EPIDEMIOLOGI KUANTITATIF (S2): Pengantar Epidemiologi Kuantitatif Faculty of Agriculture, Universitas Brawijaya Email : @ub.ac.id 1. PENDAHULUAN
4. REFERENSI
2. TUJUAN PEMBELAJARAN
5. PROPAGASI
3. KEGIATAN BELAJAR
6. PENDALAMAN
MODUL
Sebelum mengijak pada studi
yang lebih jauh mengenai pentingnya
kuantifikasi dalam kejadian epidemi penyakit di lapangan, maka penegrtian dasar yang berhubungan dengan hal tersebut perlu dipahami dengan benar. Istilah-istilah yang sering muncul dan menjadi bahan studi antara lain: proses infeksi, masa inkubasi, inokulasi, periode laten, periode infeksi, inokulum, sporulasi, dan sebagainya. Disamping itu pengertian peranan waktu dalam proses epidemiologi perlu juga dimengerti karena dengan itulah mahasiswa akan mampu mengukur kecepatan infeksi suatu patogen tertentu dalam suatu lahan atau wilayah endemi. Pola pikir kuantifikasi sudah seharusnya dimiliki oleh mahasiswa yang akan mempelajari matakuliah ini mengingat perlunya analisis-analisis ilmiah rasional akan dijadikan rujukan dalam modul-modul berikutnya. Sedikit uraian sejarah dikemukakan dalam modul ini yang berhubungan dengan bagaimana penyakit dapat terjadi di lapangan dan dapat diukur secara kuantitatif. Demikian pula dengan arti epidemi yang dijabarkan dalam kondisi ruang dan waktu dikemukakan dalam bentuk diagram dan trend pertumbuhan
dengan
demikian
keadaan
penyakit
dapat
diukur
atau
diperkirakan dari waktu ke waktu atas dasar teori pertumbuhan patogen yang jadi penyebabnya di alam. Beberapa istilah mendasar dalam epidemiologi juga dikemukakan seperti: inokulum, infeksi, inkubasi,
sporulasi,
dan
lain-lain
dalam
pengertian
kuantitatif, yakni dapat diukur dari waktu ke waktu perkembangannya berdasarkan satuan unit tertentu.
SELF-PROPAGATING ENTREPRENEURIAL EDUCATION DEVELOPMENT (SPEED)
1
1. PENDAHULUAN
Mata Kuliah / MateriKuliah
Brawijaya University
2013
2. TUJUAN PEMBELAJARAN 1. Mengenalkan sejarah terjadinya studi epidemiologi penyakit tanaman dengan melihat faktafakta yang telah lama berlangsung, sekaligus sebagai studi komparasi bagi setiap kejaian penyakit yang mungkin akan muncul kemudian. 2. Mengenalkan
istilah-istilah
yang
sangat
umum
dan
sering
digunakan
dalam
studi
epidemiologi sekaligus akan digunakan dalam cara pengukurannya pada modul-modul berikutnya sehingga mahasiswa sudah terbiasa (familier) dengan istilah tersebut. 3. Memberikan arahan mengenai perlunya studi kuantifikan dalam epidemiologi agar supaya mudah dianalisis dengan menggunakan analisis matematika maupun statistika.
3. KEGIATAN BELAJAR 1.1. Sejarah penyakit tumbuhan Masalah hama penyakit tumbuhan sebenarnya adalah masalah yang sudah ada jauh sebelum sains moderen dikembangkan. Bahkan fosil-fosil pada zama Carbon, yakni 230 juta tahun yang lalu, masalah parasitisme ini telah dikemukakan oleh Baker dan Snijder (1965). Namun ada kecenderungan bahwa penyakit tumbuhan menjadi semakin penting artinya setelah manusia mulai mengenal cara-cara bercocok tanam, yaitu kira-kira 10 ribu tahun yang lalu. Bukti tertulis mengenai adanya penyakit tumbuhan tersebut dapat dilihat misalnya dalam kitab perjanjian lama (mengenai sejarah orang Yahudi kuno) dengan didapatkannya penyakit hawar (blight) dan embun (mildew) pada tanaman serealia dan anggur. Demikian pula pada bekas peninggalan kebudayaan Mesir (kira-kira 4500 tahun yang lalu) dapat
ditemukan
gambar-gambar
timbul
yang
menunjukkan
bagaimana
tumbuhan
diserang
hama/penyakit (belalang); gambaran tersebut memberikan informasi tentang hukuman Tuhan atau dewa pada manusia yang ingkar. Sejarah penyakit tumbuhan semakin jelas setelah menginjak kekaisaran Romawi (700 tahun sebelum masehi), dengan dikenalnya penyakit karat pada tumbuhan serealia. Kemudian pada sekitar tahun 372 - 287 sebelum masehi, muncullah buku dengan judul "Historia Plantarum" yang menyebutkan beberapa macam penyakit tumbuhan beserta dugaan penyebabnya. Buku tersebut merupakan hasil karya seorang filosof Yunani yang bernama Theophrastus. Titik berat bahasan terjadinya penyakit tersebut adalah karena adanya ketidak seimbangan antara empat unsur pokok, yakni: tanah, udara, air, dan api. Pemikiran ini walaupun tidak benar seratus persen, tetapi telah memberikan dasar-dasar penting yang menjadi dasar utama pada ilmu penyakit tumbuhan moderen, yaitu terlibatnya faktor-faktor alam bagi epidemi suatu wabah penyakit. Menginjak abad VI (mendekati ilmu pengetahuan moderen), penyakit tumbuhan tertulis semakin jelas, hal ini dapat dilihat di dalam kitab suci Al-Quran. Didalamnya disebutkan secara tersirat tentang gejala, jenis penyakit, dan etiologinya: "Allah telah menguji pemilik kebun (anggur), ketika mereka bersumpah bahwa mereka pasti panen esok hari; mereka lupakan (dalam pembicaraannya) hak-hak fakir miskin; akibatnya Allah Page 2 of 15
Mata Kuliah / MateriKuliah
Brawijaya University
2013
turunkan pada malam harinya malapetaka (penyakit) pada saat pemilik kebun tersebut tidur lelap; hingga nampaklah kebun tersebut (menunjukkan gejala ) hitam lekam" (Al-Qalam, 17 - 20). Demikian pula dalam ayat lain disebutkan secara eksplisit: "Mereka itu laksana daun tanaman yang dimakan ulat (hama)" (Al-Fil: 5). Memang nampaknya dunia telah mencatat sejarahnya sendiri, melalui peradaban Islam ilmu pengetahuan moderen dibangun. Demikian pula sejarah fitopatologi (ilmu penyakit tumbuhan) tidak dapat lepas dari kenyataan tersebut. Syaikh Abu Ali al-Husayn ibnu Zina di barat dikenal sebagai Avicenna (wafat 926 M) merupakan bapak kedokteran dengan bukunya yang terkenal "Al-Qanun fi'thThibb" pedoman kedokteran. Hunayn ibn Ishaq (809-874 M) peneliti dan penulis buku berbagai penyakit, khususnya mata. Abu Bakar Muhammad ibn Zakaria ar-Razi (866-909 M) adalah seorang dokter ahli kimia dan pendiagnosis pertama penyakit cacar. Demikian juga dengan lainnya, mereka mampu menemukan ilmu kuman (bakteriologi) serta mendapatkan kaca pembesar (suryakanta) yang kemudian menjadi mikroskop telah mampu memberantas tahayul dan bentuk kebodohan lainnya yang menyatakan bahwa penyakit itu karena syetan (Sastrahidayat, 2011). Daulah
Islamiah di Timur
mencapai puncak kejayaan dengan kemajuan ilmu pengetahuan moderennya pada abad 7-13 Masehi, kemudian mengalami kehancuran melalui perebutan kekuasaan dari dalam dan perang salib serta serangan Mongol. Sebaliknya di belahan Eropa (negara-negara Barat) sampai dengan abad ke 16 Masehi ilmu tersebut belum menunjukkan perkembangan yang menggembirakan karena beberapa sebab antara lain: Eropa masih berada dalam alam berfikir primitif (teori génération spontanée) baru hilang akhir abad ke 17, diteruskan dengan teori omne vivum ex ovo (makhluk hidup berasal dari telur), omne ovum ex vivo (telur berasal dari makhluk hidup). Memang bangsa Eropa dahulu kala beranggapan (common sense) bahwa jamur yang berdaging (jamur payung) timbul demikian saja dari bahan-bahan organik yang mati karena pengaruh unsurunsur tertentu. Pada saat itu orang-orang mempunyai pendapat bagi binatang dan tanaman tingkat rendah, bahwa segala sesuatu timbul secara spontan di atas permukaan bumi ini. Rupanya kepercayaan inilah yang menghambat perkembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan pada khususnya parasitisme dan penyakit, sementara rekan mereka di Timur telah maju ilmunya melalui peradaban kebudayaan Islam antara abad 9-13 Masehi. Baru menginjak abad 16 beberapa ahli botani mulai ragu-ragu mengenai teori tersebut di atas. Pada tahun 1683 Antonie van Leeuwenhoek (24 October, 1632 – 26 August, 1723), seorang bangsa Belanda mendapatkan bakteri setelah didapatnya mikroskop kemudian disusul oleh Pier Antonio Micheli (1679-1737) sebagai “bapak Mikologi”, ia seorang ahli botani dari Italia menerbitkan bukunya dengan judul : “Nova plantarum genera” pada tahun 1729. Ia berpendapat bahwa jamur tumbuh dari sporanya sendiri, hal ini dibuktikan dengan menaburkan spora jamur dalam suatu medium hingga tumbuh. Akan tetapi hasil-hasil penelitian kedua orang tersebut belum juga dapat merubah pemikiran orang tentang generatio spontanea saat itu. Page 3 of 15
Mata Kuliah / MateriKuliah
Brawijaya University
2013
Pada tahun 1775 seorang bangsa Italia lainnya bernama Lazzaro Spallanzani (10 Januari 1729 – 12 Februari 1799) dapat membuktikan bahwa daging yang telah dimasak dan disimpan dalam suatu botol yang tertutup rapat-rapat, maka daging tersebut tahan untuk beberapa hari terhadap pembusukan. Pada tahun 1807, Issac Benedict Prevost (1755-1819) membuktikan bahwa penyakit “wheat bunt” pada gandum disebabkan oleh suatu organisme yang menginfeksinya sewaktu tanaman masih muda. Pendapat tersebut diperkuat oleh Re”, Franz Unger dan Franz Julius Meyen dengan terbitnya buku tentang klasifikasi penyakit tumbuhan pada tahun 1845. Ketiganya membagi penyakit tumbuhan berdasar gejala dan penyebab penyakitnya. Pada tahun 1853, Heinrich Anton de Bary (1831 – 1888) mempublikasikan karangannnya tentang jamur, ia berpendapat bahwa jamur tidak timbul dari jaringan tanaman yang sakit melainkan jamurlah penyebab penyakitnya. Pendapat de Bary didukung oleh Julius G. Kuhn (1825-1910), pada tahun 1858 dengan terbitnya buku yang berjudul “The disease of cultivated crops, their causes and their control”. Buku ini berisi bahwa jamur merupakan penyebab penyakit tanaman. Sampai dengan tahun 1845-1849 dikala terjadi kelaparan di Irlandia, karena hancurnya tanaman kentang oleh penyakit hawar daun dimana beribu-ribu mati kelaparan dan yang lain melakukan migrasi khususnya ke Amerika, orang belum tahu bahwa penyakit itu disebabkan oleh jamur Phytophthora infestans. Baru setelah ditemukannya proses fermentasi dalam percobaan Louis Pasteur (1822 – 1895), pada tahun 1860 dan Robert Koch (1843-1910), tahun 1876, memberikan bukti adanya hubungan antara bakteri Bacillus anthracis dengan penyakit hewan (sapi) dan manusia, orang mulai menyibak dunia jasad renik sehingga penyebab penyakit tumbuhan dapat diidentifikasi (Sastrahidayat, 2011). Sejak saat itu orang mulai berfikir bagaimana caranya agar supaya timbulnya penyakit dapat diketahui seawal mungkin sehingga tindakan pencegahan dapat segera dilakukan. Disinilah istilah peramalan penyakit (disease forecasting) mulai dipelajari dengan seksama. Dalam mempelajari aspek tersebut ternyata banyak hal yang terlibat di dalamnya baik ilmu dasar (mikologi, virologi, bakteriologi, nematologi), ilmu pembantu (biokimia, kimia organik, fisika, matematika, klimatologi, dan lain-lain), maupun pengertian-pengertian khusus yang harus dipahami benar. Pemahaman semua ini dipelajari dalam epidemiologi penyakit tumbuhan, yakni suatu cabang Fitopatologi (ilmu penyakit tumbuhan) yang akhir-akhir ini merupakan ilmu praktis dan banyak mendapat perhatian para ahli. Epidemiologi menurut Van der Plank (1963) adalah ilmu yang mempelajari penyakit dalam populasi. Kranz (1974) menambahkan adanya faktor pengaruh lingkungan dan perilaku manusia di dalamnya. Kemudian dilengkapi oleh Zadoks (1979) bahwa proses tesebut terjadi dalam waktu dan ruang tertentu yang mempunyai saat awal, optimal dan akhir. Kalau ini dirumuskan, maka populasi patogen merupakan fungsi dari waktu: X = f (t). Page 4 of 15
Mata Kuliah / MateriKuliah
Brawijaya University
1.2. Epidemiologi penyakit
2013
Epidemiologi penyakit tumbuhan pada dasarnya mempelajari hubungan timbal balik dari beberapa aspek pokok antara lain: patogen (causal), inang (host), dan lingkungan (environment), yang kemudian dikenal dengan istilah segitiga penyakit (disease triangle) (Kerr, 1980). Demikianlah kondisi alamiahnya, sehingga setiap terjadinya perubahan pada salah satu faktor atau bahkan elemen faktornya akan membuat "goyangan" terhadap faktor lainnya. Model tersebut dikenal sebagai model yang dinamis atau dinamika model, yang oleh alam dijaga keseimbangannya melalui hukum alam itu sendiri (nature equilibrium) seperti terlihat pada Gambar 1. Disinilah nampaknya mengapa dalam kondisi pertanaman alamiah (misal hutan alami), kasuskasus hama penyakit dapat diatasi oleh hukum alami itu sendiri sehingga jarang menjadi masalah serius. Sebaliknya pada tumbuhan yang dibudidayakan menjadi tanaman (crop) monokultur, kasus hama-penyakit sering menjadi masalah serius .
Gambar 1. Daur alami penyakit menurut waktu (Chester, 1947 dalam Cook dan Baker, 1974). Dari kajian ini nampak bahwa faktor ke empat yakni manusia ikut andil besar dalam dinamika epidemi penyakit terutama melalui teknologinya (pemilihan bibit, pestisida, kultur praktis, dan sebagainya),
maka
(Sastrahidayat,
kemudian
1995).
Melihat
dikenal Gambar
dengan 1
istilah
tersebut,
segi maka
empat
penyakit
jelaslah
bahwa
(disease alam
square)
mempunyai
mekanismenya sendiri dalam menyeimbangkan dari terjadinya kerusakan yang fatalistik melalui hukum alamnya (law of nature atau sunatullah). Apabila unsur-unsur yang bekerja didalamnya masih berfungsi sesuai dengan kodratnya, maka kondisi alaminya masih dapat dipertahankan, tetapi jika terdapat kerusakan atau hilangnya rantainya maka ia akan rusak. Terjadinya outbreak atau ledakan penyakit menjadi indikator adanya kerusakan tersebut sehingga mekanisme alaminya tidak akan berfungsi. Dengan demikian semakin "serakah" manusia dalam target kebutuhan ekonominya (Homo economicus), maka alam akan dirusaknya sehingga ia semakin "menggeliat" alam di buatnya sehingga kasus hama dan penyakit tidak pernah berhenti, bahkan banyak kasus yang belum dapat diatasi atau diselesaikan telah muncul kasus yang lain lagi. Benar kiranya informasi Qur'an: "Telah lahir kerusakan di darat maupun di lautan akibat ulah tangan manusia, kemudian Allah kembalikan kepada mereka akibatnya (dampaknya) agar supaya mereka mau kembali" (Ar-Ruum: 41). Page 5 of 15
Mata Kuliah / MateriKuliah 1.3. Penyakit tumbuhan dan proses epidemi
Brawijaya University
2013
Istilah penyakit tumbuhan dikemukan dalam berbagai definisi. Stakman dan Harrar (1957) menyebutnya sebagai “setiap penyimpangan dari pertumbuhan normal dan struktur tumbuhan yang secara jelas dan permanen menghasilkan gejala yang nampak atau menurunkan kualitas atau nilai ekonomi”. Hal tersebut terjadi karena adanya faktor penyebabnya, yang terdiri dari faktor biotis (jamur, bakteri, virus, mikoplasma) dan abiotis (lingkungan fisis maupun khemis yang tidak sesuai). Diantara penyebab biotis tesebut, maka jamur memegang peranan yang paling penting, karena dari padanyalah kasus-kasus penyakit paling banyak terjadi dengan tingkat kerusakan yang serius. Sehubungan dengan itu tidak heranlah apabila epidemi penyakit yang disebabkan oleh jamur lebih banyak dibahas dalam bidang epidemiologi. Dimuka secara definisi telah dikemukakan apa yang disebut epidemiologi. Kalau hal ini dihubungkan dengan pengertian penyakit, maka secara operasional mempelajari epidemiologi adalah cara bagaimana mengetahui tentang dinamika dan interaksi ketiga faktor pembentuknya yaitu: patogen (penyebab penyakit), lingkungan dan inangnya sendiri. Ketiganya membentuk suatu interaksi yang disebut segitiga penyakit (disease triangle). Apabila kemudian manajerial manusia ikut pula terlibat atau berpengaruh terhadap ketiga faktor tersebut (memang dalam kenyataannya demikian), maka manusia menjadi faktor keempat yang menyusun interaksi itu menjadi segi empat penyakit (disease square). Maka jelaslah setiap terjadi perubahan pada salah satu sub faktor atau faktor utamanya tentu akan berpengaruh pula pada perubahan faktor sub faktor maupun faktor lainnya. Apabila karena suatu sebab suhu udara (sebagai sub faktor lingkungan) berubah dari kebiasaannya, tentunya suatu jasad mikro tertentu yang mempunyai daya adaptasi terhadap suhu tersebut akan segera berkembang biak, sebaliknya yang kurang toleran akan mengalami seleksi alamiah; keadaan seperti ini akan mengakibatkan meningkatnya populasi, apalagi bila ditunjang populasi inang tersedia cukup besar dan rentan. Demikian pula dengan perubahan faktor lainnya akan berlaku hukum keseimbangan alamiah yang sama. Peranan manusia pada hakekatnya adalah dengan mengintroduksi teknologi terhadap keseimbangan ilmiah ketiga faktor tersebut. Untuk mendapatkan nilai tambah ekonominya manusia mengelola ketiga faktor tersebut melalui teknik bercocok tanam, mekanisme pertanian, introduksi pestisida, dan sebagainya. Selama alam masih mempunyai daya elastisitas yang cukup yang tinggi terhadap perubahan-perubahan oleh manusia, maka keseimbangan alamiah tidak akan terganggu (berjalan sesuai dengan hukum kekekalan alamiah itu sendiri). Namun sebaliknya apabila alam tidak dapat mentolerir perubahan tersebut, maka akan terjadi gangguan terhadap hukum keseimbangan dengan salah satu akibatnya adanya outbreak nama atau penyakit tertentu. Contoh yang paling menonjol adalah terjadinya resurgensi pada hama tertentu atau efek bumerang pada penyakit tertentu yang disebabkan penggunaan pestisida yang kurang bijaksana. Secara etimologi out-break berarti peletusan atau peledakan atau pemberontakan. Hal ini mengandung arti lebih jauh bahwa sebelum terjadinya ledakan (istilah ini lebih sesuai bagi kejadian hama/ penyakit) tentunya jauh sebelumnya sudah ada potensi bahan peledaknya, yang dalam masalah hama/penyakit umumnya berupa kepadatan populasi penyebab hama/ penyakitnya. Inilah yang Page 6 of 15
Mata Kuliah / MateriKuliah
Brawijaya University
2013
dikenal dengan istilah initial population atau initial inoculum, atau populasi awal. Dalam epidemiologi masalah ini sangat penting dan akan dikemukan dalam bab-bab berikutnya. Populasi awal dapat terjadi karena dua hal, yakni : a. Terbentuk secara terus menerus sepanjang tahun/ musim dalam daerah tersebut mengingat selalu tesedia tanaman inang utama atau atau alternatifnya, sehingga selalu muncul kasus penyakit, hal ini disebut sebagai endemic. b. Terbentuk karena adanya infeksi pada suatu daerah pertanaman tertentu yang datang dari luar (daerah lain), hal ini biasanya sering menjadi masalah serius mengingat merupakan hal baru bagi daerah tersebut. Kejadian yang demikian disebut istilah exodemi. Dengan demikian besar-kecilnya populasi awal akan berpengaruh terhadap besar-kecilnya populasi akhir atau kemudian (diberi simbol xt), dan apabila populasi akhir sedemikian besarnya sehingga ditinjau dari perhitungan ekonomi sangat merugikan hasil pertanian, maka kretarium tersebut sering disebut sebagai ambang ekonomi (economic threshold) dan kejadiannya disebut outbreak atau epidemi. Penentuan nilai ambang tersebut berdasarkan
perbandingan antara besarnya biaya
pengendalian (P) yang harus dikeluarkan terhadap besarnya pendapatan hasil (H) yang akan dicapai. Apabila diketahui bahwa P/H > 0, maka berarti tingkat serangan penyakit akan mencapai ambang ekonomi,
besarnya
tingkat
serangan
tersebut
dijadikan
standar
sebagai
nilai
ambangnya
(Sastrahidayat, 1984 dan 1990); Sudjono, 1987). Istilah epidemi sendiri sesungguhya kurang tepat apabila disamakan dengan out-break, mengingat secara definisi tersebut di atas epidemi mengandung arti keadaan yang dapat naik-turun, sedangkan out-break bermakna kejadian dalam keadaan naik. Dengan demikian epidemi dapat diukur dinamikanya berdasarkan kurva yang terbentuk selama proses epidemi tersebut berlangsung. Pengukuran inilah yang menarik dalam epidemiologi karena dengan demikian kejadian penyakit di alam dapat dibicarakan di alam dapat dibicarakan dalam bahasa kwantitatif dan bukan kwalitaif. Disinilah peranan matematika sederhana atau statistika amat membantu para peneliti dalam mempelajari penyakit secara rasional dan proporsional. Dalam bab-bab berikutnya secara sederhana masalah tersebut dapat dipelajari dengan seksama. 1.4. Patogen dan penyakit Setiap agensia biologi yang dapat menyebabkan penyakit melalui proses parasitiknya disebut sebagai patogen. Sedangkan setiap penyimpangan dari keadaan normal fisiologi atau bagian tanaman disebut penyakit. Penyakit dapat disebabkan oleh faktor biotic dan abiotik. Penyakit abiotik adalah karena kekurangan nutrisi atau unsur hara, atau karena hilangnya unsur tertentu karena erosi, dan sebagainya. Penyakit seperti ini tidak menyebabkan epidemi, sebab penyakit abiotik tidak menyebar berdasarkan dimensi ruang dan waktu. Oleh karena itu tempat-tempat dimana penyakit kekurangan unsur ini terjadi disebut sebagai area yang terinfeksi secara akut (acute deficiency disease affected area). Dengan menambahkan nutrisi yang dibutuhkan, sebagian masalah tersebut akan dapat teratasi. Permasalahan ini diluar pembahasan dalam buku ini, jadi disini tidak dijelaskan secara detail. Page 7 of 15
Mata Kuliah / MateriKuliah
Brawijaya University
2013
Penyakit yang disebabkan oleh faktor biotik, yaitu yang disebabkan oleh organisme seperti virus, mycoplasma, ricketsia, bakteri, ganggang, jamur atau parasit lainnya. Dimuka sudah disebutkan bahwa untuk terjadinya penyakit demikian, diperlukan tiga unsur pendukungnya, yakni, inang rentan, lingkungan yang sesuai dan varulensi patogennya. Kendatipun lingkungan sesuai, maka untuk perkembangan epidemi diperlukan adanya kesempurnaan dalam daur kehidupan patogen. Dengan demikian dalam hal ini diperlukan adanya faktor waktu dan ruang dalam perkembangan epidemi. Pada awal pertumbuhan epidemi kurvanya menunjukkan fase yang lambat, bila periode inkubasinya lama dan kondisi infeksi tidak sesuai. Kemudian penyakit berkembang dengan cepat dan terjadi ledakan (outbreak) seperti halnya bom waktu. Pada tingkat inilah petani menjadi panik memikirkan masa depan tanamannya. Akhirnya dengan tidak sesuainya cuaca atau kemasakan tanaman atau duaduanya, serangan penyakit akan menurun, dan bila pertumbuhan penyakit tersebut diplot terhadap waktu maka menunjukkan kurva sigmoid (Gambar 2). Perkembangan penyakit adalah merupakan proses monosiklus, sedangkan pertumbuhannya merupakan polisiklus. Proses monosiklus terdiri dari tahap: infeksi, periode inkubasi dan sporulasi. Dengan munculnya gejala dan pelepasan propagul maka proses monosiklus berakhir.
Gambar 2. Kurva pertumbuhan sigmoid dari epidemi terbagi dalam tiga fase: log, non-logaritmik dan mendaftar. Kurva ini terbentuk dari daur patogen: infeksi (a), inkubasi (b), dan pelepasan spora (c) (Nagarajan, 1970). Dalam proses monosiklus tidak dipengaruhi oleh dimensi ruang dan waktu dalam irama epidemi. Dalam ruang percobaan yang terkontrol terjadi proses monosiklus dan tidak terjadi perkembangan epidemi. Sebaliknya dalam proses polisiklus terlibat tahapan tumpang-tindih dan pengulangan proses monosiklus, dan sebagai tambahan terjadi pula pelepasan spora, transportasi dan pengendapannya pada tanaman rentan. 1.5. Infeksi Dalam infeksinya terdiri dari tahapan sejak perkecambahan spora sampai berhasilnya atau mapannya hubungan patogen dan inang. Perkecambahan spora jamur biasanya terjadi apabila ada air bebas. Dengan terserapnya air, spora mengembang dan memacu reaksi rantai biokimia. Dari spora ini akan keluar suatu tabung kecambah; dan dikatakan berkecambah sempurna bila tabung kecambah ukurannya lebih panjang dari separoh lebar spora. Untuk terjadinya perkecambahan maksimum maka Page 8 of 15
Mata Kuliah / MateriKuliah
Brawijaya University
2013
diperlukan adanya suhu dan kelembaban ideal; dan akan merana bila berada dalam suhu rendah atau tinggi. Umumnya spora jamur patogen berkecambah antara 10-25oC, tetapi hal inipun sangat tergantung jenis patogen dan tipe sporanya. Beberapa spora yang tahan seperti klamidospora, oospora,
teliospora
dan
lain-lain
memerlukan
perlakuan
tertentu
seperti
pemanasan
untuk
berkecambah. Waktu yang dibutuhkan untuk berkecambah bervariasi mulai kurang dari 45 menit sampai lebih dari beberapa hari. Proses perkecambahan berjalan terus diikuti dengan perpanjangan tabung kecambah sampai didapatnya titik masuk atau stomata terbuka. Apabila air bebas atau kebasahan daun cepat mengering karena meningkatnya suhu, maka perkecambahan spora mengering karena meningkatnya suhu, maka perkecambahan spora akan terhenti dan mati. Untuk menjamin suksesnya infeksi, biasanya dilakukan inokulasi pada kultur pot yang diinkubasikan dalam ruang lembab selama beberapa jam. Masuknya patogen ke dalam jaringan inang dapat melalui berbagai jalan seperti luka yang di sengaja atau tidak pada cabang, tajuk atau akar sewaktu pengelolaaan pertaniannya. Patogen akar seperti Armillariella mellea masuk tanaman melalui celah-celah batang. Kadang-kadang jaringan jamur dibentuk di luar inang dan patogen mempunyai suatu alat tertentu yang masuk dalam inangnya (haustoria), misalnya pada penyakit tepung. Jaringan inang mempunyai beberapa lubang alami seperti stomata, dan pada lubang inilah uredospora karat batang mengadakan penetrasi. Dari suatu publikasi telah terbukti adanya hubungan antara kerapatan stomata dan kepekaan tanaman karet terhadap serangan Phytophthora palmivora penyebab gugur daun. Terbukti bahwa apabila pada karet yang mempunyai stomata 8-12 per 25 cm2 luasan daun lebih rentan dibandingkan dengan yang memiliki stomata 5-7. Sebagai tambahan pula bahwa jenis yang tahan adalah yang stomatanya kecil, bentuknya lonjong dan lebih banyak pada sisi bawah daun. Hasil tersebut sampai sekarang masih dijadikan dasar bagi skrening tanaman karet dalam pengujian terhadap ketahanan penyakit gugur daun. Air gutasi dan lapisan air alami merupakan media ideal bagi perbanyakan bakteri dan menjadi jaminan bagi efisiensi penyebaran dan infeksi. Beberapa virus yang disebarkan vektor diinokulasi secara fisik ke tanaman inang melalui cara makan nematode, serangga dan kutu. Suatu patogen yang cepat memperbanyak diri untuk membangun suatu epidemi mempunyai adaptasi yang luas terhadap suhu dan mempunyai waktu pergantian generasi yang pendek, tinggi dalam bersporulasi dan infeksinya. Kebanyakan patogen tular udara yang dapat menyebabkan penyakit seperti blas pada padi, karat pada serealia, karat kopi, downy mildew, dan sebagainya, memiliki satu atau lebih atribut yang memungkinkan cepatnya penyakit meluas. Dalam kondisi ideal nilai r untuk meluasnya penyakit adalah tinggi yang menjamin cepatnya pertumbuhan epidemi. Sebaliknya beberapa penyakit layu, busuk akar dan patogen tular tanah lainnya mempunyai periode inkubasi yang panjang, rasio infeksinya rendah dan sebagainya, membutuhkan periode waktu yang lama untuk mencapai tingkat epidemi.
Page 9 of 15
Mata Kuliah / MateriKuliah 1.6. Pengaruh inokulum awal terhadap perkembangan epidemi
Brawijaya University
2013
Pada tahun 1964, di Alberta-Kanada terjadi epidemi penyakit mosaik bergaris pada gandum. Hal ini diawali
kejadian tahun sebelumnya dimana hujan turun tidak seperti biasanya, yakni hanya
sedikit selama musim semi. Sebagai akibatnya gandum dan barley pada musim tersebut hidupnya merana; kemudian situasi berubah pada bulan Juni, dan menyebabkan penundaan perkecambahan tanaman. Adanya pertumbuhan tanaman ternyata tidak mampu menahan air hujan yang turun kemudian. Pembajakan di musim panas biasanya dikerjakan untuk mencegah terjadinya pertumbuhan tanaman yang tersebar sendiri, hal ini tidak dilakukan karena tanah terlalu basah. Cuaca buruk memperpanjang pemasakan hingga bulan September 1963. Suhu musim gugur pada bulan oktober 1963, sepuluh persen di atas normal dan hal ini berlangsung terus sampai beberapa waktu. Dengan keterlambatan masaknya tanaman datanglah kutu-kutu virulen yang menyebarkan mosaik bergaris pada gandum sampai musim dingin 1963. Dengan demikian menjadikan kepadatan inokulum lebih mapan sebelum musim semi datang. Hal ini menjadikan penyakit berkembang cepat dan munculnya epidemi yang dahsyat pada tahun 1964. Kasus ini menimbulkan epidemi bila didukung cuaca yang sesuai. Muculnya penyakit tungro pada padi tergantung pada tingkatan awal infeksi (xo) yang telah mapan pada awal musim. Sebagai contoh, varietas rentan, taichung native-1, bebas dari serangan Nephotettix impicticeps pada beberapa daerah di Filipina kendatipun di lain area terdapat cukup populasi vektor datang terlambat dan akibatnya serangannya rendah. Dengan monokultur ekstensif tanaman padi, bermanfaat bagi penundaan waktu kehilangan hasil karena merubah perkembangan epidemi. Suatu model simulasi berdasarkan multilinear yang disebut EPIMUL telah dikenalkan untuk mendapatkan pengaruh dari jumlah foki awal tehadap perkembangan epidemi. Apabila seluruh inokulum awal (400 spora) hanya menghasilkan satu fokus, pertumbuhan epidemi lambat, namun bila jumlah inokulum yang sama mengahasilkan 16 foki, maka pertumbuhan epidemi cepat (Gambar 3).
Gambar 3. Pengaruh dari foki (1, 16, dan 400) terhadap perkembangan epidemi. Menurut sistem EPIMUL, yang diberi kode kurva A,B dan C (Nagarajan, 1970). Page 10 of 15
Mata Kuliah / MateriKuliah
Brawijaya University
2013
Dalam hal ini, seandainya terbentuk 400 foki yang ternyata perkembangan epideminya tidak berbeda dengan 16 foki, sehingga berlaku pula apa yang disebut “the law of diminishing return”. Jadi jelas untuk mencapai tingkat tertentu, jumlah dari foki berpengaruh terhadap laju epidemi, setelah itu tidak ada lagi peningkatan nilai r karena meningkatnya jumlah foki. Tetapi di bawah itu terjadi penundaan pertumbuhan epidemi. Karena itu untuk memulai epidemi dibutuhkan jumlah foki minimum tertentu. Batasan jumlah foki yang dibutuhkan untuk terjadinya epidemi sangat tergantung pada kondisi cuaca, area yang diserang dan waktu yang cukup untuk itu. Hal ini menunjukan bahwa penyebaran foki yang baik merupakan potensi berbahaya dibandingkan dengan satu fokus. 1.7. Viabilitas inokulum dan inokulum potensial Viabilitas patogen merupakan faktor penting bagi penyebaran penyakit. Longivitas atau viabilitas
sangat bervariasi tergantung agensia
infektifnya di alam. Zoospora dari patogen
Phycomycetes mempunyai ketahanan kurang dari satu jam dan disebarkan secara efisien dalam jarak pendek melalui percikan air atau aliran permukaan air hujan. Sebaliknya uredospora karat pada jarak yang jauh dengan daya longivitas dan ketahanan tinggi terhadap radiasi ultraviolet. Dari suatu penelitian ternyata bahwa apabila uredospora P.graminis tritici disimpan pada suhu 25oC akan cepat menurun viabilitasnya dari 95% menjadi 1% setelah empat hari. Pada ras 15B-1 kemampuan berkecambahnya akan hilang setelah di simpan selama 18 hari, sedangkan ras 56 mampu bertahan sampai 20 hari. Tentunya viabilitas ini sangat bervariasi dan tergantung dari jenis patogen, ras dan tempat penyimpanan. Penyimpanan inokulum dalam keadaan vakum pada suhu rendah (lymfolisasi) akan meningkatkan longivitas. Oleh karena itu inokulum dapat disimpan dalam jumlah yang besar. Teleutospora P. graminis tritici
tahan dalam suhu beku. Kemudian bila salju mencair akan
menghasilkan basidiospora yang akan menimbulkan penyakit lagi melalui tanaman barberi. Sebaliknya uredospora hidupnya relatif pendek (dua sampai tiga minggu pada suhu kamar sekitar 300C) dan akan mati pada suhu ekstrim. Hal ini menunjukan adanya modifikasi struktur untuk hidup lebih baik pada patogen. Uredospora P. graminis tritici lebih tahan terhadap pergantian cuaca dari pada sporangia Phytophthora infestans. Patogen karat batang membentuk sedikit foki awal, dan dari sini akan menyebar meluas membentuk epidemi. Bila umbi kentang terinfeksi ditanam maka akan banyak menghasilkan foki P. infestans, dan akan menyebarkan sporangia sensitif yang awalnya hanya beberapa meter saja dan tergantung pada pola mikroklimat, embun atau air bebas pada permukaan dan sebagainya untuk terjadinya epidemi. Viabilitas uredospora karat batang telah dapat ditangkap pada ketinggian beberapa ribu meter di atas permukaan bumi. Hal ini menunjukkan bahwa spora jamur ini mampu bertahan terhadap perubahan fluktuasi suhu, kekeringan dan radiasi ultraviolet. Sebaliknya uredospora karat kuning pada gandum, P. striiformis sangat sensitif dan jarang disebarkan dalam jarak yang jauh. Sebagaimana diketahui bahwa cuaca dan pola tanam tidak sama sepanjang tahun, patogen dipaksa untuk menghasilkan bentuk tertentu yang mampu hidup lebih baik. Kemampuan hidup patogen selama Page 11 of 15
Mata Kuliah / MateriKuliah
Brawijaya University
2013
musim kering yang panjang memungkinkan patogen tersebut untuk mengatasi hambatan berupa rotasi tanaman, ketidak-tersediaan substrat, cuaca yang tidak sesuai dan varietas pada situasi yang sama. Struktur jamur untuk mengatasi kondisi yang tidak menguntungkan adalah mengurangi jumlah spora yang disebarkan oleh angin. Bebarapa jamur patogen menghasilkan struktur seperti oospora, klamidospora, rhizomorph, sclerotia, cleistotesia dan siste pada nematode parasit, dan sebagainya, yang semuanya mempunyai ketahanan perlindungan tinggi terhadap kondisi yang buruk. Dengan demikian kemampuan hidup merupakan parameter yang sangat penting bila kondisi cuaca tidak mendukung antara dua musim tanam atau antara sporulasi ke infeksi. Kemampuan hidup lebih penting pada daerah dengan cuaca panas dibanding daerah cuaca dingin. Walaupun suhu udara tidak mendukung, spora patogen masih bisa tetap hidup karena adanya perbedaan dalam mikroklimatnya. Patogen dapat mati jika kondisi tidak mendukung berjalan lama, dan hal ini dapat disebabkan oleh suhu tinggi atau rendah. Di daerah beriklim sedang yang suhu musim dinginnya sangat rendah menyebabkan kemampuan hidup patogen menurun seperti halnya di daerah tropika apabila suhu pada musim panasnya tinggi. 1.8. Inokulum potensial dan pertumbuhan penyakit Secara teori, satu spora atau agensia infektif akan mampu menghasilkan gejala awal. Banyak kesempatan untuk terjadi hal demikian, namun pada umumnya untuk suksesnya infeksi diperlukan lebih banyak inokulum. Konsep jumlah inokulum terhadap epidemi ini dapat diikuti pada bab tersendiri dalam buku ini. Dalam hal ini secara logika dapat diterima bahwa apabila tidak ada inokulum maka penyakit tidak akan muncul, yang berarti ada hubungan linear antara jumlah inokulum dengan infeksi. Hubungan linear ini hilang pada tingkat yang tinggi karena adanya daya hambat sendiri dan intrakompetisi diantara spora untuk mengadakan infeksi. Beberapa spora patogen tanaman mengumpul bersama membentuk semacam “bola spora” dan ikatan ini akan meningkatkan daya infeksi yang disebabkan tingginya jumlah inokulum. Inokulum potensial yang ideal dapat didevinisikan sebagai: Penyakit = inokulum potensial x penyakit potensial. Inokulum potensial adalah kerapatan inokulum termasuk pula didalamnya virulensi tertentu dan vigoritas yang termodifikasi oleh faktor lingkungan. Penyakit potensial adalah kerentanan inang terhadap periode daur hidup patogen. Dalam hal inipun dapat dibentuk model seperti di atas yakni hubungan antara inokulum potensial dan perkembangan epidemi. Pada tingkat inokulum yang rendah, jumlah spora per cm 2 area daun sangat proposional terhadap luka per bercak yang nampak pada unit area tersebut. Pada Phaseolus vulgaris dan Uromyces phaseali perbandingan jumlah spora terhadap luka adalah 11:1. Kosentrasi spora dalam kasus ini tidak melampaui 1000 spora per cm2 unit area. Tetapi pada kebanyakan jamur karat, pada tingkat kosentrasi spora tinggi apabila dilarutkan dalam air akan menyebabkan adanya daya hambat sendiri yang mengurangi kemampuan berkecambah sekaligus infeksinya. Pada jamur lain, kosentrasi spora tinggi menghasilkan multiplikasi infeksi, kompetisi tempat dan akhirnya mengurangi perbandingan peningkatan luka. Page 12 of 15
Mata Kuliah / MateriKuliah
Brawijaya University
2013
Pengamatan terhadap pengaruh sinergisme uredospora P. graminis tritici, menunjukan bahwa konsentrasi spora yang mencapai 2.800/cm 2 menghasilkan titik-titik infeksi 12/100 spora, dan tidak terjadi sinergisme. Dari tingkat tersebut sampai 5.400/cm 2, efek sinergisme meningkatkan jumlah infeksi sampai 27/100. Reaksi sinergisme tertentu dalam meningkatkan infeksi telah dicoba pula oleh ahli lain; yang menunjukan bahwa uredospora P. striiformis menyebar dalam kelompok seperti halnya dalam kasus klamidospora pada beberapa penyakit “bunt” dan “smut”. Uredospora karat kuning mempunyai daya berkecambah rendah bila sendirian, namun akan meningkat bila dalam kelompok. Peneliti lain menunjukan bahwa tidak ada efek sinergisme pada Erysiphae graminis apabila konidia yang diberikan rendah, yakni 27 sampai 200 konidia/cm 2 area daun. Penelitian di “growth chamber” menunjukan adanya hubungan linear antara kerapatan inokulum dan infeksi. Dari hasil-hasil tersebut, maka jelaslah bahwa konsep inokulum potensial sangat menarik bagi ahli epidemiologi yang menjadi faktor penting dalam mempengaruhi perkembangan penyakit. 1.9. Inkubasi penyakit Perbedaan waktu antara sukses dan mapannya hubungan patogen-inang sampai munculnya gejala penyakit disebut periode inkubasi. Dalam epidemiologi periode ini diberi kode p. Beberapa peneliti mengartikan periode inkubasi sebagai periode yang mencangkup seluruh tahapan hingga pelepasan spora awal. Laju penyebaran penyakit sebagaian besar di pengaruhi oleh p, dan bila nilai p rendah, patogen akan mampu dengan cepat melengkapi daur infeksinya untuk memperoleh kesempatan dalam membangun penyakit dengan cepat. Situasi serupa ini terjadi bila terdapat kondisi cuaca yang ideal dan bila keadaan inang rentan. Tetapi bila kondisi sebaliknya, maka nilai p akan meningkat. Periode inkubasi tidak hanya ditentukan oleh faktor lingkungan seperti suhu, kebasahan daun, intensitas sinar, kelembaban nisbi, dan sebagainya, tetapi juga oleh jenis isolat. Isolat ras 56 dari P.graminis tritici mempunyai periode inkubasi secara lengkap dua hari lebih cepat dibandingkan dengan ras 15B-1 (can) bila diuji pada berbagai tingkat pemberian inokulum dan pada dua tingkatan suhu. Meletus dan masaknya pustul ras 56 terjadi lebih awal pada suhu 15 dan 20 oC. Hal ini mewujudkan bahwa ras 56 mempunyai nilai p kecil dan dapat dijadikan alasan mengapa ras ini dominan dikondisi lapangan di Kanada. Hal yang sama terlihat pula bahwa nilai p bervariasi tergantung varietas inangnya. 1.10. Sporulasi Sporulasi adalah merupakan proses pembentukan spora patogen baik secara seksual atau aseksual. Setelah gejala penyakit nampak, diperlukan adanya stimulasi fisiologi tertentu untuk memacu sporofor bersporulasi. Dalam kasus Arternaria solani dibutuhkan penyinaran beberapa menit untuk memacu pembentukan sporofor dan setelah itu sporofor dapat tumbuh, baik dalam keadaan terang maupun gelap. Apabila hal ini terpenuhi sporulasi akan terjadi dengan baik. Kemampuan sporulasi patogen bervariasi tergantung pada daun, posisi daun, jumlah sinar yang diterima, kelembaban dan variasi faktor lainnya. Kemampuan sporulasi Colletotrichum spp, penyebab Coffee Page 13 of 15
Mata Kuliah / MateriKuliah
Brawijaya University
2013
Berry Disease (CBD) pada tanaman kopi, sangat tergantung pada posisi pohon. Pada cabang-cabang atas tanaman kopi yang tidak di pangkas menghasilkan spora empat kali lebih banyak dari pada percabangan. Perbedaan bagian tanaman menghasilkan jumlah spora yang berbeda, sebagai contoh bandingkan dengan CBD yang menyerang biji yang menghasilkan sekurangnya 50 kali lebih spora. Sehingga dapat ditaksir bahwa per cm 2 kulit biji kopi menghasilkan 20 spora setiap jam, sedangkan serangan biji yang hijau menghasilkan 9,4 x 10 3 spora. Dahulu
diperkirakan
bahwa
pengendalian dengan
bahan
kimia akan
dapat
mengatasi
permasalahan penyakit tanaman. Namun kemudian timbul masalah sosial dan lingkungan sehubungan dengan penggunaan bahan kimiawi yang tidak pilih bulu. Tetapi sekarang, untuk menekan serangan penyakit di bawah ambang ekonomi, maka diperlukan penyeimbangan penggunaan bahan kimia denga modifikasi kultur praktis. Telah didapatkan bahwa CBD yang menyerang biji dengan penyemprotan yang baik pada tanaman kopi ternyata menghasilkan jumlah spora lebih banyak dibandingkan yang tidak disemprot. Hal ini bisa terjadi karena biji yang berpenyakit akan segera tertutup saprofit, sementara pada plot yang di semprot infeksi awal tidak hilang, tetapi saprofitnya hilang. Kemudian patogen bersporulasi dengan kuat. Dalam plot yang hanya awal saja di semprot, pertumbuhan logaritmik CBD mulai kemudian tetapi epidemi berakhir lebih cepat. Dalam plot yang tidak disemprot epidemi dihambat oleh cuaca yang tidak mendukung atau oleh perkembangan resistensi secara bertahap sampai CBD dapat meningkat. Periode sporulasi aktif pada sebuah luka dikenal sebagai I, pada Ganoderma lucidum dapat bervariasi dari beberapa hari sampai beberapa bulan, periode ini bervariasi pula menurut inang. Mengenai cara perhitungan epidemi penyakit dalam hubungannya dengan berbagai hambatan tersebut diterangkan pada MODUL berikutnya.
4. REFERENSI Kerr, A. 1980. Factors affecting disease outbreaks. Brown, J.F. et.al., A Protection. AAUCS. h.286-293. Kranz, J. 1974. Epidemics of plant diseases: Mathematical analysis and Berlin. 170 h.
Course Manual in Plant modeling. Springer-Verlag,
Nagarajan, S. 1970. Plant disease epidemiology. Oxford & IBH Publishing Co. New Delhi. 267h. Sastrahidayat, I.R. 1984. Penelitian epidemi penyakit tepung (Podosphaera leucotricha) pada tanaman apel di Batu-Malang. Desertasi Doktor, UGM. 109 h. Sastrahidayat, I.R. 1990. Studies of Marssonina coronaria on apple in 58.
Indonesia. Agrivita 13 (2): 54-
Sastrahidayat, I.R. 1995. Paradigms of the similarities of science and religion according to the holy qur'an. 6tn International Seminar on Miracle of Al-Qur'an and Al-sunnah on science and technology. EPTN-Bandung. 20 h. Sastrahidayat, I.R. 2011. Fitopatologi (ilmu penyakit tumbuhan). UB. Press. Page 14 of 15
Mata Kuliah / MateriKuliah
Brawijaya University
2013
Sudjono, M.S. 1987. Ambang ekonomi penyakit karat kedelai (Phakopsora pachyrhizi Syd.). Dalam Gatra penelitian penyakit tumbuhan dalam pengendalian secara terpadu, PFI. h. 76-77. Van der Plank, J.E. 1963. Plant disease: Epidemics and control. Acad.
Press, New York. 349 h.
5. PROPAGASI Memberikan arahan mengenai akad perkuliahan yang akan dilakukan dalam pertemuan-pertemuan berikutnya sekaligus tugas-tugas dan cara penilainnya sehingga akan didapat objektivitas dalam transfer pengetahuan melalui kuliah, diskusi, praktikum, dsb.
6. PENDALAMAN 1. Amati Gambar 1 dengan seksama kemudian berilah komentar mengenai dinamika epidemi atas dasar waktu dan adanya pengaruh tangan manusia melalui teknologinya. 2. Inokulum awal mempunyai peranan penting dalam epidemi penyakit dan diperhitungkan sebagai xo, dapatkah anda memberikan contoh mengenai hal ini pada kejadian penyakit tertentu? 3. Buatlah diagram ringkas mengenai perkembangan epidemiologi penyakit tanaman berdasarkan sejarah yang dipaparkan dalam modul ini.
Page 15 of 15