www.parlemen.net BEBERAPA MASUKAN UNTUK PERUBAHAN UU PEMILU LEGISLATIF
A. Umum Meski Pemilu 2004 dinilai berlangsung cukup lancar, namun banyak pihak yang merasa kecewa atas penyelenggaraan pemilihan umum tersebut, terutama dalam pemilihan anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Kecewaan yang paling menonjol terhadap penyelenggaraan Pemilu 2004 di antaranya adalah masalah penegakan hukum (terhadap pelanggaran pemilu) dan sikap penyelenggara Pemilu yang menganggap dirinya sebagai superbody, di mana setiap keputusannya mempunyai kekuatan hukum tetap dan tidak dapat diganggu-gugat. Berdasarkan berbagai analisis dan kajian yang dilakukan oleh berbagai lembaga, diketahui bahwa akar munculnya masalah-masalah tersebut terletak pada kelemahan aturan perundang-undangan pemilu, termasuk Undang-Undang No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Karena itu, agar penyelenggaraan pemilu di masa depan dapat berlangsung lebih demokratis, maka satu hal yang harus disempurnakan adalah aturan perundangan-undangan pemilu tersebut. Berikut adalah sejumlah isu yang perlu diatur dalam UU Pemilu Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Usulan ini didasarkan pada naskah UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Perlu ditekankan bahwa masukan di bawah ini lebih ditujukan bagi perbaikan kerangka hukum menyangkut penegakan hukum pemilu dan penyelesaian sengketa pemilu. Meski demikian di luar itu ada masalah-masalah lainnya yang juga diberikan masukan.
B. Khusus 1.
Pengertian Umum Dalam pengertian umum ada sejumlah hal yang perlu ditambahkan, terkait dengan masalah penegakan hukum. Ada juga beberapa yang mengalami perubahan terkait dengan adanya perkembangan baru dalam paket undang-undang pemilihan umum. Tambahan baru: 1. Hakim ad hoc pemilu Hakim ad hoc pemilu adalah hakim ad hoc yang diberikan wewenang untuk menyelesaian tindak pidana pemilu dan perselisihan administrasi pemilu, yang terdiri dari hakim karier dan hakim non karier.
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
www.parlemen.net 2. Perselisihan administrasi pemilu Perselisihan administrasi pemilu adalah perselisihan pada setiap tahapan pemilu yang diajukan oleh pihak yang keberatan
oleh keluarnya keputusan administrasi yang
dikeluarkan oleh KPU/ KPUD. 3. Tindak Pidana Pemilu Tindak Pidana Pemilu adalah tindak pidana yang terjadi dalam tahapan pemilu yang melanggar ketentuan dalam undang-undang ini. 4. Pelanggaran administrasi pemilu Pelanggaran administrasi pemilu adalah
pelanggaran yang terjadi dalam tahapan
pemilu yang melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan pemilu yang tidak mengandung unsur pidana. Yang perlu diubah: 1. Pengawas Pemilu Karena Pengawas Pemilu sudah diatur dalam Undang-Undang tentang Penyelenggara Pemilu, maka pengertian Pengawas Pemilu di sini harus mengacu pada undangundang tersebut.
2. Penyelenggara Pemilu Bab ini dijadikan satu pasal saja yang menyatakan bahwa pemilu diselenggarakan oleh penyelenggara pemilu sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Penyelenggara Pemilu.
3. Pendaftaran Pemilih Pada Pemilu 2004 banyak WN yang berhak memilih tetapi tidak terdaftar sebagai pemilih karena tindakan (kelalaian) penyelenggara pemilu (petugas pendaftar). WN yang kehilangan hak pilih tersebut tidak dapat memperjuangkan haknya karena UU No.12/2003 tidak mengaturnya. Untuk mencegah terulangnya hal tersebut maka dalam UU yang baru hal itu perlu diatur. Juga perlu diatur hukuman bagi penyelenggara pemilu yang tidak memproses keberatan WN tersebut. Usulan Pengaturan: WN yang berhak memilih tapi tidak terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) dapat mengajukan keberatan kepada PPK, selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah DPT disahkan dan diumumkan oleh PPS. Penyelenggara pemilu yang tidak memproses keberatan warga atau peserta pemilu dikenakan sanksi pidana
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
www.parlemen.net 4. Penetapan Peserta Pemilu Pasal 7 dan pasal 12 UU No.12/2003 menegaskan bahwa keputusan KPU mengenai penetapan Peserta Pemilu (parpol dan perorangan) adalah bersifat final. Di satu pihak klausul ini telah mendorong KPU cendering sewenang-wenang, di pihak lain calon peserta pemilu tidak memiliki saluran untuk menyampaikan keberatan apabila mereka berkeberatan dengan keputusan KPU tersebut. Karena itu, istilah “bersifat final” dalam kedua pasal tersebut harus dihilangkan, dan ditambahkan pengaturan baru: 1. Partai politik yang merasa keberatan dengan keputusan KPU tentang penetapan partai politik peserta pemilu dapat mengajukan keberatan kepada hakim ad hoc pemilu. 2. Pasal 12 diubah menjadi KPU menetapkan keabsahan syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3).
5. Pendaftaran dan Penetapan Calon Anggota DPRD, DPR, dan DPD 1. Persyaratan Pendidikan Istilah “berpendidikan” dalam pasal 60 e UU No.12/2003 kurang tegas, sehingga perlu dipertegas dengan kata “lulusan”. Mengingat kemajuan IPTEK dan perkembangan masyarakat pada umumnya, maka syarat pendidikan untuk anggota DPR, DPD dan DPRD Provinsi minimal lulusan S1, kecuali sudah pernah menjadi anggota DPR, DPD, dan DPRD Provinsi. Dengan demiklian usulan ketentuan: berpendidikan serendah-rendahnya lulus SLTA atau sederajat untuk calon anggota DPRD Kabupaten/Kota dan serendah-rendahnya lulus S-1 untuk anggota DPR, DPD, dan DPRD Provinsi, kecuali sudah pernah menjadi anggota DPR, DPD, dan DPRD Provins. Di penjelasan perlu diatur: Yang dimaksud sederajat dengan SLTA adalah lulusan sekolah formal setingkat SLTA sesuai UU Sistem Pendidikan Nasional. Berpendidikan serendah-rendah
SLTA atau
sederajat dibuktikan dengan surat tanda lulus yang disahkan oleh instansi yang berwenang. 2. Persyaratan Persyaratan Tempat Tinggal Jika surat pernyataan bertempat tinggal hanya ditanda tangani oleh yang bersangkutan [sebagaimana diatur dalam 68 (1)d, (2)c], kekuatan hukum surat tersebut belum kuat. Untuk menguatkan dan menegaskannya perlu diketahui oleh RT,RW, Kelurahan /Desa dan Kecamatan
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
www.parlemen.net Dengan demiklian, diusulkan ketentuan: Surat pernyataan bertempat tinggal yang ditandatangani oleh calon yang bersangkutan, dengan diketahui oleh RT, RW, Kelurahan/Desa dan kecamatan. 3. Persyaratan Daftar kekayaan Jika daftar kekayaan calon [sebagaimana diatur dalam pasal
68 (1)e, (2)d UU
No.12/2003] tidak periksa terlebih dahulu oleh pihak yang berwenang, dapat saja calon anggota DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, dan DPD
membuat daftar
kekayaan melebihi atau mengurangi jumlah harta kekayaan yang dimilikinya. 4. Keberatan atas Penetapan Daftar Calon DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota Demi terciptanya pemilu yang demokratis, harus dibuka peluang bagi parpol untuk mengajukan keberatan apabila merasa dirugikan oleh keputusan penyelenggara pemilu mengenai penetapan daftar calon anggota DPRD dan DPR. Bakal calon atau calon anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota, yang berkeberat-an atas
putusan KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota
tentang penetapan calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, dapat mengajukan keberatan kepada hakim ad hoc pemilu, dengan mekanisme sebagai berikut. a. Bakal calon anggota DPRD Kabupaten/Kota mengajukan keberatan kepada hakim ad hoc pemilu di Pengadilan Tinggi b. Bakal calon anggota DPR dan DPRD Provinsi mengajukan keberatan kepada hakin ad hoc di Mahkamah Agung. 5. Keberatan atas Penetapan Daftar Calon DPD Demi terciptanya pemilu yang demokratis, harus dibuka peluang bagi calon anggota DPD untuk mengajukan keberatan apabila merasa dirugikan oleh keputusan penyelenggara pemilu mengenai penetapan daftar calon anggota DPD. Bakal calon atau calon anggota DPD yang berkeberatan atas putusan KPU tentang penetapan calon anggota DPD dapat mengajukan keberatan kepada hakim ad hoc pemilu di Mahkamah Agung.
6. Kampanye 1. Masa Kampanye [71 (3)] Pembatasan masa
kampanye
selama 3 (tiga) minggu terlalu sempit sehingga
mengurangi kesempatan bagi peserta pemilu untuk mensosialisasikan programnya. Untuk menghindari masa jeda yang cukup panjang antara penetapan peserta pemilu
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
www.parlemen.net dengan masa kampanye, yang biasanya justru banyak terjadi kampanye sebelum waktunya, maka sebaiknya masa kampanye ditetapkan satu hari setelah penetapan peserta peserta pemilu. Untuk menghindari terjadinya rebutan waktu dan tempat, kampanye dalam bentuk rapat umum dan pengerahan massa perlu diatur secara khusus oleh KPU. Dengan demiklian, diusulkan ketentuan: Kegiatan kampanye dilakukan oleh peserta Pemilu satu hari setelah penetapan Peserta Pemilu dan berakhir 3 (tiga) hari sebelum hari pemungutan suara. Waktu pelaksanaan kampanye dalam bentuk pengerahan massa atau rapat umum diatur secara khusus oleh KPU. Juga perlu dicantumkan dalam penjelasan: Segala bentuk kegiatan yang dilakukan oleh calon peserta pemilu harus tunduk pada peraturan perundang-udangan yang berlaku. Misalnya, pertemuan calon peserta pemilu sebelum masa kampanye harus tunduk pada Undang-Undang tentang Menyatakan Pendapat di Muka Umum; kegiatan pemasangan spanduk tunduk pada ketentuan yang diatur dalam Peraturan Daerah. 2. Pemasangan alat peraga kampanye [73 (6)] Ketentuan dalam pasal 73 (6) UU No. 12/2003 belum mengatur implikasi dari pemasangan alat peraga yang tidak sesuai dengan keputusan KPU, sehingga peserta pemilu sering melanggarnya. Seharusnya, apabila ada pemasangan yang tidak sesuai dengan ketentuan ini, alat peraga tersebut harus dicabut oleh penyelenggara pemilu berkoordinasi dengan Pemda. Usulan ayat tambahan: •
Penyelenggara Pemilu berkoordinasi dengan Pemerintah Daerah menertibkan alat peraga kampanye yang dipasang tidak sesuai dengan ketentuan.
•
Pembersihan alat peraga kampanye [73 (9)]
Berdasarkan pengalaman, tidak adanya aturan mengenai siapa yang berkewajiban membersihkan alat peraga kampanye mengakibatkan banyak alat peraga kampanye masih menempel di berbagai tempat hingga hari H pelaksanaan Pemilu. Karena itu, perlu diatur siapa yang harus membersihkan alat peraga tersebut, dengan biaya dari mana. •
Ayat tambahan:
Penyelenggara Pemilu berkoordinasi dengan pemerintah daerah membersihkan alat peraga kampanye Pemilu paling lambat 3 (tiga) hari sebelum hari pemungutan suara.
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
www.parlemen.net •
Catatan:
Penyelenggara pemilu cq pemda dapat mewajibkan peserta pemilu untuk membayar di muka biaya pembersihan alat peraga tersebut. 3. Larangan melibatkan pejabat tertentu dalam kampanye [75 (1)] Masih ada sejumlah pejabat negara yang dalam Undang-undang ini belum dilarang dilibatkan dalam kampanye. Karena itu, larangan terhadap pejabat tersebut perlu ditambahkan. Karena itu perlu ditambahkan ketentuan: Ketua, wakil ketua, dan
anggota lembaga-lembaga negara yang dibentuk oleh
Undang-Undang Dasar dan/atau Peraturan Perundang-undangan. 4. Larangan bagi pejabat negara tertentu melibatkan diri dalam kampanye Dalam UU ini tidak ada larangan bagi para pejabat tertentu tersebut untuk melibatkan diri dalam kampanye. Karena itu, dalam UU perlu diatur tersendiri. Para pejabat sebagaimana disebut dalam ayat (..) dilarang melibatkan diri dalam kegiatan kampanye. Pelanggaran terhadap ayat (...) dikenakan sanksi sesuai dengan aturan perundang-undangan. 5. Ketentuan bagi pejabat negara yang boleh ikut berkampanye [75 (2)] Dalam UU No.12/2003 haya pejabat negara yang berasal dari partai politik yang diwajibkan mengikuti ketentuan pada saat berkampanye. Padahal, ada pejabat negara yang tidak berasal dari Partai Politik, misalnya kepala daerah dari unsur independen yang belum diatur dalam ketentuan ini, sehingga harus dicantumkan dalam ketentuan, atau ketentuan ini tidak perlu menyebut secara khusus ”yang berasal dari partai politik” 6. Pelanggaran atas ketentuan mengenai larangan pelaksanaan kampanye [76 (1)] Tindak pidana yang berkaitan dengan pelanggaran ketentuan larangan pelaksanaan kampanye sudah diatur khusus dalam ketentuan mengenai pidana. Karena itu, Pasal 76 ayat 1 ini tidak perlu lagi dicantumkan. Ketentuan mengenai pelanggaran tata cara kampanye [76 (2)] Dalam
undang-undang pemilu tidak ada istilah pelanggaran tata cara. Yang ada
adalah pelanggaran administrasi. Karena itu, kalimat pada Pasal 76 ayat (2) harus disesuaikan. 7. Larangan memberikan atau menjanjikan memberikan uang, barang, atau materi lainnya kepada pemilih selama kampanye
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
www.parlemen.net Ketentuan ini tidak mengatur tindakan penyelenggara pemilu (di luar proses pidana) terhadap pelaku politik uang ini. Karena itu, hal itu perlu diatur dalam undang-undang ini.
7. Pemungutan dan Penghitungan Suara 1. Keberatan terhadap jalannya penghitungan suara [96 – dst] Demi terwujudnya pemilu yang demokratis, perlu diberikan kesempatan yang seadiladilnya bagi anggota masyarakat dan peserta pemilu yang merasa dirugikan dalam proses pemungutan dan penghitungan suara. Dalam UU No.12/2003 memang diberikan kesempatan bagi warga masyarakat/saksi peserta pemilu untuk menyampaikan keberatan. Namun, apabila penyelenggara pemilu tidak menerima keberatan tersebut, tidak ada lagi kesempatan bagi pihak yang keberatan tersebut untuk menyampaikan keberatannya. Karena itu, dalam undangundang ini hal itu perlu diatur. a. Penghitungan suara di PPS [97] Untuk mempersingkat proses penghitungan jumlah perolehan suara pemilu, sebaiknya kegiatan rekapitulasi dan penghitungan jumlah suara tidak perlu dilakukan di tingkat PPS, melainkan langsung di PPK. (Usulan ini juga selaras dengan usulan pemerintah dalam RUU Penyelenggara Pemilu yang saat ini sedang dibahas bersama DPR). b. Keberatan di tingkat KPPS/KPPSLN Tambahan: Jika KPPS/KPPSLN tidak menerima keberatan sebagaimana disebut dalam ayat (9), maka peserta pemilu dan/atau warga masyarakat dapat mengajukan keberatan kepada PPK. PPK menyelesaikan keberatan yang diajukan sebagaimana disebut pada ayat (10), dengan memberikan kesempatan kepada kedua belah pihak untuk membuktikan pendapat masing-masing. c. Keberatan di tingkat PPK Tambahan: Apabila PPK tidak menerima keberatan sebagaimana disebut dalam ayat (9), maka peserta pemilu dan/atau warga masyarakat dapat mengajukan keberatan kepada KPU Kabupaten/Kota.
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
www.parlemen.net KPU Kabupaten/Kota menyelesaikan keberatan yang diajukan sebagaimana disebut pada ayat (10), dengan memberikan kesempatan kepada kedua belah pihak untuk membuktikan pendapat masing-masing. d. Keberatan di KPU Kabupaten Kota d.1
Penghitungan dan penetapan perolehan suara Pemilu anggota DPRD
Kabupaten/Kota 1. Peserta Pemilu yang merasa dirugikan atas penghitungan dan penetapan perolehan
suara
Pemilu
anggota
DPRD
Kabupaten/Kota
dapat
menyampaikan keberatan kepada KPU Kabupaten/Kota. 2. Jika
keberatan
diterima,
maka
KPU
Kabupaten/Kota
melakukan
pembetulan Jika keberatan tidak diterima, maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan
keberatan sebagai perselisihan Pemilu ke Mahkamah
Konstitusi. d.2
Penghitungan jumlah suara untuk Pemilu untuk anggota DPRD Provinsi
1. Peserta Pemilu yang merasa keberatan atas penghitungan suara untuk anggota DPRD Provinsi dapat mengajukan keberatan kepada KPU Kabupaten/Kota 2. Jika keberatan tersebut diterima, maka KPU kabupaten/Kota melakukan pembetulan. 3. Jika keberatan tersebut tidak diterima, maka pihak yang keberatan dapat mengajukan keberatan kepada KPU Provinsi. 4. Atas keberatan ini, KPU Provinsi menetapkan apakah keberatan itu diterima. Jika keberatan diterima, maka KPU Provinsi memerintahkan KPU Kabupaten/Kota melakukan pembetulan. d.3
Penghitungan jumlah suara untuk Pemilu untuk anggota DPR
1. Peserta Pemilu yang merasa keberatan atas penghitungan suara untuk anggota DPR dapat mengajukan keberatan kepada KPU Kabupaten/Kota. 2. Jika keberatan tersebut diterima, maka KPU kabupaten/Kota melakukan pembetulan. 3. Jika keberatan tersebut tidak diterima, maka pihak yang keberatan dapat mengajukan keberatan kepada KPU Provinsi. Atas keberatan ini, KPU Provinsi menetapkan apakah keberatan itu diterima. Jika keberatan diterima, maka KPU Provinsi memerintahkan KPU Kabupaten/Kota melakukan pembetulan.
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
www.parlemen.net
d.4
Penghitungan jumlah suara untuk Pemilu untuk anggota DPD 1. Peserta Pemilu yang merasa keberatan atas penghitungan suara untuk anggota DPD dapat mengajukan keberatan kepada KPU Kabupaten/Kota. 2. Jika keberatan tersebut diterima, maka KPU kabupaten/Kota melakukan pembetulan. 3. Jika keberatan tersebut tidak diterima, maka pihak yang keberatan dapat mengajukan keberatan kepada KPU Provinsi. Atas keberatan ini, KPU Provinsi menetapkan apakah keberatan itu diterima. Jika keberatan diterima, maka KPU Provinsi memerintahkan KPU Kabupaten/Kota melakukan pembetulan.
e. Penghitungan di tingkat KPU Provinsi e.1 Penghitungan jumlah suara untuk Pemilu untuk anggota DPRD Provinsi 1. Peserta Pemilu yang merasa keberatan atas penghitungan suara untuk anggota DPRD Provinsi dapat mengajukan keberatan kepada KPU Provinsi. 2. Jika keberatan tersebut diterima, maka KPU Provinsi melakukan pembetulan. Jika keberatan tersebut tidak diterima, maka pihak yang keberatan dapat mengajukan keberatan sebagai perselisihan Pemilu kepada Mahkamah Konstitusi. e.2
Penghitungan jumlah suara untuk Pemilu untuk anggota DPR 1. Peserta Pemilu yang merasa keberatan atas penghitungan suara untuk anggota DPR dapat mengajukan keberatan kepada KPU Provinsi. 2. Jika keberatan tersebut diterima, maka KPU Provinsi melakukan pembetulan. 3. Jika keberatan tersebut tidak diterima, maka pihak yang keberatan dapat mengajukan keberatan kepada KPU Provinsi. 4. Atas keberatan ini, KPU Provinsi menetapkan apakah keberatan itu diterima. Jika keberatan diterima, maka KPU memerintahkan KPU Provinsi melakukan pembetulan.
e.3 Penghitungan jumlah suara untuk Pemilu untuk anggota DPD
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
www.parlemen.net 1. Peserta Pemilu yang merasa keberatan atas penghitungan suara untuk anggota DPD dapat mengajukan keberatan kepada KPU Provinsi 2. Jika keberatan tersebut diterima, maka KPU Provinsi
melakukan
pembetulan. 3. Jika keberatan tersebut tidak diterima, maka pihak yang keberatan dapat mengajukan keberatan kepada KPU. Atas keberatan ini, KPU menetapkan apakah keberatan itu diterima. Jika keberatan diterima, maka KPU memerintahkan KPU Provinsi melakukan pembetulan. f.
Penghitungan di tingkat KPU f.1 Penghitungan jumlah suara untuk Pemilu untuk anggota DPR 1. Peserta Pemilu yang merasa keberatan atas penghitungan suara untuk anggota DPR dapat mengajukan keberatan kepada KPU. 2. Jika keberatan tersebut diterima, maka KPU melakukan pembetulan. 3. Jika keberatan tersebut tidak diterima, maka pihak yang keberatan dapat mengajukan keberatan sebagai perselisihan Pemilu kepada Mahkamah Konstitusi. f.2
Penghitungan jumlah suara untuk Pemilu untuk anggota DPD 1. Peserta Pemilu yang merasa keberatan atas penghitungan suara untuk anggota DPD dapat mengajukan keberatan kepada KPU. 2. Jika keberatan tersebut diterima, maka KPU melakukan pembetulan. Jika keberatan tersebut tidak diterima, maka pihak yang keberatan dapat mengajukan keberatan sebagai perselisihan Pemilu kepada Mahkamah Konstitusi.
8. Penetapan Calon Terpilih Penetuan calon terpilih [107 (2) b] Penentuan calon terpilih berdasarkan nomor urut (teratas) ini sudah tidak sesuai dengan tuntutan dan perkembangan dinamikan masyarakat, di mana pemilih menginginkan agar calon terpilih adalah calon yang memperoleh suara terbanyak Ketentuan ini diubah menjadi: Nama calon yang tidak mencapai angka BPP, calon terpilih ditetapkan berdasarkan perolehan suara terbanyak pada daftar calon di daerah pemilihan yang bersangkutan;
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
www.parlemen.net 9. Pengawasan Pemilu Pengaturan lembaga pengawas Pemilu [120-126] Karena lembaga pengawas pemilu sudah diatur dalam UU No ... Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu,
maka dalam UU cukup disebut bahwa pengawasan pemilu
dilakukan oleh Pengawas Pemilu, Panitia Pengawas Pemilu Provinsi, Panitia Pengawas Pemilu Kabupaten/ Kota, dan Panitia Pengawas Pemilu Kecamatan. Usul Perubahan: Pengawasan Pemilu dilakukan oleh Pengawas Pemilu, Panitia Pengawas Pemilu Provinsi, Panitia Pengawas Pemilu Kabupaten/ Kota, dan Panitia Pengawas Pemilu Kecamatan.
10. Penegakan Hukum Pemilu 1. Penanganan Pelanggaran di tingkat Panwas Penyelesaian Sengketa Pemilu Pada
UU
No.12/2003
bentuk
sengketa
pemilu
tidak
jelas.
Panwas
hanya
berkesimpulan bahwa sengketa adalah pelanggaran yang tidak mengandung pelanggaran administrasi dan pidana. Ada masalah, karena KPU menolak menjadi para pihak dalam sengketa pemilu. Di sisi lain, ketentuan yang mengatur bahwa putusan KPU yang bersifat penetapan bersifat tetap dan final membuat banyak pihak tidak puas. Dalam asas internasional pemilu demokratis harus ada peluang bagi warga masyarakat dan/atau peserta pemilu untuk mempertanyakan putusan penyelenggara pemilu. Berdasarkan hal itu, maka dalam undang-undang ini
dibuka kesempatan untuk
menggugat (menyampaikan keberatan atas ) putusan (penetapan) KPU, yang disebut sebagai sengketa administrasi pemilu. Diubah menjadi: (1) Perselisihan Administrasi Pemilu, yaitu keberatan pemilih, peserta pemilu, dan kandidat atas putusan penyelenggara pemilu, diselesaikan oleh hakim ad hoc Pemilu. (2) Peradilan Pemilu mengadili dan memutus keberatan
Pemilu sesuai dengan
tingkatannya. (3) Putusan Peradilan di setiap tingkatannya bersifat final dan mengikat (4) Hakim Peradilan Pemilu adalah ahkim ad hoc pemilu, yang terdiri dari 2 (dua) orang Hakim Karier dan 3 (tiga) Hakim Non Karier.
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
www.parlemen.net (5) Persyaratan Hakim non karier a. Minimal S1, Sarjana Hukum b. Mempunyai pengalaman tentang Pemilu c.
Berusia minimal 35 (tiga puluh lima) tahun.
d. Mempunyai integritas (6) Hakim non karier diseleksi oleh Departemen Hukum dan Hukum sesuai dengan tingkatannya. (7) Masa kerja Hakim Peradilan Pemilu berakhir 2 (dua) bulan setelah semua tahapan Pemilu selesai. (8) Hakim Karier ditunjuk oleh Ketua Peradilan sesuai dengan tingkatannya. (9) Penyelesaian keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 14 (empat belas) hari sejak keberatan diterima oleh hakim ad hoc. Penyelenggara Pemilu di setiap tingkatan wajib menyesuaikan putusannya dengan putusan hakim ad hoc Pemilu. 2. Penyidikan dan Penuntutan [131] Polisi dan jaksa yang ditugaskan di Panwas bukan hanya sebagai anggota Panwas tapi -sesuai dengan fungsi melekatnya-
juga sekaligus bertugas sebagai penyidik dan
penuntut umum tindak pidana pemilu. Diubah menjadi: Penyidikan atas tindak pidana yang diatur dalam undang-undang ini dilakukan oleh penyidik Polri yang ditempatkan pada Pengawas Pemilu. 3. Masa waktu penyidikan dan penuntutan Masa waktu penyidikan dan penuntutan dalam UU No.12/2003 tidak efefektif, karena waktu yang diberikan untuk masing-masing terlalu lama. Diubah menjadi: (1) Penyidikan atas tindak pidana yang diatur dalam undang-undang ini diselesaikan dalam waktu 14 (empat belas) hari sejak diterimanya laporan. (2) Dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah selesainya penyidikan, penyidik menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum. Penuntut umum melimpahkan berkas perkara kepada pengadilan selambatlambatnya 7 (tujuh) hari sejak diterimanya berkas perkara dari penyidik.
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
www.parlemen.net 11. Ketentuan Pidana 4. Pasal-pasal pemalsuan Sebaiknya hukumannya diselaraskan dengan pasal-pasal pemalsuan yang diatur dalam KUHP Banyak calon yang berani terlibat dalam menggunakan keterangan atau dokumen palsu karena hukuman terhadap tindak pidana tersebut tidak menggugurkan persyaratan calon tersebut. Karena itu, dalam undang-undang ini perlu diperberat hukuman bagi calon yang melanggar ketentuan tersebut. Usulan tambahan ketentuan; Calon yang melakukan, turut serta, atau membantu melakukan tindak pidana yang diatur dalam undang-undang ini, setelah memperoleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, dibatalkan sebagai calon oleh KPU, KPU Provinsi, atau KPU Kabupaten/Kota. 5. Menghalang-halangi pemilih Sanksi terhadap orang yang menghalang-halangi pemilih untuk melakukan hak pilihnya yang diatur dalam undang-undang ini terlalu ringan, sehingga ada kecenderungan di daerah tertentu, oknum pihak tertentu berani menghalangi dan/atau mengancam orang agar menggunakan hak pilihnya. Tindakan tersebut sering Terkait dengan itu, ancaman bagi tindak pidana seperti itu perlu diperberat. Diusulkan: (1) Petugas pendaftar dan atau penyelenggara pemilu yang setelah menerima keberatan dari warga yang berhak memilih untuk dimasukkan dalam daftar pemilih, tanpa alasan yang sah sehingga tidak melaksanakan tugasnya sebagaimana ditentukan dalam undang-undang ini diancam dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan atau paling lama 18 (delapan belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp600.000,00 (enam ratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah). (2) Penyelenggara pemilu yang setelah menerima keberatan dari calon peserta pemilu, tanpa alasan yang sah sehingga tidak melaksanakan tugasnya sebagaimana ditentukan dalam undang-undang ini sehingga menyebabkan calon peserta pemilu, bakal calon anggota DPR, atau bakal calon anggota DPRD gagal menjadi peserta pemilu, calon anggota DPR, atau calon anggota DPRD
diancam dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan atau
paling lama 18 (delapan belas) bulan dan/atau denda paling sedikit
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
www.parlemen.net Rp600.000,00 (enam ratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah). 6. Pemalsuan keterangan/dokumen persyaratan calon [137 (7)] Sanksi yang diatur dalam UU No. 12/2003 ini terlalu ringan, sehingga ada orang yang berani menggunakan surat-surat untuk persyaratan menjadi calon anggota DPRD, DPR, dan DPD. Juga terdapat ketidak tegas dalam sanksi ini. Meski terbukti yang bersangkutan terbukti melakukan pelanggaran, hal itu tidak berpengaruh terhadap statusnya sebagai calon. Tambahan: Penggunaan keterangan yang tidak benar atau menggunakan surat palsu seolaholah sebagai surat yang sah tentang suatu hal yang diperlukan bagi persyaratan untuk menjadi peserta Pemilu,
setelah memperoleh putusan pengadilan yang
berkekuatan hukum tetap, dibatalkan sebagai peserta pemilu atau calon anggota DPR atau calon anggota DPRD. 7. Praktik Hukuman Percobaan Dalam penanganan perkara tindak pidana pemilu 2004, sebagian besar terdakwa dijatuhi hukuman percobaan. Hukuman seperti ini tidak mempunyai efek jera terhadap masyarakat. Untuk menghindari terjadinya banyak pelanggaran pidana pemilu, maka undang-undang ini harus mengatur bahwa terhadap pelaku tindak pidana yang diatur dalam undang-undang ini tidak boleh dijatuhi hukuman percobaan. Usul ketentuan tambahan: Terhadap pelaku tindak pidana yang diatur dalam undang-undang ini tidak boleh dijatuhi hukuman percobaan.
C. Penutup Demikianlah beberapa masukan terkait beberapa masalah yang muncul dalam Pemilu 2004 yang lalu yang berkaitan dengan kekurangan pada UU No. 12 Tahun 2003.
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net