NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMILIHAN UMUM MAHASISWA PRESIDEN MAHASISWA, ANGGOTA SENAT MAHASISWA KELUARGA MAHASISWA DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA PENGASIH LAGI MAHA PENYAYANG
A.Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara kesatuan yang berdasarkan kedaulatan rakyat. Prinsip tersebut telah disepakati para pendiri bangsa menjelang Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Naskah Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945 alinea keempat, antara lain menyatakan bahwa ‘’kemerdekaan kebangsaan Indonesia disusun dalam suatu Undang-Undang Dasar yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat’’. 1 Kedaulatan rakyat selanjutnya diatur dalam Pasal 1 ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa "kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar"2.Perwujudan kedaulatan rakyat dimaksud dilaksanakan melalui pemilihan umum (Pemilu) secara langsung sebagai sarana bagi rakyat untuk memilih wakil-wakilnya yang akan menjalankan fungsi melakukan pengawasan, menyalurkan aspirasi politik rakyat, membuat undang-undang sebagai landasan bagi semua pihak di Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam menjalankan fungsi masing-masing.dari dasar itu kedaulatan mahasiswa berada ditanggan mahasiswa yang diselengarakan melalui pemilihan umum mahasiswa sebagai perwujutan kedaulatan mahasiwa dalam memilih Presiden dan Senat mahsiswa keluarga mahasiswa perlu bahwa pemilihan presiden mahasiswa dan senat keluarga mahasiswa Keluarga mahasiswa dari unsur Independen dan Partai mahasiswa perlu adanya payung hukum sebagai peraturan yang mengatur pelaksanaan dari penyelengaraan kedaulatan mahsiswa dengan mengedepankan langsung,jujur,bebas,rahasia dan adil. Mahasiwa pemilih dapat melakukan pilihan terhadap calon Senat yang dalam proses pemilihan umum mahasiwa terdaftar dalam calon yang diajukan melalui partai mahasiwa. Partai mahaiswa dimaknai sebagai
saluran untuk memperjuangkan aspirasi mahasiwa, sekaligus
sebagai sarana kaderisasi dan rekrutmen calon pemimpin bangsa yang kelak akan menjadi penerus perjuangan bangsa Indonesia.
1 2
Lihat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Ibid
Sementara, pemilihan Senat Independen dipilih dari perseorangan
yang memenuhi
persyaratan dalam pemilihan umum mahasiwa bersamaan dengan pemilihan umum mahasiswa untuk memilih anggota senat mahasiswa dari unsure partai politik dan presiden mahasiwa . Hal ini, untuk mengakomodasi aspirasi keanekaragaman dari setiap fakultas. Pemilihan umum mahasiwa perlu diselenggarakan oleh penyelenggara pemilu yang mempunyai integritas, profesionalitas, dan akuntabilitas yang dilaksanakan secara lebih berkualitas, sistematis, legitimate dan akuntabel dengan partisipasi mahasiswa seluas-luasnya. Setiap penyelenggara pemilihan umum mahasiwa , peserta pemilihan umum mahasiwa , pengawas pemilihan umum mahasiwa , pemantau pemilihan umum mahasiwa , pemilih, serta semua pihak yang terkait harus bersikap dan bertindak jujur sesuai dengan peraturan perundangundangan. Setiap pemilih dan peserta pemilihan umum mahasiwa mendapat perlakuan yang sama, serta bebas dari kecurangan dan/atau perlakuan yang tidak adil dari pihak manapun. Pemilihan umum mahasiwa harus dilaksanakan secara lebih berkualitas agar lebih menjamin derajat kompetisi yang sehat, partisipatif, mempunyai derajat keterwakilan yang lebih tinggi, dan memiliki mekanisme pertanggungjawaban yang jelas. Untuk mewujudkan penyelenggaraan pemilihan umum mahasiwa yang lebih berkualitas, yang menjamin derajat kompetisi yang tinggi, sehat, partisipatif, serta mempunyai derajat keterwakiilan yang tinggi dan mekanisme pertanggungjawaban yang jelas, dipandang perlu untuk membentuk undang-undang (UU) tentang pemilihan umum mahasiwa anggota Senat Keluarga Mahasiswa dan Presiden Mahasiswa Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Gadjah Mada. B.Identifikasi Masalah Perubahan nama Pemira yang sebelumnya diatur dalam AD/ART dirubah menjadi Pemilihan Umum Mahasiwa perlu adanya suatu peraturan pengganti yang mengantikan UU no 3 tahun 2011 tentang Pemilihan raya karena dirasa tidak sesuai dengan perubahan AD/ART yang merubah pemilihan raya menjadi pemilihan umum mahasiwa maka berlaku lex superiori derogate legi inferiori sehingga agar adanya kepastian hukum perlu adanya undang –undang yang sesuai denggan AD/ART keluarga mahasiwa UGM
Penghitungan suara langsung di TPS rawan terjadi kecurangan pengelembungan suara dan lain lain. dampaknya pasal tersebut tidak berlaku secara sosiologis sehingga penghitungan dipindah di tingkat universitas.kelemahan penghitungan di universitas adalah penghitungan ini memakan waktu yang lama disamping itu kedekatan antara pemilih kurang bisa terakomodasi dengan baik karena tidak semua mahaisawa dapat memantau jalanya penghitunagan . pemutahiran data pemilih tidak dilakukan dengan akuntabel sehingga masih banyak pemilih yang seharusnya sudah lulus masih tercantum sebagai pemilih.
C.Maksud dan Tujuan Maksud penyusunan naskah akademis Rancangan Undang-Undang (RUU)
Pemilihan
Umum Mahasiwa untuk memilih Senat KM UGM,Senat Independen dan Presiden Mahasiwa ini adalah untuk memberikan landasan konseptual dan pokok-pokok pemikiran yang diperlukan untuk melakukan penyempurnaan terhadap undang-undang tersebut. Tujuan dari naskah akademis ini adalah tersedianya data-data dan bahan yang dapat digunakan sebagai sumber landasan penyusunan subtansi RUU Pemilihan Umum Mahasiwa sebagai wujud penyelengaraan kedaulatan mahasiwa dalam memilih senat,senat independen dan Presiden Mahasiwa Keluarga mahasiswa UGM Metode Penyusunan Naskah akademis ini disusun dengan menggunakan metode sebagai berikut: 1. Studi Pustaka Metode studi pustaka digunakan sebagai cara untuk melakukan pengayaan bahan-bahan dalam penulisan naskah akademis ini. Metode ini dilakukan dengan mempelajari dokumen, laporan, peraturan perundangundangan, dan literatur lainnya yang relevan dengan permasalahan yang akan dikupas dalam naskah akademis ini. Metode ini sangat berguna terutama untuk hal yang berkaitan dengan pengembangan dan pengaplikasian teori-teori dan data-data yang menunjang guna menjawab permasalahan yang ada. Selain itu metode studi pustaka juga berguna sebagai bahan observasi awal terhadap permasalahan-permasalahan yang ada di seputar
penyeleggaraan pemerintahan di lingkup Negara RI khususnya pelaksaaan Pemira dan laporan pelaksanaan Pemira Dari hasil studi pustaka ini kemudian dirumuskan draft awal Naskah Akademis 2. Konsultasi Publik Setelah draft awal tersusun maka selanjutnya dilanjutkan dengan konsultasi publik. Metode ini dilakukan untuk menggali masukan-masukan langsung dari berbagai stakeholders sehingga terjadi pengayaan terhadap bahan awal yang sebelumnya hanya mendasarkan pada studi pustaka. 3. Perumusan Berdasarkan bahan dasar yang menggunakan metode studi pustaka serta ditambah dengan masukan dari berbagai stakeholders maka kemudian dilakukan perumusan dengan melibatkan pejabat, pakar, dan pihak-pihak
A. SISTEM PEMILU Sistem Pemilu menurut Lijphart, diartikan sebagai satu kumpulan metode atau cara warga masyarakat memilih para wakil mereka3. Sistem pemilu, dilihat dari kedudukan individu rakyat maka terdapat dua sistem, yakni sistem pemilu mekanis dan sistem pemilu organis. Sistem pemilu mekanis melihat bahwa rakyat terdiri atas individu. Sedangkan pada sistem pemilu organis, rakyat ditempatkan sebagai jumlah kelompok individu atau dengan perkataan lain rakyat dibagi dalam organ-organ kelompok individu. Kelompok ini didasarkan misalnya geneologis, lapisan sosial, organisasi kelembagaan, dan sebagainya. Dengan demikian pada sistem pemilu organis hak suara terletak pada kelompok. Sistem pemilu mekanis dilaksanakan dengan tiga cara yaitu sistem semi proporsional, sistem representasi proporsional dan sistem mayoritas-pluralitas4. 1. Sistem Pemilu Semi Proporsional Sistem pemilu semi proporsional5 merupakan sistem yang mengkonversi suara menjadi kursi dengan hasil yang berada di antara proporsionalitas sistem perwakilan proporsional dengan mayoritarian dari sistem mayoritas-pluralitas. Terdapat tiga macam sistem pemilu dalam kelompok ini yang digunakan untuk pemilihan para anggota legislatif yaitu6 Single Non-Transferable Vote (SNTV), sistem paralel (atau campuran), dan Limited Vote (LV). a. Sistem Single Non-Transferable Vote (SNTV) Dalam sistem SNTV ini, setiap pemilih memilih satu suara, tetapi ada beberapa kursi yang harus diisi dalam distrik tersebut dan calon anggota legislative yang memperoleh suara terbanyak dapat mengisi kursi tersebut. 3
4 5
6
Arend Lijphart, Electoral Systems, dalam Afan Gaffar, Politik Indonesia, Transisi Menuju Demokrasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2000, hal. 255. Sistem Pemilu, ACE PROJECT sebuah kerjasama IDEA, United Nations, dan IFES Ben Reilly and Andrew Reynolds, Sistem Pemilu, IDEA, International Stockhlom, United Nations New York, dan IFES Washington DC, 2001 hal. 84. Andrew Reynolds, Semi Proporsional dalam “Sistem Pemilu”, op. cit. hal 94.
b. Sistem Paralel Sistem Paralel menggunakan dua sistem utama, baik daftar-daftar representasi proporsional maupun distrik-distrik mayoritas-pluralitas. Dalam sistem ini representasi proporsional daftar tidak memberikan imbangan atas setiap disproporsionalitas dalam distrik mayoritarian. c. Sistem Limited Vote Sistem LV terletak di antara SNTV dan Block Vote (varian dalam sistem pluralitasmayoritas), karena dalam sistem ini ada distrik wakil mejemuk, dan para calon anggota legislative yang menang semata-mata adalah mereka yang mengumpulkan paling banyak suara. Para pemilih dapat memberikan suara yang jumlahnya lebih sedikit dari jumlah kursi yang harus diisi, tetapi lebih dari satu suara.
2. Sistem Pemilu Representasi Proporsional Sistem pemilu proporsional ialah sistem dimana prosentase kursi di dewan perwakilan rakyat yang akan dibagikan kepada tiap-tiap partai politik, disesuaikan dengan jumlah prosentase suara yang diperoleh tiap-tiap partai politik itu. Sistem proporsional ini dapat dilakukan dengan bervariasi, misalnya dengan hare system dan list system. Hare system, di mana pemilih diberi kesempatan untuk memilih pilihan pertama, kedua dan seterusnya dari distrik pemilih yang bersangkutan. Jumlah imbangan suara yang diperlukan untuk pemilih ditentukan dan segera jumlah keutamaan pertama dipenuhi, dan apabila ada sisa suara, maka kelebihan suara ini dapat dipindahkan kepada calon berikutnya, dan seterusnya. List system, di mana pemilih diminta memilih di antara daftar calon yang berisi sebanyak mungkin nama-nama calon wakil rakyat yang akan dipilih dalam pemilu. Tujuan awal sistem proportional reprecentation adalah untuk menghasilkan lembaga perwakilan di mana proporsi kursi-kursi yang dimenangkan oleh tiap-tiap partai kurang lebih merefleksikan proporsi jumlah suara yang diperoleh tiap-tiap partai. Kandidat-kandidat dipilih dari distrik-distrik dengan wakil majemuk. Negara secara keseluruhan mungkin
merupakan satu daerah pemilihan tempat para wakil dipilih, atau mungkin ada beberapa daerah pemilihan kabupaten/kota atau regional asal para wakil dipilih. Semakin besar jumlah daerah pemilihan yang digunakan, semakin kecil kemungkinan komposisi lembaga perwakilan akan mencerminkan proporsi suara yang dimenangkan oleh tiap partai. Keuntungan sistem proporsional : 1) Menjamin eksistensi partai-partai kecil. 2) Dianggap demokratis dan representatif, karena jumlah wakil partai sesuai dengan jumlah suara yang diperolehnya dalam pemilu secara nasional. Sistem ini dianggap lebih mencerminkan asas keadilan, karena semua golongan dalam masyarakat termasuk yang paling minoritas sekalipun, mempunyai peluang untuk menampilkan wakilnya dalam parlemen7. 3) Menjamin suara rakyat tidak terbuang dengan sia-sia. Kerugian sistem proporsional : 1) Hubungan antara rakyat dengan wakilnya kurang akrab, karena rakyat hanya memilih tanda gambar. Siapa orangnya, rakyat kurang tahu dengan pasti. 2) Sistem ini cenderung menggeser asas kedaulatan rakyat menjadi kedaulatan partai politik. Partai politik yang menentukan calon dan partai pula yang berhak me-recall-nya kapan saja. 3) Sistem ini akan memberikan peluang bagi radikalisasi partai politik, karena masingmasing partai politik akan melindungi kepentingannya dengan kuat. Akibatnya, akan sulit mempertahankan sebuah koalisi sebab partai yang kecil memiliki kemampuan untuk menteror partai besar (blackmailing power) dengan mengancam mundur dari koalisi sehingga kabinet setiap waktu terancam bubar. 4) Kualitas calon sukar dikontrol pemilih dan rasa tanggung jawab terhadap yang diwakili menjadi sangat abstrak8.
7
8
Makmur Keliat dkk (Eds), Selamatkan Pemilu Agar Rakyat Tak Ditipu Lagi, The Ridep Institute, Jakarta, 2001, hal, 74-75 Ibid, hal. 74-75.
Sistem proporsional ini mempermudah terjadinya fragmentasi antar-partai politik. Jika timbul konflik, anggota partai cenderung mendirikan partai baru, karena terdapat peluang partai baru itu memperoleh kursi melalui pemilu. Beberapa varian dari sistem proporsional ini antara lain List Proportional Reprecentation, Mixed Member Proportional (MMP) dan Single Transferable Vote (STV).
a. Representasi Proporsional Daftar (RP Daftar)9 Sejumlah bentuk RP Daftar diterapkan di sekitar 70 negara. Semua bentuk RP memiliki karakteristik umum sebagai berikut: (1) Partai memberikan daftar kandidat yang sama jumlahnya dengan kursi yang tersedia di daerah pemilihan. (2) Para pemilih memilih untuk satu partai. Jumlah kursi yang diperoleh tiaptiap partai ditentukan oleh dan secara langsung berkaitan dengan proporsi jumlah suara yang diperolehnya di daerah pemilihan yang bersangkutan. (3) Jumlah kursi yang diperoleh tiap-tiap partai dapat ditentukan dengan menggunakan rumus yang dapat berupa metode ‘sisa terbanyak’ (largestremainder) atau metode ‘rata-rata tertinggi’ (highest average). Setiap cara yang berbeda dalam penghitungan suara ini menimbulkan hasil yang sedikit berbeda – dalam hal jumlah wakil yang terpilih dari tiap-tiap partai politik. (4) Mungkin ada persyaratan yang harus dipenuhi partai, seperti ambang batas (thresholds) agar dapat diikutsertakan dalam pembagian kursi – misalnya, memperoleh presentase suara minimal tertentu. (5) Varian-varian dari RP Daftar dapat dibedakan berdasarkan pemilihan kandidat yang terpilih untuk mengisi kursi yang dimenangkan oleh tiap-tiap partai. Variasi dari RP Daftar ini, antara lain: 9
Andrew Reynolds, Representasi Proporsional Daftar, dalam “Sistem Pemilu”, op. cit., hal 100.
(1) Daftar Tertutup Merupakan bentuk yang paling banyak digunakan di dunia ini. Kursi yang dimenangkan oleh partai politik diisi dengan kandidat-kandidat sesuai dengan ranking mereka dalam daftar kandidat yang ditentukan oleh partai. Biasanya, hanya nama partai yang dimunculkan dalam surat suara, meskipun urutan kandidat-kandidat dalam daftar partai biasanya diumumkan dan biasanya tidak dapat diubah setelah tanggal nominasi tertentu. Oleh karena itu, partai politik memiliki kekuasaan yang cukup besar dalam penentuan kandidat partai yang terpilih untuk mengisi kursikursi yang tersedia. (2) Daftar Terbuka Pemilih memilih partai politik yang mereka sukai dan dalam daftar partai politik tersebut, juga memilih kandidat yang mereka inginkan untuk mengisi kursi yang dimenangkan oleh partai tersebut. Biasanya, jumlah kandidat dalam daftar partai yang ditampilkan dalam surat suara adalah dua kali jumlah kursi yang tersedia. Para pemilih secara umum dapat memilih kandidat-kandidat dalam daftar kandidat suatu partai sebanyak kursi yang tersedia. Memilih kandidat dari partai-partai yang berbeda (ticket splitting) biasanya tidak diperbolehkan. (3) Daftar Bebas Tiap-tiap partai politik menentukan daftar kandidatnya, dengan partai dan tiap-tiap kandidat ditampilkan secara terpisah dalam surat suara. Pemilih dapat memilih dari daftar partai sebagaimana adanya, atau mencoret atau mengulangi nama-nama, membagi pilihan mereka diantara daftar-daftar partai atau memilih nama-nama dari daftar manapun dengan membuat daftar mereka sendiri di dalam sebuah surat suara kosong. Contoh dari sistem ini diterapkan di Swiss.Beberapa kelebihan sistem RP Daftar:
(1) RP Daftar merupakan sistem yang inklusif, memungkinkan badan legislatif terdiri dari wakil rakyat yang berasal dari berbagai macam kekuatan politik, termasuk kelompok minoritas dalam masyarakat. (2) Cukup akurat dalam menterjemahkan proporsi suara yang dimenangkan menjadi persentase wakil yang terpilih. (3) Pada Sistem RP Daftar, hanya sedikit pemilih yang tidak terwakili suara mereka yang terbuang. Oleh karena itu, jumlah pemilih lebih besar. (4) RP Daftar menghasilkan keragaman dalam sistem multi partai. (5) RP Daftar menghasilkan keragaman dalam nominasi kandidat, dan membantu terpilihnya kandidat dari kelompok minoritas. Contohnya, proporsi anggota legislatif perempuan biasanya lebih tinggi di bawah sistem-sistem RP. (6) RP Daftar cenderung menghalangi adanya dominasi regional partai-partai politik tertentu. (7) Beberapa bukti empiris dari Eropa menunjukkan bahwa sistem ini menghasilkan pemerintahan yang lebih efektif. (8) Dalam varian sistem RP daftar tertutup, pemilih dapat memahami dengan mudah dan secara relatif lebih mudah untuk dilaksanakan. (9) RP Daftar menciptakan contoh yang sangat nyata mengenai sharing kekuasaan dan kerjasama. Beberapa kekurangan dari RP Daftar : (1) Di bawah sistem RP Daftar, seringkali tidak ada hubungan yang kuat antara para pemilih dengan wakilnya. (2) Terutama dalam RP Daftar Tertutup, para pemilih tidak memiliki pengaruh dalam menentukan wakil mereka. Hal ini dapat berakibat pada kurangnya akuntabilitas para wakil terhadap pemilihnya. Dengan demikian kekuasaan para pimpinan partai politik dalam menentukan daftar calon legislatif sangat dominan. (3) Dalam penggunaan sistem RP Daftar, sangat jarang bagi suatu partai untuk menjadi mayoritas dalam badan legislatif. Koalisi pemerintahan yang dihasilkan akan membutuhkan kompromi kebijakan, dan dapat memperlambat tindakan dan secara internal kurang stabil dibandingkan pemerintahan yang berasal dari satu partai.
(4) RP Daftar membutuhkan sistem partai yang berfungsi dengan baik. (5) Terutama dalam sistem RP Daftar Tertutup, kurang dapat mengakomodasi kandidat independen. (6) RP Daftar menghasilkan banyak partai dan dapat menimbulkan fragmentasi sistem partai menjadi partai-partai yang hanya mengetengahkan satu wacana tertentu atau suatu ‘kepribadian’ tertentu. (7) Memungkinkan bertahannya partai-partai ekstrimis. (8) Pemerintahan terpilih di bawah RP Daftar akan menjadi kurang bertanggung jawab karena lebih sulit untuk menjatuhkan sebuah partai dari kekuasaan. Bahkan, partai yang tidak populer dapat bertahan dalam koalisi pemerintahan setelah pemilu. (9) Versi yang lebih rumit (RP Daftar Terbuka dan Daftar Bebas) mungkin lebih sulit untuk dimengerti dan dilaksanakan. b. Mixed Member Proportional (MMP)10 Sistem mixed member proportional (MM) ini diterapkan di Jerman, Selandia Baru, Mexico, Bolivia, Italia, dan lain-lain. Karakteristiknya: (1) Pemilih mendapatkan dua surat suara yang berbeda, atau satu surat suara yang terdiri dari dua sistem pemilihan: satu untuk pilihan partai (biasanya secara nasional), yang lain untuk kandidat di daerah pemilihan mereka (distrik lokal). (2) Dimungkinkan adanya rasio yang berbeda-beda dari kursi representasi proporsional terhadap kursi daerah pemilihan – biasanya, antara 25 % - 50 % kursi merupakan kursi representasi proporsional. (3) Bagian tiap-tiap partai dari keseluruhan jumlah kursi dalam badan legislatif secara langsung ditentukan berdasarkan proporsi suara pemilihan RP. (4) Untuk menentukan anggota partai yang terpilih: -
Semua kandidat partai yang menang dari pemilihan distrik dinyatakan terpilih. Sejumlah kandidat tambahan dari daftar partai untuk pemilihan RP dinyatakan terpilih untuk membuat presentase jumlah wakil sama dengan presentase suara pemilihan RP.
10
Ibid
-
Ketentuan khusus mungkin dibutuhkan, termasuk jumlah parlemen yang fleksibel, untuk menangani situasi di mana kursi yang dimenangkan sebuah partai dari distrik melebihi jumlah kursi yang diperolehnya dari presentase suara RP.
Beberapa kelebihan yang signifikan dari MMP, mirip dengan sistem RP: (1) Menghasilkan keuntungan proporsional dari sistem pemilihan RP secara keseluruhan. Ada hubungan langsung antara suara yang diperoleh dengan jumlah kursi yang dimenangkan, sementara juga menjamin pemilih memperoleh representasi geografis yang bertanggung jawab. (2) Memungkinkan pemilih memiliki dua suara, sehingga suara dapat dibagi antara partai/orang yang mewakili bagian yang berbeda dari pandangan pemilih. (3) Merupakan sistem yang inklusif, sehingga memungkinkan badan legislatif untuk terdiri dari berbagai macam gerakan politik, termasuk minoritas dalam masyarakat. (4) Di bawah MMP, sedikit suara yang terbuang, sehingga jumlah pemilih yang memilih lebih besar. (5) Menghasilkan keragaman dalam nominasi kandidat untuk pemilihan, membantu terpilihnya wakil dari kelompok minoritas dan menyediakan perwakilan untuk partaipartai minoritas.
Beberapa kekurangan sistem MMP: (1) MMP cenderung memenghasilkan koalisi atau pemerintahan yang lemah, sulit untuk dijatuhkan dari kekuasaan. (2) Di bawah MMP, suara untuk perwakilan lokal kurang penting dibandingkan suara untuk partai politik dalam menentukan alokasi kursi secara keseluruhan. MMP dapat menimbulkan dua kelas perwakilan dalam parlemen, masing-masing dengan agenda yang berbeda, walaupun berasal dari partai yang sama. (3) Pemilih sulit memahami bagaimana kursi-kursi dialokasikan dalam MMP, dan mungkin membutuhkan usaha pendidikan pemilih yang substansial. (4) MMP dapat memberi peluang bagi ‘strategic voting’ di mana pemilih dianjurkan oleh partai politik yang didukungnya untuk memilih kandidat dari partai lain, tapi
bersimpati pada partai yang mereka dukung, untuk memaksimalkan kursi partai mereka di bawah alokasi RP. (5) MMP lebih rumit untuk diterapkan oleh pemilih dan administrator pemilu, dibandingkan dengan sistem RP Daftar. Namun hasil proporsional yang diperolehnya sama kualitasnya.
3. Sistem Pemilu Mayoritas-Pluralitas (Distrik) Sistem mayoritas-pluralitas atau sistem distrik merupakan sistem pemilihan yang paling tua, didasarkan atas kesatuan geografis. Setiap kesatuan geografis (yang biasanya disebut distrik karena kecilnya daerah yang diliputi) mempunyai satu wakil dalam parlemen. Untuk keperluan pemilihan, negara dibagi dalam sejumlah besar distrik dan jumlah wakil rakyat dalam parlemen ditentukan oleh sejumlah distrik. Calon yang dalam satu distrik memperoleh suara terbanyak menang, sedangkan suara-suara yang diberikan kepada caloncalon lain dalm distrik itu dianggap hilang dan tidak diperhitungkan lagi, bagaimana kecilpun selisih itu kekalahannya. Misalnya, dalam distrik dengan jumlah suara 100.000, ada dua calon yakni A dan B. Calon A memperoleh 60.000 dan B 40.000, maka calon A memperoleh kemenangan, sedangkan jumlah suara 40.000 dari calon B dianggap hilang. Sistem pemilihan ini dipakai di Inggris, Kanada, Amerika Serikat dan India. Dalam sistem distrik ini biasanya yang dijadikan dasar pembagian distrik adalah jumlah penduduk11. Seperti di Amerika Serikat, luas atau besarnya wilayah sama sekali tidak menentukan. Oleh karena itu, isu yang sering menimbulkan pertentangan adalah penentuan distrik karena ada yang diuntungkan berkenaan bertambahnya penduduk dan ada pula yang dirugikan karena penduduknya berkurang.
11
Afan Gaffar, Politik Indonesia…, op.cit, hal. 265.
Yang menjadi hukum dasar dalam sistem distrik adalah the winner takes all. Artinya apabila dalam sebuah distrik ada dua calon atau lebih, seorang calon memenangkan 50 persen suara ditambah satu (simple majority) maka dialah yang akan memenangkan kursi didistrik tersebut. Jika tidak ada yang memenangkan dengan simple majority katakanlah ada tiga atau empat calon, maka harus diadakan pemilu atau run-off dari mereka yang dua terbesar mengumpulkan suara. Sistem distrik mempunyai beberapa aspek positif 12: (1) Karena kecilnya distrik, maka wakil yang terpilih biasanya dikenal oleh penduduk distrik, sehingga hubungannya dengan penduduk lebih erat. Dengan demikian, dia akan lebih terdorong untuk memperjuangkan kepentingan distrik. Lagipula, kedudukannya terhadap partainya akan lebih bebas karena dalam pemilihan semacam ini faktor kepribadian seserang merupakan faktor yang penting. (2) Sistem ini lebih mendorong ke arah integrasi partai-partai politik karena kursi yang diperebutkan dalam setiap distrik pemilihan hanya satu. Hal ini akan mendorong partaipartai untuk menyisihkan perbedaan-perbedaan yang ada dan mengadakan kerja sama. Di samping kecenderungan untuk membentuk partai baru sedikit banyak dapat dibendung, sistem ini mendorong ke arah penyederhanaan partai secara alamiah, tanpa paksaan. (3) Terbatasnya jumlah partai dan meningkatnya kerjasama antar partai-partai mempermudah terbentuknya pemerintahan yang stabil dan tercapainya stabilitas nasional. (4) Sistem ini sederhana dan mudah untuk diselenggarakan. Sistem ini mempunyai beberapa kelemahan : (1) Sistem ini kurang menguntungkan bagi partai-partai kecil dan golongan minoritas, apalagi jika golongan ini terpencar dalam beberapa distrik pemilihan. Amat sukar bagi partai kecil untuk menjadi pemenang tunggal dalam suatu distrik.
12
Miriam Budiarjo, Sistem Pemilu yang Bagaimana (Bagian 2) dalam Sistem-Sistem Pemilihan Umum: Suatu Himpunan Pemikiran, Fakultas Hukum UI, Jakarta,2000.
Sebaliknya sistem distrik menguntungkan partai besar. Partai yang besar dalam masyarakat akan menjadi lebih besar di parlemen dan partai yang kecil dalam masyarakat akan menjadi lebih kecil dalam parlemen. Penyebabnya adalah partai kecil sukar sekali untuk menang mutlak dalam suatu distrik. (2) Sistem ini kurang representatif dalam arti bahwa calon yang kalah dalam suatu distrik, kehilangan semua suara yang telah mendukungnya.Hal ini berarti ada sejumlah suara yang tidak dihitung sama sekali; dan kalau ada banyak partai yang bersaing, maka jumlah suara yang hilang dapat mencapai jumlah yang besar.Hal ini sering dianggap tidak adil oleh golongan yang kalah. (3) Bisa terjadi kesenjangan antara jumlah suara yang diperoleh dari masyarakat dan jumlah kursi yang diperoleh dari masyarakat dan jumlah kursi yang diperoleh dalam parlemen. Sugiono menyatakan bahwa sistem distrik biasanya didasarkan pada beberapa hipotesa yang pernah dibuat oleh Maurice Duverger dalam bukunya Political Party (1954). Dari penelitiannya di Eropa, Duverger berpendapat bahwa terdapat “Hukum sosiologi yang riil” bahwa apabila sistem distrik dipakai dalm pemilu suatu negara maka akan timbul sistem dua partai, karena partai-partai yang nomor tiga dan seterusnya yang tidak pernah menang dalam pemilu akan berkoalisi dengan sesama partai kecil atau bergabung dengan dua partai besar, agar suaranya yang sedikit di suatu distrik pemilihan masih bisa dialihkan ke partai lain dengan imbalan politik tertentu. Dengan demikian, suara para pemilihnya tidak terbuang percuma, namun masih ada artinya sebagai bargaining chip. Akibatnya, partai politik akan semakin berkurang jumlahnya. Menurut Duverger keadaan tersebut akan menjamin stabilitas pemerintahan (kabinet) karena partai-partai yang berkuasa di Parlemen dan Pemerintahan, relative susah dijatuhkan oleh partai-partai kecil yang berkoalisi sesamanya atau mengalihkan dukungan dari partai pemerintahan kepada partai besar yang berada di luar pemerintahan. Teori ini tampaknya hanya cocok untuk negara-negara Eropa barat yang memang sudah tidak mempunyai masalah dengan identitas-identitas atau integrasi mereka, sehingga “perdebatan mengenai nilai budaya” atau “konflik antar kelompok budaya” sudah dapat dikatakan tidak
ada lagi. Situasi tidak sama terjadi dalam negara Indonesia karena masih terdapat perbedaan nilai kelompok budaya yang masih sangat menonjol. Akibatnya, belum tentu sistem ini menghasilkan stabilisasi sistem politik kita sebagaimana yang dikemukakan pada teori Duverger. Sebaliknya, sistem distrik justru akan mempertajam konflik politik13. Sementara, menurut Cornelis Lay14 : Titik yang paling rawan dari sistem pemilihan distrik adalah ia menyediakan ruang yang luas bagi, dan sekaligus dengan mudah memacu radikalisme daerah. Bisa dipastikan, daerah-daerah akan mematok “putra asli” sebagai syarat politik, sementara perilaku pemilih pun akan banyak didikte oleh keterkaitan primordialisme sempit. Pengalaman banyak bangsa memastikan eskploitasi berlebihan isu-isu primordial bisa merosot sangat tajam menjadi kecenderungan etnonasionalisme-provinsialisme atau daerahisme yang sangat menghancurkan. Bagi Indonesia, persoalan di atas akan menjadi semakin pelik karena realitas masyarakat Indonesia yang super-majemuk dengan derajat cross-cutting affiliation yang sangat rendah, merupakan faktor-faktor yang bisa mempercepat radikalisme daerah-daerah. Pemilahan masyarakat kita yang sangat tegas-etnik yang bertumpang tindih dengan agama, lokasi (pulau atau daerah), kultur, bahkan ciri-ciri fisik dan lain-lain- yang diikuti oleh keterbatasan arena dan sarana (antara lain, karena kendala geografis) bagi pembentukan jaringan afiliasi yang bersifat tumpang tindih, tentunya bukan merupakan kondisi yang kondusif bagi pemberlakuan sistem distrik. Apabila sistem distrik ini diberlakukan maka akan terjadi perubahan secara luar biasa di daerah. Dinamika hubungan politik akan lebih diwarnai dan dideterminasi oleh rute politik primordial, menyisihkan pertimbangan-pertimbangan dan isu-isu lainnya. Dalam konteks ini, daerah-daerah ini dengan pemilahan masyarakat yang tegas berdasarkan garis etnik yang bertumpangtindih dengan agama, kultur dan seterusnya akan menjadi kawasan yang sangat ringkih terhadap kemungkinan terjadinya benturan antar aneka segmen
13
14
Sugiono, Bahaya Sistem Distrik Bagi Integrasi Bangsa dalam Sistem-sistem Pemilihan Umum : Suatu Himpunan Pemikiran, Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2000. Cornelis Lay, Problem Sistem Pemilihan Distrik, dalam Sistem-sistem Pemilihan Umum : Suatu Himpunan Pemikiran, Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2000.
yang terpilih di atas. Akibatnya, daerah-daerah dengan karakter diatas, arena pemilihan bukan sebatas sebagai arena perebutan pengaruh diantara elit-elit politik yang saling bersaing ke posisi di lembaga-lembaga perwakilan, tapi sebagai arena konsolidasi dan reproduksi “perbedaan-perbedaan di antara masyarakat yang memang sudah berbeda. Di ujungnya pada tingkat paling moderat, pemberlakuan sistem pemilihan distrik akan semakin mempertegas dan mengentalkan pemilahan masyarakat ke dalam sekat-sekat eksklusivisme berdasarkan kesamaan stink, agama, asal daerah, kultur, ciri fisik, dan seterusnya. Sistem ini mempunyai varian antara lain First Past The Post (FPTP), Block Vote (BV), Alternative Vote (AV) dan Two Round Sistem (TRS). First Past The Post (FPTP)15
a.
Sistem tipe ini secara menonjol diterapkan di Inggris dan daerah-daerah bekas jajahannya. Sistem ini memiliki karakteristik: (1)
Sistem ini didasarkan pada ‘distrik-distrik wakil tunggal’ – satu wakil dipilih dari setiap daerah pemilihan.
(2)
Pemenang di setiap daerah pemilihan merupakan kandidat yang mendapatkan suara terbanyak. Ini tidak selalu berarti kandidat yang memperoleh suara mayoritas.
Beberapa kelebihan yang signifikan dari ‘First Past The Post’: (1)
FPTP dapat mengkonsolidasi dan membatasi jumlah partai, biasanya menjadi dua partai yang memiliki jangkauan luas, sehingga para pemilih memiliki pilihan yang jelas. Hal ini dapat membatasi kemungkinan adanya partai-partai yang ekstrim.
(2)
Memiliki kecenderungan untuk menghasilkan pemerintahan yang kuat, dan berasal dari satu partai.
(3)
Pemilihan dengan sistem FPTP cenderung membuat partai-partai bertanggungjawab atas tindakan-tindakan mereka.
(4)
Dapat
mendorong
adanya
pihak
oposisi
untuk
bertanggungjawab.
15
Andrew Reynold, First Past The Post, dalam Sistem Pemilu” op.cit., hal 82.
membuat
pemerintah
(5)
Seperti sistem lain yang berdasarkan pada daerah pemilihan, dapat membuat hubungan yang erat antara pemilih dan wakilnya, juga lebih menjamin akuntabilitas wakil rakyat terhadap pemilihnya.
(6)
Memungkinkan kandidat independen untuk mengikuti pemilu.
(7)
Menyeimbangkan fokus antara partai politik dan para kandidat secara individual.
(8)
Merupakan sistem yang sederhana untuk dimengerti dan digunakan oleh para pemilih, serta mudah dalam pelaksanaannya.
Beberapa kekurangan sistem ‘First Past The Post’: (1)
Kursi-kursi yang dimenangkan sangat tidak proporsional dengan keseluruhan suara yang diperoleh dalam pemilu. Partai dengan jumlah suara mayoritas atau terbanyak, mungkin tidak mendapatkan mayoritas, atau bagian terbesar dari jumlah kursi yang ada. Partai dengan proporsi yang menonjol dari keseluruhan jumlah suara mungkin tidak mendapatkan kursi sama sekali;
(2)
Proses ‘pemenang memperoleh semua’ (the winner takes all) mengakibatkan sebagian besar dari suara yang ada terbuang. Para pemilih ini tidak terwakili dan partai-partai minoritas tidak terikutsertakan dalam perwakilan yang ‘adil’;
(3)
Sistem pluralitas berarti bahwa kandidat yang menang mungkin hanya didukung oleh 30-40% pemilih, atau mungkin kurang dari itu;
(4)
Sebagaimana lazimnya sistem distrik wakil tunggal, FPTP tidak memberikan insentif untuk kandidat-kandidat dari partai-partai minoritas;
(5)
Menghalangi berkembangnya sistem multi partai yang pluralisits;
(6)
Dapat menciptakan dominasi partai daerah dan mendorong adanya partai-partai yang berhaluan etnis/kesukuan;
b.
(7)
Tidak sensitif atau teramat sensitif terhadap perubahan opini publik
(8)
Dapat dipengaruhi manipulasi dari batas-batas daerah pemilihan. Block Vote (BV)16
Secara prinsip sama dengan sistem FPTP, kecuali BV berwakil banyak. Para pemilih diberi kesempatan untuk memilih sebanyak kursi yang akan diisi dan biasanya mereka 16
Ben Reilly dan Andrew Reynold, Block Vote dalam “Sistem Pemilu” op.cit
bebas memilih calon anggota legislative tanpa mempertimbangkan afiliasi partainya. Dalam sistem BV, para pemilih dapat menggunakan sebanyak mungkin atau sesedikit mungkin pilihan yang mereka inginkan. c.
Alternative Vote (Preferential Voting atau AV) Sistem ini diterapkan di Australia, dan di Nauru dalam bentuk yang telah dimodifikasi. Sistem ini juga pernah diterapkan di Fiji, hanya sekali, pada tahun 1999, dan juga di Papua Nugini dari tahun 1964 sampai 1975, ketika masih berada di bawah administrasi Australia. Karakteristik sistem ini adalah: (1)
Sistem Alternative Vote biasanya menggunakan distrik wakil tunggal (dapat diterapkan untuk pemilu dengan distrik wakil majemuk, misalnya untuk Senat Australia sampai tahun 1949, sistem ini cenderung menghasilkan hasil yang lebih tidak berimbang dibandingkan dengan sistem-sistem Block Vote).
(2)
Pada sistem full preferential voting, para pemilih harus mengurutkan semua kandidat sesuai urutan preferensi mereka (1,2,3,4, dan seterusnya).
(3)
Pada sistem optional preferential voting, para pemilih memiliki pilihan untuk menandai hanya satu kandidat atau memilih mengurutkan beberapa atau semua kandidat.
(4)
Pada sistem ‘ticket voting’ pemilih memilih sebuah partai politik, dan preferensi pemilih akan sama dengan urutan preferensi yang telah ditentukan partai yang bersangkutan, yang diumumkan oleh semua partai politik kepada pelaksana pemilu sebelum hari pemilihan.
(5)
Pemenangnya adalah kandidat dengan perolehan 50% + 1 dari suara sah yang ada di distrik yang bersangkutan. Apabila ketentuan ini tidak tercapai dari preferensi pertama para pemilih, maka kandidat dengan jumlah pilihan pertama yang terrendah akan disingkirkan, dan pilihan kedua yang ditandai di kertas suara kandidat tersebut dibagikan ke kandidat lainnya. Proses eliminasi kandidat dengan jumlah suara terendah dan membagikan kertas suaranya kepada kandidat lain yang tertinggal, di mana kepada mereka pemilih
telah menentukan pilihan berikutnya, berlanjut sampai seorang kandidat memperoleh 50% + 1 total suara. Beberapa kelebihan dari Alternative Vote: (1)
Sistem Alternative Vote memiliki kelebihan dalam mempererat hubungan pemilih dengan para wakil mereka, seperti juga halnya dalam sistem-sistem lain yang berdasar kepada distrik.
(2)
Sistem Alternative Vote memungkinkan pemilih untuk mendapatkan lebih dari satu kesempatan untuk menentukan siapa yang akan menjadi wakil mereka, meskipun argumentasi ini menjadi kurang kuat apabila varian ‘ticket voting’ diterapkan.
(3)
Berkat adanya persyaratan dukungan mayoritas bagi seorang kandidat untuk dapat terpilih, sistem ini memberikan legitimasi kuat kepada para kandidat yang terpilih.
(4)
Mendorong adanya kerjasama antar partai politik dan mengurangi efek-efek ekstrimisme.
(5)
Memungkinkan partai-partai kecil terfokus untuk berkoordinasi tanpa harus beraliansi secara formal.
(6)
Lebih murah untuk dilaksanakan dibandingkan dengan sistem majority yang lain seperti sistem dua putaran.
Beberapa kekurangan sistem Alternative Vote: (1)
Hasilnya tidak proporsional, seringkali memberi peluang bagi terbentuknya suatu pemerintahan yang dikuasai suatu partai dengan proporsi suara yang lebih kecil dalam total jumlah suara.
(2)
Sistem-sistem Alternative Vote ini seringkali memberikan kemenangan kepada kandidat yang tidak memperoleh suara preferensi teratas pertama dan justru kandidat yang memperoleh suara preferensi teratas kedua dan ketiga sering menjadi pemenang.
(3)
Membutuhkan tingkat melek-huruf dan numerasi yang tinggi diantara populasi pemilih. Apabila tidak terpenuhi dapat menimbulkan banyaknya suara yang tidak sah sehingga akhirnya legitimasi pemilu dipertanyakan.
(4)
Membutuhkan program pendidikan pemilih yang lebih rumit dan intensif.
(5)
Kertas suara untuk distrik pemilihan harus dikumpulkan di statu lokasi untuk penghitungan suara dan penentuan hasil sesuai sistem ini. Hal ini menimbulkan implikasi pada aspek keamanan, transparansi dan logistik.
(6)
Kerumitan penghitungan suara mungkin melebihi kapacitas pelatihan dan penerapan administrator pemilu, dan tidak sepenuhnya dapat dipahami partai dan para pengamat. Bahkan dalam situasi yang ideal pun, akan membutuhkan waktu lama untuk menentukan pemenang. Ini bukanlah sistem yang mudah dan sederhana.
(7)
Membuka peluang bagi adanya kesepakatan-kesepakatan bawah tangan dan praktek politik uang untuk menunjang upaya partai politik untuk mempengaruhi preferensi pemilih.
(8)
d.
Dapat dipengaruhi oleh manipulasi batas-batas daerah pemilihan.
Two Round System (TRS)17 Bentuk terakhir sistem pluralitas mayoritas adalah two round system (TRS) atau sistem dua putaran yang juga dikenal dengan sistem run-off atau double ballot. Dalam sistem TRS ini, pemilihan dilakukan dalam dua putaran. Jarak antara putaran pertama dan kedua satu atau dua minggu. Putaran pertama dilaksanakan seperti model FPTP. Jika seorang calon anggota legislatif mendapatkan suara mayoritas absolut, maka secara langsung dipilih dan tidak diperlukan putaran kedua. Tetapi jika tidak ada calon anggota legislatif yang mendapatkan suara mayoritas absolut, maka putaran kedua dilaksanakan dan pemenang putaran ini dinyatakan terpilih.
4. Batas Representasi (Thresholds) Semua sistem pemilu mempunyai batas representasi perwakilan. Artinya, tingkat dukungan minimal yang diperlukan sebuah partai untuk memperoleh perwakilan, yang diterapkan secara legal (efektif).
17
Ben Reilly dan Andrew Reynolds, Two Round System, dalam “Sistem Pemilu,” op.cit., hal.91
Dalam beberapa hal, batas representasi ini merupakan produk sampingan dari sistem milihan umum yang lain, seperti jumlah kursi yang harus diisi dan jumlah partai atau caleg yang bertarung dalam milihan umum, dan dengan demikian disebu t batas representasi yang “efektif”. Meskipun demikian, pada banyak hal lagi, batas representasi ini dimasukkan ke dalam UU Pemilu, yang kemudian memunculkan sistem RP, dan dengan demikian disebut “formal”. Di Jerman, Selandia Baru, dan Rusia, misalnya, diberlakukan batas representasi 5%18. Partaipartai politik yang tidak mencapai batas representasi lima persen tidak berhak memperoleh bagian kursi dari RP Daftar. Sebagai perbandingan, lihat dalam Jerman: Sistem Mixed Member Proportional yang orisinal dan Rusia-Sistem Paralel yang terus berkembang. Ketentuan ini berasal dari Jerman dengan maksud untuk membatasi terpilihnya kelompok ekstrimis, dan dimaksudkan untuk menghentikan partai-partai kecil sehingga mereka tidak mendapatkan perwakilan. Meskipun demikian, baik di Jerman maupun di Selandia Baru ada jalan “pintu belakang” bagi sebuah partai sehingga mereka dapat memperoleh kursi dari daftar tersebut. Di Selandia Baru sebuah partai harus memenangkan sedikitnya satu kursi konstituen, dan di Jerman tiga kursi untuk dapat lepas dari persyaratan batas representasi. Di Rusia pada tahun 1995 tidak ada jalan “pintu belakang” dan hampir setengah dari suara partai berdasarkan daftar partai terbuang. Partai-partai yang mendapatkan kurang dari persentase ini dikeluarkan dari penghitungan. Dalam semua kasus diatas, adanya batas representasi formal cenderung meningkatkan tingkat disproporsionalitas, karena suara yang sebenarnya dapat dipakai dalam perwakilan menjadi terbuang. Di Polandia pada tahun 1993, bahkan dengan batas representasi yang relative kecil yaitu sebesar lima persen, lebih dari 34 % suara diberikan untuk partai politik, yang ternyata tidak dapat melampaui batas representasi tersebut. Tetapi pada kebanyakan kasus lain, batas 18
Sebagai pembanding, electoral threshold di Swedia 4%, Argentina dan Bolivia 3%, sedangkan Meksiko dan Norwegia masing-masing 2%. Lihat Lili Romli, “Mencari Format Sistem Kepartaian Masa Depan”, dalam Jurnal Politika, Vol. 2, 2006, hal. 32.
representasi mempunyai pengaruh yang kecil saja terhadap hasil secara keseluruhan. Maka dari itu, beberapa ahli pemilu melihatnya tidak perlu dan seringkali menambah rumitnya aturan pemilu, yang seharusnya dihindari. Batas representasi yang tinggi dapat berfungsi untuk mendiskriminasikan partai-partai kecil – dan ternyata dalam beberapa kasus memang inilah maksud dari adanya batas representasi. Tetapi dalam banyak kasus diskriminasi terhadap partai-partai kecil yang disengaja sebenarnya tidak diinginkan, terutama dalam kasus-kasus di mana beberapa partai kecil dengan dasar pendukung yang hamper sama “memecah” suara mereka sendiri dan pada akhirnya terjatuh dibawah batas representasi. Padahal seandainya mereka menyatukan suara mereka, mereka pasti dapat memperoleh kursi di parlemen. Untuk dapat mengatasi masalah ini, banyak negara yang menggunakan sistem RP Daftar juga memperbolehkan partai-partai kecil membuat kelompok bersama untuk pemilu, dan dengan demikian membentuk kartel atau apparentement untuk dapat bertarung dalam pemilu. Ini berarti bahwa partai tersebut tetap merupakan partai-partai tersendiri, dan dicantumkan sendiri-sendiri dalam kertas suara, tetapi suara yang diperoleh dihitung seolah-olah mereka bersama-sama menjadi satu kartel. Maksudnya, meningkatkan kemungkinan bahwa suara mereka yang dijadikan satu secara keseluruhan akan berada diatas batas representasi, dan dengan demikian mereka mungkin dapat memperoleh perwakilan tambahan.
BAB III EVALUASI PEMILIHAN RAYA TAHUN 2013 Sejak era reformasi, Indonesia telah melaksanakan pemilu secara periodik dan tetap yaitu Pemilu tahun 1999, Pemilu 2004, Pemilu 2009 Dan 2014. Prestasi menyelenggarakan pemilu mendapat apresiasi dari berbagai kalangan, bahkan luar negeri dan mengantarkan Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar di dunia selain Amerika Serikat dan India. Di tengah kekhwatiran bahwa penyelenggaraan pemilu dapat menimbulkan konflik, ternyata bangsa Indonesia justru berhasil menyelenggarakan pemilu dengan aman, tertib dan demokratis. Padahal, banyak kalangan sejak tahun 2004 menilai bahwa Pemilu di Indonesia merupakan Pemilu yang paling rumit di dunia- seperti ditulis sebuah majalah luar negeri Far Ekonomic Review pada tahun 2004.19 Melihat dari hal itu perlu adanya pendidikan politik di universitas gadjah mada yaitu dalam bentuk pemilihan raya .pada perjalanya banyak hal yang harus dievaluasi dari UU NO >>>>>>>>> tentang pemilihan raya dimana dalam Undang-undang tersebut menyebabkan permasalahan dalam penyelengaraan pemira .berdasarakan hasil evaluasi yang telah dilakukan kita menemukan beberapa kekurangan antara lain, 1. Permasalahan terbesar, UU tidak memiliki Bab Penjelas. Sehingga diskusi yang multitafsir justru dianggap sebagai penyelewengan. Banyak yang salah tulis dan multitafsir. Banyak pasal yang mulai dari penyeleksian sampai penyerahan berkas tidak jelas pengaturannya, dalam tehnis sulit dilakukan karena harus ditafsirkan sendiri tanpa Bab Penjelas. 2. Bebrapa pasal memiliki tumpang tindih sehingga menyebapkan penyelengaraan dilapangan tidak efektif seperdi saat pelaksaan seleksi untuk memilih SC,badan pengawas dan mahkamah pemira ada dua kepanitianaan yang memilih yaitu panitia kerja yang dilakukan oleh senat dan panitia seleksi dari BEM KM sehingga menyebapkan proses seleksi dua kali yang menyebabkan tidak efektif serta memotong waktu untuk persiapan. 3. Ada beberapa pasala yang dalam UU pemira tidak jelas seperti kampanye,dana dan pembentukan OC sehingga dalam perjalanya banyak menimbulkan kebingungan. 4. Dalam UU pemira banyak yangb tidak sesuai dengan komposisi nya salah satunya adalah mahkamah yang tidak dari fakultas Hukum karena pada dasarnya penafsiran UU diperlukan 19
Naskah akademik tentang perubahan uu no 10 tahun 2008
dalam penyelengaraan PEMIRA tidak lah sempurna ketika orng yang tidak mengerti UU dapat menafsirkan UU dengan baik. 5. Disamping itu kelembagaan antara SC,OC Pemira tidak jelas sehingga panitia SC harus merangkap menjadi OC 6. Kewenangan Banwaslu yang kurang sehingga dalam eksekusi memerlukan waktu dan cenderung tidak memiliki kewenangan ,disamping itu sanksi yang tertera kurang tegas. 7. Dalam perjalananya banyak pengaturn yang dirasa tidak sesuai contoh KTM untuk presiden independen,senat independen dan dan kampanye dirasa sudah tidak seusai.
BAB IV MATERI RANCANGAN UNDANG-UNDANG
A. Materi Perubahan dan penyempurnaan 1.Perubahan nama Pemilihan raya mahasiwa menjadi Pemilihan umum mahasiwa Perubahan nama pemilihan raya mahasiwa (PEMIRA) menjadi pemilihan umum mahasiwa didasarakan pada perubahan Aangaran dasar dan anggaran rumah tangga keluarga mahasiwa UGM menjadi Pemilihan umum mahasiwa mengharuskan perubahan pada UU PEMIRA karna berlaku lex superiori derogat legi inferiori.
2. Persyaratan mengikuti pemilu Partai mahasiswa dapat menjadi peserta pemilu setelah memenuhi persyaratan umum dan persyaratan khusus. Peserta pemilu untuk memilih anggota Senat adalah perseorangan yang memenuhi persyaratan kualifikasi dan dukungan minimal pemilih. Persyaratan administrasi dan dukungan pemilih disamakan bagi anggota Senat yang akan mencalonkan diri ada pemira berikutnya maupun bagi mahasiswa yang belum pernah menjadi anggota Senat. Ketentuan ini dimaksudkan untuk tidak membuat diskriminasi bagi para calon anggota Senat. Banwaslu melakukan pengawasan atas pelaksanaan verifikasi partai politik calon peserta pemilu yang dilaksanakan oleh KPUM.
3. Alokasi kursi dan daerah pemilihan Jumlah kursi anggota Senat dibagi atas wakil dari Partai Mahasiswa dan wakil dari Independen yang diambil dari perwakilan tiap fakultas. Alokasi kursi DPRD kabupaten/kota untuk setiap daerah pemilihan dilakukan dengan: a. Perwakilan dari tiap Partai Mahasiswa berdasarkan perolehan suara pada pemira b. Perwakilan independen dari tiap fakultas yang ada di Universitas Gadjah Mada sebanyak 18 orang.
4. Penyusunan daftar pemilih Proses penyusunan daftar pemilih dimulai dari pemutakhiran data pemilih oleh KPUM tiap fakultas. Dalam pelaksanaan di lapangan, KPUM dibantu oleh petugas administrasi mahasiswa. Berikutnya adalah penyusunan daftar pemilih sementara oleh KPU dengan basis TPS. Selanjutnya, KPUM tiap fakultas menyusun dan menetapkan Daftar Pemilih Tetap berdasarkan Daftar Pemilih Sementara hasil perbaikan dengan basis TPS. Dalam setiap tahapan, mahasiswa dapat memberikan masukan
untuk perbaikan daftar pemilih. Dalam proses penyusunan daftar pemilih, diberikan kewenangan kepada Banwaslu melaksanakan pengawasan atas pelaksanaan pemutakhiran data pemilih, penyusunan dan pengumuman daftar pemilih sementara, perbaikan dan pengumuman daftar pemilih sementara, penetapan dan pengumuman daftar pemilih tetap, penerbitan dan penyampaian kartu pemilih, dan rekapitulasi daftar pemilih tetap yang dilaksanakan oleh KPUM.
5. . Persyaratan bakal calon anggota Senat Mahasiswa dan Presiden Mahasiswa Dalam rangka meningkatkan kualitas kinerja lembaga perwakilan dan Presiden Mahasiswa, selain persyaratan sebagaimana yang telah diatur dalam UU: a) Warga Negara Indonesia; b) mahasiswa Universitas Gadjah Mada minimal telah menempuh 2 (dua) semester; c) setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945, dan nilai-nilai perjuangan Universitas Gadjah Mada; d) tidak pernah dijatuhi hukuman pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; e) sehat jasmani dan rohani; f) terdaftar sebagai pemilih; g) bersedia untuk tidak merangkap jabatan di or ganisasi lain yang sekiranya dapat mengganggu kinerja; h) mencalonkan hanya di 1 (satu) lembaga perwakilan;
6. Verifikasi kelengkapan administrasi bakal calon anggota Senat Mahasiswa KM KPUM melakukan verifikasi terhadap kebenaran dan kelengkapan dokumen persyaratan administrasi bakal calon anggota Senat Mahasiswa. Dalam proses ini diberikan kewenangan kepada Banwaslu untuk melaksanakan pengawasan atas verifikasi kelengkapan administrasi calon anggota Senat Mahasiswa dan Presiden Mahasiswa yang dilaksanakan oleh KPUM. Dalam hal Banwaslu, menemukan unsur kesengajaan atau kelalaian anggota KPUM dalam melaksanakan verifikasi kelengkapan administrasi calon anggota Senat dan Presiden Mahasiswa yang merugikan calon anggota, Banwaslu menyampaikan temuan kepada KPUM. Dalam hal ditemukan dugaan telah terjadi
pemalsuan atau penggunaan dokumen palsu dalam persyaratan administrasi bakal calon KPUM, berkoordinasi dengan instansi yang berwenang untuk dilakukan proses lebih lanjut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
7. Kampanye Kampanye pemilihan raya dilaksanakan dengan prinsip pembelajaran bersama dan bertanggungjawab. Kampanye pemilihan raya dilaksanakan oleh pelaksana kampanye, diikuti oleh peserta kampanye, dan didukung oleh petugas kampanye. Sedangkan materi kampanye partai mahasiswa peserta pemilihan raya yang dilaksanakan oleh calon anggota Senat Mahasiswa dan Presiden Mahasiswa meliputi visi dan misi. Kampanye pemilihan umum dapat dilakukan melalui pertemuan terbatas, tatap muka, penyebaran melalui media cetak dan Naskah Akademik media elektronik, penyiaran melalui radio dan/atau televisi, penyebaran bahan kampanye kepada umum, pemasangan alat peraga di tempat umum, rapat umum, dan kegiatan lain yang tidak melanggar peraturan perundang-undangan. Untuk menghindari kampanye pemilu sembunyi-sembunyi atau terselubung yang dilakukan oleh calon sebelum pelaksanaan kampanye, maka ditetapkan waktu kampanye yang diperbolehkan.
8. Tata cara pendaftaran calon anggota Senat Mahasiswa dan Presiden Mahasiswa Perseorangan yang memenuhi kualifikasi dan memenuhi dukungan minimal pemilih dapat mendaftarkan diri sebagai Bakal calon anggota Senat dan Presiden Mahasiswa kepada KPUM. Bakal calon anggota Senat dimaksud dari anggota Senat dan calon anggota Senat terpilih pengganti pada pemira sebelumnya mendaftarkan diri dengan melampirkan persyaratan kualifikasi. KPUM dibantu melakukan verifikasi kelengkapan dan kebenaran dokumen persyaratan kualifikasi dan dukungan minimal pemilih bakal calon anggota. Persyaratan dukungan minimal pemilih dibuktikan dengan fotokopi Kartu Tanda Mahasiswa dengan ketentuan seorang pemilih tidak dibolehkan memberikan dukungan kepada lebih dari satu orang bakal calon. Dalam hal ditemukan bukti adanya data palsu terkait dengan dokumen persyaratan dukungan minimal pemilih, bakal calon anggota senat Independen dikenai sanksi. Nama-nama bakal calon anggota Senat dan Presiden Mahasiswa yang telah memenuhi persyaratan kualifikasi dan dukungan minimal pemilih berdasarkan verifikasi yang dilakukan oleh KPUM selanjutnya ditetapkan dan diumumkan oleh KPUM sebagai calon sementara anggota Senat. Banwaslu melakukan pengawasan atas pelaksanaan verifikasi kelengkapan administrasi bakal calon. Dalam hal Banwaslu menemukan
unsur kesengajaan atau kelalaian anggota KPUM dalam melakukan verifikasi kelengkapan administrasi yang merugikan bakal calon, Banwaslu menyampaikan temuan kepada KPUM. Terhadap calon yang telah memenuhi persyaratan, KPUM menetapkan daftar calon tetap anggota yang disusun berdasarkan urutan abjad dengan Keputusan KPUM.
9. Pemungutan suara Secara umum pengaturan mengenai pemungutan suara tidak banyak berubah. Pemilih disini telah didata oleh KPUM melalui KPU tiap fakultas. Pemungutan suara dilakukan dengan basis TPS tiap fakultas agar pemilih dapat dengan mudah melakukan pemilihan. Tambahan rumusan yang berkaitan dengan hal tersebut adalah:
a. Pemilih yang berhak mengikuti pemungutan suara di TPS adalah pemilih yang terdaftar pada Daftar Pemilih Tetap yaitu mahasiswa S1 ,Setara dan D3 pada TPS yang bersangkutan. b. Pemilih dapat menggunakan hak pilihnya di TPS sesuai fakultas masing-masing.
10.Penyelengara Pemilu Mahasiwa,badan Pengawas Pemilu Mahasiwa,dan Mahkamah pemira Mengatur tatacara pemilihan,perekrutan dan pembentukan penyelengara pemilu mahasiwa ,banwasra dan mahkamah pemilihan umum mahasiwa untuk terselengaranya pelasanaan hak kedaulatan mahasiwa dilingkungan kampus dalam bentuk pemilihan umum mahasiwa yang langusng,jujur,adil,rahasia dan
11. Penanganan pelanggaran dan penyelesaian sengketa pemilu Banwaslu, pengawas pemira meneliti kebenaran setiap laporan pelanggaran pemilu yang diterima. Dalam hal laporan dimaksud terbukti kebenarannya, Banwaslu, pengawas pemilu lapangan menindaklanjuti laporan dengan waktu yang ditentukan setelah laporan diterima. Dalam hal Banwaslu, pengawas pemilu lapangan memerlukan keterangan tambahan dari pelapor untuk melengkapi laporannya.
12.proses penghitungan suara Penghitungan perolehan suara diselengarakan untuk menghitung suara untuk preisden mahsiwa senat mahasiwa dan senat independen yang diselengarakan oleh KPUM dan diawasi oleh banwaslu serta menghadirkan saksi dari partai,dan saksi dari ppresiden mahasiswa. 13.pengumuman perolehan suara Pengumuman prolehan suara dilakukan dalam ditetapkan oleh KPUM dalam sidang pleno terbuka yang dihadiri oleh Banwas Pemilihan umum mahasiswa, Saksi Peserta Pemilihan umum mahasiswa, dan mahasiswa. 14.Pengantian calon terpilih
Penggantian calon terpilih anggota SM dilakukan apabila calon terpilih yang bersangkutan: A. meninggal dunia; B. mengundurkan diri; C. tidak lagi memenuhi syarat untuk menjadi anggota SM; D. terbukti melakukan tindak pidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Dalam hal Calon Terpilih anggota SM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah ditetapkan dengan Keputusan KPUM, keputusan penetapan yang bersangkutan batal demi hukum. Calon Terpilih anggota SM sdiganti dengan calon dari daftar calon tetap Partai Mahasiswa Peserta Pemilihan umum mahasiswa berdasarkan Surat Keputusan Pimpinan Partai Mahasiswa yang bersangkutan.Calon Terpilih anggota SM unsur independen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diganti dengan calon yang memperoleh suara terbanyak berikutnya. Penggantian calon terpilih Presiden Mahasiswa dilakukan sesuai AD/ ART KM UGM. KPUM KM UGM wajib memberitahukan secara tertulis kepada Calon Terpilih Pengganti dan mengumumkan Calon Terpilih Pengganti di fakultas tempat calon pemilih pengganti dan di lingkungan KM UGM
BAB IV LANDASAN PEMIKIRAN
Landasan filosofis Secara filosofis, pembentukan UU tentang Pemilihan Umum Mahasiwa Presiden Mahasiswa dan anggota Senat Mahasiswa Keluarga Mahasiswa diperlukan sebagai upaya pengaktualisasian nilai-nilai demokrasi dalam penyelenggaraan kehidupan kampus. Penyelenggaraan pemira sebagai sarana pelaksanaan kedaulatan mahasiswa dan sebagai instrumen utama pelaksanaan demokrasi menandakan bahwa mahasiswa sungguh-sungguh berperan dalam menentukan arah dan tujuan penyelenggaraan pemerintahan mahasiswa dengan cara memilih sendiri wakilnya yang akan duduk dalam, dan memerintah melalui, lembaga perwakilan mahasiswa.
2. Landasan politik
Sejalan dengan pemikiran filosofis di atas, pembentukan UU tentang Pemilihan Umum Mahasiwa Presiden Mahasiswa dan anggota Senat Mahasiswa Keluarga Mahasiswa juga diperlukan dalam rangka mengaktualisasikan prinsip one person one vote one value dalam proses rekrutmen politik, sebuah prinsip yang mengandung makna kesetaraan nilai suara dan pilihan setiap mahasiswa dalam mengisi keanggotaan lembaga perwakilan. Kehadiran UU ini juga sekaligus menjadi sebuah jaminan bahwa setiap mahasiswa memperoleh kesempatan yang sama untuk menggunakan hak memilih dan hak dipilihnya menurut ketentuan yang terkandung dalam UU. Naskah Akademik dengan kata lain, melalui pembentukan UU ini, diharapkan dapat tercipta ruang kompetisi politik yang sehat, adil, dan tertib bagi semua aktor dan konstituen politik, dalam kerangka aktualisasi nilai-nilai demokrasi dalam kehidupan politik kampus.
3. Landasan sosiologis Pembentukan UU tentang Pemira Presiden Mahasiswa dan anggota Senat Mahasiswa Keluarga Mahasiswa pada dasarnya tidak hanya bermakna filosofis dan politik, tetapi juga memiliki makna sosiologis. Penyelenggaraan pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur,
dan adil merupakan prakondisi bagi terwujudnya \ Senat Mahasiswa Keluarga Mahasiswa yang memiliki kemampuan dalam memainkan peran secara maksimal dalam tata pengelolaan kampus. Realitas sosial mengisyaratkan bahwa mahasiswa senantiasa mengisyaratkan keharusan adanya ruang bagi keikutsertaan mereka dalam menentukan cara-cara penyelesaian persoalan mereka, baik secara langsung maupun melalui wakil-wakil mereka yang secara formal duduk di lembaga perwakilan. Oleh sebab itu, mahasiswa juga senantiasa mendambakan kehadiran lembaga-lembaga perwakilan yang mampu menangani sekaligus menjadi sumber solusi bagi berbagai persoalan dan kebutuhan mereka, yang hanya dapat diwujudkan melalui penyelenggaraan pemilihan umum mahasiwa yang berkualitas.
Landasan hukum Pembentukan UU tentang Pemilihan umum Presiden Mahasiswa dan anggota Senat Mahasiswa Keluarga Mahasiswa didasarkan pada mandat perubahan anggaran dasara dan anggaran rumah tangga Keluarga mahasiwa UGM sebagai hukum dasar, baik sebagai hukum dasar dalam kaitan dengan kewenangan pembentukan undang-undang diranah KM UGM maupun sebagai hukum dasar dalam kaitan dengan materi muatan undang-undang.
BAB V KESIMPULAN A. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian terdahulu, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1.
Pemilu anggota senat mahasiwa ,senat independen dan presiden mahasiwa harus dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil sebagai perwujudan kedaulatan rakyat sebagaimana diatur dalam AD/ART KM UGM
2.
Penyelenggaraan pemilu secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil perlu terus menerus ditingkatkan kualitasnya dari waktu ke waktu, sehingga Pemilu mahasiwa kedepan
dapat menghasilkan senat mahasiwa ,senat independen dan presiden mahasiwa
yang semakin berkualitas dalam menyelenggarakan pengelolaan negara dan pemerintahan.
B. SARAN
Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu mahasiwa untuk memilih senat mahasiwa ,senat independen dan presiden mahasiwa merupakan keharusan untuk memperbaiki sistem dan penyelenggaraan pemilu mahasiwa . RUU ini perlu segera dibahas untuk disahkan menjadi Undang-Undang. Demikianlah Naskah Akademik RUU tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 03 Tahun 2014 tentang Pemilu mahasiwa senat mahasiwa ,senat independen dan presiden mahasiwa ini dibuat untuk dijadikan acuan dalam perumusan dan pembahasan yang dilaksanakan oleh DPR bersama dengan pemerintah. UU yang dihasilkan diharapkan dapat memenuhi maskud dan tujuan bersama dalam menata sistem kelembagaan keluarga mahasiwa UGM.