EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TUMBUHAN (S1): Hubungan cuaca dengan penyakit tumbuhan Faculty of Agriculture, Universitas Brawijaya Email : @ub.ac.id
MODUL
1. PENDAHULUAN
4. REFERENSI
2. TUJUAN PEMBELAJARAN
5. PROPAGASI
3. KEGIATAN BELAJAR
6. PENDALAMAN
Cuaca merupakan faktor penting dari segitiga penyakit yang membantu atau memacu bagi terjadinya penyakit pada pertanaman atau dalam areal tertentu baik secara langsung mempengaruh patogennya atau pertumbuhan vektornya. Pengetahuan yang mendasar mengenai peranan cuaca ini sangat membantu
dalam
pendekatan
membangun
unsur-unsurnya,
konsep
sperti:
peramalan
suhu
udara,
penyakit
dengan
kelembaban
nisbi,
kecepatan angin, lama penyinaran, dan sebagainya. Demikian
pentingnya
epidemiologi
yang
peranan
menekankan
unsur
tersebut,
pada
pendekatan
maka ini
banyak yang
studi
beberapa
contohnya disampaikan dalam modul ini. Namun demikian peranan penelitian yang lebih komprehenship masih perlu dikembangkan khususnya untuk peramalan penyakit di lapangan (Semangun, 1979). Masalah yang relatif sulit dalam pengematan hubungan cuaca dengan kejadian penyakit di lapangan pada dasarnya terletak pada beberapa hal, antara lain: sedikitnya informasi mengenai situasi kejadian penyakit dalam kondisi cuaca mikro, yakni pada permukaan jaringan tanaman itu sendiri. Hal ini tidak aneh mengingat kurangnya peralatan untuk studi hal tersebut dan demikian mikroskopisnya proses epidemi yang terjadi yang hanya bisa diamati dengan menggunakan kaca pembesar (mikroskop). Hal lain adalah pengetahuan mengenai hubungan perubahan cuaca makro atau meso terhadap kondisi mikronya, yang tentu saja memerlukan konversi rumusan tertentu yang dapat dijadikan acuan secara umum.
SELF-PROPAGATING ENTREPRENEURIAL EDUCATION DEVELOPMENT (SPEED)
5
1. PENDAHULUAN
Mata Kuliah / MateriKuliah
Brawijaya University
2. TUJUAN PEMBELAJARAN 1. Mengenalkan
contoh-contoh
penelitian
epidemiologi
penyakit
tanaman
yang
2013 melalui
pendekatan unsur cahaya, baik di luar negeri maupun di dalam negeri yang dengan cara ini akan sangat membantu mahasiswa dalam mengadopsi teknologi penelitian sejenis dalam kondisi lingkungan yang berbeda. 2. Mahasiswa akan mampu membedakan pengaruh unsur cuaca secara tunggal dan majemuk dalam
proses
epidemi
penyakit,
apakah
menyangkut
sporulasi,
distribusi,
maupun
ketahanannya di alam.
3. KEGIATAN BELAJAR Hubungan cuaca dengan penyakit tumbuhan Hubungan unsur cuaca dengan kejadian penyakit telah diketahui oleh para petani diseluruh dunia, khususnya kondisi cuaca pada saat budidaya tanaman tersebut tumbuh di lapangan. Cuaca merupakan istilah yang digunakan untuk keadaan lingkungan udara terbuka, yang unsurnya dapat terdiri dari cahaya, suhu, hujan, bersalju, kelembaban, embun, keadaan berawan, keadaan cerah, berangin, pergerakan udara, penguapan, dan tekanan udara atau atmosfer. Salah satu atau gabungan dari unsur tersebut berpengaruh terhadap kejadian penyakit tumbuhan. Sebagai contoh dalam kebun apel, pergerakan udara baik oleh angin atau arus naik (eddy currens) mampu membawa spora jamur scab (kudis) dari daun yang tua dekat permukaan tanah ke atas dan menginfeksi daun yang peka dan buahnya. Suhu dan kelembaban juga berpengaruh pada banyak kejadian penyakit. Fire blight pada apel dan pear sebagai contohnya, akan cepat berkembang apabila kondisinya hangat, basah pada musim semi dan awal musim panas (Tabel 1 dan 2). Berkembangnya populasi nematoda dilain pihak sangat sesuai dengan adanya kondisi hangat hingga panas yang panjang selama musim tanam. Cuaca di daerah panas Telah diketahui bahwa perkembangan penyakit dipengaruhi oleh cuaca tertentu. Seperti halnya serangannya pada tanaman, beberapa patogen sesuai dengan daerah bercuaca dingin sedangkan yang lainnya kondisi panas. Dalam prakteknya semua jamur dan bakteri membutuhkan kelembaban bebas pada permukaan tanaman yang peka dalam rangka memperbanyak dirinya, penyebaran, dan infeksi tanaman. Sementara patogen lain mungkin kurang dipengaruhi. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa cuaca pada suatu area atau daerah secara umum berfluktuasi di dalamnya dan bukan merupakan kondisi rata-ratanya, sehingga membentuk pola yang khas tersendiri. Secara umum prevalensi penyakit dan munculnya penyakit tertentu dipengaruhi oleh kekhasan tersebut.
Page 2 of 12
Mata Kuliah / MateriKuliah
Brawijaya University
2013
Variasi dari kondisi “normal” sering menjadi penyebab terjadinya ledakan penyakit (outbreak) sporadis pada penyakit tertentu yang biasanya tidak terjadi. Cuaca dalam suatu daerah merupakan faktor utama yang membantu perkembangan tanaman lebih baik, namun juga terjadinya prevalensi penyakit pada tanaman yang peka. Kapan suatu patogen penyebab penyakit menyebabkan kehilangan hasil yang nyata sangat tergantung pada bagaimana kondisi setempat atau cuaca hariannya mampu menyebabkan perkembangan, penyebaran, dan infeksi dari patogennya. Beberapa penyakit tanaman muncul bilamana tumbuhan inangnya ditanam. Fungisida dan cuaca Disebabkan pola perkembangan penyakit telah banyak diketahui, maka outbreak penyakit tertentu telah mampu diramalkan satu atau tiga minggu atau lebih sebelum terjadi, beberapa contohnya antara lain: epidemi atau epifitotik dari hawar daun kentang dan tomat; scab pada apel dan pear; embun tepung palsu (downy mildew) pada lima beans, vine, dan anggur; karat daun dan batang pada bijian kecil; bercak daun Cercospora pada beet gula; dan beberapa antraknose. Prediksi tertentu dapat digunakan untuk menduga atau memutuskan dimana fungisida digunakan atau diaplikasikan. Pada beberapa perkecualian, pada umumnya atau endemik penyakit pada tanaman tertentu dapat terjadi sepanjang tahun. Pada organisme penyebab penyakit yang umumnya tak dapat dikurangi keparahannya karena berada dalam jaringan tanaman, maka pengendaliannya hanya melalui pencegahan terjadinya infeksi. Cara ini di alam harus lebih ditingkatkan apabila kondisi cuacanya sesuai bagi terjadinya infeksi dan perkembangan penyakit. Bila inokulum jamur patogen tersedia dan dalam jumlah besar, dan bila kondisi cuaca ideal untuk terjadinya infeksi pada inang yang peka, maka fungisida protektif cukup efektif apalagi bila kemudian cuaca menjadi tak sesuai. Dengan kata lain efektifitas fungisida untuk melindungi tanaman juga tergantung kondisi cuaca. Prospektif penyakit Tabel 1 menunjukkan propektif kehilangan hasil akibat penyakit dikarenakan oleh pengaruh beberapa kondisi cuaca. Dalam contoh ini, cuaca (khususnya curah hujan) mempunyai pengaruh lebih kurang langsung terhadap patogen itu sendiri. Kadangkala pengaruhnya dapat langsung, misalnya vektor serangga atau tungau atau pembawa lainnya yang bertanggungjawab terhadap penyebaran patogen dari satu tanaman ke lain tanaman. Terjadinya penyakit layu bakteri pada tanaman kapas dapat berhubungan langsung dengan kondisi suhu pada saat perubahan ke musim dingin (winter). Cuaca hangat pada musim dingin merupakan kondisi ideal bagi serangga dewasa flea beetles pada jagung, yang di dalam badan serangga tersebut bakteri penyebab penyakit bertahan hidup selama musim dingin. Kejadian penyakit layu oleh karena itu dapat diramalkan (forecast) berdasarkan jumlah suhu rerata bulanan dari Desember, January, dan Februari.
Page 3 of 12
Mata Kuliah / MateriKuliah
Brawijaya University
2013
Tabel 1. Potensi kerusakan pada beberapa jenis tanaman, yang tergantung pada curah hujan waktu musim semi dan panas di Illinois (USA)
Jenis tanaman Semua tanaman
Bijian kecil Bijian kecil Jagung Jagung Jagung dan kedelai Kedelai Alfalfa
Kacangkacangan Kentang, tomat, anggur Apel dan pear Anggur Strawberry, Raspberry Pohonan, semak Hijauan Hijauan Rumputan Rumputan
Penyakit Busuk mahkota dan akar, bercak dan hawar daun dan, busuk biji, rebah semai Penyakit daun, karat, scab, blendok Virus kerdil kuning Gosong bengkak Daun, busuk batang dan malai daun Busuk pangkal akar Daun, busuk akar dan batang, hawar polong dan batang Daun, busuk mahkota dan akar, antraknose, batang hitam Daun (hawar bakteri, karat), Sclerotinia, Pythium Hawar dan bercak daun, antraknose, busuk buah (umbi). Scab, hawar, karat, bercak daun dan buah, busuk buah Busuk hitam, downy mildew, busuk buah, Daun, busuk buah, busuk akar Antraknose, hawar, busuk buah, daun Bercak dan hawar daun, antraknose, karat Hawar daun jarum, hawar Diplodia Kecoklatan, gugur daun jarum Bercak daun, meleleh, mold lendir Karat, nekritik ring spot, powdery mildew, antraknose
Musim semi atau panas basah Parah
Musim semi atau panas normal Ringan ke sedang
Musim semi atau panas kering Diragukan
Parah
Ringan ke berat
Diragukan
Diragukan ke parah Diragukan Sedang
Ringan ke parah
Ringan ke parah
Ringan Ringan
Ringan ke parah Diragukan
Diragukan
Sedang
Parah
Berat
Ringan
Diragukan
Sedang ke parah
Sedang
Ringan
Parah
Sedang
Ringan
Parah
Ringan
Diragukan
Parah
Sedang ke parah
Ringan ke sedang
Parah
Ringan ke parah
Ringan ke sedang
Parah
Ringan ke sedang
Ringan
Parah
Ringan ke sedang
Ringan
Parah
Ringan ke sedang
Diragukan
Parah
Sedang
Ringan
Parah
Ringan
Sedang ke parah
Parah
Ringan ke sedang
Ringan
Diragukan
Ringan ke sedang
Sedang ke parah
Page 4 of 12
Mata Kuliah / MateriKuliah
Brawijaya University
2013
Apabila jumlah rerata suhu Fahrenheitnya untuk bulan-bulan tersebut kurang dari 90, maka serangan layu bakteri akan ringan atau malah tidak ada pada musim berikutnya; sebaliknya bila jumlah reratanya lebih 100, maka akan terjadi ledakan penyakit yang parah. Penyakit fire blight pada apel dan pear Kondisi suhu dan kelembaban, juga adanya suhu beku pada saat awal pembungaan berpengaruh besar terhadap terjadi atau tidaknya infeksi blight pada bunga. Tabel 2 menunjukkan adanya hubungan infeksi fire blight pada bunga dan ranting dan akan terhindar bila streptomycin digunakan untuk proteksinya. Tabel 2. Hubungan suhu dan kelembaban terhadap infeksi fire blight pada bunga dan ranting tanaman apel dan pear.
Terjadi infeksi atau tidak Mungkit terjadi infeksi
Suhu (0C)
Kelembaban (%)
a. 30 derajat harian antara ahir freeze dan awal berbunga b.Suhu maksimum 21o sampai 27oC selama awal berbunga
Mungkin tidak terjadi atau dapat terjadi infeksi pada bunga
a.Freeze menutup bunga dan lebih kecil dari 30 derajat harian antara freeze ahir dan awal berbunga
a. Curah hujan cukup selama periode awal berbungan b. Hujan sangat lembut dan kelembaban tinggi selama awal berbunga a. Cuaca kering waktu berbunga
Dapat terjadi infeksi blight pada ranting
b.Suhu maksimum di bawah 17oC atau di atas 30oC selama awal berbungan a.Perbedaan suhu sekitar 21o dan 27oC
b. Kelembaban tinggi sewaktu awal berbunga a. Hujan cukup untuk pertumbuhan sukulen b. Adanya periode kelembaban 100% selama 24 jam
Catatan: Semua kondisi suhu dan kelembaban yang tercantum pada kolom harus ada agar menghasilkan efek khusus pada kolom pertama. Inokulum (sel bakteri) penyebab blight pada bunga terjadi dari oospora bakteri pada permukaan kanker fire blight. Terjadinya suhu beku (freeze) yang mendadak sewaktu awal pembungaan menyebabkan tingkat kerusakan tinggi pada sel bakteri tersebut, sehingga akan mengurangi tingkat infeksinya pada bunga. Setelah terjadi freeze, jumlah dari derajat harian diperlukan agar supaya populasi bakteri potensinya meningkat kembali ke arah tingkat yang berbahaya, yakni ke suhu minimal 65 oF bagi pertumbuhan organisme tersebut. Hawar daun pada tomat dan kentang Dalam kondisi cuaca yang sesuai untuk berkembang, maka penyakit hawar daun akan merusak pertanaman tomat dan kentang di lapangan dalam waktu sekitar 10 sampai 14 hari. Kondisi ini dapat terjadi setiap waktu selama musim tanaman dari saat semai (tanam) sampai ke panen. Penyemprotan fungisida secara reguler dapat mengendalikan penyakit, namun relatif mahal. Bila kondisi yang sesuai bagi produksi, penyebaran, dan infeksi patogen diketahui dengan benar, maka jumlah penyemprotan dapat dikurangi sehingga mengurangi pembiayaan. Page 5 of 12
Mata Kuliah / MateriKuliah
Brawijaya University
2013
Sporangia atau spora dari jamur dibentuk apabila kelembaban relatif lebih tinggi dari 90 persen selama 10 sampai 15 jam. Pembentukan spora optimum terjadi bila kelembaban relatifnya mencapai 100 persen. Suhu dan periode yang panjang dari kelembaban yang sesuai sangat membantu laju pembentukan spora. Sporangium dibentuk pada kisaran suhu 7 o sampai 30oC, suhu optimum berada pada 18o sampai 21oC. Sporangia yang dibentuk pada suhu dingin (7 o sampai 30oC) menghasilkan 8 sporangia yang dihasilkan dalam kondisi hangat (21 o sampai 30oC) akan berkecambah menghasilkan suatu tabung kecambah, yang masing-masing menghasilkan satu infeksi. Suhu optimal untuk infeksi adalah 25oC yang berlangsung selama 8 sampai 48 jam. Dengan demikian, cuaca dingin, dengan kelembaban malam hari akan dibutuhkan patogen tersebut untuk membangun inokulum, dan kemudian dengan hadirnya suhu hangat dengan kelembaban relatif tinggi selama periode 4 sampai 5 hari diperlukan untuk infeksi dan berkembangnya patogen. Disebabkan adanya pengetahuan mengenai kondisi yang relatif tepat yang dibutuhkan untuk menghasilkan inokulum dan terjadinya infeksi, maka memungkinkan untuk melakukan peramalan tentang akan terjadinya penyakit tersebut. Peramalan tergantung pada periode infeksi bila jamur menghasilkan spora dan dapat menyebabkan infeksi. Aplikasi fungisida hendaknya tepat waktu agar supaya perlindungan kimiawi secara maksimum berjalan sebelum munculnya periode infeksi. Dua metode telah dikembangkan dalam meramalkan hawar daun; yang keduanya didasarkan atas perhitungan suhu dan kelembaban. Hal ini disebut sebagai metode hygrothermograph dan suhu-curah hujan. Keduanya dapat digunakan secara mandiri atau saling melengkapi.
Peramalan dengan menggunakan Hygrothermograph. Alat hygrothermograph di tempatkan di lapangan untuk mencatat rerata suhu dan kelembaban relatif, yang apabila mencapai 90 persen atau lebih maka suatu serangan hawar akan berkembang. Peramalan tidak dilakukan sampai keparahan penyakit mencapai jumlah 20 persen. Penggunaan fungisida ditunjukkan pada Tabel 3, yang nampak bagaimana jumlah tersebut dicatat. Tabel 3. Jumlah perkembangan hawar daun
Rerata kisaran suhu (0C)*
7 - 12 12 -15 15,5 -27
Jumlah keparahan (severity) 0
1 (amat 2 (ringan) 3 4 (parah) ringan) (sedang) Lamanya (jam) kelembaban relatif 90 persen atau lebih 15 16-18 19-21 22-24 25+ 12 13-15 16-18 19-21 22+ 9 10-12 13-15 16-18 19+
*Rerata suhu yang dibutuhkan selama periode kelembaban mencapai 90 persen atau lebih. Contoh: Apabila rerata suhu mencapai 12-15oC dan kelembabannya 90 persen atau lebih selama waktu 16-18 jam, maka serangan hawar mempunyai nilai 2. Bilamana rerata suhunya 15,5-27oC selama 1618, maka jumlah indeknya tercatat angka 3. Penyemprotan baru dilakukan apabila jumlah angka Page 6 of 12
Mata Kuliah / MateriKuliah
Brawijaya University
2013
keparahan mingguannya terakumulasi mencapai nilai 20. Bila angka keparahannya 3 per minggu, maka lakukan penyemprotan; bila 1-2 per minggu, maka tak perlu disemprot; 1 per minggu, jamur bertahan hidup; 0 untuk selama 3 minggu, maka jamur akan mati. Peramalan dengan menggunakan suhu-curah hujan. Peralatan yang dibutuhkan untuk metode peramalan ini adalah termometer maksimum-minimum dan pencatat curah hujan (rain gauge). Curah hujan dan suhu dibaca kemudian dihubungkan untuk menghitung periode yang sesuai bagi fire blight. Apabila periode tertentu terjadi, maka suhu dan curah hujan harus sesuai pula pada waktu yang sama. Suhu dapat dipertimbangkan sesuai bilamana rerata suhu maksimum dan minimum selama 5 hari kurang dari 25,5oC. Sementara suhu rendah akan menyebabkan perkembangan penyakit melambat, dan hari terhidar dari penyakit jika suhunya kurang dari 7 oC. Curah hujan sesuai bila selama 10 hari jumlahnya mencapai 1,2 inci atau lebih. Perhitungan curah hujan selalu dalam jangka waktu 10 hari. Jika suhu dan kelembabannya sesuai selama 10 hari, dan peramalan cuaca digunakan untuk kondisi dingin dan basah, maka hawar daun akan terjadi dalam waktu 1 sampai 2 minggu. Tanaman, vektor, patogen dan cuaca Peramalan menggunakan berbagai teknik untuk determinasinya bila kondisi cuaca sesuai bagi terjadinya penyakit tertentu. Petani komersial biasanya menggunakan media tulis, radio, dan telivisi. Pada penyakit tanaman terjadi interaksi komplikasi yang tinggi antara setidaknya dua macam organisme hidup, yakni tanaman dan patogen. Kadangkala, khususnya penyakit
virus, mycoplasma
dan spiroplasma, dan organisme hidup lainnya juga terlibat yakni sebagai vektor (aphid, belalang, thrip, tungau, nematoda, dll.). Salah satu atau semuanya mungkin saja sensitif terhadap kondisi cuaca, dan setiap faktor mungkin punya peranan terhadap kejadian dan perkembangan penyakit. Dengan demikian, pengaruh cuaca pada penyakit sebenarnya lebih komplek daripada seperti yang dikemukakan pada Tabel 4.1. Hubungan tersebut hendaknya harus dimantapkan melalui percobaan laboratorium, rumah kaca, dan lapangan dan dipisahkan satu dengan lainnya. Penyakit virus mosaic yang banyak menyerang berbagai jenis tanaman, pada umumnya disebarkan oleh berbagai jenis spesies aphid dari satu tanaman ke tanaman lainnya sewaktu makan. Angin dapat berperan juga dalam penyebaran aphid tersebut, demikian juga dengan cuaca hujan sangat kondusif bagi kematian aphid sehingga dapat mengurangi serangan mosaic. Pengaruh cahaya terhadap sporulasi Peronospora tabacina 1. Cahaya Seperti telah diketahui bahwa sinar matahari itu terdiri atas berbagai sinar yang berlainan gelombangnya.
Sinar yang tampak oleh mata bergelombang 390 μm sampai
760 μm (1 μm = 10
Angstrum). Diurutkan dari yang bergelombang panjang, sinar-sinar itu ialah: merah, jingga, kuning,
Page 7 of 12
Mata Kuliah / MateriKuliah hiijau,
biru,
nila, dan ungu.
Brawijaya University
2013
Gelombang yang lebih pendek adalah ultra violet sedang yang lebih
panjang adalah infra merah.
Planck dan Einstein dalam Dwidjoseputro, 1973 menganggap cahaya itu terdiri atas partikelpartikel kecil yang disebut foton dan foton ini mempunyai sifat-sifat materi dan gelombang. Foton juga memiliki energi yang dinyatakan dengan kuatum. Berapa banyak energi yang dimiliki oleh cahaya itu bergantung pada panjang pendeknya gelombang. Sinar ungu yang lebih pendek gelombangnya dari pada sinar merah, mempunyai kuantum lebih banyak dari pada sinar merah.
Kuantum - arti
sebenarnya ialah "berapa banyak" energi – yang dihasilkan oleh suatu sinar bergantung juga kepada frekuwensi, yaitu banyakmya getaran per detik. Energi yang diberi oleh cahaya bergantung kepada kualitas (berapa panjang gelombang),
intensitas
(banyaknya sinar per 1 cm
per detik) dan juga
kepada waktu (sebentar atau lama). 2. Pengaruh intensitas cahaya Bulatan kecil daun tembakau yang terinfeksi Peronospora tabacina dipakai sebagai obyek percobaan. Sumber cahaya berasal dari mercusuar dengan cahaya bening (10 - 50 W)
yang dapat
diubah-ubah keadaannya. Percobaan dilakukan dengan penyinaran terus menerus dimulai pukul 16.00 dan berakhir pada jam 09.00 pada pagi berikutnya. Intensitas cahaya yang dipakai berkisar 0 -.50 foot candle (f.c). Hasil yang didapat sebagai mana di kemukakan di uraian berikut. Pada keadaan cahaya yang terus menerus,
sporulasi Peronospora tabacina adalah peka
terhadap intensitas cahaya yang sangat rendah. Penghambatan yang hampir sempurna terjadi pada 20 f.c. Kesimpulan yang diambil adalah, bahwa sporulasi Peronospora tabacina dalam jaringan daun dihambat oleh cahaya datang yang terus menerus dari intensitas cahaya yang sangat rendah pada kedua permukaan Gambar 1.
Gambar 1. Hubungan antara intensitas sinar yang kontinyu dengan sporulasi P. tabacina. Page 8 of 12
Mata Kuliah / MateriKuliah
Brawijaya University
3. Pengaruh fotoperiodisitas.
2013
Pada percobaam tentang pengaruh fotoperiodisitas terhadap sporulasi P. tabacina menunjukan bahwa mangkok-mangkok atau bulatan-bulatan daun tembakau yang terinfeksi diperlakukan dengan gelap terlebih dahulu dan dilihat pengaruhnya terhadap waktu munculnya konidiofor dan pembentukan konidia. 3.1. Hubungan antara lamanya perlakuan gelap dengan intensitas sporulasi Bulatan daun diambil dan ditaruh ditempat gelap pada jam 12.00. Kemudian diambil dengan variasi lamanya waktu 0-9 jam dan ditempatkan pada keadaan penyinaran terus menerus yang seragam (50 f.c.).
Hasilnya menyatakan bahwa selain pada keadaan cahaya yang terus menerus,
perlakuan gelap yang relatif pendek akan merangsang sporulasi. Perlakuan gelap yang terpendek untuk sporulasi adalah antara satu atau dua jam. Setelah 7 jam sporulasi terjadi pada intensitas yang sama seperti pada perlakuan gelap yang terus menerus (Gambar 2)
Gambar 2. Hubungan antara panjang periode gelap dengan sporulasi P. tabacina.
3. 2. Pengaruh intensitas cahaya tinggi terhadap sporulasi setelah perlakuan gelap. Bulatan-bulatan daun diperlakukan dalam keadaan gelap yang terus menerus selama 6
jam
(12.00 - 18.00). Kemudian disinari dengam cahaya berkisar 50 - 800 f.c. dari jam 18.00 - 09.00. Hasilnya menunjukkan bahwa pengaruh yang agak menekan sporulasi terjadi pada intensitas cahaya maksimum yang dipakai. Hal ini bisa dilihat pada Tabel 4. Tabel 4.4. Pengaruh intensitas cahaya tinggi pada sporulasi setelah periode gelap selama 6 jam.
Intensitas sinar (f.c) 50 100 200
Rerata sporulasi 82,6 98,0 72,6
Intensitas sinar (f.c.) 400 800 Gelap terus
Page 9 of 12
Rerata sporulasi 80,7 75,7 100
Mata Kuliah / MateriKuliah
Brawijaya University
3.3. Pengaruh perlakuan gelap majemuk
2013
Bulatan daun diambil dari tanaman yang berpenyakit dan segera ditempatkan dalam gelap. Periode total dari gelap ini adalah 6 jam dan selama periode gelap itu dimasukan juga periode terang (disinari 50 f.c.). Panjangnya periode sela penyinaran adalah 0,25; 0,5; 2 dan 0 jam. Setelah periode gelap 6 jam lengkap, semua bulatan daun dipindahkan pada kondisi cahaya yang seragam (50 f.c) sampai periode percobaan berakhir (09.00). Hasilnya diberikan dalam Gambar 3.
Gambar 3. Hubungan antara lamanya jumlah periode gelap dengan intensitas sporulasi P. tabacina. Periode gelap mulai dari 3 jam sama efektifnya dengan periode gelap 6 jam terus menerus. Pada periode yang lebih pendek kurang efektif untuk sporulasi dengan periode 3 jam. 4. Hubungan antara waktu gelap dan waktu mulainya pembentukan konidia Munculnya konidiofor dan pembentukan konidia pada kodisi penyinaran alami ialah antara jam 03.00 dan 06.00. Untuk menentukan kalau waktu permulaan gelap mempengaruhi pembentukan konidia, daun tanaman yang terserang diambil pada jam 12.00 dan 16.00. Bulatan segera ditaruh dalam bilik tertutup yang gelap untuk mencegah kelembaban yang tinggi, tetapi bilik dalam keadaan terbuka sampai jam 20.00. Hasilnya ditunjukkan dalam Gambar 4 yang menyatakan bahwa waktu dalam sehari dimana sporulasi terjadi, dapat dipengaruhi oleh permulaan perlakuan gelap dalam siklus sporulasi 24 jam.
Gambar 4. Hubungan antara waktu mulainya periode gelap dan waktu sporulasi Page 10 of 12
Mata Kuliah / MateriKuliah
Brawijaya University
5. Pengaruh cahaya tersaring Perbedaan sporulasi
2013
dipengaruhi oleh perbedaan panjang gelombang dalam kondisi energi
2
yang sama (1,5 μW/cm ). Hasil percobaan ditunjukkan pada Gambar 5. Penghambatan lebih dari 50% pada semua panjang gelombang terjadi pada 402 μm
dari 432 -
671 μm. Tidak ada penghambatan nyata yang
atau dalam daerah spektrum 715 - 760 μm.
Didalam kisaran efektif
penghambatan maksimum terjadi pada 469 - 524 μm, juga pada daerah 600 - 625 μm. Sehingga dalam cahaya terlihat, biru-hijau sangat baik untuk menghambat sporulasi dibawah penyinaran yang terus menerus.
Gambar 5. Pengaruh panjang gelombang pada sporulasi P. tabacina dalam energi konstan 1,5 μW per cm2 luas daun.
Pengaruh peningkatan energi dari cahaya monokromatis (469 μm)
pada intensitas sporulasi
ditunjukkan pada Gambar 6. Untuk penghambatan intensitas sporulasi sebanyak 50 % adalah 0,59 μW/cm2.
Gambar 6. Hubungan antara tingkat energi sinar monokromatis pada permukaan daun dan intensitas sporulasi P. tabacina.
Page 11 of 12
Mata Kuliah / MateriKuliah
Brawijaya University
2013
Dengan uraian tersebut terlihat bahwa sporulasi Peronospora tabacina dihambat oleh cahaya datang yang terus menerus dari intensitas cahaya yang sangat rendah pada kedua permukaan daun. Penghambatan intensitas sporulasi sebanyak 50 % untuk cahaya bening adalah 4 f.c., sedang cahaya monocromatis (469 μm) adalah 0,58 μW/cm 2. Bahwa perlakuan gelap yang terus menerus atau yang relatif pendek dapat merangsang sporulasi. Periode gelap majemuk mulai dari 3 jam gelap amat baik untuk
sporulasi.
Bahwa
kecepatan
sporulasi
dapat
dipengaruhi
oleh
lamanya
periode
gelap
sebelumnya. Bahwa penghambatan maksimum untuk sporulasi terjadi pada 469 - 524 μm.
4. Referensi Anonim. 1989. The weather and plant diseases. RPD 1003. Dept. of Crop Sci. Univ. of Illinois. Main, C. E.. 2005 The blue mold disease of tobacco. http://www.ces.ncsu.edu/depts/pp/bluemold/. Semangun, H. 1979. Penyakit tumbuhan, hubungannya dengan iklim dan cuaca. Makalah disampaikan dalam Simposium Meteorologi Pertanian, Bogor. 14 h.
5. PROPOGASI 1. Mengukur pengaruh proses perkecambahan spora dan pertumbuhan jamur akibat perlakuan pencahayaan buatan di laboratorium dengan menggunakan lampu TL yang pencahayaannya di atur berdasarkan waktu tertentu dari gelap terus selama 48 jam dan gelap terang yang lamanya telah ditentukan. Mahasiswa akan mengukur persentase kecambah dan perkembangan koloni dalam medium buatan PDA dari jamur Fusarium. 2. Hasilnya dibuat kurva perkembangan akibat perlakuan pencahayaan tersebut.
6. PENDALAMAN 1. Amati Gambar 3 sampai dengan Gambar 6 dengan seksama kemudian berilah penjelasan mengapa hal tersebut terjadi dan fungsinya apakah dari unsur cuaca tersebut yang menjadikan kejadian tersebut. 2. Dalam kondisi alami patogen lebih mudah beradaptasi untuk menyesuaikan dengan perubahan konidisi lingkungannya sehingga sering menimbulkan ras yang baru, mengapa hal tersebut dapat terjadi.
Page 12 of 12