e-Journal Mimbar PGSD Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan PGSD (Vol: 2 No: 1 Tahun 2014)
MODEL PEMBELAJARAN RESOLUSI KONFLIK BERBASIS MASALAH KONTEKSTUAL BERPENGARUH TERHADAP HASIL BELAJAR IPS SISWA KELAS V SD GUGUS 1 ABIANSEMAL Ni Putu Indra Rusminiati1, Made Putra2, IB Gede Surya Abadi3 1,2,3
Jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar, FIP Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja, Indonesia
E-mail :
[email protected],
[email protected], suryaabadi
[email protected] Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan yang signifikan hasil belajar IPS antara siswa yang dibelajarkan menggunakan model pembelajaran resolusi konflik berbasis masalah kontekstual dengan siswa yang dibelajarkan menggunakan pembelajaran konvensional pada siswa kelas V SD Gugus 1 Abiansemal. Desain penelitian ini adalah nonequivalent control group design. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas V di SD Gugus 1 Abiansemal yang berjumlah 191 orang. Melalui teknik random sampling didapat 2 kelas yang terdiri dari 70 siswa sebagai sampel. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan hasil belajar IPS antara siswa yang dibelajarkan menggunakan model pembelajaran resolusi konflik berbasis masalah kontekstual dengan siswa yang dibelajarkan menggunakan pembelajaran konvensional (nilai thitung = 7,75 dan ttabel = 2,00) jadi thitung > ttabel. ). Maka Ho ditolak dan Ha diterima, sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan hasil belajar IPS antara model pembelajaran resolusi konflik berbasis masalah kontekstual dengan model pembelajaran konvensional. Rata-rata hasil belajar IPS siswa yang mengikuti pembelajaran resolusi konflik berbasis masalah kontekstual lebih tinggi dari rata-rata hasil belajar IPS siswa yang mengikuti pembelajaran konvensional yaitu 75,16 > 60,44. Hal ini berarti terdapat pengaruh model pembelajaran resolusi konflik berbasis masalah kontekstual terhadap hasil belajar IPS. Kata kunci: resolusi konflik, hasil belajar IPS Abstract This research study aimed to know the significant differences of students who are learned using conflict resolution learning model based of contextual problem to the students who are learned using conventional learning model by the fifth grade students of elementary school cluster 1 Abiansemal. The design of this research study was a nonequivalent control group design. The populations of this research were all of the fifth grade students of elementary school cluster 1 Abiansemal totaled 191 students. There were two classes totaled 70 students as the sample.They were chosen by random sampling technique. The result of this research study showed that there was a significant differences in students’ social achievement who are learned using conflict resolution learning model based of contextual problem to the students who are learned using conventional learning model (value tvalue = 7.75 and ttable = 2.00), so tvalue > ttable). Therefore, Ho was refused and Ha was accepted. This meant that there were significant differences by students who are learned using conflict resolution learning model based of contextual problem to the students who are learned using conventional learning model. The average result of students’ social achievement using conflict resolution learning model based of contextual problem was higher than the students who are learned using conventional learning model that was 75.16 > 60.44. It meant that conflict resolution learning model based of contextual problem influenced the students’ social achievement. Keywords : conflict resolution, students’ social achievement
e-Journal Mimbar PGSD Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan PGSD (Vol: 2 No: 1 Tahun 2014) PENDAHULUAN Pada akhir-akhir ini, budaya kekerasan (destruktif) seperti perkelahian dan tawuran antar pelajar, antar mahasiswa, maupun antar warga marak terjadi. Fenomena maraknya penyelesaian konflik dengan tindak kekerasan, baik di lingkungan pelajar maupun masyarakat tersebut, masyarakat kita adalah masyarakat yang kurang terdidik. Karena Masyarakat yang terdidik tentunya akan selalu berusaha secara konstruktif menggunakan akal sehat dan daya intelektualnya dalam menyelesaikan setiap permasalahan (konflik) yang terjadi. Jika fenomena tindak kekerasan ini hadir di tengah - tengah masyarakat yang kurang atau tidak berpendidikan, mungkin hal ini menjadi wajar-wajar saja, akibat rendahnya daya intelektual mereka. Namun, jika fenomena tindak kekerasan ini justru melanda pada masyarakat yang notabenanya cukup berpendidikan seperti pada kalangan pelajar SD (Sekolah Dasar), maka ini menunjukkan adanya kesalahan dengan proses pendidikan di Sekolah. yaitu proses pendidikan selama ini belum mampu mengembangkan sikap toleran dan sikap saling harga menghargai diantara masingmasing individu dengan baik. Selain itu, proses pendidikan juga telah gagal mengajarkan kepada siswa untuk bisa memahami dan berkomunikasi dengan orang lain, mampu berpikir dari beragam perspektif, mampu melihat perbedaan antar individu dari segi suasana hati, temperamen, motivasi dan tingkat kemampuannya. Akibatnya setiap permasalahan yang berkaitan dengan hubungan interpersonal cenderung tidak dapat mereka selesaikan dengan baik dan konstruktif. Kemampuan memahami dan melihat perbedaan diantara individu secara psikologis berhubungan dengan faktor kecerdasan interpersonal yang dimiliki siswa. Siswa yang tidak memiliki kecerdasan interpersonal dengan baik umumnya cenderung tidak mampu mengelola dan menyelesaikan konflik yang ditimpanya dengan baik dan konstruktif. Dengan demikian, fenomena maraknya penyelesaian konflik dengan tindak kekerasan, baik yang terjadi pada kalangan
pelajar maupun masyarakat kita akhir-akhir ini, menunjukkan bahwa kecerdasan interpersonal mereka dalam mengelola dan menyelesaikan konflik secara konstruktif masih cukup rendah. Dikalangan sekolah dasar (SD) sebagian besar siswa sering mengalami konflik dengan teman sebayanya, ini terlihat dari perlakuan atau tindakan siswa seharihari di sekolah, baik itu di dalam kelas maupun di luar kelas seperti contoh: berkelahi di dalam kelas, merusak fasilitas yang ada di kelas, perbedaan pendapat saat proses pembelajaran berlangsung, permasalahan yang tidak bisa diselesaikan dalam pelajaran dan membedakan status sosial yaitu tidak ingin bergaul dengan siswa yang beragama lain, Menurut Jamuin (1998:158) menyatakan bahwa upaya penyelesaian konflik dengan melibatkan orang yang berselisih berdialog secara langsung merupakan cara yang efektif dan sangat demokratis. Model resolusi konflik bisa menepis kecurigaan, mengurangi ketegangan, dan menjernihkan suasana serta persoalan yang diperselisihkan. Dalam pelaksanaannya hal yang tidak terduga bisa terjadi bahkan sering menimbulkan masalah baru. Sesungguhnya sebagai aktor sosial, siswa di sekolah dasar pun perlu difasilitasi dan diberdayakan perilaku sosialnya, agar memiliki kemauan dan kemampuan dalam turut memecahkan masalah dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Secara psikologis juga penting, karena siswa di tingkat Sekolah Dasar masih kuat dikuasai oleh sifat-sifat egoismenya. Jika tidak dididik dengan benar pengembangan pikiran, persepsi, keyakinan sikap, nilai-nilai dan kecakapan atau keterampilan sosialnya, siswa akan mengalami hambatan dalam perkembangan potensi kecerdasan emosional, sosial, moral, dan spiritualnya (Given,2007). Karena itu sangatlah penting memberdayakan kemampuan siswa untuk dapat memecahkan masalah sebagai anggota masyarakat. Menumbuhkan kesadaran multikultur pada siswa sejak dini seperti ini sangat penting dalam rangka membangun sebuah
e-Journal Mimbar PGSD Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan PGSD (Vol: 2 No: 1 Tahun 2014) masyarakat yang berkehidupan sosial. Tentu ini membutuhkan model pendidikan yang tidak saja harus relevan tetapi juga sinergis. Dalam realitas kehidupan sosial di lingkungan sekolah, keluarga, masyarakat dapat diketahui masih rendahnya tingkat kepekaan, kemauan, dan kemampuan siswa untuk turut memecahkan berbagai masalah konflik dan nilai-nilai sosial yang ada dalam dunia kehidupan mereka. Rendahnya kemampuan anak untuk memecahkan masalah konflik dan nilai-nilai sosial perlu dicermati. Nilai-nilai ini akan mewarnai bagaimana cara berfikir, bersikap, dan cara menilai siswa dalam hubungan sosial dirinya dengan orang lain di lingkungannya. Dalam hubungan seperti itu akan sulit bagi siswa untuk mengembangkan standar nilai moral sosialnya. Secara sosiologis lingkungan juga mempengaruhi ketidakpekaan siswa pada masalah-masalah konflik sosial yang ada disekitarnya. Siswa cenderung akan menimbulkan sikap dan perilaku siswa yang berorientasi pada kepentingan diri sendiri. Jika demikian siswa menjadi kurang peka terhadap lingkungan sosialnya. Lingkungan belajar di sekolah juga bisa berpengaruh terhadap ketidakmampuan siswa untuk memecahkan masalah yang ada di lingkungan sekitar. Berdasarkan observasi dan wawancara yang diperoleh dari kepala sekolah dan guru wali kelas V mengungkapkan bahwa kegiatan pembelajaran yang dilakukan di SD Gugus 1 Abiansemal, guru tersebut mengungkapkan tentang pembelajaran yang dilaksanakan selama ini di sekolah menggunakan metode ceramah bervariasi dengan alat peraga seadanya. Kriteria ketuntasan minimum untuk mata pelajaran IPS di sekolah tersebut adalah 70 dilihat dari hasil belajar siswa kelas V semester genap ada yang beberapa memperoleh nilai di bawah standar ketuntasan tersebut hanya 30% dari jumlah siswa yang memenuhi standar tersebut. Hal ini dilakukan karena terbatasnya pengetahuan guru tentang strategi pembelajaran dan cara-cara mengajar yang inovatif dan kreatif sehingga pembelajaran di kelas tidak berlangsung optimal. Persoalannya bukan hanya karena kemampuan siswa yang rendah, namun perlu dikaji hal yang paling
mendasar dalam pengaruh rendahnya hasil belajar siswa. Berdasarkan hal tersebut teridentifikasi masalah seperti: (1) rendahnya hasil belajar IPS siswa (2) strategi guru dalam membelajarkan siswa masih belum optimal. (3) guru kurang menguasai model pembelajaran yang iovatif dan kreatif. Walaupun beberapa guru telah mencoba memberdayakan siswa untuk peka dan tanggap terhadap isu-isu konflik sosial yang ada di sekitarnya, kecenderungan guru hanya memberikan contoh atau ilustrasi sebagai pelengkap sajian utama materi pelajaran yang diajarkannya. Beberapa guru ada yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk belajar berdiskusi, melakukan tanya jawab, belajar secara berkelompok, melakukan pengamatan lapangan dan mengerjakan tugas PR yang diberikan guru. Hasil penelitian Lasia (2009) tentang korelasi antara tingkat kestabilan emosi dan kualitas interaksi sosial para siswa kelas IV, V, dan VI menunjukkan bahwa kualitas interaksi sosial siswa dilihat dari faktor frekuensi interaksi, sifat interaksi, serta intensitas interaksinya tergolong rendah. Jika interaksi sosial para siswa saja masih rendah, bagaimana dapat diharapkan siswa dapat memiliki kemampuan untuk memecahkan masalah dan nilai-nilai sosial di dalam masyarakat. Ada indikasi bahwa jika siswa dihadapkan pada konflik kepentingan dan nilai-nilai sosial, mereka cenderung menyelesaikannya dengan kekuatan fisik. Inilah yang membawa anak pada kecenderungan perilaku sosial yang nakal baik di lingkungan keluarga, sekolah, mau pun masyarakat. Kasus yang terjadi pada siswa SD yang menjadi pemalak teman-temannya menunjukkan betapa rendahnya kepekaan, sikap tanggap, kemauan, dan kecakapan sosial anak untuk menyelesaikan masalah konflik kepentingan dan nilai-nilai sosial pada anak. Masalah ini tentu sangat menarik untuk diteliti lebih lanjut yaitu penelitian tentang pengaruh model pembelajaran resolusi konflik berbasis masalah kontekstual terhadap hasil belajar IPS siswa dengan demikian menjadi penting. Dipilihnya model pembelajaran resolusi konflik ini mengingat potensi penggunaan
e-Journal Mimbar PGSD Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan PGSD (Vol: 2 No: 1 Tahun 2014) model pembelajaran resolusi konflik dalam mengoptimalkan hasil belajar IPS siswa, khususnya dalam melatih kepekaan, ketanggapan, dan kemampuan memecahkan masalah dan nilai sosial. Model pembelajaran resolusi konflik memberikan cara terhadap guru untuk menjadikan pembelajaran itu menarik, berkualitas dan bermakna bagi siswa, seperti bagaimana merancang program pembelajaran yang berorientasi pada siswa, bagaimana mengelola kelas agar PBM berlangsung secara aktif dan intraktif, bagaimana memberikan layanan belajar, dan bagaimana melakukan evaluasi PBM yang komprehensif, sehingga mampu mengoptimalkan keberhasilan siswa selama berlangsungnya pembelajaran. Di dalam model resolusi konflik belajar dan membelajarkan merupakan dua sisi yang saling melengkapi satu sama lainnya. Artinya dalam PBM yang menjadi titik tolaknya adalah bagaimana guru mampu membelajarkan siswa, dan siswa itu sendiri juga dapat belajar dan sekaligus membelajarkan diri dengan siswa lainnya. Dengan pola pembelajaran seperti ini maka pembelajaran bukan lagi pada guru, melainkan pada siswa itu sendiri. Untuk melakukan dan mencapai hal itu maka para guru harus mampu merancang program satuan pembelajaran yang memungkinkan hal itu terjadi. Model ini memberikan cara terhadap guru IPS, bagaimana merancang rencana pembelajaran yang baik dan komprehensif, sehingga bila diterapkan dalam pembelajaran oleh guru akan menjadikan kelas itu menyerupai suatu masyarakat riil sebagaimana yang dialami dan dilakoni oleh siswa dalam kehidupannya sehari-hari. Melalui masalah dalam bentuk simulasi dan bermain, kesempatan untuk belajar sambil bermain, siswa akan memiliki kesempatan belajar yang luas dan mendalam di bawah arahan dan fasilitas guru. Guru bukan lagi otoritas tunggal pembelajaran tetapi lebih banyak berfungsi sebagai mediator dan fasilitas pembelajaran bagi siswa. Pola pembelajaran yang demikian akan menjadikan PBM berlangsung dengan aktifkreatif, sehingga hasil-hasil belajar siswa juga akan lebih baik.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap Suartana (2010) disimpulkan bahwa model Resolusi Konflik dalam pembelajaran adalah bahwa dengan pola peers tutoring siswa bukan saja dapat mempelajari materi pelajaran secara maksimal, tetapi mereka juga secara otomatis melatih dan mengembangkan keterampilan sosial dan etika moral selama pembelajaran berlangsung melalui permainan yang disepakati bersama. Adapun sintak dari pembelajaran resolusi konflik berbasis masalah kontekstual yaitu tahap identifikasi (penggalian konsep awal siswa melalui Tanya jawab dan memberikan contoh masalah untuk menunjukkan kepada siswa apa dan bagaimana menemukan masalah), eksplorasi (mengumpulkan fakta yang tersedia dari berbagai sumber untuk mendukung pemecahan masalah yang akan dibahas), eksplanasi (guru membimbing siswa untuk menguji hipotesis yang telah diformulasikan berdasarkan fakta-fakta yang tersedia), negosiasi konflik (guru membimbing dan mengawasi jalannya diskusi siswa dalam membahas dan menguji hipotesis mengenai masalah yang dibahas), resolusi konflik (merumusikan secara definitive keputusan yang diambil berkaitan dengan masalah yang dibahas). Hal ini merupakan suatu cara praktis untuk menyelesaikan berbagai masalah yang ada dalam pembelajaran IPS. Model ini sangat mudah diterapkan oleh guru dalam PBM di kelas, karena pembelajaran bukan lagi ada di tangan guru melainkan pada siswa sebagai sentral pembelajaran. Melalui model resolusi konflik, pembelajaran yang dikembangkan oleh guru akan membuat siswa termotivasi untuk belajar (Waterworth, 2001: 96). Selanjutnya dikatakan juga bahwa dalam model ini siswa bukan lagi dijadikan objek pembelajaran melainkan sebagai subyek dan sekaligus sentral keseluruhan PBM. Dipilihnya masalah ini juga mengingat rendahnya kualitas proses dan produk pembelajaran IPS dilihat dari perspektif didaktik metodik, ini disebabkan oleh beberapa faktor, baik yang bersifat internal maupun eksternal. Kualitas proses dan produk pembelajaran IPS dalam praktik
e-Journal Mimbar PGSD Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan PGSD (Vol: 2 No: 1 Tahun 2014) pendidikan di Indonesia banyak dipengaruhi oleh kinerja guru dan kinerja siswa. Berdasarkan rasional dan beberapa temuan penelitian di atas, maka penelitian ini akan difokuskan pada pengaruh model pembelajaran resolusi konflik berbasis masalah kontekstual terhadap hasil belajar IPS siswa kelas V SD Gugus 1 Abiansemal tahun ajaran 2013/2014. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan yang signifikan hasil belajar IPS antara siswa yang mengikuti pembelajaran resolusi konflik berbasis masalah kontekstual dengan siswa yang mengikuti pembelajaran konvensional siswa kelas V SD Gugus 1 Abiansemal. METODE Jenis penelitian yang dilaksanakan dalam penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan desain penelitian ini menggunakan desain eksperimen semu (quasi eksperimen) dengan rancangan eksperimen yaitu baik kelompok eksperimen maupun kelompok kontrol tanpa diacak atau Nonequivalent Control Group Design (Suugiyono 2011:443). Pemilihan desain ini disesuaikan dengan kelas subjek yang telah ditentukan oleh sekolah. Pada dasarnya penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan model pembelajaran Resolusi Konflik berbasis masalah kontekstual terhadap hasil belajar IPS siswa. Populasi adalah keseluruhan atau himpunan objek dengan ciri yang sama. Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek/ subyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2012: 117) Populasi penelitian ini adalah seluruh siswa kelas V SD Gugus 1 Abiansemal. Gugus 1 Abiansemal terdiri dari 7 SD di antaranya SD Negeri 1 Blahkiuh, SD Negeri 2 Blahkiuh, SD Negeri 3 Blahkiuh, SD Negeri 4 Blahkiuh, SD Negeri 1 Sangeh, SD Negeri 2 Sangeh, SD Negeri 3 Sangeh. Informasi yang diperoleh, bahwa siswa di dalam kelas-kelas yang setara secara akademik dikatakan setara, karena dalam pengelompokkan siswa ke dalam kelaskelas tersebut disebar secara merata antara siswa yang memiliki kemampuan
tinggi, sedang dan rendah. Hal ini berarti tidak terdapat kelas unggulan maupun non unggulan. Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut (Sugiyono, 2009:118). Dalam melakukan pemilihan sampel penelitian, tidak dapat dilakukan pengacakan individu karena tidak bisa mengubah kelas yang terbentuk sebelumnya dan kelas V yang dijadikan sampel berada pada sekolah yang berbeda-beda. Kelas dipilih sebagaimana telah terbentuk tanpa adanya campur tangan peneliti dan tidak dilakukan pengacakan individu, dengan tujuan untuk mencegah kemungkinan subjek mengetahui dirinya dilibatkan dalam penelitian sehingga penelitian ini benarbenar menggambarkan pengaruh perlakuan yang diberikan. Berdasarkan karakteristik populasi dan tidak bisa dilakukan pengacakan individu, maka pengambilan sampel pada penelitian ini dilakukan dengan teknik random sampling, yang dirandom adalah kelas. Sehingga didapat 2 kelas sebagai sampel. Dalam penelitian ini yang menjadi sampel penelitian adalah SD No 2 Sangeh sebagai kelompok eksperimen dan SD No 1 Blahkiuh sebagai Kelompok Kontrol.kemudian diuji kesetaraannya menggunakan rumus uji t (polled varianns) yaiu dengan thitung < t tabel (1,55<2,000) sehingga dinyatakan kedua kelompok setara. Berdasarkan informasi dari ketua gugus 1 Abiansemal seluruh sekolah yang ada pada gugus 1 Abiansemal setara secara akademik. Penelitian ini melibatkan variabel bebas dan variabel terikat yang dijelaskan sebagai berikut. Variabel bebas (independen) merupakan variabel yang mempengaruhi atau yang menjadi sebab perubahannya atau timbulnya variabel terikat Arikunto (2010: 162). Variabel bebas yang dimaksud dalam penelitian ini adalah model pembelajaran resolusi konflik berbasis masalah kontekstual dengan pembandingnya pembelajaran konvensional. Sedangkan variabel terikat (dependen) merupakan variabel yang mempengaruhi atau yang menjadi akibat karena adanya variabel bebas. Variabel terikat dalam penelitian ini adalah hasil
e-Journal Mimbar PGSD Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan PGSD (Vol: 2 No: 1 Tahun 2014) belajar IPS. Untuk mengumpulkan data hasil belajar IPS tersebut digunakan tes, yaitu tes untuk mengukur hasil belajar IPS siswa kelas V, instrument yang digunakan adalah tes hasil belajar IPS dengan jenis tes bersifat objektif pilihan ganda biasa satu jawaban benar dan butir pertanyaan berjumlah 50 soal. dalam instrument ini yang dinilai hanya kognitifnya saja. Sebelum tes tersebut digunakan terlebih dahulu tes akan diuji validitas, realibilitas, daya beda dan indeks kesukaran. Validitas tes objektif ditentukan melalui analisis butir berdasarkan koefisien korelasi point biserial karena tes bersifat dikotomi dari 50 soal yang diujikan didapat 38 soal yang valid dan 12 soal gugur. Kemudian diuji reliabilitas menggunakan rumus KR 20 (Sudijono 2011: 253) dari soal yang valid diperoleh r11 0,69 > 0,279 (r11 >rtabel) reliabel dengan kriteria reliabilitas sangat tinggi. Uji daya beda dari 38 soal yang valid terdapat 2 butir soal kriteria jelek, 18 butir soal cukup, 17 butir soal kriteria baik, 1 butir soal dengan kriteria sangat baik. Tingkat kesukaran dari 38 soal yang valid terdapat 6 butir soal termasuk kriteria mudah, dan 32
butir soal termasuk kriteria sedang. Didapat indeks kesukaran butir tes sebesar 0,59 yang berada pada kriteria sedang. HASIL DAN PEMBAHASAN Objek dalam penelitian ini adalah perbedaan hasil belajar IPS siswa kelas V sebagai hasil perlakuan antara penerapan model pembelajaran resolusi konflik berbasis masalah kontekstual dan pembelajaran konvensional. Penelitian ini menggunakan rancangan nonequivalent control group design dengan menggunakan uji-t sebagai alat untuk menganalisis data. Dengan demikian data dalam penelitian ini dikelompokkan menjadi dua yaitu: hasil belajar IPS siswa kelas V yang mengikuti pembelajaran resolusi konflik berbasis masalah kontekstual dan hasil belajar IPS siswa kelas V yang mengikuti pembelajaran konvensional. Hasil analisis perhitungan rata-rata (mean), standar deviasi, dan varian dari hasil belajar IPS antara kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Rekapitulasi Hasil Nilai Belajar IPS Siswa Hasil Analisis Mean (Rata-rata) Standar Deviasi Varians
K. Eksperimen 75,16 7,82 61,22
Uji normalitas dimaksudkan untuk mengetahui dapat atau tidaknya melakukan uji hipotesis dengan menggunakan statistik parametrik. Untuk mengetahui sebaran data hasil belajar IPS siswa berdistribusi normal atau tidak maka digunakan analisis Chi-Square (Winarsunu, 2010:88) berdasarkan perhitungan diperoleh diperoleh x2 hitung = 7,11 sedangkan x2 tabel untuk taraf signifikansi 5% dengan dk = 5 adalah 11,070, sehingga x2 hitung < x2 tabel. Ini berarti sebaran data pada kelompok eksperimen berdistribusi normal. Sementara itu untuk data pada kelompok kontrol diperoleh x2 hitung = 3,35, sedangkan x2 tabel untuk taraf signifikan 5% dengan dk = 5 adalah 11,070, sehingga x2
K. Kontrol 60,44 7,65 58,51 < x2 tabel. Ini berarti sebaran data pada kelompok kontrol berdistribusi normal. Dari hasil pengujian kedua kelompok data tersebut dapat disimpulkan bahwa kedua data hasil belajar IPS siswa dikelas V baik di kelas eksperimen dan kelas kontrol telah berdistribusi normal. Uji homogenitas varians digunakan untuk menguji bahwa perbedaan yang terjadi pada uji hipotesis benar-benar terjadi akibat adanya perbedaan antar kelompok, bukan sebagai akibat perbedaan dalam kelompok. Uji homogenitas data dilakukan dengan uji F (Winarsunu, 2010:100) yang biasanya digunakan untuk menguji homogenitas dua kelompok data. Besarnya Fhitung = 1,05, sedangkan Ftabel pada taraf signifikan hitung
e-Journal Mimbar PGSD Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan PGSD (Vol: 2 No: 1 Tahun 2014) 5% dengan db pembilang 38 – 1 = 37 dan db penyebut 32 – 1 = 31 adalah 1,84, sehingga Fhitung < Ftabel. kedua kelompok sehingga kedua kelompok data homogen. Dari hasil uji prasyarat, yaitu uji normalitas dan uji homogenitas varian dapat disimpulkan bahwa pada data penelitian ini berdistribusi normal dan homogen. Oleh karena itu uji hipotesis menggunakan uji-t (Koyan, 2007:24) dapat dilakukan. Dari hasil perhitungan diperoleh thitung = 7,75 sedangkan ttabel pada
taraf signifikan 5% dengan dk = n1 + n2 – 2 = 38 + 32 – 2 = 68 adalah 2,000 sehingga thitung > ttabel, maka H0 ditolak dan Ha diterima. Ini berarti terdapat perbedaan yang signifikan hasil belajar IPS antara siswa yang dibelajarkan menggunakan model pembelajaran resolusi konflik berbasis masalah kontekstual dengan siswa yang dibelajarkan menggunakan model pembelajaran konvensional pada siswa kelas V SD Gugus 1 Abiansemal tahun pelajaran 2013/2014. Hasil Analisis Uji-t disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2 Hasil Analisis Uji-t No
Kelompok
N
Dk
1 2
Eksperimen Kontrol
38 32
68
75,16 60,44
Berdasarkan hasil uji penyetaraan kelompok yang dilakukan terhadap kelompok eksperimen maupun kelompok kontrol dengan menguji nilai ulangan umum semester 1 pada mata pelajaran IPS siswa kelas V SD No 2 Sangeh dan kelas V SD No 1 Blahkiuh gugus I Abiansemal, yang diuji menggunakan uji t diketahui bahwa kedua sampel memiliki keadaan sampel yang normal dan memiliki varian yang sama atau homogen. Ini menunjukkan sebelum diberikan perlakuan kedua kelompok mempunyai kemampuan awal yang sama sehingga kelas eksperimen diberikan treatment berupa pembelajaran dengan model pembelajaran resolusi konflik berbasis masalah kontekstual dan kelas kontrol diberikan pembelajaran berupa pembelajaran konvensional. Perlakuan diberikan sebanyak 6 kali kepada kelas eksperimen dan 6 kali kepada kelas kontrol. Setelah diberikan perlakuan berupa model pembelajaran resolusi konflik berbasis masalah kontekstual, dilanjutkan dengan pemberian post-test terhadap kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Melalui hasil analisis data hasil belajar IPS dari kedua kelompok maka diketahui terdapat perbedaan nilai rata-rata antara kedua kelompok. Nilai rata-rata pada kelompok
Varians
thitung
ttabel
61,22 58,51
7,75
2,000
eksperimen yaitu 75,16 sedangkan nilai rata-rata pada kelompok kontrol yaitu 60,43. Sebelum dilakukan uji hipotesis menggunakan uji t, terlebih dahulu dilakukan uji prasyarat meliputi uji normalitas dan homogenitas dengan menggunakan Microsoft Excel. Dari hasil perhitungan diketahui bahwa sebaran data nilai post-test pada kedua kelompok telah memenuhi normalitas dan homogen. Karena data pada kelompok eksperimen dan kontrol telah memenuhi uji prasyarat maka dilanjutkan dengan uji t. Pada taraf signifikan 5% dengan dk, 38+32-2 = 68. Berdasarkan tabel distribusi t pada lampiran maka harga t pada taraf signifikan 5% = 2.00, Dari hasil perhitungan diperoleh t hitung = 7,75). Dengan membandingkan hasil t hitung dan t tabel dapat disimpulkan bahwa nilai t hitung >t tabel , maka maka H 0 ditolak dan Ha diterima. Dari hasil perhitungan uji t dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan hasil belajar IPS siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran resolusi konflik berbasis masalah kontekstual dengan siswa yang dibelajarkan dengan pembelajaran konvensional pada siswa Kelas V SD Gugus I Abiansemal. Perolehan rata-rata yang lebih besar pada kelompok eksperimen
e-Journal Mimbar PGSD Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan PGSD (Vol: 2 No: 1 Tahun 2014) dibandingkan dengan kelompok kontrol hal ini disebabkan karena kelompok eksperimen mendapatkan pembelajaran keterampilan pemecahan masalah dengan model pembelajaran resolusi konflik berbasis masalah kontekstual. Pada saat kegiatan pembelajaran dengan model pembelajaran resolusi konflik berbasis masalah kontekstual, siswa dilatih untuk mengembangkan keterampilan pemecahan masalah yang disampaikan oleh guru maupun masalah yang dihadapi siswa agar siswa tidak mendominasi pembicaraan atau pasif. Di sepanjang proses belajar ini aktivitas siswa menjadi pusat perhatian utama. Siswa selalu dilibatkan secara langsung dan aktif. Guru berperan untuk mengajak siswa mencari solusi bersama terhadap permasalahan yang ditemui dan mengaitkannya dengan masalah kontekstual atau masalah yang sering terjadi pada siswa. Dengan menggunakan model pembelajaran resolusi konflik berbasis masalah kontekstual dalam pembelajaran, siswa akan memusatkan perhatiannya untuk memberikan suatu pendapatnya terhadap masalah yang diberikan oleh guru, dan siswa akan terlatih untuk mengembangkan daya pikir, kreativitas, serta keberaniannya dalam mengemukakan pendapat dan solusi. Pada proses pembelajaran guru memberi kesempatan pada seluruh siswa mengemukakan pendapatrnya pada kegiatan diskusi kelompok, dengan melakukan interaksi dengan sumbersumber belajar. Semua siswa dalam kelompok memiliki kesempatan berbicara dan mengomentari masalah yang disampaikan oleh guru. Setiap kelompok diberikan waktu 15 menit untuk berdiskusi dan setiap siswa diberikan waktu 1-2 menit untuk bertanya ataupun menyampaikan pendapatnya. Sebelum berbicara, siswa menyimak terlebih dahulu hasil diskusi dari kelompok lainnya. Pembelajaran seperti ini akan sangat menyenangkan bagi siswa sehingga sehingga siswa merasa nyaman mengikuti proses pembelajaran yang memberikan kekeluasaan bagi siswa untuk
menyampaikan pendapatnya melalui pemecahan masalah. berbeda dengan siswa yang mengikuti pembelajaran konvensional hanya diberikan materi dengan metode ceramah yang diselingi sedikit tanya jawab, kemudian diikuti pemberian evaluasi. Dengan pembelajaran seperti ini guru cenderung lebih aktif berbicara dari pada siswa. Hal ini yang menyebabkan siswa pasif dalam pembelajaran karena tidak memiliki kesempatan untuk berbicara serta mengemukakan pendapatnya, sehingga jika ada siswa yang belum memahami materi pelajaran tidak memiliki keberanian untuk bertanya kepada guru. Pembelajaran seperti ini akan membuat siswa cepat bosan dan jenuh sehingga keterampilan yang dimiliki oleh siswa cukup rendah. Perbedaan hasil belajar IPS yang tampak antara siswa yang mengikuti pembelajaran dengan model resolusi konflik berbasis masalah kontekstual dengan siswa yang mengikuti pembelajaran secara konvensional dapat dilihat dari rata-rata hasil belajar IPS yang menunjukkan bahwa nilai ratarata pada kelompok eksperimen lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol. Dari perbedaan ini dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran resolusi konflik berbasis masalah kontekstual memberikan perbedaan yang signifikan terhadap hasil belajar IPS siswa kelas V SD gugus 1 Abiansemal dibandingkan dengan siswa yang dibelajarkan dengan pembelajaran konvensional. Berdasarkan pertimbangan dari segi kendala dan teoritik, maka penelitian ini harus diimbangi dengan keadaan siswa yang relatif tenang dan nyaman serta kemampuan guru dalam memfasilitasi serta membimbing siswa dalam proses pembelajarannya sehingga model pembelajaran resolusi konflik berbasis masalah kontekstual yang telah terbukti lebih baik penerapannya dibandingkan dengan penerapan pembelajaran konvensional dapat diterapkan dengan lebih baik sehingga dapat memberikan variasi dalam memilih model pembelajaran untuk membuat siswa
e-Journal Mimbar PGSD Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan PGSD (Vol: 2 No: 1 Tahun 2014) tidak mudah jenuh dan bosan serta pembelajaran menjadi lebih menyenangkan sehingga hasil belajar IPS dapat lebih dimaksimalkan dan ditingkatkan. Bukti empiris dari penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Suartana (2009), mengatakan bahwa pengaruh model pembelajaran resolusi konflik dan pengetahuan awal terhadap hasil belajar IPS siswa kelas VI Sekolah Dasar di gugus Antiga Kabupaten Karangasem tahun pelajaran 2009/2010. Hal tersebut dapat dilihat dari pengaruh pembelajaran IPS dengan model resolusi konflik mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap hasil belajar IPS siswa di banding dengan penggunaan pembelajaran IPS secara konvensional. Hal ini dilandasi bahwa model pembelajaran resolusi konflik lebih melibatkan siswa secara aktif dalam belajar IPS melainkan dalam aktifitas berfikir, menghafal tetapi juga dalam aktivitas berpikir tingkat tinggi. Disini siswa diajak untuk belajar berfikir dan kreatif melalui kepekaan dan rasionalitasnya dalam menghadapi berbagai isu konflik atau masalah yang ada di lingkungan sekitarnya. Jadi dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran resolusi konflik berbasis masalah kontekstual berpengaruh terhadap hasil belajar IPS siswa kelas V SD Gugus 1 Abiansemal.
hasil belajar IPS yang dicapai kelompok siswa yang mengikuti pembelajaran konvensional (60,44). Adapun saran dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut disarankan bagi guru untuk menerapkan model pembelajaran resolusi konflik berbasis masalah kontekstual dalam pembelajaran IPS sebagai variasi kegiatan pembelajaran. Bagi para pembaca disarankan agar lebih kritis menyikapi hasil penelitian ini, sebab penelitian ini dilakukan oleh peneliti pemula yang masih memiliki banyak kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Kepada para siswa hendaknya aktif dalam mengikuti pelajaran dan tidak malu mengeluarkan pendapatnya maupun gagasan dalam memecahkan suatu permasalahan.
PENUTUP Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat dikemukakan kesimpulan sebagai berikut. Terdapat perbedaan yang signifikan hasil belajar IPS antara siswa yang mengikuti pembelajaran Resolusi Konflik berbasis masalah kontekstual dengan siswa yang mengikuti pembelajaran konvensional pada siswa kelas V SD Gugus 1 Abiansemal (nilai thitung = 7,75 dan ttabel = 2,000) jadi thitung > ttabel, berarti ada pengaruh pembelajaran resolusi konflik berbasis masalah kontekstual terhadap hasil belajar IPS siswa Kelas V. Nilai rata-rata hasil belajar IPS yang dicapai oleh kelompok siswa yang mengikuti pembelajaran resolusi konflik berbasis masalah kontekstual (75,16) lebih tinggi dibandingkan dengan nilai rata-rata
Hasan,S.Hamid.1996. Pendidikan Ilmu-Ilmu Sosial. Bandung: Jurusan Sejarah FIPS IKIP Bandung.
DAFTAR RUJUKAN Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek Edisi Revisi II. Jakarta : Rineka Cipta. Given,B.K. 2007. Teaching to the Brain’s Natural Laearning System. L. H. Dharma (penerjemaah) . BrainBased Teaching. Bandung : Kaifa. Hamalik, Oemar. 2009. Proses Belajar Mengajar. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Jamuin, Ma’arif 1999. Manual-Advokasi Resolusi Konflik Antar Etnik dan Agama. Surakarta: Ciscorse offst. Koyan I W 2007. Statistik Terapan (Teknis Analisis Data Kuantitatif). Singaraja: Universitas Pendidikan Ganesha. Lasia. I N 2009. Korelasi antara Tingkat Kestabilan Emosi dan Kualitas Interaksi Sosial pada Siswa Sekolah Dasar Negeri 3 Desa Melinggih Kelod Kecamatan
e-Journal Mimbar PGSD Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan PGSD (Vol: 2 No: 1 Tahun 2014) Payangan. Skripsi. Denpasar: FKIP Universitas Dwijendra. Rosemary, N. (1999) New Learning Model . Journal of Scientific Education. Vol. 19 (February 2000) ; 45-51 http:// Rose, olam. Asu.edu//epaa Sudijono, Anas. 2009. Pengantar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Rajawali Pers
Sugiyono, 2012. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif , Kualitatif, dan R&B. Bandung : Alfabeta Winarsunu, 2010. Statistik dalam Penelitian Psikologi dan Pendidikan. Malang: Universitas Negeri Malang.