"MUSYARAKAH AS-SIYASIYYAH: TARJIH BAYNA AL-MASHLAHATAYN" (Tanggapan terhadap tulisan Daud dan Fathuddin) Oleh : Aba AbdiLLAAH Dalam berbagai kesempatan jaulah-dakwah kerap ada ikhwah yang menyampaikan pendapatnya sbb; "Berkoalisi dengan kelompok sekular itu haram!" Ana tanya: "Alasannya?" Jawab ikhwah tsb: "Ya jelaslah, berdasarkan ayat & hadits yang melarang ber-muwalah dengan musuh-musuh ALLAAH SWT." Dalam kesempatan lainnya ada ikhwah lain yang berkata: "Mengapa kita harus bergandengan dengan ahlulma'ashiy (ahli maksiat) untuk memimpin ummat, bukankah itu berarti mengorbankan prinsip dakwah demi kepentingan kekuasaan?!" Namun ikhwah wa akhwat fiLLAAH a'azzakumuLLAAH, ketahuilah bahwa masalah yang kita diskusikan di atas pada prakteknya tidaklah sesederhana seperti yang diperkirakan oleh sebagian ikhwah, oleh karenanya izinkan dalam kajian kali ini ana memaparkan sedikit pandangan para ulama tentang mana-mana masalah yang pokok yang tidak berubah dalam Islam (ats-tsawabit) dan mana yang bisa berubah (al-mutagahyyirat) , dan setelah itu sedikit saya paparkan juga bagaimana penunjukan atas sebuah dalil beserta contoh2 nya yang seringkali tidak sederhana karena ia membutuhkan sebuah kajian mendalam. Yang lebih berbahaya adalah jika kemudian pendapat pribadi dlm masalah ijtihadiyyah furu'iyyah ini (bahkan Syaikhul Islam menyatakan bahwa jika sudah min-bab as-siyasah maka dia termasuk furu'il furu') lalu disetarakan dengan wahyu ALLAAH atau sunnah nabi SAW yg pasti kebenarannya, lalu menabrak fatwa kolektif lalu memvonis mereka yg berbeda sebagai menyimpang, taat buta pd qiyadah, haus kekuasaan, dsb. Tuduhan tsb dilemparkan kepada para qiyadah syari'ah yg notabene selama ini lebih aktif dari mereka dlm liqa'at, lebih tidak mengincar kursi, jabatan maupun ghanimah dalam berjuang.. Dibanding mereka yg kerap meninggalkan liqa'at demi sebuah undangan ceramah, mengisi seminar, dsb.. Jika mereka berniat ikhlas untuk memberikan masukan, maka mengapa tidak datang langsung ke lembaga yg berwenang, lalu minta ditegakkan hujjah secara sportif? Bukankah tempat pertemuannya sudah jelas, waktu rapatnya pun telah pasti. Jangankan berniat menegakkan hujjah, diundang datang secara resmipun selalu gho'ib, lalu menulis berbagai tulisan yg disebar kemana2, yg bagi orang yg berhati2 tentulah akan kuatir tulisan seperti itu tersusupi riya' dan hubbuz-zhuhur, daripada akan menjadi sebuah taushiyyah yang benar2 ikhlas dan bermanfaat. Kalaulah kita sebagai seorang muslim yg husnul-khuluq serta memiliki quwwatu shillatu biLLAAH yang baik, maka kita akan kembali me-muhasabah diri kita : Siapakah saya ini? Lalu siapakah mereka yg saya vonis tsb? Apakah saya lebih 'alim dan mengerti dalil dari mereka semua itu? Lalu berapakah kemampuan saya mencerna dalil dibandingkan dengan mereka yg lebih banyak jumlahnya, lebih beragam disiplin ilmunya, dan lebih memahami baik fiqh-ahkam maupun fiqh-waqi' nya? Apakah saya yg lebih ikhlas dalam berjama'ah dan berjihad selama ini sehingga saya berharap saya lebih wara' dan lebih memiliki bashirah dibanding mereka? Ya ALLAAH, aku berlindung kepada-MU dari sifat takabbur dan mufaraqah dari jama'ah, karena benarlah Nabi SAW saat beliau bersabda : ..fainnama ya'kulahudz dzi'bu al-ghanamul qashiyah.. TSAWABIT WAL MUTAGHAYYIRAT
Tsawabit adalah hal2 yang bersifat tetap dan tidak menerima pengembangan ijtihad maupun tambahan dan perubahan apapun. Menurut Syaikh DR Abdurrahman Abdul Khaliq rahimahuLLAH[ 1] : Yang termasuk kelompok ini adalah bidang aqa'id (masalah2 keimanan), ibadah (rukun Islam yang lima) dan akhlaq (kumpulan pekerti yang utama seperti kejujuran, ihsan, keikhlasan, keberanian, dsb). Semua perkara ini adalah tsawabit dalam ad-Din, manusia sama sekali tidak boleh memasukkan tambahan atau pengurangan apapun ke dalamnya. Sifat2 ALLAH SWT, malaikat, surga dan neraka, hari akhir, azab kubur dan masalah2 gaib yang lain, mutlak menerima tambahan baru atau pengurangan apapun, karena ilmu baru dalam masalah ini hanya bisa didapat melalui wahyu, padahal tidak ada lagi wahyu sepeninggal RasuluLLAH SAW. Inilah perbedaan mendasar antara kita dengan sebagian kelompok tasawwuf, karena ada diantara mereka yang bertumpu kepada takhayyul, khurafat dan mukasyafah untuk mengetahui hal2 aqidah di atas, sehingga ada diantara mereka yang berkata : Kami telah bertemu dengan ALLAH SWT, atau kami telah bertemu dengan malaikat anu dan anu...Padahal pintu kegaiban seperti ini tidak akan didapatkan kecuali melalui wahyu, sedangkan setelah nabi SAW wafat maka tidak ada lagi wahyu. Ibadah2 pun tidak boleh diadakan penambahan atau pengurangan, menambah 1 raka'at saja dari shalat fardhu yang telah ditetapkan akan membatalkan shalat tsb, demikian pula mengadakan shalat sunnah yang belum pernah dilakukan oleh nabi SAW, atau menambah berbagai kaifiyyat ibadah manapun seperti zakat, puasa dan hajji adalah tidak boleh, semuanya harus dilakukan seperti yang telah dicontohkan oleh nabi SAW tanpa ditambah ataupun dikurangi. Demikian pula dalam masalah akhlaq dan tazkiyyah nafs, tidak boleh ditambah atau dikurangi, karena akan menjadi berlebihan atau berkurangan dari yang telah dicontohkan oleh nabi SAW. Kesemua hal ini adalah tsawabit dalam Islam, apapun tambahan dan pengurangan di dalamnya adalah merupakan bid'ah yang diharamkan dan pelakunya adalah sesat dan tempatnya adalah di neraka. SELESAI KUTIPAN DARI SYAIKH ABDURRAHMAN Adapun yang mutaghayyirat menurut beliau adalah sbb : Nash2 al-Qur'an yang turun dalam masalah mu'amalah, maka ia bagaikan kaidah2, pokok2 yang umum dan bingkai yang memberikan penerangan bagi kaum muslimin dan memberikan legalitas untuk mereka mengatur diri mereka sendiri sesuai petunjuk ketika muncul perubahan yang baru baik yang berkaitan dengan diri mereka sendiri maupun dengan musuh2 mereka. Karena itulah masalah mu'amalah merupakan mutaghayyirat terbesar dalam diin ini. Singkatnya bidang mu'amalah adalah pintu2 terbesar dari pintu2 ijtihad. Karena luasnya cakupannya, besarnya variasi serta cepatnya perubahannya, maka dapatlah dikatakan bahwa bidang ini seperti urusan politik, ekonomi dan sosial, maka ini merupakan suatu problema. Sebab yang tsawabit dalam Islam (aqidah, ibadah dan akhlaq) tidak menimbulkan problema karena memang nashnya jelas, bisa difahami serta sedikit sekali perbedaan pendapat di dalamnya. Sedangkan urusan politik, sosial dan ekonomi, sekalipun pokok2nya tetap namun perubahannya besar sekali. Situasi politik dunia tiap hari berubah dan membutuhkan ijtihad baru. Kita tidak hidup sendirian di bumi ini, tapi turut hidup pula bersama kita ummat dan bangsa2 lain. Mereka memiliki sistim mu'amalah tersendiri dan memberikan pula tekanan politik pada kita[2]. PERBEDAAN PENDAPAT AHLI-FIQH DALAM PENETAPAN TAHQIQUL-MANATH
Adapun persoalan khilaf (perbedaan pendapat) dikalangan fuqaha dalam penetapan tahqiqul-manath (menerapkan suatu hukum/nash yang bersifat umum kepada kasus2 yang bersifat khusus) maka hal ini termasuk perbedaan pendapat dalam masalah furu' (cabang syariat), dimana pihak yang berbeda dalam penetapannya tidak boleh dicela atau diragukan dien-nya dan keadilannya. Mengapa? Karena cakupan persoalan ini ke dalam ilmu waqi'i (ilmu realitas) lebih banyak dari cakupannya ke ilmu syar'i (ilmu agama). Maka barangsiapa melihat kebenaran dari salah satu diantara 2 pendapat, maka ia wajib mengikutinya, dan barangsiapa menguatkan pendapat yang lain dengan ijtihad (kalau ia seorang mujtahid baik juz'i maupun muthlaq) atau dengan taqlid kepada seorang yang ia percayai din-nya dan ilmunya (jika ia dari golongan awam), maka tidak ada celaan atasnya. Berkata seorang ulama salaf pembela sunnah, Al-Imam Asy Syatibi rahimahuLLAAH- : "Adapun ijtihad yang berkenaan dengan tahqiqul-manath maka mengenai penerimaannya sudah tidak ada khilaf lagi diantara ummat. Contohnya tafsir dari ayat : Dan persaksikanlah dengan 2 orang saksi yang adil diantaramu[3] , makna adil adalah jelas, tapi bagaimana menentukan kualitas keadilan tsb? Maka manusia tidak memiliki standar yang sama, bahkan akan jauh berbeda. Ujung teratas adalah jelas, yaitu sebagaimana keadilan pada diri sahabat Abubakar ra, yang tidak ada kesamaran dalam keadilannya. Demikian pula ujung terbawah yang merupakan awal yang berbatasan dengan sifat zhalim, seperti orang yang pernah mendapatkan hukuman had dalam Islam. Adapun antara 2 ujung tsb ada banyak tingkatan adil yang tak terhingga jumlahnya, yang pertengahan sangat samar, maka disinilah perlu pengerahan akal fikiran secara maksimal untuk menentukannya, inilah lapangan ijtihad[4]. Lebih lanjut beliau menjelaskan : "Cukuplah anda mengetahui bahwa syariat tidak menetapkan hukum atas setiap perkara yang bersifat juz'i, namun syariat datang membawa perkara2 yang bersifat kulli dan keterangan yang bersifat mutlak. Maka seorang mujtahid haruslah seorang yang sangat faham tentang sisi masalah fiqh yang ia amati, agar hukum syar'i turun selaras dengan tuntutannya. Sebagaimana juga seorang muhaddits yang harus mengetahui keadaan sanad dan jalur2 periwayatannya, mengetahui shahihnya dari dha'ifnya, mana yang bisa dijadikan hujjah dan mana yang tidak bisa[5]. Contoh pembahasan fiqh dalam masalah ini adalah sbb ; Menolak Hukum Syar'i adalah Kufur Besar, dan perkara ini merupakan hal yang qath'i (pasti) dalam syariah. Akan tetapi tahqiqul-manath nya (penerapannya pada suatu kasus tertentu), akan berbeda2 tergantung pada situasi, kondisi, sebab, dsb. Seorang tidak bisa langsung dihukumi kafir hanya karena memilih pemimpin yang sekular misalnya, tapi hendaknya dibandingkan antara manfaat dan mafsadat dari sistem tsb dan dilakukan pengujian serta penelitian secara teliti, sampai jelas perbandingan mafsadat dan manfaatnya, karena pengharaman dilakukan bukan lidzatihi (karena memilih pemimpin tsb) melainkan li dhararihi (membandingkan dampaknya). Dan dampak ini merupakan hal yang perlu kajian dan penelitian yang seksama, dan setiap orang dapat memperkuat argumen nya masing-masing tanpa memvonis kepada yang berbeda, karena ia merupakan masalah ijtihadiyyah. Contoh lainnya adalah al-muwalah bil kuffar (memberikan loyalitas kepada orang kafir) adalah haram berdasarkan nushush yang qath'iy dan masalah ini la syakka fiihi (tidak ada keraguan di dalamnya) bagi orang yang beriman kepada ALLAAH dan ari Akhir, namun jika ada kasus sebuah kelompok dakwah melakukan koalisi politik dengan kelompok sekularis tidak dapat serta-merta di vonis
sebagai muwalah bil kuffar, sebelum dilihat illat (sebab2)-nya apakah karena memang ada muwalah disana atau karena strategi dalam peperangan, atau karena melindungi maslahat ummat Islam dari penghancuran kelompok kuffar, atau juga karena fiqh muwazanah bayna al-maslahah wa al-mafsadah yang didasarkan pada data2 survey, peluang kemenangan, power-sharing dll yang kesemuanya untuk kemaslahatan yang lebih besar pada jangka panjang. Sekali lagi masalah2 seperti ini amat banyaknya dan ia lebih dekat kepada Fiqh Waqi' dibandingkan dengan Nushush Syari'ah itu sendiri. Boleh saja kita tidak sependapat dalam masalah tsb, tetapi kita tetap berkewajiban taat sepanjang kita masih memberikan wala' pada jama'ah dan wakalah kepada para qiyadah nya. Jika kita benar2 merasa yakin jama'ah ini telah menyimpang, dan merasa telah menegakkan hujjah di hadapan lembaga yg berwenang dalam fatwa, maka sebaiknya terang2-an saja mengundurkan diri, sehingga jelas posisinya dan tidak membingungkan ikhwah di lapangan. Di satu pihak memvonis jama'ah, tapi anehnya di lain pihak tetap memanfaatkan jama'ah untuk tujuan firaq mereka yg munharifah minal jumhur. APAKAH BANYAKNYA HIZB SELALU BERMAKNA NEGATIF..?! Mereka kemudian mencari2 dalil untuk membenarkan klaim mereka tsb, dan diantara potongan ayat yg mereka dengung2kan dan mereka anggap melarang membuat kelompok, jama'ah atau partai yang banyak, menurut mereka diantaranya ayat : Kullu hizbin bima ladayhim farihun.. (Setiap partai/kelompok/ jama'ah merasa bangga/ bergembira dg apa yg ada pd kelompok masing2). Kemudian ayat : Innalladzina farraqu dinahum wa kanu syiya'an lasta minhum fi syai'in.. (Sesungguhnya orang yg memecah-belah agama mereka sehingga mereka menjadi berkelompok2 lepas tanggung jawabmu atas mereka wahai Muhammad..) Ikhwan wa akhwat fiLLAH, marilah saya ajak antum semua untuk membuka berbagai rujukan kitab2 tafsir karangan Imam Salafus Shalih secara inshaf (obyektif) dan wasith (adil), jauh dari sifat ghuluw wa tatharruf dan jauh dari kepentingan apapun, kecuali ikhlas mencari keridhaan ALLAH SWT semata. Hanya kepada ALLAH-lah kita bertawakkal dan hanya kepada-NYA lah kita akan dikembalikan. Potongan ayat tsb terdapat di 3 tempat, potongan yg pertama yaitu di QS AlMu'minun, 23/53 dan di QS Ar-Rum, 30/32; lengkapnya adalah sbb; ãöäó ÇáøóÐöíäó ÝóÑøóÞõæÇ Ïöíäóåõãú æóßóÇäõæÇ ÔöíóÚðÇ ßõáøõ ÍöÒúÈò ÈöãóÇ áóÏóíúåöãú ÝóÑöÍõæäó 53. "Kemudian mereka (pengikut-pengikut Rasul itu) menjadikan agama mereka terpecah belah menjadi beberapa pecahan. tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada sisi mereka (masing-masing) ." ÝóÊóÞóØøóÚõæÇ ÃóãúÑóåõãú Èóíúäóåõãú ÒõÈõÑðÇ ßõáøõ ÍöÒúÈò ÈöãóÇ áóÏóíúåöãú ÝóÑöÍõæäó 32. "Yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka." Sementara potongan yg kedua pd QS Al-An'am, 6/159. Lengkapnya adalah sbb;
Åöäøó ÇáøóÐöíäó ÝóÑøóÞõæÇ Ïöíäóåõãú æóßóÇäõæÇ ÔöíóÚðÇ áóÓúÊó ãöäúåõãú Ýöí ÔóíúÁò ÅöäøóãóÇ ÃóãúÑõåõãú Åöáóì Çááøóåö Ëõãøó íõäóÈøöÆõåõãú ÈöãóÇ ßóÇäõæÇ íóÝúÚóáõæäó 159. "Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agama-Nya dan mereka menjadi bergolongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu kepada mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah terserah kepada Allah, Kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat." Makna ayat dlm QS Al-Mu'minun, 23/53 menurut kitab2 tafsir adalah sbb : Berkata Imam At-Thabari[6] dlm tafsirnya[7] , bhw maknanya : "Maka berpecahbelahlah kaum yg diperintahkan oleh ALLAH SWT dari ummat Nabi Isa 'alayhis salam untuk bersatu atas agama yg satu... Dan setiap firqah tsb beragama dengan kitab yg berbeda satu dengan yg lain, sebagaimana orang Yahudi memegang kitab Taurat dan mendustakan hukum2 dlm kitab Injil dan Al-Qur'an, demikian pula orang2 Nasrani yg berpegang menurut sangkaan mereka pd kitab Injil dan mendustakan kitab Al-Qur'an." Dan ini diperkuat oleh makna "ummatan-wahidah" pd ayat sebelumnya, yaitu maknanya menurut Imam At-Thabari : "Innal ummah alladzi fi hadzal maudhu' : Ad-Din wal Millah" (makna ummat dlm konteks ayat ini adalah ummat dlm masalah agama)[8]. Jelas bahwa makna "HIZB" dlm ayat tsb menurut Imam At-Thabari adalah HIZB dlm Ad-Din wal Millah (perbedaan & kelompok2 yg berbeda dlm aqidah), lalu dimanakah letak larangannya jika HIZB tsb tidak berbeda dlm Ad-Din wal Millah? Imam Ibnul Jauzy dlm tafsirnya[9] menyatakan bhw ada 2 pendapat ttg tafsir ayat ini, yaitu pendapat pertama : Mereka adalah Ahli Kitab (Yahudi & Nasrani) dari Mujahid; dan pendapat kedua : Mereka adalah Ahli Kitab & kaum Musyrikin Arab dari Ibnu Sa'ib. Demikian pula pendapat Imam Al-Mawardi[10] dlm tafsirnya[11] , nampak bagi kita semua bhw larangan tsb amat jelas yaitu larangan berbeda2 dlm aqidah, atau berbeda dlm kitab suci persis sebagaimana perbedaan Yahudi dan Nasrani atau musyrikin, sama sekali tidak ada larangan yg berkaitan dg larangan membentuk organisasi, atau jama'ah atau partai. Berkata Imam Al-Baghawi[12] dlm tafsirnya[13] , bhw makna "kullu hizbin bima ladayhim farihun = bima 'indahum minad din" (dari apa2 yg ada disisi mereka dari agama), dlm hal ini beliau mengkaitkan dengan tafsir ayat sebelumnya bhw makna "fataqaththa' u amrahum = dinahum", lalu makna "baynahum = berpecahbelah, maka mereka berpecah-belah menjadi Yahudi, Nasrani dan Majusi. Demikianlah pendapat para Imam Salafus Shalih mengenai masalah ini, yaitu bahwa beragamnya HIZB yg dilarang adalah beragamnya HIZB yg berbeda dlm aqidah dan agama (Ad-Din wal Millah) dan SAMA SEKALI BUKAN BERAGAMNYA HIZB DLM DAKWAH DAN PERJUANGAN. Berkata Imam Asy-Syaukani dlm tafsirnya[14] : Bhw mereka ada yg mengikuti firqah Taurat, firqah Zabur, firqah Injil lalu mereka masing2 mengubah kitab2 tsb dan menyimpangkan maknanya. Hal ini juga pendapat Imam Al-Biqa'iy[15] dlm tafsirnya[16] , Imam An-Nasafiy[17] dlm tafsirnya[18] , Abu Sa'ud[19] dlm tafsirnya[20] , Imam As-Suyuthi[21] dlm tafsirnya[22] , Imam Al-Khazin[23] dlm tafsirnya[24] , Imam Ats-Tsa'alabiy[ 25] dlm tafsirnya[26] , dll. Lalu apakah hizb, jama'ah dan partai Islam (baca : PKS) yg mereka tuduh tsb mengubah AlQur'an? Menyimpangkan makna Al-Qur'an? Seperti firqah Taurat, firqah Zabur dan firqah Injil? Inna liLLAHi wa inna ilayhi ra'jiun.. Ana yakin mereka tidak akan berani menuduh sejauh itu! Qul haatuu burhanakum in kuntum shadiqiin..
Ikhwan wal akhawat rahimakumuLLAH, setelah kita mengetahui tafsir yg dikemukakan oleh para Imam Salafus Shalih atas QS Al-Mu'minun, 23/53 (yg juga sama dg Ar-Rum, 30/32) tsb pd kajian yg lalu, maka demikianlah pula tafsir atas QS Al-An'am, 6/159. Lengkapnya ayatnya adalah sbb ; Åöäøó ÇáøóÐöíäó ÝóÑøóÞõæÇ Ïöíäóåõãú æóßóÇäõæÇ ÔöíóÚðÇ áóÓúÊó ãöäúåõãú Ýöí ÔóíúÁò ÅöäøóãóÇ ÃóãúÑõåõãú Åöáóì Çááøóåö Ëõãøó íõäóÈøöÆõåõãú ÈöãóÇ ßóÇäõæÇ íóÝúÚóáõæäó "Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agama-Nya dan mereka menjadi bergolongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu kepada mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah terserah kepada Allah, Kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang Telah mereka perbuat." Makna ayat dlm QS Al-An'am, 6/159 menurut kitab2 tafsir adalah sbb : Berkata Imam At-Thabari dlm tafsirnya[27] bhw makna 'farraqu-dinahum' dlm ayat tsb adalah bhw agama ALLAH SWT ini adalah satu yaitu agama Ibrahim semoga salam ALLAH baginya-, lalu berpecah-belahlah Yahudi & Nasrani sehingga mereka menjadi agama yg berbeda2, adapula yg menjadi Majusi sehingga mereka menjauh dari agama yg haq[28]. Demikianlah tafsir yg benar mengenai masalah ini, waliLLAAHil hamdu wal minah.. APAKAH ADA KOALISI POLITIK NABI SAW DG KAUM MUSYRIKIN SETELAH PEMBENTUKAN NEGARA MADINAH..?! 1. Koalisi Politik Nabi SAW dg qabilah2 Musyrikin di luar Madinah untuk melawan Quraisy, seperti dg bani Mudallij dan bani Dhamrah di sepanjang laut Merah pd jalur yg menuju ke Syam, ketika pemimpin musyrik bani Juhainah, Majdi bin Amru al-Juhanilah bertemu nabi SAW di Madinah, maka ia disambut oleh nabi SAW sehingga ia berkata : "Sungguh aku tdk tahu bahwa Maimun itu seorang pemimpin yg baik dlm urusan ini."[29] Dan ditetapkanlah perdamaian antara keduanya dg kesepakatan Nabi SAW tdk memerangi bani Dhamrah dan bani Dhamrah tdk memerangi nabi SAW serta memprovokasi kelompok lain untuk memusuhi nabi SAW serta tdk memberi bantuan kepada musuh nabi SAW[30]. 2. Bahwa pasca koalisi2 politik yg dilakukan oleh nabi SAW tsb (terutama pasca perang Badar dan perjanjian Hudhaibiyyah) maka nabi SAW pun seringkali dikhianati dan disabot isi perjanjiannya terutama oleh kaum Yahudi (persis yg dilakukan oleh kelompok sekular thd kemenangan2 partai Islam saat ini), tapi beliau SAW berusaha mengatasi semua bahaya dan bertahan agar tdk menghadapi 2 musuh sekaligus (Quraisy dan Yahudi), kecuali setelah kaum muslimin bisa mengalahkan musuh terbesarnya kafir Quraisy yaitu pasca perang Ahzab. 3. Bahwa ayat2 al-Qur'an yg turun berkenaan ttg larangan mengangkat pemimpin dari golongan non muslim turun berkenaan dg tema ini (jadi bukan sbgm dituduhkan oleh orang2 yg tdk mengerti asbab an nuzul, bhw ayat tsb melarang partai Islam berkoalisi politik dg orang kafir di parlemen). Contohnya QS 5/51 yg berbunyi : "Hai org2 yg beriman, janganlah kamu mengambil org2 Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin2mu. Karena sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yg lain..." Sabab an nuzul ayat ini adalah turun berkenaan ttg sikap AbduLLAH bin Ubay bin Salul yg melarang nabi SAW memerangi Yahudi bani Qainuqa karena mereka telah membelanya selama ini[31]... Lalu bagaimana mungkin ayat ini ditafsirkan sbg ayat yg melarang semua jenis koalisi politik dg non muslim, sementara nabi SAW sendiri berkoalisi dan meminta perlindungan kepada
pamannya Abu Thalib, Muth'im bin Adi, dll yg semuanya adalah non muslim!!! Jadi jelaslah bagi kita bhw duduk perkaranya adalah bhw masalah ini tergantung pd fase pertumbuhan dan kekuatan dari partai Islam itu sendiri. 4. Coba bandingkan dg ayat ke-52-nya yg memuji sikap Ubadah bin Shamit ra yg juga memiliki perjanjian dg Yahudi tsb tapi memutuskannya setelah pengkhianatan mereka pd nabi SAW tsb sbb : "Dan barangsiapa mengambil ALLAH, Rasul-NYA dan orang2 beriman sbg penolong maka partai ALLAH itulah yg akan menang." Jadi permasalahannya bhw konteks ayat itu adalah keharusan mentaati kebijakan pemimpin (yg saat itu dipegang oleh nabi SAW), serta ketaatan pd syura yg telah diputuskan oleh gerakan Islam. Hal lain yg dpt ditambahkan sbg argumen adalah bhw ALLAH SWT tdk pernah membatalkan koalisi politik dg bani Nadhir dan bani Quraizhah, maka bagaimana mungkin ayat tsb melarang berkoalisi dg non muslim, sementara perjanjian nabi SAW telah berjalan selama 4 th!!! 5. Latar-belakang peristiwa Fathu (penaklukan) Makkah. Pd saat terjadi perjanjian Hudhaibiyyah dulu, mk bani Bakr memilih bersekutu dg Quraisy, sementara bani Khuza'ah memilih bersekutu dg nabi SAW (keduanya adalah qabilah musyrik). 22 bulan setelah Hudhaibiyyah di bln Sya'ban bani Bakr menyerang dan membunuh 23 orang bani Khuza'ah di dekat mata air al-Watir dekat Makkah. Maka Amru bin Salim dr Khuza'ah bersama 40 org kaumnya datang dan melantunkan sya'ir ttg kepedihan kaumnya dan mengadukan pd nabi SAW. Maka nabi SAW berdiri sambil menyeret bajunya bersabda : "Aku tdk akan ditolong ALLAH SWT, jika aku tdk menolong bani Ka'ab sbgm aku menolong diriku sendiri!"[32] Dlm lafz Ibnu Ishaq disebutkan : "Aku tdk akan mendpt pertolongan jk tdk menolong bani Ka'ab spt aku menolong diriku sendiri. Sesungguhnya awan ini menjerit memintakan pertolongan untuk bani Ka'ab."[33] Maka lihatlah bgm nabi SAW memegang perjanjian politiknya dg kabilah musyrikin dan bahkan menggerakkan pasukannya untuk memerangi Makkah karena membela kabilah musyrikin yg telah berkoalisi politik dg kaum muslimin! 6. Turunnya surat Bara'ah (at-Taubah). Setahun setelah penaklukan Makkah dan kaum muslimin telah memiliki kekuatan yg besar, dan ketika semua kekuatan yg menentang Islam di wilayah jazirah Arab telah jatuh ke tangan kaum muslimin, maka barulah ALLAH SWT menurunkan QS at-Taubah yg memerintahkan memutuskan semua hubungan perjanjian pd kaum musyrikin : "Inilah pernyataan pemutusan hubungan ALLAH dan Rasul-NYA dari orang2 musyrik yg kalian (kaum muslimin) telah mengadakan perjanjian dgnya..." (QS 9/1), maka ketika ayat ini turun nabi SAW mengutus Ali ra untuk menyusul Abubakar ra yg sedang memimpin hajji dg kaum muslimin yg lain untuk membacakan dan mengumumkan ayat ini, maka Ali ra mengumumkan 4 hal : 1) Setelah tahun ini tdk boleh lagi orang musyrik mendekati Ka'bah, 2) Tdk boleh lagi thawaf dlm keadaan telanjang, 3) Tdk akan masuk syurga kecuali orang mu'min, 4) Brgsiapa yg masih ada perjanjian dg rasuluLLAH maka akan ditepati sampai akhir masanya. Point yg ke-4 ini ditegaskan pd ayat ke-4 dr QS 9 tsb, azZamakhsyari berkata dlm tafsirnya al-Kasysyaf bhw istitsna (pengecualian) dlm ayat tsb bermakna istidrak (penyusulan kalimat), sehingga makna ayatnya adalah : Barangsiapa yg menepati perjanjian dan tdk mengingkarinya maka sempurnakanlah perjanjian tsb dan jangan perlakukan mereka sbgm org yg tdk menepati perjanjiannya dan sebaliknya jangan jadikan org yg tdk menepati perjanjian seperti yg menepatinya. Imam Ibnul Qayyim[34] menyatakan bhw setelah turunnya ayat ini maka kaum kafir dibagi 3, yaitu muharibin (yg memerangi kaum muslimin), ahlul 'ahdi (yg masih ada perjanjian dg kaum muslimin) dan ahlu dzimmah (kafir yg berada dlm perlindungan nabi SAW).
TINJAUAN FIQH TTG KOALISI POLITIK YG DIBOLEHKAN DLM ISLAM 1. Hukum meminta bantuan pd org musyrik di luar urusan perang, adalah dibolehkan berdasarkan perilaku nabi SAW di atas, ada pula hadits Bukhari yg mempertegas sbb : Nabi SAW dan Abubakar menyewa seorang bani Dalil yg masih mengikuti agama Quraisy sbg penunjuk jalan ke Madinah." 2. Hukum meminta bantuan kepada orang musyrik dlm peperangan saat kaum muslimin lemah baik jumlah maupun kemampuannya, maka ini dibolehkan berdasarkan perilaku nabi SAW di atas. Imam Ibnu Hazm dlm kitabnya[35] menyatakan : Jika kaum muslimin dlm keadaan darurat dan tdk bisa menang maka dibolehkan meminta bantuan pd kafir Harbi tsb, sepanjang ia yakin bhw kemenaangan tsb tdk membahayakan jiwa, harta dan kehormatan kaum muslimin, sbgm istitsna (pengecualian) ALLAH SWT thd kebolehan memakan bangkai saat kondisi terpaksa (...kecuali apa yg kamu terpaksa memakannya.. .). Dlm hal ini ada yg mendebat kami dg menyebutkan firman ALLAH SWT : ..Dan tdklah aku mengambil org2 yg menyesatkan itu sbg penolong." (QS 18/51). Maka jawaban kami adalah, ayat ini tdk tepat untuk kasus ini karena kita sama sekali tdk menjadikan mereka sbg penolong melainkan mengadu mereka sebagian dg sebagian yg lain, karena mereka adalah sama jahatnya satu dg lainnya maka ayat yg benar adalah "..dan demikianlah KAMI jadikan sebagian org yg zhalim sbg teman bagi sebagian yg lain krn apa yg mereka perbuat." (QS 6/129), juga dlm hadits yg diriwayatkan oleh AbduLLAH bin Rabi' dari Muhammad bin Mu'awiyah dari Ahmad bin Syu'aib dari Imran bin Bakr bin Rasyid dari abu Yaman dari Syu'aib bin abi Hamzah dari az-Zuhri dari Sa'id bin Musayyib dari abu Hurairah berkata : "Rasul SAW bersabda : ALLAH SWT akan menegakkan agama ini dg bantuan orang yg fajir." Maka Imam abu Muhammad berkata : Meminta bantuan pd ahlul harb (kafir harbi) dlm melawan kafir harbi yg lain dibolehkan, sebagaimana juga dibolehkan meminta bantuan pd muslim yg fajir untuk menghentikan kezaliman muslim yg zalim. SELESAI KUTIPAN DARI IBNU HAZM KHATIMAH Untuk menutup tulisan ini, perlu juga ana sampaikan beberapa diantara syarat2 memilih dan mengangkat pemimpin dlm Islam menurut ulama Ahlus Sunnah wal Jama'ah sbb: 1.. Berkata Al-Hulaymi rahimahuLLAAH[ 36] bhw syarat pertama Imam adalah hendaklah dr suku Quraisy sebagaimana saat wafatnya Nabi SAW hal ini merupakan ijma' shahabiy yg didukung oleh nash2 yg amat banyak[37], mengenai hal ini sebagian fuqaha menafsirkannya sbg hendaklah ia dari suku terbesar di daerah atau negara tsb. 2.. Jika suku Quraisy tidak ada, maka hendaklah calon pemimpin tsb yg disepakati oleh mayoritas rakyatnya atau mayoritas tokoh2 nya walaupun bukan dari Quraisy[38], karena hanya dengan demikianlah tercapai tujuan dari kepemimpinan tsb[39]. Artinya yg akseptabilitas nya paling besar sepanjang calon yang ada sama2 buruk. 3.. Mentaati pemimpin yg sah selagi perintahnya tidak keluar dari yg ma'ruf maka hukumnya wajib[40], sebagaimana perintah yg maksiat tidak wajib dituruti[41] , demikian jg jika pemimpin tsb selalu minta haknya untuk ditaati tapi tidak memenuhi kewajibannya maka tetap ia wajib untuk ditaati[42]. 4.. Pendapat Syaikhul Islam rahimahuLLAAH tentang orang yg masuk di jabatan pemerintahan yg tidak Islami dan bercampur antara haram dan halal, sbb[43]: "Apabila yang memangku jabatan umum atau sebagiannya seperti cabang pemerintahan, kekuasaan, pengadilan dan yang lainnya -jika ia tidak mungkin melaksanakan kewajibannya dan tidak mungkin meninggalkan hal-hal yang
dilarang-, akan tetapi ia menyengaja melakukan perbaikan semampunya yang tidak dilakukan orang lain, maka boleh baginya untuk menduduki jabatan tersebut bahkan bisa menjadi wajib. Hal itu dikarenakan apabila jabatan tersebut termasuk kewajiban-kewajiban yang harus diwujudkan maslahatnya seperti memerangi musuh, membagi rampasan perang, menegakkan hukum pidana, mengamankan jalan, maka melakukan semua ini hukumnya wajib. Jika hal itu mengharuskan sesorang yang tidak memenuhi syarat diangkat menjadi pejabat, dan mengambil sebagian yang tidak halal dan memberikan sesuatu yang tidak sepatutnya diberikan dan ia tidak mungkin akan meninggalkan perbuatan tersebut, maka permasalahan ini masuk pada katagori sesuatu yang wajib atau sunnah yang tidak akan terlaksana secara sempurna kecuali dengan cara itu, sehingga ia menjadi wajib atau sunnah juga hukumnya, apabila mafsadatnya lebih rendah dari pada maslahatnya (yang wajib dan sunnah tadi). Bahkan seandainya jabatan tersebut tidak wajib untuk ditempati sementara jabatan itu penuh dengan kezhaliman, maka barang siapa yang menjabatnya maka orang itu telah melestarikan kezhaliman SAMPAI ADA ORANG YANG MENJABATNYA YANG BERMAKSUD DENGAN JABATAN TERSEBUT INGIN MEMINIMALISIR KEZOLIMAN DAN MENGHILANGKAN YANG LEBIH BANYAK DENGAN TETAP BERTAHAN PADA KEZHALIMAN YANG LEBIH RINGAN. Melakukan hal itu dengan cara tadi dianggap perbuatan baik dan apa yang dikerjakannya berupa keburukan tapi dengan niat ingin meredam sesuatu yang lebih berat dari keburukan tersebut, adalah merupakan hal baik". Lebih lanjut beliau -rahimahuLLAAH- menambahkan : Dari sisi inilah Yusuf as menjabat perbendaharaan Mesir, bahkan masalahnya adalah raja mesir menjadikannya menjadi pemegang perbendaharaan bumi. Sementara dia (raja) dan kaumnya dalam keadaan kafir, sebagaimana firman Allah SWT; "Sungguh telah datang kepada kalian Yusuf, sebelumnya dengan keterangan yang nyata, dan kalian senantiasa dalam keraguan terhadap apa yang ia bawa". Allah SWT berfirman tentang Yusuf as; "Wahai kedua penghuni penjara, apakah tuhan-tuhan yang berpecah belah, lebih baik dari Allah yang Maha Esa dan kuat?, apa yang kalian sembah selain Allah tiada lain kecuali nama-nama yang kalian dan nenek moyang kalian namakan". Dapat dimaklumi bahwa dengan kekafiran yang ada pada mereka, mengharuskan mereka memiliki kebiasaan dan cara dalam memungut dan mendistribusikan harta kepada raja, keluarga raja, tentara dan rakyatnya. Tentunya cara itu tidak berlaku bagi para nabi dan utusan Allah. Bagi Yusuf as tidak memungkinkan baginya untuk menerapkan apa yang menjadi kebiasaannya, berupa ajaran Allah, karena rakyat yang ada tidak menghendaki hal itu. Akan tetapi melakukan sesuatu yang mungkin ia lakukan, berupa keadilan dan berbuat baik dengan kekuasaan itu, ia mendapatkan pemuliaan dari keluarganya yang beriman kepada Allah yang tidak akan mungkin dia dapatkan tanpa kekuasaan itu. Semua ini masuk dalam firman Allah yang mengatakan; "Bertakwalah kepada Allah sesuai kemampuanmu" . SELESAI KUTIPAN DARI SYAIKHUL ISLAM. ÑóÈøóäóÇ åóÈú áóäóÇ ãöäú ÃóÒúæóÇÌöäóÇ æóÐõÑøöíøóÇÊöäóÇ ÞõÑøóÉó ÃóÚúíõäò æóÇÌúÚóáúäóÇ áöáúãõÊøóÞöíäó ÅöãóÇãðÇ Ãááåã Âãíä ------------ --------- --------- --------- --------- --------- [1] As Salafiyyun wal 'Aimmah al Arba'ah, Abdurrahman Abdul Khaliq, hal.2425. [2] Ibid, hal 26-28. [3] QS at-Thalaq-2
[4] Al-Muwafaqaat Li Syathibi IV/89 [5] Ibid, IV/165 [6] Beliau adalah Abu Ja'far Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir bin Ghalib Al-Amali At-Thabari, digelari Imam Abu Ja'far At-Thabari atau juga Imam Ibnu Jarir At-Thabari, beliau wafat th 310-H. [7] Jami'ul Bayan fi Tafsiril Qur'an, XIX/41. [8] Ibid. Imam Thabari menyandarkan tafsirnya ini dari atsar yg shahih sbb : "Telah menceritakan pd kami Al-Qasim, telah menceritakan pd kami Al-Husain, telah menceritakan pd saya Hajjaj dari Ibnu Juraij makna ayat tsb seperti di atas." [9] Zadul Masir, IV/415 [10] Abul Hasan Ali bin Muhammad bin Muhammad bin Habib Al-Bashri Al-Baghdadi yg lebih dikenal dg Imam Al-Mawardi, beliau wafat th 450-H. [11] An-Naktu wal 'Uyun, III/141 [12] Beliau adalah Imam Abu Muhammad Al-Husein bin Mas'ud Al-Baghawi, digelari oleh para ulama sebagai "Muhyis Sunnah" (Yang Menghidupkan AsSunnah), beliau wafat pd th 516-H. [13] Ma'alimut Tanzil, V/420 [14] Fathul Qadir, V/161. [15] Beliau adalah Imam Ibrahim bin Umar bin Hasan Ar-Ribath bin 'Ali bin Abi Bakr Al-Biqa'iy, beliau wafat th 885-H. [16] Nazhmud Durar fi Tanasubil Ayati was Suwar, V/416. [17] Beliau adalah AbduLLAH bin Ahmad bin Mahmud Hafizhuddin Abul Barakat AnNasafiy, beliau wafat th 710-H. [18] Madrak At-Tanzil wa Haqa'iqut Ta'wil, II/385. [19] Beliau adalah Muhammad bin Muhammad bin Musthafa Al-'Amadiy, Mufti dan Mufassir, beliau wafat th 982-H. [20] Irsyad Al-'Aqlis Salim Ila Mazaya Al-Kitab Al-Karim, V/5. [21] Beliau adalah AbduRRAHMAN bin Abi Bakr, diberi gelar Jalaluddin, beliau wafat th 911-H. [22] Ad-Durr Al-Mantsur, VII/210. [23] Beliau adalah Abul Hasan Ali bin Muhammad bin Ibrahim bin Umar AsySyihi, beliau wafat th 741-H. [24] Lubab At-Ta'wil fil Ma'ani At-Tanzil, IV/469
[25] Beliau adalah Abu Zaid AbduRRAHMAN bin Muhammad bin Makhluf AtsTsa'alabiy, beliau wafat th 876-H. [26] Al-Jawahirul Hasan fi Tafsiril Qur'an, III/54. [27] Jami'ul Bayan, XX/100 [28] Ibid, XII/268 [29] Imta' al-Asma', al-Maqrizi, hal 1/52 [30] Al-Watsaiq an-Nabawiyyah, hal.267; Ibnu Sayyidin Nas, 2/3; Ansab alBaladziri 1/287. [31] Sirah Nabawiyyah, Ibnu Hisyam, 2/49 [32] Imta' al-Asma', al-Maqrizi 1/357-358 [33] Thabaqat al-Kubra, Ibnu Ishaq 2/98 [34] Zaadul Ma'ad, 2/90-91 [35] al-Muhalla, 12/523-525 [36] Syu'abul Iman, VI/7 [37] HR Bukhari, XI/320 no. 3239; Muslim, IX/332 no. 3392 (hadits kepemimpinan dr Quraisy ini mencapai derajat mutawattir-ma' nawy karena demikian banyaknya dg matan yg berbeda2 -pen) [38] HR Bukhari, III/101 no. 652; Muslim, IX/367 no. 3420 [39] Minhajus Sunnah An-Nabawiyyah, VIII/336 [40] HR Bukhari, XXII/53 no. 6612; Muslim, IX/371 no. 3424-3425 [41] HR Bukhari, XXII/218 no. 6716 [42] HR Muslim, IX/384 no. 3433 (alasan Nabi SAW : Karena baginya dosanya dan bagi pengikutnya pahala ketaatannya) [43] Majmu' Al-Fatawa', XXX/356-360