EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TUMBUHAN (S1): Cara Menangkap Spora Faculty of Agriculture, Universitas Brawijaya Email : @ub.ac.id 1. PENDAHULUAN
4. REFERENSI
2. TUJUAN PEMBELAJARAN
5. PROPAGASI
3. KEGIATAN BELAJAR
6. PENDALAMAN
MODUL
1. PENDAHULUAN
sehingga dapat mencapai jarak yang jauh baik dari kebun ke kebun lainnya, negara, atau bahkan benua melalui gunung dan lautan. Memang di udara tidak semua spora yang jatuh kembali pada tanaman (deposisi) semuanya infektif mengingat di udara itu sendiri akan terjadi hambatan seperti partikel debu, sinar ultra violet, atau mungkin bahan kimia yang menyebabkan kerusakan bahakan kematian spora. Untuk mengetahui mengenai peredaran spora di udara tersebut dapat dimonitoring melalui alat penangkap spora (spore traping) dengan berbagai jenisnya
yang
saat
ini
telah
banyak
dijual
belikan
demi
penelitian
epidemiologi atan keperluan lainnya. Dengan alat tersebut populasi spora yang masih efektif dan tidak serta jumlahnya per kubik udara dapat dihitung sebagai inokulum potensial bagi terjadinya epidemi. Dari beberapa penelitian bahkan besarnya spora di udara dapat dijadikan dasar tingkat kerusakan yang akan terjadi pada tanaman tertentu (Sastrahidayat, 1984).
SELF-PROPAGATING ENTREPRENEURIAL EDUCATION DEVELOPMENT (SPEED)
Dalam penyebarannya di udara spora kebanyak dilakukan oleh angin
7
Mata Kuliah / MateriKuliah
2. TUJUAN PEMBELAJARAN
Brawijaya University
2013
1. Mahasiswa mengenal berbagai jenis alat untuk menangkap spora seperti: rotorod sampler, bukarad, Hirst trap, dsb., serta mampu untuk menggunakannya bagi penelitian epidemiologi di lapangan. 2. Mengenal pola sebaran spora di alam yang akan berguna bagi penentuan sampel apabila akan melakukan penelitian sehingga penempatan spora traping dapat proposional yang akan memberikan data yang valid. 3. Mahasiswa mampu merancang alat penangkap spora bila diperlukan berdasarkan prinsipprinsip cara spora disebarkan dan pendaratannya. 4. Mampu mengukur jarak penyebaran dari sumber inokulum awal yang akan berguna dalam menghitung atau mengukur mengenai kemungkinan mewabahnya penyakit dari sati daerah ke daerah lainnya.
3. KEGIATAN BELAJAR Transportasi spora 1. Metode untuk mempelajari "Airspora" Keterangan-keterangan tentang gerakan spora di udara didasarkan pada data yang didapat dari spora trapping, pola epidemi penyakit, serta survey pada strain-strain patogenik. Cara yang paling sederhana untuk menangkap spora ialah dengan memakai gelas sediaan yang dilapisi dengan parafin misalnya (penangkap spora Model Durham). Metode ini, kendati memberi hasil baik, namun dalam arti volumetrik tidak memberi hasil-hasil kuantitatif. Cara penangkapan spora yang lebih teliti dan lebih mahal ialah dengan Rotorod Samplers, Bukarard, Cascade Impactor, Hirst Spore Trap dan lainnya. Alat-alat ini mempunyai dua kelemahan, yakni: pertama, sulit bagi seorang peneliti yang belum berpengalaman untuk mengindentifikasi spora-spora yang tertangkap; kedua, biasanya tidak mungkin untuk membedakan antara spora yang hidup dan yang mati. Untuk mengatasi kesukaran ini, peneliti-peneliti lebih suka memakai alat-alat seperti halnya Sampler Anderson, yang menangkap spora dari berbagai ukuran pada media agar. Metode ini mempermudah penghitungan spora-spora hidup dan identifikasi koloni-koloni yang belakangan tumbuh pada medium tersebut. Cacat alat ini ialah banyak spora yang tak bisa tumbuh pada medium tersebut (apalagi yang bersifat obligat parasit). Kendati metode-metode sampling tersebut di atas banyak cacatnya, namun bila digunakan bersama dengan pengamatan epidemiologi serta survey strain, maka akan memberi keterangan-keterangan yang amat berarti tentang gerakan spora di udara. Pada Gambar 1 sampai dengan Gambar 6 di sajikan beberapa contoh alat penangkap spora yang dimaksud diatas.
Page 2 of 18
Mata Kuliah / MateriKuliah
Brawijaya University
2013
Gambar 1. Alat penangkap spora model Durham (Gravity-slide method), (S) lempengan logam sebagai pelindung; (T) meja tempat meletakan gelas sediaan bervaselin (Ingold, 1960).
Gambar 2. Rotorod air sampler (kiri) dengan beberapa spora yang tertangkap (kanan), yakni: (a) Uredospore Puccinia graminis. (b) Hifa gelap berpigmen dari Cladosporium, dan spora Alternaria. (c) beberapa spora berpigmen, nampak Cladosporium dibagian bawah. (d) Spora belum masak dari Epicoccum purpurascens menempel pada hifa (Deacon, 2010).
Gambar 3. Penangkap spora Burkard yang dapat digunakan untuk monitoring spora (Deacon, 2010).
Gambar 4. Anderson spore sampler dalam bentuk utuh (atas) dengan tiga lempengan logam saringan spora dikanannya. Bawah: Berjejer contoh koloni yang tertangkap dari saringan pada medium agar dari level berbeda (Deacon, 2010). Page 3 of 18
Mata Kuliah / MateriKuliah
Brawijaya University
2013
Gambar 5. Diagramatik susunan alat penangkap spora model Anderson sampler (Deacon, 2010).
Gambar 6. Diagramatik alat penangkap spora model Cascade impactor. A. Nampak irisan memanjang dengan bagiannya: J = lubang masuk udara dengan spora (anak panah), S2-S4 gelas sediaan bervaselin, T1-T4 = tabung penyangga yang mudah dibuka (C1-C4), S-T= tabung penguat. B. Gambaran lengkap alat dengan skala kecil, nampak ekor arah angin dan penyangganya (Ingold, 1960). 2. Komposisi "spora udara" Kendati komposisi spora udara dipengaruhi beberapa faktor, namun yang umum ditemukan ialah spesies dari Cladosporium, Sporobolomyces, Alternaria, Botrytis dan Epicocum, selama jangka tertentu, serta bermacam-macam patogen tanaman seperti rust, powdery mildew, downy mildew dan Basidiomycetes. Kenyataan yang menarik ialah, spora-spora Penicillium, Aspergilus dan anggotaanggota Mucorales jarang dijumpai di udara, karena itu seseorang bisa menyimpulkan bahwa spora tersebut tidak biasa sebagai inokulum tular udara. Jumlah spora dari berbagai spesies yang ada di udara itu tergantung pada lingkungan, periodisitas penerbangan spora, tingkat infeksi patogen dan jumlah inang. Jenis spora tular udara dibagi menjadi: Spora udara basah dan kering. Spora udara basah setelah hujan karena efek kelembaban terjadi pelepasan spora. Sebaliknya jumlah spora udara Page 4 of 18
Mata Kuliah / MateriKuliah
Brawijaya University
2013
kering menurun karena tercuci dari udara oleh hujan. Pada Tabel 1 disajikan perbandingan dari kedua jenis spora tersebut. Tabel 1. Perbandingan spora udara kering dan basah Keragaman yang diukur Ukuran Warna Saat adanya Saat hilangnya Sporulasi Karakter koloni Longivitas (daya hidup) Contohnya
Spora udara kering (Xerospora) Biasanya besar Biasanya gelap Siang hari dalam cuaca cerah Selama hujan Dalam cuaca kering Kering dan bertepung Panjang Urediospora Teliospora jamur api Konidia powdery mildew Konidia Helminthosporium Konidia Alternaria
Spora udara basah (Gloeospora) Biasanya kecil Biasanya hialin (jernih) Malam hari dalam cerah dan hujan Dalam cuaca kering Dalam cuaca basah Basah dan berkilau Pendek Bakteri patogen Askospora Konidia Gloeosporium Konidia Fusarium Spora tunas Taphrina Basidiospora
Gerakan spora di udara Penyebaran spora secara horizontal melalui udara telah dipelajari dengan memakai metode sampling, dan mempelajari perkembangan penyakit tanaman pada jarak yang berbeda-beda dari sumber inokulum (Gambar 7). Gerakan spora dari landasannya adalah dalam arah tiga dimensi, dan dapat disamakan seperti gerakan asap dari suatu api. Semakin jauh dari sumber konsentrasinya rnendekati nol pada jarak 100-200 meter dari sumber. Secara normal, konsentrasi spora di udara berbanding terbalik dengan ketinggian dari tanah. Peneliti-peneliti Kanada rnenemukan bahwa terjadi hubungan logaritmik antara konsentrasi spora di udara dengan ketinggian dari tanah. Jarak tempuh vertikal spora berhubungan dengan ukurannya. Makin besar dan berat spora itu, pengaruh gravitasi yang bekerja padanya makin besar, terutama keadaan udara non turbulen (pada malam hari yang cerah dan tenang). Keluasan biosfer secara vertical belum diketahui dengan pasti. Namun pernah diketemukan spora-spora hidup pada ketinggian lebih dari 30.000 meter dengan kosentrasi spora 1 buah per 32.000 mili meter udara. Spora yang relatif umum dijumpai pada ketinggian tinggi ialah spora Cladosporium dan Alternaria. Kendati umumnya spora-spora jamur berjarak tempuh 100-200 meter dari sumber, akan tetapi dengan angin yang normal dan turbulen beberapa spesies bisa mencapai lebih jauh. Pada Gambar 8 dapat dilihat jarak tempuh Phytophthora tabaci yang disebarkan lewat udara tubulen.
Page 5 of 18
Mata Kuliah / MateriKuliah
Brawijaya University
2013
Gambar 7. Jarak tempuh penyebaran beberapa jenis spora jamur. I, Tilletia sp.; II, Puccinia graminis; III, Cronartium ribicola penyebab kanker pada pinus jarum; IV, Phytophthora infestans penyebab hawar daun kentang (Ingold, 1979).
Gambar 8. Pemindahan jarak jauh (long-range atmospheric transport) dari inokulum P. tabacina (sporangiospora), yang dipindahkan melalui angin atau udara dengan menempuh jarak yang jauh (Main, et.al., 2001). Spora-spora tular udara bisa mencapai jarak amat jauh (13 ribu kilometer), namun penyebaran kebanyakan spora jamur dihalangi pula oleh gunung-gunung, lautan, maupun gurun. Untuk mengadakan infeksi di areal baru spora-spora tersebut harus tetap bertahan hidup ketika mendarat di udara. Longevitas (daya hidup) dan kepekaan masing-masing spesies bahaya alami (radiasi ultra violet,
berlainan terhadap bahaya-
dessication, suhu ekstrim). Dinding tebal dan berpigmen lebih
melindungi spora-spora itu dibandingkan dengan dinding tipis dan tidak berpigmen.
Page 6 of 18
Mata Kuliah / MateriKuliah
Brawijaya University
Pendaratan spora
2013
Ada beberapa mekanisme yang memungkinkan spora-spora mendarat pada substrat padat atau cair, yaitu: damparan (impaction), sedimentation (pengendapan seperti pasir dan air), boundary layer exchange (perubahan lapisan boundary), daya turbulensi (turbulent deposition), daya tarik listrIk (electrostatic-deposition), dan pencucian oleh air hujan (rain washing). a. Damparan (impaction) Damparan dari partikel-partikel kecil sudah dipelajari mendalam, secara teoritis maupun percobaan melalui terowongan angin. Jika suatu silinder padat dilintangkan terhadap arus angin, maka arus yang datang mendekat harus memutar keliling silinder, bersama partikel-partikel yang terbawa. Akan tetapi mungkin juga partikel-partikel tersebut terbawa sampai jarak tertentu ke silinder, karena pengaruh rnomentumnya sendiri, sebelum ia dibawa memutar oleh angin. Atau mungkin juga beberapa parrtikel terbentur pada obyek itu. Spora yang tertangkap melalui damparan jarang sampai 100 persen sebab secara normal sebagian besar spora dibelokan mengelilingi obyek. Efisiensi damparan dipengaruhi oleh momentum spora (massa x percepatan) dan oleh ukuran diameter obyek yang menghalangi arus udara. Dengan percobaan terowongan angin ternyata efisiensi damparan terhadap silinder vertikal ditingkatkan melalui : 1.
Peningkatan kecepatan angin,
2.
Peningkatan massa partikel,
3.
Peningkatan diameter silinder
4.
Membuat silirder yang mempunyai kelengketan (berperekat). Hubungan serupa dipandang terjadi juga untuk damparan pada permukaan-permukaan
berbentuk lain (bagian tanaman). Menarik untuk dicatat bahwa, sebagian besar patogen dedaunan itu berspora besar, sehingga relatif berfungsi sebagai damparan yang efisien. Contoh: efisiensi damparan dari urediospora Puccinia graminis dan konidium Erysiphe graminis pada daun gandum mencapai 40-60 persen. Sedangkan spora-spora jamur tanah berspora kering (Penicillium, Aspergillus) berukuran kecil, tidak sesuai untuk damparan. Spora-spora amat kecil (4-5 mμ) dari Lycoperdon perlatum mempunyai efisiensi damparan sama dengan nol, kendati kecepatan angin normal dan diameter obyek 1 mm (amat sempit). Sporaspora yang amat besar (spora lichenes), sukar terdampar pada obyek-obyek besar, misalnya batang pohon. Untuk memberikan gambaran bagaimana proses damparan itu terjadi dapat dilihat pada Gambar 9, sedangkan Gambar 10 menunjukan mengenai hasil percobaan pengaruh damparan dengan menggunakan silinder dalam berbagai poisisi dan ukuran, sedangkan hasil penelitian damparan pada bagian tanaman disajikan pada Gambar 11.
Page 7 of 18
Mata Kuliah / MateriKuliah
Brawijaya University
2013
Gambar 9. Illustrasi hubungan antara ukuran spora, kecepatan angin dan daya damparan pada silender; (a) Pada kecepatan angin rendah hanya spora besar (berat) yang terdampar; (b) pada kecepatan angin besar spora kecil dapat terdampar (Zakods dan Schein, 1979).
Gambar 10. Pengaruh daya damparan oleh angin terhadap efisiensi spora tertangkap oleh objek gelas (Zakods dan Schein, 1979).
Gambar 11. Effisiensi damparan askospora Eutypa armeniacae pada lembaran daun, petiole, cabang dan ranting tanaman aprikot dengan kecepatan angin berbeda. Daya damparan banyak terjadi pada objek yang sempit (petioles) dan efesiensinya akan meningkat dengan naiknya kecepatan angin (Carter, 1965). Page 8 of 18
Mata Kuliah / MateriKuliah
Brawijaya University
b. Pengendapan
2013
Di bawah kondisi stabil pada malam yang cerah, tatkala udara permukaan tanah didinginkan dari radiasi, lapisan laminar boundary meningkat sampai beberapa meter, sehingga pengendapan dibatasi oleh lapisan tersebut. Kecepatan turunnya spora di bawah pengaruh daya gravitasi tergantung pada ukuran, kepadatan, bentuk, dan kekasaran spora. Kecepatan pengendapan spora yang bundar, berdinding licin dapat dihitung dengan hukum Stokes melalui persamaan sebagai berikut: V = 2σρ/9∪ gr2 V = terminal velocity atau kecepatan sedimentation (cm/dt); σ = kepadatan spora (g/cm, air =1); ρ = kepadatan medium (udara = l,27 x 10 -3 g/cm3); g = akselerasi gravitasi (981 cm/detik2); r = jari-jari spora (cm); U =kekentalan medium (udara = 1,8 x 10 4 g/cm/detik pada suhu 18oC). Terlihat bahwa spora besar Iebih cocok untuk pengendapan dari pada spora kecil. Beberapa peneliti telah memodifikasi persamaan tersebut untuk spora-spora tak bundar dan berdinding kasar. Telah ada kesesuaian antara kecepatan pengendapan dan hasil penelitian. Kecepatan itu berkisar antara 0,05 cm/dt (spora kecil) sampai 2,4 cm/dt (spora besar). Dengan volume spora yang sama, kecepatan terminal spora memanjang lebih rendah dibandingkan spora membulat. c. Boundary layer exchange (pertukaran dalam lapisan boundary) Gregory (1973) mengajukan pendapat bahwa spora-spora yang dilepas dari lapisan boundery laminar sebagai hasil pengendapan, kosentrasinya dipulihkan lagi oleh hamburan partikel-partikel di angkasa. Difusi (hamburan) ini membawa turun partikel-partikel ke lapisan boundary, dari situ partikel-partikel kemudian turun ke bawah melalui aksi gravitasi. Proses ini dikenalkan sebagai "boundery layer exchange" dan secara terus menerus mengisi lapisan udara tenang (still air) tanah dengan partikel-partikel yang kemudian mengendap karena sedimentasi. d. Turbulent deposition (pengendapan turbulensi). Spora-spora dari udara yang bertiup horizontal melewati suatu permukaan, diendapkan lebih cepat dari pada diendapkan dengan sedimentasi karena aksi gravitasi. Ditunjukan bahwa spora-spora tertempelkan pada permukaan bawah maupun atas dari lempengan horizontal yang berperekat. Hal itu dipandang di sebabkan oleh udara turbulent. Tapi mekanisme yang tepat belum diketahui untuk pengendapan turbulen ini. e. Electro static deposition (pengendapan akibat daya tarik listrik statik) Beberapa jenis spora diketahui membawa muatan elektrostatik kecil ketika jatuh dari udara. Hal ini memungkinkan spora-spora tersebut untuk tertarik pada jarak dekat (±1 mm) pada obyek-obyek lain (misalnya tananan). f. Rain washing (pencucian oleh air hujan) Diameter maksimum tetesan air hujan mencapai 5 mm, lebih dari itu ia tak stabil dan pecah, dan selama jatuhnya ia menjadi tetesan yang kecil kurang dari 5 mm. Kecepatan terminal jatuhnya tetes hujan berkisar dari 2-9 m/dt. Page 9 of 18
Mata Kuliah / MateriKuliah
Brawijaya University
2013
Selama jatuh, tetesan hujan bisa membawa serta spora-spora dari udara sampai ke permukaan tanah atau tanaman. Spora-spora kecil (misal dari jamur tanah Penicilium, Aspergillus, Trichoderma) lebih sukar terbawa oleh hujan dari pada spora-spora besar (misal dari Rust, Powdery mildew, Downy mildews). Kalkulasi teoritis rnenunjukan bahwa spora-spora kecil seperti Lycoperdon dan Penicilium akan terkumpul sebanyak nol persen oleh hujan dengan diameter kurang dari 1 mm dan kurang efisien oleh hujan berdiameter lebih besar lagi. Urediospora yang lebih besar (Puccinia), konidia (Erysiphe) dan basidiospora jamur api dapat terkumpulkan oleh tetes hujan dari berbagai ukuran. Efisiensi maksimum terjadi 80 persen dengan tetes hujan berdiameter ± 2.8 milimeter. Ukuran optimal spora untuk dapat diendapkan oleh air hujan bervariasi menurut tetesan air hujan tersebut. Efisiensi pengumpulan paling besar oleh tetesan hujan berdiameter 2 mm terjadi bagi spora bundar dalam semua ukuran, efisiensi 25 persen untuk spora ukuran kecil (diameter 4 μm), dan 85 persen untuk spora besar berdiameter 20-30 μm. Tentang pengendapan spora tidak bulat oleh hujan tidak banyak diketahui. Pengumpulan spora dalam tetes hujan, mekanismenya tidak diketahui terperinci. Tapi selain mengumpulkan spora dengan darnparan, tetesan hujan dapat juga bereaksi sebagai kolektor-kolektor elektrostatik spora. 4. Pola penyebaran patogen di alam Dalam penyebarannya di lapangan pertanian, patogen mempunyai pola tertentu yang ditentukan oleh faktor biologi (jenis patogen) dan lingkungan atau cara disebarkannya, pola tersebut sangat penting untuk diketahui dalam epidemiologi karena akan berpengaruh pada monitoring perkembangannya, khususnya dalam menentukan proporsional sampling. Dari pustaka dikenal beberapa pola penyebaran patogen, yakni: random, reguler, agregat, dan sebagainya (Gambar 12).
Gambar 12. Ilustrasi pola sebaran patogen tanaman di alam. I, random; II, agregat; III, reguler; IV, mengelompok; V, gradien rata; VI, gradien mengelompok (Brown, et.al., 1980). Dengan pola yang demikian perkembangan kecepatan infeksinya dapat diikuti dari waktu ke waktu dengan pengamatan yang dilakukan pada daerah infeksi awal dari suatu kebun yang dikenal dengan istilah pusat infeksi atau foci. Cara tersebut sangat umum dilakukan dalam epidemiologi untuk mendapatkan rumusan empiris mengenai meluasnya atau mewabahnya penyakit dalam suatu daerah atau kebun.
Page 10 of 18
Mata Kuliah / MateriKuliah
Brawijaya University
2013
Penyebaran secara gradien Naik atau turunnya intensitas penyakit tumbuhan mengikuti kecenderungan atau arah angin apabila diplot atau dianalisis secara statistika terhadap gradien penyakit. Gradien penyakit tersebut dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok, yakni: (a) lingkungan dan (b) penyebaran. Gradien lingkungan, besarannya sangat tergantung pada kondisi tanah atau iklim mikro tanaman dan kadangkadang iklim mikro itu sendiri. Sedangkan gradien penyebaran dipengaruhi oleh variasi inokulum yang datang. Spora jamur disebarkan secara gradual dan kemudian secara perlahan menempatkan diri pada substrat kembali yang prosesnya akan dipengaruhi oleh gaya gravitasi. Kecepatan awal jatuh dari spora yang disebarkan, disebabkan oleh resistensi atmosfer segera turun dengan tenang pada suatu kecepatan konstan (dalam udara yang tenang), disebut sebagai terminal velocity. Terminal velocity tergantung pada ukuran, bentuk dan karakter spora lainnya. Alat untuk mengukur terminal velocity spora disebut ukkelberg; dengan alat ini diketahui bahwa uredospora Puccinia graminis tritici mempunyai nilai 1,06 cm/detik dan P. recondite tritici 1,26 cm/detik. Spora jamur dengan bentuk bulat dan berdinding halus, tepung sari dan partikel lain menempatkan diri di udara tenang mengikuti hokum Stoke. Namun diketahui bahwa tidak semua spora berbentuk bulat, spora lonjong seperti Alternaria, Helminthosporium dan spesies lainnya akan jatuh dengan lambat dibandingkan spora bulat dengan volume yang sama. Jarang atmosfer tetap tenang bagi daya tahan turbulen dengan pusaran angin (arus eddy), baik pada kondisi makro maupun mikro, dengan demikian difusi spora semakin komplek. Dilution dari kabut partikel yang dipengaruhi oleh arus eddy telah dipelajari oleh para ahli. Barangkali, suatu arus eddy yang kecil sebesar 1 cm tak dapat mengangkat dan memindahkan satu meter awan spora. Arus eddy yang mampu melarutkan awan spora setidaknya berukuran sama dengan awan spora itu sendiri. Berdasarkan observasi ini Sutton membuat rumus sebagai berikut: σ2=1/2 C2 (ut)m ………………………………………………………(Persamaan 1) dimana σ (dibaca Sigma) = difusi, t = waktu, u = kecepatan angin, C adalah koefisien dengan dimensi (L)1/8 dan m = jumah bervariasi antara 1,24 dan 2,00 tergantung pada perbesaran turbulen. Dengan mengalihkan kecepatan angin terhadap waktu sama dengan jarak (ut), maka dapat diganti dengan X (menurut Gregory), sehingga persamaan menjadi: σ= ½ C2Xm…………………………………………………..………(Persamaan 2) Gradien jatuhnya spora Lycopodium dan Podaxis telah dipelajari dengan model tersebut di atas. Berdasarkan hal itu ternyata bahwa factor utama yang membangun sebaran gradien adalah arus eddy, dengan demikian apabila mengikuti persamaan 2, maka prediksi spora tular udara dari mana asalnya dapat diketahui. Spora kecil dan partikel lainnya bergerak turun mengikuti gradient suhu selama transportasi. Sering kecepatan angin lebih besar dari terminal velocity mempengaruhi penyebaran spora, transportasi dan gradient dispersal. Spora kecil turun perlahan dan juga terbawa jauh. Telah dihitung bahwa spora dengan terminal velocity 0,8 cm/detik, akan jatuh dari ketinggian 2,5 m atau 8 kaki dapat terbawa sejauh 2,5 mil atau 4 km dengan kecepatan angin 50 km/jam. Penyebaran yang jauh akan terjadi dengan meningkatnya nilai parameter yang terlibat. Spora yang tersebar luas sangat Page 11 of 18
Mata Kuliah / MateriKuliah
Brawijaya University
2013
tergantung pada turbulensi atmosfer, ketinggian sumber dan kepadatan inokulum awal. Arus eddy yang menyebabkan turbulensi sangat bervariasi dimensinya dan mempunyai jarak kejadian 1 dan 5 detik. Dengan berlangsungnya penyebaran spora yang terus menerus dan komplek, arus eddy mampu membentuk berbagai tipe gradient deposisi. Makro-eddy seperti angin siklon atau sirkulasi pada altitude menengah berakhir beberapa hari dan dapat menyebarkan patogen dalam jarak yang jauh. Pada makro-eddy demikian banyak terlihat mikro-eddy di dalamnya. Studi terhadap gradien dispersal spora P. infestans sekitar sumber inokulum, didapat bahwa parameter lain juga penting, yakni: Q0 /K. Persamaan Waggoner untuk prediksi penyakit di bawah kondisi lapangan, dan bukan hanya untuk spora yang menyebar secara gradien dispersal. Di lapangan dengan topografi yang sama, jika parameter dengan hati-hati diukur dalam hubungannya dengan kondisi yang ada dapat digunakan untuk memperkirakan gradien penyakit secara umum. Kecepatan penyakit hawar daun kentang di sekitar tunas; aciospora P. graminis tritici dari semak barbery sakit atau situasi sejenis lainnya adalah analog dengan asap yang dikeluarkan dari cerobong pembakaran. Untuk menjelaskan hal ini, model telah dibuat oleh ahli fisika. Sutton memberikan persamaan tentang penyebaran partikel dari suatu sumber titik dan dari sumber garis kontinyu pada sudut kanan ke rata-rata arah angin. Model tersebut banyak digunakan untuk studi penyebaran spora. Ahli lain mencatat bahwa hanya sedikit pencaran foci awal P. infestans tersusun sekitar pertunasan. Tabel 2 menunjukkan luasnya sebaran spora yang terjadi sekitar pertunasan kentang yang terinfeksi. Foci ini menghasilkan infeksi kedua yang akan menjadi pemacu suatu epidemi. Umumnya, infeksi lebih awal terjadi oleh penanam selama fase kedua, bila penyakit telah mapan di lapangan. Persamaan untuk mengukur hubungan jarak spora disebarkan dapat dilihat padat rumus berikut: Y = In a+bx…………………………………………………………(Persamaan 3) dimana: a = intercept, b = slope dan x = jarak dalam meter dari titik sumbernya. Tabel 2. Hawar daun kentang di lapangan pada jarak yang berbeda dari tanaman sakit. Jarak dari tunas (kaki) 100 200 300 400 500 600
Persentase tanaman sakit 98 55 21 6 0 1
Bercak/100 tanaman 293 93 31 9 0 1
Dengan demikian bila tertangkap sekitar 10.000 spora/cm 2 pada sumber, kemudian 1.000 spora/cm2 dapat didamparkan pada ketinggian yang sama 100 m oleh angin yang turun, dan hal ini seperti yang dikemukakan oleh persamaan Gregory. Studi gradien penyakit dapat ditunjukkan dalam berbagai titik. Dengan menggunakan penyakit embun palsu pada (P.sorghi) yang sporanya ditangkap dengan berbagai metode penangkapan dari suatu sumber, maka dapat diplot seperti Gambar 13. Dari Gambar 13 nampak bahwa kepadatan spora akan menurun secara logaritma dengan meningkatnya jarak tempuh, sekalipun konidium masih bisa ditangkap pada jarak 80 meter dari sumbernya. Konsistensi penangkapan spora menunjukan bahwa spora dapat menyebar pada jarak yang baik di Page 12 of 18
Mata Kuliah / MateriKuliah
Brawijaya University
2013
dalam lapangan untuk membuat perbanyakan foci. Untuk menunjukkan hal ini, bisa dipelajari dari kondisi cuaca di India Utara, selama musim dingin kurang baik untuk pertumbuhan P. graminis tritici dibandingkan P. striiformis. Dengan menggunakan sumber titik dari gradien penyakit maka dapat dibuat peta dengan menggunakan interval periode tertentu (Gambar 14).
Gambar 13. Gradien dispersal penyakit embun tepung pada gandum, menunjukkan hubungan logaritma menurun terhadap jarak.
Gambar 14. Perkembangan laju penyakit karat pada gandum di Karnal-India. (A) laju infeksi karat hitam, (B) karat coklat, (C) karat kuning. Setelah periode waktu yang konstan, A, B dan C menyebar masing-masing pada jarak 22, ,92, 100 meter. Warna putih infeksi berat, garis-garis infeksi sedang dan ringan. Sampai bulan April penyebaran radial dari karat kuning lebih banyak dibandingkan karat batang. Hal ini jelas menunjukkan bahwa walaupun infeksi karat terjadi secara berpencar namun tidak mempunyai potensi epidemi di India Utara. Spora di udara dan keganasan penyakit Konsistensi spora di atas kanopi bergantung pada keganasan penyakit pada kanopi telah ditunjukkan dengan studi pada cacar teh (Exobasidium vexans) di Sri Langka. Caranya yakni dengan memetik dua daun dan satu tunas kemudian meneliti hubungan linier antara jumlah spora di udara dan jumlah cacar yang terjadi pada daun teh. Ahli lain meneliti hubungan langsung antara keganasan serangan karat batang gandum dan banyaknya uredospora di udara. Observasi tersebut menunjukan perbedaan sangat nyata dimana Page 13 of 18
Mata Kuliah / MateriKuliah
Brawijaya University
2013
monitoring penyakit yang rutin tak dapat dilakukan maka dapat digunakan sampel udara secara remote control untuk mengetahui keparahan penyakit.
Dalam hal penyakit virus yang dibawa vector, hubungan yang jelas antara vector yang tertangkap dengan keparahan penyakit tidak selalu terjadi. Sebagai contoh M. persicae tak dapat digunakan sebagai indek untuk meramalkan penyebaran penyakit potato regose mosaic atau potato leaf roll di lapangan. Parameter lain seperti factor yang mempengaruhi migrasi aphid, efisiensi vector, infektifitas dan kepekaan inang sasaran juga penting diperhatikan. Jumlah vector yang tersedia juga salah satu factor dari banyak factor untuk penyebaran penyakit. Serangga yang tertangkap, sebagai dasar untuk menghitung jumlah vector tidak dapat dibuat untuk menunjukkan jumlah aphid pembawa virus yang datang awal unutk menyebabkan penyakit. Perangkap hanya digunakan apabila inspeksi lapangan tak dapat dilakukan secara regular, apa yang tertangkap tidak mncerminkan apa yang terjadi dibalik itu. Dengan demikian perangkap sering dihindari dalam epidemiologi. Mekanisme pengendapan spora Spora yang disebarkan melalui udara oleh angin akan mengendap kembali pada permukaan inang dan dapat menyebabkan infeksi. Pengendapan terjadi di bawah gaya gravitasi bila udara tenang, dan spora besar seperti Helminthosporium dan Alternaria akan jatuh lebih cepat. Selama kondisi cerah dan dingin berlangsung malam hari lapisan laminar akan menjadi besar sampai beberapa meter, dan sebagai akibatnya maka polen, spora dan partikel lain akan mengendap. Migrasi dan penyebaran Migrasi berbeda dengan penyebaran. Penyebaran mengandung arti keduanya. Perubahan kepadatan populasi merupakan hasil kelahiran dan kematian dan dimodifikasikan dalam bentuk migrasi atau penyebaran. Migrasi didefinisikan sebagai pergerakan tertentu, dimana keduanya pergerakan dan arah tersebut di bawah control organisme. Penyebaran patogen tumbuhan dapat dibagi dalam tiga kategori: a) Penyebaran dalam kanopi. Pada permulaan musim tanam inokulum awal datang, infeksi awal terjadi pada daun bagian bawah melalui proses damparan. Sejalan dengan pertumbuhan tanaman daun baru akan dihasilkan yang pada gilirannya daun tersebut akan diinfeksi kembali oleh patogen. b) Penyebaran dari kebun ke kebun (jarak dekat). Penyebaran patogen melalui tanah dari lapang ke lapang dibawa oleh aliran air, deposisi partikel tanah oleh angin. Penyebaran patogen dari lapang ke lapang dapat disebabkan oleh alat pertanian yang terjadi selama operasi rutin pengerjaan tanah. Sebagai contoh laju penyebaran nematoda parasit tanaman dipercepat oleh operasional pertanian. c) Penyebaran jarak jauh. Jika jarak penyebaran patogen berasal dari sumber ke sasaran melebihi jarak sekitar 200 km atau lebih selama fase perkembangan epidemi, hal ini dapat disebut sebagai penyebaran jarak jauh. Patogen yang biasanya merupakan endemi alami (penyakit lokal) dapat masuk ke habitat baru yang kemudian menetap dan membuat epidemi. Contoh: Penyebaran trans atlantik penyakit karat kopi (Hemilia vastatrix) dari Afrika Barat ke Amerika Latin terbawa arus udara atas. Uredospora dari karat kopi yang telah ditangkap dengan menggunakan alat penangkap spora voumetrik pada ketinggian 1000 meter di atas perkebunan kopi, dan hal ini mengisyaratkan tentang kemungkinannya penyebaran Page 14 of 18
Mata Kuliah / MateriKuliah
Brawijaya University
2013
jarak jauh apabila terbawa angin. Selama musim dingin dan panas, partikel pasir halus dari gurun pasir Sahara Afrika Utara akan membawanya ke lapisan udara lebih tinggi lagi dan kemudian terjadi transportasi dan deposisi ditempat yang jauh. Telah dicatat bahwa terjadi deposisi pertikel tersebut di Jerman dan kepulauan Karibia. Gambar 15 menunjukkan hipotesis tersebut.
Gambar 15. Kemungkinan transportasi patogen karat kopi oleh arus udara atas dari Afrika Barat ke Amerika Selatan berdasarkan analisis partikel debu yang terbawa dari gurun Sahara melalui transatlantik. Lingkaran hitam menunjukkan tempat asal pertama kali karat muncul. Penyebaran Vektor Virus Beberapa serangga pembawa virus juga dipindahkan dalam jarak yang jauh. Sebagai contoh Schizaphis graminum, pembawa virus yang menyebabkan penyakit kerdil kuning pada barley (barley yellow dwarf), kutu hijau (green bug) dan aphid Macrosyphium avenae dipindahkan dalam jarak jauh di Amerika Serikat. Wereng coklat pada padi (N.lugens) penyebab kerdil rumput di Filipina dicatat telah disebarkan dalam jarak yang jauh. Tercatat bahwa penyebarannya muncul di atmosfer di bawah ketinggian 1500 meter. Vektor ditemukan sekalipun telah terbang sekitar 30 jam. Penyebaran wereng coklat diantara kepulauan Filipina kemungkinan telah terbang mencapai jarak 500-600 km. Terdapat kemungkinan wereng datang dari Taiwan atau kepulauan Liliw di Filipina yang jaraknya 500km. Dinamika transportasi jarak jauh Konsentrasi total spora di udara di atas tanah berhubungan dengan suhu profilnya. Di dalam suatu udara tak stabil, konsentrasi spora menurun secara logaritma menurut ketinggian dan sangat baik diekspresikan apabila diplot pada log (n + 1) spora/m3 terhadap ketinggian secara linier. Apabila pengujian dilakukan pada ketinggian lebih dari 3 km, maka tidak ditemukan hubungan antara laju perubahan suhu dengan penurunan konsentrasi spora. Sehingga dapat diperkirakan hanya pada udara stabil konsentrasi spora menurun di dalam lapisan awan. Sebagai contoh, dalam awan kumulus didapatkan 6.500 spora/m3 pada bagian atas dan hanya sekitar 500 spora/m 3 pada bagian terbawah. Sampel udara di bawah awan menunjukkan adanya peningkatan konsentrasi spora sampai 4.500/m 3. Perbedaan yang sangat besar ini diduga karena adanya variasi transportasi di dalam awan, dimana awan kumulus diketahui sebagai alat transportasi partikel dan terjadi adukan didalam sistemnya. Penyebarannya telah didefinisikan sebagai suatu proses perjalanan melalui jarak tertentu didalam ruang tertentu dari waktu pemberangkatan sampai ke waktu pendaratan spora. Awan spora bila terbawa dalam udara terbang mengikuti jalan yang ditempuh oleh kecepatan angin dan arah angin, dan dalam proses trubulensi akan naik tinggi sehingga meningkatkan jarak yang ditempuh. Page 15 of 18
Mata Kuliah / MateriKuliah Waktu
pada
saat
spora
diterbangkan
tidak
hanya
Brawijaya University
berhubungan
dengan
2013
kedekatan
sedimentasinya pada sumbernya, namun juga tergantung pada jauhnya jarak transportasi dan deposisi. Dengan meningkatnya jarak dari sumber, arus eddy terkecil menjadi kurang penting bagi difusi dan transportasi spora jamur. Banyak contoh pustaka dimana system cuaca yang komplek, seperti angin siklon, badai, dsb. membawa patogen tanaman. Pertumbuhan foki Epidemi tumbuhan tergantung pada suksesnya kemapanan infeksi pertama. Untuk memulai, sedikit mikrofoki berkembang pertama kali di musim tanam dan kemudian mengembang menjadi suatu seri anak foki disekitarnya. Bila jumlah foki terbentuk dalam areal yang luas diplot terhadap waktu, maka akan mengikuti kecenderungan yang sama dengan peningkatan keparahan penyakit. Intensitaas penyakit di dalam suatu foki, ukurannya dan bentuknya sangat bervariasi. Bila terjadi perkembangan menyeluruh suatu epidemi, tepi dari tapal batas dan menuju kearah ujung epidemi sesungguhnya adalah kacau dan komplek. Zadoks dan Schein (1979) mendapatkan bahwa pada saat awal suatu epidemi didapat sekelompok kecil dari satu atau dua tanaman gandum terserang berat oleh karat kuning yang telah mapan dan bersporulasi hebat. Sering inokulum yang dihasilkan mewarnai daun-daun yang berdekatan karena adanya goyangan dari daun yang terinfeksi. Pada fase ini penyebaran penyakit terlokalisir dan jarang ke luar dari balik lajur sekitarnya. Sebagai akibatnya, maka tanaman yang berada dalam lajur berdekatan juga menjadi berkarat dan fokinya sekarang menjadi seluas satu kaki persegi ukurannya, dan berfungsi seperti kantong baju sebagai ibu focus untuk menyebar lebih lanjut. Pada fase ini jika penyakit ditransformasi secara mekanik akan menyebar sejauh implementasi pertanian yang digunakan setelah operasi kultur praktis. Segera setelah foki menduduki area beberapa meter persegi, secara tak terasa foki kedua terbentuk disekitarnya. Sekarang penyakit menyebar ke jarak yang lebih baik dalam arah yang berbeda. Dari fase penerbangan ini, perkembangan penyakit berada dalam kanopi tanaman dan akan menyebar dalam area yang luas. Suatu pertumbuhan tertentu yang didukung oleh inokulum dalam jumlah besar yang diterbangkan, dan bila kondisinya sesuai maka penyakit akan menyapu seluruh area sehingga terjadi suatu epidemi atau pandemi. Pada Gambar 16 contoh foki dan pada Gambar 17 disajikan suatu penelitian perkembangan penyakit dengan menggunakan diagram perkembangan secara horizontal atau meluas ke luar foci.
Gambar 16. Contoh foci karat daun (Puccinia coronata var. avaenae) berwarna cokelat dalam kebun oat, disebut juga sebagai 'hot spots' . Biasanya terjadi pada awal musim semi dan akan meluas pada akhir musim (Loughman dan McKirdy, 2005).
Page 16 of 18
Mata Kuliah / MateriKuliah
Brawijaya University
2013
Gambar 17. Percobaan penyebaran penyakit karat kuning (Puccinia striiformis) pada gandum, dengan menggunakan pola “sarang laba-laba”. Penyakit berkembang dari foci berdasarkan waktu dan ruang (Zadoks dan Schein, 1979). Prinsip-prinsip pengendalian penyakit tular udara (airborne) Pengendalian penyakit airborne didasarkan pada satu dari tiga strategi: 1. mencegah inokulum menjadi tular udara dengan merusak inokulum pada sumbernya 2. melindungi tanaman dari infeksi oleh inokulum tular udara dengan menutup permukaan tanaman memakai benteng-benteng kimia, atau dengan memakai fungisida sistemik 3. dengan program-progam breeding atau seleksi tanaman untuk meningkatkan resistensi alami terhadap infeksi inokulum. Ringkasan dan Kesimpulan Inokulum kebanyakan jamur maupun bakteri parasit melintasi boundary dekat permukaan tanah dan memasuki lapisan turbulent. Proses pelepasan inokulum merupakan soal penting dalam penyebaran patogen. Energi pelepasan aktif berasal dari dalam patogen atau organisme itu sendiri, energi pelepasan pasif datang dari luar patogen.
Faktor-faktor yang mengendalikan
mekanisme
pelepasan, akan mengendalikan adanya inokulum di udara dan terjadinya epidemi. Semakin khusus organisme itu untuk penyebaran dengan satu cara, semakin tidak sesuai untuk penyebaran dengan cara lain. Semakin besar spora dipindahkan sejarak 100-200 m dari sumbernya, namun ada sporaspora
dari
beberapa
spesies yang memproduksinya dalam jumlah banyak,
sampai beberapa ribu kilometer.
dipindah-pindahkan
Topografi (gunung-punung, vegetasi dan Iain-lain) menghalangi
penyebaran inokulum, karena itu mempengaruhi perkembangan epidemi. Pemilihan alat yang tepat
untuk
mempelajari mikroflora udara ditentukan oleh
rintangan
organisme yang disampel dan karateristik aerodinamika organisme itu. Kecermatan amat perlu dalam menentukan metode untuk mempelajari airspora dan dalam penilaian hasil-hasil setiap penyelidikan, seseorang harus membuat penilaian secara kritis dari metode sampling yang dipakai. Peranan penyebaran patogen tular udara ada dua: Page 17 of 18
Mata Kuliah / MateriKuliah
Brawijaya University
a. Memungkinkan penetrasi patogen primer yang penting untuk memulai suatu epidemi. b.
Penting dalam penyebaran
2013
gen-gen dan penyebaran luasan genotip-genotip yang baru muncul
dari mutasi, kombinasi seksual maupun aseksual dari gen-gen.
4. REFERENSI Brown, J.F., A. Kerr, F.D. Morgan, dan I.H. Parbery. 1980. A course manual in plant protection. AAUCS-Melbourne. 483 h. Gregory, P.H. 1961. The microbiology of the atmosphere. Leonard Hill, London. 250 h. Ingold, C.T. 1960. Dispersal in fungi. Oxford Univ. Press. London. 206 h. Loughman, R. and S. McKirdy. 2005. Leaf diseases of oats. Plant Pathologists, Plant Pathology, South Perth . http://www.wa.gov.au/ Sastrahidayat, I.R. 1984. Studi epidemi penyakit tepaung pada apel di Batu-Malang. Desertasi. Pascasarjana UGM. Zadoks, J.C. and R.D. Schein. 1979. Epidemiology and plant disease management. Oxford Univ. Press. New York. 427 h.
5. PROPAGASI 1. Mahasiswa melakukan pengamatan spora di lapangan pada daerah pertanaman tertentu yang menunjukkan adanya outbreak penyakit, dengan menempatkan alat penangkap spora secara proposional dan dilakukan pada waktu penerbangan spora. Pekerjaan ini sebaiknya dilakukan secara berkelompok agar supaya terjadi diskusi yang komprehenship baik menyangkut kondisi lahan, penyakit, cara penyebaran, dsb. Hasil pengamatan dikoleksi untuk diamati di bawah mikroskop di laboratorium, yang kemudia dibuat laporannya berdasarkan kondisi sesungguhnya untuk didiskusikan dengan dosen pengampu. 2. Mengenal pusat awal penyakit (foki) dengan melihat secara langsung di lapangan supaya mengetahui cara penyebarannya.
6. PENDALAMAN 1. Apakah kelebihan dan kekurangan peralatan penangkap spora pada Gambar 1 sampai dengan 6, apabila digunakan untuk menghitung populasi spora di udara dalam suatu pertanaman. 2. Bagaimana cara saudara menghitung kecepatan laju perkembangan penyakit dengan menggunakan percobaan seperti pada Gambar 17. 3. Mengapa pola penyebaran penyakit penting diketahui untuk penelitian epidemiologi yang terjadi di lapangan, jawaban anda ada hubungannya dengan Gambar 12. 4. Mengapa spora lebih sulit untuk mendarat pada permukaan yang berdiameter besar dibandingkan dengan yang kecil? Page 18 of 18