TIM PENELITI PUSAT PERANCANGAN HUKUM FH UNUD
NASKAH AKADEMIK RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI TENTANG PENYELENGGARAAN KETERTIBAN UMUM DAN KETENTRAMAN MASYARAKAT
BALI 2015
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA KERJA SAMA SATUAN POLISI PAMONG PRAJA PROVINSI BALI PUSAT PERANCANGAN HUKUM | KAMPUS SANGLAH JALAN BALI NOMOR 1 DENPASAR 80114 TELP (0361) 222666
NASKAH AKADEMIK RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI TENTANG PENYELENGGARAAN KETERTIBAN UMUM DAN KETENTRAMAN MASYARAKAT
TIM PENELITI Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana.,SH.,MH Dr. I Ketut Wirawan.,SH.,MH. I Ketut Sudiarta, SH., MH. Ni Luh Gede Astariyani, SH., MH. A.A. Istri Ari Atu Dewi., MH.
PEMERINTAH PROVINSI BALI BEKERJA SAMA DENGAN PUSAT PERANCANGAN HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA 2015
PUSAT PERANCANGAN HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA Jalan Bali Nomor 1 Denpasar Tlp. (0361)222666
2
KATA PENGANTAR Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, penyelenggaraan pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi terdiri atas
daerah-daerah
kabupaten
dan
kota.
Setiap
daerah
tersebut
mempunyai hak dan kewajiban mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya penyelenggaraan
untuk
meningkatkan
pemerintahan
dan
efisiensi
pelayanan
dan
kepada
efektivitas masyarakat.
Penyelenggaraan Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat merupakan kewajiban pemerintah sebagaimana diamanatkan dalam Undang_undang Dasar 1945. Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat adalah bagian dari hak asasi manusia dalam tertib kehidupan masyarakat bernegara sebagaimana dijamin dalam Pasal 28 J UUD 1945 Ketertiban didukung oleh tatanan yang mempunyai sifat berlainlainan karena norma-norma yang mendukung masing-masing tatanan mempunyai sifat yang tidak sama. Oleh karena itu, dalam masyarakat yang teratur setiap manusia sebagai anggota masyarakat harus memperhatikan norma atau kaidah, atau peraturan hidup yang ada dan hidup dalam masyarakat. Ketertiban dapat membuat seseorang disiplin, Ketertiban dan Kedisiplinan sebagai Landasan Kemajuan. Tertib dan disiplin adalah matra yang amat menentukan keberhasilan sebuah proses pencapaian tujuan. Dengan ketertiban, seseorang
berusaha mengetahui dan mencermati
aturan agar perjalanan menjadi lebih lancar. Disiplin adalah sikap yang diperlukan untuk menjalani proses tersebut.
Tim Peneliti
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
>> i
Daftar Isi
>> ii
Daftar Gambar
>> iii
Daftar Tabel
>> iv
BAB I.
PENDAHULUAN
>>> 1
A.
Latar Belakang
>>> 1
B. Identifikasi Masalah
>>> 6
C. Tujuan dan Kegunaan Penyusunan Naskah
>>> 6
Akademik D. Metode Penelitian BAB II
>>> 8
KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS
>>> 12
A.
>>> 12
Kajian Teoritis
B. Kajian Terhadap Asas yang Terkait Dengan Penyusunan Norma
>>> 15
C. Kajian Terhadap Praktik Penyelenggaraan D. Kajian
Terhadap
Terhadap
Implikasi
Masyarakat
Dan
Penerapan Dampaknya
Terhadap Beban Keuangan Daerah BAB III
EVALUASI
DAN
ANALISIS
>>> 18
>>> 22
PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT
>>> 24
A.
>>> 24
Kondisi Hukum Yang Ada dan Statusnya
B. Keterkaitan Peraturan Daerah Baru Dengan Peraturan Perundang-undangan Yang Lain C. Rencana Provinsi
Pengaturan Bali
Ketertiban Masyarakat
Dari
Tentang
Umum
dan
>>> 26
Pemerintah
Penyelenggaraan Ketentraman >>> 29
ii
BAB IV
LANDASAN
FILOSOFIS,
SOSIOLOGIS
DAN
>>> 31
YURIDIS A.
Validitas Peraturan Perundang-undangan : Landasan Filosofis, Sosiologis dan Yuridis.
B. Relevansi
Validitas
Dalam
>>> 31
Penyusunan
Peraturan Daerah Tentang Penyelenggaraan Ketertiban
Umum
dan
>>> 36
Ketentraman
Masyarakat BAB V
JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN DAN RUANG LINGKUP
MATERI
DAERAH
PROVINSI
MUATAN
PERATURAN
BALI
TENTANG
>>> 40
PENYELENGGARAAN KETERTIBAN UMUM DAN KETENTRAMAN MASYARAKAT A.
Arah dan Jangkauan Pengaturan
>>> 40
B. Ruang Lingkup Materi Muatan BAB VI
>>> 42
PENUTUP
>>>52
A.
>>>52
RANGKUMAN
B. SARAN
>>>55
DAFTAR PUSTAKA
>>>56
DDAFTAR PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
>>>57
LAMPIRAN 1.
Rancangan
Peraturan
Daerah
Provinsi
Bali
tentang
Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat. 2.
Penjelasan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi Bali tentang Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat
iii
DAFTAR TABEL
Tabel 1:
Kewengan
Satpol
PP
dalam
menjaga
>>> 4
Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat Tabel 2:
Data Penegakan Peraturan Daerah Tahun 2013
>>> 18
Tabel 3:
Data
>>> 18
Rekapitulasi
Penegakan
Peraturan
Daerah
Tahun 2014 Tabel 4 :
Keterkaitan dengan Undang-Undang Lainnya.
>>>24
iv
BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Hidup berkelompok ini merupakan kodrat manusia dalam memenuhi kebutuhannya. Selain itu juga untuk mempertahankan hidupnya, baik terhadap bahaya dari dalam maupun yang datang dari luar. Setiap manusia akan terdorong melakukan berbagai usaha untuk menghindari atau melawan dan mengatasi bahaya-bahaya itu. Dalam hidup berkelompok itu terjadilah interaksi antar manusia. Sebagai manusia yang menuntut jaminan kelangsungan hidupnya, harus diingat pula bahwa manusia adalah mahluk sosial. Menurut Aristoteles, manusia itu adalah Zoon Politikon, yang dijelaskan lebih lanjut oleh Hans Kelsen man is a social and politcal being artinya manusia itu adalah mahluk sosial yang dikodratkan hidup dalam kebersamaan dengan sesamanya dalam masyarakat, dan mahluk yang terbawa oleh kodrat sebagai
mahluk
sosial
itu
selalu
berorganisasi.
Kehidupan
dalam
kebersamaan (ko-eksistensi) berarti adanya hubungan antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya. Hubungan yang dimaksud dengan hubungan sosial (social relation) atau relasi sosial. Yang dimaksud hubungan sosial adalah hubungan antar subjek yang saling menyadari kehadirannya masing-masing. Dalam hubungan sosial itu selalu terjadi interaksi sosial yang mewujudkan jaringan relasi-relasi sosial (a web of social relationship) yang disebut sebagai masyarakat. Dinamika kehidupan masyarakat menuntut cara berperilaku antara satu dengan yang lainnya untuk mencapai suatu ketertiban. Ketertiban didukung oleh tatanan yang mempunyai sifat berlain-lainan karena norma-norma yang mendukung masing-masing tatanan mempunyai sifat yang tidak sama. Oleh karena itu, dalam masyarakat yang teratur setiap manusia sebagai anggota masyarakat harus memperhatikan norma atau kaidah, atau peraturan hidup yang ada dan hidup dalam masyarakat. Ketertiban dapat membuat seseorang disiplin, Ketertiban dan Kedisiplinan sebagai Landasan Kemajuan. Tertib dan disiplin adalah matra yang amat
menentukan keberhasilan sebuah proses pencapaian tujuan. Dengan ketertiban, seseorang berusaha mengetahui dan mencermati aturan agar perjalanan menjadi lebih lancar. Disiplin adalah sikap yang diperlukan untuk menjalani proses tersebut. Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat merupakan
kewajiban
pemerintah
sebagaimana
diamanatkan
dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat
adalah bagian dari hak
asasi manusia dalam tertib kehidupan masyarakat bernegara sebagaimana dijamin dalam Pasal 28 J UUD 1945 yang mengatur bahwa : (1)
Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. (2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat dalam suatu masyarakat demokratis. Dalam Pasal 28 ayat (2) ditegaskan kewajiban setiap orang untuk
tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan oleh peraturan perundangundangan dalam menjalankan hak dan kebebasannya. Tujuan pembatasan adalah untuk menjamin pembatasan serta penghormatan
atas hak dan
kebebasan orang lain dan untuk untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai, agama, keamanan dan Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat
dalam
suatu masyarakat yang demokratis. Dengan
adanya
desentralisasi,
memberikan
kewenangan
penyelenggaraan Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat
dan masyarakat tersebut juga menjadi kewajiban dari
masyarakat. Kewenangan ini diselenggarakan oleh Satuan Polisi Pamong Praja ( Satpol PP) sebagai bagian perangkat daerah dalam penegakan Peraturan Daerah. Sesuai dengan Perauran Pemerintah Nomor 6 Tahun 2011 tentang satuan Polisi Pamong Praja dan Peraturan Menteri Dalam Negeri No 40 Tahun 2011 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja 2
Satpol PP, di Provinsi Bali diatur dalam Peraturan Gubernur No 86 Tahun 2011 tentang Rincian Tugas Pokok Satuan Polisi Pamong Praja Provinsi Bali. Dalam Pasal 3 Peraturan Gubernur No 86 Tahun 2011 tentang Rincian Tugas Pokok Satuan Polisi Pamong Praja Provinsi Bali mengatur : Satuan dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 menyelenggarakan fungsi : a. penyusunan program dan pelaksanaan penegakan Peraturan Daerah, Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat serta perlindungan masyarakat; b. pelaksanaaan kebijakan penegakan Peraturan Daerah dan Peraturan Kepela Daerah c. pelaksanaan kebijakan Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat di daerah; d. pelaksanaan kebijakan perlindungan masyarakat; e. peleksanaan koordinasi penegakan Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah, Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia, Penyidik Pegawai Negeri Sipil Daerah dan/atau aparatur lainnya; Seiring dengan perkembangan dinamika dan kebutuhan masyarakat, maka pengaturan ini dirasakan harus dituangkan dalam Peraturan Daerah. Adanya dasar kewenangan Satpol PP dalam melakukan penegakan terhadap Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat didasarkan pada ketentuan dalam Pasal 255 UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (1) Satuan polisi pamong praja dibentuk untuk menegakkanPerda dan Perkada, menyelenggarakan Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat dan ketenteraman, serta menyelenggarakan pelindungan masyarakat. (2) Satuan polisi pamong praja mempunyai kewenangan: a. melakukan tindakan penertiban non-yustisial terhadap warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang b. melakukan pelanggaran atas Perda dan/atau Perkada; c. menindak warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang mengganggu Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat dan ketenteraman masyarakat; d. melakukan tindakan penyelidikan terhadap warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang diduga melakukan pelanggaran atas Perda dan/atau Perkada;dan e. melakukan tindakan administratif terhadap warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yangmelakukan pelanggaran atas Perda dan/atau Perkada. 3
Dalam Lampiran bagian E Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Ketenteraman Dan Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat Serta Perlindungan Masyarakat dalam UU No 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah Juga Mengatur tentang Kewenangan Satpol PP Dalam Menjaga Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat. Kewenangan Provinsi diatur dalam Lampiean E UU No 23 Tahun 2014 sebagaimana dilampirkan dalam tabel dibawah ini. Tabel 1 : Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Ketenteraman Dan Ketertiban Umum Serta Perlindungan Masyarakat No 1
Sub Urusan Pemerintah
Pusat Daerah
Provinsi Daerah
Ketenteraman dan Penyelenggar aan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat
a. Standardisasi tenaga satuan polisi pamong praja. b. Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan, danpengangkata n penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) penegakan Perda.
a. Penanganan gangguan ketenteraman dan ketertiban umum lintas Daerah kabupaten/kot a dalam 1 (satu) Daerah provinsi. b. Penegakan Perda Provinsi dan peraturan gubernur. c. Pembinaan PPNS provinsi.
Sumber :
Kabupaten/Kota
a. Penanganan gangguan ketenteraman dan Penyelenggaraa n Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat dalam 1 (satu) Daerah kabupaten/kota b. Penegakan Perda Kabupaten/Kot a dan peraturan bupati/walikota c. Pembinaan PPNS kabupaten/kota Lampiran Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah Pembagian Urusan Pemerintahan Konkuren Antara Pemerintah Pusat Dan Daerah Provinsi Dan Daerah Kabupaten/Kota Matriks Pembagian Urusan Pemerintahan Konkuren Antara Pemerintah Pusat Dan Daerah Provinsi Dan Daerah Kabupaten/Kota E. Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Ketenteraman Dan Ketertiban Umum Serta Perlindungan Masyarakat
Terkait dengan dasar kewenangan dalam Undang-Undang Pemerintah Daerah menunjukkan bahwa antara pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten memiliki kewenangan masing-masing. Dalam kaitannya dengan rencana pembentukan Rancangan Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat pemerintah provinsi bali memiliki kewenangan :
4
a. Penanganan gangguan ketenteraman dan ketertiban umum lintas Daerah kabupaten/kota dalam 1 (satu) Daerah provinsi. b. Penegakan Perda Provinsi dan peraturan gubernur. c. Pembinaan PPNS provinsi. Dalam Pasal 3 Peraturan Menteri Dalam Negeri No 40 Tahun 2011 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Satuan Polisi Pamong Praja mengatur bahwa : Satpol PP mempunyai tugas menegakkan Perda dan menyelenggarakan Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat Serta Perlindungan Masyarakat. Ketentuan dalam Pasal 5 ayat (1) Peraturan Menteri Negeri No 54 Tahun 2011 tentang Standar Operasional Polisi Pamong Praja, mengatur bahwa : (1) SOP Satpol PP meliputi: a. Standar Operasional Prosedur penegakan peraturan daerah; b. Standar Operasional Prosedur ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat; c. Standar Operasional Prosedur pelaksanaan penanganan unjuk rasa dan kerusuhan massa; d. Standar Operasional Prosedur pelaksanaan pengawalan pejabat/orang-orang penting; e. Standar Operasional Prosedur pelaksanaan tempat-tempat penting; dan f. Standar Operasional Prosedur pelaksanaan operasional patroli. Terkait dengan pengaturan kebijakan SOP di Provinsi diatur dalam Pasal 6 ayat (1), mengatur bahwa Petunjuk teknis SOP Satpol PP provinsi ditetapkan oleh gubernur. Banyaknya peranan penting yang merukan salah satu bentuk kewenangan Satpol PP Provinsi Bali harus dibarengi dengan adanya pengaturan tentang Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat
di Provinsi Bali. Tidak adanya pengaturan yang digunakan
sebagai pedoman oleh pemangku kepentingan akan menimbulkan dampak hukum dengan adanya banyak pelanggaran terhadap penegakan hukum terkait dengan penegakan Peraturan Daerah. Disamping itu dengan tidak adanya pengaturan tentang Penyelenggaraan Penyelenggaraan Ketertiban 5
Umum dan Ketentraman Masyarakat
dan Ketentraman Masyarakat Bali,
juga mengakibatkan tindakan Satpol PP tidak berlandaskan pada adanya dasar
hukum
sehingga
perlu
dibentuk
Peraturan
Daerah
tentang
penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban masyarakat, sehingga sangat perlu disusun Peraturan Daerah Provinsi Bali tentang Penyelenggaraan Ketertiban UmumDan Ketentraman Masyarakat 1.2. IDENTIFIKASI MASALAH Masalah yang diuraikan dalam Naskah Akademik ini meliputi 4 (empat) masalah pokok: 1.
Landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis penyusunan Rancangan Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat
2.
Arah, jangkauan, dan ruang lingkup pegaturan Rancangan Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat
3.
Perlunya Rancangan Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat
4.
Belum optimalnya pelaksanaan penegakan Peraturan Daerah di daerah.
1.3. TUJUAN DAN KEGUNAAN KEGIATAN PENYUSUNAN NASKAH AKADEMIK Sesuai dengan ruang lingkup identifikasi masalah yang dikemukakan di atas, tujuan penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat dirumuskan sebagai berikut: 1.
Merumuskan
pertimbangan
penyusunan
Rancangan
filosofis,
sosiologis,
Peraturan
dan
Daerah
yuridis tentang
Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat
6
2.
Merumuskan arah, jangkauan, dan ruang lingkup pegaturan Rancangan Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat
3.
Menjelaskan perlunya Rancangan Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat sebagai
dasar
untuk
memastikan
objek
dan
subjek
Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat , serta struktur dan bentuk
Penyelenggaraan Ketertiban Umum
dan Ketentraman Masyarakat . 4.
Melakukan pengkajian hukum untuk memberikan kepastian hukum bagi pemangku kepentingan dalam melakukan koordinasi dengan Satpol PP yang ada di seluruh Bali.
Kegunaan
penyusunan
Naskah
Akademik
Rancangan
Peraturan
Daerah Provinsi Bali tentang Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat adalah sebagai pedoman dalam : a.
Penyusunan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi Bali tentang Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat .
b.
Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi Bali tentang Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat .
c.
Pelaksanaan
kegiatan
partisipasi
masyarakat
dalam
memberikan masukan tertulis dan/atau masukan lisan baik dalam
penyusunan
maupun
pembahasan
Rancangan
Peraturan Daerah Provinsi Bali tentang Penyelenggaraan d.
Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat . Adanya
landasan
Penyelenggaraan
hukum
Ketertiban
dalam Umum
penyelenggaraaan dan
Ketentraman
Masyarakat
7
1.4. METODE Penyusunan
Naskah
Akademik
ini
yang
pada
dasarnya
merupakan suatu kegiatan penelitian penyusunan Naskah Akademik digunakan metode yang berbasiskan metode penelitian hukum.1 D.1 Jenis Penelitian. Dalam penelitian hukum terdapat dua model jenis penelitian yaitu :
2
a. Metode penelitian hukum normative atau penelitian doctrinal, mempergunakan data sekunder berupa ; peraturan perundangundangan, keputusan pengadilan dan pendapat para sarjana hukum terkemuka, Analisis data sekunder dilakukan secara normative kualitatif yaitu yuridis kualitatif. b. Metode penelitian hukum sosiologis / empiris, mempergunakan semua metode dan tehnik-tehnik yang lasim dipergunakan di dalam metode-metode penelitian ilmu-ilmu sosial / empiris. Bertitik tolak dari pemasalahan yang diangkat dalam kajian ini, maka jenis penelitian dalam kajian ini mempergunakan penelitian hukum normative. Dalam beberapa kajian jenis penelitian seperti ini juga disebut dengan penelitian dogmatik.3 Dalam penelitian hukum normatif, untuk mengkaji persoalan hukumnya dipergunakan bahan-bahan hukum yang terdiri dari bahan hukum primer ( primary sources or authorities ) bahanbahan hukum sekunder
( secondary sources or authorities ) dan bahan
hukum tersier ( tertier sources or authorities ). Bahan-bahan hukum primer dapat
berupa
peraturan
perundang-undangan,
bahan-bahan
hukum
sekunder dapat berupa makalah, buku-buku yang ditulis oleh para ahli dan bahan hukum tersier berupa kamus bahasa hukum dan kamus bahasa Indonesia.
Soelistyowati Irianto dan Sidharta, 2009, Metode Penelitian Hukum Konstelasi Dan Refleksi,Yayasan Obor, h. 177-178. 2 Rony Hanitijo Soemitro, 1985, Metodologi Penelitian Hukum, Ghia Indonesia Jakarta, 1985, h. 9. 3 Jan Gijsels,2005, Mark Van Hocke ( terjemahan B. Arief Sidharta ) Apakah Teori Hukum Itu ? , Laboratorium Hukum Universitas Parahyangan Bandung, h. 109-110. 1
8
D.2. MetodePendekatan. Dalam penelitian hukum normative ada beberapa metode pendekatan yakni pendekatan perundang-undangan ( statute approach ), pendekatan konsep (conceptual approach ), pendekatan analitis ( analytical approach ), pendekatan perbandingan ( comparative approach ), pendekatan histories ( historical approach ), pendekatan filsafat ( philosophical approach ),dan pendekatan kasus ( case approach).4 Dalam penelitian ini digunakan beberapa cara pendekatan untuk menganalisa permasalahan. Dalam penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan ( statute approach ), pendekatan kasus ( case approach ) dan pendekatan konsep hukum ( conceptual approach ). Pendekatan perundang-undangan ( statute approach ), dilakukan dengan menelaah peraturan perundang-undangan yang bersangkut paut dengan pendelegasian kewenangan dalam UU Pemda. Pendekatan konsep hukum ( conceptual approach ) dilakukan dengan menelaah pandangan-pandangan
mengenai pendelegasian kewenangan
sesuai dengan penelitian ini.5 Disamping itu digunakan pendekatan kontekstual terkait dengan penrapan hukum dalam suatu waktu yang tertentu. D.3. Sumber Bahan Hukum. Bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.6 Bahan hukum primer adalah segala dokumen resmi yang memuat ketentuan hukum,
dalam hal ini adalah Undang-
Undang UU NO 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Peraturan Pemerintah No 6 Tahun 2010
tentang Satuan Polisi Pamong Praja,
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2010 Tentang Penggunaan Senjata Api Bagi Satpol PP, Peraturan Menteri Dalam Negeri No 40 Tahun 2011 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Satuan Polisi 4
Peter Mahmud Marzuki; 2005, Penelitian Hukum, Jakarta Interpratama Offset, h.
93-137. Ibid, h. 19. C.F.G.Sunaryati Hartono, 1994, Penelitian Hukum Di Indonesia Pada Akhir Abad ke 2 , Alumni, Bandung, h. 134. 5 6
9
Pamong Praja, Peraturan Menteri Negeri No 54 Tahun 2011 tentang Standar Operasional Polisi Pamong Praja dan Peraturan Daerah Provinsi Bali No 2 Tahun 2008 Tentang Urusan Pemerintahan Daerah Provinsi Bali.Peraturan Gubernur Provinsi Bali No 12 Tahun 2006 tentang Penataan Kembali Kawasan civic centre Niti Mandala serta peraturan perundang-undangan yang lain yang terkait dengan pendelegasian kewenangan mengatur pada peraturan perundang-undangan. Bahan hukum sekunder adalah dokumen atau bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer seperti hasil penelitian atau karya tulis para ahli hukum yang memiliki relevansi dengan penelitian ini, termasuk di dalamnya kamus dan ensiklopedia. D.4. Metode Pengumpulan Bahan Hukum. Bahan hukum dikumpulkan melakukan studi dokumentasi, yakni dengan melakukan pencatatan terhadap hal-hal yang relevan dengan masalah yang diteliti yang ditemukan dalam bahan hukum primer, bahan hukum sekunder maupun bahan hukum tersier. 1.6.5. Teknis Analisis Bahan Hukum Teknik analisa terhadap bahan-bahan hukum yang dipergunakan dalam kajian ini adalah teknik deskripsi, interpretasi, sistematisasi, argumentasi dan evaluasi. Philipus M.Hadjon mengatakan bahwa tehnik deskripsi adalah mencakup isi maupun struktur hukum positif.7 Pada tahap deskripsi ini dilakukan pemaparan serta penentuan makna dari aturan-aturan hukum yang dikaji .dengan demikian pada tahapan ini hanya menggambarkan apa adanya tentang suatu keadaan.8 Lebih lanjut berkaitan dengan teknik Interpretasi Alf Ross mengatakan : The relation berween a given formulation and specific complex of facts.The technique of argumentation demanded by this method is
Philipus M Hadjon, 1994, Pengkajian Ilmu Hukum Dogmatik ( Normatif ) dalam Yuridika Nomor 6 Tahun IX, Nopember-Desember h. 33. 8 Erna Widodo , 2000, Konstruksi ke Arah Penelitian Deskriptif, Avy-rouz, h. 16. 7
10
directed toward discovering the meaning of the statute and arguing that the given facts sre either covered by it or not.9 ( terjemahan bebas : Hubungan antara rumusan konsep yang diberikan dan kumpulan fakta khusus. teknik argumentasi ini dibutuhkan oleh cara ini yang diarahkan kepada penemuan makna dari undang-undang dan fakta-fakta yang saling melengkapi satu sama lain ) Dari sisi sumber dan kekuatan mengikatnya menurut I Dewa Gede Atmadja secara yuridis interpretasi ini dapat dibedakan menjadi :10 1. Penafsiran otentik ; yakni penafsiran yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan itu sendiri. Penafsiran ini adalah merupakan penjelasan-penjelasan yang dilampirkan pada undangundang yang bersangkutan ( biasanya sebagai lampiran ). Penafsiran otentik ini mengikat umum ; 2. Penafsiran Yurisprudensi ; merupakan penafsiran yang ditetapkan oleh hakim yang hanya mengikat para pihak yang bersangkutan ; 3. Penafsiran Doktrinal ahli hukum ; merupakan penafsiran yang diketemukan dalam buku-buku dan buah tangan para ahli sarjana hukum. Penafsiran ini tidak mempunyai kekuatan mengikat, namun karena wibawa ilmiahnya maka penafsiran yang dikemukakan, secara materiil mempunyai pengaruh terhadap pelaksanaan undang-undang. Bertitik tolak dari pandangan Philipus M. Hadjon dan I Dewa Atmadja di atas, maka untuk membahas persoalan hukum yang akan dikaji, akan dipergunakan penafsiran otentik, penafsiran gramatikal dan penafsiran sejarah hukum. Penafsiran otentik dalam kajian ini dimaksudkan adalah penafsiran yang didasarkan pada penafsiran yang diberikan oleh pembentuk undangundang, melalui penjelasan-penjelasannya dan peraturan perundangundangan yang lain. Sedangkan penafsiran Gramatikal dalam kajian ini dilakukan dalam kaitannya untuk menemukan makna atau arti aturan hukum.
Alf Ross, 1969, On Law And Justice, University Of Californis Press, Barkely & Los Angeles, h. 111. 10 I Dewa Gede Atmadja, 1996, Penafsiran Kostitusi Dalam Rangka Sosialisasi Hukum, Sisi Pelaksanaan UUD 1945 Secara Murni Dan konsekuen” Pidato Pengenalan Jabatan Guru Besar Dalam Bidang Hukum Tata Negara Pada FH.UNUD, (selanjutnya disebut I Dewa Gede Atmadja II ), h. 14 . 9
11
BAB II KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS
A. KAJIAN TEORITIS Ketertiban berasal dari kata tertib yang berarti teratur; menurut aturan; rapi. Sedangkan ketertiban yaitu peraturan atau keadaan serba teratur
baik.
Ketertiban
adakalanya
diartikan
sebagai
“ketertiban,
kesejahteraan, dan keamanan”, atau disamakan dengan Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat, atau sinonim dari istilah “keadilan”. Masyarakat
Penyelenggaraan
Ketertiban
Umum
dan
Ketentraman
dalam bukunya Hukum Perdata Internasional Indonesia
mengibaratkan
lembaga
Penyelenggaraan
Ketertiban
Umum
dan
Ketentraman Masyarakat ini sebagai “rem darurat” yang kita ketemukan pada setiap kereta api.11 Pemakainya harus secara hati-hati dan seirit mungkin karena apabila kita terlampau lekas menarik rem darurat ini, maka “kereta HPI” tidak dapat berjalan dengan baik. Lebih lanjut Sudargo Gautama mengatakan bahwa lembaga Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat ini digunakan jika pemakaian dari hukum asing berarti suatu pelanggaran yang sangat daripada sendi-sendi azasi hukum nasional hakim. Maka dalam hal-hal pengecualian, hakim dapat menyampingkan hukum asing . Manusia adalah makhluk sosial yang selalu berinteraksi dan membutuhkan bantuan dengan sesamanya. Dengan adanya hubungan sesama seperti itulah perlu adanya keteraturan sehingga individu dapat berhubungan secara harmoni dengan individu lain sekitarnya. Oleh karena itu diperlukan aturan yang disebut Hukum. Hukum diciptakan dengan tujuan yang berbeda-beda, ada yang menyatakan bahwa tujuan hukum adalah keadilan, ada juga yang menyatakan kemanfaatan, ada yang menyatakan kepastian hukum. 11
Sudargo Gaotama, 1985, Hukum Perdata Internasional, Alumni Bandung, h 120
12
Hukum yang ada kaitannya dengan masyarakat mempunyai tujuan utama yaitu dapat direduksi untuk ketertiban (order). Menurut Mochtar Kusumaatmadja “Ketertiban” adalah tujuan pokok dan pertama dari segala hukum, Kebutuhan terhadap ketertiban ini merupakan syarat pokok (fundame ntal) bagi adanya suatu masyarakat manusia yang teratur, ketertiban sebagai tujuan hukum, merupakan fakta objektif yang berlaku bagi segala masyarakat manusia dalam segala bentuknya untuk mencapai ketertiban ini diperlukan adanya kepastian dalam pergaulan antar manusia dalam masyarakat. Di setiap aspek kehidupan sudah barang tentu terdapat sebuah aturan yang mengatur. Baik di lingkungan keluarga, masyarakat, sekolah, atau pun di bidang sosial, politik maupun agama. Dengan adanya pengaturan akan menciptakan ketertiban dan membuat keadaan menjadi lebih tenang, damai, aman, dan sentosa. Bahkan, dengan
adanya
ketertiban itulah terselenggara kehidupan di dunia dan alam semesta ini. Aturan merupakan sebuah kata yang mempunyai makna sesuatu yang harus dipatuhi. Aturan juga disebut dengan norma. Sebuah norma adalah sebuah aturan, patokan atau ukuran, yaitu sesuatu yang bersifat pasti dan tidak berubah. Dengan adanya norma kita dapat memperbandingkan sesuatu hal lain yang hakikatnya, ukurannya, serta kualitasnya kita ragukan.
Norma
berguna
untuk
menilai
baik-buruknya
tindakan
masyarakat sehari-hari. Sebuah norma bisa bersifat objektif dan bisa pula bersifat subjektif. Norma objektif adalah norma yang dapat diterapkan diterapkan secara langsung apa adanya, maka norma subjektif adalah norma yang bersifat moral dan tidak dapat memberikuan ukuran atau patokan yang memadai. Aturan bisa diterapakan dalam kehidupan keluarga agar tercipta kehidupan rumah tangga yang berjalan tentram, indah, bersih, dan bahagia. Aturan juga terdapat pada Negara yang disebut dengan undangundang. Dalam kehidupan masyarakat, sesuatu yang bersifat mengatur disebut hukum. Dengan adanya hukum itulah terjadi ketertiban dan ketentraman dalam kehidupan masyarakat. Bila hukum tidak ada atau tidak berfungsi, maka akan terjadi hukum rimba. Siapa kuat dialah yang berkuasa. Tentunya, ini akan berbahaya. Bahaya dari hukum rimba itu 13
adalah anarki, dan kekacauan sosial akan terjadi dimana-mana. Sedikit lebih rendah dari norma, hukum dalam masyarakat juga berlaku sebagai norma sopan-santun yang mencerminkan etika seseorang. Sesuatu yang bersifat aturan juga terdapat dalam alam semesta. Kita mengenal hukum alam, itulah aturan yang bekerja di alam semesta. Ketertiban alam semesta dikenal di dalam agama Buddha sebagai Niyama artinya Hukum Tertib Kosmis. Sesungguhnya, di dalam segenap bidang kehidupan berlaku aturan dan ketertiban. Ketertiban itu pulalah yang dikuak oleh ilmu pengetahuan lewat teori. Sedangkan hukum-hukum di dalamnya sebagai bidangnya. Tidak ada lagi jaminan dan perlindungan terhadap hak asasi, tidak ada rasa aman, tidak ada lagi perlindungan terhadap hak milik, tidak ada lagi kebenaran. Semua serba kacau dan orang akan melakukan sesuatu dengan sesuka hatinya. Tidak ada bedanya antara benar dan salah, tidak ada bedanya antara kebijaksanaan dan keegoisan, antara giat dan malas, antara sukses dan gagal. Oleh karena itu aturan sangat penting bagi kehidupan manusia. Karena aturan itu akan menciptakan kedamaian, ketentraman. Aturan juga harus jelas, sehingga antara yang menjalankan maupan yang melanggarnya tahu akan akibat dari pelanggaran aturan yang ia lakukan. Ketertiban pada prinsipnya dapat membuat seseorang disiplin, sebab Ketertiban dan Kedisiplinan sebagai Landasan Kemajuan tertib dan disiplin adalah matra yang amat menentukan keberhasilan sebuah proses pencapaian tujuan. Dengan ketertiban, kita berusaha mengetahui dan mencermati aturan agar perjalanan menjadi lebih lancar. Disiplin adalah sikap yang diperlukan untuk menjalani proses tersebut. Dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat, daerah dapat mengadakan kerja sama dengan daerah lain yang didasarkan pada pertimbangan efisiensi dan efektifitas pelayanan publik, sinergi dan saling menguntungkan. Kerja sama tersebut dapat diwujudkan dalam bentuk badan kerjasama antar daerah yang diatur dengan keputusan bersama. Dalam Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat juga dilakukan dalam bentuk kerjasama dan koordinasi oleh Pemerindah Provinsi Bali terkait dengan kewenangan yang lintas kabupaten / kota. 14
B. KAJIAN TERHADAP ASAS YANG TERKAIT DENGAN PENYUSUNAN NORMA Asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, yang secara teoritik meliputi asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang
baik
yang
bersifat
formal
dan
asas
pembentukan
peraturan
perundang-undangan yang baik yang bersifat materiil.12 Asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik yang bersifat formal dituangkan dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
(khususnya
dalam pembentukan Peraturan Daerah, asas-asas tersebut diatur dalam Pasal 237 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah), dengan sebutan “asas pembentukan Peraturan Perundangundangan yang baik”, yang meliputi: a. b. c. d. e. f. g.
kejelasan tujuan; kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat; kesesuaian antara jenis dan materi muatan; dapat dilaksanakan; kedayagunaan dan kehasilgunaan; kejelasan rumusan; dan keterbukaan.
Asas-asas materiil pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik diatur dalam Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan , yakni: materi muatan Peraturan Perundang-undangan mengandung asas: a. b. c. d. e. f. g. h. i.
pengayoman; kemanusiaan; kebangsaan; kekeluargaan; kenusantaraan; bhineka tunggal ika; keadilan; kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau
A. Hamid S. Attamimi; “Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara”, Disertasi, (Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta, 1990), hlm. 345-346. I.C. Van Der Vlies, Buku Pegangan Perancang Peraturan Perundang-undangan, terjemahan, (Direktorat Jenderal Peraturan Perundanganundangan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Jakarta, 2005), h 238-309. 12
15
j. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan. Selain asas tersebut, peraturan perundang-undangan tertentu dapat berisi asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundangundangan yang bersangkutan. Mengenai asas-asas materiil yang lain sesuai dengan bidang hukum peraturan perundang-undangan tertentu dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 6 ayat (2) UU Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
, yang
dimaksud dengan asas sesuai dengan bidang hukum masing-masing antara lain: a. dalam Hukum Pidana misalnya asas legalitas, asas tiada hukuman tanpa kesalahan, asas pembinaan narapidana, dan asas praduga tak bersalah; dan b. dalam Hukum Perdata misalnya dalam hukum perjanjian antara lain asas kesepakatan, kebebasan berkontrak, dan itikad baik. Relevansi asas-asas formal pembentukan peraturan perundangundangan yang baik dengan pengaturan Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat dapat diuraikan sebagai berikut: Pertama, kejelasan tujuan. Ketentraman Masyarakat
Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan
bertujuan: (1) memberikan kepastian bagi
masyarakat mengenai siapa yang bertanggung jawab dan apa tanggung jawabnya terhadap pengelolaan Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat ; dan (2) memperkuat dasar hukum bagi Pemerintah
Daerah
dan
pemangku
kepentingan
untuk
melakukan
Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat
dan
pelayanan kepada masyarakat. Tujuan Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan
Ketentraman
akuntabilitas
Masyarakat
pengelolaan
adalah
efektivitas,
Penyelenggaraan
Ketertiban
efisiensi,
dan
Umum
dan
Ketentraman Masyarakat . Kedua, kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat. Contoh: Pengaturan
Penyelenggaraan
Ketertiban
Umum
dan
Ketentraman
Masyarakat dengan Peraturan Daerah dilakukan. Rancangan dapat berasal dari Pemerintah Daerah Provinsi Bali maupun dari DPRD Provinsi Bali. 16
Ketiga, kesesuaian antara jenis dan materi muatan. Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat harus dengan Peraturan Daerah. Adapun materi pokok yang diatur dengan Peraturan Daerah mengacu pada Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah. Keempat, dapat dilaksanakan. Agar asas ini dapat diwujudkan dengan dibentuknya Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat
adalah harus memperhatikan
beberapa aspek: (1) filosofis, yakni ada jaminan keadilan dalam pengenaan Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat ; (2) yuridis, adanya jaminan kepastian dalam Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat , termasuk substansinya tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi; dan (3)
sosiologis,
pengaturan
Penyelenggaraan
Ketertiban
Umum
dan
Ketentraman Masyarakat memang dapat memberikan manfaat, baik bagi pemerintah daerah maupun bagi masyarakat, termasuk substansinya tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum. Kelima, kedayagunaan dan kehasilgunaan. Asas ini dapat diwujudkan sepanjang pengaturan Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat
memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam
mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan benegara. Salah satu indikasi pengaturan Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat
memang benar-benar dibutuhkan adalah adanya wajib
Penyelenggaraan
Ketertiban
Umum
dan
Ketentraman
Masyarakat
,
sebagaimana telah dikemukakan dalam kondisi eksisting di atas. Keenam, kejelasan rumusan. Asas ini dapat terwujud dengan pembentukan Umum
dan
Peraturan
Daerah
Ketentraman
tentang
Masyarakat
Penyelenggaraan sesuai
Ketertiban
persyaratan
teknik
penyusunan peraturan perundang-undangan, sistematika dan pilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti, sehingga
tidak
menimbulkan
berbagai
macam
interpretasi
dalam
pelaksanaannya. Singkatnya, rumusan aturan hukum dalam Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat yang menjamin kepastian. 17
Ketujuh, keterbukaan. Proses pembentukan Peraturan Daerah ini harus menjamin partisipasi masyarakat, dalam artian masyarakat dijamin haknya untuk memberikan masukan, baik tertulis maupun lisan, serta kewajiban Pemerintah Daerah untuk menjamin masukan tersebut telah dipertimbangkan
relevansinya.
Untuk
terselenggaranya
partisipasi
masyarakat itu, maka terlebih dulu Pemerintah Daerah memberikan informasi tentang proses pembentukan Peraturan Daerah bersangkutan. Mengenai asas-asas materiil yang lain, sebagaimana dimaksud Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan,
dalam
pengaturan
tentang
Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat , yakni: 1. adil dan merata secara vertikal artinya sesuai dengan tingkatan kelompok masyarakat dan horizontal artinya berlaku sama bagi setiap anggota kelompok masyarakat. 2. secara politis dapat diterima oleh pemerintah, pemangku kepentingan dan masyarakat, sehingga timbul motivasi dan kesadaran
pribadi
untuk
melaksanakan
Penyelenggaraan
Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat . c. KAJIAN TERHADAP PRAKTIK PENYELENGGARAAN Berdasarkan Pasal 255 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Satuan polisi pamong praja dibentuk untuk menegakkan Perda dan Perkada, menyelenggarakan ketertiban umum dan ketenteraman,
serta
menyelenggarakan
pelindungan
masyarakat.
Berdasarkan Pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2010 tentang Satuan Polisi Pamong Praja, mengatur bahwa Polisi Pamong Praja berwenang: a. melakukan tindakan penertiban nonyustisial terhadap warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang melakukan pelanggaran atas Perda dan/atau peraturan kepala daerah; b. menindak warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang
mengganggu
ketertiban
umum
dan
ketenteraman
masyarakat; 18
c. fasilitasi
dan
pemberdayaan
kapasitas
penyelenggaraan
perlindungan masyarakat; d. melakukan tindakan penyelidikan terhadap warga masyarakat, aparatur,
atau
badan
hukum
yang
diduga
melakukan
pelanggaran atas Perda dan/atau peraturan kepala daerah; dan e. melakukan tindakan administratif terhadap warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang melakukan pelanggaran atas Perda dan/atau peraturan kepala daerah. Dalam Pasal 3 Peraturan Gubernur No 86 Tahun 2011 tentang Rincian Tugas Pokok Satuan Polisi Pamong Praja Provinsi Bali diatur : Satuan dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 menyelenggarakan fungsi : a. penyusunan program dan pelaksanaan penegakan Peraturan Daerah, Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat serta perlindungan masyarakat; b. pelaksanaaan kebijakan penegakan Peraturan Daerah dan Peraturan Kepela Daerah c. pelaksanaan kebijakan Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat di daerah; d. pelaksanaan kebijakan perlindungan masyarakat; e. peleksanaan koordinasi penegakan Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah, Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia, Penyidik Pegawai Negeri Sipil Daerah dan/atau aparatur lainnya; Di Provinsi Bali pelaksanaan tugas Satpol PP didasarkan pada Keputusan Gubernur Bali No 2383/05/HK/2013 tentang Pembentukan Dan Susunan Keanggotaan Tim Penegakan Peraturan Daerah dan Pemberdayaan Penyidik Pegawai
Negeri
Sipil
PPNS.
Penegakan
Peraturan
Daerah
dan
pemberdayaan PPNS yang menitik beratkan penegakan pada : 1.
Penegakan Peraturan daerah Provinsi Bali Nomor 2 Tahun 1992 tentang Pemakaian Tanah Yang Dikuasai Oleh Pemerintah Provinsi Daerah Tingkat I Bali
2.
Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 6 Tahun 2000 tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan
19
3.
Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 8 Tahun2000 tentang Pembatasan Memasukkan Kendaraan bermotor
4.
Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 9 Tahun 2000 tentang Larangan Menaikkan Layan-Layang dan Permainan Sejenis di Bandara Ngurah Rai dan sekitarnya
5.
Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 2 Tahun 2003 tentang Pengeluaran Ternak Potong Sapi
6.
Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 5 Tahun tentang Persyaratan Arsitektur Bangunan Gedung
7.
Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2005 tentang Pengendalian Pencemaran dan Perusakan Lingkungan Hidup
8.
Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2006 tentang Penanggulangan HIV / AIDS
9.
Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Provinsi Bali No 8 Tahun 2002 tentang Lembaga Perkreditan Desa
10.
Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 7 Tahun2007 tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah
11.
Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 10 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah
12.
Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 5 Tahun 2008 tentang Pramuwisata
13.
Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 10 Tahun 2009 tentang Pencegahan dan Penanganan Korban Perdagangan Orang
14.
Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 15 Tahun 2009 tentang Penanggulangan Rabies
15.
Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilyah Provinsi Bali 2009-2029
16.
Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 1 tahun 2010 tentang Usaha Jasa Perjalanan Wisata
17.
Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 10 Tahun 2011 tentang Kawasan Tanpa Rokok.
20
18.
Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 2 Tahun 2011 tentang Retribusi Jalan Umum
19.
Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Usaha
20.
Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 5 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Sampah
21.
Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 1 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah
22.
Peraturan Daerah Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 tahun 2013 tentang Perlindungan Buah Lokal
23.
Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 5 Tahun 2013 tentang Retribusi Perizinan Tertentu
24.
Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tathu 2014 tentang Pelestarian Warisan Budaya
25.
Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 6 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak
Berdasarkan data dari Satuan Polisi Pamong Praja Provinsi Bali Tahun 2014 jumlah penegakan hukum dapat dilihat dalam tabel di bawah ini. Tabel 2 : Data Penegakan Peraturan Daerah Tahun 2013 No
Peraturan Daerah
1.
Perda 10 Tahun 2001 tentang Retribusi Angkutan Orang Dengan Kendaraan Umum Perda 8 Tahun 2000 tentang Pembatasan Memasukkan Kendaraan bermotor Bekas Perda 5 Tahun 2008 tentang Pramuwisata Perda 2 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Umum
2. 3. 4.
Jumlah Sasaran Obyek 362
Memenuhi Persyaratan 190
Tidak Memenuhi Persyaratan 172
284
42
242
96
78
18
33
-
33
Sumber : Laporan Akhir Kegiatan Penegakan Peraturan daerah dan Pemberdayaan PPNS, Bidang Ketentraman dan ketertiban Satuan polisi Pamong Praja Provinsi Bali Tahun Anggaran 2013.
21
Berdasarkan data dari Satuan Polisi Pamong Praja Provinsi Bali Tahun 2014 jumlah penegakan hukum dapat dilihat dalam tabel di bawah ini Tabel 3 :Data Rekapitulasi Penegakan Peraturan Daerah Tahun 2014 No 1.
Peraturan Daerah Peraturan Daerah Provinsi Bali No 2 Tahun 1992 tentang Pemakaian Tanah Yang Dikuasai Oleh Pemerintah Provinsi Bali 2. Peraturan Daerah Provinsi Bali No 8 Tahun 2000 tentang Pembatasan Memasukkan Kendaraan Bermotor Bekas 3. Peraturan Daerah Provinsi Bali No 2 Tahun 2003 tentang Pengeluaran Ternak Sap Potong Bali 4. Peraturan Daerah Provinsi Bali No 7 Tahun 2007 tentang Usaha Penyediaan Sarana Wisata Tirta 5. Peraturan Daerah Provinsi Bali No 5 Tahun 2008 tentang Pramuwisata 6. Peraturan Daerah Provinsi Bali No 5 Tahun 2009 tentang Penanggulangan Rabies 7. Peraturan Daerah Provinsi Bali No1 Tahun 2010 tentang Usaha Perjalanan wisata 8. Peraturan Daerah Provinsi Bali No 3 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Umum 9. Peraturan Daerah Provinsi Bali No 10 Tahun 2011 tentang Kawasan Tanpa Rokok 10. Peraturan Daerah Provinsi Bali No 5 Tahun 2012 tentang Pengendalian dan Peredaran Minuman Beralkohol Total
Total 236 7 1 2 1 1 294
Sumber : Laporan Akhir Pelaksanaan Kegiatan Penegakan Peraturan daerah dan Pemberdayaan PPNS, Seksi Penegakan Hukum Bidang Ketentraman dan ketertiban Satuan polisi Pamong Praja provinsi Bali Tahun 2014.
D.
KAJIAN TERHADAP IMPLIKASI PENERAPAN TERHADAP MASYARAKAT DAN DAMPAKNYA TERHADAP BEBAN KEUANGAN DAERAH Dalam lingkup pengaturan Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan
Ketentraman Masyarakat , terdapat dua komponen yaitu komponen yang sifatnya statis, dan komponen yang sifatnya dinamis. Komponen yang sifatnya statis meliputi: a. Asas,
fungsi,
tujuan,
dan
prinsip
Penyelenggaraan
Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat ; b. Struktur
atau
kelembagaan
dalam
Penyelenggaraan
Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat ; 22
c. Tugas dan wewenang kelembagaan dalam Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat ; d. Komposisi keanggotaan di dalam setiap kelembagaan; e. Kelengkapan
organisasi/kelembagaan
Penyelenggaraan
Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat ; f. Ketenagaan; g. Kekayaan; dan h. Sanksi. Sedangkan
yang
dimaksud
pengaturan
penyelenggaran
Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat sifatnya
dinamis
adalah
pengaturan
kelembagaan
yang
Penyelenggaraan
Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat. Pengaturan yang bersifat dinamis dalam bentuk pelaksanaan fungsi dan dalam bentuk pelaksanaan koordinasi. Memperhatikan uraian tersebut di atas, dengan adanya Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat
ini berdampak terhadap beban keuangan daerah dan juga
Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat melalui penegakan Peraturan Daerah. Penegakan dilakukan terhadap pelanggaran ketentuan Perda yang dapat diketahui melalui : 1.
Laporan dari masyarakat, lembaga, instansi maupun institusi.
2.
Anggota Satuan Polisi Pamong Praja hasil dari patrol wilayah
3.
Diketahui langsung oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil.
4.
Tertangkap
tangan
baik-baik
oleh
petugas
maupun
masyarakat.
23
BAB III EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT A. KONDISI HUKUM YANG ADA DAN STATUSNYA Dalam ketentuan
Pasal
236
ayat (1) Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah mengatur bahwa untuk menyelenggarakan Otonomi Daerah dan Tugas Pembantuan, Daerah membentuk Perda.
Adanya dasar kewenangan pengaturan menujukkan
pendelegasian keweangan dalam pembentukan peraturan daerah. Terkait dengan Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat di
Pemerintah
belum
memiliki
dasar
hukum
untuk
melakukan
pelaksanaan kegiatan dimaksud. Berdasarkan Pasal 255 UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (2) Satuan polisi pamong praja dibentuk untuk menegakkan Perda dan Perkada, menyelenggarakan Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat dan ketenteraman, serta menyelenggarakan pelindungan masyarakat. (3) Satuan polisi pamong praja mempunyai kewenangan: a. melakukan tindakan penertiban non-yustisial terhadap warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang b. melakukan pelanggaran atas Perda dan/atau Perkada; c. menindak warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang mengganggu Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat dan ketenteraman masyarakat; d. melakukan tindakan penyelidikan terhadap warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang diduga melakukan pelanggaran atas Perda dan/atau Perkada;dan e. melakukan tindakan administratif terhadap warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang melakukan pelanggaran atas Perda dan/atau Perkada.
Dalam Pasal 6 Peraturan Pemerintah No 6 Tahun 2010
tentang
Satuan Polisi Pamong Praja, mengatur tentang Wewenang, Hak dan Kewajiban, Polisi Pamong Praja berwenang:
24
a. melakukan tindakan penertiban nonyustisial terhadap warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang melakukan pelanggaran atas Perda dan/atau peraturan kepala daerah; b. menindak warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang mengganggu Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat dan ketenteraman masyarakat; c. fasilitasi dan pemberdayaan kapasitas penyelenggaraan perlindungan masyarakat; d. melakukan tindakan penyelidikan terhadap warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang diduga melakukan pelanggaran atas Perda dan/atau peraturan kepala daerah; dan e. melakukan tindakan administratif terhadap warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang melakukan pelanggaran atas Perda dan/atau peraturan kepala daerah Pengaturan dalam Pasal 3 Peraturan Menteri Dalam Negeri No 40 Tahun 2011 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Satuan Polisi Pamong Praja mengatur bahwa : Satpol PP mempunyai tugas menegakkan Perda dan menyelenggarakan Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman
Masyarakat
dan
ketenteraman
masyarakat
serta
perlindungan masyarakat Dalam Pasal 5 ayat (1) Peraturan Menteri Negeri No 54 Tahun 2011 tentang Standar Operasional Polisi Pamong Praja, mengatur bahwa : (1) SOP Satpol PP meliputi: a. Standar Operasional Prosedur penegakan peraturan daerah; b. Standar Operasional Prosedur ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat; c. Standar Operasional Prosedur pelaksanaan penanganan unjuk rasa dan kerusuhan massa; d. Standar Operasional Prosedur pejabat/orang-orang penting;
pelaksanaan
pengawalan
e. Standar Operasional Prosedur pelaksanaan tempat-tempat penting; dan f. Standar Operasional Prosedur pelaksanaan operasional patroli. g. Terkait dengan pengaturan kebijakan SOP di Provinsi diatur dalam Pasal 6 ayat (1), mengatur bahwa Petunjuk teknis SOP Satpol PP provinsi ditetapkan oleh gubernur. Provinsi Bali dalam pelaksanaan urusan pemerintahan juga mengatur tentang adanya urusan yang menjadi kewenangan Pemerintah Provinsi Bali yaitu diatur dalam Pasal 3 Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 1 Tahun 25
2008 tentang Urusan Pemerintahan Daerah Provinsi Bali, yang menjadi Kewenangan
Provinsi
Bali.
Merupakan
urusan
wajib
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) meliputi: t. otonomi daerah, pemerintahan umum, administrasi keuangan daerah, perangkat daerah, kepegawaian, dan persandian; Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat selain dengan adanya kewenangan yang bersifat lintas kabupaten kota juga terkait dengan kewenangan pengaturan di kawasan Pengaturan terkait dengan civic centre
civic centre .
diatur dalam Pasal 1
Peraturan Gubernur Provinsi Bali No 12 Tahun 2006 tentang Penataan Kembali Kawasan civic centre Niti Mandala Denpasar yang mengatur bahwa kawasan civic centre Niti Mandala berlokasi di Denpasar dengan batas : a. Sebelah utara : Jalan Letda Tantular dan Cok Agung Tresna; b. Sebelah Timur : Jalan Prof Moh Yamin; c.
Sebelah Selatan : Jalan Raya Puputan;
d. Sebelah Barat : Jalan Raya Puputan dan Letda Tantular. Mengingat pentingnya posisi Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat
baik terhadap masyarakat maupun terhadap
pemerintah, maka diperlukan penyusunan Naskah Akademik. B. KETERKAITAN PERATURAN DAERAH BARU DENGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG LAIN Materi Pokok Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat
yang hendak diatur dalam Peraturan Daerah yang sedang
disusun Naskah Akademiknya, mempunyai keterkaitan dengan sejumlah peraturan perundang-undangan. Tabel 4. Keterkaitan dengan Undang-Undang Lainnya. Materi Muatan
KETERKAITAN DENGAN UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2010 Tentang Satuan Polisi Pamong Praja
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 40 Tahun 2011 Tentang Pedoman Organisasi Dan Tata Kerja Satuan Polisi Pamong Praja
26
......
Pasal 255 (3)Satuan polisi pamong praja dibentuk untuk menegakkan Perda dan Perkada, menyelenggarakan Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat dan ketenteraman, serta menyelenggarakan pelindungan masyarakat
Pasal 6 a.melakukan tindakan penertiban nonyustisial terhadap warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang melakukan pelanggaran atas Perda dan/atau peraturan kepala daerah; b. menindak warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang mengganggu Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat dan ketenteraman masyarakat; c. fasilitasi dan pemberdayaan kapasitas penyelenggaraan perlindungan masyarakat; d. melakukan tindakan penyelidikan terhadap warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang diduga melakukan pelanggaran atas Perda dan/atau peraturan kepala daerah; dan e. melakukan tindakan administratif terhadap warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang melakukan
Pasal 3 Satpol PP mempunyai tugas menegakkan Perda dan menyelenggarakan Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat dan ketenteraman masyarakat serta perlindungan masyarakat Pasal 4 (1) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Satpol PP mempunyai fungsi: a.
penyusunan program dan pelaksanaan penegakkan Perda dan Peraturan Kepala Daerah, penyelenggaraa n ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat serta perlindungan masyarakat;
b. pelaksanaan kebijakan penegakkan Perda dan Peraturan Kepala Daerah; c. pelaksanaan kebijakan penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat di daerah; d. pelaksanaan kebijakan perlindungan masyarakat; e. pelaksanaan koordinasi
27
penegakan Perda dan Peraturan Kepala Daerah serta penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia, Penyidik Pegawai Negeri Sipil daerah, dan/atau aparatur lainnya; f. pengawasan terhadap masyarakat, aparatur, atau badan hukum agar mematuhi dan mentaati penegakkan Perda dan Peraturan Kepala Daerah; dan g. pelaksanaan tugas lainnya. (2) Pelaksanaan tugas lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g meliputi: a. mengikuti proses penyusunan peraturan perundangundangan serta kegiatan pembinaan dan penyebarluasan produk hukum daerah; b. membantu pengamanan dan pengawalan tamu VVIP termasuk pejabat negara dan tamu negara;
28
c. pelaksanaan pengamanan dan penertiban aset yang belum teradministrasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan; d. membantu pengamanan dan penertiban penyelenggaraan pemilihan umum dan pemilihan umum kepala daerah; e. membantu pengamanan dan penertiban penyelenggaraan keramaian daerah dan/atau kegiatan yang berskala massal; dan f. pelaksanaan tugas pemerintahan umum lainnya yang diberikan oleh kepala daerah sesuai dengan prosedur dan ketentuan peraturan perundangundangan. Sumber : Diolah dari UU Pemerintahan Daerah, PP Satpol PP dan Pedoman Organisasi dan Pedoman Tata Kerja Satpol PP
C. RENCANA PENGATURAN DARI PEMERINTAH DAERAH PROVINSI BALI TENTANG PENYELENGGARAAN KETERTIBAN UMUM DAN KETENTRAMAN MASYARAKAT Sebagaimana diketahui bahwa salah satu urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah daerah adalah penyelenggaraan Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat
dan ketenteraman
masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah berkomitmen untuk menyelenggarakan 29
urusan wajib dimaksud dalam rangka penegakkan Peraturan Daerah, menjaga ketenteraman dan ketertiban guna terwujudnya Kesejahteraan. Kondisi tersebut akan menjadi daya tarik bagi masyarakat luar daerah untuk datang dan berkunjung serta menanamkan investasi yang pada
akhirnya
memberikan
kontribusi
dalam
pengembangan
dan
pembangunan. Di Provinsi Bali pengaturan mengenai Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat pencapaian
kondisi
masyarakat
Provinsi
yang
kondusif
Bali.
bagi
Dinamika
harus diarahkan guna
seluruh
aspek
kehidupan
dan
kebutuhan
perkembangan
masyarakat Bali yang dinamis dirasakan memerlukan Peraturan Daerah yang menjangkau secara seimbang antara subjek dan objek hukum yang diatur. Oleh karena itu, dalam upaya menampung persoalan dan mengatasi kompleksitas diperlukan
permasalahan penyempurnaan
dinamika terhadap
perkembangan Peraturan
masyarakat
Daerah
dimaksud.
Peraturan Daerah ini diharapkan implementasi terhadap penyelenggaraan ketenteraman masyarakat dan Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman
Masyarakat
dapat
diterapkan
secara
optimal
guna
menciptakan Bali Mandara ( aman, damai dan sejahtera). Peraturan Daerah ini mempunyai posisi yang sangat strategis dan penting untuk memberikan motivasi dalam menumbuhkembangkan budaya disiplin masyarakat Bali.
30
BAB IV LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS
A. VALIDITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN: FILOSOFIS. SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS
LANDASAN
Istilah validitas atau geldigheid berarti keabsahan. Selain itu ada istilah
gelding
yang
berarti
keberlakuan.
Banyak
penulis
yang
mensinonimkan istilah validitas atau geldigheid dan istilah gelding, ungkap Bruggink. Menurutnya, bahwa istilah validitas digunakan untuk logika, yakni tentang penalaran yang sah (valid) jika suatu penalaran memenuhi syarata-syarat yang dituntut oleh kaidah dan aturan logikal.13 Satjipto Rahardjo dengan mendasarkan pada pandangan Gustav Radbruch mengungkapkan, bahwa validitas adalah kesahan berlaku hukum serta kaitannya dengan nilai-nilai dasar dari hukum. Bahwasanya hukum itu dituntut untuk memenuhi berbagai karya dan oleh Radbruch disebut sebagai nilai-nilai dasar dari hukum, yakni keadilan, kegunaan (zweckmaszigkeit), dan kepastian hukum.14 Satjipto Rahardjo menguraikan timbulnya masing-masing nilai-nilai dasar dari hukum itu. Pertama, hukum adalah karya manusia yang berupa norma-norma berisikan petunjuk-petunjuk tingkah laku. Ia merupakan pencerminan dari kehendak manusia tentang bagaimana seharusnya masyarakat itu dibina dan ke mana harus diarahkan. Oleh karena itu, pertama-tama hukum itu mengandung rekaman dari ide-ide yang dipilih oleh masyarakat tempat hukum itu diciptakan. Ide-ide ini adalah ide mengenai keadilan. Kedua, hukum yang sengaja dibuat itu mengikatkan diri kepada masyarakat sebagai basis sosialnya. Ini berarti, bahwa ia harus memperhatikan kebutuhan dan kepentingan anggota-anggota masyarakat
J.J.H. Bruggink, Refleksi Tentang Hukum, terjemahan Arief Sidharta dari judul asli: Rechts Reflecties, (Penerbit PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996), h. 147. 14 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Penerbit PT Citra Aditya Bakti, 2000), h. 19, yang mendasarkan pada Gustav Radbruch, Einfuhrung in die Rechtswissenschaft, (Sttugart: K.F. Koehler, 1961), h. 36. 13
31
serta memberikan pelayanan kepadanya. Meski tidak disebutkan oleh Satjipto Rahardjo, inilah yang dimaksud dengan kemanfaatan sebagai salah satu nilai-nilai dasar dari hukum. Ketiga, masyarakat tidak hanya ingin keadilan diciptakan dalam masyarakat dan kepentingan-kepentingannya dilayani oleh hukum, melainkan juga menginginkan agar dalam masyarakat terdapat peraturan yang menjamin kepastian dalam hubungan-hubungan mereka satu sama lain.15 Gustav Radbruch memahami hukum sebagai konsep budaya, yaitu konsep yang berkenaan dengan nilai. Hukum sebagai konsep budaya berurusan dengan nilai hukum dan ide hukum, yaitu hukum yang diartikan
sebagai
gagasan
untuk
menjabarkan
ide
hukum.
Gustav
Radbruch mengetengahkan 3 (tiga) ide hukum/cita hukum (the idea of the law), yakni keadilan (justice), kelayakan/kemanfaatan (expediency), dan kepastian hukum (legal certainty). Masing-masing ide dasar hukum itu adalah: 1. Hakekat keadilan sebagai keadilan distributif atau kesetaraan yaitu suatu bentuk perlakuan yang setara terhadap mereka yang memiliki keadaan setara, dan perlakuan yang tidak setara bagi mereka yang berada dalam keadaan yang berbeda, baik terhadap sesama manusia maupun hubungan-hubungan diantara mereka. 2. Kemanfaatan atau kelayakan atau tujuan bersifat relatif, yaitu tergantung pada pandangan-pandangan yang berbeda dari pihakpihak yang terlibat di dalam perkembangan sistematis tentang hukum dan negara. Hukum sebagai pengatur kehidupan bersama tidak dapat diserahkan kepada keinginan-keinginan perseorangan dalam masyarakat itu, melainkan haruslah berlaku satu hukum bagi kehidupan mereka. 3. Kepastian hukum menghendaki (1) hukum dalam bentuk positif dalam artian jika ada sesuatu yang tidak dapat diselesaikan, maka apa yang seharusnya atau apa yang dianggap benar yang harus diberlakukan; dan (2) ini harus dilakukan oleh suatu badan atau
15
Satjipto Rahardjo, Ibid., h. 18-19.
32
petugas
yang
mampu
menerapkan
apa
yang
diharuskan
diberlakukan.16 Gagasan hukum dari Gustav Radbruch tersebut diuraikan pula oleh W. Friedmann. Menurut Radbruch, gagasan hukum sebagai gagasan kultural tidak bisa formal, tetapi harus diarahkan kepada cita-cita hukum, yakni keadilan. Selanjutnya dikemukakan: 1. Keadilan sebagai suatu cita, seperti telah ditunjukkan oleh Aristoteles tidak dapat mengatakan lain kecuali yang sama harus diperlakukan sama, yang tidak sama diperlakukan tidak sama. 2. Pengertian kegunaan hanya dapat dijawab dengan menunjukkan pada konsepsi-konsepsi yang berbeda tentang negara dan hukum. Untuk mengisi cita keadilan ini dengan isi yang konkret, harus menoleh pada kegunaannya sebagai unsur kedua dari cita hukum. 3. Untuk melengkapi formalitas keadilan dan relativitas kegunaan, keamanan dimasukkan sebagai unsur ketiga dari cita hukum. Kegunaan
menuntut
kepastian
hukum.
Hukum
harus
pasti.
Tuntutan akan keadilan dan kepastian merupakan bagian-bagian yang tetap dari cita hukum, dan ada di luar pertentanganpertentangan bagi pendapat politik. Kegunaan memberi unsur relativitas. Tetapi tidak hanya kegunaan sendiri yang relatif, hubungan antara tiga unsur dari cita hukum itu juga relatif. Seberapa jauh kegunaan lebih kuat dari keadilan, atau keamanan lebih penting dari kegunaan, merupakan masalah yang harus diputuskan oleh sistem politik masing-masing.17 Ketiga elemen dari ide hukum itu bersifat saling melengkapi antara satu dengan lainnya – dan pada keadaan yang lain saling bertentangan satu dengan yang lainnya.18 Satjipto Rahardjo menanggapi hubungan yang demikian dapat dimengerti, oleh karena ketiga-tiganya berisi tuntutan yang berlain-lainan dan yang satu sama lain mengandung potensi untuk Gustav Radbruch, “Legal Philosophy”, dalam Kurt Wilk, ed., The Legal Philosophies Of Lask, Radbruch, And Dabin, (Cambridge: Havard University Press, 1950), hlm. 107-109. 17 W. Friedmann, Teori & Filsafat Hukum: Idealisme Filosofis & Problema Keadilan (susunan II), terjemahan Muhamad Arifin dari judul asli: Legal Theory, (Jakarta: Penerbit CV Rajawali, 1990), h. 43. 18 Ibid., hlm. 109 -110. 16
33
bertentangan. Sebagai contoh, kepastian hukum, sebagai nilai ia segera menggeser nilai-nilai keadilan dan kegunaan ke samping. Yang utama bagi kepastian hukum adalah adanya peraturan itu sendiri. Tentang apakah peraturan itu harus adil dan mempunyai kegunaan bagi masyarakatnya, adalah di luar pengutamaan nilai kepastian hukum.19 Teori tentang validitas berpengaruh pada hukum positif di Indonesia. Ini tampak pada keharusan adanya pertimbangan filosofis, sosiologis, dan yuridis dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. UU P3 2011 memberikan penjelasan mengenai unsur-unsur filosofis, sosiologis, dan yuridis sebagai muatan konsiderans menimbang. Angka 18 dan 19 TP3 (vide Pasal 64 ayat (2) UU P3 2011) menentukan konsiderans memuat uraian singkat mengenai pokok pikiran yang menjadi pertimbangan dan alasan pembentukan Peraturan Perundang–undangan. Pokok pikiran pada konsiderans Undang–Undang, Peraturan Daerah Provinsi, atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota memuat unsur filosofis, sosiologis, dan yuridis yang
menjadi
pertimbangan
dan
alasan
pembentukannya
yang
penulisannya ditempatkan secara berurutan dari filosofis, sosiologis, dan yuridis. Kemudian masing-masing unsur-unsur ini dijelaskan sebagai berikut: 1. Unsur filosofis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 2. Unsur sosiologis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek. 3. Unsur yuridis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk mengatasi permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan diubah, atau yang akan dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat.
19
Satjipto Rahardjo, Ibid., h. 19-20.
34
Pemahaman mengenai unsur-unsur filosofis, sosiologis, dan yuridis, dapat pula diperoleh dari teknik penyusunan naskah akademik rancangan peraturan perundang-undangan. Dasar hukum teknik penyusunan naskah akademik rancangan peraturan perundang-undangan terdapat dalam Pasal 57 UU No 12/2011, yang menentukan: (1) Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dilakukan sesuai dengan teknik penyusunan Naskah Akademik. (2) Ketentuan mengenai teknik penyusunan Naskah Akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini. Berikutnya dalam Pasal 63 UU No 12/2011 ditentukan bahwa ketentuan mengenai penyusunan Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 sampai dengan Pasal 62 berlaku secara mutatis mutandis
terhadap
penyusunan
Peraturan
Daerah
Kabupaten/Kota.
Artinya, ketentuan tentang teknik penyusunan Naskah Akademik yang berlaku bagi Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Provinsi, berlaku pula bagi Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Adapun penjelasan masing-masing unsur-unsur tersebut, yang disebut landasan filosofis, landasan sosiologis, dan landasan yuridis, adalah sebagai berikut: 1. Landasan filosofis merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan
bahwa
peraturan
yang
dibentuk
mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 2. Landasan sosiologis merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek. Landasan sosiologis sesungguhnya menyangkut fakta empiris mengenai perkembangan masalah dan kebutuhan masyarakat dan negara. 3. Landasan yuridis merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk mengatasi permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan 35
mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan diubah, atau yang akan dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat. Landasan yuridis menyangkut persoalan hukum yang berkaitan dengan substansi atau materi yang diatur sehingga perlu dibentuk Peraturan Perundang-Undangan yang baru. Beberapa persoalan hukum itu, antara lain, peraturan yang sudah ketinggalan, peraturan yang tidak harmonis atau tumpang tindih, jenis peraturan yang lebih rendah dari Undang-Undang sehingga daya berlakunya lemah, peraturannya sudah ada tetapi tidak memadai, atau peraturannya memang sama sekali belum ada. Aspek sosiologis dalam perancangan peraturan perundang-undangan dimanfaatkan dalam konteks pembentukan dan bukan dalam konteks pelaksanaan peraturan perundang-undangan, seperti tampak dalam bagan berikut: Bagan: Unsur sosiologis dalam konteks pembentukan dan pelaksanaan UU atau Perda.
B. RELEVANSI VALIDITAS DALAM PENYUSUNAN PERATURAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAAN KETERTIBAN UMUM DAN KETENTRAMAN MASYARAKAT Berdasarkan pemahaman tentang validitas tersebut, maka unsur filosofis, sosiologis dan yuridis, yang menjadi latar belakang pembuatan undang-undang atau peraturan daerah, dapat dimaknai sebagai berikut: 1. Unsur filosofis adalah nilai-nilai filosofis yang dianut oleh suatu Negara (bagi Indonesia yang termaktub dalam Pancasila dan
36
Pembukaan UUD 1945) yang menjadi latar belakang dan alasan pembuatan undang-undang atau peraturan daerah. 2. Unsur yuridis adalah peraturan perundang-undangan yang menjadi latar
belakang
dan
alasan
pembuatan
undang-undang
atau
peraturan daerah, yang meliputi: a. Dasar hukum formal, yakni peraturan perundang-undangan yang menjadi
dasar
kewenangan
pembentukan
suatu
peraturan
perundang-undangan. Termasuk keharusan mengikuti prosedur tertentu. b. Dasar hukum substansial, yakni peraturan Perundang-undangan yang memerintahkan materi muatan tertentu diatur dalam suatu Peraturan Perundang-undangan. Termasuk kesesuaian jenis dan materi muatan. 3. Unsur sosiologis adalah gejala dan masalah sosial-ekonomi-politik yang berkembang di masyarakat yang menjadi latar belakang dan alasan pembuatan undang-undang atau peraturan daerah. Relevansi
landasan
keabsahan
tersebut
dengan
pengaturan
Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat Ketertiban
Umum
dan
adalah
pengaturan
Penyelenggaraan
Ketentraman
Masyarakat
mendasarkan pada tiga landasan keabsahan, yakni filofofis,
yuridis, dan sosiologis, sebagaimana diamanatkan UU P3 2011. Pertama, Landasan Filosofis. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara
Republik
Indonesia
Tahun
1945,
bertujuan
untuk
memberikan pengayoman dan memajukan kesejahteraan masyarakat dalam rangka mewujudkan tata kehidupan bangsa yang aman, tertib, sejahtera, dan berkeadilan. Sejalan dengan itu, dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ditentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi terdiri atas
daerah-daerah
kabupaten
dan
kota,
yang
tiap-tiap
provinsi,
kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah. Masing-masing pemerintahan daerah itu mengatur dan mengurus sendiri pemerintahan
37
menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Otonomi dimaksud adalah otonomi seluas-luasnya. Ketentuan konstitusional tersebut dilaksanakan dengan UndangUndang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Dengan berlakunya Undang-Undang ini, maka penyelenggaraan pemerintahan daerah dilakukan dengan memberikan kewenangan yang seluas-luasnya, disertai dengan pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara. Kedua, Landasan sosiologis adalah dengan disusunya Perda ini bertujuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam Penyelenggaraan Ketertiban
Umum
dan
Ketentraman
Masyarakat
Penyelenggaraan
Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat daerah bukan merupakan sumber pendapatan daerah yang penting guna membiayai pelaksanaan pemerintahan daerah. Dalam Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat Berdasarkan uraian tersebut dapat ditegaskan, landasan
filosofis
bahwa
Penyelenggaraan
Ketertiban
Umum
dan
Ketentraman Masyarakat harus mampu menjamin pemerataan kesempata Penyelenggaraan peningkatan
Ketertiban
mutu
serta
Umum
dan
relevansi
Ketentraman dan
efisiensi
Masyarakat
,
manajemen
Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat
untuk
menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global sehingga perlu dilakukan pembaharuan Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat
secara
terencana, terarah, dan berkesinambungan. Jadi, Pemerintahan Daerah membuat Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat , berdasarkan prinsip demokrasi, pemerataan dan keadilan, peranserta masyarakat,
dan akuntabilitas. Adapun tujuan
pembentukan Perda ini adalah sebagai landasan hukum Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat di Provinsi Bali. Ketiga, Landasan Yuridis yaitu memberikan arahan, landasan dan kepastian hukum bagi aparatur pemerintah daerah dan para pemangku kepentingan dalam Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat. 38
Dalam kaitannya dengan penyusunan Rancangan Peraturan daerah tentang Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat mendasarkan pada landasan keberlakuan sebagai berikut : a. bahwa guna mewujudkan Provinsi Bali yang tertib, tentram dan prilaku disiplin bagi setiap masyarakat, maka perlu adanya upaya dalam meningkatkan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat; ( landasan filosofis) b. bahwa keberadaan masyarakat bali yang heterogen dengan prilaku yang berbeda menuntut dilakukan perbaikan dalam segala bidang untuk menunjang ketentraman dan ketertiban umum; (landasan sosiologis) c. bahwa untuk mendukung keberhasilan pembangunan dan meningkatkan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat, diperlukan suatu pengaturan sebagai arahan yang jelas dalam penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat ( landasan yuridis).
39
BAB V JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP MATERI MUATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI TENTANG PENYELENGGARAAN KETERTIBAN UMUM DAN KETENTRAMAN MASYARAKAT A. ARAH DAN JANGKAUAN PENGATURAN Istilah
“materi
muatan
“
pertama
digunakan
oleh
A.Hamid
S.Attamimi sebagai terjemahan atau padanan dari “het onderwerp”.20 Pada tahun 1979 A.Hamid S.Attamimi membuat suatu kajian mengenai materi muatan
peraturan
perundang-undangan.
Kata
materi
muatan
diperkenalkan oleh A.Hamid S.Attamimi sebagai pengganti istilah Belanda Het ondrwerp dalam ungkapan Thorbecke “het eigenaardig onderwerp der wet” yang diterjemahkan dengan materi muatan yang khas dari undangundang, Attamimi mengatakan : “…dalam tulisan tersebut penulis memperkenalkan untuk pertama kali istilah materi muatan.Kata materi muatan diperkenalkan oleh penulis sebagai pengganti kata Belanda het onderwerp dalam ungkapan ThorbPecke het eigenaardig onderwerp der wet. Penulis menterjemahkannya dengan materi muatan yang khas dari undangundang, yakni materi pengaturan yang khas yang hanya dan sematamata dimuat dalam undang-undang sehingga menjadi materi muatan undang-undang”.21 Dalam konteks pengertian ( begripen ) tentang materi muatan peraturan perundang-undangan
yang
hendak
dibentuk,
semestinya
harus
diperhatikan apa sesungguhnya yang menjadi materi muatan yang akan dibentuk.
Karena
masing-masing
perundang-undangan
mempunyai
tingkatan materi
(
jenjang
muatan
)
peraturan
tersendiri
secara
berjenjang dan berbeda-beda.22 Sri Sumantari juga berpendapat yang sama bahwa masing-masing peraturan perundang-undangan mengatur materi muatan yang sama, apa yang diatur oleh undang-undang jelas akan A.Hamid.S.Attamimi , A.Hamid.S.Attamimi, 1990, Peranan Keputusan Presiden RI Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, Disertasi Doktor UI, Jakarta, h. 193-194. 21 Ibid. 22 Gede Pantje Astawa & Suprin Na´a, 2008, Dinamika Hukum Dan Ilmu Perundangundangan di Indonesia, Penerbit Alumni Bandung, h. 90. 20
40
berbeda dengan apa yang diatur oleh Peraturan Daerah. Demikian pula yang diatur dalam UUD 1945 juga berbeda dengan yang diatur dalam Peraturan Presiden.23 Rosjidi
Ranggawidjaja
menyatakan
yang
dimaksud
dengan
isi
kandungan atau substansi yang dimuat dalam undang-undang khususnya dan peraturan perundang-undangan pada umumnya.24 Dengan demikian istilah materi muatan tidak hanya digunakan dalam membicarakan undang-undang
melainkan
semua
Pedoman 98 TP3U menentukan, pengertian atau definisi ; b.
peraturan
ketentuan
perundang-undangan.
umum
berisi:
a.batasan
singkatan atau akronim yang dituangkan
dalam batasan pengertian atau definisi ; dan/atau
c. hal-hal lain yang
bersifat umum yang berlaku bagi pasal atau beberapa pasal berikutnya antara lain ketentuan yang mencerminkan asas, maksud, dan tujuan tanpa dirumuskan tersendiri dalam pasal atau bab. Pedoman 109 TP3U menentukan, urutan penempatan kata atau istilah dalam ketentuan umum mengikuti ketentuan sebagai berikut: a. pengertian yang mengatur tentang lingkup umum ditempatkan lebih dahulu dari yang berlingkup khusus; b.pengertian yang terdapat lebih dahulu di dalam materi pokok yang diatur ditempatkan dalam urutan yang lebih dahulu; dan c.pengertian yang mempunyai
kaitan
dengan
pengertian
di
atasnya
yang
diletakkan
berdekatan secara berurutan. Beberapa hal yang relevan dicantumkan sebagai ketentuan umum dalam pembentukan Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat adalah: A.
JUDUL
B.
PEMBUKAAN 1.
Frasa Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa
2.
Jabatan
Pembentuk
Peraturan
Perundang-
undangan
Sri Sumantri Martosoewignjo & Bintan R.Saragih,1993, Ketatanegaaan Indonesia Dalam Kehidupan Politik Indonesia ; 30al Tahun Kembali ke UUD 1945, Pustaka Sinar Harapan Jakarta, h 62. 24 Rosjidi Rangga Widjaja, 1999, Ilmu Perundang-Undangan,Mandar Maju Bandung h. 53. 23
41
C.
3.
Konsiderans
4.
Dasar Hukum
5.
Diktum
BATANG TUBUH 1.
Ketentuan Umum
2.
Materi Pokok yang Diatur
3.
Ketentuan Pidana (jika diperlukan)
4.
Ketentuan Peralihan (jika diperlukan)
5.
Ketentuan Penutup
D.
PENUTUP
E.
PENJELASAN (jika diperlukan)
F.
LAMPIRAN (jika diperlukan)
Dalam penyusunan Rancangan Peraturan daerah Provinsi Bali tentang
Penyelenggaraan
Ketertiban
Umum
dan
Ketentraman
Masyarakat arah dan jangkauan pengaturan antara lain : 1.
Bab I Ketentuan umum
2.
Bab II Tugas dan Wewenang
3.
Bab III Pelaksanaan Ketertiban Umum Dan Ketentraman Masyarakat
4.
Bab IV Larangan
5.
Bab V Pembinaan, Pengendalian Dan Pengawasan
6.
Bab VI Sanksi Administratif
7.
Bab VII Pendanaan
8.
Bab VIII Ketentuan Penyidikan
9.
Bab IX Ketentuan Pidana
10. Bab X Ketentuan Penutup
B.RUANG LINGKUP MATERI MUATAN Ruang lingkup materi muatan Ranperda Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat adalah jangkauan materi pengaturan yang khas yang dimuat dalam raperda Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat , yang meliputi materi yang boleh dan materi
42
yang tidak boleh dimuat dalam raperda Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat
25
Jadi, yang dimaksud dengan materi
muatan baik mengenai batas materi muatan maupun lingkup materi muatan. Lingkup materi yang boleh dimuat ditentukan oleh asas otonomi daerah dan tugas pembantuan maupun yang ditentukan secara objektifnormatif dalam peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi sebagai materi muatan Perda tentang Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat antara lain : 1. Bab I Ketentuan umum BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan : 1.
Daerah adalah Provinsi Bali.
2.
Pemerintah Provinsi adalah Pemerintah Provinsi Bali.
3.
Gubernur adalah Gubernur Bali.
4.
Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati, Walikota.
5.
Kepala Satuan Polisi Pamong Praja adalah Kepala Satuan Polisi Pamong Praja Provinsi Bali.
6.
Ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat adalah suatu keadaan dinamis
yang
memungkinkan
Pemerintah,
pemerintah
daerah,
dan
masyarakat dapat melakukan kegiatannya dengan tenteram, tertib, dan teratur.
7.
Pejabat yang ditunjuk adalah pegawai negeri yang ditunjuk dan diberi tugas tertentu di bidang perijinan sesuai dengan Peraturan PerundangUndangan yang berlaku.
8.
Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya disingkat PPNS adalah Pejabat yang memiliki kewenangan khusus untuk melakukan penyidikan dan penyelidikan atas pelanggaran Peraturan Daerah.
Pengertian ruang lingkup materi muatan diadaptasi dari Gede Marhaendra Wija Atmaja, ”Ruang Lingkup Materi Muatan Peraturan Daerah Tingkat II (Kasus Kabupaten Daerah Tingkat II Badung dan Kotamadya Daerah Tingkat II Denpasar), Tesis Magister, (Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran, Bandung, 1995),hlm. 14. 25
43
9.
Badan adalah sekumpulan orang dan / atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, Perseroan Komanditer, Perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara atau daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, Firma, Kongsi, Koperasi, Dana Pensiun, Persekutuan, Perkumpulan, Yayasan, Organisasi massa, Organisasi sosial politik atau organisasi yang sejenis, lembaga, bentuk usaha tetap dan bentuk badan lainnya.
10.
Pengemis
adalah
orang-orang
yang
mendapat
penghasilan
dengan
meminta-minta di muka umum dengan berbagai cara dan alasan untuk mengharapkan belas kasihan dari orang lain.
11.
Bangunan adalah wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu dengan tempat kedudukannya, sebagian atau seluruhnya berada di atas dan atau di dalam tanah dan atau air, yang berfungsi tidak sebagai tempat melakukan kegiatan.
12.
Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan,
termasuk
bangunan
pelengkap
dan
perlengkapannya
yang
diperuntukkan bagi lalu lintas, yang berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah dan/atau air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan kereta api, jalan lori, dan jalan kabel.
13.
Tempat umum adalah fasilitas umum yang menjadi milik, dikuasai dan/atau dikelola oleh pemerintah daerah.
14.
Ruang
Terbuka
Hijau
adalah
area
memanjang/jalur
dan/atau
mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam.
15.
Jalur Hijau adalah salah satu jenis Ruang Terbuka Hijau fungsi tertentu.
16.
Taman
Kota
adalah
ruang
terbuka
segala
kelengkapannya
yang
dipergunakkan dan dikelola untuk keindahan yang antara lain berfungsi sebagai paru-paru kota.
17.
Ruang milik jalan adalah ruang manfaat jalan dan sejalur tanah tertentu di luar manfaat jalan yang diperuntukkan bagi
ruang manfaat jalan,
pelebaran jalan, penambahan jalur lalu lintas di massa datang serta kebutuhan ruangan untuk pengamanan jalan dan dibatasi oleh lebar, kedalaman dan tinggi tertentu.
44
18.
Civic centre adalah pusat kegiatan atau pusat perkantoran yang ditetapkan oleh pemerintah daerah.
2. Bab II Tugas dan Wewenang
Pasal 2 Tugas Satuan Polisi Pamong Praja Provinsi meliputi : a. menegakkan Perda;dan b. menyelenggarakan ketertiban umum, ketenteraman masyarakat dan perlindungan masyarakat. Pasal 3 Satuan Polisi Pamong Praja berwenang: a. membantu dan mengkoordinir tindakan penertiban nonyustisial terhadap pelanggaran atas Perda dan/atau peraturan kepala daerah; b. membantu dan mengkoordinir tindakan terhadap warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang mengganggu ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat; c. membantu dan mengkoordinir dalam memfasilitasi dan pemberdayaan kapasitas penyelenggaraan perlindungan masyarakat; d. membantu dan mengkoordinir tindakan penyelidikan terhadap warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang diduga melakukan pelanggaran atas Perda dan/atau peraturan kepala daerah; dan e. membantu dan mengkoordinir dalam melakukan tindakan administratif terhadap warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang melakukan pelanggaran atas Perda dan/atau peraturan kepala daerah
3. Bab III Pelaksanaan Ketertiban Umum Dan Ketentraman Masyarakat Bagian kesatu Kerjasama Dan Koordinasi Pasal 4 (1) Satuan Polisi Pamong Praja dalam melaksanakan tugasnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dapat bekerja sama dengan Kepolisian NegaraRepublik Indonesia dan/atau lembaga lainnya.
45
(2) Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan atas hubungan fungsional, saling membantu, dan saling menghormati dengan mengutamakan kepentingan umum.
Pasal 5 (1) Satuan Polisi Pamong Praja Provinsi mengkoordinasikan penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat di kabupaten/kota. (2) Rapat koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara berkala paling sedikit 1 (satu) kali dalam 6 (enam) bulan atau sewaktuwaktu sesuai dengan kebutuhan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan mekanisme koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Gubernur.
Bagian kedua Penegakan Perda dan/atau Perkada Pasal 6 (1) Penegakan Perda dan Perkada meliputi : a. Memberikan pengarahan kepada masyarakat dan badan hukum yang melanggar Peraturan daerah dan/atau Peraturan Kepala Daerah; b. Melakukan pembinaan dan/atau sosialisasi kepada masyarakat dan badan Hukum; c. Melakukan tindakan Preventif non yustisial; dan d. Penindakan yustisial. (2) Penegakan Perda dan Perkada sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikoordinasikan dan dilakukan bersama-sama dengan Kabupaten/Kota; (3) Penegakan Perda dan Perkada Provinsi dapat dilakukan di Kabupaten/Kota, apabila belum ada pengaturannya. (4) Ketentuan Tata cara penindakan Preventif non yustisial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dan penindakan yustisial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dilakukan sesuai dengan Peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bagian ketiga Ketertiban Umum Dan Ketentraman Masyarakat Pasal 7 Pemerintah Provinsi menjamin penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat. Pasal 8 (1) Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat meliputi : a. Tertib tata ruang; 46
b. Tertib jalan; c. Tertib angkutan jalan; d. Tertib jalur hijau, taman dan tempat umum; e. Tertib sungai, saluran, kolam, dan pinggir pantai; f. Tertib lingkungan; g. Tertib tempat usaha dan usaha tertentu; h. Tertib bangunan; i. Tertib sosial; j. Tertib kesehatan; k. Tertib tempat hiburan dan keramaian; l. Tertib peran serta masyarakat; m. Ketentuan lain sepanjang telah di tetapkan dalam peraturan daerah. (2) Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara koordinasi dengan Kabupaten/Kota. Pasal 9 Satpol PP Kabupaten/Kota berkewajiban melakukan koordinasi dengan Satpol PP Provinsi dalam hal : a. Penegakan peraturan daerah; dan b. Dukungan sumber daya manusia. 4. Bab IV Larangan Pasal 10 Setiap orang dan/atau badan dilarang : a. Memasang sepanduk, atribut, reklame, selebaran di area civic centre dan taman kota tanpa seijin pemerintah daerah; b. Berjualan di area civic centre dan taman kota tanpa seijin pemerintah daerah; c. Membeli barang dagangan yang dijual oleh pedagang di area civic centre dan taman kota. Pasal 11 Penyelenggaraan tertib angkutan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf b dilarang: a. Mengangkut bahan dan barang tanpa alat pengaman; b. Mengangkut bahan berdebu dan berbau busuk tanpa alat pengaman; dan c. Mengangkut hewan dan unggas tanpa alat pengaman. Pasal 12 Penyelenggaraan tertib jalur hijau, taman dan tempat umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf d dilakukan dengan larangan : 47
a. mengalihkan fungsi jalur hijau, taman dan tempat umum tanpa izin dari Pemerintah Daerah. b. berjualan atau berdagang, menyimpan atau menimbun barang di jalur hijau, taman dan tempat umum yang tidak sesuai dengan peruntukannya; c. mencoret-coret, menulis, melukis, menempel iklan di dinding atau di tembok, jembatan lintas, halte, tiang listrik, pohon dan sarana umum lainnya; d. membuang dan menumpuk sampah di jalan, jalur hijau, taman, sungai dan tempat-tempat lain yang dapat merusak keindahan dan kebersihan lingkungan; e. memasang dan/atau menempelkan kain bendera, kain bergambar, spanduk dan/atau sejenisnya disepanjang jalan, rambu-rambu lalu lintas, tiang penerangan jalan, pohon, bangunan fasilitas umum dan/atau fasilitas sosial tanpa ada izin dari Pemerintah Daerah; f. menebang dan/atau merusak pohon pelindung dan/atau tanaman lainnya yang berada di fasilitas umum tanpa ada izin dari Pemerintah Daerah; g. mengotori, mencoret dan merusak jalan dan/atau jembatan beserta bangunan pelengkapnya, rambu lalu lintas, pohon, fasilitas umum dan fasilitas sosial. Pasal 13 Penyelenggaran tertib sosial sebgaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf i dilakukan dengan larangan : a. meminta bantuan dan/atau sumbangan yang dilakukan sendiri-sendiri dan/atau bersama-sama di jalan, pasar, kendaraan umum, lingkungan pemukiman, rumah sakit, sekolah, kantor dan tempat ibadah. b. menyediakan tempat dan menyelenggarakan segala bentuk undian dengan memberikan hadiah dalam bentuk apapun kecuali mendapat izin dari Pemerintah Daerah. c. Permintaan bantuan atau sumbangan untuk kepentingan sosial dan kemanusiaan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan setelah mendapat izin dari Pemerintah Daerah. Pasal 14 Setiap orang dan/atau badan dilarang : a. beraktifitas sebagai gelandangan dan pengemis, Penjaja Seks Komersial, pengamen, pedagang asongan dan pembersih kaca mobil di traffic ligt; b. mengkoordinir gelandangan dan pengemis, Penjaja Seks Komersial pengamen, pedagang asongan dan pembersih kaca mobil di jalan dan tempat umum; c. mengeksploitasi bayi dan anak untuk mengemis; e. berbuat asusila di jalan umum, di taman dan tempat umum.
48
Pasal 15 Setiap orang dan/atau keluarga yang memiliki anggota keluarga yang menderita gangguan jiwa berkewajiban merawat dan tidak menelantarkannya. Pasal 16 (1) Tertib tempat usaha dan usaha tertentu sebgaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf g dilakukan dengan larangan : a. melakukan usaha dan mendirikan tempat kegiatan usaha yang dapat mengganggu ketertiban umum. b. menempatkan barang dengan maksud untuk melakukan usaha di sepadan jalan, trotoar, di dalan taman dan tempat umum; c. memproduksi, mengedarkan, menyimpan dan menjual minuman beralkohol dan petasan;
(2) ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan bagi tempat-tempat yang telah mendapat izin oleh pemerintah daerah.
Pasal 17 Penyelenggaraan Tertib peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf l dilakukan dengan : a. Setiap orang dan/atau badan dapat menyampaikan laporan kepada petugas Satuan Polisi Pamong Praja dan/atau aparat pemerintah daerah apabila terjadi pelanggaran terhadap ketertiban umum dan ketentraman masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8. b. Setiap orang atau badan yang melaporkan sebagaimana dimaksud pada huruf a berhak mendapat perlindungan hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 5. Bab V Pembinaan, Pengendalian Dan Pengawasan Pasal 18 (1) Pemerintah Provinsi berwenang untuk melakukan pembinaan, pengendalian dan pengawasan terhadap penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban umum. (2) Kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Satuan Polisi Pamong Praja bersama Penyidik Pegawai Negeri Sipil dengan Satuan kerja perangkat daerah terkait lainnya. Dalam melakukan pembinaan, pengendalian dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikoordinasikan dengan instansi lain dan pemerintah Kabupaten/Kota.
6. Bab VI Sanksi Administratif Pasal 19 49
Setiap orang atau badan hukum yang melanggar ketentuan dalam Pasal 10, Pasal 11 dan Pasal 15 ini dikenakan hukuman sanksi administrasi berupa :
a. Teguran lisan; b. Peringatan tertulis; c. Penertiban; d. Penghentian sementara dari kegiatan; e. Denda administrasi; dan/atau f. Pencabutan izin, pembekuan izin, dan/atau penyegelan.
7. Bab VII Pendanaan Pasal 20 Pendanaan penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat dibebankan pada Anggaran Pendapatan Belanja Daerah. 8. Bab VIII Ketentuan Penyidikan Pasal 21 (1) Selain Pejabat Penyidik Polisi Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah yang lingkup tugas dan tanggungjawabnya di bidang Ketertiban dan Ketenraman Masyarakat, diberi wewenang khusus sebagai Penyidik, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berwenang : a. menerima laporan atau pengaduan berkenaan tindak pidana dibidang ketertiban umum dan ketentraman masyarakat. b. melakukan tindakan pertama pada saat itu di tempat kejadian . c. melakukan pemanggilan terhadap perseorangan atau badan usaha untuk di dengar dan diperiksa sebagai saksi dalam tindakan pidana dibidang ketertiban umum dan ketentraman massayarakat; d. melakukan penggeledahan dan penyitaan barang bukti dan/atau surat; e. mengambil sidik jari dan memotret seseorang; f. meminta keterangan atau bahan bukti dari perseorangan atau badan usaha terkait tindak pidana dibidang ketertiban umum dan ketentraman masyarakat; g. meminta bantuan ahli yang diperlukan dalam hubungan dengan pemeriksaan perkara; h. membuat dan menandatangan berita acara dan i. menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti tentang adanya tindak pidana dibidang ketertiban umum dan ketentraman 50
masyarakat. (2) PPNS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan hasil penyidikannya kepada Penyidik Polri.
9. Bab IX Ketentuan Pidana Pasal 22 (1) Setiap orang dan/atau badan yang tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 16 , Pasal 17, dan Pasal 19 diancam pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). (2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pelanggaran. (3) Selain ancaman pidana yang di maksud pada ayat (1) dapat dikenakan sanksi sesuai dengan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku 10. Bab X Ketentuan Penutup Peraturan Daerah ini mulai berlaku dan mempunyai kekuatan mengikat pada tanggal diundangkan, kecuali ditentukan lain di dalam Peraturan Daerah yang bersangkutan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Provinsi Bali
51
BAB VI PENUTUP A. Simpulan Pertama, permasalahan yang dihadapi berkenaan dengan Rancangan Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Ketentraman Masyarakat
Ketertiban Umum dan
dasar kewenangan pembentukan diatur dalam
Undang UU NO 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Peraturan Pemerintah No 6 Tahun 2010
tentang Satuan Polisi Pamong Praja,
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2010 Tentang Penggunaan Senjata Api Bagi Satpol PP, Peraturan Menteri Dalam Negeri No 40 Tahun 2011 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Satuan Polisi Pamong Praja, Peraturan Menteri Negeri No 54 Tahun 2011 tentang Standar Operasional Polisi Pamong Praja dan Peraturan Daerah Provinsi Bali No 2 Tahun 2008 Tentang Urusan Pemerintahan Daerah Provinsi Bali.Peraturan Gubernur Provinsi Bali No 12 Tahun 2006 tentang Penataan Kembali Kawasan civic centre Niti Mandala serta peraturan perundang-undangan yang lain yang terkait dengan pendelegasian kewenangan mengatur pada peraturan perundang-undangan. Permasalahan tersebut diatasi dengan pembuatan Peraturan Daerah dalam rangka Penyelenggaraan
Ketertiban
Umum dan Ketentraman Masyarakat. Penjabaran dalam materi muatan yaitu tentang : 11. Bab I Ketentuan umum 12. Bab II Tugas dan Wewenang 13. Bab III Pelaksanaan Ketertiban Umum Dan Ketentraman Masyarakat 14. Bab IV Larangan 15. Bab V Pembinaan, Pengendalian Dan Pengawasan 16. Bab VI Sanksi Administratif 17. Bab VII Pendanaan 18. Bab VIII Ketentuan Penyidikan 19. Bab IX Ketentuan Pidana 20. Bab X Ketentuan Penutup 52
Kedua, penyusunan Peraturan Daerah diperlukan sebagai dasar penyelesaian
masalah
tersebut
di
atas
sehingga
Penyelenggaraan
Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat memiliki landasan dan kepastian dalam kaiatannya dengan perlindungan dan pemberdayaan. Ketiga, pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis, yuridis pembentukan Rancangan Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat adalah: a. Landasan Filosofis
bahwa tertib, setiap upaya umum
guna mewujudkan Provinsi Bali yang tentram dan prilaku disiplin bagi masyarakat, maka perlu adanya dalam meningkatkan ketertiban dan ketentraman masyarakat
b. Landasan Sosiologis
bahwa keberadaan masyarakat bali yang heterogen dengan prilaku yang berbeda menuntut dilakukan perbaikan dalam segala bidang untuk menunjang ketentraman dan ketertiban umum; (landasan sosiologis)
c. Landasan Yuridis
bahwa untuk mendukung keberhasilan pembangunan dan meningkatkan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat, diperlukan suatu pengaturan sebagai arahan yang jelas dalam penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat
Keempat, arah, sasaran, da jangkauan pengaturan, dan ruang lingkup materi muatan Peraturan Daerah yang akan dibentuk adalah: 1. Arah pengaturan dari Peraturan Daerah yang akan dibentuk ini adalah
memberikan
landasan
dan
kepastian
hukum
bagi
Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat di Provinsi Bali . 2. Sasaran yang hendak diwujudkan dari Peraturan Daerah yang akan dibentuk ini adalah terwujudnya bentuk Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat . 53
3. Jangkauan pengaturan dari Peraturan Daerah yang akan dibentuk ini
adalah
memberikan
pedoman
berkaitan
dengan
Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat. 4. Ruang lingkup materi muatan Peraturan Daerah yang akan dibentuk adalah: 1. Bab I Ketentuan umum 2. Bab II Tugas dan Wewenang 3. Bab III Pelaksanaan Ketertiban Umum Dan Ketentraman Masyarakat 4. Bab IV Larangan 5. Bab V Pembinaan, Pengendalian Dan Pengawasan 6. Bab VI Sanksi Administratif 7. Bab VII Pendanaan 8. Bab VIII Ketentuan Penyidikan 9. Bab IX Ketentuan Pidana 10. Bab X Ketentuan Penutup Berdasarkan kajian yang telah di lakukan di BAB terdahulu, dapat ditarik konklusi bahwa Pemerintah
Daerah Provinsi Bali belum mempunyai
Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan
Ketertiban Umum dan
Ketentraman Masyarakat. Berdasarkan keseluruhan tersebut di atas dirumuskan simpulan dasar hukum pembentukan peraturan daerah : 1. Undang-Undang Nomor 64 Tahun 1958 tentang Pembentukan Daerah daerah Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1958 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1649); 2. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234); 3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan UndangUndang Nomor 9 Tahun 2015 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679);
54
4. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2010 Tentang Satuan Polisi Pamong Praja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5094); 5. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 54 Tahun 2011 Tentang Standar Operasional Prosedur Satuan Polisi Pamong Ppraja (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 705); 6. Peraturan Daerah Provinsi Daerah Tingkat I Bali Nomor 2 Tahun 1988 tentang Penyidik Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Pemerintah Provinsi Dati I Bali; B. Saran 1. Menyiapkan
segera
Peraturan
Gubernur
sebagai
bentuk
pendelegasian kewenangan mengatur 2. Agar diselenggarakan proses konsultasi publik sehingga masyarakat dapat
memberikan
masukan
dalam
penyusunan
Rancangan
Peraturan Daerah Provinsi Bali tentang Penyelenggaraan Ketertiban Umum
dan
Ketentraman
Masyarakat
,
sesuai
dengan
asas
keterbukaan dan ketentuan tentang partisipasi masyarakat dalam Pasal 96 UU P3 2011 dan Pasal 354 ayat (4) UU Pemerintahan Daerah 2004. Dalam Pasal 354 ayat (4) UU Pemerintahan Daerah 2004. Pasal partisipasi masyarakat dalam bentuk : a. b. c. d. e. f.
konsultasi publik; musyawarah; kemitraan; penyampaian aspirasi; pengawasan; dan/atau keterlibatan lain sesuai dengan ketentuan peraturan erundangundangan
55
DAFTAR PUSTAKA Alf Ross, 1969, On Law And Justice, University Of Californis Press, Barkely & Los Angeles. A.Hamid.S.Attamimi , A.Hamid.S.Attamimi, 1990, Peranan Keputusan Presiden RI Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, Disertasi Doktor UI, Jakarta C.F.G.Sunaryati Hartono, 1994, Penelitian Hukum Di Indonesia Pada Akhir Abad ke 2 , Alumni, Bandung Jan Gijsels,2005, Mark Van Hocke ( terjemahan B. Arief Sidharta ) Apakah Teori Hukum Itu ? , Laboratorium Hukum Universitas Parahyangan Bandung. Erna Widodo , 2000, Konstruksi ke Arah Penelitian Deskriptif, Avy-rouz. Gede Marhaendra Wija Atmaja, ”Ruang Lingkup Materi Muatan Peraturan Daerah Tingkat II (Kasus Kabupaten Daerah Tingkat II Badung dan Kotamadya Daerah Tingkat II Denpasar), Tesis Magister, (Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran, Bandung, 1995). Gede Pantje Astawa & Suprin Na´a, 2008, Dinamika Hukum Dan Ilmu Perundang-undangan di Indonesia, Penerbit Alumni Bandung Gustav Radbruch,1950, “Legal Philosophy”, dalam Kurt Wilk, ed., The Legal Philosophies Of Lask, Radbruch, And Dabin, (Cambridge: Havard University Press. I Dewa Gede Atmadja, 1996, Penafsiran Kostitusi Dalam Rangka Sosialisasi Hukum, Sisi Pelaksanaan UUD 1945 Secara Murni Dan konsekuen” Pidato Pengenalan Jabatan Guru Besar Dalam Bidang Hukum Tata Negara Pada FH.UNUD, J.J.H. Bruggink, Refleksi Tentang Hukum, terjemahan Arief Sidharta dari judul asli: Rechts Reflecties, (Penerbit PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996). Peter Mahmud Marzuki; 2005, Penelitian Hukum, Jakarta Interpratama Offset, Philipus M Hadjon, 1994, Pengkajian Ilmu Hukum Dogmatik ( Normatif ) dalam Yuridika Nomor 6 Tahun IX, Nopember-Desember. Rony Hanitijo Soemitro, 1985, Metodologi Penelitian Hukum, Ghia Indonesia Jakarta, Rosjidi Rangga Widjaja, 1999, Ilmu Perundang-Undangan,Mandar Maju Bandung . Satjipto Rahardjo, 2000, Ilmu Hukum, (Bandung: Penerbit PT Citra Aditya Bakti,) Soelistyowati Irianto dan Sidharta, 2009, Metode Penelitian Hukum Konstelasi Dan Refleksi,Yayasan Obor Sudargo Gaotama, 1985, Hukum Perdata Internasional, Alumni Bandung. Sri Sumantri Martosoewignjo & Bintan R.Saragih,1993, Ketatanegaaan Indonesia Dalam Kehidupan Politik Indonesia ; 30al Tahun Kembali ke UUD 1945, Pustaka Sinar Harapan Jakarta W. Friedmann, Teori & Filsafat Hukum: Idealisme Filosofis & Problema Keadilan (susunan II), terjemahan Muhamad Arifin dari judul asli: Legal Theory. 56
.
DAFTAR PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat Nasional( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 244 , Tambahan Lembaran Negara Republik Indoesia Nomor 4301 ). Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234). Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587), sebagimana diubah beberapa kali terkhir dengan Undang-Undang No 2 tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-Undang ( Lembaran Negara Republik Indoensia Indonesia Tahun 2015 Nomor 24, Tambahan Lembaran negara republik Indonesia Nomor 5657); Peraturan Pemerintah No 6 Tahun 2010
tentang Satuan Polisi Pamong
Praja ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Republik Indoesia Nomor 5094 ) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2010 Tentang Penggunaan Senjata Api Bagi Satpol PP Peraturan Menteri Dalam Negeri No 40 Tahun 2011 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Satuan Polisi Pamong Praja . ( Berita Negara Republik Indoensia Tahun 2011 No 590)
57
Peraturan Menteri Negeri No 54 Tahun 2011 tentang Standar Operasional Polisi Pamong Praja ( Berita Negara Republik Indoensia Tahun 2011 No 705) Peraturan Daerah Provinsi Bali No 2 Tahun 2008 Tentang Urusan Pemerintahan Daerah Provinsi Bali Lembaran Daerah Tahun 2008 Nomor 2 Peraturan Gubernur Provinsi Bali No 12 Tahun 2006 tentang Penataan Kembali Kawasan civic centre Niti Mandala Denpasar, Berita Daerah Provinsi Bali Tahun 2006 Nomor 12. Keputusan
gubernur
Bali
Nomor
2383/05-A/HK/2013
tentang
Pembentukan Dan Susunan Keanggotaan Tim Penegakan Peraturan Daerah dan Pemberdayaan Penyidik Pegawai negeri Sipil ( PPNS)
58
LAMPIRAN PERATURAN DAERAH : REVISI III FH
GUBERNUR BALI PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR ...... TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN KETERTIBAN UMUM DAN KETENTRAMAN MASYARAKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI, Menimbang :
Mengingat :
a. bahwa guna mewujudkan Provinsi Bali yang tertib, tentram dan prilaku disiplin bagi setiap masyarakat, maka perlu adanya upaya dalam meningkatkan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat; b. bahwa keberadaan masyarakat bali yang heterogen dengan prilaku yang berbeda menuntut dilakukan perbaikan dalam segala bidang untuk menunjang ketentraman dan ketertiban umum; c. bahwa untuk mendukung keberhasilan pembangunan dan meningkatkan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat, diperlukan suatu pengaturan sebagai arahan yang jelas dalam penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c,perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat 7. Undang-Undang Nomor 64 Tahun 1958 tentang Pembentukan Daerah daerah Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1958 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1649); 59
8. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234); 9. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 Tentang Perubahan Kedua Atas UndangUndang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679); 10. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2010 Tentang Satuan Polisi Pamong Praja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5094); 11. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 54 Tahun 2011 Tentang Standar Operasional Prosedur Satuan Polisi Pamong Ppraja (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 705); 12. Peraturan Daerah Provinsi Daerah Tingkat I Bali Nomor 2 Tahun 1988 tentang Penyidik Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Pemerintah Provinsi Dati I Bali; DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI BALI dan GUBERNUR BALI, MEMUTUSKAN : Menetapkan :
PERATURAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAAN KETERTIBAN UMUM DAN KETENTRAMAN MASYARAKAT.
BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 60
Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan : 19.
Daerah adalah Provinsi Bali.
20.
Pemerintah Provinsi adalah Pemerintah Provinsi Bali.
21.
Gubernur adalah Gubernur Bali.
22.
Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati, Walikota.
23.
Kepala Satuan Polisi Pamong Praja adalah Kepala Satuan Polisi Pamong Praja Provinsi Bali.
24.
Ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat adalah suatu keadaan dinamis yang memungkinkan Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat dapat melakukan kegiatannya dengan tenteram, tertib, dan teratur.
25.
Pejabat yang ditunjuk adalah pegawai negeri yang ditunjuk dan diberi tugas tertentu di bidang perijinan sesuai dengan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku.
26.
Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya disingkat PPNS adalah Pejabat yang
memiliki
kewenangan
khusus
untuk
melakukan
penyidikan
dan
penyelidikan atas pelanggaran Peraturan Daerah.
27.
Badan adalah sekumpulan orang dan / atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, Perseroan Komanditer, Perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara atau daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, Firma, Kongsi, Koperasi, Dana Pensiun, Persekutuan, Perkumpulan, Yayasan, Organisasi massa, Organisasi sosial politik atau organisasi yang sejenis, lembaga, bentuk usaha tetap dan bentuk badan lainnya.
28.
Pengemis adalah orang-orang yang mendapat penghasilan dengan memintaminta di muka umum dengan berbagai cara dan alasan untuk mengharapkan belas kasihan dari orang lain.
29.
Bangunan adalah wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu dengan tempat kedudukannya, sebagian atau seluruhnya berada di atas dan atau di dalam tanah dan atau air, yang berfungsi tidak sebagai tempat melakukan kegiatan.
30.
Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas, yang berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah dan/atau air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan kereta api, jalan lori, dan jalan kabel. 61
31.
Tempat umum adalah fasilitas umum yang menjadi milik, dikuasai dan/atau dikelola oleh pemerintah daerah.
32.
Ruang Terbuka Hijau adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam.
33.
Jalur Hijau adalah salah satu jenis Ruang Terbuka Hijau fungsi tertentu.
34.
Taman Kota adalah ruang terbuka segala kelengkapannya yang dipergunakkan dan dikelola untuk keindahan yang antara lain berfungsi sebagai paru-paru kota.
35.
Ruang milik jalan adalah ruang manfaat jalan dan sejalur tanah tertentu di luar manfaat jalan yang diperuntukkan bagi ruang manfaat jalan, pelebaran jalan, penambahan jalur lalu lintas di massa datang serta kebutuhan ruangan untuk pengamanan jalan dan dibatasi oleh lebar, kedalaman dan tinggi tertentu.
36.
Civic centre adalah pusat kegiatan atau pusat perkantoran yang ditetapkan oleh pemerintah daerah.
BAB II TUGAS DAN WEWENANG Pasal 2 Tugas Satuan Polisi Pamong Praja Provinsi meliputi : c. menegakkan Perda;dan d. menyelenggarakan ketertiban umum, ketenteraman masyarakat dan perlindungan masyarakat. Pasal 3 Satuan Polisi Pamong Praja berwenang: f. membantu dan mengkoordinir tindakan penertiban nonyustisial terhadap pelanggaran atas Perda dan/atau peraturan kepala daerah; g. membantu dan mengkoordinir tindakan terhadap warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang mengganggu ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat; h. membantu dan mengkoordinir dalam memfasilitasi dan pemberdayaan kapasitas penyelenggaraan perlindungan masyarakat; i. membantu dan mengkoordinir tindakan penyelidikan terhadap warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang diduga melakukan 62
pelanggaran atas Perda dan/atau peraturan kepala daerah; dan j. membantu dan mengkoordinir dalam melakukan tindakan administratif terhadap warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang melakukan pelanggaran atas Perda dan/atau peraturan kepala daerah. BAB III PELAKSANAAN KETERTIBAN UMUM DAN KETENTRAMAN MASYARAKAT Bagian kesatu Kerjasama Dan Koordinasi Pasal 4 (3) Satuan Polisi Pamong Praja dalam melaksanakan tugasnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dapat bekerja sama dengan Kepolisian NegaraRepublik Indonesia dan/atau lembaga lainnya. (4) Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan atas hubungan fungsional, saling membantu, dan saling menghormati dengan mengutamakan kepentingan umum.
Pasal 5 (4) Satuan Polisi Pamong Praja Provinsi mengkoordinasikan penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat di kabupaten/kota. (5) Rapat koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara berkala paling sedikit 1 (satu) kali dalam 6 (enam) bulan atau sewaktu-waktu sesuai dengan kebutuhan. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan mekanisme koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Gubernur.
Bagian kedua Penegakan Perda dan/atau Perkada Pasal 6 (5) Penegakan Perda dan Perkada meliputi : e. Memberikan pengarahan kepada masyarakat dan badan hukum yang melanggar Peraturan daerah dan/atau Peraturan Kepala Daerah; f. Melakukan pembinaan dan/atau sosialisasi kepada masyarakat dan badan Hukum; g. Melakukan tindakan Preventif non yustisial; dan h. Penindakan yustisial. (6) Penegakan Perda dan Perkada sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikoordinasikan dan dilakukan bersama-sama dengan Kabupaten/Kota; (7) Penegakan Perda dan Perkada Provinsi dapat dilakukan di 63
Kabupaten/Kota, apabila belum ada pengaturannya. (8) Ketentuan Tata cara penindakan Preventif non yustisial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dan penindakan yustisial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dilakukan sesuai dengan Peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bagian ketiga Ketertiban Umum Dan Ketentraman Masyarakat Pasal 7 Pemerintah Provinsi menjamin penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat. Pasal 8 (2) Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat meliputi : a. Tertib tata ruang; b. Tertib jalan; c. Tertib angkutan jalan; d. Tertib jalur hijau, taman dan tempat umum; e. Tertib sungai, saluran, kolam, dan pinggir pantai; f. Tertib lingkungan; g. Tertib tempat usaha dan usaha tertentu; h. Tertib bangunan; i. Tertib sosial; j. Tertib kesehatan; k. Tertib tempat hiburan dan keramaian; l. Tertib peran serta masyarakat; m. Ketentuan lain sepanjang telah di tetapkan dalam peraturan daerah. (3) Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara koordinasi dengan Kabupaten/Kota. Pasal 9 Satpol PP Kabupaten/Kota berkewajiban melakukan koordinasi dengan Satpol PP Provinsi dalam hal : a. Penegakan peraturan daerah; dan b. Dukungan sumber daya manusia. BAB IV LARANGAN Pasal 10 Setiap orang dan/atau badan dilarang : 64
d. Memasang sepanduk, atribut, reklame, selebaran di area civic centre dan taman kota tanpa seijin pemerintah daerah; e. Berjualan di area civic centre dan taman kota tanpa seijin pemerintah daerah; f. Membeli barang dagangan yang dijual oleh pedagang di area civic centre dan taman kota. Pasal 11 Penyelenggaraan tertib angkutan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf b dilarang: d. Mengangkut bahan dan barang tanpa alat pengaman; e. Mengangkut bahan berdebu dan berbau busuk tanpa alat pengaman; dan f. Mengangkut hewan dan unggas tanpa alat pengaman. Pasal 12 Penyelenggaraan tertib jalur hijau, taman dan tempat umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf d dilakukan dengan larangan : h. mengalihkan fungsi jalur hijau, taman dan tempat umum tanpa izin dari Pemerintah Daerah. i. berjualan atau berdagang, menyimpan atau menimbun barang di jalur hijau, taman dan tempat umum yang tidak sesuai dengan peruntukannya; j. mencoret-coret, menulis, melukis, menempel iklan di dinding atau di tembok, jembatan lintas, halte, tiang listrik, pohon dan sarana umum lainnya; k. membuang dan menumpuk sampah di jalan, jalur hijau, taman, sungai dan tempat-tempat lain yang dapat merusak keindahan dan kebersihan lingkungan; l. memasang dan/atau menempelkan kain bendera, kain bergambar, spanduk dan/atau sejenisnya disepanjang jalan, rambu-rambu lalu lintas, tiang penerangan jalan, pohon, bangunan fasilitas umum dan/atau fasilitas sosial tanpa ada izin dari Pemerintah Daerah; m. menebang dan/atau merusak pohon pelindung dan/atau tanaman lainnya yang berada di fasilitas umum tanpa ada izin dari Pemerintah Daerah; n. mengotori, mencoret dan merusak jalan dan/atau jembatan beserta bangunan pelengkapnya, rambu lalu lintas, pohon, fasilitas umum dan fasilitas sosial. Pasal 13 Penyelenggaran tertib sosial sebgaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf i dilakukan dengan larangan : d. meminta bantuan dan/atau sumbangan yang dilakukan sendiri-sendiri dan/atau bersama-sama di jalan, pasar, kendaraan umum, lingkungan 65
pemukiman, rumah sakit, sekolah, kantor dan tempat ibadah. e. menyediakan tempat dan menyelenggarakan segala bentuk undian dengan memberikan hadiah dalam bentuk apapun kecuali mendapat izin dari Pemerintah Daerah. f. Permintaan bantuan atau sumbangan untuk kepentingan sosial dan kemanusiaan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan setelah mendapat izin dari Pemerintah Daerah. Pasal 14 Setiap orang dan/atau badan dilarang : a. beraktifitas sebagai gelandangan dan pengemis, Penjaja Seks Komersial, pengamen, pedagang asongan dan pembersih kaca mobil di traffic ligt; b. mengkoordinir gelandangan dan pengemis, Penjaja Seks Komersial pengamen, pedagang asongan dan pembersih kaca mobil di jalan dan tempat umum; c. mengeksploitasi bayi dan anak untuk mengemis; e. berbuat asusila di jalan umum, di taman dan tempat umum. Pasal 15 Setiap orang dan/atau keluarga yang memiliki anggota keluarga yang menderita gangguan jiwa berkewajiban merawat dan tidak menelantarkannya.
Pasal 16 (2) Tertib tempat usaha dan usaha tertentu sebgaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf g dilakukan dengan larangan : d. melakukan usaha dan mendirikan tempat kegiatan usaha yang dapat mengganggu ketertiban umum. e. menempatkan barang dengan maksud untuk melakukan usaha di sepadan jalan, trotoar, di dalan taman dan tempat umum; f. memproduksi, mengedarkan, menyimpan dan menjual minuman beralkohol dan petasan;
(2) ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan bagi tempat-tempat yang telah mendapat izin oleh pemerintah daerah.
Pasal 17 Penyelenggaraan Tertib peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf l dilakukan dengan : c. Setiap orang dan/atau badan dapat menyampaikan laporan kepada petugas Satuan Polisi Pamong Praja dan/atau aparat pemerintah daerah apabila terjadi pelanggaran terhadap ketertiban umum dan ketentraman 66
masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8. d. Setiap orang atau badan yang melaporkan sebagaimana dimaksud pada huruf a berhak mendapat perlindungan hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB V PEMBINAAN, PENGENDALIAN DAN PENGAWASAN Pasal 18 (3) Pemerintah Provinsi berwenang untuk melakukan pembinaan, pengendalian dan pengawasan terhadap penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban umum. (4) Kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Satuan Polisi Pamong Praja bersama Penyidik Pegawai Negeri Sipil dengan Satuan kerja perangkat daerah terkait lainnya. (5) Dalam melakukan pembinaan, pengendalian dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikoordinasikan dengan instansi lain dan pemerintah Kabupaten/Kota.
BAB VI SANKSI ADMINISTRASI Pasal 19
Setiap orang atau badan hukum yang melanggar ketentuan dalam Pasal 10, Pasal 11 dan Pasal 15 ini dikenakan hukuman sanksi administrasi berupa :
a. Teguran lisan; b. Peringatan tertulis; c. Penertiban; d. Penghentian sementara dari kegiatan; e. Denda administrasi; dan/atau f. Pencabutan izin, pembekuan izin, dan/atau penyegelan. BAB VII PENDANAAN Pasal 20 Pendanaan Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat dibebankan pada Anggaran Pendapatan Belanja Daerah. BAB VIII KETENTUAN PENYIDIKAN Pasal 21 (3) Selain Pejabat Penyidik Polisi Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah yang lingkup tugas dan tanggungjawabnya di bidang Ketertiban dan Ketenraman Masyarakat, diberi wewenang khusus sebagai Penyidik, sesuai ketentuan peraturan 67
perundang-undangan. (2) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berwenang : a. menerima laporan atau pengaduan berkenaan tindak pidana dibidang ketertiban umum dan ketentraman masyarakat. b. melakukan tindakan pertama pada saat itu di tempat kejadian . c. melakukan pemanggilan terhadap perseorangan atau badan usaha untuk di dengar dan diperiksa sebagai saksi dalam tindakan pidana dibidang ketertiban umum dan ketentraman massayarakat; d. melakukan penggeledahan dan penyitaan barang bukti dan/atau surat; e. mengambil sidik jari dan memotret seseorang; f. meminta keterangan atau bahan bukti dari perseorangan atau badan usaha terkait tindak pidana dibidang ketertiban umum dan ketentraman masyarakat; g. meminta bantuan ahli yang diperlukan dalam hubungan dengan pemeriksaan perkara; h. membuat dan menandatangan berita acara dan i. menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti tentang adanya tindak pidana dibidang ketertiban umum dan ketentraman masyarakat. (4) PPNS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan hasil penyidikannya kepada Penyidik Polri.
BAB IX KETENTUAN PIDANA Pasal 22 (4) Setiap orang dan/atau badan yang tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 16 , Pasal 17, dan Pasal 19 diancam pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). (5) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pelanggaran. (6) Selain ancaman pidana yang di maksud pada ayat (1) dapat dikenakan sanksi sesuai dengan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku. BAB X KETENTUAN PENUTUP Pasal 25 Peraturan Daerah ini mulai berlaku dan mempunyai kekuatan mengikat pada tanggal diundangkan, kecuali ditentukan lain di dalam Peraturan Daerah yang 68
bersangkutan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Provinsi Bali. Ditetpkan di Denpasar Pada tanggal……….. GUBERNUR BALI, MADE MANGKU PASTIKA
Diundangkan di Denpasar Pada tanggal……… SEKRETARIS BALI
DAERAH
PROVINSI
COKORDA NGURAH PEMAYUN
LEMBARAN DAERAH PROVINSI BALI … TAHUN … NOMOR………….. NO.REG PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI:
69
PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR ……….. TENTANG PENYELENGGARAAN KETERTIBAN UMUM DAN KETENTRAMAN MASYARAKAT I. UMUM Salah satu urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah daerah adalah penyelenggaraan Ketertiban Umum dan ketenteraman masyarakat sebagaimana diamanatkan dalam Undang-undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang memupunyai komitmen untuk penegakkan Peraturan Daerah, menjaga ketenteraman, ketertiban umum dan perlindungan masyarakat guna terwujudnya Masyarakat yang adil dan sejahtera. Dalam rangka mengantisipasi perkembangan dan dinamika kegiatan masyarakat seirama dengan tuntutan era globalisasi dan otonomi daerah, maka kondisi ketenteraman dan ketertiban umum daerah yang kondusif merupakan suatu kebutuhan mendasar bagi seluruh masyarakat untuk meningkatkan mutu kehidupannya. Pengaturan mengenai ketertiban umum harus diarahkan guna pencapaian kondisi yang kondusif bagi seluruh aspek kehidupan masyarakat. Dinamika perkembangan dan kebutuhan masyarakat Bali yang dinamis dirasakan memerlukan Peraturan Daerah yang menjangkau secara seimbang antara subjek dan objek hukum yang diatur. Oleh karena itu, sangat diperlukan pengaturan lebih lanjut Peraturan Daerah tentang ketertiban umum dan ketentraman masyarakat. Peraturan Daerah ini mempunyai posisi yang sangat strategis dan penting untuk membehkan motivasi dalam menumbuhkembangkan budaya disiplin masyarakat guna mewujudkan tata kehidupan masyarakat yang tertib.
II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas
Pasal 2 70
Cukup jelas Pasal 3 Cukup jelas Pasal 4 Cukup jelas Pasal 5 Cukup jelas Pasal 6 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas Huruf b Cukup jelas Huruf c Yang dimaksud dengan tindakan Preventif non yustisial adalah tindakan yang dilakukan oleh Satuan Polisi Pamong Praja: a. Penindakan terhadap para pelanggar Peraturan daerah, terlebih dahulu menanda tangani surat pernyataaan bersedia dan sanggup mentaati dan mematuhi serta melaksanakan ketentuan dalam waktu 15 hari terhitung sejak penandatanganan surat pernyataan. b. Apabila tidak melaksanakan dan/atau mengingkari syarat pernyataannya, maka akan diberikan Surat teguran pertama, dengan tegang waktu 7(tujuh) hari 2. Surat teguran kedua dengan tegang waktu 3 (tiga) hari 3. Surat teguran ketiga, dengan tegang waktu 3 (tiga) hari . c. Apabila tidak melaksanakan dan atau mengingkari surat teguran tersebut, akan dilaporkan kepada Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) untuk dilakukan proses sesuai peraturan perundang undangan yang berlaku.
Huruf d Tindakan penertiban nonyustisial adalah tindakan yang dilakukan oleh Polisi Pamong Praja dalam rangka menjaga dan/atau memulihkan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat terhadap pelanggaran Perda dan/atau peraturan kepala daerah dengan cara yang 71
sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan dan tidak sampai proses peradilan.
Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 7 Cukup jelas Pasal 8 Cukup jelas Pasal 9 Cukup jelas Pasal 10 Cukup jelas Pasal 11 Cukup jelas Pasal 12 Cukup jelas
Pasal 13 Cukup jelas Pasal 14 Cukup jelas Pasal 15 Cukup jelas Pasal 16
72
Cukup jelas Pasal 17 Cukup jelas Pasal 18 Cukup jelas Pasal 19 Cukup jelas Pasal 20 Cukup jelas Pasal 21 Cukup jelas Pasal 22 Cukup jelas Pasal 23 Cukup jelas Pasal 24 Cukup jelas Pasal 25 Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH PROVONSI BALI TAHUN 2015 NOMOR …..
73
74