GUGUR Oleh : W.S. Rendra
Ia merangkak di atas bumi yang dicintainya Tiada kuasa lagi menegak Telah ia lepaskan dengan gemilang pelor terakhir dari bedilnya Ke dada musuh yang merebut kotanya Ia merangkak di atas bumi yang dicintainya Ia sudah tua luka-luka di badannya Bagai harimau tua susah payah maut menjeratnya Matanya bagai saga menatap musuh pergi dari kotanya Sesudah pertempuran yang gemilang itu lima pemuda mengangkatnya di antaranya anaknya Ia menolak dan tetap merangkak menuju kota kesayangannya Ia merangkak di atas bumi yang dicintainya Belum lagi selusin tindak mautpun menghadangnya. Ketika anaknya memegang tangannya ia berkata : ” Yang berasal dari tanah kembali rebah pada tanah. Dan aku pun berasal dari tanah tanah Ambarawa yang kucinta Kita bukanlah anak jadah Kerna kita punya bumi kecintaan. Bumi yang menyusui kita dengan mata airnya. Bumi kita adalah tempat pautan yang sah. Bumi kita adalah kehormatan. Bumi kita adalah jiwa dari jiwa. Ia adalah bumi nenek moyang. Ia adalah bumi waris yang sekarang. Ia adalah bumi waris yang akan datang.” Hari pun berangkat malam Bumi berpeluh dan terbakar Kerna api menyala di kota Ambarawa
Orang tua itu kembali berkata : “Lihatlah, hari telah fajar ! Wahai bumi yang indah, kita akan berpelukan buat selama-lamanya! Nanti sekali waktu seorang cucuku akan menacapkan bajak di bumi tempatku berkubur kemudian akan ditanamnya benih dan tumbuh dengan subur Maka ia pun berkata : -Alangkah gemburnya tanah di sini!” Hari pun lengkap malam ketika ia menutup matanya
GERILYA Oleh : W S Rendra Tubuh biru tatapan mata biru lelaki terguling di jalan Angin tergantung terkecap pahitnya tembakau bendungan keluh dan bencana Tubuh biru tatapan mata biru lelaki terguling di jalan Dengan tujuh lubang pelor diketuk gerbang langit dan menyala mentari muda melepas kesumatnya Gadis berjalan di subuh merah dengan sayur-mayur di punggung melihatnya pertama Ia beri jeritan manis dan duka daun wortel Tubuh biru tatapan mata biru lelaki terguling dijalan Orang-orang kampung mengenalnya anak janda berambut ombak ditimba air bergantang-gantang disiram atas tubuhnya Tubuh biru tatapan mata biru lelaki terguling dijalan Lewat gardu Belanda dengan berani berlindung warna malam sendiri masuk kota ingin ikut ngubur ibunya
Selamat Pagi Indonesia Oleh : Supardi Djoko Damono
selamat pagi, Indonesia, seekor burung mungil mengangguk dan menyanyi kecil buatmu. aku pun sudah selesai, tinggal mengenakan sepatu, dan kemudian pergi untuk mewujudkan setiaku padamu dalam kerja yang sederhana; bibirku tak biasa mengucapkan kata-kata yang sukar dan tanganku terlalu kurus untuk mengacu terkepal. selalu kujumpai kau di wajah anak-anak sekolah, di mata para perempuan yang sabar, di telapak tangan yang membatu para pekerja jalanan; kami telah bersahabat dengan kenyataan untuk diam-diam mencintaimu. pada suatu hari tentu kukerjakan sesuatu agar tak sia-sia kau melahirkanku. seekor ayam jantan menegak, dan menjeritkan salam padamu, kubayangkan sehelai bendera berkibar di sayapnya. aku pun pergi bekerja, menaklukan kejemuan, merubuhkan kesangsian, dan menyusun batu-demi batu ketabahan, benteng kemerdekaanmu pada setiap matahari terbit, o anak jaman yang megah, biarkan aku memandang ke Timur untuk mengenangmu wajah-wajah yang penuh anak-anak sekolah berkilat, para perempuan menyalakan api, dan di telapak tangan para lelaki yang tabah telah hancur kristal-kristal dusta, khianat dan pura-pura. Selamat pagi, Indonesia, seekor burung kecil memberi salam kepada si anak kecil; terasa benar : aku tak lain milikmu
MENATAP MERAH PUTIH Oleh : Supardi Djoko Damono
Menatap merah putih melambai dan menari – nari di angkasa kibarannya telah banyak menelan korban nyawa dan harta benda berkibarnya merah putih yang menjulang tinggi di angkasa selalu teriring senandung lagu Indonesia Raya dan tetesan air mata dulu, ketika masa perjuangan pergerakan kemerdekaan untuk mengibarkan merah putih harus diawali dengan pertumpahan darah pejuang yang tak pernah merasa lelah untuk berteriak : Merdeka! menatap merah putih adalah perlawanan melawan angkara murka membinasakan penindas dari negeri tercinta Indonesia menatap merah putih adalah bergolaknya darah demi membela kebenaran dan azasi manusia menumpas segala penjajahan di atas bumi pertiwi menatap merah putih adalah kebebasan yang musti dijaga dan dibela kibarannya di angkasa raya berkibarlah terus merah putihku dalam kemenangan dan kedamaian
Kembalikan Indonesia Padaku (Taufik Ismail) Hari depan Indonesia adalah dua ratus juta mulut yang menganga, Hari depan Indonesia adalah bola-bola lampu 15 wat, sebagian berwarna putih dan sebagian hitam, yang menyala bergantian, Hari depan Indonesia adalah pertandingan pingpong siang malam dengan bolayang bentuknya seperti telur angsa, Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang tenggelam karena seratus juta penduduknya, Kembalikan Indonesia padaku Hari depan Indonesia adalah satu juta orang main pingpong siang malam dengan bola telur angsa di bawah sinar lampu 15 wat, Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang pelan-pelan tenggelam lantaran berat bebannya kemudian angsa-angsa berenang-renang di atasnya, Hari depan Indonesia adalah dua ratus juta mulut yang menganga, dan di dalam mulut itu ada bola-bola lampu 15 wat, sebagian putih dan sebagian hitam, yang menyala bergantian, Hari depan Indonesia adalah angsa-angsa putih yang berenang-renang sambil main pingpong di atas pulau Jawa yang tenggelam dan membawa seratus juta bola lampu 15 wat ke dasar lautan, Kembalikan Indonesia padaku Hari depan Indonesia adalah pertandingan pingpong siang malam dengan bola yang bentuknya seperti telur angsa, Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang tenggelam karena seratus juta penduduknya, Hari depan Indonesia adalah bola-bola lampu 15 wat, sebagian berwarna putih dan sebagian hitam, yang menyala bergantian, Kembalikan Indonesia padaku Paris, 1971
SEBUAH JAKET BERLUMUR DARAH Oleh : Taufiq Ismail Sebuah jaket berlumur darah Kami semua telah menatapmu Telah berbagi duka yang agung Dalam kepedihan berahun-tahun Sebuah sungai membatasi kita Di bawah terik matahari Jakarta Antara kebebasan dan penindasan Berlapis senjata dan sangkur baja Akan mundurkah kita sekarang Seraya mengucapkan 'Selamat tinggal perjuangan' Berikrar setia kepada tirani Dan mengenakan baju kebesaran sang pelayan? Spanduk kumal itu, ya spanduk itu Kami semua telah menatapmu Dan di atas bangunan-bangunan Menunduk bendera setengah tiang Pesan itu telah sampai kemana-mana Melalui kendaraan yang melintas Abang-abang beca, kuli-kuli pelabuhan teriakan-teriakan di atas bis kota, pawai-pawai perkasa Prosesi jenazah ke pemakaman Mereka berkata Semuanya berkata LANJUTKAN PERJUANGAN
1966
NYANYIAN KEMERDEKAAN Ahmadun Yosi Herfanda Hanya kau yang kupilih, kemerdekaan Di antara pahit-manisnya isi dunia Akankah kau biarkan aku duduk berduka Memandang saudaraku, bunda pertiwiku Dipasung orang asing itu? Mulutnya yang kelu Tak mampu lagi menyebut namamu Berabad-abad aku terlelap Bagai laut kehilangan ombak Atau burung-burung yang semula Bebas di hutannya Digiring ke sangkar-sangkar Yang terkunci pintu-pintunya Tak lagi bebas mengucapkan kicaunya Berikan suaramu, kemerdekaan Darah dan degup jantungmu Hanya kau yang kupilih Di antara pahit-manisnya isi dunia Orang asing itu berabad-abad Memujamu di negerinya Sementara di negeriku Ia berikan belenggu-belenggu Maka bangkitlah Sutomo Bangkitlah Wahidin Sudirohusodo Bangkitlah Ki Hajar Dewantoro Bangkitlah semua dada yang terluka “Bergenggam tanganlah dengan saudaramu Eratkan genggaman itu atas namaku Kekuatanku akan memancar dari genggaman itu.” Suaramu sayup di udara Membangunkanku Dari mimpi siang yang celaka Hanya kau yang kupilih, kemerdekaan Di antara pahit-manisnya isi dunia Berikan degup jantungmu Otot-otot dan derap langkahmu Biar kuterjang pintu-pintu terkunci itu Atau mendobraknya atas namamu Terlalu pengap udara yang tak bertiup Dari rahimmu, kemerdekaan Jantungku hampir tumpas Karena racunnya Hanya kau yang kupilih, kemerdekaan Di antara pahit-manisnya isi dunia! (Matahari yang kita tunggu Akankah bersinar juga Di langit kita?).
WAJAH KITA Hamid Jabbar bila kita selalu berkaca setiap saat dan di setiap tempat maka tergambarlah: alangkah bermacamnya wajah kita yang berderet bagai patung di toko mainan di jalan braga wajah kita adalah wajah bulan yang purnama dan coreng moreng serta gradakan dan bopeng-bopeng wajah kita adalah wajah manusia yang bukan lagi manusia dan terbenam dalam wayang wajah kita adalah wajah rupawan yang bersolek menghias lembaran kitab suci dan kitab undang-undang wajah kita adalah wajah politisi yang mengepalkan tangan bersikutan menebalkan muka meraih kedudukan wajah kita adalah wajah setan yang menari bagai bidadari merayu kita menyatu onani bila kita selalu berkaca dengan kaca yang buram tak sempurna maka tergambarlah: alangkah berperseginya: wajah kita yang berkandang bagai binatang di kota di taman margasatwa wajah kita adalah wajah serigala yang mengaum menerkam mangsanya dengan buas, lahap dan gairahnya wajah kita adalah wajah anjing yang mengejar bangkai dan kotoran di tong sampah dan selokan-selokan wajah kita adalah wajah kuda yang berpacu mengelus bayu mendenguskan napas-napas napsu wajah kita adalah wajah babi yang menyeruduk dalam membuta menyembah tumpukan harta-benda wajah kita adalah wajah buaya yang menatap dalam riangnya dan tertawa dengan sedihnya
bila kita selalu berkaca dengan kaca yang mengkilap dan rata maka tergambarlah: alangkah berseadanya wajah kita yang mendengar segala erang berkerendahan hati dan berkelapangan dada: wajah kita adalah wajah yang kurang tambah serta selebihnya wajah kita adalah wajah yang sujud rebah bagi-Nya jua wajah kita adalah wajah yang bukan wajah hanya fatamorgana 1972
SAJAK SEORANG PRAJURIT Karya Suminto A. Sayuti (seorang prajurit telah meninggalkan pabarisan sebab sebuah keyakinan bersarang di kalbunya: orang tak harus menang palagan ditinggalkan terompet perang tak didengarkan gendawa ditinggalkan busur dipatahkan). ya, akulah seorang prajurit yang lolos dan mencoba lolos dari kurusetra menjadi seonggok sajak yang tersesat di pinggir belantara. yang mencatat aum serigala yang mencatat cericit burung di belukar yang basah oleh embun yang kering oleh matahari yang terjun dalam jeram yang tersesat dalam ruang tata warna. telah kutinggalkan palagan sebab palagan sebenarnya ada dalam badan telah kutanggalkan gendawa sebab gendawa sebenarnya hati tanpa wasangka telah kupatahkan busur sebab busur sebenarnya keberanian tak pernah luntur. akulah prajurit yang telah terpisah dari pabarisan dan menciptakan medan dalam sanubari Pandawa-korawa dalam daging-daging berduri Krisna dalam samadi kemenangan dalam angan-angan panah, kereta, tombak, kuda, darah, strategi, tulang, singgasana, Sejarah... dalam diri akulah prajurit dengan sejuta tombak tertancap yang lolos dari genangan darah, tonggak-tonggak tulang kerikil gigi, ganggang rambut, panji-panji perang. akulah prajurit bersimbah darah yang menyusun jitapsara dengan tinta kehidupan duduk sendiri di pinggir hutan. akulah prajurit pewaris tahta kerajaan yang tersenyum pada langit dan bumi
dengan senandung air mengalir irama ganggang tak kenal akhir akulah prajurit yang diharapkan dapat mematahkan lawan dengan telak dalam satu kali gempuran ya, akulah yang banyak berharap dan diharapkan sehabis usia lunas di sini: perempuan-perempuan desa tak lagi menjadi buruh-buruh industri kota tak lagi membanjiri lokal-lokal prostitusi untuk sekadar mempertahankan hidupnya para petani tak lagi berpikir dan bertanya-tanya besok pagi kita makan apa para penguasa tak lagi berorientasi pada status, jabatan, kursi, kewenangan, dan sejengkal perut dan bakal terlahir atas nama sukmamu seorang pembela kawula yang celaka dan tertindas dari denyut ke denyut, dari waktu ke waktu akulah seorang prajurit yang terluka dan lari dari medan pebarisan tapi, luka itu tak lagi berdarah dan menyiksa Cinta berbunga kapan usia mengain: aku hanya seorang manusia
DIALOG BUKIT KAMBOJA D. Zawawi Imron Inilah ziarah di tengah nisan nisan tengadah Di bukit serba kamboja matahari dan langit lelah Seorang nenek, pandangnya tua memuat jarum cemburu Menanyakan, mengapa aku berdoa di kubur itu “Aku anak almarhum “ , Jawabku dengan suara gelas jatuh Pipi keriput itu menyimpan bekas sayatan waktu “Lewat berpuluh kemarau telah kuberikan kubur di depan mu Karena kuanggap kubur anakku” Hening merangkak lambat bagai langkah siput Tanpa sebuah sebab senyumnya lalu merekah Seperti puisi mekar pada lembar bunga basah “Anakku mati di medan laga, dahulu Saat Bung Tomo mengipas bendera dengan takbir Berita ini kekal jadi sejarah: Surabaya pijar merah Ketika itu sebuah lagu jadi agung dalam derap Bahkan pada bercak darah yang hampir lenyap” Jauh di lembah membias rasa syukur Pada hijau ladang sayur, karena laut bebas debur “Aku telah lelah mencari kuburnya dari sana ke mana Tak ketemu. Tak ada yang tahu Sedang aku ingin ziarah menyampaikan terima kasih Atas gugurnya : mati yang direnungkan melati Kubur ini memadailah, untuk mewakilinya” “ Tapi ayahku sepi Pahlawan Tutur orang terdekat , saat ia wafat Jasadnya hanya satu tingkat di atas ngengat Tapi ia tetap ayahku. Tapi ia bukan anakmu” “ Apa salahnya kalau sesekali Kubur ayahmu kujadikan alamat rindu Dengan ziarah, oleh harum kamboja yang berat Gemuruh dendamku kepada musuh jadi luruh” Sore berangkat ke dalam remang Ke kelopak kelelawar “ Hormatku padamu, nenek ! karena engkau Menyimpan rahasia wangi tanahku, tolong
Beri aku apa saja kata atau senjata !” “Aku orang tak bisa memberi, padamu bisaku Cuma meminta. Jika engkau bambu, jadilah saja bambu runcing Jangan sembilu, atau yang membungkuk depan sembilu Kelam mendesak kami berkisah. Di hati tidak Anginpun tiba dari tenggara . Daun-daun dan bunga ilalang Memperdengarkan gamelan doa Memacu roh agar aku tidak jijik menyeka nanah Pada anak-anak desa dibawah Untuk sebuah hormat Sebuah cinta yang senapas dengan bendera Tidak sekadar untuk sebuah malu.