Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
NAPAK TILAS SEJARAH HIDUP NABI MUHAMMAD SAW [caption id="attachment_214" align="alignleft" width="150"]
Muhammad: Lelaki Penggenggam Hujan[/caption] Oleh: AB Eko Prasetyo, S.Psi., MA* Judul Novel
: Muhammad: Lelaki Penggenggam Hujan
Penulis
: Tasaro GK
Penerbit
: Bentang Pustaka
Cetakan
: 2010
Jumlah Halaman
: XXVI + 549 ISBN
: 978-979-1227-79-7
Membaca dan mengetahui sejarah Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam memang bukan sebuah kewajiban seperti layaknya ibadah shalat. Namun, keislaman seseorang rasanya tidak akan lengkap jika dia yang bersangkutan tidak tahu sejarah perjalanan hidup Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Karena Nabi Muhammad adalah role model yang utama. Dalam al-Qur’an pun disebutkan bahwa dalam diri Nabi Muhammad terdapat teladan baik yang berlimpah dan secara implisit Allâh menganjurkan setiap Muslim untuk meneladaninya. Jika ada pertanyaan; ‘seperti apakah sosok seorang Muslim yang baik itu?’ Jawabannya sudah pasti adalah; seperti Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa sallam, tak kurang tak lebih. Jika demikian, mengetahui sejarah hidup Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam adalah ‘keharusan’ untuk memahami konstruksi seorang Muslim yang baik dan sempurna. Jika sudah mengetahui maka seseorang akan bisa mencintai dan meneladani. Akan tetapi, sungguh disayangkan ketika membaca sejarah Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam kebanyakan kita sama seperti ketika kita membaca pelajaran sejarah di sekolah. Kita hanya mengetahui, menghapal, mengagumi ‘sambil lalu,’ lalu sedikit demi sedikit melupakannya. Kita seperti berjarak dan terlepas dari Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam berikut pesanpesan moral yang beliau bawa. Mengapa demikian? Ketika kita membaca pelajaran sejarah, emosi, perasaan dan spirit kita tidak ikut terlibat dalam proses pembacaan itu. Bagian yang
1/5
Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
terlibat hanyalah rasio dan logika. Tak mengherankan jika kemudian ketika kita membaca buku sejarah, misal buku pelajaran sejarah di sekolah, kita hanya sebatas hapal, tak ada bekas, tak ada kesan mendalam dan tak menimbulkan perubahan apapun pada diri kita. Sebenarnya, medium yang pas untuk menghidupkan dan melibatkan emosi dan rasa ketika kita menyampaikan sebuah pesan dari sejarah masa lalu, dan tentunya termasuk sejarah hidup Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam, adalah karya-karya sastra dan seni. Puisi, lagu, syair, dan cerita atau hikayat dalam bentuk novel, roman atau film adalah contohnya. Bukankah al-Qur’an sendiri adalah maha karya seni yang luar biasa dari Sang Pemilik Jiwa? Buku karya Tasaro GK yang mengisahkan perjalanan hidup Kanjeng Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam dalam bentuk novel ini tampaknya menjawab kegelisahan ini. Ide menulis sejarah Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam dalam bentuk novel memang cemerlang. Novel ini, yang menurut Azyumardi Azra adalah terobosan luar biasa dalam mencitrakan sosok agung Nabi Muhammad, terdiri dari dua cerita. Cerita pertama sudah tentu adalah kisah Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Dalam buku ini Tasaro menuliskannya kembali dengan bahasa tutur cerita yang santun, membawa pembaca seakan-akan berada di sana, di samping Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam, menatapi kelembutan sifat dan budi bahasa Beliau serta larut dalam perjuangannya. Seorang blogger yang telah membaca novel ini mendeskripsikan perasaannya ketika membaca novel ini di blog miliknya: hati bergetar terpanah cinta Sang Nabi, bibir tersenyum menyimak kesetiaan para sahabat utama, kemarahan ikut memuncak akibat tingkah laku para kafir penentang Beliau, dan mata mendanau turut merasakan penderitaan Beliau dan para sahabat. Bahasa tutur cerita yang mengalir santun benar-benar menghanyutkan dan memerangkap pembaca dalam cinta kepada Rasulullah yang mungkin tak pernah pembaca rasakan sebelumnya lewat Sirah Nabawiyah di buku-buku lain. Bagian kedua buku ini menceritakan tentang Kashva, pemuda pintar Persia yang sangat mahir akan sastra dan bekerja sebagai seniman resmi kerajaan Persia yang saat itu dipimpin oleh raha Khosrou. Keindahan karya sastranya membuat ia dijuluki sang pemindai surga. Kashva banyak belajar manuskrip-manuskrip kuno yang kemudian membuat ia tertarik mempelajari ramalan-ramalan akan munculnya nabi baru itu. Ia kemudian aktif berkorespondensi dengan Elias dari Suriah yang tak lain adalah murid dari mendiang Pendeta Bahira, Pendeta Nasrani yang dulu pernah meramalkan kenabian Muhammad kecil. Pada akhirnya, Kashva menghabiskan sebagian besar hidupnya untuk mencari sosok Penyelamat Dunia yang dijanjikan itu. Di sinilah Tasaro berusaha mengaitkan Kashva dengan Sang Nabi, menggunakan setting waktu yang sama. Ketertarikan Kashva dalam menafsirkan ramalan-ramalan akan kedatangan nabi baru, diselipi dengan kisah cintanya dengan Astu, kawan belajarnya di kuil. Ketika Khosrou tersinggung karena Kashva memberitahukan ramalan kemunculan nabi baru, lalu menyuruh pasukan membunuhnya, pemuda itu melarikan diri sampai ke India, Barus hingga Tibet. Kisah pelarian Kashva mencari sosok nabi baru yang dijanjikan inilah yang menjadi bumbu lain buku ini.
2/5
Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
Kisah Sang Nabi dalam buku ini mencakup kisah saat beliau terusir dari Makkah, kisah dramatis kekalahan kaum muslimin di perang Uhud, kisah kalung ‘Aisyah, fitnah yang menimpa ‘Aisyah, perjanjian Hudaibiyah, perang parit ide Salman dari Persia, hingga kisah haji yang tertunda setahun sebelum pembebasan Makkah, lalu diakhiri dengan runtuhnya berhala saat Makkah berhasil dikuasai dan dibebaskan tanpa perlawanan yang dikenal dengan fathul Makkah. Semua diceritakan kembali dengan bahasa yang apik oleh Tasaro. Layaknya novel, dialog-dialog haruslah ada. Meski demikian, Tasaro memang tampak berhatihati ketika menggambarkan dialog dan peristiwa dimana Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam secara langsung terlibat di dalamnya. Dan dalam novel ini, dialog dari Nabi adalah dialog-dialog yang sudah populer dalam banyak hadits dan sirah nabawiyah. Kehati-hatian Tasaro juga tampak dari kalimat-kalimat yang digunakan ketika mencoba menarasikan perasaan, emosi, keinginan dan perilaku Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Jika narasi itu berasal dari perspektif dan pendapat Tasaro pribadi, maka Tasaro menggunakan bentuk kalimat pertanyaan. Jika deskripsi tu berasal dari sumber-sumber Sirah Nabawiyah, maka Tasaro menarasikannya dengan kalimat pernyataan. Tasaro GK begitu berhasil menciptakan suasana yang pada beberapa titik seakan mendekatkan jarak antara pembaca dengan Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Para pembaca seperti diajak terlibat dan berdialog dengan Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Pada saat bersamaan, keteladanan pekerti Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa sallam yang mungkin sudah kita kenal dengan baik melalui banyak buku sejarah, dihadirkan kembali dalam suasana yang lebih hidup. Sekali lagi, emosi kita dilibatkan. Kecintaan dan kekaguman terhadap Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa sallam pun seakan di-refresh. Maka, hampir di setiap halaman yang mengisahkan Nabi Muhammad, tanpa terasa mulut saya selalu membaca shalawat saking terpesonanya saya dengan Beliau. Saat membaca beberapa bagian lainnya, tawa dan tangis tumpah seperti tak bisa ditahan. Tak berlebihan kiranya jika saya mengatakan bahwa membaca buku ini bisa menjadi majelis shalawat bagi para pecinta Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Salah satu bagian yang paling menarik dari novel ini adalah penggambaran suasana sarat emosi ketika Hamzah, paman Nabi yang dijuluki singa padang pasir, terbunuh dalam perang uhud. Penggambaran suasana emosional Nabi dan para sahabat yang begitu kuat berhasil membawa para pembaca memasuki perasaan Nabi dan para sahabat yang hadir di situ. Pada momen ini juga, salah satu ajaran Islam yang paling mendasar oleh Allah SWT diturunkan, yakni memaafkan. Duhai Lelaki yang Lembut Hatinya, apakah terasa oleh hatimu ketika tahu alasan mengapa Harits bin Al-Simmah yang engkau perintahkan untuk mencari jasad Hamzah; pamanda tercinta, Singa Padang Pasir, tak jua melapor? Ketika Ali bin Abi Thalib, suami anakmu, engkau minta untuk menyusul Harits, barulah keduanya datang kepadamu dengan mendung di wajah mereka. Engkau segera menemukan jawabannya. Jasad Hamzah terbujur di hadapanmu. Orang yang melihat mungkin menduga sesuatu yang berat tengah dirasakan olehmu. Begitu beratkah beban yag tertanggung oleh hatimu? Apakah memerah wajah dan matamu? Akankah
3/5
Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
gemetaran gemetaran tanganmu? Mungkinkah suaramu keluar bercampur isak yang tertahan? “Selama hidupku, Aku tidak pernah marah separah yang kurasakan kali ini. Jika kelak Allâh memberikan kemenangan kepada kita, akan kurusak muka tiga puluh mayat kaum Quraisy!” Para sahabat, orang-orang yang berada di sekitarmu tak berani berinisiatif apa pun. Barangkali karena mereka tak pernah melihat keadaanmu yang sekarang. Hamzah, pembelamu yang gagah tak tertandingi, hari ini terbujur dengan jasad koyak-koyak. Dadanya terbelah, dan jelas ada bagian dalam tubuhnya yang hilang. Wajahnya juga rusak dengan organ-organ yang tidak lagi berada di tempatnya. Apakah yang engkau alami kemudian ketika keluar dari bibirmu kata-kata bersajak dan terdengar agung di telinga para sahabatmu? Kata-katamu itu terdengar khusyuk, hati-hati dan penuh perasaan. Kata-kata yang diyakini berasal bukan dari bumi. “Jika kalian ingin melakukan pembalasan, balaslah sesuai dengan yang mereka lakukan kepadamu, tetapi sesungguhnya memberikan maaf itu jauh lebih baik bagi orang-orang yang sabar.”[1] Alangkah indah kata-kata itu. Engkau menatapi sahabat-sahabatmu, lalu mengatakan sesuatu. Engkau membatalkan sumpahmu sebelumnya lalu melarang keras setiap tindakan merusak muka mayat pada setiap peperangan berakhir, “Jika di antara kalian memukul, jangan memukul di bagian wajah… karena Tuhan menciptakan Adam dalam citra-Nya.” Apakah yang Engkau rasakan kini, wahai lelaki yang kata dan perbuatan tak pernah bertentangan? Apakah Engkau sedang berusaha menelan kemarahanmu, menawarkan luka hatimu? Bukankah meski dengan cara apapun, wajah Hamzah masih membayangimu?
****
Terlepas dari hal-hal baik yang ada dalam buku ini, ada sedikit yang kekurangan dalam buku ini. Pertama adalah kekurangan yang banyak ‘dikeluhkan’ oleh para pembaca novel ini, yakni porsi kisah mengenai Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam yang terlalu sedikit. Semestinya porsi tentang Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam lebih banyak ketimbang kisah tentang Kashva. Namun demikian, porsi yang sedikit tersebut sama sekali tak mengurangi kebesaran Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Dan memang, bagi saya, kisah Kashva yang terkesan terlalu ‘banyak’ ini sebenarnya bertujuan untuk menunjukkan kebesaran Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam dari perspektif lain yang lebih universal, yang juga memungkinkan untuk ‘terbaca’ oleh orang-orang di luar Islam. Secara apik, melalui kisah Kashva, Tasaro menyinggung bahkan menyebut beberapa agama dan kepercayaan seperti Kekristenan di Suriah, Zoroaster dan Zardhust di Persia, Budhisme di Tibet. Semua agama dan kepercayaan kuno tadi dengan cara masing-masing memiliki satu keyakinan bahwa pada suatu saat akan datang di dunia Sang Penyelamat dan Nabi akhir zaman. Semua agama dan
4/5
Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
kepecayaan yang secara geografis terpaut jarak yang sangat jauh itu bertemu pada satu sebutan sang Penyelamat Dunia itu, yakni Yang Terpuji. Kedua adalah kekurangan teknis yang agak menonjol, yaitu glossary yang terlalu ‘miskin’. Untuk sebuah buku yang membutuhkan riset dan sumber yang banyak, penulisan glossary dalam buku ini terlalu sederhana dan terlalu sedikit. Akan lebih baik juga jika dituliskan sumber rujukannya. Termasuk ketika mengisahkan perjalanan Kashva, akan timbul pertanyaanpertanyaan tentang mana bagian yang berasal dari imajinasi Tasaro dan mana yang berasal dari sumber sejarah. Jika Tasaro menuliskan glossary dan rujukan yang lebih valid, tentu kekuatan novel ini akan semakin tampak, meski memang untuk sebuah novel hal tersebut bukan sebuah keharusan pun bahkan mungkin kurang lazim.[]
* Alumni Ma’had al-Jâmi’ah al-Islamiyyah al-Indunisiyyah dan Alumni FPSB UII
[1] QS. al-Nahl [16]: 126.
5/5 Powered by TCPDF (www.tcpdf.org)