BAB III RELIGIUSITAS WS. RENDRA DALAM PUISI-PUISINYA
A. Riwayat Hidup dan Karya-karya WS. Rendra 1. Riwayat Hidup WS. Rendra WS. Rendra memiliki nama lengkap Willibrodus Surendra Bhawana Rendra, lahir di kampung Jayengan, kota Surakarta, Kamis kliwon 7 November 1935. Pada usia17 tahun, dan masih duduk di bangku SMA St. Josef. Surakarta, ia mulai menerbitkan sajak-sajaknya di berbagai majalah dengan memakai nama WS. Rendra. Sejak berusia 37 tahun dan tinggal di kampung Ketanggungan Wetan, Yogyakarta, dalam berkarya ia menyederhanakan namanya menjadi Rendra saja, sampai sekarang. Ayahnya Raden Cyprianus Sugeng Brotoatmojo, adalah seorang guru Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa Kuna di sebuah SMA Katolik di Surakarta. Di samping seorang guru bahasa yang sangat berbakti kepada misi agama Katolik sampai akhir hayatnya, pak Broto juga seorang dramawan “tradisional” sekaligus seorang guru silat jawa. Oleh Ayahnya sejak kecil Rendra dididik untuk menghargai kehidupan yang mandiri sebagai swasta yang bebas dari lembaga eksekutif pemerintah. Beliau mendidik dengan keras agar Willy, begitu panggilan Rendra menghargai disiplin analisis dan menghormati fakta-fakta obyektif di dalam alam dan di dalam kehidupan. Selain itu dengan tanpa jemu ia juga selalu mengajarkan gaya pemikiran Aristoteles. 1 Leluhur bapak dan ibunya berasal dari Yogyakarta. Pada waktu perang revolusi kemerdekaan, pendidikan formal Rendra berhenti sebentar. Pendidikan Rendra yang terakhir adalah SMA St. Yosef di Surakarta (tamat 1955), The American Academy of Dramatic Arts (tamat 1967). Menjelang naik kelas 2 SMA di tahun 1953, Rendra menetapkan diri menjadi penyair. Pada bulan Oktober 1967 ia mendirikan Bengkel 1
Ken Zuraida, Curriculuum Vitae Rendra, dokumen pribadi tidak diterbitkan
46
47
Teater. Karya-karya diterjemahkan dalam bahasa Hindi, Urdu, Korea, Jepang, Inggris, Rusia, Jerman, Perancis, Cheko, dan Swedia. 2 Ibu Rendra bernama Raden Ayu Ismaidillah seorang penari srimpi keraton Yogyakarata, mengajarkan dengan tekun peradaban Jawa yang masih mistik dan religius kepada Rendra, sang Ibu mengajarkan bagaimana mensyukuri panca indera dan melatih kepekaannya melewati olah kelana, olah tapa dan samadhi menghayati nafas, kelenjar-kelenjar badan, tata syaraf, daya intuisi dan kehadiran jiwa. Gabungan dari dua macam aliran pendidikan yang ia dapatkan pada masa kanak-kanak dan masa remaja itulah yang berpengaruh kepada wawasannya mengenai dinamika budaya bangsa, emansipasi individu, kedaulatan rakyat, hak asasi manusia, pembelaan kepada daya hidup dan daya kreatif manusia sebagai individu dan sebagai masyarakat, dan juga kepekaannya kepada masalah-masalah pendidikan dan keadaan sosial. Hal itu pula yang menyebabkan ia menjadi kontrofersi bagi politisi-politisi dan budayawan-budayawan yang tidak kreatif. Rendra menamatkan SMA-nya pada tahun 1955. Di masa kanakkanak sebenarnya ia bercita-cita untuk memasuki Akademi Militer tetapi cita-cita itu gagal karena ilmu hitung dan ilmu pastinya buruk. Setelah tamat SMA ia masuk Universitas Gajah Mada belajar sastra barat di Fakultas Sastra dan Kebudayaan. Tahun 1964, sebagai penyair, ia berangkat ke Amerika untuk memenuhi undangan Pof. Dr. Henry Kissinger untuk mengikuti seminar Humaniora di Harvard University. Disusul kemudian menjadi tamu US State Departement untuk berkeliling Amerika Serikat. Diakibatkan situasi politik ia tidak dapat kembali ketanah air, kebetulan ia mendapat kehormatan sebagai tamu dari The Roclefeller Foundation lalu kemudian dilanjutkan menjadi tamu JDR IIIrd Foundation. Ia mengisi waktunya dengan belajar drama di American Akademy Of Dramatic Arts, di New
2
WS. Rendra, Penyair Dan Kritik Sosial, Kepel Press, Yogyakarta, 2001, hlm. 161
48
york. Meskipun jauh sebelum ia berangkat ke Amerika serikat ia sudah lebih dulu membuat eksperimen-eksperimen dalam seni drama bersama grupnya ”Lingkaran Drama Yogyakarta” yang ia dirikan pada tahun 1962. Namun begitu di bidang Humaniora ia mendapat banyak pelajaran di Amerika Serikat, khususnya dari kampus New York University dimana ia mengikuti kuliah-kuliah sosiologi dan antropologi. Pengalaman-pengalaman ilmiah selama di Amerika serikat sangat mempengaruhi keseniannya, sebagaimana seniman ia lebih terlibat terhadap masalah-masalah sosial-politik-budaya. Itulah periode ia bergulat mencari bentuk seni yang tepat untuk tema-tema sosial politik dari inspirasinya. Ia tidak bisa menerima kredo-kredo sosial realisme yang banyak dianut seniman pada waktu itu. Akhirnya ia menemukan rumusan estetik untuk sajak-sajaknya yang bertemakan sosial politik sebagai berikut: metafora yang dipakai bersifat grafik dan plastik. dan dalam bentuk semacam itu ternyata ia bisa menciptakan sajak-sajak yang enak di baca di muka umum. 3 Masa remajanya WS. Rendra mengaku penah mengalami kondisi kejiwaan tanpa agama. Ia mengaku hanya berketuhanan dan merasa tidak puas dengan agama yang ada, juga dengan agama yang dianutnya saat itu (Katholik). Pada tahun 70-an ia mengaku sempat tertular animisme jiwa karena peseona kekuatan jagat alam. Namun ditengah kegalauan jiwa itu, muncul dalam pikirannya bahwa manusia tidak cukup hanya berketuhanan saja. Dalam pandangan Rendra, agama memberikan liturgi, kitab suci, kesempatan berjamaah, serta segala sesuatu pasti akan kembali kepadaNya, sambil menunjukkan jari ke atas. Pada masa selanjutnya Rendra mulai mempelajari agama-agama lain, seperti Hindu, Budha, Taoisme dan sebagainya termasuk agama Islam. Dia juga banyak membaca Al-qur’an. Dari perbandingan ini, Rendra menemukan tidak ada yang seindah ayat-ayat Alqur’an. Membaca
3
Ken Zuraida, op.cit,hlm.1
49
Alqur’an melukiskan ke-Esaan Tuhan yang sungguh indah. Meski begitu, ia belum mempunyai keinginan masuk Islam. Stereotip masyarakat Islam yang suka bertikai, gampang tersinggung , dan prilaku buruk lainnya, menjauhkan pikiran Rendra untuk masuk Islam. Akhirnya ia memutuskan Alqur’an hanya menjadi bacaan saja. Pada tahun 1979, suatu hari ia di ajak kawan-kawannya ke parangtritis untuk melihat matahari terbenam. Saat asyik menyaksikan tebenamnya matahari, sambil duduk bersila, tiba-tiba seluruh tubunhnya merinding dan bergetar hebat. Tetapi justru ia merasakan nikmat luar biasa, dan tidak dapat mengungkapkannya dengan kata-kata. Pada puncak kenikmatan itu tanpa sadar ia mengucapkan kalimat syahadat dengan lantangnya, setelah itu jiwanya merasa tenang dan damai, tubuhnya menjadi berhenti bergetar, namun konflik batin masih menghantuinya pikirannya. Ia berbicara dengan hatinya sendiri,”kan saya sudah mengislamkan diri, selanjutnya ia terus mencari dan terus mengalami pergolakan batin untuk menemukan Islam yang sebenarnya, menurut akal dan wahyu, karena ia masih bingung dengan Islam dan segala ragam aliran di dalamnya.4 Alasan lain mengapa Rendra lebih memilih masuk Islam, dalam sebuah wawancara dengan penulis, Rendra menyatakan bahwa tempat tinggalnya dari kecil selalu dekat dengan Masjid dan ia tertarik dengan segala aktifitasnya, dan merasa ingin mengikutinya. Ia tertarik dengan suara azan, orang mengaji, pujian-pujian, sampai bacaan shalawat barjaji yang sempat menjadi inspirasi untuk kumpulan karyanya, yaitu Qasidah barzanji yang pernah dipentaskannya pada tahun 70-an.5 Demikian
riwayat
hidup
WS.
Rendra
dengan
perjalanan
spiritualnya yang begitu mengagumkan dan berliku-liku, dan inilah yang menjadi sumber inspirasinya dalam karya-karyanya. 4
“Pengembaraan Spiritual WS. Rendra”, Harian Republika, Jum’at, 2 Mei 2003
5
Wawancara dengan WS. Rendra, Depok Jakarta 15 Oktober 2003
50
2. Karya-Karya WS. Rendra Sebagai penyair ia telah melahirkan sajak-sajak sebagai berikut: 1. “Balada Orang-orang Tercinta”, 1957 2. “Rendra : Empat Kumpulan Sajak”, 1961 3. “Blues untuk Bonnie”,1971 4. “Sajak-sajak Sepatu Tua”., 1972 5. “Potret Pembangunan dalam Puisi”, 1980 6. “Nyanyian Orang Urakan”, 1985 7. “Nine Poems”, 1988 8. “Orang-orang Rangkasbitung”, 1990 9. “Penabur Benih”, 1992 10. “Disebabkan oleh Angin” 1993 11. “Mencari Bapa”, 1996 12. “Perjalanan Bu Aminah”, 1996 13. “Ten Poems”, 1997 Ia juga telah menulis berbagai naskah Drama, diantaranya yang sangat terkenal ialah: 1. “Orang-orang di Tikungan Jalan” 2. “Mastodon dan Burung Kondor” 3. “Kisah Perjuangan Suku Naga” 4. “SEKDA” 5. “Panembahan Reso” Selain itu ia juga menerjemahkan trilogi karya Shopocles “Oidipus Rex”, “Oidipus di Kolonus” dan “Antigone” serta dua buah tragedi karya W. Shakespeare, yaitu: “Hamlet” dan “Macbeth”. Dalam seni drama ia dipengaruhi oleh bentuk teater rakyat dan teater tradisional Jawa dan Bali. Namun begitu ia tidak mengkopi bentukbentuk tradisional itu, melainkan melewati metabolisme dari daya kreatifnya ia melakukan perombakan atau pengembangan yang dituntut
51
oleh kesadaran pikirannya yang modern. Metode latihan seni teater yang ia ciptakan sebagai penerusan dari trasdisi kejawen dan yoga India, telah dianut dan dijalankan oleh hampir semua group teater kontemporer di Indonesia. dan juga mendapat sambutan yang hangat dari kalangan seniman teater di Australia, jepang dan Malaysia waktu ia mengadakan workshop di negara-negara tersebut. Di workshopnya yang terletak di desa Cipayung jaya, Kecamatan Pancoran Mas, Depok, Banyak pendatang dari Jerman, Jepang, Kolombia, Inggris, Korea, Vietnam, Belanda, Australia, Amerika serikat, Cheko, Malaysia, dan Swiss yang bergabung di dalamnya untuk beberapa waktu. Sebagai penyair ia juga telah banyak melakukan pembacaan sajak tunggal di Yogyakarta, Bandung, Jakarta, Semarang, Surabaya, Jember, Malang, Banyuwangi, Pangkalpinang, Tembilahan, Bandarlampung, Tasikmalaya, Pontianak, Sukabumi, Medan, Tegal, Ujungpandang, Manado, Rotterdam, Leiden, Den Haag, Aachen, Berlin, Koln, Frankfurt, Luneberg, Bremen, Hanburg, Sydney, Canberra, Amellbourne, Adelaide, Perth, New Delhi, Bhopal, Trivandrum, Kuala Lumpur, Kota Kinabalu, Kuala Terengganu, Kota Bharu, Malacca, Bandar Seri Begawan, New York, Tokyo, Kyoto, Hiroshima, Leuven, Brussel, StocKholm, Paris, juga Praha. Di samping itu juga ia telah menulis banyak naskah sandiwara saduran di antaranya: 1. “Kereta Kencana”,1962 2. “Eksperimen Paraguay” 1963 3. “Pangeran Honburg”, 1968 4. “Menunggu Godot”, 1969 5. “Lingkaran Kapur Putih”, 1976 6. “Lysisastra”, 1974 7. “Perampok”,1976 8. “Buku Harian Seorang Penipu”, 1989 dan puluhan naskah barat klasik maupun kontemporer lainnya.
52
Sebagai dramawan ia pernah diundang untuk mementaskan karyanya ”Selamat Anak Cucu Sulaiman” di New York dalam The Firs New York Festifal of Asean Arts, pada tahun 1988, serta pada tahun 1991 di tokyo untuk pembukaan ASEAN Culture Center, serta di Hiroshima Jepang. Rendra turut memeriahkan “’98 Kwachon Int’I Open Air Festival” di Kwachon, Korea selatan dengan reportoar yang sama. Diundang pula “Indonesian Art Summit 1998” dengan reportoar “Kisah Perjuangan Suku Naga”. Berbagai Hadiah yang pernah diterima Rendra, antara lain : 1. Hadiah Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional untuk kumpulan Sajaknya ”Balada Orang-orang Tercinta”, 1957 2. Anugrah seni dari menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia atas eksperimen teaternya, 1969 3. Hadiah Akademi Jakarta, untuk karya-karyanya selama kurun 19701975 4. Penghargaan Adam Malik, dalam bidang kesenian, 1989 5. Wertheim Award untuk perjuangan hak-hak asasi manusia dalam karya-karyanya, 1991 6. Anugrah Hendar Fahmi Ananda, dari Senat mahasiswa Unuversitas Mataram, untuk perjuangan hak-hak asasi manusia dan demokrasi, 1991 7. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia, sebagai sasterawan terbaik, 1997 8. The SEA write Award dari putra Mahkota Thailand, untuk kumpulan sajaknya “Orang-orang dari Rangkasbitung”, 1997 9. Medali Jos Kad Tyl, dari Duta Besar Czech untuk Indonesia untuk perannya mempererat kebudayaan Indonesia dan Cheko. 10. The Habibie Award, dalam bidang filsafat, seni dan agama, 2000. Serta banyak penghargaan lainnya baik dalam maupun luar negeri. Naskah sandiwara karyanya “Mastodon Burung-burung Kondor” dan “Kisah Perjuangan Suku Naga” sudah diterjemahkan dan diterbitkan
53
dalam Bahasa Inggris di India dan Australia. Sedangkan kumpulan sajaksajaknya “Ballada Orang-orang Tercinta”, “Blues untuk Bonnie” dan “Potert Pembangunan dalam Puisi” diterjemahkan dan diterbitkan dalam bahasa Inggris, Jerman dan Belanda. Antologi salak-sajak pilihan karyanya sudah pula diterjemahkan dan diterbitkan di Belanda, Jerman, Jepang, Rusia, Swedia, Malaysia, dan India. Sementara sajak-sajaknya yang tercecer diterjemahkan dan diterbitkan dalam berbagai majalah kebudayaan di Perancis, Italia, Korea, Africans, Bulgaria, Hongaria, Czech, Swedia, Jepang, dan India.6 Buku (Esay) yang pernah ditulisnya: 1. “Persiapan Seorang Aktor” 2. “Mempertimbangkan Tradisi” 3. “Seni Drama untuk Remaja” 4. “Memberi Makna pada Hidup yang Fana” 5. “Megatruh” 6. “Megatruh Kambuh” 7. “Agenda Reformasi seorang Penyair” 8. “Rakyat belum Merdeka” 9. “Maskumambang” 10. “Penyair dan Kritik Sosial” 11. “Rendra dan Teater Modern Indonesia”
Buku-bukunya yang sudah diterjemahkan kedalam bahasa asing : 1. “Rendra: Ballads and Blues” terbitan Oxford University Press, 1974 diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Burton Raffel, Harry Aveling dan Derwent May 2. “Pamfletten van een dichter” disunting Thomas dan Eras, 1979 diterjemahkan ke dalam bahasa belanda oleh AA. Teeuw 3. “State of Emergency” terbitan Wild and Wolley, 1980 diterjemahkan
6
Ibid, hlm.2-4
54
ke dalam bahasa Inggris oleh Harry Aveling 4. “RENDRA” terbitan Daido Life Foundation diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang oleh Tetsuro Indoh 5. “Weltiche Gesange und Pamphlete” terbitan Horlemann, 1991 diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman oleh Beate dan Rainer 6. ”Ijzeren Wereled” terbitan De Geus, 1991 diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda oleh Kees Snoek 7. “Puisi-puisi Rendra” terbitan Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia, 1992 diterjemahkan ke dalam bahasa Malaysia oleh Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia 8. “Naga Zoku-no Takai-no Monogatari” terbitan Mekon Publication, 1998 diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang oleh Dr Y Murai 9. “WS RENDRA” diterjemahkan dan diterbitkan ke dalam bahasa Rusia oleh Maria A Boldyreva, 1995. 7
Festival yang pernah diikutinya: 1971 - The Rotterdam International Poetry Festival, Rotterdam 1979 - The Rotterdam Poetry Festival, Rotterdam 1981 - The Amsterdam Third World Poetry Festival, Amsterdam 1985 - The Valmiki International Poetry Festival, New Delhi - Berliner Horlizonte Festival, Berlin 1986 - The First New York Festival Of The Arts - Carnivale Festival, Sydney - Spoleto Festival, Melboudne 1989 - Vagarth World Poetry Festival, Bhopal 1991 - Festival Indonesia, Amsterdam 1992 - World Poetry Festival, Kuala Lumpur - Singapore Poetry Festival, Singapore 1993 - Interlit 3, Erlangen and Berlin
7
Ken Zuraida, Biodata Rendra 2003, Dokumen pribadi, hlm. 1-2
55
1994 - Adelaide International Festival, Adelaide - Tokyo International Festival, Tokyo 1995 - Istiqlal International Festival, Jakarta - Winternacht Festival, Den Haag 1997 - Winternacht Festival, Den Haag 1998 - Poetry Africa, Durban - Indonesia Art Summit, Jakarta - Kwachon International Open Air Festival, Kwachon 1999 - Winternachten Festival, Den Haag - Indonesian Culture Festival, Koln - Poetry On The Road, Bremen - Berlin Poetry International, Berlin - Dresden Literaturtage, Dresden 2001 - Literatur Werkstatt Festival, Berlin 2003 - Dunia punya Festival, Rotterdam - Borobudur Agitatif, Magelang - Surabaya Festifal, Surabaya - Images of Asia, Denmark Karya yang sudah kemas dalam Cassette, CD And Video CD : 1 “Ballada Orang-orang Tercinta” - Naviri Record, 1977 2 “Sajak-sajak Cinta” - Granada Record, 1979 3 “2R”,ABC Recorc, 1983 4 “Rendra”, Blackboard, 1997 5 “Sajak-sajak Cinta Rendra”, Lies Hadi & Shandy Production, 1998.8 Masih banyak dokumentasi pementasan teater yang disutradarai Rendra tetapi belum dipublikasikan. B. Puisi-puisi WS. Rendra Kumpulan sajak-sajak Rendra yang diterbitkan, merupakan jawaban 8
Ibid, hlm.5-6
56
pada lengkingan jerit kesakitan, teriakan minta tolong, kesaksian demi keselamatan kehidupan dan pemberontakan terhadap apa yang mengancam kepenuhan kehidupan itu. demikian sebenarnya dapat ditandai nada-dasar sajak-sajak dan drama karya Rendra. Penemuan diri Rendra tidak pernah terlepas dari keterkaitannya dengan masyarakatnya, kaitan dunia kosmos, dan yang senantiasa menjiwai sajak-sajak penyair ini sejak semula. Rendra senantiasa telah menggarapnya dengan sentuhan pribadi, memberinya isi, dan ekpresi baru, pada lambanglambang lama dia menyandangkan dimensi-dimensi baru. Untuk itu, penghayatan eksistensi diri, kehidupan masyarakat dan alam, kosmos dan Tuhan senantiasa merupakan suatu kesatuan. Orang dapat membeda-bedakan aspek-aspek
penghayatan
kenyataan
melalui
puisi-puisinya,
namun
pengisolasian dan pemutlakan, baik segi pribadi, kemasyarakatan maupun segi kosmis-rellijius dari puisinya, tidak dapat dikenakan pada penyair ini. Dalam sebuah esainya, ia membicarakan kehidupan, khususnya masa muda Sultan pertama yokyakarta, Mangkubumi, atau Hamungkubuono I, Pengembaraan Raden Mas Sujono ke tepi pantai, hutan-hutan dan gunung-gunung ini bersifat religius, merupakan ritual untuk berkomunikasi dengan Tuhan, kang murbeng jagat, penguasa alam semesta, pendekata diri kepada dewa-dewa dan mahlukmahluk lain di dunia. lewat pengembaraan ini dia dapat menghayati pergaulan dengan pohon-pohon, tetumbuhan, binatang-binatang, embun, hewan dan segala ciptaan yang tergelar di bumi ini. Hanya dalam solidaritas dengan lingkungan alam, budaya dan kosmos, manusia dapat merasa dekat dengan Tuhan, dan akhirnya mencapai cita-cita ”Manuggaling kawulo Gusti”. Kesatuan antara yang disembah dan yang menyembah. Juga ”Masmur Mawar” Rendra yang diilhami agama Katholik dijelujuri mistik solidaritas ini. Singkretisme jawa juga menyertai lambanglambang Kristiani dalam puisinya. Penghayatan liris eksistensi pribadi, terutama lewat erotik, keteribatan sosial serta kaitan kosmis dalam kehidupan dan karya Rendra sepanjang
57 tahun-tahun ini, semakin teranyam menjadi satu, mendalam dan mesra.9 Dalam karya Bengkel Teaternya, Rendra selalu menekankan pentingnya integrasi (kesatuan) antara kreatifitas pribadi, keterlibatan dengan masyarakat dan religiusitas yang kosmis-mistik. Pada tahun 1975, dalam latihan-latihan drama kisah Perjuangan Suku Naga,
sebuah drama yang
penuh kritik tajam dan sengit terhadap kebijaksanaan pembangunan nasional Indonesia, namun juga diarahkan pada gaya hidup pemimpin-pemimpin rakyat. Repetisi-repetisi demikian itu selalu di dahului oleh latihan-latihan mistik yoga, dibawah pimpinan Rendra sendiri, yang diikuti oleh seluruh rombongan : meditasi, konsentrasi, yang dilakukan lewat praktek-praktek yoga, didasari gerak badan Zen-Budis dan Jawa tradisional, namun di sini diolah lagi menurut cara individual. 10 Rendra telah berpamit dengan kata-kata sastra yang indah, demi keindahan kata itu sendiri seperti yang setelah sekian lama mendominasi puisi Indonesia. Dia tidak menulis untuk dibaca tetapi untuk di dengar, dia tidak menghilangkan teka-teki tetapi untuk dimengerti. Rendra sangat memahami bahwa dia tidak dapat mengungkap kehampaan dan arti ganda kata-kata resmi Indonesia yang formulais-ritual itu, kecuali dengan “membiarkannya bicara sendiri” yaitu dengan cara memasukkannya ke dalam konteks puisinya, ke dalam dunia pengertian (atau konsep) profetisnya dan di dalam retoriklyrisnya. Dengan demikian di antara sajak-sajak ini sepintas-kilas memang nampak hampir antipuitis. Sajak-sajak itu terbaca “seperti koran,” tetapi efek ini sengaja dipilih, sehingga suara Rendra yang benar-benar lyris, yang terantam disela-selanya, semakin memperkuat imajinasi visioner atau gugatan profetisnya. 11 Untuk memudahkan pengidentifikasian karya dan agar memudahkan apresiasi puisi, berikut ini adalah pengelompokan kumpulan sajak-sajak Rendra, sebagaimana data dan analisa yang dikumpulkan oleh penulis, setelah 9
Rendra, Potret Pembangunan dalam Puisi, Pustaka Jaya, Jakarta, 1993 hlm. 7-10
10
Ibid, hlm. 15
11
Ibid, hlm. 22
58
melakukan penelitian dan pengumpulan data yang mendalam. Penggolongan ini dilakukan dengan mencari puisi-puisi yang mempunyai nilai religius yang cukup tinggi, dan mengambil satu dari puisi tersebut, yang cukup mewakili dari keseluruhan puisi-puisi Rendra: 1. Sajak-sajak Alam, Kehidupan dan Percintaan a. Sajak Alam Rendra pernah menulis sajak-sajak yang bertema tentang alam. Sajak-sajak tersebut dapat kita jumpai dalam kumpulan sajak “Empat Kumpulan Sajak”, diantaranya; Kali Hitam, Remang-Remang, Kangen, Ibunda, dan sebagainya. Di antara sajak-sajak tersebut, sajak “Ibunda” dipilih sebagai sajak yang paling religius dalam mengungkapkan kecintaan penyair terhadap alam: IBUNDA Engkau adalah bumi, mama Aku adalah angin yang kembara Engkau adalah kesuburan Atau restu atau kerbau bantaian
Kuciumi wajahmu wangi kopi Dan juga kuinjaki sambil pergi Kerna wajah bunda adalah bumi, Cinta dan korban tak bisa dibagi. 12 Cinta bukan hanya terhadap kekasih, melainkan dalam kehidupan harus disertai pula. Sebab tanpa itu semua akan sia-sialah hidup ini. Betapa manis, betapa indah, dan mempesona dilukiskan penyair dengan “kerna wajah bunda adalah bumi”, yang tiada lain adalah tanah air. Cinta terhadap tanah air tak dapat dibagi, berpaling
12
Rendra, Empat Kumpulan Sajak, Dunia Pustaka Jaya, Jakarta, cet. 6, 1990, hlm. 69
59 daripadanya berarti penghianatan.13 b. Sajak Kehidupan Kebanyakan sajak Rendra adalah segala sesuatu yang sekarang, atau mungkin kapan saja yang sedang terjadi dengan intensitas yang sangat tinggi di negeri ini. Pendeknya sajak Rendra banyak memuat tentang masalah kehidupan. Sapardi Djoko Damono memilih sajak “Orang Biasa” sebagai sajak kehidupan yang paling mempunyai nilai tinggi diantara sajak kehidupan Rendra lainnya. Dalam sajak ini digambarkan seorang lelaki yang memilih pekerjaan sebagai guru. Karena hanya sebagai gurulah ia merasa menjadi orang yang berarti. ... Jangan disangka aku tidak pernah mencoba Pengalaman lainnya. Menjadi tentara. Agen koran. Penagih rekening. Mengurus restoran. Tetapi aku hanya mengalami kelengkapan diriku. Apabila menjadi guru. Semangatku bergelora, gairah hidupku menyala, Dalam suka maupun duka, apabila aku menjadi guru.14 Duda tua dalam sajak ini menganggap dirinya sebagai orang saja, namun sebenarnya ia menyaksikan konflik yang sedang terjadi di sekelilingnya, yang mau tak mau terjadi juga di keluarganya. Berkat kegigihan mendidik anak-anaknya, dua orang di antaranya menjadi orang yang “tidak biasa” dalam masyarakat, seorang menjadi jendral, seorang lagi menjadi istri bankir Jepang dan tinggal di Osaka. Kedua anaknya itu ternyata sama sekali tidak bisa memahami hakikat hidup ayahnya. Mereka bilang, “Ayah kurang ambisi. / kalau ayah mau / 13 Utjen Djusen R. Dkk, Memahami sajak-sajak WS. Rendra, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa DEPDIKBUD, Jakarta, 1978, hlm. 29 14
WS. Rendra, Orang-orang Rangkasbitung, Perum Senosewu, Yogyakarta, 1993, hlm. 15
60
bisa lebih menjadi seorang.” Hanya anaknya yang bungsulah, yang kebetulan juga menjadi guru dan menjabat sebagai pembantu rektor di Universitas Gajah Mada, yang bisa memahami sikapnya. Dalam keluarga mantan guru itu ternyata telah terjadi peristiwa penting, yakni pergeseran nilai-nilai dan norma-norma kehidupan yang bersumber pada kemajuan pendidikan. Karena pendidikan, anak-anak pak guru telah mengalami perubahan hidup dan sikap, yang dalam pandangan pak guru merupakan suatu hal yang tidak bisa dipahaminya. Sementara menurut pandangan anak-anaknya, justru sebaliknya.15 c. Sajak Cinta: Sajak-sajak cinta Rendra banyak kita jumpai dalam kumpulan sajak “Empat Kumpulan Sajak” dalam kumpulan itu banyak membicarakan tentang kisah cinta sang penyair sendiri sampai ia menemukan jodohnya. Betapa lembut dan manisnya penyair melukiskan tentang perkawinannya, seperti dalam sajak “Kakwin Kawin”,sebagai berikut : .... maka hujanpun turun. Karena hujan adalah rahmat Dan rahmat adalah bagi pengantin Angin jantan yang deras Menggosoki sekujur badan bumi Menyapu segala nasib yang malang. Pohon-pohon membungkuk Segala membungkuk bagi rahmat. Dan rahmat hari ini Adalah bagi pengantin.
15
Sapardi Djoko Damono, Sihir Rendra, Dewan Kesenian Jakarta, 1997, hlm. 3
61
Penyair dalam sajak ini tidak begitu banyak menggunakan kata-kata yang sulit, tetapi semuanya dibangun oleh kesederhanaan yang mengesankan. Perumpamaan-perumpamaannya tidak mulukmuluk, tetapi lembut dan mempesona. Kisah percntaannya yang penuh dengan suka dan duka, sedih dan gembira, cemburu, menggairahkan dan sebagainya, diumpamakan sebagai angin jantan yang deras / menggosoki sekujur badan bumi / menyapu segala nasib yang malang. Nasib yang malang telah dilaluinya, nasib yang penuh dengan segala perjuangan bercinta telah dilaluinya. Kini semuanya telah menemukan pelabuhan segala duka dan lara.16 2. Sajak-sajak Perjuangan dan Pemberontakan a. Sajak Perjuangan; Rendra telah banyak menulis sajak-sajak perjuangan, sajaksajak itu terdapat hampir dalam seluruh kumpulan karyanya. Baik dalam kumpulan Sajak-sajak Sepatu Tua, Ballada Orang-orang Tercinta, Empat Kumpulan Sajak dan dalam kumpulan karya lainnya. Perjuangan menurut Rendra adalah perjuangan mempertahankan hidup dari segala aspek kehidupan. Dari kekerasan, penindasan, fitnah, politik kotor, dan sebagainya. Kekerasan memperjuangkan hidup lebih nyata dalam sajaknya “lelaki-lelaki yang lewat” yang dapat kita jumpai dalam kumpulan sajak “Empat Kumpulan Sajak”(EKS: 69) ..... Dini hari yang segar Dengan buahan di pepohonan. Lelaki yang payah telah butuhkan rumah. Mereka telah lewat dengan nyanyinya. Lelaki-lelaki menjual umur dengan berani. Mereka menyanyi dan selalu menyayi. 16
Utjen Djusen R. Dkk, Memahami sajak....Op. cit, hlm. 24
62
Ah, ya, tentu dengan kenangan yang indah. ....... Setiap laki-laki tentu akan bertanggung jawab untuk bekerja keras, tak perduli dengan usianya lagi, mereka telah menjual umur dengan berani.17 b. Sajak Pemberontakan Pemberontakan merupakan tema paling dominan dari karya Rendra, tema-tema tersebut paling banyak mendominasi setiap karyanya khususnya dalam kumpulan sajak “Ballada Orang-Orang Tercinta”.
Pemberontakan
bagi
Rendra
bukan
pemberontakan
memperjuangkan kekuasaan pemerintahan atau lembaga lainnya. Melainkan mereka yang selalu memberontak terhadap keterbatasan keadaan dirinya.18 Dalam sajak “Ballada Lelaki Tanah Kapur” (BOT : 10), para lelaki dihadapkan pada para penyamun berkuda. Dimuka tegak para penyamun, sedangkan di belakang pintu rumah terkunci siap menolak mereka yang mundur tidak mau berlaga. Dalam keadaan seperti ini menjadi lelaki bersedia menumpahkan darah. Justru dalam berhadapan dengan maut inilah sifat-sifat terdalam seseorang akan muncul. Di sini kita diperkenalkan dengan lurah Kudo Seto yang pulang kerumahnya membawa belati kepala penyamun untuk anaknya. Di rumah, istri, keluarga, dan para tetangga menyambutnya sebagai pahlawan. Para lelaki telah keluar jalanan Demikian kilatan-kilatan ujung baja Dan kuda-kuda para penyamun Telah tampak di perbukitan kuning Bahasa kini adalah darah. ......... Tema-tema serupa ini tampak pula dalam sajak-sajak lainnya 17
Ibid, hlm. 36
18
Rendra, Potret Pembangunan.....Op. cit, hlm. 27
63
walaupun dalam situasi yang berbeda, seperti dalam “Tahanan” (BOT : 20), “Gerilya” (BOT : 18) dan sajak pemberontakan lainnya.19 3. Sajak-sajak Ketuhanan dan Kemasyarakatan (Sosial) a. Sajak Ketuhanan Manusia sering lupa akan dosanya ketika berbuat dan baru ingat setelah berbuat. Kadang-kadang lupa sama sekali. Barangkali lupa pula atau tak disadari apa itu dosa. Segala yang diperbuatnya hanya kepuasan dan kesenangan pribadinya masing-masing. Tak ada yang dipikirkannya lagi waktu ia berbuat yang menurut dirinya menyenangkan, menggembirakan, membahagiakan, dan segala apa yang berwarna kesenangan. Jauh, terhadap Tuhan. Lebih baik mereguk segala apa yang menurut dirinya demi kepuasan hidup. Akan tetapi ketika dirinya digelimangi, dibayangi rasa takut, yang mungkin setelah dirinya sadar, maka timbullah keinginan untuk bertaubat (meskipun banyak yang tak mau bertobat sama sekali!). Sajak “Tobat” telah dipilih menjadi sajak ke-Tuhanan Rendra yang paling religius di antara sajak ke-Tuhanan lainnya: ........ Aku tobat, ya Tuhanku Tobat atas segala dosaku. Burung-burung kecil di belukar Batang pimping menggeliat. Mulut-Mu di hutan Di injak kaki petani Aku tobat, ya Tuhanku Telah kuinjak mulut-Mu Dan juga jantung-Mu.20
19
Utjen Djusen R. Dkk, Memahami sajak....Op. cit, hlm. 10
20
Ibid, hlm. 65
64
Seorang yang baik adalah orang yang mengetahui dosadosanya dan segera bertaubat, minta pengampunan Tuhan dan merubah hidupnya menjadi lebih baik. “Telah kuinjak mulut-Mu / dan jantung-Mu” berarti seseorang tersebut merasa kalau dirinya telah menyalahi hukum Tuhan dan sadar kalau dirinya telah salah dan akhirnya mau bertaubat. b. Sajak Sosial Banyak
sajak-sajak
Rendra
kemasyarakatan, seperti sajak
yang
bertema
sosial
atau
“Dengan Kasih Sayang” yang
menuntun manusia untuk saling menyayangi antara satu sama lannya, kemudian sajak “Ho Liang” yang menceritakan tentang seorang yang kehilangan sahabatnya, Dan sajak-sajak lainnya. Rendra merupakan penyair yang peka dengan keadan masyarakat (sosial), belas kasihnya sangat tampak dalam sajak “Hari Hujan”, yang ditujukan kepada tukang becak dan orang-orang yang tidak dapat bekerja karena hujan, seperti dalam sajak berikut :
Hujan datang tercurah hujan uang satu perak menggigil pulang abang becak ditendang pintu rumah
tumpah marah pada istri.
......... hujan datang tercurah hujan diteras toko anjing angkat satu kaki bertambah lagi air bumi. (sehembus nafas kurang kerja).21
Demikian pengelompokan sajak-sajak Rendra, menurut tematema yang ada dan sengaja dipilih sajak yang paling religius diantara sajak-sajak yang mempunyai tema-tema yang sama, karena menurut
21
Ibid, hlm. 41
65
penulis karya-karya Rendra adalah berkisar pada tema-tema tersebut. C. Religiusitas WS. Rendra dalam Puisi-puisinya Penulis telah menguraikan pada bab sebelumnya mengenai pengertian “religiusitas”, bahwa arti religius, adalah keterikatan manusia terhadap Tuhan sebagai sumber ketentraman dan kebahagiaan atau dalam pengertian lain berarti : memeriksa lagi, menimbang-nimbang, merenungkan keberatan hati nurani. Religiusitas lebih melihat aspek “di dalam lubuk hati”, ( hati nurani pribadi), sikap personalnya sedikit banyak merupakan misteri bagi orang lain, karena menapaskan intimitas jiwa, “ducoeur” dalam arti menurut Pascal, yakni cita rasa yang mencakup totalitas (termasuk rasio dan rasa manusiawi) kedalam si pribadi manusia. Dan karena itu, pada dasarnya religiusitas, mengatasi atau lebih
dalam dari agama yang tampak, formal, resmi.
Religiusitas lebih bergerak dalam tata paguyuban (gemeinschaft) yang cirinya lebih intim.22 Pengertian religiusitas memperlihatkan adanya hubungan transendental antara manusia (penyair) dengan Tuhan ketika membaca kembali realitas secara estetis, serta bagaimana hasil pembacaan itu difungsikan secara horisontal (dalam hubungan sosial dengan manusia dan lingkungannya) dalam wilayah pemaknaan yang berkenaan dengan moralitas (baik-buruk), politik (adil-tidak-adil), bahkan memposisikan diri pada wilayah religius (benarsalah, halal-haram). Puisi mempunyai kecenderungan dan keterkaitan dengan religiusitas, karena dalam puisi terkandung sebuah pesan oleh penyair kepada pembacanya yang berisi tentang nilai-nilai, baik nilai keindahan (estetika), nilai moral, nilai sosial, nilai agama dan sebagainya yang semua nilai itu merupakan sumber nilai yang universal. Setiap puisi mesti berangkat dari sebuah nilai yang disampaikan lewat tulisan atau dibacakan secara langsung, sehingga pembaca atau pendengar tahu isi atau pesan dari puisi itu dan dapat memberikan
22
Jabrohim, Tahajud Cinta, Emha Ainun Najib, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2003, hlm. 15
66
penilaian atas isi puisi tersebut. WS. Rendra dalam perjalanan kepenyairannya telah menciptakan banyak karya sastra, khususnya puisi yang tidak lepas dari nilai-nilai religius. Hal yang menarik lagi adalah konversi agama (dari Kristen menjadi Islam) yang dilakukan WS.Rendra, jika ditilik dari religiusitas puisinya. Ternyata, tidak banyak terjadi pergeseran puitika yang lain. Berdasarkan penelitian awal yang dilakukan Penulis dalam sejumlah wawancara intensif dengan Rendra dan orang-orang di sekitarnya, ternyata, Rendra lebih ingin mengolah kepekaan emosi dirinya sebagai seorang manusia yang tidak terpetak-petak oleh aspek legal-formal agama, sehingga dapat dipahami mengapa pilihannya jatuh pada puisi dan teater. Berkaitan dengan “religiusitas”, terdapat banyak batasan. Religiusitas dari segi terminologi merupakan kata sifat yang merujuk kepada arti “keberagamaan”, atau tepatnya bagaimana rasa keberagamaan seseorang. Rendra memberikan pengertian “religiusitas” dalam batasan yang sangat luas, yakni tidak sekedar pengertian verbal-memakai simbol-simbol agama melainkan apa saja yang tercakup dalam wilayah agama. Wilayah agama sangat luas sehingga religiusitas juga luas cakupannya. Menurut WS. Rendra “Religiusitas” tidak harus memakai simbol agama. Rendra berpendapat, bahwa syairnya yang bertutur: “kemarin dan esok adalah hari ini/bencana dan keberuntungan sama saja/langit di luar langit di badan bersatu dalam jiwa…” merupakan syair yang religius; atau syair: “aku mendengar suara/jerit makhluk terluka/ada orang memanah rembulan/ada anak
burung
keluar
dari
sarangnya/orang-orang
harus
dibangunkan/kesaksian harus diberikan/agar kehidupan tetap terjaga” merupakan puisi yang sangat religius. 23 Pada kesempatan lain, Rendra memperjelas pengertian “religiusitas”: “Religiusitas adalah tata nilai, norma, pandangan hidup, dan semua tercakup dalam agama. Jadi wilayah religiusitas adalah apa yang ada dalam wilayah
23
Wawancara dengan Rendra, Depok Jakarta 15 Oktober 2003
67
agama itu sendiri. Aspeknya sangat luas.” Melihat uraian definisi tentang religiusitas dapat disimpulkan bahwa : Relegiusitas
adalah,
manusia telah menerima ikatan dari Tuhan sebagai
sumber ketentraman dan kebahagiaan. Maka dengan hati nuraninya ia harus mengetahui nilai-nilai yang universal, untuk itu wajib bagi manusia untuk mengetahui yang baik dan buruk, halal dan haram, adil tak adil dan sebagainya, yang semuannya itu merupakan sumber nilai. Religiusitas harus dibedakan rasa keberagamaan, sebab tidak hanya pemeluk agama saja yang mempunyai religiusitas, karena itu harus dibedakan antara religiusitas kaum agamis dan religiusitas kaum non-agamis. Dalam religiusitas kaum agamis (orang beragama), orang beragama memang banyak yang religius, tetapi dalam kenyataannya ada orang yang beragama karena jaminan material, karir politik, atau yang lain. Dalam hal ini memang sulit dibedakan mana orang yang benar-benar beragama dan mana yang tidak, karena secara kependudukan ia mempunyai KTP (kartu tanda penduduk) yang cukup menjelaskan bahwa seseorang mempunyai agama, namun dalam kenyataannya orang tersebut mungkin tidak menjalankan syari’at agamanya. Kemudian untuk religiusitas non-agamis, banyak orang yang mengacu pada cita rasanya, sikap dan tindakannya sehari-hari lebih dekat dengan kesetiaan hati nuraninya, walaupun secara formal ia tidak beragama. Hal ini banyak dijumpai dalam aliran-aliran kepercayaan, yang ajarannya hanya menyuruh untuk selalu ingat kepada Tuhan Yang Maha Esa. Tanpa ada Nabi dan kitabsuci. Kesimpulannya adalah, banyak orang beragama yang tidak religius dan ada orang yang tidak beragama tetapi lebih religius.24 Untuk melihat Religiusitas puisi-puisi WS. Rendra, sesuai kerangka skripsi di atas, penulis akan mengkaji dengan kajian Psiko-historis, yaitu berdasar pikiran apa yang melatarbelakangi kumpulan puisi tersebut, atau pengaruh apa sehingga sajak itu tercipta. Historisitas sebuah karya sastra, menurut Faruk HT. dalam Beyond Imagination menerangkan bahwa sastra
24
Jabrohim, Tahajud..op.cit, hlm. 17
68
tidak lagi di pahami sebagai subyektifitas seniman yang secara ideal dapat merangkul keseluruhan semesta, melainkan sebagai sebuah fakta historis yang hidup dalam konteks historis tertentu dan yang berhadapan dengan tantangantantangan historis pula.25 Penulis akan menggunakan metode analisis kritis bahwa suatu teks atau pemikiran bukanlah sesuatu yang independen dan dibentuk oleh konteks yang mempengaruhi pemikir atau penulis konteks tersebut secara eksternal seperti tindakan dan kondisi sosial, sejarah, dan unsur internal yaitu kepribadian pemikir. Metode ini berusaha menggabungkan data yang telah terkumpul dalam suatu penjelasan terperinci yang sudah cukup menjelaskan suatu
teori,
sehingga,
sifatnya
tidak
mentah
dan
bukan
sekedar
mengumpulkan, karena peneliti terlibat sepenuhnya dalam pemilahan data disertai argumentasi yang mendukung. Yang dijelaskan secara sintesis dalam tahapan ini adalah religiusitas puisi-puisi WS. Rendra. Untuk itu penulis akan memaparkan beberapa puisi WS. Rendra beserta alasan mengapa puisi tersebut dijadikan sebagai contoh puisi paling religius diantara puisi Rendra lainnya (yang mempunyai tema sama). Kumpulan sajak pertama WS. Rendra yang pertama, berjudul Ballada Orang-orang Tercinta banyak dibimbing dan di pengaruhi oleh tradisi permainan dan imajinasi di dalam tembang dolanan anak jawa. Kemudian kumpulan sajak Kakawin Kawin di bimbing oleh tradisi romantik tembangtembang palaran orang jawa. Sajak-sajak Sepatu Tua dan sajak-sajak lain di tahun itu di bimbing oleh tradisi bahasa Koran. Kumpulan sajak Mamur Mawar dan pementasan Kasidah Barzanji di bimbing oleh tradisi spirirual mitologi Dewa Ruci dari orang-orang jawa. Pementasan Oidipus Rex dibimbing oleh tradisi teater rakyat Bali. Gaya pementasan Macbeth diilhami gaya folklor masyarakat pedesaan di Jawa Tengah. Kebanyakan karyanya di pengaruhi oleh tradisi-tradiai orang jawa, khususnya dari tembang-tembang
25
Faruk H. T., Beyond Imagination (sastra mutakhir dan ideology), Gama Media, Yogyakarta, 2001, hlm. 120
69 dolanan anak Jawa.26 Dalam sajak “Kali Hitam” pada kumpulan sajak Kakawin-kawin, penyair menggambarkan Kali Hitam yang mengalir dengan keluh kesah, yang dengan susah payah menerjang ke sana, ke sini. Hal ini merupakan pelambangan yang dalam, yang akhirnya berakur di dasar dada. Satu perenungan tentang pertemuannya alam dan dirinya;27
KALI HITAM
Kali hitam lewat dengan keluh kesah Kawanan air dari tanah tak bernama. Kali hitam lewat di tanah rendah Kali hitam beralur di dasar dada.
Mengalir ia. Mengalir. Entah dari mana Rahasia pertapa dan nestapa Sunyi yang lahir dari tanya. Betapa menjalar ini lidah yang berbisa !28
Kembalilah kepada diri sendiri, di mana sedang menghadapi atau dalam gelimangan sunyi, maka akan menggelimanglah suatu sendatan yang mungkin penuh oleh bermacam-macam pemikiran atau pertanyaan dalam diri itu. Yang kemudian hanya diri itu sendiri yang akan mendapat jawabannya, yang tiada lain penuh dengan rahasia “pertapa” dan “sunyi” satu perbandingan. Orang bertapa tentu dalam sunyi, dalam suasana sepi. Dalam menjalankan niat hatinya itu tentu mengandung banyak keinginan.
26
WS. Rendra, Mempertimbangkan Tradisi, Gramedia, Jakarta, cet-I 1983, hlm. 5
27
Utjen Djusen R. Dkk, Memaham.......Op. cit, hlm. 27
28
WS. Rendra, Empat……..,op. cit, 1990, hlm.53
70 Di sinilah inti ekpresi sajak itu ditulis oleh seorang penyair.29 Bagaimanapun perjalanan hidup seseorang adalah adalah sebuah proses, dalam proses itu pastilah menemui berbagai kendala atau halangan atau rintangan, susah, senang, gagal, berhasil adalah sebuah akibat dari perjalanan itu.
sebagaimana kali yang mengalir, adalah untuk suatu
tujuan., yaitu kelestarian ekosistem yang ada di alam ini. Semua itu tidak terlepas dari makna religius. Dalam sajak Setelah Pengakuan Dosa, masih pada kumpulan sajak Kakawin kawin adalah suatu perlambangan tentang adanya keremangan, bayangan, kesunyian tanpa hati, yang kemudian mengesan dalam kebimbangan, sadarlah kita bahwa hal itu menafaskan kematian. Maut akan akan selalu datang menjemput kapan saja dan dimana saja. Akan tetapi dalam hal ini penyair pun sadar dengan penuh bahwa “Tuhan adalah bunga-bunga mawar yang merah, Tuhan adalah burung kecil berhati merah seperti dalam sajak “Setelah Pengakuan Dosa”, berikut :
SETELAH PENGAKUAN DOSA
Telah putih tangan-tangan jiwaku berdebu Kau siram air mawar dari lukamu Burung malam lari dari subuh. Kijang yang lumpuh butuh berteduh Di langit tangan-tangan tembaga terulur Memanjang barat timur-bukit kapur. Tuhan adalah bunga-bunga mawar yang ramah. Tuhan adalah burung kecil yang berhati merah.
Syair
“telah putih tangan-tangan jiwaku berdebu”, ini
mengingatkan kita kepada kelapukan, ketuaan. Kemudian diperjelas
29
Utjen Djusen R. Dkk, Memahami sajak-…Op.cit, hlm. 28
71
dengan “kijang yang lumpuh butuh berteduh”. Semua akan berhenti pada akhirnya, yaitu istirahat panjang untuk selamanya, tetapi dengan harapan tulus, karena Tuhan
adalah bunga-bunga yang ramah, Tuhan adalah
burung kecil yang berhati merah”, melambangkan ketulusan. Tuhan akan menerimanya siapa saja yang bertaubat dengan tulus.30 Sajak
“Masmur
Mawar”
dalam
Sajak-sajak
Sepatu
Tua
menceritakan seseorang yang tak mungkin dapat mengingkari kebesaran Tuhan, Maha Pengasih, Maha Pemurah, Mahakuasa, Maha Mengetahui, dan Maha Segalanya. Namun di pihak lain penyair menganggap bahwa Tuhan “adalah teman kita yang akrab, Ia adalah teman kita semua: para musuh polisi, para perampok, pembunuh, penjudi, pelacur, penganggur, dan peminta-minta”, seperti terbaca dalam sajak ini;
MASMUR MAWAR Kita menuliskan nama Tuhan. Kita menuliskan dengan segenap mawar Kita menuliskan Tuhan yang manis, Indah dan penuh kasih sayang. Tuhan adalah serdadu yang tertembak. Tuhan berjalan disepanjang jalan becek Sebagai seorang miskin yang bijaksana Dengan baju compang camping31. Sajak di atas menjelaskan bahwa Tuhan adalah maha bijaksana, tidak pandang miskin kaya, kapan dan di mana saja, atau kepada siapa saja.
Tuhan akan selalu ada dan kuasa-Nya mutlak, ganjaran atas
perbuatan diukur berdasar amal dan perbuatan manusia sendiri. Rendra adalah penyair yang sangat konsisten terhadap tradisi tanah
30
Ibid, hlm. 31-32
31
Ibid, hlm. 58
72
kelahirannya, sehingga banyak karyanya dipengaruhi oleh tradisi orang jawa ”kejawen”. Hal ini dapat dilihat dalam kumpulan sajak Anuning Ning (1988), semua sajak di situ menggambarkan tentang tradisi orang-orang jawa dalam berdoa kepada sang pencipta. Seperti dalam
sajak “Doa
Mengolah Welas Asih” mengajak pembaca untuk mencoba mengolah hati kita agar selalu sabar dan lapang dada, sebagaimana syair berikut: DOA MENGOLAH WELAS ASIH Wahai, citra welas asih yang purba, Inti dari tenaga alam semesta, Inti dari daya hidup, Inti dari daya pertumbuhan, Inti dari daya penyembuhan, Semoga melewati kamu Aku bisa lebih dekat dengan kehendak Tuhanmu; Semoga getaran wibawamu Terpancar dari tempat ini Segenap penjuru alam semesta.32
Selain dalam puisi-puisi bertemakan ketuhanan, puisi pamflet atau puisi sosial religiusitas puisi Rendra juga dapat dilihat dalam puisi pemberontakannya yang banyak kita temui dalam kumpulan sajak “Ballada Orang-orang Tercinta” dan bahkan dalam seluruh karya puisinya. Semisal dalam puisinya yang berjudul “Tahanan”;
TAHANAN Atas ranjang batu Tubuhnya panjang Bukit barisan tanpa bulan
73
Kabut dan liat Dengan mata sepikan terali. Di lorong-lorong Jantung matanya Para pemuda bertangan merah Serdadu-serdadu belanda rebah. Di mulutnya menetes Lewat mimpi Darah di cawan tembikar. Dijelmakan satu senyum Bara diperut gunung. (para pemuda bertangan merah adik lelaki neruskan dendam).33 Puisi tersebut menuturkan kehidupan seorang pemberontak yang akan dieksekusi karena melawan penjajah (Belanda), tetapi walau sampai ia ditembak matipun ia tetap tidak mau mengatakan rahasia yang sebenarnya diketahuinya, karena ia sedang membela tanah airnya yang di jajah. Dalam sajak Rendra “Mencari Bapa” merupakan gambaran perjalanan hidup Rendra dalam mencari sampai menemukan ajaran agama yang menurutnya dapat menjawab semua pertannyaan hidupnya, yaitu agama Islam. Sebagaimana penggalan sajak berikut : Namaku suto Ketika aku lahir Hujan turun dengan lebatnya Di ujung senjakala Sebagai bayi tubuhku terlalu besar 32
Rendra, Anuning ning, Pusat dokumentasi H.B. Jassin, TIM Jakarta, Dokumen pribadi
33
WS. Rendra, Ballada….op. cit, 1993, hlm. 22
74
Aku lahir dengan kaki lebih hulu Ibuku berteriak : “Aaak!”—lalu mati.34 Dari kutipan sajak tersebut kita dapat memberi makna bahwa Suto adalah anak yang lahirnya tidak wajar, dan menurut orang Jawa anak yang lahir demikian nantinya akan membawa sial, selanjutnya sajak tersebut bercerita setelah besar Suto diusir dari rumah karena sangat nakal, dan ia mengembara kemana-mana sampai menemukan sebuah rombongan yang sama-sama mengalami nasib serupa. Rombongan yang di maksud penyair dalam sajak tersebut adalah Bengkel Teater Rendra, yang merupakan rekan kerja Rendra dalam berkarya. Beberapa contoh religiusitas puisi WS. Rendra di atas dapat kita simpulkan bahwa, untuk berbicara tentang religiusitas dalam sebuah puisi, tidak haruslah ketika puisi itu sedang berbicara tentang agama atau Tuhan. Tetapi kita melihat makna yang terkadung dalam puisi tersebut, apakah itu tentang kritik sosial, hukum pemerintah (politik), pemberotakan, tentang alam, dan sebagainya. Tetapi nilai-nilai itu haruslah nilai yang universal, atau sebagai sumber nilai. Jika kita berbicara tentang religiusitas puisi-puisi WS. Rendra, maka jawabannya adalah hampir semua puisi Rendra adalah religius, karena puisi-puisinya banyak berbicara tentang nilai-nilai yang universal, baik nilai ketuhanan, kemanusiaan, ataupun tentang alam. Seperti pengakuan Ken Zuraida dalam sebuah wawancara dengan penulis mengatakan: “Sebagian besar puisi Rendra religius, walaupun ia sedang berbicara tentang pembangunan, percitaan dan sebagainya”.35 Pengakuan tersebut tidak jauh berbeda dengan definisi religiusitas menurut WS. Rendra. Untuk melihat bagaimana religiusitas puisi WS. Rendra lebih jauh akan dianalisis dalam Bab IV. [j]
34
“Rendra Mencari Bapa”, Bonus Majalah Horison, Edisi Desember 1985
35
Wawancara dengan Ken Zuraida, Depok Jakarta 15 Oktober 2003