NAPAK TILAS SASTRA: W.S. RENDRA
NAPAK TILAS SASTRA: W.S. RENDRA
1
2
NAPAK TILAS SASTRA: W.S. RENDRA
KOMITE SASTRA - DEWAN KESENIAN JAKARTA NAPAK TILAS SASTRA: W.S. RENDRA GRAHA BHAKTI BUDAYA, TAMAN ISMAIL MARZUKI 25 NOVEMBER 2013 TEKS DEWAN KESENIAN JAKARTA REMY SILADO DR. MAX LANE PROOFREADER ANA ROSDIANAHANGKA DESAINER GRAFIS RIOSADJA FOTO EVA TOBING DITERBITKAN OLEH KOMITE TEATER - DEWAN KESENIAN JAKARTA NOVEMBER 2013 DEWAN KESENIAN JAKARTA TAMAN ISMAIL MARZUKI, JL. CIKINI RAYA NO. 73 JAKARTA 10330 T/F: +6221.31937639 W: WWW.DKJ.OR.ID
NAPAK TILAS SASTRA: W.S. RENDRA
DAFTAR ISI Tentang Dewan Kesenian Jakarta
4
Pengantar Ketua Umum Pengurus Harian Dewan Kesenian Jakarta
5
Pengantar Komite Sastra - Dewan Kesenian Jakarta “Menghidupkan Api Rendra”
6
Sekilas W.S. Rendra
9
Orasi Sastra “Kawindra Wafat, Hidup Kawindra” oleh Remy Silado
13
Sinopsis Pertunjukan Kolaborasi Amien Kamil dan Hanafi
24
Lampiran
27
Biografi 37 Panitia 39 Susunan Acara
40
3
4
NAPAK TILAS SASTRA: W.S. RENDRA
TENTANG DEWAN KESENIAN JAKARTA Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) adalah salah satu lembaga yang dibentuk oleh masyarakat seniman dan dikukuhkan oleh Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin, pada tanggal 7 Juni 1968. Tugas dan fungsi DKJ adalah sebagai mitra kerja Gubernur Kepala Daerah Propinsi DKI Jakarta untuk merumuskan kebijakan guna mendukung kegiatan dan pengembangan kehidupan kesenian di wilayah Propinsi DKI Jakarta. Anggota Dewan Kesenian Jakarta diangkat oleh Akademi Jakarta (AJ) dan dikukuhkan oleh Gubernur DKI Jakarta. Pemilihan anggota DKJ dilakukan secara terbuka, melalui tim pemilihan yang terdiri dari beberapa ahli dan pengamat seni yang dibentuk oleh AJ. Nama-nama calon diajukan dari berbagai kalangan masyarakat maupun kelompok seni. Masa kepengurusan DKJ adalah tiga tahun. Kebijakan pengembangan kesenian tercermin dalam bentuk program tahunan yang diajukan dengan menitikberatkan pada skala prioritas masing-masing komite. Anggota DKJ berjumlah 25 orang, terdiri dari para seniman, budayawan dan pemikir
...
seni, yang terbagi dalam 6 komite: Komite Film, Komite Musik, Komite Sastra, Komite Seni Rupa, Komite Tari dan Komite Teater.
NAPAK TILAS SASTRA: W.S. RENDRA
PENGANTAR KETUA UMUM PENGURUS HARIAN Salam budaya, Membicarakan kembali karya-karya dan pemikiran para Maestro Sastra kita yang sudah meninggal, menjadi sangat penting. Pilihan kali ini adalah mendiang W.S. Rendra. Sebenarnya, acara ini direncanakan dilaksanakan pada 7 November lalu, bertepatan dengan hari kelahiran W.S. Rendra. Namun, karena persoalan teknis, akhirnya acara ini dilaksanakan pada 25 November 2013. Kita mengenal W.S. Rendra bukan saja sebagai sastrawan, tetapi juga dramawan sekaligus budayawan terkemuka. Karya-karya dan pemikirannya telah menjadi bagian dari roh kebudayaan Indonesia, bahkan dunia. Oleh karena itu, dengan membicarakan kembali karya-karya dan pemikirannya, kita semua kembali mendapat nutrisi budaya, dan ini penting untuk tetap menjaga dan memperkaya kehidupan kita. Semoga program Napak Tilas dapat memberi manfaat besar terutama dapat menjadi inspirasi pertumbuhan sastra Indonesia dengan karya-karya baru yang lebih segar dan berkualitas serta kritis seperti yang selalu muncul dalam karya Rendra. Akhirnya, terima kasih kepada semua pihak yang ikut mendukung terlaksananya program ini: AJ, PH DKJ, Disparbud, BP TIM, Remy Silado, Dr. Max Lane, Seno Gumira
...
Ajidarma, Pelukis Hanafi, Amien Kamil, dan nama-nama lain yang tidak mungkin disebutkan semuanya.
Ketua Umum Pengurus Harian Dewan Kesenian Jakarta 2013-2015
Irawan Karseno
5
6
NAPAK TILAS SASTRA: W.S. RENDRA
PENGANTAR KOMITE SASTRA
“Menghidupkan Api Rendra” Menjelang berakhirnya tahun 2013 kami berkesempatan sekali lagi menggelar program Napak Tilas Sastra dengan menampilkan “Rendra”, seorang penyair, dramawan, sastrawan ternama yang juga dikenal sebagai aktor dan penerjemah. Ini adalah Napak Tilas Sastra putaran kedua di tahun ini. Setelah sebelumnya kita memikirkan kembali Chairil anwar dalam Napak Tilas Sastra yang pertama di bulan Juni 2013. Diskusi sastra, orasi sastra, dan pertunjukan “Maria Zaitun,” merupakan rangkaian napak tilas gagasan, ide dan sepak terjang Rendra dalam mengkritisi kehidupan sosial kebudayaan kita. Melalui napaktilas ini, kita menghidupkan “api Rendra” dalam diri kita. Bahwa negeri ini pernah memiliki seorang tokoh besar bidang kebudayaan. Penyair yang dengan kritis menyoroti perangai kekuasaan dan penguasanya, serta memberi pemihakan yang nyata kepada kepentingangan rakyat. Ia menjalankan tugas mulia itu dengan baik, ia rela dipenjara dan tetap bersuara keras sampai akhir hayatnya. Napak tilas ini merupakan ruang bagi kita memperbincangkan dan menafsir kembali mutiara pemikiran Rendra, dan dengan cara seperti itulah, ia menjadi tetap hidup di tengah gebalau jaman. Izinkan saya mengutip puisi Rendra tanpa judul yang dipahatkan pada salah satu dinding gedung DPR Aceh di Banda Aceh. Puisi ini bertarikh 4 Maret 1976;
NAPAK TILAS SASTRA: W.S. RENDRA
“Rakyat adalah sumber kedaulatan Kekuasaan tanpa rakyat Adalah benalu tanpa karisma Rakyat adalah bumi Politik dan kebudayaan adalah udara Bumi tanpa udara Adalah bumi tanpa kehidupan Udara tanpa bumi Adalah angkasa hampa belaka Wakil rakyat adalah abdi para petani, para kuli, para nelayan dan para pekerja dari seluruh lapisan kehidupan Wakil rakyat Adalah wakil dari sumber kehidupan” Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta,
ke depan akan hadir juga dengan
“mutiara-mutiara” yang lain, dari sastrawan dan pemikir kebudayaan yang telah
...
mewarnai perjalanan kebudayaan kita. Kiranya kita dapat mutiara-mutiara cemerlang itu.
Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta 2013-2015
Fikar W. Eda
memungut hikmah dari
7
8
NAPAK TILAS SASTRA: W.S. RENDRA
NAPAK TILAS SASTRA: W.S. RENDRA
SEKILAS W.S. RENDRA Rendra, penyair, dramawan dan pemikir kebudayaan, lahir di Kampung Jayengan, Surakarta, Jawa Tengah, 7 November 1935. Berpulang ke-Rahmatullah, 6 Agustus 2009, pukul 22.10 WIB di Jakarta, Rendra dimakamkan di kompleks Kampus Bengkel Teater Rendra Cipayung, Depok. Rendra berayahkan Brotoatmojo, guru bahasa Indonesia dan Jawa Kuna. Ibundanya, Raden Ajeng Ismadillah, putri seorang wedana keraton yang juga penari keraton. Selesai menamatkan sekolah menengah atas (SMA) di Solo, Rendra melanjutkan pendidikan di jurusan bahasa Inggris, Fakultas Sastra dan Kebudayaan Universitas Gajah Mada (UGM), Yogyakarta dan meraih gelar sarjana muda. Ketika mahasiswa, ia pernah menjuarai Lomba Baca Puisi se-Perguruan Tinggi Indonesia. Selama tiga tahun (1964-1967) Rendra dikirim ke Amerika belajar di American Academy of Dramatioc Arts. Dua tahun kemudian, di April 1969, Rendra tampil dalam acara baca sajak tunggal di Teater Arena, Taman Ismail Marzuki (TIM), atas undangan Dewan Kesenian Jakarta. Sejumlah 240 tempat duduk terisi penuh oleh penonton. Itu adalah peristiwa baca sajak modern pertama yang menyedot perhatian publik secara luas. Juni 1977 Rendra kembali tampil dalam acara pembacaan sajak tunggal di Teater Terbuka TIM. Penonton membayar harga karcis kelas utama Rp500,- dan kelas satu Rp200,- untuk menyaksikan pertunjukan tersebut. Lebih dari 2500 penonton hadir
9
10
NAPAK TILAS SASTRA: W.S. RENDRA
menikmati pembacaan sajak itu. Ketika itu Rendra memperoleh honorarium setengah dari harga tiket yang terjual. Honor baca sajak ini terus meningkat seiring waktu, 3 juta rupiah pada 1985, 15 juta rupiah pada 1986. Rendra menerima honor 20 juta rupiah saat diundang baca sajak oleh Wakil Gubernur Aceh, di Banda Aceh. Namun, Rendra bukan sosok yang suka mematok honorarium. Ia bahkan sering tidak mendapat bayaran dalam kegiatan baca puisi dan pernah menerima honorarium berupa “anak ayam” seusai baca puisi di sebuah kampus di Jabodetabek. Pada 1978, Rendra tampil kembali di TIM dalam acara baca sajak. Pada saat pembacaan, tiba-tiba panggung dilempari amoniak, Rendra kemudian ditangkap, dengan tuduhan; menghasut publik. Ia ditahan lima bulan, dan kemudian dibebaskan tanpa syarat. Sejak itu Rendra tidak lagi bebas baca sajak di depan umum. Sajak-sajak Rendra terhimpun dalam buku Balada Orang-orang Tercinta, Nanyian Drai Jalanan, Sajak Dua Belas Perak, dan Malam Stanza, Sajak -Sajak Sepatu Tua, Blues Untuk Bonnie. Puisi-puisi pamfletnya dikumpukan dalam buku Potret Puisi dalam Pembangunan. Pengamat sastra Indonesia Prof A. Teeuw menyebut sajak pamflet Rendra terbaca seperti “koran,” itu karena Rendra menulis untuk dimengerti bukan menghidangkan teka-teki. Kumpulan puisi lainnya Doa Untuk Anak Cucu (2013), memuat pusi-puisi yang belum dibukukan sebelumnya. Puisi Rendra yang lain “Universitas Syiah Kuala Guru Kami” diciptakan 1 Juli 1970 digubah oleh komponis Mochtar Embut menjadi hymne Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. Sajak Rendra, tanpa judul, dipahatkan pada pualam dinding pintu masuk gedung DPRD Aceh. Rendra juga menulis cerita pendek yang dikumpulkan dalam buku Ia Sudah Bertualang, diterbitkan N.V. Nusantara di Bukittinggi 1963. Sampulnya dibuat oleh Motinggo Boesje.
...
Sempat bercita-cita menjadi jenderal. Tapi karena kemampuan matematikanya rendah, Rendra urung masuk akademi militer. Sepulang dari Amerika, Rendra membangun Bengkel Teater bersama Azwar A.N., Bakdi Soemanto dan Moortri Purnomo. Mereka berlatih menggugah tanggapan,
NAPAK TILAS SASTRA: W.S. RENDRA
berlatih gerakan bebas dengan musik , improvisasi dengan atau tanpa properti dan sebagainya. Belakangan masuk Titi Broto, Chairul Umam, Putu Wijaya, Pono dan lainlain. Bengkel Teater pentas pertama kali pada 1968. Rendra muncul dalam pertunjukan teater yang aneh; hemat kata-kata; lebih dominan gerak dan improvisasi. Beragam tafsir muncul terhadap pertunjukan tersebut. Ada yang mengistilahkannya sebagai teater murni, teater primitif. Goenawan Mohamad menyebut “teater mini kata.” Rendra juga menulis naskah drama Kisah Perjuangan Suku Naga, Sekda, Panembahan Reso, dan lain-lain. Drama-dramanya berbau protes dan mendapat larangan pentas dari pemerintah. Rendra pernah bermain dalam film “Al Kautsar, Terminal Cinta Terakhir” dan “Yang Muda Yang Bercinta.”
...
Menikah dengan Sunarti (1959), Sitoresmi (1970), dan Ken Zuraida (1976), dan mendapatkan 11 anak; Lima dari Sunarti: Teddy, Andre, Daniel, Samuel, Clara Sinta. Dari Sitoresmi: Yonas, Sarah, Naomi, Rachel Saraswati. Dari Ken Zuraida: Isaias Sadewa dan Maryam Supraba. Rendra menerima gelar Honoris Causa dari Universitas Gadjah Mada (UGM) untuk bidang Ilmu Budaya pada 4 Maret 2008. Dalam kesempatan itu Rendra menyampikan pidato budaya “Megatruh Kambuh: Renungan Seorang Penyair dalam Menghadapi Kalabendu.” Ia juga menerima penghargaan dari Akademi Jakarta (1975).
...
11
12
NAPAK TILAS SASTRA: W.S. RENDRA
NAPAK TILAS SASTRA: W.S. RENDRA
ORASI SASTRA
Kawindra Wafat, Hidup Kawindra Remy Sylado Puan-puan dan Tuan-tuan. Dalam bahasa Kawi, kawindra adalah ‘penyair besar’. Demikian L. Mardiwarsito dalam Kamus Jawa Kuna Indonesia. Atau, lebih jauh, kawindra adalah ‘raja pujangga’. Demikian P.J. Zoetmulder dalam Kamus Jawa Kuna Indonesia. Dengan rasa hormat yang sepatutnya, mohon izin saya ingin menyebut W.S. Rendra sebagai kawindra. Alasannya akan saya sampaikan secara umum di bawah nanti. Sebelum itu, perbolehkan saya mengingat-ingat terlebih dulu dengan perasaan masygul, pada hari terakhir hidupnya, ketika ia diberitakan telah berpulang ke rahmatullah. Berita wafatnya Rendra berdekatan dengan berita meninggalnya Mbah Surip. Serta merta saya prihatin, sebab dengannya muncul juga berita gunjing tentang Cikeas, bahwa konon Presiden RI ke-6 dan ke-7 Susilo Bambang Yudhoyono, merasa lebih
13
14
NAPAK TILAS SASTRA: W.S. RENDRA
terpanggil memberi pernyataan belasungkawa kepada Mbah Surip ketimbang kepada Rendra. Itu aneh, memang, sebab kita yang biasa datang ke Pasar Seni Ancol, sama-sama tahu, bahwa Mbah Surip yang selama itu hidup sebagai bambung di sana, tapi tibatiba beken dan punya cukup uang karena rekaman lagu “Tak Gendong ke Mana-mana”, yang, mohon izin pula, bahwa saya ingin mengatakan itu lagu sampah, sebab lagu tersebut sepenuhnya merupakan bajakan dari melodi instrumentalia Billy Vaughn pada 1960-an berjudul “Runchy” yang pada masamya di Bandung diplesetkan oleh Harry Rusli dengan kata-kata saru, jorang, porno khas Saritem. Maka, menghormati dengan cara aneh terhadap seorang bambung lebih terhadap seorang kawindra, bagi saya itu sungguh keterlaluan. Ini tidak berarti bahwa saya menutup mata pada kegigihan Mbah Surip yang berjuang mati-matian untuk memperoleh nafkah yang layak sampai ia benar-benar mati sungguhan: mati kumlah, mati konyol, mati kutu, mati lelas, mati mawai, dan seterusnya. Tapi,
di luar itu, memang terlihat sikap menghargai pelaku seni pop yang
berlebihan oleh ketua-ketua partai dalam tatanan politik kita sejak zaman Orde Baru, maka di situ terlihat, pada khususnya masa kampanye, mulai dari Pilpres, Pilgub, sampai pil pahit, betapa pelaku-pelaku seni pop itu pun tidak dihiraukan lagi. Yaitu anakmas berubah menjadi anak tiri. Artinya, pelaku-pelaku seni pop itu hanya dihargai manfaatnya sebagai barang, dan bukan martabatnya sebagai orang. Puan-puan dan Tuan-tuan. Jadi, ketika Presiden RI diberitakan: tidak cukup kesungguhan menunjukkan rasa simpati kondolensia, dan terpanggil untuk menyatakan belasungkawa pada seorang kawindra yang nyata-nyata telah berjasa mengangkat harkat bangsa lewat karya sastranya, yang notabene dipujikan meluas di antero mancanegara, tapi sebaliknya malah lebih condong mengapresiasi secara verbal terhadap seorang pelaku seni pop yang nyata-nyata pula plagiat, maka kenyataan tersebut membuat saya mohon maaf, terpaksa harus menganggap Presiden RI telah dengan tidak sadar merendahkan martabatnya sendiri sebagai seorang intelektual yang tidak bijak-bestari di batas yang nian absurd. Pernyataan yang naif timbul di situ adalah: apa Kepala Negara memang hanya gandrung mengapresiasi seni pop, berhubung SBY juga mencipta lagu-lagu pop dengan sekurangnya dua judul disangsikan sebagai bentuk reminiscenza untuk tidak mengatakan plagiarisme? Lantas, apakah dengan begitu Kepala Negara bersikap abai terhadap seni murni dalam sastra yang galib merangsang dan menuntun orang untuk
NAPAK TILAS SASTRA: W.S. RENDRA
mampu berpikir serius dan kritis nasional? Tapi, apakah ya, hopo tumon Pak Presiden tidak mengenal kawindra Rendra? Jika benar begitu, dakwannya adalah, bagaimana mungkin diterima akal sehat bahwa seorang Kepala Negara yang menempatkan diri sebagai perajin puisi, artinya yang rajin menulis-menulis puisi, tidak mengenal kawindra bangsa ini yang telah berjasa pula menyemangati pikiran-pikiran baru kesenian modern Indonesia antara sastra dan teater? Padahal, sementara itu anak-anak sekolah desa pun di antero negeri, dalam mata pelajaran bahasa dan sastra, pasti mengenal Rendra. Puan-puan dan Tuan-tuan. Barangkali Anda semua belum tahu bahwa sebagai seorang perajin puisi, Pak Presiden sudah menerbitkan dua buku kumpulan puisi. Yang pertama, atas permintaan Istana, pengantarnya dibuat oleh K.H. Mustofa Bisri. Dan yang kedua, atas permintaaan Istana pula, pengantarnya dibuat oleh Putu Wijaya. Lantas, supaya sempurna “asas pemerataan kebingungan”, maka satu puisi dari buku yang pertama dan satu puisi dari buku yang kedua, dibacakan oleh Encik Profesor Sapardi Djoko Damono dan Encik Profesor Jakob Sumardjo di depan penonton Gedung Kesenian Jakarta. Artinya, dengan melihat gambaran aktual di atas, maka sebagai perajin puisi yang bisa memberdayakan bakat para nama masyhur dari peta susastra Indonesia itu, tentunya SBY tidak boleh dibilang tidak mengenal Rendra. Walaupun, ya, menyedihkan kenyataannya
sikap
anakmasnya
terhadap
pelaku-pelaku
musik
pop
antara
instrumentalis maupun yang vokalis, memang menyolok (bukan: mencolok) sekali. Tentu saja kenyataan itu disebabkan oleh alasan: rajinnya pula Pak Presiden mencipta lagu-lagu pop: yaitu model musik hiburan khas Amerika yang oleh Presiden RI yang pertama dulu disebut sebagai ‘musik ngak-ngik-ngok’. Tapi, sekarang, kalau akhirnya dikatakan, bahwa SBY kenal Rendra dan memang seharusnya begitu, namun entah, apakah ia membaca karya-karya sastra Rendra meliputi puisi, prosa, dan drama, serta esai. Lantas mengapa pula masih diprasangkai seakan-akan ada masalah serius dengan Rendra, sehingga ia tidak diberitakan menyatakan belasungkawa yang semadyanya secara Negara terhadap wafatnya sang kawindra, seperti belasungkawa yang justru diberitakan atas meninggalnya sang bambung. Kalau begitu, apakah masalahnya politis? Walahualam, entah, hanya Tuhan dan barangkali juga iblis yang tahu duduk masalahnya.
15
16
NAPAK TILAS SASTRA: W.S. RENDRA
Terus terang saya tidak mau berprasangka buruk. Tidak mau mengatakan, bahwa barangkali Pak Presiden galau melihat Rendra memilih membaca puisi dalam kampanye pilpres Megawati-Prabowo yang dilaksanakan di tempat pembuangan sampah. Di sana, seperti selalu, Rendra menempatkan diri sebagai oposan terhadap pemerintah yang melaksanakan roda pemerintahannya dengan kekuasaan yang timpang karena korup. Untuk tema macam itu tampaknya Rendra cempiangnya. Ia memiliki karunia indra yang tajam dengan kemampuan ekspresi verbal yang sangat Jawa, yaitu suatu kemampuan estetis literal yang dibya dari leluri ungkapan-ungkapan derivatif sanepan seperti yang kita kenal pada Ronggowarsito dalam bentuk macapatnya. Dengan demikian hal itu tidak tersua dalam premis puisi kritik yang lain dibingkai bahasa Indonesia, baik dalam puisi Taufiq Ismail pada 1966 maupun puisi Widji Thukul pada 1966. Untuk melihat substansi itu secara konkret, baik kita pirsa karyanya “Blues untuk Bonnie”. Dengan ini Rendra mengaku, bahwa ia mengalami ketegangan kreatif yang menyentuh rasa moralnya dalam menuliskannya. Kendati ketegangan itu sendiri merupakan padahan sosial-politik yang secara hakiki telah memotivasi akalbudi untuk mengejawantahkannya menjadi wujud, tampaknya ia lebih merasa karya ini sepenuhnya lahir dari situasi internal sukma yang membuatnya merasa antara seperti ‘kesurupan’ dan seperti ‘tertawan’. Dari kumpulan ‘”Blues untuk Bonnie” ini kita baca sepotong dari Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta. Politisi dan pegawai tinggi Adalah caluk yang rapi Konggres-konggres dan konperensi Tak pernah berjalan tanpa kalian Kalian tak pernah bisa bilang “tidak” Lantaran kelaparan yang menakutkan Dan telah lama sia-sia cari kerja Ijazah sekolah tanpa guna Para kepala jawatan Akan membuka kesempatan Kalau kau membuka paha Puan-puan dan Tuan-tuan. Dalam pengakuan Rendra sendiri -- demikian kita baca makalahnya pada Temu Sastra 1982 di Jakarta yang kemudian dimuat di Kompas 17 Desember 1982 -- bahwa baru setelah tahun 1971 ia benar-benar melihat ketimpangan keadilan sosial, politik, dan ekonomi secara struktual dalam tatanan pemerintahan militeristis Soeharto, dan
NAPAK TILAS SASTRA: W.S. RENDRA
olehnya ia tergairahkan untuk mencipta tema-tema itu dalam puisi dan dramaturginya. Ia membuat kliping sebanyaknya tentang permasalahan ketidakadilan pemerintahan Orde Baru itu untuk dijadikannya bahan ilham atas seni-seni kritisnya dalam sastra dan teater. Maka, jamaklah dibilang bahwa jika hendak melihat carut-marut Indonesia zaman Orde Baru, antara lain bacalah puisi Rendra dan nonton teaternya. Kalau boleh, saya ingin bilang, itu kira-kira muradif dengan melihat realitas centang-perenang Amerika pada lirik-liirik Bob Dylan. Sudah tentu greget dan sikap oposan Rendra itu mengundang musibah bagi dirinya. Jajaran depotisme Soeharto mencekalnya, mengebirinya, memaksanya bungkam, pendeknya memperkosa hak asasinya. Itu berlangsung cukup lama. Dan itu menyusahkan pendapatan anggota-anggota Bengkel Teaternya yang selama itu bersadar penuh pada kegiatan pertunjukkan Rendra. Beberapa anggota Bengkel Teater datang pada saya, mengeluh karena pencekalan Rendra, dan ingin berteater dengan saya lewat bentuk apapun. Maka, saya menyampaikan ini kepada Handoko Kusumo, anak Cina Malang yang nyentrik dan menyenangkan, yang selama itu menjadi produser rekaman untuk beberapa volume musik-musik saya. Segera timbul gagasannya untuk membuat rekaman drama dalam kaset, cerita “Orexas” yang pada 1970-an dilarang penguasa Bandung, baik pihak polisi maupun tentara. Hampir semua anggota Bengkel Teater ikut bermain dalam rekaman drama ini, mulai dari Kelono Gambuh yang kemudian mendirikan Jengkel Teater tapi mandul karena kurang cendekia, kemudian Iwan Buharni, Sawung Jabo, Lily Suardi, sampai istri Rendra sendiri Ken Zuraida., Tidak cuma itu. Produser musik yang nyentrik ini, yang dikenal juga sebagai penemu Iwan Fals dan Doel Sumbang, bahkan membuat rekaman dalam kaset pembacaan puisi Rendra dan saya dengan judul “2 R Baca Puisi”. Maunya tak lain adalah memberi kegiatan kesenian dengan honorarium tertentu buat Rendra yang pada saat itu memang sangat terpukul. Tentu saja langkah-langkah di atas tidak sertamerta menyembuhkann kerinduan anak-anak Bengkel Teater untuk kembali bisa berjaya bersama sang kawindra di atas panggung. Di samping dua langkah di atas, saya juga sempat membawa anak-anak Bengkel Teater itu bermain drama di Tasikmalaya, menggarap naskah farce yang saya adaptasi dari dramaturgi Elwy Mitchell “A husband for breakfast”. Dan kegiatan itu pun saya anggap sebagai sekedar obat rindu bercinta dengan teater tanpa mencapai orgasme. Saya bilang kepada mereka, mungkin waktu bagi Rendra belum lagi kembali. Puan-puan dan Tuan-tuan
17
18
NAPAK TILAS SASTRA: W.S. RENDRA
Pada suatu hari, setelah pertunjukkan di Tasikmalaya itu, saya heran, diundang oleh pihak Sekneg untuk rapat di kantornya di bilangan Harmoni sana, membahas rencana suatu pertunjukkan besar yang akan dipertalikan dengan perayaan Golkar di Istora. Di dalam ruang belakang kantor Sekneg itu ada Sudharmono, ada Sukarton, dan ada juga Kris Biantoro. Yang dibahas di situ adalah, bagaimana mengalihkan perhatian masyarakat supaya tidak datang menonton pertunjukan Guruh Sukarnoputra. Waktu itu pertunjukkan Guruh memang menjadi contoh bisnis panggung yang luar biasa. Bapak-bapak di kantor Sekneg itu memandang dengan prasangka bahwa semaraknya pertunjukan Guruh itu sebagai bahaya kembalinya kegandrungan pada Bung Karno. Mereka takut bahwa Guruh mendapat dukungan finansial dari orang-orang sukses yang dulu berpendirian “pejah gesang nderek Bung”. Tapi apologia yang dibuat santer dalam rapat itu, adalah bahwa nilai pertunjukan Guruh tidak menggambarkan keperkasaan untuk mencinta tanah air, tapi malah kegemulaian untuk mencinta sesama jenis. Saya ingat, Jendral Sukarton bertanya pada saya, bagaimana membuat pertunjukkan besar teater dengan tema kebangsaan yang bisa mengalihkan perhatian orang untuk tidak menonton pertunjukkan Guruh. Wah, ini pertanyaan jendral yang berkualitas kopral. Catatan mereka di situ, yang kemudian saya ketahui berasal dari Kris Biantoro, bahwa saya sudah membuat pertunjukan besar di Balai Sidang “Jesus Christ Superstar” dalam dua tahun berturut-turut, 1980 dan 1981. Maka jawab saya kepada sang Jendral, “Izinkan Rendra bekerjasama dengan saya, sebab hanya Rendra yang memiliki karisma itu.” Langsung, semua bapak-bapak yang ada di situ cemberut. Muka mereka kayak kerendem cuka. Puan-puan dan Tuan-tuan. Pertama kali saya mengenal nama Rendra, dan puisinya, ketika saya masih duduk di SMP. Ia berdeklemasi pada suatu acara di halaman katedral Randusari, Semarang, yang tanahnya menyatu dengan halaman sekolah saya Domenico Savio. Kala itu ia masiih Kristen. Yang disebut Kristen adalah semua yang percaya pada kredo BapaPutra-Roh Kudus, dan Almaseh Isa ibni Maryam sebagai jalan, kebenaran,dan hidup. Jadi, tidaklah benar anggapan umum yang mengira bahwa hanya Protestan yang sah dibilang Kristen. Yang benar, Kristen adalah juga Katolik. Kelak Rendra meninggalkan kekristenannya itu karena memilih Islam sebagai akidah yang benar di jalan Allah. Itu di luar catatan bahwa ia bisa beristri lebih dari satu yang dilarang dalam Kristen tapi tidak dilarang dalam Islam. Sementara itu, bagi Kristen, Rendra masih bisa dibilang Kristen. Yaitu Kristen Murtad
NAPAK TILAS SASTRA: W.S. RENDRA
Sebelum murtad pada kekristenannya, puisi-puisi Rendra di masa awal
kreatifnya, 1950-an, memang sangat diwarnai oleh tradisi gereja Katolik. Kita melihat itu pada puisi pilihan H.B.Jassin dalam “Angkatan 66” -- yang notabene disikat oleh Ayip Rosidi sebagai pengukuran yang rancu – masing-masing “Litani Bagi Domba Kudus” dan “Ballada Penyaliban”. Perikop dalam empat injil tentang penyaliban tersebut telah lebih dulu kita baca dengan metafora yang beda dalam puisi Chairil Anwar pada 1940-an, dan kemudian dengan metafora yang tak sama pula dalam puisi Subagio Sastrowardojo pada 1950-an. Bagi Kristen, sejarah salib merupakan pengetahuan dasar peradaban. Tapi, bagi Islam, pengetahuan tentang sejarah salib itu ditolak tegas berdasarkan pegangan AlQuran, kitab suci yang memenuhi syarat dalil akli dan dalil nakli, yaitu pada bacaan surah An-Nisaa’ 157. Di masa awal kreatifnya, Rendra tidak peduli itu. Barangkali juga setelah ia menjadi mualaf. Bersama dengan itu, bahkan saya sendiri menganggap Chairil dan Subagio pun tidak perlu menjadi Kristen ketika mereka menulis tentang peristiwa penyaliban tersebut. Mungkin saja salib di situ hanya sekedar ornamen yang lazim menjadi ilham karya-karya kebudayaan, seperti yang marak di dunia Barat sejak Byzantium sampai Renaissance, meliputi lukis, musik, sastra, drama. Ini lepas dari fakta bahwa di dalamnya toh ada tokoh besar sastra-drama Barat yang menjadi teladan kekristenan di bawah keyakinan tentang salib sebagai representasi kasih ilahi, justru di zaman ketika humanisme renggang dengan gereja. Tokoh yang dimaksud ini tak lain adalah T.S. Eliot, pemenang Nobel 1948. Ia berbeda dengan Jean-Paul Sartre, pemenang Nobel 1965, yang justru menulis sastra-dramanya sebagai tesis eksitensialisme ke arah konsekuensi akhir menuju ateisme, dan dengan demikian secara asasi berarti melecehkan salib. Sekarang, coba kita baca bagian awal puisi Rendra “Ballada Penyaliban” tersebut. Yesus berjalan ke Golgota Disandangnya salib kayu Bagai domba kapas putih
Tiada mawar-mawar di jalanan Tiada daun-daun palma Domba putih menyeret azab dan dera Merunduk oleh tugas teramat dicinta Dan ditanam atas maunya
19
20
NAPAK TILAS SASTRA: W.S. RENDRA
Mentari meleleh Segala menetas dari luka Dan leluhur kita Ibrahim Berlutut, dua tangan pada Bapa
Bapa kami di sorga Telah terbantai domba paling putih Atas altar paling agung Bapa kami disorga Berilah kami bianglala Puan-puan dan Tuan-tuan Terakhir kali saya bertemu dengan Rendra ketika kami bertujuh -- Noorca Massardi, Eddy D. Iskandar, Embie C. Noer, Chairul Umam, dan Rima Melati sebagai ketua -- menjadi juri FFI yang heboh itu, di mana para pemenang ramai-ramai mengembalikan piala-pialanya. Konon mereka yang marah-marah itu terhasut oleh seseorang yang memperkeruh peristiwa tersebut dengan isu SARA dalam rangka mengincar kedudukan dalam dewan film untuk kendaraan politiknya. (Mudah-mudahan saja keributan seperti itu tidak terjadi lagi dalam FFI tahun ini di mana kembali saya menjadi juri bersama antaralain Slamet Rahardjo sebagai ketua, Tommy F. Awuy sebagai sekretaris, dan anggota-anggota Arswendo Atmowiloto, Didi Petet, dll.). Ketika bersama-sama Rendra menjadi juri FFI waktu itu, saya lihat ia begitu tekun menonton semua film, mengapresiasi film sebagai sungguh-sungguh elemen teater yang paling purna. Maklum, sebagai kawindra, ia juga bintang film. Ia ke film karena berhasil dirayu oleh Motinggo Busye, sastrawan dan pelukis, yang membuat film dengan memakai judul dari salah satu larik puisi Chairil Anwar, yaitu “Cintaku jauh di pulau”. Ketekunan Rendra mengapresiasi karya film dalam festival itu menjadi buyar, dan duduknya usreg, ketika harus menilai karya Garin Nuhroho, “Opera Jawa”. Satu-dua kali terdengar dia bersungut, “Karepe opo to iki?” Dan, setelah sampai pada saat juri akan melakukan rapat untuk menilai, dia berkata kepada saya, “Lo, karepe kuwi meh gawe film opo instalasi. Elek! Kuwi nyolong soko teaterku.” Tapi bagaimana nilai ilustrasi musik “Opera Jawa” itu Saya member nilai tinggi. Rendra tidak. Karuan terjadi debat. Saya ngotot, bahwa ilustrasi musik yang dibuat oleh Rahayu Supanggah itu harus dibilang istimewa,
NAPAK TILAS SASTRA: W.S. RENDRA
sebab di situ terkupingkan dengan jelas kepandaian menggali laras gending sebagai roh keindahan alami Timur di sanding kredensi gerejawi yang artinya Barat, menjadi vernakular tipikal yang mathuk karena gathuk. Apa boleh buat, Rendra mesti mengamini alasan saya itu. Dan, itu tercapai setelah saya harus memberi “kuliah” padanya soal ciri-ciri teoritis pelog dan slendro pada masing-masing frekuensi dalam perbandingannya dengan skala diatonik dan kromatik. Ia terkesima karena saya bilang titilaras slendro itu aslinya Cina, ditemukan oleh Ling Lun pada zaman dinasti Xia, 2100 tahun sebelum tarikh Masehi, dan lazimnya disebut huang-mei-tiau, lantas dibawa ke Jawa lewat Borobudur oleh guru besar agama Budhha bernama Hwi Ming , dan dibakukan sesuai dengan nama sang raja Syailendra. Begitulah, Puan-puan dan Tuan-tuan, setelah itu Rendra meminta saya membuat diskusi khusus musik di Bengkel Teater. Dan, seentengnya ia berkata, “Honormu tak sediakke 10 juta. Cukup ora? Nek kurang, gampang mengko aku jaluk soko Akademi Jakarta.” Tapi gagasan itu tak pernah terwujud, sampai akhirnya di saat saya berada jauh dari Jakarta, saya membaca berita tentang berpulangnya sang kawindra. Innalillahi wainnailaihi rajiun. Sang kawindra wafat, tapi hidup sang kawindra. Puan-puan dan Tuan-tuan Arti penting Rendra akhirnya harus dilihat dalam sejarah teater modern Indonesia. Penting, karena kehadirannya setelah lama menimba ilmu dan pengalaman seni di Amerika, dikembangkan di Indonesia, dan membuat Indonesia yang selama itu tidur, tiba-tiba bangun oleh kiprahnya. Yang tua-tua, dan ingin mati dengan tenang, banyak yang marah pada wawasan kontemporer Rendra: menghancurkan seni yang mapan dengan kataklismik -- a violent and sudden change -- dalam sikap yang disebutnya urakan. Ia pun membuat gerakan urakan tersebut dalam sebuah pertemuan di Parangtritis. Ia mengundang saya juga untuk hadir di situ. Tapi saya tidak bisa datang. Saya menjawab dengan membuat pementasan teater di Bandung, berjudul “Genesis II” yang notabene diinterograsi polisi selama 10 hari, dan di dalam katalog pementasaan ini saya mengatakan: tidak sreg dengan pemberontakan terhadap kemampanaan melalui sikap urakan. Saya memilih kata mbeling. Sebab, kata saya, entri urakan dalam bahasa Jawa itu jelek. Sebaliknya mbeling dalam bahasa Jawa berarti nakal tapi sembada. Sejak kecil, di kelas V saya sudah dibilang mbeling oleh guru saya. Entri ini diucapkan oleh guru agama Islam di SR Karangasem, Semarang, untuk memuji karena saya satu-satunya Kristen dalam kelas yang paling bagus menulis kalimat Quran surah
21
22
NAPAK TILAS SASTRA: W.S. RENDRA
1 ayat 1. Jadi, kata mbeling itu saya pakai memperkenalkan teater kontemporer saya, dan dikritik ramai-ramai oleh seniman-seniman tua di Bandung mulai dari Rustandi Kartakusumah sampai Wing Kardjo. Hanya satu orang tua saja yang menanggap positif, bahkan memuji, yaitu M.A.W. Brouwer dalam resensinyaa berjudul “Coming of the age in Bandung” di Kompas Mai 1972. Setelah itu saya pakai juga kata mbeling untuk rubrik puisi yang saya buat di majalah saya Aktuil, dan segera diikuti oleh sejumlah anak muda. Salah seorang di antara anak muda itu yang kini hadir di bianglala prosa paling hebat adalah: Seno Gumira Ajidarma. Puan-puan dan Tuan-tuan Jujur saya harus akui, sensasi Rendra dalam teater urakan itu memang luar biasa bisa menggelisahkan saya untuk mencari dan menemukan teater kontemporer saya. Kebetulan saya mendapatkan anggota-anggota teater yang siap disuruh latihan pagi, siang, ataupun malam tanpa pusing-pusing menghitung anggaran transportasi dan konsumsi sebagaimana sekarang hal itu menjadi masalah berat di Jakarta. Anggotaanggota teater saya waktu itu adalah semuanya mahasiswa Akademi Cinematografi di mana saya mengajar dramaturgi, musik dan make up. Dan, saya rasa tempaan terhadap teater saya dalam menemukan nilai kontemporer lewat mbeling, bukan urakan, termasuk peran Sutardji Calzoum Bachri yang saban hari datang ke tempat latihan saya di Jl. Naripan, tak jauh dari kantor korannya, untuk mengejek-ejek saya. Terlebih-lebih lagi, ia biasa menertawai Abdul Hadi WM yang ikut main dalam drama di teater saya, dan dibilangnya vokal Abdul kala itu bagai itik disembelih. Maklum, vokal Sutardji termasuk bagus, bisa nyanyi lagu jazz standar New Orleans dengan meniru suara Louis Amstrong. Sementara, ejekan pada saya, “Terberak-berak kau mengejar Rendra di depan.” Memang di sana istimewanya Rendra. Selain kawindra, di dalam teater Rendra adalah agramanggala. Dalam bahasa Kawi, agramanggala adalah ‘pemimpin paling unggul’. Demikian Zoetmulder dan Mardiwarsito dalam kamusnya masing-masing. Akhir kalam, Puan-puan dan Tuan-tuan, mohon izin saya bernudub, agar nudub ini dibawa angin sampai ke Cikeas dan didengar Bapak Presiden, untuk mau berdoa
...
bersama saya : semoga arwah Mas Willy yang kawindra dan agramanggala diterima di sisi Allah, amin ya rabulalamin.
Jakarta, November 2013
NAPAK TILAS SASTRA: W.S. RENDRA
23
24
NAPAK TILAS SASTRA: W.S. RENDRA
PERTUNJUKAN NASKAH “MARIA ZAITUN” OLEH AMIEN KAMIL BERKOLABORASI DENGAN PELUKIS HANAFI
“Santo Petrus. Pater, dengarkan saya! Maria Zaitun, namaku. Saya tidak pernah tergoda, tapi melulu berdosa. Saya bukan terbujuk setan, tapi terdesak kemiskinan dan seringkali gagal mencari kerja. Saya tidak butuh tahu asal usul dosa saya. Yang nyata hidup saya sudah gagal. Jiwa saya kalut dan saya mau mati. Sekarang saya takut sekali. Saya perlu Tuhan atau apa saja untuk menemani saya!” Sebuah teks berdasarkan puisi Rendra “Nyanyian Angsa”, berkisah tentang seorang pelacur yang disingkirkan dari rumah bordil dan rumah ibadah. Mengidap penyakit, tapi tak bisa juga ditolong oleh rumah sakit. Sebuah kolaborasi kerja dari berbagai disiplin seni yang mencoba menafsirkan
...
teks dan mengolahnya menjadi sebuah pertunjukan audio-visual yang memberi sentuhan lain.
Maria Zaitun berdasarkan puisi Rendra “Nyanyian Angsa” TEKS & SUTRADARA AMIEN KAMIL INSTALASI & SKENOGRAFI HANAFI PRODUKSI REPUBLIC OF PERFORMING ARTS PEMAIN: AJENG ANJANI, TONY BROER, AMIEN KAMIL, JOIND BAYUWINANDA, SUPRIBOEMI, BUSRO Q YOGA, RAMA SATRIA, AYAK ABIRAYYA, TONI PRAHARA, BUYUNG MENTARI, DEDE CHEMPLON DAN REPUBLIC OF PERFORMING ARTS • TEKS & SUTRADARA: AMIEN KAMIL • INSTALASI & SKENOGRAFI: HANAFI • PENATA MUSIK: HENDRIKUS WISNUGROHO • PENATA GERAK & CAHAYA: AIDIL USMAN • VISUAL IMAGE: DODY DP • FOTOGRAFI: ARJAN ONDERDENWIJNGAARD
NAPAK TILAS SASTRA: W.S. RENDRA
Republic of Performing Arts Kelompok ini merupakan kelanjutan dari kelompok teater sebelumnya; Teater Kuman dan Rombongan Toneel Soekar Madjoe dan pada 2002 berubah nama menjadi Republic of Performing Arts ketika diundang untuk mengikuti “Berlin International Poetry Festival” Sebuah laboratorium teater yang coba untuk mengangkat seni tradisi dan mengeksplorasi kemungkinan-kemungkinan baru dalam ekspresi kesenian khususnya
...
seni teater. Pentas terakhir membawakan naskah komedi karya pemenang Nobel dari Italia ; Dario Fo “Anarkis Itu Mati Kebetulan” di Gedung Kesenian Jakarta.
25
26
NAPAK TILAS SASTRA: W.S. RENDRA
NAPAK TILAS SASTRA: W.S. RENDRA
PENANGGUNG JAWAB DEWAN KESENIAN JAKARTA
PANITIA
STEERING COMMITTEE KOMITE SASTRA - DEWAN KESENIAN JAKARTA, FIKAR W. EDA, EKA KURNIAWAN, LINDA CHRISTANTY, HANNA FRANCISCA PEMBICARA DISKUSI DR. MAX LANE, SENO GUMIRA AJIDARMA MODERATOR DISKUSI LINDA CHRISTANTY ORASI SASTRA REMY SILADO PERTUNJUKAN AMIEN KAMIL, HANAFI KETUA BIDANG PROGRAM HELLY MINARTI PROGRAM MANAGER ANA ROSDIANAHANGKA PROGRAM OFFICER ANA ROSDIANAHANGKA PROJECT OFFICER REBECCA KEZIA SEREFINA STAGE MANAGER HUMAIRAH KEUANGAN DASUKI DESAINER GRAFIS RIOSADJA HUMAS DITA KURNIA PEMBAWA ACARA INDAH ARIANI PENERIMA TAMU SETYAWATI, TIA ISNI KRU AGUNG FATMA DOKUMENTASI JOEL TAHER, EVA TOBING KEBERSIHAN DEDY GUNAWAN
27
28
NAPAK TILAS SASTRA: W.S. RENDRA
NAPAK TILAS SASTRA: W.S. RENDRA
LAMPIRAN
Rendra Knew on Whose Side He Stood Dr. Max Lane Rendra created a bridge from the anti-communist student activism of the late 1960s to the pro-Left activists of the 1980s and 1990s but he never crossed it Max Lane
Rendra’s funeral outside Jakarta last year was a crowded, noisy affair. Ramai sekali would be the Indonesian language term used. Noise. People of all social classes. Thousands of people streaming in all day, coming and going. In attendance were a large number of local village people and Rendra’s comrades in arms from the 1970s, Hariman Siregar, Daniel Dhakidae, T. Mulya Lubis and others, as well as, of course, members of Bengkel Teater from that time. Also at the funeral was a small group from the current generation of activists, who sat on a bench separate from the chaos, watching. Indonesia’s contemporary history is marked by various sharp disjunctures and little continuity, and the erasure of collective memory through the 32 years of the New Order’s systematic transformation
29
30
NAPAK TILAS SASTRA: W.S. RENDRA
of history into rote-learned superstition has drastically weakened the population’s ability to historically remember. In all countries, the ruling class determines what version of history enters the minds of the population, and in Indonesia this phenomenon is particularly striking. This does not just apply to the false memories implanted in society about the events of 1965; it applies to the whole of the country’s historical experience. As a result, almost nobody among the current generation knows what a transformative period the 1970s was. It was in the 1970s that the basis for Suharto’s dictatorial system was established but also when people like Rendra laid the basis for the emergence in the 1990s of a radical resistance to that dictatorship. As a result of political censorship, and school education that distorted history and did not teach Indonesian literature as a subject, knowledge of Rendra’s 1970s poems and plays has never become a mass phenomenon, even if arrests, lyrics for pop songs and movies have long made his image as a flamboyant dissident the subject of front page news. Rendra and his works are themselves a manifestation of a historical disjuncture. Rendra’s political poetry and drama, and his political activism was a bridge between the anti-communist student activism of the late 1960s and the pro-Left student activism in the 1980s and 1990s. However, it was a bridge that Rendra himself was never able to cross, despite taking initial steps onto that bridge, a bridge of his own creation. A reaction to political excess The 1965 disjuncture was (counter-) revolutionary. The Indonesia of the 45 Generation, of the revolution, was to be remade in the image of the money-grubbing former sergeant in the Dutch colonial army of repression, Suharto. The poet of the 45 Generation was Chairil Anwar. The spirit of the revolution that he articulated was summed up in the short poem Maju written in 1943 whose last verse ends maju, serbu, serang, terjang (forward, attack, charge, advance) – four different words for going on the offensive. These were appropriately martial sentiments for the Indonesian people at the time under the Japanese Occupation, preparing to claim their independence. After the terror of the mass murder of a million people in 1965-66, under Suharto the people were no longer to advance forward and attack. Instead, they were to be forced into the ‘floating mass’. No other intellectual or culture figure manifested the contradiction between the two Indonesias more deeply than Rendra. Before 1965, Rendra began to actively side with those literary and cultural figures who opposed the politics and ideas of the
NAPAK TILAS SASTRA: W.S. RENDRA
rapidly growing Indonesian Left under the ideological leadership of Sukarno and the organisational leadership of the Indonesian Communist Party (PKI). He was a signatory to the Cultural Manifesto (MANIKEBU), along with other writers, opposing the Left’s campaign for literature and the arts to be weapons for the struggle for socialism. Soon after that, however, Rendra took a decision that separated him from the activities of his MANIKEBU colleagues even as he continued to identify with them, taking a scholarship to study drama in Grenwich Village, New York. So while Arief Budiman, Goenawan Mohammed and others worked increasingly closer with the Indonesian army as it prepared for its confrontation with Sukarno, Rendra was experiencing the liberties and witnessing the injustices of American society. It was in New York too that Rendra was introduced to the social and political sciences. Rendra’s experiences in America did not change his orientation towards Indonesian politics. He continued to identify with what became known as the 66 Generation, the coalition of writers and artists who supported the suppression of the Indonesian Left in 1965-66. However, this orientation was primarily based upon his aversion to what he perceived as the cult-like and decadent aspects of Sukarno’s rule and the bullying by the PKI-Sukarno alliance manifested in the banning of some parties and publications before 1965. So while Rendra identified with this generation of activists, their experience of deep collaboration with the military before 1965 was not his experience. When he returned from New York, it was only a few years before he was the only writer of the 66 Generation to turn completely against Suharto and the New Order. Moreover, both his critiques of the New Order in the 1970s and their artistic form had much more in common with the communist writers of the 1950s and 1960s than anything ever produced against the New Order by the rest of his generation. A fierce critique Rendra’s divergence from the mentality of the 66 Generation was signalled first by such theatrical productions as Bip Bop. It was in the 1970s, however, that we saw the explosion of theatrical and poetic creativity integrated into political activism against the dictatorship. It lasted from 1973 until 1978, when he was imprisoned. During that period he wrote a series of plays that were devastating in their ridicule. In 2010, it is easy to forget that such savage ridicule was against a military dictatorship that had been actively engaged in mass murder only five years earlier. It was an act of deep courage. There was Mastodon and Condors, a story of student rebellion against a military dictatorship; his adaptation of Aristophanes’ Lysistrata,
31
32
NAPAK TILAS SASTRA: W.S. RENDRA
a hilarious comic savagery of the impotence of the military character (and, I think, Rendra’s greatest linguistic achievement); The Struggle of the Naga Tribe, a satire, and manifesto against New Order political and economic development; Sekda, a sharp expose of the workings of bureaucracy under a dictatorship-for-profit; and his adaption of Schiller’s Der Rauber,The Robbers. In addition, he wrote over twenty poems, most of which were circulated in a handwritten collection, known as The Poet’s Pamphlets. For those five years, from 1973 until 1978, Rendra led the opposition against the Suharto dictatorship and its development strategy. He did this through the performances of his plays and his poetry readings. He did it too through a series of public forums and well publicised meetings with political figures, including military rivals, such as General Sumitro, Suharto’s second-in-command, who started to manoeuvre against Suharto. He also collaborated more with student groups and leaders. The opening salvo of his campaign was Mastodon and the Condors, which attracted thousands to its 1973 performance in Jakarta. Its manifesto was The Struggle of the Naga Tribe, performed in 1975, setting out a comprehensive critique of New Order politics and economic development as well as elucidating the principles he thought could underpin an alternative. The critique can be summed up by listing the cast of characters. On one side was a money-grubbing queen backed by sunglass-wearing corrupt military officers and a yes-men chorus of parliamentarians who used the army to pave the way for foreign businesses to enter the country to exploit the local market and the natural resources, with no interest in the welfare of the people. On the other is a village community who mobilise to defend their land from the encroachment of a mining company. They receive the support of a young, foreign journalist who promises to expose their struggle to the outside world – the world of the Big Boss. The greed, violence, arrogance and anti-democratic character of the New Order is vividly summed up in the Queen-Army-yes men Parliamentarians’ relationship with Mr Joe (the US Ambassador) and the Big Boss, the owner of the American mining company. The raucous enthusiastic reaction from the audience indicated that his depiction of the New Order was accurate in their eyes. What was interesting in the play was that Rendra also identified this situation as being linked to an underlying system. A chorus of machines speak: Bum. Bum. Bum. Jas - Jis - Jos. Gerak mesin bergedebum. Gerak orang hongos-hongos.
NAPAK TILAS SASTRA: W.S. RENDRA
… Ketipak. Ketipak. Ketipung. Gudang penuh jadi luber. Hasil kami tak tertampung. Sah - soh - sah. Ketoprak - gebyar - gebyar. Hasil kami harga murah. Kami butuh pasar lebar. Kerja cepat pasar lebar barang murah jauh perginya. Untung nambah modal Modal nambah untung. Tambah uang tambah akal jangan macet, jangan tanggung. Boom! Boom! Boom! Jas-Jis-Jos. Machines moving go gedeboom. People moving, panting. ... Ketipak. Ketipak. Ketipung. The warehouses overflow. We’ve got nowhere to store our goods. Sah - soh - sah. Ketoprak gebyar gebyar. We sell our products cheaply. We must have a huge market. Working fast in a big market. Cheap goods can be sent far and wide.
33
34
NAPAK TILAS SASTRA: W.S. RENDRA
Profit increases capital Capital increases profit. More money means more schemes, We can’t be held up, we can’t be interrupted. It is difficult to imagine pre-65 writers from the Left having any major disputes with this general depiction of the system driving the New Order’s activities. Rendra sums up the principles underpinning his alternative: ‘Land is the basic need of a village society, and therefore, ownership of the land must be organised and controlled by the village.’ Rendra depicts the ownership as being by individual villagers, possessing only the amount of land they can farm. Ideas as agents for radical change For many among the literati in Indonesia at the time, Rendra had, as Ikranegara wrote, ‘murdered nuance’ and presented nothing more than ‘indoctrination’. These were the same accusations that the Generation of 66 had made against the communist writers of the period before 1965. Rendra was now in their company – or was he? Rendra’s plays and poems of this period were indeed the conveyor into post-1965 politics of a revived articulation of class antagonism. In The Naga Tribe a class of rural farmers is pitted against a capitalist class. The play Mastodon and Condors opens with a beautiful and vivid presentation of class difference: Angin gunung turun merembes ke hutan, lalu bertiup di atas permukaan kali yang luas, dan akhirnya berumah di daun-daun tembakau. Kemudian hatinya pilu melihat jejak-jejak sedih para petani – buruh yang terpacak di atas tanah gembur namun tidak memberi kemakmuran bagi penduduknya. Para tani – buruh bekerja, berumah di gubug-gubug tanpa jendela, menanam bibit di tanah yang subur, memanen hasil yang berlimpah dan makmur namun hidup mereka sendiri sengsara. Mereka memanen untuk tuan tanah
NAPAK TILAS SASTRA: W.S. RENDRA
yang mempunyai istana indah. Keringat mereka menjadi emas yang diambil oleh cukong-cukong pabrik cerutu di Eropa. Dan bila mereka menuntut perataan pendapatan, para ahli ekonomi membetulkan letak dasi, dan menjawab dengan mengirim kondom. The mountain wind moves softly through the forest, sweeps across the wide river, and finally comes to rest among the tobacco leaves. Sadly it watches the weary pace of the farm labourers as they are impaled on the rich earth, which offers them only poverty. The farm labourers work, planting seed in the fertile ground, bringing in the rich, abundant harvest, and lead lives of misery. They live in shanties without windows and harvest for landlords who live in huge palaces. Their sweat falls like gold for the carpetbaggers who run cigar factories in Europe. When they demand their share of the profits, the economists straighten their ties, and send them condoms. But it is also in his depiction of the village population that the disjuncture between the 1970s and the decades that followed can best be seen. This is clearest in The Naga Tribe where Rendra actually shows two sets of villagers, the Naga and the Kariman. The depiction of the Naga is clearly meant to be positive: they are a democratic, socially egalitarian community in harmony with nature. The Kariman have lost their land to town dwellers and have become impoverished, exploiting labourers in their own village.
35
36
NAPAK TILAS SASTRA: W.S. RENDRA
It is in the juxtaposition of these two communities that a set of contradictions is revealed. First, the humane and democratic Naga people show not the slightest sense of solidarity with the Kariman people, adopting a stance which would easily be classified as ‘blaming the victim’. Second, as a framework for proposing social struggle it separates the goal, the ideal – the Naga kind of society – from the potential force that could struggle for change in Indonesia’s reality – the Kariman. In Indonesia by the 1970s (indeed as early as the eighteenth century on Java), there were no villages like the Naga’s – if, in fact, there ever were. The situation of the vast majority of village Indonesians, especially in Java, resembled that of the Kariman. The real struggle that Indonesia faced was not the Naga struggle to defend a socially just society but Kariman’s to actually achieve one. The struggle that was to actually unfold in the late 1980s and into the 1990s was one of maju, serbu, serang, terjang (forward, attack, charge, advance) by Indonesia’s Kariman, albeit if many of them had, in the meantime, been forced to move to the cities. The 1990s generation of activists adopted, in one form or other, moderate or revolutionary, a class struggle approach. Their ideological reference was Marxism and socialism. The literary icon was more Pramoedya Ananta Toer and other LEKRA writers, rather than Rendra. The poet of the radical activists themselves was Wiji Thukul. But while Rendra separated the Kariman reality from the Naga ideal, it might be argued however that it was Rendra who saved the Kariman from oblivion in his writing. The beauty and vividness of his depictions of the ordinary people, their suffering and their contempt for the elites, forced the ‘floating mass’ mentality into a retreat. Moreover, while his preference was to view ideas rather than people as the agents of radical social and political change, he always knew that there were two sides and that it was correct to take sides. To quote ‘Sajak Pertemuan Mahasiswa’, ‘The Student Meeting Poem’: ya! ada yang jaya, ada yang terhina ada yang bersenjata, ada yang terluka ada yang duduk, ada yang diduduki ada yang berlimpah, ada yang terkuras dan kita di sini bertanya: “maksud baik saudara untuk siapa? saudara berdiri di pihak yang mana?
NAPAK TILAS SASTRA: W.S. RENDRA
yes! there are the triumphant, there are the humiliated there are those with weapons, there are those with wounds there are those who sit, there are those who are sat upon there are those with abundance, those who have been robbed of all and we gathered here ask: ‘for whom, are your good intentions? on whose side do you stand?’ There can be little doubt that Rendra’s poems and plays will be part of the
...
repertoire of the movement as the Kariman resume their struggles against the injustices of underdevelopment.
37
38
NAPAK TILAS SASTRA: W.S. RENDRA
BIOGRAFI
...
AMIEN KAMIL
Mengenyam pendidikan Sinematografi di Institut Kesenian Jakarta kemudian berhenti pada tahun 1983. 1986-1996, bergabung dengan Bengkel Teater Rendra. 1988, mengikuti “The First New York International Festival of The Arts”, sempat juga mengikuti workshop di “Bread & Puppet Theatre” di Vermont-USA. 1990 bersama Bengkel Teater Rendra pentas di Tokyo & Hiroshima, Ia telah berkeliling Asia, Eropa, dan Amerika untuk mengikuti sejumlah acara kesusastraan, berkolaborasi dengan seniman asing, dan menerbitkan buku. Tahun ini pun ia mengikuti Folk Dance Festival di Siddi Bel Abbes.
...
HANAFI
Lahir dari pasangan Muhtarom dan Umi Hani pada tanggal 5 Juli 1960. Menjalani masa kecil di desanya di Purworejo, Jawa Tengah. Menamatkan pendidikan seni di Sekolah Seni Rupa Indonesia, Yogyakarta, pada tahun 1979. Pelukis yang pernah meraih penghargaan “Top 10 Phillip Morris Art Award” dan “Top 10 Golden Palette”, merupakan salah satu perupa yang karyanya terlihat sangat kompatibel dengan dinamika urban. Karyanya telah dipamerkan baik di dalam negeri maupun di luar negeri, seperti di Singapura, Toronto, dan Barcelona.
NAPAK TILAS SASTRA: W.S. RENDRA
...
DR. MAX LANE
Max mengenal W.S. Rendra sejak tahun 1969. Pada tahun 1974, Max memimpin diskusi mingguan tentang ekonomi politik untuk anggota Bengkel Teater di Yogyakata, 1974 di Zaman Lysistrata dan Kisah Perjuangan Suku Naga. Pada waktu itu dia tinggal di samping rumah Rendra dan Bengkel Teater dan menyaksikan latihan dan kegiatan sehari-hari. Dia sempat ikut rombongan Bengkel ke Jakarta ketika kedua-dua drama tersebut dipentaskan. Dia sudah terjemahkan Kisah Perjuangan Suku Naga ke dalam bahasa Inggris. The Struggle of the Naga Tribe (St. Martins Press, 1978) pernah dipentaskan oleh Nimrod Theatre di Sydney, Adelaide Theatre in South Australia, dan di Amerika Serikat dan Malaysia. Radio ABC juga pernah memprodukisnya sebagai sandiwara radio. Max juga sudah terjemahkan drama Perampok dan berbagai sajak Rendra.
...
REMY SYLADO
Lahir di Makassar tanggal 12 Juli 1945. Sejak usia 18 tahun sudah mulai menulis kritik, puisi, cerpen , dan karya lain. Tidak hanya dikenal sebagai seorang sastrawan, ia juga mahir di bidang musik, lukis, dan akting. Remy juga seorang aktor, wartawan, dan dramawan. Beberapa penghargaan yang diperolehnya antara lain sastra terbaik Pusat Bahasa Kerudung Merah Kirmizi, Braga Award dari Gubernur Jawa Barat, Satya Lencana Kebudayaan dari Negara, dan masih banyak lagi.
...
SENO GUMIRA AJIDARMA
Dilahirkan tahun 1958. Bekerja sebagai wartawan dari 1977. Mulai 1985 bekerja untuk Gramedia Majalah. Mengajar di Fakultas Film dan Televisi IKJ, Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI, dan Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Unpad. Menulis tentang kebudayaan kontemporer di berbagai media, menerima sejumlah penghargaan sastra, dan tulisannya diterjemahkan ke berbagai bahasa.
39
40
NAPAK TILAS SASTRA: W.S. RENDRA
SUSUNAN ACARA NAPAK TILAS SASTRA INDONESIA: W.S. RENDRA GRAHA BHAKTI BUDAYA, TAMAN ISMAIL MARZUKI . 25 NOVEMBER 2013,
15.00
DISKUSI MENGENANG RENDRA PEMBICARA : DR. MAX LANE DAN SENO GUMIRA AJIDARMA MODERATOR : LINDA CHRISTANTY
19.30
PEMUTARAN REKAMAN RENDRA MEMBACA PUISI
20.00
ORASI SASTRA OLEH REMY SILADO
20.30
PERTUNJUKAN “MARIA ZAITUN” OLEH AMIEN KAMIL DAN HANAFI