www.parlemen.net
BAB II. Pemerintahan Daerah
A. Pendahuluan Reformasi tahun 1997/98 membawa perubahan besar dalam sistem politik kenegaraan di Indonesia. Salah satu capaian penting reformasi adalah koreksi total atas sistem sentralisasi kekuasaan era Orde Baru menuju sistem desentralisasi kekuasaan dengan penguatan otonomi daerah. Manifestasi dari perubahan tersebut adalah lahirnya paket undang-undang otonomi daerah di era Presiden Habibie, yaitu UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Dua undang-undang tersebut merupakan koreksi total atas UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah. Dari segi subtansi, UU tersebut merupakan kontrakonsep dari UU No 5 Tahun 1974. Bhenyamin Hoessein menyebutnya sebagai perubahan radikal (radical change) atau drastis (drastic change) dan bukan perubahan yang gradual (gradual change). Oleh karena itu, konflik, krisis, dan goncangan yang menyertai reformasi tersebut lebih besar daripada serangkaian reformasi yang pernah terjadi sebelumnya. Dibandingkan reformasi pemerintahan daerah di berbagai negara berkembang lainnya pun, reformasi pemerintahan daerah di Indonesia masih tergolong sangat besar. Reformasi pemerintahan daerah di Indonesia tergolong big bang approach1. Besaran perubahan yang dikehendaki dalam reformasi tersebut dapat disimak dari pergeseran sejumlah model dan paradigma pemerintahan daerah yang terjadi. Structural efficiency model yang menekankan efisiensi dan keseragaman pemerintahan daerah ditinggalkan dan dianut local democracy model yang menekankan nilai demokrasi dan keberagaman dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Seiring dengan pergeseran model tersebut terjadi pergeseran dari pengutamaan dekonsentrasi ke pegutamaan desentralisasi. Dilakukan pula pemangkasan dan pelangsingan struktur organisasi dalam rangka menggeser model organisasi yang tadinya bengkak ke model organisasi yang datar dan langsing. Hubungan antara Daerah Tingkat (Dati) II dengan Dati I yang semula dependent dan subordinat bergeser menjadi independent dan coordinate. UU No 22 Tahun 1999 tidak mengenal sistem otonomi bertingkat. Bahkan UU ini tidak lagi mengenal Dati I dan Dati II, juga tidak ada hierarki antara provinsi dengan kabupaten/kota. Pola hubungan tersebut tercipta sebagai konsekuensi perubahan dari dianutnya integrated prefectoral system yang utuh ke integrated prefectoral system yang parsial. Dianutnya integrated prefectoral system pada provinsi dengan peran ganda Gubernur sebagai Kepala Daerah (KDH) dan Wakil Pemerintah dimaksudkan untuk mengintegrasikan kembali daerah otonom yang secara desentral memiliki karakteristik keterpisahan. Sementara itu, kabupaten/kota telah terbebas dari intervensi pusat yang sangat kuat melalui perangkapan jabatan kepala daerah otonom (local self-government) dan kepala wilayah administratif (field administrative). Dalam UU No 22 Tahun 1999 bupati dan walikota adalah kepala daerah otonom saja. Distribusi urusan pemerintahan kepada daerah otonom yang semula menganut ultra vires doctrine dengan merinci urusan pemerintah yang menjadi kompetensi daerah otonom diganti dengan general competence yang merinci fungsi pemerintahan yang menjadi kompetensi pemerintah (pusat) dan provinsi. Pengawasan pemerintah terhadap daerah otonom yang semula cenderung koersif bergeser menjadi persuasif agar diskresi dan prakarsa daerah otonom lebih tersalurkan. Konsekuensinya, pengawasan pemerintah terhadap kebijakan daerah
1
Bhenyamin Hoessein, Perspektif Jangka Panjang Sesentralisasi dan Otonomi Daerah, makalah disampaikan dalam “Diskusi Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Dalam Jangka Panjang: yang diselenggarakan oleh Direktorat Pengembangan Otonomi Daerah, BAPPENAS, tanggal 27 November 2002, hal. 1-2.
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
www.parlemen.net
yang semula secara preventif dan represif, di UU No 22 Tahun 1999 menjadi hanya secara represif. Konsep pemerintah daerah yang semula mencakup KDH dan DPRD menurut UU No 5 Tahun 1974 di UU No 22 Tahun 1999 hanya merujuk kepada kepala daerah dan perangkat daerah, sedangkan DPRD berada di luar pemerintah daerah. KDH yang semula tidak akuntabel terhadap DPRD menjadi akuntabel. Hubungan pemerintah dan daerah otonom yang selama UU No 5 Tahun 1974 bersifat searah dari atas ke bawah diganti dengan model hubungan yang bersifat resiprosikal. Dalam hal keuangan daerah terjadi pergeseran dari pengutamaan specific grant menjadi block grant, dari prinsip function follows money menjadi money follows function. Diimplementasikan dana perimbangan keuangan. Prinsipnya No Mandate Without Funding, penyerahan wewenang (desentralisasi) disertai dengan pembiayaan. Penyelenggaraan tugas ”pemerintah” di ”daerah” harus dibiayai dari dana Anggaran, Pendapatan, dan Belanja Negara (APBN). Ditinjau dari kacamata positif, lahirnya UU No 22 Tahun 1999 dan UU No 25 Tahun 1999 telah mendorong demokrasi dan demokratisasi secara lebih ekstensif ke daerah-daerah. Dalam hal pemilihan kepala daerah dan proses pembuatan kebijakan daerah (perda) misalnya, sudah tidak ada campur tangan pemerintah pusat, melainkan diserahkan kepada mekanisme demokratis di daerah. Hal ini tentu saja mendorong kreativitas dan inovasi daerah dalam memajukan daerahnya. Pola otonomi berdasarkan UU No 22 Tahun 1999 mendorong suatu pemerintahan yang lebih dekat kepada rakyat. Basis otonomi di kabupaten/kota memiliki tujuan untuk mendekatkan pelayaan kepada masyarakat. Dengan demikian pemerintah daerah lebih akuntabel kepada masyarakatnya. Namun demikian, UU tersebut bukannya tanpa kritik. Secara subtansi pemberian kewenangan dari Pemerintah masih dirasa setengah hati. Di luar enam kewenangan pemerintah pusat misalnya, masih ada klausul ”serta kewenangan bidang lain” pada Pasal 7 Ayat (1) yang kalau ditelisik ke dalam Peraturan Pemerintah-nya (PP No 25 Tahun 2000) kewenangan pemerintah pusat masih sangat besar dan mengalami ambivalensi karena yang diatur di sana hanya merupakan kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah provinsi. Sementara kewenangan pemerintah kabupaten/kota tidak diatur secara jelas. Selain itu, di bidang lain dari soal defenisi hingga tarik-menarik antara keinginan mewujudkan desentralisasi dan sentralisasi juga masih banyak terjadi ambivalensi. Orintasi pemberian kewenangan dinilai masih merujuk pada paradigma lama, yaitu: administrative decentralisation yang menekankan pada the delegation of authority bukan the devolution of power seperti yang dikehendaki dalam political decentralisation2. Dalam aspek lain, UU No 22 Tahun 1999 menempatkan posisi DPRD terlalu dominan. Hal ini berimplikasi pada jalannya pemerintahan oleh kepala daerah. Ketegangan dan konflik sering terjadi bahkan sampai pemberhentian seorang kepala daerah oleh DPRD karena pertanggungjawabannya ditolak untuk yang kedua kalinya. Checks and balances yang seharusnya terjadi disalah pahami sebagai politik balas dendam dan kebencian. Sementara akuntabilitas DPRD kepada publik tidak diatur. Selain itu, UU No 22 Tahun 1999 juga lemah dalam memberikan ruang partisipasi publik dalam mengontrol kebijakan. Dengan kewenangan pemerintah daerah yang demikian besar, hal ini penting ditegaskan apalagi jika otonomi diarahkan sebagai otonomisasi masyarakat. Yang lainnya, aturan mengenai bagi hasil dan perimbangan keuangan (otonomi fiskal) terbukti hanya menguntungkan daerah-daerah kaya sumber daya alam (SDA). Terakhir, tidak bisa dipungkiri, desentralisasi – terutama dalam Lili Romli, “Kebijakan Otonomi Daerah Era Reformasi, Dari UU No 22 Tahun 1999 Ke UU No 32 Tahun 2004,” dalam R. Siti Zuhro (ed), Menata Kewenangan Pusat-Daerah yang AplikatifDemokratis, (Jakarta: LIPI, 2005), hal. 43. 2
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
www.parlemen.net
pengelolaan SDA dan potensi penghasilan lain – telah menimbulkan konflik kewenangan antar sesama daerah (terutama yang berbatasan), antarkabupaten/kota dan provinsi serta antardaerah dan pusat. UU tidak merekomendasikan otoritas lembaga yang kuat untuk menyelesaikan konflik antardaerah tersebut. Uraian singkat di atas menunjukkan bahwa telah terjadi perubahan-perubahaan besar dalam desain kebijakan hubungan antara pemerintah pusat dan daerah. Seperti diungkap di atas, UU No 22 Tahun 1999 dan UU No 25 Tahun 1999 merupakan perubahan yang drastis dan radikal. Tentu saja perubahan semacam ini lebih rawan, dalam arti lebih menimbulkan gejolak, guncangan, krisis, bahkan konflik – dibandingkan bila perubahan dilakukan secara gradual. Apakah yang terjadi, dalam implementasinya UU ini menimbulkan banyak persoalan. Perubahan drastik dalam hal desentralisasi yang dikandung UU tersebut kurang disikapi dengan arif dan bijaksana sebagai upaya untuk meningkatkan kesejahteraan dan pelayanan kepada masyarakat. Sebaliknya, perubahan itu lebih dimaknai sebagai euforia dan lebih sering dimonopoli oleh elit (terutama elit lokal) untuk mengeruk keuntungan pribadi atau kelompok dari momentum desentralisasi. Maka tak heran jika otonomi melahirkan ”raja-raja” kecil di daerah dan secara sinis dikatakan telah mendorong desentralisasi korupsi. Korupsi yang dulu lebih banyak terjadi di pusat, sekarang menyebar ke seluruh penjuru daerah. Otonomi yang seharusnya berjalan dalam bingkai sistem negara kesatuan, yang mensyaratkan harmonisasi dalam hubungan pusat dan daerah cenderung dipahami ’kebablasan’ sebagai separation (terpisah antara pusat dan daerah). Sehingga UU No 22 Tahun 1999 dan UU No 25 Tahun 1999 dalam praktik mengarah pada quasi sovereignty. Bhenyamin Hoessein menengarai fenomena tersebut dalam sejumlah indikator. Pertama, terdapat anggapan di kalangan elit lokal mengenai hubungan antara sentralisasi dan desentralisasi yang bersifat dikotomi, dan tidak bersifat kontinum. Kedua, terdapatnya anggapan mengenai wewenang yang utuh dan sepenuhnya dari daerah otonom dari berbagai urusan pemerintahan di luar urusan pemerintah yang secara eksplisit menjadi kompetensi pemerintah. Ketiga, terdapatnya tuntutan elit formal lokal terhadap semua aset pemerintah yang berada di wilayah daerah otonom. Keempat, pengingkaran terhadap segala bentuk kendali dan kontrol pemerintah yang diatur dalam kerangka hukum. Kelima, penampilan berbagai keputusan menteri sebagai kebijakan yang 3 harus dipatuhi . Kecenderungan negatif di atas memunculkan gerakan sentrifugal dan mendorong tumbuhnya etnosentrisme di kepolitikan elit setempat. Gejala demikian memperkuat anggapan lama yang yang dipegang di kalangan elit nasional tertentu bahwa desentralisasi berpotensi ke arah disintegrasi bangsa dan wilayah nasional. Sebuah pandangan yang sinis dan cenderung antipati terhadap desentralisasi. Kelemahan dan kecenderungan negatif dari implementasi UU No 22 Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999 mendorong para pembuat kebijakan (Pemerintah dan DPR) untuk merevisi UU tersebut. Hasil revisi tersebut dituangkan dalam UU yang sama sekali baru (bukan selected correction) yaitu UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Kedua undang-undang tersebut merupakan hasil kesepakatan bersama antara pemerintahan Megawati Soekarnoputeri dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) hasil pemilu 1999. UU No. 32 Tahun 2004 sesungguhnya didesain untuk menutup celah kelemahan UU sebelumnya. Selain itu, UU tersebut juga dimaksudkan untuk mengikuti perkembangan di tingkat konstitusi dan ketatanegaraan. Di tingkat konstitusi, terjadi perubahan subtansi pasal yang mengatur ihwal pemerintahan daerah. Pasal 18 UUD 1945 sebelum amandemen Bhenyamin Hoessein, “Hubungan Kewenangan Pusat dan Daerah,” dalam Soetandyo Wignosubroto dkk, Pasang Surut Otonomi Daerah: Sketsa Perjalanan 100 Tahun, (Jakarta: Yayasan TIFA bekerjasama dengan LID, 2005), hal. 211. 3
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
www.parlemen.net
berbunyi, ”Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa.” Memasuki era reformasi, pasal tersebut diamandemen dan ditambah menjadi Pasal 18, 18A, dan 18B memberikan landasan konstitusional bagi pelaksanaan desentralisasi. Pasal 18 (1) berbunyi: ”Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang.” Selanjutnya Pasal 18 (2) menegaskan: ”Pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.” Hal lain, terjadi perubahan mekanisme pemilihan kepala daerah dari pemilihan oleh lembaga perwakilan daerah (demokrasi tidak langsung) menjadi pemilihan langsung. Pasal 18 ayat 4 UUD 1945 setelah amandemen berbunyi: ”Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai Kepala Pemerintah daerah Provinsi, Kabupaten, dan Kota dipilih secara demokratis.” Frasa dipilih ”secara demokratis” kemudian ditafsirkan sebagai pemilihan langsung oleh rakyat. Kehadiran UU Pemerintahan Daerah yang baru sebagai revisi dan penyempurnaan atas UU yang lama semestinya disambut dengan antusiasme oleh segenap pemangku kepentingan. Namun, dalam realitasnya kehadiran UU No. 32/2004 justru direspons secara kritis, baik oleh kalangan pemerintah-pemerintah daerah, akademisi pemerhati otonomi daerah, maupun oleh kalangan lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang konsentrasi aktivitasnya berkaitan dengan agenda desentralisasi dan otonomi daerah. Secara umum, UU Pemerintahan Daerah yang baru dipandang cenderung berorientasi kepada “resentralisasi” atau penarikan kembali sebagian kewenangan yang telah diberikan dan didesentralisasikan kepada daerah – dalam hal ini kabupaten/kota – melalui UU No. 22/1999. Kebebasan daerah (local democracy model) semasa UU No 22 Tahun 1999 terkurangi dengan menguatnya peran pemerintah dalam kerangka efisiensi struktural (structural efficiency model) dalam UU No 32 Tahun 2004. Pergeseran model ini, bisa dimaknai sebagai penurunan skala otonomi. Paket kebijakan baru tersebut tak hanya menandai perubahan arah otonomi daerah, melainkan juga melahirkan kontroversi karena dikhawatirkan banyak kalangan sebagai “langkah mundur” dalam upaya memperkuat agenda desentralisasi dan demokratisasi di Indonesia.
B. Ringkasan Permasalahan Dalam membangun perspektif baru pengaturan pelaksanaan pemerintahan daerah, ada setidaknya delapan dimensi penting yang perlu dicermati dalam merevisi UU Pemerintahan Daerah yang ke semuanya bertumpu pada upaya penguatan otonomi daerah. Delapan dimensi penting revisi UU No. 32 Tahun 2004 itu adalah: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Grand design dan arah perubahan otonomi daerah Pembentukan daerah otonom Model pembagian kewenangan antara pemerintah dan pemerintah daerah Sistem pemerintahan daerah Sistem lembaga perwakilan di daerah Perluasan dan pelembagaan partisipasi masyarakat dalam otonomi Sistem akuntabilitas pelaksanaan otonomi daerah Pelembagaan kerjasama dan penyelesain perselisihan desentralisasi.
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
www.parlemen.net
C. Permasalahan : Analisis Kelemahan UU No. 32 Tahun 2004 Sejarah pemerintahan Indonesia sejak kemerdekaan selalu menghadirkan otonomi sebagai sistem bernegara. Dalam setiap UUD yang pernah berlaku selalu terdapat pasal yang mengatur penyelenggaraan desentralisasi di Indonesia. Untuk mewujudkan otonomi daerah sebagaimana diamanatkan UUD, hampir setiap kabinet yang terbentuk di masa lalu mencantumkan desentralisasi sebagai salah satu program kerjanya. Amanat konstitusi tersebut diterjemahkan dan diimplementasikan oleh pemerintah yang silih berganti secara berbeda-beda dalam hal gradasi, skala, dan besaran subtansi desentralisasi, sebagai hasil sintesis dari kondisi sosial politik pada masanya. Setidaknya, sampai kini, kita memiliki tujuh undang-undang yang mengatur tentang pemerintahan daerah dengan masing-masing corak dan kecenderungan, yaitu: UU No. 1 Tahun 1945, UU No. 2 Tahun 1948, UU No. 1 Tahun 1957, UU No. 18 Tahun 1965, UU No. 5 Tahun 1974, UU No. 22 Tahun 1999, dan terakhir UU No. 32 Tahun 2004. Selalu saja terjadi tarik menarik antara dua ekstrim sentralisasi dan desentralisasi tergantung kepentingan politik yang melatarinya. Ketika reformasi bergulir, dimana desentralisasi merupakan aspirasi yang masif dan intensif disuarakan rakyat sebagai antitesis langgam pemerintahan yang sangat sentralistis di masa Orde Baru, lahirlah UU No. 22 Tahun 1999 yang sangat desentralistis. Sayangnya sebagaimana dikemukakan desentralisasi yang dimaksud UU No. 22 Tahun 1999 dipahami dan dilaksanakan secara kebablasan oleh elit di daerah. Sebagai koreksi (atau reaksi) atas hal itu lahirlah UU No. 32 Tahun 2004 yang ternyata merupakan pengaturan yang sama sekali baru dan dinilai banyak kalangan merupakan ”resentralisasi” atas kewenangan otonomi yang sempat diatur dalam UU No. 22 Tahun 1999. Sayangnya, revisi waktu itu dilakukan dengan sangat tergesa-gesa dan nyaris menutup ruang partisipasi publik dalam proses penyusunannya4. Bersamaan dengan itu terjadi perubahan (amandemen) konstitusi, yang belakangan dinilai masih menyimpan banyak kekurangan dan kelemahan yang menyebabkan kerancuan dalam sistem pemerintahan dan ketatanegaraan. Proses revisi yang terkesan tergesa-gesa digabung dengan proses amandemen konstitusi yang belum tuntas/belum sempurna menyebabkan UU No. 32 Tahun 2004 mengandung problematik yang cukup serius. Semakin problematik jika proses penyusunan UU No 32 Tahun 2004 didasarkan pada asumsi bahwa pelaksanaan otonomi luas di bawah UU No. 22 Tahun 1999 akan mengancam NKRI dan menyebabkan disintegrasi nasional, KKN baru yang menghasilkan ”raja-raja kecil” di daerah, ekonomi biaya tinggi, dan atas nama itu semua diperlukan ”resentralisasi.” Fakta negatif dari implementasi otonomi era UU No. 22 Tahun 1999 itu memang benar, tetapi mestinya tidak menyurutkan langkah otonomisasi sehingga terjadi penarikan kembali atau resentralisasi kewenangan secara signifikan terhadap daerah. Secara hipotetik, jika asumsi di atas yang digunakan pemerintah saat itu, ketika merumumuskan UU No 32 Tahun 2004, maka pemerintah pusat gagal memahami bahwa otonomi daerah justru bertujuan untuk memperkuat NKRI.
4 UU No 32 Tahun 2004 disusun dan disahkan di akhir masa jabatan Presiden dan DPR periode 19992004. Proses pembahasannya dilakukan di saat masyarakat disibukkan oleh ingar-bingar persiapan pemilu 2004. Sehingga ada kesan terburu-buru dan dikejar target.
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
www.parlemen.net
Faktanya, UU No. 32 Tahun 2004, meski belum genap tiga tahun dan belum semua PP dibuat, memang memiliki sejumlah kelemahan. Sejumlah kelemahan itu adalah sebagai berikut: 1.
UU 32/2004 memiliki kelemahan mendasar karena tidak memiliki desain besar arah pengaturan otonomi daerah. Menurut Syamsuddin Haris, belum ada suatu konsepsi dan grand design yang genuine serta bersifat menyeluruh mengenai arah agenda desentralisasi dan otonomi daerah. Sekurang-kurangnya belum begitu jelas pilihan terhadap perspektif desentralisasi, sistem pemerintahan daerah, sistem perwakilan di daerah, struktur distribusi kewenangan pusat-daerah, dan juga cakupan otonomi daerah. Tidak mengherankan jika kebijakan otonomi daerah, termasuk pada era pascaOrde Baru, cenderung bergerak dari kutub pendulum yang satu ke pendulum lainnya seperti terlihat dari perubahan UU No. 22/1999 menjadi UU No. 32/2004. Dalam konteks sistem pemerintahan daerah misalnya, belum begitu jelas, apakah format pemerintahan daerah merupakan replika dari sistem pemerintahan nasional yang cenderung mengadopsi presidensialisme, atau suatu format pemerintahan lokal yang terpisah sekaligus berbeda dari sistem pemerintahan nasional. Kejelasan diperlukan agar sistem pemerintahan daerah tidak berubah-ubah mengikuti “selera” para penyusun UU. Menurut Syamsuddin, apabila konstitusi hasil amandemen dipandang sebagai suatu keseluruhan hukum dasar yang tidak terpisah satu sama lain, maka semestinya format pemerintahan daerah pun didesain untuk mendukung obsesi presidensialisme tersebut. Itu artinya, prinsip checks and balances harus berlaku dalam relasi kepala pemerintah daerah dan DPRD. Sebagai konsekuensi logis pemikiran ini, maka kejelasan mengenai sistem perwakilan di daerah pun menjadi sangat penting untuk didiskusikan dan kemudian disepakati garis-garis besarnya. Apakah format dan status DPRD lebih merupakan bagian dari lembaga eksekutif daerah, atau semacam parlemen lokal yang memiliki hak-hak politik yang relatif sama dengan parlemen di tingkat nasional. Di satu pihak memang benar bahwa yang didesentralisasikan ke daerah hanyalah cabang kekuasaan pemerintahan (eksekutif), tetapi juga di pihak lain sulit dibantah bahwa keberadaan DPRD dan kepala daerah yang dipilih secara langsung didesain untuk meningkatkan kontrol rakyat terhadap elite lokal yang terpilih melalui pemilihan umum dan pilkada. Problema ini jelas sekali tampak dalam UU No. 32/2004 yang isinya tidak konsisten dan bahkan cenderung saling membatalkan satu sama lain. Di satu pihak UU Pemerintahan Daerah yang baru membuka peluang bagi rakyat untuk menentukan kepala daerah dan wakil kepala daerah melalui pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung, namun di pihak lain regulasi yang sama cenderung tidak memberi ruang bagi tumbuh dan berkembangnya akuntabilitas elite dan demokrasi lokal. Semakin meluasnya hak pemerintah pusat untuk mengontrol pemerintahan lokal melalui mekanisme pengawasan dan pembinaan – sehingga setiap produk kebijakan harus dikonsultasikan ke atas – jelas menihilkan kedaulatan rakyat yang justru lebih diperkuat di dalam UU yang sama. Ketiadaan desain besar ini pula yang bisa menjelaskan mengapa perubahan kebijakan otonomi daerah sekaligus merupakan perubahan pendulum desentralisasi, sehingga arah dan format agenda desentralisasi pun akhirnya terperangkap ke dalam kepentingan jangka pendek para penyusun UU5. 2. Di tingkat implementasi, otonomi seringkali dimonopoli oleh kalangan elit politik sebagai sekedar urusan birokratis administratif pemerintahan. Bahkan, desentralisasi dipraktekkan sering kali (dan lebih sering) karena faktor kepentingan (interest) dan
5
Syasuddin Haris, Garis Besar Masalah Otonomi Daerah: Evaluasi Kritis Atas UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, disampaikan sebagai pengantar diskusi dalam Workshop Revisi UU No. 32/2004 yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Hukum dan Kebijakan bekerjasama dengan DPD RI, tanggal 13 Januari 2007 di Jakarta, hal. 5-6.
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
www.parlemen.net
kontestasi politik (political contestation) di antara para aktor yang bermain6. Padahal esensi otonomi adalah proses otonomisasi masyarakat, yaitu bagaimana menjadikan masyarakat terberdaya secara sosial, politik, ekonomi dan budaya. Inilah makna otonomi sebagai proses penguatan demokrasi lokal. 3. Di tingkat format regulasi terjadi tumpang tindih pengaturan antardepartemen penyelenggara pemerintahan dan antarsektor, misalnya dalam bidang kehutanan, pertanahan, pendidikan, kesehatan, dan seterusnya. Desain otonomi belum dirumuskan secara komprehensif dan holistik melibatkan semua departemen dan sektor yang saling terkait. 4. Terdapat sejumlah kerancuan, inkonsistensi, bahkan kontradiksi dalam perumusan sejumlah konsep dan aturan, antara lain sebagai berikut: a. Hampir semua pengaturan yang menyangkut pembagian urusan wajib, baik bagi provinsi maupun kabupaten/kota, hampir sama atau identik, padahal ruang lingkup otonomi yang dimiliki dua tingkat pemerintahan tersebut tidak sama. Selain itu daftar urusan wajib bagi daerah cenderung campur-aduk dengan pembidangan. Sebagai contoh, daerah diberi urusan wajib untuk menangani bidang kesehatan, padahal kesehatan lebih merupakan bidang atau sektor ketimbang suatu urusan. Mestinya cukup disebutkan, daerah dapat diberi urusan wajib dikaitkan dengan standar pelayanan minimal, sementara pembagian urusan itu sendiri ditentukan dalam UU sektoral. Pembagian urusan antartingkat pemerintahan ini semestinya diatur dalam UU sektoral, karena: (1) setiap urusan yang bersifat wajib memiliki konsekuensi keuangan sehingga perlu UU, dan ini pasti melibatkan DPR; (2) terbitnya PP seperti PP kewenangan yang saat ini sedang disusun Depdagri tidak akan ada gunanya karena kedudukan PP ada dibawah UU. Selain itu, tidak ada jaminan bahwa rumusan kewenangan yang ada di PP kelak akan diadopsi dalam penyusunan UU sektoral karena hal ini nanti melibatkan DPR. Oleh karena itu, yang diperlukan dalam pembagian urusan ini adalah UU, bukan PP sebagaimana diatur pasal 14 ayat (3). b. Ketidakjelasan dan ketidakkonsistenan konseptualisasi urusan wajib (obligatory functions) dan urusan pilihan (discreationary function). Dalam kaitannya dengan pembagian urusan pemerintahan yang dituangkan pada pasal 13 dan pasal 14, menimbulkan kesan bahwa urusan wajib adalah urusan yang diatur secara ekplisit, detil dan jelas sedangkan urusan pilihan diatur implisit dan sangat mungkin multitafsir. Pembagiannya lebih karena pertimbangan sektor bukan karena pembedaan eksistensial keduanya. c. Kekaburan pendefinisian Tugas Pembantuan. Dalam hal penugasan yang diatur dalam UU No 32 Tahun 2004, khususnya pasal 20 ayat (3), disebutkan bahwa “Dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah, pemerintahan daerah menggunakan asas otonomi dan tugas pembantuan”. Pendefinisian maupun pengaturan yang kurang rigid mengenai apa saja sebenarnya yang menjadi “Tugas Pembantuan” menimbulkan kekaburan deskripsi tugas pemerintah daerah terkait dengan tugas pembantuan. Di sisi lain, hal tersebut berarti secara prinsipil telah bertentangan dengan prinsip bahwa: pemerintah daerah tidak boleh mengatur segala urusan yang terkait dengan urusan pemerintah. 6
Kenyataan bahwa proses penyusunan UU No 32 Tahun 2004 dilakukan secara tergesa-gesa dan minim partisipasi publik memperkuat asumsi bahwa desentralisasi dipraktekkan karena faktor kepentingan dan kontestasi para aktor. Selanjutnya, dalam implementasi, munculnya gejala ‘bosisme’, ‘klientelisme’, dan korupsi di tingkat lokal juga merupakan bukti nyata kebijkan desentralisasi yang dipermainkan oleh aktor-aktor di daerah. Selanjutnya lihat hasil studi John Harriss dkk. (ed), Politisasi Demokratisasi Politik Lokal Baru. Jakarta: Penerbit Demos, 2005, hal. 71-104.
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
www.parlemen.net
d. Hubungan yang konfliktual di antara kepala daerah dengan wakil kepala daerah sering terjadi ketika keduanya berasal dari basis partai yang berbeda, sehingga muncul kecenderungan untuk saling menjatuhkan diantara keduanya. Disatu sisi, pasal 26 menyebutkan bahwa dalam melaksanakan tugasnya wakil kepala daerah bertanggungjawab kepada kepala daerah. Padahal dalam pilkada, kepala daerah & wakil kepala daerah dipilih secara langsung dan berpasangan, sehingga keduanya termasuk wakil kepala daerah juga seharusnya bertanggungjawab kepada rakyat dan bukan pada kepala daerah. Pertanggungjawaban wakil kepala daerah kepada kepala daerah semakin memperlemah posisi wakil kepala daerah. 5. Masalah pemekaran daerah dan penghapusan wilayah tidak diatur secara lebih terinci. Syarat-syarat pemekaran semestinya bisa dibuat lebih ketat, demikian pula syaratsyarat penghapusan dibuat lebih terukur. Hal ini diperlukan agar pemekaran wilayah harus lebih didasarkan pertimbangan kemampuan ekonomi dan kebutuhan obyektif akan pelayanan publik, dan bukan semata-mata kepentingan politik lokal seperti cenderung terjadi selama ini. Pengetatan aturan mengenai pemekaran dinilai penting untuk membendung aspirasi pemekaran daerah yang seringkali merupakan kepentingan elit – menafikan tujuan pemekaran daerah untuk peningkatan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat lokal. 1) Indikator Pemekaran Tidak Jelas. Pembentukan daerah yang dituangkan dalam pasal 5 masih masih menunjukkan bahwa indikator untuk pemekaran masih tidak jelas dan multi tafsir. Sistem skoring yang dipakai untuk menilai sebuah daerah layak dimekarkan atau tidak masih cacat. Selama ini pemekaran masih menggunakan indikator-indikator yang didasarkan pada angka-angka prosentase. 2) Faktor Kesiapan Daerah Faktor kesiapan daerah menjadi satu-satu alasan bagi sebuah daerah layak atau tidak dimekarkan. Hal ini menutup peluang bagi kemungkinan faktor lain yang bisa dijadikan alasan untuk memekarkan sebuah daerah, seperti faktor menjaga kepentingan nasional seperti yang terjadi di daerah-daerah perbatasan (membangun identitas keindonesiaan dengan menghadirkan wajah negara dalam pelayanan publik yang dirasakan langsung oleh mereka). 3) Manajemen Transisi Dalam regulasi ini juga tidak mengatur bagaimana proses manajemen transisi dari daerah-daerah yang dimekarkan. Tidak jelas bagaimana peran pemerintah pusat, pemerintah daerah induk dan pemerintah daerah hasil pemekaran dalam proses transisi tersebut.kenyataannya sering terjadi konflik antara daerah induk dan daerah hasil pemekaran, terutam terkait dengan pengelolaan aset, akibat tidak adanya aturan baku yang mengatur manajemen transisi daerah pemekaran. 6. Secara umum, UU No 32 Tahun 2004 mengandung gejala resentralisasi dari kewenangan yang telah diberikan oleh UU No 22 Tahun 1999. Hal ini nampak dari: a. Dihilangkannya atau digantinya kata kewenangan menjadi urusan. Kata kewenangan dan urusan adalah dua hal yang berbeda secara subtansial. b. Dalam pembagian kewenangan, jika dalam UU 22/1999 pemerintah daerah memiliki kewenangan bagi semua urusan pemerintahan kecuali yang menjadi kewenangan Pemerintah, di UU 32/2004 kewenangan pemerintah daerah merupakan urusan pemerintahan yang bukan sepenuhnya, tapi dibagi dalam kewenagan Pemerintah, dibagi lagi dengan kewenangan urusan pemerintahan provinsi, dan pemerintahan kabupaten/kota.
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
www.parlemen.net
c.
Posisi Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat dengan kewenangan yang luas dan cenderung sentralistis, bukan lagi sebagai koordinator pembangunan daerah. Kewenagan Gubernur dalam UU 32/2004 sbb: • Bupati/Walikota menyerahkan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada pemerintah melalui Gubernur (Pasal 27) • Gubernur sebagai wakil pemerintah bertanggung jawab kepada Presiden (Pasal 38) • Gubernur melakukan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian jabatan eselon II pada pemerintah kabupaten/kota • Gubernur memiliki kewenangan melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap manajemen kepegawaian di kabupaten kota. • Gubernur mengangkat dan memberhentikan Sekda kabupaten/kota atas usul Bupati/Walikota (Pasal 130) • Gubernur dapat melakukan evaluasi terhadap rancangan perda kabupaten/kota tentang APBD setelah ditetapkan oleh bupati/walikota Terkait hal tersebut, tidak begitu jelas peran provinsi sebagai aktor dekonsentrasi sekaligus aktor desentralisasi. Ada tumpang tindih peran gubernur yakni antara sebagai aparat dekonsentrasi atau wakil pemerintah pusat di daerah dan sebagai kepala daerah otonom (pasal 37 dan pasal 38). Peran dan tugas monitoring terhadap kabupaten/kota dilakukan dalam konteks dekonsentrasi sekaligus devolusi. Tentu hal ini potensial menyebabkan conflict of interest pada Gubernur.
d. Perda yang dibuat oleh KDH dan DPRD Kabupaten/Kota dapat dibatalkan oleh pusat manakalah bertentangan dengan “kepentingan umum” – satu terminologi yang dapat diselewengkan dalam praktek. Terminologi “kepentingan umum” harus dibuat terperinci, misalnya melanggar SARA, ekonomi biaya tinggi, memberatkan masyarakat, sehingga tidak multitafsir. Karena pembatalan perda oleh pusat secara mudah berdasarkan tafsir subjektif pemerintah dapat meniadakan hak representasi dan legislasi DPRD sebagai pembuat regulasi di daerah dan menodai kedaulatan rakyat daerah yang telah memilih KDH-nya secara langsung. e. Resentralisasi terlihat juga dalam masalah kepegawaian daerah. Hal ini terlihat dalam hal pengangkatan sekretaris daerah yang harus dikonsultasikan dahulu kepada Gubernur. Demikian juga dalam hal pemerintah melakukan pembinaan manajemen PNS daerah yang meliputi penetapan formasi, pengadaan, pengangkatan, pemindahan, pemberhentian, penetapan pensiun, gaji, tunjangan, kesejahteraan, hak dan kewajiban, maupun pengembangan kompetensi dan pengendalian jumlah (Pasal 129). Seharusnya peran pemerintah dalam sistem kepegawaian daerah sebatas mengatur norma dan standardisasi nasional. f.
Posisi DPRD secara politis lemah sejalan dengan menguatnya akuntabilitas dan orientasi struktural eksekutif daerah7. Posisi DPR bertambah lemah karena
7
Paradigma tujuan otonomi yang digunakan oleh pembuat UU No 32 Tahun 2004 adalah lebih menekankan structural efficiency daripada local democracy. Hal ini sesungguhnya merupakan respon atas pelaksanaan UU No 22 Tahun 1999 yang lemah dalam rentang kendali struktural, dimana desentralisasi dalam praktek difahami daerah sebagai keterputusan hubungan struktural, peran gubernur tidak dianggap, dan daerah cenderung ‘semena-mena’ menerapkan otonomi. Secara konseptual, penerapan model
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
www.parlemen.net
ditiadakannya mekanisme LPJ KDH, sebagai gantinya berupa laporan kemajuan penyelenggaraan pemerintahan. Penempatan DPRD sebagai sebagai unsur pemerintahan daerah (Pasal 3 UU 32/2004) menciptakan kerancuan karena maksud pembagian daerah dalam NKRI sebagaimana dimaksud Pasal 18 Ayat (1) tidak tercapai. Semua daerah memiliki pemerintahan daerah, dan pemerintahan daerah memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. UU No. 32/2004 memiliki kecenderungan menjadikan DPRD sebagai bagian dari birokrasi dan pemerintahan lokal seperti berlaku pada era Orde Baru, bukan lembaga legislatif lokal sebagaimana sebagaimana mestinya, seperti telah diintrodusir oleh UU No. 22 tahun 1999 dan selama beberapa tahun terakhir telah memperkaya kehidupan demokrasi lokal di Tanah Air. g. Apabila dalam UU No. 22/1999 daerah memiliki wewenang dalam mengelola sumber daya alam, dalam UU No. 32/2004 hal itu dikelola bersama-sama antara Pemerintah Pusat dengan Daerah (Pasal 2 ayat 4 dan 5). Dalam hal pemanfaatan SDA, pasal 60 ayat (3) menyebutkan bahwa “dana bagi hasil yang bersumber dari sumber daya alam berasal dari: (1) Penerimaan Kehutanan; (2) Penerimaan pertambangan umum; (3) Penerimaan perikanan; (4) Penerimaan pertambangan minyak; (5) Penerimaan pertambangan gas; dan (6) Penerimaan pertambangan panas bumi. h. Fungsi pembinaan dan pengawasan seringkali dipraktekkan sebagai bentuk pengekangan terhadap daerah. Lebih ironis, sebagaimana dikemukakan Syamsuddin Haris (2005) fungsi pengawasan dan pembinaan pusat terhadap daerah sering menjadi proyek para birokrat dan pejabat pemerintah pusat, melalui kegiatan-kegiatan sosialisasi dan konsultasi (semisal konsultasi penetapan APBD dan Perubahan APBD). 7. Bab Kerjasama dan Penyelesaian Perselisihan belum mengatur prosedur, tata cara, dan model penyelesaian perselisihan pelaksanaan desentralisasi. Regulasi yang mengatur lebih lanjut tentang kerjasama daerah belum ada. Hingga saat ini belum ada Peraturan Pemerintah yang diterbitkan untuk mengatur kerjasama daerah. Basis regulasi yang menjadi dasar hukum kerjasama daerah yang berupa surat keputusan bersama (pasal 195 ayat [2]) tidak cukup kuat untuk menjadi dasar kerjasama. Kenyataannya, sampai saat ini masih banyak daerah yang menggunakan SK Bupati bersama-sama sebagai dasar hukum kerjasama diantara mereka mendapat resistensi yang cukup kuat dari DPRD, sebab bila kerjasama menggunakan basis SK Bupati bersama maka proses pembentukan kerjasama tersebut justru akan meminimalisasi peran dewan. Terkait format kelembagaan kerjasama, dalam pasal 195 ayat (2) ada kecenderungan untuk menyeragamkan bentuk kerjasama, yaitu menjadi: badan kerjasama. Sayanganya, kemudian tidak dijelaskan lebih jauh apa makna dari istilah badan kerjasama dan konsekuensi hukum lebih jauh adri format “Badan Kerjasama”. Respon daerah beragam, ada yang resisten, seperti APEKSI yang menolak mengubah nama. Ada juga yang cenderung akomodatif karena melihatnya hanya sekedar mengubah nama, seperti: APKASI menjadi BKKSI. Regulasi yang terkait dengan kerjasama daerah tidak mengakomodasi adanya variasi bentuk-bentuk kerjasama, padahal selama ini ada dua cluster besar kerjasama daerah yang berkembang yaitu: aksi kolektif yang berwajah intergovernmental relation (IGR)
efisiensi struktural memang berimplikasi pada pengurangan derajat otonomi daerah (berkebalikan dengan penerapan model demokrasi lokal).
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
www.parlemen.net
seperti asosiasi daerah dan kerjasama untuk sharing yang lebih terekspresikan dalam bentuk intergovermental management (IGM) seperti kerjasama regional, dsb.
D. Solusi : Agenda Penguatan Otonomi Daerah Dalam Delapan Dimensi Analisis kelemahan UU No. 32 Tahun 2004 meyakinkan kita pentingnya desain otonomi atau desentralisasi yang jelas dan tepat serta sebenar-benarnya bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Silih berganti sejumlah peraturan perundangan tentang otonomi daerah, sejak kemerdekaan hingga era UU No. 32 Tahun 2004, cukuplah memberikan pelajaran bahwa tarikmenarik antara kutub sentralisasi dan desentralisasi tanpa desain yang komprehensif dan holistik hanyalah berujung kegagalan dalam mewujudkan tujuan otonomi. Sentralisasi dan desentralisasi harus dipahami sebagai konsep yang kontinum. Terlebih dalam sistem Indonesia yang menganut negara kesatuan. Dalam konteks demokratisasi yang intensif saat ini, kepercayaan pemerintah kepada daerah untuk melaksanakan otonomi yang seluas-luasnya – dengan demikian mendorong penguatan otonomi – merupakan insentif bagi gerak pembangunan daerah yang merupakan agregasi dari pembangunan nasional. Kepercayaan itu dimanifestasikan dalam bentuk dukungan, pembinaan, dan pengawasan yang bertujuan untuk meningkatkan derajat otonomi bukan untuk mengekang apalagi menarik kembali kewenangan yang sudah dipercayakan kepada daerah. Di sisi lain, pemerintah daerah harus membangun kepercayaan – bukan hanya kepada pemerintah tapi yang lebih penting kepada masyarakat – bahwa mereka mampu menjalankan otonomi untuk kesejehteraan rakyat. Demokratisasi yang saat ini tengah meretas di tingkat lokal melalui pilkada langsung (dan juga pemilihan DPRD langsung di masa depan) merupakan entry point bagi terbukanya ruang partisipasi dan kontribusi masyarakat daerah dalam politik kebijakan otonomi daerah. Tahap awal yang bisa dan harus dilakukan adalah memberikan kepercayaan kepada masyarakat daerah bahwa mereka mampu mandiri dalam meningkatkan kesejahteraan ekonomi, politik, sosial, dan budaya mereka sendiri. Kepercayaan ini penting mengingat selama puluhan tahun masyarakat terbiasa hidup ’dikontrol’, ’dikuasai’, dan ’dikebiri’ hak-hak politiknya. Oleh karena itu, harus ada kebijakan afirmasi untuk mendorong masyarakat berpartisipasi dalam politik perubahan dan kebijakan otonomi daerah. Karena sesungguhnya otonomi daerah pada esensinya merupakan proses otonomisasi masyarakat daerah – bukan otonomi administratif/pemerintahan belaka. Terkait konsep pemerintahan daerah yang ingin diterapkan, revisi harus menjamin bahwa pelaksanaan pemerintahan daerah harus mendorong peningkatan demokratisasi di tingkat lokal. Proses demokrasi lokal yang telah diintrodusir dengan dilaksanakannya pilkada langsung (dan pemilihan DPRD langsung ke depan) harus dimanifestasikan dalam sistem pemerintahan daerah. Sistem akuntabilitas pemerintahan, baik kepala daerah maupun lembaga perwakilan daerah, harus mencerminkan semangat demokratisasi yang kini meretas di daerah-daerah. Desain perubahan dan penguatan otonomi sebagai revisi atas UU No. 32 Tahun 2004 selanjutnya tersimpul dalam delapan dimensi penting berikut ini:
D.1. Grand design dan arah perubahan otonomi daerah UU Revisi harus mendorong penguatan otonomi daerah. Otonomi yang telah diberikan kepada daerah tidak boleh surut, apalagi mengalami resentralisasi. Persoalan penyimpangan pelaksanaan otonomi bukan disikapi dengan menarik kembali sejumlah kewenangan yang sudah didesentralisasikan. Dalam kerangka itu, otonomi hendaknya mendorong penguatan derajat demokrasi lokal, tanpa mengabaikan efisiensi struktural dalam kerangka sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Desentralisasi kewenangan bukan sekedar desentralisasi
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
www.parlemen.net
administratif yang menyebabkan birokratisasi pelaksanaan otonomi, tapi mendorong penerapan desentralisasi politik. Esensi otonomi adalah proses otonomi masyarakat. UU Revisi harus menempatkan sebagai subjek otonomi – menuju otonomisasi masyarakat. Hakikat otonomi daerah harus dilihat sebagai otonomi masyarakat, bukan otonomi pemerintah daerah (pemda) atau otonomi para elite politik lokal. Para elite politik lokal di institusi pemda dan DPRD hanyalah pemegang mandat rakyat setempat (melalui pemilu dan pilkada secara langsung) untuk mengelola tatapemerintahan lokal. UU Revisi harus jelas dalam mendesain konstruksi otonomi di masing-masing tingkat pemerintahan daerah (tingkat I dan tingkat II). Sehingga jelas pula apa kewenangan otonomi di masing-masing tingkatan agar tidak terjadi ambiguitas otonomi yang dapat menyebabkan konflik kewenangan yang merugikan pelaksanaan otonomi. Dalam aspek pemerintahan, otonomi daerah dalam praktek harus mendorong sistem pemerintahan dan akuntabilitas lembaga pemerintahan yang mencerminkan demokratisasi yang berkembang di tingkat lokal yang tercermin (misalnya) dalam pelaksanaan pilkada langsung. Model hubungan antara kepala daerah dan DPRD serta antara lembaga pemerintahan dengan masyarakat harus diatur dengan jelas dan mencerminkan prinsip-prinsip demokrasi, berlakunya sistem checks and balances, dan penguatan partisipasi masyarakat. Belajar dari tumpang tindih aturan khususnya terkait pembagian kewenangan (urusan), ke depan hendaknya, desain otonomi dirumuskan secara komprehensif dan holistik, melibatkan interdepartemen dan keterkaitan antarsektor, dimana hasilnya harus menjadi rujukan/batu pijakan bagi seluruh pengambil kebijakan pemerintahan. Agar terdapat sinkronisasi dan harmonisasi terhadap seluruh aturan perundang-undangan dan kebijakan. Terakhir, dalam konteks penguatan otonomi, sesungguhnya Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dapat memainkan peranan yang lebih besar. DPD memiliki peran strategis karena dipilih untuk mewakili daerah. Lembaga inilah yang hendaknya berperan menyuarakan kepentingan daerah di tingkat nasional. Namun demikian, kewenangan DPD saat ini lemah dan tidak memadai untuk memperjuangkan aspirasi otonomi secara optimal. Sehingga amandemen kelima konstitusi – yang bertujuan untuk memperkuat peran DPD – harus mendapatkan dukungan.
D.2. Pembentukan daerah otonom Dalam hal pembentukan daerah otonom baru, UU Revisi hendaknya menggariskan agar pemekaran daerah dilakukan secara cermat dan hati-hati, dan diprioritaskan hanya untuk daerah-daerah tertinggal khususnya di perbatasan negara. Prioritas kepentingan nasional – untuk memajukan daerah tertinggal di perbatasan - harus menjadi dasar kebijakan pemekaran, ketimbang hanya mempertimbangkan faktor kesiapan daerah. Oleh karena itu, mekanisme pemekaran daerah perlu sebuah desain nasional jumlah provinsi kabupaten dan kota yang ideal, yang harus segera dirumuskan oleh Depdagri dan departemen terkait (Dephan, Kementerian Daerah Tertinggal, dll). Di luar syarat yang bersifat teknis administratif, dalam rangka membuka ruang partisipasi masyarakat dan untuk mencegah manipulasi politik pemekaran di kalangan elit, hendaknya pemekaran wilayah dilakukan dengan persetujuan masyarakat secara langsung melalui semacam ’referendum lokal’ untuk menentukan pro (setuju) atau anti (menolak) pemekaran wilayah. Hasil referendum itu dijadikan dasar pertama dan utama pemekaran wilayah di daerah yang benar-benar tertinggal.
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
www.parlemen.net
Setelah daerah otonom terbentuk, perlu juga pengawasan dan dukungan yang intensif terhadap daerah baru. Pengawasan dan dukungan diperlukan untuk mempercepat akselerasi daerah dalam program pembangunan dan penyejahteraan masyarakat. Penting untuk melakukan evaluasi komprehensif dalam batas waktu tertentu (misal lima tahun) untuk menentukan apakah daerah pemekaran perlu dikembalikan atau digabung kembali dengan daerah induk, atau ditambah/dikurangi wewenang otonominya sesuai dengan kebutuhan dan kapasitas lokal. Di sini berlaku desentralisasi asimetris. Berikut ini beberapa hal teknis dalam rangka mengatur syarat dan mekanisme pemekaran secara lebih cermat dan berhati-hati: a.
b.
c.
Penjelasan batas wilayah yang dilengkapi dengan peta. Dalam UU pembentukan daerah baru yang sebelumnya, peta dengan batas wilayah yang ada tak dicantumkan. Penyerahan P3D (pembiayan, personel, peralatan dan dokumen) dari daerah induk ke daerah otonom baru paling lambat satu tahun setelah penjabat kepala daerah dilantik. Kabupaten induk dan provinsi memberikan bantuan/hibah uang kepada daerah otonom baru untuk menunjang penyelenggaraan pemerintah daerah selama dua tahun. Bila kabupaten induk dan provinsi tidak memberikan, maka pemerintah akan mengurangi dana alokasi umum kepada kabupaten induk dan provinsi, dan dana yang dikurangi dari mereka akan diberikan ke daerah otonom baru.
Di luar revisi terhadap aturan dan syarat pemekaran, UU Revisi harus mempertegas keberlakuan ketentuan penggabungan daerah terhadap daerah-daerah yang dinilai gagal menjalankan otonomi. Hal ini harus disertai dengan parameter atau ukuran evaluasi yang jelas.
D.3. Model pembagian kewenangan antara pemerintah dan pemerintah daerah Persoalan penting dalam hampir semua UU tentang otonomi adalah ihwal pembagian kewenangan antartingkat pemerintahan. Sesungguhnya, inilah esensi dari suatu UU tentang otonomi. Kegagalan otonomi banyak disebabkan oleh kegagalan memformulasi hal pembagian kewenangan ini. Indikasinya pada tumpang tindih kewenangan, inkonsistensi aturan kewenangan, dan konflik kewenangan antartingkat pemerintahan. Oleh karena itu, harus ada aturan yang jelas (clear) soal ini. Arah revisi bab pembagian kewenangan adalah sebagai berikut: a. UU Revisi hendaknya menggariskan penguatan model pembagian general competence, memberikan kepada daerah apa yang benar-benar menjadi hak dan kompetensinya dengan terlebih dahulu melakukan verifikasi atas hak dan kompetensi daerah otonom. b. Memperkuat pelaksanaan desentralisasi asimetris (berbeda untuk masing-masing daerah). c. Memperjelas kewenangan di masing-masing tingkat pemerintahan sehingga tidak saling tumpang tindih (overlapping) dan menyebabkan terjadinya kekosongan tanggung jawab dalam pembangunan dan pelayanan publik. Dalam upaya itu dapat dipilah mana kewenangan yang bersifat mengatur (membuat UU/perda) dan kewenangan yang bersifat mengurus (melaksanakan kebijakan) untuk tiap-tiap tingkat pemerintahan. d. Memperjelas keterkaitan antarsektor dan menjadikan aturan pembagian kewenangan (urusan) dalam UU tentang Pemerintahan Daerah sebagai rujukan. Hal ini setelah dilakukan sinkronisasi dan harmonisasi terhadap UU Sektoral yang mengatur sama atau berimpitan dengan yang diatur sebagai kewenangan daerah otonom dalam kerangka desentralisasi. Pilihan lain, memperjelas urusan wajib pemerintah provinsi
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
www.parlemen.net
dan kabupaten/kota sebatas dikaitkan dengan standar pelayanan minimal, sementara pembagian urusannya sendiri ditentukan dalam UU sektoral. Pilihan-pilihan tersebut mensyaratkan harmonisasi dan sinkronisasi dengan semua UU sektoral yang tekait. Sehingga UU tentang Pemerintahan Daerah benar-benar dipatuhi dan implementatif. e. Memperbaiki pengaturan mengenai pembagian urusan pemerintahan dengan memperhatikan kejelasan konsep, konsistensi penerapan konsep, dan menghindari kerancuan/kontradiksi dalam operasionalisasi konsep.
D.4. Sistem pemerintahan daerah Pasca reformasi desain otonomi bergerak pada penguatan demokrasi lokal. Sejak itu, langgam sentralisasi pemerintahan – termasuk dalam proses pemilihan pemimpin daerah tidak relevan lagi diterapkan. Maka, sejak medio 2005 dilaksanakan pemilihan kepala daerah secara langsung. Masyarakat yang sebelumnya sekedar menjadi objek kini berubah menjadi subjek yang menentukan kepemimpinan di daerah. Namun sayangnya, partisipasi masyarakat pasca pemilihan tidak diatur dan terlembagakan dalam UU tentang Pemerintahan Daerah. Hal ini menyebabkan esensi demokrasi langsung menjadi mandul. Di samping itu, DPRD (versi UU No. 32/2004) yang notabene merupakan lembaga perwakilan, justru mengalami penurunan skala kewenangan (dibandingkan era UU 22/1999) yang menyulitkan dirinya untuk melaksanakan prinsip checks and balances. Sehingga ke depan dalam hal ini harus dilakukan harmonisasi aturan dengan semangat demokratisasi lokal (pilkada langsung) dengan penguatan sistem checks and balances pemerintahan daerah, agar otonomi benar-benar menciptakan pemerintahan daerah yang mendorong demokrasi lokal di satu sisi dan efektivitas pemerintahan di sisi lain.
D.5. Sistem lembaga perwakilan di daerah Lembaga perwakilan (DPRD) sesungguhnya memiliki kedudukan yang sangat strategis dalam pemerintahan daerah. Karena ia menjadi mitra pemerintah (KDH) dalam mengatur (membuat perda) dan mengurus pemerintahan (dalam aspek anggaran dan pengawasan). Sebagai mitra pemerintah daerah, DPRD semestinya diposisikan sebagai lembaga yang fungsional dalam fungsi legislasi, budget, dan pengawasan, yang terpisah dari pemerintahan eksekutif. Hal ini untuk mendorong terbentuknya sistem checks and balances. Sayangnya, UU No. 32/2004 menempatkan DPRD dalam posisi yang cenderung lemah sehingga fungsi-fungsinya tidak dapat dijalankan secara normal alias mandul. Hal ini sesungguhnya paralel dengan kecenderungan executive heavy yang dianut UU No. 32/2004 serta orientasi struktural (structural efficiency) KDH yang kuat kepada pemerintah (gubernur dan pemerintah pusat). Hubungan tersebut tentu saja kontradiktif dengan esensi lembaga perwakilan (dan legislatif) yang seharusnya memiliki peran sebagai pengimbang (fungsi checks and balances) dan kontraproduktif dalam mendorong penguatan otonomi. Oleh karena itu, arah revisi UU harus memperkuat DPRD dalam menjalankan fungsi-fungsi dan hak-hak konstitusionalnya, selain untuk harmonisasi aturan dengan semangat demokratisasi lokal. Dalam kontoks tersebut, UU Revisi hendaknya menggariskan penguatan akuntabilitas KDH kepada DPRD sebagai representasi dari lembaga perwakilan di daerah.
D.6. Perluasan dan pelembagaan partisipasi masyarakat dalam otonomi Sebagai konsekuensi demokrasi lokal yang diintrodusir dengan pelaksanaan pilkada, UU Revisi harus mendorong penguatan kedaulatan masyarakat untuk meminta pertanggungjawaban kepala daerah dan DPRD. Selain itu, masyarakat harus diberi saluran (akses) untuk dapat
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
www.parlemen.net
berpartisipasi dalam perumusan kebijakan daerah. Partisipasi itu bisa dalam bentuk menerima atau menolak kebijakan otonomi, pelembagaan referendum lokal untuk inisiatif pemekaran, mengajukan mosi kepada KDH maupun DPRD, dll. Hal ini sejalan dengan tujuan utama otonomi sebagai proses otonomisasi masyarakat. Pemerintah daerah hanyalah pihak yang diberikan mandat untuk mengatur dan mengurus daerah untuk kepentingan bersama. Sementara subtansi aturan dan kebijakan semata-mata adalah agregasi aspirasi dan kepentingan masyarakat. Oleh karena itu, hak-hak masyarakat dalam otonomi, saluran partisipasi, serta akses masyarakat terhadap kebijakan harus tercermin dan termuat dalam UU.
D.7. Sistem akuntabilitas pelaksanaan otonomi daerah Sejalan dengan penguatan otonomi, UU Revisi hendaknya mendorong penguatan akuntabilitas pemerintah daerah kepada dua stakeholders penting di tingkat lokal. Pertama, penguatan akuntabilitas kepada masyarakat sebagai konsekuensi pemilihan langsung KDH dan pemilihan semi langsung anggota DPRD. Dan kedua, penguatan akuntabilitas ke samping kepada DPRD yang mendorong checks and balances, yang bertujuan bukan untuk saling menjatuhkan tapi untuk mendorong pembangunan dan kesejahteraan masyarakat. Akuntabilitas ke atas (kepada pemerintah struktural) adalah konsekuensi otonomi di dalam sebuah negara kesatuan yang tidak mengenal ”keterpisahan” (separation) dalam pemerintahan. Antara sentralisasi dan desentralisasi adalah konsep yang kontinum. Dengan demikian, pemerintah pusat tetap memiliki kewenangan untuk mengontrol daerah dalam konteks pembinaan dan pengawasan. Namun demikian, pembinaan dan pengawasan pemerintah bukan untuk mengekang tapi untuk meningkatkan. Dalam konteks pelaksanaan otonomi yang luas, diskresi inisiatif dan kreativitas daerah harus menjadi prioritas. Oleh karena itu, pemerintah hendaknya seminimal mungkin melakukan intervensi terhadap kebijakan otonomi daerah. Sehingga KDH dan DPRD benar-benar otonom (mandiri). Yang sering terjadi, atas nama fungsi pembinaan dan pengawasan, pemerintah secara sadar ataupun tidak sadar telah melakukan resentralisasi dan pelanggaran terhadap kewenangan yang sesungguhnya telah didesentralisasikan. Oleh karena itu, ke depan perlu desain aturan (code of conduct) yang jelas mengenai implementasi fungsi pembinaan dan pengawasan. Peran pembinaan dan pengawasan pemerintah tidak bisa dinafikan karena sesungguhnya otonomi dalam konteks negara kesatuan merupakan kebijakan pemerintah. Namun demikian, perluasan peranan pemerintah pusat dalam pembinaan dan pengawasan terhadap daerah tanpa desain dan aturan yang jelas berpotensi mendistorsikan hakikat otonomi daerah itu sendiri. Desain aturan itu penting supaya tidak terjadi tafsir subjektif pemerintah (baca: aparat) yang dapat mendistorsi makna otonomi itu sendiri. Agar jangan sampai agenda otonomi daerah yang merupakan satu tuntutan reformasi akhirnya didistorsikan tak lebih dari “proyek” pemerintah pusat untuk menciptakan loyalitas sempit pemerintahan daerah kepada pemerintah pusat. Dengan demikian, kewenangan distortif terhadap esensi otonomi yang dimiliki pemerintah pusat dan gubernur (sebagai wakil pemerintah) dalam aspek pembinaan dan pengawasan, evaluasi dan pembatalan perda dan APBD, manajemen kepegawaian daerah, dan lain-lain harus menjadi poin penting yang harus direvisi dari UU No. 32/2004.
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
www.parlemen.net
D.8. Pelembagaan kerjasama dan penyelesain perselisihan desentralisasi UU Revisi hendaknya memperjelas aturan pelembagaan kerjasama antardaerah dalam konteks desentralisasi dengan melibatkan stakeholder daerah (pemda, DPRD, kalangan swasta) yang lingkup pengaturannya menjangkau baik kerjasama yang bersifat intergovernmental maupun yang bersifat intragovernmental. Prinsip kerjasama antardaerah dalam beragam bentuknya adalah untuk pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dalam konteks pengaturan kerjasama dan penyelesaian desentralisasi, perlu diatur dengan jelas prosedur, tata cara, dan model penyelesaian perselisihan yang menekankan pada penyelesaian secara otonom (lokalitas) dan meminimalisir intervensi yang berlebihan dari pemerintah. Peran pemerintah pusat dan pemerintah provinsi (gubernur sebagai wakil pemerintah pusat) sebatas sebagai fasilitator kerjasama dan mediator penyelesaian perselisihan. Sementara subtansi kerjasama dan penyelesain masalah hendaknya diserahkan pada daerah karena esensi otonomi adalah menyelesaian persoalan dengan cara dan sumber daya masyarakat setempat.
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
www.parlemen.net
Daftar Pustaka
Buku dan Makalah Haris, Syamsuddin, “Garis Besar Masalah Otonomi Daerah: Evaluasi Kritis Atas UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah”, disampaikan sebagai pengantar diskusi dalam Workshop Revisi UU No. 32/2004 yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Hukum dan Kebijakan bekerjasama dengan DPD RI, di Jakarta tanggal 13 Januari 2007. Harriss, John dkk. (ed), Politisasi Demokratisasi Politik Lokal Baru, (Jakarta: Penerbit Demos, 2005). Hoessein, Bhenyamin, Hubungan Kewenangan Pusat dan Daerah, dalam Soetandyo Wignosubroto dkk, Pasang Surut Otonomi Daerah: Sketsa Perjalanan 100 Tahun, (Jakarta: Yayasan TIFA bekerjasama dengan LID, 2005). Hoessein, Bhenyamin, “Perspektif Jangka Panjang Desentralisasi dan Otonomi Daerah”, Makalah dipresentasikan dalam Diskusi Kebijakan Desentralisasi dan Otda Dalam Jangka Panjang di Jakarta tanggal 27 November 2002. Kristiadi, JB dkk, Arah Penyempurnaan Undang-Undang Politik dan Desentralisasi Menuju Konsolidasi Demokrasi dan Efektivitas Pemerintahan, Makalah pendamping revisi Undang-Undang Bidang Politik, 23 Desember 2006 Manan, Bagir, Hubungan antara Pusat dan Daerah menurut UUD 1945, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994) Muslimin, Amrah, Aspek-Aspek Hukum Otonomi Daerah, (Bandung: Penerbit Alumni, 1986) Prasojo, Eko dkk, Desentralisasi dan Pemerintahan Daerah: Antara Model Demokrasi Lokal dan Efisiensi Struktural (Jakarta: Departemen Ilmu Administrasi, 2006). Romli, Lili, “Kebijakan Otonomi Daerah Era Reformasi, Dari UU No 22 Tahun 1999 Ke UU No 32 Tahun 2004,” dalam R. Siti Zuhro (ed), Menata Kewenangan Pusat-Daerah yang Aplikatif-Demokratis, (Jakarta: LIPI, 2005).
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net