www.parlemen.net
EVALUASI DAN REKOMENDASI TINDAKAN AFIRMATIF UNTUK PENINGKATAN KETERWAKILAN PEREMPUAN DI PARLEMEN PADA PEMILU 2009
“Partisipasi setara perempuan dalam pengambilan keputusan bukanlah sekedar tuntutan pada keadilan atau demokrasi yang sederhana tetapi dapat pula dipandang sebagai kondisi yang diperlukan bagi kepentingan perempuan yang patut dipertimbangkan. Pencapaian tujuan partisipasi yang setara antara perempuan dan laki-laki dalam pengambilan keputusan akan memberi keseimbangan yang lebih tepat mencerminkan komposisi masyarakat dan diperlukan untuk memperkuat dan memajukan fungsi demokrasi yang sejati.” (Program Aksi Beijing 1995)
Ketika demokrasi menjadi konsensus setelah kekuasaan Orde Baru berakhir tahun 1998, terbentang harapan akan kehidupan yang lebih sejahtera. Bukan hanya sejahtera secara ekonomi tetapi juga sejahtera secara politik, sosial dan budaya. Maka ketika situasi seperti ini belum dapat dirasakan, yang muncul adalah sebuah pertanyaan: Apa yang salah dengan praktek demokrasi kita selama ini? Atau lebih jauh lagi: Apakah demokrasi merupakan pilihan yang tepat bagi bangsa Indonesia? Sungguh bukan hal mudah dan sederhana untuk menjawabnya. Ketika serangkaian masalah dalam implementasi demokrasi menjadi sebuah daftar yang amat panjang, kembali sebuah keraguan muncul. Apakah Indonesia akan selamat melalui proses transisi dari regim otoritarian yang panjang, atau justru (kembali) memasuki masa kelam dengan pertarungan elit dan kekerasan yang tiada habisnya, serta apatisme massa rakyat yang kian subur. Sungguh bukan situasi seperti itu yang diharapkan mengisi Indonesia pasca Orde Baru. Beberapa kecenderungan untuk khawatir akan demokratisasi yang dilalui saat ini, sangat jelas terpapar. Pertama, ada kecenderungan bahwa demokrasi yang dilaksanakan selama ini nyaris tanpa jiwa. Hakekat demokrasi kerap dikaburkan oleh kepentingan pragmatis sesaat yang berakibat munculnya kekecewaan. Kedua, demokrasi lebih disikapi sebagai prosedural belaka dengan mengedepankan suara terbanyak (50 plus 1) yang belum tentu menggambarkan keinginan semua pihak. Prinsip mayoritas kerap dipaksakan untuk memenuhi kepentingan kelompok tertentu semata tanpa mempertimbangkan aspek akomodasi terhadap kepentingankepentingan yang ada, termasuk kepentingan kelompok yang marginal secara politik. Ketiga, wajah demokrasi kita pasca Orde Baru kerap dicerminkan dengan perilaku para elit politik. Sehingga jika perilaku elit politik tidak mencerminkan etika dan moral yang baik, maka demokrasi pun demikian adanya. Tentu saja simplifikasi seperti ini tidak dibenarkan karena perilaku elit politik dengan demokrasi adalah dua hal yang berbeda. Tetapi bagi masyarakat bisa jadi sama saja. Karena yang menjalankan praktek politik demokrasi adalah elit politik juga. Maka jika yang menjalankan demokrasi tidak memiliki etika dan moral, bagaimana mungkin demokrasi dapat menghasilkan sesuatu yang baik bagi masyarakat. Tak ada yang mengingkari bahwa perubahan politik yang terjadi pada tahun 1998 telah mengubah wajah perpolitikan negeri ini secara luar biasa. Perubahan tersebut menjadi sebuah terobosan bagi bangsa ini untuk melakukan berbagai pembenahan yang sulit dibayangkan dapat dilakukan pada masa Orde Baru. Proses amandemen terhadap UUD 1945 menjadi sebuah puncak dari momen perubahan tersebut yang memungkinkan dilakukan koreksi kearah perbaikan kualitas demokrasi, yang harapannya juga berdampak pada kehidupan yang lebih
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
www.parlemen.net
baik pada tataran rakyat secara luas. Momen perubahan yang terjadi hampir sepuluh tahun lalu itu, juga digunakan sebagai pijakan penting bagi gerakan perempuan di Indonesia untuk mendorong sebuah kondisi politik yang memungkinkan partisipasi dan keterlibatan maksimal dari kaum perempuan dalam proses pengambilan keputusan. Sebuah perjuangan yang tidak mudah, menghadapi ‘tembok’ yang tinggi, serta pandangan kelompok elit yang memandang semua kelompok masyarakat secara universal. Deretan panjang fakta tentang kondisi perempuan Indonesia yang masih terpuruk menjadi pendorong kuat untuk memperjuangkan peningkatan kualitas hidup perempuan Indonesia. Beberapa fakta suram tersebut dapat disebutkan di sini: (1) tingkat kematian ibu melahirkan di Indonesia dalam 3 tahun terakhir ini paling tinggi di Asia Tenggara dan belum ada kebijakan yang efektif mengatasi masalah ini; (2) komposisi tingkat pendidikan laki-laki dan perempuan sampai SLTP dapat dikatakan seimbang namun makin tinggi pendidikan, perbedaan semakin besar; (3) tenaga kerja perempuan, baik domestik maupun migran, kurang mendapat perlindungan hukum; (4) jumlah perempuan dalam posisi legislatif, eksekutif dan birokrasi yang masih rendah. Menyikapi kondisi nyata tersebut, muncul kesadaran bahwa politik adalah arena yang harus diperjuangkan dan direbut untuk mengubah pola dan proses pengambilan keputusan yang tidak berpihak pada kepentingan perempuan. Secara kuantitas, perempuan seimbang dengan lakilaki bahkan cenderung meningkat jumlahnya. Namun kuantitas perempuan tersebut lebih digunakan sebagai modal politik bagi proses politik yang pada akhirnya tidak berpihak pada kepentingan mereka. Maka tak ada jalan lain, yaitu harus merebut akses politik tersebut dan membuka peluang bagi keterlibatan maksimal perempuan dalam praktek kekuasaan politik. Tulisan ini lebih lanjut akan menguraikan tentang evaluasi dan rekomendasi masalah tindakan afirmatif bagi peningkatan keterwakilan perempuan khususnya menjelang Pemilu tahun 2009. Penyusunan rekomendasi tentang kebijakan afirmatif bagi perempuan khususnya menjelang Pemilu 2009 ini menjadi strategis disebabkan beberapa alasan berikut ini: (1) momen perubahan dengan dimulainya pembahasan di DPR tentang paket rancangan undang-undang bidang politik yang meliputi empat naskah rancangan undang-undang, yaitu RUU Pemilu Legislatif, RUU Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, RUU Partai Politik, dan RUU Susunan dan Kedudukan Anggota Legislatif; (2) mendesak dilakukannya revisi terhadap kebijakan afirmatif khususnya Pasal 65 ayat 1 UU No.12 Tahun 2003 yang masih menyisakan masalah karena sifatnya berupa himbauan dan tidak mengikat secara hukum; (3) mendesak dilakukannya revisi terhadap undang-undang pemilu, khususnya masalah pencalonan perempuan dan penetapan caleg terpilih yang kondusif terhadap upaya peningkatan keterwakilan perempuan di parlemen baik nasional maupun lokal; (4) mendesak dilakukannya revisi terhadap undang-undang partai politik, khususnya masalah tindakan afirmatif di internal partai yang memberikan akses dan jaminan bagi perempuan terlibat dalam posisi pengambil keputusan, serta memperbaiki kualitas demokrasi internal partai secara keseluruhan; (5) sebagai bahan substansi bagi gerakan perempuan dan kalangan yang peduli dengan masalah ini untuk menyusun strategi lobi, negosiasi dan kampanye publik dalam rangka mendorong peningkatan keterwakilan perempuan di parlemen (DPR dan DPRD).
A. Evaluasi Penerapan Kebijakan Afirmatif dan Hasil Pemilu 2004 Pembahasan revisi undang-undang bidang politik pasca Pemilu 1999 membuka peluang untuk mendorong diakomodasinya tindakan afirmatif dalam rumusan undang-undang. Strategi pun dirancang agar isu keterwakilan politik perempuan dapat berkembang menjadi wacana publik.
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
www.parlemen.net
Masyarakat dan terutama para elit politik yang sebagian besar laki-laki perlu disadarkan tentang kondisi ketimpangan yang dialami kaum perempuan. Politik yang didominasi satu jenis kelamin saja – dalam hal ini laki-laki – tidak dapat mencerminkan realitas kepentingan dalam masyarakat dan menjadi kurang adaptif terhadap situasi yang ada. Politik memang sebuah arena kontestasi merebut kekuasaan. Namun jika arena kontestasi tersebut tidak memberi ruang yang ‘adil’ bagi semua kepentingan, akibatnya yang terjadi adalah hegemoni kepentingan mayoritas terhadap kelompok-kelompok marginal. Perkembangan demokrasi yang menganut prinsip egaliter pun mendapat kritik dalam pelaksanaannya di negara-negara demokrasi mapan seperti Eropa dan Amerika Serikat. Demokrasi dengan tidak melihat substansi kontestasi kepentingan, pada akhirnya akan berpihak pada mayoritas dan menjadi tidak sensitif terhadap arus kepentingan yang lainnya. Perempuan berada pada posisi marginal tersebut ketika politisi dominan – yang adalah laki-laki – tidak dapat melihat konteks perbedaan dalam implementasi kebijakan. Kebijakan publik diambil secara netral gender, dan atas nama persamaan dan antidiskriminasi, kebijakan publik justru didominasi oleh pandangan kepentingan mayoritas tersebut. Hal inilah yang coba didobrak oleh gerakan perempuan. Yaitu melihat politik sebagai konstestasi yang adil dalam arti memperhatikan kondisi perbedaan yang secara inheren melekat. Dengan demikian kebijakan publik merupakan hasil maksimal dalam mengakomodasi kepentingan-kepentingan tersebut. Disadari oleh gerakan perempuan bahwa perempuan tidak mungkin berada di luar arena kontestasi politik untuk memperjuangkan kepentingan-kepentingan tersebut. Pengalaman beberapa negara Amerika Latin yang berhasil dalam perjuangan kebijakan afirmatif menunjukkan bahwa keterlibatan perempuan menjadi mutlak dalam kontestasi politik tersebut. Hal inilah yang antara lain mendasari perjuangan menerapkan tindakan afirmatif dalam undangundang dan menjadi pintu masuk bagi kebangkitan perempuan dalam politik. Sejarah pula mencatat bahwa perjuangan tersebut tidaklah mudah. Pendapat yang mengatakan bahwa ‘tidak ada masalah’ yang dialami perempuan mempersulit pemenangan opini publik untuk mendukung tindakan afirmatif. Berbagai pendapat di media massa pada saat pembahasan UU politik tahun 2002-2003 menunjukkan kerasnya pertentangan pendapat antara yang pro dan kontra. Dari kalangan yang pro melihat persoalan keterwakilan perempuan harus didukung sebagai bagian dari perbaikan kondisi demokrasi kita. Beberapa pendapat yang pro antara lain mengatakan bahwa: - tindakan afirmatif merupakan terobosan bagi partisipasi aktif perempuan; - sudah saatnya memaksa partai politik untuk lebih memperhatikan kaderisasi perempuan; - tindakan afirmatif ini harus dilakukan untuk mendorong perempuan masuk dalam partai politik. Sementara bagi yang kontra, tindakan afirmatif dilihat sebagai ancaman dan tidak demokratis. Beberapa pendapat yang kontra mengatakan bahwa: - tindakan ini diskriminatif dengan alasan perempuan bukanlah kelompok minoritas yang harus diberikan keistimewaan; - kebijakan ini tidak demokratis karena ada penjatahan jumlah perempuan dalam parlemen; - tindakan memberikan keistimewaan pada perempuan justru melecehkan kapabilitas perempuan, seolah-olah perempuan sebagai makhluk yang tidak berdaya sehingga harus dibantu; - sebenarnya tidak ada persoalan dengan peran perempuan selama ini, tidak ada larangan bagi perempuan untuk beraktivitas dimanapun sesuai yang diinginkan. Pendapat pro kontra tersebut adalah sesuatu yang tak bisa dihindari karena ada persoalan memberikan ‘posisi kekuasaan’ pada perempuan dengan cara yang dinilai diskriminatif. Ketika demokrasi menjadi acuan, siapapun tanpa perbedaan dapat mengambil bagian dalam proses
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
www.parlemen.net
politik. Jika ada aturan yang memberikan ‘jalan mudah’ bagi kelompok tertentu maka yang terjadi adalah diskriminasi. Logika ini tidak terbantahkan kebenarannya. Tetapi persamaan dalam demokrasi juga menuntut adanya situasi yang fair dalam segala aspek. Situasi dalam hal kesempatan, akses, dan sumber daya materi yang sama dan seimbang. Persoalan yang dialami perempuan tidak seperti itu. Kondisi perempuan dan laki-laki dalam konstruksi sosial dan budaya masyarakat diposisikan ‘tidak sama’ sehingga ada kendala yang dirasakan perempuan untuk secara bebas dan luas masuk dunia politik. Salah satu kondisi yang tidak nyaman itu adalah partai politik. Institusi yang justru ‘mestinya’ mempromosikan demokrasi tetapi dalam perilaku institusinya justru didominasi oleh kepentingan yang tidak sensitif gender. Akibatnya perempuan jarang yang mau masuk partai politik, dan alasan inilah yang digunakan partai politik untuk mengklaim bahwa perempuanlah yang tidak mau masuk parpol sementara kesempatan telah dibuka. Mengacu pada kondisi inilah maka rekam sejarah mencatat intensifnya aktivitas gerakan perempuan untuk mendorong masuknya tindakan afirmatif dalam rumusan undang-undang. Opini publik yang dibangun berhasil mendorong fraksi-fraksi di DPR untuk berpikir keras tentang kebijakan afirmatif ini. Hingga akhirnya diloloskannya pasal 65 ayat 1 yang membuka akses bagi perempuan untuk menjadi calon anggota legislatif. Berikut intisari pendapat fraksi-fraksi di DPR tentang masalah tindakan afirmatif untuk perempuan. abel 1: Intisari Pendapat Fraksi-Fraksi di DPR tentang Kebijakan Afirmatif dalam Pembahasan RUU Pemilu Tahun 2003 Fraksi Intisari Pendapat terhadap Keterwakilan Perempuan PPP Mendukung lahirnya tindakan afirmatif tetapi bukan karena jumlah perempuan 53% dari penduduk, melainkan sudah seharusnya dilakukan. Kualitas perempuan sudah sama dengan laki-laki. GOLKAR Setuju tindakan afirmatif dan pencantuman angka 30% bagi perempuan di parlemen. Mengusulkan digunakan kata ‘memperhatikan’ agar tidak memiliki konsekuensi bagi partai politik, hanya sebatas kemauan politik. PDIP Setuju tindakan afirmatif untuk keterwakilan perempuan asalkan tidak ada pembatasan dan tidak menghambat kegiatan partai untuk merekrutnya. REFORMASI Mendukung tindakan afirmatif dan perlu penetapan secara eksplisit agar (PAN dan PK) partai memperhatikan kuota 30% perempuan sebagai calon anggota legislatif. PKB Mengusulkan perlunya kuota 30% perempuan dalam pencalonan anggota legislatif. DAULAT UMMAT Tidak setuju penyebutan angka karena dinilai diskriminatif. Fraksi ini cenderung tidak bersikap dalam masalah ini. KKI Mendukung kesetaraan gender dengnan tindakan afirmatif. PBB Tidak mendukung kuota. Kuota memberikan pembatasan sehingga kesamaan yang diusung menjadi berkurang. Mendukung keterlibatan politik perempuan secara alami. TNI/POLRI Mendukung tindakan afirmatif dengan mengusulkan kata ‘sekurangkurangnya’ agar tidak menimbulkan kesan dibatasi (ada patokan). Jadi bisa saja partai mencalonkan perempuan diatas 30% jika itu dimungkinkan. Sumber: diolah dari bahan Sekretariat Jenderal DPR tentang proses pembahasan rancangan Undang-undang tentang Partai Politik, dan sebagaimana dikutip dari laporan penelitian The Habibie Center tentang aktualisasi keterwakilan perempuan dalam politik hasil Pemilu 2004.
Mengacu pada tabel 1 tersebut dapat dilihat bagaimana ragam sikap partai-partai politik terhadap isu ini hingga akhirnya mengeluarkan rumusan yang longgar tentang tindakan afirmatif bagi perempuan. Sebagaimana diketahui kebijakan afirmatif tertuang dalam Pasal 65 ayat 1 UU
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
www.parlemen.net
No.12/ 2003 tentang Pemilu yang lengkapnya berbunyi sebagai berikut: “Setiap partai politik peserta pemilu dapat mengajukan calon Anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap daerah pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen” (cetak tebal dari penulis). Berhasilnya disepakati aturan ini langsung disambut positif oleh gerakan perempuan sebagai terobosan penting untuk memulai perjuangan meningkatkan keterwakilan perempuan. Walaupun masih bersifat himbauan dan tidak ada sanksi hukum, namun aura ketika itu melihat pasal 65 ini sebagai peluang merebut kesempatan di partai politik. Pasal 65 ini dilihat sebagai salah satu upaya mendesak partai politik untuk merekrut dan mencalonkan perempuan. Dalam batas tertentu, aturan pasal 65 ini dapat memaksa partai politik membuat skoring atau kriteria dalam proses pencalonan internal. Sebuah upaya yang relatif berhasil mengingat separo partai politik peserta Pemilu 2004 pada akhirnya mencalonkan 30% perempuan sebagai anggota legislatif. Tabel berikut ini memuat informasi tersebut. Tabel 2: Partai Politik yang Calonkan Perempuan > 30% pada Pemilu 2004 dan Prospek Keikutsertaan pada Pemilu 2009 No Partai Politik % Caleg % Perolehan Keterangan Perempuan Suara (DPR) 1 Partai Keadilan Sejahtera (PKS) 40.3 7.34 Lolos ET 2 Partai Keadilan dan Persatuan 38.8 1.26 Tidak lolos Indonesia (PKPI) 3 Partai Sarekat Indonesia (PSI) 38.6 0.6 Tidak lolos 4 Partai Perhimpunan Indonesia 38.5 0.59 Tidak lolos Baru (PPIB) 5 Partai Persatuan Nahdlatul 38.4 0.79 Tidak lolos Ummah Indonesia (PPNUI) 6 Partai Kebangkitan Bangsa 37.6 10.57 Lolos ET (PKB) 7 Partai Buruh Sosial Demokrat 37.1 0.56 Tidak lolos (PBSD) 8 Partai Karya Peduli Bangsa 35.9 2.11 Tidak lolos (PKPB) 9 Partai Merdeka 35.6 0.74 Tidak lolos 10 Partai Penegak Demokrasi 35.1 0.75 Tidak lolos Indonesia (PPDI) 11 Partai Amanat Nasional (PAN) 35 6.44 Lolos ET 12 Partai Persatuan Daerah (PPD) 34.2 0.58 Tidak lolos 13 Partai Persatuan Demokrasi 32.7 1.16 Tidak lolos Kebangsaan (PPDK) 14 Partai Bintang Reformasi (PBR) 31.5 2.44 Tidak lolos Keterangan: Aturan ET (electoral treshold) menurut UU No.12/2003 adalah 3% untuk bisa mengikuti pemilu berikutnya. Sumber: diolah dari data Komisi Pemilihan Umum
Data pada tabel 2 menunjukkan bahwa sebagian partai politik – 14 parpol dari 24 parpol peserta pemilu – memenuhi anjuran Pasal 65 ayat 1 dengan mencalonkan perempuan sebagai anggota legislatif 30% atau lebih. PKS menempati urutan pertama dengan 40.3%, sedang yang terendah dari kelompok ini adalah PBR dengan 31.5% perempuan yang dicalonkan. Sementara itu, dari 14 parpol tersebut, hanya ada tiga parpol yang secara perolehan suaranya lolos ketentuan batas ambang suara 3% sehingga dapat langsung mengikuti pemilu berikutnya. Ketiga parpol itu adalah PKS, PKB, dan PAN. Dilihat dari kondisi sesungguhnya cukup memprihatinkan karena empat parpol lain yang lolos ET ternyata tidak memenuhi pasal 65
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
www.parlemen.net
dengan tidak mencalonkan perempuan sebanyak 30%. Keempat partai politik itu adalah Golkar (mencalonkan 28.3%), PDIP (28.3%), PPP (22,3%), dan Demokrat (27%). Terbanyak dari partai politik yang dapat mencalonkan perempuan diatas 39% adalah partai-partai baru yang perolehan suaranya kecil sehingga tidak dapat mengikuti pemilu berikutnya. Berangkat dari kondisi tersebut, ada beberapa hal yang perlu dicermati berkaitan dengan kondisi peluang peningkatan keterwakilan perempuan dalam parlemen terkait dengan sikap partai-partai politik pada saat Pemilu 2004 lalu. Yaitu: 1. Sebagian besar partai politik yang mencalonkan perempuan lebih dari 30% adalah parpol baru. Komitmen mereka layak diapresiasi positif tetapi secara politis tidak dapat mendorong efektifitas tindakan afirmatif karena masalah perempuan pada akhirnya menjadi komoditas politik demi pencitraan partai semata. Masalahnya adalah tidak ada korelasi positif antara pencalonan 30% perempuan yang diasumsikan dapat mendukung pencitraan parpol, dengan perolehan suara parpol tersebut. Dari 14 parpol yang pencalonan perempuan diatas 30%, hanya PKS, PKB dan PAN yang memperoleh suara signifikan. 2.
Peluang perempuan untuk dicalonkan dan kemudian terpilih lebih terbuka pada partaipartai politik dengan perolehan suara besar. Asumsinya adalah partai dengan perolehan suara besar menunjukkan kinerja partai tersebut secara merata di daerahdaerah pemilihan. Artinya dorongan pada partai-partai besar tersebut untuk mencalonkan perempuan dan ditempatkan pada posisi dengan peluang terpilih sangatlah penting untuk mendorong jumlah perempuan di parlemen. Masalahnya, kepedulian parpol besar – dalam hal ini Golkar dan PDIP – untuk menominasikan perempuan minimal 30% ternyata belum cukup. Terbukti pada Pemilu 2004, kedua partai ini secara umum belum mampu mencalonkan perempuan sekurang-kurangnya 30%. Golkar sebagai pemenang Pemilu 2004 mencalonkan 28% untuk pemilu DPR (165 perempuan dari 652 caleg). PDIP sebagai pemenang kedua mencalonkan perempuan sebanyak 28% (158 dari 558 caleg). Disebabkan tidak adanya sanksi maka tidak ada dampak politik dan hukum tertentu pada Golkar dan PDIP dalam pencalonan perempuan.
3.
Di sisi lain, kecenderungan rendahnya Golkar dan PDIP dalam mencalonkan perempuan (< 30%), menunjukkan beratnya beban kedua partai tersebut dalam proses internal mereka. Artinya persaingan antar bakal calon di internal kedua partai tersebut sangatlah ketat. Sehingga hal ini menjadi hambatan bagi perempuan untuk berkiprah. Hambatan tersebut makin besar lagi dalam hal menempati urutan atas agar peluang terpilih semakin besar. Hambatan bertambah besar lagi dalam penempatan daerah pemilihan agar peluang terpilih itu semakin pasti. Mekanisme skoring yang diterapkan masih belum efektif mengatasi persaingan di internal partai menyangkut banyaknya kader yang harus diakomodasi. Sementara data tabel 2 juga memperlihatkan bahwa partai-partai dengan perolehan suara kecil lebih banyak yang mencalonkan perempuan. Seolah bagi partai-partai tersebut ‘tidak ada hambatan’ untuk menominasikan sebanyak-banyaknya perempuan. Tetapi secara politik hal ini kemudian terhenti pada persoalan komoditas semata dalam rangka memperoleh nilai lebih di mata publik, khususnya gerakan perempuan. Atau kondisi ini bisa juga dibaca dalam konteks lebih mudah bagi gerakan perempuan untuk melobi partai-partai baru yang belum mapan daripada parpol besar dan mapan. Selain itu, parpol-parpol baru ini lebih terbuka terhadap lobi-lobi dari gerakan perempuan.
4.
Evaluasi terhadap hasil Pemilu 2004 terkait dengan pencalonan perempuan menunjukkan bahwa pasal 65 masih belum efektif sebagai tindakan afirmatif. Bukan sekedar masalah sanksi yang belum diatur, tetapi juga soal komitmen parpol untuk menerapkan tindakan afirmatif di internal mereka yang belum ada. Data pada tabel berikut ini menginformasikan bahwa jika
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
www.parlemen.net
tindakan afirmatif tersebut diterapkan secara efektif dalam aturan internal partai, hasil pemilu tentu akan berbeda bagi perempuan. Tabel 3: Perbandingan Jumlah Caleg Perempuan Nomor Jadi dan Caleg Perempuan Terpilih dari Sembilan Partai Politik di DPR No Partai Politik Jml CP No. Jadi (1 & Jml CP Terpilih (%) 2) 1 Golkar 17 19 (111.7) 2 PDI Perjuangan 17 12 (70.5) 3 Demokrat 20 8 (40.0) 4 PAN 21 7 (33.3) 5 PKB 24 7 (29.1) 6 PKS 20 5 (25.0) 7 PPP 14 3 (21.4) 8 PBR 20 2 (10.0) 9 PDS 22 2 (9.0) Sumber: dikutip dan diolah dari data Eko Bambang Subiyantoro yang dimuat dalam Jurnal Perempuan Nomor 34/2004
Tabel tersebut memperlihatkan bahwa jumlah perempuan terpilih yang terbanyak berasal dari Golkar (19 orang) dan PDIP (12 orang). Tetapi jika dilihat dari data jumlah CP yang diletakkan pada posisi atas (nomor urut 1 dan 2), komitmen kedua partai tersebut tergolong rendah. Artinya, hanya sekitar 10% dari total caleg perempuan dari Golkar yang diposisikan pada nomor urut atas atau peluang terpilih yang besar. Demikian halnya dengan PDIP. Berdasarkan data tersebut, peluang untuk menambah jumlah perempuan di parlemen lebih efektif melalui dua parpol peraih suara terbanyak ini. Rata-rata CP nomor jadi dari kedua parpol ini berhasil memenangkan kursi. Secara umum, hanya 16.8% dari total caleg perempuan untuk DPR sebanyak 2.507 orang yang ditempatkan partai pada nomor urut 1 dan 2. Data ini menunjukkan walaupun parpol-parpol mencalonkan perempuan lebih dari 30% tetapi tidak ditempatkan pada posisi-posisi yang berpeluang terpilih (nomor urut dan daerah pemilihan). Mengacu pada kondisi tersebut, maka ditilik dari faktor kebijakan publik, masalah tindakan afirmatif pasal 65 masih belum efektif mendorong peningkatan keterwakilan perempuan. Sebagai kesimpulan dapat diuraikan berikut ini: 1. Aturan Pasal 65 ayat 1 UU Nomor 12 Tahun 2003 belum memberikan jaminan bagi perempuan untuk dicalonkan oleh parpol disebabkan rumusan yang bersifat longgar dan tidak ada mekanisme sanksi jika parpol tidak memenuhi aturan pasal ini. 2. Tindakan affirmative Pasal 65 ayat 1 belum didukung oleh undang-undang lainnya yaitu UU tentang Partai Politik. UU Parpol memang mengatur rekrutmen caleg yang diatur secara demokratis sesuai mekanisme internal parpol. Secara formal ditekankan bahwa rekrutmen caleg dilakukan secara demokratis namun pelaksanaannya diserahkan pada otonomi parpol untuk menafsirkannya. Aturan tersebut kemudian tidak dapat diawasi oleh institusi lain misalnya KPU, apakah parpol telah melakukan rekrutmen secara demokratis atau tidak, termasuk juga publik. Tidak ada standar baku yang diatur secara formal untuk menilai rekrutmen caleg demokratis atau tidak. KPU sendiri sebagai lembaga penyelenggara pemilu, tidak membuat aturan yang bersifat mencampuri internal parpol. Sehingga yang terjadi adalah parpol menetapkan kriteria rekrutmen caleg, antara lain dengan menggunakan sistem skoring. Namun aturan tersebut cenderung tidak dilakukan secara konsekuen. Pimpinan parpol memiliki ’kriteria’ sendiri yang seringkali mengabaikan sistem skoring. Kasus yang dialami beberapa caleg perempuan yang digeser nomor urutnya menunjukkan ada faktor tidak tertulis namun sangat penting, yaitu uang dan akses pada kekuasaan partai (orang-orang yang berada
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
www.parlemen.net
dalam jajaran kepengurusan seringkali diprioritaskan, dan umumnya diduduki oleh lakilaki). 3. Penerapan pasal 65 ini di sisi lain juga membuka masalah pencalonan internal parpol yang selama Orde Baru hampir tidak terungkap ke publik. Yaitu kentalnya nuansa KKN (korupsi, kolusi, nepotisme) dan politik uang dalam pencalonan anggota legislatif sehingga menyulitkan kader perempuan berkualitas untuk bersaing karena kelangkaan sumber finansial yang dimiliki perempuan. Kondisi ini berbeda dengan kader laki-laki. Persoalan berikutnya adalah sulitnya menggeser posisi elit lama dalam partai yang selama ini ’terbiasa’ dicalonkan di nomor jadi. Umumnya mereka adalah laki-laki, amat sedikit perempuan yang berada pada posisi tersebut. Faktor struktur organisasi parpol yang maskulin juga menyulitkan perempuan. Perempuan sangat sedikit yang berada pada struktur pengurus yang terkait dengan pengambilan keputusan strategis termasuk masalah pencalonan. Selain itu, belum tersosialisasikannya tindakan afirmatif ini sampai ke pengurus tingkat lokal (provinsi, kabupaten/kota) membuat ada penolakan dari pengurus daerah terhadap pencalonan 30% serta menempatkan perempuan di nomor jadi. Wacana kuota lebih berkembang di pusat daripada daerah. Aturan UU juga tidak mengatur secara khusus tentang pencalonan di tingkat lokal. Evaluasi terhadap kebijakan afirmatif yang diterapkan pertama kali pada Pemilu 2004 juga menunjukkan berbagai persoalan yang dihadapi kader perempuan untuk berpolitik. Hasil pemilu 2004 menjadi basis inventarisasi hambatan yang harus diperbaiki dalam jangka waktu berikutnya. Misalnya soal jaringan, dana dan akses ke media massa. Umumnya kader perempuan memiliki keterbatasan dalam jaringan basis dukungan pemilih. Salah satunya adalah minimnya aktivitas organisasi yang diikuti oleh kader perempuan. Hal ini menjadi hambatan untuk melakukan negosiasi di partai karena partai cenderung berpikir pragmatis untuk memperoleh dukungan suara sebanyak mungkin. Hambatan negosiasi juga dipengaruhi oleh keterbatasan dana para kader perempuan untuk pencalonan dan membiayai kampanye mereka. Untuk alasan ini memang di beberapa negara menerapkan sistem daftar tertutup yang dikombinasikan dengan aturan kuota sehingga peningkatan jumlah perempuan dapat diatur sedemikian rupa. Namun penerapan tersebut juga harus mempertimbangkan situasi politik yang ada. Lemahnya akses ke media massa juga menjadi faktor penghambat dalam memenangkan wacana publik. Para kader perempuan kurang mampu melihat media sebagai partner yang dapat membentuk opini publik dan pencitraan bagi eksistensi mereka. Faktor internal para caleg perempuan pun menjadi poin evaluasi yang penting dalam implementasi kebijakan afirmatif. Setidaknya ada tiga hal yang patut menjadi bahan evaluasi dan harus diperbaiki untuk meraih tujuan peningkatan keterwakilan perempuan termasuk kualitas dari peningkatan tersebut. Pertama adalah faktor perspektif gender yang masih kurang. Secara khusus hal ini tidak menjadi kondisi pada kader/caleg perempuan saja, terlebih caleg laki-laki pun mengalami kondisi serupa. Para caleg perempuan masih kurang mampu menjelaskan mengapa kepentingan perempuan perlu dan harus diperjuangkan oleh perempuan, dan hasil perjuangan tersebut bukan untuk perempuan semata tetapi untuk kesejahteraan seluruh bangsa. Faktor kedua adalah soal basis sosial politik kader/caleg perempuan yang lemah. Ketertinggalan dalam politik menyebabkan terlambatnya membina basis sosial politik – internal dan eksternal parpol – yang dibutuhkan untuk pencalonan dan memenangkan pemilu. Politik dapat dianalogikan semacam ‘pasar’ di mana kepentingan tuntutan dan tawaran bertemu lalu hasilnya adalah kompromi kepentingan yang tersalurkan. Tentu ada take and give dalam proses ini. Faktor basis sosial politik menjadi cadangan dukungan yang penting dalam proses tawar menawar tersebut.
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
www.parlemen.net
Faktor ketiga adalah masalah pengalaman dan ketrampilan politik yang masih lemah. Hal ini terkait dengan faktor basis sosial politik tersebut. Kader/caleg perempuan umumnya masih kurang percaya diri dan kurang memahami persoalan sehingga kurang trampil dalam negosiasi atau lobi. Secara ringkas, tantangan yang dihadapi caleg perempuan tergambar dalam bagan berikut.
Perspektif gender Basis sosial dan politik
Komitmen parpol: pencalonan, dominasi elit lama, kaderisasi, bias gender
Jaringan, Dana, dan Akses media massa
CALEG PEREMPUAN
Ketrampilan politik
Sistem Pemilu, opini publik, prokontra aturan kuota
B. Kinerja Perolehan Suara Caleg Perempuan pada Pemilu 2004 Bagaimana peluang caleg perempuan dalam menghadapi persaingan merebut kursi pada Pemilu 2009 mendatang. Pemilihan umum memang masih sekitar dua tahun setengah lagi, namun persiapan tentu harus sesegera mungkin dilakukan. Pertimbangan utamanya adalah situasi politik yang sangat berbeda dengan Pemilu 2004. Ada euforia transisi demokrasi yang melekat pada Pemilu 2004. Baik dalam hal peraturan perundangan yang dinilai lebih demokratis daripada aturan Pemilu 1999, penyelenggara pemilu yang lebih kredibel karena memenuhi unsur independen dan netral dari keterlibatan partai politik, dan kesiapan partaipartai politik yang lebih baik dari pemilu sebelumnya. Bagi gerakan perempuan, Pemilu 2004 juga menjadi arena pertaruhan tersendiri dengan berhasil diterapkan aturan kuota pencalonan bagi perempuan. Maka euforia politik pun tak terhindarkan. Ditambah lagi dengan pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung yang pertama kali dilakukan. Namun kondisi menjelang Pemilu 2009 cenderung berbeda. Formasi kekuatan politik mulai terpola walau belum sempurna yang menunjukkan kepentingan mayoritas berhadapan dengan minoritas. Setelah tiga tahun pemilu, polarisasi kekuatan politik di parlemen dan politik nasional mulai menunjukkan penegasan kelompok-kelompok, walau belum bulat. Ada partai pendukung pemerintah (Demokrat dan Golkar), ada partai penentang pemerintah (PDIP), dan ada partaipartai tengah yang sikapnya tergantung pada kepentingan yang berkembang. Kadang mendukung pemerintah, kadang mengambil sikap yang berseberangan. Polarisasi semacam ini juga didukung oleh sikap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (Presiden SBY) yang cenderung memainkan kartu dukungan parpol sebagai basisnya. Logika presidensial dan
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
www.parlemen.net
parlementer menjadi rancu karena koalisi eksekutif (kabinet) menjadi berimbas pada kekuatan di parlemen. Tetapi formasi kekuatan politik di tataran nasional ternyata tidak dapat diprediksi secara pasti. Golkar dan PDIP memang bersebarangan dalam sikap politik di parlemen dalam menghadapi kebijakan pemerintah, tetapi kedua partai ini kerap bersepakat secara kepentingan yang lebih luas. Salah satunya dalam pembahasan rancangan undang-undang bidang politik sebagai revisi paket UU politik yang berlaku saat ini. Mengamati situasi yang berkembang tersebut, maka gerakan perempuan pun harus mengantisipasi secara cermat pula. Ada peluang untuk merevisi Pasal 65 agar lebih memiliki daya sanksi. Mengukur seberapa peluang itu menjadi penting pula untuk melihat bagaimana resistensi dan penerimaan partai-partai dalam isu kuota tersebut. Di sisi lain, perlu pula dilakukan pemetaan tentang kinerja caleg perempuan khususnya dalam perolehan suara pada Pemilu 2004. Hal ini penting sebagai bahan introspeksi dan rekomendasi bagi upaya peningkatan keterwakilan politik di parlemen untuk Pemilu 2009 mendatang. Pada bagian sebelumnya telah diuraikan tentang kebijakan afirmatif dan hasil Pemilu 2004 menyangkut keterwakilan perempuan. Hasilnya masih belum memuaskan terkait dengan berbagai kendala yang dihadapi. Baik dari sisi komitmen partai politik maupun faktor internal caleg perempuan yang belum maksimal. Selain itu, faktor sistem pemilu khususnya tentang penetapan caleg terpilih, perlu dilakukan evaluasi agar dapat direvisi untuk pemilu berikutnya. Berkaca pada data Pemilu 2004, persentase rata-rata jumlah caleg perempuan yang mengikuti pemilihan berdasarkan provinsi (daerah pemilihan) relatif sudah memenuhi minimal 30%. Keikutsertaan perempuan dalam pemilu DPR yang persentasenya melebihi 30% terdapat di 17 provinsi yang meliputi 47 daerah pemilihan (total 68 dapil untuk DPR). Keikutsertaan terendah ada di Maluku Utara dan Sulawesi Tenggara, masing-masing 18.3% dan 16.67%. Berikut informasi lengkap tentang hal tersebut. Tabel 4: Perbandingan Persentase Jumlah Caleg Perempuan dan Jumlah Caleg Perempuan Terpilih untuk DPR 2004-2009 Menurut Provinsi PROVINSI JUMLAH RATA2 % CP IKUT JML CP DPR DAPIL PEMILU DPR 2004 TERPILIH DI YOGJAKARTA 1 38.79 3 JAWA TENGAH 10 36.36 8 BENGKULU 1 36.25 1 KEPULAUAN RIAU 1 34.78 0 RIAU 1 34.76 2 KALIMANTAN SELATAN 1 34.71 0 BANTEN 2 34.67 1 JAMBI 1 34.65 1 KALIMANTAN BARAT 1 34.35 1 KALIMANTAN TENGAH 1 34.07 1 SUMATERA BARAT 2 33.74 0 SULAWESI UTARA 1 32.35 0 JAWA TIMUR 10 31.97 13 DKI JAKARTA 2 31.86 4 JAWA BARAT 10 31.39 7 PAPUA 1 31.37 1 KALIMANTAN TIMUR 1 31.20 1 BANGKA BELITUNG 1 29.86 0 LAMPUNG 2 29.50 3
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
www.parlemen.net
PROVINSI
JUMLAH RATA2 % CP IKUT DAPIL PEMILU DPR 2004 BALI 1 29.41 GORONTALO 1 28.85 SULAWESI SELATAN 2 26.74 SULAWESI TENGAH 1 25.93 NANGROE ACEH DAR 2 25.10 SUMATERA SELATAN 2 24.98 SUMATERA UTARA 3 23.79 MALUKU 1 23.60 NTB 1 22.41 NTT 2 21.55 IRIAN JAYA BARAT 1 21.43 MALUKU UTARA 1 18.33 SULAWESI TENGGARA 1 16.67 TOTAL 69 Sumber: diolah dari data Komisi Pemilihan Umum
JML CP DPR TERPILIH 2 1 5 1 1 0 2 0 0 2 0 0 1 62
Tabel tersebut menunjukkan masih ada kesenjangan antara jumlah caleg perempuan di Jawa, Sumatera dan Kalimantan dengan di daerah lain seperti Sulawesi, Maluku dan Nusa Tenggara. Beberapa daerah di Sumatera pun tidak seluruhnya dapat mencalonkan perempuan minimal 30%. Data ini berguna untuk melihat ‘ketersediaan’ perempuan untuk dicalonkan. Selama ini partai politik beralasan bahwa mereka sulit mencari kader perempuan yang bersedia untuk dicalonkan. Tetapi jumlah 2.507 caleg perempuan (total 7.756 caleg) yang mengikuti Pemilu 2004 untuk DPR, merupakan aset atau investasi untuk pemilihan berikutnya. Namun data tabel di atas juga merefleksikan tingkat kesulitan caleg perempuan untuk terpilih. Jika disilang dengan data asal daerah pemilihan para caleg perempuan yang terpilih untuk DPR 2004-2009, maka hanya ada 22 provinsi yang ada wakilnya. Sisanya di 10 provinsi lainnya tidak ada yang berhasil terpilih. Jika ditelisik lebih jauh lagi, hanya 4 provinsi yang jumlah caleg perempuan terpilihnya diatas 5 orang dari total caleg perempuan yang ada di provinsi tersebut. Yaitu di Jawa Timur, rata-rata presentase caleg perempuan adalah 31.97%, yang terpilih sebanyak 13 orang. Setelah itu adalah Jawa Tengah, rata-rata persentase caleg perempuan adalah 36% dan yang dapat terpilih hanya 8 orang. Berikutnya adalah Jawa Barat dengan ratarata persentase jumlah caleg perempuan adalah 31%, yang berhasil terpilih hanya 7 orang. Sulawesi Selatan di tempat berikut dengan rata-rata persentase jumlah caleg perempuan 26.74%, yang terpilih hanya 5 orang. Itupun disebabkan Sulawesi Selatan adalah basis Golkar sehingga caleg perempuan yang berada di urutan bawah pun bisa terpilih karena banyaknya suara untuk Golkar. Selain empat provinsi tersebut, rata-rata caleg perempuan terpilih berkisar 1 sampai 3 orang. Tentu saja korelasi antara jumlah caleg perempuan di suatu provinsi dengan jumlah yang berhasil terpilih tidak disebabkan oleh faktor yang tunggal. Fakta ini menegaskan bahwa persoalan yang dihadapi caleg perempuan berujung pada aturan internal partai yang belum menetapkan aturan kuota secara konsisten, dan sistem pemilu yang masih belum bersifat afirmatif. Faktor kekuatan partai politik di masing-masing daerah atau provinsi pun ikut berperan dalam meningkatkan peluang perempuan untuk terpilih. Berkaca pada data tersebut, jika tindakan afirmatif di internal Golkar dan PDIP dapat diterapkan secara efektif, maka peluang perempuan terpilih semakin besar. B.1. Peluang Caleg Perempuan terhadap Kuota 5% Keatas dari BPP Berdasarkan Perolehan Suara Hasil Pemilu 20004 Pada Pemilu 2004 lalu, penentuan caleg terpilih dihitung berdasarkan caleg yang perolehan suaranya dapat memenuhi Bilangan Pembagi Pemilih (BPP). Artinya perolehan suara caleg
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
www.parlemen.net
yang dapat memenuhi seratus persen angka BPP yang ditetapkan untuk tiap daerah pemilihan, dapat langsung terpilih. Tetapi jika tidak ada caleg yang perolehan suaranya memenuhi angka BPP, maka diberlakukan nomor urut. Caleg yang berada pada nomor urut atas (1 dan 2) memiliki peluang terpilih semakin besar. Sehingga pada prakteknya nyaris tidak ada caleg, kecuali dua orang yaitu Hidayat Nur Wahid (DKI Jakarta/PKS) dan Saleh Djasit (Riau/Golkar), yang terpilih karena perolehan suaranya memenuhi syarat BPP. Cara penentuan caleg terpilih dengan BPP seratus persen kemudian dirasakan sebagai tidak adil dan sulit untuk dipenuhi oleh para caleg. Persoalannya adalah kesadaran pemilih untuk memilih orang (caleg) masih belum tinggi sehingga umumnya pemilih hanya mencoblos tanda gambar parpol saja. Ketidakadilan paling dirasakan oleh para caleg yang suaranya paling banyak di daerah pemilihan tertentu, tetapi tidak terpilih karena belum mencukupi BPP dan berada di urutan bawah. Tak terkecuali untuk caleg perempuan yang mengalami nasib seperti ini. Misalnya beberapa nama caleg berikut ini adalah contoh mereka yang perolehan suaranya terbanyak di daerah pemilihan tetapi tidak terpilih karena kalah oleh nomor urut di atasnya: 1. Partai Golkar: Hj. Sukiyawati (NAD II, no.urut 3); Nurul Qomaril Arifin (JABAR VI, no.urut 3); Farida Tanri Abeng (SUMBAR II, no.urut 4); Chandra Elia (BANTEN II, no.urut 4); Puput Novel (JABAR VIII, no. urut 3) 2. PDIP: G.R.Ay. Koes Moertiyah (JATENG V, no.urut 4); Kurniati (BANTEN II, no.urut 3) 3. PKB: Maria Ulfah Ansor (JABAR VII, no.urut 2) 4. PPP: Hj. Adjeng Ratna Suminar (JABAR II, no.urut 7) 5. Demokrat: Sri Satu Widyastuti (JATIM I, no.urut 7) Masalah mekanisme penentuan caleg terpilih sesuai BPP ini mendapat tanggapan beragam dan menjadi salah satu yang akan direvisi pada pembahasan RUU bidang politik saat ini. Masalah ini tidak hanya merugikan caleg perempuan, tetapi semua caleg merasakan dampak ketidakadilan tersebut. Dominasi partai masih sangat kuat dengan tetap mempertahankan nomor urut sebagai patokan. Fakta bahwa 99% anggota DPR periode 2004-2009 ini yang terpilih karena nomor urut menunjukkan kuatnya dominasi partai dan belum memperlihatkan keinginan mendekatkan ‘jarak’ keterwakilan antara wakil rakyat dengan konstituennya. Atas dasar persoalan tersebut maka berkembang pemikiran untuk mengurangi kuota angka BPP bagi caleg terpilih. Jika sebelumnya pemenang adalah seratus persen dar BPP, maka ada pemikiran untuk menetapkan persentase tertentu dari BPP untuk terpilihnya caleg. Ada yang mengusulkan 20% dari BPP, atau 25% dari BPP, bahkan ada yang mengusulkan lebih rendah lagi. Bagian ini akan menguraikan simulasi perolehan suara caleg perempuan – dan dibandingkan dengan caleg laki-laki – untuk menetapkan beberapa alternatif pilihan yang kondusif bagi caleg perempuan agar dapat terpilih. Pertama adalah simulasi perolehan suara caleg perempuan dengan kuota 5% dari BPP. Data BPP ditetapkan menurut yang berlaku pada Pemilu 2004. Jika dilihat perolehan kinerja caleg secara umum – perempuan dan laki-laki – tampaknya persentase kuota 5% pun belum dapat dicapai secara maksimal oleh umumnya caleg tersebut. Dari 7.587 caleg seluruh dapil untuk DPR, hanya 1.400 caleg yang perolehan suaranya dapat memenuhi 5% dari BPP, atau sekitar 15.18%. Artinya tidak sampai separo dari perolehan suara para caleg tersebut yang dapat memenuhi ‘hanya’ 5% dari BPP yang ditetapkan. Mekanisme pencoblosan tanda gambar dan nama caleg ditengarai sebagai kurang baiknya kinerja perolehan suara caleg. Apalagi jika hanya mencoblos nama caleg saja dianggap tidak sah suaranya. Simak informasi tabel berikut ini.
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
www.parlemen.net
Tabel 5: Jumlah Caleg Perempuan dan Laki-laki untuk DPR RI Hasil Pemilu 2004 yang Perolehan Suaranya Memenuhi 5% Keatas dari BPP Menurut Pulau Pulau Jumlah Caleg Jumlah Total Caleg Total Caleg Perempuan Caleg Laki5% keatas dari Seluruh Dapil laki BPP Kalimantan 12 (11.7) 90 102 468 Jawa 134 (20.3) 531 660 4.132 Sumatera 60 (17.1) 291 351 1.649 Sulawesi 21 (15.9) 111 132 616 Bali 3 (15.7) 16 19 102 Nusa Tenggara 7 (10.6) 59 66 262 Maluku Utara dan Maluku 3 (12.0) 22 25 149 Papua dan Irjabar 8 (20.0) 32 40 209 Total 248 1.152 1.400 7.587 Persen dari total caleg 17.8 82.2 5% keatas dari BPP Persen dari total caleg 3.26 15.18 18.45 seluruh dapil Keterangan: Persen dalam kolom ‘Jumlah Caleg Perempuan’ adalah dari total caleg 5% keatas dari BPP di tiap pulau.
Tabel 5 menunjukkan kinerja perolehan suara caleg perempuan dan laki-laki dalam memenuhi kuota 5% keatas dari BPP menurut pulau. Dari 1.400 total caleg yang dapat memenuhi kuota 5% keatas dari BPP, jumlah caleg perempuan sangat minim, yaitu hanya 3.26% atau 248 orang. Caleg perempuan di Jawa relatif lebih mampu memenuhi kuota 5% keatas daripada yang bersaing di luar Jawa. Tetapi persaingan antarcaleg di Jawa sangat ketat. Walaupun secara jumlah, caleg perempuan di Jawa terbanyak yang dapat memenuhi 5% keatas dari BPP tetapi secara persentase relatif rendah karena jumlah caleg yang bersaing lebih banyak. Artinya jika dilakukan perbandingan antara kinerja caleg perempuan Jawa dan luar Jawa, tidak dapat dibedakan secara signifikan karena kesulitan yang dihadapi relatif sama. Perbedaan terletak pada angka BPP yang dicapai karena perbedaan populasi dan luasnya daerah pemilihan yang dicakup. Di Papua dan Irjabar misalnya, secara umum kinerja perolehan suara diatas 5% cenderung baik yaitu 8 caleg perempuan dari 40 orang yang dapat memenuhi kuota 5% keatas. Artinya dengan kondisi masing-masing yang berbeda, hasilnya akan berbeda. Namun yang jelas, secara umum tingkat kesulitan para caleg perempuan di Jawa dan luar Jawa, khususnya Indonesia Timur, relatif sama. Bagaimana jika batas kuota persentase minimal yang harus dipenuhi dinaikkan sampai 25% keatas dari BPP? Jelas kondisinya sangatlah buruk terutama bagi caleg perempuan, mengingat perolehan suara mereka pada simulasi 5% keatas saja hanya sekitar 15% yang berhasil melewati. Jelasnya simak tabel berikut ini.
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
www.parlemen.net
Tabel 6: Jumlah Caleg Perempuan dan Laki-laki untuk DPR RI Hasil Pemilu 2004 yang Perolehan Suaranya Memenuhi 25% dari BPP Menurut Pulau Pulau Jumlah Caleg Jumlah Total Caleg Total Caleg Perempuan Caleg Laki5% keatas dari Seluruh Dapil laki BPP Kalimantan 1 8 9 468 Jawa 21 117 138 4.132 Sumatera 3 16 19 1.649 Sulawesi 4 22 26 616 Bali 1 3 4 102 Nusa Tenggara 0 10 10 262 Maluku Utara dan Maluku 0 1 1 149 Papua dan Irjabar 1 8 9 209 Total 31 185 216 7.587 Persen dari total caleg 14.48 85.6 5% keatas dari BPP Persen dari total caleg 0.41 2.43 2.85 seluruh dapil Data Tabel 6 menunjukkan kian rendahnya kinerja perolehan suara caleg perempuan jika batas minimal kuota dinaikkan sampai 25% dari BPP. Dari 216 caleg yang dapat melewati kuota 25% dari BPP, caleg perempuan hanya 31 orang (14.48%) yang dapat memenuhinya. Persentase menjadi tidak signifkan jika dibandingkan dengan total caleg di seluruh dapil yang berjumlah 7.587 orang (0.41%). Demikian pula dengan caleg laki-laki yang juga mengalami penurunan drastis, hanya 185 caleg laki-laki (2.43%) dari total caleg seluruh dapil. Apa artinya data pada Tabel 6 tersebut bagi peningkatan keterwakilan perempuan di parlemen? Skenario yang akan menetapkab batas minimal 25% dari BPP jelas sangat melemahkan peluang caleg perempuan untuk terpilih. Walaupun dengan asumsi pada Pemilu 2009 nanti jumlah daerah pemilihan diperbanyak yang artinya BPP akan lebih kecil, namun angka 25% dari BPP agar terpilih masih sangat tidak realistis. Memang jika diperhatikan ada alasan logis dalam pemikiran menentukan 25% dari BPP untuk caleg terpilih. Pertama, demi alasan akuntabilitas dan kedekatan jarak perwakilan politik yang lebih terpenuhi. Diharapkan dengan ketentuan ini maka jumlah anggota parlemen yang perolehan suaranya ‘mendekati’ angka suara terbanyak tetap diperhitungkan. Bukan hanya dua orang seperti hasil Pemilu 2004 lalu. Kedua, demi alasan menyeimbangkan antara kepentingan partai politik sebagai ‘pihak yang mencalonkan’ dengan kepentingan konstituen yang telah memberikan suaranya pada caleg tertentu. Dinaikkannya batas minimal terpilih sampai 25% dari BPP dipandang dapat memenuhi titik singgung kepentingan tersebut. Namun dua alasan logis tersebut dapat diterapkan jika aturan-aturan lainnya diperbaiki dengan menerapkan tindakan afirmatif bagi caleg perempuan. Paradigma ini yang tidak muncul ketika mengusulkan aturan 25% dari BPP. Hambatan itu terletak pada internal partai politik yang belum menerapkan tindakan afirmatif sehingga tetap ada kendala bagi caleg perempuan untuk berkiprah. Dalam kasus ini harus ada keberpihakan dan konsensus bersama untuk mengusung demokrasi substansial dan partisipatif dengan mendorong dua jenis kelamin maju secara bersama dan bersaing secara sehat. Batas minimal 25% dari BPP agar terpilih dapat dipertimbangkan jika partai politik secara tegas menerapkan kebijakan afirmatif dengan mencalonkan sekurang-kurangnya 30% caleg perempuan dan menempatkannya pada posisi yang peluang terpilihnya besar. Komitmen ini harus ditegakkan terlebih dahulu sebelum aturan kuota perolehan suara untuk terpilih diberlakukan. Aturan undang-undang memperkuatnya dengan ketentuan sanksi agar ada efek
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
www.parlemen.net
penerapannya secara efektif. Persoalan dalam peningkatan keterwakilan perempuan tidak semata mengutak-atik batas minimal persentase dari BPP agar terpilih, tetapi harus dibarengi dengan mengubah secara maksimal aturan internal partai dalam mekanisme pencalonan dan kebijakan afirmatif dari level pusat hingga daerah (kecamatan). Jika dilihat dari asal partai politik, hanya ada tujuh partai politik yang perolehan suara caleg perempuannya dapat melewati 25% dari BPP. Terbanyak berasal dari Golkar dengan 14 caleg perempuan, lalu diikuti oleh PKB (6 orang) dan PDIP (5 orang). Data pada Tabel 7 berikut ini makin menegaskan bahwa tindakan afirmatif internal partai politik sangat diperlukan untuk meningkatkan keterwakilan perempuan di parlemen. Harus ada dorongan yang kuat pada elit partai politik, terutama politisi partai yang berada pada puncak pengambilan keputusan, untuk mengambil tindakan afirmatif ini. Tabel 7: Jumlah Caleg untuk DPR 2004-2009 yang Memenuhi Kuota 25% dari BPP Berdasarkan Partai Politik Partai Politik Caleg Perempuan Caleg Laki-laki Total Golkar 14 77 91 PDIP 5 30 35 Demokrat 0 7 7 PAN 1 9 10 PBB 0 2 2 PKS 2 17 19 PKB 6 24 30 PPP 1 13 14 PPDK 0 2 2 PDS 0 1 1 PNI-M 0 1 1 Patriot Pancasila 0 1 1 PPIB 1 0 1 Keterangan: Partai politik yang ada dalam tabel adalah partai yang perolehan suara calegnya dapat memenuhi kuota 25% dari BPP
Sikap resisten politisi partai politik khususnya para pengambil kebijakan internal partai yang tertinggi terhadap masalah tindakan afirmatif internal partai disebabkan kekhawatiran meluasnya konflik internal. Pengalaman kuota berbagai negara memang menunjukkan adanya potensi konflik tersebut ketika aturan internal kuoto diterapkan oleh partai politik. Penerapan kuota dalam partai politik sangat strategis tetapi hampir dipastikan dapat menimbulkan konflik. Tetapi potensi konflik tersebut bukanlah sesuatu hal yang tidak bisa dikelola. Aturan yang berlaku secara internasional menyebutkan bahwa tujuan sistem kuota adalah merekrut perempuan untuk masuk dalam posisi politik dan memastikan bahwa perempuan tidak terisolir dalam kehidupan politik. Jadi ada tujuan yang menjadi target dan jika telah tercapai maka sistem kuota dapat dihapuskan. Kuota adalah tindakan sementara, yaitu menerapkan suatu sistem yang pada intinya menetapkan suatu persentase keterwakilan minimum bagi laki-laki dan perempuan yang bertujuan menjamin keseimbangan keberadaan laki-laki dan perempuan di bidang politik dan pada posisi pengambil keputusan. Aturan kuota yang secara internasional diterapkan di banyak negara melihat bahwa kondisi perempuan dan laki-laki yang berbeda dalam bidang politik. Sementara dunia politik adalah berbicara soal pengelolaan kekuasaan yang intinya adalah alokasi sumber daya. Jika alokasi sumber daya ini hanya didominasi oleh satu kelompok gender saja – baik fisik maupun perspektifnya – dikhawatirkan politik tidak dapat memenuhi tujuan idealnya dalam memenuhi kesejahteraan semua orang. Untuk itu kuota merupakan tindakan sementara, dan diterapkan sampai hambatan-hambatan terhadap masuknya perempuan dalam politik dapat disingkirkan. Hal itulah yang harus sesegera mungkin disosialisasikan dalam partai politik agar diperoleh pemahaman bersama. Tanpa ada komitmen
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
www.parlemen.net
yang kuat dari partai politik, perjuangan meningkatkan keterwakilan perempuan di parlemen akan semakin berat dan terjal.
Tabel 8: Perbandingan Jumlah Caleg yang Memenuhi Kuota 5% Keatas dan Kuota 25% dari BPP KUOTA 5% dari BPP KUOTA 25% dari BPP TOTAL TOTAL 5% dari BPP 25% dari Caleg Caleg Caleg Caleg BPP Perempuan Laki-laki Perempuan Laki-laki 248 1.152 1.400 31 185 216 (3.26%) (15.18%) (18.45%) (0.4%) (2.4%) (2,84%) Keterangan: persen dalam kolom ‘total 5% dari BPP’ dan kolom ‘total 25% dari BPP’ adalah dibagi dengan total caleg seluruh dapil yang berjumlah 7.587 orang
Perbandingan jumlah caleg yang dapat memenuhi kuota 5% keatas dari BPP dengan yang memenuhi kuota 25% dari BPP menunjukkan adanya kinerja yang rendah dalam perolehan suara. Terlebih bagi caleg perempuan, walau untuk kuota 5% keatas dari BPP relatif lebih berpeluang daripada minimal 25% dari BPP. Maka jika pada akhirnya ketentuan minimal BPP yang akan diterapkan untuk caleg terpilih dalam pembahasan di DPR, batas yang paling kondusif bagi caleg perempuan adalah 5% keatas dari BPP. C. Pengalaman Beberapa Negara dalam Penerapan Kuota Perempuan: Sebuah Perbandingan Bagian ini akan menguraikan berbagai jenis penerapan kebijakan afirmatif untuk perempuan di berbagai negara sebagai perbandingan bagi Indonesia. Jika dibandingkan dengan negaranegara di dunia, penerapan kuota di Indonesia termasuk ‘terlambat’ dan masih mencari bentuk yang tepat. Tren internasional menunjukkan bahwa kebijakan afirmatif mulai diterapkan sekitar tahun 1990an menjelang tahun 2000. Khususnya sejak dideklarasikannya Beijing Platform pada 1995 yang kemudian menjadi pendorong bagi legitimasi gerakan perempuan di sebagian besar kawasan dunia untuk memperjuangkan tindakan afirmatif bagi perempuan. Salah satu tantangan besar yang dihadapi gerakan perempuan secara internasional berkaitan dengan tuntutan persamaan hak dan kebijakan kuota adalah sikap resistensi dari penguasa dan elit partai politik. Perjuangan kuota dihadang oleh opini bahwa tindakan afirmatif merupakan bentuk diskriminasi yang tidak sesuai dengan demokrasi. Namun dibalik itu, tindakan afirmatif akan mengganggu kemapanan kekuasaan politik (posisi-posisi politik) yang telah dipegang para elit lama di mana mayoritas adalah laki-laki. Beijing Platform sangat membantu untuk memberikan legitimasi bahwa tindakan afirmatif adalah bentuk diskriminasi positif yang harus dilakukan dalam jangka waktu tertentu untuk memperbaiki substansi demokrasi itu sendiri. Setelah deklarasi Beijing tersebut, situasi internasional sangat mempengaruhi perjuangan gerakan perempuan di berbagai negara, sekaligus sebagai awal bagi paradigma baru tentang perlunya perlakuan berbeda bagi kelompok-kelompok marginal dalam masyarakat. Negara-negara di Amerika Latin termasuk yang progresif dalam penerapan kuota untuk keterwakilan perempuan dan bisa dijadikan bahan perbandingan bagi Indonesia. Sepanjang 1991 dan 2000, duabelas negara di Amerika Latin telah mengadopsi aturan kuota minimal 20% sampai 40% kandidat perempuan dalam pemilu nasional dan lokal. Pilihan strategi untuk menerapkan aturan kuota pada pemilu nasional dan lokal juga menjadi pertimbangan. Para aktivis perempuan di Brazil misalnya menilai perempuan akan lebih mudah berpartisipasi dalam tingkat lokal terlebih dahulu sebagai batu loncatan untuk masuk ke tingkat nasional. Pilihan inilah yang diambil sehingga pada 1990an, partisipasi perempuan dalam parlemen provinsi dan
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
www.parlemen.net
kabupaten cenderung meningkat. Namun dalam posisi eksekutif (walikota dan gubernur), masih rendah. Argentina termasuk paling awal dalam menerapkan kuota, yaitu pada 1991 melalui sebuah undang-undang. Kesempatan itu datang ketika terjadi transisi dari rezim otoritarian ke demokrasi di bawah Presiden Carlos Menem, dan berhasil secara menakjubkan meningkatkan keterwakilan perempuan di parlemen. Penerapan UU Kuota pada 1991 yang menominasikan 30% perempuan, secara menakjubkan berhasil meningkatkan jumlah perempuan pada pemilu 1995, yaitu dari 5,4% pada 1991-1993 menjadi 27% pada 1995-1997. Keberhasilan ini tentu saja buah dari sejarah yang panjang dalam perjuangan perempuan di Argentina serta negaranegara Amerika Latin pada umumnya. Kunci sukses antara lain terletak pada upaya yang efektif untuk mentransfer dari tatatan prinsip legal tentang persamaan antara laki-laki dan perempuan ke dalam upaya nyata yang menjamin kehadiran perempuan dalam posisi politik untuk jangka waktu tertentu. Pada 2002, Argentina menempati urutan ke sembilan di dunia dalam hal keterwakilan perempuan di parlemen nasional setelah Swedia, Denmark, Finlandia, Belanda, Norwegia, Islandia, Jerman, dan Selandia Baru. Hal apa yang menjadi kunci sukses keberhasilan Argentina dalam penerapan kuota untuk perempuan? Ada beberapa hal yang dapat diidentifikasi dan menjadi inspirasi bagi Indonesia untuk menerapkan hal serupa, yaitu: 1. Sistem Pemilu. Sistem pemilu yang diterapkan adalah proporsional daftar tertutup (closed-list system). Dalam sistem ini, partai politik memiliki kontrol dalam penyusunan dan penetapan daftar partai. Selain itu pemilih mencoblos partai politik, bukan kandidat. 2. Aturan kuota perempuan. Partai politik menominasikan minimal 30% perempuan, dan kandidat perempuan harus ditempatkan pada urutan yang memungkinkan mereka terpilih (1991). Pada 1999, aturan kuota ditambah dengan memasukkan klausul baru bahwa dalam dua nomor urutan atas (1 dan 2), harus terdiri dari laki-laki dan perempuan atau sebaliknya. Aturan ini berlaku untuk parlemen nasional dan lokal sampai kabupaten. 3. Sanksi bagi partai politik. Daftar kandidat yang tidak memenuhi aturan kuota 30% perempuan, ditolak oleh komisi pemilihan umum. 4. Kerjasama antarcaleg perempuan. Diterapkannya sistem daftar tertutup memungkinkan kerjasama antarcaleg perempuan di suatu daerah pemilihan dalam berkampanye untuk memaksimalkan dukungan suara pada partai masing-masing. 5. Dukungan organisasi civil society. Penindasan terhadap perempuan di Argentina telah berlangsung lama di bawah rezim militer yang otoriter. Ketika transisi demokrasi dimulai, ada kesadaran bersama di kalangan perempuan untuk mengubah wajah politik Argentina. Masalah yang dihadapi adalah sumber daya perempuan yang terbatas untuk masuk dalam partai. Maka ada dorongan agar para guru, akademisi, aktivis perempuan, profesional untuk masuk ke partai politik dan menjadi kader-kader perempuan baru di dalam partai politik. 6. Dukungan Presiden sebagai politisi yang berkuasa. UU Kuota di Argentina bukanlah dihasilkan secara mudah, banyak penolakan dari politisi laki-laki yang enggan mendorong tindakan afirmatif tersebut. Peran Presiden Menem dalam mendorong parlemen untuk mensahkan UU Kuota sangatlah signifikan. Jika tidak ada intervensi dan pengaruh dari Presiden Menem bersama menteri dalam negerinya pada saat-saat terakhir pembahasan UU ini di parlemen, kemungkinan besar UU Kuota ini tidak jadi disahkan. Hal serupa juga terjadi di Peru ketika Presiden Fujimori mendukung proposal kuota hingga akhirnya parlemen Peru meloloskan UU Kuota tersebut. 7. Aturan kuota dalam internal partai. Komitmen partai-partai politik untuk menerapkan aturan kuota dalam internal partai. Misalnya Justicialist Party (PJ) yang menetapkan 35% kuota untuk perempuan dalam daftar calon; atau Radical Civic Union (UCR) yang menetapkan 30% kuota untuk perempuan dalam daftar calon.
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
www.parlemen.net
Jika Argentina menerapkan sistem daftar tertutup dengan hasil keterwakilan perempuan yang meningkat secara mengesankan, Brazil menerapkan sistem terbuka yang hasilnya cenderung berbeda dengan Argentina. Pada Pemilu 2002 untuk memilih anggota Majelis Rendah, jumlah perempuan terpilih sebanyak 42 orang dari 513 (8.2%). Sedang pada Pemilu 2006 untuk memilih anggota Majelis Tinggi, jumlah perempuan terpilih sebanyak 12 orang dari 81 (14.8%). Penerapan sistem terbuka di Brazil dinilai kurang menguntungkan bagi perempuan. Pemilih mencoblos kandidat (individu), bukan partai politik seperti yang berlaku di Argentina. Perolehan suara kandidat sangat menentukan keberhasilan kandidat memenangkan kursi. Perbandingan kedua sistem pemilu di Argentina dan Brazil dapat dilihat pada bagan berikut ini.
ARGENTINA
Sistem daftar tertutup di mana pemilih memilih partai politik. Aturan kuota: Parpol harus calonkan 30% perempuan dan ditempatkan di urutan atas. Ada sanksi, yaitu daftar ditolak jika tidak penuhi syarat kuota.
BRAZIL
Sistem daftar terbuka di mana pemilih memilih kandidat dengan model preferensi. Aturan kuota: Parpol calonkan 30% perempuan. Ada sanksi, yaitu jika minimum persentase tidak dipenuhi maka kandidat yang melebihi persentase dapat dibuang dari daftar calon. Tapi sanksi ini tidak efektif.
Jumlah perempuan di parlemen meningkat sampai 35% (majelis rendah) dan 41.7% (majelis tinggi)
Sistem yang berlaku di Argentina dan Brazil merupakan inspirasi bagi Indonesia walaupun kondisi politik masing-masing negara yang berbeda. Seperti penerapan sistem daftar tertutup (closed-list system) tampaknya sulit diterapkan (kembali) di Indonesia karena akan menuai berbagai penolakan yang tidak mudah untuk dikelola oleh gerakan perempuan. Sebagaimana diketahui, setelah Pemilu 1999, ada keinginan kuat untuk mengubah sistem pemilu agar menghasilkan wakil rakyat yang lebih akuntabel dan kredibel. Indonesia telah mengaplikasikan sistem daftar tertutup selama Orde Baru dengan hasil perwakilan politik yang buruk. Artinya nyaris tidak ada koneksitas antara rakyat dengan wakilnya di parlemen. Pada masa otoriter Orde Baru, tidak ada kekuatan yang mampu menandingi eksekutif (Presiden Soeharto) sehingga organisasi civil society pun sulit untuk mendesakkan kepentingannya. Maka menjelang Pemilu 2004, sistem pemilu yang lama diubah dan diterapkan sistem proporsional terbuka tetapi dengan masih mengkombinasikan peran partai politik dalam penentuan nomor urut. Kerap pula disebut dengan proporsional terbuka-terbatas. Gambaran ini menunjukkan
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
www.parlemen.net
bahwa jika pada Pemilu 2009 kembali diterapkan sistem daftar tertutup, akan tidak banyak manfaatnya bagi kehidupan demokrasi di Tanah Air ini. Sebagai perbandingan, kebijakan kuota perempuan di berbagai negara telah lebih maju dari yang diterapkan di Indonesia. Dalam arti aturan kuota diatur lebih detil dan ada mekanisme sanksi bagi partai politik yang tidak mengindahkan aturan kuota tersebut. Pangkal keberhasilan penerapan aturan kuota terletak pada tanggung jawab dan komitmen partai politik, maka kuota tanpa sanksi hanya akan menghiasi lembaran undang-undang saja tanpa dampak yang signifikan. Berikut tabel tentang beberapa contoh kuota dan sanksi bagi partai politik di berbagai negara.
Negara Nepal
Belgia
Perancis
Macedonia
Spanyol
Tabel 9: Penerapan Kebijakan Kuota dan Sanksi di Beberapa Negara Aturan Kuota Sanksi bagi Parpol Aturan kuota bagi perempuan dicantumkan Komisi pemilihan umum berhak dalam UUD tahun 1990 pasal 114 yang menolak pendaftaran partai politik menyebutkan “sekurang-kurangnya 5% dari yang tidak memenuhi aturan total kandidat untuk pemilu majelis rendah kuota tersebut dalam daftar harus perempuan”. Selain itu ada jatah 3 kursi calon. dari total 60 anggota majelis tinggi untuk perempuan. Daftar calon harus memuat jumlah yang sama Sanksi berupa pembatasan antara kedua jenis kelamin. Tiga urutan nama jumlah kandidat. Jika partai tidak teratas dalam daftar calon tidak boleh berasal dapat memenuhi minimum kuota dari jenis kelamin yang sama. yang disyaratkan maka kursinya dikosongkan. Misalnya jika ada 25 kursi yang diraih, minimal 6 harus perempuan. Jika hanya ada 4 perempuan, maka 2 kursi yang tidak diisi harus dikosongkan. Dalam amandemen konstitusi tahun 1999, Hukuman finansial bagi partai dinyatakan bahwa memberikan akses yang yang tidak mencalonkan jumlah sama bagi laki-laki dan perempuan dalam yang sama laki-laki dan pemilu. Partai politik dinyatakan sebagai perempuan. Caranya, institusi yang bertanggungjawab untuk pendapatan partai dari negara memfasilitasi akses yang sama tersebut (50- akan dikurangi jika deviasi jumlah 50%). laki-laki dan perempuan lebih dari 2%. Misalnya, jika partai mencalonkan 49% perempuan dan 51% laki-laki, partai tidak kena sanksi. Tapi jika 55% lakilaki dan 45% perempuan, partai kena sanksi finansial. Untuk tingkat lokal, sanksinya adalah KPU tidak menerima daftar dari parpol yang tidak memenuhi aturan kuota (50-50%). Minimal 30% dari tiap jenis kelamin harus Jika partai tidak memenuhi 30% terwakili dalam daftar calon untuk pemilu. kiritera kuota, maka partai tersebut tidak dapat terdaftar dalam pemilu. Daftar calon harus memuat minimal 40% dan Daftar calon partai yang tidak maksimum 60% dari tiap jenis kelamin dalam memenuhi aturan kuota, tidak
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
www.parlemen.net
semua tingkat pemilu.
Costa Rica
Daftar calon memuat 40% calon perempuan dan harus ditempatkan pada posisi yang peluang terpilihnya besar.
Meksiko
Partai politik diharuskan mencalonkan minimal 30% perempuan baik untuk Senat dan Majelis Rendah. Partai politik juga diharuskan memasukkan aturan kuota ini dalam peraturan internal mereka.
disetujui oleh KPU. Lalu KPU akan memberikan waktu untuk mengubah daftar tersebut. Jika parpol tidak memenuhi 40% perempuan dalam daftar calon dan tidak di posisi yang peluang terpilihnya besar, komisi pemilihan umum berhak menolak pendaftaran partai tersebut dalam pemilu. Partai yang tidak mencalonkan 30% perempuan diberikan waktu tiga hari untuk memperbaiki daftar tersebut. Atau komisi pemilihan akan menghapus kandidat yang melebihi keterwakilan jenis kelamin sesuai dengan aturan kuota.
Masalah peningkatan keterwakilan perempuan dalam parlemen tentu melibatkan partai politik sebagai aktor yang sangat penting. Dalam sistem demokrasi, partai politik menempati posisi sentral sebagai institusi yang melakukan rekrutmen politik, termasuk untuk posisi anggota parlemen. Maka di negara demokrasi manapun, partai politik diberi tanggung jawab untuk menominasikan para warga negara yang memiliki kualifikasi menjadi anggota parlemen. Untuk itu, upaya tindakan afirmatif tak dapat dilakukan sebatas mendesakkan aturan di tingkat kebijakan semata, namun harus ada mekanisme yang mendorong parpol memberlakukan kebijakan afirmatif tersebut di internal partai. Kondisi itulah yang turut mendorong efektivitas tindakan afirmatif bagi perempuan dalam politik. Kasus di beberapa negara, kebijakan afirmatif yang ditetapkan di level nasional, melalui UU bahkan konstitusi, juga diadopsi oleh partai-partai politik dalam penerapan di internal mereka. Tabel berikut ini memberikan informasi bahwa kebijakan kuota harus diikuti dengan pengaturan di level internal partai agar dapat berdampak efektif terhadap peningkatan jumlah perempuan di parlemen.
Negara India Israel
Switzerland Austria
Belgia
Tabel 10: Kebijakan Kuota Internal Partai Politik di Beberapa Negara Parpol dan Bentuk Kebijakan Kuota Indian National Congress (INC): 15% kuota untuk kandidat perempuan dalam pencalonan. - Israel Labour Party: Sejak 1997, ILP menerapkan 25% kuota untuk perempuan dan secara bertahap meningkat sampai 40% pada tahun 2015. - Meretz Yachad: 40% perempuan dalam nominasi partai. Social Democratic Party of Switzerland: menetapkan 40% kuota untuk perempuan dalam daftar calon. - The Greens-Green Alternative: menerapkan 50% kuota untuk perempuan dalam daftar calon. - Social Democratic Party of Austria: menerapkan 40% kuota untuk perempuan. - Socialist Party: menerapkan minimum 1 kandidat dari tiap jenis kelamin
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
www.parlemen.net
Rep. Ceko
Jerman
Brazil Afrika Selatan
dalam 3 urutan atas, dan jumlah yang sama laki-laki dan perempuan dalam 10 posisi pertama, baik untuk lokal dan nasional. - Flemish Liberal Regionals: menerapkan prinsip zipper untuk daftar calon baik lokal maupun nasional. - Flemish Christian Democrats: menerapkan sistem daftar zipper dalam semua pemilihan. Partai ini juga menerapkan bahwa 4 dari 10 urutan teratas, baik lokal maupun nasional, harus perempuan. Social Democrats: 25% kandidat yang terpilih harus perempuan. Jika struktur partai di tingkat lokal gagal menominasikan 25% perempuan pada urutan atas, maka biro perempuan partai memiliki hak untuk menominasikan tambahan perempuan. Social Democratic Party of Germany: menerapkan kuota sejak 1988. Targetnya 25% perempuan pada 1990, 33% pada 1994 dan 40% pada 1998. Penerapan dalam daftar calon ditambah dengan sistem zipper. Brazilian Workers Party: Menerapkan 30% kuota untuk perempuan dalam daftar calon dan kepengurusan partai. African National Congress menerapkan 30% kuota untuk perempuan dalam daftar calon. Hasilnya representasi perempuan meningkat dari 3% menjadi 27% dalam Pemilu 1994. Pada Pemilu 1999, perempuan ditempatkan dalam setiap tiga urutan dalam daftar calon untuk pemilu nasional. Pada tingkat lokal, ANC menerapkan 50% kuota perempuan dalam daftar partai.
D. Revisi Aturan Kuota untuk Keterwakilan Politik Perempuan Indonesia: Sebuah Rekomendasi Bagaimana dengan masa depan keterwakilan perempuan di parlemen pada Pemilu 2009 mendatang? Ada dua sisi perspektif untuk menjawab persoalan ini. Sisi pesimis dan optimis. Sisi pesimis jika berkaca pada hasil Pemilu 2004 dan kecenderungan kinerja anggota parlemen perempuan di DPR dan DPRD secara kualitatif masih rendah. Artinya belum ada ‘pengaruh’ dan dampak signifikan dari keberadaan perempuan di parlemen terhadap proses dan hasil kebijakan politik. Sehingga relatif sulit untuk menggalang dukungan yang luas dari konstituen bahwa perempuan membawa perubahan kearah yang positif bagi kesejahteraan seluruh rakyat. Dari sisi optimis, melihat fenomena kebijakan kuota dan hasilnya pada Pemilu 2004 lalu sebagai sebuah awal untuk memetakan siapa kawan dan lawan dalam perjuangan meningkatkan kualitas dan kuantitas perempuan dalam politik. Ada kesadaran bahwa proses ini membutuhkan waktu panjang dan harus sistematis dengan keberpihakan yang nyata pada perempuan. Sehingga selalu ada peluang untuk memperbaiki keadaan, seberapa pun pahit pencapaian yang dapat diperoleh dalam tiap upaya tersebut. Rekomendasi ini disusun berangkat dari asumsi yang optimis tersebut. Ada beberapa alasan untuk berpijak pada perspektif optimis tersebut. Pertama, ‘bola’ yang sudah dilempar dan ditangkap sehingga menghasilkan ribuan caleg perempuan yang bersaing dalam Pemilu 2004, tidak bisa dihentikan prosesnya. Bahwa ada masalah dalam proses tersebut, harus diakui sebagai hal yang dihadapi dan diperbaiki. Kedua, ribuan caleg perempuan yang memiliki pengalaman bersaing tersebut merupakan investasi jangka panjang yang dapat menjadi semacam model berkaitan dengan tantangan dan kendala yang dihadapi. Mereka inilah yang harus menjadi motor penggerak secara berjejaring untuk memotivasi perempuan terjun dalam politik. Ketiga, sistem pemilu dan sistem kepartaian kita masih terus berproses, belum mencapai bentuk ideal yang diinginkan semua pihak. Ketika hal tersebut masih berproses, maka perempuan harus ambil bagian dengan memasukkan agenda kuota atau kebijakan afirmatif untuk peningkatan peran politik perempuan. Demokrasi kita masih belum terkonsolidasi, artinya masih berproses menuju kearah itu, maka harus dimanfaatkan oleh
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
www.parlemen.net
gerakan perempuan dalam mendesakkan agenda afirmatif tersebut. Inilah tiga alasan mengapa rekomendasi ini disusun dan menjadi strategis mengingat situasi yang ada. Rekomendasi ini terdiri dari beberapa hal, yaitu: 1. Masalah kebijakan kuota perempuan 2. Masalah sistem pemilu dan penetapan caleg terpilih 3. Masalah kebijakan kuota internal partai politik
1. Masalah Kebijakan Kuota Perempuan Dalam masalah kebijakan kuota perempuan menyangkut beberapa hal yaitu: (1) revisi Pasal 65 ayat 1 UU Nomor 12 Tahun 2003, (2) mekanisme sanksi untuk menguatkan penerapan kebijakan kuota tersebut, dan (3) kebijakan penempatan caleg perempuan pada daftar calon. Evaluasi penting dari hasil Pemilu 2004 adalah tidak efektifnya pasal ini diterapkan oleh partaipartai politik. Data menunjukkan hanya separo (14 partai) dari peserta Pemilu 2004 yang mencalonkan perempuan sekurang-kurangnya 30%. Sementara sebagian lainnya masih belum mencapai 30%. Data tersebut jujga memperlihatkan bahwa komitmen partai politik peraih suara terbanyak, yaitu Golkar dan PDIP dalam menominasikan minimal 30% perempuan masih belum ada. Kedua partai politik ini hanya mencalonkan perempuan untuk DPR sebanyak 28% saja. Sementara dari tujuh partai politik yang lolos Electoral Treshold, hanya tiga yang mencalonkan perempuan melebihi 30% yaitu PKS, PKB dan PAN. Salah satu penyebab belum efektifnya kebijakan kuota perempuan tersebut adalah longgarnya rumusan pasal 65 ayat 1 UU Pemilu. Mengingat pasal tersebut adalah kunci dari kebijakan kuota perempuan, maka tak ada pilihan bagi gerakan perempuan untuk mendesak partai-partai agar mengubah rumusan pasal 65 ayat 1 dengan rumusan yang bersifat wajib atau memaksa. Rumusan perubahan pasal 65 ayat 1 UU No.12/2003 yang diusulkan adalah: “Setiap partai politik peserta pemilu harus mencalonkan paling sedikit 30 persen perempuan untuk anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota”. Perubahannya terletak pada mengubah kata ‘dapat’ menjadi ‘harus’. Usulan perubahan ini telah didengungkan sejak pasca Pemilu 2004, sehingga perubahan ini harus menjadi agenda utama yang didesakkan kepada panitia khusus DPR. Selanjutnya konsekuensi dari rumusan tersebut adalah mekanisme sanksi bagi partai politik yang tidak memenuhi pencalonan minimal 30% perempuan tersebut. Sanksi ini menjadi krusial karena tanpa sanksi, tidak ada perubahan signifikan bagi kebijakan kuota perempuan. Usulan sanksi adalah yang dapat memberikan dampak kuat bagi partai politik untuk mencalonkan kader perempuan. Tanpa adanya dampak kuat, maka efektivitas sanksi tersebut cenderung lemah. Pengalaman beberapa negara, tidak selalu aturan sanksi tersebut efektif diterapkan. Masalah penegakan hukum dan insititusi yang berwenang untuk memberikan hukuman pun menjadi penting. Selain itu adalah dorongan publik – bukan hanya dari kelompok perempuan -terhadap partai politik untuk melaksanakan ketetapan ini secara konsekuen harus diupayakan pula. Maka memang bukanlah hal mudah untuk merumuskan sanksi yang efektif bagi partai politik dalam hal penerapan kebijakan kuota. Perancis misalnya dapat menerapkan hukuman finansial bagi partai politik yang tidak mencalonkan jumlah yang sama laki-laki dan perempuan (50-50%). Caranya adalah pendapatan partai politik dari negara akan dikurangi jika deviasi jumlah laki-laki dan perempuan yang dicalonkan lebih dari 2%. Misalnya calon laki-laki 55% dan calon perempuan 45%. Model Perancis ini memang menarik untuk dijadikan pertimbangan karena partai politik di Indonesia yang memiliki kursi di parlemen, memperoleh pendapatan dari negara. Dengan model sanksi semacam ini, artinya negara memiliki keberpihakan pada kepentingan perempuan. Sanksi
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
www.parlemen.net
finansial merupakan hal paling strategis bagi partai politik karena masalah keuangan adalah isu sensitif bagi partai politik. Persoalannya, mungkinkah hukuman finansial ini diberlakukan juga di Indonesia? Mengacu pada kondisi partai politik di Indonesia dewasa ini, sumber keuangan partai politik yang utama adalah berasal dari negara. Sumber keuangan lain seperti iuran anggota dan donatur, lebih bersifat tidak tetap dan tidak efektif. Akibatnya partai menggantungkan sumber finansialnya pada negara. Maka jika sanksi ini yang diusulkan, dipastikan akan mendapat penolakan keras dari partai-partai politik yang akan mengembalikan pembahasan pada masalah mengapa perempuan perlu diberi keistimewaan, sedang kelompok lainnya tidak? Hal ini akan menguras energi dan bukan tidak mungkin akan menjadi kontra produktif bagi kebijakan kuota perempuan. Aturan sanksi yang peluang penerimaannya lebih besar dengan tingkat efektivitas relatif tinggi adalah sanksi yang tidak melibatkan soal finansial. Beberapa negara umumnya menerapkan sanksi yang tidak melibatkan urusan finansial tetapi sanksi yang pengaruh finansialnya tidak langsung. Yaitu sanksi yang dapat menyebabkan partai politik tersebut tidak dapat mengikuti pemilihan umum di daerah di mana partai tidak dapat memenuhi persyaratan kuota. Berdasarkan hal tersebut, maka usulan sanksi bagi partai politik yang diusulkan adalah: “Jika partai politik tidak memenuhi paling sedikit 30% pencalonan perempuan di suatu daerah pemilihan, maka partai politik tersebut tidak dapat terdaftar dalam pemilu di daerah pemilihan bersangkutan”. Maksud rumusan tersebut adalah partai politik yang tidak berhasil mencalonkan paling sedikit 30% perempuan dalam daftar calon di tiap tingkat pemilihan yang diajukan ke KPU, maka KPU berhak untuk tidak meloloskan partai politik tersebut sebagai peserta pemilu di daerah bersangkutan. Ini berlaku untuk pemilihan anggota DPR maupun DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota. Penolakan KPU atau KPUD dapat dilakukan secara bertahap. Misalnya partai politik yang mengajukan daftar calon tetapi belum memenuhi paling sedikit 30% perempuan, diberikan kesempatan selama jangka waktu tertentu untuk memperbaiki daftar calon tersebut. Jika setelah jangka waktu tersebut, partai politik dapat memenuhi kriteria 30% yang ditentukan, maka tidak dikenakan sanksi. Namun jika tidak berhasil memenuhinya, maka KPU atau KPUD berhak membatalkan keikutsertaan partai tersebut dalam pemilu di daerah pemilihan tertentu. Aturan sanksi semacam ini diperlukan untuk memberikan dampak bagi partai politik sekaligus bagi perempuan. Dampak bagi partai politik adalah berkaitan dengan kebijakan kuota internal. Harapannya dengan sanksi semacam ini, partai politik ‘dipaksa’ untuk merekrut dan mendidik kader perempuannya di seluruh tingkat kepengurusan. Harus ada mekanisme yang memaksa partai politik membuka diri bagi perempuan, sehingga pendapat bahwa kader perempuan masih sedikit jumlahnya, dapat dibuktikan dengan sanksi ini. Bagi perempuan, dampaknya adalah dapat mendorong dan membangun kualitas jaringan dalam suatu provinsi atau daerah pemilihan untuk memanfaatkan kebijakan kuota ini. Mekanisme sanksi ini lebih memberikan kepastian bagi perempuan untuk memiliki posisi tawar terhadap partai politik, yang selama ini nyaris tidak ada posisi tawar tersebut. Dengan demikian akan terjalin suatu situasi mutualisme simbiosis (saling menguntungkan) antara perempuan dan partai politik. Bagaimanapun, partai politik peserta pemilu ingin bersaing di semua daerah pemilihan karena biaya politik untuk membina suatu daerah pemilihan tidaklah sedikit. Masalah berikutnya yang menjadi bahan evaluasi adalah penempatan perempuan dalam daftar calon. UU Nomor 12 Tahun 2003 tidak mengatur tentang hal tersebut, sehingga perempuan kerap dirugikan di tengah persaingan para politisi partai politik yang umumnya laki-laki. Banyak kasus para caleg perempuan pada pemilu lalu yang posisinya dalam daftar calon digeser semena-mena oleh partai politik disebabkan persaingan dengan politisi laki-laki yang memiliki
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
www.parlemen.net
modal lebih banyak. Situasi semacam ini harus dikoreksi untuk memberi jaminan pada perempuan agar terpilih lebih besar. Untuk itu kebijakan kuota perempuan tidak cukup dengan mengatur kriteria persentase pencalonan tertentu untuk perempuan. Tetapi harus diimbangi dengan peluang keterpilihan (electibility) yang juga besar. Kekurangan kebijakan kuota yang berlaku sekarang adalah tidak ada aturan tentang penempatan calon perempuan dalam daftar calon. Sehingga hanya dimanfaatkan partai politik untuk mengejar pemenuhan keterwakilan 30% semata. Data Pemilu 2004 menunjukkan, partai-partai yang jumlah perempuannya dalam daftar calon melebihi 30%, ternyata menempatkan calon perempuan pada nomor bawah, yang peluang keterpilihannya juga kecil. Sehingga jumlah perempuan yang terpilih pun hanya mencapai 11% saja. Menyangkut penempatan calon perempuan dalam daftar calon, beberapa negara telah menerapkan aturan semacam ini. Misalnya model Belgia yang menerapkan pencalonan jumlah sama antara laki-laki dan perempuan. Aturan penempatan calon di Belgia adalah “tiga urutan nama teratas dalam daftar calon tidak boleh berasal dari jenis kelamin yang sama”. Artinya dalam tiga urutan teratas, bisa terdiri dari dua perempuan dan satu laki-laki, atau dua laki-laki dan satu perempuan. Tidak boleh ketiganya laki-laki atau ketiganya perempuan. Model seperti ini baik untuk memberikan peluang terpilih yang relatif sama untuk laki-laki dan perempuan. Paling sedikit ada satu perempuan dan satu laki-laki yang akan terpilih dari tiap partai politik peserta pemilu untuk tiap daerah pemilihan. Contoh lain adalah model Costa Rica dan Argentina yang aturan penempatan daftar calonnya seperti berikut “calon perempuan harus ditempatkan pada posisi yang peluang terpilihnya besar”. Aturan ini tidak menyebutkan arahan yang jelas tentang din urutan berapa calon perempuan harus ditempatkan, hanya memberikan petunjuk bahwa partai harus menempatkan calon perempuan pada posisi yang peluang terpilihnya besar. Aturan ini dapat efektif jika didukung oleh kebijakan kuota internal partai politik. Jika kebijakan kuota internal partai tidak ada, atau ada tetapi tidak efektif diterapkan, maka aturan ini akan membuka penafsiran beragam dari tiap partai politik. Untuk kasus Indonesia, tampaknya penempatan calon perempuan dalam daftar calon harus diatur secara lebih detil agar tidak menimbulkan beragam penafsiran dari partai politik yang pada akhirnya tidak memberikan manfaat bagi kebijakan kuota tersebut. Apalagi kebijakan kuota internal partai belum diterapkan secara baik di Indonesia. Berdasarkan kondisi tersebut, usulan penempatan calon perempuan dalam daftar calon adalah sebagai berikut: “Daftar calon harus memuat paling sedikit 30% perempuan, dan tiga urutan teratas dalam daftar calon tidak boleh terdiri dari jenis kelamin yang sama”. Jika disarikan dari tiga hal menyangkut kebijakan kuota perempuan, maka rekomendasi yang diajukan adalah sebagai berikut: 1. Setiap partai politik peserta pemilu harus mencalonkan paling sedikit 30 persen perempuan untuk anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. 2. Penempatan calon dalam daftar calon untuk tiga urutan teratas tidak boleh terdiri dari jenis kelamin yang sama. 3. Jika daftar calon yang diajukan partai politik untuk tiap tingkatan pemilihan tidak memenuhi paling sedikit 30% perempuan maka partai politik tersebut tidak dapat terdaftar dalam pemilu di daerah pemilihan bersangkutan. 2. Masalah sistem pemilu dan penetapan caleg terpilih
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
www.parlemen.net
Ada dua pandangan yang berkembang semetara ini dari partai-partai politik utama terkait masalah sistem pemilu dan penetapan caleg terpilih. Pertama, pandangan yang menghendaki diterapkannya sistem proporsional terbuka murni di mana caleg terpilih adalah yang memperoleh suara terbanyak. Pandangan ini didukung oleh PAN dan beberapa partai kecil. Pandangan kedua adalah yang menghendaki sistem proporsional terbuka-terbatas, di mana caleg terpilih ditentukan dengan persentase tertentu dari BPP (Bilangan Pembagi Pemilih). Pandangan kedua ini didukung oleh Golkar dan PDIP. Inilah pemetaan awal sebelum pembahasan revisi UU pemilu dibahas DPR. Sementara pemerintah mengusulkan proporsional terbuka dengan suara terbanyak untuk caleg terpilih. Di antara dua pandangan tersebut, mana yang lebih kondusif bagi perempuan? Sesungguhnya masalah sistem pemilu merupakan faktor pendukung dalam efektivitas kebijakan kuota perempuan. Artinya sistem pemilu apapun yang diterapkan, jika telah ‘dikunci’ dengan kebijakan kuota yang efektif dan menjamin peluang perempuan untuk terpilih semakin besar, maka hasilnya akan baik. Tetapi untuk kasus Indonesia, segala celah yang dapat digunakan untuk memaksimalkan peningkatan keterwakilan perempuan dalam parlemen, pemilihan atas sistem pemilu yang diusulkan pun harus taktis pula. Sistem pemilu hanyalah mekanisme teknis, yaitu cara menentukan peruntukan kursi bagi para calon yang bersaing. Tetapi juga menjadi urusan politis karena sistem pemilu akan berdampak pada tingkat representasi dan akuntabilitas wakil rakyat terhadap konstituennya. Di sinilah, secara teori, keunggulan sistem proporsional murni di mana jaminan akuntabilitas dan representasi politik lebih tinggi daripada proporsional terbatas. Di sisi lain, sistem proporsional terbatas memiliki keunggulan dalam menjaga stabilitas partai politik dan lebih dapat direkayasa untuk memasukkan kelompok marginal agar terwakili dalam lembaga perwakilan. Artinya, dalam proporsional terbatas, partai politik memiliki kekuasaan menempatkan caleg perempuan pada posisi terpilih sehingga meningkatkan representasi kelompok marginal. Sementara dalam proporsional terbuka, peran caleg justru lebih dominan untuk meraih suara sebanyakbanyaknya sehingga persaingan antarcaleg lebih terbuka. Pada situasi ini, kelompok marginal seperti perempuan yang miskin sumber daya, akan sulit bersaing. Melihat realita situasi partai politik di Indonesia, kecenderungan kuatnya peran partai atas calegnya masih dominan. Partai politik masih menginginkan memiliki kendali atas calegnya, antara lain karena soal pendanaan partai yang antara lain juga bergantung pada para caleg terpilihnya. Kondisi inilah yang harus disikapi oleh gerakan perempuan dalam memberikan rekomendasi sistem pemilu. Sementara dari tataran politik, tampaknya kans untuk diterimanya proporsional murni kurang besar dibanding dukungan atas proporsional terbatas. Sistem pemilu yang diterapkan pada Pemilu 2004 tampaknya masih akan digunakan yaitu proporsional setengah terbuka di mana pemilih mencoblos partai dan nama caleg. Bedanya adalah pada penetapan caleg terpilih. Ada perkembangan bahwa penentuan caleg terpilih dengan kriteria seratus persen angka BPP, dipandang tidak logis. Hampir tidak ada caleg yang perolehan suaranya dapat memenuhi angka BPP, kecuali dua orang saja untuk anggota DPR. Maka ada keinginan unutk menurunkan persentase perolehan suara terhadap BPP agar caleg terpilih dapat mencerminkan dukungan suara konstituennya. Berdasarkan simulasi persentase perolehan suara caleg perempuan hasil Pemilu 2004, ditemui fakta bahwa relatif berat bagi perempuan untuk bersaing di level persentase tertentu dari BPP. Misalnya usulan Golkar dan PDIP yang menginginkan caleg terpilih jika perolehan suaranya mencapai 25% keatas dari BPP. Setelah disimulasi, sangat sedikit caleg perempuan yang dapat memenuhi persentase tersebut (lihat uraian bagian sebelumnya). Artinya, jika hal ini diterapkan akan tidak kondusif bagi perempuan. Persentase yang dianggap kondusif bagi perempuan adalah 5% keatas dari BPP. Jumlah caleg perempuan yang dapat memenuhi persentase ini relatif lebih banyak, demikian halnya dengan caleg laki-laki. Maka rekomendasi ini mengajukan:
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
www.parlemen.net
“Caleg terpilih untuk anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPR Kabupaten/Kota ditetapkan berdasarkan lima persen perolehan suara dari Bilangan Pembagi Pemilih”. 3. Masalah kebijakan kuota internal partai politik Hulu dari persoalan keterwakilan perempuan dalam politik, khususnya parlemen, adalah partai politik. Kebijakan kuota perempuan diterapkan sangat tergantung keberhasilannya pada bagaimana partai politik merespon hal tersebut. Maka masalah kebijakan internal kuota partai politik pun didorong dan dijamin dalam undang-undang. Jika diserahkan pada mekanisme partai politik masing-masing, sulit untuk dikontrol dan diberi sanksi oleh publik. Maka untuk mendukung kebijakan kuota perempuan dalam hal pencalonan oleh partai politik, juga harus didorong bagaimana partai politik merumuskan kebijakan kuota untuk internal kepengurusan mereka. Selama ini struktur kepengurusan partai politik netral dari tindakan afirmatif. Mayoritas didominasi oleh laki-laki. Perempuan yang masuk dalam struktur partai tidak sampai sepuluh persen, itupun kecenderungannya untuk tingkat pusat saja. Akses perempuan terhadap pengambilan keputusan internal partai politik sangat kurang, sehingga tidak memiliki daya tawar dalam penyusunan daftar calon. Untuk itu maka perlu direkomendasikan dalam aturan undang-undang partai politik adalah kepengurusan partai politik harus memperhatikan paling sedikit 30% perempuan. Jumlah minimal perempuan dalam kepengurusan partai politik dapat dilakukan secara bertingkat. Misalnya untuk kepengurusan nasional, harus 30% perempuan dalam struktur pengurus. Lalu untuk tingkat provinsi, jumlah minimal perempuan harus 20%. Serta untuk tingkat di bawah provinsi sampai kecamatan, jumlah minimal perempuan harus 10%. Dengan demikian ada pengalaman bagi kader perempuan untuk masuk dalam struktur partai politik agar ketrampilan politiknya terbangun.
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net