MAKNA PERNIKAHAN DAN PERCERAIAN DI MASYARAKAT: STUDI KASUS PENYEBAB PERCERAIAN DI MASYARAKAT RAGAMUKTI, TAJURHALANG BOGOR
Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh:
Diana Lusyanti 1110111000013
PROGRAM STUDI SOSIOLOGI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS ISLAM NEGERISYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2014
ABSTRAK
Makna pernikahan dan perceraian di masyarakat penting untuk diketahui. Hal ini bertujuan untuk mengidentifikasi ada atau tidak adanya pergeseran dalam memandang pernikahan dan perceraian. Sehingga dapat mengungkap pengaruh makna pernikahan dan perceraian di masyarakat terhadap fenomena perceraian yang terjadi. Saat ini lembaga sosialisasi primer yakni keluarga mengalami permasalahan yang menjadi bagian dari fenomena yang dialami masyarakat yakni perceraian. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi seluruh faktor penyebab perceraian. Hal ini bertujuan agar penelitian bersifat obyektif dan menyeluruh tanpa menekankan pada salah satu faktor penyebab perceraian. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Bertujuan untuk melakukan penelitian secara mendalam mengenai permasalahan keluarga yang menyebabkan perceraian. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah Teori Budaya Perceraian dan Teori Pertukaran Sosial. Teori Budaya Perceraian dipakai untuk menjelaskan makna pernikahan dan perceraian di masyarakat. Sedangkan Teori Pertukaran Sosial untuk menjelaskan penyebab perceraian dalam masyarakat. Teori Budaya Perceraian dipakai karena diakui terdapat pada masyarakat sehingga pada akhirnya masyarakat menerima perceraian itu sendiri. Sedangkan Teori Pertukaran Sosial dipakai karena mampu menjelaskan seluruh penyebab perceraian karena adanya pertukaran yang tidak seimbang diantara pasangan suami isteri. Di dalam teori pertukaran sosial terdapat proposisi yang dapat menjelaskan penyebab perceraian itu sendiri. Proposisi restu-agresi dapat menjelaskan faktor ekonomi dan faktor tidak memiliki keturunan, proposisi nilai dapat menjelaskan faktor perselingkuhan, proposisi sukses dapat menjelaskan faktor isteri bekerja, serta proposisi stimulus dapat menjelaskan faktor kekerasan dalam rumah tangga sebagai penyebab perceraian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa makna pernikahan dan perceraian di masyarakat telah mengalami perubahan. Pernikahan berorientasi pada faktor ekonomi, hilangnya tradisi pernikahan dan juga degradasi moral. Perceraian saat ini dapat diterima sebagai suatu hal yang lumrah dan wajar terjadi. Perceraian diakibatkan karena faktor ekonomi, perselingkuhan, memiliki isteri yang bekerja, tidak memiliki anak dan KDRT.
iv
iv
KATA PENGANTAR Dengan memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang senantiasa melimpahkan rahmat, taufiq dan hidayah-Nya kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Sosial Jurusan Sosiologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam penyusunan skripsi ini penulis menyadari sepenuhnya bahwa tanpa bantuan dari berbagai pihak tidak mungkin skripsi ini terselesaikan, untuk itu atas segala bantuan yang telah diberikan hingga selesainya skripsi ini penulis ucapkan terimakasih kepada : 1. Bapak Prof. Dr. Komaruddin Hidayar selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Bapak Prof. Bahtiar Effendy selaku Dekan FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Ibu Iim Halimatusa’diyah, MA selaku Dosen Pembimbing skripsi yang penuh
perhatian
dan
kesabaran
dalam
memberikan
bimbingan,
pengarahan, petunjuk dan motivasi dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini. 4.
Semua pihak yang telah memberikan bantuan baik material maupun spiritual yang berguna bagi penyusunan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karenaitu saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan. Akhirnya penulis berharap agar skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang membutuhkan
Ciputat, 6 Juni 2014
v
DAFTAR ISI ABSTRAK…………………………………………………………………....…..iv KATA PENGANTAR……………………….…….………...……………….…..v DAFTAR ISI………………………………………………………………..…...viii DAFTAR TABEL………………………………………………………………..xi DAFTAR GRAFIK……………………………………………………………....xii BAB I
PENDAHULUAN A. Pernyataan Masalah…………………..……………………….1 B. Pertanyaan Penelitian………………..………………………..3 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian……..…………………..…….3 D. Tinjauan Pustaka…………………..………………………….4 E. Kerangka Teoritis………………..……………………………7 1.Teori Budaya Perceraian……..……………………………..7 2. Teori Pertukaran Sosial…….………………………………9 F. Definisi Konsep………………………………………………11 G. Metodologi Penelitian………………………………………..14 H. Sistematika Penulisan………………………………………...26
BAB II
GAMBARAN UMUM A. Letak Geografis dan Demografis ……………………………27 B. Kondisi Kehidupan Sosial, Ekonomi, Pendidikan, dan Agama………………………………………………………..28 C. Data Kependudukan Mengenai Pernikahan dan Perceraian………………………………………………...…..34
BAB III
ANALISIS DAN TEMUAN A. Makna Pernikahan dan Perceraian Di Masyarakat…...……..38 1. Makna Pernikahan…………………………………...38 2. Makna Perceraian……………………………..…..…45 Mengenai Pernikahan dan 3. Makna Perceraian……………………………………...…….51 4. Makna tentang Budaya Perceraian (“Pernikahan dianggap sebagai pilihan , dan perceraian dianggap sebagai hasil dari pernikahan itu sendiri.”)………………………………......…………56 B. Faktor Penyebab Perceraian Dalam Masyarakat……………..60 1. Faktor ekonomi………...…………………………….61 2. Faktor Perselingkuhan……..…………………………63 3. Faktor Memiliki Isteri Bekerja……………..………..66
viii
1. Faktor Kekerasan dalam Rumah Tangga………………………68 2. Faktor Tidak Memiliki Keturunan……………………………..70 BAB IV
PENUTUP 1. Kesimpulan……………………………………………….......…74 2. Saran…………………………………………………………….75 DAFTAR PUSTAKA…………………….……………………………………….xiv LAMPIRAN-LAMPIRAN…………......……………………..…………………..xv
viv
DAFTAR TABEL
Tabel I.G.1
Profil Informan yang Bercerai………………..……………...…...17
Tabel I.G.2
Profil Informan yang Terdiri dari Tokoh Masyarakat, Tokoh Agama, Pegawai KUA, dan Anggota Masyarakat……………………………………………………….18
Tabel I.G.3.
Data Penduduk Berdasarkan Perceraian yang dialami di Desa Citayam Tahun 2014……………………………………………..20
Tabel I. G.4. Keterangan Wawancara Informan di Ragamukti RT 04 RW 01....23 Tabel II.B.1. Data Penduduk Desa Citayam Berdasakan Mata Pencaharian pada tahun 2014………………………………………………………..29 Tabel II.B.2. Data Penduduk Berdasarkan Agama yang Dianut di Desa Citayam Tahun 2014……………………………………………………….33 Tabel II.C.1. Data Penduduk Berdasarkan Jumlah Penduduk yang Menikah di Setiap RT dan RW di Desa Citayam Tahun 2014……….……….36 Tabel III A.1. Perbedaan Makna Pernikahan dari informan yang Bercerai dengan Informan Tokoh Agama, Tokoh Masyarakat, Petugas KUA, Anggota Masyarakat……………………………...…….....43 Tabel III A.2. Perbedaan Makna Perceraian dari informan yang Bercerai dengan Informan Tokoh Agama, Tokoh Masyarakat, Petugas KUA, Anggota Masyarakat……………………………...…….....50
xi
DAFTAR GRAFIK Chart II.B.1. Data Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan yang Dimiliki di Desa Citayam Tahun 2014…………………………………..…...32 Chart II.B.2. Data Penduduk Berdasarkan Suku di Desa Citayam Tahun 2014.34 Chart II.C.1. Data Penduduk Berdasarkan Usia Menikah Tahun 2014………...35 Chart II.C.2.
Data Penduduk Berdasarkan Jumlah Perceraian yang Terjadi Pada Tahun 2010 - Februari 2014 di Desa Citayam…………………..37
xii
BAB I PENDAHULUAN A. Pernyataan Masalah Penelitian ini akan mengkaji tentang makna pernikahan dan perceraian di masyarakat, studi kasus penyebab perceraian di masyarakat Kampung Ragamukti Tajurhalang Bogor. Saat ini kondisi masyarakat telah mengalami begitu banyak perubahan. Perubahan tersebut dapat dipengaruhi oleh berbagai aspek dalam kehidupan. Begitu pula perspektif masyarakat tentang pernikahan dan perceraian yang sewaktu-waktu dapat mengalami pergeseran. Salah satu bentuk perubahan yang terjadi yakni semakin meningkatnya angka perceraian. Beberapa pakar sosiologi berpendapat bahwa tingginya tingkat perceraian karena produk dari industrialisasi dan urbanisasi. Menurut mereka, modernisasi dapat memudarkan ideologi, kultur serta batas-batas kebangsaan suatu negara, tingkat inflasi dan pola perceraian. Hal ini karena semakin besarnya tuntutan kaum wanita terhadap otonomi, keadilan dan hak-hak dan keadilan yang mereka terima (Norton &Glick, 1977; John Peters, 1979; Scanzoni & Scanzoni, 1981). Pentingnya penelitian mengenai penyebab perceraian dalam masyarakat dilakukan karena meningkatnya angka perceraian di Indonesia. Menurut Dirjen Bimas Islam Departemen Agama Nazaruddin Umar dalam Berita Nasional (2014), Indonesia berada diperingkat tertinggi memiliki angka perceraian paling banyak dalam setiap tahunnya, dibandingkan negara Islam lainnya di dunia. Selain itu, menurut Asisten Daerah Bidang Kesejahteraan Rakyat Pemprov Jawa 1
Barat, H. Aiv Rivai, dalam Portal Kemenag Prov. Jawa Barat (2014), Jawa Barat memang menjadi wilayah yang angka perceraiannya paling tinggi dibandingkan dengan provinsi lainnya, karena penduduknya lebih dari 44 juta. Sehingga kegiatan pemilihan keluarga teladan diselenggarakan Kementerian Agama sebagai salah satu upaya membantu menekan angka perceraian. Badan Peradilan Agama MA pada 2010, mengungkap terdapat 33.684 kasus cerai di Jawa Barat sebagai provinsi pertama dengan angka perceraian tertinggi. Tempat kedua adalah Jawa Timur, yaitu sebanyak 21.324 kasus. Posisi ketiga Jawa Tengah dengan 12.019 (AntaraNews, 2010). Sebagai bagian dari wilayah Provinsi Jawa Barat, menurut Walikota Bogor, Bima Arya Sugiarto dalam Website Resmi Pemerintah Kota Bogor (2014), Kota Bogor memiliki banyak permasalahan sosial salah satunya angka perceraian yang naik tajam. Sejak Januari hingga Maret ini Pengadilan Agama (PA) Cibinong mencatat sedikitnya 500 berkas pengajuan permohonan perceraian. Setiap hari sedikitnya 40 sidang perceraian berlangsung di PA Cibinong yang terletak di Jalan Bersih No 1 Komplek Pemkab Bogor itu (Pelita Bogor, 2012). Sama halnya yang terjadi di Kampung Ragamukti pada tahun 2013 lalu. Menurut data laporan jumlah perceraian Kelurahan Desa Citayam hingga Februari 2014, tercatat peningkatan yang signifikan dari tahun 2012 hingga tahun 2013 terjadi di RT 04 RW 01 yakni penduduk yang mengalami perceraian meningkat hingga 146 orang. Peningkatan ini terbilang tinggi mengingat dari tahun 2010 ke 2011 hanya terdapat peningkatan sebanyak 33 orang, dan dari tahun 2011 ke 2012 hanya 21 orang yang bercerai. Disamping itu, perspektif masyarakat mengenai pernikahan 2
dan perceraian juga diperlukan untuk mengetahui pengaruhnya dalam peningkatan angka perceraian. Masyarakat yang berfungsi sebagai alat kontrol sosial melalui cacian, makian, pengucilan maupun pengusiran terhadap mereka yang bercerai. Apabila kontrol tersebut melemah maka tidak menutup kemungkinan akan mempermudah masyarakat dalam mengambil keputusan untuk bercerai. Oleh karena itu, penelitian ini ingin melihat bagaimana persepsi masyarakat terhadap pernikahan dan perceraian dan faktor yang menyebabkan perceraian di Kampung Ragamukti RT 04 RW 01 Kecamatan Tajurhalang Desa Citayam Kabupaten Bogor. B. Pertanyaan Penelitian 1. Bagaimanakah makna pernikahan dan perceraian di masyarakat? 2. Apa sajakah yang menjadi penyebab perceraian?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan: a. Makna pernikahan dan perceraian di masyarakat. b. Motivasi penyebab perceraian. 2. Manfaat Penelitian a. Manfaat teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi kalangan pelajar, mahasiswa dan akademisi lainnya, sehingga dapat memperkaya konsep dan teori yang menyokong perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya yang terkait 3
dengan masalah perceraian. Diharapkan pula bermanfaat bagi kajian ilmu sosiologi keluarga agar dapat menjadi bahan analisa dalam memahami faktor penyebab perceraian dalam masyarakat. b. Manfaat Praktis Penelitian tentang penyebab perceraian pada masyarakat diharapkan dapat menjelaskan permasalahan keluarga yang dapat mengakibatkan perceraian. Sehingga setelah mengetahui permasalahan pokok pemicu perceraian, masyarakat dapat menghindari masalah tersebut dalam kehidupan rumah tangganya.
D. Tinjauan Pustaka Terdapat penelitian-penelitian sebelumnya yang memiliki kaitan erat dengan penelitian ini. Pertama, Tesis Soejono (1996) mengenai disparitas pemutusan
hubungan
ikatan
suami
isteri
(perceraian)
di
Kotamadya
Ujungpandang (suatu studi komunikasi antarpribadi). Analisis dilakukan dengan metode kualitatif. Hasil temuan dari penelitian mengenai penyebab pemutusan hubungan adalah perbedaan persepsi, sikap, kepercayaan, perbedaan latar belakang keluarga, perbedaan pandangan dan komunikasi yang terjadi diantara mereka tidak efektif dan juga tidak harmonis (Soejono , 1996 : 9) Kedua, Tesis yang dirampungkan oleh Suci Karyana (2007). Suci meneliti mengenai alasan perceraian disebabkan percekcokan atas dasar pindah agama dan akibat hukumnya (studi di Pengadilan Agama Surakarta). Metode analisis data menggunakan analisis data kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa alasan 4
perceraian disebabkan percekcokan atas dasar pindah agama dapat dipakai untuk mengajukan permohonan bercerai di Pengadilan Agama. Ketentuan dalam Pasal 116 huruf h Kompilasi Hukum Islam menyatakan bahwa peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga. Dalam pertimbangan hukumnya hakim akan menilai apakah perkawinan telah menjadi retak berdasarkan bukti-bukti, saksi-saksi serta keyakinan hakim mengenai keadaan perkawinan tersebut (Suci Karyana, 2007). Ketiga, Tesis Rita M Simanungkalit (2008) yang berjudul Perceraian Pasangan Suami Isteri Kristen dan Problematikanya. Metode analisis data yang digunakan adalah kualitatif. Hasil penelitian menunjukan alasan-alasan perceraian dalam agama Katolik diperbolehkan dengan alasan yang wajar seperti percekcokan yang tidak mungkin didamaikan, murtad, kekerasan dalam rumah tangga dan juga perzinahan (Rita M Simanungkalit, 2008 : 8). Keempat, Tesis Heriyono (2009) mengenai Kekerasan dalam Rumah Tangga sebagai Alasan Terjadinya Perceraian Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam. Data yang digunakan dianalisis secara kualitatif. Hasil dari penelitian adalah bahwa konsep kekerasan dalam rumah tangga yang dapat menjadi alasan terjadinya perceraian di dalam UU No. 1Tahun 1974 dan KHI, yakni terdiri dari kekerasan psikis (Pasal 39 ayat (2) UU No. 1Tahun 1974), kekerasan fisik (Pasal 39 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974) serta penelantaran ekonomi (Pasal 39 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974). Dasar pertimbangan hukum Hakim PengadilanAgama dalam memutus perkara
5
perceraian dengan alasan adanya kekerasan dalam rumah tangga adalah UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 39 (Heriyono, 2009). Kelima, Tesis M. Imran Rosyadi (2009) mengenai Perceraian di Jakarta Selatan, Studi Pengaruh Tingkat Pendidikan dan Ekonomi Terhadap Perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Selatan Tahun 2006-2007. Tesis ini menggunakan pendekatan kuantitatif dan juga kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan rendahnya tingkat pendidikan dan ekonomi keluarga berkaitan dengan tingginya angka perceraian. Tingkat kebutuhan hidup disana tergolong tinggi sehingga terjadi kesenjangan yang cukup tinggi antara tingkat kemakmuran dengan upah minimum provinsi. Adanya kompleksitas masalah yang cukup tinggi. Sedangkan untuk mengatasi hal tersebut diperlukan kedewasaan yang sempurna dan kedewasaan itu dipengaruhi oleh tingkat pendidikan yang tinggi dan ekonomi yang kuat (M. Imran Rosyadi, 2009 : 7). Terdapat perbedaan dan persamaan penelitian saya dengan penelitian terdahulu. Perbedaan penelitian yang saya lakukan dengan penelitian sebelumnya terletak pada aspek fokus penelitian dan teori yang digunakan. Penelitian sebelumnya hanya fokus pada satu atau dua permasalahan penelitian. Misalnya perceraian yang disebabkan karena percekcokan atas dasar pindah agama saja, perceraian karena adanya kekerasan dalam rumah tangga saja dan faktor ekonomi dan pendidikan saja. Sedangkan penelitian saya bersifat lebih umum yang bertujuan mengidentifikasi semua faktor penyebab perceraian bukan hanya satu atau dua penyebab saja.
6
Penelitian sebelumnya sebagian besar hanya menggunakan satu teori yakni teori pertukaran sosial, sementara saya menggunakan dua teori yakni teori budaya perceraian dan juga teori pertukaran sosial. Teori pertukaran sosial yang digunakan pada penelitian sebelumnya seperti pada Tesis Soejono menekankan pada komunikasi antar pribadi. Sehingga tidak mengungkap faktor lain penyebab perceraian seperti faktor ekonomi, KDRT, perselingkuhan dan juga tidak memiliki anak. Sementara Tesis Suci Karyana, Rita, Heriyono dan Imran hanya menganalisis Teori Pertukaran Sosial dari salah satu penyebab perceraian saja. Sedangkan dalam penelitian saya Teori Pertukaran Sosial digunakan untuk menganalisis seluruh penyebab perceraian. Objek penelitian pun berbeda. Penelitian saya tidak hanya berfokus pada umat beragama tertentu, melainkan lebih menyeluruh kepada semua masyarakat. Namun terdapat pula persamaan penelitian saya dengan beberapa penelitian terdahulu yang menggunakan metode analisis data kualitatif dan sama-sama meneliti tentang perceraian yang terjadi pada pasangan berumah tangga.
E. Kerangka Teoritis Penelitian ini menggunakan dua teori, yakni Teori Budaya Perceraian yang dicetuskan oleh Barbara Dafoe Whitehead dan juga Teori Pertukaran Sosial (social exchange theory) yang dicetuskan oleh Homans.
7
1. Teori Budaya Perceraian Dalam Teori budaya perceraian Barbara mengatakan bahwa perceraian merupakan suatu hal yang sangat diterima sebagai sebuah hasil perkawinan (dianggap sebagai budaya) (Agung, 2013). Mereka mendefinisikan budaya perceraian sebagai keyakinan bahwa perkawinan adalah pilihan dan perceraian adalah jalan keluar dari permasalahan dalam pernikahan (Hackstaff, 1999 dalam Berita UGM, 2014). Bagi sebagian orang yang mengalami permasalahan dalam rumah tangganya dan tidak dapat menyelesaikannya dengan jalan damai dapat menjadikan perceraian sebagai jalan keluar. Sebaliknya, bagi mereka yang dapat menyelesaikan permasalahan rumah tangganya dengan baik maka dapat menghindari perceraian. Budaya perceraian berkaitan erat dengan perubahan budaya. Perubahan budaya menekankan pada pemenuhan kebutuhan pribadi yang tidak terpenuhi sehingga memilih jalan untuk melakukan perceraian (Andrew J. Cherlin, 1948 : 424). Anggapan wajar atau lumrahnya sebuah perceraian dalam masyarakat sebagai pertanda diterimanya perceraian sebagai hasil dari sebuah pernikahan. Hal ini merupakan bentuk dari pergeseran perspektif mengenai pernikahan dan perceraian serta semakin melemahnya kontrol sosial dari masyarakat. Budaya perceraian ini dipengaruhi oleh beberapa hal diantaranya produk dari industrialisasi (semakin tingginya tuntutan kaum wanita akan otonomi, keadilan, hak-hak dan imbalan yang harus mereka terima) serta beralihnya perubahan model dari keluarga luas menjadi keluarga conjugal (keluarga kecil) (William J. Goode, 2007). Hal tersebut membuat masyarakat
8
lambat laun terbiasa dengan banyaknya perceraian yang terjadi dan semakin beragamnya penyebab perceraian dalam rumah tangga.
2. Teori Pertukaran Sosial Teori Pertukaran Sosial dilandaskan pada prinsip transaksi ekonomis yang elementer; orang menyediakan barang atau jasa dan sebagai imbalannya berharap memperoleh barang atau jasa yang diinginkan. Ahli teori pertukaran memiliki asumsi sederhana bahwa interaksi sosial itu mirip dengan transaksi ekonomi. Akan tetapi mereka mengakui bahwa pertukaran sosial tidak selalu dapat diukur dengan nilai uang, sebab dalam berbagai transaksi sosial dipertukarkan juga halhal yang nyata dan tidak nyata diluar aspek materil. Secara sosiologis dalam teori pertukaran, perkawinan digambarkan sebagai pertukaran antara hak dan kewajiban serta penghargaan dan kehilangan yang terjadi antara suami dan istri (Karim dalam Ihromi, 1999). Sebuah perkawinan membutuhkan kesepakatankesepakatan bersama dalam mendukung proses pertukaran tersebut. Jika terdapat suatu ketidakseimbangan dalam proses pertukaran berarti adanya salah satu pihak yang diuntungkan dan dirugikan, serta akhirnya tidak mempunyai kesepakatan yang memuaskan ke dua belah pihak (Fachrina, 2014). Homans percaya bahwa proses pertukaran ini dapat dijelaskan lewat lima pernyataan proposisional yang saling berhubungan. Proposisi itu adalah proposisi sukses, stimulus, nilai, (deprivasi-satiasi) dan restu-agresi (approval-agression). Namun dalam penelitian ini proposisi deprivasi-satiasi tidak digunakan untuk menganalisis penyebab 9
perceraian dalam masyarakat. Melalui proposisi banyak perilaku sosial yang dapat dijelaskan (Margaret M. Poloma, 2004 : 60-61). Proposisi sukses, “Dalam setiap tindakan, semakin sering suatu tindakan tertentu memperoleh ganjaran, maka kian kerap ia akan melakukan tindakan itu“ (Homans, 1974: 16 dalam Margaret M. Poloma, 2004 : 61). Proposisi Nilai, “Semakin tinggi nilai suatu tindakan, maka kian senang seseorang melakukan tindakan itu” (Homans, 1974: 25 dalam Margaret M. Poloma, 2004 : 63). Proposisi Deprivasi-Satiasi, “Semakin sering di masa yang baru berlalu seseorang menerima suatu ganjaran tertentu, maka semakin kurang bernilai bagi orang tersebut peningkatan setiap unit ganjaran itu.” (Homans, 1974: 29 dalam Margaret M. Poloma, 2004 : 64). Proposisi stimulus: Jika di masa lalu terjadinya stimulus yang khusus, atau seperangkat stimuli, merupakan peristiwa di mana tindakan seseorang memperoleh ganjaran, maka semakin mirip stimuli yang ada sekarang ini dengan yang lalu itu, akan semakin mungkin seseorang melakukan tindakan serupa atau yang agak sama (Homans, 1974: 22 – 23 dalam Margaret M. Poloma, 2004 : 62).
Proposisi Restu – Agresi (Approval-Agression) Bila tindakan seseorang tidak memperoleh ganjaran yang diharapkannya, atau menerima hukuman yang tidak diinginkan, maka dia akan marah; dia menjadi sangat cenderung menunjukkan perilaku agresif, dan hasil perilaku demikian menjadi lebih bernilai baginya. Bilamana tindakan seseorang memperoleh ganjaran yang diharapkannya, khusus ganjaran yang lebih besar dari yang dikirakan, atau tidak memperoleh hukuman yang diharapkannya, maka dia akan merasa senang; dia akan lebih mungkin melaksanakan perilaku yang disenanginya, dan hasil dari perilaku yang demikian akan menjadi lebih bernilai baginya (Homans, 1974: 37-39 dalam Margaret M. Poloma, 2004 : 64-65). Teori pertukaran sosial ini berkaitan dengan penyebab perceraian dalam masyarakat. Hal ini terjadi karena adanya pertukaran yang tidak seimbang dalam 10
rumah tangga. Penyebab ekonomi yang memicu terjadinya perceraian seperti tidak terpenuhinya kebutuhan rumah tangga karena suami tidak lagi bekerja. Hal ini membuat seorang isteri yang bertugas mengurus rumah tangga, mengurus anak, memasak dan melayani suaminya tidak mendapatkan ganjaran yang sudah seharusnya Ia terima untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya. Selain itu ketika kebutuhan akan seks, kebutuhan akan kasih sayang, komunikasi yang seharusnya diberikan kepada pasangan dan hal itu tidak dapat terpenuhi sebagai sebuah pertukaran yang adil maka tentu akan mengakibatkan perpecahan dalam rumah tangga. Teori Pertukaran Sosial menurut Homans menjelaskan bahwa berbagai hubungan serta penjenjangan dalam masyarakat harus sesuai dengan apa yang disebut Homans sebagai distribusi keadilan (distributive justice). Ketika sedang berinteraksi orang mengharapkan ganjaran mereka harus seimbang dengan biayanya. Bilamana ganjaran-ganjaran tersebut kelak tidak sesuai lagi dengan distribusi keadilan itu maka kita akan berada dalam situasi ketidakadilan atau ketimpangan dalam distribusi ganjaran (Margaret M. Poloma, 2004 : 69). F. Definisi Konsep 1. Pengertian Makna Mansoer Pateda (2001:79) mengemukakan bahwa istilah makna merupakan kata-kata dan istilah yang membingungkan. Makna tersebut selalu menyatu pada tuturan kata maupun kalimat. Menurut Ullman (Mansoer Pateda, 2001:82) mengemukakan bahwa makna adalah hubungan antara makna dengan pengertian. Menurut Ferdinand De Saussure (Abdul Chaer, 1994:286) mengungkapkan bahwa pengertian makna sebagai pengertian atau konsep yang 11
dimiliki. Dari pendapat para ahli dapat disimpulkan bahwa makna adalah pengertian yang dimiliki dalam tuturan kata maupun kalimat.
2. Pengertian Pernikahan Undang-Undang R.I No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan, dalam pasal 1 yang berbunyi: Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Djoko, 2987 : 3). Pernikahan yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah pernikahan yang diakui secara shah oleh agama dan negara. Pernikahan yang telah dialami oleh mereka yang berumur lebih dari 30 tahun, untuk menghindari subyektifitas atau anggapan wajar terhadap mereka yang bercerai karena menikah pada saat belum cukup umur. a.
Pengertian Perceraian
Menurut Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan, putusnya perkawinan dapat karena kematian salah satu pihak, perceraian, keputusan pengadilan (Ihromi, 1999 : 135). Pasal 39 Undang-Undang Perkawinan mengatakan: 12
1) Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. 2) Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami-isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami-isteri. 3) Tatacara perceraian di depan Sidang Pengadilan diatur dalam peraturan perundangan sendiri (Ihromi, 1999 : 136). Terhadap ketentuan yang termuat di dalam Undang-Undang Perkawinan lebih lanjut menyebutkan bahwa alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk perceraian adalah sebagai berikut: 1) Salah satu pihak berbuat zinah atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan sebagainya yang sukar disembuhkan. 2) Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama dua tahun berturut-turut tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemauannya. 3) Salah satu pihak mendapat hukuman penjara lima tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung. 4) Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak yang lain. 5) Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami isteri.
13
6) Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan tidak ada harapan akan hidup rukun dalam rumah tangga (Ihromi, 1999 : 137-138). Sedangkan perceraian yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah cerai talak dan cerai gugat. Cerai talak adalah perceraian yang terjadi sebagai akibat dijatuhkannya talak oleh seorang suami terhadap isterinya, dimuka sidang Pengadilan. Cerai talak ini hanya khusus untuk yang beragama Islam. Sedangkan cerai gugat adalah perceraian yang terjadi akibat adanya gugatan salah satu pihak kepada Pengadilan (A. Mukhtie Fadjar, 1994 : 9). Penyebab perceraian pada masyarakat dalam penelitian ini mencakup seluruh aspek yang dapat mengakibatkan seseorang suami ataupun isteri mengambil keputusan untuk bercerai. Baik permasalahan dalam intern keluarga, maupun permasalahan yang timbul karena pengaruh luar termasuk pengaruh lingkungan sekitar.
G. Metode Penelitian 1. Pendekatan Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif dipilih bertujuan untuk melakukan penelitian secara mendalam mengenai permasalahan keluarga yang menyebabkan perceraian. Oleh karena itu, untuk mengetahui secara detail penyebab perceraian diperlukan wawancara mendalam kepada informan. Menurut Creswell (1998) penelitian kualitatif sebagai suatu gambaran kompleks, meneliti kata-kata, laporan terinci dan pandangan responden, 14
dan melakukan studi pada situasi yang dialami (Juliansyah, 2011:34). Sedangkan menurut Kirk dan Miller (1986: 9) penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan pada manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam bahasanya dan dalam peristilahannya (Lexy, 2004:3). Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan format deskriptif. Penelitian kualitatif dengan format deskriptif bertujuan untuk menjelaskan, meringkaskan berbagai kondisi, berbagai situasi, atau berbagai variabel yang timbul di masyarakat yang menjadi objek penelitian itu berdasarkan apa yang terjadi. Kemudian mengangkat kepermukaan karakter atau gambaran tentang kondisi, situasi, ataupun variabel tersebut (Bungin, 2003:36). 2. Subyek Penelitian Penelitian ini dilakukan terhadap orang-orang yang mengalami perceraian dalam rumah tangganya sebanyak 10 orang, yang terdiri dari 5 orang perempuan dan 5 orang laki-laki yang berumur 30 tahun ke atas. Hal ini dimaksudkan agar objek penelitian ini fokus pada perceraian yang dialami oleh warga yang membina rumah tangga bukan dengan usia dini dan telah cukup lama berpengalaman dalam berumah tangga, namun pada akhirnya mengalami perceraian juga. Agar menghindari subyektifitas, bahwa masyarakat dengan mudah menerima, apabila mereka yang bercerai berusia muda, karena alasan belum dewasa dan belum cukup umur. Selain, itu karena penelitian ini ingin mengetahui pandangan masyarakat mengenai fenomena perceraian maka dipilih 10 orang informan yang terdiri dari 3 orang tokoh agama dan 1 orang ketua RT, 1 orang ketua RW, 1 15
orang Amil atau petugas KUA dan 2 orang Ibu rumah tangga dan 2 orang kepala rumah tangga yang telah menikah selama 20 tahun atau lebih. Dipilihnya informan tersebut untuk mengetahui pandangan dari perspektif keagamaan, pemimpin warga, dan juga dari perspektif masyarakat yang telah memiliki pengalaman yang cukup dengan kehidupan berumah tangga. Sehingga jumlah keseluruhan informan dalam penelitian ini adalah 20 orang. Profil Informan yang bercerai dan profil informan yang terdiri dari tokoh masyarakat, tokoh agama, petugas KUA, dan anggota masyarakat dapat dilihat pada Tabel I.G.1 dan Tabel 1.G.2 di bawah ini
16
Tabel II.C.3. Profil Informan yang Bercerai
No
Nama
Umur
Pekerjaan
Pendidikan
Umur Menikah
Umur Bercerai
Lama Menikah
Suku Asal
Suku Asal Pasangan
Anak
1.
Agus Riyanto David
43 tahun 35 tahun 51 tahun
Kuli Bangunan Wiraswasta
SMA
28 tahun
40 tahun
12 tahun
Betawi
Betawi
SMA
20 tahun
30 tahun
10 tahun
Sunda
Betawi
Pembantu Rumah Tangga Buruh Pabrik
SD
15 tahun
48 tahun
33 tahun
Jawa
Jawa
2 orang 3 orang 4 orang
SMP
16 tahun
40 tahun
24 tahun
Betawi
Betawi
Karyawan Swasta Buruh Pabrik
SMA
22 tahun
36 tahun
14 tahun
Jawa
Betawi
SMA
20 tahun
35 tahun
15 tahun
Jawa
Jawa
Wiraswasta
SMA
22 tahun
33 tahun
10 tahun
Betawi
Betawi
Buruh Pabrik
SD
19 tahun
34 tahun
15 tahun
Jawa
Jawa
Buruh Pabrik
SD
21 tahun
41 tahun
20 tahun
Betawi
Betawi
Ibu Rumah Tangga
SD
18 tahun
40 tahun
22 tahun
Betawi
Jawa
2. 3.
Kusni Surni
4.
Nunung
5.
Saipudin
6.
Sukini
7.
Taufik
8.
Toyinah
9.
Wiwi Markani Suni Sartami
10.
45 tahun 38 tahun 48 tahun 33 tahun 40 tahun 42 tahun 44 tahun
17
2 orang 2 orang 3 orang 3 orang 4 orang 2 orang
Tabel I.G.2. Profil Informan yang Terdiri dari Tokoh Masyarakat, Tokoh Agama, Pegawai KUA, dan Anggota Masyarakat No Nama
Umur Pekerjaan
1.
Suhaimah 40 Lutfiah tahun
2.
Khairul (Elung)
32 tahun
3.
Enjam
45 tahun
4.
Sarip Dogol
38 tahun
5.
Kidit Surya
47 tahun
6.
Titin Masni
45 tahun
7.
Usum Sumiarni
8
Asen
9
Tarno
10
Ilyas Imana
Pendidikan Anak
Pendakwah di Bidang Keagamaan Pendakwah di Bidang Keagamaan Pendakwah di Bidang Keagamaan Kuli Bangunan dan Aparat Desa (Ketua Rukun Tetangga) Kontraktor dan Aparat Desa (Ketua Rukun Warga) Pembantu Rumah Tangga
S1
2 orang
SMA
1 orang
SMP
3 orang
SMP
2 orang
SMA
3 orang
SD
2 orang
41 tahun
Pembantu Rumah Tangga
SD
2 orang
43 tahun 50 tahun 42 tahun
Buruh
SD
2 orang 5 orang 4 orang
Wiraswasta Tidak Sekolah Pegawai SMA KUA
18
Profil informan di atas menunjukkan bahwa lamanya umur pernikahan tidak menjamin rumah tangga tidak mudah diterpa masalah. Idealnya pasangan yang sudah menikah selama bertahun-tahun sudah mengenal dengan baik sifat, perilaku dan kebiasaan satu sama lain. Namun hal ini tidak menjamin pernikahan berlangsung tanpa adanya masalah. Begitu pula pada tingkat pendidikan seseorang. Seseorang dengan tingkat pendidikan yang rendah yakni pelaku perceraian yang mengenyam pendidikan hanya sampai dengan SD maupun SMA dan sederajat belum memahami dengan baik dampak negatif dari perceraian itu sendiri. Perceraian berdampak buruk bagi kondisi psikiolgis anak. Sementara apabila mereka mengenyam pendidikan di Perguruan Tinggi mereka akan lebih mengetahui tentang dampak negatif perceraian bagi anak melalui penelitianpenelitian ilmiah yang dilakukan. Hasil dari penelitian ilmiah tersebut akan bermanfaat agar mereka memahami dampak perceraian bagi psikologis dan kepribadian anak sehingga akan berusaha mengindari terjadinya perceraian. Sementara itu perbedaan suku bukanlah menjadi suatu pengaruh yang berarti bagi para pelaku perceraian. Dapat dilihat pada tabel di atas bahwa antara kedua pasangan suami isteri yang berbeda suku yakni suku Jawa dan Betawi mengalami perceraian. Begitu pula hal yang sama terjadi pada pasangan yang berasal dari suku yang sama. 3. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kampung Ragamukti RT 04/01 Kecamatan Tajurhalang Desa Citayam Kabupaten Bogor Provinsi Jawa Barat. Dipilihnya lokasi ini sebagai tempat penelitian karena mudah dijangkau oleh peneliti serta 19
lokasi ini memiliki tingkat perceraian yang paling tinggi di Desa Citayam. Data diperoleh dari laporan jumlah perceraian kelurahan Desa Citayam hingga bulan Februari 2014 menunjukkan bahwa tercatat sebanyak 24 orang warga RT 04/01 yang mengalami perceraian di Kampung Ragamukti ini. Data tersebut dapat dilihat pada Table I.G.3. di bawah ini. Tabel I.G.3. Data Penduduk Berdasarkan Perceraian yang dialami di Desa Citayam hingga Bulan Februari Tahun 2014 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26.
Tempat Kampung Ragamukti Kampung Ragamukti Kampung Ragamukti Kampung Ragamukti Kampung Ragamukti Kampung Ragamukti Kampung Ragamukti Kampung Kaliputih Kampung Kaliputih Kampung Kaliputih Kampung Kaliputih Kampung Kaliputih Kampung Kaliputih Kampung Kaliputih Kampung Baru Kampung Baru Kampung Baru Kampung Baru Kampung Baru Kampung Baru Kampung Baru Kampung Bulu Kampung Bulu Kampung Bulu Kampung Bulu Kampung Bulu
RT/RW 01/01 02/01 03/01 04/01 05/01 06/01 07/01 01/01 02/01 03/01 04/01 05/01 06/01 07/01 01/01 02/01 03/01 04/01 05/01 06/01 07/01 01/01 02/01 03/01 04/01 05/01 20
Jumlah Penduduk Sudah Bercerai 7 Kepala Keluarga 12 Kepala Keluarga 19 Kepala Keluarga 24 Kepala Keluarga 8 Kepala Keluarga 9 Kepala Keluarga 13 Kepala Keluarga 11 Kepala Keluarga 9 Kepala Keluarga 21 Kepala Keluarga 15 Kepala Keluarga 19 Kepala Keluarga 6 Kepala Keluarga 9 Kepala Keluarga 8 Kepala Keluarga 23 Kepala Keluarga 9 Kepala Keluarga 13 Kepala Keluarga 12 Kepala Keluarga 22 Kepala Keluarga 18 Kepala Keluarga 10 Kepala Keluarga 19 Kepala Keluarga 20 Kepala Keluarga 12 Kepala Keluarga 14 Kepala Keluarga
27. Kampung Bulu 06/01 6 Kepala Keluarga Jumlah warga yang sudah 368 bercerai Kepala Keluarga (Data laporan Jumlah Perceraian Kelurahan Desa Citayam hingga Februari 2014) 4. Waktu Penelitian Peneliti membutuhkan waktu selama tiga bulan terhitung dari bulan Maret hingga Juni 2014. Waktu tersebut digunakan peneliti untuk memperoleh data melalui wawancara, observasi, bahan bacaan, bahan pustaka, laporan-laporan penelitian serta mengolah dan menganalisis data. Hal ini dilakukan agar penelitian dapat menghasilkan data secara lengkap dan akurat. 5. Jenis Data Sumber data utama dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain (Lexy J. Moleong 2009:157). Hasil didapatkan melalui dua sumber data, yaitu: a. Data primer Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari hasil wawancara yang diperoleh dari narasumber atau informan yang dianggap berpotensi dalam memberikan
informasi
yang
relevan
dan
sebenarnya
di
lapangan
(repository.unhas.ac.id, 2013). Di dalam penelitian ini yang menjadi sumber data primer adalah keterangan yang diperoleh dari 20 informan.
21
b. Data sekunder Data sekunder adalah sebagai data pendukung data primer dari literatur dan dokumen serta data yang diambil dari suatu organisasi dengan permasalahan di lapangan yang terdapat pada lokasi penelitian berupa bahan bacaan, bahan pustaka, dan laporan-laporan penelitian.dan laporan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya yang tercantum dalam tinjauan pustaka.
6. Teknik Pengumpulan Data Pada penelitian ini, peneliti menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut: a. Wawancara Metode wawancara adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan responden atau orang yang diwawancarai, dengan atau tanpa menggunakan pedoman (guide) wawancara (Bungin, 2013:133). Wawancara dilakukan secara mendalam terhadap 20 narasumber dengan tujuan memperoleh data dan informasi secara lengkap. Sebagian besar wawancara dilakukan masingmasing satu kali akan tetapi untuk beberapa informan wawancara juga dilakukan beberapa kali. Keterangan wawancara informan di Ragamukti RT 04 RW 01 dapat dilihat pada tabel Tabel I.G.4. di bawah ini.
22
Tabel I.G.4. Keterangan Wawancara Informan di Ragamukti RT 04 RW 01 No
Nama
1.
Bapak Agus
Wawancara Sebanyak 2 kali
2.
Bapak David
3 kali
3.
Bapak Saipudin
2 kali
4.
Bapak Taufik
2 kali
5.
Bapak Wiwi
2 kali
6.
Ibu Sukini
3 kali
7.
Ibu Yuni
2 kali
8.
Ibu Nunung
2 kali
9.
Ibu Toyinah
3 kali
10.
Ibu Kusni
3 kali
11.
Bapak Enjam
Ustadz 1 kali
1. 29 Maret 2014 2. 30 Maret 2014 1. 28 Maret 2014 2. 29 Maret 2014 3. 30 Maret 2014 1. 22Maret 2014 2. 23 Maret 2014 1. 27 Maret 2014 2. 28 Maret 2014 1. 22 Maret 2014 2. 23 Maret 2014 1. 24 Maret 2014 2. 25 Maret 2014 3. 26 Maret 2014 1. 25 Maret 2014 2. 26 Maret 2014 1. 19 Maret 2014 2. 20 Maret 2014 1. 19 Maret 2014 2. 20 Maret 2014 3. 21 Maret 2014 1. 19 Maret 2014 2. 20 Maret 2014 3. 21Maret 2014 22 Maret 2014
12.
Bapak Elung
Ustadz 1 kali
23 Maret 2014
13.
Ibu Ustadzah 1 kali Suhaimah
24 Maret 2014
14.
Bapak RT Sarip
28 Maret 2014
1 kali 23
Tanggal
Informan Bercerai Bercerai
Bercerai Bercerai Bercerai Bercerai
Bercerai Bercerai Bercerai
Bercerai
Ustadz yang memberikan pandangan Agama Ustadz yang memberikan pandangan Agama Ustadzah yang memberikan pandangan Agama Ketua RT
15.
Bapak RW Kidit
1 kali
27 Maret 2014
16.
Bapak Ilyas
1 kali
30 Maret 2014
17.
Bapak Asen
1 kali
30 Maret 2014
18.
Bapak Tarno
1 kali
30 Maret 2014
19.
Ibu Usum
1 kali
22 Maret 2014
20.
Ibu Titin
1 kali
22 Maret 2014
04/01 Ketua RW 04/01 Pegawai KUA Bogor Warga RT 04/01 Warga RT 04/01 Warga RT 04/01 Warga RT 04/01
7. Metode Pengolahan dan Analisis Data a. Reduksi Data Data yang diperoleh lapangan ditulis / diketik dalam bentuk uraian atau laporan yang terinci. Laporan-laporan tersebut direduksi, dirangkum serta dipilih hal-hal yang pokok untuk difokuskan pada hal yang penting, dengan susunan yang lebih sistematis. Data yang direduksi memberi gambaran yang lebih tajam tentang hasil pengamatan, juga mempermudah peneliti untuk mencari kembali data yang diperoleh bila diperlukan. b. Display Data ( penyajian data) Dari data yang dihasilkan melalui wawancara dan observasi serta bahan bacaan maupun bahan pustaka maka menghasilkan data yang banyak. Kemudian dari data tersebut akan dipilih informasi yang penting dan diperlukan untuk menjawab pertanyaan penelitian. Hanya data yang bersifat penting saja yang disajikan baik dalam bentuk tulisan, tabel maupun chart atau grafik. 24
c. Penarikan Kesimpulan Kesimpulan berisi inti dari hasil temuan penelitian di lapangan. Kesimpulan mengandung kalimat inti yang menjelaskan dan menjawab pertanyaan penelitian. Dari seluruh data yang telah di reduksi, setelah itu disajikan (display data) lalu kemudian diambil kesimpulan dari seluruh data yang diperoleh. Sehingga dapat menjelaskan keseluruhan penelitian secara singkat dan jelas.
25
H. Sistematika Penulisan Bab I Pendahuluan
: Bagian ini terdiri dari pernyataan masalah, pertanyaan penelitian,tujuan dan manfaat, tinjauan pustaka, kerangka teori metodologi penelitian dan juga sistematika penulisan.
Bab II Gambaran Umum
: Bagian ini memuat gambaran umum lokasi penelitian serta data kependudukan. Kondisi sosial, ekonomi, pendidikan serta agama untuk menunjang dan melengkapi data subjek penelitian. Bab ini juga berisi mengenai jumlah pernikahan dan perceraian, serta jumlah peningkatan setiap tahunnya.
Bab III Analisis dan Temuan
: Bagian ini berisi analisis dari hasil temuan penelitian di lapangan. Bab ini juga berisi hasil
wawancara
dan
observasi
yang
merupakan data primer yang dipergunakan untuk bahan analisa. Bab IV Kesimpulan dan Saran
: Bagian ini memuat kesimpulan dan saran. Kesimpulan dari seluruh hasil penelitian yang telah dilakukan serta saran yang berguna
untuk
selanjutnya.
26
keperluan
penelitian
BAB II GAMBARAN UMUM A. Letak Geografis dan Demografis Desa Citayam adalah salah satu Desa yang berada di kecamatan Tajurhalang, Kota Bogor. Desa ini merupakan daerah perkampungan yang di dalamnya masih terdapat sawah sebagai lahan pertanian, sungai, danau serta lahan perkebunan. Desa Citayam ini merupakan daerah yang strategis karena merupakan daerah yang dilalui untuk sampai ke Depok dan Jakarta. Desa Citayam yang di dalamnya terdapat aparatur pemerintah daerah dan warga memiliki peran yang penting dan potensi yang menunjang dalam membangun daerah ini untuk mencapai kemajuan di berbagai bidang, baik bidang ekonomi, sosial, politik maupun budaya. Berdasarkan profil Desa yang telah didata di Kelurahan Desa Citayam, letak geografis Desa Citayam berada pada 13 m di atas permukaan laut, dengan curah hujan 230 mm dengan jumlah bulan hujan selama 12 bulan dan tofografi rendah serta suhu udara rata-rata harian 280 C. Batas wilayah Desa Citayam yakni sebelah utara berbatasan langsung dengan Duren Seribu, Sawangan Depok, sebelah selatan berbatasan langsung dengan Sasakpanjang Bogor, sebelah timur berbatasan dengan Ragajaya, Bojong Gede Bogor, sedangkan sebelah barat berbatasan langsung dengan Duren Seribu, Sawangan Depok. Luas wilayah Desa Citayam sekitar 358,555 Ha. Desa Citayam memiliki 4 perkampungan yakni Kampung Ragamukti, Kampung Kaliputih, Kampung Baru dan Kampung Bulu. 27
Dari jumlah seluruh kampung tersebut terdapat 4 RW dan 27 RT. Hingga bulan Februari 2014 tercatat Desa Citayam ini memiliki jumlah penduduk sebanyak 9240 orang dengan kepadatan penduduk 387 per km. Dengan jumlah penduduk laki-laki sebanyak 4673 orang dan penduduk perempuan sebanyak 4567 orang. Kemudian jumlah kepala keluarga tercatat sebanyak 2591 KK (Data Laporan Kependudukan Desa Citayam hingga Februari 2014). B. Kondisi Kehidupan Sosial, Ekonomi, Pendidikan, dan Agama Penduduk Desa Citayam memiliki rasa kolektifitas dan rasa kebersamaan yang tinggi. Hal ini terbukti dengan rutinitas menjaga keamanan lingkungan dengan Ronda Malam, dan setiap hari minggu mereka bahu-membahu kerja bakti bersama membersihkan jalan dan lingkungan. Terdapat pula pengajian yang diselenggarakan dan dihadiri bersama baik anak-anak, remaja, ibu-ibu dan bapakbapak. Tidak hanya itu, disetiap kampung juga terdapat rumah produksi yakni padat karya dalam bentuk menghias Kerudung dan Baju dengan pernak pernik untuk kemudian dijual kepada konsumen. Penduduk yang bekerja di rumah industri tersebut adalah ibu-ibu rumah tangga. Sebagian besar mata pencaharian penduduk di Desa Citayam bertumpu pada sektor pertanian. Dari hasil bertani sayur-mayur, buah-buahan, beras maupun biji-bijian penduduk desa ini menggantungkan hidupnya. Dari data laporan kependudukan hingga bulan Februari 2014, paling banyak penduduk Desa Citayam mengais rezeki dari sektor pertanian (Data Laporan Kependudukan Desa Citayam hingga Februari 2014). Hal ini karena wilayah Desa Citayam terdapat sawah-sawah dan lahan yang luas untuk bertani, sehingga mendukung penduduk 28
Desa untuk mendapatkan keuntungan dari hasil bertani. Dari total luas wilayah Desa Citayam sekitar 358,555 Ha, luas persawahan yakni sekitar 109,000 Ha, dan perkebunan 28 Ha (Data profil Kelurahan Desa Citayam hingga Februari 2014). Komoditas tanaman yang dihasilkan dari pertanian yakni padi sawah, jagung, kacang tanah, kacang mede, ubi kayu, ubi jalar, mentimun, terong, bayam, kangkung dan kacang turis. Selain sebagai petani, mata pencaharian penduduk lainnya yakni dengan berprofesi sebagai buruh tani, PNS, pengrajin industri rumah tangga, pedagang keliling, dan profesi lainnya seperti yang terdapat pada Tabel II.B.1. di bawah ini (Data Laporan Kependudukan Desa Citayam hingga Februari 2014). Tabel II.B.1. Data Penduduk Desa Citayam Berdasakan Mata Pencaharian hingga Bulan Februari Tahun 2014 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15.
Jenis Pekerjaan
Laki-Laki (Orang) 800 150 17 Rumah 29
Petani Buruh tani Pegawai Negeri Sipil Pengrajin Industri Tangga Pedagang keliling Peternak Montir Bidan Swasta Perawat Swasta Pembantu Rumah Tangga TNI POLRI Pensiunan PNS/TNI/POLRI Pengusaha kecil dan menengah Jasa pengobatan alternative
38 3 11
Perempuan (Orang) 800 150 15 78 12
3 3 24 17 3 16 3 1 29
8 162
16. Arsitektur 1 17. Seniman/Artis 8 10 18. Karyawan perusahaan swasta 300 81 Jumlah orang yang bekerja 1397 1346 Jumlah keseluruhan pekerja 2743 laki-laki dan perempuan (Data laporan kependudukan Kelurahan Desa Citayam hingga Februari 2014) Dari data pada table di atas dapat terlihat bahwa 1600 orang penduduk bergantung pada sektor pertanian. Oleh karena itu tingkat pendapatan penduduk sebagian besar tergantung pada musim panen buah dan sayur mayur. Musim paceklik yang kerap kali datang yang mengakibatkan kekeringan serta membuat tanah menjadi tandus seringkali menghambat penduduk untuk mendapatkan uang untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Pekerjaan bertani dilakukan turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Umumnya lahan pertanian milik keluarga, diolah oleh anggota keluarga itu sendiri sehingga tidak mempekerjakan orang lain untuk memberikan pupuk, menggemburkan tanah dan menaburi bibit tanaman yang unggul. Mata pencaharian penduduk berkaitan erat dengan tingkat pendidikan dan keahlian yang dimiliki oleh penduduk itu sendiri. Penduduk Desa Citayam sebagian besar berpendidikan rendah, yakni hanya tamat Sekolah Dasar (SD) dan sederajat. Oleh karena itu, pekerjaan yang dapat dilakukan penduduk pun sebagian besar hanya bertani dan bergantung pada musim. Dari 9240 jumlah penduduk Desa Citayam hanya 8064 orang penduduk yang terdiri dari 5868 orang laki-laki dan 2196 orang perempuan yang mengenyam pendidikan formal. Hal ini menunjukkan bahwa kesadaran penduduk Desa Citayam akan pentingnya pendidikan terbilang rendah, karena sebanyak 30
1176 orang tidak pernah mengenyam pendidikan formal. Dari dari data diatas terlihat bahwa kaum perempuan lebih sedikit yang mengenyam pendidikan dari pada kaum laki-laki. Hal ini karena masih kentalnya pengaruh pandangan bahwa anak perempuan pada akhirnya hanya akan mengurus anak, suami dan rumah tangganya sehingga tidak perlu berpendidikan tinggi. Sementara anak laki-laki harus berpendidikan tinggi agar kelak mendapatkan pekerjaan yang layak untuk menafkahi keluarganya. Seperti yang terlihat pada Chart II.B.1. di bawah ini, dari 9240 jumlah seluruh penduduk Desa Citayam hanya dari sebanyak 3277 orang yang terdiri dari 2628 orang laki-laki dan 649 orang perempuan menyelesaikan pendidikannya hanya sampai tamat SD. Hal ini menunjukan rendahnya kesadaran akan pentingnya memiliki pendidikan yang tinggi. Padahal pendidikan itu sendiri bertujuan untuk mencerdaskan anak bangsa dan merupakan salah satu prasyarat memiliki pekerjaan yang menjanjikan. Orang tua yang bertugas untuk memberikan pendidikan yang layak bagi anaknya agar anakanaknya dapat menggapai cita-cita yang diimpikan mendorong anak yang telah lulus SMA/sederajat untuk bekerja ataupun menikah. Bagi anak-anak remaja yang tidak melanjutkan pendidikan ke bangku perguruan tinggi, hanya kedua hal itu yang menjadi pilihan anak-anak remaja selepas mereka lulus SMA/sederajat. Oleh karena itu, di Desa Citayam dari jumlah penduduknya 9240 orang hanya 58 orang yang dapat menyelesaikan pendidikan hingga jenjang S1 (Strata 1). Data penduduk berdasarkan tingkat pendidikan yang dimiliki tertera pada Chart II.B.1. di bawah ini.
31
Chart II.B.1. Data Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan yang Dimiliki di Desa Citayam hingga Bulan Februari Tahun 2014
(Data laporan kependudukan Kelurahan Desa Citayam hingga Februari 2014)
Berdasarkan Data kependudukan yang diperoleh hingga bulan Februari 2014, Desa Citayam didominasi oleh penduduk yang menganut agama Islam. Penduduk yang menganut agama Islam yakni sekitar 9062 orang yang terdiri dari 4542 orang laki-laki dan 4520 orang perempuan. Penduduk yang menganut agama Kristen yakni sebanyak 17 orang yang terdiri dari 11 orang laki-laki dan 6 orang perempuan. Penduduk yang menganut agama Katholik yakni sebanyak 5 orang yang terdiri dari 4 orang laki-laki dan 1 orang perempuan. Sedangkan penduduk 32
yang menganut agama Konghucu yakni sebanyak 156 orang yang terdiri dari 81 orang laki-laki dan 75 orang perempuan. Perbedaan agama yang terdapat di Desa ini dalam sejarahnya tidak pernah menimbulkan perpecahan dan konflik yang mengganggu kenyamanan umat beragama. Penduduk Desa Citayam hidup dalam kerukunan satu sama lain dan menghormati perbedaan keyakinan yang ada sehingga penduduk hidup dalam rasa nyaman dan damai. Berikut ini terdapat Tabel II.B.2 yang menunjukkan data penduduk berdasarkan agama yang di anut penduduk Desa Citayam. Tabel II.B.2. Data Penduduk Berdasarkan Agama yang Dianut di Desa Citayam hingga Bulan Februari Tahun 2014 No.
Agama
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Laki-Laki (Orang) 4542 11 4
Perempuan (Orang) 4520 6 1
Islam Kristen Katholik Hindu Budha Konghucu 81 75 Jumlah 4638 4602 Jumlah keseluruhan 9240 umat beragama lakilaki dan perempuan (Data laporan kependudukan Kelurahan Desa Citayam hingga Februari 2014) Keanekaragaman penduduk Desa Citayam dapat terlihat pada suku asal penduduk. Penduduk ada yang berasal dari suku Betawi, Jawa, Sunda, Madura, Minang, Melayu serta Suku Batak. Dari jumlah keseluruhan penduduk sebanyak 9240 orang Desa Citayam
penduduk yang berasal dari suku Betawi yakni 33
sebanyak 3914 orang. Sedangkan suku yang paling sedikit jumlahnya di Desa Citayam ini adalah suku Madura yakni sebanyak 5 orang. Suku lain yakni suku Jawa berjumlah 2407 orang, suku Sunda berjumlah 2826 orang, suku Minang berjumlah 12 orang, suku Melayu berjumlah 18 orang dan suku Batak sebanyak 58 orang. Berikut ini merupakan Chart II.B.2. yang menunjukkan data penduduk berdasarkan suku asalnya masing-masing. Chart II.B.2. Data Penduduk Berdasarkan Suku di Desa Citayam hingga Bulan Februari Tahun 2014
(Data laporan kependudukan Kelurahan Desa Citayam hingga Februari 2014) C. Data Kependudukan Mengenai Pernikahan dan Perceraian Berdasarkan data kependudukan yang tercatat hingga bulan Februari 2014, paling banyak penduduk menikah pada usia 21 tahun. Sebanyak 1450 orang menikah pada usia 21 tahun. Berdasarkan data yang diperoleh, terdapat 15 orang 34
yang menikah pada usia yang terbilang masih sangat muda yakni usia 14 tahun. Pada zaman dahulu umumnya orang tua menikahkan anaknya pada saat anaknya dirasa sudah akil baligh dan sudah tidak lagi bersekolah sehingga walaupun anaknya masih berumur 14 tahun, namun tetap saja dinikahkan karena dirasa sudah siap menjalani biduk rumah tangga. Disamping itu, dari data yang diperoleh terdapat paling sedikit 6 orang yang menikah di usia 33 tahun, karena usia tersebut terbilang sudah sangat cukup untuk menikah dan membina rumah tangga. Berikut ini terdapat Chart II.C.1. yang menunjukkan data penduduk berdasarkan usia menikah hingga tahun 2014. Chart II.C.1. Data Penduduk Berdasarkan Usia Menikah hingga Bulan Februari Tahun 2014
(Data laporan Jumlah Pernikahan Kelurahan Desa Citayam hingga Februari 2014) Dari keempat kampung yang terdapat di Desa Citayam, yakni Kampung Ragamukti, Kampung Kaliputih, Kampung Baru dan Kampung Bulu tercatat sebanyak 5182 orang penduduk yang telah menikah. Paling banyak pernikahan terdapat pada Kampung Kaliputih dari RT 01/ RW 01 hingga RT 07 RW 01 yakni 35
sebanyak 1718 orang yang menikah. Sedangkan paling sedikit pernikahan terdapat pada Kampung Ragamukti dari RT 01/ RW 01 hingga RT 07/ RW 01 yakni sebanyak 851 orang yang melakukan pernikahan. Pernikahan tersebut merupakan pernikahan yang shah menurut agama dan negara. Pernikahan ini juga telah terdata pada kantor kelurahan Desa Citayam. Berikut ini merupakan Tabel II.C.1. yang menunjukkan data penduduk berdasarkan jumlah penduduk yang menikah di setiap RT dan RW di Desa Citayam. Tabel II.C.1. Data Penduduk Berdasarkan Jumlah Penduduk yang Menikah di Setiap RT dan RW di Desa Citayam hingga Bulan Februari Tahun 2014 No.
1. Kampung Ragamukti
Jumlah Penduduk Sudah Menikah – 851 orang
2.
– 1718 orang
3. 4.
(Data
Tempat
RT/RW
01/01 07/01 Kampung Kaliputih 01/01 07/01 Kampung Baru 01/01 07/01 Kampung Bulu 01/01 06/01 Jumlah warga yang sudah 5182 menikah orang laporan Jumlah Pernikahan Kelurahan
– 1560 orang – 1053 orang
Desa Citayam hingga Februari
2014). Daerah Desa atau perkampungan yang pada kondisi idealnya masih terdapat nilai-nilai kolektifitas dan kebersamaan yang tinggi, jauh dari sikap individualisis, penduduknya menganut nilai-nilai agama yang tidak menganjurkan 36
perceraian namun terdapat banyak percaraian yang terjadi didalamnya. Kelurahan Desa Citayam mencatat sejak tahun 2010 hingga bulan Februari 2014 terdapat peningkatan jumlah perceraian yang signifikan. Peningkatan perceraian tersebut terjadi pada tahun 2013. Fenomena peningkatan jumlah perceraian ini tentu saja dipengaruhi oleh berbagai faktor penyebab sehingga dapat menjadi sebuah informasi yang bermanfaat bagi masyarakat pada umumnya. Dibawah ini merupakan Chart II.C.2 yang menunjukan data penduduk berdasarkan jumlah perceraian yang terjadi di Desa Citayam. Chart II.C.2. Data Penduduk Berdasarkan Jumlah Perceraian yang Terjadi Pada Tahun 2010 - Februari 2014 di Desa Citayam
(Data laporan Jumlah Perceraian Kelurahan Desa Citayam hingga Februari 2014).
37
BAB III ANALISIS DAN TEMUAN A. Makna Pernikahan dan Perceraian dari Masyarakat 1. Makna Pernikahan dari Masyarakat a. Kriteria Pernikahan Makna mengenai pernikahan dari sebagian informan lebih dipengaruhi oleh kehidupan keluarganya dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Hal ini disebabkan karena intensitas interaksi yang cukup tinggi dengan anggota keluarga, sehingga peran dan kedudukan anggota keluarga berpengaruh bagi pemahaman anak mengenai pernikahan itu sendiri. Hal ini ditunjukkan dengan informasi yang diungkapkan oleh Bapak David bahwa “Kata saya mah nikah ya ngucapin ijab qabul, keluarga tambah banyak. Suami gawe ngidupin keluarga, isteri ngurusin anak di rumah” (Wawancara pribadi dengan Bapak David, Bogor, 28 Maret 2014). Diungkapkan oleh Bapak Saipudin, “Nikah ya biar punya anak buat nerusin kita kesononya. Sing penting tuh ngajarin anak sopan santun biar ora songong, ngasih tau apa yang ora boleh dikerjain” (Wawancara pribadi dengan Bapak Saipudin, Bogor, 22 Maret 2014). Pernikahan yang shah harus memenuhi prosedur dan syarat-syarat yang telah ditetapkan. Pernikahan akan memiliki kekuatan hukum, diakui negara dan agama. Akan ada dampak negatif apabila pernikahan hanya dilakukan secara agama saja. Tindakan memenuhi prosedur menikah dicatatkan di KUA (Kantor Urusan Agama) lebih menguntungkan pihak wanita dibanding nikah sirih saja. Pengetahuan mengenai pernikahan dari sudut pandang pegawai di Kantor Urusan Agama yakni diungkapkan oleh Bapak Ilyas: 38
Nikah itu bukan kudu ada mahar doang, tapi kudu di cacet di KUA, biar diakuin ama Negara. Nikah secara agama doang mah pihak cewek yang rugi atuh, ga dapet buku nikah terus anaknya ga punya akte lahir (Wawancara pribadi dengan Bapak Ilyas, Bogor, 30 Maret 2014).
b. Kesiapan untuk Menikah Menikah sangat terkait dengan persiapan untuk menjalani pernikahan itu sendiri. Selain harus adanya kesiapan materi, pernikahan juga membutuhkan kesiapan mental untuk membina hubungan keluarga. Kesiapan tersebut berfungsi untuk menunjang kehidupan berumah tangga untuk jangka waktu yang panjang. Hal inilah yang dialami oleh Bapak Wiwi, “Kalo ada kerjaan, udah rajin solat, punya tabungan sendiri terus nikah. Jadi anak isteri kebiayain. Dikit-dikit bisa lah ngajarin ibadah mah” (Wawancara pribadi dengan Bapak Wiwi, Bogor, 22 Maret 2014).
c. Pernikahan untuk Merubah Status Sosial Ekonomi Kondisi sosial dan perekonomian keluarga membuat seorang anak termotivasi untuk membawa keluarganya kepada kehidupan yang lebih baik. Melalui pernikahan dengan orang yang memiliki status sosial maupun kehidupan ekonomi yang menjanjikan diharapkan dapat merubah nasib dirinya sendiri dan juga keluarganya. Dengan begitu maka status sosial diri dan keluarganya di dalam masyarakat akan meningkat. Pernikahan bukan hanya bertujuan untuk mereproduksi keturunan serta membentuk keluarga baru. Juga sebagai alat untuk meningkatkan status sosial ekonomi seseorang. Pernikahan untuk meningkatkan status sosial ini juga bertujuan agar kelak kehidupan anak hingga cucunya 39
terjamin secara materi. Hal ini diungkapkan oleh Ibu Sukini,“Nikah mah dipake buat ngubah nasib. Disini aja nih banyak yang nikah ngicer harta bodo amat udah tua ge” (Wawancara pribadi dengan Ibu Sukini Bogor, 24 Maret 2014). Diperkuat oleh Ibu Yuni,“Cewek itu biasanya dialem-alem cuma kalo dia bisa ngedapetin laki orang kaya. Numpang kaya buat ngidupin orang tuanya” (Wawancara pribadi dengan Ibu Yuni, Bogor, 25 Maret 2014).
d. Makna yang Dipengaruhi Tayangan Televisi Makna pernikahan menurut sebagian informan yang lain lebih dipengaruhi oleh media massa terutama Televisi. Media masa terutama televisi merupakan media penyampaian berita yang paling dekat dan berpengaruh karena berada di dalam lingkungan rumah. Peran media massa sangat besar dalam membentuk pemahaman seseorang tentang pernikahan. Ketika dalam sebuah keluarga seseorang lebih sering menonton Televisi daripada berinteraksi dengan keluarga ataupun tetangga, maka media televisi tersebutlah yang paling berpengaruh. Media massa seperti televisi tidak hanya berpengaruh dalam membentuk pemahaman seseorang mengenai pernikahan. Akan tetapi juga mempengaruhi karakteristik ataupun kepribadian seseorang. Melalui berita kejahatan yang dilakukan dalam keluarga, sinetron dan acara lain di televisi akan membuat seseorang lebih emosional. Diungkapkan oleh Ibu Nunung: Yang paling diperhatiin ama orang-orang tuh bukan akadnya, tapi resepsinya. Kasian yang ga punya duit susah nikah. Kayak orang kaya di TV ngadain resepsi gede-gedean mamerin duit (Wawancara pribadi dengan Ibu Nunung, Bogor, 19 Maret 2014). 40
Televisi merupakan media audio visual yang menyajikan beragam dinamika kehidupan Selebritis yang diidolakan masyarakat. Tayangan Televisi kerap kali menjadi contoh atau inspirasi bagi kehidupan rumah tangga keluarga. Hal ini diungkapkan oleh Bapak Taufik: Gara-gara di TV pada mejeng artis-artis ribut ama lakinya.Ibu-ibu disini malah ikutan ngumbar kejelekan lakinya. Sampe tetangga pada tau. Pada panas nih kuping dengerin pada ngegosip mulu. (Wawancara pribadi dengan Bapak Taufik, Bogor, 27 Maret 2014).
e. Pandangan Keagamaan Mengenai Makna Pernikahan Pernikahan membawa pengaruh positif dalam masyarakat. Agama pun sangat menganjurkan adanya pernikahan untuk membentengi diri dari hal-hal yang dilarang oleh agama maupun hal yang tidak diterima dalam masyarakat. Pernikahan yang merupakan langkah awal terbentuknya sebuah keluarga dianggap sebagai ladang amal karena kewajiban seorang isteri adalah mengabdi pada suaminya. Dari sudut pandang keagamaan, pernikahan merupakan sebuah janji suci serta amanah yang harus dipertahankan hingga akhir hayat. Pengetahuan mengenai pernikahan dari sudut pandang keagamaan diungkapkan oleh Bapak Ustadz Enjam: Disunahin ama Rasul. Utamanya muslimah yang punya suami kudu inget surga ada ditelapak kaki suaminya. Makanya jadi isteri kudu manut ama suami jangan ngebantah mulu. (Wawancara pribadi dengan Bapak Ustadz Enjam, Bogor, 22 Maret 2014).
Dipertegas oleh Ibu Ustadz Suhaimah: Itu mah amanah. Amanah mertua buat suami biar anaknya dijagain, amanah mertua biar isteri ngurusin suami. Dapet titipan dari Allah biar 41
anak di gembleng jadi anak yang bener (Wawancara pribadi dengan Ibu Ustadzah Suhaimah, Bogor, 24 Maret 2014).
Anggota masyarakat sebagai saksi ketika terjadinya sebuah pernikahan. Masyarakat merupakan muara bagi keluarga-keluarga yang berinteraksi. Masyarakat juga dapat menjadi alat kontrol sosial bagi sebuah keluarga untuk tetap bertahan. Masyarakat dapat mempengaruhi pandangan seseorang mengenai pernikahan. Melalui adat, tradisi serta norma yang dianut secara kental dalam masyarakat sekitar. Hal tersebut dapat secara langsung membentuk pemahaman seseorang mengenai pernikahan itu sendiri. Pengetahuan mengenai pernikahan dari beberapa anggota masyarakat yakni, diungkapkan oleh Ibu Usum: Nikah kalo buat suami, udah ada yang ngurusin, kalo buat isteri udah ada yang ngasih napkah, punya anak diajarin anaknya biar jadi anak bener. Di kampung ini mah sebenernya yang namanya pertahanin pernikahan mah kudu dilakuin udah jadi wajib bener (Wawancara pribadi dengan Ibu Usum, Bogor, 22 Maret 2014). Juga diungkapkan oleh Bapak Asen: Saya nyebutnya kawin, udah punya tanggungan gede. Tadinya kalo punya duit buat perut sendiri ama beli rokok. Kalo udah kawin duitnya buat ngasih bini, jajan anak, bayar segala macem (Wawancara pribadi dengan Bapak Asen, Bogor, 30 Maret 2014). Diungkapkan juga oleh Ibu Titin: Enaknya udah nikah ada apa-apa ditanggung bareng-bareng suami. Utang bayar bedua, punya anak ngurus bedua, lagi masih perawan mah apa-apa nanggung sendirian (Wawancara pribadi dengan Ibu Titin, Bogor, 22 Maret 2014). Berdasarkan temuan di lapangan penulis menyimpulkan bahwa makna pernikahan dari masyarakat dipengaruhi oleh berbagai hal tergantung pada lingkungan disekitarnya. Pengetahuan sebagian informan dipengaruhi oleh 42
kehidupan keluarganya dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Hal tersebut karena keluarga dengan interaksi yang memiliki intensitas tinggi telah terinternalisasi ke dalam diri individu. Serta pergaulan dalam masyarakat telah secara langsung mempengaruhi pemahaman seseorang mengenai pernikahan. Sebaliknya bagi sebagian informan yang lain, pengetahuan mereka lebih dipengaruhi oleh media massa terutama Televisi. Hal ini disebabkan karena salah satunya sarana penyampaian berita yang paling sering ditontonnya adalah melalui Televisi. Baik melalui sinetron, infotaiment maupun berita-berita yang telah disiarkan. Selain itu makna pernikahan sangat dipengaruhi dari bidang seseorang bekerja dan pengalaman sehari-hari dalam kehidupan pernikahannya. Berikut ini merupakan Tabel III.A.1. yang menggambarkan perbedaan makna pernikahan dari informan yang bercerai dengan Informan yang merupakan Tokoh Agama, Tokoh Masyarakat, Petugas KUA, dan anggota masyarakat Tabel III.A.1. Perbedaan Makna Pernikahan dari informan yang Bercerai dengan Informan Tokoh Agama, Tokoh Masyarakat, Petugas KUA, Anggota Masyarakat No.
1.
Makna Pernikahan Informan yang Bercerai
Informan Tokoh Agama, Tokoh Masyarakat, Petugas KUA, Anggota Masyarakat
Menekankan pada kewajiban yang harus dilakukan seseorang untuk menjalankan peran
Menekankan pada hak yang sudah diterima oleh anggota keluarga yang sudah menikah.
43
sebagai anggota keluarga yang sudah menikah. 2.
Memandang bahwa pernikahan sebagai cara untuk merubah status sosial ekonomi
Memandang bahwa pernikahan merupakan kewajiban bersama dalam memenuhi kebutuhan hidup.
3.
Permasalahan keluarga yang diceritakan kepada orang lain.
Menekankan pada kewajiban untuk mempertahankan rumah tangga
4.
Lebih dipengaruhi oleh media Televisi
Lebih dipengaruhi oleh pandangan keagamaan
Dari tabel perbedaan makna pernikahan diatas dapat terlihat bahwa informan yang mengalami perceraian lebih menekankan pada kewajiban yang harus dipenuhi dalam kehidupan pernikahan. Sehingga adanya keharusan bagi mereka untuk melaksanakan kewajiban tersebut. Sebaliknya, informan yang berasal dari masyarakat lebih menekankan pada hak yang mereka terima dalam menjalani kehidupan pernikahan. Sehingga mereka merasa lebih beruntung dalam menjalani kehidupan pernikahannya karena haknya terpenuhi. Informan yang mengalami perceraian juga memandang bahwa pernikahan dapat dijadikan sebagai cara untuk merubah status sosial ekonomi. Hal ini menunjukkan bahwa salah satu pasangan menggantungkan kehidupannya pada pasangan lainnya. Sedangkan menurut informan yang berasal dari masyarakat, pernikahan merupakan kewajiban bersama untuk memenuhi kebutuhan hidup. Hal ini menunjukkan bahwa orientasi masyarakat tidak hanya mengenai materi, akan
44
tetapi juga non materi seperti kasih sayang, perhatian maupun kemampuan untuk mengurus anak dan rumah tangga. Perbedaan lainnya terletak pada pengaruh yang diterima dalam memaknai pernikahan. Dari sebagian mereka yang bercerai lebih dipengaruhi oleh media Televisi. Sehingga ketika Televisi tersebut menayangkan kehidupan selebritis yang sedang mengalami permasalahan rumah tangga dan menjadi konsumsi publik maka merekapun melakukan hal yang sama. Permasalahan yang dialami dalam rumah tangga mereka kemudian juga menjadi konsumsi publik karena mereka ceritakan kepada orang lain. Sementara bagi mereka yang berasal dari masyarakat, lebih dipengaruhi oleh ajaran agama. Agama tidak memperbolehkan umatnya untuk menceritakan masalah atau aib keluarga sendiri. Sebaliknya agama menekankan untuk senantiasa bersabar dalam menghadapi masalah dan juga hidup rukun. Sehingga mereka lebih memilih untuk mempertahankan rumah tangganya. 2. Makna Perceraian dari Masyarakat Makna perceraian dapat berasal dari masa lalu informan maupun perasaannya terhadap perceraian itu sendiri. Makna diperlukan untuk mengetahui sejauh mana pemahaman masyarakat mengenai perceraian. Luas atau sempitnya pemaknaan tentu saja berpengaruh kepada tindakan yang dilakukan dalam mengambil keputusan untuk bercerai maupun menyikapi perceraian yang terjadi. Perceraian saat ini dianggap sebagai jalan keluar satu-satunya ketika menghadapi masalah yang terjadi terus menerus. Permasalahan yang ada membuat pasangan
45
suami isteri pada akhirnya akan menyerah untuk mempertahankan rumah tangga. Hal ini disebabkan karena mereka merasa berada pada kondisi yang tidak nyaman.
a. Perceraian sebagai Jalan Keluar atas Permasalahan Interaksi yang terjadi antara pasangan suami isteri tidak selalu berjalan lancar. Adanya kesalahfahaman, perbedaan pendapat maupun perbedaan kepentingan seringkali membuat interaksi yang terjadi berakhir dengan pertengkaran hebat. Pertengkaran tersebut tidak jarang diwarnai dengan aksi kekerasan dalam rumah tangga. Baik itu berupa kekerasa fisik maupun kekerasan psikis. Hal ini yang pada akhirnya membuat beberapa pasangan suami isteri memutuskan untuk bercerai. Seperti yang diungkapkan oleh Bapak David, “Cerai jadi udah paling ahir buat nyelesain masalah. Orang bosen we kalo tiap hari berantem, itu-itu mulu yang diributin.Gak ada abisnya” (Wawancara pribadi dengan Bapak David, Bogor, 29 Maret 2014).
b. Berubahnya Peran Anggota Keluarga Diutarakan pula oleh Bapak Taufik, “Cerai jadi ga punya rumah tangga lagi. Tiap hari bisa ngobrol, kudunya mah bisa ngomong bae-bae, tapi kalo ada salah-salah kata dikit be nyerocos” (Wawancara pribadi dengan Bapak Taufik, Bogor, 28 Maret 2014). Perceraian juga merubah fungsi keluarga. Anggota keluarga yang memiliki fungsi masing-masing seketika tidak lagi berfungsi dalam keluarga. Hal ini karena adanya perubahan status seseorang dari status seorang isteri menjadi seorang janda, dari perubahan status seorang suami menjadi 46
seorang duda. Oleh karena itu mereka yang bercerai tidak berhak lagi menerima pemenuhan hak dan kewajiban dari pasangan mereka masing-masing. Dengan terjadinya perceraian maka berakhir sudah kewajiban untuk menjalankan fungsi dalam keluarga. Sehingga hal ini menimbulkan perubahan peran anggota keluarga. Tidak menutup kemungkinan seorang Ibu merangkap menjadi seorang Ayah dengan menafkahi dan melindungi anak-anak mereka, dan begitu pula sebaliknya. Seperti yang diungkapkan oleh Ibu Nunung,“Cerai tuh udah ga bisa lagi nuntut segala macem. Dulu kalo ada apa-apa ditanggung berdua sekarang mah nanggung apa-apa sendirian.”(Wawancara pribadi dengan Ibu Nunung, Bogor, 20 Maret 2014). Diungkapkan oleh Ibu Toyinah, “Jadi punya keluarga baru. Ya ga lengkap, ga ada suami, anak suka dibawa pegih suami jadi kesepian mulu. Untungnya si bebas ngapain aja, ga ada yang ngatur-ngatur” (Wawancara pribadi dengan Ibu Toyinah, Bogor, 20 Maret 2014). Diungkapkan oleh Bapak Saifudin, “Cerai bisa jadi ditalak ama suaminya, bisa jadi digugat isterinya. Cara idup orang cerai beda bener, kan statusnya juga beda”(Wawancara pribadi dengan Bapak Saipudin, Bogor, 23 Maret 2014). Dari hasil temuan di atas terungkap bahwa mereka yang bercerai mengalami perubahan yang signifikan dalam hidupnya. Tidak ada lagi penopang hidup sebagai teman hidup, merasa tidak lagi menjadi keluarga yang lengkap dan juga harus menyandang status yang berbeda. Perubahan ini tentu saja tidak langsung diterima begitu saja oleh mereka yang bercerai. Kebiasaan-kebiasaan saat menikah masih menjadi bagian dari hal-hal yang selalu dilakukan setiap harinya. Namun pada akhirnya perubahan yang dialami akan menjadi hal yang 47
dapat diterima ketika mereka yang bercerai sudah dapat menyesuaikan diri dengan keadaan yang terjadi.
c. Perceraian sebagai Alasan Timbulnya Berbagai Permasalahan Pernikahan bagi mereka yang selalu mengalami permasalahan dalam rumah tangganya tentu membuatnya merasa tidak nyaman. Baik itu permasalahan yang kecil maupun besar. Permasalahan tersebut tidak menemui jalan keluar untuk membuat pernikahan tetap rukun. Sebaliknya permasalahan tersebut ada yang telah disimpan selama bertahun-tahun, tetapi juga ada yang timbul dalam kurun waktu yang singkat. Diungkapkan oleh Ibu Sukini, “Palingan ga ada orang yang pengen cerai. Nikah pengennya ge hidup seneng. Tapinya malah banyak masalah, yang ada malah ribut mulu” (Wawancara pribadi dengan Ibu Sukini, Bogor, 25 Maret 2014).
d. Pandangan Keagamaan Mengenai Makna Pernikahan Perceraian merupakan akhir dari pernikahan itu sendiri. Sedangkan perceraian merupakan sebuah janji yang diucapkan dihadapan Tuhan untuk membina hubungan keluarga. Agama menganjurkan untuk hidup rukun dalam menjalani kehidupan berumah tangga. Namun, hal ini tidak dapat dilakukan oleh mereka yang memutuskan untuk bercerai. Mereka yang bercerai menandai bahwa mereka tidak mampu menepati janjinya kepada Tuhan. Berikut ini merupakan perspektif mengenai perceraian dari sudut pandang agama yang diungkapkan oleh Bapak Ustadz. Elung: 48
Perceraian itu dibenci Allah. Berarti ingkar janji ama Allah. Soalnya waktu ijab qabul kan kita ngucap janji. Harusnya umat yang taat sama Allah ngejauhin diri dari perceraian (Wawancara pribadi dengan Bapak Ustadz. Elung, Bogor, 23 Maret 2014).
e. Perceraian harus mempertimbangkan berbagai hal Perceraian menandai berakhirnya kewajiban yang harus dipenuhi seseorang sebagai anggota keluarga. Hal ini mengakibatkan adanya perubahan peran dan kedudukan seseorang dalam anggota keluarga. Seperti halnya pernikahan yang membutuhkan persetujuan dari orang tua dan keluarga, perceraian juga dianggap harus diketahui oleh keluarga masing-masing. Hal ini karena perceraian tentu akan memiliki dampak tersendiri bagi kehidupan dirinya sendiri dan anak dari pernikahannya itu. Diungkapkan oleh Bapak Sarip, Cerai kalau bisa jangan dah kasian bocah, kan bocah pada belom ngerti urusan Emak Bapaknya. Cerai jadinya udah ga ada urusan lagi antara suami isteri (Wawancara pribadi dengan Bapak Sarip Bogor, 28 Maret 2014). Diungkapkan pula oleh Bapak Kidit, Cerai itu ga boleh buat orang isterinya lagi hamil, paling pantang suami nalak isteri yang lagi hamil. Cerai juga jadi misahin anak sama salah satu orang tuanya (Wawancara pribadi dengan Bapak Kidit Bogor, 27 Maret 2014). Berikut ini merupakan Tabel III.A.2. yang menggambarkan perbedaan makna perceraian dari informan yang bercerai dengan Informan yang merupakan Tokoh Agama, Tokoh Masyarakat, Petugas KUA, dan anggota masyarakat
49
Tabel III.A.2. Perbedaan Makna Perceraian dari informan yang Bercerai dengan Informan Tokoh Agama, Tokoh Masyarakat, Petugas KUA, Anggota Masyarakat No.
Makna Perceraian Informan yang Bercerai
Informan Tokoh Agama, Tokoh Masyarakat, Petugas KUA, Anggota Masyarakat
1.
Perceraian diambil sebagai jalan keluar atas permasalahan yang terjadi .
Perceraian seharusnya dijauhi oleh umat beragama.
2.
Perceraian sebagai alasan tidak mendapatkan kesenangan
Perceraian memisahkan anak dengan orang tua.
3.
Peceraian sebagai alasan timbulnya berbagai permasalahan.
Banyak hal yang harus dipertimbangkan ketika memutuskan untuk bercerai.
4.
Perceraian membebaskan diri dari berbagai aturan dari pasangan.
Perceraian merupakan hal yang dibenci Allah, dan tidak mematuhi perintah agama untuk hidup rukun.
Dari tabel diatas dapat terlihat perbedaan makna perceraian dari informan yang bercerai dan informan yang berasal dari masyarakat (Tokoh Agama, Tokoh Masyarakat, Petugas KUA, Anggota Masyarakat). Bagi informan yang bercerai, perceraian merupakan jalan keluar bagi permasalahan yang terjadi. Sehingga ketika permasalahan yang dihadapi tidak dapat diselesaikan dengan jalan damai, mereka memilih untuk bercerai. Sebaliknya bagi masyarakat perceraian bukanlah suatu jalan keluar, akan tetapi perceraian adalah suatu hal yang harus dihindari. 50
Sehingga permasalahan yang terjadi dihadapi dan diselesaikan secara baik-baik dan tidak mengambil keputusan untuk bercerai. Bagi informan yang bercerai, perceraian juga merupakan alasan karena dalam kehidupan pernikahannya tidak mendapatkan kesenangan yang diinginkan. Namun menurut masyarakat dengan perceraian tentu akan menimbulkan penderitaan, karena akan memisahkan anak dengan orang tuanya. Sehingga kehidupannya pun akan jauh dari kesenangan. Selain itu bagi informan yang bercerai, perceraian merupakan alasan timbulnya berbagai permasalahan. Salah satunya yakni terdapat berbagai aturan yang mengekang kebebasan pasangan. Sehingga perceraian dapat membebaskan dirinya dari berbagai aturan dan permasalahan yang terjadi. Sementara itu, menurut informan yang berasal dari masyarakat, perceraian membutuhkan pertimbangan dari berbagai hal. Salah satunya pertimbangan bahwa perceraian merupakan suatu hal yang tidak dianjurkan oleh agama. Selain itu harus mempertimbangkan kondisi anak, keluarga, dan juga reaksi masyarakat. Sehingga tidak mudah untuk mengambil keputusan untuk bercerai.
3. Makna Pernikahan dan Perceraian Makna pernikahan dan perceraian saat ini telah mengalami perubahan. Jika zaman dahulu belum masuknya budaya-budaya luar, maka di zaman dan tahun ini budaya-budaya luar sudah sangat diterima pada sebagian masyarakat tertentu. Informasi mengenai budaya yang dahulu belum berkembang, pada saat ini telah berkembang dengan pesat. Kepentingan yang dahulu berlandaskan kepentingan-kepentingan bersama, namun saat ini lebih berorientasi pada 51
pemenuhan kepentingan pribadi. Hal yang telah disebutkan di atas tentu akan berpengaruh untuk menimbulkan pergeseran perspektif masyarakat dalam memahami pernikahan dan perceraian. Berikut ini merupakan perspektif masyarakat mengenai pernikahan dan perceraian yang telah mengalami perubahan: a. Menekankan pada aspek ekonomi dalam Institusi Keluarga. Menekankan pada aspek ekonomi dalam keluarga ini mengandung pengertian bahwa dalam kehidupan keluarga yang paling penting atau yang paling diperhatikan adalah kondisi ekonomi atau keuangan keluarga. Segala sesuatunya diukur dengan materi, seperti yang diungkapkan oleh Ibu Sukini mengenai pernikahan, “Udah berubah ge. Nikah pengennya mah ama orang kaya mulu pada ngincer hartanya. Dulu pan nikah niatny masih bener” (Wawancara pribadi dengan Ibu Sukini, Bogor, 25 Maret 2014). Hal yang sama juga diungkapkan oleh Ibu Nunung, “Beda, dulu orang-orang ngeliatin akad nikah tapi sekarang mah ngeliatin pestanya” (Wawancara pribadi dengan Ibu Nunung, Bogor, 20 Maret 2014). Hal serupa juga diungkapkan oleh Ibu Titin mengenai pernikahan, “Ga kaia dulu, kawin taun ini udah tambah gede bae biayanya. Dulu apa-apa masih pada murah” (Wawancara pribadi dengan Ibu Titin, Bogor, 22 Maret 2014)
b. Menikah karena Pergaulan Bebas Pergaulan bebas ini melanggar nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat. Pergaulan bebas ditandai dengan melakukan perbuatan tercela dan mencerminkan akhlak yang buruk. Pergaulan yang dilakukan tanpa kebebasan 52
yang bertanggung jawab. Perbuatan seks bebas merupakan budaya yang berasal dari barat, dimana seks bebas merupakan hal yang biasa terjadi pada remaja pada umumnya. Masuknya film-film barat, video asusila dan budaya barat dengan pakaian yang minim telah menjadi trend bagi sebagian remaja Indonesia. Mereka yang mengikuti budaya barat tidak memiliki filter untuk menyaring budaya asing yang masuk ke tanah air. Oleh karena itu terjadilah perilaku menyimpang seperti hamil di luar nikah yang banyak di alami tidak hanya diperkotaan namun juga di perkampungan di Indonesia. Seperti yang diungkapkan oleh Ibu Kusni mengenai pernikahan, “Berubah lah. Ih nikah gara-gara hamil duluan bikin malu aja. Dulu mah boro-boro hamil duluan, nyolek aja malu” (Wawancara pribadi dengan Ibu Kusni, Bogor, 20 Maret 2014).
c. Perceraian menjadi Trend Trend merupakan suatu hal yang banyak dialami dan diikuti oleh masyarakat. Begitu pula dalam hal perceraian. Perceraian saat ini terlah banyak diikuti dan dialami oleh masyarakat bukan hanya dari kalangan masyarakat Kota, tetapi juga dari kalangan masyarakat Kampung. Seperti yang terjadi di Kampung Ragamukti RT 04/01. Keadaan ini berbading terbalik dengan keadaan dahulu dimana masyarakat berjuang untuk mempertahankan rumah tangganya, seperti yang diungkapkan oleh Ibu Kusni, “Dulu jarang banget yang cerai paling nih satu kampung ada dua tiga orang doang. Eh karang mah banyak bener (Wawancara pribadi dengan Ibu Kusni, Bogor, 20 Maret 2014). Hal yang sama juga diungkapkan oleh Ibu Titin, “Udah beda, orang malah pada bangga jadi janda, 53
dulu si orang pada malu ngejanda (Wawancara pribadi dengan Ibu Titin, Bogor, 22 Maret 2014).
d. Pengaruh Idola Masyarakat yang Melakukan Perceraian Artis merupakan salah satu kategori yang diidolakan oleh masyarakat. Artis mempunyai kharisma tertentu yang dapat menarik hati masyarakat dan ditiru kepribadian maupun gayanya. Tidak hanya itu, permasalahan pribadi yakni permasalahan rumah tangga artis saat ini telah menjadi konsumsi publik. Oleh karena itu tidak menutup kemungkinan, masyarakat yang mengidolakan artis yang bercerai juga melakukan hal yang sama, seperti yang diungkapkan oleh Bapak Agus, “Berubah, dulu tuh ga pada ngikutin artis cerai, sekarang mah pada ngikutin” (Wawancara pribadi dengan Bapak Agus, Bogor, 29 Maret 2014).
e. Penerimaan Masyarakat Terhadap Perceraian Saat ini perceraian tidak lagi dianggap sebagai suatu hal yang tabu dan jarang terjadi. Sebaliknya, perceraian sudah semakin diterima oleh masyarakat sebagai fase yang dialami oleh mereka yang sudah menikah. Dahulu, ketika ada warga yang bercerai maka masyarakat menanggapi hal ini dengan kritis. Namun, saat ini masyarakat lebih memilih untuk menerima perceraian dan tidak ikut campur dengan kepentingan pribadi orang lain, seperti yang diungkapkan oleh Bapak David, “Emang berubah, dulu orang cerai namanya udah jelek banget dikampung. Ibarat kata udah ga punya muka, sekarang we biasa aja”(Wawancara pribadi dengan Bapak David, Bogor, 29 Maret 2014). Serta diungkapkan pula 54
oleh Ibu Yuni, “Ga kayak sekarang, kata Emak saya dulu kalo orang cerai garagara punya simpenan terus diarak biar kapok” (Wawancara pribadi dengan Ibu Yuni, Bogor, 26 Maret 2014). Hal serupa juga diungkapkan oleh Ibu Sukini, “Kalo ada 1 orang aja yang cerai pada heboh bener. Pada rame gara-gara diusir. Sekarang mah sepi” (Wawancara pribadi dengan Ibu Sukini, Bogor, 25 Maret 2014). Hal yang sama juga diungkapkan oleh Ibu Nunung, “Tetangga dulu pada peduli ama orang cerai, sekarang udah pada cuek bebek”(Wawancara pribadi dengan Ibu Nunung, Bogor, 20 Maret 2014).
f. Terlalu Cepat Mengambil Keputusan Untuk Bercerai Keputusan untuk bercerai, bukanlah suatu hal yang mudah untuk diambil. Sudah sepatutnya hal tersebut dipikirkan terlebih dahulu dengan meminta pertimbangan berbagai pihak. Namun, tidak semua orang dapat mengendalikan rasa amarahnya. Sehingga sebagian orang yang tidak mampu mengendalikan rasa amarah pada akhirnya memilih jalan untuk bercerai. Hal ini diungkapkan oleh Ibu Toyinah, “Beda juga, sekarang ribut dikit cerai ribut dikit cerai, ribut sepele doang pake minta cerai. Orang dulu ya pada sabar makannya pada awet-awet” (Wawancara pribadi dengan Ibu Toyinah, Bogor, 20 Maret 2014). Hal serupa juga diungkapkan oleh Bapak Tarno, “Orang dulu ga gampang cerai, kudu mikir-mikir lagi. Orang sekarang mah gampang banget kepengen cerai” (Wawancara pribadi dengan Pak Tarno, Bogor, 30 Maret 2014). Dari hasil temuan di lapangan peneliti menyimpulkan bahwa terjadi pergeseran perspektif mengenai pernikahan dan perceraian. Diantaranya adalah 55
adanya pergaulan bebas,. biaya resepsi yang semakin meningkat seiring dengan naiknya harga kelengkapan pernikahan menjadi beban tersendiri bagi mereka yang menikah. Kadang kala pernikahan terhambat karena kurangnya biaya untuk mengadakan resepsi karena saat ini resepsi merupakan hal penting yang mutlak ada sebagai perayaan pernikahan itu sendiri.
4. Makna Tentang Budaya Perceraian (“Pernikahan dianggap sebagai pilihan, dan perceraian dianggap sebagai hasil dari pernikahan itu sendiri.”)
Budaya Perceraian menekankan pada anggapan bahwa pernikahan merupakan suatu pilihan hidup. Sebagai suatu keadaan dimana seseorang yang sedang menjalani hidupnya harus memilih untuk menikah atau tidak menikah. Hal ini menjadi penting karena pada kondisi ideal masyarakat pernikahan menjadi suatu hal yang harus dilakukan oleh orang yang normal. Sementara itu perceraian dianggap sebagai hasil dari pernikahan itu sendiri. Pernyataan bahwa pernikahan yang dijalani oleh pasangan suami isteri pada akhirnya akan membawa mereka pada perceraian. Seluruh informan yang mengalami perceraian yakni sebanyak 10 orang, memberikan pendapatnya mengenai budaya perceraian. Berikut ini merupakan pernyataan yang diungkapkan oleh Bapak David “Setuju soalnya kalo ga nikah pasti ga cerai lah. ”Diungkapkan pula oleh Bapak Taufik “Ya emang bener begitu nikah cuma dapet cerai, anak ga punya, duit dipinta.” Menurut Bapak Wiwi “Setuju aja saya mah, masi punya bini tiap ari ribut mulu kerjaannya, ngasilin apa kalo bukan cerai mah.” Menurut Ibu Nunung “Setuju banget tuh, kalo 56
tau bakalan cerai mah saya mending ga nikah deh.” Diungkapkan oleh Ibu Toyinah “Ga setuju, nikah kan ga buat cerai, tapi buat punya anak, punya cucu juga.” Diungkapkan pula oleh Ibu Yuni “Ga setuju, kalo begitu mah tiap orang yang nikah pasti cerai dong. Kan banyak nikah ampe mati.” Diungkapkan oleh Ibu Kusni “Setuju, pan yang namanya nikah pasti ribut, terus nih kalo uda ada ribut bawaannya pengen cerai ajah.”Diungkapkan pula oleh Bapak Agus “Setuju lah, nikah udah berapa taun tuh kalo emang udah kagak jodoh ya jadinya cerai.” Diungkapkan oleh Ibu Sukini: “Setuju aja we lah, kalo kitanya ga kuat-kuat mah nahan ambek mah ujung-ujungnya cerai juga. Diungkapkan pula oleh Bapak Saipudin “Ora setuju, pertamanya kan nikah mah bukan buat cerai, buat ngerasain seneng.” Dari hasil temuan lapangan di atas 7 dari 10 orang masyarakat yang bercerai setuju dengan pandangan bahwa pernikahan merupakan sebuah pilihan dan perceraian merupakan hasil dari pernikahan itu sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa budaya perceraian telah mendominasi dan berpengaruh dalam masyarakat yang mengalami perceraian. Budaya perceraian menunjukkan bahwa perceraian sebagai suatu hal yang dapat diterima sebagai hasil dari pernikahan Budaya merupakan hasil cipta rasa dan karsa manusia. Maka ketika pernikahan mengalami berbagai permasalahan dan menimbulkan ketidakcocokan dalam suatu hubungan hasilnya adalah perceraian. Ketika mereka memilih untuk menikah maka secara langsung mereka juga harus siap dengan resiko untuk mengalami perceraian.
57
Perceraian dianggap wajar dialami sebagai sebuah hasil dari pernikahan. Idealnya hasil dari hubungan pernikahan adalah tujuan pernikahan yang telah tercapai baik berupa kebahagiaan, materi maupun hal lain yang dianggap mempunyai arti bagi pasangan suami isteri. Namun ketika tujuan pernikahan tersebut tidak tercapai maka secara langsung pasangan suami isteri akan terlibat pada pertengkaran yang menghasilkan perceraian. Perceraian bagi salah satu informan merupakan akibat dari pernikahan yang dipilihnya. Hubungan pernikahan dan perceraian dianggap sebagai hubungan sebab akibat yang berkaitan erat satu sama lain seperti yang diungkapkan Bapak Taufik terhadap pandangan mengenai budaya perceraian, yakni, “Setuju soalnya kalo ga nikah pasti ga cerai lah.” Hasil temuan dari berbagai perspektif masyarakat mengenai pernikahan dan perceraian menunjukkan bahwa perspektif masyarakat dipengaruhi oleh lingkungan sekitar. Lingkungan sekitar sangat berpengaruh dalam membentuk pemahaman keluarga mengenai pernikahan dan perceraian. Baik pengaruh itu berikan melalui doktrin tertentu maupun cara yang lebih halus namun intens. Disamping itu dari hasil temuan di lapangan menyatakan bahwa terdapat perbedaan atau pergeseran pandangan mengenai pernikahan dan perceraian saat ini. Hal ini ditinjau dari berbagai sudut yakni budaya adat pernikahan yang sudah semakin ditinggalkan, biaya pernikahan yang menjadi syarat utama terjadinya pernikahan, hingga pada nilai-nilai moral dalam pergaulan seperti hamil di luar nikah yang telah banyak dialami oleh remaja masa kini. Disamping itu pemenuhan kebutuhan pribadi yang tidak terpenuhi menjadi alasan perceraian 58
pada akhirnya dapat diterima masyarakat. Kebutuhan pribadi yang beraneka ragam dan semakin meningkat setiap harinya menjadi tuntutan tersendiri bagi pasangan suami isteri. Ketika hal tersebut tidak dapat terpenuhi maka akan menimbulkan persepsi bahwa pasangan tidak mampu membuat dirinya hidup bahagia dan memutuskan untuk bercerai. Tidak hanya itu, perceraian saat ini dianggap sebagai suatu hal yang lumrah atau terjadi sebagai hasil dari sebuah pernikahan. Seluruh informan menganggap perceraian hal yang wajar dan 7 dari 10 informan yang bercerai sepakat bahwa perceraian merupakan hasil dari pernikahan. Hal ini kontras dengan pandangan masyarakat di zaman dahulu mengenai perceraian. Dahulu perceraian dianggap sebagai suatu hal yang tabu dan sangat dihindarkan, namun saat ini perceraian sudah terdengar “biasa” ditelinga masyarakat. Sehingga pada akhirnya masyarakat bisa menerima perceraian itu sendiri. Hal ini ditunjukkan dengan tidak ada lagi hukuman yang berat bagi mereka yang melakukan perceraian. Mereka yang bercerai hanya mendapat cacian atau makian saja dari tetangga atau masyarakat sekitar. Tidak ada lagi masyarakat yang merasa resah atas begitu banyak perceraian yang terjadi dan tidak ada lagi pengucilan maupun pengusiran bagi mereka yang bercerai agar mereka jera. Tak hanya itu perceraian dahulu dianggap sebagai suatu hal yang memalukan, tetapi temuan di lapangan menemukan banyak orang yang bangga telah bercerai. Seperti yang diungkapkan oleh Ibu Nunung, “Orang pada pengen nyari laki yang bisa ngidupin keluarganya. Jadi kalau ga mau dicerein kudu punya gawean. Gini-gini juga mending jadi janda, ketauan bisa ngidupin anak, ngebantuin orang tua, ga 59
mikirin apa-apa” (Wawancara pribadi dengan Ibu Nunung, Bogor, 20 Maret 2014). Serta diungkapkan pula oleh Ibu Sukini, “Banyak jalan keluar apa pisah ranjag dulu terus baikan lagi, apa diomongin dulu kan bisa. Tapi kadung dicerain begini ya jadi saya ga ngebatin tiap ari ngimpiin pengen punya mobil ama rumah. Ya sekali-kali saya jadi bisa ngerasain nginjek rumah gedongan” (Wawancara pribadi dengan Ibu Sukini, Bogor, 26 Maret 2014). Hal serupa diungkapkan pula oleh Ibu Titin, “Udah beda, orang malah pada bangga jadi janda, dulu si orang pada malu ngejanda (Wawancara pribadi dengan Ibu Titin, Bogor, 22 Maret 2014). Hal inilah yang menunjukkan bahwa terdapat pergeseran perspektif dalam masyarakat mengenai pernikahan dan perceraian saat ini.
A. Faktor Penyebab Perceraian Dalam Masyarakat Penyebab perceraian karena berbagai alasan dan diakibatkan karena berbagai aspek permasalahan seperti dipaparkan pada hasil temuan berikut ini. Dibawah ini terdapat 5 faktor penyebab terjadinya perceraian yang dialami informan, yakni faktor ekonomi, faktor perselingkuhan, faktor memiliki isteri yang bekerja, faktor kekerasan dalam rumah tangga, dan faktor tidak memiliki keturunan. Permasalahan yang diungkapkan merupakan faktor utama yang menjadi penyebab perceraian dan menghambat mereka untuk melanjutkan pernikahannya, yakni: 1. Faktor ekonomi Faktor ekonomi yakni sebagai bentuk tidak terpenuhinya kebutuhan keluarga karena seorang suami yang tidak bekerja. Faktor penyebab tersebut 60
merupakan bentuk penyalahgunaan hak dan kewajiban sebagai pasangan suami isteri. Bentuk penyalahgunaan tersebut ditunjukkan dengan ketidakmampuan suami dalam memberi nafkah. Bentuk penyalahgunaan tersebut mengisyaratkan terjadinya pertukaran yang tidak seimbang dalam kehidupan berumah tangga. Pertukaran sosial seharusnya terjadi secara adil dengan terpenuhinya hak dan kewajiban anggota keluarga. Usaha yang dilakukan pasangan sebagai seorang isteri dengan menjaga anak-anak dan mengurus rumah tangga seharusnya mendapat imbalan berupa pemenuhan kebutuhan hidup secara materil dari suaminya, begitu pula sebaliknya. Namun apabila hal ini tidak terpenuhi maka akan menyulut terjadinya pertengkaran dan perceraian. Diungkapkan oleh Ibu Nunung: Saya cerai gara-gara punya laki nganggur. Udah nganggur, ga usaha pisan udah gitu sering gebukin saya. Ketauan melarat pengen madang ama yang enak-enak. Dari pada ngebatin mulu mah mendingan cerai dah (Wawancara pribadi dengan Ibu Nunung, Bogor, 20 Maret 2014).
Diungkapkan pula oleh Ibu Toyinah: Punya utang betaun-taun, yang ada suami nambahin utang doang. Boroboro bisa nyicil bayar utang, malah makin numpuk. Ya saya kerja buat bayar utang tapi suami numpuk utang rokok, jadinya cerai (Wawancara pribadi dengan Ibu Toyinah, Bogor, 21 Maret 2014).
Permasalahan yang menjadi penyebab perceraian tersebut dapat dijelaskan menggunakan Teori Pertukaran Sosial. Teori Pertukaran Sosial menyatakan bahwa harus adanya pertukaran yang seimbang antara usaha yang dilakukan dengan imbalan yang didapatkan. Dengan tidak terpenuhinya kebutuhan pokok karena memiliki suami pengangguran maka imbalan bagi isteri karena sudah 61
mengurus rumah tangga tidak bisa didapatkan. Hal ini membuat isteri merasa bahwa Ia tidak lagi mendapatkan hak yang sudah seharusnya didapatkan. Akibatnya
pertukaran
yang
seimbang
tidak
terjadi
dan
menimbulkan
permasalahan yang menjadi pemicu keretakan dalam rumah tangga. Pertukaran yang seimbang hanya dapat terjadi apabila seorang suami dapat melakukan tugasnya sebagai pencari nafkah, sedangkan isteri mengurus rumah tangga termasuk anak-anak di dalamnya. Namun kondisi ideal yang diharapkan tersebut tidak semua orang dapat mengalaminya. Proposisi Restu – Agresi (Approval-Agression) yakni: Bila tindakan seseorang tidak memperoleh ganjaran yang diharapkannya, atau menerima hukuman yang tidak diinginkan, maka dia akan marah; dia menjadi sangat cenderung menunjukkan perilaku agresif, dan hasil perilaku demikian menjadi lebih bernilai baginya. Bilamana tindakan seseorang memperoleh ganjaran yang diharapkannya, khusus ganjaran yang lebih besar dari yang dikirakan, atau tidak memperoleh hukuman yang diharapkannya, maka dia akan merasa senang; dia akan lebih mungkin melaksanakan perilaku yang disenanginya, dan hasil dari perilaku yang demikian akan menjadi lebih bernilai baginya (Homans, 1974: 37-39 dalam Margaret M. Poloma, 2004 : 64-65).
Proposisi di atas juga dapat menjelaskan perilaku informan. Kasus yang dialami oleh Ibu Nunung yakni seringkali dipukuli karena suaminya tidak memperoleh makanan yang enak dan mahal. Hal ini terjadi karena suami dari Ibu Nunung adalah seorang pengangguran dan tidak mampu memberikan uang untuk membeli bahan makanan yang cukup mahal dan enak menurutnya.
Karena
suaminya tidak mendapat imbalan berupa makanan yang mahal dan enak maka Ia kerapkali berlaku agresif dengan memukuli isterinya. Perlakuan agresif itu menjadi penting dan bernilai bagi suaminya dengan harapan bahwa isterinya akan 62
memberikan makanan yang Ia inginkan. Hal yang sama juga dialami oleh Ibu Toyinah. Ia telah melaksanakan tugasnya sebagai Ibu rumah tangga, namun Ia tidak mendapatkan imbalan yang seharusnya Ia terima. Sebaliknya, Ibu Toyinah mendapatkan hukuman berupa bertambahnya hutang keluarganya akibat perbuatan suaminya pada saat itu. Kemudian Ibu Toyinah merasa marah dan memutuskan untuk bercerai dengan suaminya. Perceraian menjadi lebih bernilai bagi Ibu Toyinah karena setelah bercerai, Ia bekerja untuk melunasi hutang keluarganya yang sudah menumpuk tersebut.
2. Faktor Perselingkuhan Faktor perselingkuhan merupakan faktor yang paling banyak dialami oleh informan dalam penelitian ini. Sebanyak 4 dari 10 orang mengalami perselingkuhan
maupun
diselingkuhi.
Hal
ini
merupakan
bentuk
dari
penyalahgunaan kepercayaan yang telah diberikan pasangan suami isteri satu sama lain. Mereka yang mengalami kasus perselingkuhan ini cenderung tidak dapat menerima kembali pasangannya dan memutuskan untuk bercerai. Seperti yang diungkapkan oleh Bapak Agus, “Bini saya ya kepergok ketauan maen belakang ama bosnya. Kagak nunggu lama-lama langsung tuh saya cerain didepan bosnya biar pada puas (Wawancara pribadi dengan Bapak Agus, Bogor, 30 Maret 2014). Diungkapkan pula oleh Bapak David: Saya punya flek paru-paru, ama dokter ga boleh tidur bareng isteri sampe sembuh, takut nular. Pertamanya mah isteri saya sabar, sampe 6 bulan kira-kita. Dia bosen kali kudu pisah ranjang mulu ama saya, ampe saya 63
denger isteri saya selingkuh terus kabur ama pacar barunya. Anak saya jadi kelantar (Wawancara pribadi dengan Bapak David, Bogor, 30 Maret 2014). Diungkapkan oleh Ibu Yuni: Saya paling ga kuat dah ngeliat suami saya sampe nikah ama orang laen. Nyeuri hate rasana mah. Apalagi dimadu ogah pisan. Mending jadi janda daripada kudu ngerasain pait dimadu gituh.(Wawancara pribadi dengan Ibu Yuni, Bogor, 26 Maret 2014). Diungkapkan oleh Ibu Sukini: Seumur-umur pengen banget ngerasain seneng punya rumah, punya mobil. Terus saya pacaran ama orang kaya. Kagak lama ketauan, ada tetangga yang ngadu ke laki saya ahirnya saya ditalak (Wawancara pribadi dengan Ibu Sukini, Bogor, 26 Maret 2014).
Teori Pertukaran Sosial juga dapat menjelaskan kasus perselingkuhan yang dialami pasangan suami-isteri. Di dalam kehidupan rumah tangga, baik salah satu maupun kedua pasangan suami isteri kerap kali merasa tidak terpenuhi kebutuhannya. Baik itu kebutuhan materi maupun non-materi seperti kasih sayang dan juga komunikasi. Hal ini merupakan pondasi dalam kehidupan rumah tangga. Maka apabila kebutuhan akan materi dan non-materi tersebut tidak terpenuhi akan mempengaruhi mereka untuk mencari sosok pasangan yang dapat memenuhi kebutuhan hidupnya secara maksimal. Dalam kasus perselingkuhan yang didasari karena tidak terpenuhinya kebutuhan pasangan suami isteri tentu terjadi pertukaran yang tidak adil di dalamnya. Mereka yang melakukan perselingkuhan bisa saja berada dalam situasi ketidakadilan atau ketimpangan dalam distribusi ganjaran. Ketika salah satu 64
pasangan sudah melakukan tugasnya dengan baik dan tidak mendapatkan pemenuhan kebutuhan yang diinginkan, maka Ia berada dalam situasi ketidakadilan atas distribusi ganjaran yang sudah seharusnya didapatkan. Proposisi nilai, “Semakin tinggi nilai suatu tindakan, maka kian senang seseorang melakukan tindakan itu” (Homans, 1974: 25 dalam Margaret M) Proposisi tersebut dapat menjelaskan salah satu perilaku informan bahwa dirinya melakukan perselingkuhan karena ingin merasakan memiliki rumah dan mobil. Ketika perselingkuhan tersebut dilakukan seorang isteri demi kenyamanan memiliki rumah dan mobil maka semakin senang orang tersebut melakukan perselingkuhan. Proposisi ini menunjukkan bahwa ketika seseorang mendapatkan imbalan maka semakin senang pula Ia melakukan hal-hal yang membuatnya dapat merasakan imbalan tersebut. Hal ini dialami pula oleh Bapak David. Sakit yang diderita Pak David membuatnya tidak dapat memenuhi kebutuhan seksual isterinya sehingga isterinya selingkuh dengan pacar barunya. Tentu saja pacar barunya tersebut tidak menderita penyakit yang dialami oleh Pak David. Oleh karena itu, tentu saja pacar barunya tersebut nantinya akan dapat memenuhi kebutuhan seksualnya. Hal-hal yang tidak dapat dipenuhi pasangan masingmasing pada akhirnya dapat dipenuhi oleh orang lain. Pada akhirnya hidup bersama orang lain yang dapat memenuhi kebutuhan hidupnya akan lebih dipilih agar Ia dapat selalu merasakan bahwa kebutuhan maupun masa depannya dapat terjamin.
65
3. Faktor Memiliki Isteri Bekerja Kehidupan penikahan dipimpin oleh seorang suami sebagai kepala rumah tangga. Suami memiliki kewajiban memberikan nafkah, menjaga, melindungi dan memberikan rasa nyaman di dalam keluarga. Suami juga memiliki kekuasaan untuk mengatur urusan rumah tangga bersama isterinya. Seorang suami bertindak sebagai imam yang patut dihormati dalam keluarga. Sebagai tulang punggung keluarga, suami memiliki peranan yang sangat penting. Tidak hanya pengorbanan dalam bekerja yang perlu dihargai, namun juga keinginan dan perintah suami dalam menyuruh kebaikan wajib diikuti oleh seorang isteri. Termasuk melarang isteri untuk bekerja. Seorang isteri tidak diperbolehkan mengambil tindakan diluar izin dari suaminya. Terlebih lagi hal ini sudah melalui pertimbangan dari berbagai hal seperti tidak adanya lagi waktu untuk mengurus anak dan suami dirumah.
Diungkapkan oleh Bapak Wiwi: Saya ga ngasih bini gawe, palingan laki ama bocah mah pada ga keurus. Eh tiap ari bawaannya ngomel mulu, gaji mah ga seberapa tetep be pengen kerja, ahirnya saya talak we (Wawancara pribadi dengan Bapak Wiwi, Bogor, 23 Maret 2014). Diungkapkan oleh Bapak Saipudin: Ora pantes pisan kan laki bini jarang ngobrol. Gara-garanya isteri gawe dipabrik jadi jarang bareng-bareng. Udah jarang banget libur jadi bawaannya ribut mulu apah be diributin jadinya udah be saya talak (Wawancara pribadi dengan Bapak Saipudin, Bogor, 23 Maret 2014). Dari pandangan Teori Pertukaran Sosial bahwa terjadi pula pertukaran yang tidak seimbang dalam kasus ini. Seorang suami yang sudah bekerja dan mengharapkan bisa mendapatkan perhatian dari isterinya harus rela melihat 66
isterinya bekerja. Sehingga Ia tidak mendapatkan waktu untuk dihabiskan bersama isterinya. Begitupula yang terjadi pada anaknya, seorang suami yang ingin melihat anaknya tumbuh menjadi anak yang sehat dan pintar harus melihat anaknya tidak diurusi oleh isterinya sendiri. Kasus ini terjadi pada Bapak Wiwi dan juga Pak Saipudin. Usaha yang telah Ia lakukan dengan bekerja sebagai buruh pabrik sepatutnya dihargai oleh isterinya. Sebagai seorang isteri imbalan yang seharusnya diberikan kepada suaminya yakni menuruti perintah suami. Hal itu dapat Ia lakukan dengan tidak bekerja sehingga bisa mengurus suami dan anakanaknya. Sehingga seorang isteri dapat melakukan kewajibannya mengurus rumah tangga. Namun pertukaran yang tidak seimbang ini harus dialami dalam rumah tangga Bapak Wiwi dan Bapak Saipudin dan hal ini yang menyebabkan rumah tangga mereka berakhir dengan perceraian. Proposisi sukses yakni, “Dalam setiap tindakan, semakin sering suatu tindakan tertentu memperoleh ganjaran, maka kian kerap ia akan melakukan tindakan itu“ (Homans, 1974: 16 dalam Margaret M. Poloma, 2004 : 61). juga dapat menjelaskan perilaku kedua isteri dari Pak Wiwi dan Pak Saipudin yang merupakan wanita karir. Bagi seorang isteri yang bekerja, mendapatkan upah atau gaji yang tinggi merupakan prioritas dalam hidupnya. Sehingga semakin Ia giat bekerja hingga lembur maka semakin ia bisa mengumpulkan upah yang ia dapatkan.
Akibatnya
waktu
untuk
berkomunikasi
dengan
suami
serta
memperhatikan kondisi anak dan suami menjadi terabaikan. Karena terlalu sibuk bekerja sehingga Ia tidak memiliki banyak waktu untuk keluarganya dan itulah yang mengakibatkan hancurnya rumah tangga mereka. 67
4. Faktor Kekerasan dalam Rumah Tangga Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) merupakan bentuk pelampiasan kemarahan yang dilakukan oleh salah seorang pasangan suami isteri maupun keduanya. Namun dalam kasus ini dialami oleh Ibu Kusni yang kerap kali menjadi sasaran kemarahan dan mengalami KDRT. Hal ini dapat terjadi karena berbagai sebab seperti tidak mempu mengendalikan diri pada saat marah, perilaku tempramen yang mendarah daging maupun pengaruh dari latar belakang keluarganya. Seperti yang Diungkapkan oleh Ibu Kusni: Suami saya mah setres, main kasar mulu bisanya. Dikit-dikit saya di gampar mulu kan kebangetan banget laki yang begitu mah. Soalnya dulunya suami saya sering digebukin ama emak bapanya, jadi nular kasarnya. Daripada saya keburu mati disiksa, saya ngadu be ke ema bapa saya terus disuru gugat cerai (Wawancara pribadi dengan Ibu Kusni, Bogor, 20 Maret 2014).
Teori Pertukaran Sosial juga dapat menjelaskan perilaku KDRT sebagai penyebab terjadinya perceraian dalam rumah tangga. Dalam mengkaji Teori Pertukaran Sosial, pertukaran tidak selalu dapat diukur dengan nilai uang, sebab dalam berbagai transaksi sosial dipertukarkan juga hal-hal yang nyata dan tidak nyata diluar aspek materil. Hal ini termasuk dalam hal kasih sayang. Kasih sayang dapat menjadi suatu objek pertukaran yang dibutuhkan dalam menjaga keharmonisan rumah tangga pasangan suami isteri. Apabila usaha yang dilakukan seorang isteri dengan mengerjakan pekerjaan rumah tangga dan mendidik anak-anak tidak mendapat ganjaran berupa kasih sayang dan sebaliknya mendapatkan ganjaran berupa kekerasan maka terjadi pertukaran yang tidak seimbang. Walaupun dalam kasus Ibu Kusni kekerasan tersebut terjadi karena latar belakang keluarga 68
suaminya yang dahulu sering
berprilaku kasar dan menggunakan kekerasan
namun hal ini tidak dapat diterima. Hal ini disebabkan karena perilaku kekerasan yang dialami dapat mengancam keselamatan dan sewaktu-waktu dapat merenggut nyawa Ibu Kusni. Kasus KDRT ini dapat dianalisis menggunakan proposisi stimulus. Proposisi stimulus yakni: Jika di masa lalu terjadinya stimulus yang khusus, atau seperangkat stimuli, merupakan peristiwa di mana tindakan seseorang memperoleh ganjaran, maka semakin mirip stimuli yang ada sekarang ini dengan yang lalu itu, akan semakin mungkin seseorang melakukan tindakan serupa atau yang agak sama (Homans, 1974: 22 – 23 dalam Margaret M. Poloma, 2004 : 62). Proposisi ini tepat untuk menjelaskan KDRT yang dialami Ibu Kusni. Saat anakanak seorang suami dari Ibu Kusni seringkali dipukuli oleh kedua orang tuanya agar Ia mematuhi perintah orang tuanya. Maka ketika ia berumah tangga seorang suami tersebut mewarisi sifat kasar kedua orang tuanya. Sehingga apabila terdapat permasalahan Ia langsung berlaku kasar dengan memukuli isterinya sendiri. Hal ini terjadi karena adanya dorongan dari masa lalu yang dialami oleh suami Ibu Kusni sehingga hal tersebut menjadi kebiasaan yang dimiliki oleh suaminya saat Ia berumah tangga. Stimuli atau dorongan masa lalu tersebut tidak mudah hilang terlebih lagi apabila Ia pernah menjadi korban kekerasan oleh orang tuanya. Ketika pelaku kekerasan merasa bahwa kekerasan yang dilakukan akan menghasilkan ganjaran berupa perilaku takut atau patuh terhadap dirinya sendiri maka hal tersebut akan dilakukan. Tindak kekerasan tersebut dapat menjadi tindak kekerasan yang mirip ataupun sama dengan apa yang telah Ia alami dahulu.
69
5. Faktor Tidak Memiliki Keturunan
Keturunan merupakan hal yang sangat diinginkan oleh orang yang sudah membina rumah tangga. Keturunan pada akhirnya akan menjadi penerus keluarga di masa yang akan datang. Bahkan keturunan tersebut diharapkan dapat membawa perubahan yang lebih baik dalam keluarga sehingga membawa nama baik keluarga. Namun ketika keturunan tersebut belum juga di dapatkan oleh pasangan suami isteri maka sangat wajar apabila hal tersebut menjadi sebuah permasalahan yang serius. Sehingga mengakibatkan dipilihnya jalan untuk bercerai. Seperti yang diungkapkan oleh Bapak Taufik: Udah 10 taun saya nikah, belom juga punya anak ampe sekarang. Udah berobat ke mana bae supaya bisa gendong anak. Terus ketauan dah bini saya yang mandul, kesel mulu bawaannya lama-lama saya talak (Wawancara pribadi dengan Bapak Taufik, Bogor, 28 Maret 2014). Dalam kasus Pak Taufik ini terdapat pula pertukaran yang tidak seimbang. Pertukaran tersebut antara usaha seorang suami dan isteri untuk mendapatkan seorang anak dengan kenyataan bahwa isteri Pak Taufik tidak dapat melahirkan anak. Usaha-usaha yang telah dilakukan menjadi sia-sia atau tidak menghasilkan apa yang diharapkan. Hal ini mengakibatkan pertukaran antara usaha dengan imbalan tidak berjalan seimbang. Usaha yang dilakukan sebaliknya memperjelas kondisi seorang isteri yang membuat Pak Taufik menjadi marah dan kecewa karena tidak dapat memiliki anak. Hal ini yang pada akhirnya memicu keretakan hubungan antara keluarga Pak Taufik. Sehingga Pak Taufik memutuskan untuk menceraikan isterinya. Proposisi yang dapat digunakan dalam kasus ini adalah Proposisi Restu – Agresi (Approval-Agression), yakni: 70
Bila tindakan seseorang tidak memperoleh ganjaran yang diharapkannya, atau menerima hukuman yang tidak diinginkan, maka dia akan marah; dia menjadi sangat cenderung menunjukkan perilaku agresif, dan hasil perilaku demikian menjadi lebih bernilai baginya. Bilamana tindakan seseorang memperoleh ganjaran yang diharapkannya, khusus ganjaran yang lebih besar dari yang dikirakan, atau tidak memperoleh hukuman yang diharapkannya, maka dia akan merasa senang; dia akan lebih mungkin melaksanakan perilaku yang disenanginya, dan hasil dari perilaku yang demikian akan menjadi lebih bernilai baginya (Homans, 1974: 37-39 dalam Margaret M. Poloma, 2004 : 64-65).
Ketika tindakan Pak Taufik dan isterinya berusaha ke berbagai tempat agar dapat memiliki anak tidak mendapatkan hasil yang diinginkan, pak Taufik menjadi kesal seperti yang telah dikatakannya. Oleh sebab itu kekesalan Pak Taufik dilampiaskan dengan memutuskan untuk bercerai. Dengan begitu Pak Taufik tidak perlu lagi merasa kesal dengan isterinya yang tidak dapat memberikannya seorang anak. Dari 5 orang informan perempuan, 4 orang perempuan yakni Ibu Nunung, Ibu Kusni, Ibu Yuni dan juga Ibu Toyinah menggugat cerai suaminya, karena berbagai alasan. Sementara Ibu Sukini diceraikan oleh suaminya karena Ia melakukan perselingkuhan. Dari 5 orang informan laki-laki 4 orang diantaranya yakni Bapak Wiwi, Bapak Agus, Bapak Taufik dan Bapak Saipudin menceraikan isterinya. Sementara Bapak David digugat cerai oleh isterinya karena Ia sakit dan tidak mampu memenuhi kebutuhan seksual isterinya. Diambilnya keputusan untuk bercerai dipengaruhi oleh adanya ketidakmampuan dalam memenuhi hak dan kewajiban sebagai suami dan isteri. Dari hasil temuan di atas
menunjukan bahwa bahwa pernyebab
pernikahan berupa faktor ekonomi yakni tidak terpenuhinya kebutuhan pokok 71
dalam rumah tangga, perlakuan kasar atau kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), penyakit yang menghambat pasangan suami isteri memenuhi kebutuhan biologis, serta seorang isteri yang bekerja hingga memicu pertengkaran. Selain itu perselingkuhan yang merupakan penghianatan dalam hubungan rumah tangga, kemandulan, komunikasi yang tidak berjalan lancar hingga hutang-pihutang yang menuntut salah satu pihak untuk bekerja ekstra juga mengakibatkan terjadinya perceraian. Begitu pula perlakuan kasar yang dilakukan salah satu pasangan suami isteri. Kebutuhan akan kasih sayang dari pasangan yang merupakan hak dari pasangan tersebut tidak terpenuhi padahal disatu sisi pasangan sudah melakukan tugasnya dengan baik. Begitu pula pada permasalahan lainnya. Hal ini mengakibatkan terjadinya pertukaran yang tidak seimbang.
Seperti Teori
Pertukaran Sosial yang dijelaskan oleh Homans bahwa berbagai hubungan serta penjenjangan dalam masyarakat harus sesuai dengan distribusi keadilan (distributive justice) (Margaret M. Poloma,
2004 : 69). Ketika usaha yang
dilakukan tidak mendapatkan imbalan atau ganjaran yang seimbang maka pasangan akan mengalami ketidakpuasan atas pemenuhan hak-haknya. Hal ini yang memicu perceraian umumnya terjadi dalam rumah tangga. Semua permasalahan tentu sudah dicoba diselesaikan secara damai namun tidak menemui jalan keluar. Beberapa dari mereka yang bercerai bahkan sudah mengalami permasalahan ini selama bertahun-tahun dan demi anaknya mereka bertahan. Namun ketika masalah tersebut semakin membebani dan menjadi semakin berat tanpa adanya penyelesaian maka jalan keluar satu-satunya bagi mereka adalah perceraian. Namun perceraian pun memerlukan pertimbangan dari 72
keluarga terutama orang tua. Keputusan bercerai harus mereka ambil dengan persetujuan dan diketahui oleh orang tua masing-masing. Hal ini karena ketika pernikahan dapat menyatukan dua keluarga besar, maka perceraian dapat memisahkan tali kekeluargaan yang telah dibina selama masa pernikahan berlangsung. Seluruh informan telah melewati masa pernikahan selama bertahun-tahun. Namun ketidakcocokan mereka yang disebabkan karena perkara dalam rumah tangga pada akhirnya memisahkan mereka dalam ikatan pernikahan. Bahkan anak sebagai hasil pernikahan pun tidak dapat menjadi alasan yang kuat untuk dapat mempertahankan rumah tangga. Berbagai pengalaman, suka duka dan juga permasalahan telah banyak dilewati oleh mereka yang bercerai, namun jodoh sudah tidak lagi berpihak pada mereka. Bahkan lamanya pernikahan tidak dapat menghentikan keputusan mereka untuk bercerai.
73
BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan 1. Makna pernikahan dan perceraian telah mengalami perubahan. Pernikahan tidak lagi hanya dianggap sebagai ikatan sah untuk mendapatkan keturunan namun berorientasi pula pada jaminan masa depan dan kehidupan yang lebih baik. Perceraian saat ini dapat diterima sebagai suatu hal yang lumrah dan wajar terjadi karena sudah banyak dialami oleh sebagian masyarakat dan penyebab perceraian yang semakin beragam. Budaya perceraian yakni “Pernikahan dianggap sebagai pilihan dan perceraian merupakan hasil dari pernikahan itu sendiri” terdapat pada masyarakat yang bercerai. 2. Perceraian diakibatkan karena beberapa faktor antara lain: faktor ekonomi, perselingkuhan, memiliki isteri yang bekerja, tidak memiliki anak dan KDRT. Faktor yang dominan dialami oleh pelaku perceraian yakni faktor perselingkuhan. Dalam hal ini Teori Pertukaran Sosial menjelaskan bahwa terdapat pertukaran yang tidak seimbang dalam setiap permasalahan yang menjadi faktor penyebab perceraian. Di dalam teori pertukaran sosial terdapat proposisi yang dapat menjelaskan penyebab perceraian. Proposisi restu-agresi dapat menjelaskan faktor ekonomi dan faktor tidak memiliki keturunan, proposisi nilai dapat menjelaskan faktor perselingkuhan, proposisi sukses dapat menjelaskan faktor isteri bekerja, serta proposisi
74
stimulus dapat menjelaskan faktor kekerasan dalam rumah tangga sebagai penyebab perceraian. B. Saran-Saran 1. Keluarga seharusnya lebih berperan dengan melakukan kontrol terhadap anaknya yang sudah berumah tangga. Hal ini dapat dilakukan keluarga terutama orang tua dengan menanamkan nilai agama bahwa agama tidak menyarankan untuk bercerai dan Allah SWT membenci perceraian serta menanamkan bahwa pernikahan merupakan suatu hubungan yang harus dipertahankan. 2. Sebaiknya permasalahan keluarga diselesaikan dengan cara damai dan tidak terburu-buru dalam mengambil keputusan untuk bercerai. 3. Mempertimbangkan keberadaan anak dan dampak psikologis bagi anak ketika mengetahui orang tuanya bercerai, agar hal ini membuat para orang tua tidak mudah mengambil keputusan untuk bercerai. 4. Terkait penelitian akademis lebih lanjut, penelitian selanjutnya sebaiknya lebih memfokuskan pada dampak perceraian bagi anak. Melihat bagaimana perubahan peran dan kedudukan orang tuanya dalam keluarga. Setelah mengetahui dampak perceraian yakni
perilaku yang menyimpang pada
anak, maka diharapkan para orang tua mengetahui dampak negatif dari perceraian dan menghindari perceraian itu sendiri. 5. Saran peneliti terhadap Tokoh Agama yakni senantiasa lebih sering memberikan nasehat dalam berbagai kesempatan dan acara mengenai
75
keutamaan mempertahankan pernikahan serta membina relasi keluarga tanpa diskriminasi. 6. Saran
peneliti
terhadap
pemerintah,
yakni
pemerintah
dapat
mensosialisasikan pembinaan keluarga harmonis kepada pasangan yang baru menikah.
76
DAFTAR PUSTAKA “Angka Perceraian di Bogor Tinggi.” Diunduh 3 Juli 2014 http://www.pelita.or.id/baca.php?id=91212 “Angka Perceraian Tinggi di Jawa Barat.” Diunduh 3 Juli 2014 http://www.antaranews.com/berita/270213/cerai-paling-banyak-di-jawa-barat Agung, “Semakin Tinggi Pendidikan, Intensitas Cerai Semakin Rendah.” Diunduh 11 Desember 2013 (www.ugm.ac.id/berita/4401semakin.tinggi.pendidikan.intensi.cerai. semakin.rendah) “Bab III Metode Penelitian.” Diunduh 11 Desember 2013 (repository.unhas.ac.id) Berita Nasional, “Angka Perceraian di Indonesia Tertinggi, Dibanding Negara Islam Lain.” Diunduh 25 April 2014 (http://www3.eramuslim.com/berita/nasional/angka-perceraian-di-indonesiatertinggi-dibanding-negara-islam-lain.htm#.U1peBFvBSUQ) Bungin, Burhan, Metode Penelitian Sosial dan Ekonomi. Jakarta : Kencana Prenada Group, 2013. Chaer, Abdul. Linguistik Umum. Jakarta : Rineka Cipta, 1994. Data laporan kependudukan kelurahan Desa Citayam hingga Februari 2014 Data laporan Jumlah Pernikahan kelurahan Desa Citayam hingga Februari 2014 Data laporan Jumlah Perceraian kelurahan Desa Citayam hingga Februari 2014 Fachrina. 2014, ”Artikel Penelitian Fachrina.” Diunduh 11 Maret 2014 (repository.unand.ac.id/4032/1/Facrina_Laporan.pdf) Fadjar, A. Mukhtie. Tentang dan Sekitar Hukum Perkawinan di Indonesia, Malang: Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, 1994. Heriyono, “Kekerasan dalam Rumah Tangga sebagai Alasan Terjadinya Perceraian
Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam.” Diunduh 02 Desember 2013 (http://eprints.undip.ac.id/17587/1/Heriyono .pdf) Ihromi, T.O (Penyunting). 1999. “Bunga Rampai Sosiologi Keluarga”. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. J. Cherlin, Andrew. Public & Private Families.Library of Congress Cataloging-in Publication Data, 1948 J. Goode, William. Sosiologi Keluarga. Jakarta: PT. Bina Aksara, 1985. J. Goode, William. Sosiologi Keluarga. Jakarta: Bumi Aksara, 2007 J. Moeloeng, Lexi. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004. Karyana, Suci. “Alasan Perceraian Disebabkan Percekcokan Atas Dasar Pindah Agama dan Akibat Hukumnya, Studi di Pengadilan Agama Surakarta.” Diunduh 02 Desember 2013 (http://eprints.undip.ac.id/17946/1/SUCI_KARYANA.pdf) Kustini.Perceraian di Bawah Tangan.Jakarta Timur: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta, 2008. Noor, Juliansyah Metodologi Penelitian. Jakarta: Kencana Prenada Median Group, 2011. Nasution, S.Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif. Bandung: Tarsito, 2002. Poloma, M. Margaret. Sosiologi Kontemporer. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004. Pateda, Mansoer. Semantik Leksikal. Jakarta : Rineka Cipta. 2001. Portal Kemenag Prov. Jawa Barat, “KUA Widasari dan Pasangan Zaenudin Masum Ali-Nurhalimah Hamzah Wakil Jawa Barat pada Pemilihan KUA Teladan dan Keluarga Sakinah Nasional.” Diunduh 22 Juni 2014 http://jabar.kemenag.go.id/index.php?a=berita&id=98534 Prakoso, Djoko. Asas-asas Hukum Perkawinan di Indonesia. Jakarta: PT Bina Aksara, 1987.
Rita M Simanungkalit. “Perceraian Pasangan Suami Isteri Kristen dan Problematikanya.” Tesis S2 Pasca Sarjana Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, 2008. Rosyadi, M. Imran. “Perceraian di Jakarta Selatan, Studi Pengaruh Tingkat Pendidikan dan Ekonomi Terhadap Perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Selatan Tahun 2006-2007.”Tesis S2 Pasca Sarjana Konsentrasi Syariah, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009. Salam, Syamsir .Metodologi Penelitian Sosial.Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006. “Semakin Tinggi Pendidikan Intensitas Cerai Semakin Rendah.” Diunduh 3 Juli 2014 http://www.ugm.ac.id/id/berita/4401semakin.tinggi.pendidikan.intensi.cerai.se makin.rendah. Soejono. “Disparitas Pemutusan Hubungan Ikatan Suami Isteri (Perceraian) di Kotamadya Ujungpandang, Suatu Studi Komunikasi Antarpribadi.” Tesis S2 Program Pascasarjana Bidang Ilmu Sosial, Universitas Indonesia, 1996. Sugiyono.Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D.Bandung : Alfabeta, 2013. Sunarto, Kamanto. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2004. Wawancara pribadi dengan Bapak Agus, Bogor, 29-39 Maret 2014. Wawancara pribadi dengan Bapak Asen, Bogor, 30 Maret 2014. Wawancara pribadi dengan Bapak David, Bogor, 28, 29 dan 30 Maret 2014. Wawancara pribadi dengan Bapak Ustadzah Elung, Bogor, 23 Maret 2014. Wawancara pribadi dengan Bapak Ustadz Enjam, Bogor, 22 Maret 2014. Wawancara pribadi dengan Bapak Ilyas, Bogor, 30 Maret 2014. Wawancara pribadi dengan Bapak RW Kidit, Bogor, 27 Maret 2014. Wawancara pribadi dengan Ibu Kusni, Bogor, 19, 20 dan 21 Maret 2014.
Wawancara pribadi dengan Ibu Nunung, Bogor, 19-20 Maret 2014. Wawancara pribadi dengan Bapak Saipudin, Bogor, 22-23 Maret 2014. Wawancara pribadi dengan Bapak RT Sarip, Bogor, 28 Maret 2014. Wawancara pribadi dengan Ibu Ustadzah Suhaemah, Bogor, 24 Maret 2014. Wawancara pribadi dengan Ibu Sukini, Bogor, 24, 25 dan 26 Maret 2014. Wawancara pribadi dengan Bapak Tarno, Bogor, 30 Maret 2014. Wawancara pribadi dengan Bapak Taufik, Bogor, 27-28 Maret 2014. Wawancara pribadi dengan Ibu Titin, Bogor, 22 Maret 2014. Wawancara pribadi dengan Ibu Toyinah, Bogor, 19, 20 dan 21 Maret 2014. Wawancara pribadi dengan Ibu Usum, Bogor, 22 Maret 2014. Wawancara pribadi dengan Bapak Wiwi, Bogor, 22-23 Maret 2014. Wawancara pribadi dengan Ibu Yuni, Bogor, 25-26 Maret 2014. Website Resmi Pemerintah Kota Bogor, “Bima Bertekad Membangun Kota Bogor yang Bersih dan Amanah.” Diunduh 22 Juni 2014 (http://www.kotabogor.go.id/component/content/article/1-beritaterbaru/10954-bima-bertekad-membangun-kota-bogor-yang-bersih-danamanah)