STUDI KEBIJAKAN PANGAN HALAL DI INDONESIA
Oleh:
Rikza Saifullah F24102078
2008 DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
Rikza Saifullah. F24102078. Studi Kebijakan Pangan Halal di Indonesia. Di bawah bimbingan Dede R. Adawiyah dan Darwin Kadarisman. (2008). RINGKASAN Perkembangan pembangunan di Indonesia telah membawa dampak yang cukup berarti bagi masyarakat. Salah satunya adalah perubahan pola hidup dan cara pandang masyarakat terutama dalam hal konsumsi makanan dan minuman. Sebagai negeri dengan penduduk muslim terbesar, sangat wajar jika pangan halal menjadi isu yang cukup menarik untuk dikaji dan diperbincangkan. Berbagai usaha penanganan telah dilakukan oleh beberapa instansi terkait. Namun perlu diakui bahwa proses penanganan halal ini masih menemukan beberapa kendala dan tantangan kedepan. Untuk itu perlu adanya penyikapan oleh semua pihak yang berkepentingan baik dari kalangan dunia usaha pangan maupun mereka yang bergerak dalam tataran pengambilan kebijakan. Tujuan dari penelitian ini adalah mengidentifikasi potensi dan efektivitas kebijakan pangan halal nasional, mengidentifikasi dan menginventarisasi jenis-jenis faktor pendukung kebijakan pangan halal nasional berikut tingkat kepentingannya, dan menetukan prioritas kebijakan penanganan kehalalan pangan di Indonesia. Diharapkan dari hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi dan masukan oleh stakeholder kebijakan pangan dalam menyusun prioritas dan menunjang implementasi kebijakan pangan halal nasional. Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret sampai Juli 2008 di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia khususnya kota Bogor dan Jakarta tempat domisili responden yaitu YLKI, Jakarta; LPPOM MUI, Bogor; Badan POM, Jakarta; Departemen Perdagangan RI, Jakarta; Departemen Pertanian RI, Jakarta; DPR RI, Jakarta; Departemen Agama RI, Jakarta dan Institut Pertanian Bogor, Bogor. Metode penelitian ini adalah survei. Data diambil melalui interview kepada responden ahli yang dianggap pakar kebijakan pangan halal. Analisis data yang digunakan adalah analisis deskriptif dan analisis pengambilan keputusan metode AHP menurut Saaty (1986). Kondisi kebijakan penanganan kehalalan pangan nasional diidentifikasi berdasarkan isu strategis dan efektivitas penerapan kebijakan sertifikasi halal terhadap produk pangan. Setelah berjalan lebih dari 10 tahun, efektivitas kebijakan masih tergolong rendah yaitu 0.07 % perusahaan tersetifikasi halal dari jumlah total perusahaan yang ada. Berdasarkan isu strategis dan efektivitas kebijakan yang ada, disusun hierarki yaitu fokus utama, tujuan penerapan kebijakan, aktor dan subaktor kebijakan, dan alternatif kebijakan. Hasil analisis menunjukkan bahwa munculnya kesadaran produsen (industri pangan) untuk memberikan jamiman halal terhadap produknya adalah prioritas utama tujuan diterapkannya kebijakan pangan halal, pemerintah adalah aktor utama, dan penerapan kebijakan pangan halal (sertifikasi) yang difasilitasi oleh pemerintah sehingga menyentuh semua level industri pangan (terutama UMKM).
STUDI KEBIJAKAN PANGAN HALAL DI INDONESIA
Oleh: Rikza Saifullah F24102078
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
2008 DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN STUDI KEBIJAKAN PANGAN HALAL DI INDONESIA
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperolah gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh : RIKZA SAIFULLAH F 24102078
Dilahirkan di Jombang pada tanggal 4 Januari 1983 Tanggal lulus : September 2008 Menyetujui, Bogor, September 2008
Dr. Ir. Dede R. Adawiyah, MSi.
Ir. Darwin Kadarisman, MS
Dosen Pembimbing I
Dosen Pembimbing II
Mengetahui,
Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
RIWAYAT HIDUP
A. DATA DIRI Nama
: Rikza Saifullah
Tempat, Tanggal lahir
: Jombang, 4 Januari 1983
B. PENDIDIKAN 1990, I SDN Pulorejo II, di Jombang 1996, I SLTPN I Ngoro, di Jombang 1999, I SMUN I Jombang, di Jombang
C. ORGANISASI EKSTRAKURIKULER No
ORGANISASI
TEMPAT
TAHUN
JABATAN
1
Lembaga Dakwah Kampus Badan Kerohanian Islam Mahasiswa IPB
IPB, Bogor
2004
Kepala Biro Lembaga Dakwah Kampus
2
Lembaga Dakwah Kampus Badan Kerohanian Islam Mahasiswa IPB
IPB, Bogor
2004-2005
Ketua Harian Eksternal
3
Lembaga Dakwah Kampus Badan Kerohanian Islam Mahasiswa IPB
IPB, Bogor
2005-2006
Ketua Umum
4
Pusat Komunikasi Daerah Forum Silaturrahim Lembaga Dakwah Kampus
Priangan Barat
2004-2006
Ketua
5
Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus
Nasional
2006-2008
Koordinator Nasional
6
Gerakan Pemuda Anti Narkoba Kementrian Pemuda dan Olahraga RI
Jakarta
2006
Anggota Presidium
7
Gerakan Mahasiswa Pembebasan
Jakarta
2005-2008
Anggota
D. KEPANITIAAN No
ORGANISASI
JABATAN
SKALA
1
Masa Penerimaan Anggota Baru LDK BKIM 2004
Ketua Panitia
IPB
2
Simposium Nasional Lembaga Dakwah Kampus
Panitia Pengarah
Nasional
3
Simposium Nasional Pendidikan Indonesia
Panitia Pengarah
Nasional
4
Muhibah Nusantara Pesantren Sukses
Ketua Panitia
Nasional
5
Bedah Buku dan Diskusi ”Selamatkan Indonesia dari Cengkeraman Kapitalisme: Saatnya Dunia Berubah”
Panitia Pengarah
IPB
6
Diskusi Nasional ”IPB: Towards World Class University”
Sie. Acara
Nasional
E. KURSUS, PELATIHAN, SEMINAR No
ORGANISASI
JABATAN
SKALA
1
Motivation Achievement Leadership Training
Bogor, 2002
IPB
2
Seminar Nasional Bioteknologi dalam Tinjauan Islam
Bogor, 2002
Nasional
3
Manajemen and Leadership Training I
Bogor, 2003
IPB
4
Training Standarisasi Pembinaan Manajerial Nasional Badan Koordinasi Lembaga dakwah Kampus
Gresik, 2004
Nasional
5
Pelatihan: Good Laboratory Practices
Bogor, 2005
Jurusan
6
Forum Silaturahim Lembaga
Samarinda
Nasional
Dakwah Kampus Nasional XII 7
Lokakarya Pemuda Bersih Narkoba “Pantas Juara”
Jakarta, 2006
Nasional
8
Seminar: World Class Education for Best Generation
Bogor, 2007
Nasional
9
Bedah Buku ” Saatnya Dunia Berubah”
Bogor, 2008
IPB
10
Training Inspiring Love
Bogor, 2008
IPB
11
Forum Kajian Manajemen PPM ”The Leadership of
Jakarta, 2008
Nasional
Jakarta, 2008
Nasional
Excellence” 12
Forum Kajian Manajemen PPM ”Public Relation Genius”
KATA PENGANTAR
Lantunan puji dan syukur senantiasa penulis panjatkan bagi Allah SWT, atas segala kenikmatan, kasih sayang dan pertolongan yang di berikanNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga tetap tertuju kepada kekasih dan teladan kita Rasulullah Muhammad SAW., juga kepada keluarganya yang beriman, para sahabat, dan para pengikutnya yang senantiasa istiqomah di jalan-Nya hingga hari kiamat. Skripsi yang berjudul “Studi Kebijakan Pangan Halal di Indonesia” merupakan tugas akhir yang dibuat untuk menyelesaikan pendidikan sarjana di Institut Pertanian Bogor. Tidak lupa pula pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Ibu Dede R. Adawiyah, Ir, MSi, Dr. selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah dengan sabar meluangkan waktu dan perhatian untuk memberikan bimbingan dan arahannya selama penulis melakukan studi, 2. Bapak Ir. Darwin Kadarisman, MS, selaku Dosen Pembimbing II yang telah memberikan bimbingan dan arahannya yang berguna selama penulis melaksanakan tugas akhir, 3. Ayah, Ummi, mba Ida, mas Anang, adik Adi, adik Imas yang selalu memberikan doa dan semangat kepada penulis, 4. Mas Basith, Ustadz Epi Taufik, Ustadz Abu Faqih, Ustadz Al Khaththat, Ustadz Agung Wisnu, Ustadz Ismail Yusanto, Mas Amir M., Mas Elvin, Mas Fibri Aris, Kang Asep yang telah memberikan banyak ilmu kepada penulis, 5. Rekan-rekan seperjuangan di LDK BKIM IPB, BKLDK, FSLDK, HTI, Formasi 39, ex Markaz Jundullah, Wisma Al Quds atas inspirasinya, 6. Teman-teman ITP Angkatan 39 yang telah membantu dan memberikan pengalaman yang mengesankan selama ini. 7. Rekan-rekan di SEM Institute Jakarta dan tim beSMART (+) Plus Training (Frida, Indah, Pipit, Rahmawati),
8. Semua pihak yang telah membantu penulis selama melaksanakan tugas akhir dan penyusunan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak kekurangan dan kelemahan, oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun. Dengan senantiasa memohon ampunan kepada Allah SWT, dari segala kesalahan dan kelalaian. Semoga hasil penelitian dalam bentuk skripsi ini dapat bermanfaat bagi yang semua pihak yang memerlukan dikemudian hari.
Bogor, September 2008
Penulis
DAFTAR ISI
RIWAYAT HIDUP...................................................................................i KATA PENGANTAR ............................................................................. iv DAFTAR ISI ...........................................................................................vi DAFTAR TABEL ....................................................................................viii DAFTAR GAMBAR ............................................................................... ix DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................ x
PENDAHULUAN Latar Belakang ................................................................................. 1 Tujuan Penelitian ............................................................................. 3 Kegunaan Penelitian ......................................................................... 3
TINJAUAN PUSTAKA Pangan.............................................................................................. 4 Halal................................................................................................. 4 Produk Hukum Tentang Pangan Halal.............................................. 6 Sistem Jaminan Halal....................................................................... 10 Proses dan Kerangka dalam Analilsis Kebijakan................................11 Proses Hierarki Analisis......................................................................12
METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian ........................................................... 15 Desain Penelitian ............................................................................ 15 Tahapan Penelitian .......................................................................... 17 Pengumpulan Data........................................................................... 17 Analisis Data .................................................................................. 20
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Kebijakan Pangan Halal Saat Ini................................... 24 Perumusan Prioritas Kebijakan Penanganan Kehalalan Pangan ………………………………………...............................…….. 27 Tujuan Penerapan Kebijakan Penanganan Kehalalan Pangan....................................................................................................... 27 Aktor Penerapan Kebijakan Penanganan Kehalalan Pangan............. 30 Alternatif Kebijakan Penanganan Kehalalan Pangan.......................... 32 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan .............................................................................. 38 Saran ........................................................................................ 39 DAFTAR PUSTAKA ……………………………………..……….…….. 40 LAMPIRAN ……………………………………………..……….………. 42
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 1. Skala komparasi berpasangan……………………………......
23
Tabel 2. Isu strategis tentang kondisi penanganan kehalalan pangan
24
Tabel 3. Jumlah industri pangan tahun 2004-2006.......................…….
25
Tabel 4. Faktor berpengaruh dan isu strategis tentang penanganan kehalalan pangan di Indonesia.................................................. Tabel 5. Nilai prioritas elemen tujuan penerapan kebijakan…...……
26 27
Tabel 6. Nilai prioritas elemen aktor kebijakan penanganan kehalalan pangan.…………………………….................
31
Tabel 7. Nilai prioritas elemen alternatif kebijakan penanganan kehalalan pangan ………………………………………....…
32
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 1. Bagan pendekatan penentuan alternatif dan prioritas kebijakan penanganan kehalalan pangan dengan teknik AHP .....……….…………........................................................ Gambar 2. Bagan tahapan penelitian........................…………….……….
16 17
Gambar 3. Struktur Hierarki Pemilihan Kebijakan Penanganan Kehalalan Pangan. …….....................................................…... Gambar 4. Rangkuman prioritas pemilihan kebijakan penanganan Kehalalan pangan……………………………………………
21
37
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman Lampiran 1. Nilai Prioritas Kombinasi Seluruh Responden (Treeview)
42
Lampiran 2. Nilai Prioritas Kombinasi Seluruh Responden.................
43
Lampiran 3. Nilai Prioritas Strategi Reponden……….........................
45
Lampiran 4. Rekapitulasi Hasil Isu Strategis…………………...................
49
Lampiran 5. Rekapitulasi Hasil Open question Kebijakan Pangan Halal.........................................................................
51
Lampiran 6. Daftar Responden……….......................................………...... Lampiran 7. Discussion Guide Penggalian Isu Startegis……………....... Lampiran 8. Kuesioner AHP.............................................................….......
57 58 60
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Perkembangan pembangunan di Indonesia telah membawa dampak yang berarti bagi masyarakat. Seiring dengan itu, adanya perubahan dalam hal kesejahteraan masyarakat baik yang mengalami peningkatan maupun penurunan telah memberikan dampak juga terhadap perubahan gaya hidup dan cara pandang masyarakat terutama dalam hal konsumsi makanan dan minuman. Perubahan gaya hidup dan cara pandang masyarakat terutama dalam hal konsumsi makanan dan minuman ini mau tidak mau harus disikapi oleh semua pihak yang berkepentingan baik dari kalangan dunia usaha pangan maupun mereka yang bergerak dalam tataran pengambilan kebijakan. Sebagai negeri dengan penduduk muslim terbesar yaitu 193.600.000 dari total jumlah penduduk 220 juta jiwa atau 88 % (BPS,2007) sangatlah wajar jika pangan halal menjadi isu yang cukup menarik untuk dikaji dan diperbincangkan. Hal ini dikarenakan semakin pesatnya perkembangan teknologi pangan terutama agroindustri pangan olahan yang mengakibatkan penggunaan ingredient dalam pengolahan pangan menjadi sangat bervariasi. Perkembangan penggunaan ingredient ini didorong oleh kebutuhan akan ingredient dengan sifat-sifat tertentu yang diinginkan dengan harga yang murah. Masalah yang kemudian timbul adalah banyaknya ingredient pangan baik bahan baku utama maupun bahan aditifnya yang sulit ditentukan kehalalan asal bahan pembuatnya. Padahal, kejelasan suatu informasi suatu produk pangan sangat penting agar konsumen mengetahui produk yang dikonsumsi tersebut adalah produk yang halal atau tidak jelas ketentuan hukumnya (Apriyantono, 2005). Disamping itu, dalam Al Quran yang merupakan pedoman utama umat islam, Allah telah memberikan rambu-rambu yang jelas tentang perintah makanan. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al Baqarah 168, “Hai manusia, makanlah segala sesuatu yang ada di bumi ini yang halal dan baik dan jangan kamu mengikuti jejak setan karena sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu”. Serta di dalam Surat Al-Maidah ayat 88 Allah SWT menyatakan bahwa ”Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezekikan
kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya”. Hal ini mengungkapkan bahwa seseorang hendaknya mengkonsumsi makanan yang halal serta baik kandungan gizinya. Dalam konteks pangan halal ini, tentu kita tidak dapat melepaskan diri dari peranan beberapa lembaga dan instansi yang secara khusus bergerak di bidang pengawasan pangan seperti Badan Pengawas Obat-obatan dan Makanan (Badan POM) dan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI). Badan POM maupun LPPOM MUI sejak awal berdiri hingga sekarang telah banyak melakukan kegiatan sosialisasi berupa seminar dan studi lapang. Mulai dari Seminar Perlindungan dan Keamanan Pangan (1 Desember 1989), Seminar Pemanfaatan Produk Bioteknologi untuk menunjang Produksi Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika (12 September 1991), Seminar Makanan dan Labelisasi Halal serta Mudzakarah Alkohol dalam Produk Minuman. Audit halal dan pengawasan terhadap produk-produk pangan serta penerapan Sistem Jaminan Halal pada industri pangan. Bahkan hingga Maret 2007 LP POM MUI telah mengeluarkan dan menerbitkan lebih dari 3742 sertifikasi halal untuk 10000 produk yang beredar di pasaran (Girindra, 2008). Namun perlu diakui bahwa proses penanganan halal ini masih menemukan beberapa kendala dan tantangan kedepan seperti kejelasan arah kebijakan halal yang ditetapkan, ketersediaan akses terhadap kebijakan yang diterapkan bagi kalangan dunia usaha, tugas dan wewenang setiap stakeholder yang terlibat serta sistem baku penanganan kehalalan produk pangan. Penyelesaian kendala dan tantangan ini diharapkan mampu memberikan kontribusi positif dan manfaat untuk menjaga ketenangan masyarakat dalam kehidupannya sehari-hari. Oleh karena itu, dirasakan perlu adanya suatu kajian untuk melihat kondisi kebijakan saat ini dan harapan kebijakan penanganan kehalalan pangan di Indonesia.
B. TUJUAN Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Mengidentifikasi potensi dan efektivitas kebijakan pangan halal nasional. 2. Mengidentifikasi dan menginventarisasi faktor-faktor berpengaruh kebijakan pangan halal nasional berikut tingkat kepentingannya. 3. Menentukan prioritas kebijakan penanganan kehalalan pangan di Indonesia.
C. KEGUNAAN PENELITIAN Kegunaan penelitian ini adalah: 1. Sebagai masukan bagi pemerintah dalam penyusunan prioritas kebijakan pangan halal nasional. 2. Sebagai informasi bagi stakeholder dalam rangka menunjang/mendukung implementasi kebijakan pangan. 3. Sebagai bahan informasi bagi yang ingin mempelajari kebijakan penanganan kehalalan nasional di Indonesia, sekaligus sebagai bahan perbandingan untuk penelitian selanjutnya yang ada hubungannya dengan penelitian ini.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. PANGAN Pangan di dalam UU No 7 Tahun 1996 pasal 1 didefinisikan sebagai segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumen manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan atau minuman. Sedangkan makanan didefinisikan sebagai semua jenis makanan dan minuman yang beredar/dijual kepada masyarakat, termasuk bahan tambahan makanan dan bahan penolong sebagaimana ditetapkan oleh Menteri Kesehatan RI (Keputusan bersama Menkes dan Menag No. 427/men.kes/ksb/VIII/1985 dan No 68 tahun 1985 pasal 1). Dalam peraturan Menkes No 280/Men.Kes/Per/XI/76 pasal 1, makanan adalah tiap bahan yang diedarkan sebagai makanan manusia, termasuk bahan-bahan yang digunakan sebagai tambahan dalam makanan. Sedangkan Tim Penerbit Buku Pedoman Pangan halal menyatakan bahwa makanan adalah barang yang dimaksudkan untuk dimakan atau diminum oleh manusia serta bahan yang digunakan dalam produksi makanan dan minuman.
B. HALAL Dalam khasanah ilmu (tsaqafah) Islam, hukum asal segala sesuatu (benda) yang diciptakan Allah adalah halal dan mubah. Tidak ada satu pun yang haram, kecuali ada keterangan yang sah dan tegas tentang keharaman bahan tersebut. Hal ini berbeda dengan kaidah perbuatan yang menuntut setiap apapun yang dilakukan manusia dalam hal ini seorang muslim harus terikat dengan hukum syara’ (wajib, sunah, mubah/boleh, makruh, haram). Sebagaimana kaidah fiqh yang menyatakan “Hukum asal bagi setiap benda/barang adalah mubah, selama tidak ada dalil yang mengharamkannya” dan “Hukum asal bagi perbuatan manusia/muslim adalah terikat dengan hukum syara’/Islam” (An-nabani,2001). Kedua kaidah tersebut menyatakan bahwa hukum asal dari benda adalah halal jika tidak ada dalil
yang dengan tegas mengharamkannya dan hukum asal dari perbuatan adalah terikat dengan aturan Islam. Halal berarti boleh, sedangkan haram berarti tidak boleh (Qardhawi, 2000). Selain masalah halal dalam perilaku yang menjadi standar minimal perilaku seorang muslim, Allah SWT juga mengatur halal dalam masalah makanan maupun minuman. Di dalam Qur’an Surat Al-Maidah ayat 3, Allah SWT berfirman bahwa ”Telah diharamkan atas kamu bangkai, darah, daging babi, binatang yang disembelih bukan karena Allah, yang (mati) karena dicekik, yang (mati) karena dipukul, yang (mati) karena jatuh dari atas, yang (mati) karena ditanduk, yang (mati) karena dimakan oleh binatang buas, kecuali yang dapat kamu sembelih dan yang disembelih untuk berhala”. Makanan halal adalah makanan yang dibolehkan memakannya menurut Syariat Islam. Minuman halal adalah minuman yang dibolehkan meminumnya menurut Syariat Islam. Begitu sebaliknya untuk makanan dan minuman haram. Syariat Islam adalah tata aturan agama Islam yang berdasarkan Al Quran dan Al Hadist yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan tuhannya, manusia dengan dirinya sendiri dan manusia dengan sesamanya. Disamping Al Quran dan Al Hadist, sumber Syariat Islam yang lainnya adalah Ijma’ Sahabat dan Qiyas. Termasuk makanan dan minuman halal adalah (1) bukan terdiri dari atau mengandung bagian atau benda dari binatang yang dilarang oleh syariat Islam untuk memakannya atau yang tidak disembelih menurut Syariat Islam, (2) tidak mengandung sesuatu yang dihukumi sebagai najis menurut Syariat Islam, (3) tidak mengandung bahan penolong dan atau bahan tambahan yang diharamkan menurut syariat Islam, (4) dalam proses, menyimpan dan menghidangkan tidak bersentuhan atau berdekatan dengan makanan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana di atas atau benda yang dihukumkan sebagai najis menurut syariat Islam (Tim Penerbit Buku Pedoman Pangan Halal, 2001). Menurut Girindra (2002) yang dimaksud produk halal adalah produk yang memenuhi persyaratan halal sesuai dengan syariat Islam yaitu: (1) tidak mengandung babi dan bahan yang berasal dari babi, (2) tidak mengandung bahanbahan yang diharamkan seperti: bahan-bahan yang berasal dari organ manusia, darah, kotoran-kotoran dan sebagainya, (3) semua bahan yang berasal dari hewan
halal yang disembelih menurut tata cara syariat Islam, (4) semua tempat penyimpanan,
tempat
penjualan,
pengolahan,
tempat
pengelolaan
dan
transportasinya tidak boleh digunakan untuk babi, jika digunakan untuk babi atau barang yang tidak halal lainnya terlebih dahulu harus dibersihkan dengan tatacara yang diatur sesuai syariat Islam, (5) semua makanan dan minuman yang tidak mengandung khamar.
C. PRODUK HUKUM TENTANG PANGAN HALAL Dalam PP No. 69 tahun 1999 pasal 1, pangan halal adalah pangan yang tidak mengandung unsur atau bahan yang haram atau dilarang untuk dikonsumsi umat Islam, baik menyangkut bahan baku pangan, bahan bantu dan bahan penolong lainnya termasuk bahan pangan yang diolah melalui proses rekayasa genetika dan irradiasi pangan dan pengelolaannya dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum agama Islam. Makanan yang halal adalah semua jenis makanan yang tidak mengandung unsur atau bahan yang terlarang/haram dan atau diolah/diproses menurut
agama
Islam
(Keputusan
bersama
Menkes
dan
Menag
No.
427/me.kes/VIII/1985 dan No. 68 tahun 1985 pasal 1). Perkembangan peraturan perundang-undangan terkait pangan halal di Indonesia adalah sebagai berikut : 1. Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 280/Menkes/Per/XI/1976 tentang Ketentuan Peredaran dan Penandaan pada Makanan yang mengandung Bahan berasal dari Babi. Pasal 2 : 1) Pada wadah atau bungkus makanan yang diproduksi di dalam negeri maupun yang berasal dari impor yang mengandung bahan yang berasal dari babi harus dicantumkan tanda peringatan. 2) Tanda peringatan tersebut yang dimaksud pada ayat (1) harus berupa gambar babi dan tulisan yang berbunyi : “MENGANDUNG BABI” dan harus ditulis dengan huruf besar berwarna merah dengan ukuran sekurangkurangnya Universe Medium Corps 12, di dalam garis kotak persegi yang juga berwarna merah.
2. Permenkes RI No. 76/Menkes/Per/III/78 tentang label dan Periklanan Makanan, pasal 2 menyatakan bahwa : Kalimat, kata-kata, tanda lambang, logo, gambar dan sebagainya yang terdapat pada label atau iklan harus sesuai dengan asal, sifat, komposisi, mutu dan kegunaan makanan. 3. Surat Keputusan Bersama antara Menteri Agama dan Menteri Kesehatan No. 427/Menkes/SKB/VIII/1985 dan No. 68/1985 tentang Pencantuman Tulisan “Halal” pada Label Makanan. Pasal 1 : Tulisan
“halal”
adalah
tulisan
yang
dicantumkan
pada
label/penandaan yang memberikan jaminan tentang halalnya makanan tersebut bagi pemeluk agama Islam Pasal 2 :Produsen yang mencantumkan tulisan “halal” pada label atau penandaan
makanan
produknya
bertanggungjawab
terhadap
halalnya makanan tersebut bagi pemeluk agama Islam. Pasal 4 : 1) Pengawasan preventif terhadap ketentuan pasal 2 Keputusan Bersama ini dilakukan oleh Tim Penilaian Pendaftaran Makanan Departemen Kesehatan RI, cq. Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan. 2) Dalam tim penilaian pendaftaran makanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini, diikutsertakan unsur Departemen Agama RI. 3) Pengawasan di lapangan terhadap pelaksanaan ketentuan pasal 2 Keputusan Bersama ini dilakukan oleh aparat Departemen Kesehatan RI. 4. UU No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan, pasal 214 ayat (2) penjelasan butir (d) : Ketentuan lainnya misalnya pencantuman kata atau tanda halal yang menjamin bahwa makanan dan minuman yang dimaksud diproduksi dan diproses sesuai dengan persyaratan makanan. 5. UU No. 7 tahun 1996 tentang Pangan, pasal (34) ayat (1) : Setiap orang yang menyatakan dalam label atau iklan bahwa pangan yang diperdagangkan adalah sesuai dengan persyaratan agama atau kepercayaan
tertentu bertanggung jawab atas kebenaran peryataan berdasarkan persyaratan agama atau kepercayaan tersebut. Penjelasan pasal 34 ayat (1) : Dalam ketentuan ini benar tidaknya suatu pernyataan halal dalam label atau iklan pangan tidak hanya dapat dari segi bahan baku pangan, bahan tambahan pangan, atau bahan bantu lainnya yang digunakan dalam memproduksi pangan, tetapi mencakup pula proses pembuatannya 6. Keputusan Menkes RI No. 82/Menkes/SK/I/1996 tentang Pencantuman Tulisan Halal pada Label Makanan dan perubahannya berupa Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 924/Menkes/SK/VII/1996, beserta peraturan pelaksanaannya berupa Keputusan Dirjen POM No. HK. 00.06.3.00568 tentang Tata Cara Pencantuman Tulisan Halal pada Label Makanan, yang antara lain menjelaskan : a. Persetujuan pencantuman tulisan “halal” pada label makanan diberikan oleh Dirjen POM b. Produk makanan harus terdaftar pada Departemen Kesehatan RI c. Persetujuan Pencantuman label “halal” diberikan setelah dilakukan pemeriksaan dan penilaian oleh Tim yang terdiri dari Departemen Kesehatan, Departemen Agama dan MUI d. Hasil Penilaian Tim Penilai disampaikan kepada Komisi Fatwa MUI untuk dikeluarkan fatwanya, dan akhirnya diberikan Sertifikat Halal e. Persetujuan Pencantuman “halal” diberikan oleh Dirjen POM berdasarkan sertifikat Halal yang berdasarkan MUI f. Persetujuan berlaku selama 2 tahun sesuai dengan sertifikatnya 7. UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu : Pasal 7 butir (b) : Pelaku usaha berkewajiban memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa. Pasal 8 ayat 1 butir (h) : Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal. Sebagaimana pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label.
8. PP No. 69 tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan a. Pasal 10 i. Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan pangan yang dikemas ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan dan menyatakan bahwa pangan tersebut “halal” bagi umat manusia, bertanggung jawab atas kebenaran pernyataan tersebut dan wajib mencantumkan keterangan atau tulisan halal pada label ii. Pernyataan tentang “halal” sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari label b. Pasal 11 i. Untuk mendukung kebenaran pernyataan “Halal” sebagaimana dimaksud dalam pasal 10 ayat (1), setiap orang yang memproduksi atau memasukkan pangan yang dikemas ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan, wajib memeriksakan terlebih dahulu pangan tersebut pada lembaga pemeriksa yang telah diakreditasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. ii. Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan Pedoman dan Tata Cara yang ditetapkan oleh Menteri Agama, dengan memperhatikan pertimbangan dan saran lembaga keagamaan yang memiliki kompetensi di bidang tersebut. c. Pasal 59 Pengawasan terhadap pelaksanaan ketentuan tentang label dan iklan dilaksanakan oleh Menteri Kesehatan d. Pasal 60 i. Dalam melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 59, Menteri
Kesehatan
menunjuk
pejabat
untuk
diserahi
tugas
pemeriksaan. ii. Pejabat pemeriksa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dipilih dan ditunjuk oleh Menteri Kesehatan berdasarkan keahlian tertentu yang dimiliki. iii. Pejabat pemeriksa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Kesehatan.
9. Penjelasan PP No. 69 tahun 1999 pasal 11 ayat 1 menyatakan Pencantuman tulisan halal pada dasarnya bersifat sukarela.
Menurut
Sampurno
(2001),
sanksi
terhadap
pelanggaran
ketentuan
pancantuman label dapat dikenakan : 1. Pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan atau denda paling banyak Rp. 360.000.000,- untuk pelanggaran terhadap UU No. 7 tahun 1996 pasal 34 ayat (1). 2. Tindak pidana penjara sampai 5 (lima) tahun atau denda sampai dua milyar rupiah untuk pelanggaran terhadap UU No. 8 tahun 1999 pasal 8 ayat (1) butir h. 3. Tindakan administratif terhadap pelanggaran PP No. 69 tahun 1999 yang meliputi : •
Peringatan secara tertulis
•
Larangan untuk mengedarkan untuk sementara waktu dan atau perintah untuk menarik produk pangan dari peredaran.
D. SISTEM JAMINAN HALAL Secara umum Sistem Jaminan Halal didefinisikan sebagai sebuah sistem manajemen jaminan proses poduksi halal produk-produk bersertifikat halal. Sedangkan secara spesifik bagi perusahaan, Sistem Jaminan Halal adalah sebuah sistem yang disusun dan dilaksanakan perusahan pemegang sertifikat halal dengan tujuan untuk menjaga kesinambungan proses produksi halal sehingga produk yang dihasilkan dapat dijamin kehalalannya. Pengembangan sistem jaminan halal didasarkan pada konsep total quality management yang terdiri atas empat unsur utama yaitu komitmen, kebutuhan konsumen, peningkatan tanpa penambahan biaya, dan menghasilkan barang setiap waktu
tanpa rework, tanpa reject, dan tanpa inspection. Karena itu dalam
prakteknya, penerapan sistem jaminan halal dapat dirumuskan untuk menghasilkan suatu sistem yang ideal, yaitu zero limit, zero defect dan zero risk (three zero concept). Artinya material haram tidak boleh ada pada level apapun (zero limit), tidak memproduksi produk haram (zero defect), dan tidak ada resiko merugikan
yang diambil bila mengimplementasikan sistem ini (zero risk). Total Quality Management didefinisikan sebagai sebuah sistem dimana setiap orang didalam setiap posisi dalam organisasi harus mempraktekkan dan berpartisipasi dalam manajemen halal dan aktivitas peningkatan produktivitas. Manajemen halal bermula dan berakhir dengan pendidikan yang kontinyu (Apriyantono, 2001).
E. PROSES DAN KERANGKA DALAM ANALISIS KEBIJAKAN Analisis kebijakan merupakan sebuah disiplin ilmu sosial terapan yang menggunakan berbagai metode penelitian dan argumentasi untuk menghasilkan dan memindahkan informasi yang relevan dengan kebijakan sehingga dapat dimanfaatkan di tingkat politik dalam rangka pemecahan masalah (Dunn, 2000). Suatu kebijakan dirumuskan dengan menyaring dan memilih tuntutan yang harus dipenuhi dalam waktu bersamaan, terutama disebabkan jumlah dan kualitas sumberdaya yang terbatas dibanding tuntutan dan kebutuhan itu sendiri. Sekalipun tindakan kebijakan dirancang sedemikian rupa untuk mencapai tujuan-tujuannya, kebijakan tersebut tidak selalu dapat mewujudkan semua kehendak kebijakan, kecuali disebabkan lemahnya daya antisipasi para pembuat kebijakan maupun pendesain program dan proyek. Terganggunya implementasi yang menjadikan tidak tercapainya tujuan kebijakan dimungkinkan juga karena berbagai kondisi lingkungan yang tidak teramalkan sebelumnya. Oleh sebab itu, agar tujuan kebijakan tercapai, perlu diketahui penyebab kegagalan tersebut. Evaluasi kebijakan dilakukan dalam suatu kerangka analitis sangat diperlukan untuk kepentingan ini (Patria, 1999). Masalah kebijakan merupakan nilai, kebutuhan, dan kesempatan yang belum terpenuhi, tetapi dapat diidentifikasi dan dicapai melalui tindakan publik. Informasi mengenai sifat masalah dan pemecahannya dihasilkan melalui prosedur analisis kebijakan. Demikian dapat dipahami bahwa analisi yang dilakukan terhadap suatu kebijakan pada hakikatnya adalah merumuskan, mengevaluasi dan menciptakan alternatif perbaikan terhadap masalah yang timbul dalam suatu kebijakan. Analisis yang dilakukan tidak harus mencakup seluruh aspek kebijakan, namun tergantung pada permasalahan yang berhasil dirumuskan. Selanjutnya setelah masalah-masalah kebijakan dirumuskan, dilakukan langkah evaluasi untuk
mendapatkan informasi mengenai nilai atau harga kebijakan masa lalu dan dimasa yang akan datang. Oleh sebab itu, dapat dilakukan evaluasi dengan berbagai metode penelitian sosial yang tersedia (Patria, 1999). Model proses hierarki analisis merupakan suatu alat analisis untuk memilih suatu alternatif kebijakan yang dapat digunakan untuk menilai kesesuaian kebijakan. Peralatan utamanya adalah Analytical Hierachy Process (AHP).
F. PROSES HIERARKI ANALISIS Metode Proses Hierarki Analitik (Analytical Hierarchy Process) yang selanjutnya disebut AHP pertama kali dikembangkan oleh Thomas L. Saaty, ahli matematika dari University of Pitsburg, Amerika Serikat pada awal tahun 1970-an. Pengamatan mendasar tentang sifat manusia, pemikiran analitik, dan pengukuran membawa pada pengembangan suatu model yang berguna untuk memecahkan persoalan secara kuantitatif. Proses Hierarki Analitik adalah suatu model yang luas yang memberikan kesempatan pada perorangan atau kelompok untuk membangun gagasan-gagasan dan mendefinisikan persoalan dengan cara membuat asumsi mereka masing-masing dan memperoleh pemecahan yang diinginkan darinya. Dirancang untuk lebih menampung sifat alamiah manusia ketimbang memaksa kita ke cara berpikir yang mungkin justru berlawanan dengan hati nurani, AHP merupakan cara yang ampuh untuk menanggulangi berbagai persoalan yang kompleks. Menurut Saaty (1986), AHP baik digunakan untuk menyusun model problem dan pendapat sehingga permasalahan yang ada dapat dinyatakan secara jelas, dievaluasi, diperbincangkan, dan diprioritaskan untuk dikaji. Proses AHP memberikan suatu kerangka pengambilan keputusan yang efektif terhadap persoalan kompleks dengan jalan menyederhanakan dan mempercepat proses pengambilan suatu keputusan. Pada dasarnya, metode AHP ini memilah-milah suatu situasi yang kompleks, tidak terstruktur ke dalam bagian-bagian tertentu; menata bagian atau variabel ini dalam suatu susunan hierarki. Melalui serangkaian kegiatan sistematis, AHP mensintesis penilaian-penilaian menjadi suatu taksiran menyeluruh dari prioritas-prioritas relatif dari berbagai alternatif tindakan dengan memberikan nilai numerik pada pertimbangan subjektif tentang relatif pentingnya
setiap variabel dan mensintesis berbagai pertimbangan ini untuk menetapkan variabel mana yang memiliki tingkat prioritas paling tinggi dan bertindak untuk mempengaruhi hasil pada situasi tersebut. Metode AHP ditujukan untuk memodelkan perihal tak terstruktur, baik dalam bidang ekonomi, sosial, maupun manajemen. Penerapan AHP sedapat mungkin menghindari adanya penyederhanaan dengan membuat asumsi-asumsi agar diperoleh model yang representatif. Penerapan AHP membuka kesempatan adanya perbedaan pendapat dan konflik sebagaimana yang ada dalam kenyataan seharihari, dalam usaha mencapai konsensus (Eryatno, 1996). Sebagaimana penelitian Oktorio
(2004)
tentang
pemberian
insentif
untuk
pemanfaatan
limbah
menunjukkan bahwa perbedaan prioritas insentif disebabkan oleh perbedaan kepentingan yang dibawa oleh masing-masing stakeholder. Proses Hierarki Analitik dapat digunakan untuk merangsang timbulnya gagasan untuk melakukan tindakan kreatif dan mengevaluasi keefektifan setiap keputusan. Selain itu, untuk membantu para pemimpin meletakkan informasi apa yang patut dikumpulkan guna mengevaluasi faktor-faktor yang relevan dalam situasi yang kompleks. Proses Hierarki Analitik juga dapat digunakan untuk melacak ketidak konsistenan pertimbangan dan preferensi peserta sehingga pemimpin mampu menilai mutu pengetahuan para pembantu mereka dan kemantapan pemecahan itu (Saaty, 1986). Metode AHP mengenal tiga prinsip dalam memecahkan persoalan dengan analisis logis eksplisit, yaitu: 1. Prinsip penyusunan hierarki Melakukan identifikasi dari yang diamati, mempersepsikan gagasan dengan menggunakan seperangkat pengetahuan dan metode tertentu yang
kemudian
menjadi elemen-elemen pokok dari setiap persoalan sampai pada sub-bagian yang terkecil (tersusun secara hierarki) yang berkaitan dengan realitas yang diamati (menjadi pokok permasalahan). Metode ini memiliki bagian-bagian (hierarki) yang terdiri dari lima sampai sembilan level. Prinsipnya bahwa realitas yang heterogen tersebut dipecahkan dalam bagian-bagian yang sama sifat homogenitasnya sehingga informasi dapat dipadukan ke dalam struktur suatu masalah yang membentuk gambaran lengkap dari keseluruhan sistem.
2. Prinsip penetapan prioritas Penetapan prioritas yang dimaksud adalah menentukan peringkat elemenelemen menurut tingkat kepentingannya. Tahap terpenting dari AHP ini adalah menggunakan penilaian dengan teknik komparasi berpasangan (pairwise comparison) terhadap
elemen-elemen keputusan pada suatu tingkat hierarki
keputusan. Penilaian ini dilakukan dengan menggunakan nilai skala pengukuran yang dapat membedakan setiap pendapat yang mempunyai keteraturan sehingga memudahkan proses transformasi dalam perhitungan matematis dari bentuk pendapat (kualitatif) ke bentuk nilai angka (kuantitatif). 3. Prinsip konsistensi logis Konsistensi logis menjamin bahwa semua elemen dikelompokkan secara logis dan diperingatkan secara konsisten sesuai dengan kriteria yang logis. Proses Hierarki Analitik dapat digunakan dengan tingkat keandalan tinggi dalam bidang perencanaan, penentuan prioritas, dan alokasi sumberdaya. Proses Hierarki Analitik menghasilkan pemodelan tunggal yang sederhana, mudah dimengerti, luwes, dan dinamis (Saaty, 1986).
III. METODE PENELITIAN
A. LOKASI DAN WAKTU PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia khususnya di kota Bogor dan Jakarta sebagai tempat domisili responden yaitu Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Jakarta; Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia, Bogor; Badan Pengawas Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika, Jakarta; Direktorat Pengawasan dan Pengendalian Mutu Barang Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri Departemen Perdagangan RI, Jakarta; Departemen Pertanian RI, Jakarta; Dewan Perwakilan Rakyat RI, Jakarta; Departemen Agama RI, Jakarta dan Institut Pertanian Bogor, Bogor. Penelitian ini dilaksanakan selama lima bulan, Maret sampai dengan Juli 2008.
B. DESAIN PENELITIAN Desain yang digunakan pada penelitian ini adalah penelitian deskriptif sesuai dengan tujuan penelitian untuk menguraikan sifat-sifat suatu keadaan. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode survei pada sejumlah responden yang merupakan stakeholder kebijakan terutama konsumen dengan tingkat pendidikan minimal sarjana yang berada di Bogor dan Jakarta. Wawancara pada penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan informasi tentang isu strategis penanganan kehalalan pangan yang akan digunakan sebagai acuan identifikasi atribut hierarki pada proses AHP. Atribut hierarki selanjutnya digunakan dalam wawancara pada proses AHP terhadap beberapa responden ahli yang dianggap sebagai pakar dalam kebijakan pangan halal nasional. Proses ini diperlukan untuk mendapatkan informasi tentang aspirasi dan persepsi stakeholder terhadap kebijakan penanganan kehalalan di Indonesia.
Identifikasi Isu strategis Penanganan Kehalalan Pangan Nasional
Acuan Identifikasi Atribut Hierarki
Analitycal Hierarchy Process (AHP)
Alternatif Prioritas Kebijakan Penanganan Kehalalan Pangan Nasional
Gambar 1. Bagan pendekatan penentuan alternatif dan prioritas kebijakan penanganan kehalalan pangan dengan teknik AHP Data penelitian dikumpulkan melalui wawancara dengan responden dan studi pustaka. Penelitian deskriptif bertujuan untuk membuat pernyataan secara sistematis dan akurat mengenai data yang diperoleh selama penelitian.
C. TAHAPAN PENELITIAN Penelitian dilakukan dalam beberapa tahapan sesuai gambar 2. Penentuan Judul dan Tujuan Penelitian
Studi Pustaka
Pengumpulan Data
Analisis Data
Penyesuaian Alternatif Kebijakan
Kesimpulan
Gambar 2. Bagan tahapan penelitian.
D. PENGUMPULAN DATA 1. Data Sekunder. Data sekunder pada penelitian ini didapatkan dengan menggunakan metode studi pustaka. Metode ini dilakukan dengan cara membaca, mempelajari, dan mengutip pendapat dari berbagai sumber untuk mendapatkan data yang mendukung data penelitian. Data sekunder diperlukan untuk mengetahui kondisi saat ini tentang implementasi kebijakan pangan halal nasional di Indonesia. Data sekunder antara lain mengenai: •
Jumlah perusahaan industri pangan berdasarkan klasifikasi lapangan usaha Indonesia dan skala usaha (besar, sedang, kecil, dan rumahtangga).
•
Jumlah perusahaan yang telah memperoleh sertifikat halal.
Sumber data sekunder adalan Biro Pusat Statistik (BPS) dan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI).
2. Data Primer Data primer didapatkan melalui beberapa tahapan penelitian. Tahapan pertama pengumpulan data dilakukan untuk mendapatkan informasi tentang isu strategis penanganan kehalalan pangan yang akan dijadikan sebagai bahan acuan identifikasi atribut hierarki pada proses selanjutnya. Metode yang digunakan pada tahapan ini adalah survei pada sejumlah responden yang merupakan stakeholder kebijakan pangan halal terutama konsumen. Beberapa poin yang digali pada tahapan ini adalah persepsi tentang kondisi kebijakan
penanganan
kehalalan
pangan
nasional,
pihak-pihak
yang
bertanggung jawab dan memiliki kepentingan terhadap kebijakan, tujuan yang ingin dicapai dari penerapan sebuah kebijakan, dan saran kebijakan penanganan kehalalan pangan yang harus ditetapkan ke depan. Poin-poin ini dirumuskan dalam sebuah discussion guide yang digunakan pada wawancara mendalam (indepht interview). Adapun rincian discussion guide dapat dilihat pada lampiran 7. Responden pada tahapan ini adalah stakeholder kebijakan terutama konsumen dengan tingkat pendidikan minimal sarjana yang berada di Bogor dan Jakarta yang berjumlah 16 orang yang mewakili elemen pengamat, akademisi, dunia usaha, dan konsumen (mahasiswa dan ibu rumah tangga) sebagaimana terlihat pada lampiran 6. Penentuan responden ini menggunakan teknik purposive sampling sesuai dengan kebutuhan penelitian yaitu untuk menggambarkan
penanganan
kehalalan
pangan
sebagaimana
adanya,
memperoleh pemahaman, dan menggembangkan suatu penjelasan teoritis tentangnya. Tujuan ini menjadikan dalam pemilihan responden, pemilihan tidak mengutamakan patokan keterwakilan populasi, melainkan keterwakilan aspek permasalahan. Sebagai implikasinya, responden harus dipilih secara sengaja (purposif) dan lazimnya dalam jumlah kecil (Sitorus, 1998).
Tahapan selanjutnya digunakan metode survei dengan Proses Hierarki Analisis atau Analytical Hierarchy Process (AHP). Tahapan ini dilakukan untuk mendapatkan informasi tentang aspirasi dan persepsi pakar dalam kebijakan pangan halal yang dijadikan responden ahli terhadap kebijakan penanganan kehalalan pangan di Indonesia. Kuesioner pada tahapan ini berisi pernyataan tertulis mengenai prioritas kebijakan yang dirasa penting oleh responden dengan membandingkan tingkat kepentingan secara berpasangan antara faktor-faktor yang tersedia. Pertanyaan yang terdapat dalam kuesioner diajukan secara langsung kepada responden melalui wawancara. Adapun rincian kuesioner dapat dilihat pada lampiran 8. Wawancara pada tahapan ini dilakukan dengan beberapa orang pakar kebijakan pangan halal yang dijadikan responden ahli dengan kriteria yaitu pemerintahan/eksekutif, legislatif, konsumen, dan akademisi. Secara umum pihak yang dijadikan responden dalam tahapan ini adalah ahli dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Jakarta; Lembaga Pengkajian Pangan, Obatobatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia, Bogor; Badan Pengawas Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika, Jakarta; Departemen Perdagangan RI, Jakarta; Departemen Pertanian RI, Jakarta; Dewan Perwakilan Rakyat RI, Jakarta; Departemen Agama RI, Jakarta dan Institut Pertanian Bogor, Bogor. Ahli yang diwawancarai sebanyak delapan orang, yaitu: 1. Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Jakarta 2. Kepala Sub Bidang Pangan Halal Badan Pengawas Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika, Jakarta 3. Pengurus dan Auditor Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia, Bogor. 4. Kepala Laboratorium Uji Kehalalan Produk Direktorat Pengawasan dan Pengendalian Mutu Barang Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri Departemen Perdagangan RI, Jakarta 5. Kepala Sub Bidang Keamanan Pangan Departemen Pertanian RI, Jakarta. 6. Kepala Sub Bidang Produk Halal Departemen Agama RI, Jakarta. 7. Anggota Komisi XIII DPR RI, Jakarta.
8. Dosen/Staf Pengajar Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor, Bogor.
E. ANALISIS DATA Analisis Deskriptif Analisis ini digunakan untuk menggambarkan kondisi umum penanganan kehalalan pangan di Indonesia saat ini, berupa faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan yang mendukung analisis data selanjutnya. Analisis data pada penelitian ini dilakukan dengan reduksi data yaitu pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, dan transformasi data kasar yang muncul dari wawancara mendalam yang dilakukan untuk mendapatkan acuan identifikasi atribut hierarki. Sebagaimana menurut Sitorus, reduksi data dilakukan dengan meringkas data, mengkode, dan menyajikan dalam tabel.
Analisis dengan AHP Analisis data dilakukan dengan menggunakan metode AHP. Analisis ini dilakukan secara bertahap dan sistematis dengan mengurutkan prioritas berbagai faktor berpengaruh terhadap penanganan kehalalan pangan nasional yang didapatkan dari penggalian isu strategis yang menjadi acuan atribut hierarki. Perhitungan dalam analisis ini berasal dari hasil isian kuesioner responden ahli. Analisis data dilakukan dengan menggunakan program komputer Expert choice 2000 for Windows. Diagram alir AHP dapat di lihat pada gambar 3. Adapun langkah-langkah penggunaan AHP dalam penelitian ini adalah: 1) Membuat Struktur Hierarki Masalah yang akan diselesaikan diuraikan menjadi unsur-unsur yang pada penelitian ini disesuaikan dengan hasil penggalian isu strategis berupa acuan atribut hierarki, yaitu level 0 untuk fokus, level 1 untuk tujuan , level 3 untuk aktor, level 4 untuk subaktor, dan level 5 untuk alternatif. Struktur hierarki ditunjukkan pada Gambar 3.
Studi Kebijakan Penanganan Kehalalan Pangan di Indonesia
Fokus
Tujuan
T1
Aktor
A1
Alternatif
S1
A3
A2
S2
T4
T3
T2
S3
S4
A4
S5
Gambar 3. Struktur hierarki pemilihan kebijakan pangan
T6
T5
A5
S6
S7
penanganan kehalalan
Tujuan yang perlu ditetapkan pada pembuatan kebijakan pangan halal nasional ditunjukkan dengan T1, T2, T3, T4, T5, dan T6. Mengacu pada penggalian isu strategis yang dilakukan untuk menggali isu strategis tentang tujuan diterapkannya kebijakan pangan halal nasional yaitu: T1
= Adanya jaminan halal bagi konsumen (muslim) terhadap produk pangan yang beredar.
T2
= Adanya kepastian/jaminan halal terhadap produk pangan yang memiliki label halal
T3
= Adanya jaminan ketersediaan pangan halal di tengah-tengah masyarakat
T4
= Peningkatan perkembangan dunia usaha (industri pangan) dengan meningkatnya nilai jual (pemasaran) produk
T5
= Munculnya kesadaran halal (terutama untuk makanan) di tengahtengah masyarakat
T6
= Munculnya kesadaran produsen (industri pangan) untuk memberikan jamiman halal terhadap produknya
Aktor yang terlibat dan bertanggungjawab pada kebijakan pangan halal ditunjukkan dengan A1, A2, A3, A4, dan A5 dimana masing-masing mewakili stakeholder yaitu: A1
= Pemerintah
A2
= Legislatif
A3
= Dunia Usaha
A4
= Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI)
A5
= Konsumen
Bagian akhir struktur merupakan Alternatif Strategi. Strategi penanganan kehalalan pangan ditunjukkan dengan S1, S2, S3, S4, S5, S6, dan S7 yaitu: S1 = Penerapan kebijakan pangan halal (sertifikasi dan labelisasi) yang difasilitasi oleh pemerintah sehingga menyentuh semua level industri pangan (khususnya UMKM) S2 = Peningkatan sosialisasi dan edukasi hidup halal kepada semua lapisan masyarakat melalui sarana-sarana komunikasi (jurnal, website, sms) dan pembentukan pilot project halal (zona halal dan komunitas peduli halal) S3 = Peningkatan konsultasi dan pembinaan yang kontinyu terhadap produsen/industri pangan terhadap produknya S4 = Penerapan kebijakan label haram (untuk produk haram) S5 = Peningkatan pelaksanaan Sistem Jaminan Halal di tengah-tengah industri pangan S6 = Penerapan sanksi hukum yang tegas kepada terhadap pihak yang melanggar kebijakan halal S7 = Pemberdayaan masyarakat dalam pelaksanaan kebijakan halal 2) Komparasi Berpasangan Langkah kedua adalah komparasi berpasangan, yakni membandingkan setiap elemen dengan elemen lainnya pada setiap tingkat skala komparasi yang berdasarkan penilaian Saaty (1986). Tingkat validitas pendapat tergantung pada konsistensi dan akurasi pendapat. Skala komparasi Saaty dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Skala komparasi berpasangan Tingkat Definisi Kepentingan 1 Sama penting 3 Sedikit lebih penting 5 Jelas lebih penting 7 Sangat jelas lebih penting 9 Pasti/mutlak lebih penting(kepentingan yang ekstrim) 2,4,6,8 Jika ragu-ragu antara dua nilai yang berdekatan 1/(1-9) Kebalikan nilai tingkat kepentingan dari skala 1-9 Sumber: Saaty (1986) 3) Pengukuran Konsistensi Pengukuran konsistensi dilakukan sebagai syarat apakah prioritas yang didapat dari strategi dan alternatif merupakan penilaian yang logis. Nilai rasio konsistensi yang lebih kecil atau sama dengan 0,1 merupakan nilai yang mempunyai tingkat konsistensi baik dan dapat dipertanggungjawabkan. Dengan demikian nilai rasio konsistensi merupakan tolak ukur bagi konsisten atau tidaknya suatu hasil komparasi berpasangan dalam suatu matriks pendapat (Saaty, 1986).
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. KONDISI KEBIJAKAN PANGAN HALAL SAAT INI Hasil penggalian isu strategis kebijakan pangan halal yang dilakukan dengan wawancara mendalam (indepht interview) untuk melihat kondisi saat ini tentang kebijakan penanganan kehalalan pangan di Indonesia menunjukkan masih terdapat banyak persepsi ditengah-tengah masyarakat mengenai eksistensi dan efektivitas kebijakan. Melalui analisis deskriptif yang dilakukan terhadap data yang ada, didapatkan lima isu strategis yang menjadi persepsi mayoritas responden seperti terlihat pada Tabel 2. Tabel 2. Isu strategis tentang kondisi kebijakan penanganan kehalalan pangan No Isu Strategis 1
Masih menimbulkan hambatan aksesibilitas (terutama dari sisi biaya) bagi industri pangan terutama industri menengah, kecil dan rumah tangga.
2
Implementasi kebijakan penanganan kehalalan pangan masih kurang efektif disebabkan gerak tim gabungan (instansi terkait yang menjadi pelaksana) belum terpadu.
3
Karena upaya pemerintah belum maksimal untuk memfasilitasi aksesibilitas dunia usaha pangan untuk memperoleh sertifikasi halal maka kebijakan yang ada saat ini masih relevan untuk diterapkan.
4
Belum memiliki kekuatan hukum yang jelas dan mengikat.
5
Kebijakan yang diterapkan saat ini masih belum tersosialisasikan dengan baik ke masyarakat terutama kepada industri pangan sebagai pelaku utama (produsen).
Kebijakan pangan halal saat ini secara aplikasi ditangani oleh tim gabungan yang terdiri dari tiga unsure instansi yaitu LPPOM MUI, Badan POM, dan Departemen Agama. Adanya tim gabungan dalam penanganan kehalalan pangan terutama pada proses audit produk untuk sertifikasi halal ini sering menimbulkan permasalahan tersendiri di lapangan. Hasil penelitian Marina (2003) tentang sistem sertifikasi dan labelisasi halal di Indonesia mengungkapkan bahwa adanya tim gabungan dari tiga instansi dalam proses ini telah menimbulkan kesulitan tersendiri terutama dalam hal pengerahan tenaga dan pengaturan waktu, misalnya untuk audit ke daerah. Adanya tim gabungan ini dirasakan telah memperpanjang birokrasi dan meningkatkan biaya produksi.
Kebijakan penanganan kehalalan pangan yang belum sepenuhnya difasilitasi pemerintah menjadikan kebijakan yang ada saat ini masih relevan meskipun mengakibatkan biaya produksi yang dikeluarkan industri pangan meningkat. Di sisi lain, pihak industri pangan baru bisa mendapatkan sertifikat halal setelah melunasi seluruh biaya sertifikasi yang telah ditentukan sebelumnya. Hal inilah yang menjadi salah satu faktor penyebab masih belum efektifnya kebijakan penanganan kehalalan pangan disamping proses sosialisasi tentang pentingnya kehalalan pangan pada masyarakat terutama industri. Marina (2003) menyatakan dalam laporan penelitiannya bahwa kebijakan penanganan kehalalan pangan yang menyangkut sertifikasi dan labelisasi sampai saat ini masih belum efektif. Hingga tahun 2001, baru 315 perusahaan atau sekitar 0.36% yang telah memiliki sertifikat halal. Tahun 2002, dengan asumsi jumlah industri tidak bertambah, efektivitas baru mencapai 0.71% (624 perusahaan). Efektivitas
ini akan semakin rendah jika sasaran sertifikasi juga mencakup
industri rumah tangga, restoran, rumah makan dan jasa boga, dimana efektivitas baru mencapai 0.07%. Setelah berjalan kurang lebih 10 tahun (2006), efektivitas kebijakan ini tidak mengalami perkembangan signifikan. Jumlah industri pangan yang merupakan gabungan industri besar, sedang, kecil, dan industri rumah tangga sebanyak 1.209.172 perusahaan dan yang sudah tersertifikasi sebanyak 847 perusahaan maka efektivitas kebijakan mencapai 0.07 %. Tabel 3. Jumlah industri pangan tahun 2004-2006 a Besar dan Tahun Kecil Rumahtangga Total sedang 2004 4.638 67.822 802.555 875.015
a
Tersertifikasi halal* 723
0.080
(%)
2005
4.722
69.134
959.122
1.032.978
776
0.075
2006
5.478
67.144
1.136.550
1.209.172
847
0.070
BPS, *LPPOM MUI 2008 Berdasarkan data pertumbuhan industri pangan dan implemetasi kebijakan
penanganan kehalalan pangan terutama sertifikasi dan labelisasi pada industri yang terdapat pada Tabel 3, terlihat bahwa kebijakan penanganan halal di Indonesia saat ini memerlukan perbaikan agar efektivitas penerapan kebijakan sesuai dengan harapan. Perbaikan tersebut meliputi beberapa hal, yaitu kejelasan instansi
pemegang otoritas serta peranannya dalam penetapan dan penerapan kebijakan penanganan kehalalan pangan, kejelasan tujuan/sasaran yang ingin dihasilkan dari sebuah kebijakan yang diterapkan, dan alternatif strategi kebijakan yang harus ditetapkan dalam penanganan kehalalan pangan. Hasil penelitian juga memunculkan beberapa isu strategis dan faktor yang berpengaruh terhadap penetapan dan penerapan kebijakan yang bisa dilihat pada Tabel 4. Hasil ini kemudian dijadikan sebagai acuan identifikasi atribut hierarki pada proses AHP untuk mengetahui persepsi pakar kebijakan tentang penetapan dan penerapan kebijakan penanganan kehalalan pangan. Tabel 4. Faktor berpengaruh dan isu strategis tentang penanganan kehalalan pangan nasional. No Faktor/ Isu Strategis Goal/tujuan yang ingin dihasilkan dari sebuah kebijakan yang diterapkan 1 2 3 4 5 6
Adanya jaminan halal bagi konsumen (muslim) terhadap produk pangan yang beredar. Adanya kepastian/jaminan halal terhadap produk pangan yang memiliki label halal Adanya jaminan ketersediaan pangan halal pada masyarakat Peningkatan perkembangan dunia usaha (industri pangan) dengan meningkatnya nilai jual (pemasaran) produk Munculnya kesadaran halal (terutama untuk makanan) di tengah-tengah masyarakat Munculnya kesadaran produsen (industri pangan) untuk memberikan jamiman halal terhadap produknya
Aktor pemegang otoritas dalam penetapan dan penerapan kebijakan penanganan kehalalan pangan 1 2 3 4 5
Pemerintah Legislatif Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) Konsumen Dunia Usaha
Alternatif strategi kebijakan yang harus di tetapkan dalam penanganan kehalalan pangan 1 2
3 4 5 6 7
Penerapan kebijakan pangan halal (sertifikasi) yang difasilitasi oleh pemerintah sehingga menyentuh semua level industri pangan (khususnya UMKM) Peningkatan sosialisasi dan edukasi hidup halal kepada semua lapisan masyarakat melalui sarana-sarana komunikasi (jurnal, website, sms) dan pembentukan pilot project halal (zona halal dan komunitas peduli halal) Peningkatan konsultasi dan pembinaan yang kontinyu terhadap produsen/industri pangan terhadap produknya Penerapan kebijakan label haram (untuk produk haram) Peningkatan pelaksanaan Sistem Jaminan Halal di kalangan industri pangan Penerapan sanksi hukum yang tegas terhadap terhadap pihak yang melanggar kebijakan halal Pemberdayaan masyarakat dalam pelaksanaan kebijakan halal
B. PERUMUSAN PRIORITAS KEBIJAKAN PENANGANAN KEHALALAN PANGAN Tujuan Penerapan Kebijakan Penanganan Kehalalan Pangan Analisis kebijakan pangan halal, dalam hal ini tujuan penerapan kebijakan dilakukan berdasarkan hasil penetapan bobot dan prioritas untuk setiap elemen dari struktur hierarki yang telah dikonstruksi. Penetapan nilai prioritas untuk setiap elemen tersebut diperoleh dari hasil perhitungan terhadap pendapat yang diberikan responden yang dianggap memahami permasalahan yang akan dipecahkan. Tujuan penerapan kebijakan penanganan kehalalan pangan di Indonesia dikelompokkan dalam enam capaian besar yaitu (1) adanya jaminan halal bagi konsumen (muslim) terhadap produk pangan yang beredar, (2) adanya kepastian/jaminan halal terhadap produk pangan yang memiliki label halal, (3) adanya jaminan ketersediaan pangan halal pada masyarakat, (4) peningkatan
perkembangan
dunia
usaha
(industri
pangan)
dengan
meningkatnya nilai jual (pemasaran) produk, (5) munculnya kesadaran halal (terutama untuk makanan) di tengah-tengah masyarakat, (6) munculnya kesadaran produsen (industri pangan) untuk memberikan jamiman halal terhadap produknya. Hasil perhitungan nilai prioritas elemen tujuan penerapan kebijakan dengan menggunakan program komputer untuk Analisis AHP Expert Choice 2000 for Windows secara keseluruhan dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Nilai prioritas elemen tujuan penerapan kebijakan. Urutan
Tujuan
1
(T6)
2
(T1)
3
(T2)
4
(T3)
5
(T5)
6
(T4)
Rasio Inkonsistensi
Munculnya kesadaran produsen (industri pangan) untuk memberikan jamiman halal terhadap produknya Adanya jaminan halal bagi konsumen (muslim) terhadap produk pangan yang beredar. Adanya kepastian/jaminan halal terhadap produk pangan yang memiliki label halal Adanya jaminan ketersediaan pangan halal pada masyarakat Munculnya kesadaran halal (terutama untuk makanan) di tengah-tengah masyarakat Peningkatan perkembangan dunia usaha (industri pangan) dengan meningkatnya nilai jual (pemasaran) produk
Nilai Prioritas 0.236 0.196 0.196 0.165 0.156 0.051 0.01
Tabel 5. menunjukkan bahwa prioritas tertinggi penentuan tujuan penerapan kebijakan penanganan kehalalan pangan adalah munculnya kesadaran produsen (industri pangan) untuk memberikan jaminan halal terhadap produknya (nilai 0.236). Kesadaran produsen untuk menjamin kehalalan produk yang dihasilkan sangat penting karena produsen adalah pihak yang memegang peranan kunci dalam produksi pangan. Tanpa adanya kesadaran atau minimal keinginan dari produsen untuk menjaga atribut mutu (halal) produk pangan yang dihasilkan, maka setiap kebijakan yang diterapkan tetap tidak akan berjalan secara efektif meskipun mengandung konsekuensi tertentu terhadap pelanggarnya. Sampai saat ini, pangan merupakan sektor usaha yang dianggap sangat menjanjikan oleh kalangan dunia usaha. Hal ini terbukti dari data BPS yang menunjukkan bahwa jumlah total industri pangan baik makanan dan minuman berdasarkan klasifikasi lapangan usaha Indonesia mengalami peningkatan setiap tahunnya. Tabel 3 menunjukkan perkembangan industri pangan berdasarkan skala industrinya dalam kurun waktu tiga tahun terakhir (2004-2006). Meskipun pada tahun 2005 mengalami penurunan rata-rata 2.88% untuk industri kecil, namun secara keseluruhan industri pangan mengalami pertumbuhan rata-rata pertahun sebesar 17.56 % (BPS,2007). Prospek dan peningkatan pertumbuhan industri pangan ini sudah selayaknya diimbangi dengan dengan kesadaran para pelaku dunia usaha untuk memberikan perlindungan terhadap konsumen (khususnya halal) sebagai salah satu bentuk palayanan disamping motif utama untuk mencari keuntungan. Adanya kesadaran pelaku dunia usaha, diharapkan tidak akan ditemukan lagi kasus kecurangan dalam industri pangan khususnya tentang kehalalan produk, untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya tanpa memperhatikan kepentingan konsumen. Berdasarkan itulah mengapa para responden yang merupakan pakar kebijakan pangan nasional menempatkan kesadaran produsen ini sebagai prioritas utama. Prioritas kedua yaitu adanya jaminan halal bagi konsumen (muslim) terhadap produk pangan yang beredar dan adanya kepastian/jaminan halal terhadap produk pangan yang memiliki label halal. Kedua prioritas ini memiliki nilai yang sama yaitu 0.196. Jaminan halal bagi konsumen muslim terhadap produk pangan yang beredar merupakan sebuah konsekuensi logis diterapkannya kebijakan penanganan
kehalalan pangan. Diterapkannya kebijakan penanganan kehalalan pangan secara konsisten
diharapkan
mampu
untuk
menciptakan
ketenangan
beraktivitas/konsumsi masyarakat muslim sebagai salahsatu wujud perlindungan konsumen. Jaminan halal ini tidak hanya berlaku pada produk yang beredar di tengah-tengah masyarakat, namun juga ditekankan pada produk pangan yang telah mencantumkan label halal. Marina (2003) menyatakan bahwa terdapat produk pangan dipasaran yang mencantumkan label halal namun tidak memiliki sertifikat halal. Prioritas selanjutnya berturut-turut
adalah adanya jaminan ketersediaan
pangan halal di tengah-tengah masyarakat (nilai 0.165) dan munculnya kesadaran halal (terutama untuk makanan) di tengah-tengah masyarakat (nilai 0.156). Jaminan ketersediaan pangan halal erat hubungannya dengan kebijakan ditetapkan dan merupakan tindaklanjut dari penetapan prioritas utama tujuan penetapan kebijakan. Kesadaran produsen untuk menjamin kehalalan produk pangan yang dihasilkan diharapkan bisa menjawab tuntutan ketersediaan pangan halal di tengah-tengah masyarakat disamping penetapan kebijakan yang menyangkut ketahanan pangan dan penanganan kehalalan pangan. Selain itu, kesadaran halal pada masyarakat merupakan faktor pendukung ketersediaan pangan halal. Penelitian Nurul (2007) menyebutkan bahwa sebagian besar konsumen (54%) tidak menjadikan halal sebagai pertimbangan utama. Lemahnya kesadaran masyarakat menjadi hambatan tersendiri bagi upaya penyediaan pangan halal. Oleh karenanya alternatif kebijakan pananganan kehalalan pangan kedepan juga harus mempertimbangkan aspek sosialisasi dan edukasi. Peningkatan perkembangan dunia usaha terutama dengan meningkatnya nilai penjualan dan pemasaran produk pangan menempati prioritas terakhir dalam penentuan tujuan penerapan kebijakan pangan yaitu 0.051. Penilaian ini sangat wajar dikarenakan posisi para pengusaha pangan khususnya usaha besar (Multinational Company) sangat kuat ditengah mulai tumbuhnya kesadaran halal di tengah-tengah konsumen muslim. Tumbuhnya kesadaran ini berakibat pada permintaan akan produk-produk halal baik dalam negeri maupun global terus mengalami peningkatan. Peningkatan pasar produk halal dalam negeri akan terus meningkat karena mayoritas penduduk Indonesia beraga Islam (88%).
Sementara itu, besarnya penduduk muslim dunia yang tersebar di beberapa negeri muslim dan negara besar di Eropa dan Amerika menjadi pasar yang sangat potensial bagi produk halal. Volume perdagangan di pasar Asia Tenggara menunjukkan bahwa pada tahun 2006 ekspor produk halal mencapai 100 juta dollar. Jumlah ini mengalami peningkatan 100% dibandingkan tahun sebelumnya, yang hanya mencapai 50 juta dollar. Sementara volume perdagangan produk halal dunia mencapai angka 200 milyar dollar. Data lain menyebutkan bahwa industri produk halal mencapai 547 milyar dollar dan dalam waktu dekat mencapai 1 trilyun dollar (www.isei.or.id) bahkan untuk Uni Eropa potensi pasar yang dimiliki produk halal nilainya mencapai 15 milyar euro.
Aktor Penerapan Kebijakan Penanganan Kehalalan Pangan Pemerintah memiliki peran yang sangat strategis dalam penetapan dan pelaksanaan kebijakan penanganan kehalalan pangan di Indonesia. Bersadarkan hasil penilain prioritas aktor kebijakan pangan halal, pemerintah memiliki nilai tertinggi (0.236) disusul legislatif dengan nilai (0.199). Hal ini sesuai dengan isu strategis kebijakan pangan halal yang ditemukan pada tahap awal. Kebijakan pangan yang diterapkan saat ini seringkali mendapatkan permasalahan dalam tataran aplikasi. Salah satu faktor penyebabnya adalah belum adanya payung hukum yang jelas mengenai penanganan kehalalan pangan. Saat ini, penanganan kehalalan masih berlindung pada Undang-undang No. 7 tentang Pangan dan Peraturan Pemerintah No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan serta beberapa peraturan
pelaksanaan
lainnya
seperti
Menteri
Kesehatan
RI
No.
924/Menkes/SK/VII/1996 tentang Pencantuman Tulisan Halal pada Label Makanan dan nota kesepahaman beberapa instansi terkait. Kondisi ini mengakibatkan munculnya pertanyaan pada beberapa kalangan mengenai kerangka penjaminan kehalalan pangan yang menyangkut standar baku penanganan kehalalan pangan (hulu-hilir), instansi yang terlibat berikut ruang lingkup kewenangannya, dan konsekuensi terhadap pelanggaran pangan halal. Diperlukan sebuah payung hukum yang jelas dan tegas mengenai penanganan
kehalalan pangan oleh lembaga yang memiliki wewenang yaitu pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai lembaga legislatif. Pemunculan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Jaminan Produk Halal yang diinisiasi oleh pemerintah merupakan kebijakan yang ditempuh oleh negara (melalui lembaga atau pejabatnya untuk menetapkan hukum, mana yang perlu diganti atau perlu diubah, atau hukum mana yang perlu dipertahankan, atau hukum mengenai apa yang perlu diatur atau dikeluarkan agar dengan kebijakan itu penyelenggaraan negara atau pemerintahan dapat berlangsung dengan baik dan tertib sehingga tujuan negara (seperti mensejahterahkan rakyat) secara bertahap dan terencana dapat terwujud. Tabel 6. Nilai prioritas elemen aktor kebijakan penanganan kehalalan pangan. Urutan
Aktor
Nilai Prioritas 0.236
1
(A1)
Pemerintah
2
(A2)
Legislatif
0.199
3
(A4)
Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI)
0.182
4
(A5)
Konsumen
0.164
5
(A3)
Dunia Usaha
0.129
Rasio Inkonsistensi
0.01
Pada tataran penerapan kebijakan, instrumen pelaksana kebijakan penanganan kehalalan pangan saat ini masih cukup relevan untuk dipertahankan dengan beberapa perbaikan agar lebih efektif dan efisien. Sebagaimana diungkapkan oleh responden konsumen (pengurus harian YLKI) bahwa implementasi kebijakan publik sangat terkait dengan kepercayaan masyarakat. Apalagi untuk isu sensitif seperti halal, maka masyarakat tentunya ingin melihat konsistensi, wibawa, integritas para pengambil keputusan, baik dalam implementasi maupun pengawasan kebijakan tersebut. Badan POM bersama dengan dengan Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) dan Departemen Agama RI, telah melakukan beberapa aktivitas implementasi kebijakan pangan yang ada dalam sebuah tim gabungan. Tim ini melakukan audit sebagai bagian dari proses sertifikasi halal meskipun masih perlu dilakukan perbaikan seperti penyempurnaan tata cara sertifikasi halal dengan memperpendek mata rantai proses persetujuan. Selain melakukan audit halal, Badan POM bersama
instansi lainnya harus melakukan proses untuk memastikan pelaksanaan sistem jaminan halal pada industri pangan dan melakukan sosialisasi serta edukasi hidup halal baik kepada masyarakat maupun dunia usaha.
Alternatif Kebijakan Penanganan Kehalalan Pangan Pilihan alternatif strategi kebijakan penanganan kehalalan pangan mengerucut pada usaha penerapan kebijakan pangan halal (misalnya sertifikasi) yang difasilitasi oleh pemerintah sehingga menyentuh semua level industri pangan seperti usaha menengah, kecil dan rumahtangga sebagai prioritas utama dengan nilai 0.230. Tabel 8. Nilai prioritas elemen alternatif kebijakan penanganan kehalalan pangan. Urutan
Nilai Prioritas
Alternatif Kebijakan
1
(S1)
2
(S5)
3
(S6)
4
(S3)
5
(S2)
6
(S7)
7
(S4)
Penerapan kebijakan pangan halal (sertifikasi) yang difasilitasi oleh pemerintah sehingga menyentuh semua level industri pangan (khususnya UMKM) Peningkatan pelaksanaan Sistem Jaminan Halal di kalangan industri pangan Penerapan sanksi hukum yang tegas terhadap terhadap pihak yang melanggar kebijakan halal Peningkatan konsultasi dan pembinaan yang kontinyu terhadap produsen/industri pangan terhadap produknya Peningkatan sosialisasi dan edukasi hidup halal kepada semua lapisan masyarakat melalui sarana-sarana komunikasi (jurnal, website, sms) dan pembentukan pilot project halal (zona halal dan komunitas peduli halal) Pemberdayaan masyarakat dalam pelaksanaan kebijakan halal Penerapan kebijakan label haram (untuk produk haram)
0.230 0.200 0.188 0.125
0.105
0.103 0.048
Rasio Inkonsistensi
0.01
Harus diakui bahwa pembiayaan adalah aspek yang selama ini menghambat dan
menjadikan
kebijakan
penanganan
kehalalan
pangan
di
Indonesia
efektivitasnya masih belum optimal. Belum optimalnya efektivitas ini dapat dilihat dari jumlah industri pangan yang ada dengan jumlah industri pangan yang sudah disertifikasi yang sebagian besar merupakan industri pangan dengan skala menengah besar. Data LPPOM MUI menunjukkan bahwa jumlah industri dengan skala menengah besar mencapai lebih dari 70 % dari total industri pangan yang
ada. Padahal, jumlah industri pangan yang tergolong industri kecil atau rumah tangga mencapai 99.55 % dari total industri pangan yang ada (BPS, 2007). Kalangan dunia usaha pangan terutama industri kecil dan rumahtangga melihat, adanya kebijakan yang membebankan pembiayaan dalam proses penjaminan (legislasi) kehalalan produk yang dihasilkan adalah sebuah permasalahan tersendiri. Dengan permodalan yang terbatas, industri kecil dan rumahtangga tidak akan mampu untuk melakukan proses legislasi (sertifikasi) kehalalan produknya. Sebagaimana diungkapkan oleh ketua Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GPMMI) Thomas Darmawan bahwa biaya proses seritifikasi halal masih tergolong mahal untuk beberapa pengusaha terutama untuk industri kecil dan rumahtangga. Kondisi kebijakan penanganan kehalalan pangan yang membebankan biaya legislasi (sertifikasi) kepada industri pangan dan ketidakmampuan sebagian industri kecil dan rumahtangga dalam mengimplementasikannya
akan
menyebabkan permasalahan tersendiri. Dengan adanya proses edukasi dan sosialisasi kepada semua pihak terutama masyarakat sebagai konsumen tentang pentingnya kehalalan pangan berikut produk pangan yang berlabelisasi halal, akan mengakibatkan munculnya kecenderungan masyarakat untuk melakukan konsumsi hanya pada produk-produk pangan yang bersertifikasi dan meninggalkan produkproduk pangan yang tidak bersertifikasi. Hal ini dikarenakan masyarakat telah memiliki sebuah persepsi bahwa produk pangan yang tidak bersertifikasi diragukan kehalalannya. Sebagaimana menurut Setiadi (2003) yang menyatakan bahwa perilaku konsumen dalam memutuskan untuk bertransaksi dipengaruhi persepsinya terhadap fakta yang dihadapi. Fakta ini dikhawatirkan akan berdampak buruk bagi industri kecil dan rumahtangga dan tentunya akan memukul sektor ekonomi mikro. Sebagai salah satu upaya untuk menyelesaikan permasalahan di atas, maka sebagaimana hasil penilaian prioritas strategi kebijakan penanganan kehalalan pangan, harus diterapkan sebuah kebijakan dimana pemerintah memfasilitasi proses penanganan kehalalan pangan. Pada tataran aplikatif, pemerintah dapat menerapkan beberapa program aksi agar kebijakan penanganan kehalalan pangan dapat berjalan secara efektif dan efisien serta dapat diakses oleh seluruh dunia
usaha pangan terutama industri kecil dan rumahtangga seperti pemberian fasilitas kemudahan bahwan subsidi bagi
industri kecil dan rumahtangga untuk
mendapatkan sertifikasi halal, pembuatan mekanisme/standar baku penanganan kehalalan pangan, dan edukasi kepada dunia usaha tentang pentingnya dan mekanisme penanganan kehalalan pangan. Pembuatan mekanisme/standar baku penanganan kehalalan pangan oleh pemerintah dapat mengacu pada sistem jaminan mutu pangan yang ada atau pada sistem Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP). Dalam penanganan kehalalan pangan ini, LPPOM MUI telah menetapkan mekanisme pengendalian kehalalan pangan bagi produk yang telah mendapatkan sertifikasi pangan. Sistem ini biasa disebut Sistem Jaminan Halal. Sebagaimana penilaian prioritas strategi kebijakan yang dilakukan, Sistem Jaminan Halal untuk mengendalikan kehalalan pangan menempati urutan kedua dengan nilai 0.200. Menurut para responden, pelaksanaan Sistem Jaminan Halal ini diperlukan untuk menjaga kualitas kehalalan produk yang sudah mendapatkan sertifikasi halal dan sebagai sebuah komitmen kepedulian dan kesadaran konsumen dalam melindungi kepentingan masyarakat sebagai konsumen. Namun, responden akademisi (dosen IPB) memberikan catatan bahwa Sistem Jaminan Halal ini semestinya juga memuat petunjuk/pedoman yang tegas tentang jenis produk/bahan yang perlu disertifikasi dan yang tidak perlu seperti semua makanan halal, kecuali yang jelas keharamannya sehingga lebih efisien. Sistem jaminan halal juga seharusnya diterapkan dalam tataran pemerintah sebagai pihak utama pelaksana kebijakan penanganan kehalalan pangan. Sistem ini menyangkut beberapa poin yaitu 1. Standarisasi terhadap produk pangan, sistem manajerial, dan lembaga sertifikasi; 2. Akreditasi dan sertifikasi lembaga; 3. Pembangunan antarstruktur terutama dari sisi kelembagaan dan organisasi; 4. pendidikan dan pelatihan;dan 5. Sosialisasi yang dapat dilakukan dengan cara seminar, pameran, advokasi. Salah satu hal terpenting yang dapat dijadikan sebagai program aksi dalam pengendalian kehalalan pangan oleh pemerintah adalah pengendalian bahan baku. Pengendalian ini menyangkut pengadaan bahan baku industri pangan. Baik bahan penolong maupun bahan tambahan industri harus direncanakan dan dikendalikan
dengan baik aspek kehalalannya. Sebagaimana dalam sistem jaminan mutu pangan (Kadarisman, 1995), aspek-aspek penting yang perlu diperhatikan dalam pengendalian bahan baku ini adalah 1) Persyaratan-persyaratan dan kontrak pembelian, 2) Pemilihan pemasok mampu, 3) Kesepakatan tentang jaminan mutu, 4) Kesepakatan tentang metode-metode verifikasi, 5) Penyelesaian perselisihan mutu, 6) Perencanaan dan pengendalian pemeriksaan, dan 7) Catatan-catatan mutu penerimaan bahan. Pengendalian bahan baku industri pangan, diharapkan dapat mempermudah proses penanganan kehalalan pangan dan mempersingkat proses sertifikasi sehingga fasilitasi yang dilakukan oleh pemerintah dapat berjalan secara optimal. Alternatif kebijakan selanjutnya adalah penerapan sanksi hukum yang tegas terhadap pihak yang melanggar kebijakan halal. Alternatif ini memiliki nilai prioritas 0.188. Hal ini membutuhkan sebuah kebijakan dan payung hukum yang lebih jelas untuk mempermudah aplikasi di lapangan dan sesuai dengan prioritas pelaku kebijakan penanganan kehalalan pangan. Prioritas alternatif kebijakan selanjutnya berturut-turut adalah peningkatan konsultasi dan pembinaan yang kontinyu terhadap produsen/industri pangan terhadap produknya (0.125), peningkatan sosialisasi dan edukasi hidup halal kepada semua lapisan masyarakat melalui sarana-sarana komunikasi (jurnal, website, sms) dan pembentukan pilot project halal (zona halal dan komunitas peduli halal) (0.105), dan pemberdayaan masyarakat dalam pelaksanaan kebijakan halal (0.103). Ketiga altenatif strategi kebijakan penanganan kehalalan pangan ini tentu tidak dapat dilepaskan dari alternatif utama yang dihasilkan dimana pemerintah adalah fasilitator pelaksanaan setiap alternatif kebijakan penanganan kehalalan pangan tersebut. Kebijakan penerapan label haram menempati prioritas terakhir (0.048) dengan pertimbangan sebagian besar responden yang menganggap bahwa kebijakan ini untuk kondisi sekarang memiliki dampak psikologis sangat besar sehingga harus dipertimbangkan secara matang ketika dijadikan sebagai sebuah program aksi penanganan kehalalan pangan. Berdasarkan kondisi dan harapan dari stakeholder kebijakan pangan halal yang dapat dilihat pada Gambar 4., kedepan diharapkan kebijakan penanganan
kehalalan pangan memiliki orientasi tujuan untuk
memunculkan kesadaran
produsen (industri pangan) untuk memberikan jaminan halal terhadap produknya. Adanya kesadaran produsen ini akan mampu menjawab pertanyaan mengenai ketersediaan pangan halal maupun jaminan kehalalan pangan dari produk yang beredar di tengah-tengah masyarakat. Kesadaran produsen akan terwujud ketika pemerintah sebagai aktor dan pihak yang paling utama dalam penangananan kehalalan pangan menetapkan suatu kebijakan yang tegas dan memiliki aksesibilitas tinggi bagi semua kalangan industry pangan. Kebijakan tersebut harus menjadikan pemerintah sebagai pihak yang memfasilitasi semua level industri pangan seperti usaha menengah, kecil dan rumahtangga untuk mendapatkan akses dari kebijakan yang diterapkan (misal sertifikasi). Adanya aksesibilitas ini dapat menghilangkan kendala yang dimiliki oleh usaha menengah, kecil dan rumahtangga yang selama ini menyebabkan efektivitas kebijakan penanganan kehalalan pangan belum optimal.
Studi Kebijakan Penanganan Kehalalan Pangan di Indonesia
Fokus
Adanya jaminan halal bagi konsumen (muslim) terhadap produk pangan yang beredar (0.196)
Adanya kepastian/jaminan halal terhadap produk pangan yang memiliki label halal (0.196)
Adanya jaminan ketersediaan pangan halal ditengah-tengah masyarakat (0.165)
Peningkatan perkembangan dunia usaha (industri pangan) dengan meningkatnya nilai jual (pemasaran) produk (0.051)
Munculnya kesadaran halal (terutama untuk makanan) ditengah-tengah masyarakat (0.156)
Munculnya kesadaran produsen (industri pangan) untuk memberikan jamiman halal terhadap produknya (0.236)
Tujuan Pemerintah
Legislatif
LPPOM MUI
Dunia Usaha
Konsumen
(0.236)
(0.199)
(0.129)
(0.182)
(0.164)
Aktor
Penerapan kebijakan pangan halal (sertifikasi dan labelisasi) yang difasilitasi oleh pemerintah sehingga menyentuh semua level industri pangan (UMKM) (0.230)
Alternatif
Peningkatan sosialisasi dan edukasi hidup halal kepada semua lapisan masyarakat melalui sarana-sarana komunikasi (jurnal, website, sms) dan pembentukan pilot project halal (zona halal dan komunitas peduli halal)
Peningkatan konsultasi dan pembinaan yang kontinyu terhadap produsen/industri pangan (0.125)
Penerapan kebijakan label haram (untuk produk haram) (0.048)
Peningakatan pelaksanaan Sistem Jaminan Halal di tengah-tengah industri pangan
Penerapan anksi hukum yang tegas terhadap terhadap pihak yang melanggar kebijakan halal
(0.200)
(0.188)
(0.105)
Gambar 4. Rangkuman prioritas pemilihan kebijakan penanganan kehalalan pangan
Pemberdayaan masyarakat dalam pelaksanaan kebijakan halal (0.103)
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN Berdasarkan pembahasan yang ada, dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Jumlah perusahaan yang mempunyai sertifikat halal di Indonesia tahun 2006 masih rendah yaitu baru 847 perusahaan. Data ini menunjukkan bahwa efektivitas penerapan kebijakan sertifikasi secara menyeluruh baru mencapai 0.07% jika di bandingkan dengan jumlah industri pangan skala besar, sedang, kecil, dan rumahtangga yang berjumlah 1.209.172 perusahaan. 2. Prioritas utama penetapan tujuan kebijakan penanganan kehalalan pangan nasional yang harus diambil adalah untuk memunculkan kesadaran produsen (industri pangan) untuk memberikan jamiman halal terhadap produk yang dihasilkan. 3. Pemerintah bersama DPR RI adalah
instansi (aktor) terpenting dalam
penetapan kebijakan pangan halal yang berkaitan dengan payung hukum yang dibutuhkan. Berdasarkan penilaian responden ahli yang ada, keduanya menempati peringkat pertama dengan nilai masing-masing 0.236 dan 0.199. 4. Prioritas utama strategi kebijakan penanganan kehalalan pangan nasional di Indonesia adalah bahwa pemerintah harus menerapkan sebuah kebijakan dimana aksesibilitas dari kebijakan itu dapat dirasakan oleh semua pihak terutama industri kecil dan rumahtangga, peningkatan pelaksanaan Sistem Jaminan Halal di kalangan industri pangan, dan penerapan sanksi hukum yang tegas terhadap terhadap pihak yang melanggar kebijakan halal. 5. Kedepan diharapkan kebijakan penanganan kehalalan memiliki orientasi tujuan untuk memunculkan kesadaran produsen dalam menjamin kehalalan produknya. Kebijakan ini harus difasilitasi penuh oleh pemerintah sebagai pihak yang paling berwenang agar dapat menyentuh semua level industri pangan seperti usaha menengah, kecil dan rumahtangga.
A. SARAN Dari penelitian ini dapat disarankan beberapa hal yaitu: 1. Pemerintah harus lebih memperhatikan aksesibilitas kebijakan pangan halalnya terutama bagi industri kecil dan rumahtangga 2. Perlu adanya payung hukum yang jelas tentang pangan halal yang meliputi standar penanganan kehalalan pangan, instansi yang terkait beserta wewenangnya, dan konsekuensi pelanggaran terhadap kebijakan. 3. Penelitian selanjutnya perlu menambahkan dan menitikberatkan pada program aksi dari kebijakan operasional kebijakan.
penanganan kehalalan pangan sebagai perangkat
DAFTAR PUSTAKA
_________, 1996. Undang-Undang No 7: tentang pangan An-nabani, T. 2001. Peraturan Hidup Dalam Islam. Pustaka Tariqul Izzah, Jakarta Apriyantono, A. 2005. Masalah Halal : Kaitan antara Syar’i, Teknologi dan Sertifikasi. Penerbit PT Kiblat Buku Utama. Bandung Dunn, N.W. 2001. Public Policy Analysis: An Introduction 2nd edition. Terjemahan Wibawa, S. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Editor : Darwin, M. New Jersey: University of Pittsburgh Eryatno. 1996. Sistem Ekonomi Kerakyatan: Suatu Tinjauan dari Ilmu Sistem. Majalah Perencanaan Pembangunan. Nomer 04 Maret 1996. Hal 33-39 Girindra. 2002. Kebijakan LPPOM MUI dalam Sertifikasi Halal, Produk Impor Serta Lembaga Sertifikasi Internasional. Makalah pada Pelatihan Auditor Halal Internal Perusahaan, 16 Oktober 2002, Jakarta. Kadarisman, D dan M.A. Wirakartakusumah. 1995. “Standarisasi dan Perkembangan Jaminan Mutu Pangan”. Buletin Teknologi dan Industri Pangan. Vol. VI (1). Fakultas Teknologi Pertanian, IPB Bogor. LPPOM MUI. 2008. Daftar Produk Bersertifikat Halal. Nomer 73 AgustusSeptember 2008 Th. XI. hal 44-72 M.A. Mannan. 1980. Islamic Economics, Theory and Practice. Idarah-I Adabiyat-I Delli. Delhi Marina, Syarifah Jihan. 2003. Survei implementasi sistem sertifikasi dan labelisasi halal di Indonesia. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor Nurul, R. 2007. Survei pengaruh label halal terhadap konsumsi ibu-ibu di kota Tangerang. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor Patria, A. 1999. Analisa Kebijakan Pengembangan Wilayah Pesisir dengan Pendekatan Pengelolaan Sumberdaya Pesisir yang Berkelanjutan. Tesis. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor Qardhawi, Y. 2000. Halal dan Haram dalam Islam. Robbani Press, Jakarta Oktorio, R. 2004. Analisis kebijakan pemberian insentif bagi penanganan limbah pemanenan. Skripsi. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor, Bogor
Saaty, T. L. 1986. Decision Making for Leaders, The Analytical Hierarchy Process for Decision in Complex World. Terjemahan. Setiono, L., dan K. Peniwati 1993. Pengambilan Keputusan bagi Para Pemimpin. Pustaka Binaman Pressindo, Jakarta Sampurno. 2001. Label Pangan dan Label Peran: Dalam Prespektif Peran, Tugas dan Tanggung Jawab BPOM. Badan POM, Jakarta Setiadi, N J. 2003. Perilaku Konsumen : Konsep dan Implikasi untuk Strategi dan Penelitian Pemasaran. Kencana Media. Jakarta Sitorus, F. 1998. Penelitian Kualitatif: Sebuah Perkenalan. 1998…Kelompok Dokumentasi Ilmu-ilmu Sosial. Pertanian Institut Pertanian Bogor, Bogor Tim Penerbit Buku Pedoman Halal. 2001. Pedoman Halal bagi Produsen, Importir dan Konsumen di Indonesia, Jakarta. Tim Survei. 2007. Statistik Indonesia Tahun 2007. BPS. Jakarta
Lampiran 1. Nilai prioritas kombinasi seluruh responden Model Name: Kebijakan Penanganan Kehalalan Pangan di Indonesia Treeview Goal: Kebijakan Pangan Halal Nasional Dalam Rangka Pemilihan Strategi Penanganan Kehalalan Pangan di Indonesia Peningkatan perkembangan dunia usaha (industri meningkatnya nilai jual (pamasaran) produk (L: .051)
pangan)
dengan
Adanya jaminan ketersediaan pangan halal di tengah-tengah masyarakat (L: .165) Adanya jaminan halal bagi konsumen (muslim) terhadap produk pangan yang beredar (L: .196) Adanya kepastian/jaminan halal terhadap produk pangan yang memiliki label halal (L: .196) Munculnya kesadaran halal (terutama untuk makanan) di tengah-tengah masyarakat (L: .156) Munculnya kesadaran produsen (industri pangan) untuk memberikan jaminan halal terhadap produknya (L: .236) Pemerintah (L: .326) Departemen Agama (L: .204) Departemen Pertanian (L: .213) Departemen Kesehatan (L: .399) Penerapan kebijakan pangan halal (sertifikasi dan labelisasi) yang difasilitasi oleh pemerintah sehingga menyentuh semua level industri pangan (UMKM) (L: .230) Peningkatan sosialisasi dan edukasi hidup halal kepada semua lapisan masyarakat melalui sarana-sarana komunikasi (jurnal, website, sms) dan pembentukan pilot project halal (zona halal dan komunitas peduli halal) (L: .105) Peningkatan konsultasi dan pembinaan yang kontinyu terhadap produsen/industri pangan terhadap produknya (L: .125) Penerapan kebijakan label haram (untuk produk haram) (L: .048) Peningkatan pelaksanaan Sistem Jaminan Halal di tengah-tengah industri pangan (L: .200) Penerapan sanksi hukum yang tegas terhadap terhadap pihak yang melanggar kebijakan halal (L: .188) Pemberdayaan masyarakat dalam pelaksanaan kebijakan halal (L: .103) Departemen Perdagangan (L: .184)
Legislatif (L: .199) Pelaku Dunia Usaha (L: .129) MUI/lppom (L: .182) Konsumen (L: .164)
Keterangan:
= Nilai prioritas tertinggi
Lampiran 2. Nilai prioritas kombinasi seluruh responden a. Alternatif Kebijakan Model Name: Hasil AHP Fix combined1 Synthesis: Summary
Synthesis with respect to: Goal: Kebijakan Pangan Halal Nasional Dalam Rangka Pemilihan Strategi Penanganan Kehalalan Pangan di Indonesia
Overall Inconsistency = .01
Penerapan kebijakan pangan halal (sertifikasi dan labelisasi) yang difasilitasi oleh pemerintah sehingga Sistem menyentuh semua level panganindustri (UMKM) Peningkatan pelaksanaan Jaminan Halal di industri tengah-tengah pangan Penerapan sanksi hukum yang tegas terhadap terhadap pihak yang melanggar kebijakan halal Peningkatan konsultasi dan pembinaan yang kontinyu terhadap produsen/industri pangan terhadap Peningkatan sosialisasi dan edukasiproduknya hidup halal kepada semua lapisan masyarakat melalui sarana-sarana komunikasi (jurnal, website, Pemberdayaan masyarakat dalam pelaksanaan kebijakan halal sms) dan pem... Penerapan kebijakan label haram (untuk produk haram)
.230 .200 .188 .125 .105 .103 .048
b. Tujuan Ditetapkannya Kebijakan Model Name: Hasil AHP Fix combined1 Priorities with respect to: Goal: Kebijakan Pangan Halal Nasional...
Munculnya kesadaran produsen ( Adanya jaminan halal bagi kons Adanya kepastian/jaminan halal Adanya jaminan ketersediaan pa Munculnya kesadaran halal (ter Peningkatan perkembangan dunia Inconsistency = 0.01 with 0 missing judgments.
Combined
.236 .196 .196 .165 .156 .051
c. Aktor Kebijakan
Model Name: Hasil AHP Fix combined1 Priorities with respect to: Combined Goal: Kebijakan Pangan Halal Nasional Dalam Rangka Pemilihan Strategi Penanganan Kehalalan Pangan di Indonesia >Munculnya kesadaran prod...
Pemerintah Legislatif MUI/lppom Konsumen Pelaku Dunia Usaha Inconsistency = 0.01 with 0 missing judgments.
.326 .199 .182 .164 .129
d. Sub Aktor Pemerintah
Model Name: Hasil AHP Fix combined1 Priorities with respect to: Combined Goal: Kebijakan Pangan Halal Nasional Dalam Rangka Pemilihan Strategi Penanganan Kehalalan Pangan di Indonesia >Munculnya kesadaran produsen (industri pangan) untuk memberikan jaminan halal terhadap produknya >Pemerintah
Departemen Kesehatan Departemen Pertanian Departemen Agama Departemen Perdagangan Inconsistency = 0.00 with 0 missing judgments.
.399 .213 .204 .184
Lampiran 3. Nilai prioritas strategi reponden a. Pridy Soekarto (Pengurus Harian YLKI) Model Name: Hasil AHP Fix combined1 Synthesis: Summary
Synthesis with respect to: Goal: Kebijakan Pangan Halal Nasional Dalam Rangka Pemilihan Strategi Penanganan Kehalalan Pangan di Indonesia
Overall Inconsistency = .09
Penerapan kebijakan pangan halal (sertifikasi dan labelisasi) yang difasilitasi oleh pemerintah sehingga menyentuh industri pangan (UMKM) Peningkatan konsultasi dan pembinaansemua yang level kontinyu terhadap produsen/industri panganyang terhadap Penerapan sanksi hukum tegasproduknya terhadap terhadap pihak yang melanggar kebijakan halal Peningkatan pelaksanaan Sistem Jaminan Halal di tengah-tengah industri pangan Pemberdayaan masyarakat dalam pelaksanaan kebijakan halal Peningkatan sosialisasi dan edukasi hidup halal kepada semua lapisan masyarakat melalui sarana-sarana komunikasi Penerapan kebijakan label haram (untuk produk(jurnal, haram)website, sms) dan pem...
e.
.265 .253 .228 .111 .064 .060 .018
Ir. Sumuar Jati (Pengurus dan Auditor LPPOM MUI) Model Name: Hasil AHP Fix combined1 Synthesis: Summary
Synthesis with respect to: Goal: Kebijakan Pangan Halal Nasional Dalam Rangka Pemilihan Strategi Penanganan Kehalalan Pangan di Indonesia
Overall Inconsistency = .07
Penerapan kebijakan pangan halal (sertifikasi dan labelisasi) yang difasilitasi oleh pemerintah menyentuh semua level industri pangan Penerapan sanksisehingga hukum yang tegas terhadap terhadap pihak yang(UMKM) melanggar kebijakan halal Peningkatan pelaksanaan Sistem Jaminan Halal di tengah-tengah industri pangan Peningkatan sosialisasi dan edukasi hidup halal kepada semua lapisan masyarakat melalui sarana-sarana komunikasi (jurnal, website, Peningkatan konsultasi dan pembinaan yang kontinyu terhadapsms) dan pem... produsen/industri pangan terhadap produknya kebijakan halal Pemberdayaan masyarakat dalam pelaksanaan Penerapan kebijakan label haram (untuk produk haram)
.267 .221 .195 .117 .091 .065 .044
f.
Ibu Dini (Kepala Subid Pangan Halal Badan POM) Model Name: Hasil AHP Fix combined1 Synthesis: Summary
Synthesis with respect to: Goal: Kebijakan Pangan Halal Nasional Dalam Rangka Pemilihan Strategi Penanganan Kehalalan Pangan di Indonesia
Overall Inconsistency = .11
Peningkatan pelaksanaan Sistem Jaminan Halal di tengah-tengah industri pangan Penerapan sanksi hukum yang tegas terhadap terhadap pihak yang melanggar kebijakan halal masyarakat dalam pelaksanaan kebijakan halal Pemberdayaan Peningkatan konsultasi dan pembinaan yang kontinyu terhadap produsen/industri pangan terhadap produknyadan labelisasi) yang difasilitasi Penerapan kebijakan pangan halal (sertifikasi oleh pemerintah sehingga semua level industri pangan (UMKM) Penerapan kebijakan label menyentuh haram (untuk produk haram) Peningkatan sosialisasi dan edukasi hidup halal kepada semua lapisan masyarakat melalui sarana-sarana komunikasi (jurnal, website, sms) dan pem...
g.
.337 .286 .109 .098 .091 .041 .037
Ir. Novianti Wulandari, MEc. (Kepala Lab. Uji Kehalalan Produk Dept. Perdagangan RI) Model Name: Hasil AHP Fix combined1 Synthesis: Summary
Synthesis with respect to: Goal: Kebijakan Pangan Halal Nasional Dalam Rangka Pemilihan Strategi Penanganan Kehalalan Pangan di Indonesia
Overall Inconsistency = .03
Penerapan kebijakan pangan halal (sertifikasi dan labelisasi) yang difasilitasi oleh pemerintah sehingga menyentuh level industri pangan (UMKM) Peningkatan konsultasi dan pembinaansemua yang kontinyu terhadap produsen/industri pangan terhadap produknya Peningkatan pelaksanaan Sistem Jaminan Halal di tengah-tengah industri pangan Pemberdayaan masyarakat dalam pelaksanaan kebijakan halal Peningkatan sosialisasi dan edukasi hidup halal kepada semua lapisan masyarakatsanksi melaluihukum sarana-sarana komunikasi website, sms)melanggar dan pem... Penerapan yang tegas terhadap (jurnal, terhadap pihak yang kebijakan Penerapanhalal kebijakan label haram (untuk produk haram)
.195 .195 .157 .157 .140 .137 .019
h. Ir. Rahadi Pratoyo, MSi. (Kepala Subid. Keamanan Pangan Departemen Pertanian) Model Name: Hasil AHP Fix combined1 Synthesis: Summary
Synthesis with respect to: Goal: Kebijakan Pangan Halal Nasional Dalam Rangka Pemilihan Strategi Penanganan Kehalalan Pangan di Indonesia
Overall Inconsistency = .10
Penerapan kebijakan pangan halal (sertifikasi dan labelisasi) yang difasilitasi oleh pemerintah sehingga menyentuh semua level industri pangan (UMKM) Peningkatan sosialisasi dan edukasi hidup halal kepada semua lapisan masyarakat melalui sarana-sarana komunikasi website, sms) dan pem... Peningkatan pelaksanaan Sistem Jaminan Halal(jurnal, di tengah-tengah industri pangan Peningkatan konsultasi dan pembinaan yang kontinyu terhadap produsen/industri pangan terhadap produknya kebijakan halal Pemberdayaan masyarakat dalam pelaksanaan Penerapan sanksi hukum yang tegas terhadap terhadap pihak yang melanggar kebijakan Penerapanhalal kebijakan label haram (untuk produk haram)
.424 .176 .166 .090 .063 .049 .032
i. Drs. H. Muchtar Ali, M.Hum. ( Kasubdit. Produk Halal Departemen Agama RI) Model Name: Hasil AHP Fix combined1 Synthesis: Summary
Synthesis with respect to: Goal: Kebijakan Pangan Halal Nasional Dalam Rangka Pemilihan Strategi Penanganan Kehalalan Pangan di Indonesia
Overall Inconsistency = .05
Peningkatan pelaksanaan Sistem Jaminan Halal di tengah-tengah industri pangan Peningkatan sosialisasi dan edukasi hidup halal kepada semua lapisan masyarakat melalui sarana-sarana komunikasi (jurnal, website, Peningkatan konsultasi dan pembinaan yang kontinyu terhadapsms) dan pem... produsen/industri terhadap Penerapan sanksi pangan hukum yang tegasproduknya terhadap terhadap pihak yang melanggar kebijakan halal masyarakat dalam pelaksanaan kebijakan halal Pemberdayaan Penerapan kebijakan pangan halal (sertifikasi dan labelisasi) yang difasilitasi oleh pemerintah sehingga semua level industri pangan (UMKM) Penerapan kebijakan label menyentuh haram (untuk produk haram)
.223 .148 .148 .148 .148 .137 .047
j. Hanief Ismail (Anggota Komisi XIII DPR RI) Model Name: Hasil AHP Fix combined1 Synthesis: Summary
Synthesis with respect to: Goal: Kebijakan Pangan Halal Nasional Dalam Rangka Pemilihan Strategi Penanganan Kehalalan Pangan di Indonesia
Overall Inconsistency = .06
Penerapan kebijakan pangan halal (sertifikasi dan labelisasi) yang difasilitasi oleh pemerintah sehingga Sistem menyentuh semua level industri panganindustri (UMKM) Peningkatan pelaksanaan Jaminan Halal di tengah-tengah pangan Penerapan sanksi hukum yang tegas terhadap terhadap pihak yang melanggar kebijakan halal Peningkatan sosialisasi dan edukasi hidup halal kepada semua lapisan masyarakat sarana-sarana komunikasi (jurnal, website, Peningkatanmelalui konsultasi dan pembinaan yang kontinyu terhadapsms) dan pem... produsen/industri pangan terhadap produknya Pemberdayaan masyarakat dalam pelaksanaan kebijakan halal Penerapan kebijakan label haram (untuk produk haram)
.346 .211 .152 .107 .077 .071 .038
k. Ir. Tjahja Muhandri, MSi. (Staf/Dosen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB) Model Name: Hasil AHP Fix combined1 Synthesis: Summary
Synthesis with respect to: Goal: Kebijakan Pangan Halal Nasional Dalam Rangka Pemilihan Strategi Penanganan Kehalalan Pangan di Indonesia
Overall Inconsistency = .09
.355 .257 .116 .105 .070 .049 Peningkatan sosialisasi dan edukasi hidup halal kepada semua lapisan masyarakat sarana-sarana komunikasi (jurnal, website, Peningkatanmelalui konsultasi dan pembinaan yang kontinyu terhadapsms) dan pem... .048 produsen/industri pangan terhadap produknya Penerapan kebijakan label haram (untuk produk haram) Penerapan sanksi hukum yang tegas terhadap terhadap pihak yang melanggar kebijakan halal Penerapan kebijakan pangan halal (sertifikasi dan labelisasi) yang difasilitasi oleh pemerintah sehingga Sistem menyentuh semua level panganindustri (UMKM) Peningkatan pelaksanaan Jaminan Halal di industri tengah-tengah pangan Pemberdayaan masyarakat dalam pelaksanaan kebijakan halal
Lampiran 4. Rekapitulasi Penggalian Isu Strategis No
Isu Strategis
Kondisi Eksisting Kebijakan
Belum terosialisasikan dengan baik ditengah-tengah masyarakat atau bahkan industri pangan selaku produsen Masih menimbulkan barier (terutama dari sisi biaya) bagi industri pangan kecil Masih relevan untuk diterapkan Belum memiliki kekuatan hukum yang jelas Implementasi yang masih kurang efektif dikarenakan gerak pelaksana yang belum terpadu Tujuan Penerapan Kebijakan Pangan Halal 1 2
Adanya jaminan halal bagi konsumen (muslim) terhadap produk pangan yang beredar Adanya kepastian/jaminan halal terhadap produk pangan yang memiliki label halal
3
Adanya jaminan ketersediaan pangan halal ditengah-tengah masyarakat Peningkatan perkembangan dunia usaha (industri pangan) dengan meningkatnya nilai jual (pemasaran) produk 5 Munculnya kesadaran halal (terutama untuk makanan) ditengah-tengah masyarakat 6 Munculnya kesadaran produsen (industri pangan) untuk memberikan jamiman halal terhadap produknya Stakeholder Kebijakan Pangan Halal 4
1
masyarakat/konsumen
2
produsen/industri
3
pemerintah
4
lembaga pengkajian pangan/BPPOM
5
MUI/LPPOM
6
Departemen agama
7
Departemen pertanian
8
Legislatif
9
Departemen perdagangan Program Aksi/Skenario Kebijakan Pangan Halal 1
Penerapan kebijakan pangan halal (sertifikasi dan labelisasi) yang difasilitasi oleh pemerintah sehingga menyentuh semua level industri pangan (khususnya UMKM)
2
Diterapkannya kebijakan label haram (untuk produk haram) Meningkatkan sosialisasi dan edukasi hidup halal kepada semua lapisan masyarakat melalui sarana-sarana komunikasi (jurnal, website, sms) dan pembentukan pilot project halal (zona hala dan komunitas peduli halal)
4
5
Sanksi hukum yang tegas terhadap terhadap pihak yang melanggar
kebijakan halal 6
Pemberdayaan masyarakat dalam pelaksanaan kebijakan halal
7
Konsultasi dan pembinaan yang kontinyu terhadap produsen/industri pangan Meningkatkan pelaksanaan Sistem Jaminan Halal di tengah-tengah industri pangan
8
Lampiran 5. Rekapitulasi Hasil Open question Kebijakan Pangan Halal 1. Dalam struktur hierarki penyusunan kebijakan pangan halal nasional digambarkan terdapat enam tujuan/goal yang harus ditetapkan sebagai bahan pertimbangan penyusunan kebijakan pangan halal nasional, yakni (1) peningkatan perkembangan dunia usaha(industri pangan) dengan meningkatnya nilai jual (pemasaran) produk, (2) adanya jaminan ketersediaan pangan halal ditengah-tengah masyarakat, (3) adanya jaminan halal bagi konsumen (muslim) terhadap produk-produk pangan yang beredar (4) Adanya kepastian/jaminan halal terhadap produk pangan yang memiliki label halal (5) munculnya kesadaran halal (terutama untuk makanan) ditengah-tengah masyarakat, dan (6) munculnya kesadaran produsen (industri pangan) untuk memberikan jaminan halal terhadap produknya. Menurut Anda, bagaimana relevansi beberapa tujuan/goal tersebut melihat kondisi eksisting kebijakan halal saat ini dan harapan kedepan? Nama Pridy Soekarto (Pengurus Harian YLKI)
Ibu Dini (Kepala Subid Pangan Halal Badan POM)
Relevansi Relevan Cukup komprehensif, sudah merepresentasikan kepentingan berbagai pemangku kepentingan. Sebuah kebijakan sejatinya tidak akan berjalan tanpa kesadaran konsumen untuk mendukung kebijakan dan kesiapan sektor swasta dan para birokrat untuk menjalankan kebijakan tersebut. Relevansi tujuan dengan kondisi saat ini adalah adanya jaminan halal bagi konsumen (muslim) terhadap produk-produk pangan yang beredar. Karena penentuan halal dilakukan melalui serangkaian pemeriksaan oleh tim gabungan (MUI, Badan POM, Departemen Agama). Disamping hal tersebut diatas, Badan POM secara rutin melakukan pengawasan produk pangan yang mencantumkan tulisan halal pada label untuk dilihat kualitasnya.
Tidak relevan
Ir. Sumuar Jati (Pengurus dan Auditor LPPOM MUI) Ir. Novianti Wulandari, MEc. (Kepala Lab. Uji Kehalalan Produk Dept. Perdagangan RI)
Ir. Rahadi Pratoyo, MSi. (Kepala Subid. Keamanan Pangan Departemen Pertanian) Drs. H. Muchtar Ali, M.Hum. ( Kasubdit. Produk Halal Departemen Agama RI) Hanief Ismail (Anggota Komisi XIII DPR RI) Ir. Tjahja Muhandri, MSi. (Staff/Dosen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB)
Sangat Relevan
Keenam tujuan tersebut cukup relevan dengan kondisi yang ada pada kebijakan halal sekarang. Harapan kedepan, selain menjamin kepastian halal di tingkat nasional juga terdapat tujuan agar label halal Indonesia dapat diakui ditingkat internasional misalnya dengan mengembangkan ke scientific evidence-nya. Relevan
Relevan karena sudah sesuai dengan RUU halal, semua sangat diperlukan. Disamping itu perlu juga dibuat standarisasi kehalalan di Indonesia agar seragam. Sangat relevan
Keenam tujuan tersebut masih relevan, hanya pelaksanaan/penyusunan kebijakan untuk mencapai goal tersebut harus diusahakan lebih efisien.
2. Dalam struktur hierarki penyusunan kebijakan pangan halal nasional digambarkan terdapat lima aktor yang paling pertanggung jawab untuk membuat/melaksanakan kebijakan, yakni (1) pemerintah dengan subaktor: departemen kesehatan/badan POM; departemen pertanian/badan karantina; departemen agama; departemen perindustrian dan perdagangan (2) kalangan legislatife/DPR (3) pelaku dunia usaha dengan subaktor: pengusaha ekspor impor produk pangan; industri pangan; pengusaha distribusi dan perdagangan pangan dalam negeri (4) LPPOM MUI, dan (5) konsumen dengan subaktor: masyarakat umum dan lembaga swadaya masyarakat/YLKI. Menurut Anda, bagaimana relevansi aktor-aktor tersebut melihat kondisi eksisting kebijakan halal saat ini dan harapan kedepan? Nama
Relevansi Relevan
Pridy Soekarto (Pengurus Harian YLKI)
Implementasi kebijakan publik sangat terkait dengan kepercayaan masyarakat. Apalagi untuk isu sensitife seperti isu halal, maka masyarakat masyarakat ingin melihat konsistensi, wibawa, integritas para pengambil keputusan, baik dalam implementasi maupun pengawasan kebijakan tersebut. Jadi, siapapun aktor dan sub aktor yang terlibat, mereka harus bersinergi dan saling berkoordinasi secara efektif untuk mencapai sasaran dari kebijakan halal tersebut.
Ibu Dini (Kepala Subid Pangan Halal Badan POM)
Relevansi aktor-aktor tersebut dengan kondisi kebijakan halal saat ini sudah ada. Harapannya aktor-aktor tersebut dapat melakukan koordinasi dengan memperhatikan konsumen dan produsen. Dan setiap aktor mempunyai peran yang jelas.
Ir. Sumur Jati (Pengurus dan Auditor LPPOM MUI)
Perlu peningkatan sinergi antar aktor dalam bentuk kerjasama yang kongkrit dan pembagian tugas. Penguatan fungsi dan kedudukan LPPOM dalam
Tidak relevan
Ir. Novianti Wulandari, MEc. (Kepala Lab. Uji Kehalalan Produk Dept. Perdagangan RI) Ir. Rahadi Pratoyo, MSi. (Kepala Subid. Keamanan Pangan Departemen Pertanian) Drs. H. Muchtar Ali, M.Hum. ( Kasubdit. Produk Halal Departemen Agama RI) Hanief Ismail (Anggota Komisi XIII DPR RI)
Ir. Tjahja Muhandri, MSi. (Staff/Dosen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB)
Undang-Undang Pangan. Semuanya relevan, harapan kedepan tidak ada tumpang tindih tanggungjawab antar aktor-aktor tersebut.
Sangat Relevan
Sangat relevan. Namun harus ada kebijakan tegas mengenai wewenang dan tanggungjawab masing-masing aktor. Semua yang ada adalah pihak yang bertanggung jawab terhadap kehalalan produk yang beredar. Akan tetapi peran pemerintah sangat ditekankan disini Masih relevan. Akan tetapi aktor yang seharusnya ada dan lebih berperan adalah Departemen Kehakiman dan yang terkait, untuk menangani masalah hukum dan sanksi, masalah ini sangat penting.
3. Dalam struktur hierarki penyusunan kebijakan pangan halal nasional digambarkan terdapat tujuh sekenario kebijakan pangan halal nasional yang direkomendasikan, yakni (1) Penerapan kebijakan pangan halal (sertifikasi dan labelisasi) yang difasilitasi oleh pemerintah sehingga menyentuh semua level industri pangan (khususnya UMKM) (2) Meningkatkan sosialisasi dan edukasi hidup halal kepada semua lapisan masyarakat melalui sarana-sarana komunikasi (jurnal, website, sms) dan pembentukan pilot project halal (zona halal dan komunitas peduli halal) (3) Konsultasi dan pembinaan yang kontinyu terhadap produsen/industri pangan terhadap produknya (4) Diterapkannya kebijakan label haram (untuk produk haram) (5) Meningkatkan pelaksanaan Sistem Jaminan Halal di tengah-tengah industri pangan (6) Sanksi hukum yang tegas terhadap terhadap pihak yang melanggar kebijakan halal, dan (7) Pemberdayaan masyarakat dalam pelaksanaan kebijakan halal. Menurut Anda, bagaimana relevansi sekenario kebijakan pangan halal tersebut melihat kondisi eksisting kebijakan halal saat ini dan harapan kedepan? Nama Pridy Soekarto (Pengurus Harian YLKI)
Relevansi Relevan Tujuan kebijakan pangan halal nasional harus mempertimbangkan dan mengakomodir keragaman yang ada di tanah air ini, baik dari sisi konsumen maupun produsen. Dari sisi konsumen misalnya, pemberdayaan konsumen hanya akan efektif pada kelompok masyarakayt tertentu. Dan dengan kondisi sosial ekonomi kosumen serta market power yang lebih berada di tangan produsen (bargaining position konsumen lebih lemah) seperti saat ini, langkah yang paling strategis adalah membenahi dari sisi suplai (perilaku usaha), mewajibkan mereka untuk berperilaku dan berproduksi secara halal. Dari sisi produsen, ada UMKM, dan industri besar yang karakteristik dan kebutuhannya berbeda, kebijakan harus dapat menampung kebutuhan yang ada. Kebijakan pemberian label haram harus dikaji lebih dalam hal
Tidak relevan
penerimaan masyarakat, apakah sesuai dengan prinsip-prinsip pluralisme. Ibu Dini (Kepala Subid Pangan Halal Badan POM)
Ir. Sumuar Jati (Pengurus dan Auditor LPPOM MUI) Ir. Novianti Wulandari, MEc. (Kepala Lab. Uji Kehalalan Produk Dept. Perdagangan RI) Ir. Rahadi Pratoyo, MSi. (Kepala Subid. Keamanan Pangan Departemen Pertanian) Drs. H. Muchtar Ali, M.Hum. ( Kasubdit. Produk Halal Departemen Agama RI) Hanief Ismail (Anggota Komisi XIII DPR RI) Ir. Tjahja Muhandri, MSi. (Staff/Dosen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB)
Kebijakan pangan halal yang difasilitasi oleh pemerintah relevan dan sudah ada pada kondisi saat ini, namun harus ditingkatkan dengan mempertimbangkan kewenangan/peran setiap instansi yang terlibat. Sudah Baik
Sudah cukup relevan, harapan kedepan sanksi hukum harus dipertegas.
Sangat Relevan
Relevan. Sangat kuat dan perlu adanya standarisasi kehalalan dan penting adanya regulasi komprehensif (Undang-undang) yang menjamin kehalalan produk yang dikonsumsi masyarakat. Itulah yang kita butuhkan saat ini
Untuk UMKM masih terlalu berat. Mestinya ada petunjuk/pedoman yang tegas tentang: Jenis produk/bahan yang perlu sertifikasi dan yang tidak perlu seperti semua makanan halal, kecuali yang jelas keharamannya sehingga lebih efisien jika menggunakan label haram saja.
Lampiran 6. Daftar Responden A. Daftar Responden wawancara mendalam (Indepht Interview) No Nama Pekerjaan 1 Ir. Sumuar Jati Pengurus dan auditor LPPOM MUI 2 Dr.Ir.Budiatman, MSc. Staf/dosen ITP IPB 3 Pridi Soekarto Pengurus Harian YLKI Praktisi Ekonomi Syariah/ 4 Ir.Mohammad Arif Yunus Direktur PT. SEM Institute Jakarta 5 Kanyaka Waraapsari Pengusaha resto dan café 6 Daniarti R. Karyawan swasta 7 M. Thamrin Karyawan swasta 9 Eko Febrianto Karyawan swasta 10 Molid Nurman Hadi Karyawan swasta 11 Lia Kamelia Karyawan swasta 12 Nizar Kamal Karyawan swasta 13 Evrin Lutfika Sari Karyawan swasta 14 Devi Hermawan Karyawan swasta 15 Fanani Mahasiswa 16 Hoerunnisa Ibu rumah tangga
No 1 2 3 4
B. Responden AHP Nama Pridy Soekarto Ir. Sumuar Jati Ir. Novianti Wulandari, MEc. Ir. Rahadi Pratoyo, MSi.
5
Drs. H. Muchtar Ali, M.Hum.
6
Ibu Dini
7 8
Hanief Ismail Ir. Tjahja Muhandri, MSi.
Instansi/jabatan YLKI /Pengurus Harian LPPOM MUI/ Pengurus dan Auditor Dept. Perdagangan RI/ Kepala Lab. Uji Kehalalan Produk Departemen Pertanian/ Kepala Subid. Keamanan Pangan Departemen Agama RI/ Kasubdit. Produk Halal Badan POM/ Kepala Subid Pangan Halal Anggota Komisi XIII DPR RI Dosen ITP IPB
Kategori responden Konsumen LPPOM MUI Pemerintah Pemerintah Pemerintah Pemerintah Legislatif Akademisi
Lampiran 7. DISCUSSION GUIDE IDENTIFIKASI FAKTOR DAN ISU STRATEGIS YANG MEMPENGARUHI PENYUSUNAN KEBIJAKAN PANGAN HALAL NASIONAL Kuesioner ini diedarkan untuk mengetahui faktor dan isu strategis yang mempengaruhi penyusunan kebijakan pangan halal nasional. Penelitian ini diperlukan untuk penulisan tugas akhir di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, oleh Rikza Saifullah (F24102078). Metode pengisian yang gunakan untuk kuesioner ini adalan indepth interview. Cara pengisian :
6. Pendidikan terakhir :
Pilihlah jawaban yang paling sesuai menurut
SD
Diploma
Anda dengan memberi tanda checklist (√)
SMP
Sarjana
pada
SMU
Pasca Sarjana
kolom
yang
tersedia
dan
atau
menuliskan jawaban apabila tidak terdapat
7. Agama :
alternatif jawaban yang disediakan.
Islam
Budha
I. IDENTITAS RESPONDEN
Kristen
Lainnya .............
1. Nama :
Hindu
2. Jenis kelamin :
Laki-laki Perempuan
3. Umur :
8. Pekerjaan : Akademisi/dosen
15-24 tahun
Pegawai negeri, Jabatan.................
25-34 tahun
Mahasiswa/Pelajar
35-44 tahun
Pengusaha, Jabatan.......................
45-54 tahun
Pengamat, Pekerjaan.....................
> 55 tahun
Profesional mandiri
4. Alamat rumah :
Lainnya .......................................
II. INFORMASI TENTANG HALAL 5. Telp. / Fax. :
1. Apakah yang dimaksud dengan halal? ........................................................... ...........................................................
.......................................................
4. Bagaimanakah proporsi bahan pangan
.......................................................
halal
.......................................................
dibandingkan dengan bahan pangan
2. Perlukah jaminan halal diterapkan
yang
tersedia
di
lingkungan
yang tidak halal?
atas setiap produk pangan yang
.......................................................
beredar
.......................................................
di
masyarakat?
.............................................
........................ Alasan : ....................................................... ....................................................... ....................................................... 3. Bagi pihak mana sajakah jaminan halal
atas
produk
pangan
yang
beredar di masyarakat menjadi perlu
5. Pada bagian manakah jaminan halal itu harus diterapkan ? ....................................................... ....................................................... ..............................................
dan penting? ....................................................... ....................................................... ....................................................... III.INFORMASI TENTANG KEBIJAKAN HALAL
sajakah
pihak
memegang
1. Bagaimana eksisting
menurut kebijakan
nasional
Anda
kondisi
pangan
saat
halal ini?
........................................................ ........................................................ 2. Tujuan
4. Siapa
utama
apa
yang
yang
wewenang
bertanggung
harus dan
jawab
dalam
pembuatan dan penerapan kebijakan pangan
halal
ini?
...................................................... 5. Bagaimanakah
peran
yang
harus
telah
diberikan oleh setiap pihak agar
ditetapkan dan diharapkan tercapai
tujuan utama penerapan kebijakan
dengan
pangan
diterapkannya
kebijakan
halal
dapat
tercapai?
pangan halal?
......................................................
........................................................
......................................................
........................................................
6. Apa saran Anda tentang kebijakan
3. Bagaimana implementasi kebijakan/
yang
harus
diterapkan
strategi pangan halal agar tujuan
masyarakat
yang
tentang aspek halal dalam produk
ditetapkan
dapat
tercapai?
mendapat
agar
yang
kepastian
........................................................
pangan
beredar?
........................................................
......................................................
…………………………………………………….
....................................................
Lampiran 8.
Kuesioner
STUDI KEBIJAKAN PANGAN HALAL NASIONAL DALAM PEMILIHAN STRATEGI PENANGANAN KEHALALAN PANGAN DI INDONESIA Data Responden Nama Jabatan Kantor/Lembaga No Telepon Tanggal Pengisian Ttd Responden
PROGRAM SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
Pengantar Berdasarkan Surat Al-Baqarah ayat 168, Allah SWT berfirman bahwa ”Hai manusia, makanlah segala sesuatu yang ada dibumi ini yang halal dan baik dan jangan kamu mengikuti jejak syaitan karena sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu”. Hal ini mengungkapkan bahwa seseorang hendaknya mengkonsumsi makanan yang halal serta baik kandungan gizinya. Kegiatan makan dan minum merupakan kebutuhan yang paling dasar bagi setiap makhluk hidup. Kebiasaan mengkonsumsi makanan seseorang didasarkan pada kepercayaan yang dianutnya, kesukaan, pantangan serta larangan terdapat makanan atau minuman tertentu (Suhardjo, 1989). Bagi penganut agama Islam, makanan menjadi hal yang harus diperhatikan. Hal ini dikarenakan adanya sebuah tuntutan untuk mengkonsumsi makanan yang halal sekaligus baik. Oleh karena itulah, pengetahuan tentang halal menjadi penting bagi konsumen muslim sebelum memutuskan akan mengkonsumsi suatu produk pangan. Ketika teknologi pangan belum berkembang seperti saat ini dan ketika tidak ada atau tidak banyak makanan dan minuman olahan yang beredar, masalah halal dan haram pada makanan dan minuman relatif tidak serumit saat ini. Walaupun dari segi syari’at permasalahan ini selalu ada, terutama karena adanya perbedaan pendapat di antara pada ulama Islam, namun perbedaan tersebut relatif mudah dipecahkan. Sedangkan dengan adanya teknologi maka permasalahan halal dalam panganpun bisa menjadi semakin komplek dikarenakan semakin banyaknya faktor yang bermain di dalamnya seperti bahan baku, bahan tambahan, metode pengolahan sampai dengan teknologi yang di gunakan. Dalam konteks pangan halal ini, beberapa pihak telah berupaya semaksimal mungkin untuk memberikan perlindungan kepada konsumen muslim tentang makanan dan minuman yang mereka konsumsi. Diantara aktivitas perlindungan yang dilakukan adalah adanya upaya LPOM MUI dengan beberapa pihak yang terkait seperti Departemen Pertanian dan Departemen Kesehatan untuk memperkuat peranan dengan sebuah kebijakan pangan halal nasional. Beberapa permasalahan yang masih menjadi catatan dan agenda bagi bersama instansi terkait diatas yang berhubungan dengan pangan halal antara lain: 1. Arah kebijakan pangan halal yang masih terlihat mengambang 2. Penggunaan logo halal standar 3. Tindakan terhadap pelanggaran 4. Pengawasan peredaran produk daging 5. Pembelaan terhadap industri kecil 6.Sinergisitas dan kejelasan actor pelaksana dan pengawas kebijakan halal.
Petunjuk Pengisian •
Bandingkanlah tingkat kepentingannya pernyataan “A” (di kolom kiri) dengan pernyataan “B” (di kolom kanan) dan lingkari pada nilai yang sesuai dengan jawaban anda. Jika menurut Anda ternyata “A” jelas lebih penting dari “B” maka lingkari pada angka 5 di bagian A.
•
Berdasarkan skala Saaty, semakin tinggi nilai, maka derajat kepentingannya akan semakin tinggi.
Semakin penting A
Tingkat Kepentingan 1 3 5 7 9 2,4,6,8 *Saaty (1986)
9
7
5
3
Semakin penting 1
3
5
7
9
B
Definisi Sama penting Sedikit lebih penting Jelas lebih penting Sangat jelas lebih Penting Pasti/mutlak lebih penting (kepentingan yang ekstrim) Jika ragu-ragu antara dua nilai yang berdekatan
Tabel Isian Komparasi Berpasangan 1. KOMPARASI BERPASANGAN ANTAR FAKTOR TUJUAN/GOAL KEBIJAKAN DENGAN MEMPERTIMBANGKAN FOKUS UTAMA : PENYUSUNAN KEBIJAKAN PANGAN HALAL NASIONAL Dalam Rangka Pemilihan Strategi Penanganan Kehalalan Pangan di Indonesia TUJUAN/GOAL KEBIJAKAN YANG DITETAPKAN Semakin Penting
Semakin Penting
Peningkatan perkembangan Adanya jaminan dunia usaha (industri ketersediaan pangan pangan) dengan 9 7 5 3 1 3 5 7 9 halal ditengah-tengah masyarakat meningkatnya nilai jual (pemasaran) produk Adanya jaminan halal Peningkatan perkembangan bagi konsumen dunia usaha (industri (muslim) terhadap pangan) dengan 9 7 5 3 1 3 5 7 9 produk pangan yang meningkatnya nilai jual beredar (pemasaran) produk Adanya Peningkatan perkembangan kepastian/jaminan dunia usaha (industri halal terhadap produk pangan) dengan 9 7 5 3 1 3 5 7 9 pangan yang memiliki meningkatnya nilai jual label halal (pemasaran) produk Peningkatan perkembangan Munculnya kesadaran dunia usaha (industri halal (terutama untuk pangan) dengan 9 7 5 3 1 3 5 7 9 makanan) ditengahtengah masyarakat meningkatnya nilai jual (pemasaran) produk Munculnya kesadaran Peningkatan perkembangan produsen (industri dunia usaha (industri pangan) untuk pangan) dengan 9 7 5 3 1 3 5 7 9 memberikan jamiman halal terhadap meningkatnya nilai jual produknya (pemasaran) produk Adanya jaminan halal Adanya jaminan ketersediaan bagi konsumen pangan halal ditengah-tengah 9 7 5 3 1 3 5 7 9 (muslim) terhadap masyarakat produk pangan yang
beredar Adanya kepastian/jaminan Adanya jaminan ketersediaan pangan halal ditengah-tengah 9 7 5 3 1 3 5 7 9 halal terhadap produk pangan yang memiliki masyarakat label halal Munculnya kesadaran halal (terutama untuk Adanya jaminan ketersediaan pangan halal ditengah-tengah 9 7 5 3 1 3 5 7 9 makanan) ditengahtengah masyarakat masyarakat Munculnya kesadaran produsen (industri pangan) untuk Adanya jaminan ketersediaan pangan halal ditengah-tengah 9 7 5 3 1 3 5 7 9 memberikan jamiman halal terhadap masyarakat produknya Adanya Adanya jaminan halal bagi kepastian/jaminan konsumen (muslim) terhadap 9 7 5 3 1 3 5 7 9 halal terhadap produk produk pangan yang beredar pangan yang memiliki label halal Munculnya kesadaran halal (terutama untuk Adanya jaminan halal bagi konsumen (muslim) terhadap 9 7 5 3 1 3 5 7 9 makanan) ditengahtengah masyarakat produk pangan yang beredar Munculnya kesadaran produsen (industri pangan) untuk Adanya jaminan halal bagi konsumen (muslim) terhadap 9 7 5 3 1 3 5 7 9 memberikan jamiman halal terhadap produk pangan yang beredar produknya Munculnya kesadaran Adanya kepastian/jaminan halal (terutama untuk halal terhadap produk 9 7 5 3 1 3 5 7 9 makanan) ditengahpangan yang memiliki label tengah masyarakat halal Adanya kepastian/jaminan Munculnya kesadaran halal terhadap produk produsen (industri 9 7 5 3 1 3 5 7 9 pangan yang memiliki label pangan) untuk halal memberikan jamiman
halal terhadap produknya Munculnya kesadaran produsen (industri Munculnya kesadaran halal pangan) untuk (terutama untuk makanan) 9 7 5 3 1 3 5 7 9 memberikan jamiman ditengah-tengah masyarakat halal terhadap produknya
2.
KOMPARASI BERPASANGAN ANTAR AKTOR DENGAN MEMPERTIMBANGKAN FAKTOR : TUJUAN/GOAL KEBIJAKAN YANG DITETAPKAN AKTOR Semakin Penting
Semakin Penting
Pemerintah 9 7 5 3 1 3 5 7 9 Legislatif Pemerintah 9 7 5 3 1 3 5 7 9
Pelaku Dunia Usaha
Pemerintah 9 7 5 3 1 3 5 7 9 LPPOM MUI Pemerintah 9 7 5 3 1 3 5 7 9 Konsumen Legislatif 9 7 5 3 1 3 5 7 9
Pelaku Dunia Usaha
Legislatif 9 7 5 3 1 3 5 7 9 LPPOM MUI Legislatif 9 7 5 3 1 3 5 7 9 Konsumen Pelaku 9 7 5 3 1 3 5 7 9 LPPOM MUI Dunia Usaha Pelaku 9 7 5 3 1 3 5 7 9 Konsumen Dunia Usaha LPPOM MUI 9 7 5 3 1 3 5 7 9 Konsumen
2a. KOMPARASI BERPASANGAN ANTAR SUBAKTOR
DENGAN MEMPERTIMBANGKAN AKTOR PEMERINTAH SUBAKTOR Semakin Penting Departemen Agama
Semakin Penting
9 7 5 3 1 3 5 7 9
Departemen Pertanian/ Badan Karantina
Departemen Agama
Departemen 9 7 5 3 1 3 5 7 9 Kesehatan/ Badan POM
Departemen Agama
Departemen 9 7 5 3 1 3 5 7 9 Perindustrian dan Perdagangan
Departemen Departemen Pertanian/ 9 7 5 3 1 3 5 7 9 Kesehatan/ Badan Karantina Badan POM Departemen Departemen Pertanian/ 9 7 5 3 1 3 5 7 9 Perindustrian dan Badan Karantina Perdagangan Departemen Departemen Kesehatan/ 9 7 5 3 1 3 5 7 9 Perindustrian dan Badan POM Perdagangan 2b. KOMPARASI BERPASANGAN ANTAR SUBAKTOR DENGAN MEMPERTIMBANGKAN AKTOR PELAKU DUNIA USAHA SUBAKTOR Semakin Penting
Semakin Penting
Pengusaha Perdagangan Ekspor Impor Produk 9 7 5 3 1 3 5 7 9 Industri Pangan pangan Pengusaha Perdagangan Pengusaha distribusi dan Ekspor Impor Produk 9 7 5 3 1 3 5 7 9 perdagangan pangan dalam negeri pangan Industri Pangan
Pengusaha distribusi dan 9 7 5 3 1 3 5 7 9 perdagangan pangan dalam negeri
2C. KOMPARASI BERPASANGAN ANTAR SUBAKTOR DENGAN MEMPERTIMBANGKAN AKTOR KONSUMEN SUBAKTOR Semakin Penting
Semakin Penting Masyarakat Umum 9 7 5 3 1 3 5 7 9 Lembaga Swadaya Masyarakat/ NGO/ YLKI
3.
KOMPARASI BERPASANGAN ANTAR SEKENARIO KEBIJAKAN DENGAN MEMPERTIMBANGKAN AKTOR dan TUJUAN/GOAL KEBIJAKAN SEKENARIO KEBIJAKAN Semakin Penting
Semakin Penting
Peningkatan sosialisasi dan edukasi hidup halal Penerapan kebijakan kepada semua lapisan pangan halal (sertifikasi masyarakat melalui dan labelisasi) yang sarana-sarana difasilitasi oleh pemerintah sehingga 9 7 5 3 1 3 5 7 9 komunikasi (jurnal, menyentuh semua level website, sms) dan industri pangan pembentukan pilot (khususnya UMKM) project halal (zona halal dan komunitas peduli halal) Penerapan kebijakan Peningkatan Konsultasi pangan halal (sertifikasi dan pembinaan yang dan labelisasi) yang kontinyu terhadap difasilitasi oleh 9 7 5 3 1 3 5 7 9 pemerintah sehingga produsen/industri menyentuh semua level pangan terhadap industri pangan produknya (khususnya UMKM) Penerapan kebijakan pangan halal (sertifikasi Penerapan kebijakan dan labelisasi) yang difasilitasi oleh 9 7 5 3 1 3 5 7 9 label haram (untuk pemerintah sehingga produk haram) menyentuh semua level industri pangan
(khususnya UMKM) Penerapan kebijakan Peningkatan pangan halal (sertifikasi dan labelisasi) yang pelaksanaan Sistem difasilitasi oleh 9 7 5 3 1 3 5 7 9 Jaminan Halal di pemerintah sehingga tengah-tengah industri menyentuh semua level pangan industri pangan (khususnya UMKM) Penerapan kebijakan Penerapan sanksi hukum pangan halal (sertifikasi dan labelisasi) yang yang tegas terhadap difasilitasi oleh 9 7 5 3 1 3 5 7 9 terhadap pihak yang pemerintah sehingga melanggar kebijakan menyentuh semua level halal industri pangan (khususnya UMKM) Penerapan kebijakan pangan halal (sertifikasi Pemberdayaan dan labelisasi) yang masyarakat dalam difasilitasi oleh 9 7 5 3 1 3 5 7 9 pemerintah sehingga pelaksanaan kebijakan menyentuh semua level halal industri pangan (khususnya UMKM) Peningkatan sosialisasi dan edukasi hidup halal Peningkatan Konsultasi kepada semua lapisan dan pembinaan yang masyarakat melalui kontinyu terhadap sarana-sarana komunikasi 9 7 5 3 1 3 5 7 9 produsen/industri (jurnal, website, sms) dan pangan terhadap pembentukan pilot project produknya halal (zona halal dan komunitas peduli halal) Peningkatan sosialisasi dan edukasi hidup halal kepada semua lapisan Penerapan kebijakan masyarakat melalui sarana komunikasi (jurnal, 9 7 5 3 1 3 5 7 9 label haram (untuk website, sms) dan produk haram) pembentukan pilot project halal (zona halal dan komunitas peduli halal) Peningkatan sosialisasi 9 7 5 3 1 3 5 7 9 Peningkatan
dan edukasi hidup halal kepada semua lapisan masyarakat melalui sarana komunikasi (jurnal, website, sms) dan pembentukan pilot project halal (zona halal dan komunitas peduli halal) Peningkatan sosialisasi dan edukasi hidup halal kepada semua lapisan masyarakat melalui sarana komunikasi (jurnal, website, sms) dan pembentukan pilot project halal (zona halal dan komunitas peduli halal) Peningkatan sosialisasi dan edukasi hidup halal kepada semua lapisan masyarakat melalui sarana komunikasi (jurnal, website, sms) dan pembentukan pilot project halal (zona halal dan komunitas peduli halal) Peningkatan Konsultasi dan pembinaan yang kontinyu terhadap produsen/industri pangan terhadap produknya Peningkatan Konsultasi dan pembinaan yang kontinyu terhadap produsen/industri pangan terhadap produknya
pelaksanaan Sistem Jaminan Halal di tengah-tengah industri pangan
Penerapan sanksi hukum yang tegas terhadap 9 7 5 3 1 3 5 7 9 terhadap pihak yang melanggar kebijakan halal
Pemberdayaan masyarakat dalam 9 7 5 3 1 3 5 7 9 pelaksanaan kebijakan halal
Penerapan kebijakan 9 7 5 3 1 3 5 7 9 label haram (untuk produk haram) Peningkatan pelaksanaan Sistem 9 7 5 3 1 3 5 7 9 Jaminan Halal di tengah-tengah industri pangan
Peningkatan Konsultasi Penerapan sanksi hukum dan pembinaan yang yang tegas terhadap kontinyu terhadap produsen/industri pangan 9 7 5 3 1 3 5 7 9 terhadap pihak yang melanggar kebijakan terhadap produknya halal Peningkatan Konsultasi Pemberdayaan dan pembinaan yang 9 7 5 3 1 3 5 7 9 masyarakat dalam kontinyu terhadap
produsen/industri pangan terhadap produknya
pelaksanaan kebijakan halal
Peningkatan pelaksanaan Sistem Penerapan kebijakan label haram (untuk produk 9 7 5 3 1 3 5 7 9 Jaminan Halal di haram) tengah-tengah industri pangan Penerapan sanksi hukum Penerapan kebijakan label yang tegas terhadap haram (untuk produk 9 7 5 3 1 3 5 7 9 terhadap pihak yang haram) melanggar kebijakan halal Pemberdayaan Penerapan kebijakan label masyarakat dalam haram (untuk produk 9 7 5 3 1 3 5 7 9 pelaksanaan kebijakan haram) halal Peningkatan pelaksanaan Sistem Jaminan Halal di tengah
Penerapan sanksi hukum yang tegas terhadap 9 7 5 3 1 3 5 7 9 terhadap pihak yang melanggar kebijakan halal
Peningkatan pelaksanaan Pemberdayaan Sistem Jaminan Halal di masyarakat dalam tengah 9 7 5 3 1 3 5 7 9 pelaksanaan kebijakan halal Penerapan sanksi hukum Pemberdayaan yang tegas terhadap masyarakat dalam 9 7 5 3 1 3 5 7 9 terhadap pihak yang pelaksanaan kebijakan melanggar kebijakan halal halal
Berikut adalah pertanyaan tambahan tentang persepsi/pendapat Responden. 4.
Dalam struktur hierarki penyusunan kebijakan pangan halal nasional digambarkan terdapat enam tujuan/goal yang harus ditetapkan sebagai bahan pertimbangan penyusunan kebijakan pangan halal nasional, yakni (1) peningkatan perkembangan dunia usaha(industri pangan) dengan meningkatnya nilai jual (pemasaran) produk, (2) adanya jaminan ketersediaan pangan halal ditengah-tengah masyarakat, (3) adanya jaminan halal bagi konsumen (muslim) terhadap produk-produk pangan yang beredar (4) Adanya kepastian/jaminan halal terhadap produk pangan yang memiliki label halal (5) munculnya kesadaran halal (terutama untuk makanan) ditengah-tengah masyarakat, dan (6) munculnya kesadaran produsen (industri pangn) untuk memberikan jaminan halal terhadap produknya. Menurut Anda, bagaimana relevansi beberapa tujuan/goal tersebut melihat kondisi eksisting kebijakan halal saat ini dan harapan kedepan?
5.
Dalam struktur hierarki penyusunan kebijakan pangan halal nasional digambarkan terdapat lima aktor yang paling pertanggung jawab untuk membuat/melaksanakan kebijakan, yakni (1) pemerintah dengan subaktor: departemen kesehatan/badan POM; departemen pertanian/badan karantina; departemen agama; departemen perindustrian dan perdagangan (2) kalangan legislative/DPR (3) pelaku dunia usaha dengan subaktor: pengusaha ekspor impor produk pangan; industri pangan; pengusaha distribusi dan perdagangan pangan dalam negeri (4) LPPOM MUI, dan (5) konsumen dengan subaktor: masyarakat umum dan lembaga swadaya masyarakat/YLKI. Menurut Anda, bagaimana relevansi aktor-aktor tersebut melihat kondisi eksisting kebijakan halal saat ini dan harapan kedepan?
6.
Dalam struktur hierarki penyusunan kebijakan pangan halal nasional digambarkan terdapat tujuh sekenario kebijakan pangan halal nasional yang direkomendasikan, yakni (1) Penerapan kebijakan pangan halal (sertifikasi dan labelisasi) yang difasilitasi oleh pemerintah sehingga menyentuh semua level industri pangan (khususnya UMKM) (2) Meningkatkan sosialisasi dan edukasi hidup halal kepada semua lapisan masyarakat melalui sarana-sarana komunikasi (jurnal, website, sms) dan pembentukan pilot project halal (zona halal dan komunitas peduli halal) (3) Konsultasi dan pembinaan yang kontinyu terhadap produsen/industri pangan terhadap produknya (4) Diterapkannya kebijakan label haram (untuk produk haram) (5) Meningkatkan pelaksanaan Sistem Jaminan Halal di tengah-tengah industri pangan (6) Sanksi hukum yang tegas terhadap terhadap pihak yang melanggar kebijakan halal, dan (7) Pemberdayaan masyarakat dalam pelaksanaan kebijakan halal. Menurut Anda, bagaimana relevansi sekenario kebijakan pangan halal tersebut melihat kondisi eksisting kebijakan halal saat ini dan harapan kedepan?
Alhamdulillah. Terima kasih atas kesediaan Bapak/Ibu menjadi responden. Semoga Allah Swt mencatatnya sebagai amal sholeh. Amin