan menjadi faktor dominan penyebab perceraian. Keadaan ekonomi yang
tergolong dalam menengah ke bawah dapat disebabkan karena rendahnya tingkat pendidikan, yang menjadikan mereka hanya berprofesi sebagai petani dan buruh. Berdasarkan hasil penelitian responden yang bercerai rata-rata hanya berpendidikan tingkat SD. Hal tersebut menyebabkan kurangnya pemahaman tentang tujuan perkawinan tersebut, yaitu membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sehingga sekilas dapat dikatakan bahwa tingkat pendidikan terkait denga tingakat perceraian. Logikanya adalah orang yang berpendidikan mampu mengendalikan diri, karena lebih berpenghitungan, sehingga kepribadiannya relatif lebih mantap dan lebih mampu menciptakan keadaan rumah tangga yang lebih baik. Ekonomi yang kurang menyebabkan perselisihan yang terus menerus terjadi dan tidak lagi dapat terhindarkan. Dengan latar belakang ekonomi menengah ke bawah maka keluarga tersebut mengalami goncangan
atau
kesulitan
ekonomi.
Ekonomi
merupaka
sebuah
penyanggah rumah tangga, dengan latar belakang ekonomi yang kurang membuat rumah tangga menjadi goyah, sehingga perceraipun tidak dapat lagi terhindarkan. Berdasarkan analisis di atas, penulis berpendapat bahwa pihak suami yang tidak mampu mencukupi dan memenuhi kebutuhan rumah tangganya, mengakibatkan kehidupan rumah tangganya menjadi tidak harmonis, sering terjadi perselisihan dan percecokan yang akhirnya terjadi perceraian antara pasang suami istri. Secara idealnya, memang suami yang
bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya dan menjadi tulang punggung yang menyokong perekonomian keluarga. Namun terkadang suami tidak mampu berbuat banyak. Belum lagi sikap suami yang merasa masa bodoh atau tidak mau mengerti kebutuhan rumah tangganya dan melimpahkan begitu saja setiap urusan rumah tangganya kepada sang istri. Suami menutup mata dan tidak mau perduli terhadap kesulitan istri. Istripun dengan susah payah menggantikan peran suami menjadi tulang punggung keluarga untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan mengurus segala kepentingan keluarga termasuk anak-anaknya. Masalah ekonomi dijadikan alasan pecahnya rumah tangga, dapat disebabkan juga karena keimanan di antara keduanya mulai hilang, jadi antara suami istri sebelum memutuskan untuk mengakhiri perkawinannya dengan jalan perceraian tidak ada salahnya membicarakan permasalahan yang ada terlebih dahulu, agar menemukan solusi yang terbaik. Pada dasarnya masalah ekonomi itu murni karena kemiskinan, rumah tangga banyak yang utuh, tapi banyak karena nafsu rumah tangga menjadi pecah Tidaklah jadi sebuah jaminan ekonomi yang matang menjadikan keutuhan rumah tangga. Sikap saling memahami dan menghormati antara anggota keluarga sangatlah diperlukan, sebenarnya segala permasalahan yang muncul di dalam rumah tangga pasti dapat diselesaikan asal dengan kepala dingin dan dicari solusi bersama, bukan malah dengan jalan perceraian.
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Dari uraian dan analisis faktor faktor penyebab perceraian di Desa Batur
Kecamatan
Getasan
Kabupaten
Semarang,
penulis
dapat
menyimpulkan sebagai berikut : 1. Dari hasil wawancara terhadap 3 pasang pelaku perceraian dapat diketahu bahwa faktor faktor penyebab perceraian dapat disebabkan dari faktor internal maupun eksternal. Faktor penyebab perceraian di Desa batur yang merupakan faktor internal yaitu faktor ekonomi, peselisihan, faktor pemabuk atau penjudi, dan faktor kekerasan atau penganiayaan. Sedangkan faktor eksternal penyebab percerian yaitu faktor perselingkuhan dan perjodohan. 2. Faktor-faktor penyebab perceraian di Desa Batur Dari faktor-faktor penyebab perceraian tersebut yang menjadi faktor dominan penyebab perceraian di Desa Batur adalah faktor ekonomi dan perselisihan. Keadaan ekonomi yang tergolong dalam menengah ke bawah dapat disebabkan karena rendahnya tingkat pendidikan yang menjadikan mereka hanya berprofesi sebagai petani dan buruh. Responden yang bercerai rata-rata hanya berpendidikan tingkat SD. Sehingga sekilas dapat dikatakan bahwa tingkat pendidikan terkait denga tingakat perceraian. Logikanya adalah orang yang berpendidikan mampu mengendalikan
diri,
karena
lebih
berpenghitungan,
sehingga
kepribadiannya relatif lebih mantap dan lebih mampu menciptakan keadaan rumah tangga yang lebih baik. B. Saran Berdasarkan kenyataan yang sudah diuraiakan di atas, maka penulis menyarankan : 1. Kepada pemerintah Desa Batur, agar memberikan penyuluhan tentang perceraian guna menekan angka perceraian yang terjadi, sehingga masyarakat tahu arti pentingnya tentang perceraian sekaligus dampak positif dan negatifnya. 2. Sebagai pasang suami sitri harusnya dapat lebih meningkatkan keimanannya, yang tidak hanya berfikir bahwa tujuan perkawinan itu hanya bukan hanya sekedar pemenuh kebutuhan lahir maupun batin. Akan tetapi juga harus berfikir sebuah perkawinan itu merupakan ibadah kepada Allah sebagai ajaran agama. 3. Kepada lembaga pengurus perkawinan yakni Kantor Urusan Agama (KUA) terutama kepada Badan Penasehat Pembinaan Pelestarian Perkawinan (BP4), supaya lebih mengintensifkan kembali tentang pemahaman berumah tangga kepada para calon pengantin yang ingin mendaftarkan perkawinanya di Kantor Urusan Agama, agar dapat menghayati perlunya membina rumah tangga yang sakinah mawaddah dan warahmah yang merupakan tujuan dari kehidupan berumah tangga itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2007. Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: Media Insani Publishing Anonim. 1985. Ilmu Fiqh Jilid 2. Jakarta: Departemen Agama Anonim. 2000. Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia. Jakarta: Departemen Agama. Abud, Abdul Ghani. 2004. Keluargaku Surgaku: Makna Pernikahan, Cinta, Dan Kasih Sayang. Jakarta: Penerbit Hikmah. Ali, Zainuddin. 2006. Hukum Perdata Islam Di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika. 2009. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafika. Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta. Azzam, Abdul Aziz M & Abdul Wahhab Sayyed Hawwas. 2009. Fiqh Munakahat (Khitbah, Nikah, dan Talak). Jakarta: Amzah. Basyir, Ahmad Azhar. 2000. Hukum Perkawinan Islam. Yogyakarta: UII Press. Ciciek, Farha. 2005. Jangan Ada Lagi Kekerasan: Ikhtiar Mengatasi Kekerasan Dalam Rumah Tangga Belajar Dari Kehidupan Rasullah Saw. Jakarta:PT Gramedia Pustaka Utama. Daymon, Christine & Holloway Immy. 2008. Metode-Metode Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Penerbit Bntang. Ghazaly, Abd Rahman. 2003. Fiqh Munakahat. Jakarta: Kencana. Muhammad, Abdulkadir. 1993. Hukum Perdata Islam. Bandung: PT Citra Aditya Bakti. Nazir, Mohammad. 1988. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia. Nuruddin, Amiur & Azhari Akmal Tarigan. 2004. Hukum Perdata Islam Di Indonesia: Studi Kritis Perkmbangan Hukum Islam Dari Fikih, UU No. 1/1974 Sampai KHI. Jakarta: Kencana. Ramulyo, Mohd Idris. 1996. Hukum Perkawinan Islam : Suatu Analisis Dari Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
Rasjid, Sulaiman. 1994. Fiqh Islam. Bandung: Sinar Baru Algensindo. Sabiq, Sayyid. 1980. Fikih Sunnah 8, diterjemahkan Muhammad Thalib, “Fikih Sunnah”. Bandung: PT Al-ma’arif. Soeharso, & Ana Retno Ningsih. 2007. Kamus Bahasa Indonesia Lengkap. Semarang: Bintang Jaya Sosroatmodjo, Arso & A Wasit Aulawi. 1981. Hukum Perkawinan Di Indonesia. Jakarta: Bulan Bintang. Sudarsono. 2005. Hukum Perkawinan Nasional. Jakarta: PT Rineka Cipta. Syarifuddin, Amir. 2003. Garis-Garis Besar Fiqh. Jakarta: Kencana. 2006. Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat Dan Undang-Undang Perkawinan. Jakarta: Kencana.
PEDOMAN WAWANCARA 1. Siapa nama anda ? 2. Berapa umur anda ? 3. Apa pekerjaan anda ? 4. Apa pendidikan terakhir anda ? 5. Kapan anda menikah ? 6. Bagaimana keadaan rumah tangga anda ? 7. Kapan anda bercerai ? 8. Apakah saat bercerai anda sudah punya anak ? 9. Apakah anda bercerai karena faktor keturunan ? 10. Apakah penghasilan anda cukup untuk kebutuhan sehari-hari? 11. Apakah anda bercerai karena faktor ekonomi 12. Apakah anda bercerai karena pasangan punya selingkuhan ? 13. Apakah anda bercerai karena pasangan anda berzina ? 14. Apakah anda sering bertengkar atau berselisih ? 15. Apakah anda bercerai karena suami anda suka mabuk-mabukan dan bermain judi? 16. Apakah anda bercerai karena mengalami kekerasan dalam rumah tangga ? 17. Apakah anda bercerai karena anda ditinggal oleh suami anda? 18. Apakah anda bercerai karena pasangan anda di hukum penjara ?