Buletin Sariputra, Oktober 2015 Vol. 5 (3) HUBUNGAN KOMUNIKASI TERAPEUTIK PERAWAT DENGAN TINGKAT KECEMASAN ANAK USIA 5-12 TAHUN DALAM PELAKSANAAN PEMASANGAN INFUS DIRUANG PERAWATAN ANAK RSUD LAPANGAN SAWANG KABUPATEN KEPULAUAN SITARO NURSE THERAPEUTIC COMMUNICATION RELATIONSHIP WITH ANXIETY LEVEL TO CHILDREN 5-12 YEARS FOR THE INFUSION IN PEDIATRIC WARD SAWANG GENERAL HOSPITAL REGENCY OF SITARO ISLAND Nike Y. Winokan, Peeki Rondonuwu, Oktava Girsang Mahasiswa Fakultas Keperawatan Prody Ilmu Keperawatan Universitas Sariputra Indonesia Tomohon Dosen Fakultas Keperawatan Universitas Sariputra Indonesia Tomohon ABSTRAK Persiapan pemasangan infus pada anak dapat menimbulkan reaksi kecemasan sehingga kurangnya komunikas terapeutik pada anak dapat meningkatkan kecemasan bagi anak saat di rawat di rumah sakit. Tujuan penelitian ini adalah diketahuinya hubungan komunikasi terapeutik perawat dengan tingkat kecemasan anak usia 5-12 tahun dalam pelaksanaan pemasangan infus diruang perawatan anak RSUD Lapangan Sawang Kab. Kepulauan Sitaro. Populasi yang digunakan adalah anak usia 5-2 tahun yang dirawat, sedangkan sampel yang diambil adalah anak yang akan dipasang infus yang berjumlah 46 anak. Metode penelitian menggunakan Cross Sectional dengan isntrumen yaitu Lembar Observasi. Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar komunikasi terapeutik perawat yaitu termasuk pada kategori cukup sedangkan kecemasan anak pada sebagian besar responden adalah kecemasan sedang. Dari hasil uji statistic Spearman Rho didapat nilai koefisien korelasi sebesar (r) = 0,580 dengan signifikan (p = 0,000). Kesimpulan penelitian ini adalah komunikasi terapeutik perawat berhubungan dengan kecemasan anak dalam persiapan pelaksaan pemasangan infus. Semakin baik komunikasi maka semakin menurunnya kecemasan anak dalam persiapan pemasangan infus. Kata Kunci : Komunikasi Terpeutik, Kecemasan Anak, Pemasangan Infus ABSTRACT Preparation infusion in children can cause anxiety reactions so that the lack of therapeutic communication in children can increase anxiety for the child while in care at the hospital. This research was known therapeutic nurse communication links with the anxiety levels of children aged 5-12 years in the implementation of the infusion room of the child care field hospitals Sawang Sitaro Islands District. The population is children aged 5-2 years who were treated, whereas samples taken is a child that will be installed infusions totaling 46 children. Metode cross sectional study using the instrument of accession, namely Observation Sheet. The results showed the majority of therapeutic communication nurse that is included in the category enough while the child's anxiety in the majority of the respondents is anxiety being. From the statistical test results obtained Spearman Rho correlation coefficient of (r) = 0.580 with a significant (p = 0.000). The conclusion of this study is related to therapeutic communication nurse in preparation for the implementation of children's anxiety infusion. The better the communication, the more the decrease anxiety a child in the preparation of infusion. Keywords: Therapeutic Communication, Anxiety Child, Installation Infusion
PENDAHULUAN Memasang Infus adalah memasukkan cairan atau obat langsung ke dalam pembuluh darah vena dalam jumlah banyak dan dalam
waktu yang lama dengan menggunakan infus set (Yuda, 2010). Memasang infus pada anak bukan merupakan hal yang mudah karena anak
52
Buletin Sariputra, Oktober 2015 Vol. 5 (3)
memiliki vena yang kecil dan rapuh,sehingga sering ditemui pemasangan infus yang berulangkali karena gagal memasang kanul intravena. Hal ini dapat berdampak terhadap timbulnya cedera tubuh dan nyeri serta ketakutan pada anak yang lebih besar (Howel & Webster, 2002). Saat pelaksanaan tindakan pemasangan infus seseorang sering merasakan cemas terutama pada anak-anak karena takut dengan tindakan dari seorang perawat. Cemas adalah suatu reaksi emosional terhadap penilaian individu yang tidak memiliki objek yang spesifik. Kecemasan dapat dimanifestasikan dengan perasaan khawatir, gelisah, takut, tidak tentram yang disertai berbagai keluhan fisik (Mulyono, 2008). Respon cemas yang ditunjukkan anak saat perawat melakukan tindakan pemasangan infus sangat bermacam-macam, ada yang bertindak agresif, bertindak dengan mengekspresikan secara verbal, membentak, serta dapat bersikap dependen yaitu menutup diri dan tidak kooperatif (Gunarso, 2007). Kurangnya komunikasi terapeutik perawat terhadap anak yang akan dilkukan pemasangan infus membuat tingkat kecemasan anak semakin tinggi. Hal demikian tidak akan terjadi apabila sejak dari pertama kali pasien masuk rumah sakit, perawat mampu memberikan pengertian dan pendekatan yang terapeutik kepada pasien dan keluarganya, tapi ternyata dari beberapa riset dinyatakan bahwa komunikasi terapeutik perawat masih kurang baik (Saelan, 1998). Penelitian Isle of Wight yang dilaporkan oleh Rutter dan kawan-kawan menemukan Prevalensi gangguan kecemasan adalah 6,8%. Bernstein dan Garfinkel menunjukkan 60% anak menderita depresi, 70% menderita gangguan kecemasan terutama gangguan kecemasan Karena perpisahan,dan 50% menderita depresi maupun kecemasan (Nelson,1999). Kecemasan merupakan perasaan yang paling umum dialami oleh pasien yang dirawat di Rumah sakit (Sulistiawati, 2002). Ada pula hasil penelitian yang dilakukan oleh Christine (2010), menunjukkan bahwa dari responden anak yang mendapat terapi pemasangan intravena (infus) di RS Advent Medan didapat 18 orang anak (56,3%) berada pada respon tingkat cemas ringan,12 orang (37,5%) pada tingkat respon cemas sedang,dan 2 orang (6,3%) pada tingkat cemas berat. Hasil survey awal yang dilakukan peneliti pada tanggal 11 November 2014 didapatkan data pasien anak usia 5-12 tahun selama 3 bulan terakhir di Ruang Perawatan Anak RSUD Lapangan Sawang, Kab.
Kepulauan Sitaro berjumlah 62 orang. Dan menurut buku laporan perawat yang ada di ruangan anak terdapat 52 anak usia 5-12 tahun yang mendapat tindakan pemasangan infus, dan terdapat sekitar 40,38% anak mengalami tingkat kecemasan sedang. Adapula hasil wawancara yang dilakukan oleh peneliti dengan salah satu perawat bahwa setiap anak yang mendapat tindakan pemasangan infus merasa, khawatir, rewel/menangis,dan takut karena kesakitan (sumber data RSUD Lapangan Sawang). Selain itu dari hasil wawancara dengan orang tua anak yang dirawat di ruang perawatan anak RSUD Lapangan Sawang, Kab. Kepulauan Sitaro mengungkapkan pada saat anak dilakukan pemasangan infus anaknya menangis terlihat gelisa juga takut pada saat dilakukan tindakan pemasangan infus. Cara berkomunikasi pada anak berbeda dengan komunikasi terapeutik pada orang dewasa. Komunikasi terapeutik pada anak hendaknya selalu memperhatikan nada suara, jarak interaksi dengan anak, sentuhan yang diberikan kepada anak harus atas persetujuan anak (Mundakir, 2006). Apabila perawat dalam berinteraksi dengan klien tidak memperhatikan sikap dan teknik dalam komunikasi terapeutik dengan benar dan tidak berusaha untuk menghadirkan diri secara fisik yang dapat memfasilitasi komunikasi terapeutik, maka hubungan yang baik antara perawat dengan klien pun akan sulit terbina (Anggraini, 2009). Ada beberapa tahap hubungan terapeutik antara perawat dan pasien : 1) Tahap pra-interaksi, 2) Tahap orientasi, 3) Tahap Kerja, 4) Tahap Terminasi (Rohani & Hingawati, 2013). Komunikasi pada anak merupakan bagian penting dalam membangun kepercayaan diri kita dengan anak. Melalui komunikasi akan terjalin rasa percaya, rasa kasih sayang dan selanjutnya anak akan memiliki suatu penghargaan pada dirinya (Hockenberry & Wilson, 2007). Komunikasi terapeutik mengembangkan hubungan interpersonal antara pasien dan perawat. Perawat harus mempunyai kemampuan khusus dan harus memperhatikan setiap interaksi dan tingkah laku nonverbal (Keliat,2008). Tujuan Penelitian ini adalah diketahuinya Hubungan antara komunikasi terapeutik perawat dengan tingkat kecemasan Anak Usia 5-12 tahun dalam pelaksanaan pemasangan infus di Ruang Perawatan anak RSUD Lapangan Sawang Kab.Kepulauan Sitaro.
53
Buletin Sariputra, Oktober 2015 Vol. 5 (3) METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Ruang Perawatan anak RSUD Lapangan Sawang Kab.Kepulauan Sitaro. Sampel yang digunakan adalah Pasien anak yang dirawat di ruangan anak dan akan dipasang infus. Penelitian ini mengunakan rancangan Cross Sectional dimana jenis penelitian ini merupakan penelitian dengan melakukan pengukuran pada variabel independen dan dependen yang
ditelusuri secara simultan. Rancangan ini bertujuan untuk mencari hubungan antara variabel dengan cara dengan menggunakan instrument yaitu lembar observasi pada komunikasi terapeutik dan kecemasan pada anak. Analisa statistik mengunakan uji Spearman Rho.
HASIL PENELITIAN Analisa Univariat 1. Umur Umur 5-8 Thn , 28, 61%
5-8 Thn
9-12 Thn , 18, 39%
9-12 Thn
Gambar.1 Karakteristik responden berdasarkan umur di RSUD Lapangan Sawang, Kab. Kepulauan Sitaro, Tahun 2015 Dari Gambar diatas menunjukan bahwa reponden terbanyak adalah pada rata-rata umur 5 sampai dengan 8 tahun yaitu sebanyak
28 orang (61%) diikuti dengan rata-rata umur 9 sampai dengan 12 tahun sebanyak 18 orang (39%).
2. Jenis Kelamin Jenis Kelamin
Laki-Laki, 24, 52%
Perempuan, 22, 48%
Laki-Laki Perempuan
Gambar. 2 Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin di RSUD Lapangan Sawang, Kab. Kepulauan Sitaro, Tahun 2015
54
Buletin Sariputra, Oktober 2015 Vol. 5 (3)
Dari gambar di atas menunjukan bahwa responden terbanyak adalah laki-laki yaitu
sebanyak 24 orang (52,%) dan responden perempuan sebanyak 22 orang (48%).
3. Pendidikan Pendidikan
TK, 11, 24% SD, 27, 59%
SMP, 8, 17% TK
SD
SMP
Gambar. 3 Karakteristik responden berdasarkan Pendidikan di RSUD Lapangan Sawang, Kab. Kepulauan Sitaro, Tahun 2015
Dari gambar di atas menunjukan bahwa berdasarkan tingkat pendidikan responden terbanyak adalah tingkat pendidikan sekolah dasar (SD) yaitu sebanyak 27 orang (59%) kemudian diikuti dengan tingkat pendidikan TK
(Taman Kanak-kanak) yaitu sebanyak 11 orang (24%). Sedangkan responden yang paling sedikit adalah responden dengan tingkat pendidikan SMP (Sekolah Menengah Pertama) yaitu sebanyak 8 orang (17%).
4. Komunikasi Terapeutik Komunikasi Terapeutik
Kurang , 8, 17%
Cukup, 28, 61%
Kurang
Baik, 10, 22%
Cukup Baik
Gambar. 4 Distribusi responden berdasarkan Komunikasi Terapeutik di RSUD Lapangan Sawang, Kab. Kepulauan Sitaro, Tahun 2015
Dari gambar di atas menunjukan bahwa, hasil observasi tindakan komunikasi perawat pada pemasangan infus pada sebagian besar responden termasuk pada kategori cukup yaitu sebanyak 28 orang (61%) diikuti dengan
komunikasi terapeutik pada kategori baik yaitu sebanyak 10 orang (22%). Sedangkan responden yang paling sedikit adalah pada kategori kurang yaitu sebanyak 8 orang (17%)
55
Buletin Sariputra, Oktober 2015 Vol. 5 (3)
5. Kecemasan Anak dalam Pemasangan Infus Kecemasan Anak
Berat, 6, 13%
Sedang, 27, 59%
Berat Ringan, 13, 28%
Sedang
Ringan
Gambar 5 Distribusi responden berdasarkan Komunikasi Terapeutik di RSUD Lapangan Sawang, Kab. Kepulauan Sitaro, Tahun 2015 Berdasarkan gambar di atas menunjukan bahwa sebagian besar kecemasan anak dalam pemasangan infus adalah pada kategori kecemasan sedang yaitu sebanyak 27 orang (59%), diikuti dengan kecemasan ringan yaitu
sebanyak 13 orang (28%). Sedangkan responden yang paling sedikit adalah pada kategori kecemasan berat yaitu sebanyak 6 orang (13,%).
Analisa Bivariat Tabel 1. Tabulasi silang Komunikasi Perawat dengan Kecemasan anak dalam pemasangan infus pada anak usia 5-12 tahun di RSUD Lapangan Sawang, Kab. Kepulauan Sitaro, Tahun 2015 Kecemasan Anak Komunikasi Terapeutik
Total Ringan
Sedang
Berat n
%
,0
10
21,7
1
2,2
28
60,9
6,5
5
10,9
8
17,4
58,7
6
13,0
46
100
n
%
n
%
N
%
Baik
6
13,0
4
8,7
0
Cukup
7
15,2
20
43,5
Kurang
0
,0
3
13
28,3
27
TOTAL
Koefisien Korelasi (r) = 0,580 Spearman rho Signifikan (p) = 0,000
56
Buletin Sariputra, Oktober 2015 Vol. 5 (3)
Dari tabulasi silang di atas menunjukkan bahwa sebagian besar kecemasan anak adalah pada kategori sedang. Responden yang paling banyak pada kecemasan sedang yaitu 20 orang (43,5%) dengan komunikasi pada kategori cukup, diikuti dengan 4 orang (8,7%) pada kategori baik dan 3 orang (6,5%) pada kategori kurang. Kemudian pada kategori kecemasan ringan terdapat 7 orang (15,2%) pada kategori cukup dan 6 orang (13,0%) pada kategori baik. Sedangkan pada kecemasan berat terdapat 5 orang (10,9%) dengan
komunikasi terapeutik yang kurang dan dan 1 orang (2,2%) dengan komunikasi terapeutik pada kategori cukup. Dari hasil uji statistic Spearman Rho didapat nilai koefisien korelasi sebesar (r) = 0,580 dengan signifikan (p = 0,000) atau lebih kecil dari α = 0,05 (0,000 < α 0,05) yang bermakna terdapat sskorelasi yang signifikan dan positif anatara komunikasi terapeutik dengan tingkat kecemasan pada naka usia 512 tahun pada pemasangan infus sat dirawat di rumah sakit.
PEMBAHASAN Dari hasil uji statistic Spearman Rho didapat nilai koefisien korelasi sebesar (r) = 0,580 dengan signifikan (p = 0,000) atau lebih kecil dari α = 0,05 (0,000 < α 0,05) yang bermakna terdapat korelasi yang signifikan dan positif anatara komunikasi terapeutik dengan tingkat kecemasan pada naka usia 5-12 tahun pada pemasangan infus saat dirawat di rumah sakit. Hasil penelitian ini sejalan dengan teori yang dikemukakan oleh Supartini (2004) bahwa Pada umumnya reaksi anak saat dirawat dirumah sakit adalah kecemasan karena perlukaan tubuh, dan rasa nyeri reaksi anak yang menunjuka perilaku antara lain menolak makan, sering bertanya, tidak kooperatif terhadap petugas kesehatan bahkan menunjukan reaksi agresif, marah, berontak, tidak mau bekerja sama dengan perawat (Jovan, 2007). Menurut Hinlay (2006) bawa Salah satu prosedur tindakan yang paling banyak ditemui di rumah sakit yang menyebabkan kecemasan pada anak adalah pemasangan infuse. Pemasangan infuse digunakan untuk mengobati berbagai kondisi penderita di semua lingkungan perawatan di rumah sakit dan merupakan salah satu terapi utama. Sebanyak 70% pasien yang dilakukan rawat inap mendapatkan terapi cairan infus (Hinlay, 2006). Asumsi peneliti bahwa semakin sering dilakukan komunikasi terapeutik sebelum pemasangan infus maka semakin menurunya kecemasan anak terhadap tindakan tersebut. Informasi yang diberikan perawat melalui komunikasi terapeutik dapat meningkatkan kepercayaan anak, dimana anak akan merasa lebih yakin kalau apa yang dilakukan adalah untuk kesembuhannya. Pendapat peneliti ini sesuai dengan teori Hart (1999) dalam Pratiwi (2012) bahwa dalam komunikasi terapeutik terdapat sebuah aktivitas antara perawat dengan pasien khususnya anak dalam sebuah konsep pendekatakan dengan cara menggunakan terapi bermain dimana perawat
menceritakan semua hal yang berkaitan dengan rumah sakit,khususnya tentang rutinitas kegiatan,mengenal tim kesehatan, dan prosedur pengobatan, melalui media buku cerita bergambar (Hart, 1999) yang mampu menunurunkan kecemasan pada anak akibat hospitalisasi. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Christine (2010), menunjukkan bahwa dari responden anak yang mendapat terapi pemasangan intravena (infus) di RS Advent Medan didapat 18 orang anak (56,3%) berada pada respon tingkat cemas ringan,12 orang (37,5%) pada tingkat respon cemas sedang,dan 2 orang (6,3%) pada tingkat cemas berat. Yasir (2013) dalam hasil penelitiannya menyatakan bahwa Komunikasi dalam bentuk pemberian informasi pada tindakan intra vena (IV) sangatlah penting guna menghindari sikap yang kurang kooperatif penderita berupa penolakan terhadap tindakan yang akan diberikan perawat kepadanya sehingga diperlukan suatu komunikasi yang baik antara perawat, klien dan keluarga. Menurut Hasil penelitian Setiawan dan Tanjung (2005) menunjukan bahwa komunikasi terapeutik mempunyai pengaruh yang signifikan dalam menurunkan kecemasan klien. penelitian ini menerapkan komunikasi terapeutik dalam menurunkan kecemasan klien. Komunikasi merupakan penyampaian informasi dan pengertian dari seseorang ke orang lain, saling memahami dengan kata tertulis, lisan, isyarat atau symbol. komunikasi adalah suatu proses pertukaran informasi atau proses pemberian arti sesuatu antara dua atau lebih orang dan lingkungannya bisa melalui sImbol, tanda dan perilaku yang umum, dan biasanya terjadi dua arah dan merupakan usaha menumbuhkan respon melalui lambanglambang verbal, non verbal, sebagai stimulasi komunikasi yang baik (Sya’diyah, 2013).
57
Buletin Sariputra, Oktober 2015 Vol. 5 (3)
Komunikasi pada anak merupakan bagian penting dalam membangun kepercayaan diri kita dengan anak. Melalui komunikasi akan terjalin rasa percaya, rasa kasih sayang dan selanjutnya anak akan memiliki suatu penghargaan pada dirinya (Hockenberry & Wilson, 2007). Komunikasi terapeutik
mengembangkan hubungan interpersonal antara pasien dan perawat. Perawat harus mempunyai kemampuan khusus dan harus memperhatikan setiap interaksi dan tingkah laku nonverbal (Keliat,2008).
SIMPULAN 1.
2.
Komunikasi terapeutik perawat pada anak usia 5-12 tahun dalam pelaksanaan pemasangan infus diruang perawatan anak RSUD Lapangan Sawang,Kab.Kepulauan Sitaro pada sebagian besar perawat termasuk pada kategori cukup Tingkat kecemasan anak usia 5-12 tahun dalam pelaksanaan pemasangan infus di
3.
ruang perawatan anak RSUD Lapangan Sawang,Kab.Kepulauan Sitaro adalah kecemasan sedang. Ada hubungan yang bermakna antara komunikasi terapeutik perawat dengan tingkat kecemasan anak usia 5-12 tahun dalam pelaksanaan pemasangan infus di ruang perawatan anak RSUD Lapangan Sawang,Kab.Kepulauan Sitaro.
SARAN 1. Bagi Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi Berdasarkan hasil penelitian ini diharapkan peran pendidikan keperawatan dalam mendidik calon perawat dibidang kesehatan agar mampu melakukan komunikasi terapeutik ini dalam perawatan anak sakit.
operasional prosedur (SPO) dalam pelaksanaan pemasangan infus. 3. Bagi pelayanan keperawatan Disarankan agar para perawat dapat meningkatkan kemampuan dalam melakukan komunikasi terapeutik sehingga akan lebih mahir dalam melakukan komunikasi dengan pasien anak,
2. Bagi instansi Rumah Sakit Disarankan agar dapat menjadi usulan intervensi keperawatan pada standar
DAFTAR PUSTAKA Yuda Handaya. (2010). Infus Cairan Intravena (Macam-Macam Cairan Infus). http://dokteryudabedah.com/infus-cairanintravena-macam-macam-cairan-infus/, diakses tanggal 25 Februari 2015 Howel, D., & Webster, S. (2002). The Impact of Recurrent Throath Infection on Childreen and Their Family; Family Practice. Mulyono, A. (2008). Pengaruh Terapi Bermain Terhadap Tingkat Stres Hospitalisasi Pada Anak Usia Todler Studi di Ruang Empu Tantular RSUD Kanjuruhan Kepanjen, KTI. Abstrak. Diterbitkan.
Universitas Muhammadiyah Malang. Malang. Gunarso, D. (2007). Psikologi Remaja. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia. Nelson. Ilmu Kesehatan Anak. EGC. Jakarta 1999. Mundakir. (2006). Komunikasi Keperawatan. Yogyakarta : Graha Ilmu Rohani dan Seto (2013). Panduan Praktik Keperawatan Komunikasi, PT. Instan Sejati. Klaten
58
Buletin Sariputra, Oktober 2015 Vol. 5 (3) Supartini Y. (2004). Buku Ajar Konsep Dasar Keperawatan Anak, EGC. Jakarta Hinlay. (2006). Terapi Intravena pada pasien di rumah sakit. Yogyakarta : Nuha Medika. Pratiwi
Y.S (2012). Penurunan Tingkat Kecemasan Anak Rawat Inap dengan Permainan
Hospital Story di RSUD Kraton Pekalongan. Jurnal. STIKES Muhammadiyah Pekajangan Pekalongan Prodi DIII Keperawatan. Jovan. (2007). Hospitalisasi. Diakses dari http://jovandc.multiply.com. Tanggal 07 November 2014 Christine, M. (2010). Hubungan Dukungan Keluarga dengan Respon Cemas Anak Usia Sekolah terhadap Pemasangan Intravena di Rumah Sakit Advent Medan. Skripsi. Tidak dipublikasikan. FK-USU, Medan
Yasir Muhammad (2013) Hubungan Antara Pemberian Informasi Prosedural Terapi Intra Vena Dengan Sikap Penerimaan Klien di unit gawat darurat RSUD Sinjai. Jurnal STIKES Nani Hasanuddin Makassar. Volume 3 Nomor 5 Tahun 2013 ● ISSN : 2302-1721 diakses dari http://library.stikesnh.ac.id/files/disk1/8/elibrary%20stikes%20nani%20hasanuddin --muhammadya-391-1-35135055-1.pdf Sya’diyah Hidayatus (2013) Komunikasi Keperawatan Communication Games Aplication. Yogyakarta; Graha Ilmu Setiawan dan Tanjung. (2005). Efek Komunikasi Terapeutik Terhadap Tingkat Kemasan. EGC, Jakarta Keliat,
59
B.A (2008). Hubungan Terapeutik Perawat-Klien, EGC, Jakarta
Buletin Sariputra, Oktober 2015 Vol. 5 (3)
60