SAJAK “NYANYIAN ANGSA” KARYA WS. RENDRA: ANALISIS ANTROPOLOGI SASTRA I Ketut Sudewa Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra Universitas Udayana Abstrak The poem “Song of the Swan” by WAS Rendra is a narrative poem that was created when he was in the United States. The poem that is set in Jakarta city, was created by WAS Rendra based on the news that he read in the mass media or newspapers. This poem belongs to the one which is quite rich with social criticism with a simple but precise diction to express a criticism. Many things can be explored in this poem, in addition to the social criticism contained in it. In this opportunity an attempt is made to discuss this poem through Literary Anthropological approach. This approach is relatively new in the analysis of literary works. Through the anthropological approach, Maria Zaitun is pictured as an individual who reflects a culture, such as upper-class culture (the doctor) and the culture of the church (Pastor). Both of these cultures contribute to color the cultural development of Indonesian society in general. Keywords: poetry, narrative, literary anthropology,
1. Pendahuluan Pembicaraan karya sastra dari sudut antropologi sastra merupakan hal yang baru dalam penelitian karya sastra. Pendekatan antropologi terhadap sebuah karya sastra sebenarnya sudah pernah dilakukan, seperti yang dilakukan oleh Claude LeviStrauss (1963:206). Tokoh ini pada awalnya banyak membaca buku-buku filsafat. Ia tertarik pada ilmu Antropologi setelah membaca buku Primitive Society karya Robert Lowie (Ahimsa Putra, 1977:xii). Ia melakukan penelitian secara struktural terhadap mitos dengan teori oposisi binernya. Sebanarnya, hal yang sama bisa juga diterapkan pada karya-karya sastra moderen, seperti: prosa, puisi, atau drama. Akan tetapi, khusus penelitian tentang antropologi sastra adalah suatu penelitian yang belum berkembang, khususnya di Indonesia. Penelitian antropologi sastra sangat memungkinkan untuk dilakukan. Hal ini mengingat sebuah karya sastra tidak hanya mengandung unsur yang bersifat naratif dengan segala pirantinya, tetapi juga mengandung hal-hal yang bersifat sosiologis, psikis, historis, maupun antropologis. Hipotesa ini diperkuat oleh argumentasi bahwa karya sastra sifatnya terbuka. Artinya, seorang pengarang memiliki kebebasan yang luas untuk mengekspresikan segala aspek kehidupannya atau kehidupan masyarakat di sekitarnya melalui media bahasa. Oleh karena itu, sebuah karya sastra bisa dibahas atau diteliti melalui berbagai pendekatan yang berkaitan dengan segala hal yang 65
PUSTAKA Volume XII, No. 1 • Februari 2012
menyangkut kehidupan mamusia atau masyarakat. Lahirnya pendekatan antropologi sastra didasarkan atas kenyataan bahwa: (a) baik sastra maupun antropologi menganggap bahasa sebagai objek yang penting; (b) baik sastra maupun antropologi mempermasalahkan relevansi manusia dengan budaya, dan (c) baik antropologi maupun sastra sama-sama mempermasalahkan tradisi lisan atau sastra lisan, seperti: mitos, dongeng, dan legenda menjadi objek penelitiannya (Kutha Ratna, 2004:352). Tradisi lisan yang merupakan hasil budaya dan berkembang dalam suatu masyarakat, bisa diteliti melalui pendekatan sastra maupun pendekatan antropologis. Seperti telah diketahui, bahwa pendekatan antropologi sastra dalam penelitian sastra adalah suatu hal yang baru. Oleh karena itu, masih sedikit sekali ditemui teori-teori tentang antropologi sastra tersebut. Hal ini mungkin disebabkan oleh dominasi pendekatan sosiologi sastra karena menganggap bahwa hal-hal yang bersifat antropologis dalam sebuah karya sastra merupakan wilayah kajian sosiologi sastra. Oleh karena sedikit sekali buku yang ditemukan yang membicarakan tentang antropologi sastra, maka dalam analisis antropologi sastra dalam tulisan ini hanya mengacu pada pandangan-pandangan Prof. Dr. I Nyoman Kutha Ratna,S.U saja yang dipakai pijakan. Pandangan-pandangannya tersebut ada dalam bukunya berjudul Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra (2004). Antropologi sastra adalah ilmu pengetahuan mengenai manusia dalam masyarakat (Kutha Ratna, 2004: 63). Manusia dalam konteks ini tentu saja manusia sebagai individu yang membentuk suatu kebudayaan, bukan manusia sebagai mahluk sosial dalam masyarakat yang nantinya melahirkan pendekatan sosisologi sastra. Antropologi sastra memberi perhatian pada manusia sebagai agen kultural, sistem kekerabatan, sistem mitos, dan kebiasaan-kebiasaan lainnya. Artinya, antropologi sastra menganalisis sebuah karya sastra dengan memperhatikan teori dan datadata yang bersifat antropologis yang ada di dalamnya ( Kutha Ratna, 2004:353-357). Dalam konteks yang lebih opersional, dapat disimpulkan bahwa penelitian antropologi sastra terhadap sebuah karya sastra adalah berusaha melihat perjalanan atau sikap individu tokoh cerita yang mewarnai dan pengungkap budaya masyarakat tertentu yang terkandung dalam karya sastra itu sendiri. Dalam tulisan ini, dibahas sebuah sajak berjudul “Nyanyian Angsa” karya WS. Rendra yang termuat dalam kumpulan puisinya yang berjudul Blues Untuk Bonnie (1981:32--40). Sajak ini merupakan salah satu sajak yang berwacana tentang kritik sosial terhadap kehidupan masyarakat sebagaimana halnya sajak-sajaknya yang lain.
66
Sajak “Nyanyian Angsa” Karya Ws. Rendra: Analisis Antropologi Sastra I Ketut Sudewa
2. Pembahasan Sebelum membahas sajak tersebut melalui pendekatan antropologi sastra, maka terlebih dahulu ditampilkan kembali sajak tersebut secara utuh berikut ini. NYANYIAN ANGSA Majikan rumah pelacuran berkata kepadanya “Sudah dua minggu kamu berbaring. Sakitmu makin menjadi. Kamu tak lagi hasilkan uang. Malahan padaku kamu berhutang. Ini biaya melulu. Aku tak kuat lagi. Hari ini kamu mesti pergi.” (Malaekat penjaga firdaus wajahnya tegas dan dengki dengan pedang yang menyala menuding kepadaku. Maka darahku terus beku. Maria Zaitun namaku. Pelacur yang sengsara. Kurang cantik dan agak tua). Jam dua belas siang hari. Matahari terik di tengah langit. Tak ada angin. Tak ada mega. Maria Zaitun keluar rumah pelacuran. Tanpa koper. Tak ada lagi miliknya. Teman-temannya membuang muka. Sempoyongan ia berjalan. Badannya demam. Sipilis membakar tubuhnya. Penuh borok di klangkang di leher, di ketiak, dan di susunya. Matanya merah. Bibirnya kering. Gusinya berdarah. Sakit jantungnya kambuh pula. Ia pergi kepada dokter. Banyak pasien lebih dulu menunggu. 67
PUSTAKA Volume XII, No. 1 • Februari 2012
Ia duduk di antara mereka. Tiba-tiba orang-orang menyingkir dan menutup hidung mereka. Ia meledak marah tapi buru-buru jururawat menariknya. Ia diberi giliran lebih dulu dan tak ada orang memprotesnya. “Maria Zaitun, utangmu sudah banyak padaku, “ kata dokter. “Ya,” jawabnya. “Sekarang uangmu berapa?” “Tak ada.” Dokter geleng kepala dan menyuruhnya telanjang. Ia kesakitan waktu membuka baju sebab bajunya lekat di borok ketiaknya. “Cukup,” kata dokter. Dan ia tak jadi mriksa. Lalu ia berbisik kepada jururawat: “Kasih ia injeksi vitamin C,” Dengan kaget jururawat berbisik kembali: “Vitamin C? Dokter, paling tidak ia perlu Salvarzan.” “Untuk apa? Ia tak bisa bayar. Dan lagi sudah jelas ia hampir mati. Kenapa mesti dikasih obat mahal yang diimport dari luar negri?” (Malaekat penjaga firdaus wajahnya iri dan dengki dengan pedang yang menyala menuding kepadaku. Aku gemetar ketakutan. Hilang rasa. Hilang pikirku. Maria zaitun namaku. Pelacur yang takut dan celaka).
68
Sajak “Nyanyian Angsa” Karya Ws. Rendra: Analisis Antropologi Sastra I Ketut Sudewa
Jam satu siang. Matahari masih di puncak. Maria Zaitun berjalan tanpa sepatu. Dan aspal jalan yang jelek mutunya lumer di bawah kakinya. Ia berjalan menuju gereja. Pintu gereja telah dikunci. Karena kawatir akan pencuri. Ia menuju pastori dan menekan bel pintu. Koster keluar dan berkata: “Kamu mau apa? Pastor sedang makan siang. Dan ini bukan jam bicara.” “Maaf. Saya sakit. Ini perlu.” Koster meneliti tubuhnya yang kotor dan berbau. Lalu berkata: “Asal tinggal di luar, kamu boleh tunggu. Aku lihat apa pastor mau terima kamu.” Lalu koster pergi menutup pintu. Ia menunggu sambil blingsatan kepanasan. Ada satu jam baru pastor datang kepadanya. Setelah mengorek sisa makanan dari giginya ia nyalakan cerutu, lalu bertanya: “Kamu perlu apa?” Bau anggur dari mulutnya. Selopnya dari kulit buaya. Maria Zaitun menjawabnya: “Mau mengaku dosa.” “Tapi ini bukan jam bicara. Ini waktu saya untuk berdoa.” “Saya mau mati.” “Kamu sakit?” “Ya. Saya kena rajasinga.” Mendengar ini pastor mundur dua tindak. Mukanya mungkret. Akhirnya agak keder ia kembali bersuara: “Apa kamu –mm-Kupu-kupu malam?” “Saya pelacur. Ya.” 69
PUSTAKA Volume XII, No. 1 • Februari 2012
“Santo Petrus! Tapi kamu Katolik!” “Ya.” “Santo Petrus!” Tiga detik tanpa suara. Matahari terus menyala. Lalu pastor kembali bersuara: “Kamu telah tergoda dosa.” “Tidak tergoda. Tapi melulu berdosa.” “Kamu telah terbujuk setan.” “Tidak. Saya terdesak kemiskinan. Dan gagal mencari kerja.” “Santo Petrus!” “Santo Petrus!” Peter, dengarkan saya. Saya tak butuh tahu asal usul dosa saya. Yang nyata hidup saya sudah gagal. Jiwa saya kalut. Dan saya mau mati. Sekarang saya takut sekali. Saya perlu Tuhan atau apa saja untuk menemani saya.” Dan muka pastor menjadi merah padam. Ia menudingMaria Zaitun. “Kamu galak seperti macan betina. Barangkali kamu akan gila. Tapi tak akan mati. Kamu tak perlu pastor. Kamu perlu dokter jiwa.” (Malaekat penjaga firdaus wajahnya sombong dan dengki dengan pedang yang menyala menuding kepadaku. Aku lesu dan berdaya. Tak bisa nangis. Tak bisa bersuara. Maria Zaitun namaku. Pelacur yang lapar dan dahaga).
70
Sajak “Nyanyian Angsa” Karya Ws. Rendra: Analisis Antropologi Sastra I Ketut Sudewa
Jam tiga siang. Matahari terus menyala. Dan angin tetap tak ada. Maria Zaitun bersijingkat di atas jalan yang terbakar. Tiba-tiba ketika nyebrang jalan ia kepleset kotoran anjing. Ia tak jatuh tapi darah keluar dari borok di klangkangannya dan meleleh ke kakinya. Seperti sapi tengah melahirkan ia berjalan sambil mengangkang. Di dekat pasar ia berhenti. Pandangnya berkunang-kunang. Napasnya pendek-pendek. Ia merasa lapar. Orang-orang pergi menghindar. Lalu ia berjalan ke belakang satu restoran. Dari tong sampah ia kumpulkan sisa makanan. Kemudian ia bungkus hati-hati dengan daun pisang. Lalu berjalan menuju ke luar kota. (Malaekat penjaga firdaus Wajahnya dingin dan dengki dengan pedang yang menyala menuding kepadaku. Yang Mulya, dengarkanlah aku. Maria Zaitun namaku. Pelacur lemah, gemetar ketakutan). Jam empat siang. Seperti siput iaberjalan. Bungkusan sisa makanan masih di tangan belum lagi dimakan Keringatnya bercucuran. Rambutnya jadi tipis. Mukanya kurus dan hijau seperti jeruk yang kering. 71
PUSTAKA Volume XII, No. 1 • Februari 2012
Lalu jam lima. Ia sampai di luar kota. Jalan tak lagi beraspal tapi debu melulu. Ia memandang matahari dan pelan berkata: ”Bedebah.” Sesudah berjalan satu kilo lagi ia tinggalkan jalan raya dan berbelok masuk sawah berjalan di pematang. (Malaekat penjaga firdaus wajahnya tampan dandengki dengan pedang yang menyala mengusirku pergi. Dan dengan rasa jijik ia tusukkan pedangnya perkasa di antara kelangkangku. Dengarkan, Yang Mulia Maria Zaitun namaku. Pelacur yang kalah. Pelacur terhina). Jam enam sore. Maria Zaitun sampai ke kali. Angin bertiup. Matahari turun. Hari pun senja. Dengan lega ia rebah di pinggir kali. Ia basuh kaki, tangan, dan mukanya. Lalu ia makan pelan-pelan. Baru sedikit ia berhenti. Badannya masih lemas tapi nafsu makannya tak ada lagi. Lalu ia minum air kali.
72
Sajak “Nyanyian Angsa” Karya Ws. Rendra: Analisis Antropologi Sastra I Ketut Sudewa
(Malaekat penjaga firdaus tak kaurasakan bahwa senja telah tiba angin turun dari gunung dan hari merebahkan badannya? Malaekat penjaga firdaus dengan tegas mengusirku. Bagai patung ia berdiri. Dan pedangnya menyala). Jam tujuh. Dan malam tiba. Serangga bersuiran. Air kali terantuk batu-batu. Pohon-pohon dan semak-semak di dua tepi kali nampak tenang dan mengkilat di bawah sinar bulan. Maria Zaitun tak takut lagi. Ia teringat masa kanak-kanak dan remajanya. Mandi di kali dengan ibunya. Memanjat pohonan. Dan memancing ikan dengan pacarnya. Ia tak lagi merasa sepi. Dan takutnya pergi. Ia merasa bertemu sobat lama. Tapi lalu ia pingin lebih jauh cerita tentang hidupnya. Lantaran itu ia sadar lagi kegagalan hidupnya. Ia jadi berduka. Dan mengadu pada sobatnya sembari menangis tersedu-sedu. Ini tak baik buat penyakit jantungnya. (Malaekat penjaga firdaus wajahnya dingin dan dengki. Ia tak mau mendengar jawabku. Ia tak mau melihat mataku. Sia-sia mencoba bicara padanya. Dengan angkuh ia berdiri. Dan pedangnya menyala). 73
PUSTAKA Volume XII, No. 1 • Februari 2012
Waktu. Bulan. Pohonan. Kali. Borok. Sipilis. Perempuan. Bagai kaca kali memantul cahaya gemilang. Rumput ilalang berkilatan. Bulan. Seorang lelaki datang di seberang kali. Ia berseru: “Maria Zaitun, engkaukah itu?” “Ya,” jawab Maria Zaitun keheranan. Lelaki itu menyeberang kali. Ia tegap dan elok rupanya. Rambutnya ikal dan matanya lebar. Maria Zaitun berdebar hatinya. Ia seperti pernah kenal lelaki itu. Entah di mana. Yang terang tidak di ranjang. Itu sayang. Sebab ia suka lelaki seperti dia. “Jadi kita ketemu disini,”kata lelaki itu. Maria Zaitun tak tahu apa jawabnya. Sedang sementara ia keheranan lelaki itu membungkuk mencium mulutnya. Ia merasa seperti minum air kelapa. Belum pernah ia merasa ciuman seperti itu. Lalu lelaki itu membuka kutangnya. Ia tak berdaya dan memang suka. Ia menyerah. Dengan mata terpejam ia merasa berlayar ke samodra yang belum pernah dikenalnya. Dan setelah selesai ia berkata kasmaran: “Semula kusangka hanya impian bahwa lelaki tampan seperti kau 74
Sajak “Nyanyian Angsa” Karya Ws. Rendra: Analisis Antropologi Sastra I Ketut Sudewa
bakal lewat dalam hidupku.” Dengan penuh penghargaan lelaki itu memandang kepadanya. Lalu tersenyum dengan hormat dan sabar. “Siapakah namamu?” Maria Zaitun bertanya. “Mempelai,”jawabnya. “Lihatlah. Engkau melucu.” Dan sambil berkata begitu Maria Zaitun menciumi seluruh tubuh lelaki itu. Tiba-tiba ia terhenti. Ia jumpai bekas-bekas luka di tubuh pahlawannya. Di lambung kiri. Di dua tapak tangan. Di dua tapak kaki. Maria Zaitun pelan berkata: “Aku tahu siapa kamu.” Lalu menebak lelaki itu dengan pandang matanya. Lelaki itu menganggukkan kepala: “Betul. Ya.” (Malaekat penjaga firdaus wajahnya jahat dan dengki dengan pedang yang menyala tak bisa apa-apa. Dengan kaku ia beku. Tak brani lagi menuding padaku. Aku tak takut lagi. Sepi dan duka telah sirna. Sambil menari kumasuki taman firdaus dan kumakan apel sepuasku. Maria Zaitun namaku. Pelacur dan pengantin adalah saya). Bila dilihat dari sudut antropologis, maka tampak bahwa sajak SW. Rendra di atas mengandung nuansa antropologis. Hal ini tergambar dari perjalan kehidupan tokoh Maria Zaitun sebagai seorang pelacur yang sudah tidak menarik lagi (tua). Sebagai seorang individu yang sedang mencari jatidiri sebagai makhluk Tuhan, ditugasi oleh penyair untuk mengeksplorasi aneka budaya kehidupan manusia yang senantiasa bersifat kontradiktif. Dalam sajak itu tersirat bermacam pertanyaan yang bersifat filosofis tentang apa dan bagaimana sesungguhnya hidup itu, sampai 75
PUSTAKA Volume XII, No. 1 • Februari 2012
akhirnya ditemukan oleh seorang Maria Zaitun. Untuk lebih jelasnya, dibahas sajak tersebut melalui pendekatan antropologi sastra secara holistik. Dilihat dari judul puisi, yaitu “Nyanyian Angsa”, maka hewan angsa adalah hewan yang berwarna putih (suci). Hewan ini adalah hewan yang bijaksana karena ia bisa hidup di tiga tempat, yaitu di darat, di air dan di udara serta bisa secara tepat dapat membedakan apa yang bisa atau tidak bisa dimakan sesuatu khususnya yang ada di dalam air. Dalam kepercayaan agama Hindu hewan ini sangat disucikan, bahkan menjadin kendaraan Dewi Saraswati sebagai dewa ilmu pengetahuan. Nyanyian Angsa dapat ditafsirkan sebagai pujian kepada yang maha suci dan bijaksana, yaitu Tuhan (dalam keyakinan agama Kristen sebagai Yesus dan Roh Kudus). Maria Zaitun sebagai tokoh sentral dalam sajak WS. Rendra secara antropologis atau manusia individu, maka kecantikan pada waktu muda pada suatu saat akan hilang dan menjadi manusia yang lemah, tidak menarik, tidak berguna, serta akan menjadi beban bagi orang lain. Pada saat itu sebagai manusia, barulah menyadari betapa manusia yang pada mulanya menjadi pewarna perjalanan suatu budaya bangsa akhirnya menjadi korban suatu budaya. Ketika manusia (Maria Zaitun) seperti itu, maka mau atau tidak mau akan disisihkan dari kelompok buadayanya yaitu budaya pelacuran. Hal itu tampak pada kutipan sajak berikut. Majikan rumah pelacuran berkata kepadanya “Sudah dua minggu kamu berbaring. Sakitmu makin menjadi. Kamu tak lagi hasilkan uang. Malahan padaku kamu berhutang. Ini biaya melulu. Aku tak kuat lagi. Hari ini kamu mesti pergi.”(halaman: 32). Sebagai makhluk budaya, maka Maria Zaitun (simbol masyarakat miskin) sesungguhnya ingin menjadi seperti manusia yang lain pada umumnya, yaitu bekerja di tempat yang layak dengan kehidupan keluarga yang bahagia. Tetapi karena miskin dan sulit mencari kerja yang layak, terpaksa ia menjadi pelacur. Pengakuan Maria Zaitun tersebut tampakpada kutipan berikut. Lalu pastor kembali bersuara: “Kamu telah tergoda dosa.” “Tidak tergoda. Tapi melulu berdosa.” “Kamu telah terbujuk setan.” “Tidak. Saya terdesak kemiskinan. Dan gagal mencari kerja.”(halaman: 35) 76
Sajak “Nyanyian Angsa” Karya Ws. Rendra: Analisis Antropologi Sastra I Ketut Sudewa
Walaupun demikian, sesungguhnya Maria Zaitun masih ingin beriteraksi dengan budaya di sekitarnya yaitu di luar budaya pelacuran. Oleh karena ia sedang sakit, maka ia ingin sembuh dan berobat ke dokter (sebagai simbol masyarakat kelas atas) dengan harapan dokter bisa menyembuhkannya. Dan ia tak jadi mriksa. Lalu ia berbisik kepada jururawat: “Kasih ia injeksi vitamin C,” Dengan kaget jururawat berbisik kembali: “Vitamin C? Dokter, paling tidak ia perlu Salvarzan.” “Untuk apa? Ia tak bisa bayar. Dan lagi sudah jelas ia hampir mati. Kenapa mesti dikasih obat mahal yang diimport dari luar negri?” (halaman: 33) Dalam budaya masyarakat berkembang, seperti Indonesia keadaan seperti tergambar di atas merupakan suatu hal yang sering terjadi dalam masyarakat. Kelas sosial dari masyarakat bawah memiliki jurang pemisah yang sangat dalam dengan kelas sosial masyarakat atas (kapitalis). Mengalami perlakuan seperti itu, maka dalam perjalanan hidup tokoh Maria Zaitun mencari kelompok budaya lain yang dianggap dapat memahami kehidupannya. Budaya lain tersebut adalah budaya religius (Gereja). Maria Zaitun sebagai seorang Kristiani ingin melakukan pengakuan dosa di hadapan Gereja dan Pastor. Ia menyadari atas dosa-dosa yang telah dilakukannya. Harapannya, komunitas Gereja mau menerima pengakuan dosanya di hadapan Yesus, seperti halnya Yesus penuh dengan cinta kasih dan maaf kepada umatnya. Untuk itu, ia pergi ke sebuah Gereja dan menghadap Pastor. Dalam komunitas gereja yang dituju oleh Maria Zaitun tergambar budaya pastori sebagai kelas sosial yang sangat tinggi di mata Maria Zaitun bagaikan jarak antara bumi dan langit. Di dalamnya ada budaya barat (Pastor) yang berhadapan dengan budaya masyarakat timur yang termarginalkan. Ada satu jam baru pastor datang kepadanya. Setelah mengorek sisa makanan dari giginya ia nyalakan cerutu, lalu bertanya: “Kamu perlu apa?” Bau anggur dari mulutnya. Selopnya dari kulit buaya. 77
PUSTAKA Volume XII, No. 1 • Februari 2012
Maria Zaitun menjawabnya: “Mau mengaku dosa.” “Tapi ini bukan jam bicara. Ini waktu saya untuk berdoa.” “Saya mau mati.” “Kamu sakit?” “Ya. Saya kena rajasinga.” Mendengar ini pastor mundur dua tindak. Mukanya mungkret. Akhirnya agak keder ia kembali bersuara: “Apa kamu –mm-Kupu-kupu malam?” “Saya pelacur. Ya.”(halaman: 34) Sebagai manusia yang dianggap kotor, tetapi Maria Zaitun masih manusia yang beragama tentu saja ia rindu akan Tuhannya (Yesus) atau seseorang (Pastor misalnya) yang memahami kehidupannya. Akan tetapi, justru Pastor menolaknya dan menganggap Maria Zaitun gila, bahkan mengusirnya dari Gereja. Ini adalah budaya gereja yang tidak lazim. Hal ini tampak dalam kutipan berikut. Saya perlu Tuhan atau apa saja untuk menemani saya.” Dan muka pastor menjadi merah padam. Ia menudingMaria Zaitun. “Kamu galak seperti macan betina. Barangkali kamu akan gila. Tapi tak akan mati. Kamu tak perlu pastor. Kamu perlu dokter jiwa.”(halaman: 35) Perjalanan Maria Zaitun dalam pencarian jati diri, akhirnya sampai pada sebuah sungai (kali). Dalam kelelahan setelah mengalami penolakan demi penolakan, Maria Zaitun beristirahat di pinggir kali. Dalam suasana sore hari yang indah dan sejuk di pinggir sebuah kali (yang memiliki suasana berbeda dengan keadaan sebelumnya yang sangat panas), Maria Zaitun sebagai manusia individu yang unik dan khas menikmati betapa segar dan indahnya saat itu. Ia minum air kali lalu membasuh kaki, tangan, dan mukanya pada air kali yang mengalir sebagai simbol keiinginan membersihkan diri dari segala dosa. Jam enam sore. Maria Zaitun sampai ke kali. 78
Sajak “Nyanyian Angsa” Karya Ws. Rendra: Analisis Antropologi Sastra I Ketut Sudewa
Angin bertiup. Matahari turun. Hari pun senja. Dengan lega ia rebah di pinggir kali. Ia basuh kaki, tangan, dan mukanya. Lalu ia makan pelan-pelan. Baru sedikit ia berhenti. Badannya masih lemas tapi nafsu makannya tak ada lagi. Lalu ia minum air kali.(halaman: 37) Dalam suasana seperti itu, Maria Zaitun teringat pada masa-masa lalunya yang indah bersama keluarga, teman-teman, dan pacarnya. Ia melakukan perenungan tentang perjalanan hidupnya. Inilah yang merupakan puncak-puncak pencarian jati diri seorang Maria Zaitun yang telah kalah melawan kekuatan alam dan takdir. Pohon-pohon dan semak-semak di dua tepi kali nampak tenang dan mengkilat di bawah sinar bulan. Maria Zaitun tak takut lagi. Ia teringat masa kanak-kanak dan remajanya. Mandi di kali dengan ibunya. Memanjat pohonan. Dan memancing ikan dengan pacarnya. Ia tak lagi merasa sepi. Dan takutnya pergi. Ia merasa bertemu sobat lama. Tapi lalu ia pingin lebih jauh cerita tentang hidupnya. Lantaran itu ia sadar lagi kegagalan hidupnya. Ia jadi berduka. Dan mengadu pada sobatnya sembari menangis tersedu-sedu. (halaman: 38) Ketika Maria Zaitun sedang melakukan perenungan seperti itu, tiba-tiba datang seorang lelaki tampan menemuinya. Lelaki itu mencumbu Maria Zaitun, bahkan sampai membuka kutang yang dipakai oleh Maria Zaitun sebagai simbolik melepas dan membuang segala dosa yang pernah diperbuatnya. Maria Zaitun tidak berdaya dan menikmati suasana seperti itu. 79
PUSTAKA Volume XII, No. 1 • Februari 2012
Seorang lelaki datang di seberang kali. Ia berseru: “Maria Zaitun, engkaukah itu?” “Ya,” jawab Maria Zaitun keheranan. Lelaki itu menyeberang kali. Ia tegap dan elok rupanya. Rambutnya ikal dan matanya lebar. Maria Zaitun berdebar hatinya. Ia seperti pernah kenal lelaki itu. Entah di mana. Yang terang tidak di ranjang. Itu sayang. Sebab ia suka lelaki seperti dia. “Jadi kita ketemu disini,”kata lelaki itu. Maria Zaitun tak tahu apa jawabnya. Sedang sementara ia keheranan lelaki itu membungkuk mencium mulutnya. Ia merasa seperti minum air kelapa. Belum pernah ia merasa ciuman seperti itu. Lalu lelaki itu membuka kutangnya. Ia tak berdaya dan memang suka. Ia menyerah. Dengan mata terpejam ia merasa berlayar ke samodra yang belum pernah dikenalnya.(halaman: 39) Ternyata lelaki yang mendatangi dan mencumbu Maria Zaitun adalah juru selamat, yaitu Yesus Kristus. Yesus telah mengangkat Maria Zaitun dari kegelapan. Maria Zaitun telah bangkit, seperti halnya kebangkitan Yesus. Tafsiran bahwa yang mendatangi Maria Zaitun di pinggir kali adalah Yesus Kristus adalah ketika ia mencium seluruh tubuh lelaki yang mendatanginya dan ditemukan bekas luka di lambung kiri, di dua tapak tangan, di dua tapak kaki pada lelaki itu. Semua itu adalah luka-luka yang dialami Yesus Kristus ketika digantung di kayu Salib sebagai penebusan dosa umatnya. Maria Zaitun menciumi seluruh tubuh lelaki itu. Tiba-tiba ia terhenti. Ia jumpai bekas-bekas luka di tubuh pahlawannya. Di lambung kiri. Di dua tapak tangan. Di dua tapak kaki. 80
Sajak “Nyanyian Angsa” Karya Ws. Rendra: Analisis Antropologi Sastra I Ketut Sudewa
Maria Zaitun pelan berkata: “Aku tahu siapa kamu.” Lalu menebak lelaki itu dengan pandang matanya. Lelaki itu menganggukkan kepala: “Betul. Ya.”(halaman: 40) Akhirnya, Maria Zaitun telah dibebaskan dari segala dosa oleh juru selamat Yesus Kristus, bahkan ia memasuki taman firdaus (taman sorga) sambil memakan buah apel (simbol kebahagiaan) sepuasnya. (Malaekat penjaga firdaus wajahnya jahat dan dengki dengan pedang yang menyala tak bisa apa-apa. Dengan kaku ia beku. Tak brani lagi menuding padaku. Aku tak takut lagi. Sepi dan duka telah sirna. Sambil menari kumasuki taman firdaus dan kumakan apel sepuasku. Maria Zaitun namaku. Pelacur dan pengantin adalah saya). (halaman: 40). Keadaan di atas menggambarkan secara implisit, bahwa WS. Rendra sesungguhnya sedang melakukan kritik sosial. Bagi kelompok budaya tertentu, seperti dokter dan komunitas gereja (yang merupakan simbol kelompok budaya terhormat) tidak mau menerima kehadiran Maria Zaitun yang miskin, lemah, dan penuh dosa. Akan tetapi, justru Yesus Kristuslah yang mau menerima dengan penuh maaf dan kasih dan mengangkatnya kekerajaan firdaus (sorga). Mengapa antara manusia tidak mau saling menolong dan memaafkan, padahal Yesus Kristus sendiri selalu mau memaafkan betapapun besar dosa umatnya, bahkan mengangkatnya ke kerajaan firdaus. 3. Simpulan Dari pembahasan di atas tampak, bahwa sajak “Nyanyian Angsa” karya WS. Rendra adalah sajak yang berisi kritik sosial bagi kelompok budaya masyarakat tertentu. Secara Antropologis, tokoh Maria Zaitun sebagai individu pengungkap suatu budaya, seperti budaya masyarakat kelas atas (dokter) dan budaya gereja (Pastor) ikut memberi warna perjalanan budaya masyarakat (Indonesia) pada 81
PUSTAKA Volume XII, No. 1 • Februari 2012
umumnya. Dalam perjalanan pencarian jatidiri seorang Maria Zaitun dengan terseokseok akhirnya sampai kepada pengampunan abadi, yaitu pengampunan dan cinta kasih Yesus Kristus sehingga ia diangkat ke kerajaan Yesus, yaitu taman firdaus (sorga). Perjalanan Maria Zaitun sampai menemukan jati dirinya, yaitu Yesus Kristus melewati tiga peristiwa besar, yaitu (a) peristiwa minta menyembuhan pada dokter; (b) peristiwa pengakuan dosa di Gereja; dan (c) peristiwa pertemuannya dengan lelaki di pinggir kali yang sesungguhnya adalah Yesus Kristus. Bila dikaitkan dengan judul sajak, yaitu “Nyanyian Angsa”, maka hewan Angsa seperti dijelaskan di awal pembahasan yaitu hewan yang bijaksana dan bisa hidup di tiga tempat, yakni di udara, di darat, dan di air. Sifat Angsa ini memiliki makna yang sejajar dengan tiga peristiwa besar yang dialami oleh Maria Zaitun dalam pencarian jati diri dan membentuk suatu “nyanyian” yang merdu. Daftar Pustaka Ahimsa Putra, Heddy Shri. 1997. “Claude Levi-Strauss Butir-butir Pemikiran Antropologi”.Dalam Levi-Strauss Empu Antropologi Struktural karya Octavio Paz. Yogyakarta: Lkis. Kutha Ratna, I Nyoman. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Levi-Strauss, Claude. 1963. Structural Anthropology. New York: Basic Books Inc. Rendra, WS. 1981. Blues untuk Bonnie. Jakarta: Pustaka Jaya.
82